lapkas - typhoid fever and urinary tract infection
Post on 23-Jan-2016
39 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pendahuluan
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri
abdomen. Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi atau S. Paratyphi. Penyakit ini
pada awalnya disebut typhoid fever karena penyakit ini mempunyai gejala klinis
yang hampir sama dengan typhus. Namun, pada awal tahun 1800-an, demam
tifoid didefinisikan dengan jelas secara patologis karena mempunyai penyakit
yang unik berdasarkan pembesaran Peyer’s patches dan mesenteric lymph nodes.
Pada tahun 1869, diberikan penamaan berdasarkan dimana letak anatomis infeksi
tersebut berada, terminasi enteric fever digunakan agar dapat membedakan antara
typhoid fever dengan typhus.1
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakitini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.
Data World HealthOrganization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid diseluruh dunia dengan insidensi 600.000
kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasusdemam tifoid dilaporkan
sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalansehingga
insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumahsakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atausekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus
per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkanantara 3-19 tahun
pada 91% kasus.2
Infeksi saluran kemih dibagi menjadi dua kategori berdasarkan letak anatomis,
yaitu infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis akut, prostatitis, dan
intrarenal serta perinephris abses) dan infeksi saluran kemih bagian bawah
(urethritis dan cystitis). Infeksi di tempat – tempat tersebut dapat muncul
bersamaan dengan gejala maupun tanpa gejala.1
Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-
faktor lainnya. Insidens ISK tertinggi terjadi pada tahun pertama pada anak.
1
Selama tahun pertama kehidupan, prevalensi bakteriuria 0,9% pada anak
perempuan dan 2,5% pada anak laki-laki. Prevalensi ISK pada anak usia 2 bulan
sampai 2 tahun adalah 5%. Insidens ISK pada anak usia kurang dari 6 tahun
adalah 3-7% pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki-laki. Insidens ISK
pada anak remaja adalah 10%, dimana 7,8% diantaranya dijumpai pada anak
perempuan.3 Pada laporan kasus ini, akan lebih banyak dibahas mengenai infeksi
saluran kemih bagian atas.
2
Laporan Kasus
Pasien berinisial Ny. IR, berusia 34 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
Rumah Sakit Marinir Cilandak (RSMC) pada tanggal 25 Agustus 2014 dengan
keluhan utama demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Demam
yang dirasakan berlangsung terus menerus. Pasien mengeluhkan nyeri perut
bagian bawah sejak 4 hari yang lalu. Rasa nyeri yang dirasakan tidak menjalar dan
dirasakan seperti ditusuk – tusuk. Nyeri yang dirasakan berlangsung terus –
menerus, tidak diperingan dan diperburuk dengan aktivitas apapun. Pasien tidak
mengetahui hal apa yang mencetukan nyeri perutnya ini. Pasien juga
mengeluhkan rasa mual tetapi muntah tidak dialami pasien. Nafsu makan pasien
menurun. Pasien mengeluhkan sulit buang air besar sejak 4 hari yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan nyeri saat buang air kecil. Nyeri yang dirasakan terutama pada
saat akhir berkemih. Pasien merasa anyang – anyangan dan lebih sering buang air
kecil. Tidak ada keluhan sering buang air kecil pada malam hari. Buang air kecil
berwarna kuning dan tidak ada darah.
Pasien sudah pergi berobat ke puskesmas dan sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang. Dari puskesmas pasien dirujuk ke Rumah Sakit Marinir Cilandak
(RSMC) tetapi belum diberikan pengobatan dari puskesmas tersebut.
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini tetapi
pernah di rawat di rumah sakit dalam beberapa bulan terakhir. Pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus serta alergi terhadap obat –
obatan. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alcohol
Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 116 x/m,
pernafasan 24x/m, suhu 37.6oC. Berat badan pasien 60 kg, tinggi badan 160 cm ,
dengan indeks massa tubuh 23.4 kg/m2.
3
Pada pemeriksaan kepala ditemukan bentuk kepala normocephali, pertumbuhan
rambuh normal, berwarna hitam, tidak mudah dicabut, tidak terdapat deformitas,
dan wajah simetris. Pada pemeriksaan mata, didapatkan bentuk simetris, pupil
isokor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif, tidak ada eksoftalmus
maupun endoftalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, lensa jernih.
Pada pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan tidak didapatkan lidah tifoid.
Selain itu, ditemukan faring tenang dan tonsil T1/T1. Pada pemeriksaan leher,
tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thoraks,
ditemukan bentuk dada simetris baik saat statis maupun dinamis, pergerakan nafas
simetris tidak terdapat spider naevi, dan tidak terdapat retraksi dinding dada.
Pemeriksaan cor, tidak terlihat iktus kordis tetapi pada palpasi didapatkan teraba
iktus kordis pada sela iga 5 mid klavikula kiri. Pada auskultasi jantung, ditemukan
suara jantung S1 S2 reguler, tidak ditemukan murmur maupun gallop. Pada
pemeriksaan pulmo, taktil fremitus simetris pada kedua lapang paru, perkusi sonor
pada seluruh lapang paru, dan suara nafas terdengar vesikuler pada kedua lapang
paru serta tidak ditemukan wheezing ataupun ronki pada kedua lapang paru. Pada
pemeriksaan abdomen, dilakukan inspeksi dan didapatkan perut datar dan tidak
ditemukan caput medusa. Kemudian dilakukan pemeriksaan auskultasi abdomen,
didapatkan suara bising usus positif dan terdengar 14 kali permenit, dan tidak
terdengar renal bruit. Pada palpasi abdomen, didapatkan nyeri tekan pada daerah
hipogastrik, tidak ditemukan massa, liver dan spleen tidak teraba. Kemudian pada
perkusi abdomen didapatkan suara timpani pada semua lapang abdomen dan tidak
terdapat nyeri ketok pada costovertebra angle (CVA). Pada pemeriksaan
ekstrimitas, didapatkan akral hangat, tidak terdapat edema pada kedua tungkai
kaki, dan capillary refill time didapatkan kurang dari 2 detik.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Sebelumnya pasien sudah melakukan pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada Puskesmas Pasar Minggu pada hari yang sama. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu adalah pemeriksaan
darah lengkap dan tes widal. Dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan hasil
pemeriksaan laboratorium yang didapatkan adalah Hb 12.9 g/dL, Ht 37%, eritrosit
4
4.59 x 106 /uL, MCV 80 fL, MCH 28.1 pg, MCHC 35.2 g/dL, leukosit 16,26
ribu/uL, trombosit 222 ribu/uL dan pemeriksaan hitung jenis
basofil/eosinofil/neutrophil batang/neutrofil segmen/limfosit/monosit adalah
0/2/3/85/6/6. Kemudian hasil pemeriksaan tes widal, ditemukan salmonella typhy
– H 1/160 dan salmonella typhy – O 1/160. Pada saat di unit gawat darurat rumah
sakit marinir cilandak dilakukan pemeriksaan urinalisa lengkap dan hasilnya
adalah warna kuning, jernih, pH 6.0, protein +1, reduksi negatif, berat jenis 1025,
bilirubin negative, urobilin positif, keton / blood +1/+2, nitrit negatif. Pemeriksaan
sedimen urin didapatkan hasil leukosit 10-25 LPB, eritrosit 6-10 LPB, epitel
positif, silinder negatif, krital Ca Oxalat negatif, kristal asam urat negatif, kristal
tripel phospat negatif dan amorf negatif.
Berdasarkan anamensa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukanm maka ditegakkan diagnosis pada pasien ini, yaitu demam tifoid dan
infeksi saluran kemih suspek sistitis. Pasien dirawat dan diberikan pengobatan
berupa IVFD Ringer Laktat 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr drip
dalam NaCl 0.9% 100 cc (dilakukan skin test sebelum pemberian obat), sanmol
drip 3 x 1 gr, dan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul secara intravena.
Pada perawatan hari pertama, pasien masih mengeluhkan demam. Pasien
mengeluhkan nyeri perut bagian bawah dan buang air kecil masih terasa nyeri.
Mual sudah mulai berkurang. Nafsu makan dan minum pasien membaik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dan kesadaran
compos mentis. Tanda tanda vital tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 x/m,
nafas 20 x/m, suhu 37,5oC. Pada pemeriksaan fisik, masih didapatkan nyeri tekan
pada regio hipogastrik. Diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid dan infeksi
saluran kemih suspek sistitis. Rencana terapi yang akan diberikan pada hari ini
meliputi IVFD ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr drip
dalam NaCl 0.9% 100 cc, sanmol drip 3 x 1 gr dan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul
diberikan secara intravena. Selain itu direncanakan juga pemeriksaan ureum,
kreatinin, dan pemeriksaan tubex.
5
Pada hari kedua perawatan, demam sudah tidak dirasakan pasien. Nyeri perut
bagian bawah sudah mulai berkurang tetapi pasien masih mengeluh nyeri saat
buang air kecil. Nyeri yang dirasakan muncul saat akhir berkemih. Saat berkemih
tidak didapatkan darah pada urinnya. Nafsu makan dan minum membaik. Pada
pemeriskaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran pasien
compos mentis. Tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
88 x/m, nafas 20 x/m, suhu 36,8oC. Pada pemeriksaan fisik lainya yang bermakna
adalah pemeriksaan abdomen, masih didapatkan nyeri tekan pada regio
hipogastrik. Hasil laboratorium pada hari ini ureum 24 mg/dl dan creatinine 0.90
mg/dl. Diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid dan infeksi saluran kemih
suspek sistitis. Rencana terapi yang akan diberikan pada hari ini meliputi IVFD
ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr drip dalam NaCl 0.9%
100 cc, sanmol drip 3 x 1 gr jika perlu dan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul diberikan
secara intravena, dan Nonflamin 3 x 1 tablet.
Pada hari ketiga perawatan, pasien masih mengeluh nyeri pada saat berkemih.
Rasa nyeri dirasakan sesaat akan selesai berkemih dan tidak ada darah. Nyeri
perut sudah tidak dirasakan pasien. Pada pemeriskaan fisik didapatkan keadaan
umum pasien baik dan kesadaran pasien compos mentis. Tanda – tanda vital
didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 x/m, nafas 20 x/m, suhu 37oC.
Pada pemeriksaan fisik lainya yang bermakna adalah pemeriksaan abdomen,
masih didapatkan didapatkan nyeri tekan pada region hipogastrik. Diagnosis pada
pasien ini adalah demam tifoid dan infeksi saluran kemih suspek sistitis. Terapi
yang diberikan pada hari ini meliputi IVFD ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi
ceftriaxone 1 x 2 gr drip dalam NaCl 0.9% 100 cc, sanmol drip 3 x 1 gr jika perlu,
injeksi ranitidine 2 x 1 ampul diberikan secara intravena, Nonflamin 3 x 1 tablet.
Pada hari ke empat perawatan, pasien sudah tidak memiliki keluhan apapun. Pada
pemeriskaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran pasien
compos mentis. Tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
80 x/m, nafas 20 x/m, suhu 36,5oC. Pada pemeriksaan fisik lainya yang bermakna
adalah pemeriksaan abdomen, sudah tidak didapatkan nyeri tekan pada seluruh
6
region abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil IgM
S.Typhi/Tubex TF 2 (tidak menunjukkan infeksi demam typhoid aktif). Selain itu
diperiksaankan kembali urinalisis lengkap dan didapatkan hasilnya sebagai
berikut, warna kuning, jernih, berat jenis 1010, pH 6.0, protein -, glukosa -, keton
-, urobilinogen -, bilirubin -, urobilin +, nitrit -, darah -, leukosit didapatkan 2 – 3
LPB, eritrosit 1-2 LPB, epitel +, bakteri -, silinder -, kristal -. Diagnosis akhir
pada pasien ini adalah infeksi saluran kemih suspek sistitis. Pada perawatan hari
ke empat, pasien sudah diperbolehkan pulang sehubungan dengan sudah tidak
memiliki gejala. Rencana pengobatan yang akan diberikan saat pulang cefixime 3
x 200 mg selama 5 hari, ranitidine 2 x 1 tablet selama 5 hari, nonflamin 3 x 1
tablet selama 5 hari dan parasetamol 3 x 1 tablet jika perlu. Pasien disarankan
untuk kontrol kembali ke poli penyakit dalam setelah obat yang dikonsumsi habis.
7
Pembahasan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada Ny. IR berusia 34 tahun, didapatkan diagnose awal pada saat
masuk rumah sakit adalah demam tifoid dan infeksi saluran kemih. Pada saat
pasien masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan gejala – gejala seperti demam,
sulit buang air besar, mual, dan muntah. Gejala – gejala menunjukkan gejala
demam tifoid. Selain dari gejala – gejala yang dikeluhkan pasien, ada juga
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pasien, yaitu tes widal. Tes widal
yang telah dilakukan pasien menunjukkan titer S. typhi O 1/160 dan S. typhi H
1/160. Dengan adanya pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan ini semakin
meyakinkan diagnosis kearah demam tifoid. Namun, pada saat pasien dirawat
inap, dilakukan pemeriksaan tes tubex yang berfungsi untuk membantu diagnosis
demam tifoid. Setelah dilakukan pemeriksaan tes tubex, hasilnya menunjukkan
hasil yang negatif. Disini didapatkan permasalahan dimana pemeriksaan tes widal
dan tes tubex tidak menunjukkan hasil yang sejalan.
Banyak penelitian yang meneliti mengenai tes widal dan tes tubex. Berdasarkan
journal of clinical microbiology menunjukkan bahwa tes tubex lebih baik untuk
mendiagnosa demam tifoid daripada tes widal. Pada penelitian ini tes tubex
menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas lebih baik dari pada tes widal dimana tes
tubex mempunyai sensitifitas 78% dan spesifisitas 89% sedangkan tes widal
mempunyai sensitifitas 64% dan spesifisitas 76%.4 Pada penelitian yang dilakukan
di Indonesia, menunjukkan hasil dimana tes tubex lebih baik untuk mendiagnosis
demam tifoid daripada tes widal. Berdasarkan hasil penelitian, tes tubex
mempunyai sensitifitas 100% dan spesifisitas 52.6% sedangkan tes widal
mempunyai sensitifitas 16.7% dan spesifisitas 73.7%.5
Pada pemeriksaan widal, terjadi peningkatan pada titer O dan titer H. Peningkatan
dari titer H dan titer ini mungkin karena disebabkan pasien pernah menderita
demam tifoid sebelumnya. Titer O dapat bertahan 4 – 6 bulan di dalam tubuh
8
sedangkan titer H dapat bertahan 9 – 12 bulan dalam tubuh. Pemeriksaan Tubex
adalah untuk mendeteksi antibody IgM terhadap Salmonella typhi.
Gambar 1: Respon Antibodi Salmonella typhi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V
Pemeriksaan tubex pada pasien ini menunjukkan hasil yang negatif karena IgM
terhadap Salmonella typhi sudah menurun pada saat dilakukan pemeriksaan.
Maka hal ini menjelaskan mengapa nilai tubex menunjukkan hasil yang negatif.
Diagnosa akhir saat pasien keluar dari rumah sakit adalah infeksi saluran kemih.
Alasan dibuat diagnosa akhir ini karena setelah melakukan tes widal dan tes tubex
didapatkan hasil yang berbeda, tetapi tes tubex lebih menunjukkan hasil yang
lebih akurat dalam mendiagnosa demam tifoid. Berdasarkan tes tubex yang
dilakukan, didapatkan hasil yang negatif. Maka diagnose akhir ditegakkan infeksi
saluran kemih.
Pasien ini ditegakkan diagnose infeksi saluran kemih. Berikut ini merupkan
pembahasan mengenai infeksi saluran kemih. Pasien mengeluh demam, anyang –
anyangan, rasa nyeri pada akhir berkemih, sering buang air kecil, dan didapatkan
nyeri tekan pada perut bagian bawah mengarahkan diagnose kearah infeksi
saluran kemih. Selain itu juga sudah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
9
urinalisis, ureum, dan kreatinin. Hasil urinalisis menunjukkan hasil adanya infeksi
pada saluran kemih.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml
urin > 105, dan lekositouria >10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi
klinik.4 Beberapa istilah yang perlu dipahami; bakteriuria bermakna (significant
backteriuri) adalah keberadaan mikroorganisme murni (tidak terkontaminasi flora
normal dari uretra) lebih dari 105 colony forming units per mL (cfu/ml) biakan
urin dan tanpa lekosituria. Bakteriuria simtomatik adalah bakteriuria bermakna
dengan manifestasi klinik. Bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria) adalah
bakteriuria bermakna tanpa manifestasi klinik.6,9 Pada umumnya ISK disebabkan
oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti: Eschericia coli merupakan MO yang
paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK simtomatik maupun asimtomatik;
mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK
anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase
negatif; Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai,
kecuali pasca kateterisasi.1
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi: Infeksi Saluran Kemih
Atas
Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis
terbagi menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah
pielonefritis lebih sering dipakai dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis)
yang berdiri sendiri tidak pernah ditemukan di klinik.9
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh
radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat
mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa
ditemukan kelainan radiologik.8,9 PNA ditemukan pada semua umur dan jenis
kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-
laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat.9
10
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan
sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi
bakteri (immediate atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu
disertai kelainan-kelainan radiologi. PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut
PNK fase inaktif. Bakteriuria yang ditemukan pada seorang penderita mungkin
berasal dari pielonefritis kronik fase aktif atau bakteriuria tersebut bukan
penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian bawah yang
sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik. Jadi
diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai
kelainan-kelainan faal dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut mempunyai
hubungan dengan infeksi bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK,
nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang peranan penting dalam
patogenesis PNK.9 Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering ditemukan
pembentukan jaringan ikat parenkim.5
Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah radang
selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya mendadak,
biasanya ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau berat disertai
penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe sederhana
(uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut yang sering kambuh (recurrent
urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi (complicated type), ISK
jenis ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya.9
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang
(recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau
penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan
ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari
faktor predisposisi.9
11
Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat
diisolasi mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa
SUA disebabkan oleh MO anaerobik.6,9
Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-gejala lokal,
sistemik dan perubahan urinalisis. Dalam praktik sehari-hari gejala cardinal
seperti disuria, polakisuria, dan urgensi sering ditemukan pada hampr 90% pasien
rawat jalan dengan ISK akut.9
Tabel 1 Gejala dari ISK
Lokal
Disuria
Polakisuria
Stranguria
Tenesmus
Nokturia
Enuresis nocturnal
Prostatismus
Inkontinesia
Nyeri uretra
Nyeri kandung kemih
Nyeri kolik
Nyeri ginjal
Sistemik
Panas badan sampai
menggigil
Septicemia dan syok
Perubahan urinalisis
Hematuria
Piuria
Chylusuria
Pneumaturia
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 37
12
Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran
kemih bawah pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2: Hubungan antara lokasi infeksi saluran kemih dengan keluhan
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 85
Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-40,5°C),
disertai menggigil dan sakit pinggang.6 Pada pemeriksaan fisik diagnostik tampak
sakit berat, panas intermiten disertai menggigil dan takikardia. Frekuensi nadi
pada infeksi E.coli biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman
staphylococcus dan streptococcus dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140
kali per menit. Ginjal sulit teraba karena spasme otot-otot. Distensi abdomen
sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan, hal ini
menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe
sederhana (uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat
ISKB kronik disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan
13
muntah. Pada ISKA akut (PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi, refluks
vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi bakteriemia dan syok,
kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh karena alkalosis
respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik.9
Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari keluhan-
keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan
urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria asimtomatik, infeksi
eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK).9
Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik seperti
polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang
dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan,
kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48
jam setelah melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki,
prostatitis yang terselubung setelah senggama atau minum alkohol dapat
menyebabkan sistitis sekunder.6,9
Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena
rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin
ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari
hidronefrosis dan distensi vesika urinaria.9
Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan sistitis.
Gejalanya sangat sedikit, biasanya hanya disuri dan sering kencing.6 Untuk
menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih maka dibutuhkan juga pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah Analisis urin
rutin. Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria
(albuminuria), dan pemeriksaan mikroskopik urin.6
Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila bahan urin masih segar
dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran kemih yang
14
berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting organism).
Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari 1 gram per
24 jam.9
Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar (100 x) dan
sedimen urin dengan putar 2500 x/menit selama 5 menit. Pemeriksaan
mikroskopik dengan pembesaran 400x ditemukan bakteriuria >105 CFU per ml.
Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien
dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >105). Kadang-kadang masih
ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-pasien dengan piuria
mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >105. Analisa ini menunjukkan bahwa
piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.6,9
Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas 100% untuk
>50 leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk 12-20 leukosit, 44 %
untuk 6-12 leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin yang tidak disentrifuge
dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung untuk melihat bakteri
gram negatif dan gram positif. Sensitivitas sebesar 85 % dan spesifisitas sebesar
60 % untuk 1 PMN atau mikroorganisme per HPF. Namun pemeriksaan ini juga
dapat mendapatkan hasil positif palsu sebesar 10%.6,9
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit
dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya
sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat
menentukan tipe bakteriuria.9
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin.
Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut
selama pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria
asimtomatik selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus
dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin.
15
Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik
selektif.9
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >105 (2x)
berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10
per ml tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau
CFU per ml >105 dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per
ml >105 (3x) berturut-turut dari UTK.9
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi
ISK, yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena,
micturating cystogram dan isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin
tetapi harus sesuai indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala
urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme
jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp), serta ISK berulang dengan interval ≤6
minggu.6
Setelah ditegakkannya diagnosis, maka ditentukan pengobatan yang akan dipilih.
Terapi Infeksi saluran kemih atas (ISKA) pada umumnya pasien dengan
pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi
dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat inap pada PNA
antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat
jalan, diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta
komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative
terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil
kepekaan biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
dan sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
Sedangkan terapi untuk Infeksi saluran kemih bawah (ISKB) mempunyai prinsip
manajemen dengan meningkatkan intake cairan, pemberian antibiotik yang
16
adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan natrium
bikarbonat 16-20 gram per hari6,9
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin, ampisilin,
penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif
tetapi tidak ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan nitrofurantoin dan
sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil bakteriogram.9
17
Daftar Pustaka
1. David A. Pegues, Samuel I. Miller. Salmonellosis. In: T. R. Harrison
(eds.) Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed. 2008:
McGrawHills; 2008. p956
2. John A. Crump, Stephen P. Luby, Eric D. Mintz. World Health
Organization. The Global Burden of Typhoid Fever.2010;82(5):346
3. Universitas Sumtera Utara. Infeksi Saluran Kemih.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27597/4/Chapter
%20II.pdf (accessed 4 September 2014).
4. Sonja J. Olsen et al. Evaluation of Rapid Diagnostic Tests for Typhoid
Fever. Journal of Clinical Microbiology.2004;42(5):1885
5. R. Arinurtia. Perbandingan Tingkat Akurasi Antara Tes Widal dengan Tes
Tubex pada Anak Dengan Demam Tifoid Di Semarang.2011;1(1):3
6. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.
2009:1008-1014.
7. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection:
Urethritis, Cystitis, and Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrison’s
Manual of Medicine16th Edition. Newyork: Mc Graw Hill Medical
Publishing Division. 2005:724
8. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho
E. & McAninch J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition. Newyork:
Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2008: 193-195
9. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal.
In Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72
10. Ronald A.R & Nicollé L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In
Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition
Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687
11. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense
Mechanisms. In In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary
18
Tract 8th edition Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2007: 817-826
12. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M,
ed. Essential Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana
Press. 2004:183-189
19
top related