kualitas hadis-hadis kemaksuman nabi muhammad...
Post on 08-Mar-2019
255 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KUALITAS HADIS-HADIS KEMAKSUMAN
NABI MUHAMMAD SAW.
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Islam (S.Th.i)
Oleh:
IMAM KAMALI
NIM: 1110034000070
PROGRAM STUDY TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
KUALITAS HADIS.I{ADIS KEMAKSUMAN
NABI MUIIAMMAD SAW.
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Islam (S.Th.i)
Oleh:
lmam Kamali|l-IM: 1110034000070
Pembimbing:
PROGRAM STTJDY TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHT]LUDDIN DAN FILSAFAT
UNTVERSITAS ISLAM hIEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 E
RifqbMthammad Fatkhi. MANIP: 19770120 200312 1 003
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul "Kualitas Hadis-hadis Kemaksuman NabiMuhammad Saw.", diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSyarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasyahpada28 April 2015 dihadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagaisalah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th.D pada ProgramStudi Tafsir Hadis.
Jakarta, 28 April20l5
SidangMunaqasyah
Dr. Lilik Ummi Kaltsum. MANrP. 19711003 199903 2 001
Penguji II,
Drs. Muhammad Zuhdi. M.AsNIP. 19650817 200003 I 001
Pembimbing,
Ketua Sidang,
199903 2001
Penguji I,
Muhlmmad X'atkhi19770t20200312 t 003
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini saya:
Nama: knam Kamali
NIM: 1110034000070
Fakultas/Jurusan: Ushuluddin/Tafsir-Hadis
udul Skripsi: Kualitas Hadis-Hadis Kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya ilmiah yang saya tulis tulis sendiri, diajukan untukmemenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (Sl) di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Bilamana skripsi telah dimunaqasahkan dan wajib revisi, maka saya bersedia dans"nggup merevisi dalam waktu tiga bulan terhitung dari tanggal munaqasah. Jika ternyatalebih dari tiga bulan revisi belum terselesaikan maka saya bersedia munaqasah kembali.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakanhasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku diUIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
il20l5
i
ABSTRAK
IMAM KAMALI
Kualitas Hadis-Hadis Kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
Sanad dan matan merupakan dua komponen pembentuk bangunan hadis
yang menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian hadis. Sebab, tujuan
dari melakukan penelitian hadis adalah untuk memperoleh validitas sebuah matan
hadis. Karena hadis memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dan menempati pada sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an.
Melakukan kajian hadis tidak selalu harus dimulai dengan melakukan
kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan kritik matan hadis.
Bahkan, tidak jarang tokoh pemikir hadis seperti Muhammad al-Ghazali atau yang
lainnya menolak hadis yang berkualitas sahih karena tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip umum ajaran al-Qur’an dan secara akal sehat. Meskipun, hadis Nabi dari
segi sanadnya itu dha’if, namun Muhammad al-Ghazali lebih cenderung
menerima hadis tersebut karena isi dari matannya mempunyai kesesuaian ajaran
Islam dan akal sehat manusia. Asumsinya, “Kesahihan sanad tidak dapat
menjamin sahihnya matan hadis”. Karena tolak ukur sahihnya sebuah hadis itu
manakala tidak bertentangan dengan al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih sahih, dan tidak bertentangan dengan akal sehat.
Meneliti matan hadis yang sanadnya sahih tiada lain bertujuan untuk
mengetahui dan menetapkan sahih atau tidaknya matan hadis, kemudian
mehilangkan kemusykilan pada hadis-hadis sahih yang tampak musykil (samar)
serta menghilangkan pertentangan.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kualitas matan hadis
kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dari sebelum kenabian hingga sesudah
kenabian. Adapun objek yang diteliti yaitu dua hadis yang diduga menunjukkan
ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw. dari terbukanya aurat. Pembahasan
mengenai hal ini memerlukan ruang yang lebih luas lagi untuk mendapatkan hasil
yang lebih maksimal.
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat-Nya Tuhan sekalian alam,
atas semua limpahan karunia dan kasih sayang-Nya yang tak pernah berhenti
sedetikpun kepada makhluk-Nya dan khususnya kepada saya pribadi. Salawat
beserta salam tak lupa saya haturkan kepada pembawa risalah Tuhan baginda
Nabi Muhammad Saw., para keluarga, sahabat, dan mereka semua yang telah
menegakkan kalimat tauhid di alam jagat raya ini.
Rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan kesempatan dan
kemudahan kepada saya dalam menyusun skripsi ini, dalam menyelesaikan studi
di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulisan skripsi ini, akhirnya selesai dengan sidang skripsi, tentunya hal
ini dilalui dengan adanya bimbingan, kritikan dan masukan dalam
menyempurnakan dan memperbaiki skripsi.
Saya sepenuhnya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih
banyak kekurangan dan kelemahan. Namun, berkat bantuan dan dorongan dari
semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, besar atau kecil dan
saya ucapkan banyak terima kasih, semoga Allah Swt. membalas jasa-jasa serta
melindungi dan menyayangi mereka setiap saat. Saya ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag selaku ketua jurusan Tafsir Hadis, beserta
Ibu Dra. Banun Binaningrum selaku Sekjur Tafsir Hadis
2. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., sebagai pembimbing yang telah banyak
memberikan pengarahan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan.
iii
3. Seluruh Dosen Jurusan Tafsir Hadis yang telah mengajarkan dan memberikan
ilmunya kepada saya selama proses perkuliahan berlangsung. Semoga Allah
Swt. memberikan balasan yang tak terduga atas ilmu yang telah diberikan
selama ini, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi saya.
4. Teristimewa kepada kedua orang tua saya, Bapak Daskim dan Ibu Komariyah
yang tercinta dan saya banggakan. Terima kasih atas pengorbanan, kasih
sayang serta do’a yang tak henti-hentinya. Semoga Allah Swt. menjaga dan
menyayangi mereka hingga akhir hayatnya.
5. Teman-teman seperjuangan TH B atas kekompakan dan solidaritasnya selama
perkuliahan di kampus maupun di luar kampus. Khususnya kerabat dekat
dalam menyelesaikan skripsi, kepada Setiawan Doni Kusuma, Muhammad
Saeful Asyari, Chairul Amin dan Muhammad Hafis serta Bang Toro.
Akhirnya saya menyadari dengan keterbatasan wawasan dan pandangan
yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca,
menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun, saya berusaha
untuk menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan.
Dengan segala kerendahan hati, saya ingin menyampaikan harapan yang
begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat sekalian pembaca dan khususnya
saya pribadi. Saya ucapkan banyak terima kasih.
Ciputat, 28 April 2015
Imam Kamali
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama
kali diterbitkan tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library
Congress (LC).
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Nama
Tidak dilambangkan - ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
ḥ h dengan titik di bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
‘ عkoma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha هـ
Apostrof ء
y Ye ي
vi
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari
vocal tunggal dan vocal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__ a fatḥah
__ i Kasrah
_’_ u ḍammah
b. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
iy a dan i _ي
و__ aw a dan u
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__ ā a dengan topi di atas
ī i dengan topi di atas ــ __
وو _ ’_ ū u dengan topi di atas
vii
Kata Sandang
Kata sandang, dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik
diikuti huruf syamsiyyah dan qamariyyah. Contoh: al-Rijāl bukan
ar-Rijāl, al-Dīn bukan ad-Dīn.
Singkatan
Swt. : Subḥānah wa taʻālá
Saw. : Ṣallallah ʻalayh wa sallam
Ra. : Raḍiyallah ʻanh
H : Tahun Hijriyah
M : Tahun Masehi
w. : Wafat
Tt : Tanpa Tahun
Tp : Tanpa Penerbit
b. : Bin
bt. : Binti
J. : Jilid
viii
DAFTAR ISI
A. ABSTRAK ........................................................................................ i
B. KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
C. PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................... v
D. DAFTAR ISI .................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 6
D. Metodologi Penelitian ..................................................... 7
E. Kajian Pustaka ................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................... 13
BAB II DISKURSUS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW.
A. Pengertian Maksum ......................................................... 15
B. Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. ............................. 22
BAB III PENELITIAN MATAN HADIS KEMAKSUMAN NABI
MUHAMMAD SAW.
A. Peristiwa Renovasi Kaʻbah .............................................. 31
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad ........ 31
b. Meneliti Kandungan Matan Hadis ............................. 32
1) Memahami Sunah dengan Tuntunan Al-Qurʼan ..... 34
2) Mengumpulkan Hadis-Hadis yang Satu Tema ....... 38
3) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis ........................ 41
ix
B. Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan
Abū Bakar dan ʻUmar ...................................................... 44
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad ........ 45
b. Meneliti Kandungan Matan Hadis ............................. 45
1) Memahami Sunah dengan Tuntunan Al-Qurʼan ..... 46
2) Mengumpulkan Hadis-Hadis yang Satu Tema ........ 49
3) Memadukan Hadis-Hadis yang Tampak Bertentangan 50
4) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis ............................... 57
C. Perdebatan Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. ........... 58
D. Perbincangan Ulama Mengenai Kualitas Hadis-Hadis
Kemaksuman Nabi Muhammad Saw ............................... 65
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 72
B. Saran-Saran ..................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 73
LAMPIRAN ................................................................................................. 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H.), al-Nawawī (w. 676 H.), ʻAlī b.
Muḥammad al-Jurjānī (w. 816 H.), Taqiy al-Dīn al-Nabhānī (w. 1398 H.)1 dan
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī (1975 M.) mengatakan para Imam sepakat bahwa para
Nabi terjaga dari menyembah berhala, kufur, dan bidʻah dan mereka maksum dari
dosa besar dan kecil yang disengaja setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian
mereka sama sekali tidak melakukan dosa besar dan dimungkinkan terjadinya
kekeliruan atau kesalahan yang tidak sampai merusak harga diri dan merendahkan
kedudukan serta kehormatan mereka. Apabila ada kelupaan atau kelalaian maka
itu boleh saja dan tidak ada seorang Imam yang menentang atau berbeda faham
dalam hal ini.2
Syarīf al-Murtaḍá (w. 436 H.) dan Maytsam al-Baḥrānī (w. 699 H.)
mengatakan bahwa para Nabi maksum dari dosa besar dan dosa kecil baik secara
tidak sengaja dan tidak lalai ataupun salah dalam pentakwilan sejak masa kanak-
kanak hingga setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul.3 Karena maksiat tidak
1 Beliau merupakan pendiri Ḥizb al-Taḥrīr, didirikan pada tahun 1953 di al-Quds,
Palestina. 2Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 41-42.
Lihat juga al-Nawawī, Rawḍat al-Ṭālibīn waʻUmdat al-Muftīn (Beirūt: Maktabat al-Islāmī, 1991),
J. 10, 205. Lihat juga Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah waal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat
al-Ghazālī, 1975), J. 3, 58. Lihat juga ʻAlī b. Muḥammad al-Jurjānī, Syarḥ al-Mawāqif (Beirūt:
Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1998), J. 8, 288. Lihat juga Taqiy al-Dīn al-Nabhānī, al-Syakhṣiyyah al-
Islāmiyyah (Beirūt: Dār al-Ummah, 2003), J. 1, 136. 3 Maytsam al-Baḥrānī, Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām (Maktabat Āyatullah al-
ʻAẓamī, 1998), Cet. 2, 125. Lihat juga Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955),
15.
2
bisa dikategorikan ini maksiat kecil atau besar, sengaja atau tidak disengaja, baik
itu sebelum kenabian atau sesudah kenabian. Bagaimanapun perbuatan maksiat
dapat merusak harga diri dan kehormatan serta mencerminkan watak seseorang.4
Pendapat ini kemudian menjadi pijakan oleh golongan Syiʻah.
Dari beberapa pendapat ulama di atas, menunjukkan adanya perdebatan
ulama dalam hal kemaksuman Nabi dan Rasul, satu sisi sebagian ulama
berpendapat Nabi dan Rasul maksum dari sejak lahir hingga akhir hayatnya dan
sebagian ulama berpendapat Nabi dan Rasul maksum hanya setelah
pengangkatannya menjadi nabi dan rasul.
Ditemukan beberapa riwayat yang menunjukkan adanya kemaksuman
Nabi Muhammad Saw. secara fisik dari sebelum diangkatnya menajadi Nabi dan
Rasul, seperti terlahir dalam keadaan tersunat sehingga aurat beliau tidak terlihat
seseorang5 dan terjaga dari kemaksiatan dan keburukan perilaku kaum jahiliyah.
6
Riwayat-riwayat ini yang kemudian dijadikan dalil atas kemaksuman Nabi
Muhammad Saw. dari sejak lahir hingga setelah kenabian.
Saya mencoba menampilkan satu riwayat yang diduga menunjukkan
ketidakmaksuman Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul,
yaitu pada peristiwa Muhammad Saw. mengikuti renovasi Kaʻbah bersama
pamannya al-ʻAbbās.
Dalam kitab al-Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, al-Bukhārī meriwayatkan dari Jābir b.
4 Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004),
Cet. 2, 41. 5 Abī Nuʻaym al-Iṣbahānī, Dalāil al-Nubuwwah (Beirūt: Dār al-Nafāis, 1986), Cet. 2,
154. 6 Muḥammad al-Ghazālī, Fiqh al-Sīrah (Beirūt: Dār al-Kutub, 1965), Cet. 6, 72. Lihat
juga Dalāil al-Nubuwwah karya Abū Nuʻaym, 186. dan Dalāil al-Nubuwwah karya al-Bayhaqī,
33-34.
3
ʻAbdullah yang menceritakan bahwa sebelum kenabian, Muhammad Saw. ikut
serta dengan pamannya, al-ʻAbbās b. ʻAbd al-Muṭālib dalam merenovasi Kaʻbah.7
Umumnya orang-orang mengangkat batu dengan beralaskan sehelai kain yang
diletakkan di pundak mereka kecuali Muhammad Saw., hingga kemudian
pamannya al-ʻAbbās memerintahkan Muhammad Saw. agar mengikatkan izār8
pada lehernya9 supaya meringankan beban batu yang diangkatnya.
10 Maka beliau
mengikuti sebagaimana saran pamannya, yaitu melepas dan mengikatkan izār
pada lehernya. Namun tidak lama kemudian Muhammad Saw. jatuh ke tanah
hingga matanya terbelalak hingga izār yang dikenakannya terlepas, Nabi merasa
kehilangan izār yang beliau pakai, kemudian Nabi Saw. mengenakan izār-nya
kembali dengan ikatan yang lebih kuat lagi. Peristiwa ini terjadi ketika
Muhammad Saw. berusia 35 tahun.11
Pada peristiwa ini ada riwayat yang mengatakan bahwa Muhammad Saw.
telanjang (tanpa pakaian)12
dan dalam riwayat Abū al-Ṭufayl bahwa aurat
7 Beberapa tahun sebelum Muhammad Saw. diangkat menjadi nabi, kota Makkah sering
di landa banjir hingga menenggelamkannya, mengakibatkan bangunan Kaʻbah semakin rapuh
sehingga memaksa orang-orang Quraisy memutuskan untuk merenovasi Kaʻbah demi kehormatan
dan kesucian warisan peninggalan syari’at Nabi Ibrahim as. yang masih dijaga dikalangan orang
Arab. 8 Izār bermakna al-Milḥafah yaitu selimut atau pakaian sejenis jubah. Lihat Ibn Manẓūr,
Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), J. 4,16. 9 Riwayat lain mengatakan, pamannya al-ʻAbbās memerintahkan Muhammad Saw. untuk
meletakkan sarung pada pundaknya. Lihat Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār Ibn al-Jauzī, 2010),
no hadis 364, 56. 10
Al-Buthy, Fikih Sirah, penerjemah Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Hikmah PT Mizan
Publika, 2010), Cet. 1, 65. Lihat juga Muḥammad al-Ghazālī, Fiqh al-Sīrah (Beirūt: Dār al-Kutub,
1965), Cet. 6, 83. 11
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 3, 282. (Kitāb;manāqib
al-Anṣār, Bab : Buniya al-Ka'bah, No. Ḥadith : 3829). 12
Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī. Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam,
2003), J. 3, 42. Lihat juga J. 9, 19.
4
Muhammad Saw. terlihat (awal mula Nabi diseru untuk menutup auratnya).13
Melihat peristiwa ini, muncul dugaan bahwa Muhammad Saw. sebelum diangkat
menjadi Nabi itu tidak maksum artinya kalau Nabi itu maksum maka Nabi terjaga
dari terbukanya aurat meskipun secara tidak sengaja karena konsep maksum itu
bukan berarti menjaga diri akan tetapi dijaga ataupun terjaga.
Berangkat dari riwayat yang diduga Muhammad Saw. terbuka auratnya,
maka penelitian ini mengkaji ulang kualitas hadis-hadis yang diduga adanya
ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw., karena saya berpatokan pada sebuah
teori “Kesahihan sanad tidak dapat menjamin sahihnya matan hadis”,14
ini
sebagai tolak ukur sahihnya matan hadis. Begitu juga ditemukan beberapa ayat al-
Qur’an maupun dari hadis Nabi secara lahiriyah Muhammad Saw. melakukan
kesalahan yang kemudian mendapat teguran dari Allah Swt. Tidak menutup
kemungkinan, peristiwa terbukanya aurat Nabi Muhammad Saw. baik dari
sebelum dan sesudah kenabian menunjukkan adanya ketidakmaksuman.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, saya akan melakukan kajian
yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: “KUALITAS HADIS-
HADIS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW.”
13
Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī. Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam,
2003), Cet 2, J. 19, 119. Lihat juga Aḥmad ibn Ḥanbal, al-Musnad (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts,
1995), Cet. 1, J. 17, 125. (no. hadis 23684 & 23690). 14
Thoha Saputro, Kritik Matan Hadis (Studi Komparatif Pemikiran Ibn Qayyim al-
Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali). (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
5
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan untuk memperjelas
alur penelitian ini, maka saya perlu mengidentifikasi beberapa masalah mengenai
kemaksuman Muhammad Saw. berikut untuk kemudian diteliti lebih lanjut:
a. Apa yang dimaksud dengan maksum?
b. Kapan istilah maksum itu ada?
c. Siapakah yang pertama kali menggunakan istilah maksum ini?
d. Apakah Muhammad Saw. maksum dari sebelum kenabian atau sesudah
kenabian?
e. Apakah maksum diberikan kepada selain para Nabi dan Rasul?
f. Bagaimana perbincangan ulama tentang kualitas hadis kemaksuman
Muhammad Saw.?
g. Bagaimana kualitas hadis-hadis yang menunjukkan adanya
ketidakmaksuman Muhammad Saw. sebelum dan sesudah kenabian?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah yang muncul dan untuk memudahkan
penelitian ini, saya hanya membatasi masalah pada poin a, d, f, dan poin g.
Pembatasan pada empat poin yang saya pilih, karena dalam penelitian ini, saya
fokuskan pada riwayat-riwayat yang menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad
Saw. sehingga poin-poin tersebut dirasa perlu untuk diteliti lebih lanjut.
Dari indentifikasi masalah tersebut, saya memberi batasan masalah yaitu
pada riwayat-riwayat yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad
6
Saw. sebelum dan sesudah kenabian. Berdasarkan pada latar belakang masalah di
atas, maka disusun rumusan masalah skripsi ini adalah: Bagaimana kualitas
hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw.?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Secara umum penelitian ini bertujuan menjelaskan arti maksum dan
menganalisis kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
2. Adapun tujuan khusus penelitian ini, guna melengkapi salah satu
persyaratan akhir pada program S1 untuk meraih gelar S.Th.i (Sarjana
Theologi Islam) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui arti maksum secara mendalam.
2. Mengetahui kualitas hadis-hadis kemaksuman Muhammad Saw.
3. Diharapkan dapat memberikan dan menambah wawasan serta pandangan
kajian Islam terutama dalam studi Hadis, yaitu mengenai kajian kulitas
matan hadis kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
7
D. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini, saya menggunakan tiga aspek metode penelitian, yaitu:
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, saya menggunakan penelitian kepustakaan
(library research).15
Saya mengumpulkan data-data hadis atau riwayat yang
menunjukkan ketidakmaksuman Muhammad Saw. sebelum kenabian dan sesudah
kenabian. Data-data diperoleh dengan cara mengumpulkan bahan-bahan baik dari
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun Google Book. Setelah data
terkumpul kemudian saya klasifikasi menjadi dua jenis sumber data yaitu:
1. Sumber data primer, untuk penelitian ini merujuk pada dua kitab yaitu: Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim.
2. Sumber data sekunder, berupa buku dan tulisan lainnya yang ada
hubungannya dengan pokok masalah dalam penelitian ini, seperti: Sīrah al-
Nabawiyyah karya Ibn Hisyām,16
Ibn Isḥāq,17
dan al-Raḥīq al-Makhtūm karya
Syaykh Ṣafiyuraḥmān al-Mubārakfūrī, Fiqh al-Sīrah karya Muḥammad al-
Ghazālī18
dan al-Būṭī,19
Ṣaḥīḥ al-Ātsar waJamīl al-ʻIbar min Sīrat Khayr al-
Basyar karya Muḥammad b Ṣāmil al-Sulamī,20
Fakhr al-Dīn al-Rāzī; ʻIṣmat
15
Cara pengumpulan data-datanya melalui buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan,
dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian. 16
Ibn Hisyām, Sīrah Nabawiyah (Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 2009), Cet. 2, 88. 17
Ibn Isḥāq (taḥqīq dan sharḥ: Ibn Hishām), Sirah Nabawiyah. Penerjemah H. Samson
Rahman (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2012), 111-112. 18
Muḥammad al-Ghazālī, Fiqh al-Sīrah (Beirūt: Dār al-Kutub, 1965), Cet. 6, 83. 19
Al-Buthy, Fikih Sirah. Penerjemah Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Hikmah PT Mizan
Publika, 2010), Cet. 1, 65. 20
Muḥammad b. Ṣāmil al-Sulamī, Ṣaḥīḥ al-Ātsar waJamīl al-ʻIbar min Sīrat Khayr al-
Basyar (Jeddah: Maktabat Rawāiʻ al-Mamlakah, 2010), 86.
8
al-Anbiyāʼ,21
ʻAlī bin Muḥammad al-Jurjānī; Syarḥ al-Mawāqif,22
Muḥammad
ʻAlī al-Ṣābūnī; al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ,23
Maytsam al-Baḥrānī; Qawāʻid
al-Marām fī ʻIlm al-Kalām,24
Syarīf al-Murtaḍá; Tanzīh al-Anbiyāʼ,25
Jaʻfar
al-Subḥānī; ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm,26
al-Syarbinī; Radd
Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah,27
ʻUmar
Sulaymān al-Asyqar; Rasul dan Risalah,28
al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah;
Taqiy al-Dīn al-Nabhānī,29
tanpa menyebutkan nama penulis; Kemaksuman
Nabi.30
2. Metode Analisa Data
Dalam melakukan penelitian ini, saya menggunakan dua langkah
metodologis penelitian matan hadis, yaitu:
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad hadis.31
2. Meneliti kandungan matan.
Langkah selanjutnya dalam upaya memahami hadis Nabi, saya
21
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 41-
42. 22
ʻAlī b. Muḥammad al-Jurjānī, Syarḥ al-Mawāqif (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah,
1998), J. 8, 288. 23
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwat waal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 58. 24
Maytsam al-Baḥrānī, Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām (Maktabat Āyatullah al-
ʻAẓamī, 1998), Cet. 2, 125. 25
Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 15. 26
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 8.
27 Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb waal-Sunnah (al-
Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68-69. 28
ʻUmar Sulaymān al-Asyqar, Rasul dan Risalah. Penerjemah Munir F. Ridwan (International Islamic Publishing House, 2008), 132.
29 Taqiy al-Dīn al-Nabhānī, al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah (Beirūt: Dār al-Ummah, 2003),
J. 1, 136. 30
Artikel di akses pada 19 Juli 2014 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/ articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kemaksuman_nabi/001.html
31 Siti Masyitoh, “Kualitas Hadis-hadis Dalam Tafsir al-Azhar; Studi Kritik Matan
Hadis Dalam Surah Yāsīn,” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010) 33.
9
menggunakan metode yang ditawarkan oleh Yūsuf al-Qaraḍāwi,32
yaitu:
a. Memahami al-Sunnah dengan tuntunan al-Qur’an.
b. Menghimpun hadis-hadis yang satu tema.
c. Memadukan hadis-hadis yang tampak bertentangan.
d. Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar
belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya).
e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat
tetap dalam setiap hadis.
f. Membedakan antara ungkapan hakikat dan majaz.
g. Membedakan antara yang gaib dan nyata.
h. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
Saya menggunakan metode ini, karena metode yang ditawarkan oleh
Yūsuf al-Qaraḍāwī lebih terbuka dan rinci sehingga dalam memahami hadis tidak
sampai pada lahiriyah teks hadis saja, namun perlu memperhatikan sebab-sebab
yang terkait di sekeliling teks hadis dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan
Sunnah.
3. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan dalam skripsi ini, saya sepenuhnya mengacu
pada buku pedoman akademik: Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011,33
kecuali untuk transliterasi.
32
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Qāhirah: Dār al-Syurūq, 2002), 111.
33 DR. Jamhari, dkk., Pedoman Akademik; Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011.
10
E. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa kajian penelitian terdahulu yang membahas
kemaksuman para Nabi dan Rasul berupa skripsi, Tesis, buku/kitab, dan artikel,
dengan catatan semuanya berbeda pembahasan satu sama lainnya, diantaranya:
a. Adithia Warman,34
dari Fakultas Dirasat Islamiyah 2010, skripsinya berjudul
“Konsep Ishmah Para Nabi Menurut Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī”. Skripsi ini
lebih fokus mengkaji pemahaman al-ʻIṣmah para Nabi menurut Imam al-Rāzī
dengan menjelaskan pengertian Nabi dan Rasul, perbedaan antara muʻjizat,
karamah, dan sihir, dan kemaksuman para Nabi serta pembagian
kemaksuman.
b. Muhammad Ridwan,35
dari Fakultas Dirasat Islamiyah 2009, skripsinya
berjudul “Konsep Kenabian Menurut Mazhab Asyʻary”. Skripsi ini hanya
menjelaskan pengertian Nabi dan Rasul, seputar madzhab al-Asyāʻirah berikut
ulama-ulama besar yang bermadzhabkan al-Asyāʻirah, dan teori kenabian
menurut al-Asyāʻirah.
c. Muhammad Yusfik,36
Tesisnya berjudul “Kenabian Muhammad Saw.
Menurut Al-Qur'an: Kajian Tematik tentang Misi Kenabian Muhammad
Saw.” Tesis ini mengulas sejarah Nabi Muhammad Saw. dari sebelum
kenabian hingga sesudah kenabian, menjelaskan konsep kenabian Muhammad
Saw. dan misi kenabian Muhammad Saw. menurut al-Qur’an.
34
Adithia Warman, “Konsep Ishmah Para Nabi Menurut Imam Fakhr al-Dīn al-Razi,”
(Skripsi S 1 Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010). 35
Ahmad Ridwan, “Konsep Kenabian Menurut Mazhab Asy'ary,” (Skripsi S1 Fakultas
Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009). 36
Muhammad Yusfik, “Kenabian Muhammad Saw. Menurut Al-Qur’an: Kajian Tematik
tentang Misi Kenabian Muhammad Saw.” (Tesis S2 Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005).
11
d. Syarīf al-Murtaḍá (w. 436 H.),37
dengan judul “Tanzīh al-Anbiyāʼ”. Karya ini
berisikan tentang perbedaan pendapat dalam kesucian para Nabi dari dosa,
kesempurnaan kesucian para Nabi dari dosa kecil dan besar dengan
memberikan contoh dari kesucian Nabi Adam as. sampai pada kesucian Nabi
Muhammad Saw. namun tidak menjelaskan seluruh para Nabi hanya beberapa
Nabi saja serta para Imam yang dianggap suci seperti sahabat ʻAlī, al-Ḥasan b.
ʻAlī, Abū ʻAbdullah al-Ḥusayn b. ʻAlī, Abū al-Ḥasan ʻAlī b. Mūsá, dan al-
Qāʼim al-Mahdī.
e. Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H.),38
dengan judul “ʻIṣmat al-Anbiyāʼ”. Karya
ini berisikan tentang sekilas pendapat-pendapat madzhab dalam hal
kemaksuman para Nabi, dan pendapat Fakhr al-Dīn al-Rāzī sendiri mengenai
wajibnya kemaksuman para Nabi serta memberikan lima belas dalil dalam
pembahasan kemaksuman para Nabi.
f. Jaʻfar al-Subḥānī,39
dengan judul “ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm”.
Karya ini menjelaskan munculnya teori al-ʻIṣmah, hakikat arti maksum,
apakah kemaksuman itu hasil dari ikhtiar atau karunia Ilahi, dan kemaksuman
para Nabi yang terdapat di dalam al-Qur’an, seperti Nabi Ādam, Nabi Nūḥ,
Nabi Ibrāhīm, Nabi Yūsuf, Nabi Mūsá, Nabi Dāwud, Nabi Sulaymān, Nabi
Āyūb, Nabi Yūnus, dan Nabi Muhammad Saw.
37
Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 15. 38
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 39-
40. 39
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ,
2004), Cet. 2, 8.
12
g. Al-Syarbinī,40
dengan judul “Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-
Kitāb wal-Sunnah”. Karya ini menjelaskan secara khusus mengenai
kemaksuman Nabi Muhammad Saw. dari segi akal dan fisik, serta penolakan
ketidakjelasan kemaksuman Nabi Saw. dari segi akal dan fisik, kemaksuman
Nabi Saw. dalam menyampaikan wahyu Allah Swt. serta penolakan
ketidakjelasan kemaksuman Nabi Saw. dalam menyampaikan wahyu,
kemudian kemaksuman Nabi Saw. dalam berijtihad serta penolakan
ketidakjelasan kemaksuman Nabi Saw. dalam berijtihad, dan selanjutnya
kemaksuman tingka laku Nabi Saw. serta penolakan ketidakjelasan
kemaksuman tingka laku Nabi Saw..
h. Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī (1975 M),41
dengan judul “al-Nubuwwah wal-
Anbiyā”. Karya ini berisikan tentang kenabian dan para Nabi; menjelaskan
bahwa kenabian merupakan karunia Tuhan, perbedaan antara al-Nubuwwah
dengan al-Mulk, dan kenapa para Nabi itu dari kalangan manusia. Selanjutnya
keutamaan dakwah para Nabi; para Nabi berdakwah atas perintah Tuhan dan
mereka tidak pernah mengharapkan pahala ataupun imbalan dari risalah yang
mereka emban dan sifat-sifat yang mereka miliki seperti al-Ṣidq, al-ʼAmānah,
al-Tablīgh, al-Faṭānah, al-Salāmat min al-ʻUyūb al-Munaffirah, dan al-
ʻIṣmah. Kemudian kemaksuman para Nabi; menjelaskan pengertian Maksum
dan makna maksum menurut Syariat dan apakah para Nabi Maksum dari
sebelum kenabian atau sesudah kenabian?. Kemudian kisah-kisah para Nabi;
40
Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah (al-
Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68-69. 41
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 56.
13
yakni mengambil pelajaran dari kisah para Nabi dan memahami tujuan kisah-
kisah dalam al-Qur’an. Selanjutnya menjelaskan mengenai pengkisahan Nabi
Adam menurut al-Qur’an, serta Ulil ʻAzmi dan para Nabi lainnya.
i. Tidak menyebutkan nama penulisnya,42
dengan judul “Kemaksuman Nabi”.
Artikel ini, menjelaskan makna maksum, argumentasi dan manfaat
kemaksuman, jenis-jenis kemaksuman, dan mungkinnnya sesorang selain para
Nabi dan Rasul mendapat predikat maksum dengan tiga hal yaitu ketakwaan
yang tingggi kepada Allah Swt., ilmu yang sempurna akan akibat dari
perbuatan, dan kecintaan yang sempurna kepada Allah Swt. Ketiga syarat ini,
menurut penulis artikel mampu mendapat predikat kemaksuman.
Delapan karya yang disebutkan di atas, berbeda dengan penelitian yang
akan dikaji dalam skripsi ini. Pembahasan tentang kemaksuman Nabi, yang
membedakan dengan peneliti sebelumnya adalah skripsi ini lebih fokus
membahas dan mengkaji kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad
Saw. sehingga akan diketahui kualitas matan hadis-hadis kemaksuman Nabi
Muhammad Saw. baik itu ṣaḥīḥ ataupun ḍāif.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, saya menyajikan dalam bentuk bab disertai
subbab-subbab yang berkaitan. Hal ini saya maksudkan agar lebih mudah dalam
memahami bahasan yang dikaji atau yang diteliti.
Bab pertama, pendahuluan. Dalam pendahuluan ini, saya membahas
mengenai latar belakang masalah dari kajian ini, kemudian identifikasi,
42
di akses pada 19 Juli 2014 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/
articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kemaksuman_nabi/001.html
14
pembatasan, dan perumusan masalah yang saya akan kaji, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan diakhiri sistematika penulisan
dari penelitian ini.
Bab kedua, berisikan diskursus kemaksuman Nabi Muhammad, meliputi
beberapa sub bab dimulai dari pengertian maksum, hal ini dilakukan sebagai
langkah awal untuk mengetahui konsep maksum secara umum. Lebih lanjut,
menjelaskan tentang kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
Pada bab ketiga, analisis kritik matan hadis, meliputi empat sub bab
pembahasan. Pertama, meneliti matan dengan kualitas sanad hadis, ini saya
anggap penting karena sebelum melangkah pada kajian kritik matan hadis tentu
harus terlebih dahulu mengetahui kualitas sanad hadisnya. Kedua, meneliti
kandungan matan hadis, pembahasan ini penting sekali karena memperhatikan
latar belakang hadis, kemudian apakah hadis tersebut mengandung kontradiksi
atau tidak, al-Qur’an maupun al-Ḥadīts. Ketiga, perdebatan kemaksuman Nabi
Muhammad Saw. Keempat, kualitas hadis-hadis kemaksuman Nabi Muhammad
Saw.
Pada bab empat, merupakan penutup dari penelitian ini, yang terdiri dari
kesimpulan yang berisikan jawaban atas pokok permasalahan, dan saran-saran.
15
BAB II
DISKURSUS KEMAKSUMAN NABI MUHAMMAD SAW.
A. Pengertian Maksum
Secara bahasa maksum berasal dari bahasa Arab yaitu al-ʻIṣmah asal kata
dari يعصم- عصم) ) bermakna al-Ḥifẓ dan al-Wiqāyah (penjagaan), sedangkan
maksum menurut ucapan orang Arab maknanya al-imsāk (menahan diri), al-manʻ
(mencegah), dan mulāzamah (patuh). Semua mengandung satu pengertian yaitu
pemeliharaan Allah Swt. terhadap hambanya dari terjadinya kesalahan atau
keburukan.1 Menurut al-Rāghib al-Aṣfahānī al-ʻiṣm bermakna al-imsāk (menahan
diri),2 dan menurut Ibn Manẓūr kata maksum (al-ʻiṣm) bermakna al-
manʻ(mencegah).3 Dalam al-Qur’an, kata al-ʻiṣmah ditemukan tiga belas kali dari
tiga belas ayat dalam bermacam-macam bentuk,4 diantaranya berkaitan dengan
perlindungan Nabi Muhammad Saw. dan peristiwa Nabi Nuh as. dengan anaknya.
Berikut ayatnya:
5
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanah-Nya. Dan Allah Swt. memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah Swt. tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.”
Ayat ini berbicara mengenai penjagaan dan pertolongan Allah Swt. kepada
1 Ibn Fāris, Muʻjam Maqāyīs fī al-Lughah (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), Cet. 1,779. Lihat
juga al-Jīlānī dkk, al-Muʻjam al-ʻArabī al-Asāsī, 845-846. 2 Al-Rāghib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Kutub al-
ʻIlmīyah, 2004), 568. 3 Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), J. 12, 403.
4 Lihat Fatḥ al-Raḥmān Liṭālib Āyāt al-Qur‟ān, 301-302.
5 Al-Māidah [5]: 67.
16
Nabi Muhammad Saw. dalam mengemban risalah dari kejahatan dan yang
menundukkannya. Syaikh al-Ṭūsī dalam hal maksum, ia menganalogikan seperti
tali geriba6 yaitu tali yang diikatkan untuk membawa geriba dengan tujuan untuk
menguatkan tali kulit atau benang tersebut pada geriba, dalam arti maksum
sebagai bukti penguat kebenaran seorang Rasul dengan risalah yang
disampaikannya.7 Kemudian pada peristiwa dialog Nabi Nuh dengan anaknya
yang terekam dalam al-Qur’an al-Karim:
8
“Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang
dapat memeliharaku dari air bah!” Nabi Nuh berkata: “Tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah Swt. (saja) yang Maha
penyayang”. dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; Maka jadilah
anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”
Ayat ini menceritakan dialog Nabi Nuh bersama anaknya yang ingkar
yang mencoba mencari tempat perlindungan ke gunung dari bahaya air yang akan
menenggelamkannya dan yang mampu memberikan pencegahan (keselamatan)
hanya Allah Swt. Maka Nabi Nuh selamat.9
Ringkasnya, kata maksum (al-ʻiṣmah) mempunyai arti menahan diri,
mencegah, dan patuh dari segala perbuatan salah dan buruk.
Arti maksum secara bahasa tidak mengandung arti yang mendalam.
Namun, bila dihubungkan dengan kenabian dan kerasulan maka akan sangat
berarti dan mempunyai pengaruh besar hingga timbul perbedaan pandangan
6 Tempat air yang terbuat dari kulit.
7 Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār
Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 3, 588. 8 Hūd [11]: 43.
9 Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār
Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 5, 490-491.
17
dalam pengertian kemaksuman, antara lain:
1. Maksum merupakan anugerah besar yang dikaruniakan oleh Allah Swt.
kepada para Nabi dan Rasul, karena sifat-sifat yang mereka miliki sehingga
menyelamatkan mereka dari perbuatan dosa dan maksiat, dari segala
kemungkaran dan perkara-perkara yang diharamkan.10
Para ulama menafsirkan kemaksuman ke dalam empat kriteria:
a. Terdapat malakah ilahiyah (bakat, kemampuan) untuk melakukan perbuatan
baik dalam menjaga kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari berbagai macam
perbuatan keji.
b. Mempunyai pengetahuan akan manfaat ketaatan dan akibat buruk dari
perbuatan maksiat.
c. Penegasan ilmu dengan wahyu dan bukti dari Allah Swt.
d. Jika melakukan kekeliruan tanpa sengaja, maka ia harus bertobat, menghukum
dan memperingatkan diri serta merasa malu hati.
Jika keempat kriteria tersebut terdapat pada diri seseorang, maka
kemaksuman (dari perbuatan dosa) akan melekat. Menjaga kesucian jiwa
diiringi dengan pengetahuan yang kuat, lalu dimantapkan dengan wahyu yang
diterima, serta adanya bukti nyata, dan merasa takut dengan siksa dari
kesalahan terkecil. Semua ini merupakan hakikat maksum yang disandang
oleh para utusan Allah Swt. yaitu para Nabi dan Rasul. 11
2. Mayoritas ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa seorang Rasul tidak
melakukan dosa besar sama sekali dengan unsur kesengajaan, adapun
10
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wa al-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 54. 11
Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 64.
18
melakukan dosa kecil dengan unsur sengaja itu boleh, tentu dengan syarat
perbuatan tersebut tidak menjijikan, mencacatkan atau dengan kata lain
perbuatan tersebut tidak menurunkan derajat dan kehormatan baginya. Adapun
menurut AbūʻAlī al-Jubāʼī bahwa seorang Rasul tidak melakukan dosa besar
dan kecil dengan kesengajaan, akan tetapi boleh saja terjadinya kekeliruan
dalam pentakwilan.12
Nabi Saw. pernah ditegur oleh Allah Saw. karena mengharamkan
sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah, yaitu ketika Nabi Saw.
mengharamkan dirinya untuk minum madu setelah dari kediaman Zaynab bt.
Jaḥsy. Demi menjaga keharmonisan dan menyenangkan istri-istrinya, Nabi
Saw. bersumpah untuk tidak minum madu.13
Teguran yang ditujukan kepada
Nabi Saw. bukan karena Nabi Saw. berbuat dosa. Akan tetapi, merupakan
bentuk peringatan atau teguran kemuliaan supaya Nabi Saw. melakukan hal
yang lebih sempurna dan utama yaitu dengan meninggalkan pengharaman
karena lebih utama daripada melakukan pengharaman.14
3. Menurut Syaikh al-Mufīd bahwa seorang Nabi menjadi maksum dari lupa dan
salah setelah diangkat sebagai utusan Tuhan. Adapun sebelum masa kenabian
para Nabi kecuali Nabi Muhammad Saw., mereka melakukan dosa kecil yang
tidak mencacatkan derajat mereka. Kemudian konsep maksum ini dikupas
secara menyeluruh oleh murid Syaikh al-Mufīd yaitu al-Sayyid al-Murtaḍá.
Menurutnya, Nabi dan Rasul itu suci dari semua dosa sebelum dan sesudah
12
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 40. 13
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 600. 14
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986), 155-
156. Lihat juga Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 169.
19
kenabian baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Sehingga pada akhirnya
pendapat al-Sayyid al-Murtaḍá ini menjadi pijakan madzhab Syi’ah hingga
sekarang.15
Sebelum kenabian, jdikisahkan bahwa Nabi Saw. hendak melihat pesta
pernikahan dalam tradisi jahiliyah. Pada saat itu Nabi Saw. sedang mengembala
kambing bersama kawan-kawannya kemudian terdengar suara nyanyian dan
pukulan rebana, Nabi Saw. hendak melihat pesta tersebut dan menitipkan
gembalaan kepada temannya. Akan tetapi, belum sampai pada tempat tujuan Nabi
Saw. lelah dan tertidur sehingga beliau tidak sempat menghadiri pesta tersebut.16
Kemudian Nabi Saw. pernah diajak oleh pamannya Abū Ṭālib ke negeri
Syam bersama rombongan dagang Quraisy, setelah sampai di Busrá, sebuah
kawasan di Syam, mereka beristirahat di dekat rumah ibadah pendeta Baḥīra al-
Rāhib. Kemudian pendeta membuatkan makanan untuk menjamu para rombongan
Quraisy dan memerintahkan agar jangan sampai ada seorangpun yang tidak ikut
makan yang telah disediakan oleh pendeta Baḥīra al-Rāhib. Tenyata ada satu
pemuda yang menjaga di tempat perbekalan rombongan yaitu Nabi Saw. Setelah
itu, pendeta Baḥīra al-Rāhib mendekati Nabi Saw. dan mendudukannya bersama
rombongan lainnya.17
Pendeta itu menemukan kemuliaan terhadap pemuda itu, sehingga ia
memperhatikan gerak-gerik seluruh tubuhnya. Setelah selesai makan, rombongan
15
Wan Zailan Kamaruddin, Siapa Itu Nabi-Nabi (Kuala Lumpur: PTS Millennia SDN,
2004), 58. 16
Abū Nuʻaym al-Aṣbahānī, Dalāil al-Nubuwwah (Beirūt: Dār al-Nafāis, 1986), Cet. 2,
186. 17
Ibn Isḥāq, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirūt: Dā al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004), J. 1, 122-
123.
20
Quraisy berpencar sedangkan pendeta Baḥīra al-Rāhib mendekati anak kecil itu
(Nabi Saw.) dan bertanya kepadanya: “Wahai anak muda, dengan menyebut
nama al-Lāta dan al-ʻUzzā aku bertanya kepadamu dan jawablah apa yang aku
tanyakan kepadamu?” Kemudian pemuda (Nabi Saw.): “Janganlah sekali-kali
engkau bertanya tentang sesuatu apapun kepadaku dengan menyebut nama al-
Lāta dan al-ʻUzzā. Demi Allah, tidak ada yang sangat aku tidak suka melebihi
keduanya”. Pendeta berkata: “Baiklah aku bertanya kepadamu dengan menyebut
nama Allah Swt. dan hendaknya engkau menjawab pertanyaanku.” Pemuda (Nabi
Saw.) menjawab:“Tanyakanlah kepadaku apa saja yang hendak kau tanyakan!”18
Kemudian pendeta bertanya banyak hal kepada Nabi Saw. mengenai
postur tubuh dan tidurnya Nabi Saw. Pada akhirnya, pendeta itu menemukan
tanda kenabian yang berada diantara kedua pundak persis sebagaimana ciri-ciri
seorang Nabi yang telah diketahuinya.19
Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi Saw. di masa sebelum
kenabian, beliau berada dalam perlindungan dan penjagaan Allah Swt. dan dalam
keadaan bertauhidkan kepada Allah Swt.
Perbedaan pendapat tidak hanya berujung pada pengertian kemaksuman
saja, hingga pada kemaksuman Nabi dan Rasul dari terjadinya maksiat dan dosa,
apakah maksum itu atas kuasa dan kehendak sendiri (ikhtiar) atau maksum itu
merupakan kuasa dan kehendak Tuhan. Selanjutnya pandangan beberapa ulama
mengenai hal ini, sebagai berikut:
Ulama al-Asyāʻirah (penganut madzhab al-Asyʻarī) dan al-Asyʻarī berbeda
18
Ibn Isḥāq, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirūt: Dā al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004), J. 1, 123. 19
Ibn Isḥāq, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirūt: Dā al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2004), J. 1, 123.
21
pendapat dalam hal ini, seperti al-Rāzī dan al-Ghazālī berpendapat, Tuhan
menjadikan kebaikan kepada diri seseorang dengan membolehkannya melakukan
ketaatan dan menghindari maksiat dengan kuasa dan kehendak sendiri. Begitu
juga menurut al-Qaḍī ʻIyāḍ yang menekankan bahwa para Nabi dan Rasul itu
maksum di sisi Tuhan dari kesalahan dan dosa dengan daya usaha dan kehendak
mereka sendiri.
Berbeda dengan al-Asyʻarī yang berpendapat bahwa maksum merupakan
paksaan Tuhan (anugerah) yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul dan tidak
berkehendak berbuat dosa. Al-Ḥusayn b. Muḥammad al-Najjār (ulama al-
Jabarīyah) juga sependapat dengan al-Asyʻarī yang mengatakan bahwa para Nabi
tidak kuasa melakukan maksiat dan dosa.
Secara umum pendapat mayoritas ulama Ahl al-Sunnah wal-Jamāʻah,
Syiʻah dan Muʻtazilah lebih menekankan pada kebebasan memilih melakukan
kebaikan dan keburukan dengan kuasa dan kehendak sendiri (ikhtiar). Karena
kebaikan itu menjadi penghalang bagi para Nabi dan Rasul dari berbuat dosa dan
kesalahan, dalam arti kebaikan dari Tuhan merupakan sebuah petunjuk,
penjagaan, penghormatan dan kebesaran bagi mereka.20
Sekalipun mereka
berkuasa dan berkehendak, mereka tidak akan melalaikan ketaatan dan melakukan
perbuatan dosa, karena para Nabi dan Rasul dibimbing dan mendapat petunjuk
dari Allah Swt.
Setiap Nabi dan Rasul dijaga oleh Allah Swt. dari kesalahan dan dosa
(Maksum), dikarenakan mereka adalah pembawa risalah Allah Swt. Sekalipun
20
Wan Zailan Kamaruddin, Siapa Itu Nabi-Nabi (Kuala Lumpur: PTS Millennia SDN, -
2004), 51-53
22
para Nabi dan Rasul itu adalah manusia, tentu bertabiat sebagaimana tabiatnya
manusia, akan tetapi mereka adalah manusia pilihan Allah Swt. yang memiliki
budi pekerti luhur, beramal baik, berjiwa suci, dan tidak ada cacat dalam
perjalanan hidupnya karena mereka dijadikan sebagai teladan bagi manusia
sehingga mereka dipelihara dari segala macam dosa dan kesalahan yang
disengaja, tidak terkecuali dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai penutup para
Nabi serta Rasul yang kemaksumannya dijelaskan secara gamblang di dalam al-
Qur’an, yang berbunyi: “…sesungguhnya Allah hendak menghapuskan dosa-dosa
kamu wahai „Ahlulbait‟ dan hendak mensucikan kamu sesuci-sucinya.”21
Dapat disimpulkan bahwa maksum adalah anugerah yang Allah Swt.
berikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dari berbuat dosa, maksiat,
kemungkaran, dan keharaman yang merusak derajat dan kemuliaan mereka.
Ditetapkan kemaksuman karena sifat-sifat keluhuran yang mereka miliki, hal ini
yang membedakan para Nabi dengan manusia biasa pada umumnya dan anugerah
ini hanya diberikan kepada para Nabi dan Rasul.
B. Kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
Sebagai penyempurna nikmat-Nya, Allah Swt. menjaga Nabi Muhammad
Saw. dari masa kecilnya dari perbuatan-perbuatan jahiliyah hingga masa mudanya
dan sampai diangkatnya menjadi seorang Nabi serta diberikan mandat risalah
kepadanya. Nabi Muhammad Saw. memiliki sifat-sifat yang agung seperti;
berbudi luhur, bermurah hati, jujur, amanah, berprasangka dan bertetangga baik,
21
Al-Aḥzāb [33]: 33.
23
dan dijauhkan dari perbuatan keji dan akhlak yang kotor22
bahkan tidak terbesit
sedikitpun didalam hati dan pikiran seorang Nabi untuk berbuat dosa dan
kesalahan.23
Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. benar-benar manusia
pilihan yang dipersiapkan untuk menjadi teladan.
Maksum dikategorikan ke dalam dua bagian24
:
1. Maksum Dalam Penyampaian Risalah
Para Rasul terjaga dalam mengemban risalah, mereka tidak lupa apa yang
telah diwahyukan oleh Allah Swt., dengan demikian, tidak ada wahyu yang hilang
sedikitpun kecuali hal yang dikehendaki oleh Allah Swt.25
Sebagaimana firman
Allah Swt.:
26
(6). Kami akan membacakan (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad) Maka kamu
tidak akan lupa (7). Kecuali kalau Allah Swt. menghendaki, sesungguhnya Dia
(Allah) mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.
Begitupun para Rasul maksum dalam menyampaikan wahyu, mereka tidak
sedikitpun menyembunyikan ataupun menambahi, mengurangi, dan tanpa diubah
dan diganti apa yang diwahyukan oleh Allah Swt., karena sifat menyampaikan
merupakan perkara wajib, dan menyembunyikan merupakan perbuatan khianat.27
Mereka tetap menyampaikan segala berita yang diterima dari Allah Swt.
22
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wa al-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 56-57. 23
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004),
Cet. 2, 8. 24
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004),
Cet. 2, 44. 25
Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawla ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah (al-
Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68-69. 26
Al-Aʻlá [87]: 6-7. 27
ʻUmar Sulaymān al-Asyqar, Rasul Dan Risalah Menurut al-Qur‟an Dan Hadis.
Penerjemah Munir F. Ridwan (Riyaḍ: Dār al-ʻIlmīyah, 2008), 137.
24
sekalipun menghadapi kedzaliman dan kekejaman manusia.28
Dengan demikian, terjamin kebenaran para Rasul dalam menyampaikan
wahyu. Sebab jika tidak, tentu akan banyak mengalami kekeliruan dan kesalahan
baik dari ucapan maupun perbuatan, jika mereka berbuat maksiat tentu tidak patut
untuk diteladani dan sudah dipastikan bahwa mereka bertentangan dengan misi al-
Qur’an sehingga merusak risalah yang mereka emban. Ini mustahil terjadi pada
para utusan Allah Swt., karena mereka adalah manusia pilihan (terbaik).29
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Jin ayat 26-28;
26. (Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia (Allah
Swt.) tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia
(Allah Swt.) mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya.
28. Supaya dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-rasul itu telah
menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi
apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
Dapat dipahami dari ayat di atas bahwa Allah Swt. melalui para utusan-
Nya dengan memberikan wahyu serta mengawasi dan menjaga mereka melalui
para malaikat. Diketahui bahwa pengawasan dan penjagaan baik di muka dan
dibelakangnya dengan tujuan menjaga wahyu dari setiap campuran, perubahan,
penambahan, dan pengurangan yang dilakukan oleh setan-setan atau lewat
perantara setan-setan. Ayat di atas menunjukkan bahwa wahyu terjaga dari
28
Abdul Hadi Awang, Beriman kepada Rasul (Selangor: PTS Islamika, 2007), 105-106. 29
Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 64.
25
kebocoran yang sampai kepada manusia, dan terjaga saat proses diturunkannya
wahyu kepada para Rasul.30
Kemudian berita yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. itu
berdasarkan wahyu, tidak berdasarkan hawa nafsu. Oleh karenanya, kemaksuman
Nabi Muhammad Saw. dapat dipertanggungjawabkan karena berdasarkan
bimbingan dan petunjuk-petunjuk dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:
31
(3). Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur‟an) menurut kemauan hawa
nafsunya.(4). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).
Ayat di atas menjelaskan bahwa apa yang diucapkan dan yang
disampaikan oleh Nabi Saw. di dalam al-Qur’an itu tidak bersumber dari hawa
nafsu. Akan tetapi, sesuai dengan yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi
Saw.32
Ketahui bahwa Allah Swt. menjaga Nabi Saw. dari ucapan yang bersumber
dari hawa nafsu. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt. menjaga perilaku dan
pengambilan keputusan Nabi Saw. dari hawa nafsu. Oleh karena itu, di dalam
sifat Nabi Saw. penuh dengan keagungan, sekalipun Nabi Saw. bergurau namun
tidak mengucapkan kecuali yang hak.33
Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. tentu menyangkut kiprahnya sebagai
seorang Rasul dan tujuan utama diutusnya untuk memberikan petunjuk kepada
seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran. Tentu,
30
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 20, 59. 31
Al-Najm [53]: 3-4. 32
Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār
Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 9, 421. 33
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 27, 93.
26
tanpa kemaksuman segala apa yang menjadi tanggung jawabnya akan hancur bila
pembawaannya bergantung pada hawa nafsu dan ketidakterjagaan akhlaknya. Jika
Nabi Muhammad Saw. berbuat kesalahan atau tidak konsisten dengan ajaran ilahi
maka dampak itu akan berpengaruh pada dakwahnya. Akibatnya, tidak akan
berhasil secara sempurna tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw. Oleh
karenanya, Allah Swt. menegaskan dan menguatkan Nabi Muhammad Saw. dan
Nabi-nabi lainnya dengan mukjizat, serta membekali mereka ʻiṣhmah (maksum)
sehingga dalam menjalankan tugas berat menyampaikan risalah, tidak terdapat
kelalaian, kelupaan, dan kegentaran. Karena apabila mereka tidak maksum dalam
menghadapi sifat-sifat tersebut maka manusia tidak akan bersandar dan menerima
mereka dan akan memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam menyampaikan
pesan Tuhan. Natijahnya adalah timbul kontra dengan maksud dan tujuan
diutusnya para Nabi.34
Enam sifat wajib yang dimiliki para Rasul, sehingga pantas untuk
mengemban risalah Ilahi.35
1. Ṣiddīq
Kejujuran ini tidak rusak dalam segala kondisi. Apabila sifat ini rusak
sedikit saja, maka risalah yang dibawa pun ikut rusak pula karena manusia tidak
akan percaya kepada Rasul yang tidak jujur. Jadi, seorang rasul tidak sedikitpun
dalam ucapannya mengandung kebatilan dalam situasi dan kondisi apapun. Nabi
Muhammad Saw. sebelum kenabiannya sudah terkenal dengan kejujuran,
34
Abduh al-Baraq, Bukan Dosa Ternyata Dosa (Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2010),
12. Lihat juga artikel yang diakses pada 18 juni 2015 dari http://www.alhassanain.com
/indonesian/articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/kesucian_para
_nabi/001.html 35
Said Hawa, al-Rasul Saw., penerjemah ʻAbd al-Hayyī al-Kattānī dkk (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), 28-29.
27
kepercayaan dan memiliki kedudukan yang terhormat di kalangan suku Quraisy.
2. Amānah
Komitmen dengan apa yang Rasul sampaikan, sebagai wakil Allah Swt.
Seorang Rasul mempunyai hubungan langsung dengan Allah Swt., tentu mengerti
benar akan keagungan Allah Swt. dan tidak mungkin berkhianat kepada-Nya
karena seorang yang berkhianat tidak pantas untuk mengemban risalah Ilahi.
3. Tablīgh
Seorang Rasul menyampaikan kandungan risalah dan dakwahnya secara
istiqomah, tidak peduli dengan resiko yang dihadapinya, seperti kebencian,
siksaan, kejahatan, tipu daya, dan sikap kasar manusia yang menghalangi jalan
dakwahnya. Tidak ada yang menyampaikan risalah Ilahi kecuali orang yang
cintanya kepada Allah Swt. melebihi segalanya. Karena hanya Allah yang Maha
Agung di sisinya dan hanya ridha-Nya yang dituju.
4. Faṭanah
Seorang Rasul harus seorang yang cerdas, pikiran yang sempurna dan
lurus, paling bijaksana, dan paling sempurna pengetahuannya, jelas dan tegas
argumentasinya sehingga mampu meyakinkan orang lain akan kebenaran yang ia
bawa, dan keberedaannya bisa menjadi bukti kebenaran risalah yang ia
sampaikan.
5. Al-Salāmat min al-ʻUyūb al-Munfirah
Keistimewaan yang Allah Swt. berikan kepada para utusan-Nya. Mereka
tidak cacat mental dan jasmani yang menyebabkan kaumnya berkumpul dan
mengikuti ajakan dakwahnya. Misalnya, penyakit kusta atau penyakit-penyakit
28
yang menjijikan hingga menyebabkan kaumnya lari darinya. Semua itu tidak
mungkin terjadi pada seorang Rasul. Adapun kisah yang menyatakan bahwa Nabi
Ayyūb as. tertimpa penyakit amat parah sehingga sekujur tubuhnya membusuk,
keluar ulat yang bertebaran dan istrinya pun membenci dan menjauhinya. Kisah
ini tidak benar dan penuh dengan kebohongan yang bersumber dari kisah
Isrāīliyāt. Hal ini tentu bertentangan dengan sifat-sifat kenabian, karena para Nabi
maksum dari penyakit-penyakit yang menjijikan.36
6. Al-ʻIṣmah37
Al-ʻIṣmah menjadi pembahasan khusus dalam penelitian skripsi ini.
Keenam sifat di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
salah satunya, karena sifat-sifat tersebut melekat dalam jiwa seorang Rasul
sehingga apa yang disampaikan oleh seorang Rasul mampu memberikan bukti
kebenaran risalah Ilahi dan dapat diterima oleh umat manusia.
2. Maksum dari Perbuatan Maksiat dan Dosa
Kepedulian Allah Swt. dalam memelihara Nabi Muhammad Saw. menjaga
hati dan aqidahnya dari kekufuran, syirik, sesat, kelalaian, keraguan, dan
menjaganya dari pengaruh setan karena Nabi Muhammad Saw. adalah sebaik-
baiknya manusia.38
Kemudian Allah Swt. menjaga para Nabi dalam
menyampaikan agama dan tauhidnya, ini menunjukkan bahwa kemaksuman Nabi
Muhammad Saw. meliputi pemahaman dan akidahnya. Hal ini tidak ada
36
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī,
1975), J. 3, 50. Lihat juga Muḥammad Sayyid Ṭanṭāwī, al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur‟ān al-Karīm
(1988), Cet. 2, J. 23, 217. 37
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī,
1975), J. 3, 50-51. 38
Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawla ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunah (al-
Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68.
29
perbedaan pendapat baik sebelum dan sesudah kenabian.39
Adapaun salah satu tujuan dari diutusnya para Rasul adalah untuk
memberi petunjuk dan membimbing manusia ke jalan yang lurus, serta
mensucikan jiwa manusia sehingga dapat mengenal dan kembali kepada
Tuhannya yang Maha Kuasa,40
sebagaimana Allah Swt. telah berfirman perihal
doa Nabi Ibrāhīm as.:
41
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (al-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana.”
Penyucian yang dimaksud adalah mensucikan hati dari kehinaan,
mengangkat derajat dan menanamkan kebaikan kepada manusia. Ini merupakan
tujuan utama diutusnya para Nabi dan Rasul dan diturunkannya kitab-kitab Allah
Swt. untuk mengajak manusia kepada petunjuk ilahi. Melakukan perbuatan
maksiat dan ingkar, perbuatan ini justru menghilangkan nilai dan moral serta
merusak kepercayaan jiwa dan ketaatan kepada Tuhan. Perbuatan ini tidak
mungkin dan mustahil dilakukan oleh seorang utusan Allah Swt. baik dalam
situasi ramai, sepi dan terang-terangan.42
39
Al-Syarbinī, Radd Syubuhāt Ḥawla ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunah (al-
Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003), 68. 40
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī,
1975), J. 3, 26. Lihat juga Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār
al-Walāʼ, 2004), Cet. 2, 53. 41
Al-Baqarah [02]: 129. Lihat juga Āli ʻImrān [03]: 164. 42
Jaʻfar al-Subḥānī, ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirūt: Dār al-Walāʼ, 2004),
Cet. 2, 54-55.
30
Menurut al-Ḥillī (w. 726 H.) bahwa kemaksuman para Rasul dari dosa
merupakan perkara yang wajib, dengan beberapa alasan43
:
1. Tujuan diutusnya para Rasul akan terwujud hanya dengan kemaksuman.
Jika mereka tidak terjaga dari perbuatan maksiat, tentu orang-orang yang
mereka seru tidak akan mendengarkan dan menerima seruannya karena
mereka sendiri berbuat dusta dan maksiat, dan ini merusak tujuan risalah.
2. Taat kepada para Rasul hukumnya wajib. Jika mereka berbuat maksiat,
tentu kaumnya wajib mengikuti perbuatan maksiat serupa, dan ini menjadi
batal tujuan pengutusan mereka.
3. Jika seorang Rasul melakukan perbuatan maksiat, maka mereka
bertentangan dalam menjalankan perintah Allah Swt. semua ini tentu
mustahil terjadi pada mereka.
Oleh sebab itu, kemaksuman merupakan suatu hal yang mesti bagi seorang
Rasul sehingga lahir kepercayaan kepadanya dan dengan kepercayaan ini tujuan
dapat tercapai yakni memberi petunjuk kepada umat. Maka para Rasul maksum
dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Artinya Allah Swt. memilih dan
mengutus seorang Rasul yang maksum dari segala jenis dosa, kelalaian dan
kealpaan. Apabila tidak demikian, maka hal ini akan bertentangan dengan hikmah
kenabian, pewahyuan kitab dan pengutusan para Rasul. Hikmah pengutusan para
Rasul adalah untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Dan hal
ini akan dapat tercapai tatkala para pembawa pesan Ilahi terjaga dan maksum dari
kesalahan, kelalaian dan kealpaan dalam menerima dan menyampaikan wahyu.
43
Ibrahim al-Karazkani, Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim Hawra
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 67.
31
BAB III
PENELITIAN MATAN HADIS KEMAKSUMAN MUHAMMAD SAW.
A. Peristiwa Renovasi Kaʻbah
1
“Telah menceritakan kepadaku Maḥmūd telah menceritakan kepada kami
ʻAbdal-Razāq berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah
mengabarkan kepadaku ʻAmrū b. Dīnār dia mendengar Jābir b. ʻAbdullah
radliallahu ʻanhumā berkata; Ketika Kaʻbah diperbaiki Nabi Saw. dan al-ʻAbbās
mengangkut bebatuan. Saat itu al-ʻAbbās berkata kepada Nabi Saw.: “Ikatlah
kain sarungmu pada lehermu karena dapat melindungimu dari bebatuan”. Tiba-
tiba beliau tersungkur ke tanah dengan kedua matanya terbelalak menengadah ke
langit. Kemudian beliau sadar dan berkata: “sarungku, sarungku”. Kemudian
beliau mengikatkan kain sarungnya kembali (dengan kuat).”
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad
Dari hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya, bahwa hadis ini sanadnya
Ṣaḥīḥ karena terdapat dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, sehingga saya tak perlu
melakukan kegiatan kritik sanad. Dari semua jalur akan bertemu pada Jābir b.
ʻAbdullah dan terdapat banyak Tawabiʻ yang menjadikan sanad hadis ini menjadi
lebih kuat. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada lampiran 1 halaman 84.
1Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 56. (no. hadis 364,
1582, dan 3829).
32
Menurut Badr al-Dīn Abī Muḥammad dan Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, hadis
ini termasuk hadis Mursal Ṣahāby,2 karena Jābir b. ʻAbdullah tidak ikut serta
dalam kegiatan perbaikan Kaʻbah bersama Rasulullah Saw. Jadi, Jābir b.
ʻAbdullah tidak menyaksikan secara langsung kisah tersebut, dan mungkin Jābir
b. ʻAbdullah mendengarkan kisah ini dari Nabi Saw. atau dari Sahabat senior lain
yang ikut hadir pada peristiwa itu.3
b. Meneliti Kandungan Matan Hadis
Pada umumnya orang-orang Quraisy mengangkat batu dengan meletakkan
pakaian mereka di atas pundaknya untuk melindungi dan meringankan beban
batu. Setelah Nabi Saw. mengikuti saran pamannya al-ʻAbbās untuk melepaskan
pakaian dan diletakkan di atas punggung beliau, seketika Nabi jatuh dan pingsan
(dalam keadaan auratnya terbuka) ke tanah. Dalam riwayat Ibn al-Ṭufayl,
Muhammad Saw. terbuka auratnya saat mengangkat batu, maka beliau di seru
untuk menutup auratnya, ini merupakan awal mula beliau diseru. Setelah
peristiwa itu Nabi Saw. tidak pernah terlihat tanpa mengenakan pakaian lagi.4
2Mursal Ṣaḥābī ialah pemberitaan Sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw., tetapi ia tidak mendengarkan atau menyaksikan langsung dari Nabi Saw., karena saat Nabi
hidup ia masih kecil atau terakhir masuk agama Islam. Akan tetapi, ia meriwayatkan dari Sahabat
lain dari Nabi Saw. seperti Ibn ʻAbbās, Anas b. Mālik dan sebagainya. Ahli hadis menilai bahwa
hadis Mursal Ṣaḥābī dihukumi al-Mawṣūl al-Musnad dan Maqbūl. Karena seluruh Sahabat
bersifat adil dan ketidaktahuan Sahabat tidak membawa pengaruh negatif. Kemudian ahli hadis
sepakat bahwa hadis Mursal Ṣaḥābī bisa dijadikan sebagai dalil atau hujjah kecuali Abū Isḥāq al-
Isfarāyinī yang tidak berhujjah menggunakan hadis Mursal Ṣaḥābī . Lihat Fatchur Rahman,
Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT Almaʻrif, 1974), 209. Lihat juga Ibn Ṣalāḥ,
Muqadimah Ibn Ṣalāḥ fī ʻUlūm al-Ḥadīts, 26. Lihat juga Māhir Yāsīn, Muḥāḍarāt fi ʻUlum al-
Ḥadīts (al-Qāhirah: Dār Majid al-Islām, 2009), 39. Lihat juga al-Kirmānī, al-Kawākib al-Durārī fi
Syarḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, 1981), J. 4, 24. 3 Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār al-
Kutub al-ʻIlmīyah, 2001), J. 16, 396. Lihat juga Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī (al-Riyāḍ:
Maktabat al-Mulk, 2001), J. 1, 566. 4 Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār al-
Kutub al-ʻIlmīyah, 2001), J. 16, 396. Lihat juga Abū Yaḥyá Zakariyā al-Anṣārī, Manḥat al-Bārī
bisyarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: Maktabah Rusyd, 2005), J. 2, 60-61.
33
Kemudian disempurnakan oleh riwayat al-Ṭabrānī; ―setelah Nabi berdiri
mengikatkan izār-nya kembali, beliau seraya bersabda: ―Aku telah melarang
diriku berjalan dalam keadaan telanjang (tanpa mengenakan pakaian).‖5
Hadis ini menunjukkan kemuliaan Nabi Saw. yang Allah Swt. berikan
dengan menjaga dan memelihara Nabi Saw. di masa kecilnya dari keburukan dan
perilaku jahiliyah.6 Allah Swt. telah menjadikan Nabi Saw. baik budi pekerti dan
mulia tabiatnya. Perlu diperhatikan bahwa Nabi Saw. berusaha menutup kembali
dan setelah peristiwa tersebut Nabi Saw. tidak pernah terlihat telanjang (tanpa
pakaian) lagi. Dikatakan bahwa Nabi Saw. mengangkat batu bersama orang-orang
Quraisy baik laki-laki maupun perempuan.7 Akan tetapi, ketika masih berada di
tengah banyak orang Nabi Saw. masih mengenakan pakaiannya. Dalam perjalanan
mengangkat batu, Nabi Saw. berada di depan pamannya al-ʻAbbās baru kemudian
melepaskan pakaiannya.8
Menurut Ibn al-Jawzī bahwa hadis di atas menggambarkan bentuk
kecemasan atau kekhawatiran Nabi Saw. karena bagian tubuhnya terbuka dan
tidak menunjukkan kalau Nabi Saw. terbuka auratnya. Karena Nabi Saw. hanya
melepaskan izār-nya kemudian diletakkan di atas bahu beliau dengan maksud
meringankan beban batu yang diangkat oleh beliau.9
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak boleh dalam keadaan
telanjang (tanpa pakaian) di tempat keramaian orang-orang. Umumnya seorang
5 Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī (al-Riyāḍ: Maktabat al-Mulk, 2001), J. 1, 566.
6 Al-Kirmānī, al-Kawākib al-Durārī fi Syarḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-
ʻArabī, 1981), J. 4, 24. 7 Ibn Baṭāl, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, tt), J. 2, 26.
8 Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī al-Ḥanafi, al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīts al-
Syarīf, Penerjemah. M. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). J. 3, 344. 9 Ibn al-Jawzī, Kasyf al-Musykil min Ḥadīts al-Ṣaḥīḥaynī (al-Riyāḍ: Dār al-Waṭan, 1997),
J. 3, 32.
34
laki-laki seharusnya tidak telanjang dihadapan orang lain sekiranya telihat
auratnya, berjalan telanjang (tanpa pakaian) sehingga mengganggu kenyamanan
pandangan orang yang memandangnya, terkecuali dihadapan istri mereka sendiri.
Menurut Imam al-Ṭabarī bahwa orang yang berjalan tanpa mengenakan pakaian
takut dikira sebagai orang gila.10
1) Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an.
Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat,
harus jauh dari al-Taḥrīf (penyelewengan), al-Intiḥāl (pemalsuan/penjiplakan),
dan Sūʼ al-Taʼwīl (pentakwilan yang keliru) dan harus sesuai petunjuk al-Qur’an,
yakni bingkai tuntunan ilahi yang kebenarannya bersifat pasti.11
Untuk memahami kemaksuman Nabi Muhammad Saw. secara mendalam,
saya mencoba menampilkan ayat al-Qur’an yang ada kaitannya langsung dengan
kemaksuman Nabi Muhammad Saw. berikut ayatnya:
12
“Hai Rasul Saw., sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Dan Allah Swt. memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah Swt. tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.”
Ayat di atas terdapat dua poin besar yakni Allah Swt. memerintahkan Nabi
Muhammad Saw. untuk menyampaikan risalah dan Allah Swt. menjanjikan
kepada Nabi Muhammad Saw. dengan jaminan maksum (terjaga) dari gangguan
atau tipu daya manusia.
10
Ibn Baṭāl, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, tt), J. 2, 26. 11
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Qāhirah: Dār
al-Syurūq, 2002), 113. 12
Al-Māidah [5]: 67.
35
Rasulallah Saw. diperintahkan untuk menyampaikan risalah sebagaimana
yang telah diwahyukan, agar senantiasa tidak takut celaka dan tidak perlu dikawal,
tidak menanggapi ejekan orang-orang Yahudi, tidak membenci orang-orang
munafiq. Kemudian apabila tidak menyampaikan risalah sebagaimana yang
diperintahkan Allah Swt. ataupun hanya sebagian saja, itu seperti halnya batal
salat karena meninggalkan salah satu rukunnya. Karena setiap yang
menyembunyikan sesuatu dari agama dalam hal ini yang dimaksud adalah risalah
Tuhan maka sama halnya Nabi Saw. meninggalkan semuanya, dalam arti rusak
misi kerasulan diutusnya Nabi Muhammad Saw. kepada umatnya. Jika ada
seseorang yang hendak merendahkan atau menaklukkan Nabi Muhammad maka
Allah Swt. lah yang menjaganya dari mereka (orang-orang yang membenci Nabi
Saw.).13
Pada ayat ( ) diawali dengan ism al-Jalālah
(keagungan), ini menunjukkan bentuk kepedulian ataupun jaminan yang diberikan
kepada Nabi Muhammad Saw. secara langsung dengan memberikan perintah
yakni menyampaikan risalah kepada umat manusia, tentu sesuai dengan yang
diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Maka perlunya
dengan yakin menyebut Asma Allah Swt., dalam arti apabila selalu bersama Allah
Swt. maka Allah Swt. akan memberi penjagaan/pertolongan (Muhammad Saw.).
Menurut Syaikh ʻAbd al-Qāhar bahwa dengan menghilangkan keraguan terhadap
janji Allah Swt. maka Allah Swt. akan memberikan kesempurnaan janjinya
13
Syaikh Ṭanṭāwī Jawharī, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qurʼān al-Karīm (Kairo: Muṣṭafá al-
Bābī al-Ḥalabī, 1350)J. 3, 184.
36
kepada Nabi Muhammad Saw.14
Menurut Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī bahwa al-ʻiṣmah mempunyai
arti penjagaan dari keburukan manusia yang diarahkan kepada Nabi Muhammad
Saw., baik itu karena tujuan agama dan mengemban risalah, karena semua itu
masuk kedalam area yang suci. Maksum dari manusia ini tanpa ada penjelasan,
bahwa maksum dari setiap permasalahan manusia seperti kekerasan pada tubuh
baik itu pembunuhan, meracun atau setiap yang ada hubungannya dengan
menghilangkan nyawa atau berupa fitnah, penghinaan atau hal lain seperti
perbuatan licik, penipuan, tipu daya, dan semua itu tidak nampak dari
kemaksuman Nabi Saw. sebagai penyamarataan. Akan tetapi, itu hanya konteks
keburukan mereka yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. agar jatuh atau
gagal dalam mengemban tugas risalah Tuhan.15
Tidak dapat dikatakan sebagaimana umumnya, mengenai perlindungan
dari setiap kesulitan dan bahaya, karena pandangan seperti itu dibantah oleh al-
Qur'an, hadis maʼtsūr dan sejarah yang dapat diterima. Allah Swt. telah
menjadikan Nabi Muhammad Saw. lebih umum dari umatnya dalam arti Nabi
Saw. mengalami kondisi sebagaimana umatnya, baik itu orang mu’min, orang-
orang kafir atau munafik dari kemalangan seperti, kesengsaraan dan aneka
penderitaan dan keluhan yang tak seorang pun yang mampu menghadapi itu
semua kecuali jiwa Nabi Saw. yang mulia.16
14
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 6, 263. 15
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 6, 50-51. 16
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 6, 53.
37
Adapaun tujuan dari turunnya ayat ini adalah sebagai penguat (al-Taʼkīd)
mental Nabi Muhammad Saw. dalam mengemban risalah dan al-ʼiṣmah pada ayat
di atas bermakna penjagaan Nabi Saw. dari tipu daya musuh yaitu orang-orang
kafir dari Yahudi, orang-orang munafiq, dan orang-orang musyrik.17
Dalam kitab al-Dur al-Mantsūr, mengutip riwayat yang bersumber dari Ibn
Abī Ḥātim, Ibn Marduwayh dan Ibn ʻAsākir dari Abī Saʻīd al-Khudrī, ia berkata:
Ayat ini yaitu ( ) turun kepada Rasulullah Saw.
pada hari Ghadīr Khumm18
sehubungan dengan ʻAlī b. Abī Ṭālib.19
Menurut al-
Wāḥidī bahwa hadis ini sanadnya ḍaʻīf karena menurutnya dua rawi seperti ʻAlī b.
ʻĀbas dinilai ḍaʻīf dan ʻAṭiyah b. Saʻd al-ʻAwfī dinilai ṣadūq (bermadzhab Syi’ah
yang mudallis).20
Al-Ṭabrānī, Abū al-Syaikh, Ibn Marduwayh dan Abī Naʻīm dalam kitab
al-Dalāil, dan Ibn ʻAsākir meriwayatkan dari Ibn al-ʻAbbās, ia berkata: Nabi Saw.
perlu pendamping untuk menjaganya, maka diutuslah Abū Ṭālib untuk
mendampinginya. Setiap hari tokoh-tokoh dari Banī Hāsyim menjaganya,
sehingga turun ayat ( ). Maka pamannya hendak mengutus
seseorang untuk menjaga Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. bersabda: Wahai
17
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 6, 263. 18
Lokasi di Arab Saudi, di tengah-tengah antara Mekkah dan Madinah lebih kurang 200
mil atau daerah itu lebih dikenal sebagai tempat penobatan ʻAlī b. Abī Ṭālib sebagai wali dan
khalifah yang dilakukan oleh Nabi Saw. 19
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Durr al-Mantsūr fi Tafsīr al-Qur‟ān (al-Qāhirah:, 2003), Cet.
1, J. 5, 383. 20
Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb Nuzūl al-Qurʼān (Beirūt: Dār al-Kutub
al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 204.
38
pamanku, Sesungguhnya Allah Swt. telah menjagaku dari jin dan manusia.21
Menurut al-Wāḥidī bahwa hadis di atas sanadnya ḍaʻīf karena menurutnya
ada seorang rawi (al-Naḍr bʼ ʻAbd al-Raḥmān Abū ʻUmar al-Khuzzāz) yang
dinilai matrūk (tertuduh dusta).22
Dalam riwayat yang lain diriwayatkan oleh Ibn Ḥibbān dan Ibn
Marduwayh dari jalan Abī Salamah dari Abī Hurayrah, ia berkata: Ketika
Rasulullah Saw. berhenti di suatu tempat yang dipilihkan oleh para sahabatnya di
dekat pohon, kemudian meletakkan pedangnya pada sebatang dahan pohon.
Kemudian datanglah seorang dusun arab lalu mendekati sedangkan Nabi Saw.
sedang tidur kemudian ia membangunkan Nabi Saw. dan menghunus pedangnya
serya berkata: Siapakah yang akan menghalangimu dariku? Rasulullah Saw.
menjawab: Allah Swt. yang akan menolongku darimu, jatuhkanlah pedangmu.
Maka ia menjatuhkan pedangnya. Maka turunlah ayat: 23
2) Menghimpun Hadis-hadis yang Satu Tema.
Terdapat tiga periwayatan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, dua periwayatan dalam
Ṣaḥīḥ Muslim, dan empat periwayatan dalam Musnad Aḥmad b. Ḥanbal. Namun,
dari ketiga Mukharrij masing-masing banyak kesamaan dan sedikit perbedaan
pada beberapa penggunaan kata dalam lafadz matan hadis. Namun tidak merubah
21
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Asbāb al-Nuzūl al-Musammá Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl
(Beirūt: Muʼassasah al-Kutub al-Tsaqāfiyah, 2002), Cet. 1, 106. Lihat juga tafsirnya al-Durr al-
Mantsūr fi Tafsīr al-Qur‟ān (al-Qāhirah:, 2003), Cet. 1, J. 5, 385-386. 22
Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb Nuzūl al-Qurʼān (Beirūt: Dār al-Kutub
al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 205. 23
Hadisnya ḥasan lihat Muqbil b. Hādī al-Wādiʻī, al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb al-
Nuzūl (al-Yaman: Maktabah Ṣanaʻāʼ al-Atsariyah, 2004), Cet. 2, 99. Dan sanadnya Lā baʼsa bih
lihat ʻIṣām b. ʻAbd al-Muḥsin al-Ḥamīdān, al-Ṣaḥīḥ min Asbāb al-Nuẓūl (Beirūt: Muʼassasah al-
Riyān, 1999), Cet. 1, 168.
39
maksud dari hadis tersebut dan masih dalam satu tema yaitu berbicara mengenai
keikutsertaan Muhammad Saw. dalam perbaikan Kaʻbah.
Berikut tabel lafadz yang digunakan tiga mukharrij hadis:
Mukharrij Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4
Al-Bukhārī –
Muslim –
Aḥmad – –
Adapun keterangan tabel di atas, dari tiga jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī ada persamaan dalam penggunaan kata raqabah ada juga yang
menggunakan kata Mankib. Begitu juga pada jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ
Muslim dan Aḥmad b. Ḥanbal. Menurut Ibn Rāfiʻ dalam riwayatnya
menggunakan “ʻala Raqabatika” dan tidak mengatakan “ʻala ʻĀtiqika”.24
Berikut arti kata yang digunakan mukharrij dalam matan hadis tersebut:
1. Raqabah mempunyai arti al-ʻUnuq (leher), ada yang mengatakan bagian atas
al-ʻUnuq dan bagian bawah al-ʻUnuq.25
2. Mankib mempunya arti Mujtamaʻun raʼsi al-Katifi wal-ʻAḍudi (tempat
pertemuan bahu dan lengan atas).26
3. ʻĀtiq mempunyai arti Ma bayna al-Mankib wal-ʻUnuq (bagian diantara bahu
dan leher).27
4. ʻUryān mempunyai arti ʻAriya min Tsawbihi (bertalanjang/melepaskan
24
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165. 25
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 1, 427. 26
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 1, 771. 27
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 10, 237
40
pakaiannya).28
Kata ʻUryān asal kata dari ( ) di dalam al-Qur’an hanya terdapat satu
ayat yaitu mengkisahkan Nabi Adam dan istrinya di dalam surga dan keluar dari
surga disebabkan bisikan setan karena setan merupakan musuh bagi keduanya.
Kemudian Allah Swt. menggambarkan keadaan di dalam surga, sebagaimana
termuat dalam surah Ṭāhā ayat 118; ( ) yang artinya
(Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang).
Ayat tersebut menunjukkan adanya kesesuaian antara lapar dan telanjang.
Apabila lapar merupakan kekosongan tubuh yang tersembunyi dan yang dapat
menjaga dari rasa sakit adalah makanan, sedangkan telanjang merupakan
kekosongan tubuh yang nampak dan yang dapat melindungi dari rasa hembusan
angin dan dingin adalah pakaian.29
Sehingga rasa lapar itu dikategorikan sebagai
hinaan yang tak nampak dan telanjang sebagai hinaan yang nampak jelas yang
menjadikan orang tersebut menjadi malu.30
Dari beberapa makna yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan tempat
meletakkan izār-nya dibagian antara batas lengan atas dan bagian bawah leher.
Berkesimpulan bahwa Nabi Saw. meletakkan izār-nya di atas bahu untuk menjaga
rasa sakit dan meringankan berat beban batu yang diangkat oleh Nabi Saw. dan
orang-orang Quraisy lainnya. Kemudian riwayat lain menginformasikan bahwa
28
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 15, 46. 29
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 16, 322. 30
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-ʻAẓīm (al-Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1999), Cet. 2, J. 5, 320.
41
Nabi Saw. tidak pernah lagi berjalan tanpa mengenakan pakaian (ʻUryān) setelah
peristiwa tersebut.31
3) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar
belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya).
Pada masa sebelum kenabian, terdapat perbedaan pendapat mengenai usia
Nabi Saw. ketika ikut kegiatan perbaikan Kaʻbah, menurut al-Zuhrī saat itu Nabi
belum dewasa, menurut Ibn Baṭāl saat itu usia Nabi lima belas tahun (15),
menurut Hisyām lima (5) tahun sebelum kenabian, ada yang mengatakan pada
usia tiga puluh enam tahun (36), menurut al-Bayhaqī sebelum Nabi menikah
dengan Khadījah, dan pendapat yang masyhur adalah sepuluh tahun (10) setelah
menikah dengan Khadījah yaitu tiga puluh lima tahun (35).32
Kaʻbah sempat
mengalami perbaikan kembali karena kota Makkah sering di landa banjir
mengakibatkan bangunan Kaʻbah semakin rapuh sehingga meretakkan dinding
Kaʻbah. Orang-orang Quraisy berpendapat bahwa perlu diadakannya perbaikan
bangunan Kaʻbah untuk memelihara kedudukannya sebagai tempat yang
disucikan oleh bangsa Arab, umumnya segenap penjuru jazirah Arab.33
Diriwayatkan dari al-ʻAbbās bahwa bersama Nabi Saw. dan orang-orang
Quraisy memindahkan batu untuk merenovasi bangunan Kaʻbah, sedangkan anak
perempuan berada di rumah. Ketika orang-orang Quraisy hendak mengangkat
batu-batu, ditugaskan dua orang dua orang laki-laki untuk memindahkan batu dan
para perempuan memindahkan kapur pelabur dinding. Al-ʻAbbās bersama Nabi
31
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165. 32
Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār al-
Kutub al-ʻIlmīyah, 2001), J. 4, 106. 33
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Cet. 1, 93.
42
Saw. memindahkan batu di atas bahu. Ketika al-ʻAbbās dan Nabi Saw. berada di
tengah banyak orang keduanya masih mengenakan pakaiannya, Nabi Saw. berada
di depan pamannya al-ʻAbbās. Dalam perjalanan mengangkat batu Al-ʻAbbās dan
Nabi Saw. melepaskan pakaiannya kemudian diletakkan di atas bahu mereka
untuk meringankan beban batu, terasa panas al-ʻAbbās berjalan cepat dan tiba-tiba
Nabi Saw. jatuh dan matanya terbelalak memandang ke atas langit. Al-ʻAbbās
bertanya kepada Nabi Saw.: Ada apa? Kemudian Nabi Saw. berdiri dan
mengambil pakaiannya, seraya bersabda: ―Aku dilarang berjalan telanjang‖.
Kemudian al-ʻAbbās menyembunyikan kejadian tersebut, sebab khawatir kalau
peristiwa tersebut diceritakan kepada orang-orang, mereka akan menganggap
Nabi Saw. gila, sampai Allah Swt. mengangkatnya menjadi Nabi dan Rasul-
Nya.34
Sebelum melakukan renovasi Kaʻbah, orang-orang Quraisy menemukan
sebuah kapal dagang asing yang terkena badai besar mengakibatkan kapal itu
pecah dan terdampar di tepi Laut Merah (Jeddah). Riwayat lain
menginformasikan bahwa kapal itu milik Baqum, ia merupakan saudagar besar
Mesir dari bangsa Romawi yang pandai dalam hal pertukangan. Kemudian tiba-
tiba kapal milik Baqum itu dihantam badai mengakibatkan kapal tersebut
34
Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī al-Ḥanafi, al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīts
al-Syarīf, Penerjemah. M. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). J. 3, 344. Lihat juga
Aḥmad b. ʻAmrū b. al-Ḍaḥāk Abū Bakar al-Syaybānī, al-Āḥād wal-Matsānī (al-Riyaḍ: Dār al-
Rāyah, 1991), J. 1, 51. (no. 354)
43
terdampar di pantai jazirah Arab (Jeddah).35
Dalam merenovasi Kaʻbah, para pembesar Quraisy berkomitmen harta
benda yang digunakan untuk perbaikan bangunan Kaʻbah harus suci, tidak berasal
dari hasil menipu, merampas, berjudi, dan sebagainya. Jadi, bahan bangunan yang
ditemukan di pantai jazirah Arab (Jeddah) ini bukan barang hasil temuan belaka.
Akan tetapi, kapal yang terdampar itu terdengar oleh penduduk kota Mekah,
hingga akhirnya para pembesar Quraisy yang dikepalai Walid b. Mughirah
mendatangi kapal tersebut dan membelinya. Kemudian Baqum, diminta untuk
membantu dan mengatur proses perbaikan bangunan Kaʻbah yang rusak dan
Baqum menerima permintaan tersebut.36
Dalam melakukan perbaikan bangunan Kaʻbah, Walid b. Mughirah
membagi pekerjaan mereka dibeberapa tempat untuk setiap kabilah Quraisy.
Misalnya, yang mengerjakan di bagian pintu Kaʻbah diserahkan kepada Bani
Abdi Manaf dan Bani Zuhrah, bagian Rukun Aswad dan Rukun Yamani
diserahkan kepada Bani Makhzum dan beberapa kabilah Quraisy, begitupun
seterusnya.37
Kemudian mereka memperluas ukuran Kaʻbah dan menambah
ketinggian bangunan Kaʻbah dari 9 hasta menjadi 18 hasta (8,46 meter). Bagian
dalam utara Kaʻbah telah dibuatkan tangga, sementara di bagian dalam barat
Kaʻbah (pintu belakang) tertutup dan pintu timur dipertinggi untuk menghindari
35
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Cet. 1, 94. lihat juga Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī (al-Riyāḍ: Maktabat al-
Mulk, 2001), Cet. 1, J. 3, 516. 36
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Cet. 1, 95. 37
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Cet. 1, 95.
44
banjir dan mencegah masuk para penyusup.38
Dengan pembagian seperti itu,
setiap kabilah Quraisy merasa ikut serta dalam kegiatan perbaikan Kaʻbah (tempat
suci) dan Muhammad Saw. juga ikut mengangkat bebatuan bersama al-ʻAbbās.
B. Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang dengan Abū
Bakar dan ʻUmar.
39
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyá b. Yaḥyá dan Yaḥyá b. Ayyūb
dan Qutaybah dan Ibn Ḥujr. Yaḥyá b. Yaḥyá berkata; Telah mengabarkan kepada
kami sedangkan yang lainnya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismaʻīl
yaitu Ibn Jaʻfar dari Muḥammad b. Abū Ḥarmalah dari ʻAṭāʼ dan Sulaymān -
kedua anak Yasār dan Abū Salamah b. ʻAbdal-Raḥmān bahwa ʻĀisyah berkata;
„Pada suatu ketika, Rasulullah Saw. sedang berbaring di rumahku (ʻĀisyah)
dengan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abū
Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka
Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti
itu dan terus berbincang-bincang. Lalu ʻUmar b. Khaṭṭab datang dan meminta
izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun
mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus
berbincang-bincang. Kemudian ʻUtsmān b.ʻAffān datang dan meminta izin
kepada beliau untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun
mempersilahkan untuk masuk seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan
pakaiannya. Muḥammad bersabda; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang
38
Muhammad ʻAbd al-Hamid al-Syarqawi dan Muhammad Raja'I al-Thahlawi, Kaʻbah
Rahasia Kiblat Dunia. Penerjemah Luqman Junaidi dan Khalifurrahman Fath (Jakarta: Hikmah,
2009), 98-99. 39
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 445. (no. hadis 2401).
45
sama. Lalu ʻUtsmān masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang
berbagai hal. Setelah ʻUtsmān keluar dari rumah, ʻĀisyah bertanva; “Ya
Rasulullah, ketika Abū Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa
untuk menyambutnya. Kemudian ketika ʻUmar datang dan masuk, engkaupun
menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika ʻUtsmān b.ʻAffān
datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan
langsung mengambil posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau.
Sebenarnya ada apa dengan hal ini semua ya Rasulullah?” Rasulullah
menjawab: “Hai ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada
seseorang yang para malaikat saja merasa malu kepadanya.”
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad
Hadis riwayat ʻĀisyah ini terdapat pada kitab Ṣaḥīḥ Muslim, sehingga saya
tak perlu melakukan kegiatan kritik sanad. Dari semua jalur hadis ini akan
bertemu pada Siti ʻĀisyah dan ʻUtsmān b. ʻAffān (masing-masing menjadi
Syawahid), keduanya ada dalam kisah. Pada sanad hadis ini terdapat Tawabiʻ
yang menjadikan sanad hadis ini menjadi lebih kuat dan semua periwayat dinilai
oleh para kritikus sebagai periwayat yang Tsiqah.
Bisa dilihat pada lampiran 2 halaman 91-92.
b. Meneliti Kandungan Matan Hadis
Hadis riwayat ʻĀisyah menunjukkan bahwa paha bukan aurat, karena Nabi
Muhammad Saw. membiarkan (secara sengaja) paha atau betisnya dalam keadaan
terbuka. Seandainya yang terbuka hanya betis Nabi Saw. saja, tentu beliau tidak
bergegas menurunkan pakaiannya saat ʻUtsmān datang dan ʻUtsmān pun tidak
merasa malu karena yang terbuka hanya betis. Ketika Nabi Saw. menjamu Abū
Bakar dan ʻUmar, beliau tetap membiarkan pahanya terbuka, berbeda ketika
mengizinkan Utsmān untuk masuk, Nabi Saw. segera merubah posisi dan
menutup kedua pahanya karena bila Nabi Saw. tidak melakukan hal tersebut,
ʻUtsmān tidak mengatakan keperluannya. Akan tetapi, bila paha adalah aurat,
46
pasti hal itu tidak akan berlangsung lama karena Muhammad Saw. maksum dari
terbukanya aurat.
1) Memahami Al-Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an.
Menurut saya ada kata lain dalam al-Qur’an yang memiliki arti sama
dengan arti maksum seperti al-mukhlaṣ. Al-mukhlaṣ maknanya tidak sama dengan
al-mukhliṣ. Menurut Tsaʻlab makna dari al-mukhliṣ/al-mukhliṣīn yaitu orang-
orang yang mensucikan hati untuk ibadah karena Allah Swt. semata, adapun
makna dari al-mukhlaṣ/al-mukhlaṣīn yaitu orang-orang yang dimurnikan (terpilih)
Allah Swt.40
atau orang-orang yang diberi taufik untuk mentaati segala petunjuk
Allah Swt.41
sehingga iblis dan anak cucunya tidak dapat mengotori diri mereka
dengan dosa, bahkan dapat dikatakan iblis dan anak cucunya pun tidak punya
keinginan untuk mendorong mereka ke lubang dosa.
Di tengah-tengah umat manusia ada hamba-hamba Allah Swt. yang
tergolong mukhlaṣ dan setan sejak awal penciptaan manusia enggan menyesatkan
mereka. Semenjak terusir dari istana surga karena iblis merasa derajatnya lebih
tinggi dari Nabi Ādam as. sehingga ia enggan untuk bersujud. Kemudian iblis
bersumpah demi keagungan dan kemuliaan Allah Swt. (Allah Swt. memberi
ketangguhan kepada iblis) untuk terus berusaha menyesatkan hamba-hamba-Nya
hingga waktu yang telah ditentukan (hari kiamat), kecuali hamba-hamba yang
mukhlaṣ. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ṣad ayat 82-83:
8283
40
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 7, 26. 41
Ahsin W. al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. 2, 193.
47
82. Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau (Allah Swt.), aku akan
menyesatkan mereka semuanya. 83. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlaṣ di
antara mereka.
Huruf ―ba‖ yang terdapat dalam ( ) sebagai sumpah, bahwa iblis
bersumpah dengan kekuasaan yang Allah Swt. berikan kepadanya untuk
menyesatkan manusia kecuali orang-orang yang dimurnikan oleh Allah Swt. maka
mereka tidak akan tersentuh oleh rayuan iblis dan yang lainnya.42
Kemudian
diperjelas lagi dalam surah al-Ḥijr ayat 39-40, sebagai berikut;
39
40
(39). Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka
semuanya, (40). Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlaṣ (terpilih) di antara
mereka.”
Kata ―al-Tazyīn‖ mempunyai arti al-Taḥsīn yang menjadikan sesuatu
terlihat indah/baik padahal itu merupakan keburukan yang bisa mendatangkan
murka Allah Swt. (tipu daya iblis) dan iblis menghiasi benteng dengan
kesenangan sehingga mengalihkan perhatian dari tugas kewajiban mereka
terkecuali orang-orang yang terpilih dan tersucikan (al-Mukhlaṣīn).
Bacaan yang masyhur, seperti Nāfiʻ, Ḥamzah, ʻĀṣim dan al-Kisāʻī,
mereka membacanya dengan huruf “lam” dibaca fatḥaḥ, “al-Mukhlaṣīn” yang
bermakna orang-orang terpilih dan tersucikan. Adapun seperti Ibn Katsīr, Ibn
ʻĀmir, dan Abī ʻAmrū, mereka membacanya dengan huruf “lam” dibaca kasrah,
42
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 17, 227.
48
“al-Mukhlaṣīn” yang bermakna orang-orang yang ikhlas dalam berbuat.43
Al-Qur’an menyebut para Nabi dengan sebutan hamba-hamba yang
mukhlaṣ. misalnya Nabi Yūsuf as., Nabi Mūsá as. dan para Rasul lainnya. Al-
Qur’an menceritakan kisah ketertarikan Zulaykha kepada Nabi Yūsuf as.
Dikisahkan bahwa Zulaykha menyiapkan sebuah kamar yang benar-benar tertutup
rapat. Sejak awal ia melakukan apa saja demi mendapatkan Nabi Yūsuf as. lalu
membujuknya untuk memasuki kamar, dan menutup rapat pintunya sehingga tak
ada satu orang pun yang tahu apa yang terjadi di dalamnya. Allah Swt. berfirman
dalam surah Yūsuf ayat 24:
“Sungguh, perempuan itu telah bermaksud kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf
pun bermaksud kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.
Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia
(Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” . Tidak ada keraguan bahwa ayat tersebut mengacu pada keselamatan Nabi
Yūsuf as. dari terjadinya kemaksiatan, dan peristiwa tersebut memberikan maksud
bahwa Nabi Yusuf terhindar dari perbuatan buruk dan keji karena ia melihat
burhān (anda/bukti)44
dari Tuhannya sehingga Allah Swt. menyelamatkan Nabi
Yūsuf as. dari perbuatan buruk dan keji tersebut. Ayat ini sungguh jelas bahwa
Allah Swt. menjaga dan menyelamatkan orang-orang terpilih (mukhlaṣ) dari
43
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 14, 49-51.
Lihat juga Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 12, 163-164. 44
Burhān merupakan kekuasaan yang dimaksudkan menjadi berguna untuk meyakinkan
hatinya (ilmu yakin) seperti mu’jizat. Ada yang mengatakan arti burhān itu ḥujjah, wahyu ilahi,
penjagaan ilahi, dan penglihatan yang memberikan gambaran yang tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang. Lihat Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 12,
254.
49
perbuatan buruk dan keji, sehingga mereka tidak berbuat maksiat dan ini
dinamakan sebagai al-ʻIṣmah al-Ilāhiyah.45
Kemudian Nabi Mūsá as. termasuk Rasul yang mukhlaṣ, sebagaimana
firman Allah Swt. dalam surah Maryam ayat 50-51;
50
51
(50). Dan kami (Allah Swt.) anugerahkan kepada mereka sebagian dari
rahmat kami dan kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.
(51). Dan ceritakanlah (hai Muhammad Swt. kepada mereka), kisah Mūsá
di dalam al-Kitab (al-Qur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih
dan seorang Rasul dan Nabi.
Ayat di atas menunjukkan adanya pengkhususan yang diberikan kepada
Nabi Mūsá as. dengan sebutan al-Mukhlaṣ yang mempunyai dua sisi
keistimewaan diantaranya; Nabi Mūsá as. memurnikan dakwahnya atas perintah
Allah Swt. dan ikhlas memenuhi amanat Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt.
telah memilih Nabi Mūsá as. dari sebelum diutus dengan wahyu ilahi, maka Nabi
Mūsá as. disebut sebagai al-mukhlaṣ yang berarti orang yang dipilih.46
Menurut
al-Ṭabāṭabāī bahwa al-mukhlaṣ merupakan derajat kepatuhan tertinggi.47
2) Menghimpun Hadis-hadis yang Satu Tema.
Terdapat satu jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ Muslim, dan empat
periwayatan dalam Musnad Aḥmad b. Ḥanbal. Namun, dari kedua Mukharrij
masing-masing terdapat banyak kesamaan dan sedikit perbedaan pada beberapa
45
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 11, 130-133. Lihat juga Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr
(Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 12, 253. 46
Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr (Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984), J. 16, 127. 47
Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān (Beirūt: al-Muʼassasah
al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 14, 62.
50
penggunaan kata dalam lafadz matan hadis. Namun tidak merubah maksud dari
hadis tersebut dan masih dalam satu tema yaitu berbicara mengenai terbuka paha
Muhammad Saw. saat berbincang dengan Abū Bakar dan ʻUmar. Berikut tabel
persamaan dan perbedaan matan hadis:
Mukharrij Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4
Muslim
Aḥmad
Adapun keterangan tabel di atas, pada jalur periwayatan dalam Ṣaḥīḥ
Muslim ada terdapat keraguan, bagian kedua paha atau kedua betis yang terbuka.
Namun, dari empat jalur periwayatan Aḥmad b. Ḥanbal salah satu riwayat (jalur
2) ada yang menjelaskan bahwa yang terbuka itu bagian paha Nabi Saw. dengan
tanpa adanya keraguan. Berbeda redaksi matan, dengan lafadz yang digunakan
oleh Imam al-Bukhārī dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya yaitu ( ),
menginformasikan bahwa yang terbuka itu bukan paha ataupun betis tetapi lutut
Nabi Saw. yang terbuka pada saat duduk di suatu tempat yang ada airnya. Namun,
ketika ʻUtsmān datang, Nabi Saw. segera menutupnya.48
3) Memadukan Hadis-hadis yang Tampak Bertentangan
Sebelum melangkah pada pembahasan hadis-hadis yang tampak
bertentangan mengenai paha termasuk aurat atau bukan, saya mencoba
menjelaskan apa arti dari al-Fakhidz itu sendiri. Kata al-Fakhidz menurut Ibn
48
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), 438. (no hadis
3695)
51
Manẓūr ialah Waṣl ma bayna al-Sāq wal-Warik (dari lutut sampai pangkal paha/
pinggang),49
begitu juga menurut Aḥmad Mukhtar ʻUmar bahwa makna al-
Fakhidz adalah Ma Fawqa al-Rukbah ilá al-Warik (dari atas lutut sampai
pinggang).50
Jadi, batasan paha itu dari atas lutut sampai pada pangkal paha.
Jika diperhatikan hadis riwayat ʻĀisyah di atas, bertentangan dengan hadis
riwayat Jarhad di bawah ini, berikut penjelasannya:
51
“Telah menceritakan kepada kami Ḥusayn b. Muḥammad berkata; telah
menceritakan kepada kami Ibn Abū al-Zinād dari Bapaknya dari Zurʻah b. ʻAbd
al-Raḥmān b. Jarhad dari Jarhad kakeknya dan beberapa orang Aslam selainnya
yang bisa dipertanggungjawabkan, Rasulullah Saw. melewati Jarhad dan paha
Jarhad tersingkap di halaman masjid. Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya,
“Wahai Jarhad tutuplah pahamu. paha itu aurat.”
Satu sisi hadis riwayat ʻĀisyah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
Saw. dengan sengaja membiarkan pahanya terbuka pada saat menjamu Abū Bakar
dan ʻUmar. Sisi lain pada hadis riwayat Jarhad bahwa Muhammad Saw.
memerintahkan kepada Jarhad untuk menutup pahanya karena paha termasuk
bagian dari aurat. Jelas bahwa kedua hadis ini menuai kontradiksi.
Untuk menghilangkan kontradiksi antara kedua hadis tersebut, saya
49
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirūt: Dār al-Fikr, 1990), Cet. 1, J. 3, 501. 50
Aḥmad Mukhtar ʻUmar, Muʻjam al-Lughah al-ʻArabiyah al-Muʻāṣirah (al-Qāhirah:
Ālim al-Kutub, 2008), J. 3, 1679. 51
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995),
Cet. 1, J. 12, 378. Lihat juga J. 16, 325-326.
52
menggunakan metode al-Jamʻwal-Tawfiq52
agar kedua hadis tetap berlaku dan
digunakan sebagai dalil tanpa mengesampingkan salah satu hadis. Karena pada
asalnya nash-nash syariʻah yang tetap tidak mengandung kontradiksi, karena yang
hak tidak akan berlawanan dengan yang hak pula. Kalaupun terjadi adanya
kontradiksi, maka hal itu sebenarnya hanya sepintas penglihatan saja, namun pada
hakikatnya tidak demikian. Untuk itu hadis-hadis tersebut dikompromikan, karena
setiap hadis masing-masing mempunyai wadah. Apabila sebuah nash hadis
ditempatkan pada wadahnya maka hadis yang terlihat kontradiksi akan hilang.53
Adapun hadis riwayat Jarhad, peristiwa itu terjadi di halaman masjid, Nabi
Saw. melewati Jarhad dalam keadaan pahanya terbuka, kemudian Nabi Saw.
memerintahkan Jarhad untuk menutup pahanya karena termasuk kedalam bagian
aurat. Perlu diperhatikan bahwa di halaman masjid itu merupakan tempat
perkumpulan atau kerumunan orang-orang dan dikategorikan sebagai tempat
umum, sehingga tak pantas bila seseorang terbuka auratnya.
Sedangkan pada hadis riwayat ʻĀisyah, peristiwa ini terjadi di rumah
ʻĀisyah (rumah Nabi Muhammad Saw. juga), Muhammad Saw. sedang berbaring
dan paha beliau dalam keadaan terbuka, kemudian Abū Bakar meminta izin untuk
masuk danʻUmar pun demikian, Muhammad Saw. tidak merubah posisinya (paha
beliau masih dalam keadaan terbuka) saat menjamu Abū Bakar dan ʻUmar.
Berbeda ketika sahabat ʻUtsmān meminta izin untuk masuk seketika Nabi Saw.
merubah posisinya (menutup kedua pahanya) dan menurut Nabi Saw., ʻUtsmān
52
Yaitu kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan atau sama-sama
diamalkan sesuai konteksnya. Lihat M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), 73. 53
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah (al-Qāhirah: Dār
al-Syurūq, 2002), 133.
53
adalah seorang yang pemalu. Peristiwa ini terjadi di hari yang berbeda.
Maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Peristiwa riwayat Jarhad terjadi di tempat umum yaitu di halaman masjid.
Halaman masjid merupakan tempat perkumpulan, dan tempat lalu-lalang
orang-orang.
2. Peristiwa riwayat ʻĀisyah dan ʻUtsmān ini terjadi di dalam rumah Nabi
Muhammad Saw. dan ʻĀisyah, di dalam rumah pribadi tidak di tempat umum
ataupun tempat lalu-lalang orang-orang.
3. Kemudian Abū Bakar merupakan Sahabat yang paling dekat dengan Nabi,
selain itu juga Abū Bakar sebagai mertua Nabi karena putri Abū Bakar,
ʻĀisyah, menjadi istri Nabi setelah Khadijah meninggal dunia dan usia Abū
Bakar lebih muda dua tahun dari Nabi Muhammad Saw.54
4. Begitupun dengan Sahabat ʻUmar merupakan mertua Nabi juga, karena putri
ʻUmar, Ḥafṣah dinikahi oleh Nabi Muhammad Saw. setelah Ḥafṣah ditinggal
wafat suaminya Khunays.55
5. ʻUtsmān b. ʻAffān merupakan mantu dari Nabi Muhammad Saw. karena
ʻUtsmān menikahi anak Nabi yang bernama Ruqayyah dan beliau seorang
yang pemalu.56
Dalam hal ini, aurat terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, bagian kemaluan dan dubur laki-laki dan perempuan, ini
merupakan inti dari aurat yang diwajibkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
54
Komarudin b. Mikam dan Fathurahman, Surga Untuk Sahabat Sepuluh Orang Pilihan
Allah Swt (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 1. 55
Muhammad Husain Haekal, Biografi ʻUmar bin Khattab RA. Penerjemah Ali Audah
(Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), Cet. 3, 49. 56
M. Ismail Mustari, Menjadi Belia Cemerlang (Kuala Lumpur: PTS Professional
Publishing, 2005), 42.
54
selalu menutupnya setiap waktu, tempat dan dalam keadaan apapun kecuali dalam
kondisi darurat dan situasi tertentu. Kedua, bagian yang merendahkan atau
memalukan bagi seorang laki-laki dan perempuan bila bagian tersebut terbuka,
seperti, paha dan tipisnya bagian dalam. Maka itu disebut sebagai aurat karena
berdekatan dengan aurat dan paha merupakan bagian terdekat dari aurat.57
Menurut Ibn al-Qayyim mengatakan dalam kitab Tahdhīb al-Sunan bahwa
murid-murid Imam Aḥmad mengkompromikan (al-Jamʻ) hadis-hadis tersebut
dengan membagi aurat kedalam dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan), seperti
kedua paha dan mughallaẓah (berat) yaitu kemaluan dan dubur. Tidak ada
pertentangan antara perintah menundukkan pandangan dari melihat paha karena
paha juga termasuk aurat dan membuka paha tergolong aurat mukhaffafah
(ringan).58
Dalam masalah paha, aurat ataupun bukan aurat. Paha itu bukan aurat
yang harus tertutup sebagaimana qubul dan dubur karena bukan tempat keluarnya
kotoran59
dan paha sebagai aurat harus tertutup karena upaya menjaga kehormatan
dan memperindah budi pekerti. Dalam masalah ini, seharusnya kelompok tertentu
tidak menganggap remeh, bagi yang tidak merasa malu baik orang-orang yang
berkedudukan ataupun berorganisasai (berkelompok), maka lebih baik
menggunakan hadis-hadis ini semua dari pada menjauhi sebagian hadis saja.60
57
Ibn Qutaybah, Taʼwīl Mukhtalif al-Ḥadīts (al-Qāhirah: Dār Ibn ʻAffān, 2009), Cet. 2,
592-593. 58
Ibn Qayyim, Tahdhīb al-Sunan (al-Riyāḍ: al-Maʻrif, 2007), Cet. 1, J. 4, 1920-1921. 59
Ibn Qudāmah, al-Mughnī (al-Riyāḍ: Dār ʻĀlam al-Kutub, 1997), Cet. 3, J. 2, 285. 60
Abū al-Maḥāsin Yūsuf, al-Muʻtaṣar min al-Mukhtaṣar Masykal al-Ātsār (Beirūt: ʻĀlim
al-Kutub, tt), J. 2, 256.
55
Paha merupakan aurat ringan boleh dibuka dihadapan orang-orang tertentu
dan tidak boleh dibuka dihadapan selain mereka. Dalam hal ini Ibn Rusyd dan
penyusun al-Dakhl mengatakan makruh melihat paha.61
Paha sebagai aurat namun
tidak seperti aurat sebenarnya. Ketika paha dikatakan sebagai aurat kemudian
dinafikan maka hukumnya menjadi ringan. Maka makruh membuka paha
dihadapan selain orang tertentu, dan menjaga paha dari hadapan orang lain.62
Maka dapat disimpulkan bahwa aurat merupakan sesuatu yang memalukan
(aib), yang harus dijaga dan disembunyikan agar tidak terlihat oleh orang lain,63
sehingga orang akan merasa malu ataupun hina apabila bagian tertentu terbuka
dan terlihat oleh banyak orang. Pengecualian, aurat boleh terbuka bagi seorang
laki-laki dan perempuan pada tempat yang tidak terikat dengan sesuatu (bebas).
Seperti, didalam kamar mandi, rumah, dihadapan istri atau suami, dan tidak baik
diperlihatkan ditempat umum, seperti masjid, pasar, dan tempat-tempat ramai
lainnya.
Ketika paha dianggap sebagai aurat itu bila berada di tempat umum dan
berhadapan dengan orang yang merasa malu ketika ia melihat paha, maka tidak
boleh membuka paha dihadapan orang tersebut. Sebagaimana dalam riwayat ini,
sikap yang diperlihatkan Nabi Saw. kepada ʻUtsmān berbeda dengan sikap Nabi
Saw. kepada Abū Bakar dan ʻUmar, karena ʻUtsmān seorang yang pemalu.
Sehingga Nabi Saw. menutup pahanya agar ʻUtsmān menyampaikan
keperluannya kepada Nabi Saw.
61
ʻAlī b. Khalaf al-Manūfī al-Mālikī, Kifāyat al-Ṭālib al-Rabbānī (al-Qāhirah: Dār al-
Madanī, 1989), J. 4, 353. 62
Ṣāliḥ ʻAbd al-Samīʻ al-Ābī al-Azharī, al-Tsamr al-Dānī (tp:tt), 577. 63
Maḥmūd ʻAbd al-Raḥmān, al-Muṣṭalaḥāt wal-Alfāẓ al-Fiqhīyah (al-Qāhirah: Dār al-
Faḍīlah, tt), J. 2, 556.
56
Harus dipahami pada konteks dan kondisi tertentu. Sebab, konteks dua
hadits di atas terjadi pada keadaan-keadaan tertentu. Bergaul dengan siapa saja,
baik dengan orang yang sudah dikenal ataupun belum, tentu disesuaikan dengan
keadaan dan siapa yang dihadapi, dengan mengabaikan kesenangan pribadi dan
tidak pandang usia dalam masalah pergaulan ini. Pada peristiwa ini Nabi Saw.
berhadapan dengan saudara-saudaranya, seperti Abū Bakar dan ʻUmar selain
sebagai sahabat terdekat, keduanya sebagai mertua Nabi Saw. dan ʻUtsmān
sebagai mantu Nabi Saw. Sehingga pantas ketika ʻUtsmān masuk, Nabi Saw.
langsung merubah posisi dengan menutup kedua paha dan bersiap sedia untuk
menjamu ʻUtsmān. Kemudian ketika ditanya oleh ʻĀisyah tentang hal ini? Nabi
Saw. menjawab bahwa ʻUtsmān adalah seorang pemalu dan Nabi Saw. takut
kalau ʻUtsmān tidak akan menyampaikan keperluannya karena melihat Nabi Saw.
dalam keadaan pahanya terbuka.64
Hadis ini memperlihatkan akhlak Nabi Saw. yang luhur yaitu
memperhatikan dan mempertimbangkan sifat beliau ketika berhadapan dengan
para sahabatnya dan menghindari dari terjadinya kesalahan ketika berhadapan
dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang terdekat Nabi Saw.65
64
Muḥammad al-ʼAmīn b. ʻAbdullah al-ʼUrmī, al-Kawkab al-Wahhāj wal-Rawḍ al-
Bahhāj fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ( Jeddah: Dār al-Minhāj, 2009), Cet. 1, J. 23, 420-422. 65
Ṣafiy al-Raḥmān al-Mubārakfūrī, Minnat al-Munʻim fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (al-Riyaḍ:
Dār al-Salām, 1999), J. 4, 85.
57
4) Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis (Memahami hadis sesuai dengan latar
belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya).
Pada suatu hari Nabi Saw. sedang berada dalam rumahnya, duduk dengan
mengenakan sarung (izār). Sarung tersebut tersingkap sehingga terbuka bagian
antara kaki sampai ke paha. Kemudian Abū Bakar datang dan mohon izin masuk
untuk bertemu dengan Nabi Saw, Nabi Saw. mengizinkan Abū Bakar ra. masuk
begitu juga dengan ʻUmar ra. Datang pula ʻUtsmān ra. dan mohon izin masuk
dengan maksud bertemu dengan Nabi Saw. kemudian Nabi Saw. segera
memperbaiki izār-nya yang tersingkap. Kemudian ʻUtsmān dan Nabi Saw.
berbincang-bincang hingga akhirnya ʻUtsmān berpamitan. Sementara itu, tak lama
kemudian setelah ʻUtsmān pulang.ʻĀisyah bertanya kepada Nabi Saw.: ―Wahai
Rasulullah, Abū Bakar datang menemuimu, begitu juga dengan ʻUmar, namun
engkau tidak mengubah posisimu. Ketika ʻUtsmān masuk, engkau segera
memperbaiki posisimu, kenapa ya Rasulullah? Kemudian Nabi Saw. menjelaskan
kapada ʻĀisyah: ―Wahai ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu
kepada seseorang karena para malaikat saja merasa malu kepadanya.‖66
Itulah sebuah perlakuan yang sangat istimewa dari Nabi Saw. kepada
ʻUtsmān, padahal sebelumnya Nabi Saw. berbaring dan pada saat menyambut
Abū Bakar dan ʻUmar, Nabi Saw. tidak merubah posisinya. Perasaan malu Nabi
Saw. terhadap ʻUtsmān merupakan bentuk rasa hormat dan rasa hormat Nabi Saw.
bukan atas dasar faktor usia, akan tetapi karena kemulian akhlak ʻUtsmān yang
bisa dikatakan di atas rata-rata. lebih jauh lagi, Nabi Saw. pernah menyatakan
66
Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī al-Ḥanafi, al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīts al-
Syarīf, Penerjemah M. Suwarta Wijaya (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). J. 2, 222-223.
58
bahwa akhlak ʻUtsmān paling menyerupai dengan akhlak beliau.67
C. Perdebatan Kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
Para ulama sepakat bahwa para Nabi dan Rasul maksum dari dosa besar
dan aib-aib yang buruk, seperti zina, mencuri, menipu, menyembah berhala, sihir,
dan lain sebagainya.68
Namun terjadi perbedaan pendapat, sebagian ulama
berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw, maksum dari sebelum dan sesudah
kenabian, karena prilaku seorang Nabi itu mempengaruhi dakwahnya di masa
setelah kenabian. Oleh karenanya, setiap calon Nabi harus mempunyai perjalanan
hidup/tingkah laku yang baik dan berjiwa bersih sehingga tidak mencemarkan
dalam mengemban risalah dan dakwahnya.
Allah Swt. telah memilih Nabi-nabinya dari manusia terjaga sejak kecil di
bawah pengawasan Allah Swt. dan menjadikan mereka sebagai orang-orang
pilihan yang terbaik. Oleh karena itu, mereka harus maksum dari sebelum dan
sesudah kenabian.69
Sebagaimana firman Allah Swt. mengenai Nabi Mūsá as.:
70
Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia
ke sungai (Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh
(Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih
sayang yang datang dari-Ku dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-
Ku”.
67
Dr. Musthafa Murad, Kisah Hidup ʻUtsman bin ʻAffan, Penerjemah Khalifurrahman
Fath (Jakarta: Zaman, 2009), 26. 68
ʻUmar Sulaymān al-Asyqar, Rasul Dan Risalah Menurut al-Qur‟an Dan Hadis.
Penerjemah Munir F. Ridwan (Riyaḍ: Dār al-ʻIlmīyah, 2008), 148. 69
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wal-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 57. 70
Ṭāhā [20]: 39.
59
Ayat lain:
71
“Dan Sesungguhnya mereka pada sisi kami benar-benar termasuk orang-
orang pilihan yang paling baik.”
Selain itu juga, atas dasar menafikan dosa-dosa kecil pada kedua periode
(sebelum dan sesudah kenabian) sama halnya dengan menafikan dosa-dosa besar
pada kedua periode. Syarīf al-Murtaḍá memberikan sebuah analogi bahwa orang-
orang yang boleh melakukan dosa besar kemudian ia bertaubat dan terlepas dari
siksa dan cela, jiwa ini tidak senyaman menerima ucapan orang yang tidak
melakukan hal itu. Demikian juga seperti halnya para Nabi yang dibolehkan
melakukan dosa kecil sebelum atau sesudah kenabian, sekalipun dosa tersebut
telah diampuni, namun tetap jiwa tidak senyaman menerima ucapan orang yang
dianggap suci dari perbuatan-perbuatan keji.72
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw.
maksum hanya setelah kenabian dari dosa kecil dan dosa besar, karena sebelum
kenabian tidak ada perintah untuk mengikuti, hanya diperintahkan setelah
turunnya wahyu dan Allah Swt. memuliakan dengan memberikan mandat
mengemban risalah dan amanah. Adapun sebelum kenabian sebagaimana
umumnya manusia biasa, namun perilaku mereka tidak terjatuh ke dalam lembah
dosa ataupun menyimpang dari perbuatan keji dan hina. Sekalipun mereka tidak
melakukan dosa dan menyimpang semasa sebelum kenabian, mereka tidak
71
Ṣād [38]: 47. 72
Syarīf al-Murtaḍá, Tanzīh al-Anbiyāʼ (Qum: Amīr, 1955), 20.
60
maksum, akan tetapi mereka tetap terjaga dengan pengawasan dan kesucian.73
Mengenai hal ini juga, terdapat perbedaan pendapat, satu sisi para Nabi
tidak terjaga dari dosa-dosa kecil, karena dosa kecil bukan merupakan
kemaksiatan. Ada juga beragapan bahwa para Nabi terjaga dari dosa-dosa kecil
dengan alasan dosa kecil itu maksiat. Jelasnya, terhadap perkara yang berbentuk
perintah dan larangan, mereka semua maksum. Adapun dalam perkara atau
perbuatan yang bersifat makrūh,74
mandūb,75
dan khilāf al-aulá,76
para Nabi tidak
maksum. Bisa saja mereka melakukan perbuatan yang makrūh, meninggalkan
yang mandūb, atau pun melakukan khilāf al-aulá, menurutnya perkara tersebut
tidak berujung pada dosa dan tidak tergolong ke dalam aspek-aspek maksiat.77
Dua sisi seorang Nabi sebelum diangkat menjadi Nabi78
:
1. Belum ada Pembebanan Syariat Mutlaq
Dalam hal ini maksum tidak mempunyai arti penting, karena sesuatu hal
diketahui sebagai maksiat (melanggar) setelah adanya hukum syara’ dan taklif.
Oleh karena itu, bukan merupakan hal penting, apakah Nabi itu maksum atau
tidak. Akan tetapi, ketinggian kesucian Rasul, kejernihan jiwa, keluhuran ruh,
akal sehatnya ini menunjukkan keteladanan (sebagai contoh) yang tinggi diantara
73
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wa al-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 57. 74
Makrūh merupakan perkara yang tidak dianjurkan namun tidak terdapat konsekuensi
bila melakukannya. 75
Mandūb merupakan perkara yang dianjurkan namun tidak terdapat konsekuensi bila
tidak melakukannya. 76
Khialāf al-Aulá artinya meyalahi yang utama dalam arti memilih yang kurang utama.
Contohnya, menjamak salat dengan berjamaah lebih baik daripada menjamak salat dengan
sendirian. 77
Taqiy al-Dīn al-Nabhānī, al-Syakhṣiyah al-Islāmiyah (Beirūt: Dār al-Umah, 2003), J. 1,
135. 78
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwah wal-Anbiyāʼ(Beirūt: Maktabah al-Ghazālī,
1975), J. 3, 57-58.
61
kaumnya, baik dalam akhlak, pergaulan, amanah, dan terhindar dari perilaku
buruk yang bertentangan dengan akal sehat.
2. Sudah Ada Pembebanan untuk Mengikuti Syariat Rasul Terdahulu
Sebagai contoh, Nabi Luth as. sebelum diangkat menjadi Nabi ia
mengikuti pamannya yaitu Nabi Ibrahim as. Dalam hal seperti ini, tidak ada dalil
qatʻi yang menunjukkan adanya kemaksuman Nabi, baik dari dosa besar maupun
dari dosa kecil. Walaupun tidak ada dalil yang menjelaskan hal itu, perjalanan
hidup para Nabi sebelum kenabiannya, sudah banyak tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dijauhkan dari maksiat,
besar maupun kecil.
Sifat jaiz yang dimiliki oleh para Rasul merupakan kebolehan bagi mereka
melakukan apa yang umumnya dilakukan oleh manusia biasa, seperti makan,
minum, berhubungan badan dengan istri, mempunyai anak, pergi ke pasar,
berniaga, menggembala, mengalami muda dan tua, jatuh sakit, namun
penyakitnya tidak melemahkan jiwa mereka untuk menjalankan kewajibannya
sebagai seorang Rasul dan tidak sampai menyebabkan orang-orang
disekelilingnya lari menjauh dan enggan bergaul dengannya. Tentu dengan
batasan tindakan yang dilakukan tidak menurunkan kehormatan dan derajat
mereka yang tinggi dan luhur.79
Adapun dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sekilas mengandung teguran
Allah Swt. yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Seperti, Nabi Saw.
bermuka masam dan berpaling kepada Ummi Maktum, perlu dilihat ulang,
79
Husein Afandiy al-Jisr al-Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam
Perspektif Ahlussunnah Waljamaah). Penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaaf (Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999), 54.
62
siapakah yang bermuka masam? Suatu ketika Nabi Saw. sedang bersama
pembesar-pembesar kaum kemudian datang Ibn Ummi Maktum kepada Nabi
Saw. untuk belajar Islam kemudian Nabi Saw. berpaling dengan bermuka masam
sehingga Allah Swt. menegur Nabi Saw.
Ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada Nabi Saw. karena bermuka
masam bukan merupakan sifat Nabi Saw. sekalipun dalam menghadapi musuh-
musuhnya apalagi dengan orang-orang beriman yang mendapatkan petunjuk
(dikatakan Ibn Ummi Maktum sudah masuk Islam), kemudian Nabi Saw.
mempunyai ciri khusus yang bersedia bersama orang-orang kaya dan sibuk
bersama orang-orang fakir, akhlak mulia ini lah yang melekat pada diri Nabi
Muhammad Saw. Dikarenakan Allah Swt. telah mengagungkan akhlak Nabi Saw.
sebelum turun surah ( ) yang terdapat dalam surah al-Qalam
ayat 4, menurut beberapa riwayat yang jelas berdasarkan tartib nuzūl al-suwar
bahwa surah tersebut turun setelah surah al-ʻAlaq ( ). Bagaimana bisa
masuk akal sedangkan Nabi Saw. itu bagus akhlaknya dan Allah Swt. telah
mengkhususkan Nabi Saw. sebagai sebaik-baiknya akhlak, yang kemudian
dituduhkan Nabi Saw. mengerutkan wajahnya kepada orang buta yang datang
meminta Nabi Saw. untuk mengajarinya tentang Islam. Ditegaskan kembali
bahwa para Nabi dan Rasul merupakan orang-orang yang bersih dari hal-hal yang
dibenci. Jadi tidak mungkin Nabi Muhammad Saw. berperilaku masam wajahnya
kepada seseorang yang hendak belajar Islam kepadanya.80
80
Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār
Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 10, 268-269.
63
Menurut al-Ḥākim dalam al-Mustadrak, bahwa ( ) ditujukan
kepada Nabi Saw. yang berpaling dari Ibn Ummi Maktum yang saat itu ia datang
meminta petunjuk kepada beliau, sedangkan Nabi Saw. sedang bersama pembesar
orang-orang musyrik. Setelah peristiwa tersebut Nabi Saw. memuliakan Ibn
Ummi Maktum.81
Menurut riwayat dari al-Imām al-Ṣādiq bahwa ayat tersebut
ditujukan (yang bermuka masam) kepada seorang laki-laki dari Banī Umayyah82
yang saat itu sedang bersama Nabi Saw. dan kemudian Ibn Ummi Maktum datang
menghampiri Nabi Saw. untuk belajar Islam.83
Kemudian ada yang berpendapat bahwa ketika Rasulullah Saw. tengah
mengajari mereka (pembesar Quraisy), Ibn Ummi Maktum, seorang buta dan
termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. datang kepadanya.
Kemudian Nabi Saw. menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan
tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Namun, Nabi Saw. tidak
menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di
tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy. Karena Ibn Ummi Maktum
miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka
penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad
Saw. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka
sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi
Muhammad Saw. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayyah (yakni
ʻUtsmān b. ʻAffān) bermuka masam dan berpaling kepadanya. Perbuatan
81
Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb Nuzūl al-Qurʼān (Beirūt: Dār al-Kutub
al-ʻIlmiyah, 1991), Cet. 1, 471-472. 82
Seperti ʻUtbah b. Rabīʻah, Abā Jahal bʼ Hisyām, al-ʻAbbās b. ʻAbd al-Muṭalib, Ubay
dan Umayyah b. Khalaf. 83
Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan al-Ṭūsī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān (Beirūt: Dār
Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt), J. 10, 268-269.
64
pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah Swt. dan turunlah surah ʻAbasa.84
Para Nabi Ulul Azmi berada dalam derajat yang lebih tinggi dari
kemaksuman para Nabi lainnya. Derajat Nabi yang lebih rendah dari para Nabi
yang derajatnya lebih tinggi akan memandang dirinya pendosa dibandingkan
dengannya, padahal pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun mengerjakan dosa
karena sama-sama maksum.85
Maka perbuatan khilāf al-aulá dan khilāf afḍal
(tidak sesuai dengan yang lebih utama) dianggap sebagai kurang sempurna,
berdasarkan ungkapan ahli tasawuf: “Ḥasanāt al-Abrār sayyiāt al-Muqarrabīn.”
artinya “Kebajikan orang-orang yang baik kedudukannya sama dengan kejelekan
orang-orang yang dekat kepada Allah Swt.”86
Menurut al-Ghazālī bahwa derajat Nabi Muhammad Saw. selalu
meningkat. Setiap kali beliau naik derajat maka beliau selalu melihat derajat yang
sebelumnya, dan beliau akan beristighfar atas derajat yang lebih rendah itu. Al-
Muhasiby juga berpendapat bahwa para Nabi beristighfar karena
ketidaksempurnaannya dalam menjalankan tugasnya, bukan karena dosa yang
mereka lakukan.87
84
ʻAbd ʻAlī b. Jumʻah ʻArūsi al-Ḥuwayzī, Tafsir Nur al-Tsaqalayn (Intisyārāt
Ismāʻiliyān, tt), 508. 85
Di akses pada 9 Juli 2015 dari
http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/
prophethood/kesucian_para_nabi/001.html 86
Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūnī, al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ (Beirūt: Maktabat al-Ghazālī,
1975), J. 3, 85-86. Lihat juga Muḥammas Ḥusayn al-Ṭabāṭabāī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān
(Beirūt: al-Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997), J. 18, 260. 87
M. Abdul Khaliq Hasan, The Power Of Tobat (Solo: Tiga Serangkai, 2009), 88.
65
D. Perbincangan Ulama Mengenai Kualitas Hadis-hadis Kemaksuman
Nabi Muhammad Saw.
Saya mencoba memaparkan beberapa komentar ulama mengenai dua hadis
di atas yang menjadi pokok pembahasan, berikut penjelasannya pada halaman
berikut:
Hadis Pertama:
88
“Telah menceritakan kepadaku Maḥmūd telah menceritakan kepada kami
ʻAbdal-Razāq berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah
mengabarkan kepadaku ʻAmrū b. Dīnār dia mendengar Jābir b. ʻAbdullah
radliallahu ʻanhumā berkata; Ketika Kaʻbah diperbaiki Nabi Saw. dan al-ʻAbbās
mengangkut bebatuan. Saat itu al-ʻAbbās berkata kepada Nabi Saw.: “Ikatlah
kain sarungmu pada lehermu karena dapat melindungimu dari bebatuan”. Tiba-
tiba beliau tersungkur ke tanah dengan kedua matanya terbelalak menengadah ke
langit. Kemudian beliau sadar dan berkata: “sarungku, sarungku”. Kemudian
beliau mengikatkan kain sarungnya kembali (dengan kuat).”
Menurut Ibn Rajab al-Ḥanbalī bahwa hadis ini sanadnya murni/jelas,
mereka mendengarkan dari awal hingga akhir. Ada yang mengatakan hadis ini
Mursal Ṣaḥābī, karena Jābir b. ʻAbdullah tidak hadir dalam kisah ini, mungkin ia
mendengarkan dari Nabi Saw. atau dari Sahabat senior lain yang ikut hadir pada
peristiwa itu. Apabila Jābir b. ʻAbdullah mendengarkan langsung dari Nabi Saw.
88
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 56. (no. hadis 364,
1582, dan 3829). Lihat juga Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165.
66
maka hadis ini muttaṣil (bersambung). Menurutnya Nabi Saw. menceritakan kisah
tersebut sudah lewat bertahun-tahun dan mungkin hal ini dapat menjadi saksi ke
dalam al-Ittiṣal (bersambung), dan selama menceritakan kisah tersebut tidak
sampai pada zamannya maka hadis tersebut mursal.89
Hadis Kedua:
90
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyá b. Yaḥyá dan Yaḥyá b. Ayyūb
dan Qutaybah dan Ibn Ḥujr. Yaḥyá b. Yaḥyá berkata; telah mengabarkan kepada
kami sedangkan yang lainnya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismaʻīl
yaitu Ibn Jaʻfar dari Muḥammad b. Abū Ḥarmalah dari ʻAṭāʼ dan Sulaymān -
kedua anak Yasār dan Abū Salamah b. ʻAbd al-Raḥmān bahwa ʻĀisyah berkata;
„Pada suatu ketika, Rasulullah Saw. sedang berbaring di rumahku (ʻĀisyah)
dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama
kemudian, Abū Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah
beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi beliau
tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Lalu ʻUmar b.
Khaṭṭab datang dan meminta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam
rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk dalam kondisi
beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal).
89
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Fatḥ al-Bārī fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Madīnat al-
Munawwarah: al-Ghurabāʼ al-Atsariyah, 1996), J. 2, 380. 90
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 445. (no. hadis 2401).
Sanadnya Ḥasan, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), J. 17,
299-300.
67
Kemudian ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk
ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkan untuk masuk
seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan pakaiannya. Rasulullah
bersabda; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang sama. Lalu ʻUtsmān
masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai hal. Setelah
ʻUtsmān keluar dari rumah, ʻĀisyah bertanva; “Ya Rasulullah, tadi ketika Abū
Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya.
Kemudian ketika ʻUmar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan
biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan masuk ke
rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan langsung mengambil
posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau. Sebenarnya ada apa dengan
hal ini semua ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Hai ʻĀisyah, bagaimana
mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang para malaikat saja
merasa malu kepadanya.”
Menurut al-Bānī hadis ini sanadnya ṣaḥīḥ.91
Kemudian al-Nawawī dalam
Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim mengatakan bahwa hadis riwayat ʻĀisyah tidak mengandung
hujjah (dalil) kalau paha bukanlah aurat, karena terdapat keraguan bagian paha
atau betis yang tersingkap.92
Al-Ṭabarī mengatakan bahwa sejumlah khabar yang
diriwayatkan dari Nabi Saw. yang menyebutkan Abū Bakar dan ʻUmar masuk
menemui Nabi Saw. ketika paha Nabi Saw. dalam keadaan tersingkap, hukumnya
lemah dan tidak dapat dijadikan dalil.93
Berbeda dengan al-Qurṭubī, menurut
beliau hadis riwayat ʻĀisyah ini menunjukkan adanya ketetapan Nabi Saw.
membuka paha hingga menampakkan kepada Abū Bakar dan ʻUmar. Ini
menunjukkan ada pendalilan bahwa paha bukan termasuk aurat.94
91
Al-Bānī, Ṣaḥīḥ al-Adab al-Mufrad lil-Imam al-Bukhārī (al-ʻArabiyah: al-Dalīl, 1997),
Cet. 4, 225. Lihat juga Ibn Salāmah al-Ṭaḥāwī, Syarḥ Musykil al-Ātsār (Beirūt: Muʼassasah al-
Risālah, 1994), Cet. 1, J. 4, 399. 92
Al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ( Muʼass,1994), Cet. 2, J. 15, 240-241. 93
Badr al-Din Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār al-
ʻIlmiyyah, 2001), J. 4, 121. 94
Muḥammad al-ʼAmīn b. ʻAbdullah al-ʼUrmī, al-Kawkab al-Wahhāj wal-Rawḍ al-
Bahhāj fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ( Jeddah: Dār al-Minhāj, 2009), Cet. 1, J. 23, 420.
68
Kemudian dikuatkan pada peristiwa perang Khaybar:
—95
“Telah menceritakan kepada kami Yaʻqūb b. Ibrāhīm berkata, telah
menceritakan kepada kami Imāʻīl b. ʻUlayyah berkata, telah menceritakan
kepada kami ʻAbd al-ʻAzīz b. Ṣuhayb dari Anas b. Mālik bahwa Rasulullah Saw.
berperang di Khaybar. Maka kami melaksanakan shalat subuh di sana di hari
yang asih sangat gelap, lalu Nabi Saw. dan Abū Ṭalḥaḥ mengendarai
tunggangannya, sementara aku memboncenmg Abū Ṭalḥaḥ. Nabi Saw. lalu
melewati jalan sempit di Khaybar dan saat itu sungguh lututku menyentuh paha
Nabi Saw. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat
melihat paha Nabi Saw. yang putih.”—
Peristiwa perang Khaibar ini menunjukkan bahwa paha itu bukan aurat,
dan terdapat tiga maksud:
1. Lutut Anas menyentuh paha Nabi Saw. yang tidak dapat dipungkiri. Ini
menunjukkan bahwa paha bersentuhan dengan lutut, jika paha itu merupakan
bagian dari aurat maka peristiwa tersebut tidak boleh terjadi.
2. Izār yang dikenakan Nabi Saw. tersingkap sehingga Anas melihat putihnya
paha Nabi Saw. Hal ini sama saja dengan maksud Nabi Saw. adanya
kesengajaan agar leluasa mengendarai tunggangannya. Kalaupun izār itu
tersingkap tanpa sengaja, Nabi Saw. pun tidak tergesa-gesa pada saat pahanya
tersingkap dan tidak menutup kembali izār-nya.96
95
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Qāhirah: Dār ibn al-Jawzī, 2010), 56-57. Lihat juga
Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 169. 96
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Fatḥ al-Bārī fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Madīnat al-
Munawwarah: al-Ghurabāʼ al-Atsariyah, 1996), J. 2, 410.
69
3. Jika paha itu sebagai aurat maka Nabi Saw. wajib menutup pahanya yang
tersingkap dan tidak memperkenankan pahanya tersingkap pada saat
kedatangan Abū Bakar dan ʻUmar menemui Nabi Saw. Menurut al-ʻAwzāʻī
bahwa adakalanya paha itu aurat dan adakalnya paha itu bukan aurat yaitu
ketika berada di kamar mandi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak
mampu memaksakan paha sebagai aurat, meskipun mereka memerintahkan
untuk menutupnya.97
Adapun beberapa ulama yang berpendapat bahwa paha itu termasuk aurat,
salah satunya menggunakan hadis di bawah ini;
98
“Telah menceritakan kepada kami Ḥusayn b. Muḥammad berkata; telah
menceritakan kepada kami Ibn Abū al-Zinād dari Bapaknya dari Zurʻah b. ʻAbd
al-Raḥmān b. Jarhad dari Jarhad kakeknya dan beberapa orang Aslam selainnya
yang bisa dipertanggungjawabkan, Rasulullah Saw. melewati Jarhad dan paha
Jarhad tersingkap di halaman masjid. Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya,
“Wahai Jarhad tutuplah pahamu. paha itu aurat.”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa paha itu aurat, seperti Mālik, al-
Tsawrī, Abū Ḥanīfah, al-Awzāʻī, dan Imam Aḥmad, mereka merujuk pada hadis
Jarhad. Sebagian ulama lain yang berpendapat bahwa paha itu bukan aurat, seperti
97
Ibn Baṭāl, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (al-Riyāḍ: al-Rusyd, tt), J. 2, 33. 98
Hadis dari Jarhad, sanadnya Ṣaḥīḥ (15875) sedangkan (no hadis 15869-15876 sanadnya
ḥasan), lihat Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995), Cet. 1, J. 12, 378.
Lihat juga (dari Muḥammad b. Jaḥsy, no. hadis 22393-22394), J. 16, 325-326. Lihat juga Sunan al-
Dārimī (kitab al-Istʼdhān bab 22), J. 2, 364-365. Lihat juga Sunan Abī Dāwud (Beirūt: Dār al-
Risālah al-ʻĀlamiyah, 2009), J. 6. 131. Lihat juga Sunan al-Tirmidhī (Beirūt: Dār al-Fikr, 2005),
796-797. (no hadis 2804 dan 2805 sanadnya ḥasan sedangkan no hadis 2806 dan 2807 sanadnya
ḥasan gharīb).
70
Ibn Abī Dhiʼbi, Ismāʻīl b. ʻUlyah, Dāwud al-Ẓāhirī, Ibn Jarīr al-Ṭabarī, dan Abū
Saʻīd al-Iṣṭakhrī dari ulama al-Syāfiʻiyyah, mereka merujuk pada hadis Anas dan
ʻĀisyah.99
Menurut Ibn Ḥazm bahwa aurat wajib tertutup dari penglihatan sesorang.
Pada saat melakukan salat laki-laki yang wajib tertutup ialah bagian kemaluan dan
dubur. Adapun bagian paha tidak termasuk aurat dan untuk batasan perempuan
ialah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan saja. Maka yang
benar paha laki-laki bukan termasuk aurat, jika paha merupakan bagian aurat
maka Allah Swt. tidak akan memperlihatkan aurat Nabi Saw. kepada orang-orang
(Anas, Abū Bakar, dan ʻUmar) pada saat setelah kenabian dan mengemban
risalah. Oleh karena itu, Allah Swt. menjaga dan melindungi Nabi Saw. dari
terbukanya aurat, karena beliau adalah Rasul yang maksum dari sebelum
kenabian.100
Prinsip dasarnya adalah bahwa jika kedua riwayat di dalam hukum, salah
satu dari hadis tersebut lebih Ṣaḥīḥ dari hadis lainnya maka yang diamalkan hadis
yang lebih Ṣaḥīḥ. Dari kedua hadis tersebut, hadis Anas lebih Ṣaḥīḥ daripada
hadis Jarhad. Menurut al-Bukhārī bahwa hadis Anas lebih Asnad dalam arti lebih
kuat dan lebih baik sanadnya dibanding dengan hadis Jarhad. Adapun yang
mengamalkan hadis Jarhad ini lebih berhati-hati dan menjaga diri dalam urusan
agama, lebih dekat kepada taqwa dan lebih memilih keluar dari perbedaan
99
Badr al-Din Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār al-
ʻIlmiyyah, 2001), J. 4, 119-120. 100
Ibn Ḥazm, al-Muḥallá (Mesir, tt), J. 3, 210-211.
71
pandangan para ulama.101
Seolah-olah Imam al-Bukhārī menyatakan hadits-hadits
yang ṣaḥīḥ menujukkan bahwa paha bukan termasuk aurat lantaran paha Nabi
Saw. pernah terlihat, padahal Nabi Saw. adalah manusia yang paling pemalu.
Kalau seandainya paha adalah aurat tentu Nabi Saw. tidak akan
memperlihatkannya. Menurut Ibn ʻUtsaymīn bahwa paha bukan termasuk aurat
kecuali apabila dikhawatirkan muncul fitnah dengan ditampakkanya paha
tersebut. Dalam kondisi ini maka wajib tertutup, seperti misalnya paha para
pemuda.102
Disimpulkkan bahwa jika paha itu bagian dari aurat maka Allah Swt.
melindungi dan menjaga Nabi Saw. dari terbukanya aurat dan terhindar dari
penglihatan seseorang, pada kenyataannya paha Nabi Saw. tetap terbuka dan ini
menunjukkan bahwa paha bukan dari bagian aurat. Adapun keterangan yang
menyebut paha sebagai aurat, hanya untuk menekankan anjuran untuk menutup
paha karena dekat dengan aurat dan sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga
aurat.
101
Badr al-Dīn Abī Muḥammad, ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirūt: Dār al-
ʻIlmīyah, 2001), J. 4, 119. 102
Muḥammad b. Ṣāliḥ al-ʻUtsaymīn, Majmūʻ al-Fatāwá wa Rasāil (al-Riyāḍ: Dār al-
Syuriyā, ṣ1998), Cet. 1, J. 12, 265-266.
72
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, setelah melakukan penelitian terhadap dua hadis yang
diduga menunjukkan ketidakmaksuman Nabi Muhammad Saw. yaitu dari segi
matan, maka saya dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kualitas dua hadis yang diduga menunjukkan ketidakmaksuman Nabi
Muhammad Saw. setelah saya teliti, keduanya berkualitas ṣaḥīḥ dan kemudian
saya kurang sependapat dengan pernyataan “Sahihnya sanad tidak menjamin
sahihnya matan”. Menurut saya pernyataan ini tidak secara mutlak dan saya
ingin menegaskan bahwa sahihnya sanad menjamin sahihnya matan.
2. Nabi Muhammad Saw. maksum dari sebelum dan sesudah kenabian.
B. Saran-Saran
Dalam penelitian skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan, misal:
minimnya buku referensi yang dijadikan sebagai acuan serta penulis kurang
menjelaskan secara mendetail terkait dengan kualitas hadis-hadis kemaksuman
Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, saya berharap dalam penelitian
selanjutnya, bisa dan mampu melengkapi kekurangan-kekurangan isi skripsi ini.
Sehingga dapat memberikan wawasan dan pandangan lebih luas dan detail dalam
mengkaji kemaksuman Nabi Muhammad Saw.
73
DAFTAR PUSTAKA
al-Anṣārī, Abū Yaḥyá Zakariyā. Manḥat al-Bārī bisyarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. al-
Riyāḍ: Maktabah Rusyd, 2005.
al-Aṣfahānī, Al-Rāghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm. Beirūt: Dār al-Kutub
al-ʻIlmīyah, 2004.
al-ʻAsqalānī, Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bārī. Penerjemah Amiruddin. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2003.
al-ʻAsqalānī, Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bārī. al-Riyāḍ: Maktabat al-Mulk, 2001.
al-Asyqar. ʻUmar Sulaymān Rasul dan Risalah. Penerjemah Munir F. Ridwan.
International Islamic Publishing House, 2008.
ʻĀsyūr, Ibn. Tafsīr al-Taḥrīr wal-Tanwīr. Tūnis: Dār al-Tūnisīyah, 1984.
Awang, Abdul Hadi. Beriman kepada Rasul. Selangor: PTS Islamika, 2007.
al-Azharī, Ṣāliḥ ʻAbd al-Samīʻ al-Ābī. al-Tsamr al-Dānī. Tp, tt.
al-Baḥrānī, Maytsam. Qawāʻid al-Marām fī ʻIlm al-Kalām, Cet. 2. Maktabat
Āyatullah al-ʻAẓamī, 1998.
al-Bānī. Ṣaḥīḥ al-Adab al-Mufrad lil-Imam al-Bukhārī, Cet. 4. al-ʻArabiyah: al-
Dalīl, 1997.
al-Baraq, Abduh. Bukan Dosa Ternyata Dosa. Yogyakarta: Pustaka Grhatama,
2010.
Baṭāl, Ibn. Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. al-Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd, tt.
al-Bayhaqī. Dalāil al-Nubuwwah. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1988.
al-Bukhārī. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. al-Qāhirah: Dār Ibn al-Jauzī, 2010.
al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, J. 3. Bairūt: Dār al-Fikr, 1994.
al-Buthy, Fikih Sirah. Penerjemah Fuad Syaifudin Nur, Cet. 1. Jakarta: Hikmah
PT Mizan Publika, 2010.
Fāris, Ibn. Muʻjam Maqāyīs fī al-Lughah, Cet. 1. Beirūt: Dār al-Fikr, 1994.
Fatḥ al-Raḥmān Liṭālib Āyāt al-Qur’ān.
74
Fathurahman, dan Komarudin b. Mikam. Surga Untuk Sahabat Sepuluh Orang
Pilihan Allah Swt. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
al-Ghazālī, Muḥammad. Fiqh al-Sīrah, Cet. 6. Beirūt: Dār al-Kutub, 1965.
Haekal, Muhammad Husain. Biografi ʻUmar bin Khattab RA. Penerjemah Ali
Audah, Cet. 3. Bogor: Litera Antar Nusa, 2002.
al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an, Cet. 2. Jakarta: Amzah, 2006.
al-Ḥanafi, Ibn Ḥamzah al-Ḥusaynī. al-Bayān wal-Taʻrīf fī Asbāb al-Wurūd al-
Ḥadīts al-Syarīf. Penerjemah M. Suwarta Wijaya. Jakarta: Kalam Mulia,
2002.
al-Ḥanbalī, Ibn Rajab. Fatḥ al-Bārī fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Madīnat al-
Munawwarah: al-Ghurabāʼ al-Atsariyah, 1996.
Ḥanbal, Aḥmad Ibn. al-Musnad. al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995.
Hasan, M. Abdul Khaliq. The Power Of Tobat. Solo: Tiga Serangkai, 2009.
Hawa, Said. al-Rasul Saw. Penerjemah ʻAbd al-Hayyī al-Kattānī dkk. Jakarta:
Gema Insani Press, 2003.
Ḥazm, Ibn. al-Muḥallá. Mesir, tt.
Hisyām, Ibn. Sīrah Nabawiyah, Cet. 2. Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 2009.
al-Ḥuwayzī, ʻAbd ʻAlī b. Jumʻah ʻArūsi. Tafsir Nur al-Tsaqalayn. Intisyārāt
Ismāʻiliyān, tt.
al-Iṣbahānī, Abū Nuʻaym. Dalāil al-Nubuwwah, Cet. 2. Beirūt: Dār al-Nafāis,
1986.
Isḥāq, Ibn. (taḥqīq dan sharḥ: Ibn Hishām), Sirah Nabawiyah. Penerjemah H.
Samson Rahman Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2012.
Jamhari, dkk. Pedoman Akademik; Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011.
al-Ḥamīdān, ʻIṣām b. ʻAbd al-Muḥsin. al-Ṣaḥīḥ min Asbāb al-Nuẓūl, Cet. 1
Beirūt: Muʼassasah al-Riyān, 1999.
al-Jawzī, Ibn. Kasyf al-Musykil min Ḥadīts al-Ṣaḥīḥaynī. al-Riyāḍ: Dār al-Waṭan,
1997.
al-Jurjānī, ʻAlī b. Muḥammad. Syarḥ al-Mawāqif, J. 8. Beirūt: Dār al-Kutub al-
ʻIlmīyah, 1998.
75
Kamaruddin, Wan Zailan. Siapa Itu Nabi-Nabi. Kuala Lumpur: PTS Millennia
SDN, 2004.
al-Karazkani, Ibrahim. Taman Orang-orang yang Bertaubat. Penerjemah Tim
Hawra. Jakarta: Pustaka Zahra, 2005.
Katsīr, Ibn. Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAẓīm, Cet. 2. al-Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1999.
Khalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, Cet. 1. Jakarta:
Gema Insani Press, 2001.
al-Kirmānī. al-Kawākib al-Durārī fi Syarḥ al-Bukhārī. Beirūt: Dār Iḥyāʼ al-Turāts
al-ʻArabī, 1981.
al-Mālikī, ʻAlī b. Khalaf al-Manūfī. Kifāyat al-Ṭālib al-Rabbānī. al-Qāhirah: Dār
al-Madanī, 1989.
Manẓūr, Ibn. Lisān al-ʻArab. Beirūt: Dār al-Fikr, 1990.
Masyitoh, Siti. “Kualitas Hadis-hadis Dalam Tafsir al-Azhar; Studi Kritik Matan
Hadis Dalam Surah Yāsīn.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2010.
al-Mubārakfūrī, Ṣafiy al-Raḥmān. Minnat al-Munʻim fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. al-
Riyaḍ: Dār al-Salām, 1999.
Muḥammad, Badr al-Dīn Abī. ʻUmdat al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirūt:
Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 2001.
Murad, Musthafa. Kisah Hidup ʻUtsman bin ʻAffan. Penerjemah Khalifurrahman
Fath. Jakarta: Zaman, 2009.
al-Murtaḍá. Tanzīh al-Anbiyāʼ Qum: Amīr, 1955.
Muslim. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirūt: Dār al-Fikr, 2009.
Mustari, M. Ismail. Menjadi Belia Cemerlang. Kuala Lumpur: PTS Professional
Publishing, 2005.
al-Nabhānī, Taqiy al-Dīn. al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah, J. 1. Beirūt: Dār al-
Ummah, 2003.
al-Nawawī. Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Cet. 2. Muʼass,1994.
al-Qaraḍāwī, Yūsuf. Kayfa Nataʻāmal maʻa al-Sunnah al-Nabawiyah. al-Qāhirah:
Dār al-Syurūq, 2002.
Qayyim, Ibn. Tahdhīb al-Sunan, Cet. 1. al-Riyāḍ: al-Maʻrif, 2007.
76
Qudāmah, Ibn. al-Mughnī, Cet. 3. al-Riyāḍ: Dār ʻĀlam al-Kutub, 1997.
Qutaybah, Ibn. Taʼwīl Mukhtalif al-Ḥadīts. al-Qāhirah: Dār Ibn ʻAffān, 2009.
al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. ʻIṣmat al-Anbiyāʼ. Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmīyah, 1986.
al-Raḥmān, Maḥmūd ʻAbd. al-Muṣṭalaḥāt wal-Alfāẓ al-Fiqhīyah. al-Qāhirah: Dār
al-Faḍīlah, tt.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Almaʻrif, 1974.
Ridwan, Ahmad. “Konsep Kenabian Menurut Mazhab Asy'ary” Skripsi S1
Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009.
al-Ṣābūnī, Muḥammad ʻAlī. al-Nubuwwah wal-Anbiyāʼ, J. 3. Beirūt: Maktabat al-
Ghazālī, 1975.
Ṣalāḥ, Ibn. Muqadimah Ibn Ṣalāḥ fī ʻUlūm al-Ḥadīts. Beirūt: Dār al-Kutub al-
ʻIlmīyah, 1989.
Saputro, Thoha. Kritik Matan Hadis. “Studi Komparatif Pemikiran Ibn Qayyim
al-Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
al-Subḥānī, Jaʻfar. ʻIṣmat al-Anbiyāʼ fī al-Qur’ān al-Karīm, Cet. 2. Beirūt: Dār al-
Walāʼ, 2004.
al-Sulamī, Muḥammad b Ṣāmil. Ṣaḥīḥ al-Ātsar waJamīl al-ʻIbar min Sīrat Khayr
al-Basyar. Jeddah: Maktabat Rawāiʻ al-Mamlakah, 2010.
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. al-Durr al-Mantsūr fi Tafsīr al-Qur’ān, Cet. 1. al-
Qāhirah, 2003.
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. Asbāb al-Nuzūl al-Musammá Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-
Nuzūl, Cet. 1. Beirūt: Muʼassasah al-Kutub al-Tsaqāfiyah, 2002.
al-Syarbinī. Radd Syubuhāt Ḥawl ʻIṣmat al-Nabī fī Ḍawʼ al-Kitāb wal-Sunnah.
al-Qāhirah: Dār al-Ṣaḥīfah, 2003.
al-Syarqawi, Muhammad ʻAbd al-Hamid dan Muhammad Raja'I al-Thahlawi.
Kaʻbah Rahasia Kiblat Dunia. Penerjemah Luqman Junaidi dan
Khalifurrahman Fath. Jakarta: Hikmah, 2009.
al-Syaybānī, Aḥmad b. ʻAmrū b. al-Ḍaḥāk Abū Bakar. al-Āḥād wal-Matsānī (al-
Riyaḍ: Dār al-Rāyah, 1991.
77
Syuhudi, M. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1994.
al-Ṭabāṭabāī, Muḥammas Ḥusayn. al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān. Beirūt: al-
Muʼassasah al-Aʻlamī lil-Maṭbūʻāt, 1997.
al-Ṭaḥāwī, Ibn Salāmah. Syarḥ Musykil al-Ātsār, Cet. 1. Beirūt: Muʼassasah al-
Risālah, 1994.
Ṭanṭāwī, Muḥammad Sayyīd. al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur’ān al-Karīm, Cet. 2.
1988.
al-Tharabilisiy, Husein Afandiy al-Jisr. Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam
Perspektif Ahlussunnah Waljamaah). Penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaaf.
Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
al-Ṭūsī, Abī Jaʻfar Muḥammad b. al-Ḥasan. al-Tibyān fī Tafsīr al-Qurʼān. Beirūt:
Dār Iḥyāʼ al-Turāts al-ʻArabī, tt.
ʻUmar, Aḥmad Mukhtar. Muʻjam al-Lughah al-ʻArabiyah al-Muʻāṣirah. al-
Qāhirah: Ālim al-Kutub, 2008.
al-ʼUrmī, Muḥammad al-ʼAmīn b. ʻAbdullah. al-Kawkab al-Wahhāj wal-Rawḍ
al-Bahhāj fi Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Cet. 1. Jeddah: Dār al-Minhāj, 2009.
al-ʻUtsaymīn, Muḥammad b. Ṣāliḥ. Majmūʻ al-Fatāwá wa Rasāil, Cet. 1. al-
Riyāḍ: Dār al-Syuriyā, 1998.
al-Wādiʻī , Muqbil b. Hādī. al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb al-Nuzūl, Cet. 2. al-
Yaman: Maktabah Ṣanaʻāʼ al-Atsariyah, 2004.
Warman, Adithia. “Konsep Ishmah Para Nabi Menurut Imam Fakhr al-Dīn al-
Razi.” Skripsi S1 Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2010.
al-Wāḥidī, Abī al-Ḥasan ʻAlī b. Aḥmad. Asbāb Nuzūl al-Qurʼān, Cet. 1. Beirūt:
Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1991.
Yāsīn, Māhir. Muḥāḍarāt fi ʻUlum al-Ḥadīts. al-Qāhirah: Dār Majid al-Islām,
2009.
Yusfik, Muhammad. “Kenabian Muhammad Saw. Menurut Al-Qur’an: Kajian
Tematik tentang Misi Kenabian Muhammad Saw.” Tesis S2 Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2005.
Yūsuf, Abū al-Maḥāsin. al-Muʻtaṣar min al-Mukhtaṣar Masykal al-Ātsār. Beirūt:
ʻĀlim al-Kutub, tt.
78
Artikel diakses pada 19 Juli 2014 dari http://www.alhassanain.com/indonesian/
articles/articles/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/prophethood/ke
maksuman_nabi/001.html
Artikel diakses pada 18 juni 2015 dari
http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/beliefs_library/fun
damentals_of_Religion/prophethood/kesucian_para_nabi/001.html
79
Lampiran 1: Hadis Peristiwa Renovasi Kaʻbah.
25 (")
1
“Telah menceritakan kepadaku Maḥmūd telah menceritakan kepada kami
ʻAbd al-Razzāq berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn Jurayj berkata, telah
mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār dia mendengar Jābir b. Abdullah
raḍiyallahu ʻanhumā berkata; “Ketika Kaʻbah diperbaiki, Nabi dan al-ʻAbbās
pergi untuk mengangkat bebatuan. Saat itu al-ʻAbbās berkata kepada Nabi:
“Ikatlah kain sarungmu pada lehermu karena dapat melindungimu dari
bebatuan”. Tiba-tiba beliau tersungkur ke tanah dengan kedua matanya
terbelalak menengadah ke langit. Kemudian beliau sadar dan berkata:
“sarungku, sarungku”. Kemudian beliau mengikatkan kain sarungnya kembali.”
- 42 (")
2
“Telah menceritakan kepada kami ʻAbdullah b. Muḥammad telah
menceritakan kepada kami Abū ʻĀṣim berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibn
Jurayj berkata, telah mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār berkata; Aku
mendengar Jābir b. ʻAbdullah raḍiyallahu ʻanhumā berkata: “Ketika Kaʻbah
diperbaiki, Nabi dan al-ʻAbbās pergi untuk mengangkat bebatuan, saat itu al-
ʻAbbās berkata kepada Nabi: “Ikatlah kain sarungmu pada lehermu”. Tiba-tiba
beliau tersungkur ke tanah lalu kedua matanya terbelalak menengadah ke arah
langit. Lalu beliau berkata: “Berikanlah kain sarungku”. Kemudian beliau
mengikatnya kembali dengan kuat.”
1 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), h. 56. (no. Hadis 3829).
2 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), h. 190. (no. Hadis
1582).
80
- 8 (")
3
“Telah menceritakan kepada kami Maṭar b. al-Faḍl berkata, telah
menceritakan kepada kami Rawḥ berkata, telah menceritakan kepada kami
Zakariyāʼ b. Isḥāq telah menceritakan kepada kami ʻAmru b. Dīnār berkata, aku
mendengar Jābir b. ʻAbdullah menceritakan bahwa Rasulullah bersama orang-
orang Quraisy memindahkan batu Kaʻbah, sementara saat itu beliau mengenakan
kain lebar.” Pamannya, al-ʻAbbās, lalu berkata kepadanya, “Wahai anak
saudaraku, seandainya kainmu engkau letakkan pada pundakmu tentu batu akan
lebih ringan. Maka beliau lepas dan dipakaikannya di pundaknya, tiba-tiba beliau
terjatuh dan pingsan. Setelah peristiwa itu tidak pernah Nabi terlihat telanjang.”
- 76 "
“Dan telah menceritakan kepada kami Isḥaq b. Ibrāhīm al-Hanẓaly dan
Muḥammad b. Ḥātim b. Maymūn semuanya meriwayatkan dari Muḥammad b.
Bakr dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibn Jurayj --lewat jalur
periwayatan lain-- dan telah menceritakan kepada kami Isḥaq b. Manṣūr dan
Muḥammad b. Rāfiʻ dan lafazh tersebut milik keduanya. Ishaq berkata, telah
mengabarkan kepada kami sedangkan Ibn Rāfiʻ berkata, telah menceritakan
kepada kami ʻAbd al-Razzāq telah mengabarkan kepada kami Ibn Jurayj telah
mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār bahwa dia mendengar Jābir b. ʻAbdullah
dia berkata, “Ketika Kaʻbah diperbaiki, Nabi bersama al-ʻAbbās pergi untuk
mengangkat batu. Maka al-ʻAbbās berkata kepada Nabi: 'Ikatlah kainmu ke
3 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Qāhirah: Dār ibn al-Jauzī, 2010), h. 56. (no. Hadis 364).
81
bahumu untuk alas batu. Maka beliau melakukannya, lalu beliau jatuh tersungkur
lalu beliau kedua matanya terbelalak menengadah ke langit, kemudian berdiri
sambil berkata, „Kainku, kainku‟. Kemudian Beliau memakai kain tersebut.” Ibn
Rāfiʻ berkata dalam riwayatnya, “Ikattlah di atas lehermu” dan bukan berkata,
“Di atas pundakmu.”
- 77 "
4
“Dan telah menceritakan kepada kami Zuhayr b. Ḥarb telah menceritakan
kepada kami Rawḥ b. Ubādah telah menceritakan kepada kami Zakariyyāʼ b.
Isḥaq telah menceritakan kepada kami ʻAmru b. Dīnār dia berkata, saya
mendengar Jābir b. ʻAbdullah bercerita bahwa Rasulullah memindahkan batu
untuk Kaʻbah bersama orang-orang Quraisy, dan beliau dalam keadaan memakai
sarung, maka al-ʻAbbās, pamannya berkata kepadanya, „Wahai anak saudaraku,
kalau seandainya kamu berkenan melepas sarungmu dan meletakkannya di atas
tengkukmu di bawah batu‟.” Perawi berkata, “Lalu beliau melepaskann dan
meletakkannya di atas bahunya. Lalu beliau jatuh pingsan. Dia berkata, “Setelah
itu beliau tak pernah lagi tampak telanjang.”
-2954.
5
Telah bercerita kepada kami ʻAbd al-Razzāq telah menghabarkan kepada
kami Ibn Jurayj telah menghabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār dia telah
mendengar Jābir b. ʻAbdullah berkata; “Tatkala Kaʻbah dibangun, Nabi dan al-
ʻAbbās pergi memindahkan batu, maka al-ʻAbbās berkata; “Ikatlah sarungmu di
lehermu untuk mengangkat batu, maka Nabi Saw. melakukannya dan terjatuhlah
ke tanah, mata beliau terbelalak menengadah ke langit kemudian berdiri dan
berkata: “Sarungku, sarungku” lalu sarung beliau dikencangkan kembali.”
4 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 1, 165.
5 Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 11.
82
-2954.
6
“Telah mencerikan kepada kami Muḥammad b. Bakr telah mengabarkan
kepada kami Ibn Jurayj telah mengabarkan kepadaku ʻAmru b. Dīnār berkata;
saya telah mendengar Jābir b. ʻAbdullah berkata; “Tatkala Kaʻbah diperbaiki,
al- ʻAbbās dan Nabi Saw. memindahkan batu. Al-ʻAbbās berkata kepada Nabi:
„Pakailah kainmu.‟ʻAbd al-Razzāq berkata dengan redaksi, “Dengan meletakkan
pada lehermu”, lalu beliau tersungkur ke tanah, kedua mata beliau terbelalak
menengadah ke langit, beliau bangkit dan bersabda: “Sarungku, sarungku.” Lalu
beliau berdiri dan mengencangkannya.”
-2954.
7
“Telah bercerita kepada kami Rawḥ telah bercerita kepada kami
Zakariyyāʼ b. Isḥāq telah bercerita kepada kami ʻAmru b. Dīnār saya telah
mendengar Jābir b. ʻAbdullah bercerita “Sesungguhnya Nabi Saw. bersama
orang-orang Quraisy memindahkan batu Kaʻbah dengan memakai sarung. Al-
ʻAbbās, pamannya berkata kepada Nabi: “Wahai anak saudaraku, alangkah
baiknya jika engkau lepaskan sarungmu dan engkau pakai pada kedua pundakmu
di bawah batu”. (Jābir b. ʻAbdullah) berkata; “lalu beliau melepas dan
meletakkan di pundaknya, seketika beliau terjatuh pingsan. Maka tidak pernah
terlihat auratnya semenjak hari itu.”
-2954.
6 Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 181.
7 Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 43.
83
8
Telah bercerita kepada kami Rawḥ telah bercerita kepada kami
Zakariyyāʼ b. Isḥāq telah bercerita kepada kami ʻAmru b. Dīnār, dia berkata
telah mendengar Jābir b. ʻAbdullah berkata “Sesungguhnya Nabi Saw. bersama
orang-orang Quraisy memindahkan batu Kaʻbah dengan memakai sarung. Al-
ʻAbbās, pamannya berkata kepada Nabi: “Wahai anak saudaraku, alangkah
baiknya jika engkau lepaskan sarungmu dan engkau pakai pada kedua pundakmu
di bawah batu”. (Jābir b. ʻAbdullah) berkata; “lalu beliau melepas dan
meletakkan di pundaknya, seketika beliau terjatuh pingsan. Maka tidak pernah
terlihat telanjang semenjak hari itu.”
Iʻtibar Sanad
Kegiatan iʻtibar merupakan upaya menghimpun semua sanad hadis yang
diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing periwayat. Kegiatan ini diperlukan guna
mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dengan jelas, dilihat dari ada atau
tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabiʻ atau shāhid
ialah adanya sumber pengambilan dari beberapa orang sahabat Nabi yang
berstatus sebagai pendukung. Melalui al-i‟tibar akan dapat diketahui apakah
sanad hadis yang diteliti memiliki mutabiʻ dan shāhid ataukah tidak.9 Dalam hal
ini diperlukan pembuatan skema untuk memperlihatkan secara jelas seluruh sanad
hadis yang diteliti.
Pada umumnya terdapat mutabiʻ qaṣīr (kurang sempurna), karena keikut
sertaan seorang periwayat hadis tersebut hanya pada sebagian sanad gurunya saja
sampai kepada seorang Sahabat Nabi.
Lihat skema pada halaman berukutnya;
8 Aḥmad b. Ḥanbal, al-Musnad (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), J. 5, 89-90.
9 M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 1992),
h. 51.
84
bhbhbbvjhvjhv
Lampiran 2: Hadis Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang
dengan Abū Bakar dan ʻUmar.
Skema H
adis 1
.
nn
85
Lampiran 2: Hadis Peristiwa Terbukanya Paha Nabi Saw. Saat Berbincang
dengan Abū Bakar dan ʻUmar.
- 26 "
10
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyá b. Yaḥyá dan Yaḥyá b Ayyūb
dan Qutaybah dan Ibn Ḥujr. Yaḥyá b. Yaḥyá berkata; Telah mengabarkan kepada
kami Sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Ismaʻīl
yaitu Ibn Jaʻfar dari Muḥammad b. Abī Ḥarmalah dari ʻAṭāʼ dan Sulaymān -
kedua anak Yasār dan Abī Salamah b. ʻAbd al-Raḥmān bahwa ʻĀisyah berkata;
„Pada suatu ketika, Nabi Saw. sedang berbaring di rumahku (ʻĀisyah) dengan
membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama, Abū Bakar
minta izin kepada Nabi Saw. untuk masuk. Maka Nabi Saw. pun mempersilahkan
untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang. Lalu
ʻUmar b. Khaṭṭab datang dan meminta izin kepada Nabi Saw. untuk masuk ke
dalam rumah. Maka Nabi Saw. pun mempersilahkannya masuk dalam kondisi
beliau tetap seperti itu dan terus berbincang. Lalu ʻUtsmān b. ʻAffān datang dan
meminta izin untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Nabi Saw. pun
mempersilahkannya seraya merubah posisi duduk dan membetulkan pakaiannya.
Nabi Saw. bersabda; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang sama. Lalu
ʻUtsmān masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai
hal. Setelah ʻUtsmān keluar dari rumah, ʻAisyah bertanya; “Ya Rasul, tadi ketika
Abū Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk
menyambutnya. Kemudian ketika ʻUmar datang dan masuk, engkaupun
menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika ʻUtsmān b. ʻAffān
datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan
mengambil posisi duduk dan memperbaiki pakaianmu. Rasul Saw. menjawab:
“Ya ʻĀisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang
10
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirūt: Dār al-Fikr, 2009), J. 2, 445. (no. hadis 2401).
86
para malaikat saja merasa malu kepadanya.”
-711.
.
11 "Telah menceritakan kepada kami Ḥajjāj, telah menceritakan kepada kami
Layts telah menceritakan kepadaku ʻUqayl dari Ibn Syihāb dari Yaḥyá b. Saʻīd b.
al-ʻĀṣ bahwa Saʻīd b. al-ʻĀṣ telah mengabarkan kepadanya, bahwa ʻĀisyah istri
Nabi Saw. dan ʻUtsmān keduanya telah bercerita kepadanya, bahwa Abū Bakar
meminta izin masuk kepada Rasul Saw. ketika beliau sedang berbaring di tempat
tidurnya dengan mengenakan mirṭ (jenis pakaian terbuat dari wol) milik ʻĀisyah,
kemudian beliau mengizinkan Abū Bakar dan beliau tetap dalam kondisi seperti
itu, maka Abū Bakar menyelesaikan keperluannya dengan beliau lalu pergi.
Kemudian datanglah ʻUmar meminta izin masuk dan beliau mengizinkannya
sementara beliau masih tetap pada kondisinya semula, maka ʻUmar
menyelesaikan keperluannya dengan beliau lalu pergi. ʻUtsmān berkata;
kemudian aku datang meminta izin masuk kemudian beliau duduk dan berkata
kepada ʻĀisyah; “Kumpulkanlah pakaianmu, lalu beliau menyelesaikan
11
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995),
J. 1, 384-385.
87
keperluanku dan akupun lalu pergi.” ʻĀisyah berkata; “Ya Rasul, mengapa aku
tidak melihat engkau terkejut terhadap Abū Bakar dan ʻUmar sebagaimana
engkau terkejut kepada ʻUtsmān?” Rasul Saw. menjawab; “ʻUtsmān adalah
seorang lelaki pemalu, dan aku khawatir dia tidak akan menyampaikan
keperluannya kepadaku, jika aku mengizinkannya sementara aku masih dalam
kondisi seperti itu.” Al-Layts berkata: “Para perawi mengatakan bahwa Rasul
Saw. berkata kepada ʻĀisyah: “Tidak malukah aku kepada orang yang para
Malaikat pun malu kepadanya.”
Telah menceritakan kepada kami Yaʻqūb, telah menceritakan kepada kami
bapakku dari Ṣāliḥ, Ibn Syihāb berkata; telah mengabarkan kepadaku Yaḥyá b.
Saʻīd b. al-ʻĀṣ bahwa Saʻīd b. al-ʻĀṣ telah mengabarkan kepadanya, bahwa
ʻUtsmān dan ʻĀisyah keduanya telah bercerita kepadanya, bahwa Abū Bakar
meminta izin masuk kepada Rasulullah Saw. sementara beliau dalam keadaan
berbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan kain mirṭ milik ʻĀisyah,
kemudian dia menyebutkan hadits yang semakna dengan hadits ʻUqayl.
-626
12 “Telah menceritakan kepada kami Marwān, dia berkata; Telah
menceritakan kepada kami ʻUbaydullah b. Yassār, dia berkata; Saya telah
mendengar ʻĀisyah bt. Ṭalḥah bercerita dari ʻĀisyah Umm al-Muʼminīn, bahwa
Rasul Saw. duduk dalam keadaan tersingkap pahanya. Lalu Abū Bakar mohon
izin untuk masuk dan beliau mengijinkannya sedang beliau masih dalam keadaan
seperti itu. Kemudian ʻUmar mohon ijin masuk dan beliau mengijinkannya
sedang beliau juga masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian ʻUtsmān mohon
ijin untuk masuk maka beliau menutupi pahanya dengan kainnya. Ketika mereka
telah berdiri dan pergi saya berkata; „Ya Rasul! Abū Bakar dan ʻUmar memohon
ijin masuk kepada engkau dan engkau mengijinkannya sedangkan engkau masih
dalam keadaan tersingkap pahanya, namun ketika ʻUtsmān datang memohon izin
masuk lantas engkau menutup paha engkau dengan kainmu, Maka Rasul Saw.
bersabda: “Ya ʻĀisyah! Apakah saya tidak malu dari seorang lelaki, demi Allah,
sesungguhnya Malaikat malu kepadanya.”
12
Sanadnya Ḥasan, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995),
J. 17, 299-300.
88
-1556.
13
“Telah menceritakan kepada kami Ḥajjāj, telah menceritakan kepada
kami Layts telah menceritakan kepadaku ʻUqayl dari Ibn Syihāb dari Yaḥyá b.
Saʻīd b. al-ʻĀṣ bahwa Saʻīd b. al-ʻĀṣ telah mengabarkan kepadanya, bahwa
ʻĀisyah istri Nabi Saw. dan ʻUtsmān, keduanya telah bercerita kepadanya, bahwa
Abū Bakar meminta izin masuk kepada Rasulullah Saw. ketika beliau sedang
berbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan mirṭ (jenis pakaian terbuat dari
wol) milik ʻĀisyah, kemudian beliau mengizinkan Abū Bakar dan beliau tetap
dalam kondisi seperti itu, maka Abū Bakar menyelesaikan keperluannya, lalu Abū
Bakar pergi. Kemudian datanglah ʻUmar meminta izin masuk dan beliau
mengizinkannya sementara beliau masih tetap pada kondisinya semula, maka
ʻUmar menyelesaikan keperluannya dan lalu pergi. ʻUtsmān berkata: kemudian
aku datang meminta izin masuk kemudian beliau duduk dan berkata kepada
ʻĀisyah; “Kumpulkanlah pakaianmu, “lalu beliau menyelesaikan keperluanku
dan akupun pergi.” ʻĀisyah berkata; “Ya Rasul, mengapa aku tidak melihat
engkau terkejut terhadap Abū Bakar dan ʻUmar sebagaimana engkau terkejut
kepada ʻUtsmān?” Rasul Saw. menjawab; “ʻUtsmān adalah seorang lelaki
pemalu, dan aku khawatir dia tidak akan menyampaikan keperluannya kepadaku,
jika aku mengizinkannya sementara aku masih dalam kondisi seperti itu.” Al-
Layts berkata; “Kebanyakan para perawi mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
13
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995),
J. 17, 544.
89
berkata kepada ʻĀisyah: “Tidak malukah kamu kepada orang yang para Malaikat
pun malu kepadanya?”
Telah menceritakan kepada kami ʻUtsmān b. ʻUmar, telah menceritakan
kepada kami Ibn Abī Dziʼbi dari al-Zuhrī dari Yaḥyá b. Saʻīd dari Saʻīd b. al-ʻĀs
dari ʻĀisyah bahwa Abū Bakar meminta izin masuk kepada Rasulullah Saw. dan
Nabi Saw. mengenakan mirṭ (jenis pakaian terbuat dari wol), kemudian dia
menyebutkan hadits yang semakna dengan hadits ʻUqayl.
-2886
14 “Telah menceritakan kepada kami ʻAbd al-Razzāq, dia berkata; telah
mengabarkan kepada kami Maʻmar dari Al-Zuhrī dari Yaḥyá b. Saʻīd b. ʻĀṣ dari
ayahnya dari ʻĀisyah berkata; “Abū Bakar meminta izin kepada Rasul Saw.
sedang saya bersama beliau dalam satu selimut, ʻĀisyah berkata; kemudian Nabi
Saw. mengizinkannya dan dia menyampaikan keperluannya kepada beliau sedang
beliau masih bersamaku dalam selimut. Lalu Abū Bakar keluar. Kemudian ʻUmar
meminta izin kepada beliau, dan beliau mengizinkannya dan dia menyampaikan
keperluannya kepada beliau setelah itu ʻUmar keluar. Kemudian ʻUstmān
meminta izin kepada Nabi Saw., beliau segera memperbaiki pakaiannya
kemudian beliau duduk lalu ʻUtsmān menyampaikan keperluannya, setelah itu
ʻUtsmān keluar. ʻĀisyah berkata; “Ya Rasul! Abū Bakar meminta izin dan dia
menyampaikan keperluannya kepadamu sedang engkau dalam keadaanmu seperti
itu., kemudian ʻUmar meminta izin kepadamu dan dia menyampaikan
keperluannya kepadamu dalam keadaanmu, lalu ʻUtsmān meminta izin kepadamu
maka seolah-olah engkau sangat menjaga penampilan. Beliau bersabda: “
ʻUstmān adalah orang yang sangat pemalu dan jika aku mengizinkannya dalam
keadaanku seperti itu, aku khawatir dia tidak bisa menyampaikan keperluannya
kepadaku.”
14
Sanadnya Ṣaḥīḥ, lihat al-Musnad, Aḥmad b. Ḥanbal (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīts, 1995),
J. 17, 572-573.
90
I’tibar Sanad
Pada umumnya terdapat mutabiʻ qaṣīr (kurang sempurna), karena keikut
sertaan seorang periwayat hadis tersebut hanya pada sebagian sanad gurunya saja
sampai kepada seorang Sahabat Nabi. Hadis ini disebut sebagai syahid hadis
Imam Muslim, sebab hadis Imam Muslim diriwayatkan oleh Siti Aisyah,
sementara hadis Imam Ahmad dari riwayat Siti ʻĀisyah dan Sahabat ʻUtsmān,
kemudian syahid hadis ini juga syahid makna, sebab hanya sesuai maknanya saja.
Namun ada satu hadis yang lafadznya hampir sama.
Lihat skema pada halaman berukutnya;
91
bhbhbbvjhvjhv
Skema H
adis 2
د ح م م
د ب
ي
د أح
ح ح ح ب ح
يم د ح د ب
ح ح ب م
ح ب
ر ح ب ح
ي ب ب ني أاب ي ب ب ا
أي أ ن ني ب نيا أ ب ن
92
bhbbvjhvjhv
Pada umumnya terdapat mutabiʻ qaṣīr (kurang sempurna), karena keikut
sertaan seorang periwayat hadis tersebut hanya pada sebagian sanad gurunya saja
sampai kepada seorang Sahabat Nabi.
Lihat skema pada halaman berukutnya;
Lanju
tan Skem
a Had
is 2
top related