kronologi kejadian tsunami krakatau tahun 1883 di...
Post on 26-Aug-2018
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Kronologi kejadian tsunami Krakatau tahun 1883 di
Semenanjung Ujung Kulon
T. Yan W. M. Iskandarsyah1, Lia Djurnaliah2, Yoga A. Sendjaja3
Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi
korespondensi : yan@unpad.ac.id
ABSTRAK
Tsunami besar yang ditimbulkan oleh letusan dahsyat Gunung Krakatau pada
tahun 1883 meninggalkan jejak yang menakjubkan di Semenanjung Ujung Kulon.
Endapan tsunami yang ditinggalkan menunjukkan variasi lapisan pasir tsunami
yang bercampur dengan material vulkanik dengan kelimpahan foraminifera
bentonik yang luar biasa. Makalah ini menguraikan proses terjadinya endapan
tersebut di Semenanjung Ujung Kulon yang dipengaruhi oleh 2 arah gelombang
tsunami, yaitu dari arah Selat Sunda dan dari Samudera Hindia. Setidaknya lebih
dari 4 paket endapan tsunami yang ditemukan di sepanjang tanah genting Laban,
Ujung Kulon. Berdasarkan analisis besar butir, kelimpahan foraminifera bentonik,
dan analisis AMS, kronologi kejadian tsunami di Semenanjung Ujung Kulon
dapat direkonstruksi sebagai berikut: i) tsunami Krakatau pada tanggal 27 Agustus
1883 terjadi sebanyak 4 kali yang ditimbulkan oleh 4 letusan dahsyat Kompleks
Gunung Krakatau, ii) setiap kejadian tsunami tersebut tiba di Ujung Kulon 30
menit setelah letusan, iii) di wilayah tanah genting Laban, dalam setiap kejadian
tsunami selalu diikuti oleh gelombang tsunami yang datang dari arah Samudera
Hindia 5-10 menit kemudian, gelombang ini masih merupakan gelombang
tsunami yang bersumber dari letusan Krakatau yang terbelokkan di sekitar Pulau
Panaitan dan Pulau Peucang. Bukti-bukti tersebut sangat unik dan merupakan
akibat dari bentuk morfologi pantai Semenanjung Ujung Kulon yang juga unik
dengan beberapa teluknya yang menyerupai huruf “V” dan kehadiran tanah
genting Laban di antara Selat Sunda dan Samudera Hindia.
Kata kunci : gelombang tsunami, Krakatau, 1883, Ujung Kulon, tanah genting,
endapan tsunami
1. Pendahuluan
Tsunami adalah suatu rangkaian
gelombang air pasang, terutama air
laut, yang bergerak secara cepat ke
daratan. Gempa bumi, gerakan tanah
di atas maupun di bawah air, erupsi
gunung api, jatuhnya meteor, dan
ledakan bom nuklir di bawah laut
dapat menyebabkan terjadinya
tsunami. Berdasarkan jumlah air dan
energi yang dihasilkan, tsunami
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
dapat mengakibatkan kehancuran
yang cukup berarti. Contoh-contoh
dari gempa bumi yang sangat kuat
dan menghasilkan tsunami adalah the
"Great Chilean earthquake" (May 22,
1960; 9.5 Mw), the March 27, 1964
"Good Friday earthquake" Alaska
1964 (9.2 Mw), dan the "Great
Sumatra (Aceh)-Andaman
earthquake" (December 26, 2004; 9.2
Mw). Gempa bumi yang lebih kecil
juga dapat menyebabkan tsunami
yang merusak wilayah pantai dalam
waktu kurang dari 15 menit, seperti
kejadian tsunami di Kepulauan
Mentawai (gempa bumi dengan skala
7,7 Mw) dalam akhir bulan Oktober
2010. Sementara itu, pada tahun
1950 mulai berkembang sebuah
hipotesa bahwa tsunami yang lebih
besar dapat dtimbulkan dari aktivitas
longsor, letusan gunung api seperti di
Santorini atau Krakatau, dan
kejadian benturan/letusan sebuah
benda terhadap/di dalam laut.
Fenomena ini terjadi akibat adanya
transfer energi dan volume dari
benda yang masuk atau jatuh
terhadap air laut yang dipindahkan
dengan kecepatan tinggi. Fenomena
ini kemudian dikenal sebagai "mega-
tsunami". Mega-tsunami dapat
menimbulkan gelombang yang
sangat besar, seperti kejadian
longsoran di Lituya Bay pada tahun
1958 yang menghasilkan tsunami
hingga 528 meter di atas permukaan
laut.
Tsunami merupakan jenis
bencana geologi yang sering terjadi
di Indonesia, bahkan pada tahun
2004 tsunami di Aceh menimbulkan
korban jiwa yang mencapai +
300.000 orang. Jauh sebelumnya, +
36.000 orang meninggal dalam
peristiwa tsunami besar di Selat
Sunda akibat letusan Gunung
Krakatau pada tahun 1883. Tsunami
yang diakibatkan oleh peristiwa
letusan gunung api seperti ini tidak
sering terjadi, namun dampaknya
bias jadi akan lebih dahsyat daripada
tsunami yang dipicu oleh gempa
bumi. Selama ini sudah banyak
penelitian yang dilakukan di sekitar
area bekas meletusnya Gunung
Krakatau, tetapi masih sedikit yang
meneliti kronologi kejadian tsunami
tersebut di beberapa daerah yang
jauh dari lokasi letusan.
Intensitas daripada tsunami juga
dipengaruhi oleh bentuk lahan
(bentang alam), seperti kejadian di
Banda Aceh dimana tsunami yang
dihasilkan dari proses gempa bumi
dapat mencapai daerah dengan
ketinggian 50 meter di atas
permukaan laut hingga area sejauh 3
– 4 km ke arah pedalaman. Hal ini
disebabkan oleh bentang alam
wilayah pantai Banda Aceh yang
merupakan sebuah dataran rendah
deltaik dengan pedataran pasang-
surut di bagian barat dan tengah,
serta pantai yang agak curam di
bagian timurnya. Oleh karenanya
energi tsunami terkonsentrasi di
bagian barat dan tengah, sedangkan
di bagian timur terhalang oleh
tebing-tebing yang membentang di
sepanjang pantai. Kondisi yang
serupa terjadi di daerah Ujung Kulon
ketika terjadi tsunami Krakatau pada
tahun 1883, dimana tsunami akan
terkonsentrasi di tengah Teluk
Selamat Datang (Welcome Bay) yang
dibatasi oleh pantai yang curam di
bagian timur dan dataran pantai yang
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
rendah di bagian baratnya. Yang
cukup menarik adalah di bagian
ujung tengah dari teluk ini adalah
berupa tanah genting (isthmus) yang
menghubungkan Semenanjung
Ujung Kulon dengan Pulau Jawa,
yang tentunya gelombang tsunami
akan dengan mudah membanjiri
wilayah ini hingga area di sekitar
Samudera Hindia.
Oleh karena itu, sangatlah
menarik untuk mengetahui kejadian
tsunami akibat letusan Gunung
Krakatau pada tahun 1883 di wilayah
tanah genting Semenanjung Ujung
Kulon bedasarkan kajian endapan
yang ditinggalkannya (endapan
paleotsunami). Endapan tsunami
tersebut merupakan kombinasi dari
material-material gunung api yang
dimuntahkan dalam jumlah yang
sangat besar ke dalam laut dan
material-material asli dasar laut yang
digerus oleh kekuatan gelombang
tsunami dalam perjalanannya menuju
daratan.
2. Metodologi Penelitian
Daerah penelitian terletak pada
koordinat 6°27’ - 6°54’ LU dan
104°55’ - 105°42’ BT, mulai dari
wilayah pantai bagian timur Taman
Nasional Ujung Kulon wilayah
Gunung Honje hingga wilayah pantai
bagian barat yang termasuk ke dalam
Semenanjung Ujung Kulon, dimana
keduanya dihubungkan oleh tanah
genting Laban yang terletak di antara
Selat Sunda dan Samudera Hindian
(Gambar 1).
Gambar 1. Peta daerah penelitian dan sebaran lokasi obyek penelitian
Data penunjang dalam penelitian
ini diperoleh dari interpretasi foto
udara/citra satelit, peta topografi, dan
peta geologi regional. Data yang
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
tersedia selanjutnya dianalisis
menggunakan alat bantu seperti
Sistem Informasi Geografis dan
Digital Elevation Model, untuk
merancang suatu model propagasi
tsunami. Untuk penyelidikan
lapangan digunakan peta topografi
yang berskala 1 : 25.000, dengan
memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Pengamatan singkapan
(mencakup struktur dan ciri-ciri
endapan tsunami) dan kondisi
geomorfologi setempat, dilakukan
secara sistematis pada setiap
lokasi.
b. Pengambilan contoh endapan
tsunami, baik yang tersingkap di
pemukaan melalui metode paritan,
maupun yang berada di bawah
permukaan melalui metode
pemboran inti.
Selanjutnya penelitian dilakukan
di laboratorium mencakup analisis
besar butir, analisis petrografis,
analisis AMS (anisotropy of
magnetic susceptibility), analisis
paleontology, dan analisis geokimia
endapan tsunami yang diperoleh dari
lapangan. Data-data yang diperoleh
dari laboratorium digunakan untuk
membantu rekonstruksi kejadian
tsunami hasil letusan Gunung
Krakatau pada tahun 1883 di daerah
penelitian, dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak seperti Arc
GIS/MapInfo.
3. Endapan Tsunami di
Semenanjung Ujung Kulon
Jejak-jejak yang ditinggalkan
oleh peristiwa bencana tsunami
cukup banyak ditemukan di
Semenanjung Ujung Kulon. Endapan
tsunami yang sangat menakjubkan
dengan kandungan bongkah koral
yang tertanam dalam lapisan pasir
tsunami ditemukan di sepanjang
tanah genting Laban (Gambar 2),
yang terletak di pusat morfologi
pantai berbentuk “V” dari Teluk
Selamat Datang. Lapisan sedimen
tsunami yang diamati dicirikan oleh
adanya penghalusan besar butir
dalam satu sekuen ke arah atas
(fining upward sequences) yang
saling tumpang tindih dan adanya
struktur sedimen rip-up clasts. Di
tengah-tengah tanah genting Laban,
foraminifera bentonik yang terbawa
oleh gelombang tsunami dari dasar
laut ditemukan cukup berlimpah.
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Gambar 2. Endapan tsunami yang ditemukan di tengah tanah genting Laban
Sementara di wilayah timur,
sepanjang dataran pantai yang cukup
sempit dari wilayah Gunung Honje,
endapan tsunami yang ditemukan
tidak melebihi dari 50 cm yang
terdiri atas perselingan material halus
dan koral berukuran kerakal yang
terendapkan di atas endapan aluvial
tua, bahkan di beberapa tempat
kontak langsung dengan Formasi
Bojongmanik atau Formasi Honje.
Secara setempat ditemukan endapan-
endapan percampuran antara
berbagai material yang terbawa oleh
gelombang tsunami dalam
perjalanannya menuju daratan (dump
deposits) dan bongkah koral yang
berukuran besar yang ditemukan jauh
di daratan.
Berdasarkan hasil analisis besar
butir, foraminifera bentonik, dan
AMS diketahui bahwa Semenanjung
Ujung Kulon diterjang tsunami
Krakatau 1883 paling sedikit
sebanyak 4 (empat) kali, lihat
Gambar 3. Hasil analisis AMS
menunjukkan adanya variasi nilai
dari parameter-parameter yang
diukur, terutama nilai-nilai sumbu
ellipsoid AMS yang digunakan
dalam menentukan dinamika arus
purba (palaeocurrent). Bukti-bukti
pengukuran AMS dan kandungan
fosil foraminifera bentonik di tanah
genting Laban menunjukkan bahwa
endapan tsunami dihasilkan oleh
gelombang yang datang dari Selat
Sunda dan atau dari Samudera
Hindia.
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Gambar 3. Paket endapan tsunami yang teramati di tengah tanah genting Laban, Ujung Kulon,
berdasarkan analisis besar butir, foraminifera bentonik, dan AMS
Kehadiran Planulina
wuellerstorfi sebagai foraminifera
bentonik yang berasal dari laut dalam
ditemukan di dalam endapan tsunami
di bagian selatan Ujung Kulon dan
membuktikan bahwa gelombang
tsunami juga menerjang Ujung
Kulon dari arah Samudera Hindia.
Sementara Elphidum lessonii dan
Streblus beccarii, sebagai fosil
penunjuk laut dangkal, yang cukup
dominan di beberapa sampel yang
diambil dari endapan tsunami yang
ditemukan di Ujung Kulon
menunjukkan bahwa endapan
tersebut sebagian besar berasal dari
Selat Sunda.
Material-material piroklastik
yang terkandung dalam endapan
tsunami merupakan kunci yang
sangat penting dalam mendiagnosa
peristiwa tsunami yang ditimbulkan
oleh erupsi gunung api (Nishimura et
al., 2005; Paris et al., 2014a), dalam
penelitian ini terkait dengan letusan
besar Gunung Krakatau pada tahun
1883. Berdasarkan hasil pengamatan
di bawah mikroskop polarisasi
terhadap sayatan tipis dari sampel
debu vulkanik yang diambil dari
beberapa lokasi seperti U-01, U-02,
U-03, U-06, U-08, dan U-13 (lihat
lokasi pada Gambar 1), berhasil
diidentifikasi beberapa mineral, gelas
vulkanik, dan fragment batuan beku
yang cocok dengan hasil analisis
petrografi dari sampel debu vulkanik
yang telah dilakukan oleh peneliti-
peneliti terdahulu (Paris et al.,
2014b; Renard, A., 1883; Symons et
al., 1888; Verbeek, 1885, 1884).
Partikel-partikel gelas yang
merupakan pecahan dari batuapung
hadir tidak lebih dari 10%, karena
sebagian telah terubah menjadi
mineral lempung. Mineral-mineral
yang berhasil diidentifikasi
diantaranya adalah feldspar
(plagioklas dan K-feldspar),
orthopyroxene, dan mineral opak
(ilmenite dan magnetite).
Di samping analisis petrografi,
analisis geokimia XRF terhadap
beberapa sampel terpilih juga
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
dilakukan untuk membedakan satuan
pasir bioklastika, satuan pasir
berbatuapung dan atau debu vulkanik
yang dikeluarkan ketika terjadi
letusan Krakatau di tahun 1883.
Elemen-elemen mayor seperti SiO2,
TiO2, Al2O3, Fe2O3, MnO, MgO,
CaO, Na2O, K2O, dan P2O5, serta
proporsi bioklastika yang
diekspresikan oleh bahan organic dan
kandungan karbonat dalam loss on
ignition (LOI), dipergunakan dalam
perbandingan ini.
Tabel 1. Perbandingan komposisi kimia debu vulkanik antara data hasil
penelitian dengan data hasil analisis pada tahun 1883 oleh C. Winkler
(Symons et al., 1888).
wt %
Ujung Kulon volcanic ash
The chemical composition of
dust analysed by
C. Winkler
U-03
(0-30)
U-06
(55-75)
Fell near
Krakatau
Fell at
Buitenzorg
(Bogor)
SiO2 66.74 76.50 61.36 66.77
TiO2 1.04 1.18 1.12 0.67
Al2O3 12.72 9.78 17.77 16.44
Fe2O3 6.15 5.17 6.10 4.78
MnO 0.11 0.08 0.41 0.38
MgO 1.03 0.87 2.32 1.67
CaO 1.51 1.97 3.45 2.90
Na2O 1.10 1.62 4.98 4.14
K2O 0.78 0.60 2.51 2.25
P2O5 0.14 0.11 - -
LOI 9.45 2.80 - -
Total 100.74 100.68 100.02 98.00
Lebih jauh, perbandingan antara
komposisi kimia debu vulkanik yang
dihasilkan dalam penelitian ini dan
hasil penelitian sampel yang diambil
di beberapa lokasi sesaat setelah
kejadian letusan Gunung Krakatau
tahun 1883 (Symons et al., 1888)
menunjukkan bahwa komposisinya
tidak berbeda jauh, lihat Tabel 1.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan
bahwa endapan tsunami yang
ditemukan di Semenanjung Ujung
Kulon adalah hasil dari peristiwa
tsunami besar yang ditimbulkan oleh
erupsi Gunung Krakatau pada tahun
1883.
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
4. Kronologi Kejadian Tsunami
1883 di Ujung Kulon
Tsunami Krakatau yang terjadi
pada tahun 1883 telah menyebabkan
kerusakan di berbagai tempat,
terutama di sepanjang pesisir pantai
di Selat Sunda. Energi tsunami yang
sangat besar menyebabkan beberapa
wilayah pedataran tergenangi oleh air
laut hingga jauh ke pedalaman.
Bahkan Semenanjung Ujung Kulon
seakan terpisah dari Pulau Jawa
akibat seluruh bagian tanah genting
Laban tertutup oleh air laut. Yang
menarik adalah bukti-bukti yang
cukup kuat yang ditunjukkan oleh
endapan tsunami di wilayah Laban
yang menunjukkan adanya dua arah
gelombang tsunami yang saling
berlawanan. Berdasarkan hasil
analisis AMS, dapat disimpulkan
bahwa terdapat dua arah aliran run-
up secara umum, yaitu (i) arah aliran
menuju selatan Laban, dari Selat
Sunda menyebar antara N122°E dan
N236°E dan (ii) arah aliran yang
berlawanan dari Samudera Hindia
menuju bagian utara Laban, dengan
arah antara N318°E dan N58°E
(Gambar 4).
Gambar 4. Arah gelombang tsunami yang terekam di tanah genting Laban berdasarkan hasil
analisis AMS
Kondisi tanah genting Laban
yang sempit dan datar inilah, serta
posisinya di tengah Teluk Selamat
Datang dan di antara Selat Sunda dan
Samudera Hindia, yang
menyebabkan terbentuknya endapan
tsunami yang sangat luar biasa
dengan variasi yang cukup
menakjubkan. Data-data yang
diperoleh dari kajian endapan
tsunami di wilayah ini dapat menjadi
acuan yang cukup baik untuk
merekonstruksi kejadian tsunami di
wilayah Semenanjung Ujung Kulon.
Laporan dari The Krakatoa
Committee of The Royal Society
yang diterbitkan pada tahun 1888
(Symons et al., 1888) dapat dijadikan
rujukan untuk penentuan kronologi
kejadian tsunami Krakatau pada
tahun 1883. Walaupun dalam laporan
tersebut dinyatakan bahwa
gelombang tekanan udara hanya
dapat dikaitkan dengan gelombang
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
tsunami tertentu saja, namun data
rekaman tersebut dapat digunakan
untuk membuktikan bahwa
Semenanjung Ujung Kulon yang
memiliki endapan tsunami lebih dari
4 paket dihasilkan oleh gelombang
tsunami lebih dari satu kali kejadian.
Satu kali kejadian tsunami yang
melanda tanah genting Laban, Ujung
Kulon, terdiri atas dua kali penetrasi
gelombang tsunami dengan arah
yang berlawanan, yaitu penetrasi
langsung sesaat setelah letusan
Gunung Krakatau dari arah Selat
Sunda dan penetrasi berikutnya dari
arah Samudera Hindia dalam selang
waktu beberapa menit kemudian.
Gelombang tsunami dari arah
Samudera Hindia ini masih
merupakan gelombang tsunami yang
sama dengan gelombang dari arah
Selat Sunda, yang terbelokkan
(refraksi) mengikuti bentuk
Semenanjung Ujung Kulon di sekitar
Pulau Panaitan dan Pulau Peucang.
Hal ini didukung oleh beberapa
penelitian yang mencoba untuk
mensimulasikan propagasi tsunami
selama berlangsungnya erupsi
Gunung Krakatau pada tahun 1883
(Maeno and Imamura, 2011;
Nomanbhoy and Satake, 1995;
Yokoyama, 1987),
Gelombang tsunami pertama
yang terekam di Ujung Kulon
berhubungan dengan gelombang
tsunami pada dini hari di tanggal 27
Agustus 1883, yang sangat besar
kemungkinannya ditimbulkan oleh
meletusnya Gunung Perbuwatan
pada pukul 05.30 WIB (Bryant,
2008; Latter, 1981; Self and
Rampino, 1981). Gelombang ini juga
yang telah merusak Anyer pada
pukul 06.00 (Symons et al., 1888;
Verbeek, 1885, 1884). Dengan
mengasumsikan bahwa gelombang
tsunami tiba di Anyer 30 menit
setelah letusan dan tiba di Teluk
Betung, Lampung, pada pukul 06.30
(Verbeek, 1884, 1885; Latter, 1981;
Nomanbhoy and Satake, 1995;
Maeno and Imamura, 2011;
Yokoyama, I., 1987; Paris et al.,
2014b), maka gelombang pertama
tersebut diperkirakan tiba di Ujung
Kulon di antara pukul 06.00 - 06.30
dan gelombang yang terputarkan
serta melanda wilayah yang sama
dari arah Samudera Hindia sekitar 5 -
10 menit kemudian (Gambar 5a dan
5b). Gelombang tsunami yang kedua
dapat diasosiasikan dengan
gelombang tsunami yang terekam di
wilayah Merak, Anyer, Caringin, dan
Teluk Betung sekitar pukul 06.30 -
09.00 (Latter, 1981; Paris et al.,
2014b; Symons et al., 1888;
Verbeek, 1885). Gelombang ini
kemungkinan besar ditimbulkan oleh
letusan Gunung Danan pada pukul
06.44 (Bryant, 2008; Self and
Rampino, 1981; Symons et al.,
1888). Jika gelombang tsunami
mencapai Anyer pukul 07.30 dan
Teluk Betung pukul 07.45 (Symons
et al., 1888), maka gelombang ini
diperkirakan tiba di Ujung Kulon
sekitar pukul 07.30 - 07.45 dan
gelombang yang dating dari
Samudera Hindia pada pukul 07.45
(Gambar 5c dan 5d).
Letusan terdahsyat Krakatau
yang terjadi pada pukul 10.02
dipercaya sebagai pemicu timbulnya
mega-tsunami yang dapat mencapai
ketinggian 42 m di atas permukaan
laut, yang tercatat di kota Merak.
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Gelombang ini diperkirakan tiba di
Ujung Kulon sekitar pukul 10.30 -
11.00 dan dari Samudera Hindia 5 -
10 menit kemudian (Latter, 1981;
Maeno and Imamura, 2011;
Nomanbhoy and Satake, 1995; Paris
et al., 2014b; Symons et al., 1888;
Verbeek, 1885; Yokoyama, I., 1987),
lihat Gambar 5e dan 5f. Ketebalan
endapan tsunami yang mencapai 85
cm, yang ditemukan sebagai paket
lapisan ketiga di tanah genting
Laban, membuktikan peristiwa
mega-tsunami ini. Gelombang
tsunami terakhir yang melanda
wilayah Ujung Kulon adalah
gelombang tsunami yang tiba sekitar
pukul 11.20 WIB. Gelombang
tsunami ini diperkirakan terkait
dengan letusan terakhir Krakatau
pada pukul 10.52 dan terekam dalam
data gelombang tekanan udara pada
pukul 11.00 di Batavia pressure
gauge (Symons et al., 1888;
Verbeek, 1885), lihat Gambar 5g dan
5h.
Gambar 5. Kronologi kejadian tsunami Krakatau pada tahun 1883 di tanah
genting Laban, Semenanjung Ujung Kulon
5. Kesimpulan
Endapan tsunami Krakatau 1883
yang ditemukan di Semenanjung
Ujung Kulon relatif terawetkan
dibandingkan daerah lainnya,
sehubungan dengan kenyataan
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
bahwa daerah ini tidak ditempati
oleh manusia sejak terjadinya letusan
Krakatau di tahun 1883. Tanah
genting Laban yang terletak di pusat
Teluk Selamat Datang yang
mempunyai morfologi pantai
menyerupai bentuk ”V” serta terletak
di antara Selat Sunda dan Samudera
Hindia, merupakan tempat yang
paling ideal bagi terbentuknya
endapan tsunami yang sangat luar
biasa dengan variasi ketebalan dan
foraminifera yang menakjubkan.
Pembuktian adanya gelombang
tsunami yang datang dari Samudera
Hindia melalui analisis besar butir,
kelimpahan foraminifera bentonik,
dan kemas magnetik dari butiran
sedimen (dengan metode AMS)
sebagai bagian dari propagasi
tsunami Krakatau 1883 yang
berbelok (refraksi) di sekitar Pulau
Panaitan dan Pulau Peucang dapat
menjelaskan asal dari genangan
tsunami yang terpetakan di bagian
selatan Semenanjung Ujung Kulon
oleh Verbeek (1885).
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya disampaikan kepada Balai
Taman Nasional Ujung Kulon yang
telah memberikan ijin untuk
pelaksanaan penelitian ini. Juga
kepada Puslitbang Geoteknologi
LIPI yang telah membantu di dalam
penyediaan alat pemboran tangan
yang dipergunakan dalam
penyelidikan endapan tsunami di
dalam taman nasional. Secara
khusus, ucapan terima kasih
disampaikan kepada Martine
Trautman dan Marc Diraison dari
EOST, Université de Strasbourg
(UdS), France, yang telah membantu
dalam analisis besar butir dan AMS.
Selain itu, juga kepada Cindy A.
Firdausiah, Ria Fitriany, Hilman
Damanhuri yang telah membantu
analisis foraminifera dan petrografi.
Akhirnya penghargaan yang sangat
tinggi juga kami sampaikan kepada
tim lapangan yang telah banyak
membantu dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Bryant, E., 2008. Tsunami: The
Underrated Hazard. Springer.
Latter, J.H. 1981. Tsunamis of
volcanic origin: Summary of
causes, withparticular reference
to Krakatoa, 1883: Bulletin of
Volcanology, v. 44, p. 467–490.
Maeno, F., Imamura, F., 2011.
Tsunami generation by a rapid
entrance of pyroclastic flow into
the sea during the 1883 Krakatau
eruption, Indonesia. J. Geophys.
Res. Solid Earth 1978–2012 116.
Nishimura, Y., Nakagawa, M.,
Kuduon, J., Wukawa, J., 2005.
Timing and Scale of Tsunamis
Caused by the 1994 Rabaul
Eruption, East New Britain,
Papua New Guinea, in: Satake,
K. (Ed.), Tsunamis, Advances in
Natural and Technological
Hazards Research. Springer
Netherlands, pp. 43–56.
Nomanbhoy, N., and Satake, K.
1995. Generation mechanism of
tsunamis from the 1883 Krakatau
eruption: Geophysical Research
Letters, v.22, p.509–512.
Paris, R., Switzer, A.D., Belousova,
M., Belousov, A., Ontowirjo, B.,
Whelley, P.L., Ulvrova, M.,
2014a. Volcanic tsunami: a
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
review of source mechanisms,
past events and hazards in
Southeast Asia (Indonesia,
Philippines, Papua New Guinea).
Nat. Hazards 70, 447–470.
Paris, R., Wassmer, P., Lavigne, F.,
Belousov, A., Belousova, M.,
Iskandarsyah, Y., Benbakkar, M.,
Ontowirjo, B., Mazzoni, N.,
2014b. Coupling eruption and
tsunami records: the Krakatau
1883 case study, Indonesia. Bull.
Volcanol. 76, 1–23.
Renard, A., 1883. Les cendre
volcanique de l’eruption du
Krakatau: Tombee a Batavia, le
27 aout 1883. Bull. Acad. R.
Belg. Brux., III VI/11.
Self, S., and Rampino, M. 1981. The
1883 eruption of Krakatau:
Nature, v. 294, p. 699–704.
Symons, G.J., Symons, G.J., Judd,
J.W., Strachey, S.R., Wharton,
W.J.L., Evans, F.J., Russell,
F.A.R., Archibald, D., Whipple,
G.M., 1888. The eruption of
krakatoa: And subsequent
phenomena. Trübner &
Company.
Verbeek, R.D.M., 1885. Krakatau,
495 pp. Gov Press Batavia
Indonesia.
Verbeek, R.D.M., 1884. The
Krakatoa Eruption. Nature 30,
10–15.
Yokoyama, I., 1987. A scenario of
the 1883 Krakatau tsunami. J.
Volcanol. Geotherm. Res. 34,
123–132.
top related