kondisi terumbu karang di kawasan konservasi …
Post on 15-Oct-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONDISI TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH PULAU PASI,
KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
SKRIPSI
Oleh :
FAJAR IZAS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2016
ii
ABSTRAK
FAJAR IZAS. Kondisi Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar. Dibimbing oleh DEWI YANUARITA dan BASSE SIANG PARAWANSA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi luas tutupan karang hidup dan kualitas perairan yang ada di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Agustus 2015. Pengambilan data dilakukan di tiga stasiun Pulau Pasi, masing-masing kedalaman 3 dan 10 meter. Setiap stasiun ditentukan berdasarkan perbedaan aktivitas manusia/ nelayan lakukan. Untuk menentukan kondisi terumbu karang digunakan metode Line Intercept Transect (LIT) sepanjang 50 meter dengan kategori berdasarkan English et al. (1997). Kategori kondisi tutupan karang mengikuti Gomes dan Yap (1998).
Berdasarkan hasil pengamatan, tutupan karang hidup dengan kondisi baik berada pada Stasiun III pada kedalaman 3 meter sebesar 65.38%. Kondisi terumbu karang hidup dengan kategori sedang berada pada Stasiun I kedalaman 10 meter sebesar 38.36%, Stasiun II kedalaman 10 meter sebesar 40.8% dan Stasiun III kedalaman 10 meter sebesar 38.02%. Kategori rusak berada pada Stasiun I pada kedalaman 3 meter sebesar 11.22%.
Tutupan karang mati tertinggi ditemukan pada Stasiun III pada kedalaman 10 sebesar 51.34%, sedangkan patahan karang banyak ditemukan pada Stasiun II pada kedalaman 3 meter sebesar 55.32%.
Kondisi kualitas perairan Pulau Pasi masih sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang. Kualitas perairan pada masing-masing stasiun yang diamati yakni suhu pada setiap stasiun berkisar antara 290C - 29.30C dengan salinitas antara 30‰ - 31‰. Penetrasi cahaya masuk ke dalam perairan 100% dan kecepatan arus berkisar 0.09 m/s - 0.16 m/s.
ABSTRACT
FAJAR IZAS. Coral Reefs Condition in The Conservation Area of Pasi Island
Water, Selayar Islands District. Under the guidance of DEWI YANUARITA and
BASSE SIANG PARAWANSA.
This study aimed to determine the condition of alive coral reefs coverand water
quality in Conservation Area of Pasi Island Waters, Selayar Islands District.
This study was conducted on May–August 2015. Three stations on Pasi Island
waters, respectively 3 and 10 meters depth, were chosen for sampling. Each
station was determined based on human/ fishermen activity. A 50 meters length
of Line Intercept Transect (LIT) was employed to determine coral reefs condition
according to English et al. (1997). The corals cover categorization was according
to Gomes and Yap (1998).
Based on observations, the alive coralscover in good condition locates at station
III at a depth of 3 meters (65.38%). The moderate condition is found at three
locations, i.e. station I at a depth of 10 (38.36%), Station II at adepth of 10 meters
(40.8%) and Station III at adepth of 10 meters (38.02%). The broken condition is
found at station I at a depth of 3 meters (11.22%). The highest dead corals cover
is found at station III at a depth of 10 meters (51.34%), while the rubblesis found
at Station II at a depth of 3 meters (55.32%).
The water quality of Pasi Island at observed stations is temperature ranges on
29–29.3ᵒC, salinity ranges on 30–31‰, light penetration of 100% and current velocity ranges on 0.09–0.16 m/s. This is still convenient for reef growth.
iv
KONDISI TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH PULAU PASI,
KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
Oleh :
FAJAR IZAS
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2016
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya, kita masih
diberi kesempatan mewujudkan kehidupan yang kita inginkan. Shalawat dan
salam kita sampaikan kepada Rasulullah SAW yang senantiasa menjadi teladan
bagi kita semua.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan
terhitung mulai awal bulan Mei hingga akhir bulan Agustus tahun 2015 di
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan
Selayar.
Penulisan skripsi adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Usaha maksimal telah dikerahkan dalam penulisan skripsi ini, meski penulis
masih sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Namun harapan
selalu besar agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi khalayak banyak.
RIWAYAT HIDUP
Fajar Izas lahir di Kajuara pada tanggal 16 Juli
1992 dari pasangan suami-istri Iqbal dan Binti Zaenab.
Penulis anak ke tiga dari lima bersaudara. Pendidikan
formal penulis di mulai pada TK Detia Mulatarenre
Kajuara (1998-1999), SD 263 Awang Tangka (1999-
2004), MTs Negeri Kajuara (2004-2007) dan SUPM
Negeri Bone (2007-2010). Pada Tahun 2010 penulis
lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dan di terima sebagai mahasiswa pada
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Selama menimba ilmu di universitas, penulis
banyak belajar pada organisasi dengan bergabung dan menjabat sebagai Ketua
Umum Himpunan Mahasiswa Profesi Manajemen Sumberdaya Perairan Periode
kepengurusan 2012-2013, SENATOR KEMA FIKP periode 2014-2015, anggota
dan pemain aktif tim Foot Ball Club (FC) Anak Pantai, Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Fisheries Diving Club dan UKM Drum Corps Pramuka.
Beberapa pengalaman kepanitian sebagai Ketua Panitia Pengembangan
Pola Pikir Mahasiswa Thn 2011, Koordinator Acara Kegiatan Mahasiswa
Rehabilitasi Nasional I Thn 2012, Ketua Panitia Pendidikan dan Pelatihan Selam
FDC Thn 2012, Staring Comite pengkaderan Thn 2013, Koordinator
Perlengkapan Kerja Bawah laut Thn 2013 dan Ketua Rombongan Ekspedisi
Delphinus I Selat Tiworo Thn 2015.
Penulis juga pernah menjadi delegasi pada Musyawarah Besar II
Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Se-Indonesia
(HIMASUPERINDO) Thn 2013 di Semarang, Musyawarah Kerja II
HIMASUPERINDO Thn 2014 di Yogyakarta, Kegiatan Mahasiswa Rehabilitasi
Nasional II HIMASUPERINDO Thn 2015 di Kendari, Ekspedisi Nusantara Jaya
R-37 dan R-38 KEMENKO KEMARITIMANThn 2015.
Beberapa lomba yang pernah diikuti : Liga Unhas Thn 2012-2015, Lomba
Kreatif Nasional “Spirit Enviromental” di Semarang, PKM-Kewirausahaan
(Bandeng Cabut Duri), PKM-Karya Cipta (software identifikasi ikan), Loka Karya
Lingkungan di Sulawesi Tenggara.
Penulis pernah mengabdi dengan menjadi sukarelawan pengajar pada
Yayasan Econatural, Asisten Praktikum Avertebrata Air Thn Ajaran 2012-2015,
Asisten Praktikum Limnologi Thn Ajaran 2012-2013 dan Asisten Instruktur Ko-
Kurikuler (Renang) Thn Ajaran 2014-2015.
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Rasa terima kasih yang tulus dan dalam diucapkan pada pihak yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini dan memberikan
kesempatan kepada saya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Ucapan
terima kasih pula kepada Dr. Ir. Dewi Yanuarita, M.Si, Ir. Basse Siang
Parawansa, MP selaku dosen pembimbing. Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, M.Si, Dr.
Irmawati, S.Pi, M.Si dan Ir. Abd Rahim Hade, MS selaku dosen penguji yang
telah mengoreksi dan memberi saran perbaikan. Prof. Dr. Ir. Sharifuddin Bin
Andy Omar, M.Sc selaku penasehat akademik selama penulis menjalani aktivitas
sebagai mahasiswa. Aparatur Desa Pulau Pasi. Nenek guru Bunga Janni dan Hj.
Buating (alm.), Ayahanda M. Iqbal (alm), ibunda Binti Zainab, kakanda M. Irham
Izas, Sabri Izas, adinda M. Rafie Izas, M. Hamsa Izas beserta keluarga yang
saya cintai. Kanda-kanda senior FIKP UH, handai-tolan di Senat Keluarga
Mahasiswa FIKP UH, Himpunan Mahasiswa Jurusan Keluarga Mahasiswa
Perikanan FIKP UH, Keluarga Mahasiswa Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan FIKP UH, teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa FC.
Anak Pantai, Fisheries Diving Club, Drum Corp Pramuka UH, angkatan
seperjuangan Sardinella 2010, saudara/(i) MAE_RO, Corps Asisten Laboratorium
Avertebrata Air, Laboratorium Limnologi, alumni SPP/SUPM Negeri Bone
terkhusus angkatan 24, Hj. Siti, Bapak Bahar dan Bapak Mumang beserta
keluarga, Bapak Densi, kanda Zul Janwar, kanda Herianto dan Kanda Irawanti
se-keluarga, Ecocean tim (Abzhal Bastarie, Adi PS, Sabili Rasad, Sainal, W.S
Cahyani) dan seluruh pihak yang telah membantu, memberikan semangat,
berbagi pengalaman dan wawasan sebelum dan sesudah penulis menyusun
skripsi ini yang tidak sempat disebutkan satu-persatu.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………….. vii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………... viii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………... ix
I. PENDAHULUAN…………………………………………………………...........
1
A. Latar Belakang …………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah …..……………………………………………………. 2
C. Tujuan dan Kegunaan ……………………………………………………. 3
D. Ruang Lingkup ……….………...……………………………………….....
3
II. TINJAUAN PUSTAKA …………..……………………………………………..
4
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………………. 4
B. Kawasan Konservasi ………………….………………………………….. 5
C. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pulau Pasi ………….. 9
D. Klasifikasi Karang …………………….…………………………………... 10
E. Terumbu Karang ………….………………………………………………. 11
1. Biologi Terumbu Karang …………...…………………………………. 11
2. Anatomi Karang ………………………………………………………. 14
3. Cara makan …………………………………………………………… 15
4. Tipe dan Jenis Terumbu Karang ……………………………………. 15
5. Fungsi Terumbu Karang ……………………………………………... 20
6. Kondisi Terumbu Karang ……………………………………………..
21
III. METODOLOGI ………….....…………………………………………………..
23
A. Waktu dan Tempat …………………………………………...………….. 23
B. Alat dan Bahan ……………..……………………………………………. 24
x
C. Metode Pengambilan Data ……………………………………………… 24
1. Penentuan Stasiun …………………………………………………… 24
2. Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup ……………………... 25
3. Kualitas Perairan ……………………………………………………...
26
D. Analisis Data ……………………………………………………………… 27
1. Persentase Tutupan Terumbu Karang ……………………………. 27
2. Kualitas Perairan ……………………………………………………..
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………….…….....................
30
A. Persentase Luas Tutupan ………………..……………………………… 30
B. Kondisi Terumbu Karang ………………………………………………… 32
C. Tutupan Karang Hidup Pulau Pasi ……………………………………… 39
D. Kualitas Perairan ………………………………………………………….
39
V. SIMPULAN DAN SARAN .....………………………………………………....
44
A. Simpulan …….……………………………………………………………. 47
B. Saran ………………………………………………………………………
47
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 48
LAMPIRAN …..…………………………………………………………………...... 52
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Koordinat stasiun pengamatan …………………………………….. 23
2. Bentuk kategori dalam pengambilan data …………………….…... 26
3. Kondisi terumbu karang menurut Gomes dan Yap (1998) ……… 28
4. Kondisi terumbu karang setiap stasiun ……………………………. 33
5. Tutupan Karang Hidup (%) Pulau Pasi ……………………………. 39
6. Hasil pengukuran kualitas perairan di lokasi penelitian …………. 40
7. Parameter kualitas perairan Pulau Pasi Gusung ………………… 44
8. Kualitas perairan Pulau Pasi pada beberapa tahun terakhir ……. 45
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Zonasi KKPD Pulau Pasi …………………………………………… 10
2. Anatomi Polip Karang ……………………………………........... 15
3. Karang Bercabang …………………………………………............ 16
4. Karang Padat ………………………………………….................... 17
5. Karang Mengerak …………………………………………............. 17
6. Karang Meja …………………………………………...................... 18
7. Karang Berbentuk Daun …………………………………………… 18
8. Karang Jamur …………………………………………................... 19
9. Peta Lokasi Penelitian …………………………………………..….. 23
10. Pencatatan Data Koloni Karang Pada Metode LIT ……….…….. 25
11. Persentase luas tutupan di 3 stasiun pada dua kedalaman ……
30
12. Kondisi tutupan di kedalaman 3 meter ……………………………. 31
13. Kondisi tutupan di kedalaman 10 meter ………………………….. 32
14. Persentase tutupan biota dan substrat Stasiun I Pulau Pasi ….. 34
15. Persentase tutupan biota dan substrat Stasiun II Pulau Pasi ….. 36
16. Persentase tutupan biota dan substrat Stasiun III Pulau Pasi . 38
17. Grafik suhu berdasarkan kedalaman pada lokasi penelitian …… 40
18. Grafik salinitas berdasarkan kedalaman pada lokasi penelitian .. 41
19. Grafik kecerahan berdasarkan kedalaman pada lokasi penelitian 42
20. Grafik kecepatan arus berdasarkan kedalaman pada lokasi penelitian ……………………………………………………………
43
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Bentuk dan kategori dalam pengambilan data metode LIT ……... 53
2. Data sheet hasil pengamatan ………………………………………. 56
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang besar. Salah satu potensi yang dimiliki adalah sumberdaya
terumbu karang yang tersebar disepanjang pesisir pulau-pulau. Studi ekologi
terumbu karang Kabupaten Selayar oleh Coral Reef Information and Training
Center – Coral Reef Management Program (CRITC-COREMAP), mencatat
bahwa terdapat sekitar 126 jenis karang batu yang termasuk dalam 14 suku dan
terdapat sekitar 266 jenis ikan karang yang termasuk dalam 37 suku. Rerata
tingkat tutupan karang hidup sebesar 27,44% atau berkisar antara 25 - 49% atau
dapat dikatakan baik. Sedangkan ikan yang dijumpai sangat didominasi oleh
kelompok ikan major. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan yang
serius terhadap sumberdaya terumbu karang yang diakibatkan oleh pemanfaatan
sumberdaya yang tidak bertanggung jawab, CRITC-COREMAP (2006 dalam
Irwan 2010).
Untuk mencegah laju kerusakan terumbu karang dan ekosistem pesisir
lain yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, maka perlu ada langkah konkrit
yang memberikan dampak posistif bagi lingkungan dan masyarakat.
Pembentukan kawasan konservasi dibawah pengelolaan Pemerintah Daerah
(Pemda) yang melibatkan masyarakat merupakan salah satu solusi yang telah
ditempuh Pemda Selayar.
Kawasan konservasi merupakan suatu wilayah yang dijadikan area
perlindungan dan manajemen sumberdaya. Kawasan konservasi dapat
melindungi habitat, struktur, fungsi dan integritas ekosistem serta keragaman,
kekayaan, kepadatan spesies (Letser et al., 2009: Angulo et al., 2010: Salm et
2
al., 2000). Pengelolaan kawasan laut memfokuskan pada pemecahan terhadap
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang ada, disamping sebagai area utama
pelestarian biodiversitas. Menurut COREMAP II Selayar (2008), Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKPD) berisikan keputusan pada ukuran
pengelolaan dan penggunaan sumberdaya alam serta batasan oleh masyarakat
yang selanjutnya memperoleh legalitas dari Pemerintah Kabupaten.
Penetapan KKPD Kepulauan Selayar diinisiasi sejak tahun 2007 dengan
melakukan pengkajian ekologi dan sosial ekonomi bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Terumbu Karang (PPTK) Universitas Hasanuddin. Berdasarkan hasil
kajian, pemerintah menetapkan kawasan ini sebagai lokasi pencadangan dengan
mengeluarkan Surat Keterangan (SK) Bupati Nomor 03.A Tahun 2009. Sampai
dengan tahun 2010 beberapa upaya dilakukan sebagai tindak lanjut
pengembangan kawasan ini, dengan memfasilitasi pembentukan zona-zona
pengelolaan dalam kawasan. KKPD diharapkan dapat lebih memberikan manfaat
ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
Pada tahun 2011 zonasi pengelolaan Pulau Pasi sebagai KKPD pada
akhirnya terbentuk dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar mengeluarkan
SK Bupati Nomor 466/IX/Tahun 2011 tentang Penetapan KKPD di Pulau Pasi-
Gusung yang ditimbang dapat menunjang kelestarian sumberdaya ikan dan
ekosistemnya serta dalam mengelola dan melindungi perairan laut yang memiliki
sumberdaya alam dan keanekaragaman yang tinggi.
B. Rumusan Masalah
Indikator biofisik keberhasilan KKPD menurut COREMAP II (dalam Abdul
Hakim 2011) adalah hamparan karang hidup (live coral cover) di kabupaten
program meningkat 5% per-tahun sampai tingkatan dicapai dan tetap
3
dipertahankan agar sebanding dengan tingkatan untuk karang sejenis di wilayah
yang tertata baik atau wilayah yang sudah lama ada.
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan kajian mengenai
kondisi terumbu karang di KKPD Pulau Pasi guna melihat kecenderungan
apakah terjadi peningkatan atau penurunan sejak ditetapkannya sebagai
kawasan konservasi.
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi luas tutupan karang
hidup yang dihubungkan dengan kualitas perairan yang ada di KKPD Pulau Pasi,
Kabupaten Kepulauan Selayar dan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
sebagai bahan informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta
kepentingan dalam pengelolaannya yang terpadu dan berkelanjutan.
D. Ruang Lingkup
1. Tutupan dasar terumbu karang di KKPD Pulau Pasi
2. Kualitas perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pulau Pasi merupakan salah satu pulau yang secara geografis dekat
dengan Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Selayar dan secara administratif masuk
ke dalam Kecamatan Bontoharu. Pulau Pasi terdiri atas tiga pemerintahan desa,
yaitu Desa Bonto Borusu, Desa Bontolebang dan Desa Kahu-Kahu.
Pulau Pasi memiliki luas 2.355 Ha (BPS, 2009 dalam Irwan, 2010),
dengan garis pantai sepanjang 29,55 km2, luas mangrove 66,62 Ha, terumbu
karang 408,36 Ha, terumbu karang bercampur dengan pasir 603,61 Ha, padang
lamun bercampur pasir 799,53 ha, hamparan pasir tergenang air laut 171,32 Ha,
hamparan pasir putih pantai 58,95 Ha, pemukiman 25,99 Ha, kebun kelapa
845,42 Ha, dan tegalan/ ladang 1391,40 Ha (PPTK UH, 2007). Sisi selatan dan
barat pulau memiliki pesona alam dengan pantai berpasir putih yang indah yaitu
Pantai Dongkalan, Pantai Jeneiya dan Pantai Liangtarrusu.
Pulau Pasi berjarak sekitar + 1 km dari Ibu Kota Benteng dan dapat
dicapai melalui perjalanan laut selama 10-15 menit dengan perahu bermesin
tempel. Ada 2 cara untuk mencapai Pulau Pasi yakni dengan menyebrang
melalui dermaga yang berada di pasar lama Benteng menuju Desa Bontolebang
atau dari Kampung Padang ke Desa Kahu-Kahu atau ke Desa Bontoborusu yang
memakan waktu +10 menit. Kapal tradisional berupa katinting dan jarangka
merupakan transportasi yang melayani penyebrangan secara reguler.
Jumlah penduduk Pulau Pasi sebesar 4.454 jiwa dengan jumlah rumah
tangga sebesar 1.195. Penduduk terbanyak berada di Desa Kahu-Kahu sebesar
1.918 jiwa, kemudian Desa Bontoborusu sebesar 1.639 jiwa dan yang paling
sedikit adalah Desa Bontolebang sebesar 897 jiwa.
5
Pada umumnya, penduduk Pulau Pasi berprofesi sebagai nelayan dan
selebihnya sebagai pegawai pemerintahan dan guru. Warga Pulau Pasi adapula
yang berprofesi sebagai nelayan kapal penyebrang. Pada beberapa kesempatan
nelayan ini mengantar wisatawan. Aktivitas penyebrangan ini melalui beberapa
rute area tergantung permintaan wisatawan. Area paling sering dikunjungi oleh
wisatawan adalah Pantai Liangkareta.
Desa Bontoborusu merupakan desa pemekaran dari Desa Kahu-Kahu
dan jarak antara kedua desa sangat dekat. Kedua desa tersebut dihubungkan
dengan jalan setapak. Desa Bontolebang merupakan desa yang terletak di sisi
Utara Pulau dan dipisahkan jarak yang cukup jauh dari kedua desa lain.
Penduduk Pulau Pasi lebih dominan berada pada sisi Timur Pulau karena bagian
Timur Pulau lebih terlindung dari angin dan ombak.
B. Kawasan Konservasi
Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah daerah intertidal (pasang-surut)
atau subtidal (bawah pasang-surut) beserta flora-fauna, sejarah dan corak
budaya dilindungi sebagai suaka dengan melindungi sebagian atau seluruhnya
melalui peraturan perundang-undangan menurut International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), (1995 dalam COREMAP
II, 2006).
Dunia Internasional mengenal kawasan konservasi sebagai suatu
kawasan disuatu wilayah perairan pesisir yang secara aktif dikelola oleh
masyarakat lokal/ keluarga setempat disekitar kawasan atau oleh pengelolaan
kolaboratif baik oleh masyarakat setempat maupun oleh perwakilan pemerintah
daerah. Kawasan konservasi merupakan pendekatan baru terhadap Marine
Protected Area (MPA) menurut LMMA network (2003 dalam COREMAP II, 2006).
6
Terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut Marine
Management Area (MMA) dan oleh COREMAP II WB disebut Marine
Conservation Area (MCA). Namun demikian, aplikasi dilapangan tidak mesti
menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP II. Dengan
alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk MMA atau
MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL), (2) istilah
Kawasan Konservasi Perairan di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun
2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan) dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman
Nasional Perairan, (b), Suaka Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d)
Suaka Perikanan. Semakin berkembangnya KKL di Indonesia, maka MMA dapat
dipadankan dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat pada
skala desa, yang terdapat di beberapa desa pesisir di Indonesia (COREMAP II,
2006).
Pada awalnya konservasi di anggap sebagai suatu upaya perlindungan
dan pelestarian yang menutup kemungkinan dilakukannya pemanfaatan
sumberdaya alam. Namun demikan bila suatu kawasan itu dilindungi, dirancang
dan dikelola secara tepat, dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi
masyarakat dan sebagai sumber devisa negara. Oleh karena itu konservasi
memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi
dilingkungan pedesaan dan turut menyumbangkan ekonomi pusat perkotaan
serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya (Muzaki A.A., 2008).
Pembentukan KKL menurut Coremap II (2006) dimaksudkan untuk :
1. Menjamin kelestarian ekosistem laut untuk menopang kehidupan
masyarakat yang tergantung pada sumberdaya yang ada
2. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut
3. Pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan
4. Pengelolaan sumberdaya laut dalam skala lokal secara efektif
7
5. Pengaturan aktivitas masyarakat dalam kawasan pengelolaan
Sedang tujuan pembentukan KKL menurut Coremap II (2006) adalah :
1. Peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang lamun, dan hutan
mangrove)
2. Peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya ikan
3. Peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya ikan
4. Peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat
5. Peningkatan pendapatan masyarakat dari sumberdaya alam
Pada Pasal 10 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kepulauan Selayar
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir menjelaskan bahwa Kawasan Konservasi
Perairan ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan lingkup kewenanganya,
pengelolaan Kawasan Konservasi Peraiaran terdiri dari (Wiryawan et al., 2006) :
1. Kawasan Konservasi Perairan Nasional
2. Kawasan Konservasi Perairan Propinsi
3. Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten/ Kota
Perkembangan kawasan konservasi laut di Indonesia berjalan dengan
beberapa pendekatan. Pendekatan pertama terdiri dari pengaturan dan
pengelolaan aktifitas kelautan secara individual sektor, seperti perikanan
komersial dengan berbagai tingkatan koordinasi dan peraturan dari berbagai
sektor. Pendekatan kedua adalah dengan pembentukan kawasan konservasi laut
pada skala kecil (Desa) yang merupakan salah satu upaya pengelolaan
sumberdaya ikan. Biasanya pendekatan kedua tersebut dilengkapi dengan
pengaturan penggunaan alat-alat penangkapan ikan. Pendekatan ketiga adalah
pembentukan kawasan konservasi laut dengan skala luas, dengan tujuan yang
serba guna dan sistem pengelolaan yang terintegrasi. Pendekatan ketiga
tersebut merupakan pendekatan yang relatif baru di Indonesia dan dicoba
dilakukan pada pengembangan KKL oleh COREMAP II.
8
Menurut Wiryawan et al. (2006), salah satu bentuk pengelolaan dan
perlindungan sumberdaya laut adalah menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki
potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, gejala alam dan keunikan,
serta ekosistemnya menjadi KKL. Melalui cara tersebut diharapkan upaya
perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber
plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam secara
lestari dapat terwujud.
Dalam pandangan pemerintah, sumber daya alam hayati laut dan
ekosistemnya sangatlah penting untuk dikelola, karena sebagai sumber daya
alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia menurut Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dikuasai oleh negara untuk dipergunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan
dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik
sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan pengelolaan
dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Dengan
demikian, penggunaan sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya melalui
kegiatan konservasi laut akan bermanfaat bagi rakyat banyak bila secara
ekonomis, politis, sosiologis dan kultural menguntungkan.
Untuk melindungi sumberdaya alam ini, pemerintah melakukan berbagai
upaya perlindungan diantaranya dengan menetapkan kawasan-kawasan
konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah telah
merancang suatu model pengelolaan kawasan di wilayah laut yang diberi nama
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Sampai tahun 2013, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Pemerintah Daerah telah berhasil
menginisiasi, mencadangkan dan atau menetapkan sebanyak 99 Kawasan
Konservasi Perairan Laut dengan luas keseluruhan mencapai 11.069.263,30 Ha.
9
Kawasan Konservasi Perairan tersebut terdiri dari 1 Taman Nasional
Perairan (TNP), 3 Suaka Alam Perairan (SAP), 6 Taman Wisata Perairan (TWP),
dan 89 Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), (Dirjen KP3K KKP, 2013).
C. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pulau Pasi
Untuk wilayah KKPD Pulau Pasi terbagi menjadi beberapa zonasi
(Gambar 1) yakni zona inti, sebagai zona perlindungan yang dimana zona ini
diperlukan untuk kepentingan perlindungan kawasan (melindungi habitat dan
populasi biota laut dan pesisir). Kawasan ini terletak pada dua Lokasi yaitu
Perairan Liang Kareta Desa Bontoborusu sisi Selatan Pulau dan Taka Ujung
Lola Desa Bontolebang sisi Utara Pulau.
Zona Pemanfaatan, merupakan zona terbatas khusus wisata seperti
wisata bahari (selam, snorkling, memancing) terletak pada 4 Lokasi antara lain
Ampangan-Liang Kareta sisi Selatan Pulau, Je'neiya sisi Barat Pulau, Timbula
dan Gusung sisi Utara Pulau. Potensi wisata kawasan ini adalah pantai pasir
putih, snorkling dan diving. Beberapa biota yang menjadi objek di lokasi ini selain
terumbu karang adalah penyu dan beberapa spesies kelinci laut.
Zona Lainnya, merupakan kawasan untuk rehabilitasi terletak di wilayah
Tarrusang Desa Bontolebang yang merupakan wilayah pemisah antara Pulau
Gusung dan Pulau Pasi. Lokasi ini merupakan lokasi hutan mangrove seluas
66,62 Hektar (PPTK UH, 2007).
Zona Perikanan Berkelanjutan, merupakan kawasan diluar zona inti, zona
pemanfaatan dan zona lainnya. Kawasan ini terdapat 2 kegiatan perikanan
masyarakat yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan budidaya
yang sedang berkembang di masyarakat adalah keramba jaring apung (KJA) dan
keramba tancap yang saat ini telah menjadi salah satu tujuan wisata keluarga
(memancing).
10
Gambar 1. Zonasi KKPD Pulau Pasi (sumber : SK Bupati Tahun 2011)
D. Klasifikasi Karang
Berdasarkan Veron dan Terence (1997 dalam Asaad A.I.J., 1999),
klasifikasi biota karang adalah sebagai berikut :
Filum : Coelenterata
Kelas : Anthozoa
Ordo : Scleractinia (Madreporaria)
Family : 1. Astrocoeniidae
2. Pocilloporidae
3. Acroporidae
4. Poritidae
5. Siderastidae
11
6. Agariciidae
7. Fungiidae
8. Oculinidae
9. Pectinidae
10. Mussidae
11. Merulinidae
12. Faviidae
13. Dendrophyliidae
14. Caryophyliidae
15. Trachyphyliidae
Kelas : Alcynaria (Octorallia)
Ordo : Alcyonacea (Soft Coral)
E. Terumbu Karang
1. Biologi Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem organisme yang hidup
di dasar perairan yang berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat
menahan gaya gelombang laut. Organisme-organisme yang dominan hidup disini
adalah hewan-hewan karang yang mempunyai kerangka kapur dan alga yang
banyak diantara terumbu karang juga mengandung kapur. Sorokin (1993 dalam
Aulia Khairunnisa N. dkk 2012), membedakan antara hewan karang atau karang
(reef coral) sebagai organisme individu atau komponen dari ekosistem dan
terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu ekosistem.
Menurut Levinton (1988), terumbu karang adalah kumpulan bentuk yang
kompak dan tersusun kokoh dari kerangka sedimen organisme bentik yang hidup
di perairan laut yang hangat dengan kedalaman yang cukup cahaya, merupakan
12
bentukan fisiografi terkontruksi pada perairan tropik dan terutama terdiri dari
kerangka kapur yang terbentuk oleh karang hermatipik.
Nybakken (1992 dalam Haerul 2013) menyatakan bahwa biota karang
merupakan penyusun utama dari terumbu karang. Berdasarkan
pertumbuhannya, karang terdiri dari dua kelompok yang berbeda, yaitu karang
hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik bersimbiosis dengan
zooxanthella dan dapat menghasilkan terumbu. Sedangkan karang ahermatipik
tidak bersimbiosis dengan zooxanthella dan tidak menghasilkan terumbu.
Terumbu Karang merupakan salah satu ekosistem perairan tropis yang
memiliki fungsi yang sangat penting baik bagi organisme. Terumbu karang
adalah komunitas yang memiliki keanekaragaman jenis biota yang besar dan
memiliki panorama yang indah menurut Johannes (1972 dalam Haerul, 2013).
Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel
tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatipik yang
dinamakan zooxanthellae. Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut hidup
di jaringan-jaringan polyp karang, serta melakukan fotosintesa. Hasil samping
dari aktivitas fotosintesa tersebut adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3),
yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
menentukan jenis atau spesies binatang karang (Dahuri, 2003).
Menurut Dahuri (2003), bahwa hewan karang termasuk kelas Anthozoa,
yang berarti hewan berbentuk bunga (Antho artinya bunga; zoa artinya hewan).
Lebih lanjut dikatakan bahwa Aristoteles mengklasifikasikan hewan karang
sebagai hewan-tumbuhan (animal plant). Pada tahun 1723, hewan karang
diklasifikasikan sebagai biota.
Bentuk morfologi dan identifikasi jenis cnidaria terdiri dari kelas hydrozoa
dan anthozoa. Anthozoa terbagi menjadi karang keras dan karang lunak. Pada
13
karang biasanya terdapat organisme yang bersimbion yang berasal dari sel
tumbuhan jenis Symbiodium microadriaticum (Anonim dalam Suwarrni 2005).
Ada yang membatasi kelangsungan hidup terumbu karang yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan. Nontji (1993) mengelompokan
faktor pembatas tersebut ke dalam lima faktor yaitu cahaya, suhu, salinitas,
kejernihan air dan arus.
Cahaya yang tidak cukup berpengaruh pada berkurangnya laju
fotosintesis yang pada akhirnya kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium
karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Nybakken (1992),
mengemukakan bahwa cahaya matahari berperan penting dalam proses
pembentukan terumbu karang karena cahaya matahari menentukan
kelangsungan proses fotosintesis bagi alga yang bersimbiosis di dalam jaringan
karang.
Berdasarkan kedalaman, ekosistem terumbu karang akan mudah tumbuh
dengan baik pada perairan dengan kedalaman 25 meter atau kurang.
Perkembangan terumbu karang yang optimal terjadi diperairan yang rata-rata
suhu tahunannya 230-250C. Namun terumbu karang dapat mentoleransi suhu
sampai 360-400C. Toleransi penyusun karang terhadap perubahan suhu berbeda
antara satu spesies dengan spesies yang lainnya. Beberapa spesies tidak dapat
mentoleransi perubahan suhu lebih dari 5oC dalam waktu yang lama, karena
dapat menimbulkan pemutihan karang yang sangat merusak karang (Sudiono,
2008).
Terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih
tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal (30-35‰) (Nybakken, 1992).
Menurut Sukarno (1981), terumbu karang dapat hidup dalam batas salinitas yang
berkisar 25-40 ‰. Menurut Dahuri (2003 dalam Sudiono, 2008) bahwa umumnya
terumbu karang tumbuh dengan baik di wilayah dekat pesisir pada salinitas 30-
14
35 ‰. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran
tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas
normal.
Di sisi lain, arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal
menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses
pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang
berasal dari laut lepas. Oleh sebab itu arus sangat berperan penting dalam
proses transfer energi menurut Dahuri (2003 dalam Sudiono, 2008). Lebih lanjut
dikatakan bahwa Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi.
Sedimen dari partikel lumpur padat yang di bawa oleh aliran permukaan (surface
run off) akibat erosi menutupi permukaan terumbu karang. Sehingga tidak hanya
berdampak negatif terhadap hewan karang, tetapi juga terhadap biota yang
hidup berasosiasi dengan habitat tersebut.
2. Anatomi Karang
Menurut Timotius (2004), karang atau disebut polip memiliki bagian-
bagian tubuh terdiri dari (Gambar 2) :
a. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari
perairan serta sebagai alat pertahanan diri
b. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan
(gastrovascular)
c. Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum
disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan.
Diantara kedua lapisan tersebut terdapat jaringan pengikat tipis yang
disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel serta kolagen dan
mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan
material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium
karbonat/ kapur.
15
Gambar 2. Anatomi Polyp Karang (sumber : google)
3. Cara Makan
Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makanan, yaitu:
a. Menangkap zooplankton yang melayang dalam air
b. Menerima hasil fotosintesis zooxanthellae
Ada pendapat ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis
zooxanthellae yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D’Elia
2001). Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal
dari zooxanthellae (Tackett & Tackett 2002).
Ada dua mekanisme bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat
mencapai mulut:
a. Mangsa ditangkap lalu tentakel membawa mangsa ke mulut.
b. Mangsa ditangkap lalu terbawa ke mulut oleh gerakan silia disepanjang
tentakel.
4. Tipe dan Jenis Terumbu Karang
Dilihat dari bentuk pertumbuhannya, karang dibedakan menjadi enam
kategori utama menurut CRITC-COREMAP (2007) yaitu :
16
a. Karang Bercabang (Branching)
Koloni ini tumbuh kearah vertikal maupun horisontal, dengan arah vertikal
lebih dominan. Percabangan dapat memanjang atau melebar, sementara bentuk
cabang dapat halus atau tebal. Karang bercabang memiliki tingkat pertumbuhan
yang paling cepat, yaitu bisa mencapai 20 cm/ tahun. Bentuk koloni seperti ini
banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama
yang terlindungi atau setengah terbuka (Gambar 3).
Gambar 3. Karang Bercabang (Dokumentasi FDC UNHAS, 2014)
b. Karang Padat (Massive)
Pertumbuhan koloni lebih dominan ke arah horisontal dari pada vertikal.
Karang ini memiliki permukaan yang halus dan padat. Bentuk yang bervariasi
seperti setengah bola, bongkahan batu dan lainnya dengan ukuran yang juga
beragam. Dengan pertumbuhan < 1 cm/ tahun, koloni tergolong paling lambat
tumbuh. Meski demikian, di alam banyak dijumpai karang ini dengan ukuran yang
sangat besar. Umumnya ditemukan disepanjang tepi terumbu karang dan bagian
atas lereng terumbu (Gambar 4).
17
Gambar 4. Karang Padat (Dokumentasi FDC UNHAS, 2014)
c. Karang Mengerak (Encrusting)
Bentuk menyerupai dasar, permukaan kasar dan keras serta memiliki
lubang-lubang kecil (Gambar 5).
Gambar 5. Karang Mengerak (Dokumentasi FDC UNHAS, 2014)
d. Karang Meja (Tabulate)
Bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang
ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi
membentuk sudut atau datar (Gambar 6).
18
Gambar 6. Karang Meja (Dokumentasi FDC UNHAS, 2014)
e. Karang Berbentuk Daun (Foliose)
Pertumbuhan koloni terutama kearah horizontal dengan bentuk lembaran
yang pipih. Umumnya terdapat dilereng terumbu dan daerah terlindung (Gambar
7).
Gambar 7. Karang Berbentuk Daun (Dokumentasi FDC UNHAS, 2014)
f. Karang Jamur (Mushroom)
Karang ini pada umumnya berbentuk lingkaran atau oval, pipih dan
terlihat dengan sekat-sekat yang beralur serentak dari sisi-sisinya dan bertemu
19
pada bagian tengahnya disatu titik atau membentuk berkas yang kuat membagi
sisi yang satu dengan yang lain menjadi dua bagian yang sama. Permukaannya
rata, cembung atau cekung dengan ukuran yang bervariasi (Gambar 8).
Gambar 8. Karang Jamur (Dokumentasi FDC UNHAS, 2014)
Berdasarkan struktur geomorphologi dan proses pembentukannya,
Suharsono (1996) mengatakan bahwa terumbu karang terdiri :
a. Terumbu karang tepi (fringing reef)
b. Terumbu karang penghalang (barrier reef)
c. Terumbu karang cincin (atol)
Menurut Barnes dan Hughes (1990), struktur dan komposisi komunitas
karang pada suatu kawasan terumbu berbeda-beda menurut puncak terumbu,
kemiringan terumbu ke arah laut lepas dan pada dataran terumbu yang
mengarah kedaratan. Pada dataran terumbu yang mengarah kedaratan
merupakan zona pembuka (eksposure) yang mengalami hantaman ombak.
Komunitas karang pada zona ini mempunyai bentuk yang kokoh dan bercabang
pendek. Berdasarkan pada formasi struktur komunitas karang menurut
penyebarannya pada daerah pantai maka terbagi beberapa zona karang, yaitu:
20
a. Inner zone merupakan zona bersubstrat pasir dan pasir bercampur pecahan
karang yang ditumbuhi lamun
b. Mixed coral zone pada zona ini terdapat campuran karang dari berbagai
jenis seperti Acropora sp, Goniostrea retiformis, Leptoria phyrgia,
Helioporaco erulea, Favia dan Favites abtida
c. Acropora formosa zone terletak lebih ke tengah dari mixed coral zone. Zona
ini didominasi oleh Acropora formose, dengan diselingi oleh Favia, Favites,
Goniostrea dan Leptoria
d. Outer zone terletak di atas kemiringan laguna yang tersusun oleh karang
Acropora spp, Pocillopra, Echinopora lamellosa, Leptoria phrygia,
Goniostrea retiformis
e. Zona karang terumbu berturut-turut dari puncak ke bawah diduduki oleh
Echinopora lamellosa, Acropora formosa, Helomitra, Herpolitha, Fungia dan
karang campuran
5. Fungsi Terumbu Karang
Suharsono (1993 dalam Ramli 2003) mengatakan bahwa terumbu karang
mempuyai nilai penting sebagai pendukung dan penyedia bagi perikanan pantai
termasuk didalamnya sebagai penyedia bahan dan tempat budidaya berbagai
hasil laut. Terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah rekreasi baik rekreasi
pantai maupun rekreasi bawah laut. Terumbu karang juga dapat dimanfaatkan
sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta sebagai tempat perlindungan
biota-biota langka.
Menurut Dahlan (1998), terumbu karang memiliki arti penting dalam
melindungi hewan-hewan yang lebih besar yang berasosiasi dengan terumbu
karang. Kemudian Sukarno et al. (1981); Nontji (1993); dan Suharsono, (1996)
menambahkan bahwa fungsi alami terumbu karang adalah :
21
a. Sebagai lingkungan hidup karena merupakan tempat tinggal dan tempat
berlindung, tempat mencari makan serta berkembangbiak bagi biota yang
hidup di terumbu karang
b. Sebagai pelindung fisik terhadap pantai dari pengaruh arus dan gelombang
karena terumbu karang sebagai pemecah ombak dan penahan arus
c. Sebagai sumberdaya hayati karena menghasilkan beberapa produk yang
memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, alga,
teripang, kerang mutiara dan
d. Sebagai sumber keindahan karena menampilkan pemandangan yang sangat
indah dan jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain
Terumbu karang juga sebagai benteng pelindung dari hempasan ombak,
arus dan pasang surut bagi pulau-pulau dan berbagai ekosistem pantai lainnya
seperti padang lamun dan mangrove (Suharsono,1996).
6. Kondisi Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan
terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan sekitarnya termasuk gangguan
yang berasal dari kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang
lama. Menurut Burke et al. (2002) bahwa terdapat beberapa penyebab
kerusakan terumbu karang yaitu :
a. Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik
b. Aktivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat
langsung dari pelemparan jangkar kapal
c. Penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan
peningkatan sedimentasi
d. Penangkapan ikan secara berlebihan memberikan dampak terhadap
keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang
22
e. Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom; serta
f. Perubahan iklim global
Ancaman manusia terhadap terumbu karang dapat di deteksi dengan
cara melihat indikasi yang tampak dan kemungkinan penanganan yang dapat
dilakukan. Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan
karena adanya faktor alam. Ancaman oleh alam dapat berupa angin topan, badai
tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh Crown of Thorns Starfish (CoTS) dan
pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang (Sukmara et.al., 2001).
Kehilangan terumbu karang juga dapat terjadi secara alami misalnya oleh
badai dan pemangsaan predator. Menurut Nybakken (1992), sumber terbesar
dalam kematian terumbu adalah perusakan mekanik oleh badai tropis yang
hebat. Topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui daerah terumbu akan
merusak daerah yang sangat luas. Bila terumbu terletak di daerah yang dilalui
oleh angin topan atau angin puyuh maka seluruh atau sebagian dari terumbu
akan rusak. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa sumber lain penyebab kerusakan
itu adalah ledakan populasi bintang laut Acanthaster plancii. Namun beberapa
ilmuwan berpendapat bahwa terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang
dinamis, sehingga dapat memperbaiki diri jika mengalami kerusakan secara
alami. Akan tetapi, aktivitas manusia yang terus meningkat dapat merubah
kondisi lingkungan secara drastis sehingga mempercepat kerusakan terumbu
karang diberbagai tempat.
Penangkapan yang tidak bertanggung jawab dengan menggunakan
peledak dan berbahan kimia racun menjadi ancaman serius bagi
keberlangsungan ekosistem terumbu karang. Adapula proses biologi yang
bersifat merusak struktur terumbu karang umumnya disebut bioerosi yang secara
sederhana didefinisikan sebagai penghilangan CaCO3 dari terumbu atau dari
koloni karang oleh proses-proses biologi (Timotius S., 2004).
23
III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Agustus 2015. Pengambilan
data ekosistem terumbu karang dilakukan di KKLD Pulau Pasi, Kepulauan
Selayar (Gambar 9) pada 3 stasiun dengan posisi geografis dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Koordinat Stasiun Pengamatan
Stasiun
Koordinat
Bujur Timur Lintang Selatan
I 120˚ 25’ 28.45” 6˚ 12’ 21.29” II 120˚ 25’ 5.73” 6˚ 12’ 41.83” III 120˚ 24’ 23.54” 6˚ 12’ 51.30”
Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian
24
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain: Alat SCUBA, pembantu
pernapasan selama pengamatan bawah air. Roll meter sebagai transek garis
dalam pengamatan karang. GPS Garmin e-Trex, alat pencari dan penentu titik
koordinat lokasi penelitian. Alat tulis menulis, digunakan untuk mencatat
pengamatan. Kamera underwater G15 dan Kamera GOPRO SJCAM 4000 Wifi
untuk dokumentasi proses penelitian. Kapal bermotor, transportasi yang
memobilisasi aktivitas penelitian. Peta sebagai gambaran umum lokasi
pengamatan. Thermometer, untuk mengukur suhu perairan. Layangan arus
digunakan untuk mengukur kecepatan arus perairan. Secchi disk, pengukur
kecerahan perairan dan Handrefractometer untuk mengukur kadar garam
perairan.
C. Metode Pengambilan Data
1. Penentuan Stasiun
Penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja (purpose sampling)
dengan mempertimbangkan keterwakilan kawasan konservasi secara
keseluruhan yang sesuai untuk tujuan penelitian serta mengikuti koordinat
penelitian sebelumnya (Irwan, 2010).
Sebelum menentukan stasiun penelitian sebagai lokasi pengamatan
maka dilakukan survey awal dengan cara snorkeling dipermukaan untuk melihat
dan menilai secara langsung kondisi ekosistem terumbu karang yang ada di
kawasan tersebut. Stasiun I merupakan jalur pelayaran dan dekat daerah
pemukiman. Stasiun II merupakan daerah penangkapan nelayan tradisional dan
Stasiun III merupakan daerah wisata. Pengamatan dilakukan pada 3 stasiun,
setiap stasiun memiliki ulangan pada kedalaman 3 dan 10 meter menggunakan
transek sepanjang 50 meter.
25
2. Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup
Untuk menentukan kondisi terumbu karang digunakan metode Line
Intercept Transect (LIT). Teknis dilapangan yakni menyelam dengan meletakkan
meteran berukuran 50 meter horisontal garis pantai. Kemudian dilakukan
pencatatan data berdasarkan garis transek. Pengambilan data dilakukan
disepanjang transek dan untuk mencatat tipe pertumbuhan kemudian di catat
pada data sheet (Lampiran 2). Nilai penutupan dasar yang di data adalah nilai
akhir pada garis transek yang merupakan akhir dari suatu kriteria yang ditinjau
dari transek 0-50 m.
Biota atau karang yang berkoloni dianggap sebagai satu individu, bila
satu koloni dipisahkan oleh suatu kriteria benda atau binatang maka koloni
tersebut di data secara terpisah yang di anggap sebagai dua individu seperti
terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pencatatan data koloni karang pada metode LIT
Keterangan : DCA=karang ditumbuhi alga ; SP=sponge ; ACS=karang baji
Bentuk kategori LIT yang diamati diadopsi dari English et al. (1997), dapat
dilihat pada Tabel 2.
26
Tabel 2. Bentuk kategori dalam pengambilan data
Bentuk Deskripsi
ACB Acropora bentuk koloni bercabang
ACT Acropora bentuk koloni mendatar/ meja
ACS Acropora bentuk koloni sub-massive
ACE Acropora bentuk koloni merayap
ACD Acropora bentuk koloni menjari
CM Non-acropora bentuk koloni massive
CS Non-acropora bentuk koloni sub-massive
CE Non-acropora bentuk koloni merayap
CF Non-acropora bentuk koloni lembaran
AA Pertumbuhan makro alga yang mengelompok
CME Karang genus Millepora
CMR Karang dari family Fungiidae
DC karang baru mati
DCA Karang mati ditumbuhi algae, kelihatan bentuk koloninya
MA Makroalgae
OT Biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang
R Patahan karang yang belum ditumbuhi alga
S Pasir
SC Karang lunak
SP Sponge
Persentase tutupan lifeform telah diperoleh, kemudian dapat ditentukan
kondisi tutupan karang yang ada di area tersebut. Metode LIT mempunyai
beberapa kelebihan antara lain, akurasi data dapat diperoleh dengan baik,
kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas seperti
persentase penutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan
keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat
menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang bersimbiosis dengan
terumbu karang (Manuputty, 2006).
3. Kualitas Perairan
Setiap stasiun dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas
perairan secara langsung dengan dua kali ulangan berupa suhu, salinitas,
kecerahan dan kecepatan arus. Alat yang digunakan dalam pengambilan data
kualitas air berbeda sesuai dengan parameter yang di ukur.
27
a. Suhu
Suhu di ukur dengan menggunakan thermometer dan dilakukan langsung
dilapangan pada setiap lokasi pengamatan. Thermometer dicelupkan dan
kemudian di catat skala suhu yang terbaca.
b. Salinitas
Salinitas di ukur dengan menggunakan handrefractometer dan dilakukan
langsung dilapangan pada setiap lokasi pengamatan. Handrefractometer ditetesi
sampel air dan mencatat nilai yang terlihat dalam handrefractometer.
c. Kecerahan
Pengukuran kecerahan perairan dilakukan di lokasi pengamatan dengan
menggunakan secchi disk. Alat tersebut dimasukkan ke dalam perairan yang di
ikat dengan tali sampai tidak kelihatan kemudian kedalamannya di catat.
d. Kecepatan arus
Pengukuran arus menggunakan layangan arus yang dilakukan pada
lokasi pengamatan. Layangan arus diletakkan pada lokasi perairan yang telah
ditentukan dan stop watch dinyalakan untuk menentukan lamanya waktu hingga
tali pada layangan arus menegang. Hasil yang diperoleh dari pengukuran
kemudian di catat.
D. Analisis Data
1. Persentase Tutupan Terumbu Karang
Persentase penutupan karang mati, karang hidup dan jenis lifeform
lainnya di hitung dengan rumus English et al., (1997) : 𝐶 = 𝑎𝐴 X 100
28
Keterangan :
C = Persentase penutupan lifeform (%)
a = Panjang transek lifeform (cm)
A = panjang total transek (cm)
Hasil persentase tutupan lifeform yang diperoleh disajikan menurut
kedalaman setiap stasiun dan dianalisis secara deskriptif dengan tabel atau
grafik sehingga dapat ditentukan kondisi karang di daerah tersebut dengan
melihat tabel kriteria tutupan karang hidup berdasarkan Gomes & Yap (1998)
seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Terumbu Karang Menurut Gomes dan Yap (1998)
Kategori Tutupan karang hidup (%) Kriteria
1 75 – 100 Sangat Baik 2 50 – 74,9 Baik 3 25 – 49,9 Sedang 4 0 – 24,9 Rusak
2. Kualitas Perairan
Hasil pengukuran dilapangan berupa suhu, salinitas, kecerahan dan
kecepatan arus disajikan menurut kedalaman setiap stasiun dan dianalisis
secara deskriptif dengan bantuan tabel atau grafik dan kemudian akan
dibandingkan dengan data sekunder untuk dianaslisis berdasarkan data kualitas
air tahun sebelumnya.
a. Kecerahan
Untuk menghitung kecerahan digunakan rumus :
Kecerahan = 𝐽𝑎𝑟𝑎 ℎ𝑖 𝑎 𝑔 + 𝐽𝑎𝑟𝑎 𝑡𝑎 𝑝𝑎2
b. Kecepatan arus
Untuk menghitung kecepatan arus di hitung dengan rumus Triatmodjo
(1999): 𝑉 =
29
Keterangan :
V = Kecepatan arus (m/s)
s = Panjang tali (m)
t = waktu yang diperlukan untuk tali menegang (s)
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persentase Luas Tutupan
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan tutupan karang hidup (HC)
dengan persentase tertinggi berada pada Stasiun III pada kedalaman 3 meter
sebesar 65.38% dan terendah pada Stasiun I pada kedalaman 3 meter sebesar
11.22%. Tutupan karang mati tertinggi ditemukan pada Stasiun III pada
kedalaman 10 sebesar 51.34%, sedangkan patahan karang banyak ditemukan
pada Stasiun II pada kedalaman 3 meter sebesar 55.32% (Gambar 11).
ST I : 3 M
ST I : 10 M
ST II : 3 M
ST II : 10 M
ST III : 3 M
ST III : 10 M
0
20
40
60
80
Hard Coral (HC)
Dead Coral (DC)
ALGAE
OTHER (OT)
ABIOTIC
St I : 10 meter St I I: 3 meterSt I : 3 meter St II : 10 meter St III : 10 meterSt III : 3 meter
Stasiun
Lu
as
tu
tu
pa
n (
%)
Gambar 11. Persentase Luas Tutupan di 3 Stasiun Pada Dua Kedalaman
Keterangan : HC= karang hidup Acropora & Non-acropora; DC=karang mati & ditumbuhi alga; Algae=jenis alga; OT=bentuk lain (Sponge/Ascidian/soft coral); Abiotic=pasir
31
Persentase tutupan pada kedalaman 3 meter (Gambar 12) berkisar
antara 0.56 – 65.38% (Lampiran 2). Persentase tertinggi karang hidup terdapat
pada Stasiun III sebesar 65.38% dan terendah pada Stasiun I sebesar 11.22%.
Untuk karang mati pada kedalaman 3 meter berkisar antara 12.86 - 41.32%.
Grafik pada Gambar 13 memperlihatkan persentase pengamatan berkisar
antara 0.22 - 51.34% dengan tutupan karang hidup tertinggi berada pada Stasiun
II sebesar 40.8% dan terendah pada Stasiun III sebesar 38.02%. Karang mati
memiliki persentase tertinggi pada Stasiun III sebesar 51.34% dan biotic lain
(OT) berkisar 0.74 - 3.58%.
I II III
0
20
40
60
80
HARD CORAL (HC)
DEAD CORAL (DC)
ALGAE
OTHER (OT)
ABIOTIC
I IIIII
Stasiun
Lu
as t
utu
pa
n (
%)
Gambar 12. Kondisi Tutupan di Kedalaman 3 Meter
Keterangan : HC= karang hidup Acropora & Non-acropora; DC=karang mati; Algae=jenis alga; OT=bentuk lain (Sponge/Ascidian/soft coral); Abiotic=pasir
32
I II III0
20
40
60
HARD CORAL (HC)
DEAD CORAL (DC)
ALGAE
OTHER (OT)
ABIOTIC
I II III
Stasiun
Lu
as
tu
tup
an
(%
)
Gambar 13. Kondisi Tutupan di Kedalaman 10 Meter
Keterangan : HC= karang hidup Acropora & Non-acropora ; DC=karang mati & ditumbuhi alga; Algae=jenis alga; OT=bentuk lain (Sponge/Ascidian/soft coral); Abiotic=pasir
Luas tutupan yang diamati dari setiap stasiun berada antara 0.22 -
65.38%. Karang hidup tertinggi dari stasiun yang diamati berada pada Stasiun III
kedalaman 3 meter sebesar 65.38%. Stasiun yang nilai luas tutupannya terendah
berada pada Stasiun I kedalaman 3 meter sebesar 0.02% kategori Alga
Assemble (AA) .
B. Kondisi Terumbu Karang
Terdapat 2 stasiun dari pengamatan yang kondisi terumbu karangnya
masuk dalam kategori rusak, yakni Stasiun I kedalaman 3 meter sebesar
11.22% dan Stasiun II kedalaman 3 meter sebesar 20.7% seperti terlihat pada
Tabel 4.
33
Tabel 4. Kondisi Terumbu Karang Setiap Stasiun
No. Stasiun Kedalaman (m)
Karang Hidup (%)
Kondisi
1 I 3 11.22 Rusak 10 38.26 Sedang
2 II 3 20.7 Rusak 10 40.8 Sedang
3 III 3 65.38 Baik
10 38.02 Sedang
1. Stasiun I
Stasiun I merupakan rute transportasi kapal tangkap nelayan dan kapal
penumpang antar pulau. Hasil pengamatan ditemukan tutupan karang hidup
pada Stasiun I kedalaman 3 meter sebesar 11.22% dan kedalaman 10 meter
sebesar 38.26%. Sehingga rerata tutupan karang hidup (HC) Stasiun 1 sebesar
24.74%.
Tutupan karang hidup jenis Acropora (AC) pada kedalaman 3 meter
sebesar 1.22 % terdiri dari Acropora bercabang (ACB), Acropora berjari (ACD)
dan Acropora baji (ACS). Kedalaman 10 meter sebesar 36.94% terdiri ACB dan
ACS. Untuk jenis Non-acropora (NA) pada kedalaman 3 meter sebesar 10% dan
kedalaman 10 meter sebesar 1.32% terdiri dari karang padat (CM), Coral sub-
massive (CS) dan karang berjamur (CMR).
Stasiun I pada kedalaman 3 meter memiliki karang mati (DC) sebesar
17.74%, karang ditumbuhi alga (DCA) 1.46% dan DC di kedalaman 10 meter
sebesar 28.68%. Alga berkelompok (AA) kedalaman 3 meter sebesar 0.02% dan
kedalaman 10 meter sebesar 0.22%. Stasiun I didominasi oleh hamparan pasir/
Sand (S) 39.54%, karang lunak (SC) 1.8% dan patahan karang/ Rubble (R)
6.12% (Gambar 14). Penyebab karang mengalami kematian dapat diakibatkan
tidak mendapatkan makanan dari dan ditinggalkan oleh zooxanthella ataupun
akibat ditumbuhi oleh alga.
34
(a)
(b)
Gambar 14. Persentase Tutupan Biota dan Substrat Stasiun I Pulau Pasi pada Kedalaman (a) 3 meter dan Kedalaman (b) 10 meter
Keterangan : ACB=karang bercabang ; ACD=karang berjari ; ACS=karang baji ; CM=karang padat ;
CMR=karang jamur ; DC=karang mati; DCA=karang ditumbuhi alga ; AA=alga bergerombol ; SC=karang lunak ; R=patahan karang ; S=pasir
1%
0%
0%
9% 1%
18%
1%
0%
22%
2%
6%
40%
Persentase tutupan biota dan substrat pada kedalaman 3 meter
ACB ACD ACS CM CS DC DCA AA MA SC R S
36,30%
0,64%
0,58% 0,74%
28,68% 0,22%
6,90%
25,94%
Persentase tutupan biota dan substrat pada kedalaman 10 meter
ACB
ACS
CM
CMR
DC
AA
R
S
35
2. Stasiun II
Stasiun II adalah kawasan menangkap ikan nelayan setempat dan
merupakan kawasan yang masuk dalam zona perikanan berkelanjutan, pada
kawasan ini masyarakat diperuntukkan melakukan aktivitas sosial ekonominya di
wilayah laut dengan menangkap ikan dengan cara ramah lingkungan.
Rerata tutupan karang hidup ditemukan pada Stasiun II sebesar 30.75%.
Karang hidup tertinggi ditemukan pada kedalaman 10 meter sebesar 40.8%.
Karang kategori AC kedalaman 3 meter sebesar 7.66% dan karang kategori CM
sebesar 13.04%. Di kedalaman 10 meter, karang hidup didominasi oleh CM
sebesar 21.76%. Berdasarkan Gambar 15 patahan karang tertinggi ditemukan
pada Stasiun II kedalaman 3 meter sebesar 55.32%. Berdasarkan kategori,
kerusakan ini disebabkan oleh adanya aktivitas penangkapan dengan
menggunakan bahan peledak. Bahan peledak menyebabkan terjadinya patahan-
patahan karang berserakan dengan radius bervariasi tergantung dari jumlah dan
bobot bahan peledak yang digunakan.
Stasiun II kedalaman 10 meter karang mati sebesar 42.24%. Di
kedalaman 10 meter karang mati 41.84% lebih dominan dibanding karang mati
ditumbuhi alga sebesar 0.4%. Tutupan karang pada Stasiun II dengan rerata
30.75% perlu di jaga, dilindungi serta dijauhkan dari aktivitas manusia yang
berdampak buruk terhadap ekosistem karang.
Aktivitas dengan penangkapan destruktif seperti bom dan penggunaan
bahan kimia hanya akan menyebabkan kerusakan pada terumbu karang dan
akan mempengaruhi tingkat produktifitas organisme yang hidup di terumbu
karang.
36
(a)
(b)
Gambar 15. Persentase Tutupan Biota dan Substrat Stasiun II Pulau Pasi pada Kedalaman (a) 3 meter dan Kedalaman (b) 10 meter
Keterangan : ACB=karang bercabang ; ACD=karang berjari ; CE=karang mengerak ; CF=karang daun ;
CM=karang padat ; CMR=karang jamur ; DC=karang mati; DCA=karang ditumbuhi alga ; AA=alga bergerombol ; SC=karang lunak ; R=patahan karang
8% 3%
10% 0%
9%
4%
1% 1%
55%
9%
Persentase tutupan biota dan substrat pada kedalaman 3 meter
ACB CF CM CMR DC DCA AA SC R S
2% 2% 2%
4%
22%
1% 42%
0%
4%
13%
8%
Persentase tutupan biota dan substrat pada kedalaman 10 meter
ACB ACD ACT CE CM CME DC DCA SC S CS
37
3. Stasiun III
Stasiun III merupakan daerah objek wisata pantai berpasir, snorkeling
dan olahraga selam. Persentase tutupan karang hidup tertinggi Stasiun III berada
pada kedalaman 3 meter sebesar 65.38%. Stasiun III di kedalaman 3 meter
didominasi oleh karang bercabang sebesar 63.24%, sedangkan pada kedalaman
10 meter didominasi oleh karang mati sebesar 51.34%.
Tingkat penutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter sangat tinggi
(Gambar 16). Titik pengamatan ini merupakan zona inti dari KKPD Pulau Pasi.
Persentase AC sebesar 65.22% dan NA sebesar 0.16% menjadikan lokasi ini
sebagai daerah objek wisata bawah laut yang baik. Karang mati sebesar 51.34%
merupakan angka yang tinggi untuk menjadi perhatian dalam pengelolaan dan
pemanfaatan.
Ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk pulih kembali. Pertumbuhan terumbu yang hanya
mencapai 1-2 cm pertahun hendaknya menjadi perhatian serius dalam
pengelolaan. Keindahan bawah laut akan berkurang apabila ekosistem terumbu
karang mengalami kerusakan. Hal ini berpengaruh pula terhadap kunjungan
wisatawan yang akan melakukan wisata selam.
Meskipun Pulau Pasi memiliki keindahan pasir putih, namun belum
sepadan dengan dogma yang berkembang di benak penggiat selam. Keindahan
bawah laut Kepulauan Selayar dengan warna-warni karang, gerombolan ikan
serta keanekaragaman biota lautnya seperti penyu dan kelinci laut yang menjadi
salah satu daya tarik dalam melakukan wisata dan olahraga selam.
38
(a)
(b)
Gambar 16. Persentase Tutupan Biota dan Substrat Stasiun III Pulau Pasi pada Kedalaman (a) 3 meter dan Kedalaman (b) 10 meter
Keterangan : ACB=karang bercabang ; ACS=karang baji ; ACT=karang meja ; ACD=karang berjari ; CE=karang
mengerak ; CF=karang daun ; CM=karang padat ; CME=karang api ; DC=karang mati; DCA=karang ditumbuhi alga ; AA=alga bergerombol ; S=pasir
63%
1% 1%
0%
8%
23%
3%
1%
Persentase tutupan biota dan substrat pada kedalaman 3 meter
ACB ACS ACT CM DC DCA AA S
4% 6%
1% 0%
20%
0%
5%
2%
42%
9%
1% 1% 9%
Persentase tutupan biota dan substrat pada kedalaman 10 meter
ACB ACD ACE ACS CE CS CM CME DC DCA AA SC S
39
C. Tutupan Karang Hidup Pulau Pasi
Kondisi terumbu karang Pulau Pasi mengalami perubahan setiap
tahunnya sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Tabel 5). Persentase
kondisi karang hidup tertinggi pada Tahun 2012 dan Tahun 2013 sebesar 66%.
Pada tahun berikutnya terjadi perubahan kondisi tutupan karang hidup di Pulau
Pasi.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Irwan (2010) bahwa rerata
penutupan karang Pulau Pasi didominasi oleh non-acropora yaitu sebesar
36,96%, menyusul Dead coral sebesar 27,16% lalu Acropora sebesar 19,24%
kemudian Abiotic dan Others masing-masing 10,18% dan 6,46%. Penutupan
terendah sebesar 3,34% berada pada sisi Utara Pulau, sedangkan penutupan
tertinggi sebesar 36,00% yang berada di sisi Selatan Pulau.
Tabel 5. Tutupan Karang Hidup (%) Pulau Pasi
Stasiun
Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
I - - - - 24.74
II - 66 32 53.27 30.75
III - 62 66 49.47 51.7
D. Kualitas Perairan
Kualitas perairan adalah hal yang perlu diketahui dalam suatu ekosistem,
sebab hal tersebut bisa berpengaruh dan memiliki hubungan terhadap ekosistem
dan biota atau organisme yang ada didalamnya, terkhusus karang hidup yang
menjadi fokus penelitian ini. Adapun kualitas perairan yang di ukur pada saat
penelitian meliputi : suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus yang
dipaparkan pada Tabel 6.
40
Tabel 6. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan di Lokasi Penelitian
Parameter
Satuan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m
Suhu oC 29.3 29 29.1 29 29.1 29
Salinitas ‰ 30 30 30 30 31 31
Kecerahan % 100 100 100 100 100 100
Kecepatan arus m/s 0.16 0.15 0.13 0.11 0.11 0.09
1. Suhu
Hasil pengukuran suhu pada setiap stasiun berkisar antara 290C – 29.30C
(Gambar 17). Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi diperairan yang
rata-rata suhu tahunannya 23oC - 35oC. Perairan yang terlalu panas juga tidak
baik untuk karang. Batas atas suhu bervariasi, tetapi biasanya antara 30oC -
35oC. Salah satu tanda karang mengalami stress karena suhu yang terlalu tinggi
adalah karang mengalami pemutihan (coral bleaching), dimana karang
ditinggalkan zooxanthellae dari tubuhnya menurut Castro and Huber (2005
dalam Prasetyanda, 2011).
Gambar 17. Grafik Suhu Berdasarkan Kedalaman Pada Lokasi Penelitian
28,85
28,9
28,95
29
29,05
29,1
29,15
29,2
29,25
29,3
29,35
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Su
hu
(0C
)
Kedalaman 3 Meter Kedalaman 10 Meter
41
2. Salinitas
Pengukuran salinitas di setiap stasiun diperoleh 30‰ - 31‰ (Gambar 18).
Nilai salinitas tersebut merupakan normal untuk pertumbuhan terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan
salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal (30‰ - 35‰)
dan menurut Sukarno (1981), terumbu karang dapat hidup dalam batas salinitas
yang berkisar 25‰ - 40‰.
Nilai salinitas memberikan pengaruh terhadap tekanan osmosis
organisme dan kelarutan gas dalam perairan, sehingga apabila terjadi perubahan
secara mendadak dengan nilai yang tinggi maka akan memberikan dampak
negatif bagi kehidupan organisme terutama terumbu karang (Herul, 2013).
Gambar 18. Grafik Salinitas Berdasarkan Kedalaman Pada Lokasi Penelitian
3. Kecerahan
Kecerahan berkaitan erat dengan intensitas cahaya matahari yang masuk
kedalam perairan. Kecerahan yang diperoleh diperairan ini 100% (Gambar 19)
pada kedalaman berkisar 2.3 m - 7.8 m, nilai tersebut masih relatif baik bagi
pertumbuhan terumbu karang. Kemampuan cahaya matahari masuk hingga ke
0
10
20
30
40
50
60
70
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Sa
lin
ita
s (‰
)
Kedalaman 3 Meter Kedalaman 10 Meter
42
dasar pada setiap stasiun pengamatan diakibatkan oleh masih kurangnya
sedimentasi diperairan Pulau Pasi. Menurut Nybakken (1992) cahaya matahari
berperan penting dalam proses pembentukan terumbu karang karena cahaya
matahari menentukan kelangsungan proses fotosintesis bagi alga yang
bersimbiosis di dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju
fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang
untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang
pula.
Gambar 19. Grafik Kecerahan Berdasarkan Kedalaman Pada Lokasi Penelitian
4. Kecepatan arus
Hasil pengamatan berdasarkan Gambar 20, nilai kecepatan arus di setiap
stasiun yang diperoleh berkisar 0.09 m/s - 0.16 m/s. Arus tertinggi berada pada
Stasiun III kedalaman 10 meter dan terendah pada Stasiun I kedalaman 3 meter.
Menurut Herul (2013), arus mendukung pertumbuhan terumbu karang,
untuk membersihkan atau mengangkat endapan yang melekat pada polip
karang. Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk, bersifat baik apabila
membawa nutrient dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh terumbu
0
50
100
150
200
250
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Ke
cera
ha
n (
%)
Kedalaman 3 Meter Kedalaman 10 Meter
43
karang dan bersifat buruk apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu
karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian
karang. Nybakken (1992 dalam Adriman, 2012) mengatakan bahwa kecepatan
arus optimum untuk kehidupan terumbu karang adalah antara 0 - 0,17 m/s.
Gambar 20. Grafik Kecepatan Arus Berdasarkan Kedalaman Pada Lokasi Penelitian
Nybakken (1997 dalam Prasetyanda, 2011) mengemukakan bahwa
secara umum pertumbuhan terumbu karang lebih berkembang pada area
dengan gelombang dan arus sedang. Koloni karang dengan kerangka-kerangka
yang padat dan massif dari CaCO3 tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat.
Pada saat yang bersamaan, gelombang dan arus menyediakan nutrien yang
dibutuhkan oleh karang secara berkala, oksigen terlarut dan mencegah sedimen
mengendap pada koloni. Gelombang dan arus juga membawa plankton baru
untuk makanan polip karang.
Hasil pengukuran parameter kualitas perairan Pulau Pasi-Gusung
Econatural (2014) dapat dilihat pada Tabel 7.
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Ke
cep
ata
n a
rus
(m/s
)
Kedalaman 3 Meter Kedalaman 10 Meter
44
Tabel 7. Parameter Kualitas Perairan Pulau Pasi-Gusung
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa suhu perairan di perairan Pulau
Pasi-Gusung berkisar 30oC - 31oC berada dalam kategori sangat layak untuk
budidaya perairan keramba jaring apung. Kisaran suhu pada suatu tempat
sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan,
salinitas air laut dan arus-arus global. Suhu yang teramati pada lokasi penelitian
cenderung stabil diseluruh stasiun penelitian dengan kisaran antara 30.48°C -
31.37°C (Irwan, 2010).
Salinitas di perairan Pulau-Gusung berkisar 26‰ - 28‰ dimana nilai
salinitas disemua stasiun memenuhi baku mutu air laut sesuai Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 serta sesuai dengan standar
hidrografi keramba jaring apung. Menurut Irwan (2010), pengukuran salinitas
pada lokasi penelitian berada pada kisaran normal untuk pertumbuhan terumbu
karang yaitu 28‰ - 32‰. Salinitas yang rendah terdapat di sisi utara bagian timur
pulau dengan 28‰ yang kemungkinan disebabkan oleh dekatnya muara sungai
yang terdapat di mainland.
Kecerahan suatu perairan menunjukan intensitas cahaya yang berhasil
masuk dan menjadi salah satu indikator produktivitas perairan, semakin cerah
perairan maka plankton dapat berfotosintesis dengan optimal, kecerahan di
perairan ini sangat baik mencapai 90% - 100%.
Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa bahan terlarut
dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air.
Parameter Hasil Pengukuran
Suhu (oC) 30 - 31
Salinitas (‰) 26 - 28
Kecerahan (%) 70 -100
Kecepatan arus (cm/ detik) 0,01 – 0,05
45
Arus berperan dalam proses transpor makanan dari satu daerah ke daerah lain
sehingga memiliki peranan penting dalam menentukan lokasi budidaya keramba
jaring apung.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa kecepatan arus di
Pulau Pasi-Gusung berkisar 0.01 cm/ detik - 0.05 cm/ detik. Menurut Irwan
(2010), hasil pengukuran dan pengamatan kecepatan arus memperlihatkan
bahwa pada sisi barat dan utara memiliki kecepatan arus yang rendah yakni
berkisar antara 0.55 cm/ detik - 7.72 cm/ detik. Sisi selatan pulau memiliki
kecepatan arus yang lebih kuat yakni 20,83 cm/ detik.
Secara garis besar, perairan Pulau Pasi layak dilakukan aktivitas
budidaya perairan dalam hal ini keramba jaring apung. Baku mutu parameter
kualitas perairan masuk sesuai Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004
serta sesuai dengan standar hidrografi keramba jaring apung.
Pengamatan kualitas air yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya
dapat di lihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kualitas Perairan Pulau Pasi Pada Beberapa Tahun Terakhir
Parameter Satuan Tahun 2007 Tahun 2010 Tahun 2014
Suhu ̊C 29 31 30
Salinitas ‰ 35 32 27
Kecerahan % 100 100 100
Kecepatan arus cm/ s 0.05 0.14 0.05
(Sumber : PPTK UH 2007, Irwan 2010, Econatural 2014)
Kualitas air pada Pulau Pasi beberapa tahun terakhir tidak mengalami
perbedaan mencolok. Pengukuran salinitas masih berada dalam kisaran normal
untuk pertumbuhan terumbu karang dan suhu teramati cenderung stabil.
Supriharyono (2007 dalam Irwan 2010) menyatakan bahwa suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang berkisar antara 25 ̊C - 29 ̊C, batas minimum 16 ̊C - 17 ̊C
dan batas maksimum sekitar 36 ̊C.
46
Kecepatan arus dari tahun 2007 hingga 2015 berkisar 0.05 - 14.02 cm/
detik. Pada sisi Selatan Pulau Pasi memiliki kecepatan arus mencapai 20.83%
yang disebabkan oleh selat sempit yang terdapat di ujung Selatan pulau. PPTK
UH (2007) menjelaskan bahwa kondisi arus permukaan Laut Flores di sekitar
perairan Kabupaten Selayar, termasuk kawasan pulau-pulaunya pada bulan
November - Maret (musim barat) mengalir ke arah timur dengan kecepatan 33 -
50 cm/ detik, pada awal musim timur (bulan April), arus menuju ke Barat dengan
kecepatan lemah yakni 12 - 38 cm/ detik, pada musim Timur arus permukaan
semakin meningkat dan kecepatan maksimum terjadi pada bulan Juni mengalir
ke arah timur sekitar 75 cm/ detik. Akhir musim timur (bulan Oktober) kecepatan
arus mulai menurun yang mengalir ke Barat dengan kecepatan 25 - 38 cm/ detik.
47
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan atas tujuan dan hasil yang telah di capai dalam penelitian
ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kondisi terumbu karang yang diperoleh di lokasi penelitian berdasarkan
persentase penutupan karang hidup adalah baik (65.38%) di Stasiun III yang
merupakan zona wisata KKPD Pulau Pasi, sedang (38.02% - 40.8%) di
setiap stasiun kedalaman 10 meter, rusak (11.22% - 20.7%) di Stasiun I
kedalaman 3 meter dan Stasiun II Kedalaman 3 meter, dimana Stasiun I titik
pengamatan terdekat dengan pemukiman penduduk dan merupakan jalur
transportasi sedangkan Stasiun II merupakan daerah penangkapan nelayan
tradisional.
2. Kondisi terumbu karang hidup dengan kategori sedang pada Stasiun I
kedalaman 10 meter sebesar 38.36%, Stasiun II kedalaman 10 meter
sebesar 40.8% dan Stasiun III kedalaman 10 meter sebesar 38.02%. Karang
dalam kondisi baik pada Stasiun III kedalaman 3 meter sebesar 65.38%.
3. Peningkatan tutupan karang hidup terjadi pada tahun 2014 dari 32% menjadi
53.27% di Stasiun II.
4. Hasil pengamatan kualitas perairan Pulau Pasi masih sesuai untuk
pertumbuhan terumbu karang.
B. Saran
Untuk mencapai tujuan indikator biofisik kawasan konservasi maka
sebaiknya merehabilitasi ekosistem yang mengalami kerusakan dan monitoring
dilakukan berbasis masyarakat. Pengaturan jalur transportasi dan menekan
48
aktivitas yang dapat merusak ekosistem terumbu karang yang ada di KKPD
Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar.
49
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, 2011. Pendataan Terumbu Karang Pada Daerah Perlindungan Laut CRITC-COREMAP II Pulau Selayar Dengan Metode Point Intercept Transect (PIT) [Laporan PKL]. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Adriman, 2012. Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau [Disertasi]. IPB. Halm. 17:196.
Angulo, Valdes JA, Hatcher BG. A. 2010. New typology of Benefits Derived From Marine Protected Areas. Marine Policy 2010.
Asaad A.I.J., 1999.Penutupan Karang Hidup Berdasarkan Bentuk Pertumbuhannya (Life Form) Di Kawasan Wisata Bahari Pulau Nusa Penida, Bali [SKRIPSI]. Institut Pertanian Bogor.
Aulia Khairunnisa N. dkk, 2012. Kondisi Perairan Terumbu Karang Dengan Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator Berdasarkan Foram Index Di Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Hlm. 335-345.
Barnes, R. S. K., and Hughes, 1990. An Introduction of Marine Ecology. Black Well Scientific Education. Oxford London.
Burke L., Selig E., Spalding M., 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia), World Resources Institute, Amerika Serikat.
COREMAP II, 2006. Panduan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (Marine Management Area/ Mma) Di Wilayah COREMAP II - Indonesia Bagian Barat.
COREMAP II SELAYAR, 2008. Fasilitasi dan Penetapan KKLD. Benteng. Hlm. 2.
CRITC-COREMAP, 2007. Pedoman Lapangan Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat. COREMAP II. Jakarta.
Dahlan, S., 1998. Kajian Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Pendekatan Pengelolaan Dengan Sistem Zonasi Di Perairan Pulau Barrang Lompo. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Dahuri, R. 2003. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: LIPI.
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen KP3K KKP), 2013. Informasi Kawasan Konservasi Peerairan Indonesia. Jakarta. 30 hal.
Ekonatural, 2014. Pengembangan Rencana Bisnis Usaha Ekonomi Berbasis Masyarakat. Selayar.
50
English S, Wilkinson C, Baker V. (editors). 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. 2nd edition. ASEAN – Australia Marine Science Project Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. 368 p.
Gomes, E. D. dan H. T. Yap, 1998. Monitoring Reef Conditions. In : Kenchington, R. A and B. E. T. Hudson (eds). Coral Reef Management Handbook.UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta. Hlm . 187 – 196.
Haerul, 2013. Analisis Keragaman dan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sarappolompo, Kab. Pangkep [SKRIPSI]. FIKP Universitas Hasanuddin, Makassar.
Irwan, 2010. Kajian Potensi Dan Pengembangan Ekowisata Bahari Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Johannes, R. E., 1972. The Metabolisme of Some Coral Reef Communities:Team Study of Nutrien and Energy Flux at Eniwetok. Bioscience 22.541-3.
Letser, L.T.X 1991. Karang dan Terumbu Karang. Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Levinton, J. S., 1988. Marine Ecology. Piece Hall Inc, Engle Wood Chiffs. New Jersey.
Manuputty, A.E.W., 2006. Manual monitoring kesehatan terumbu karang (Reef Health Monitoring). COREMAP II. Jakarta.
Muller-Parker, G. dan C.F. D’Elia. 2001. Interaction Betw een Corals and Their Symbiotic Algae. Dalam: Birkeland, C. (ed.) 2001. Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York: 96-113.
Muzaki A.A., 2008. Analisi Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut Dengan Metode Cell Based Modelling Di Karang Lebar Dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, Dki Jakarta [SKRIPSI]. Institut Pertanian Bogor. Hlm. 5-109.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J, W., 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi (terjemahan Eidman, H. Muhamad dkk, edisi pertama). P.T. Gramedia. Jakarta.
Prasetyanda, I.M., 2011. Korelasi Tutupan Terumbu Karang Dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae Di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo [Skripsi]. ITS, Surabaya.
PPTK UH, 2007. Kajian Potensi Kawasan Konservasi Laut Daerah Lokasi COREMAP II Kabupaten Selayar. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ramli, I., 2003, Analisis Kebijakan Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, Program Magister Ilmu Lingkungan, UNDIP, Semarang.
51
SK Bupati Kepulauan Selayar Nomor 466/IX/Tahun 2011, Tentang Penetapan Perairan Pulau Pasi Dan Perairan Pulau Gusung Sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar.
Sudiono G., 2008. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang Pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Randayan dan Sekitarnya Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat [TESIS]. UNDIP. Semarang.
Suharsono, 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Suharsono, 1999. Kondisi Umum Terumbu Karang di Indonesia, LIPI. Jakarta.
Sukarno, M. Hutomo, M.K. Moosa dan P. Darsono. 1981. Terumbu Karang di Indonesia. Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Alam di Indonedia. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta : 112 hal.
Sukmara, A., A.J. Siahainenia & C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metode Manta Tow. Departemen Kelautan dan Perikanan & Coastal Resources Center University of Rhode Island, Jakarta.
Suwarni, 2005. Modul Praktikum Avertebrata Air. Jurusan Perikanan FIKP Universitas Hasanuddin, Makassar.
Syahruny M. Ilyas, 2009. Analisis Pemanfaatan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Pasi, Kabupaten Selayar) [Tesis]. Universitas Hasanuddin, Makassar. Hlm. 103-104.
Tackett, D.N. & L. Tackett. 2002. Reef Life: Natural History and Behaviors of Marine Fishes and Invertebrates. T.F.H. Publications, Inc., New Jersey: 224 hlm.
Timotius S., 2004. Biologi Terumbu Karang [Jurnal]. Download pada 23 Maret 2015, Makassar.
UNEP, 1993, Monitoring Coral Reefs for Global Change, Regional Seas, Reference Methods for Marine Pollution Studies No. 61.
Wiryawan B., Agus Dermawan dan Suraji, 2006. Panduan Pengembangan kawasan konservasi laut Daerah (Marine Management Area/ MMA) Di Wilayah COREMAP II - Indonesia Bagian Barat. DKP, Jakarta Selatan.
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1. Bentuk dan kategori dalam pengambilan data metode LIT
Bentuk/ Kategori Kode Deskripsi
ACB
Acropora bentuk koloni bercabang
ACT Acropora bentuk koloni mendatar/ meja
ACS Acropora bentuk koloni sub-massive
ACE Acropora bentuk koloni merayap
ACD Acropora bentuk koloni menjari
CM Non-acropora bentuk koloni massive
54
Lampiran 1. Lanjutan
CS Non-acropora bentuk koloni sub-massive
CE Non-acropora bentuk koloni merayap
CF Non-acropora bentuk koloni lembaran
CME Karang genus Millepora
CMR Karang dari family Fungiidae
DC karang baru mati
DCA Karang mati ditumbuhi alga, kelihatan bentuk koloninya
55
OT Biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang
R Patahan karang kecil yang belum ditumbuhi algae
S Pasir
SC Karang lunak
SP Sponge
Sumber : English et al. (1997)
56
Lampiran 2. Data sheet hasil pengamatan
ST: 1 | 3 m
LIFE FORM FREq. PERSEN (%)
HARD CORAL (11.22%)
ACB 35 0.7
ACD 9 0.18
ACE 0
ACS 17 0.34
ACT 0
CB 0
CE 0
CF 0
CM 439 8.78
CS 61 1.22
CMR 0
DEAD CORAL (19.2%)
DC 887 17.74
DCA 73 1.46
ALGAE (22.12%)
AA 1 0.02
MA 1105 22.1
OTHER BIOTA (1.8%)
SC 90 1.8
SP 0
OT 0
ABIOTIC (45.66%)
R 306 6.12
S 1977 39.54
TOTAL 5000 100
ST: 1 | 10 m
LIFE FORM FREq. PERSEN (%)
HARD CORAL (38.26%)
ACB 1815 36.3
ACD 0
ACE 0
ACS 32 0.64
ACT 0
CB 0
CE 0
CF 0
CM 29 0.58
CS 0
CMR 37 0.74
DEAD CORAL (28.68%)
DC 1434 28.68
DCA 0
ALGAE (0.22%)
AA 11 0.22
MA 0
OTHER BIOTA -
SC 0
SP 0
OT 0
ABIOTIC (32.84%)
R 345 6.9
S 1297 25.94
TOTAL 5000 100
54
Lampiran 2. Lanjutan
ST: 2 | 3 m
LIFE FORM FREq. PERSEN (%)
HARD CORAL (20.7)
ACB 383 7.66
ACD 0
ACE 0
ACS 0
ACT 0
CB 0
CE 0
CF 159 3.18
CM 491 9.82
CS 0
CMR 2 0.04
DEAD CORAL (12.86%)
DC 438 8.76
DCA 205 4.1
ALGAE (1.36%)
AA 68 1.36
MA 0
OTHER BIOTA (0.56%)
SC 28 0.56
SP 0
OT 0
ABIOTIC (64.52%)
R 2766 55.32
S 460 9.2
TOTAL 5000 100
ST: 2 | 10 m
LIFE FORM FREq. PERSEN (%)
HARD CORAL (40.8%)
ACB 113 2.26
ACD 108 2.16
ACE 0
ACS 0
ACT 99 1.98
CB 0
CE 211 4.22
CF 0
CM 1088 21.76
CS 396 7.92
CME 25 0.5
DEAD CORAL (42.24%)
DC 2092 41.84
DCA 20 0.4
ALGAE -
AA 0
MA 0
OTHER BIOTA (3.58%)
SC 179 3.58
SP 0
OT 0
ABIOTIC (13.38%)
R 0
S 669 13.38
TOTAL 5000 100
55
Lampiran 2. Lanjutan
ST: 3 | 3 m
LIFE FORM FREq. PERSEN (%)
HARD CORAL (65.38%)
ACB 3162 63.24
ACD 0 0
ACE 0
ACS 33 0.66
ACT 66 1.32
CB 0
CE 0 0
CF 0 0
CM 8 0.16
CMR 0 0
DEAD CORAL (30.5%)
DC 392 7.84
DCA 1133 22.66
ALGAE (3.44%)
AA 172 3.44
MA 0
OTHER BIOTA -
SC 0 0
SP 0
OT 0
ABIOTIC (0.68%)
R 0
S 34 0.68
TOTAL 5000 100
ST: 3 | 10 m
LIFE FORM FREq. PERSEN (%)
HARD CORAL (38.02%)
ACB 191 3.82
ACD 317 6.34
ACE 55 1.1
ACS 5 0.1
ACT 0 0
CB 0
CE 977 19.54
CF 0 0
CM 232 4.64
CS 15 0.3
CME 109 2.18
DEAD CORAL (51.34%)
DC 2100 42
467 9.34
ALGAE (1%)
AA 50 1
MA 0
OTHER BIOTA (0.74%)
SC 37 0.74
SP 0
OT 0
ABIOTIC (8.9%)
R 0
S 445 8.9
TOTAL 5000 100
56
top related