keterlambatan imunisasi
Post on 20-Dec-2015
50 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa awal kehidupannya, bayi sangat rentan terkena penyakit
berbahaya, seperti penyakit saluran pernapasan akut, Polio, kerusakan hati,
Tetanus, Campak, dan penyakit berbahaya lainnya. Anak yang terkena penyakit-
penyakit tersebut memiliki risiko kematian yang tinggi. Jika tidak sampai
meninggal dunia, serangan virus dari penyakit tersebut akan menyebabkan derita
fisik dan mental berkepanjangan dan bahkan bisa menimbulkan cacat. Pemberian
imunisasi dasar lengkap berguna untuk memberi perlindungan menyeluruh
terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya.
Imunisasi merupakan salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit
melalui pemberian kekebalan tubuh yang harus dilaksanakan secara terus-menerus
dan menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan
perlindungan kesehatan dan memutuskan mata rantai penularan. Imunisasi selalu
dikaitkan dengan angka kesakitan dan kematian pada bayi. Hal ini dikarenakan
pemberian imunisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap berbagai penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran
bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan
kesehatan anak dan pada awal kehidupan anak belum mempunyai kekebalan
sendiri.
Walaupun program imunisasi telah dibuktikan sebagai tindakan
pencegahan yang paling cost-effective, tingkat imunisasi remaja masih rendah
dibandingkan dengan imunisasi yang dilakukan pada bayi dan anak-anak (Lee et
al,. 2008). Program imunisasi remaja telah direkomendasikan sejak tahun 1996,
tetapi diestimasikan 35 juta remaja diseluruh dunia belum divaksinasi secara
adekuat (Oster et al,. 2005).
Jumlah remaja usia 13 tahun keatas yang tidak pernah menderita cacar air
dan telah divaksin untuk cacar air sebanyak satu kali adalah 75,7%, sedangkan
remaja pada usia yang sama yang tidak pernah menderita cacar dan yang telah
divaksin dua kali hanya 18,8%. Dari tahun 2006 hingga 2007, peningkatan jumlah
vaksinasi HepB adalah 5,2%, vaksinasi MMR adalah 0,5%, vaksinasi dT adalah
12,6%, dan untuk vaksinasi VAR adalah 9,5% (CDC, 2007). Dalam 348.077
kunjungan, 269.217 (77%) bersifat non-preventif, 61.066 (18%) bersifat preventif,
dan hanya 17.794 (5%) bersifat kunjungan khusus untuk mendapatkan vaksinasi
(Lee et al., 2008). Insiden pertusis telah meningkat dalam 25 tahun belakangan
dengan corak perpindahan insiden dari anak-anak ke remaja dan dewasa muda dan
95% kasus pertusis terjadi pada remaja usia 10-19 tahun
(Wilson,2006). Setiap tahun terdapat 140.000-320.000 kasus baru
Hepatitis B, dan lebih dari 70% penderitanya adalah remaja dan dewasa muda
(CDC, 2002).
Resiko penyakit kronis pada penderita hepatitis B jauh lebih besar bila
infeksi terjadi mulai dari awal kehidupan dibandingkan dengan infeksi terjadi
pada usia dewasa. Infeksi penyakit hepatitis B pada masa bayi mempunyai resiko
untuk menjadi kronis sekitar 90% dan sebanyak 25-30% diantaranya akan
berkembang menjadi sirosis hepatis atau primer carcinoma hepatocelluler
(Depkes RI, 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit
yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata
imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya
akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk
terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya. Imunisasi biasanya lebih
fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih
belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit
berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus
dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.
2.2 TUJUAN IMUNISASI
Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia. Beberapa
penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak,
polio, difteri, tetanus, cacar air, tbc, dan lain sebagainya.
2.3 JENIS IMUNISASI
2.3.1 IMUNISASI AKTIF
Imunisasi aktif adalah tubuh anak sendiri membuat zat anti yang
akan bertahan selama bertahun-tahun (A.H Markum, 2002).
Adapun tipe vaksin yang dibuat “hidup dan mati”. Vaksin yang
hidup mengandung bakteri atau virus (germ) yang tidak berbahaya, tetapi
dapat menginfeksi tubuh dan merangsang pembentukan antibodi. Vaksin
yang mati dibuat dari bakteri atau virus, atau dari bahan toksit yang
dihasilkannya yang dibuat tidak berbahaya dan disebut toxoid. (A.H
Markum, 2002).
2.3.2 IMUNISASI PASIF
Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien,
dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus
memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya.
Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau
pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus
(Satgas IDAI, 2008).
Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami saat ibu hamil
memberikan antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir
trimester pertama kehamilan dan jenis antibodi yang ditransfer melalui
plasenta adalah immunoglobulin G (LgG). Transfer imunitas alami dapat
terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer
adalah immunoglobulin A (LgA). Sedangkan transfer imunitas pasif secara
didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang
mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya.
Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak
berlangsung lama, sebab kadar zat-zat anti yang meningkat dalam tubuh
anak bukan sebagai hasil produksi tubuh sendiri, melainkan secara pasif
diperoleh karena pemberian dari luar tubuh. Salah satu contoh imunisasi
pasif adalah Inmunoglobulin yang dapat mencegah anak dari penyakit
campak (measles). (AH, Markum, 2002)
2.4 JADWAL IMUNISASI
2.5 IMUNISASI YANG DIWAJIBKAN
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, Hepatitis B, Polio, DTP, dan
Campak.
A. BCG (Bacillus Calmette Guerine)
a. Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosis.
b. Kontra indikasi:
Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksin,
furunkulosis dan sebagainya.
Mereka yang sedang menderita TBC.
Pasien tersangka HIV yang telah memberikan gejala.
c. Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal lokal
2 minggu : indurasi, eritema kemudian menjadi pustula
3 - 4 minggu : pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu
pengobatan)
8 - 12 minggu : ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm
2. Reaksi pada kelenjar
Merupakan respon selular pertahanan tubuh
Kadang terjadi di kel.axilla dan supraklavikula
Timbul 2 - 6 bulan sesudah imunisasi
Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)
Akan mengecil 1 - 3 bulan kemudian tanpa pengobatan
d. Komplikasi
1. Abses ditempat suntikan
2. Limfadenitis Supurativa
Oleh karena suntikan subkutan atau dosis tinggi
Terjadi 2 - 6 bulan sesudah imunisasi
Bila telah matang di aspirasi
Terapi tuberkulostatika mempercepat pengecilan
e. Reaksi pada yang pernah tertular TBC:
Koch phenomen-Reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari
sesudah imunisasi),4 - 6 minggu timbul scar.
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada
dasarnya untuk mencapai cakupan yang lebih luas, pedoman
Depkes perihal imunisasi BCG, pada umur 0-l2 bulan, tetap
disetujui.
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk
anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio
M.deltoidus kanan. WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin
BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak di tempat lain
(bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah
deltoid lebih mudah dilakukan, ulkus yang terbentuk tidak
membantu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di
daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku
untuk keperluan diagnosis apabi!a diperlukan.
Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya
diragukan mengingat (1) efektivitas perlindungan hanya 40%,
(2) sekitar 70% kasus Tuberkulosis berat (meningitis) ternyata
mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA
(bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (23-36%)
walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak.
Saat ini sedang dikembangkan vaksin BCG baru yang lebih
efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan
pada pasien imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan
steroid jangka panjang, atau pada infeksi HIV).
B. Hepatitis B
Program vaksin hepatitis B (hepB) segera setelah lahir perlu lebih
digalakkan, mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.
a. Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan
oleh virus hepatitis B.
b. Kontra indikasi:
Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-
vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi
berat
c. Efek Samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar
tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya
hilang setelah 2 hari.
d. Jadwal imunisasi hepatitis B
Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir,
mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap
hepatitis dengan resiko transmisi maternal kurang lebih sebesar
45%.
Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat
bayi berumur 1 bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal
interval hepB-2 dan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2 yaitu pada umur
3-6 bulan.
Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status
HbsAG positif yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak
diketahui, ibu HbsAG positif atau ibu HbsAG negatif.
Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin
hepB-1 monoivalen (uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan.
e. Hepatitis B saat bayi lahir
Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui,
hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan
dilanjutkan pada umur 1 dan atara umur 3-6 bulan. Apabila semula
status HbaAG ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAG positif maka dapat
diberikan HBIg (hepatitis B imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi
berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam
waktu 24-48 jam setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I
diberikan juga HBIg 0,5 ml.
f. Ulangan vaksinasi hepatitis B
Telah dilakukan suatu penelitian multisenter di Thailand dan
Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B yang telah
memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5
tahun, sejumlah 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi
anti HBs yang protektif (titer anti HBs>10ug/ml). Mengingat pola
epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola
epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa
imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak diperlukan.
Idealnya, pada usia ini dilakukan pemeriksaan anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah
memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan
(catch-up vaccination).
Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur
10-12 tahun. apabila titer pencegahan tercapai (catch-
upimmunization).
C. DPT
a. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis
dan tetanus.
b. Kontra indikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau
gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi
pertusis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis
pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua, dan
untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.
c. Cara pemberian dan dosis:
g. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar
suspensi menjadi homogen.
h. Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml
sebanyak 3 dosis.
i. Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya
diberikan dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan).
d. Efek Samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam,
kemerahan, pada tempat penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala
berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan merancau yang biasanya
terjadi 24 jam setelah imunisasi.
e. Jadwal Imunisasi
Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan
(DTwP atau DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu)
dengan interval 4-6 minggu, DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur
2 bulan, DTwP atau DTaP-2 pada umur 3 bulan dan DTwP atau
DTaP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau DTaP-
4) diberikan satu tahun setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur
18-24 bulan dan DTwP atau DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun.
f. Vaksinasi ulangan
Pada booster umur 5 tahun dianjurkan tetap diberikan vaksin
dengan komponen partusis (DTwP atau DTaP), mengingat
kejadian pertusis pada dewasa muda penularan pada bayi dan
anak.
Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di
sekolah. Ulangan DT-6 diberikan pada usia 12 tahun, mengingat
masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult
dose), tetapi di Indonesia dT tidak ada di pasaran.
D. Polio
a. Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
b. Cara pemberian dan dosis:
Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2 (dua) tetes
sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis
minimal 4 minggu.
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper)
yang baru.
c. Kontra indikasi:
Pada individu yang menderita imunodefisiensi tidak ada efek yang
berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang
sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare,
maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh.
d. Efek Samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa
paralis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.
e. Jadwal Imunisasi Polio
Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan
daerah endemik polio maka sesuai pedoman program imunisasi
nasional untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang lebih tinggi
diperlukan tambahan imunisasi polio yang diberikan setelah lahir.
Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan
diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin
agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat
diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini , IPV dapat menjadi
alternatif.
Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya
tidak kurang dari 4 minggu.
Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5
ml, intramuskular.
Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).
E. Campak
a. Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.
b. Cara pemberian dan dosis:
Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus
dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5
ml cairan pelarut.
Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan
kiri atas, pada usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-
7 tahun (kelas 1 SD) setelah catch-up campaign campak pada
anak Sekolah Dasar kelas 1 – 6.
c. Kontra indikasi:
Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu
yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia,
limfoma.
d. Efek Samping:
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan
selama 3 hari yang dapat terjadi 8 – 12 hari setelah vaksinasi.
Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan,
pada umur 9 bulan.
Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi
campak pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50% diantaranya yang
masih mempunyai antibodi campak diatas ambang pencegahan. Sedangkan
28,3% diantara kelompok usia 5-7 tahun pernah menderita campak walaupun
sudah diimunisasi saat bayi. Berdasarkan hal tersebut dianjurkan pemberian
imunisasi campak ulang pada saat masuk sekolah dasar (5-6 tahun). Namun
apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 15-18 bulan, ulangan campak
umur 5 tahun tidak diperlukan.
2.6 IMUNISASI DIANJURKAN
A. MMR (Measles, Mumps, Rubella)
a. Indikasi:
Vaksin kombinasi campak-beguk/gondong-rubela (MMR)
memberikan proteksi melawan ketiga penyakit tersebut. Anak-anak
harus diimunisasi dengan MMR pada usia 12 bulan dengan dosis
kedua pada usia 4 tahun. MMR juga direkomendasikan bagi semua
anak dan orang dewasa yang belum pernah menerima dua dosis vaksin
MMR.
b. Kontra indikasi
Pasien dengan imunodepresi, riwayat alergi telur dan alergi obat
neomisin dan kanamisin. Para ibu dilarang menerima vaksin jika
mereka hamil atau ada kemungkinan menjadi hamil dalam 28 hari.
c. Cara pemberian dan dosis MMR
Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu
kali 0,5 ml, secara subkutan.
MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan
imunisasi lainnya.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur
12-18 bulan imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu
diberikan. Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18
tahun.
B. Haemophilus Influenza tipe b (Hib)
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu:
PRP-T dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex)
a. Jadwal imunisasi
Vaksinasi PRP-T diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan.
Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis
ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.
Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DTwP
atau DTaP dalam bentuk vaksinasi kombinasi.
b. Dosis
Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara
intramuskular.
Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib (vaksin
kombinasi berisi vaksin PRP-T) dalam kemasan Prefilled
syringe 0,5 ml.
c. Ulangan
Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP pada umur 18
bulan 16
Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan
1 kali.
C. Deman Tifoid
Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntik
(polisakarida) dan oral. Vaksin capsular Vi polysaccharide diberikan
intramuskular atau subkutan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan di
lakukan setiap 3 tahun.
Tifoid oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam 3
dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan
dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk
turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
D. Hepatitis A
Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan
(underexposure).
a. Jadwal imunisasi
Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
Vaksin kombinasi hepB/hepA tidak diberikan pada bayi kurang
dari 12 bulan. Vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur
lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunization yaitu
mengejar imunisasi hepB sebelumnya atau vaksin hepB yang tidak
lengkap.
b. Dosis pemberian
Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular
di daerah deltoid.
E. Varisela
Efektifitas vaksin varisela memang tidak diragukan lagi, namun
karena harganya masih mahal sehingga belum dapat terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat, sehingga imunisasi rutin belum dapat
terlaksana.
Diketahui bahwa dampak penyakit varisela pada orang dewasa lebih
berat daripada anak, apalagi terjadi pada masa kehamilan dapat
mengakibatkan bayi menderita sindrom varisela konginetal dengan angka
yang tinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela diberikan
pada anak yang lebih besar, namun kurang dari 13 tahun.
a. Jadwal imunisasi
Untuk menghindari perubahan penyakit tersebut, pada saat ini
imunisasi varisela direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang
belum terpajan.
Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela,
vaksinasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurung 72 jam
setelah kontak.
b. Dosis
Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau
dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu
F. Vaksin Pneumokokus
Terdapat 2 jenis vaksin yaitu PPV23 yang merupakan polisakarida murni
dan PCV yang merupakan vaksin konjugat
a. Jadwal Imunisasi
Apabila pertama kali diberikan pada usia 2-6 bulan: 3 dosis dengan
interval 6-8 minggu dan 1 dosis ulangan pada 12-15 bulan.
Apabila pertama kali diberikan pada usia 7-11 bulan: 2 dosis
dengan interval 6-8 minggu dan 1 dosis ulangan pada 12-15 bulan.
Apabila pertama kali diberikan pada usia 12-23 bulan:2 dosis
dengan interval 6-8 minggu.
Apabila pertama kali diberikan pada usia 24 bulan: cukup diberikan
1 dosis.
b. Indikasi
Untuk mengurangi: Invasive pneumococcal disease (IPD), pneumonia,
OMA, karier, occult bacteremia
c. Kontraindikasi
Bengkak, eritema, indurasi, dan nyeri di tempat suntikan
Demam > 38 oC, gelisah, pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan
menurun, muntah, diare, urtikaria
Sindrom nefrotik,limfadenopati (jarang)
Pada kedaaan BBLR (< 1500 gram) vaksin Pneumokokus diberikan setelah usia
6-8 minggu tanpa melihat usia kehamilan. Vaksin konjugat diperlukan karena
anak <2 tahun tidak berespon terhadap vaksin polisakarida.
2.7 KETERLAMBATAN IMUNISASI
Keterlambatan imunisasi bukan menjadi suatu alasan anak tidak
dapat memperoleh imunisasi. Ada beberapa alasan mengapa jadwal
imunisasi seorang anak terlambat, diantaranya ketidaktahuan orang tua
terhadap pentingnya imunisasi, orang tua yang terlalu sibuk dengan
pekerjaan, serta pandangan-pandangan tertentu tentang imunisasi.
Imunisasi terlambat dari jadwal tidak akan mengurangi efektivitas
vaksinasi untuk membentuk imunitas tubuh, hanya saja selama jangka
waktu tersebut antibodi terhadap penyakit itu sudah berkurang, sehingga
memungkinkan untuk terkena penyakit itu. Imunisasi yang terlambat
tersebut dapat tetap diberikan.
Berikut rekomendasi untuk jadwal imunisasi yang tidak teratur
2.8 PENYAKIT-PENYAKIT YANG DAPAT TIMBUL AKIBAT TIDAK
DILAKSANAKAN IMUNISASI
Diperlukan sejumlah imunisasi dalam beberapa tahun pertama kehidupan seorang
anak untuk memproteksi anak tersebut melawan penyakit-penyakit menular yang
paling serius. Sistem imunitas pada anak kecil tidak bekerja sebaik sistem
imunitas pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, karena sistem
tersebut belum matang. Oleh karena itu diperlukan lebih banyak dosis vaksin.
Dalam beberapa bulan pertama kehidupannya, seorang bayi telah terproteksi
terhadap kebanyakan penyakit menular oleh antibodi dari ibunya yang dialihkan
kepada bayi selama masa kehamilan. Pada saat antibodi tersebut telah habis, bayi
tersebut menghadapi risiko infeksi yang serius dan dengan demikian imunisasi
pertama diberikan sebelum antibodi tersebut habis sama sekali. Imunisasi adalah
cara yang paling aman dan efektif untuk memberikan proteksi melawan penyakit.
Setelah imunisasi, kemungkinan anak terkena penyakit akan jauh berkurang
apabila penyakit tersebut merebak di komunitas. Manfaat proteksi terhadap
penyakit jauh melebihi risiko yang sangat kecil akibat imunisasi.
Beberapa penyakit yang dapat timbul akibat tidak dilakukannya imunisasi pada
saat kanak-kanak antara lain:
a. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak
hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di
negara berkembang maupun di negara maju faktor resiko infeksi dan faktor resiko
progresi infeksi menjadi penyakit ( resiko penyakit ).
Resiko Infeksi TB Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah :
anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah
endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang
tidak sehat.
b. Hepatitis B
Prevalensi penyakit hepatitis B pada bayi lebih besar (lebih dari 90 persen)
dibandingkan pada orang dewasa. Oleh karena itu, bagi bayi vaksin hepatitis B
mutlak perlu diberikan.
Ciri-ciri penderita hepatitis B umumnya tak diketahui secara jelas karena
penderita seperti orang sehat. Akibatnya ia tak segera menyadari dirinya telah
tertular virus hepatitis B, bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. Jika
didapatkan gejala kuning pada mata, kulit, lesu, tak memiliki nafsu makan serta
sakit lambung-seperti maag yang tak sembuh dalam tempo enam bulan pada anak,
segera periksa ke dokter.
Virus hepatitis B diketahui sebagai salah satu virus yang paling mudah
menular. Bahkan, penularan virus ini 100 kali lebih menular daripada HIV (virus
penyebab AIDS), dan diperkirakan menginfeksi 10 kali lebih banyak daripada
HIV. Virus itu menyerang hati dan merusak organ tubuh secara tak langsung
melalui gangguan sistem kekebalan. Pada serangan tahap awal masih bisa
disembuhkan jika segera diobati. Namun, jika penyakit berkembang lebih berat
maka akan mencapai tahap hepatitis akut, sirosis (pengerasan hati), sampai
kemudian mengakibatkan munculnya kanker hati.
c. Penyakit polio.
Penyakit ini disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang
terinfeksi. Anak yang terkena polio dapat menjadi lumpuh layuh. Poliomyelitis
atau Polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus.
Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Polio menular melalui kontak
antarmanusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang
memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses.
Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan
amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi
dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen
kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab penyakit polio
terdiri atas tiga strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2 (lanzig), dan strain 3
(Leon). Strain 1 adalah yang paling paralitogenik atau yang paling ganas dan
sering kali menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Sedangkan Strain 2
adalah yang paling jinak.
Penyakit Polio terbagi atas tiga jenis yaitu Polio non-paralisis, Polio
paralisis spinal, dan Polio bulbar. Polio non-paralisis menyebabkan demam,
muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung,
otot terasa lembek jika disentuh.
Polio Paralisis Spinal Jenis Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang
belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada
batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan
kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki.
Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler darah pada
dinding usus dan diangkut seluruh tubuh.
Poliovirus menyerang saraf tulang belakang dan neuron motor yang
mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun,
pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini
biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang
otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat menyebar sepanjang
serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat,
virus akan menghancurkan neuron motor. Neuron motor tidak memiliki
kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi
terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan
tungkai menjadi lemas, kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi
parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh
dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
Polio Bulbar, polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan
alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor
yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai
otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang
berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori
yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses
menelan dan berbgai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf
yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang
mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat
menyebabkan kematian. 5 – 10% penderta yang menderita polio bulbar akan
meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya
terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim
''perintah bernapas'' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena
kerusakan pada fungsi penelanan. korban dapat tidak bernapas akibat sekresi
mucus yang berlebihan pada traktus respiratorius kecuali dilakukan penyedotan
atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot mukus yang disekresikan
sebelum masuk ke dalam paru-paru.
Penyakit Polio dapat ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut
dan tenggorokan) atau dari tinja penderita yang telah terinfeksi selain itu juga
dapat menular melalui oro-fecal (makanan dan minuman) dan melalui percikan
ludah yang kemudian virus ini akan berkembangbiak di tengorokan dan usus lalu
kemudian menyebar ke kelenjar getah bening, masuk ke dalam darah serta
menyebar ke seluruh tubuh.
Penularan terutama sering terjadi langsung dari manusia ke manusia
melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut). Virus Polio dapat bertahan lama pada air
limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber
penularannya. Penularan terutama terjadi akibat tercemarnya lingkungan oleh
virus polio dari penderita yang telah terinfeksi, namun virus ini hidup di
lingkungan terbatas.
d. Penyakit campak
Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi
virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis
(peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini
disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus. Penularan
infeksi terjadi karena menghirup droplet penderita campak. Penderita bisa
menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4
hari setelah ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala
muncul.
Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, imunisasi aktif
dan kekebalan pasif yang diperoleh bayi yang lahir ibu yang telah kebal
(berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah
bayi berumur lebih dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan imunisasi, remaja
dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.
Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu
berupa:
Panas badan
nyeri tenggorokan
batuk (Cough)
nyeri otot
mata merah (conjuctivitis)
Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah
timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang
mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam
tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah
samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan
tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar.
Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas
serta suhu tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya
turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang.
Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama
beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan
merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.
e. Difteri, Pertusis dan Tetanus.
Difteri disebabkan bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat
menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Difteri merupakan penyakit
menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah menular dan
menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya
terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain
yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau
makanan yang terkontaminasi.
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri
gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran
yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan
lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa
hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran,
kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat
berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan saraf
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Pada tahun 2000, di seluruh dunia dilaporkan
30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit ini
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik
dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan
paralisis pernapasan.
Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang terdapat
ditanah, kotoran hewan, debu, dan sebagainya. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh
manusia melalui luka yang tercemar kotoran. Di dalam luka bakteri ini akan
berkembang biak dan membentuk toksin (racun) yang menyerang saraf.
UNICEF (United Nations Children’s Fund/Dana PBB untuk Anak-Anak)
menyebutkan dalam situsnya bahwa tetanus sangat berisiko terkena pada bayi-
bayi yang dilahirkan dengan bantuan dukun bayi di rumah dengan peralatan yang
tidak steril; mereka juga beresiko ketika alat-alat yang tidak bersih digunakan
untuk memotong tali pusar dan olesan-olesan tradisional atau abu digunakan
untuk menutup luka bekas potongan. Angka kematian yang diakibatkan oleh
tetanus berkisar antara 15-25%.
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit infeksi bakterial yang menyerang
sistem pernapasan yang melibatkan pita suara (larinks), trakea dan bronkial.
Infeksi ini menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan
serangan batuk yang parah. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertussis yang bersarang di saluran pernapasan dan sangat mudah tertular.
Pertusis dapat menyerang segala umur, 60 % menyerang anak-anak yang
berumur kurang dari 5 tahun. Penyakit ini akan menjadi serius jika menyerang
bayiberumur kurang dari 1 tahun. Biasanya pada bayi yang baru lahir dan
keadaannya menjadi lebih parah. Pada tahun 2000 diperkirakan 39 juta kasus
terjadi dan 297.000 kematian terjadi didunia yang diakibatkan oleh pertusis.
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan
jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk
melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi
hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan respons imunologi
sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai antibodi yang optimal.
Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena
belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan
masih dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life
long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita
harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum
selesai.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Imunisasi merupakan hal yang terpenting dalam usaha melindungi
kesehatan anak. Imunisasi bekerja dengan cara merangsang timbulnya kekebalan
tubuh yang akan melindungi anak dari penyakit-penyakit seperti polio, campak,
influenza, tetanus, difteri dan pertusis (batuk rejan).
Tanpa pemberian vaksin, jumlah kematian anak-anak yang ditimbulkan
oleh penyakit tersebut meningkat dan banyak orang yang mengalami komplikasi
kronik setelah menderita penyakit tersebut.
Pada keadaan tertentu juga imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai
dengan jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan
untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak
menjadi hilang manfaatnya tetapi belum mempunyai antibodi yang optimal.
Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan
imunisasi yang belum selesai.
3.2 SARAN
1. Pengetahuan ibu mempunyai pengaruh positif terhadap kelengkapan
imunisasi dasar, yang berarti bahwa semakin baik pengetahuan ibu tentang
manfaat imunisasi akan berpengaruh meningkatkan kelengkapan imunisasi
dasar pada bayi.
2. Motivasi ibu mempunyai pengaruh positif terhadap kelengkapan imunisasi
dasar. Yang berarti bahwa semakin baik motivasi ibu akan berpengaruh
meningkatkan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2011 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011.
2. Pudjiadi, Antonius H., Hegar, Badriul., Handryastuti, Setyo., Idris,
Nikmah Salamia., Gandaputra, Ellen P., dan Harmoniati, Eva Devita.
2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
3. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat
pertama di kabupaten/ WHO; alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. –
Jakarta : WHO Indonesia, 2008.
4. Australian Government Department of Health and Aging. 2005. Imunisasi.
Commonwealth of Australia.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pusat Promosi Kesehatan.
2009. Berikan Imunisasi Dasar Lengkap Untuk Melindungi si Buah Hati.
Jakarta.
6. Gold, Ronald. Immunization. In: Feldman. William, editors. Evidance-
Based Pediatric. University of Toronto. Canada: 2000, p39-41
top related