kesahajaan arsitektur bali aga pengotan, pengaruh kosmologi? · parsial mengikuti selera pribadi...
Post on 22-Oct-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 4, 080-087, Februari 2020 https://doi.org/10.32315/sem.4.080
Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 | 080 Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi Bandung Kelompok Kerja Struktur Konstruksi IPLBI
ISBN : 978-623-93232-1-9 E-ISBN : 978-623-93232-2-6
Kesahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh
Kosmologi?
Dwinik Winawangsari1, Himasari Hanan2, Widjaja Martokusumo3
Korespondensi : dwtoemadi@gmail.com
1 Program Doktor, Arsitektur, SAPPK, ITB 2 Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik, Arsitektur, SAPPK, ITB 3 Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, Arsitektur, SAPPK, ITB
Abstrak
Masyarakat Bali Aga di desa adat Pengotan memiliki tradisi membangun rumah yang merujuk pada
kosmologi yang berujung pada harmonisasi dan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan,
sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Setiap elemen dan tata letak bangunan
merepresentasikan keselarasan tersebut. Bangunan meten di desa Pengotan merupakan bagian dari
rumah tinggal (jumah) yang menggunakan bambu sebagai bahan bangunan, kecuali
kolom/tiang/saka dan balok bangunan utama menggunakan kayu, dan pondasi lantai bangunan
menggunakan batu dan tanah kering (popolan). Sejalan dengan perkembangan jaman, pola
kehidupan masyarakat berubah yang mengakibatkan bangunan rumah tradisional (jumah) yang
sangat teratur dan seragam secara individual mengalami perubahan. Makalah ini merupakan hasil
penelitian lapangan dengan mengambil sampel bangunan meten yang banyak mengalami perubahan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji nilai-nilai kosmologi yang membentuk bangunan vernakular
Bali Aga, perubahan yang dialami bangunan, dan mencari bagian dari bangunan yang tidak
mengalami perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bangunan dipengaruhi
oleh nilai-nilai kosmologi. Terjadi perubahan pada tampilan bangunan yang berlangsung secara
parsial mengikuti selera pribadi penghuni. Struktur utama meten berupa dipan (selaan) kayu tidak
mengalamai perubahan. Ada tidaknya perubahan pada elemen bangunan dipengaruhi oleh nilai
kosmologis yang dilekatkan pada elemen tersebut.
Kata-kunci: Bali Aga, jumah, kosmologi, pengotan, selaan
Pendahuluan
Desa Bali Aga merupakan permukiman
penduduk asli Bali yang kurang dipengaruhi
kerajaan Hindu Jawa (Majapahit). Desa
Pengotan merupakan sebuah permukiman
tradisional Bali Aga yang masih eksis hingga
sekarang. Desa Pengotan memiliki permukiman
awal dalam proses pendirian desa yaitu
Pekarangan Adat yang dibangun berdasarkan
filosofi Tri Hita Karana yang menekankan
keseimbangan hubungan dalam konteks
keselarasan dan keserasian antara manusia,
lingkungan, dan Tuhan.
Seluruh bangunan dibangun dengan mengikuti
ketentuan adat sehingga arsitektur rumah
tinggal memperlihatkan keseragaman bentuk
bangunan dan konsistensi dalam tata atur
bangunan. Bangunan menggunakan bambu
sebagai bahan bangunan utama. Seluruh
komponen struktur tiang, balok, dinding, rangka
dan penutup atap menggunakan bambu,
sedangkan pondasi lantai bangunan
menggunakan batu dan tanah yang dipadatkan.
Tampilan bangunan tanpa ornamen dengan
warna alami bambu kering. Pada bagian atap
bangunan, di ujung bubungan dipasang hiasan
dari bambu dan ijuk sebagai pengikatnya.
Bangunan dibentuk dari struktur utama dari
bahan bangunan kayu berupa dipan (selaan)
dan tanpa ada bukaan selain pintu untuk keluar
masuk.
Sebagian besar bangunan sudah meninggalkan
pakem tradisionalnya di mana bangunan lama
-
Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?
081 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020
berubah tampilannya. Keunikan bentuk dan
tampilan bangunan yang seragam di desa ini
seakan terusik dengan munculnya bangunan
lama dengan tampilan baru yang menggeser
citra Pekarangan Adat yang bersahaja.
Bahasan penelitian difokuskan pada bangunan
meten yang mengalami perubahan pada
tampilannya dari tampilan bangunan yang
ringan bersahaja menjadi bangunan massif
dengan tampilan yang sangat berbeda dengan
aslinya.
Kajian Literatur
Rapoport (1969) menyebutkan bahwa ciri yang
kuat pada arsitektur vernakular adalah peran
kosmologi dalam penataan lingkungan
permukiman di mana orientasi kosmologi ini
dapat ditandai dengan adanya ruang yang
bersifat sakral (sacred) dan ruang yang bersifat
profan (profane). Budaya memiliki peranan
penting dalam pembentukan struktur ruang
permukiman yang dibentuk melalui proses
dengan kurun waktu yang panjang. Kosmologi
yang merupakan bagian dari sistem
kepercayaan, mempertanyakan apa yang
dimaksud dengan dunia, materi, kuantitas dan
kualitas, perubahan dan penyebabnya, ruang
dan waktu (Baker,1995).
Permukiman tradisional merupakan manifestasi
dari nilai sosial budaya masyarakat (socio-
cultural factors) yang erat kaitannya dengan
nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam
proses penyusunannya menggunakan dasar
norma-norma tradisi (Rapoport, 1969). Socio-
cultural factors menjadi hal utama dalam
perwujudan permukiman karena masyarakat
terlebih dahulu memahami identitas dan
karakter budayanya sebelum menciptakan
lingkungan tempat tinggalnya (Rapoport, 1983).
Selain itu, terutama bagian inti dari socio-
cultural yaitu sistem kepercayaan dan kebiasaan
hidup akan lebih lama bertahan daripada unsur
fisik yang mudah berubah.
James Douglas (2006) dalam bukunya Building
Adaptation menyatakan bahwa adaptasi
bangunan adalah pekerjaan pada bangunan
untuk menyesuaikan, menggunakan ulang dan
meningkatkan kemampuan bangunan. Dan
untuk memperbaiki sesuatu dilakukan facelift
atau reparasi dengan tujuan meningkatkan
penampilan dan fungsinya.
Gagasan dilakukannya penelitian ini mengacu
pada konsep-konsep dari Rapoport yang
bertujuan untuk mengkaji: 1) nilai-nilai
kosmologi yang membentuk bangunan
vernakular Bali Aga, 2) perubahan yang dialami
bangunan, dan 3) mencari sebab terjadinya
bagian dari bangunan yang tidak mengalami
perubahan.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di desa Pengotan, Bangli,
Bali dengan menelusuri jejak fisik rumah
tradisional yang ada di Pekarangan Adat.
Pengamatan dilakukan terhadap perubahan
(penambahan atau pengurangan) pada
bangunan. Penelusuran jejak fisik menurut John
Zeisel (1981) dalam bukunya Inquiry by Design
adalah menelisik lingkungan fisik secara
sistematis untuk menemukan refleksi dari proses
perubahan.
Penelitian diawali dengan melakukan identifikasi
tata ruang, tata letak, dan seluruh bangunan di
Pekarangan Adat desa Pengotan. Selanjutnya,
dilakukan pengamatan langsung lapangan
dengan merekam objek kajian dalam bentuk
foto dan video. Rekaman objek kajian dipilah
lalu dipilih untuk dijadikan sebagai sampel yang
dapat menggambarkan perubahan bangunan
secara lebih rinci. Dari foto-foto yang didapat
kemudian dianalisis perubahan tampilan
bangunan berdasarkan acuan yang ada. Sebagai
landasan dalam menganalisis perubahan
digunakan awig-awig (aturan desa adat
berlandaskan Tri Hita Karana) dan bangunan
asal yang masih ada. Bangunan dikenali atas
bagian kepala-badan-kaki sebagaimana halnya
konsep tri angga yang dipercayai oleh
masyarakat Pengotan.
Wawancara tak terstruktur dilakukan untuk
keperluan analisis yang lebih rinci, kepada
penghuni atau pemilik setiap bangunan yang
dijadikan sampel tentang latar belakang
perubahan bentuk yang dilakukan pada
bangunan. Selain itu, wawancara juga ditujukan
kepada kepala adat untuk mengetahui sejauh
-
Winawangsari, D.
Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 I 082
mana desa mengatur bangunan adat yang ada
di Pekarangan Adat.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kosmologi Bali Aga Pengotan
Masyarakat Pengotan meyakini filosofi bahwa
manusia sebagai makhluk dalam menciptakan
ruang kehidupannya harus menyelaraskan diri
dengan alam. Alam dipandang sebagai sesuatu
yang berada di luar manusia dan merupakan
perwujudan dari kekuatan yang Maha Agung.
Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari
alam, masyarakat Pengotan mengatur dan
merekayasa lingkungan buatan untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat
tradisional percaya bahwa ruang pada
bangunan sebagai lingkungan buatan dapat
menjadi penghubung manusia dengan alam
(Waterson, 1990).
Filosofi Tri Hita Karana yang diyakini masyarakat
Pengotan dimanifestasikan dalam ruang
huniannya dengan memberikan nilai pada setiap
elemennya dan direpresentasikan layaknya
jasad manusia yang disebut angga. Susunan
jasad/angga terdiri dari tiga unsur disebut Tri
Angga, tri berarti tiga dan angga berarti badan,
kepala, badan dan kaki, yang kemudian
dilekatkan nilai daripadanya, yaitu: utama angga
(kepala), madya angga (badan), dan nista
angga (kaki) yang mengatur susunan unsur-
unsur kehidupan manusia di alam/lingkungan
fisik. Secara vertikal, maka aplikasi konsep
tersebut terdiri dari utama berada pada posisi
teratas/sakral, madya posisi tengah dan nista
pada posisi terendah/kotor. Hal yang sama
berlaku pada posisi horizontal, di mana
pemberian hirarki nilai berdasarkan posisi
kepala-badan-kaki manusia dengan nilai utama-
madya-nista.
Masyarakat Pengotan berkeyakinan, bahwa
gunung adalah tempat tinggal para dewa dan
leluhur yang telah didewakan, sedangkan laut
adalah tempat makhluk rendahan. Sehingga
daerah yang lebih dekat ke gunung (tinggi)
dianggap lebih suci (sakral) dibandingkan
dengan daerah yang lebih rendah dan dianggap
non suci (profan).
Pada bangunan, nilai-nilai tersebut dilekatkan
pada elemen-elemen bangunan, yaitu: atap
sebagai kepala bernilai utama, dinding-kolom-
balok sebagai badan bernilai madya, dan
pondasi sebagai kaki bernilai nista.
Gambar 2. Konsep Tri Angga diterapkan pada
bangunan tradisional meten (sumber: Dwinik, 2017
telah dimodifikasi)
Pekarangan adat memiliki topografi yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatur
permukimannya sesuai dengan nilai-nilai yang
diyakini, di mana daerah tertinggi bernilai utama
dan suci disebut kaja, hal sebaliknya daerah
terendah bernilai nista dan non suci disebut
kelod.
Rumah tinggal asli Pengotan terdiri dari dua
bangunan, meten dan bale adat, yang disebut
sebagai jumah. Tata ruang dan tata letak
bangunan di jumah secara horizontal diatur
sebagai berikut; pada sisi kaja (tinggi)
digunakan untuk sanggah sebagai zona yang
memiliki nilai utama bersifat suci yang disebut
parhyangan. Zona tersebut merupakan tempat
pertemuan manusia dengan tuhan/dewa/leluhur.
Zona berikutnya memiliki nilai madya, tediri dari
dua bangunan saling berhadapan (meten dan
bale adat) yang dipisahkan dan disatukan oleh
halaman (natar). Zona hunian ini disebut
pawongan di mana masyarakat tinggal dan
berinteraksi sosial. Zona palemahan berada
?
Bangunan meten asal Bangunan meten baru
?
Utama – atap
Madya – kolom/ balok/dinding
Nista – pondasi
Kepala
Badan
Kaki
Tubuh Manusia Bangunan Nilai
-
Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?
083 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020
pada posisi terendah (kelod) digunakan
masyarakat untuk tempat berkebun, berladang,
dan beternak (teben).
Gambar 3. Tata ruang dan tata letak bangunan
rumah tinggal adat (jumah) Pengotan
Konstruksi Bangunan Meten
Bangunan asli meten menggunakan bambu,
kayu dan tanah liat sebagai bahan bangunan
utama. Bahan tradisional bambu digunakan
untuk bahan penutup atap (sirap bambu),
dinding (anyaman bambu), kusen pintu dan
daun pintu serta panggung yang ada di depan
bangunan (teras). Bambu digunakan sebagai
bahan bangunan karena mudah didapatkan,
yang tersedia di hutan bambu Pengotan. Balok
dan kolom yang menyatu dengan dipan (selaan)
menggunakan bahan kayu. Penggunaan kayu
untuk dipan merupakan keyakinan masyarakat
terhadap adanya pengaruh yang dibawa oleh
kayu dalam kehidupan mereka sekarang dan
masa yang akan datang, di mana setiap jenis
kayu memiliki pengaruh yang berbeda. Selain itu,
kayu memiliki kekuatan untuk memikul beban,
dan keawetan. Sedangkan batu dan tanah liat
yang dipadatkan digunakan untuk bahan
bangunan bebaturan (pondasi dari tanah yang
ditinggikan). Penggunaan tanah liat dan batu
sebagai pondasi dimaksudkan sebagai cara
perbaikan tanah sebagai landasan yang mantap
bagi berdirinya bangunan. Semua bahan
bangunan tersebut mudah didapat dan banyak
terdapat di sekitar desa Pengotan.
Bangunan meten adalah bangunan massa
tunggal dengan satu ruang. Bangunan dibentuk
berdasarkan jumlah kolom/tiang/saka yang
mendukung atap bangunan. Meten terbangun
dari delapan kolom yang berasal dari empat
kolom berpasangan berjajar membentuk segi
empat memanjang dari kangin ke kauh dengan
bentuk atap perisai. Bangunan meten diberi
tambahan teritisan yang tidak menyatu dengan
atap utama yang disebut ampig sebagai teras di
depan rumah. Secara konstruksi ampig ini
terpisah dari meten, namun dalam penyebutan
meten, ampig juga termasuk di dalamnya.
Gambar 4. Bahan bangunan yang digunakan pada
bangunan meten Pengotan
Seluruh bangunan rumah tinggal memiliki
bentuk yang seragam karena menggunakan
teknik membangun yang sama. Bentuk denah
meten segi empat panjang dengan ukuran rata-
rata 4 x 6 m2 bangunan utama dan teras/ampig
dengan ukuran rata-rata 1,5 x 6 m2. Struktur
bangunan tradisional meten umumnya
sederhana yaitu sistem rangka. Dinding meten
tidak menempel pada kolom utama bangunan.
Dinding merupakan konstruksi yang membentuk
ruang dan bersama-sama konstruksi
dipan/selaan mendukung rangka atap. Kolom
dan balok struktural bangunan menggunakan
bahan bangunan kayu dengan sistem
sambungan menggunakan pasak. Bangunan
tidak memiliki bukaan kecuali pintu masuk yang
di depannya terdapat tangga untuk mencapai
rumah. Bahan tangga mengikuti bahan lantai
rumah.
Ruang dalam bangunan meten terbentuk oleh
kolom terbagi menjadi tiga bagian tanpa sekat.
Satu bagian untuk tempat tidur di sisi kauh, satu
bagian untuk ruang sembahyang (suci) di sisi
kangin dan satu bagian diantaranya untuk dapur
yang sekaligus berfungsi sebagai daerah
Sanggah
Pawongan
Palemahan
Bale Adat
Meten
Parhyangan
Teba/Teben
Natah
Bale Adat Natar Meten
Bale Adat MetenNatah Sanggah
Teben
Palemahan
Rurung Rurung Sanggah
Tengah
Pawongan
Hulu
Parhyangan
Potongan Jumah Kelod
Penutup Atap, Bambu
Pondasi, Tanah Kering
Dinding Bilik, Bambu
Pintu dan Daun Pintu, Bambu
-
Winawangsari, D.
Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 I 084
sirkulasi. Masing-masing ruang diantara kolom
berukuran sama.
Ruang yang terbentuk dari empat kolom di
kangin dan empat kolom di kauh dihubungkan
dan disatukan oleh bidang dari bahan kayu
membentuk dipan atau bangku panjang yang
disebut sebagai selaan setinggi 60 cm dari lantai.
Dimensi selaan tidak selalu sama antara
bangunan meten satu dengan lainnya
tergantung dari ukuran tubuh penghuninya pada
saat pembangunan. Ruang diantara selaan diisi
tungku dari tanah liat (jalikan) atau batu bata
berbentuk segi empat dengan ketinggian kurang
lebih 20 cm.
Di atas jalikan dibuat tiga lubang tempat
keluarnya api, sedangkan pada sisi kelod dibuat
lubang untuk memasukan kayu bakar. Jalikan
berfungsi sebagai penghangat ruang di mana
suhu di Pengotan berkisar antara 12 0C – 20 0C
dan kondisi tersebut diperoleh dari sisa bara api
setelah kegiatan memasak. Selain itu, asap yang
ditimbulkan dapat memproses pengawetan
material bangunan. Di atas jalikan terdapat
para-para (rak) yang menghubungkan selaan
sisi/mele kangin dan selaan sisi/mele kauh.
Secara konstruksi para-para ini terpisah namun
bertumpu pada balok selaan yang dekat dengan
jalikan.
Potongan Memanjang Potongan Melintang
(6)
Gambar 4. Denah, Potongan dan interior bale meten,
1) selaan mele kauh, 2) selaan mele kangin, 3) jalikan
di atasnya terdapat rak, 4) ruang antara dinding
dengan dipan sisi kauh, dan 5) sisi kangin, 6)
konstruksi selaan terdiri dari dua dipan yang mengapit
tungku tradisional (jalikan)
Kontruksi atap terdiri dari petaka, pemade/tugeh,
dan iga-iga (usuk) yang dirangkai dengan
menggunakan pasak, dan tali dari ijuk.
Komponen utama adalah petaka di mana
rangkaian iga-iga bertumpu pada satu sisi,
sedangkan sisi yang lain bertumpu pada
lambang (balok) dipan dan dinding yang
membentuk rangka bagi penutup atap.
Kedudukan petaka disokong oleh pemade/tugeh
yang terhubung dengan lambang (balok) dan
saka (kolom) dari konstruksi dipan. Dua dipan
membentuk satu kesatuan struktur konstruksi
kolom balok. Konstruksi dipan merupakan
konstruksi utama bagi penutup atap di mana
lambang (balok) mengikat kolom-kolom (saka)
dan meneruskan aliran gaya dari atap ke
pondasi (bebaturan).
Penutup atap dari bahan bambu disusun
sedemikian rupa untuk dapat mengalirkan air
hujan dengan benar. Selain itu, konstruksi atap
bambu memudahkan keluarnya asap dari sela-
sela di antara hubungan bambu. Hal ini yang
menjadi alasan tidak adanya bukaan lain selain
pintu dari bangunan tradisional meten.
Bebaturan merupakan gundukan tanah dan batu
kali yang ditinggikan 40 – 60 cm dari tanah,
yang berfungsi sebagai lantai bangunan yang
menghalangi percikan air hujan masuk ke dalam
bangunan. Pada 1/3 tinggi kolom dari bawah
dibuat dipan (selaan) yang memperkuat ikatan
kolom. Kolom berdiri di atas umpak berupa batu
dengan sedikit lubang sebagai dudukan kolom.
Batu umpak diletakkan di bebaturan tanpa
penguat. Konstruksi ini sangat efektif bagi
bangunan yang berada di daerah rawan gempa.
jalikan
-
Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?
085 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020
Jika terjadi gempa, bangunan hanya bergoyang
dengan lentur dan tidak runtuh.
Gambar 5. Bangunan meten terdiri dari tiga sub
struktur dengan selaan sebagai struktur utama
Struktur dan konstruksi bangunan meten
dibentuk untuk mewadahi kebutuhan
masyarakat dalam melaksanakan kegiatan
mereka, baik kegiatan domestik maupun
kegiatan ritual keagamaan. Perilaku masyarakat
dalam berkegiatan sehari-hari membantu
mereka untuk selalu ditujukan dan mengingat
peran leluhur di masa lalu, masa sekarang dan
masa yang akan datang.
Benda-benda yang dianggap memiliki nilai suci
atau kegiatan yang bertujuan untuk
dipersembahkan kepada tuhan/dewa/leluhur
diletakkan di daerah yang suci yaitu selaan mele
kangin. Dapur bagi masyarakat Pengotan
merupakan ruang yang memiliki nilai suci, yang
dipakai untuk melakukan ritual pribadi di mana
dewa api berada. Persembahan diletakkan di
bibir tungku setelah selesai memasak sebagai
ucapan rasa syukur kepada dewa dan leluhur
yang telah memberi makanan.
Perilaku dalam memasak dan posisi tidur turut
menjadi pertimbangan. Kegiatan memasak
selalu berorientasi ke kaja. Demikian pula posisi
tidur di mana kepala berada di kaja. Perilaku
tersebut adalah cara-cara yang dipergunakan
untuk menghormati daerah sakral (sanggah)
yang ada di kaja.
Posisi tidur Posisi memasak
Gambar 6. Perilaku masyarakat dalam penggunaan
ruang di meten, orientasi ke kaja
Perubahan Bangunan Meten
Bangunan tradisional yang menggunakan bahan
dari alam memiliki permasalahan dalam
keterbatasan masa pakai yaitu lapuk dan mudah
terserang hama. Keterbatasan ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya iklim
di mana hujan dan panas yang bergantian dan
kelembaban udara tinggi mempercepat proses
pelapukan. Proses pengawetan yang cukup
rumit dan membutuhkan waktu yang cukup
lama menjadi kelemahan bahan bangunan alam
tersebut. Bangunan yang menggunakan bambu
yang tidak melalui proses pengawetan hanya
bertahan 3-5 tahun, bertambahnya usia
bangunan, maka kekuatan dan ketahanan fungsi
konstruksi bangunan berkurang dengan cepat.
Berdasarkan kondisi lapangan, ada banyak
perubahan bentuk terjadi karena penggunaan
material baru pada elemen bangunan.
Masyarakat Pengotan merenovasi rumah tinggal
mereka karena terdorong oleh tersedianya
bahan bangunan baru yang mudah dan cepat
dalam pengerjaan, ada di pasaran, harga
terjangkau dan tahan lama. Bahan bangunan
lama seperti bambu atau tanah diganti dengan
bahan baru yang sesuai fungsinya. Bambu
sebagai bahan penutup atap digantikan oleh
genteng dari tanah, asbes atau seng, dinding
bambu diganti dengan bahan batako atau
batubata. Bersamaan dengan digantinya bahan
dinding biasanya diganti pula bahan kusen pintu,
dari bambu diganti kayu. Kolom dan balok pada
bangunan utama tetap menggunakan kayu,
sedangkan untuk teras (ampig) diganti dengan
bahan kayu, beton, pipa besi atau campuran
dari pipa paralon yang diisi semen dan pasir.
Bebaturan berupa tumpukan batu diganti
dengan beton, lantai lama yang ditutup dengan
tanah kering menggunakan plesteran atau
Jalikan
Kepala – Utama
Badan – Madya
Kaki – Nista
Jalikan
Kepala – Utama
Badan – Madya
Kaki – Nista
Struktur AtapStruktur Utama
Dinding Pengisi
Utama
Madya
Nista
-
Winawangsari, D.
Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 I 086
keramik, baik pada bangunan utama maupun
teras (ampig).
Tabel 1. Identifikasi pemakaian bahan bangunan
pada bangunan meten
Berdasarkan tabel di atas yang kemudian
disandingkan kondisi bangunan meten asli
didapat temuan bahwa semua elemen bangunan
meten mengalami perubahan, kecuali dipan
(selaan) yang menjadi struktur utama meten
yang terbuat dari bahan bangunan kayu (kolom
dan balok interior) tanpa mengalami perubahan.
Ketersediaan bambu sebagai bahan konstruksi
bangunan harus diimbangi dengan ketersediaan
lahan untuk pelestarian tanaman bambu.
Berkurangnya hutan bambu di sekitar desa adat
Pengotan akibat berubahnya pola budidaya
tanaman menjadi faktor pengaruh berkurangnya
penggunaan bahan bambu sebagai bahan
bangunan. Ketersediaan bahan bangunan baru
juga merupakan faktor yang mempengaruhi
perubahan bentuk bangunan. Bahan baru yang
menggunakan teknologi sederhana, tepat guna
memperlihatkan kinerja yang berbeda dengan
bahan bangunan lama. Kemudahan dalam
pelaksanaan juga menjadi faktor yang
mempengaruhi masyarakat untuk mengganti
bambu sebagai bahan bangunan.
Penggantian material atap dari bambu menjadi
seng atau asbes secara langsung mengubah
sudut kemiringan atap menjadi lebih landai,
begitu pula penggantian bahan dinding dari
bambu menjadi batu bata atau batako,
bebaturan pada teras dengan lantai keramik,
merubah citra dari bangunan tropis, yang ringan
dan fleksibel dari segi struktur, digeser menjadi
bangunan massif.
Penggunaan ornamen turut serta
mempengaruhi perubahan bentuk bangunan,
tampilan bangunan yang terlihat sederhana
bersahaja menjadi sangat berbeda dari
bangunan aslinya. Penambahan ornamen terjadi
bersamaan dengan perubahan material lama
diganti dengan material baru yang berbeda dari
aslinya. Penambahan ornamen terjadi pada
bebaturan di mana permukaan bebaturan yang
polos ditempelkan relief. Penambahan ornamen
relief jenis ini juga terjadi di dinding. Ornamen
juga ditambahkan pada elemen atap dari
punggungan, jurai hingga lisplank. Pada kolom
beton, bagian bawah kolom dibuat penebalan
(dimensi diperbesar) seperti umpak adalah
penggunaan jenis ornamen lainnya. Sedangkan
kolom kayu di bagian atasnya diukir dengan
motif bunga, begitu juga dengan balok yang
menghubungkan tiang.
Ornamen baru banyak dijumpai pada atap
bangunan, kolom, dinding, dan bebaturan,
dengan corak dan ekspresi yang mengikuti
kedudukannya dalam bagian bangunan. Oleh
karena ornamen bukan merupakan bagian
bangunan yang fungsional maka keberadaannya
lebih banyak ditujukan untuk aktualisasi diri dari
penghuni atas keberhasilannya dalam
meningkatkan status ekonomi ataupun status
sosial.
Gambar 7. Faktor pembentuk dan pengubah tampilan bangunan meten
Kesimpulan
Rumah tradisional Pengotan hanya terdiri satu
ruang, di mana seluruh kegiatan rumah tangga
dilakukan dalam bangunan tersebut. Layaknya
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7
BAMBU 1 1 1 4,35
GENTENG 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 6 20 86,96
ASBES 1 1 1 4,35
SENG 0 -
BAMBU 0 -
GENTENG 1 1 1 1 4 1 1 5 21,74
ASBES 1 1 1 1 1 5 1 1 6 26,09
SENG 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 6 9 39,13
BAMBU 0 -
KAYU 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1 1 1 1 1 1 1 7 23 100,00
BETON 0 -
BESI 0 -
CAMPURAN 0 -
BAMBU 1 1 1 1 2 1 1 1 3 6 26,09
KAYU 1 1 1 1 4 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 13 56,52
BETON 0 -
BESI 0 -
CAMPURAN 1 1 2 2 8,70
BAMBU 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 7 30,43
KAYU 0 -
BATAKO 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 2 15 65,22
BATUBATA 1 1 1 4,35
BAMBU 0 -
KAYU 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 2 15 65,22
BAMBU 1 1 1 1 1 3 13,04
KAYU 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 6 21 91,30
TANAH 1 1 1 4,35
PLESTERAN 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 6 19 82,61
KERAMIK 1 1 1 4,35
BAMBU 1 1 1 4,35
TANAH 0 -
PLESTERAN 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 14 60,87
KERAMIK 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 7 30,43
TANAH 1 1 4,35
BETON 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 7 22 95,65
KA
KI LANTAI
INTERIOR
TERAS
BEBATURAN
BA
DA
N
KOLOM-
BALOK
INTERIOR
TERAS
DINDING
BUKAAN
JENDELA
PINTUTO
TA
L
%
KEP
ALA PENUTUP
ATAP
ATAP
UTAMA
TERAS
PB1A
JUM
LAH PB3A
JUM
LAH
LOKASI MATERIAL
BANGUNAN
PT1A
JUM
LAH
Bangunan meten asal Bangunan meten baru
• Kosmologi
• Vernakular
• Kosmologi
• Teknologi
• Status Sosial
-
Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?
087 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020
bangunan vernakular Indonesia lainnya yang
menggunakan bambu dan kayu sebagai bahan
konstruksi utama, dibangun dengan keahlian
lokal, serta aturan ketat yang membatasinya,
menjadikan bangunan rumah tinggal meten
tampil sederhana dan bersahaja. Dengan
berjalannya waktu, tampilan sederhana dari
bangunan meten berubah menjadi bangunan
berpenampilan gaya Bali Modern.
Namun demikian, masyarakat Bali Aga Pengotan
masih meyakini dan memelihara filosofi Tri Hita
Karana dan konsep Tri Angga yang telah
mengatur orientasi bangunan, pembagian
bangunan dengan konsep kepala-badan-kaki -
horisontal dan vertikal-, bangunan-bangunan
hunian tetap berjajar rapih, dengan ketinggian
dan dimensi relative seragam. Dari segi struktur,
pola, bentuk dasar, dan tata letak bangunan
tidak mengalami perubahan dan dilestarikan
sesuai dengan aturan desa yang ketat (awig-
awig).
Suatu strategi adaptasi yang cerdas, celah dari
aturan yang ketat di mana fasade dan
penggantian bahan bangunan tidak diatur,
dijadikan sebagai peluang untuk perubahan
namun tetap melestarikan nilai-nilai yang
terkandung dalam keyakinan masyarakat
Pengotan, sebagaimana yang disampaikan
Rapoport (1969) bahwa permukiman vernakular
diwujudkan dengan memperhatikan aspek-
aspek non fisik dalam proses pembentukannya,
di mana kosmologi merupakan hal yang sangat
berpengaruh. Selain itu, bagian inti dari socio-
cultural yaitu system kepercayaan dan
kebiasaan hidup akan lebih lama bertahan
daripada unsur fisik yang mudah berubah
(Rapoport, 1983).
Daftar Pustaka
Douglas, J. (2006). Building Adaptation. Oxford:
Elsevier Ltd.
Dwijendra, N. K. A. (2009). Arsitektur dan Kebudayaan
Bali Kuno. Denpasar: Udayana University Press.
MacDonald, A. J. (1997). Structural Design for
Architecture. Oxford: Architectural Press.
MacDonald, A. J. (2018). Structure and Architecture.
London And New York: Routledge.
Oliver, P. (1997). Encyclopedia of Vernacular
Architecture of the World. New York: Cambridge
University Press.
Oliver, P. (2006). Built to Meet Needs, Cultural Issues
in Vernacular Architecture. Oxford: Elsevier Ltd.
Peters, J. H. & Wardana, W. (2013). Tri Hita Karana,
The Spirit of Bali. Jakarta: PT. Gramedia.
Rapoport, A. (1969). House Form and Culture.
London: Prentice-Hall International, Inc.
Waterson, R. (1990). The living house: An
anthropology of architecture in South-East Asia.
Singapore: Oxford University Press.
Zeisel, J. (1981). Inquiry by Design. New York:
Cambridge University Press.
top related