kesahajaan arsitektur bali aga pengotan, pengaruh kosmologi? · parsial mengikuti selera pribadi...

8
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 4, 080-087, Februari 2020 https://doi.org/10.32315/sem.4.080 Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 | 080 Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi Bandung Kelompok Kerja Struktur Konstruksi IPLBI ISBN : 978-623-93232-1-9 E-ISBN : 978-623-93232-2-6 Kesahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi? Dwinik Winawangsari 1 , Himasari Hanan 2 , Widjaja Martokusumo 3 Korespondensi : [email protected] 1 Program Doktor, Arsitektur, SAPPK, ITB 2 Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik, Arsitektur, SAPPK, ITB 3 Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, Arsitektur, SAPPK, ITB Abstrak Masyarakat Bali Aga di desa adat Pengotan memiliki tradisi membangun rumah yang merujuk pada kosmologi yang berujung pada harmonisasi dan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Setiap elemen dan tata letak bangunan merepresentasikan keselarasan tersebut. Bangunan meten di desa Pengotan merupakan bagian dari rumah tinggal (jumah) yang menggunakan bambu sebagai bahan bangunan, kecuali kolom/tiang/saka dan balok bangunan utama menggunakan kayu, dan pondasi lantai bangunan menggunakan batu dan tanah kering (popolan). Sejalan dengan perkembangan jaman, pola kehidupan masyarakat berubah yang mengakibatkan bangunan rumah tradisional (jumah) yang sangat teratur dan seragam secara individual mengalami perubahan. Makalah ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan mengambil sampel bangunan meten yang banyak mengalami perubahan. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji nilai-nilai kosmologi yang membentuk bangunan vernakular Bali Aga, perubahan yang dialami bangunan, dan mencari bagian dari bangunan yang tidak mengalami perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bangunan dipengaruhi oleh nilai-nilai kosmologi. Terjadi perubahan pada tampilan bangunan yang berlangsung secara parsial mengikuti selera pribadi penghuni. Struktur utama meten berupa dipan (selaan) kayu tidak mengalamai perubahan. Ada tidaknya perubahan pada elemen bangunan dipengaruhi oleh nilai kosmologis yang dilekatkan pada elemen tersebut. Kata-kunci: Bali Aga, jumah, kosmologi, pengotan, selaan Pendahuluan Desa Bali Aga merupakan permukiman penduduk asli Bali yang kurang dipengaruhi kerajaan Hindu Jawa (Majapahit). Desa Pengotan merupakan sebuah permukiman tradisional Bali Aga yang masih eksis hingga sekarang. Desa Pengotan memiliki permukiman awal dalam proses pendirian desa yaitu Pekarangan Adat yang dibangun berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang menekankan keseimbangan hubungan dalam konteks keselarasan dan keserasian antara manusia, lingkungan, dan Tuhan. Seluruh bangunan dibangun dengan mengikuti ketentuan adat sehingga arsitektur rumah tinggal memperlihatkan keseragaman bentuk bangunan dan konsistensi dalam tata atur bangunan. Bangunan menggunakan bambu sebagai bahan bangunan utama. Seluruh komponen struktur tiang, balok, dinding, rangka dan penutup atap menggunakan bambu, sedangkan pondasi lantai bangunan menggunakan batu dan tanah yang dipadatkan. Tampilan bangunan tanpa ornamen dengan warna alami bambu kering. Pada bagian atap bangunan, di ujung bubungan dipasang hiasan dari bambu dan ijuk sebagai pengikatnya. Bangunan dibentuk dari struktur utama dari bahan bangunan kayu berupa dipan (selaan) dan tanpa ada bukaan selain pintu untuk keluar masuk. Sebagian besar bangunan sudah meninggalkan pakem tradisionalnya di mana bangunan lama

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 4, 080-087, Februari 2020 https://doi.org/10.32315/sem.4.080

    Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 | 080 Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi Bandung Kelompok Kerja Struktur Konstruksi IPLBI

    ISBN : 978-623-93232-1-9 E-ISBN : 978-623-93232-2-6

    Kesahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh

    Kosmologi?

    Dwinik Winawangsari1, Himasari Hanan2, Widjaja Martokusumo3

    Korespondensi : [email protected]

    1 Program Doktor, Arsitektur, SAPPK, ITB 2 Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik, Arsitektur, SAPPK, ITB 3 Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, Arsitektur, SAPPK, ITB

    Abstrak

    Masyarakat Bali Aga di desa adat Pengotan memiliki tradisi membangun rumah yang merujuk pada

    kosmologi yang berujung pada harmonisasi dan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan,

    sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Setiap elemen dan tata letak bangunan

    merepresentasikan keselarasan tersebut. Bangunan meten di desa Pengotan merupakan bagian dari

    rumah tinggal (jumah) yang menggunakan bambu sebagai bahan bangunan, kecuali

    kolom/tiang/saka dan balok bangunan utama menggunakan kayu, dan pondasi lantai bangunan

    menggunakan batu dan tanah kering (popolan). Sejalan dengan perkembangan jaman, pola

    kehidupan masyarakat berubah yang mengakibatkan bangunan rumah tradisional (jumah) yang

    sangat teratur dan seragam secara individual mengalami perubahan. Makalah ini merupakan hasil

    penelitian lapangan dengan mengambil sampel bangunan meten yang banyak mengalami perubahan.

    Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji nilai-nilai kosmologi yang membentuk bangunan vernakular

    Bali Aga, perubahan yang dialami bangunan, dan mencari bagian dari bangunan yang tidak

    mengalami perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bangunan dipengaruhi

    oleh nilai-nilai kosmologi. Terjadi perubahan pada tampilan bangunan yang berlangsung secara

    parsial mengikuti selera pribadi penghuni. Struktur utama meten berupa dipan (selaan) kayu tidak

    mengalamai perubahan. Ada tidaknya perubahan pada elemen bangunan dipengaruhi oleh nilai

    kosmologis yang dilekatkan pada elemen tersebut.

    Kata-kunci: Bali Aga, jumah, kosmologi, pengotan, selaan

    Pendahuluan

    Desa Bali Aga merupakan permukiman

    penduduk asli Bali yang kurang dipengaruhi

    kerajaan Hindu Jawa (Majapahit). Desa

    Pengotan merupakan sebuah permukiman

    tradisional Bali Aga yang masih eksis hingga

    sekarang. Desa Pengotan memiliki permukiman

    awal dalam proses pendirian desa yaitu

    Pekarangan Adat yang dibangun berdasarkan

    filosofi Tri Hita Karana yang menekankan

    keseimbangan hubungan dalam konteks

    keselarasan dan keserasian antara manusia,

    lingkungan, dan Tuhan.

    Seluruh bangunan dibangun dengan mengikuti

    ketentuan adat sehingga arsitektur rumah

    tinggal memperlihatkan keseragaman bentuk

    bangunan dan konsistensi dalam tata atur

    bangunan. Bangunan menggunakan bambu

    sebagai bahan bangunan utama. Seluruh

    komponen struktur tiang, balok, dinding, rangka

    dan penutup atap menggunakan bambu,

    sedangkan pondasi lantai bangunan

    menggunakan batu dan tanah yang dipadatkan.

    Tampilan bangunan tanpa ornamen dengan

    warna alami bambu kering. Pada bagian atap

    bangunan, di ujung bubungan dipasang hiasan

    dari bambu dan ijuk sebagai pengikatnya.

    Bangunan dibentuk dari struktur utama dari

    bahan bangunan kayu berupa dipan (selaan)

    dan tanpa ada bukaan selain pintu untuk keluar

    masuk.

    Sebagian besar bangunan sudah meninggalkan

    pakem tradisionalnya di mana bangunan lama

  • Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?

    081 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020

    berubah tampilannya. Keunikan bentuk dan

    tampilan bangunan yang seragam di desa ini

    seakan terusik dengan munculnya bangunan

    lama dengan tampilan baru yang menggeser

    citra Pekarangan Adat yang bersahaja.

    Bahasan penelitian difokuskan pada bangunan

    meten yang mengalami perubahan pada

    tampilannya dari tampilan bangunan yang

    ringan bersahaja menjadi bangunan massif

    dengan tampilan yang sangat berbeda dengan

    aslinya.

    Kajian Literatur

    Rapoport (1969) menyebutkan bahwa ciri yang

    kuat pada arsitektur vernakular adalah peran

    kosmologi dalam penataan lingkungan

    permukiman di mana orientasi kosmologi ini

    dapat ditandai dengan adanya ruang yang

    bersifat sakral (sacred) dan ruang yang bersifat

    profan (profane). Budaya memiliki peranan

    penting dalam pembentukan struktur ruang

    permukiman yang dibentuk melalui proses

    dengan kurun waktu yang panjang. Kosmologi

    yang merupakan bagian dari sistem

    kepercayaan, mempertanyakan apa yang

    dimaksud dengan dunia, materi, kuantitas dan

    kualitas, perubahan dan penyebabnya, ruang

    dan waktu (Baker,1995).

    Permukiman tradisional merupakan manifestasi

    dari nilai sosial budaya masyarakat (socio-

    cultural factors) yang erat kaitannya dengan

    nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam

    proses penyusunannya menggunakan dasar

    norma-norma tradisi (Rapoport, 1969). Socio-

    cultural factors menjadi hal utama dalam

    perwujudan permukiman karena masyarakat

    terlebih dahulu memahami identitas dan

    karakter budayanya sebelum menciptakan

    lingkungan tempat tinggalnya (Rapoport, 1983).

    Selain itu, terutama bagian inti dari socio-

    cultural yaitu sistem kepercayaan dan kebiasaan

    hidup akan lebih lama bertahan daripada unsur

    fisik yang mudah berubah.

    James Douglas (2006) dalam bukunya Building

    Adaptation menyatakan bahwa adaptasi

    bangunan adalah pekerjaan pada bangunan

    untuk menyesuaikan, menggunakan ulang dan

    meningkatkan kemampuan bangunan. Dan

    untuk memperbaiki sesuatu dilakukan facelift

    atau reparasi dengan tujuan meningkatkan

    penampilan dan fungsinya.

    Gagasan dilakukannya penelitian ini mengacu

    pada konsep-konsep dari Rapoport yang

    bertujuan untuk mengkaji: 1) nilai-nilai

    kosmologi yang membentuk bangunan

    vernakular Bali Aga, 2) perubahan yang dialami

    bangunan, dan 3) mencari sebab terjadinya

    bagian dari bangunan yang tidak mengalami

    perubahan.

    Metode Penelitian

    Penelitian dilakukan di desa Pengotan, Bangli,

    Bali dengan menelusuri jejak fisik rumah

    tradisional yang ada di Pekarangan Adat.

    Pengamatan dilakukan terhadap perubahan

    (penambahan atau pengurangan) pada

    bangunan. Penelusuran jejak fisik menurut John

    Zeisel (1981) dalam bukunya Inquiry by Design

    adalah menelisik lingkungan fisik secara

    sistematis untuk menemukan refleksi dari proses

    perubahan.

    Penelitian diawali dengan melakukan identifikasi

    tata ruang, tata letak, dan seluruh bangunan di

    Pekarangan Adat desa Pengotan. Selanjutnya,

    dilakukan pengamatan langsung lapangan

    dengan merekam objek kajian dalam bentuk

    foto dan video. Rekaman objek kajian dipilah

    lalu dipilih untuk dijadikan sebagai sampel yang

    dapat menggambarkan perubahan bangunan

    secara lebih rinci. Dari foto-foto yang didapat

    kemudian dianalisis perubahan tampilan

    bangunan berdasarkan acuan yang ada. Sebagai

    landasan dalam menganalisis perubahan

    digunakan awig-awig (aturan desa adat

    berlandaskan Tri Hita Karana) dan bangunan

    asal yang masih ada. Bangunan dikenali atas

    bagian kepala-badan-kaki sebagaimana halnya

    konsep tri angga yang dipercayai oleh

    masyarakat Pengotan.

    Wawancara tak terstruktur dilakukan untuk

    keperluan analisis yang lebih rinci, kepada

    penghuni atau pemilik setiap bangunan yang

    dijadikan sampel tentang latar belakang

    perubahan bentuk yang dilakukan pada

    bangunan. Selain itu, wawancara juga ditujukan

    kepada kepala adat untuk mengetahui sejauh

  • Winawangsari, D.

    Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 I 082

    mana desa mengatur bangunan adat yang ada

    di Pekarangan Adat.

    Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

    Hasil dan Pembahasan

    Kosmologi Bali Aga Pengotan

    Masyarakat Pengotan meyakini filosofi bahwa

    manusia sebagai makhluk dalam menciptakan

    ruang kehidupannya harus menyelaraskan diri

    dengan alam. Alam dipandang sebagai sesuatu

    yang berada di luar manusia dan merupakan

    perwujudan dari kekuatan yang Maha Agung.

    Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari

    alam, masyarakat Pengotan mengatur dan

    merekayasa lingkungan buatan untuk

    memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat

    tradisional percaya bahwa ruang pada

    bangunan sebagai lingkungan buatan dapat

    menjadi penghubung manusia dengan alam

    (Waterson, 1990).

    Filosofi Tri Hita Karana yang diyakini masyarakat

    Pengotan dimanifestasikan dalam ruang

    huniannya dengan memberikan nilai pada setiap

    elemennya dan direpresentasikan layaknya

    jasad manusia yang disebut angga. Susunan

    jasad/angga terdiri dari tiga unsur disebut Tri

    Angga, tri berarti tiga dan angga berarti badan,

    kepala, badan dan kaki, yang kemudian

    dilekatkan nilai daripadanya, yaitu: utama angga

    (kepala), madya angga (badan), dan nista

    angga (kaki) yang mengatur susunan unsur-

    unsur kehidupan manusia di alam/lingkungan

    fisik. Secara vertikal, maka aplikasi konsep

    tersebut terdiri dari utama berada pada posisi

    teratas/sakral, madya posisi tengah dan nista

    pada posisi terendah/kotor. Hal yang sama

    berlaku pada posisi horizontal, di mana

    pemberian hirarki nilai berdasarkan posisi

    kepala-badan-kaki manusia dengan nilai utama-

    madya-nista.

    Masyarakat Pengotan berkeyakinan, bahwa

    gunung adalah tempat tinggal para dewa dan

    leluhur yang telah didewakan, sedangkan laut

    adalah tempat makhluk rendahan. Sehingga

    daerah yang lebih dekat ke gunung (tinggi)

    dianggap lebih suci (sakral) dibandingkan

    dengan daerah yang lebih rendah dan dianggap

    non suci (profan).

    Pada bangunan, nilai-nilai tersebut dilekatkan

    pada elemen-elemen bangunan, yaitu: atap

    sebagai kepala bernilai utama, dinding-kolom-

    balok sebagai badan bernilai madya, dan

    pondasi sebagai kaki bernilai nista.

    Gambar 2. Konsep Tri Angga diterapkan pada

    bangunan tradisional meten (sumber: Dwinik, 2017

    telah dimodifikasi)

    Pekarangan adat memiliki topografi yang

    dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatur

    permukimannya sesuai dengan nilai-nilai yang

    diyakini, di mana daerah tertinggi bernilai utama

    dan suci disebut kaja, hal sebaliknya daerah

    terendah bernilai nista dan non suci disebut

    kelod.

    Rumah tinggal asli Pengotan terdiri dari dua

    bangunan, meten dan bale adat, yang disebut

    sebagai jumah. Tata ruang dan tata letak

    bangunan di jumah secara horizontal diatur

    sebagai berikut; pada sisi kaja (tinggi)

    digunakan untuk sanggah sebagai zona yang

    memiliki nilai utama bersifat suci yang disebut

    parhyangan. Zona tersebut merupakan tempat

    pertemuan manusia dengan tuhan/dewa/leluhur.

    Zona berikutnya memiliki nilai madya, tediri dari

    dua bangunan saling berhadapan (meten dan

    bale adat) yang dipisahkan dan disatukan oleh

    halaman (natar). Zona hunian ini disebut

    pawongan di mana masyarakat tinggal dan

    berinteraksi sosial. Zona palemahan berada

    ?

    Bangunan meten asal Bangunan meten baru

    ?

    Utama – atap

    Madya – kolom/ balok/dinding

    Nista – pondasi

    Kepala

    Badan

    Kaki

    Tubuh Manusia Bangunan Nilai

  • Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?

    083 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020

    pada posisi terendah (kelod) digunakan

    masyarakat untuk tempat berkebun, berladang,

    dan beternak (teben).

    Gambar 3. Tata ruang dan tata letak bangunan

    rumah tinggal adat (jumah) Pengotan

    Konstruksi Bangunan Meten

    Bangunan asli meten menggunakan bambu,

    kayu dan tanah liat sebagai bahan bangunan

    utama. Bahan tradisional bambu digunakan

    untuk bahan penutup atap (sirap bambu),

    dinding (anyaman bambu), kusen pintu dan

    daun pintu serta panggung yang ada di depan

    bangunan (teras). Bambu digunakan sebagai

    bahan bangunan karena mudah didapatkan,

    yang tersedia di hutan bambu Pengotan. Balok

    dan kolom yang menyatu dengan dipan (selaan)

    menggunakan bahan kayu. Penggunaan kayu

    untuk dipan merupakan keyakinan masyarakat

    terhadap adanya pengaruh yang dibawa oleh

    kayu dalam kehidupan mereka sekarang dan

    masa yang akan datang, di mana setiap jenis

    kayu memiliki pengaruh yang berbeda. Selain itu,

    kayu memiliki kekuatan untuk memikul beban,

    dan keawetan. Sedangkan batu dan tanah liat

    yang dipadatkan digunakan untuk bahan

    bangunan bebaturan (pondasi dari tanah yang

    ditinggikan). Penggunaan tanah liat dan batu

    sebagai pondasi dimaksudkan sebagai cara

    perbaikan tanah sebagai landasan yang mantap

    bagi berdirinya bangunan. Semua bahan

    bangunan tersebut mudah didapat dan banyak

    terdapat di sekitar desa Pengotan.

    Bangunan meten adalah bangunan massa

    tunggal dengan satu ruang. Bangunan dibentuk

    berdasarkan jumlah kolom/tiang/saka yang

    mendukung atap bangunan. Meten terbangun

    dari delapan kolom yang berasal dari empat

    kolom berpasangan berjajar membentuk segi

    empat memanjang dari kangin ke kauh dengan

    bentuk atap perisai. Bangunan meten diberi

    tambahan teritisan yang tidak menyatu dengan

    atap utama yang disebut ampig sebagai teras di

    depan rumah. Secara konstruksi ampig ini

    terpisah dari meten, namun dalam penyebutan

    meten, ampig juga termasuk di dalamnya.

    Gambar 4. Bahan bangunan yang digunakan pada

    bangunan meten Pengotan

    Seluruh bangunan rumah tinggal memiliki

    bentuk yang seragam karena menggunakan

    teknik membangun yang sama. Bentuk denah

    meten segi empat panjang dengan ukuran rata-

    rata 4 x 6 m2 bangunan utama dan teras/ampig

    dengan ukuran rata-rata 1,5 x 6 m2. Struktur

    bangunan tradisional meten umumnya

    sederhana yaitu sistem rangka. Dinding meten

    tidak menempel pada kolom utama bangunan.

    Dinding merupakan konstruksi yang membentuk

    ruang dan bersama-sama konstruksi

    dipan/selaan mendukung rangka atap. Kolom

    dan balok struktural bangunan menggunakan

    bahan bangunan kayu dengan sistem

    sambungan menggunakan pasak. Bangunan

    tidak memiliki bukaan kecuali pintu masuk yang

    di depannya terdapat tangga untuk mencapai

    rumah. Bahan tangga mengikuti bahan lantai

    rumah.

    Ruang dalam bangunan meten terbentuk oleh

    kolom terbagi menjadi tiga bagian tanpa sekat.

    Satu bagian untuk tempat tidur di sisi kauh, satu

    bagian untuk ruang sembahyang (suci) di sisi

    kangin dan satu bagian diantaranya untuk dapur

    yang sekaligus berfungsi sebagai daerah

    Sanggah

    Pawongan

    Palemahan

    Bale Adat

    Meten

    Parhyangan

    Teba/Teben

    Natah

    Bale Adat Natar Meten

    Bale Adat MetenNatah Sanggah

    Teben

    Palemahan

    Rurung Rurung Sanggah

    Tengah

    Pawongan

    Hulu

    Parhyangan

    Potongan Jumah Kelod

    Penutup Atap, Bambu

    Pondasi, Tanah Kering

    Dinding Bilik, Bambu

    Pintu dan Daun Pintu, Bambu

  • Winawangsari, D.

    Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 I 084

    sirkulasi. Masing-masing ruang diantara kolom

    berukuran sama.

    Ruang yang terbentuk dari empat kolom di

    kangin dan empat kolom di kauh dihubungkan

    dan disatukan oleh bidang dari bahan kayu

    membentuk dipan atau bangku panjang yang

    disebut sebagai selaan setinggi 60 cm dari lantai.

    Dimensi selaan tidak selalu sama antara

    bangunan meten satu dengan lainnya

    tergantung dari ukuran tubuh penghuninya pada

    saat pembangunan. Ruang diantara selaan diisi

    tungku dari tanah liat (jalikan) atau batu bata

    berbentuk segi empat dengan ketinggian kurang

    lebih 20 cm.

    Di atas jalikan dibuat tiga lubang tempat

    keluarnya api, sedangkan pada sisi kelod dibuat

    lubang untuk memasukan kayu bakar. Jalikan

    berfungsi sebagai penghangat ruang di mana

    suhu di Pengotan berkisar antara 12 0C – 20 0C

    dan kondisi tersebut diperoleh dari sisa bara api

    setelah kegiatan memasak. Selain itu, asap yang

    ditimbulkan dapat memproses pengawetan

    material bangunan. Di atas jalikan terdapat

    para-para (rak) yang menghubungkan selaan

    sisi/mele kangin dan selaan sisi/mele kauh.

    Secara konstruksi para-para ini terpisah namun

    bertumpu pada balok selaan yang dekat dengan

    jalikan.

    Potongan Memanjang Potongan Melintang

    (6)

    Gambar 4. Denah, Potongan dan interior bale meten,

    1) selaan mele kauh, 2) selaan mele kangin, 3) jalikan

    di atasnya terdapat rak, 4) ruang antara dinding

    dengan dipan sisi kauh, dan 5) sisi kangin, 6)

    konstruksi selaan terdiri dari dua dipan yang mengapit

    tungku tradisional (jalikan)

    Kontruksi atap terdiri dari petaka, pemade/tugeh,

    dan iga-iga (usuk) yang dirangkai dengan

    menggunakan pasak, dan tali dari ijuk.

    Komponen utama adalah petaka di mana

    rangkaian iga-iga bertumpu pada satu sisi,

    sedangkan sisi yang lain bertumpu pada

    lambang (balok) dipan dan dinding yang

    membentuk rangka bagi penutup atap.

    Kedudukan petaka disokong oleh pemade/tugeh

    yang terhubung dengan lambang (balok) dan

    saka (kolom) dari konstruksi dipan. Dua dipan

    membentuk satu kesatuan struktur konstruksi

    kolom balok. Konstruksi dipan merupakan

    konstruksi utama bagi penutup atap di mana

    lambang (balok) mengikat kolom-kolom (saka)

    dan meneruskan aliran gaya dari atap ke

    pondasi (bebaturan).

    Penutup atap dari bahan bambu disusun

    sedemikian rupa untuk dapat mengalirkan air

    hujan dengan benar. Selain itu, konstruksi atap

    bambu memudahkan keluarnya asap dari sela-

    sela di antara hubungan bambu. Hal ini yang

    menjadi alasan tidak adanya bukaan lain selain

    pintu dari bangunan tradisional meten.

    Bebaturan merupakan gundukan tanah dan batu

    kali yang ditinggikan 40 – 60 cm dari tanah,

    yang berfungsi sebagai lantai bangunan yang

    menghalangi percikan air hujan masuk ke dalam

    bangunan. Pada 1/3 tinggi kolom dari bawah

    dibuat dipan (selaan) yang memperkuat ikatan

    kolom. Kolom berdiri di atas umpak berupa batu

    dengan sedikit lubang sebagai dudukan kolom.

    Batu umpak diletakkan di bebaturan tanpa

    penguat. Konstruksi ini sangat efektif bagi

    bangunan yang berada di daerah rawan gempa.

    jalikan

  • Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?

    085 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020

    Jika terjadi gempa, bangunan hanya bergoyang

    dengan lentur dan tidak runtuh.

    Gambar 5. Bangunan meten terdiri dari tiga sub

    struktur dengan selaan sebagai struktur utama

    Struktur dan konstruksi bangunan meten

    dibentuk untuk mewadahi kebutuhan

    masyarakat dalam melaksanakan kegiatan

    mereka, baik kegiatan domestik maupun

    kegiatan ritual keagamaan. Perilaku masyarakat

    dalam berkegiatan sehari-hari membantu

    mereka untuk selalu ditujukan dan mengingat

    peran leluhur di masa lalu, masa sekarang dan

    masa yang akan datang.

    Benda-benda yang dianggap memiliki nilai suci

    atau kegiatan yang bertujuan untuk

    dipersembahkan kepada tuhan/dewa/leluhur

    diletakkan di daerah yang suci yaitu selaan mele

    kangin. Dapur bagi masyarakat Pengotan

    merupakan ruang yang memiliki nilai suci, yang

    dipakai untuk melakukan ritual pribadi di mana

    dewa api berada. Persembahan diletakkan di

    bibir tungku setelah selesai memasak sebagai

    ucapan rasa syukur kepada dewa dan leluhur

    yang telah memberi makanan.

    Perilaku dalam memasak dan posisi tidur turut

    menjadi pertimbangan. Kegiatan memasak

    selalu berorientasi ke kaja. Demikian pula posisi

    tidur di mana kepala berada di kaja. Perilaku

    tersebut adalah cara-cara yang dipergunakan

    untuk menghormati daerah sakral (sanggah)

    yang ada di kaja.

    Posisi tidur Posisi memasak

    Gambar 6. Perilaku masyarakat dalam penggunaan

    ruang di meten, orientasi ke kaja

    Perubahan Bangunan Meten

    Bangunan tradisional yang menggunakan bahan

    dari alam memiliki permasalahan dalam

    keterbatasan masa pakai yaitu lapuk dan mudah

    terserang hama. Keterbatasan ini dapat

    disebabkan oleh banyak faktor diantaranya iklim

    di mana hujan dan panas yang bergantian dan

    kelembaban udara tinggi mempercepat proses

    pelapukan. Proses pengawetan yang cukup

    rumit dan membutuhkan waktu yang cukup

    lama menjadi kelemahan bahan bangunan alam

    tersebut. Bangunan yang menggunakan bambu

    yang tidak melalui proses pengawetan hanya

    bertahan 3-5 tahun, bertambahnya usia

    bangunan, maka kekuatan dan ketahanan fungsi

    konstruksi bangunan berkurang dengan cepat.

    Berdasarkan kondisi lapangan, ada banyak

    perubahan bentuk terjadi karena penggunaan

    material baru pada elemen bangunan.

    Masyarakat Pengotan merenovasi rumah tinggal

    mereka karena terdorong oleh tersedianya

    bahan bangunan baru yang mudah dan cepat

    dalam pengerjaan, ada di pasaran, harga

    terjangkau dan tahan lama. Bahan bangunan

    lama seperti bambu atau tanah diganti dengan

    bahan baru yang sesuai fungsinya. Bambu

    sebagai bahan penutup atap digantikan oleh

    genteng dari tanah, asbes atau seng, dinding

    bambu diganti dengan bahan batako atau

    batubata. Bersamaan dengan digantinya bahan

    dinding biasanya diganti pula bahan kusen pintu,

    dari bambu diganti kayu. Kolom dan balok pada

    bangunan utama tetap menggunakan kayu,

    sedangkan untuk teras (ampig) diganti dengan

    bahan kayu, beton, pipa besi atau campuran

    dari pipa paralon yang diisi semen dan pasir.

    Bebaturan berupa tumpukan batu diganti

    dengan beton, lantai lama yang ditutup dengan

    tanah kering menggunakan plesteran atau

    Jalikan

    Kepala – Utama

    Badan – Madya

    Kaki – Nista

    Jalikan

    Kepala – Utama

    Badan – Madya

    Kaki – Nista

    Struktur AtapStruktur Utama

    Dinding Pengisi

    Utama

    Madya

    Nista

  • Winawangsari, D.

    Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020 I 086

    keramik, baik pada bangunan utama maupun

    teras (ampig).

    Tabel 1. Identifikasi pemakaian bahan bangunan

    pada bangunan meten

    Berdasarkan tabel di atas yang kemudian

    disandingkan kondisi bangunan meten asli

    didapat temuan bahwa semua elemen bangunan

    meten mengalami perubahan, kecuali dipan

    (selaan) yang menjadi struktur utama meten

    yang terbuat dari bahan bangunan kayu (kolom

    dan balok interior) tanpa mengalami perubahan.

    Ketersediaan bambu sebagai bahan konstruksi

    bangunan harus diimbangi dengan ketersediaan

    lahan untuk pelestarian tanaman bambu.

    Berkurangnya hutan bambu di sekitar desa adat

    Pengotan akibat berubahnya pola budidaya

    tanaman menjadi faktor pengaruh berkurangnya

    penggunaan bahan bambu sebagai bahan

    bangunan. Ketersediaan bahan bangunan baru

    juga merupakan faktor yang mempengaruhi

    perubahan bentuk bangunan. Bahan baru yang

    menggunakan teknologi sederhana, tepat guna

    memperlihatkan kinerja yang berbeda dengan

    bahan bangunan lama. Kemudahan dalam

    pelaksanaan juga menjadi faktor yang

    mempengaruhi masyarakat untuk mengganti

    bambu sebagai bahan bangunan.

    Penggantian material atap dari bambu menjadi

    seng atau asbes secara langsung mengubah

    sudut kemiringan atap menjadi lebih landai,

    begitu pula penggantian bahan dinding dari

    bambu menjadi batu bata atau batako,

    bebaturan pada teras dengan lantai keramik,

    merubah citra dari bangunan tropis, yang ringan

    dan fleksibel dari segi struktur, digeser menjadi

    bangunan massif.

    Penggunaan ornamen turut serta

    mempengaruhi perubahan bentuk bangunan,

    tampilan bangunan yang terlihat sederhana

    bersahaja menjadi sangat berbeda dari

    bangunan aslinya. Penambahan ornamen terjadi

    bersamaan dengan perubahan material lama

    diganti dengan material baru yang berbeda dari

    aslinya. Penambahan ornamen terjadi pada

    bebaturan di mana permukaan bebaturan yang

    polos ditempelkan relief. Penambahan ornamen

    relief jenis ini juga terjadi di dinding. Ornamen

    juga ditambahkan pada elemen atap dari

    punggungan, jurai hingga lisplank. Pada kolom

    beton, bagian bawah kolom dibuat penebalan

    (dimensi diperbesar) seperti umpak adalah

    penggunaan jenis ornamen lainnya. Sedangkan

    kolom kayu di bagian atasnya diukir dengan

    motif bunga, begitu juga dengan balok yang

    menghubungkan tiang.

    Ornamen baru banyak dijumpai pada atap

    bangunan, kolom, dinding, dan bebaturan,

    dengan corak dan ekspresi yang mengikuti

    kedudukannya dalam bagian bangunan. Oleh

    karena ornamen bukan merupakan bagian

    bangunan yang fungsional maka keberadaannya

    lebih banyak ditujukan untuk aktualisasi diri dari

    penghuni atas keberhasilannya dalam

    meningkatkan status ekonomi ataupun status

    sosial.

    Gambar 7. Faktor pembentuk dan pengubah tampilan bangunan meten

    Kesimpulan

    Rumah tradisional Pengotan hanya terdiri satu

    ruang, di mana seluruh kegiatan rumah tangga

    dilakukan dalam bangunan tersebut. Layaknya

    1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7

    BAMBU 1 1 1 4,35

    GENTENG 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 6 20 86,96

    ASBES 1 1 1 4,35

    SENG 0 -

    BAMBU 0 -

    GENTENG 1 1 1 1 4 1 1 5 21,74

    ASBES 1 1 1 1 1 5 1 1 6 26,09

    SENG 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 6 9 39,13

    BAMBU 0 -

    KAYU 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1 1 1 1 1 1 1 7 23 100,00

    BETON 0 -

    BESI 0 -

    CAMPURAN 0 -

    BAMBU 1 1 1 1 2 1 1 1 3 6 26,09

    KAYU 1 1 1 1 4 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 13 56,52

    BETON 0 -

    BESI 0 -

    CAMPURAN 1 1 2 2 8,70

    BAMBU 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 7 30,43

    KAYU 0 -

    BATAKO 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 2 15 65,22

    BATUBATA 1 1 1 4,35

    BAMBU 0 -

    KAYU 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 2 15 65,22

    BAMBU 1 1 1 1 1 3 13,04

    KAYU 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 6 21 91,30

    TANAH 1 1 1 4,35

    PLESTERAN 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 6 19 82,61

    KERAMIK 1 1 1 4,35

    BAMBU 1 1 1 4,35

    TANAH 0 -

    PLESTERAN 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 14 60,87

    KERAMIK 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 7 30,43

    TANAH 1 1 4,35

    BETON 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 7 22 95,65

    KA

    KI LANTAI

    INTERIOR

    TERAS

    BEBATURAN

    BA

    DA

    N

    KOLOM-

    BALOK

    INTERIOR

    TERAS

    DINDING

    BUKAAN

    JENDELA

    PINTUTO

    TA

    L

    %

    KEP

    ALA PENUTUP

    ATAP

    ATAP

    UTAMA

    TERAS

    PB1A

    JUM

    LAH PB3A

    JUM

    LAH

    LOKASI MATERIAL

    BANGUNAN

    PT1A

    JUM

    LAH

    Bangunan meten asal Bangunan meten baru

    • Kosmologi

    • Vernakular

    • Kosmologi

    • Teknologi

    • Status Sosial

  • Kebersahajaan Arsitektur Bali Aga Pengotan, Pengaruh Kosmologi?

    087 I Prosiding Seminar Struktur dalam Arsitektur 2020

    bangunan vernakular Indonesia lainnya yang

    menggunakan bambu dan kayu sebagai bahan

    konstruksi utama, dibangun dengan keahlian

    lokal, serta aturan ketat yang membatasinya,

    menjadikan bangunan rumah tinggal meten

    tampil sederhana dan bersahaja. Dengan

    berjalannya waktu, tampilan sederhana dari

    bangunan meten berubah menjadi bangunan

    berpenampilan gaya Bali Modern.

    Namun demikian, masyarakat Bali Aga Pengotan

    masih meyakini dan memelihara filosofi Tri Hita

    Karana dan konsep Tri Angga yang telah

    mengatur orientasi bangunan, pembagian

    bangunan dengan konsep kepala-badan-kaki -

    horisontal dan vertikal-, bangunan-bangunan

    hunian tetap berjajar rapih, dengan ketinggian

    dan dimensi relative seragam. Dari segi struktur,

    pola, bentuk dasar, dan tata letak bangunan

    tidak mengalami perubahan dan dilestarikan

    sesuai dengan aturan desa yang ketat (awig-

    awig).

    Suatu strategi adaptasi yang cerdas, celah dari

    aturan yang ketat di mana fasade dan

    penggantian bahan bangunan tidak diatur,

    dijadikan sebagai peluang untuk perubahan

    namun tetap melestarikan nilai-nilai yang

    terkandung dalam keyakinan masyarakat

    Pengotan, sebagaimana yang disampaikan

    Rapoport (1969) bahwa permukiman vernakular

    diwujudkan dengan memperhatikan aspek-

    aspek non fisik dalam proses pembentukannya,

    di mana kosmologi merupakan hal yang sangat

    berpengaruh. Selain itu, bagian inti dari socio-

    cultural yaitu system kepercayaan dan

    kebiasaan hidup akan lebih lama bertahan

    daripada unsur fisik yang mudah berubah

    (Rapoport, 1983).

    Daftar Pustaka

    Douglas, J. (2006). Building Adaptation. Oxford:

    Elsevier Ltd.

    Dwijendra, N. K. A. (2009). Arsitektur dan Kebudayaan

    Bali Kuno. Denpasar: Udayana University Press.

    MacDonald, A. J. (1997). Structural Design for

    Architecture. Oxford: Architectural Press.

    MacDonald, A. J. (2018). Structure and Architecture.

    London And New York: Routledge.

    Oliver, P. (1997). Encyclopedia of Vernacular

    Architecture of the World. New York: Cambridge

    University Press.

    Oliver, P. (2006). Built to Meet Needs, Cultural Issues

    in Vernacular Architecture. Oxford: Elsevier Ltd.

    Peters, J. H. & Wardana, W. (2013). Tri Hita Karana,

    The Spirit of Bali. Jakarta: PT. Gramedia.

    Rapoport, A. (1969). House Form and Culture.

    London: Prentice-Hall International, Inc.

    Waterson, R. (1990). The living house: An

    anthropology of architecture in South-East Asia.

    Singapore: Oxford University Press.

    Zeisel, J. (1981). Inquiry by Design. New York:

    Cambridge University Press.