keraton dan politik konflik keraton surakarta hadiningrat
Post on 01-Nov-2021
21 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KERATON DAN POLITIK
(Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat Pasca Wafatnya Paku Buwono XII)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun oleh
Muhammad Agus Salim Muharrom
NIM: 109033200020
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
iv
ABSTRAK
Masih adakah drama perebutan kekuasaan antar para bangsawan?Jawabannya masih, tidak hanya bisa disaksikan melalui tutur cerita orang tua ataukitab-kitab kuno saja. Meskipun dalam sekup yang berbeda, telah terjadi konflikberkepanjangan yang tak kunjung usai di Keraton Surakarta Hadiningrat, salahsatu kerajaan dari dinasti Mataram Islam. Skripsi ini ingin menganalisa asalmuasal konflik perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta Hadiningrat. Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yangmelatarbelakangi terjadinya konflik. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustakadan melalui wawancara kepada sentana dalem Keraton Surakarta Hadiningrat.Dalam penelitian ini ditemukan motivasi salah satu putra Paku Buwono XIIIuntuk naik sebagai raja tidak semata ingin mempertahankan tradisi, tapi juga inginmeraih kekuasaan sebagai raja yang sah di Keraton Surakarta Hadiningrat yangpada akhirnya bisa memiliki otoritas politik dan ekonomi terhadap semua yangberhubungan dengan keraton baik internal maupun eksternal. Argumen inidirumuskan melalui susunan peristiwa demi peristiwa yang melanda keraton sejakPaku Buwono XII wafat hingga beberapa tahun lamanya yang selanjutnyadianalisa oleh penulis melalui beberapa kerangka teori, yaitu: teori monarki, teorikekuasaan, dan teori konflik.
Dalam pemerintahan monarki, mutlak hukumnya pengganti raja adalah anakkandung dari raja itu sendiri. Angger-angger atau aturan tak tertulis di KeratonSurakarta Hadiningrat mengharuskan yang berhak menjadi raja adalah anak lelakitertua, namun ada perbedaan persepsi bahwa pergantian kekuasaan tidak harusberpacu pada angger-angger. Perbedaan persepsi ini menimbulkan konflikperebutan kekuasaan antara satu putra dengan putra lainnya, yang selanjutnyaakan dianalisa melalui teori kekuasaan dan teori konflik.
Keywords: keraton, konflik, suksesi, surakarta
v
KATA PENGANTAR
بسم االله الرحمن الرحیم
Alhamdulillahirabbil’ Alamin, segala puji dan syukur pada Allah SWT yang
telah memberikan nikmat tak terhingga, sehingga dengan izin-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik sesuai waktu
yang diharapkan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, yang telah menginspirasi seluruh umat muslim di muka bumi
ini.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuannya saat proses penyusunan skripsi. Baik berupa bantuan
moril dan materil. Terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Bahtiar Effendy selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ali Munhanif selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Armein Daulay, M.Si selaku dosen pembimbing bagi penulis,
ketegasan dan kesabarannya telah memberi dorongan semangat kepada
penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Bapak Idris Thaha, M.Si selaku dosen penasehat akademik, berkat arahan
beliau penulis dapat memulai skripsi ini.
5. Bapak Dr. Ali Munhanif dan Ibu Suryani, M.Si selaku dosen penguji.
vi
6. Para dosen tercinta selama penulis belajar di ruang kelas, Pak Zaki Mubarak,
Pak Bakir Ihsan, Ibu Haniah Hanafie, Pak Agus Nugraha, dan bapak/ibu
dosen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
7. Mama tercinta, Hj. Fauzah, dan almarhum bapa H. Leman Sulaeman, do’a,
dukungan, dan perjuanganmu tak pernah surut untuk keberlangsungan studi
anakmu ini. Semoga skripsi ini menjadi kado terindah untuk mama dan
almarhum bapa.
8. Ka Lia, Anopi, Ayubi, Mbak Eha, Bi Jaem, dan seluruh keluargaku yang
telah memberikan motivasi yang cukup besar kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
9. Pihak sentana dalem Keraton Surakarta Hadiningrat, KGPH PA Tedjowulan,
KGPH Puger, dan GPH Dipokusumo, pemerhati Keraton Surakarta
Hadiningrat, Bapak Eko Ismadi, yang telah berkenan menjadi narasumber
bagi penulis.
10. Redaktur Senior Solopos, Mulyanto Utomo, beserta jajarannya yang telah
berkenan menjadi narasumber serta memberikan data-data terkait penulisan
skripsi ini.
11. Pihak-pihak yang telah membantu operasional dan memberi tempat tinggal
selama penulis mengadakan penelitian ini, Ibu Encus, Bapak Taufik, Bapak
Titus Yanto Martono, biar Allah yang membalas jasa-jasa kalian semua.
12. Sahabat-sahabat terdekat sekaligus inspirator bagi penulis, Zakiya Rahmi
Lubis, S.Pd, Kevin Filsafat, Lina Sumaya S.Sos, Rizky Dwi Amy, Eko
vii
Indrayadi S.Sos, Masrukhin, dan Ipul Cak. Sampai jumpa di puncak
kesuksesan.
13. Rekan-rekan di Penerbit Dolphin yang telah menjadi bagian dari hidup
penulis, Mas Salahuddin Gh, Abang Sihar, Mbak Noni Rafael, dan Mas Eko
Waluyo. Berkat bantuan kalian juga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
14. Teman-teman kelas Ilmu Politik 2009 yang telah menjadi sahabat
seperjuangan bagi penulis, Mudhori, Filly, Mamet, Amizar, Rizqi, Rizky
Noor, Meutia, Ayu, Arep, Ghofur, Odit, Fikri, Algi, Elva, Zula, Agil, Fadhil,
Amin, Ali, Abdi, Ilham, Riben, Hasan, Ridwan, dan kawan-kawan lainnya
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per-satu. Perjuangan kita masih
panjang.
Akhirnya penulis berdoa, semoga segala bantuan dan perhatian yang
diberikan semua pihak mendapat balasan yang berlipat dari Yang Maha Kuasa.
Juga apa yang disampaikan penulis dari keseluruhan skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar informasi dan data
yang disampaikan terhindar dari kekeliruan. Sehingga dengan sepenuh hati
penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan khilaf dalam penulisan. Saran
dan kritik dibutuhkan bagi penulis demi membuat tulisan ini menjadi lebih baik
lagi.
Jakarta, 11 April 2014
Muhammad Agus Salim Muharrom
viii
DAFTAR ISI
Hal
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME....................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................................viii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Pernyataan Masalah.............................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................. 5
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 6
E. Metode Penelitian ................................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 8
BAB II KERANGKA TEORETIS................................................................. 10
A. Teori Kekuasaan ................................................................................... 10
B. Teori Konflik ........................................................................................ 16
BAB III PROFIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT.................. 21
ix
A. Lingkungan Geografis .......................................................................... 21
B. Lingkungan Fisik Keraton Surakarta Hadiningrat................................ 24
1. Lingkaran I: Kedhaton.................................................................... 24
2. Lingkaran II: Kompleks Bangunan di Baluwarti ........................... 27
3. Lingkaran III: Paseban.................................................................... 28
4. Lingkaran IV: Alun-alun ................................................................ 28
C. Stratifikasi Sosial Masyarakat .............................................................. 29
1. Raja dan Keluarga Raja (sentana dalem) ....................................... 29
2. Pegawai dan Pejabat Kerajaan (abdi dalem) ................................. 34
3. Rakyat Biasa (wong cilik, kawula dalem) ...................................... 35
D. Silsilah Penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat ............................... 35
E. Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat ............................................... 40
F. Kegiatan-Kegiatan Spiritual di Keraton Surakarta Hadiningrat .......... 43
BAB IV KONFLIK YANG TERJADI DI KERATON SURAKARTA
HADININGRAT PASCA WAFATNYA PAKU BUWONO XII ... 45
A. Wasiat Ibunda Paku Buwono XII dan Suksesi Keraton ....................... 45
B. Isu-isu Pasca Wafatnya Paku Buwono XII........................................... 50
C. Kasus Konflik Perebutan Kekuasaan di Keraton Surakarta
Hadiningrat........................................................................................... 57
D. Implikasi Konflik Terhadap Kehidupan Keraton ................................. 70
1. Perpecahan Sentana Dalem Keraton ............................................... 70
2. Terhentinya Dana Hibah ................................................................. 74
3. Pemberian Gelar di Keraton Surakarta Hadiningrat: Benarkah
Diperjual Belikan? ........................................................................... 78
E. Proses Rekonsiliasi Antara Paku Buwono XIII Hangabehi dan Paku
Buwono XIII Tedjowulan..................................................................... 83
F. Babak Baru Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat .......................... 89
x
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 97
A. Kesimpulan........................................................................................... 97
B. Saran ..................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................100
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Silsilah Raja-Raja Keraton Surakarta Hadiningrat.............. xii
LAMPIRAN 2 Daftar Putra-putri Paku Buwono XII ....................................xiii
LAMPIRAN 3 Gelar Kebangsawanan di Keraton Surakarta Hadiningrat .xiv
LAMPIRAN 4 Transkrip Wawancara .............................................................xvi
A. Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan .......................xviB. Wawancara dengan KGPH Puger ........................................xxiiC. Wawancara dengan GPH Dipokusumo ...............................xxviD. Wawancara dengan Mulyanto Utomo..................................xxx
LAMPIRAN 5 Foto-foto Penulis Bersama Narasumber................................. xxxii
xi
DAFTAR ISTILAH
Angger-angger : Hukum keraton tidak tertulis yang sudah
berlangsung turun- temurun
Biworo : Pengumuman
Feodal : Susunan Masyarakat yang dikuasai oleh kaum
bangsawan
Impersonal : Tidak berkaitan dengan seseorang
Islah : Berdamai
Jumenengan : Upacara penobatan raja atau ratu
Kejawen : Segala yang berhubungan dengan adat dan
kepercayaan Jawa
Keraton : Kerajaan
Ontran-ontran : Keonaran
Pengabekten : Sungkeman
Sabda Pandhita Ratu : Setiap ucapan raja (sabda raja) harus ditaati
Sak Megaring Payung : Sebesar lingkar payung mengembang
Sinkretisme : Aliran yang merupakan perpaduan dari beberapa
paham yang berbeda untuk mencari keserasian
dan keseimbangan
Tradisi : Adat kebiasaan turun-temurun yang masih
dijalankan
Wilujengan : Selametan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Dalam satu dekade terakhir, konflik internal keraton telah beberapa kali
terjadi di Indonesia. Sebagai pewaris kekuasaan feodal yang masih tersisa di era
otonomi daerah, keraton tetap bertahan sebagai penjaga tradisi dan budaya dari
kekuasaan masa lalu. Trah bangsawan yang melekat kepada keturunan dari raja
yang ada telah menjadikan para pewarisnya merasa harus menggantikan takhta
ayahnya sebagai raja, meskipun dengan perang saudara.
Dari beberapa konflik keraton misalnya di Keraton Kanoman (Cirebon),
terjadi konflik antara Sultan Emirudin dan Pangeran Saladin. Sejak wafatnya
Sultan Kanoman, Sultan Djalaluddin, pada tahun 2002, Sultan Saladin bersikukuh
bahwa dirinyalah yang pantas menggantikan takhta ayahnya sebagai sultan.
Karena ia bersama kedua saudaranya, Pangeran Amaludin dan Ratu Setiawati,
merupakan putra dan putri dari Sultan Djalaluddin bersama Hajjah Suherni.
Terjadi konflik, berkaitan pengakuan dan penggunaan nama depan Pangeran
Saladin sebagai sultan yang ditentang keras oleh Sultan Emirudin dan kerabat
Keraton Kanoman, karena Pangeran Saladin bukanlah lahir dari keluarga
bangsawan atau permaisuri. Karena bila ditelusuri, Hajjah Suhermi merupakan
2
masyarakat sipil biasa yang tinggal di luar lingkungan Keraton Kanoman.1 Sultan
Emirudin yang lahir dari seorang permaisuri, akhirnya mengusir keluarga
Pangeran Saladin dari lingkungan Keraton Kanoman karena dianggap tidak
menghormati pepakem, bahwa seorang putra mahkota harus keturunan murni dari
darah bangsawan Keraton Cirebon.2
Di Keraton Surakarta Hadiningrat3, pergantian kekuasaan dari Paku
Buwono XII kepada Paku Buwono XIII diiringi dengan sengketa. Sepeninggal
Paku Buwono XII yang wafat pada Juni 2004, dua orang putranya merasa sama-
sama layak menggantikan takhta ayahnya sebagai raja, yaitu Kangjeng Gusti
Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan. Paku Buwono XII
memang tidak mempunyai seorang permaisuri yang putranya kelak diharapkan
menjadi putra mahkota, ia hanya memiliki enam garwa selir dan 35 orang anak.
Anak tertua laki-laki dari garwa selir, yaitu KGPH Hangabehi merasa berhak
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Keraton Surakarta Hadiningrat.
Di sisi lain, KGPH Tedjowulan yang merupakan adik KGPH Hangabehi
dari garwa selir yang lain, juga merasa berhak menggantikan kedudukan yang
sama karena ia merasa lebih banyak didukung oleh banyak sentana dalem dan
kerabat. Bahkan penobatan Tedjowulan sengaja dilakukan lebih awal, yakni pada
1 Wawancara tertulis dengan Ratu Raja Arimbi, adik kandung sekaligus juru bicara Sultan
Kanoman, Sultan Emirudin, 17 November 2012. 2“Pewaris takhta Kesultanan Kanoman merupakan anak Sultan yang terlahir dari Ratu atau
permaisuri (istri sultan dari keturunan Bangsawan). Oleh karena itu, Pangeran Muhammad
Emirudinlah yang berhak sebagai Sultan kanoman ke XII.” news.liputan6.com 7 Juni 2004,
diakses pada 1 Maret 2013. 3 Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan pemerintahan monarki yang mana raja akan
memegang kekuasaan pemerintahan seumur hidup, dan bila raja wafat, kekuasaan pemerintahan
akan dilanjutkan oleh keturunan dari raja tersebut, tidak berdasarkan pemilihan umum oleh rakyat.
3
31 Agustus 2004. Sedangkan penobatan KGPH Hangabehi dilaksanakan pada 10
September 2004.4 Penobatan yang dilakukan lebih dulu kepada KGPH
Tedjowulan itu dipimpin oleh tiga Pengageng Keraton Surakarta Hadiningrat,
yaitu Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Parentah Keputren, dan Pengageng
Sentana Dalem. Mereka mengangkat KGPH Tedjowulan karena sebelumnya ada
klaim “paling berhak” dari pihak KGPH Hangabehi karena ia merupakan anak
tertua Paku Buwono XII dari seluruh garwa selirnya.
Bahkan menurut adik kandung KGPH Hangabehi, Gusti Kangjeng Ratu
(GKR) Koes Moertiyah, beberapa hari sebelum wafat, Paku Buwono XII telah
berwasiat agar KGPH Hangabehi menjadi raja. Namun karena kesehatannya
memburuk, ia tidak mampu menuliskan surat wasiat itu. Akhirnya GKR Koes
Moertiyah menugaskan suaminya, Kangjeng Pangeran (KP) Edy Wirabumi untuk
menuliskan wasiat itu dengan ditandatangani dan cap jempol Paku Buwono XII.
Secara tradisi, KGPH Hangabehi yang memang paling berhak karena
merupakan anak tertua. Namun rakyat Surakarta yang menamakan sebagai
“Forum Bela Raos Abdidalem” mengatakan sudah waktunya rakyat Surakarta
berdemokrasi dengan memilih raja yang memiliki kapabilitas, yaitu KGPH
Tedjowulan. Keduanya tetap sama-sama ngotot dan mengklaim diri sebagai yang
paling berhak. Akhirnya sampai tahun 2012 lalu, Keraton Surakarta Hadiningrat
mengalami dualisme kepemimpinan yang terjadi selama bertahun-tahun lamanya.
4 orgawam.wordpress.com, diakses pada 19 Februari 2013.
4
Dampak dari dualisme tersebut, berbagai masalah seakan menampilkan citra
yang negatif bagi Keraton Surakarta Hadiningrat. Dari mulai perpecahan di antara
sentana dalem, wisata keraton yang kurang menarik lagi bagi para wisatawan,
terhentinya dana hibah dari pemerintah, serta isu jual beli gelar yang terjadi di
Keraton Surakarta Hadiningrat.5
Menelisik dampak dari timbulnya masalah-masalah tersebut di atas,
seharusnya para pewaris takhta dapat mempertahankan tradisi dan meneladani
perjuangan serta usaha-usaha nenek moyang6 mereka guna menyumbangkan
segala pikiran, tenaga, dan harta bagi masyarakat Surakarta dan bangsa Indonesia.
Namun yang terjadi sebaliknya, putra dari almarhum Paku Buwono XII justru
saling memperebutkan kekuasaan tinimbang melakukan sebuah aksi nyata bagi
kesejahteraan rakyat Surakarta dan Bangsa Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka dalam
skripsi ini penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai akar dualisme dan konflik
Keraton Surakarta Hadiningrat. Apakah ada motivasi politik tertentu sehingga
5 www.solopos.com 12 April 2012, diakses pada 19 Februari 2013.
6 Kemajuan-kemajuan terjadi di kekuasaan Paku Buwono X ditandai dengan kemegahan
tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang
(1893-1939), Keraton Surakarta Hadiningrat mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju
era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan
politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Paku Buwono X memberikan kebebasan
berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam,
salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di
Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya. Selain itu infrastruktur modern kota
Surakarta juga banyak dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwono X, seperti bangunan Pasar
Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang
("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman
Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di
Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga
Tionghoa. Ia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup
atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kasunanan_Surakarta, diakses pada tanggal 4 Juni 2013.
5
mereka sama-sama mengklaim diri sebagai raja. Penulis juga akan meneliti
implikasi konflik terhadap kehidupan Keraton Surakarta Hadiningrat pasca
terjadinya konflik. Adapun konflik Keraton Kanoman yang diungkapkan penulis
di awal hanyalah sebuah pengantar bahwa konflik yang hampir sejenis dengan
Keraton Surakarta Hadiningrat juga pernah terjadi di Keraton Kanoman.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Apa motif utama perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta
Hadiningrat, disamping adanya perbedaan persepsi terhadap siapa yang
paling berhak mewariskan takhta Paku Buwono XII?
2. Bagaimana implikasi konflik terhadap kehidupan Keraton Surakarta
Hadiningrat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami akar konflik yang
terjadi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini dikarenakan berbagai pihak
mengklaim dirinya sebagai pewaris takhta yang sah, karena merupakan putra dari
Paku Buwono XII, sehingga tidak menutup kemungkinan ada motif-motif tertentu
yang melatarbelakanginya. Atas dasar itu penulis ingin mengkaji lebih dalam
bagaimana asal muasal konflik itu bermula serta bagaimana kehidupan keraton
setelah terjadinya konflik.
Adapun manfaat penelitian ini bagi para akademisi ialah:
1. Mengetahui posisi kekuatan tradisionil keraton di era demokratisasi.
6
2. Mengetahui bentuk-bentuk konflik yang terjadi di keraton.
D. Tinjauan Pustaka
Sudah banyak studi yang membahas perjalanan Keraton Surakarta
Hadiningrat sejak awal berdirinya hingga perannya dalam dunia sastra dan
perjuangannya dalam membantu Indonesia merebut kemerdekaan. Pertama, buku
yang ditulis oleh Purwadi pada tahun 2008, (Kraton Surakarta: Sejarah,
Pemerintahan, Konstitusi, Kesusastraan, dan Kebudayaan). Buku ini membahas
secara luas Keraton Surakarta dari berbagai aspek. Tidak hanya pemerintahan dan
tradisi di dalamnya, namun juga menceritakan kemunculan pujangga sastra baru,
Ronggowarsito.
Kedua, buku yang ditulis oleh Mulyanto Utomo, Wahyu Susilo, dan Farid
Achmadi, (Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat), merupakan
kumpulan surat kabar harian Solopos yang dibukukan antara rentang waktu bulan
Juni sampai September 2004. Buku ini lebih menceritakan susunan peristiwa-
peristiwa di Keraton Surakarta Hadiningrat sejak Paku Buwono XII wafat sampai
kedua raja melakukan penobatan.
Ketiga, makalah yang ditulis oleh Thung Ju Lan, “Konflik lokal Nasional
dalam Konteks ke-Jawaan di Solo” yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2000 dan dirangkum dalam buku
“Etnisitas dan Integrasi di Indonesia”. Secara khusus lebih meneliti akar konflik
dan kesenjangan ekonomi yang terjadi antara etnis Cina dengan warga pribumi
7
Jawa di Solo yang menekankan hubungan antar etnik yang berkembang di Solo
dalam kaitannya dengan isu „ke-Jawaan‟ dan „ke-non Jawa-an‟.
Keempat, buku yang ditulis oleh Drs. Surip Suwandi, (Upacara Selikuran
Keraton Surakarta Hadiningrat) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta pada tahun 1985. Buku ini secara khusus membahas
tradisi yang terdapat di dalam Keraton Surakarta Hadiningrat, seperti Upacara
Selikuran, Upacara Thong-Thong Hik, dan Upacara Maleman. Tujuan buku ini
untuk memberikan informasi tentang Upacara Tradisionil khususnya Upacara
Selikuran yang masih dihayati dan dilestarikan oleh masyarakat tradisional.
Kelima, skripsi yang ditulis oleh Aminudin, Mahasiswa Program Studi
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
berjudul: “Varian Keberagamaan Masyarakat di Sekitar Keraton Surakarta
Hadiningrat” yang telah diselesaikan pada tahun 2010. Skripsi ini mencoba
menelusuri pengaruh Keraton Surakarta Hadiningrat terhadap keberagamaan
masyarakat beserta corak dan varian yang ada di dalam masyarakat itu, dengan
lebih difokuskan di wilayah Baluwarti, Pasar Kliwon, Surakarta.
Berdasarkan tinjauan referensi yang ditemukan penulis, penulis akan fokus
mengkaji fenomena politik dan konfllik yang terjadi di lingkungan Keraton
Surakarta pasca wafatnya Paku Buwono XII serta implikasinya terhadap
kehidupan keraton.
8
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis untuk mengkaji masalah ini yaitu
menggunakan pendekatan kualitatif, yang didefinisikan sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.7 Peneliti diarahkan untuk
berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena
sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya lalu berupaya
melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu.8
Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan data primer dari literatur-literatur berupa buku, artikel, arsip-arsip,
dan media massa (surat kabar dan internet). Adapun data sekunder penulis peroleh
melalui wawancara terhadap sentana dalem Keraton Surakarta Hadiningrat dan
para pemerhati Keraton Surakarta Hadiningrat. Beberapa sumber data yang
penulis peroleh kemudian dipahami dan diolah untuk diuraikan kembali dengan
metode yang berbeda guna menghindari unsur plagiarisme.
Sebagai pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku terbitan
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dijadikan
panduan penyusunan Proposal dan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu
Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menyusun pembahasan menjadi
beberapa bagian dari sistematika penulisan sebagai berikut:
7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2006), 4.
8 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), 6.
9
1. Bab I: Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha menguraikan
permasalahan yang melatarbelakangi penulisan dengan pembahasan dan
perumusan masalah serta tujuan terkait dalam kasus Konflik Keraton
Surakarta Hadiningrat Pasca Wafatnya Paku Buwono XII.
2. Bab II: Pada bab ini berisi mengenai teori-teori sebagai pendekatan yang
menjelaskan pokok permasalahan konflik yang terjadi di Keraton
Surakarta Hadiningrat dengan teori yang penulis paparkan, yaitu teori
kekuasaan dan teori konflik.
3. Bab III: Pada bab ini penulis membahas sekilas tentang profil, stratifikasi,
dan sejarah raja Keraton Surakarta Hadiningrat sejak Paku Buwono II
sampai Paku Buwono XII berserta sumbangsih yang diberikan terhadap
Bangsa Indonesia.
4. Bab IV: bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi, karena
berisikan tentang permasalahan yang diangkat penulis. Penulis akan
menguraikan akar-akar konflik yang menyebabkan terjadinya perebutan
kekuasaan antara KGPH Hangabehi dan KGPH Tedjowulan. Serta
implikasi konflik terhadap kehidupan Keraton Surakarta Hadiningrat ke
depannya.
5. Bab V: Pada bab ini penulis berupaya untuk menyimpulkan pembahasan
mengenai skripsi ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan
Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat Pasca Wafatnya Paku Buwono
XII. Selanjutnya, di bab penutup ini terdapat saran dan kritik.
10
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Dalam bab ini penulis akan mengaitkan kasus konflik Keraton Surakarta
Hadiningrat pasca wafatnya Paku Buwono XII dengan teori-teori yang memiliki
hubungan erat dengan kasus tersebut. Penulis menganggap ada dua teori yang
berkaitan erat dengan kasus yang akan dikaji. Kedua teori tersebut adalah teori
kekuasaan dan teori konflik.
A. Teori Kekuasaan
Di dalam KBBI, kekuasaan berarti kemampuan orang atau golongan untuk
menguasai dan mempengaruhi orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,
wewenang, karisma, atau kekuatan fisik.9 Menurut Max Weber yang dikutip
dalam Miriam Budiarjo:10
“Kekuasaan yaitu kemampuan untuk melaksanakan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, apa pun dasar kemauan ini”.
Pendapat yang agak berbeda dikemukakan oleh Harold D. Laswell dalam Miriam
Budiarjo:11
“Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke
arah tujuan dari pihak pertama”.
9Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (Jakarta:
Balai Pustaka, 2000), 604. 10
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
60. 11
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 60.
11
Penulis menyimpulkan apabila seseorang bisa menguasai pihak lain, ia
harus memiliki pengaruh. Tanpa adanya hal tersebut, ia tidak akan bisa berbuat
apa-apa, apa lagi kalau ia hanya berasal dari masyarakat atau golongan biasa yang
tidak mempunyai nilai lebih. Harus ada yang ditonjolkan dari orang tersebut,
apakah itu karena kharisma pribadinya, wewenangnya, atau karena adat yang
melekat dalam masyarakat tersebut bahwa ia berasal dari keluarga atau keturunan
terpandang. Klasifikasi-klasifikasi kekuasaan tersebut akan dijelaskan lebih lanjut
oleh Max Weber.
Max Weber dalam April Carter dan Soerjono Soekanto lebih
mengklasifikasikan tipe kekuasaan menjadi tiga jenis: tradisional, rasional-legal,
dan kharismatik. Kekuasaan tradisional, adalah orde sosial yang bersandar pada
kebiasaan-kebiasaan kuno yang status dan hak-hak para pemimpin juga sangat
ditentukan oleh adat kebiasaan. Kekuasaan tradisional juga memerlukan adanya
unsur-unsur kesetiaan pribadi yang menghubungkan hamba dengan tuannya
(patron-klien). Selanjutnya tipe rasional-legal, dalam tipe ini semua peraturan
ditulis dengan jelas dan diundangkan dengan tegas, sedangkan batas-batas
wewenang para pejabat ditentukan oleh aturan main dan kepatuhan serta kesetiaan
yang tidak ditujukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang
bersifat impersonal.12
Kemudian tipe kharismatik, merupakan kekuasaan yang
didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri
seseorang karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang di
sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan
12
April Carter, Otoritas dan Demokrasi (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 55.
12
karena mereka menganggap sumber kemampuannya merupakan sesuatu yang
berada di atas kekuasaan dan kemampuan manusia pada umumnya. Kharisma
semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan untuk
membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan pengikutnya yang akan
menikmatinya. Wewenang kharismatik dapat berkurang bila ternyata individu
yang memilikinya berbuat kesalahan yang merugikan sehingga kepercayaan
masyarakat terhadapnya menjadi berkurang.13
Klasifikasi-klasifikasi yang dikelompokkan oleh Max Weber sudah
mewakili tipe-tipe kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara di seluruh dunia. Baik
itu kekuasaan rasional-legal, kekuasaan kharismatik, atau pun kekuasaan
tradisional. Kekuasaan rasional-legal dimiliki oleh mereka yang berada di struktur
pemerintahan, kekuasaan kharismatik oleh para agamawan dan cendekiawan, dan
kekuasaan tradisional dimiliki oleh para bangsawan.
Selanjutnya Machiavelli dalam Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa
kekuasaan merupakan tujuan itu sendiri. Ia tidak sepakat bila kekuasaan hanya
sebatas alat untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika, atau agama. Bagi
Machiavelli segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk
memperoleh dan memperbesar kekuasaan, bukan sebaliknya. Oleh karenanya
kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi
kekuasaan itu sendiri. Penguasa yang baik menurut Machiavelli harus berusaha
13
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2010), 244.
13
mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang
dimiliki seorang penguasa.14
Untuk meraih kekuasaan itu, Machiavelli berpendapat bahwa penguasa
negara bisa menggunakan cara binatang, terutama bila menghadapi lawan-lawan
politiknya. Seorang penguasa bisa menjadi singa di suatu saat, dan menjadi rubah
di saat lainnya. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala,
penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia
bisa mengalahkan lawannya. Tetapi penguasa harus bersikap seperti rubah bila
lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang
mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan
perangkap yang akan menjerat dirinya.15
Menjadi seorang penguasa seperti yang
diungkapkan Machiavelli harus siap dengan segala risiko yang terjadi, apa lagi di
era demokratisasi sekarang ini. Perlu cara yang brilian agar ambisi terhadap
kekuasaan itu tidak terendus lawan-lawan politiknya dan bisa meyakinkan
masyarakat pemilihnya. Dalam hal inilah seseorang harus menjadi rubah terlebih
dahulu guna memuluskan jalannya. Dan bila kekuasaan sudah diraih, ia dapat
menjadi serigala dengan menerkam siapapun yang mengancam posisinya.
Kemudian dalam buku Il Principe, Machiavelli mengungkapkan ada dua
cara untuk menjadi penguasa, menjadi penguasa dengan cara jahat dan keji dan
menjadi penguasa di kota kelahirannya sendiri atas persetujuan sesama warga
masyarakatnya. Machiavelli mencontohkan Agathocles dari Sicilia, yang
14
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007),
132. 15
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, 137.
14
merupakan rakyat biasa dari kasta terendah dan sangat miskin, bangkit menjadi
raja Syracuse. Dalam setiap jenjang kedudukannya, ia bertindak seperti seorang
penjahat. Namun kejahatannya itu disertai dengan watak yang penuh keberanian
dan fisik yang kuat, sehingga sewaktu ia masuk dalam angkatan perang, ia selalu
naik pangkat dan menjadi panglima pasukan. Setelah ia ditunjuk untuk
menduduki pangkat tersebut, ia bertekad bulat untuk menjadi penguasa dan
mempertahankan kedudukannya tanpa mengindahkan dukungan orang lain sesuai
dengan wewenang yang diberikan kepadanya secara konstitusional.16
Bila
seseorang sudah terlanjur memiliki pendirian bahwa kekuasaan harus diraih
dengan cara apapun, berarti sekeras apapun perjuangannya akan ia lalui. Dengan
demikian ia tidak perlu mempunyai banyak massa atau pun harta benda untuk
memuluskan jalan meraih kuasa. Cukup memasuki komunitas dan berkembang di
dalamnya asalkan sabar dengan waktu yang cukup lama dan perjuangan berdarah-
darah. Memang akan rentan timbul tipu muslihat yang muncul dari seseorang itu
sendiri, namun dalam dunia kompetisi hal itu harus dilakukan agar ia yang tidak
tenggelam oleh lawannya.
Thomas Hobbes dalam S.P. Varma memperkuat bahwa hasrat umum dari
semua umat manusia adalah suatu keinginan yang abadi dan tak pernah selesai
untuk mendapatkan kekuasaan demi kekuasaan, yang terhenti hanya ketika mati.
Secara alamiah manusia akan saling memerangi manusia lainnya dengan menjadi
serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan
berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes). Selain itu
16
Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, terj. C. Woekirsari (Jakarta: PT. Gramedia, 1987),
34.
15
pengungkapan dari Michels bahwa, “dia yang telah memegang kekuasaan akan
hampir selalu berusaha untuk mempertahankan dan memperbesarnya”.17
Padahal
sekalipun ada seseorang ingin meraih kekuasaan dan mempertahankannya, ia
tidak harus sampai membuat manusia di sekitarnya menderita karena ambisinya.
Prinsip homo homini lupus akan membuat penguasa tersebut ditakuti, tapi tidak
dihormati. Lambat laun akan ada dendam-dendam kecil di dalam masyarakat
sampai pengikut setianya hingga berujung pada pemberontakan. Cukuplah ia
menjadi homo homini socius, manusia adalah makhluk sosial yang menjadi rekan
bagi manusia lainnya.
Machiavelli dan Hobbes mendaulat bahwa kekuasaan harus diraih dengan
cara apapun, karena kekuasaan merupakan tujuan itu sendiri bagi siapapun yang
ingin meraih otoritas. Tidak pandang bulu, dengan cara apapun dan
bagaimanapun, kekuasaan harus diraih dan direbut. Penguasa yang sudah
memegang kekuasaan penuh dalam genggamannya tak perlu lagi mendapat
pengakuan dari masyarakat, karena kelangsungannya sebagai seorang penguasa
tidak lagi tergantung terhadap pengabdian setia rakyatnya, atas segala hal yang
telah dimiliki oleh penguasa tersebut. Dari pendapat tokoh-tokoh tersebut penulis
berpandangan bahwa kekuasaan merupakan suatu kendali dari seseorang atau
kelompok terhadap kawan atau lawan guna mendapatkan apa yang diinginkan
seseorang atau kelompok tersebut.
Kejadian seperti inilah yang terjadi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Dua
kubu yang berbeda mempunyai kepentingan sama untuk menjadi pengganti raja.
17
S.P. Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: Rajagrafindo, 2007), 250.
16
Mereka tidak hanya seorang diri, tapi menyertakan keluarga serta kerabat terdekat
masing-masing guna tercapainya tujuan mereka untuk menjadi pewaris takhta
sebagai penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat.
B. Teori Konflik
Konflik merupakan sebuah gejala sosial yang selalu terdapat dalam
masyarakat di setiap kurun waktu. Menurut Maswadi Rauf,18
konflik dapat
diartikan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak
dua orang atau kelompok. Konflik seperti ini dapat dinamakan konflik lisan atau
konflik non-fisik. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia dapat
meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam
perbedaan pendapat.
Konflik juga dianggap sebagai perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim
atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang dapat memenuhi fungsi-fungsi
positif. Misalnya, konflik dapat mendamaikan kelompok-kelompok yang saling
bersaing, mengarahkan pihak-pihak yang sedang berjuang untuk mengekspresikan
identitas mereka sendiri, mengurangi ketidakpastian dengan menjaga batas-batas
kelompok, dan merangsang kelompok untuk mencari asumsi-asumsi serta nilai-
nilai dasar umum atau lembaga-lembaga pengamanan.19
18
Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik (Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, 2001), 2. 19
Anton van Harskamp, Konflik-konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius), 5.
17
Penulis akan melebarkan definisi ke dalam dua studi, konflik sosial dan
konflik politik. Konflik sosial yaitu pertentangan atau pertikaian antar pribadi,
mulai dari konflik lokal sampai tingkat nasional. Dalam kondisi konflik kelompok
kepentingan akan saling bersaing dan bertikai untuk memenangkan kelompoknya.
Konflik sebagai gejala sosial yang melekat pada masyarakat bersumber dari
permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan
sosial yang timbul dalam masyarakat karena dalam masyarakat ada unsur-unsur
yang saling bertentangan.20
Sedangkan konflik politik memiliki perbedaan dengan konflik sosial, karena
konflik politik selalu merupakan konflik kelompok. Konflik kelompok adalah
konflik yang terjadi antara dua kelompok atau lebih. Konflik politik bukan
merupakan konflik individu karena isu yang dipertentangkan adalah isu publik
yang menyangkut kepentingan banyak orang, bukan kepentingan satu orang
tertentu. Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Karena tidak
ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik, tidak ada masyarakat
yang tidak mempunyai konflik politik. Oleh karena itu unsur terpenting dalam
konflik politik adalah penguasa politik. Penguasa politik memiliki wewenang
untuk membuat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan individu melalui
berbagai peraturan perundangan demi kepentingan masyarakat banyak.
Kekuasaan yang besar ini membuka peluang bagi penguasa politik untuk
mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Akibatnya, penguasa politik
tidak lagi menonjolkan perannya sebagai pengelola konflik di dalam masyarakat,
20
http://staff.uny.ac.id, diakses pada 21 Februari 2013.
18
tapi sudah menjadi salah satu pihak yang berkonflik. Kecenderungan penguasa
politik untuk mempertahankan kekuasaannya menyebabkan penguasa politik
terlibat dalam konflik dengan rakyatnya sendiri yang kecewa dengan
kepemimpinannya.21
Dalam sebuah institusi, jumlah orang yang tergabung dalam elit yang
berkuasa jauh lebih sedikit dari jumlah masyarakat atau anggota yang menjadi
obyek kekuasaan politik. Hal ini tidak sebanding dengan banyaknya orang yang
menginginkan jabatan tersebut. Dalam kaitannya dengan posisi penguasa politik,
posisi tersebut bisa menjadi rebutan yang berujung konflik karena berbagai sebab.
Pertama, tingginya penghargaan yang melekat pada jabatan-jabatan politik.
Jabatan politik memberikan kekuasaan yang cukup besar pada penguasa politik
terhadap masyarakat karena bisa membuat keputusan-keputusan penting yang
menyangkut kepentingan rakyat banyak. Kedua, terbukanya kesempatan yang
lebar untuk memperoleh sumber-sumber daya yang langka. Posisi politik
membuka peluang bagi penguasa politik untuk memenuhi dan mewujudkan
kepentingan serta aspirasinya.22
Dengan demikian faktor paling utama ketika
terjadi konflik politik adalah posisi politik.
Paul Conn dalam Ramlan Surbakti membedakan konflik menjadi dua
bagian. Konflik menang kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang
(non zero-sum conflict). Konflik menang-kalah bersifat antagonistik sehingga
tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang
21
Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional), 25. 22
Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, 28.
19
terlibat. Tidak ada kerja sama dalam situasi konflik seperti ini, yang mana hasil
kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja, sedangkan yang kalah tidak
mendapatkan apa-apa.23
Sedangkan konflik menang-menang merupakan situasi
konflik dimana pihak-pihak yang terlibat masih dapat melakukan kompromi yang
dapat menguntungkan semua pihak agar pihak-pihak yang terlibat akan mendapat
bagian dari konflik tersebut.24
Kasus konflik yang terjadi di Keraton Surakarta Hadiningrat, struktur
konflik yang terjadi adalah menang-menang. Ada pertikaian dua pihak yang
memperebutkan posisi politik di Keraton Surakarta Hadiningrat. Satu pihak
berhasil menguasai tembok istana dengan segala kewenangan untuk menguasai
seluruh yang ada di dalamnya. Sedangkan yang berkuasa di luar tembok keraton
tidak memiliki kewenangan untuk menguasai apa pun yang ada di dalam keraton.
Ia hanya mendapat legitimasi dari pendukungnya di luar istana. Akhirnya pihak
yang berada di luar keraton merasa perlu untuk mengadakan suatu kompromi
dengan melepaskan simbolnya sebagai raja, guna tujuannya untuk memasuki
keraton dapat tercapai.
Mack, Snyder, dan Gurr dalam M. Ridhah Taqwa merumuskan ada 4 syarat
atau indikator konflik, yaitu: (1) Terdapat dua atau lebih pihak yang berkonflik;
(2) Pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi saling memusuhi
(mutually opposing actions); (3) Cenderung berperilaku koersif untuk memusuhi
dan menghancurkan musuh; (4) Adanya ketegasan sikap masing-masing pihak,
23
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 1999), 154. 24
Ibid.
20
sehingga dapat terdeteksi pihak lain di luar arena konflik.25
Kasus konflik Keraton
Surakarta Hadiningrat sudah memenuhi indikator-indikator yang dimaksud Mack
dkk. Pihak KGPH Tedjowulan dan KGPH Hangabehi saling beradu eksistensi
bahwa merekalah raja yang sesungguhnya. Kedua belah pihak saling menonjolkan
pertentangan satu sama lain hingga berujung pengusiran kepada KGPH
Tedjowulan dan para pendukungnya.
25
http://apssi-sosiologi.org/wp-content/uploads/2013/05/27.-Ridhah-Taqwa.pdf, diakses
pada 1 Juli 2013.
21
BAB III
PROFIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT
A. Lingkungan Geografis
Keraton Surakarta Hadiningrat terletak di Desa Baluwarti, Kecamatan Pasar
Kliwon, kota Surakarta, atau bisa juga disebut Solo, merupakan kota yang terletak
di provinsi Jawa Tengah, Indonesia, yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010)
dengan kepadatan penduduk 13.636/km². Kota Surakarta memiliki luas 44 km²
berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah
Utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah Timur dan
Barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah Selatan. Sedangkan Keraton Surakarta
Hadiningrat memiliki luas 0,35 km².
Pada masing-masing batas kota ditandai dengan gapura keraton yang
didirikan sekitar tahun 1931 – 1932 pada masa pemerintahan Paku Buwono X di
Surakarta Hadiningrat. Gapura keraton didirikan sebagai pembatas sekaligus pintu
gerbang masuk ibu kota Kerajaan Surakarta Hadiningrat dengan wilayah sekitar.
Gapura keraton tidak hanya didirikan di jalan penghubung, namun juga didirikan
di pinggir sungai Bengawan Solo yang pada waktu itu menjadi dermaga dan
tempat penyeberangan (di Mojo / Silir).26
26
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.
22
Surakarta terletak di dataran rendah di ketinggian 105 meter di bawah
permukaan laut (mdpl) dan di pusat kota 95 mdpl. Selain itu Surakarta berada
sekitar 65 km Timur laut Yogyakarta dan 100 km Tenggara Semarang serta
dikelilingi oleh Gunung Merbabu dan Merapi (tinggi 3115m) di bagian Barat, dan
Gunung Lawu (tinggi 2806m) di bagian Timur.27
Di bawah ini digambarkan peta
Kota Surakarta sebagai berikut:
Gambar III.1. Peta Kota Surakarta
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.
Keraton Surakarta Hadiningrat dengan ibukotanya Sala merupakan penerus
kerajaan Mataram yang didirikan pada tahun 1746 oleh Paku Buwono II.
27
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.
23
Berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat ini dapat disebut sebagai pengganti
Keraton Kartasura yang telah hancur sebagai akibat dari adanya gerakan
bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan menduduki Keraton
Kartasura.28
Peristiwa pendirian kota ini kemudian dikisahkan dalam Perjanjian
Giyanti,29
sebuah babat bersajak yang ditulis kira-kira akhir abad 18 oleh
pujangga keraton Yogyakarta.30
Surakarta yang dipergunakan sebagai nama keraton yang baru dan tempat
kediaman Paku Buwono II itu bernama Sala. Setelah pindah dari Kartasura, Desa
Sala kemudian diganti namanya menjadi Surakarta Hadiningrat. Alasan mengapa
diberi nama menjadi Surakarta Hadiningrat, menurut J. Brandes, nama Surakarta
ternyata merupakan nama varian atau nama alias dari Jakarta yang pada masa lalu
28
Ibu kota Mataram sebelumnya berkedudukan di Kartasura, sekitar 10 kilometer di
sebelah Barat Surakarta. Pada masa itu telah terjadi Pemberontakan Cina (Geger Pacinan) di
Batavia yang kemudian meluas sampai ke Jawa Tengah. Mula-mula Paku Bowono II ingin
memanfaatkan kekacauan itu untuk melepaskan diri dari Belanda dengan membantu kaum
pemberontak (orang-orang Cina dan rakyat yang bersatu melawan Belanda). Namun setelah kaum
pemberontak terdesak, ia berbalik haluan dengan memihak Belanda. Kaum pemberontak, yang
tidak senang dengan sikapnya, bersekutu dengan Mas Garendi, yang menyerang Keraton
Kartasura. Para pemberontak dapat menguasai keraton sehingga pada tahun 1742 Paku Buwono II
terpaksa melarikan diri ke Ponorogo. Namun dengan bantuan Belanda, para pemberontak dapat
dipukul mundur, sehingga Paku Buwono II dapat kembali ke istananya. Dalam kerusuhan itu,
bagian keraton yang disebut keputren sempat dijarah oleh kaum pemberontak. Karena itu Paku
Buwono II menganggap bahwa kesucian Keraton Kartasura telah hilang. Setelah kerusuhan
ditumpas, Paku Buwono II memerintahkan beberapa abdi dalem (pegawai keraton) untuk mencari
tanah yang baik guna pembangunan keraton Mataram yang baru. Dipilihlah desa Solo, yang
terletak 12 kilometer di Timur Kartasura, sekitar 3 kilometer dari tepi bengawan Solo. B. Setiawan
et al, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991), 427. 29
Sebuah perjanjian yang diadakan di Desa Giyanti pada tahun 1755 antara Susuhunan
Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi, untuk mengakhiri peperangan perebutan kekuasaan
antara keduanya. Dalam perjanjian ini, VOC memegang peranan penting dan berhasil menerapkan
politik pecah belahnya. Dalam perjanjian ini ditetapkan bahwa Mataram ditetapkan menjadi dua,
yaitu Surakarta dan Ngayogyakarta. Kesultanan Surakarta tetap diperintah oleh Paku Buwono III,
sedangkan kesultanan Ngayogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian
bergelar Sultan Hamengku Buwono. Wilayah Kesultanan Surakarta meliputi daerah seluas 86.450
cacah sebagai daerah pusat pemerintahan, ditambah dengan daerah Ponorogo, Kediri, dan
Banyumas. Wilayah Kesultanan Ngayogyakarta meliputi daerah seluas 87.050 cacah sebagai pusat
pemerintahan, ditambah dengan daerah Madiun, Kertasana, Jipang, Japan, dan Grobogan. B.
Setiawan et al, Ensiklopedi Nasional Indonesia, 175. 30
Dwi Ratna Nurhajarini, Tugas Triwahyono, Restu Gunawan, Sejarah Kerajaan
Tradisional Surakarta (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), 12.
24
juga disebut Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura berarti berani,
dan karta berarti sejahtera. Kemudian Hadiningrat berasal dari gabungan kata
Hadi berarti besar dan rat berarti negara.31
Nama Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang baru dimaksudkan
sebagai imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta. Sebab Paku Buwono II
memang mendambakan pusat kerajaan nantinya setara dengan Jakarta (Batavia)
yang dapat berkembang dengan pesat terutama pada saat kompeni Belanda (VOC)
menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan. Berdasarkan alasan itulah, Paku
Buwono II tidak lagi memakai nama Kartasura lagi bagi keratonnya yang baru itu,
yang ternyata tidak banyak membawa keberuntungan, melainkan nama Surakarta
sebagai imbangan nama Jakarta alias Jayakarta.32
B. Lingkungan Fisik Keraton Surakarta Hadiningrat
Di pusat ibukota terdapat bangunan inti kerajaan berupa keraton yang terdiri
dari kompleks bangunan yang dikelilingi tembok, tempat kediaman raja, istri-
istrinya, dan berbagai wanita terkemuka. Bangunan-bangunan tersebut yaitu:
1. Lingkaran I: Kedhaton
Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat, dibatasi oleh dua pintu
yaitu kori kamandhungan di sebelah Utara dan Selatan, serta jalan raya Baluwarti
di sebelah Barat dan Timur. Untuk dapat mencapai kedhaton, dari arah Utara,
31
http://mursid.web.id/hari-jadi-ke-268-kota-solo.html, diakses pada 27 Maret 2014. 32
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 8.
25
orang harus melalui lima buah kori,33
yaitu kori gladag, amurakan, brajanala,
kamandhungan, dan sri manganti.
Di dalam lingkaran tembok kedhaton terdapat tiga buah halaman, yaitu
halaman sri manganti, pelataran kedhaton, dan halaman magangan. Halaman sri
manganti terletak di sebelah Utara pelataran kedhaton, memiliki dua buah bangsal
yang saling berhadapan, yaitu bangsal marakata di sebelah Barat dan bangsal
marcukandha di sebelah Timur. Kedua bangsal itu berfungsi sebagai tempat abdi
dalem yang akan menghadap raja. Bangsal marakata untuk abdi dalem lebet,
sedangkan bangsal marcukandha untuk abdi dalem prajurit.
Berikutnya halaman magangan. Di tengah-tengah halaman magangan
terdapat bangsal terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam
barang seperti made rengga, yaitu peralatan khitan putra dan kerabat raja, juga
berfungsi untuk menyiapkan barisan prajurit yang akan bertugas guna
menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan seremoni religius keraton
seperti pembuatan gunungan dan upacara grebeg serta tempat magang bagi calon
prajurit keraton.34
Di seputar pelataran kedhaton terdapat kompleks bangunan yang bermacam-
macam bentuknya. Secara ringkas, bangunan-bangunan yang terdapat di
kompleks istana (kedhaton) antara lain:
a. Di Pusat Istana:
1) Prabasuyasa.
2) Sasana parasdya, tempat pertunjukan wayang.
33
Pintu gerbang. P.J. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2011), 512. 34
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 15.
26
3) Sasana sewaka, tempat duduk raja dihadap oleh para abdi dalem
lebet.
4) Sasana handrawina, tempat pesta/makan raja beserta keluarganya.
Dibangun pada masa Paku Buwono VI.
5) Paningrat, teras dari pendapa sasana sewaka.
6) Maligi, tempat khitan putra raja.
b. Di sebelah Timur halaman istana, terdapat tiga bangsal:
1) Bangsal bujana, tempat untuk menjamu para pengiring tamu
kerajaan.
2) Bangsal pradangga kidul, tempat gamelan, dibunyikan sewaktu
keraton mempunyai keperluan.
3) Bangsal pradangga lor, tempat alat-alat musik/orkestra.
c. Sasana prabu, tempat kantor raja. Letaknya di sebelah Selatan
parasdya. Adapun di sebelah Utara parasdya sebagai kantor wakil raja.
d. Bangunan yang mengelilingi istana:
1) Sasana wilapa, kantor sekretariat.
2) Panti wardaya, kantor perbendaharaan.
3) Reksa handana, kantor kas keraton.
4) Bale kretarta, kantor perlengkapan.
e. Panggung sanggabuwana, bangunan berbentuk menara persegi
delapan, bertingkat empat, dan tingginya 30 meter. Menurut
27
kepercayaan, tempat ini digunakan untuk pertemuan antara raja
dengan Ratu Selatan, permaisurinya yang beristana di Parangtritis.35
2. Lingkaran II: Kompleks Bangunan di Baluwarti
Wilayah yang disebut Baluwarti (benteng) ini terletak di luar tembok
kedhaton di kawasan bersisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok
berukuran tebal dua meter dan tinggi 3-6 meter. Kompleks bangunan di Baluwarti
merupakan kediaman para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem.
Rumah-rumah kediaman yang berada di kompleks Baluwarti ini dapat
diketahui status penghuninya antara lain dengan memperhatikan bentuk atau tipe
rumah beserta alat perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, tipe rumah Jawa lengkap
berbentuk joglo dengan pendapa, paringgitan, dalem, dan ditambah dengan
deretan rumah di kanan-kiri bangunan utama. Kelompok kedua, tipe rumah Jawa
berbentuk limasan. Untuk tipe pertama dan kedua biasanya dihuni oleh para
bangsawan dan priyayi tingkat tinggi. Ketiga, rumah kampung yang paling
sederhana bentuknya. Tipe ini dihuni oleh para abdi dalem dan penduduk lainnya
yang melakukan pekerjaan bebas, misalnya berdagang. Perumahan para abdi
dalem biasanya terkumpul dalam satu kompleks hingga membentuk sebuah
perkampungan yang ada dalam Baluwarti, antara lain: Wirengan, Lumbung,
Carangan, Tamtaman, Ksatriyan, Sasanamulya, Gedong Kereta, dan
Gambuhan.36
35
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 17. 36
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 21.
28
3. Lingkaran III: Paseban
Paseban merupakan lingkaran ketiga, yaitu balai yang digunakan untuk
menghadap raja.37
Letaknya di sebelah Utara pelataran kamandhungan. Ada dua
tempat paseban, yaitu sasana sumewa atau tatag rambat yang menghadap ke
Utara dan sitihinggil yang terletak menyatu di belakang (sebelah Selatan) sasana
sumewa.
4. Lingkaran IV: Alun-alun
Alun-alun38
(lapangan) merupakan lingkaran keempat. Ada dua buah
lapangan, yakni alun-alun lor (Utara) dan alun-alun kidul (Selatan). Alun-alun lor
yang merupakan halaman depan keraton, berbentuk segi empat, berukuran 300
meter tiap-tiap sisinya. Di seputar alun-alun lor yakni di sebelah Utara, di sebelah
Timur dan Barat terdapat deretan bangunan yang disebut dengan kapalan.
Fungsinya sebagai tempat istirahat bagi para abdi dalem setelah melakukan
gladhen watangan (latihan perang-perangan). Setelah tradisi itu tidak ada lagi
sejak Paku Buwono XI, kapalan digunakan sebagai tempat istirahat para abdi
dalem yang akan menghadap raja ke istana. Oleh karena itu nama kapalan
kemudian disebut paseban.
Sebagai pasangan dari alun-alun lor adalah alun-alun kidul yang berperan
sebagai alun-alun pangkeran (belakang), terletak dalam lingkup tembok keraton.
37
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (Jakarta:
Balai Pustaka, 2000), 834. 38
Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit
kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula
(rakyat), dan pusat perdagangan rakyat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun) Di kerajaan
Mataram Islam dulu alun-alun juga digunakan untuk “Tapa Pepe”, yaitu suatu bentuk unjuk diri
dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari raja. Tapa Pepe dilakukan pada siang hari
terik di antara dua Pohon Beringin oleh seseorang yang sedang memohon keadilan langsung
kepada raja. (http://gudeg.net/id/directory/12/1750/Alun-Alun), diakses pada 22 Maret 2014.
29
Lalu di sisi Barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang cukup penting
yakni Masjid Agung. Masjid ini terbuat untuk umum dan berada di bawah
wewenang seorang pemuka agama yang relatif mandiri, yaitu seorang pengulu
yang lazim dipilih di antara keluarga daerah kauman. Kauman sendiri adalah
daerah pemukiman kaum muslim yang terletak di sekeliling masjid.39
C. Stratifikasi Sosial Masyarakat
Anggota/masyarakat/komunitas Keraton Surakarta Hadiningrat tersusun
secara hierarki dan secara tradisional dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu:
raja dan keluarga raja (sentana dalem), pegawai dan pejabat kerajaan (abdi
dalem), dan rakyat biasa (kawula dalem).
Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok tertentu,
diperlukan dua kriteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh
hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam
hierarki birokrasi. Seseorang yang mempunyai kriteria-kriteria tersebut dianggap
termasuk golongan elite. Sedangkan mereka yang diluar golongan itu dianggap
sebagai rakyat kebanyakan.
1. Raja dan Keluarga Raja (sentana dalem)
Raja merupakan satu-satunya orang yang berkuasa di suatu kerajaan. Ia
pemimpin negara dan rakyatnya dengan kekuasaan mutlak. Maka sabda raja
berarti undang-undang, ini tercermin dari Ungkapan Jawa Sabda Pandhita Ratu,
yang artinya setiap ucapan raja (sabda raja) harus ditaati.
39
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional, 27.
30
Secara Etimologi, istilah raja berasal dari bahasa Sanskerta: raj, rajya yang
berarti pemerintahan atau kerajaan. Dengan demikian raja adalah penguasa
kerajaan. Peran utama raja adalah melindungi kerajaan dan rakyatnya dengan
menjadi perantara antara dunia manusia dengan dunia dewa-dewa. Raja harus
memiliki kekuasaan dan wibawa yang setara dengan dewa-dewa. Hubungan
antara raja dengan rakyatnya ini merupakan suatu ikatan antara kawula-gusti atau
abdi-tuan yang merupakan kaitan erat. Akrab, saling menghormati, dan
bertanggung-jawab.
Seorang raja harus berasal dari keluarga yang agung, trahing kusuma,
remembering madu, wijining atapa, tedaking andana warih, yang artinya turunan
bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia. Sehingga raja adalah orang
yang terpilih karena kesucian, kesaktian, dan masih keturunan raja.40
Ketika Islam memasuki Jawa pada sekitar abad 15, kerajaan yang bersifat
Hinduistis masih berdiri. Dengan masuknya agama Islam, terjadilah proses
akulturasi yang tidak dapat dihindari. Terlihat dengan dipakainya gelar susuhunan
atau sultan. Dipakai gelar susuhunan menunjukkan pemakainya dengan dihiasi
gelar yang paling tinggi adalah utusan Tuhan. Hal ini terlihat dari asal kata
susuhunan suhu (pundhi atau sunggi) yang berarti diletakkan di atas kepala. Jadi
susuhunan (pepundhen) artinya orang yang dijunjung tinggi, sangat dihormati.
Dengan gelar ini, sifat kedewaan dari raja-raja Hindu-Jawa dihidupkan kembali
walaupun dengan nama yang baru dan dalam bentuk yang lain.
40
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 29.
31
Sesudah kerajaan Mataram pecah menjadi dua (1755), gelar susuhunan
dipakai oleh raja-raja Surakarta, sedangkan raja-raja Yogyakarta memakai gelar
sultan. Dengan demikian, sebutan bagi raja-raja Surakarta adalah Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga
Abdur Rahman Sayidin Panatagama. Adapun gelar raja Yogyakarta adalah
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati
Ing Alaga Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.41
Menurut doktrin atau konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa mutlak.
Berkuasa atas wilayah yang dimilikinya dan terhadap seluruh jajarannya. Namun
konsep kekuasaan raja-raja Jawa pada era demokratisasi ini berbeda dengan
konsep kekuasaan raja-raja Jawa pada masa lalu, tepatnya ketika Majapahit masih
berkuasa. Majapahit mutlak berdiri sendiri tanpa harus tunduk kepada siapapun,
bahkan kekuasaannya disegani sampai wilayah Kamboja dan Champa. Majapahit
juga membawahi kerajaan-kerajaan kecil di sebagian pulau jawa seperti Kediri,
Keling, Paguhan, Pamotan, dan Demak. Sedangkan raja-raja Jawa masa
demokratisasi sekarang sudah harus taat pada aturan konstitusi dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dipimpin oleh seorang presiden, orang yang
berkuasa di sistem demokrasi terpimpin.
Raja-raja Jawa kecuali Keraton Yogyakarta, yaitu raja di Keraton Surakarta
Hadiningrat, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, posisinya hanya sebagai
pelestari budaya, yang wilayah kekuasaannya ada di wilayah Republik Indonesia.
41
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 32.
32
Sesudah posisi raja sebagai penguasa tertinggi, maka kerabat raja (sentana
dalem) seperti putra-putri, menantu, atau ipar dari raja yang sedang memerintah
juga termasuk dalam golongan yang mempunyai status sosial yang tinggi.
Hubungan-hubungan yang berasal dari raja-raja terdahulu tingkatannya dianggap
lebih rendah. Sistem tingkat kebangsawanan sangatlah luas. Di mata rakyat,
seorang bangsawan selalu dihargai menurut kemurnian pertalian darahnya dengan
raja dari pihak ibu menurut jauh dekatnya hubungan ibu itu dengan raja.
Jumlah patokan gelar tingkat dan nama pada masyarakat Jawa sangat
banyak. Gelar tertinggi di antara kaum bangsawan adalah pangeran, yang
dianugerahkan kepada putra-putra raja dan sulung dari putra raja. Gelar ini juga
dapat diberikan kepada kerabat raja atau kepada para pejabat-pejabat menurut jasa
atau ikatan-ikatan sanak dengan penguasa. Ketiga macam pangeran ini dibedakan
dengan nama gelar pangeran putra, pangeran sentana, dan pangeran sengkan.
Tingkat tertinggi di antara pangeran itu adalah putra mahkota, dengan gelar
pangeran adipati anom. Cucu raja yang sudah dewasa boleh memakai raden mas
haryo, sedangkan keturunan laki-laki dari generasi selanjutnya sampai generasi
kelima mempunyai hak memakai gelar raden mas.42
Selanjutnya yang tidak kalah menarik dalam membicarakan status sosial
dari kerabat raja selain yang telah disebut adalah tentang istri raja (permaisuri).
Pada zaman Mataram dan kerajaan-kerajaan penerusnya, istri raja umunya
bergelar ratu. Dari permaisuri inilah cikal bakal lahirnya putra mahkota.43
42
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 33. 43
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 34.
33
Di samping permaisuri, raja juga mempunyai istri yang lain yaitu selir. Istri
selir disebut pula dengan istilah garwa selir atau garwa ampil. Status sosial selir
ini kedudukannya lebih rendah daripada permaisuri. Istri raja yang disebut selir
adalah seorang wanita yang telah diikat oleh tali kekeluargaan, tetapi tidak
berstatus sebagai istri dalam pengertian yang umum. Statusnya di bawah istri
(ampeyan) dan tugasnya membuat raja itu selalu senang (klangenan). Jika
bangsawan tadi menurunkan anak dari seorang selir, ia akan dinikahi secara
simbolis melalui pusaka yang menjadi simbol bangsawan tadi. Ini tidak berakibat
bahwa wanita atau selir itu lalu menjadi istri, melainkan hanya menjamin status
hukum dari anak yang dikandungnya menjadi anak bangsawan tadi. Sehingga
kelak anak itu berhak mempergunakan titel kebangsawanan dan memperoleh hak
warisan lainnya. Jadi yang menentukan status sosial anak tadi adalah ayahnya,
bukan ibunya.44
Inilah yang terjadi pada pemerintahan Paku Buwono XII. Ia tidak
memiliki seorang permaisuri, namun memiliki enam garwa selir. Anak-anak dari
Paku Buwono tidak mendapat wasiat secara langsung siapakah yang akan
menggantikannya ketika ia wafat. Oleh karenanya, terjadi perselisihan yang tak
kunjung usai selama bertahun-tahun tentang perebutan kekuasaan antara KGPH
Hangabehi dan KGPH Tedjowulan, anak dari masing-masing garwa selir Paku
Buwono XII yang merasa layak menjadi raja menggantikan takhta almarhum
ayahnya.
44
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 36.
34
2. Pegawai dan Pejabat Kerajaan (Abdi Dalem)
Di bawah kelompok raja dan sentana dalem terdapat kelompok abdi dalem
atau priyayi, yaitu seluruh pegawai raja dan kerajaan. Abdi dalem yang tertinggi
tingkatannya terdiri atas delapan orang bupati, yaitu bupati nayaka. Mereka
merupakan dewan kerajaan. Keempat orang di antara mereka itu disebut bupati
njero (bupati dalam) dan yang empat orang lainnya bupati njaba (bupati luar).
Fungsi bupati njero terbagi sebagai berikut: bupati keparak kiwa dan bupati
keparek tengen adalah bupati-bupati kepala rumah tangga yang disamping itu
bertugas sebagai pengawal istana, polisi, dan pengadilan. Bupati gedong kiwa
adalah bendaharawan dan bupati gedong tengen adalah kepala urusan keluar
istana.
Kemudian empat orang bupati njaba, yaitu bupati gede dan bupati sewu
sebagai “bupati kanan”, kemudian bupati penumping dan bupati bumi sebagai
“bupati kiri”. Bupati-bupati ini mengepalai administrasi dari berbagai provinsi
kerajaan di luar ibukota. Kemudian menyusul lima orang bupati dari tingkat tiga:
pembesar mahkamah pengadilan atau bupati pangrembe, bupati kadipaten anom
yaitu kepala rumah tangga putra mahkota, bupati kalang adalah pengawas
tertinggi gedung dan bangunan-bangunan istana, bupati gladag adalah pengawas
tertinggi alat-alat pengangkutan, dan bupati jaksa pengawas tertinggi pengadilan.
Di bawah bupati masih ada lima jabatan birokrasi lainnya, yaitu kaliwon, panewu,
mantri, lurah, dan jajar.45
45
Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 38.
35
3. Rakyat Biasa (wong cilik, kawula dalem)
Dalam budaya Jawa, penduduk dikenal sebagai kawula dalem (hamba raja,
pelayan raja, atau wong cilik). Mereka adalah manusia milik raja. Raja berwenang
menentukan nasib kawula dalem. Oleh karena itu sikap penduduk Jawa biasanya
sangat sopan, rendah hati, sabar, dan nrima.
Kalau golongan penguasa (sentana dalem dan abdi dalem) adalah
pendukung kebudayaan besar yang bersumber pada istana, maka wong cilik yang
sebagian besar terdiri dari petani adalah pendukung kebudayaan kecil yang
bersumber di pedesaan.
Dalam istilah lain menurut Vincent J. H. Houbent, elit kerajaan pada kurun
waktu 1830-1870 terdiri dari tiga kelompok. Pertama, aristokrasi kesatria
(satriya), dalam derajat yang berbeda-beda memiliki hubungan keluarga dengan
penguasa. Kedua, sekelompok pejabat atau pegawai aristokratis (priyayi), yang
batasannya saling bertumpang tindih dengan kelompok pertama, bertanggung
jawab menjaga keadilan (kadilan) dan memelihara ketertiban (njaga tata-
tentreming praja) di luar ibu kota kerajaan. Mereka juga memastikan masuknya
sejumlah pekerja serta sejumlah pendapatan tetap dari pertanian dan perdagangan
ke ibu kota. Ketiga, ada sekelompok aristokrasi religius yang terdiri dari petugas-
petugas Muslim yang khusus bertugas mengelola masjid di ibu kota, menjaga
makam para raja dan orang-orang suci, serta memberikan instruksi-instruksi
agama.46
D. Silsilah Penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat
46
Vincent J. H. Houbent, Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 12.
36
Pada mulanya, tanah Mataram dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan dengan
membabat Alas Mentaok sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya, raja Pajang.
Setelah Pajang surut dari gelanggang kekuasaan, maka Mataram menjadi
penggantinya, berhubung Sutawijaya, anak kandung Ki Ageng Pamanahan, yang
juga anak angkat Sultan Pajang, telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang.
Kemudian Sutawijaya menjadi Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan
Senopati.47
Panembahan Senopati inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya raja-raja
Mataram hingga raja-raja Keraton Surakarta Hadiningrat. Adapun riwayat singkat
raja-raja Keraton Surakarta Hadiningrat dapat dilihat di bawah ini:48
1. Paku Buwono I
Salah seorang putra Amangkurat I bernama Raden Mas Drajat. Naik takhta
pada tahun 1704, diangkat oleh Belanda dengan gelar Kangjeng Susuhunan Paku
Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Ingkang
Sepisan I. Setelah berhasil mendesak dan dan menjatuhkan takhta keponakannya,
Sunan mangkurat III di Kartasura, Paku Buwono I menggantikan tampuk
kepemimpinan di Keraton Kartasura selama 15 tahun hingga 1719.
2. Amangkurat IV
Bernama Gusti Raden Mas Surya Putra, sulung lelaki dari 12 putra-putri
Paku Buwono I. Naik Takhta tahun 1719 di Keraton Kartasura. Ia tak memakai
gelar Paku Buwono seperti ayahnya, tapi lebih memilih gelar raja-raja Mataram
47
Purwadi, Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi, Kesusastraan, dan Kebudayaan
(Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), 2. 48
Bram Setiadi, Qamarul Hadi, Tri Handayani, Raja di Alam Republik (Jakarta: Bina Rena
Pariwara, 2000), 197.
37
seperti kakek-kakeknya, yakni Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senopati
Ing Ngalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama, atau populer disebut Sunan
Amangkurat Jawi.
3. Paku Buwono II
Bernama Raden Mas Gusti Prabu Suyasa, putra ke 10 dari Amangkurat IV
dengan permaisuri Kangjeng Ratu Kencana. Naik takhta pada 15 Agustus 1726
dalam usia 15 tahun. Ia bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin
Panatagama Ingkang Kaping II ing Nagari Kartasura. Berkuasa selama 21 tahun.
Pada 17 Februari 1745, Paku Buwono II memindahkan ibu kota pemerintahannya
ke Surakarta Hadiningrat setelah Keraton Kartasura rusak akibat pemberontakan
Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning karena berkolaborasi dengan laskar Cina.
4. Paku Buwono III
Bernama Raden Mas Gusti Soerjokusumo, putra kelima Paku Buwono II
dengan permaisuri Kangjeng Ratu Mas. Berkuasa selama 39 tahun. Ia naik takhta
pada 15 Desember 1749, dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman
Sayidin Panatagama Ingkang Kaping III.49
5. Paku Buwono IV
Bernama Raden Mas Gusti Subadya, putra nomor 17 Paku Buwono III
dengan permaisuri Kangjeng Ratu Kencana. Berkuasa selama 33 tahun. Naik
takhta pada 21 September 1788.
49
Selanjutnya gelar ini dipakai oleh Paku Buwono IV hingga raja saat ini (Paku Buwono
XIII), dengan perbedaan dalam urutan yang berdasarkan silsilah keturunan raja sebelumnya.
38
6. Paku Buwono V
Bernama Raden Mas Gusti Sugandi, sulung Paku Buwono IV dari
permaisuri Kangjeng Ratu Adipati Anom. Berkuasa selama 3 tahun. Naik takhta
pada 10 Oktober 1820.
7. Paku Buwono VI
Bernama Raden Mas Sapardan, putra nomor 11 Paku Buwono V dari selir
Raden Ayu Sosrokoesoemo. Berkuasa selama 6 tahun. Naik takhta pada 18
September 1823. Paku Buwono VI dikenal sebagai seorang pahlawan, penentang
rezim kekuasaan kolonial Belanda, yang amat suka mendalami olah semadi di
tempat-tempat angker, sehingga memperoleh julukan Sinuhun Mbangun Tapa.
8. Paku Buwono VII
Bernama Raden Mas Gusti Maliki Salikin, putra nomor 23 Paku Buwono IV
dengan permaisuri Kangjeng Ratu Kencana. Berkuasa selama 28 tahun. Naik
takhta pada 14 Juni 1830.
9. Paku Buwono VIII
Bernama Raden Mas Kusen, putra keempat Paku Buwono IV dengan garwa
selir Raden Ayu Rantamsari. Berkuasa selama 3 tahun. Naik takhta 17 Mei 1858.
10. Paku Buwono IX
Bernama Raden Mas Gusti Duksina, putra kelima Paku Buwono VI dengan
permaisuri Kangjeng Ratu Hemas. Berkuasa selama 32 tahun. Naik takhta pada
30 Desember 1861.
11. Paku Buwono X
39
Bernama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Husna, putra nomor 21 Paku
Buwono IX dengan permaisuri Kangjeng Ratu Paku Buwono. Berkuasa selama 46
tahun. Naik takhta pada 30 Maret 1893. Paku Buwono X disebut sebagai
pembaharu dan peletak dasar sistem perekonomian keraton modern. Prinsip-
prinsip bisnis (antara lain dengan mendirikan berbagai perusahaan) mulai ia
terapkan guna mengimbangi semakin melebarnya wilayah keraton yang dikontrak
Belanda untuk berbagai kepentingan. Semasa pemerintahannyalah keraton
memperoleh tambahan bangunan-bangunan baru. Paku Buwono X juga telah
banyak menerima penghargaan dari banyak negara, paling tidak 30 bintang
penghargaan telah diterima, diantaranya: Bintang Orde van Leopold dari raja
Belgia, bintang Grootkruis Oranye Nassau dari negeri Belanda, dan bintang
penghargaan dari Italia, Prancis, Denmark, Swedia, Tunisia, dan Cina.50
12. Paku Buwono XI
Bernama Raden Mas Hanantasena, sulung Paku Buwono X yang lahir dari
garwa selir Raden Ayu Mandayaretna. Berkuasa selama 6 tahun. Naik takhta pada
26 April 1939.
13. Paku Buwono XII
Bernama Raden Mas Gusti Suryo Guritno, putra bungsu Paku Buwono XI
dengan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Paku Buwono. Berkuasa selama 59
tahun. Naik takhta pada 12 Juli 1945. Awal pemerintahan Paku Buwono XII
bertepatan dengan masa perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan.
Hanya sebulan setelah naik takhta, RI memproklamasikan diri sebagai negara
50
Purwadi et al, Sri Susuhunan Paku Buwono X (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), 108.
40
merdeka, sehingga Paku Buwono XII disebut pula sebagai Sinuhun Hamardika
yang artinya raja di zaman kemerdekaan.
E. Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat
Berbicara Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat, perlu disinggung
bagaimana proses masuknya Islam di pulau Jawa, yang terjadi di masa akhir
pemerintahan Kerajaan Majapahit hingga awal mula Kesultanan Demak berdiri.
Banyak legenda menyebutkan Islam masuk melalui jalur perdagangan di pesisir
pantai pulau Jawa yang berasal dari China dan Gujarat. Guna mendapat gambaran
mengenai bagaimana penyebaran agama Islam di Jawa, penulis mencoba
mengutip pemaparan sejarah dari H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud.51
Sebuah
legenda menyebutkan, Islam masuk kemudian disebarkan oleh seorang pemuda
keturunan negeri Champa (sekarang Vietnam) bernama Sayyid Ali Rahmad atau
Bong Swi Hoo pada tahun 1446. Awal mula ia meninggalkan Champa dan hijrah
ke tanah Jawa karena ia mendapat ancaman dari bangsa Annam yang hendak
menyerang Champa. Ia menuju Jawa bersama kakaknya, Sayyid Ali Murtadho.
Tak lama setelah sampai di Jawa mereka berhasil menjadi pemuka agama Islam di
Gresik dan Surabaya.
Kehadiran mereka dalam menyebarkan ajaran baru itu pun diterima dengan
baik oleh raja Majapahit saat itu, Bhre Kertabumi atau Brawijaya V. Masyarakat
Jawa yang saat itu masih memeluk agama Hindu banyak yang memeluk agama
Islam karena penyampaian dan penyebaran ajaran-ajaran yang cukup bersahaja
51
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, terj. Eko Endarmoko, Kerajaan Islam Pertama di Jawa:
Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), 27.
41
dari Sayyid Ali Rahmad. Desa di mana ia mendirikan pesantren bagi pemeluk
baru agama Islam ialah desa Ngampel Denta yang berada di Surabaya. Kelak dari
nama Ngampel Denta itu ia dijuluki sebagai Sunan Ampel. Menurut cerita orang
Jawa, Sayyid Ali Rahmad mempunyai banyak keturunan dan murid, yang
berabad-abad lamanya menguasai perkembangan agama Islam di pulau Jawa.
Islamisasi di Jawa terus berlanjut dan diterima dengan tangan terbuka.
Periode munculnya kekuatan Islam di istana ditandai hancurnya Kerajaan
Majapahit oleh penyerbuan yang dilakukan oleh Adipati Demak, Raden Patah,
karena saat itu Brawijaya V menolak memeluk agama Islam.52
Majapahit runtuh
pada tahun 1478 dan Raden Patah diakui oleh golongan Islam fanatik sebagai
sultan Islam pertama menggantikan kekuasaan agama Hindu di tanah Jawa.53
Pendamping spiritual Raden Patah saat itu, Sunan Giri, dianggap telah memainkan
peranan penting dalam penaklukkan Majapahit.54
Sejak saat itu, kekuasaan Islam
di tanah Jawa silih berganti hadir hingga Kesultanan Mataram Islam muncul yang
diprakarsai oleh Panembahan Senopati.
Dalam perkembangannya, pengaruh ajaran Islam di Kesultanan Mataram
hingga Keraton Surakarta Hadiningrat telah menyentuh berbagai aspek.
Diantaranya penggunaan gelar raja: Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin
Panatagama Khalifatullah, yang bermakna “Penata Agama dan Khalifah Allah
yang Berjiwa Pemurah Serta Bijaksana”, gelar itu bersifat keilahian dengan
52
Damar Shashangka, Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran
Rahasia (Jakarta: Dolphin, 2011), 59. 53
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, terj. Eko Endarmoko, Kerajaan Islam Pertama di Jawa,
10. 54
M.C. Ricklefs, terj. Tim Penerjemah Serambi, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008
(Jakarta: Serambi, 2008), 76.
42
memposisikan hamba sebagai wakil Sang Pencipta yang bertugas menjadi
pembimbing agama dan pemimpin bagi rakyatnya. Berdirinya Masjid Agung dan
pelaksanaan kegiatan spiritual keraton juga menjadi penanda bahwa Keraton
Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah kerajaan dengan ideologi Islam.
Meskipun pada praktiknya tata cara yang dilakukan lebih kepada sinkretisme
seperti pengkultusan benda pusaka dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Hal
itu tidak bisa dipisahkan dari proses Islamisasi di Jawa yang masuk tidak melalui
murni hukum syariah, tapi bercampur dengan sufisme atau mistik.55
Dikatakan
demikian karena kepercayaan lokal di Jawa pada awalnya sangat beragam:
Animisme, Hindu, maupun Budha. Penyebarannya pun beragam, melalui
perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, sampai politik.56
Maka proses
islamisasi di Jawa merupakan sebuah proses yang dinamis dan bervariasi bila
ditinjau dari beragamnya penyebaran dan perbedaan penyerapan di tiap kelompok
masyarakatnya.57
Proses itu melahirkan aliran yang dominan di istana kerajaan
Islam serta mayoritas penduduk yang sudah memeluk Islam yaitu sinkretisme
antara Islam dengan kepercayaan lokal masyarakat Jawa yang kemudian
dinamakan aliran kejawen.
Melalui sinkretisme Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat muncullah
berbagai karya yang mengedepankan aspek tasawuf dan mistik seperti Serat
Wulangreh pada masa Paku Buwono IV, Serat Centhini pada masa Paku Buwono
55
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/islam-dan-kraton-kasunanan-surakarta-masa-sunan-
pakubuwana-iv-bagian-1/, diakses pada 27 Maret 2014. 56
Ahmad Khalil, Islam Jawa (Malang: UIN Malang Press, 2008), 75. 57
Agus Iswanto, “Islamisasi dan Jawanisasi dalam Naskah-naskah di Keraton Yogyakarta.”
Mimbar: Jurnal Kajian Agama dan Budaya (Volume 29, nomor 3, 2012), 170.
43
V, dan Wirid Hidayat Jati yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito pada
masa Paku Buwono IX.
Tiga dari sekian banyak karya itu kemudian disebut dengan nama
“Kepustakaan Islam Kejawen”. Meskipun ciri kepustakaan Islam kejawen
menggunakan bahasa Jawa dan sangat sedikit dalam memperhatikan syariat
dengan lebih mengedepankan mistik dan tasawuf, namun bentuk kepustakaan
tersebut masih tetap termasuk kepustakaan Islam, karena dikarang oleh dan untuk
orang-orang yang menerima Islam.58
F. Kegiatan-kegiatan Spiritual di Keraton Surakarta Hadiningrat
Sebagai penjaga gawang budaya, Keraton Surakarta Hadiningrat masih
menjaga tradisi spiritual keraton yang masih rutin dilaksanakan. Inilah pembeda
suatu lembaga yang bernama “keraton”, dengan segenap peninggalan budaya
yang terkandung di dalamnya yang masih tetap lestari hingga saat ini. Di antara
kegiatan spiritual yang menjadi hajat besar Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu:
1. Tinggalan Dalem Jumenengan, hari peringatan naik takhta seorang raja
dengan dipergelarkan tari Bedhaya Ketawang. Upacara ini merupakan
upacara tertinggi yang membuktikan seorang raja masih berkuasa.
2. Kirab Pusaka Keraton, pameran benda-benda pusaka dan kerbau keramat
bernama Kyai Slamet milik keraton pada malam 1 Asyura.
3. Grebeg Maulud, memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
58
Agus Iswanto, “Islamisasi dan Jawanisasi dalam Naskah-naskah di Keraton
Yogyakarta.”, 70.
44
4. Malem Selikuran, diselenggarakan setiap malam ke-21 Bulan Ramadhan
untuk menyambut Lailatul Qadar. Ditandai dengan kirab 1000 tumpeng dari
halaman keraton menuju Taman Sriwedari diiringi barisan prajurit keraton.
5. Grebeg Pasa untuk mengungkapkan rasa syukur atas datangnya hari Idhul
Fitri. Gunungan Kembar Jaler dan estri diarak dari keraton menuju Masjid
Agung untuk didoakan, kemudian dibagikan kepada masyarakat.
6. Grebeg Besar untuk menyambut Hari Raya Idhul Adha. Berlangsung di
depan Masjid Agung dengan ditandai keluarnya gunungan yang merupakan
pemberian raja atau hajad dalem dari Keraton Surakarta Hadiningrat.
7. Wilujengan Nagari Mahesa Lawung pada hari Senin atau Kamis terakhir di
bulan Rabiul Akhir, berupa pembacaan do‟a yang dimulai di Pendapa
Sasana Sewaka hingga hutan Kren-dhawahana di Gondangrejo,
Karanganyar. Krendhawana merupakan tempat yang dianggap sakral dan
menjadi tempat semadi leluhur Dinasti Mataram.
8. Wilujengan Hangadeging Keraton Surakarta Hadiningrat atau peringatan
pindahnya Keraton Kartasura ke Surakarta pada setiap tanggal 17 Asyura.59
59
GRAy Koes Ismaniyah, Mau Ke Mana Keraton Surakarta Hadiningrat (Jakarta: Kata
Hasta Pustaka, 2013), 112.
45
BAB IV
KONFLIK YANG TERJADI DI KERATON SURAKARTA
HADININGRAT PASCA WAFATNYA PAKU BUWONO XII
Timbulnya konflik yang berkepanjangan di Keraton Surakarta Hadiningrat
tentu ada sebabnya. Pada bab inilah penulis akan menguraikannya lebih jauh
dengan menguraikannya menjadi beberapa bagian. Berawal dari mengapa Paku
Buwono XII (selanjutnya disebut PB XII) tidak mengambil seorang permaisuri.
Sehingga tidak ada seorang putra yang mutlak menjadi seorang raja ketika beliau
wafat. Lalu mengenai wasiat dari PB XII menjelang wafat, tentang adanya
kesimpangsiuran terhadap salah satu pihak yang mengaku mendapatkan wasiat ia
adalah penerus takhta dari PB XII. Kemudian konflik-konflik yang terjadi setelah
penobatan, mengapa bisa timbul dua pihak yang mengaku raja dan masing-masing
tidak mau mengakui keabsahannya. Lalu proses rekonsiliasi yang dianggap telah
mengakhiri konflik berkepanjangan ini, apakah semua pihak dapat menerima
keputusan rekonsiliasi yang dimotori oleh Pemerintah Kota Solo.
A. Wasiat Ibunda PB XII dan Suksesi Keraton
Semasa kecilnya, PB XII dikirim ke luar keraton untuk mengenyam
pendidikan. Hal yang lazim dilakukan raja-raja muda sebelum ia menginjak usia
dewasa. Sekembalinya dari keraton, PB XII jatuh cinta kepada seorang wanita.
Saat itu PB XII telah beristri seorang selir, namun sebagai seorang raja ia harus
46
sesegera mungkin meminang permaisuri demi melestarikan keturunannya. Dan
sosok yang bergelar Bandara Raden Ajeng adalah sosok yang telah memenuhi
syarat bila ditelusuri dari trah dan garis keturunan. Seperti yang telah diperkirakan
oleh seluruh kerabat keraton, hubungan itu hampir dipastikan akan berakhir di
pelaminan. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Belakangan, PB XII membeberkan sebab-sebab kegagalan percintaannya.
Ibundanya, Permaisuri PB XI, mewasiatkannya sesuatu. Ia tidak boleh mengambil
seorang permaisuri. Suatu wasiat yang tak pernah didengar raja-raja
pendahulunya.60
Suatu waktu sekitar tahun 1960-an Presiden Soekarno sempat bertamu ke
keraton guna mengajak PB XII duduk dalam pemerintahan. Namun PB XII
menolaknya. Kabar yang beredar justru berbeda, dalam pertemuan tersebut
dikatakan bahwa Presiden Soekarno menawarkan sekretaris pribadinya untuk
dijadikan permaisuri oleh PB XII. Kenyataan itu mengundang reaksi keras dari
Kangjeng Ratu Paku Buwono, ibundanya. Sedemikian hebat penolakan Kangjeng
Ratu sampai-sampai ia mengancam akan mendoakan anaknya tidak lestari
menjadi raja jika menerima wanita tawaran tersebut.61
Sebagai seorang tradisi yang dibesarkan oleh adat Jawa, ia mempercayai
pesan tersebut mengandung makna amat dalam. Maka mau tidak mau, senang
atau tidak senang, titah keramat itu haruslah ditaati. PB XII mengaku di usia
tuanya ia baru menemukan makna tersembunyi dari wasiat almarhumah yang
semuanya mengarah pada arti konsepsi keratuan di zaman baru. Zaman di mana ia
60
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 118. 61
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 119.
47
diangkat menjadi seorang raja adalah zaman peralihan kekuasaan dari tradisional
ke zaman demokratisasi. Sehingga sulit bagi keraton untuk menutup diri dari
perkembangan modernisasi. Kesadaran akan nilai-nilai baru bakal mempengaruhi
kebijakan keraton, termasuk dalam mempersiapkan suksesi.62
Putra mahkota kelak dipersyaratkan mampu beradaptasi dan mengantisipasi
perubahan zamannya tanpa harus kehilangan watak, sikap, serta kepribadiannya
sebagai seorang pemangku adat tradisi Jawa. Ini, mengisyaratkan seluruh
pangeran putra raja, tak terkecuali yang lahir dari selir, berpeluang tampil ke
singgasana. Berbeda halnya jika PB XII mengangkat permaisuri, sumber calon
pengganti menjadi sangat terbatas. Sebab, pengangkatan putra tertua dari
permaisuri sebagai pewaris takhta merupakan “angger-angger” atau hukum
keraton yang tak memungkinkan dilanggar apapun alasannya. Beruntung jika
memperoleh putra mahkota yang mumpuni. Namun bila sebaliknya, sulit
dibayangkan bagaimana keraton di masa depan. Menurut PB XII, kepekaan naluri
ibunya seolah-olah mampu mendahului zamannya. Ia menyadari telah dihadapkan
untuk menyantap buah simalakama. Ditaati, bukan saja berarti harus
mengorbankan seluruh hatinya yang telah ia percayakan kepada seorang wanita
yang dicintai. Tetapi juga membuang impiannya untuk tidak berpermaisuri
selamanya. Sebaliknya kalau dilanggar ia akan terbebani perasaan berdosa
terhadap ibu, disamping kemungkinan rusaknya keraton.63
Sampai pada akhir hayatnya, PB XII memang tidak mengambil seorang
permaisuri. Juga tidak mengangkat salah satu dari enam garwa selirnya menjadi
62
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 120. 63
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 120.
48
permaisuri. Hal itu berdampak pada tata cara suksesi, cara seperti apakah yang
akan diambil oleh putra-putrinya dan para sentana dalem sepeninggalnya PB XII?
Apa lagi, semasa hidupnya PB XII tidak pernah sekalipun membicarakan
siapakah kelak yang akan meneruskan tonggak kepemimpinannya. Bila mana
putra-putrinya hendak membuka pembicaraan mengenai suksesi saat PB XII
masih hidup, hal itu tidak diperkenankan, karena dalam kepribadian budaya Jawa,
pembicaraan seputar suksesi merupakan hal yang tabu untuk dibahas mengingat
PB XII masih segar bugar.64
Angger-angger mengenai suksesi, dalam sistem monarki absolut, mutlak
hukumnya bahwa pengganti raja selanjutnya adalah putra raja itu sendiri yang
lahir dari permaisuri. Dialah pewaris resmi takhta ayahnya, putra lelaki tertua.
Kedudukan anak lelaki memang paling diutamakan karena Keraton Surakarta
Hadiningrat adalah kerajaan Islam yang mana wajib hukumnya suatu institusi
dipimpin oleh seorang lelaki, bukan perempuan.65
Menurut Penyuluh Kebudayaan Keraton Surakarta Hadiningrat, almarhum
KRMH Yosodipuro, ada tiga syarat utama seorang anak bisa menggantikan
ayahandanya sebagai seorang raja. Pertama, calon putra mahkota harus anak
lelaki pertama dari seorang permaisuri. Kedua, jika ternyata permaisuri hanya
mempunyai anak perempuan, maka calon putra mahkota dapat diambil dari anak
lelaki tertua dari garwa selir yang ada. Ketiga, jika raja tidak mempunyai
permaisuri dan hanya mempunyai garwa selir, maka putra mahkota diambil dari
64
Mulyanto Utomo, Wahyu Susilo, Farid Achmadi, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta
Hadiningrat (Solo: Aksara Solopos, 2004), 128. 65
Wawancara penulis dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga,
Kangjeng Raden Ayu (KRAy) Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton
Surakarta Hadiningrat.
49
anak lelaki tertua garwa selir. Bukan yang tertua garwa selirnya, melainkan anak
lelaki dari garwa selir yang nomor berapapun, yang lahirnya lebih dahulu dari
pada yang lainnya.66
Peraturan itu tidak pernah tertulis dalam kitab manapun,
tetapi sudah menjadi angger-angger yang telah dilaksanakan sejak ratusan tahun
silam oleh raja-raja terdahulu, baik oleh Kesultanan Mataram Islam (Surakarta,
Nagyogyakarta, Mangkunegaran, Pakualaman) maupun Kerajaan Hindu-Budha
seperti Singasari hingga Majapahit.
Semasa hidup, PB XII mempunyai enam garwa selir dan 35 orang anak.
Bila mereka semua harus mengambil keputusan, maka pilihannya hanya ada dua:
tetap berpegang kepada angger-angger dengan mengikuti naluri tradisi atau
menyatu dengan alam demokratisasi. Pilihan-pilihan itu akan membuat para
garwa selir, sentana dalem, abdi dalem, dan pihak yang berkepentingan terhadap
keraton terbelah menjadi dua kubu, mau atau tidak mau, terencana atau tidak
terencana. Bila kembali melihat 3 syarat utama seorang anak bisa menggantikan
kedudukan ayahnya, maka posisi PB XII ada pada syarat yang ketiga. PB XII
tidak memiliki permaisuri dan hanya memiliki enam garwa selir. Maka yang harus
diangkat adalah putra yang lahir lebih dulu dari garwa selir yang ke berapapun.
Bagi kerabat keraton yang hendak mempertahankan sisa-sisa tradisi leluhur
mereka terdahulu, angger-angger inilah yang harus dipatuhi. Ketika keraton
sudah bergabung dengan alam modernisasi, tradisinya tidak boleh ikut tertelan
zaman. Inilah yang menjadi acuan pihak kerabat yang tetap memegang tradisi,
tidak memperbolehkan mengubah angger-angger dengan alasan apapun dan di
66
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 135.
50
zaman apapun. Keyakinan ini menjadi pembeda dan diferensiasi antara keraton
dengan institusi modern lainnya.
Sedangkan di sisi lainnya, mereka yang mengatas-namakan “penyelamat
keraton”. Kelompok ini berpendirian bahwa keraton harus dipimpin oleh orang
yang mempunyai visi ke depan yang bisa berkomunikasi dengan segala zaman.
Keraton harus lepas dari buaian kejayaan masa silam. Dengan legitimasi keraton
yang kini hanya sak megaring payung, tidak relevan bila suksesi harus dijalankan
sesuai aturan adat yang telah ditetapkan. Seluruh sentana dan abdi dalem
mempunyai peluang yang sama dalam memberi tafsirannya masing-masing. Pun
bila harus sampai mengambil keputusan. Apa lagi dengan situasi yang
mengambang dengan tidak adanya permaisuri, sudah jelas wasiat yang tersirat
dari Kangjeng Ratu Paku Buwono XI bahwa bila saatnya sudah tiba, seluruh
kerabat keraton harus menyatu dengan alam modernisasi. Dan wasiat itu dikutip
sendiri oleh PB XII.
B. Isu-isu Pasca Wafatnya PB XII
Pada hari Jumat (Wage), 11 Juni 2004 pukul 08.10, Sinuwun PB XII yang
telah bertakhta selama 60 tahun meninggal dunia. Ia menghembuskan nafas
terakhirnya di Rumah Sakit Panti Kosala karena sakit yang dideritanya. Ia
dimakamkan di Astana Pajimatan, Imogiri, sebuah kompleks makam kerajaan
Mataram. PB XII dimakamkan tepat di samping makam ayahnya, Paku Buwono
XI.67
Sri Susuhunan PB XII adalah raja terlama dalam Dinasti Mataram. Raja
67
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat , 122.
51
Keraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Raden Mas Gusti Suryo Guritno itu
dinobatkan menjadi raja tanggal 12 Juli 1945, pada usia 20 tahun, dengan gelar
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalago
Abdurahman Sayidinan Panatagama XII.68
Kepergiannya meninggalkan duka
yang mendalam tidak hanya bagi kerabat keraton, tetapi juga warga Solo serta
seluruh masyarakat yang memiliki keterikatan batin dengan beliau. Mereka
merasa kehilangan sosok pemangku adat titisan raja-raja Mataram yang telah
banyak berjasa sejak zaman kemerdekaan Indonesia.
Wafatnya PB XII memunculkan dua isu. Pertama, isu mengenai penetapan
PB XII kepada dirinya sendiri sebagai Sinuwun Wekasan (raja yang terakhir).69
Dari pernyataannya bila di analisis, PB XII ingin mencukupi kekuasaan keraton
hanya sampai pada dirinya. Kelak putranya tidak akan ada yang bergelar PB XIII
dan seterusnya. Keraton masa kini sudah jauh berbeda dengan keraton ketika
sebelum zaman kemerdekaan hingga ia mulai naik takhta 60 tahun silam saat
kemerdekaan sudah di pintu gerbang. Ketika Belanda masih menduduki daerah-
daerah di Nusantara, Keraton Surakarta merupakan negeri berpemerintahan
sendiri/asli (Zelfbesturende Landschappen) atas dasar Politik Kontrak jangka
panjang (Lang Politiek Contract) dengan Pemerintah Belanda, sebagaimana
tersebut dalam Staatsblad 1939 no. 614 jo. No. 671.70
Kemudian beberapa bulan
PB XII berkuasa, tepat saat Indonesia baru merdeka, Presiden Soekarno
memberikan pengakuan resmi yang menetapkan Negeri Surakarta Hadiningrat
68
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2165-raja-terlama-
dinasti-mataram, diakses pada 1 Februari 2014. 69
AM. Hadisiswaya, Filosofi Wahyu Keraton (Klaten: Sahabat, 2009), 3. 70
Sri Juari Santosa, Suara Nurani Keraton Surakarta (Yogyakarta: Komunitas Studi
Didaktika, 2006), 29.
52
sebagai daerah pemerintahan asli dan bersifat istimewa beserta kedudukan PB XII
sebagai kepala daerah dan kepala kerabat istana (raja) dengan semua kekuasaan
Negeri Surakarta Hadiningrat ada di tangan PB XII.71
Kemudian akibat belum stabilnya keadaan pemerintah RI pasca
kemerdekaan yang disebabkan oleh pemberontakan penentang Keistimewaan
Surakarta,72
turut membuat wilayah Surakarta Hadiningrat berada dalam kondisi
darurat. Pemberontakan dan penculikan dialami oleh kerabat keraton. Hal ini
memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat nomor 1 tertanggal 28 Juni
1946 yang berisi perintah pengambil-alihan kekuasaan sepenuhnya sampai
kondisi dinilai berjalan normal kembali. Tanggal 15 Juli 1946 keluarlah PP nomor
16/SD 1946, yaitu Penetapan Pemerintah yang mengatur tentang pemerintahan di
Surakarta. Presiden Soekarno menunjuk Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai
residen yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan daerah Surakarta.
Dengan demikian, era kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat secara de facto
dapat dikatakan sudah berakhir.73
Dari gambaran singkat mengenai status Keraton Surakarta Hadiningrat di
masa-masa terdahulu, dapat dikatakan bahwa keraton di masa ini sudahlah tidak
71
Sri Juari Santosa, Suara Nurani Keraton Surakarta, 31. 72
Menurut RM Koes Rahardjo, anggota komisi III DPRD Surakarta, semua bermula dari
adanya gerakan barisan pelopor yang dipimpin dr Moewardi. Barisan pelopor bersama Barisan
Tani Indonesia (BTI) yang berafilisasi dengan PKI, PNI, Murba, PSI, dan Barisan Benteng
Surakarta yang melakukan kongres di Gedung Habipraja, Singosaren pada bulan September 1945.
Dari hasil kongres tersebut akhirnya melahirkan Panitia Anti Swapraja (PAS) di awal bulan
Oktober 1945, yang dipimpin Tan Malaka yang berhaluan kiri. Dari situlah akhirnya meletus
kerusuhan anti swapraja, yang memakan banyak korban jiwa. Gerakan tersebut merangsek masuk
ke Keraton Surakarta Hadiningrat, dan menahan PB XII, Kangjeng Ratu Paku Buwono, serta
Pangeran Suryohamijoyo selama hampir lebih dari seminggu di dalam Keraton. Tak berhenti
sampai disitu, pada tanggal 17 Oktober 1945, Patih Keraton Surakarta KRMH Sosrodiningrat
diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. http://www.soloblitz.co.id/2013/08/22/sepenggal-
kisah-buram-daerah-istimewa-surakarta/, diakses pada 20 Maret 2014. 73
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 94.
53
memiliki kekuasaan apa-apa. Sesuai yang termaktub melalui Surat Keputusan
Presiden no. 23/1988, raja hanya sebatas Pimpinan Istana yang kekuasaannya
hanya pada pengelolaan lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat beserta
pusaka-pusaka yang ada di dalamnya sebagai peninggalan budaya bangsa dengan
pengawasan dari Kementerian Pariwisata.74
Sehingga dapat ditafsirkan asbabun
nuzul penetapan Sinuwun Wekasan adalah tidak diperlukannya lagi penerus
takhta karena kekuasaan hanya tinggal sak megaring payung. Bila saat PB XII
naik takhta memiliki keyakinan perjuangannya terhadap keberlangsungan
kekuasaan keraton terhadap wilayah Surakarta akan terus berlangsung, di
milenium baru ini hal itu tidak akan mungkin terjadi. Apa lagi PB XII sama sekali
tidak pernah membicarakan siapakah penerusnya kelak jika ingin kekuasaan
keraton terus berlangsung. Mungkin yang perlu dilestarikan cukup tradisi-tradisi
keraton sebagai pengingat kepada generasi mendatang bahwa peninggalan budaya
Keraton Surakarta masih ada.
Analisa lain mengenai makna sinuwun wekasan, PB XII merasa dirinya raja
terakhir yang memiliki legitimasi penuh atas wilayah yang didudukinya sebelum
berubah status. Sama seperti raja-raja terdahulu, seorang raja menguasai wilayah-
wilayah tertentu, dan kawula (rakyat) harus patuh terhadap perintahnya dan
menjalankan kewajibannya sebagai kawula. Hierarki terlihat jelas antara patron
(raja) dan client (hamba) kepada seluruh kasta dalam negeri keraton. PB XII
menyadari bahwa sejak menyatunya keraton dengan NKRI, semua legitimasi
mutlak itu akan punah, dan dirinya adalah yang terakhir, yang mungkin tersisa
74
http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/1398/KEPPRES%20NO%2023%20TH%201988.pdf,
diakses pada 1 Februari 2014.
54
hanyalah legitimasi terhadap adat keraton itu sendiri. Dengan demikian tidak
menutup kemungkinan PB XII ingin raja-raja Keraton Surakarta Hadiningrat akan
terus lahir meskipun kelak tidak lagi memiliki kewenangan penuh seperti dirinya
dan raja-raja pendahulunya.
Selanjutnya isu lain yang muncul adalah isu mengenai suksesi, sekaligus
menjawab dan „menenggelamkan‟ isu sinuwun wekasan bahwa PB XII adalah raja
yang terakhir. Seluruh kerabat keraton berpendapat regenerasi kepemimpinan di
keraton harus dilaksanakan. Jika tidak, kebudayaan Jawa yang sudah berabad-
abad berkembang dan dipertahankan keraton, dicemaskan akan terurai sebelum
akhirnya musnah. Tanpa raja, Tari Bedaya Ketawang tak mungkin digelar. Juga
Grebeg Maulud maupun Sekaten.75
Serta upacara-upacara spiritual simbolik
serupa lainnya akan saling susul mati, karena tidak lagi mendapat tempat di tanah
di mana ia pernah berjaya.
Maka ketika PB XII wafat, seluruh kerabat yang memiliki rasa peduli
terhadap kelestarian keraton merasa mutlak harus diadakannya sebuah suksesi.
Menurut Pengageng Parentah Keraton Gusti Pangeran Haryo (GPH)
Dipokusumo, suksesi yang dilakukan di tiap masa pemerintahan seorang raja
selalu merujuk pada catatan sejarah zaman-zaman sebelumnya, tidak ada fatwa
tertulis mengenai pengangkatan yang resmi. Sehingga sejak dulu tiap kali akan
diadakannya suksesi, subyektivitas selalu muncul melalui hukum-hukum yang
tidak tertulis dengan apa yang disebut angger-angger.76
75
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 314. 76
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.
55
Pendapat Kangjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger mengenai
angger-angger yaitu:
“Dalam sejarah, aturan perjanjian raja dan pejabat, penasbihan putra-putri,
sentana dalem, itu ada aturannya. Angger-angger, aturan, hukum adat, itu
sudah ada dan berjalan secara alami. Analoginya tidak perlu ditulis berupa
rambu-rambu bahwa lampu hijau harus berangkat dan merah berhenti. Anak
tertua dari raja, entah dari istri ke berapapun yang lahir tertua laki-laki
dialah yang berhak. Dan itu sudah menjadi tatanan rambu-rambu, bilamana
tidak ditulis, orang-orang sudah harus mengerti, itulah proses suksesinya,
yang harus dijalankan sampai kapanpun.”77
Berbeda dengan KGPH Puger, Kangjeng Gusti Pangeran Haryo
Panembahan Agung (KGPH PA) Tedjowulan mengungkapkan:
“Angger-angger merupakan aturan dan acuan orang Jawa berbudaya yang
sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Sehingga bila dikaitkan dengan
perkembangan dan situasi sekarang, tentu tidaklah rasional. Bila ingin
berpikir secara mendalam, angger-angger bisa dipertahankan bisa juga tidak
perlu dipertahankan. Bila angger-angger berada dalam posisi yang lemah,
tidak memiliki visi ke depan sama sekali, keraton tinggal menuju
kehancuran saja, artinya tidak perlu dijalankan demi menyelamatkan
keraton.”78
Angger-angger yang menjadi acuan kala itu adalah ditetapkannya Kangjeng
Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi, putra pertama PB XII dari garwa selir
ketiga KRAy Pradapaningrum, sekaligus putra lelaki yang lebih tua dari seluruh
putra para garwa selir, untuk ditetapkan menjadi PB XIII. KGPH Puger yang
merupakan adik kandung dari KGPH Hangabehi, bersama delapan saudara
kandungnya yang lain diantaranya GKR Koes Moertiyah, GRAy Koes Indriyah,
KGPH Kusumayudha, dan saudara iparnya yaitu KP Edy Wirabumi, KP Satrio,
77
Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy
Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. 78
Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan, putra kedua PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 28 Januari 2014, di Hotel Kartika Chandra.
56
memiliki pendirian bahwa angger-angger harus tetap dijalankan sebagai simbol
bahwa keraton masih mempertahankan tradisi. Di lain sisi, seluruh pihak sentana
dalem di luar dari saudara-saudara kandung KGPH Hangabehi dan forum yang
mengatasnamakan bela raos abdi dalem mendorong KGPH Tedjowulan untuk
maju menyelamatkan keraton. Menurut mereka yang mendukung, keraton akan
kehilangan kesuciannya bila sampai dipimpin oleh KGPH Hangabehi. Mengapa
mereka tidak ingin KGPH Hangabehi yang berkuasa? Karena dari sisi intelektual,
pengelolaan, dan karakter, KGPH Hangabehi dianggap tidak mampu mengurus
keraton bila dilihat dari latar belakangnya.79
Kemudian mengapa sampai muncul wacana KGPH Tedjowulan? Karena
menurut para sentana dalem saat itu, KGPH Tedjowulan dianggap figur yang
mampu menjawab krisis kepemimpinan karena kecakapan dan ketegasannya
dalam memimpin. KGPH Tedjowulan adalah seseorang yang berdinas di tentara,
dan beliau adalah satu-satunya putra PB XII yang berdinas di tentara. Secara
gradual, syarat seorang pemimpin adalah ia yang mampu berdiri terdepan di
medan perang.80
Dalam hal lain, KGPH Tedjowulan pernah hangat
diperbincangkan karena ia pernah diminta oleh PB XII untuk mewakili
memberikan sambutan pada pemberian penghargaan kepada PB XII sebagai
“Bapak Simbol Perdamaian Dunia” dari Sri Chinmoy Institute, sebuah lembaga
internasional yang bergerak pada bidang perdamaian dunia.81
Beberapa hal itu
menjadi salah satu dasar pemikiran dari sekian banyak pertimbangan mengapa
79
Wawancara dengan Redaktur Senior Harian Solopos, Mulyanto Utomo, 21 Januari 2014,
di Kantor Harian Solopos. 80
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat. 81
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 142.
57
sebagian besar kerabat istana mendorong KGPH Tedjowulan untuk maju sebagai
raja dengan tidak perlu menggunakan angger-angger dalam suksesi kali ini.
Bila harus mengacu kepada angger-angger pun, wacana suksesi Keraton
Surakarta Hadiningrat tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan adat. Tidak
adanya seorang permaisuri dan tidak adanya wasiat secara langsung dari PB XII
membuat keadaan terlihat mengambang. Hal ini akan menimbulkan subyektivitas
pribadi yang berujung pada munculnya berbagai kepentingan baik dari pihak yang
mengklaim “setia terhadap tradisi” (KGPH Hangabehi) atau pun pihak yang
mengklaim sebagai “penyelamat keraton” (KGPH Tedjowulan). Mereka yang
mendukung KGPH Hangabehi adalah adik-adik kandungnya sendiri, mereka bisa
leluasa menguasai aset dan kewenangan keraton bila kakak kandungnya yang naik
sebagai raja. Begitu pun KGPH Tedjowulan, dari sisi ketentuan adat dia bukanlah
anak laki-laki tertua yang sesungguhnya mustahil bisa naik sebagai raja bila
mengacu kepada angger-angger. Namun karena ia merasa didukung oleh
sebagian besar kerabat keraton, adalah hal yang menguntungkan baginya bila
kesempatan itu ia ambil demi menorehkan keluarga dan keturunannya tertera
dalam sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat. Baik pihak KGPH Hangabehi
maupun KGPH Tedjowulan, apa pun alasannya, sesungguhnya tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan untuk meraih kekuasaan.
C. Kasus Konflik Perebutan Kekuasaan di Keraton Surakarta
Hadiningrat
58
Sebelum wafat, pada hari Kamis 3 Juni 2004, PB XII sempat tetirah di
Tawangmangu. Di tempat peristirahatan itu, beliau mengundang sembilan orang
putra-putrinya. GKR Koes Moertiyah yang saat itu turut serta mengaku KGPH
Hangabehi digenggam erat-erat sinuhun (panggilan keluarga istana terhadap raja)
dan bahunya ditepuk-tepuk saat PB XII bicara di saat-saat terakhirnya. Menurut
pengakuan GKR Koes Moertiyah, PB XII terlihat memberi wasiat kepada KGPH
Hangabehi bahwa ia sebagai anak paling tua harus kuat dan bisa mengayomi adik-
adiknya.
Kemudian, PB XII menyuruh suami GKR Koes Moertiyah, KP Edy
Wirabumi untuk menuliskan wasiatnya bahwa keraton harus tetap mengikuti
naluri tradisi dengan memberikan restu kepada anak laki-laki tertua untuk naik
sebagai raja, yang tak lain adalah KGPH Hangabehi. Setelah wasiat itu dibuat,
beliau membubuhkan cap jempol yang menandakan bahwa surat wasiat itu
absah.82
Mereka semua yang hadir83
bersaksi bahwa PB XII telah berwasiat
demikian. KP Edy Wirabumi yang ketika itu menulis surat wasiat sekaligus
merekam pembicaraan menegaskan bahwa PB XII cukup sehat dan bugar untuk
berbicara dan membubuhkan cap jempolnya. Sehingga, wasiat untuk mengikuti
naluri angger-angger dari PB XII benar adanya.84
Menindaklanjuti keabsahan surat wasiat itu, Kapolwil Surakarta Kombes
Pol Drs. H. Abdul Madjid mengatakan hasil uji Laboratorium Forensik (Labfor)
82
Harian Solopos, Kamis 26 Agustus 2004. 83
Mereka yang hadir dalam pertemuan itu adalah lima putra-putri, dua menantu, dan dua
abdinya, KGPH Hangabehi beserta istri, GPH Puspo Hadikusumo, GKR Galuh Kencana, GRAy
Koes Isbandiyah, GKR Koes Moertiyah bersama suami KP Edy Wirabumi, sekretaris pribadi RM
Yuli Sulistyo Wibowo, dan abdi dalem keraton RT Secodipuro. 84
http://news.detik.com/read/2004/06/11/142814/162322/10/, diakses pada 6 Februari 2014.
59
Polda Jawa Tengah mengenai cap jempol PB XII pada testament yang ditulis KP
Edy Wirabumi identik dengan sampel lain sidik jari PB XII. Namun tidak
diketahui kapan sidik jari itu dibubuhkan pada surat yang disampaikan kepada
Labfor, sebelum atau sesudah PB XII wafat.85
Menanggapi hal itu GPH Suryowicaksono, putra PB XII dari garwa selir
KRAy Pujaningrum, mempertanyakan keaslian surat wasiat yang diklaim sah oleh
pihak KGPH Hangabehi dan saudara-saudaranya. Bila memang cap jempolnya itu
asli milik PB XII, ia mempersoalkan ada proses paksaan dalam proses
pembubuhan saat sinuhun sedang sakit atau tidak sadarkan diri. Kalaupun sinuhun
berkenan membuat surat wasiat, beliau juga akan membubuhkan tanda tangan dan
cap stempel keraton. Selain itu pembuatan surat semestinya dilakukan oleh
Panitera Keraton. keabsahan sebuah surat wasiat baru bisa diakui jika pihak
penerima wasiat menunjukkan keberadaan surat itu kepada seluruh ahli waris,86
yang mana ahli waris dari PB XII bukan saja putra-putri dari garwa selir KRAy
Pradapaningrum, tapi juga putra-putri kelima garwa selir lainnya.
Polemik surat wasiat itu menjadi masalah yang berkepanjangan karena
terjadi di luar dari yang sudah diprediksi. Di masa-masa akhir hidup PB XII, isu
suksesi yang muncul di tengah kerabat muncul dari beberapa nama yang pantas
naik menjadi raja. Bila berdasarkan penghayatan dari seluruh kerabat istana,
mereka yang berpeluang ialah yang terdekat garis keturunannya dari garis
keturunan raja sebelumnya berdasarkan yang lahir lebih dulu, yaitu: KGPH
Hangabehi diisukan yang paling utama karena ia merupakan anak laki-laki tertua.
85
Harian Solopos, Kamis 26 Agustus 2004. 86
http://news.detik.com/read/2004/11/18/203959/241263/10/ahli-waris-pb-xii-pertanyakan-
keaslian-surat-wasiat, diakses pada 6 Februari 2014.
60
KGPH Hadiprabowo, sosok yang dinilai sederhana di lingkungan keraton, pernah
diutus oleh PB XII pada tahun 1985 ke Hutan Donoloyo untuk mencari kayu jati
guna keperluan renovasi keraton, kemudian pada tahun 1987 pernah ke
perusahaan pertambangan marmer di Tulungagung juga untuk pembangunan
keraton. Selanjutnya KGPH Kusumayudha, pengelola Pesanggrahan Langenharjo,
salah satu peninggalan Paku Buwono X. Terakhir KGPH Tedjowulan, yang
riwayatnya telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Selain berdasarkan urutan,
hanya mereka berempat yang saat PB XII wafat telah bergelar Kangjeng Gusti
Pangeran Haryo.87
Ketika PB XII dimakamkan, ada kepercayaan Jawa yang menyebutkan
bahwa wahyu kedhaton tidak akan mengikuti layon. Artinya, ia yang akan
menjadi raja tidak akan ikut mengantar ayahandanya ke pemakaman. Teka-teki ini
muncul ke permukaan ketika prosesi pemakaman Senin (14/6/2004) di Imogiri,
dari sekian jumlah putra laki-laki PB XII hanya empat orang yang tampak hadir di
lokasi pemakaman, yaitu: KGPH Tedjowulan, KGPH Hadiprabowo, GPH
Benowo, dan GPH Cahyaningrat. Selebihnya, putra lainnya tidak tampak. Lebih
dari itu sosok-sosok putra PB XII yang selama ini mendapat sorotan dari
masyarakat seperti putra laki-laki tertua almarhum PB XII, KGPH Hangabehi
juga tidak tampak hadir. Hal itu menguatkan dugaan bahwa KGPH Hangabehi
yang akan dinobatkan sebagai pengganti PB XII. Ketika dulu PB XI wafat, BRM
87
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 137.
61
Suryo Guritno diangkat menjadi PB XII setelah tidak mengikuti prosesi
pemakaman ayahandanya di pemakaman Imogiri.88
Selain itu, ada suatu keyakinan dari Kepala Museum Radya Pustaka Solo,
KRHT Darmodipuro. Ia mengatakan mangkatnya Paku Buwono XII pada Jumat
Wage (11/6/2004) menandakan preseden buruk dalam proses suksesi di Keraton
Surakarta Hadiningrat. Proses pergantian tampuk pimpinan dari PB XII oleh putra
dalem itu diprediksi bakal berjalan alot, tidak semulus yang dibayangkan.
Hari Jumat Wage memiliki wuku landhep aras pepet dan merupakan hari yang
jelek atau tali wangke. Aras pepet yang dimaksud adalah upaya dari pihak di
dalam keraton untuk menghalang-halangi salah satu putra dalem yang akan
meneruskan takhta dari PB XII. Para putra dalem yang selama ini mengklaim
mendapatkan isyarat menggantikan posisi raja dari PB XII akan saling berebut
takhta. Kondisi itu disebabkan oleh belum jelasnya siapa putra dalem yang secara
tegas ditunjuk menggantikan posisi PB XII.89
GPH Dipokusumo mengungkapkan penetapan pengganti raja harus
mempertimbangkan setidaknya sembilan komponen yang sudah digunakan oleh
raja-raja sebelumnya, yaitu: permintaan raja (yang akan digantikan), Penghulu
Keraton, Pujangga Keraton, komandan prajurit, patih, penguasa (pemerintah
kolonial), Pengageng Sentana Dalem, Pengageng Parentah Keraton, serta
Pengageng Parentah Keputren. Tiga lembaga terakhir merupakan institusi yang
dibentuk oleh PB X yang dilanjutkan penerusnya hingga PB XII untuk membantu
tugas-tugas raja. Sebelum masa kemerdekaan persetujuan penguasa pada saat itu
88
Harian Solopos, Selasa 15 Juni 2004. 89
Harian Solopos, Jumat 18 Juni 2014.
62
harus didapat dari yang masih berkuasa, yaitu Pemerintah Belanda, yang kini
sudah beralih menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia.90
Kini, secara struktural, tidak ada lagi patih, prajurit, dan penghulu keraton.
Pengageng Sentana Dalem, Pengageng Parentah Keraton, dan Pengageng
Parentah Keputren adalah tiga lembaga yang dibuat oleh PB X untuk membantu
raja menjalankan pemerintahan di keraton. Sehingga bila raja, saat itu PB XII
telah wafat, ketiga pengageng harus bertanggung jawab terhadap semua urusan
keraton dan mencari jalan keluarnya. Jadi bila ada yang mengatasnamakan wasiat
raja dalam bentuk apapun, lebih lanjut menurut GPH Dipokusumo, hal itu adalah
suatu bentuk pelanggaran karena melangkahi kewenangan ketiga pengageng
sebagai lembaga yang sah secara adat menjalani roda pemerintahan di keraton.91
Sejak wafatnya PB XII sampai menjelang 40 hari kematiannya, putra-putra
PB XII terus menggelar rapat yang melibatkan seluruh sentana dan abdi dalem.
Terhitung sudah tiga kali rapat, pertama 12 Juni 2004 di Kamar Nyonya Keraton,
13 Juni 2004 di Sasana Narendra, dan 16 Juni 2004 Kamar Nyonya Keraton.
Hingga puncaknya pada Kamis 24 Juni 2004 Keraton mengeluarkan biworo yang
menetapkan KGPH Hangabehi sebagai pengganti PB XII dan akan bergelar
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) melalui ritual wilujengan di
Sasana Parasedya, Keraton Surakarta Hadiningrat. Biworo itu disampaikan di
Sasana Sewaka oleh KGPH Kusumayudha. Setelah penyampaian biworo,
Hangabehi menjalani serangkaian ritual yaitu wilujengan dan pengabekten kepada
ibundanya, KRAy Pradapaningrum.
90
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 123. 91
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.
63
Penyampaian biworo itu dihadiri oleh KGPH Puger, GPH Benowo, GKR
Galuh Kencana, GKR Koes Moertiyah, GRAy Isbandiyah, GRAy Handariyah,
GRAy Raspiyah, dan GPH Kusumoyudha, yang sebagian besar adalah saudara
kandung Hangabehi sendiri. Tidak nampak ketiga pengageng sebagai pejabat
tinggi keraton, yakni: Pengageng Parentah Keraton KGPH Dipokusumo,
Pengageng Sentana Dalem KGPH Hadiprabowo, dan Pengageng Parentah
Keputren GKR Alit. Putra dalem yang lain seperti KGPH Tedjowulan dan
sesepuh keraton KGPH Haryo Mataram juga tidak hadir.92
GPH Dipokusumo saat
itu mengecam biworo yang disampaikan tidak memiliki landasan hukum yang
kuat. Selain tanpa ada persetujuan dari ketiga pengageng, biworo itu secara tak
langsung telah memutus mekanisme musyawarah di tingkat keluarga yang terus
digelar. Biworo yang berkop lambang Radya Laksana Keraton Kasunanan itu pun
dianggap tidak sah karena tak ada institusi resmi yang menandatanganinya.93
KGPH Puger menjelaskan bahwa ketidakhadiran ketiga pengageng sebab
ada miss comunication dikarenakan masing-masing pengageng sudah mendapat
tugas untuk mesosialisasikan hasil rapat kepada seluruh sentana dalem yang
tinggal di Jakarta. Ia membantah telah terjadi perpecahan dalam keluarga keraton.
Ketidakhadiran ketiga pengageng dan sebagian besar sentana dalem juga tidak
berpengaruh terhadap keputusan, karena yang mereka lakukan sudah sesuai
dengan ketentuan adat.94
92
Harian Solopos, Jumat 25 Juni 2004. 93
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat. 94
Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy
Pradapaningrum 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat.
64
GPH Dipokusumo sebagai juru bicara pengageng membenarkan bahwa
ketiga pengageng tengah mensosialisasikan hasil rapat terhadap seluruh sentana
dalem yang ada di luar keraton khususnya di Jakarta. Namun tidak pada
menyampaikan keputusan bahwa KGPH Hangabehilah yang akhirnya naik
sebagai raja, tapi langkah apa yang semestinya ditempuh selanjutnya untuk
menyelamatkan keraton. Dalam rapat-rapat sebelumnya, KGPH Tedjowulan
menyarankan bagaimana jika keraton tetap pada naluri tradisi dengan menunjuk
KGPH Hangabehi sebagai raja. Namun seluruh sentana dalem di luar saudara
kandung KGPH Hangabehi menolak karena sosok KGPH Hangabehi dinilai tidak
akan membawa kemajuan bagi keraton, mereka masih butuh waktu untuk berpikir
karena hal ini menyangkut wibawa dan kehormatan keraton untuk masa-masa
mendatang.95
Hingga akhirnya keluarga KGPH Hangabehi melakukan
pengukuhan lebih dulu karena naluri untuk mengikuti tradisi tidak perlu ditunda
terlalu lama.
Munculnya pro kontra terhadap suksesi keraton memunculkan forum yang
mengatas-namakan “Forum Bela Raos Abdi Dalem”. Forum ini dideklarasikan
pada Kamis 15 Juli 2014 di Wisma Niekmat Rasa Surakarta sebagai wujud
kepedulian mereka terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan
kelompok eksternal struktural keraton, seperti Brayat Ageng Surakarta, Trah
Gagatan Surakarta, Paguyuban Lesanpura Surakarta, Paguyuban Mekar Kusuma
Surakarta serta Penghayat Kepercayaan Surakarta. Mereka menggunakan dasar
substansi surat PB XII kepada Menteri Dalam Negeri no. 233/N tertanggal 12
95
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.
65
Agustus 1958, serta wulangdalem Paku Buwono IV yang tertulis dalam kitab
Serat Wulangreh yang intinya konsep manunggaling kawula gusti atau bersatunya
raja dan rakyat dalam sejarah perjalanan dinasti kerajaan Mataram perlu
dipertimbangkan dalam penetapan raja, di mana legitimasi kekuasaan juga harus
mendapatkan dukungan dari kalangan abdi dalem dan tidak bisa mutlak
diputuskan oleh putra-putri raja saja. Mereka ingin pengganti PB XII harus
memiliki kapabilitas dan kualitas sesuai dengan kondisi zaman.96
Forum Bela Raos Abdi Dalem dan sentana dalem yang menolak penetapan
KGPH Hangabehi, akhirnya mendesak ketiga pengageng untuk membuat
pernyataan. Sampai pada 3 Agustus 2004, dari hasil rapat putra-putri dalem
beserta sentana yang diadakan BRAj Mooryati Soedibyo di Jakarta, ketiga
pengageng secara resmi menolak rencana jumenengan KGPH Hangabehi menjadi
raja yang akan berlangsung pada 10 September 2004. Selain merasa kewenangan
mereka telah dilangkahi, mereka perlu menyelamatkan kehormatan keraton,
karena keraton bukan hanya milik putra-putri raja, tapi juga milik bangsa. Nama
KGPH Tedjowulan yang sering didengungkan di rapat-rapat sebelumnya
dianggap sebagai figur alternatif setelah para sentana tidak menyetujui KGPH
Hangabehi. Sejak saat itu KGPH Tedjowulan terus dipersiapkan menuju
penobatan, hingga pada Jum‟at Legi 27 Agustus 2004, tiga pengageng keraton
resmi mengukuhkan Tedjowulan sebagai pengganti PB XII berdasarkan Surat
Keputusan No Kep/01/2004 yang ditandatangani oleh tiga pengageng. Dan pada
31 Agustus 2004 di Dalem Purnama, Badran, Solo, KGPH Tedjowulan
96
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 126.
66
dinobatkan menjadi “raja rakyat” yang ditandai dengan pengalungan janur oleh
rakyat, melambangkan perjuangan dan wujud konsep manunggaling kawula gusti
atau bersatunya raja dengan rakyat. Upacara diawali dengan sungkeman KGPH
Tedjowulan kepada ibundanya, KRAy Retnodiningrum serta dua kakak tirinya,
KGPH Hadiprabowo dan GKR Alit. Setelah itu dibacakan surat keputusan No
Kep/01/2004 oleh KGPH Hadiprabowo, dilanjutkan pengucapan atas nama Tuhan
dan leluhur untuk menjadi putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom Hamengkunagoro Sudibyarajaputra Narendra Ing Mataram.
Setelah bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Tedjowulan
menyampaikan pidato singkat, yang intinya telah menggantikan PB XII sebagai
PB XIII bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku
Buwono XIII Khalifatullah Ing Tanah Jawi.97
Penetapan KGPH Tedjowulan secara otomatis memang mendahului rencana
pengangkatan KGPH Hangabehi sebagai putra mahkota. Pasalnya, dalam
penyampaian biworo pada Kamis, 24 Juni 2004, KGPH Hangabehi belum
bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Biworo yang disampaikan
KGPH Kusumayudha hanya menetapkan pengganti PB XII tanpa menyebut
sebagai putra mahkota. Gelar Kangjeng Gusti Adipati Anom sendiri baru akan
dilaksanakan menjelang jumenengan pada 10 September di Krobongan Dalem
Prabasuyasa.98
Jumenengan di dalam tembok Keraton Surakarta Hadiningrat akhirnya
diselenggarakan pada 10 September 2004 di Krobongan Dalem Agung
97
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 147. 98
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 150.
67
Prabasuyasa. Diawali tari Bedaya Ketawang, KGPH Hangabehi menyampaikan
pidato singkatnya yang intinya ia telah menggantikan PB XII bergelar Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan PB XIII Khalifatullah Ing Tanah
Jawi.99
Sejak saat itu, Keraton Surakarta Hadiningrat diduduki oleh dua raja. PB
XIII Hangabehi dari dalam keraton, serta PB XIII Tedjowulan dari luar tembok
keraton. Tidak ada kesepakatan atau kontrak politik di antara mereka, yang ada
rivalitas yang makin menjadi hingga beberapa waktu lamanya. Aksi saling
dukung di antara sentana dalem dan abdi dalem di sekitar keraton pun mulai
terlihat. Ada di antara mereka yang tidak diperkenankan lagi memasuki tembok
keraton. Pintu untuk mereka telah ditutup rapat-rapat.
Menanggapi tindakan Tedjowulan yang menjadi raja di luar keraton, KGPH
Puger menanggapi Tedjowulan dan para pendukungnya telah kehilangan
kesadarannya sebagai trah penguasa Mataram. Mereka telah melanggar apa yang
telah ditetapkan sejak dahulu kala. Jika ada pengganti raja yang dianggap kurang
mampu, seharusnya saudara-saudaranya siap membantu di garis terdepan. Bukan
malah mendobrak tradisi. Sekalipun misalnya PB XII menuliskan surat wasiat
bahwa yang akan menggantikannya harus putra yang paling cakap dan pintar, hal
itu tidak bisa diterima karena bertentangan dengan angger-angger. Dalam agama
ahli waris sudah tidak bisa dinegosiasi. Ketetapan agama dan adat tidak boleh
99
Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 154.
68
diganggu-gugat dengan alasan apapun. Ia yang telah menodainya berarti telah
menghina Tuhan dan leluhur.100
Sebenarnya perlu diketahui sejauh apa ketiga pengageng memiliki
kewenangan. Apakah mereka adalah lembaga yang memiliki kewenangan
membuat surat keputusan atau tidak. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat tugas dari
lembaga-lembaga berikut ini:101
1. Parentah Keraton
Dipimpin seorang pengageng, lembaga ini membawahi 3 sub bidang, yakni
Sitoradyo (Sekretariat), Marduyagnyo (Pemerintahan), dan Pantiwardoyo
(Perbendaharaan), yang masing-masing juga diketuai seorang pengageng.
a. Sitoradyo, tugas-tugasnya meliputi: personalia dan ganjaran,
pesanggrahan dan rumah-rumah milik raja, kesehatan, dan ekspedisi
(pengiriman surat-surat umum).
b. Marduragnyo, bertanggung jawab atas: urusan umum, pranatan
(peraturan-peraturan keraton), pengawasan (wismayana), keamanan
keraton, dan kebersihan lingkungan keraton.
c. Pantiwardoyo, mengelola: anggaran keuangan, potongan gaji, pensiunan
abdi dalem dan janda abdi dalem, dan kas keraton.
2. Parentah Keputren, bertanggung jawab atas kegiatan: sesaji dan dapur
keraton, bedaya (wanita penari), pesinden atau waranggana, reksawanita
(semacam polisi wanita keraton, dan jururawat.
100
Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy
Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. 101
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 310.
69
3. Kasentanan, urusan pekerjaannya meliputi:
a. Segala urusan yang menyangkut keperluan putra-putra raja.
b. Menyelenggarakan surat-surat keputusan yang berkaitan dengan
kepentingan putra-putra raja.
Dilihat dari struktur dan pembagian beban tanggung jawab, kedudukan
Parentah Keraton dapat dikatakan paling pokok. Namun lembaga ini hanya
semata mengelola teknis adminstratif kerumahtanggaan keraton.102
Tidak ada
tugas pokok yang menyebutkan parentah keraton dan kedua lembaga lainnya
memiliki wewenang untuk membuat surat keputusan yang berkenaan dengan
proses pengesahan seorang raja. Masa PB XI dan sebelumnya raja disahkan oleh
Pemerintah Belanda, kemudian PB XII disahkan oleh Presiden Soekarno pada
saat naik takhta. Ketiga pengageng sebagai lembaga rumah tangga keraton
harusnya juga memiliki inisiatif untuk meminta legitimasi dari pemerintah pusat
bila ingin calon raja yang diusungnya dikatakan legal secara hukum.
Begitu pula dengan kubu yang melakukan penobatan di dalam keraton.
Jangankan pemerintah pusat, pemerintah keraton saja tidak satu pun yang
mendukung mereka. Mereka tidak memperkenankan kubu yang terlibat dalam
penobatan kubu seberang untuk ikut masuk ke dalam keraton. Penobatan hanya
dilakukan oleh saudara-saudara kandungnya sendiri juga abdi dalem setianya.
Kunci mereka ada pada wasiat PB XII bahwa apa yang diwasiatkan PB XII sudah
jelas. Meskipun proses pengesahan wasiat itu memang akan terus dipertanyakan.
Kubu PB XIII Hangabehi seharusnya tidak gegabah mengumumkan surat wasiat
102
Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 312.
70
dan biworo Hangabehi yang akhirnya menjadi raja. Hal itu terbukti menjadi cikal
bakal kemelut dengan seluruh sentana dalem keraton. Kubu Hangabehi bisa lebih
bersabar dengan tetap pada kesepakatan rapat-rapat sebelumnya dengan tiga
pengageng bahwa masih banyak yang perlu dimusyawarahkan.
Kedua kubu ini telah mencapai apa yang dikatakan Machiavelli: the end
justifies the mean (tujuan menghalalkan cara).103
Masing-masing dari mereka
bertujuan merebut kekuasaan sebagai raja. Namun cara-cara yang ditempuh secara
inskontitusional. Jika memang tidak ada cara yang mengaturnya, satu-satunya
jalan adalah kembali kepada jalan musyawarah hingga mendapat titik temu.
Karena negara dalam hal ini tidak mempunyai hak untuk ikut campur masalah
internal keraton. Adalah kewajiban keraton untuk membuat undang-undang resmi
yang secara khusus membahas tata cara suksesi jika keadaannya seorang raja tidak
memiliki seorang permaisuri.
D. Implikasi Konflik Terhadap Kehidupan Keraton
1. Perpecahan Sentana Dalem Keraton
Perseteruan di Keraton Surakarta Hadiningrat antara kubu PB XIII
Hangabehi dengan PB XIII Tedjowulan tak kunjung menemukan jalan keluar,
bahkan terkesan kian tajam. Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta GKR
Koes Moertiyah melakukan “pembersihan” terhadap mereka-mereka yang
berpihak kepada PB XIII Tedjowulan. Menurutnya pembersihan itu dilakukan
guna menjaga keharmonisan dalem keraton. Ia yang mendapat sanksi itu ialah
103
Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, terj. C. Woekirsari, xxxi.
71
putra Pengageng Parentah Keputren GKR Alit, Bandara Raden Mas (BRM)
Wisnu Suryo Wandoro. Menurut suami GKR Koes Moertiyah, KP Edy
Wirabumi, ada tiga alasan mengapa BRM Wisnu diperintahkan meninggalkan
keraton. Pertama, untuk menegakkan konvensi adat di mana keputren merupakan
tempat tinggal kaum putri bangsawan Keraton. BRM Wisnu sendiri adalah
seorang lelaki dan usianya sudah 30 tahun pada saat itu. Sudah sepantasnya ia
tidak tinggal di dalam keputren. Kedua, ibu kandungnya, GKR Alit secara adat
juga dinyatakan telah keluar dari komunitas keluarga besar Keraton Surakarta
Hadiningrat karena melakukan penobatan raja di luar keraton dengan mengangkat
KGPH Tedjowulan, Agustus 2004 silam. Ketiga, ia sering keluar-masuk
kompleks keraton dengan tidak melalui pintu utama, namun lewat pagar belakang
keraton. Tindakan tersebut tentu dikhawatirkan bisa menimbulkan gangguan
keamanan di dalam Keraton. BRM Wisnu, menurut penjelasan GPH
Suryowicaksono, memang sengaja tinggal di tembok keraton untuk membantu
ibunya menjaga aset-aset keraton, seperti tempat penyimpanan pusaka. BRM
Wisnu sendiri bersedia untuk tinggal di dalam keraton menggantikan ibunya
karena ibunya sudah tidak tinggal lagi di dalam tembok keraton.104
Tugas GKR Alit sebagai penjaga aset dan pusaka keraton rawan untuk
dipolitisasi oleh pihak yang merasa berkuasa. Tidak tinggalnya GKR Alit di
dalam keraton dan diusir putranya dari dalam keraton akan membuat pihak dalem
keraton makin leluasa menguasai aset-aset dan pusaka yang ada di keraton. Apa
lagi beberapa waktu kemudian GKR Alit beserta putranya mendatangi keraton
104
Harian Solopos, Sabtu 29 Januari 2005.
72
untuk mengecek keberadaan benda-benda pusaka yang dikabarkan hilang.
Kekhawatiran itu dipicu oleh kabar dari abdi dalem bahwa ada pengrusakan
gembok tempat penyimpanan pusaka, sedangkan kuncinya sendiri masih ada
padanya, yang mana kewenangan itu sudah ia dapatkan sejak PB XII masih hidup.
Usahanya untuk mengecek keberadaan pusaka itu ditolak oleh juru bicara
PB XIII Hangabehi, KP Satryo Hadinagoro. Menurutnya ia ingin menerima
kedatangan GKR Alit berserta putranya saja. Namun yang terlihat saat itu ia
didampingi KP Padmokusumo, KP Gempol, GRAy Koes Raspiyah, dan GPH
Suryowicaksono. Saat itu juga terlihat beberapa sentana dan abdi dalem
pendukung PB XIII Tedjowulan. Kedatangan GKR Alit saat itu menjadi momen
bagi pendukung PB XIII Tedjowulan untuk mencoba memasuki keraton,
jumlahnya sekitar seratusan orang yang tak hanya berasal dari Solo, tapi juga
Sukoharjo, Pati, Kudus, Jepara, dan Yogyakarta. Dikhawatirkan terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan, pihak Kapolresta Solo akhirnya menyebarkan 40
personelnya di sekitar keraton sehingga situasi tetap kondusif sampai mereka
membubarkan diri.105
Di antara sentana dalem pendukung PB XIII Tedjowulan yang terlihat ikut
dalam aksi bersama GKR Alit ialah GRAy Koes Ismaniyah. Hal itu membuat
gerah pihak keraton karena sampai saat itu ia masih tinggal di dalam keputren.
Akhirnya nasib serupa yang dialami BRM Suryo juga dialami GRAy Koes
105
Harian Solopos, Rabu 21 Agustus 2005.
73
Ismaniyah. Melalui Pengageng Sasana Wilapa GKR Koes Moertiyah, GRAy
Koes Ismaniyah diberikan surat untuk segera pergi meninggalkan keraton.106
Kekisruhan tidak semata pengusiran sentana dalem keraton, tapi juga
sampai adu kontak fisik di antara mereka. Diawali aksi unjuk rasa ratusan warga
Baluwarti yang menuntut penyelesaian konflik dua raja di Keraton, PB XIII
Tedjowulan bersama para pendukungnya datang mendobrak pagar Kamandungan.
Situasi semakin panas saat rombongan GPH Suryowicaksono juga menjebol pintu
Sasana Putra yang berada di barat Kori Kamandungan. Begitu pintu Kori
Kamandungan dibuka dari dalam, Tedjowulan menuju Bangsal Sri Manganti dan
duduk di sana bersama istri dan Padmokusumo serta Praptokusumo. Sementara
para pendukungnya memagari keempat orang tersebut. Setelah itu, masuklah adik
PB XIII Hangabehi GRAy Koes Indriyah didampingi beberapa kerabat, sambil
memaki-maki PB XIII Tedjowulan. Bahkan dia sempat bersitegang dan meludahi
GPH Suryowicaksono. Putra-putri PB XII beda ibu tersebut sempat saling pukul.
Setelah GRAy Koes Indriyah, muncullah BRM Suryo Herbanu (putra GRAy
Koes Isbandiyah) yang mengejar dan berusaha memukul GPH Suryowicaksono,
namun berhasil dilerai aparat kepolisian. Selanjutnya GRAy Koes Indriyah duduk
di Bangsal Smarakata sambil terus menangis dan memaki-maki PB XIII
Tedjowulan.107
PB XIII Tedjowulan memberikan pernyataan terkait aksinya tersebut.
menurutnya, kedatangannya ke keraton untuk bertemu dengan PB XIII Hangabehi
106
Harian Solopos, Senin 5 September 2005. 107
Harian Solopos, Selasa 30 Agustus 2005.
74
guna menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan. Namun sambutan yang di
dapat tidaklah seperti yang diharapkan.108
Peristiwa pengusiran sentana dalem, laporan hilangnya pusaka keraton, serta
pendukung PB XIII Tedjowulan yang berusaha menjebol tembok keraton menjadi
episode berikutnya sejak kasus suksesi keraton beberapa waktu silam. Kubu PB
XIII Hangabehi tidak ingin mengambil risiko akan adanya “penumpang gelap” di
dalam tembok Keraton Surakarta Hadiningrat. Mereka tak segan mengusir siapa
saja dari dalam keraton yang mendukung PB XIII Tedjowulan meskipun ia putra
PB XII.
2. Terhentinya Dana Hibah
Perseteruan kedua “raja kembar” itu berdampak juga pada kelangsungan
hidup keraton yang lebih banyak bergantung pada pemerintah daerah. Berbagai
bantuan untuk perawatan dan pengembangan budaya yang selama ini diterima,
baik dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah maupun Pemerintah Kota
(Pemkot) Solo, menjadi terhenti. Pemprov dan Pemkot selalu meminta agar
persoalan dua raja itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum dana bantuan dapat
dicairkan.109
Perlu diketahui besarnya dana hibah yang diberikan Pemkot Solo
adalah sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun dan dari
Pemprov Jawa Tengah sebesar Rp. 1.200.000.000,- (satu miliar dua ratus juta) per
tahun. Sejak konflik, dana hibah keraton dapat dicairkan hingga tahun 2010 lalu.
108
Harian Solopos, Minggu 4 September 2005. 109
http://alimu.staff.ipb.ac.id/2010/12/02/berebut-takhta-setelah-raja-tiada/, diakses pada 14
Februari 2014.
75
Namun, karena tidak ada kejelasan laporan pertanggungjawaban penggunaannya,
dana hibah mulai tahun 2011 tidak bisa dicairkan.110
Guna dana hibah itu sendiri untuk menjalani peringatan yang wajib
dilaksanakan Keraton Surakarta Hadiningrat, seperti Jumenengan, Kirab Pusaka,
Grebeg Maulud, Selikuran, dan Grebeg Pasa, juga untuk pemeliharaan lingkungan
dan pusaka yang dimiliki keraton. Pihak yang menerima dan mengelola adalah
pihak PB XIII Hangabehi yang berdiam di dalam tembok keraton. Keputusan
Pemkot dan Pemprov untuk menghentikan sementara dana hibah bukan saja
karena ada dua raja yang berseteru dan sama-sama mengklaim diri sebagai raja
sesungguhnya. Tapi di internal PB XIII Hangabehi, terjadi perseteruan di antara
mereka mengenai siapakah yang berhak menandatangani pencairan dana tersebut.
Apakah Sinuhun PB XIII Hangabehi sendiri atau Pengageng Sasana Wilapa
sebagai lembaga administrasi keuangan keraton yang dijabat oleh GKR Koes
Moertiyah sejak PB XIII Hangabehi berkuasa, dan lembaga itu adalah lembaga
yang selalu mengajukan proposal dana ke Pemkot dan Pemprov.111
Desas-
desusnya pengelolaan dana yang dilakukan Sasana Wilapa tidak transparan dan
dilakukan secara sepihak. PB XIII Hangabehi selaku pucuk pimpinan keraton
tidak dilibatkan. Ia yang merasa tersinggung karena kewenangannya dilangkahi
akhirnya mengajukan bantuan dana hibah ke Pemerintah Kota Solo pada tahun
2010 lalu untuk tahun anggaran 2011 atas nama PB XIII, bukan lagi Sasana
Wilapa seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga tetap dilakukan Sasana
110
http://jogja.tribunnews.com/2012/05/29/dewan-evaluasi-penganggaran-dana-hibah-
keraton/, diakses pada 14 Februari 2014. 111
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kabut-tebal-masih-menggelayuti-keraton-
63082.html, diakses pada 14 Februari 2014.
76
Wilapa di periode yang sama. Pemkot Solo yang sebelumnya selalu mencairkan
dana hibah ke Sasana Wilapa, akhirnya mencairkan dana hibah ke PB XIII
Hangabehi. Namun setelah itu PB XIII Hangabehi juga tidak memberikan laporan
pertanggung-jawaban, sehingga sejak saat itu dana hibah dari Pemkot Solo dan
Pemprov Jateng menjadi terhenti.112
Memang sudah sepatutnya bila pemerintah memberikan dana meskipun itu
hibah, tetap harus ada laporan pertanggung-jawabannya. Karena ketika mereka
sudah membuat anggaran, alur ke mana dana itu akan mengalir sudah ada, dan
mereka juga harus bertanggung jawab untuk itu.113
Dengan demikian langkah
pemerintah untuk menghentikan sementara alokasi dana hibah sudah tepat.
Pemerintah tidak lagi mencairkan dana untuk Sasana Wilapa atau pun PB XIII
Hangabehi karena keduanya tidak bisa memberi laporan pertanggungjawaban.
Penundaan itu juga mempunyai maksud dari pemerintah agar manajemen keraton
diperbaiki terlebih dahulu baru dana hibah itu akan dapat dicairkan kembali.
Sejak terhentinya dana hibah itu, pihak keraton melalui GKR Koes
Moertiyah berusaha mencari dana bantuan ke UNESCO (United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organitation). Keputusan keraton
mengajukan bantuan ke lembaga di bawah naungan PBB adalah demi kelestarian
keraton. Mereka geram pemerintah tak kunjung mencairkan dana. GKR Koes
Moertiyah menegaskan Keraton Surakarta Hadiningrat selama ini mempunyai
andil besar terhadap pemerintah. Namun keberadaan keraton seolah tidak
112
http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/hangabehi-Moertiyah-rebutan-dana-
79218.html, diakses pada 14 Februari 2014. 113
Wawancara dengan Redaktur Senior Harian Solopos, Mulyanto Utomo, 21 Januari
2014, di Kantor Harian Solopos.
77
dihargai. Hal itu diketahui dari keengganan pemerintah yang tak kunjung
mengucurkan dana hibah kepada keraton.114
Namun menurut Ketua Pusat Studi Kawasan UMS, Mohammad Toha
Rudin, butuh enam bulan bagi keraton untuk proses pengajuan karena ada ratusan
cagar budaya dunia yang diajukan ke UNESCO. Ia menambahkan persyaratan
yang harus dipenuhi juga cukup sulit, antara lain legalitas dari pemerintah sebagai
situs cagar budaya serta deskripsi mengenai sejarah keraton dari awal berdiri
hingga sekarang. Jika kelak keraton dinyatakan lolos, keraton tidak perlu lagi
mengharap dana hibah dari pemerintah. Sebab UNESCO akan membantu dalam
bentuk pembenahan fisik, bukan materi, di mana kisarannya bisa mencapai
miliaran rupiah.115
GPH Dipokusumo menjelaskan sejak terhentinya sementara dana hibah dari
pemerintah, seluruh sentana dalem dan kerabat keraton “patungan” untuk
membiayai seluruh kegiatan keraton dan menggaji para abdi dalem yang
berjumlah 518 orang. Mengakomodir seluruh kegiatan yang ada di keraton tanpa
bantuan pemerintah memang butuh dana besar, namun sudah diperingatkan oleh
para budayawan, jika tradisi-tradisi itu sampai hilang, untuk menghidupkannya
kembali tentu lebih mahal.116
Baik Sasana Wilapa maupun PB XIII Hangabehi mempunyai motivasi
masing-masing terhadap tindakan mereka. Menurut hemat penulis, Pengageng
114
http://www.solopos.com/2013/03/12/dana-hibah-geram-dana-hibah-tak-cair-keraton-
ajukan-bantuan-ke-unesco-387074, diakses pada 14 Februari 2014. 115
http://www.soloblitz.co.id/2013/03/16/keraton-butuh-6-bulan-untuk-ajukan-dana-ke-
unesco/, diakses pada 14 Februari 2014. 116
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.
78
Sasana Wilapa, GKR Koes Moertiyah merasa sudah berhasil memenangkan kakak
kandungnya sendiri PB XIII Hangabehi untuk menjadi raja di dalem Keraton
Surakarta Hadiningrat. Oleh karenanya ia merasa perlu meminta kewenangan
lebih dengan mengelola sendiri dana hibah dari pemerintah. Tak menutup
kemungkinan ia ingin lebih berwenang dalam segala hal dengan meminta PB XIII
Hangabehi tetap “diam”. Di satu sisi PB XIII Hangabehi sebagai seorang raja juga
ingin “menikmati” wewenangnya sebagai penguasa tertinggi di keraton. Ia tidak
ingin terus tunduk pada adik kandungnya sendiri, sehingga berinisiatif
menggunakan legitimasinya dengan mengajukan dana hibah atas nama Raja
Keraton Surakarta Hadiningrat.
Masing-masing pihak yang bersangkutan yaitu Lembaga Sasana Wilapa dan
PB XIII Hangabehi seharusnya bisa bersikap layaknya seorang birokrat
tradisional yang bertanggung jawab dan bijaksana. Jika mereka telah dipercaya
untuk mengelola dana hibah untuk kepentingan keraton, mereka harus memiliki
keberanian untuk mempertanggungjawabkan laporannya. Anggota kabinet dalam
hal ini Sasana Wilapa juga tidak seharusnya bersikap egois dengan melampaui
kewenangan raja. Mereka seharusnya bekerja sama dan taat terhadap makna
Sabda Pandhita Ratu (perkataan raja harus ditaati). PB XIII Hangabehi pun juga
harus menjaga wibawanya sebagai seorang raja dengan tidak gegabah melakukan
hal serupa. Semua ini demi kehormatan mereka atas nama pribadi dan atas nama
keturunan penguasa Mataram yang masih tersisa di era modern.
3. Pemberian Gelar di Keraton Surakarta Hadiningrat: Benarkah Diperjual
Belikan?
79
Gejolak konflik yang terjadi telah melahirkan fenomena baru di Keraton
Surakarta Hadiningrat. Pemberian gelar kebangsawanan kepada sejumlah kerabat
dipertanyakan. Hal itu didasari dengan asumsi bahwa gelar telah diberikan kepada
orang yang kurang tepat.
Menurut Pangeran sepuh Keraton Surakarta Hadiningrat KP Panji Wijaya
Adiningrat, ada dua jenis gelar yang diberikan pihak keraton, yaitu gelar
kasentanan dan gelar kekerabatan. Gelar kasentanan adalah gelar untuk mereka
yang masih mempunyai keturunan secara genetik dari Raja Keraton Surakarta
Hadiningrat, dan gelar kekerabatan adalah gelar bagi mereka yang dianggap
mempunyai jasa terhadap keraton.117
Untuk gelar kekerabatan, keraton pernah
memberikannya kepada sejumlah public figure, diantaranya: Syahrini dengan
gelar Kangjeng Mas Ayu Syahrini, Rossa dengan gelar Kangjeng Mas Ayu
Tumenggung Sri Rossa Swara Kaloka, dan Julia Perez dengan gelar Nimas Ayu
Tumenggung Yuli Rachmawati.118
Alasan mengapa gelar itu diberikan kepada
mereka adalah karena mereka dianggap telah mengharumkan nama Indonesia
dalam bidangnya masing-masing.
Namun yang jadi pertanyaan, apakah mereka yang menerima gelar itu telah
banyak berjasa terhadap kelestarian budaya Jawa dan Keraton Surakarta
Hadiningrat? Secara khusus tidak ada di antara public figure yang disebutkan
penulis pernah mengharumkan Keraton Surakarta Hadiningrat ataupun adat
117
http://www.soloblitz.co.id/2013/01/09/pemberian-gelar-harus-di-keraton-tanpa-jual-
beli/, diakses pada 12 April 2014. 118
http://www.timlo.net/baca/2997/syahrini-dan-julia-perez-peroleh-gelar-kehormatan/,
diakses pada 15 April 2014.
80
budaya Jawa di kancah internasional. Bahkan tidak ada yang bisa memberikan
sumbangsih untuk membuat nama Keraton Surakarta Hadiningrat semakin
terhormat di tengah gejolak konflik yang terjadi. Ketua Dewan Kesenian
Surakarta KRT Murtidjono terus terang mengatakan sudah terjadi pergeseran
fungsional di keraton, bila dulu keraton menjadi lembaga adat dan budaya, saat ini
dkhawatirkan telah bergeser menjadi institusi yang bertindak komersial.119
Semula, berbagai pihak memang masih menerka-nerka ada apa di balik
pemberian gelar tersebut. Apakah murni sudah melalui mekanisme baku dengan
penyeleksian secara ketat yang dilakukan oleh pejabat keraton, atau memang
benar ada imbalan yang harus diberikan oleh orang yang menerima gelar. Dugaan
yang kedua belum bisa dibuktikan kebenarannya, karena di samping tidak ada
bukti yang cukup kuat, pihak keraton sendiri tidak pernah membenarkan adanya
praktik jual beli gelar di keraton.
Namun, isu jual beli gelar di Keraton Surakarta Hadiningrat sedikit terkuak,
dengan adanya gugatan dari seorang laki-laki berkewarganegaraan Malaysia
bernama Lim Kim Ming, yang merasa telah ditipu oleh seorang kerabat keraton.
Ia merasa gelar kebangsawanan Kangjeng Pangeran (KP) yang telah diterimanya
palsu, bukan gelar yang resmi disahkan oleh PB XIII Hangabehi. Padahal menurut
pengakuannya, ia telah menghabiskan dana sebesar Rp. 200.000.000,- untuk gelar
kebangsawanan itu. Kerabat keraton yang tak lain adalah orang terdekat PB XIII
Hangabehi, KPH Hari Sulistyono Sosronagoro, telah dilaporkan secara resmi oleh
119
http://www.detikpos.net/2009/07/gelar-keraton-solo-untuk-manohara.html, diakses pada
14 April 2014.
81
Lim Kim Ming ke Kapolresta Surakarta.120
Di sisi lain, pihak keraton tidak terima
dengan gugatan itu, KPH Hari Sulistyono Sosronagoro justru menggugat balik
Lim Kim Ming atas dugaan yang sama, menjual gelar palsu terhadap sejumlah
pengusaha di Malaysia atas nama raja Keraton Surakarta Hadiningrat, PB XIII
Hangabehi.121
Namun pasca pelaporan kedua belah pihak, kasus ini tidak terlihat
bagaimana kelanjutannya, apakah kedua belah pihak telah bersepakat untuk tidak
melanjutkannya ke jalur hukum atau bagaimana. Tapi yang jelas, indikasi jual beli
gelar yang dapat “dinikmati” abdi dalem telah menimbulkan spekulasi bahwa
praktik jual beli gelar ini telah menjadi rahasia bersama di antara sentana dalem
dan abdi dalem keraton.
Terlepas dari pro kontra apakah gelar yang didapatkan murni karena jasa
atau tidak, penulis ingin mengutip artikel yang ditulis oleh sejarawan Universitas
Gadjah Mada, Heri Priyatmoko, yang berjudul “Mendadak Priyayi”122
. Priyayi
merupakan elit pegawai negeri yang ujung akar-akarnya terletak pada keraton
Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket
keraton yang halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara,
musik, sastra, serta mistisisme Hindu. Gelar kebangsawanan yang diperoleh para
priyayi tidak harus didapatkan melalui keturunan, apakah ia anak seorang bupati
atau pejabat tinggi kerajaan lainnya. Mereka yang berasal dari rakyat kebanyakan
pun dapat menjadi priyayi karena jasa dan kesetiannya pada penguasa. Namun ada
120
http://news.detik.com/read/2013/01/06/153510/2134368/10/tertipu-gelar-palsu-
pengusaha-malaysia-polisikan-kerabat-keraton-solo, diakses pada 15 April 2014. 121
http://news.detik.com/read/2013/01/11/182120/2140065/10/2/digugat-soal-jual-beli-
gelar-keraton-solo-ancam-gugat-balik-wn-malaysia, diakses pada 15 April 2014. 122
http://kabutinstitut.blogspot.com/2010/01/mendadak-priyayi.html, diakses pada 15 April
2014.
82
tahap yang mesti ditempuh, yaitu suwita (mengabdi) dan magang. Dalam tahap ini
mereka diajarkan kebudayaan priyayi seperti pusaka, kesusastraan, tari, dan
gamelan. Simbol status ini menjadi diferensiasi di kalangan masyarakat biasa
bahwa ia memiliki derajat lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya. Saat ini
justru kebalikannya, gelar prestisius yang masa lalu didapatkan melalui suwita
dan magang, kini bisa didapat secara prematur.
Bila kembali berkaca terhadap konflik yang terjadi, keraton tengah
mengalami “puasa kucuran dana” dari pemerintah akibat konflik dan manajemen
yang kurang baik. Hal ini membuat keraton kehilangan sumber pendapatannya
yang biasa digunakan untuk pemeliharaan keraton, gaji abdi dalem, dan kegiatan-
kegiatan spiritual keraton yang rutin dilaksanakan. Sehingga perlu bagi keraton
untuk mencari aliran dana lain guna mempertahankan keraton agar tetap survive
dalam melanggengkan tradisi. Tidaklah cukup bila hanya mengandalkan
“patungan” dari seluruh sentana dalem (seperti yang diungkapkan GPH
Dipokusumo) dan pariwisata keraton untuk membiayai seluruh kebutuhan keraton
yang tidak sedikit jumlahnya. Maka tidak menutup kemungkinan, pemberian gelar
dengan “imbalan” telah menjadi legitimasi tersembunyi diantara seluruh kerabat
keraton.
Heri Priyatmoko menyarankan agar keraton tidak mengambil jalan tengah
untuk mendapatkan dana dengan cara menjual gelar. Jika keraton tetap bersikeras
mengumpulkan dana dengan cara menjual gelar, itu sama saja dengan mencoreng
83
muka sendiri.123
Maka sudah seharusnya mekanisme pemberian gelar
dikembalikan ke jalur yang tepat. Jika ingin mencari orang yang layak diberikan
penghargaan, mereka yang telah mengharumkan nama bangsa-lah yang patut
diapresiasi, yaitu bagi pemuda-pemudi yang telah banyak berkontribusi di bidang
budaya, pendidikan, dan olahraga di dunia internasional. Apa lagi sebagai pihak
yang berkuasa di dalem keraton, keniscayaan untuk melimpahkan penghargaan
kepada orang yang tepat akan menjadi tolak ukur sejauh mana mereka benar-
benar setia mempertahankan tradisi.
E. Proses Rekonsiliasi Antara PB XIII Hangabehi dan PB XIII
Tedjowulan
Sejak penobatannya, PB XIII Tedjowulan menjadi raja di luar istana.
Menurut pendukungnya ia tetaplah sebagai raja, PB XIII yang sesungguhnya,
meskipun tidak memiliki kewenangan di dalam keraton. PB XIII Tedjowulan
sendiri bukan tanpa upaya untuk berusaha islah dengan pihak istana. Ia sudah
beberapa kali berusaha masuk keraton dan meminta bertemu dengan PB XIII
Hangabehi, namun usaha itu selalu gagal sehingga berujung ontran-ontran yang
terjadi selama bertahun-tahun. Usaha untuk mencari suatu kesepakatan itu bahkan
pernah dilakukan PB XIII Tedjowulan beberapa hari setelah jumenengan PB XIII
Hangabehi. Itu berarti setelah keduanya sama-sama sudah bergelar raja menurut
mereka masing-masing. PB XIII Tedjowulan ingin bertemu dan berembuk secara
pribadi dengan PB XIII Hangabehi. Namun ia selalu sulit untuk bertemu kakak
123
http://joglosemar.co/2013/10/dana-dicoret-keraton-jangan-jual-gelar.html, diakses pada
15 April 2014.
84
tirinya itu. Bila pun ada pihak ketiga, ia tidak yakin pihak ketiga akan bersikap
netral. Ia ingin sesegera mungkin meng-clear-kan masalah yang terjadi. PB XIII
Tedjowulan tidak setuju dengan sebutan “raja kembar”. Karena kembar berarti
identik atau sama. Sedangkan menurutnya tidak ada kesamaan antara dirinya
dengan PB XIII Hangabehi.124
Di sisi lain kubu PB XIII Hangabehi lebih tegas menanggapi istilah tersebut.
Bagi mereka “raja kembar” itu tidak ada, karena raja hanya ada satu, di dalem
Keraton Surakarta Hadiningrat. Oleh karenanya tidak ada kata damai bagi mereka
yang telah menentang adat.125
Meski demikian, PB XIII Tedjowulan tidak menghilangkan cirinya sebagai
seorang raja di luar keraton. Ia tetap menyelenggarakan kegiatan keraton sendiri
bersama para rakyat yang mendukungnya. Salah satunya tradisi Malam Selikuran,
saat PB XIII Hangabehi menyelenggarakan di dalam keraton, PB XIII
Tedjowulan menyelenggarakan di kediamannya, Keraton Badran, Kotabarat,
Solo. Dan itu rutin dilaksanakan di Keraton Badran setiap tahun bersama kegiatan
lainnya.126
PB XIII Tedjowulan menyadari keraton tidak akan mengalami kemajuan
jika tak kunjung ada kerukunan diantara putra-putra PB XII. Kehormatan keraton
akan semakin buruk bagi dunia luar. Perlu langkah yang cukup dewasa dari
dirinya bila ingin kewibawaan keraton kembali lagi. Oleh karenanya, sebagai
saudara yang lebih muda, ia memutuskan untuk mengalah. Langkah itu diapresiasi
124
Harian Solopos, Selasa 14 September 2004. 125
Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy
Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. 126
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/dua-raja-gelar-malem-selikuran-23632.html,
diakses pada 15 Februari 2014.
85
oleh Pemkot Solo. Atas rencananya itu, Pemkot akan menjadi mediator antara
dirinya dengan PB XIII Hangabehi.127
Saat itu Pemkot Solo melalui Joko Widodo melakukan langkah awal yaitu
memfasilitasi pertemuan antara dua pihak di keraton yang berkonflik. Campur
tangan Pemkot, menurut Joko Widodo, tidak salah mengingat Keraton Surakarta
Hadiningrat adalah simbol kebudayaan di Kota Solo. Sehingga pemkot merasa
harus membantu penyelesaian konflik internal Keraton Surakarta Hadiningrat
demi menjaga kelestarian jati diri budaya Kota Solo. Lebih lanjut Joko Widodo
menilai apabila konflik di internal Keraton Surakarta Hadiningrat tidak
diselesaikan, hal itu makin mempersulit keraton dalam upaya memperoleh
bantuan dari pemerintah kota maupun provinsi. Padahal bantuan itu sangat
bermanfaat bagi kepentingan keraton.128
Terkait bagaimana keraton ke depan setelah ada rekonsiliasi, PB XIII
Tedjowulan berharap ia akan menjadi dwitunggal PB XIII Hangabehi. Ia siap
menjadi wakil, patih, atau apapun istilahnya asalkan dapat rukun kembali dengan
PB XIII Hangabehi dan seluruh sentana di dalem keraton. Menanggapi hal itu,
Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Solo, KP Edy Wirabumi, mengaku tak
begitu percaya atas rekonsiliasi yang disampaikan Tedjowulan. Ia menilai
pernyataan Tedjowulan tersebut hanya sepihak dan belum tentu disepakati PB
XIII Hangabehi. Bahkan jika PB XIII Hangabehi bersedia rekonsiliasi dan
menjadikan Tedjowulan sebagai wakilnya, hal itu juga belum bisa serta-merta
disetujui keluarga keraton, oleh karena keraton memiliki aturan yang harus
127
Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan, putra kedua PB XII dari garwa selir kedua,
KRAy Retnodiningrum, 28 Januari 2014, di Hotel Kartika Chandra. 128
Harian Solopos, Senin 19 September 2011.
86
dipatuhi semua keluarga, termasuk raja. Apa lagi Tedjowulan sudah dikeluarkan
dari keraton karena tindakannya yang dinilai makar. Jadi, tidak bisa begitu saja
diampuni lalu kembali ke keraton dan menduduki wakil raja.129
Namun berbagai usaha tak menyurutkan langkah PB XIII Tedjowulan untuk
melakukan proses rekonsiliasi. PB XIII Tedjowulan akhirnya berhasil membuat
kesepakatan dengan PB XIII Hangabehi. Kesepakatan itu tertuang dalam “Nota
Kesepahaman” dan “Maklumat” yang ditandatangani oleh dua raja, yakni PB XIII
Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan, Rabu (16/5/2012), di Hotel Mahakam,
Jakarta. Dengan ditandatanganinya dua dokumen tersebut, kini tidak ada lagi
dualisme raja di Keraton Surakarta Hadiningrat. PB XIII Hangabehi tetap
berkuasa sebagai raja, sementara gelar PB XIII Tedjowulan berubah menjadi
Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung (KGPH PA) Tedjowulan.
Selanjutnya, KGPH PA Tedjowulan akan menempati posisi sebagai Patih atau
Wakil Raja di dalem Keraton Surakarta Hadiningrat.130
Beberapa hari kemudian perdamaian dua raja itu diumumkan secara resmi
di Kota Solo. Di Balaikota Solo, Kamis (25/5/2004), berlangsung silaturahmi Dwi
Tunggal Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Musyawarah Pimpinan
Daerah (Muspida) Solo. Hadir dalam silaturahmi ini PB XIII Hangabehi, KGPH
PA Tedjowulan, Walikota Solo Joko Widodo, serta sejumlah perwakilan Muspida
lainnya. Dalam kesempatan ini, juga dilakukan penandatanganan nota
kesepahaman antara PB XIII Hangabehi dengan KPGH PA Tedjowulan. Mereka
menyepakati pelestarian Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai peninggalan
129
Harian Solopos, Rabu 16 Mei 2012. 130
http://timlo.net/baca/28481/kerabat-keraton-beberkan-isi-rekonsiliasi/, diakses pada 16
Februari 2014.
87
budaya bangsa. Walikota Joko Widodo bertindak sebagai saksi dan memberikan
stampel resmi Walikota di atas nota kesepahaman itu.131
Beberapa hari kemudian, acara peresmian tersebut disambut oleh aksi GKR
Koes Moertiyah bersama ratusan anggota Paguyuban Kawula Keraton Surakarta
(Pakasa) yang menggeruduk kediaman pribadi PB XIII Hangabehi di Sasana
Putra. Mereka berjalan sambil membentangkan spanduk dengan pesan agar PB
XIII Hangabehi lekas kembali ke dalam Keraton dan duduk di singgasana. Selain
itu, mereka juga membawa sejumlah poster berisi penolakan atas hasil rekonsiliasi
antara Hangabehi-Tejdowulan serta penolakan campur tangan pemerintah atas
konflik Keraton.132
KGPH Puger menanggapi kondisi di Keraton Solo saat ini
juga terjadi di berbagai keraton Nusantara. Penyebabnya adalah adanya perbedaan
pandangan mengenai posisi masing-masing. Oleh sebab itulah NKRI seharusnya
bersyukur karena telah mendapat peringatan dari alam mengenai posisi keraton.
Maka untuk bisa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keraton,
pemerintah seharusnya tidak boleh terburu-buru. Pemerintah harus memiliki team
work untuk menentukan posisi masing-masing, menciptakan kesamaan
pemahaman supaya semua pihak bisa saling mengerti. Sebaliknya apabila konflik
ditanggapi dengan saling lempar wacana dan rencana, kemungkinan yang terjadi
hanyalah saling menyakiti serta saling merugikan satu sama lain.133
Seperti apapun tanggapan dari luar, pemerintah tetap melakukan proses
rekonsiliasi. Setelah peresmian di Pemkot Solo, selanjutnya diadakan
131
http://www.solopos.com/2012/05/24/masyarakat-saksikan-proses-rekonsiliasi-raja-
kembar-298111, diakses pada 16 Februari 2014. 132
Harian Solopos, Sabtu 2 Juni 2012. 133
Harian Solopos, Rabu 6 Juni 2012.
88
penandatanganan MoU Rekonsiliasi yang akan ditandatangani oleh Dwitunggal
Keraton Surakarta Hadiningrat dan beberapa pejabat kementerian yang bertempat
di gedung DPR RI. Saat hari yang ditetapkan tiba, GKR Koes Moertiyah sempat
membuat keributan, ia masih terus menghalang-halangi PB XIII Hangabehi untuk
tidak menandatangani kesepakatan. Alasannya ialah kesepakatan rekonsiliasi
tidak pernah ada dalam adat keraton. Ia sebagai dewan adat berhak untuk tidak
menyetujuinya dan mencegah raja PB XIII Hangabehi untuk menandatangani.
Menurutnya PB XIII Hangabehi saat itu sedang kurang sehat dan telah
dipengaruhi banyak pihak agar ia bersedia.134
Namun acara terus berlanjut dan
GKR Koes Moertiyah dapat diamankan ke luar ruangan. Perwakilan kementerian
di antaranya dari Kemendagri dan Kemenbudpar pun menandatangani MoU
tentang rekonsiliasi atas terjadinya konflik Keraton Solo yang sudah berlangsung
delapan tahun. Penandatanganan itu disaksikan oleh Ketua DPR Marzuki Ali,
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, dan Walikota Solo Joko Widodo.135
Proses mendamaikan dua raja yang dimotori oleh Pemkot Solo memang
tidak semulus yang dibayangkan. Saat satu pihak sudah bersedia untuk mengalah
dan melebur dengan raja yang ada di dalam tembok keraton, ada pihak lain yang
dengan tegas tidak menyetujuinya. Artinya, mengalah atau tidak mengalah KGPH
PA Tedjowulan tidak akan diterima kembali di keraton. Tidak mengalah dengan
tetap pada pendirian tidak akan merubah situasi, malah akan semakin
menajamkan permusuhan. Mengalah pun ada sesuatu yang harus ia korbankan,
134
http://www.antaranews.com/berita/314053/gusti-Moertiyah-protes-mou-keraton-
surakarta, diakses pada 18 Februari 2014. 135
http://www.solopos.com/2012/06/04/konflik-keraton-4-mentri-akhirnya-tanda-tangani-
mou-rekonsiliasi-pb-xiii-tedjowulan-191119, diakses pada 18 Februari 2014.
89
gelar seorang raja yang juga sudah diakui oleh para pengikutnya. Namun
setidaknya ada situasi yang dapat ia ubah, terutama dengan PB XIII Hangabehi, ia
dapat kembali berbaikan setelah delapan tahun berseteru.
F. Babak Baru Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat
Bersatunya dua raja telah memberi harapan baru bagi Keraton Surakarta
Hadiningrat. Intrik-intrik, ontran-ontran, saling serang, diharap akan segera usai
pasca rekonsiliasi. Para kedua pendukung kedua belah pihak, sentana dan seluruh
abdi dalem, dapat melebur dalam keharmonisan di dalam tembok keraton yang
keberadaannya begitu dikultuskan oleh masyarakat luas. Namun, kenyataannya
belum seperti yang diharapkan.
Lembaga Dewan Adat keraton, yang dibentuk oleh GKR Koes Moertiyah
pada tahun 2011, beranggotakan KGPH Puger, KP Edy Wirabumi, dan sejumlah
adik kandung PB XIII Hangabehi, menolak rekonsiliasi antara PB XIII Hangabehi
dengan KGPH PA Tedjowulan. Bahkan dengan tegas mereka siap menurunkan
PB XIII Hangabehi dari posisinya sebagai seorang raja dengan beberapa
pertimbangan. Pertama, raja sudah melenceng dari aturan adat sehingga dianggap
lemah dalam memimpin. Kedua, raja dianggap tak bisa menjalankan paugeran
karena faktor kesehatan. Berbagai kekurangan pada diri sang raja membuat
dirinya gagal menjaga martabat keraton. Ketiga, raja telah menyalahgunakan
wewenangnya sebagai pemegang kekuasaan. Raja pernah membeli mobil pribadi
dengan memakai uang hibah dari Pemkot Solo pada tahun 2010, yang sedianya
untuk operasional keraton seperti membayar gaji abdi dalem. Hal-hal inilah yang
90
membuat Lembaga Dewan Adat akhirnya memutuskan menarik mandat
Hangabehi sebagai seorang raja.136
Di lain sisi, PB XIII melalui wakilnya KGPH PA Tedjowulan bereaksi atas
penyanderaan dan pembekuan wewenang yang telah dilontarkan Lembaga Dewan
Adat terhadap PB XIII Hangabehi. Ia malah mempertanyakan bagaimana
Lembaga Dewan Adat dulu bisa berdiri dan sekarang bicara seakan-akan mampu
melengserkan kekuasaan seorang raja. Untuk itu, atas izin PB XIII, ia berencana
mengajukan permintaan kepada Pemkot Solo untuk segera membubarkan
Lembaga Dewan Adat dari struktur Keraton Surakarta Hadiningrat.137
Ini berarti, drama konflik di Keraton Surakarta Hadiningrat telah memasuki
episode baru. Tidak lagi antara kubu PB XIII Hangabehi dengan PB XIII
Tedjowulan. Tapi antara Dwitunggal PB XIII Hangabehi-KGPH PA Tedjowulan
dengan saudara kandung PB XIII Hangabehi sendiri yang mengatasnamakan
Lembaga Dewan Adat. Lembaga Dewan Adat lupa bahwa merekalah yang telah
susah-payah memperjuangkan PB XIII Hangabehi menjadi seorang raja. Atau
lebih tepatnya PB XIII Hangabehi lupa bahwa ia telah diperjuangkan oleh
saudara-saudara kandungnya hingga bisa bertakhta sebagai seorang raja. Timbul
indikasi pemenuhan kepentingan di antara mereka tidak berjalan dengan baik.
Sehingga, menjadikan kawan sebagai lawan adalah salah satu pilihan terbaik.
Bila ditelusuri, saat suksesi PB XIII Hangabehi, GKR Koes Moertiyah
menjabat sebagai Pengageng Sasana Wilapa. Seluruh sentana dalem menolak
136
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=298320:lda-
pecat-raja-keraton-solo&catid=95:nusantara&Itemid=146, diakses pada 19 Februari 2014. 137
http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja-
surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.
91
kenaikkan PB XIII Hangabehi menjadi seorang raja karena kekurangan yang
dimilikinya. Tidak menutup kemungkinan GKR Koes Moertiyah, suami, dan
saudara kandungnya yang lain juga memahami bahwa PB XIII Hangabehi tidak
memiliki leadership yang cukup mumpuni sebagai seorang raja. Namun bila ia
sepakat dengan seluruh sentana untuk menaikkan KGPH PA Tedjowulan, ia dan
saudara-saudaranya tidak akan leluasa bergerak di keraton. Oleh karenanya,
momentum memiliki kakak laki-laki tertua akan dimanfaatkan semaksimal
mungkin hingga apa yang diperjuangkan berhasil. Soal bagaimana PB XIII
Hangabehi tidak memiliki kapabilitas yang cukup dalam memimpin, itu
bagaimana nanti. Apakah terkait ingin menguasai dana hibah dan sejumlah aset
keraton, belum bisa disimpulkan.
Kenyataannya, yang selalu mengajukan dana hibah setiap tahunnya sejak
PB XIII Hangabehi menjabat sebagai raja adalah GKR Koes Moertiyah. Hingga
pada suatu titik, PB XIII Hangabehi merasa perlu menggunakan wewenangnya
terkait dana hibah. Ketika dana itu dicairkan, Pemkot Solo mencairkan kepada PB
XIII Hangabehi, tidak lagi kepada GKR Koes Moertiyah. Dari sanalah
kemungkinan polemik antara saudara kandung itu bermula. Dan pihak GKR Koes
Moertiyah yang kini di bawah nama Lembaga Dewan Adat, baru memunculkan
kasus penyelewengan itu ke permukaan setelah dirasa PB XIII Hangabehi
semakin berbuat serong dari yang sudah ditetapkan. Dalam situasi seperti itu
pilihan ada pada PB XIII Hangabehi, berlindung kepada KGPH PA Tedjowulan
yang sudah meminta maaf dan melebur kepadanya atau tetap menjadi “boneka
kekuasaan” dari adik kandungnya.
92
Sejak saat itulah wacana pembubaran Lembaga Dewan Adat terus
didengungkan. Bahkan warga Baluwarti, masyarakat sekitar keraton yang semula
setia terhadap angger-angger dan dalem Keraton Surakarta Hadiningrat, risih
terhadap keberadaan Lembaga Dewan Adat yang kondisi terakhir selalu membuat
kekisruhan. Dimulai dari melakukan penyanderaan PB XIII Hangabehi, sampai
membuat keributan dalam acara halal bi halal dan penobatan KGPH PA
Tedjowulan sebagai Maha Menteri Keraton Surakarta Hadiningrat.138
KGPH PA
Tedjowulan juga menyebut Lembaga Dewan Adat yang terdaftar sebagai ormas di
Pemkot Solo itu telah menguasai sebagian wilayah Keraton Surakarta. Padahal
seharusnya pengelolaan wilayah Keraton Surakarta sepenuhnya merupakan
wewenang PB XIII selaku raja yang diakui pemerintah. Hal ini menurutnya akan
mengancam keberadaan Keraton Surakarta sebagai situs cagar budaya.139
Menanggapi gugatan Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Walikota Solo
FX Hadi Rudyatmo akan menindaklanjuti keberadaan Lembaga Dewan Adat.
Apakah menyimpang dari perannya sebagai ormas lembaga adat atau tidak, yang
pasti, ia tidak ingin gegabah dengan terburu-buru membubarkan lembaga
tersebut.140
Karena saat ini Lembaga Dewan Adat sudah terdaftar di Kesbangpol
Kota Solo dengan nomor (SKT) No. 220/151/II/2011.141
138
http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja-
surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014. 139
http://www.soloblitz.co.id/2013/11/04/tedjowulan-sinuhun-pb-xiii-telah-bubarkan-
dewan-adat/, diakses pada 19 Februari 2014. 140
http://timlo.net/baca/68719518506/didesak-bubarkan-dewan-adat-walikota-enggan-
buru-buru/, diakses pada 19 Februari 2014. 141
http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/02/22/778355/pemkot-solo-bingung-sikapi-
lembaga-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.
93
Persoalannya, haruskah lembaga itu dibubarkan karena keinginan raja? Bila
ditelusuri mengapa Lembaga Dewan Adat sampail lahir, menurut Pemerhati
Keraton Surakarta Hadiningrat, Eko Ismadi, Lembaga Dewan Adat dibentuk
tahun 2004 namun secara resmi baru didaftarkan di Kesbangpol Kota Solo pada
tahun 2011 oleh GKR Koes Moertiyah. Lembaga Dewan Adat terdiri dari trah
Paku Buwono II sampai putra dan putri PB XII. Tujuan dari dibentuknya
Lembaga Dewan Adat adalah untuk menegakkan dan menjaga kelestarian budaya
dan adat tradisi Jawa sebagai pengemban fungsi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Republik Indonesia. Salah satunya menjalankan ketetapan adat
dengan melaksanakan suksesi sebagaimana mestinya ketika seorang raja wafat.
Maka sesuai namanya Lembaga Dewan Adat sepakat mengangkat Hangabehi
sebagai PB XIII. Sebenarnya dengan adanya dewan adat ini raja lebih kuat. Hanya
saja cara ini tidak menguntungkan semua pihak pada saat itu karena ada kelompok
Tedjowulan yang menyatakan diri sebagai PB XIII.
Dualisme ini menyebabkan perilaku organisasi Lembaga Dewan Adat tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hingga PB XIII Hangabehi menerima
perdamaian dengan KGPH PA Tedjowulan secara sepihak tanpa berkonsultasi
kepada dewan adat dengan mengangkat KGPH Tejdowulan sebagai Mahapatih
dengan gelar Panembahan Agung. Maka keputusan itu dianggap tidak mewadahi
semua kepentingan Trah Keraton Surakarta Hadiningrat yang tergabung dalam
Lembaga Dewan Adat. Yang lebih mengherankan, setelah terjadi perdamaian
94
antara PB XIII Hangabehi dan KGPH PA Tedjowulan, PB XIII Hangabehi malah
berpaling memusuhi dewan adat dan menggandeng Tedjowulan.142
Bila dilihat dari sudut pandang internal keraton, perilaku PB XIII Hangabehi
tidak dibenarkan dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang raja. Seorang raja
ibarat nakhoda dan keraton adalah kapalnya. Maka jika ia ingin berubah haluan ke
mana ia akan menuju, para awak kapal harus disertakan dalam pengambilan
keputusan agar tidak membahayakan seluruh penumpang yang ada di dalam
kapal. Bila nakhoda tidak melibatkan seluruh awaknya, bisa timbul
pemberontakan dari awak kapal bahkan bisa mengambil alih peran nakhoda. Oleh
karenanya segala macam pengambilan keputusan dalam internal keraton sekalipun
itu adalah proses rekonsiliasi, harus mendapat persetujuan dari pemegang adat.
Jika pemegang adat tidak menyetujuinya, rekonsiliasi itu tidak boleh dilakukan
demi menjaga keutuhan internal keraton. Apa lagi alasan pemegang adat dengan
tidak menerima rekonsiliasi karena yang mengajak untuk berdamai ialah ia yang
berani menggunakan gelar raja padahal itu bukan haknya.
Namun pertanyaannya, apakah pemerintahan keraton adalah pemerintahan
tunggal yang berdiri sendiri dengan memenuhi syarat berdirinya suatu negara?
Sudah dijelaskan di bagian awal, keraton saat ini hanyalah cagar budaya yang
berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Bila ada suatu masalah dalam
pengelolaannya dan masalah itu tak kunjung selesai, negara berhak untuk ikut
campur dengan memberikan solusi penyelesaian.143
Dengan demikian yang sudah
142
Wawancara tertulis dengan Eko Ismadi, Pemerhati Keraton Surakarta Hadiningrat, 19
Februari 2014. 143
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 9 Tentang
Cagar Budaya yang berbunyi: Yang Dimaksud dengan dikuasai oleh Negara adalah kewenangan
95
dilakukan oleh pemerintah baik itu Pemerintah Kota Solo, Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah, sampai Pemerintah Pusat untuk terjun langsung menangani konflik
di Keraton Surakarta Hadiningrat adalah suatu hal yang tepat dan itu merupakan
suatu kewajiban demi menyelamatkan kehormatan keraton itu sendiri tanpa harus
ada pihak atau kelompok yang dirugikan.
Usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik telah sampai kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun bentuk penyelesaiannya seperti apa
belum bisa diketahui, karena SBY sendiri baru menjanjikan penanganan konflik
akan dimulai pasca pemilu legislatif April nanti saat situasi dirasa sudah kondusif.
Pertemuan kepada SBY yang dicetus oleh Roy Suryo di Gedung Agung
Yogyakarta pada 23 Februari 2014 itu dihadiri oleh PB XIII Hangabehi, KGPH
PA Tedjowulan, GPH Dipokusumo, dan GPH Benowo. Secara resmi PB XIII
Hangabehi menulis surat kepada Presiden SBY untuk membantu menyelesaikan
konflik di keraton agar rukun seperti sedia kala.144
Pertanyaan-pertanyaan baru terus bermunculan terkait keraton di masa
mendatang. Apa yang akan terjadi selanjutnya jika PB XIII Hangabehi wafat?
Apakah sosok Tedjowulan akan muncul lagi (jika ia masih hidup) dengan kembali
memakai gelar PB XIII seperti yang pernah digunakannya selama 8 tahun? Hal ini
bisa saja terjadi jika di antara mereka berdua, antara PB XIII Hangabehi dan
KGPH PA Tedjowulan, telah membuat suatu kesepakatan yang tidak diketahui
siapapun. Bahkan jika pertanyaannya belum sampai ke arah sana, sikap apa yang
tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum
berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya. 144
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/483610-sby-ambil-alih-penyelesaian-konflik-
keraton-surakarta, diakses pada 25 Februari 2014.
96
akan ditempuh oleh saudara-saudara kandung PB XIII Hangabehi jika kelak PB
XIII wafat? Artinya drama antara kedua belah pihak, Hangabehi-Tedjowulan
dengan Lembaga Dewan Adat, belum akan usai sampai suksesi berikutnya.
Tinggal menunggu apakah di sisa hidupnya PB XIII Hangabehi sebagai seorang
raja bisa lebih tegas dan bijaksana dengan membuat keputusan yang sekiranya
mampu diamini oleh seluruh kerabat keraton sehingga semua pihak dapat legowo
menerima aturan adat yang sudah ditetapkan.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan skripsi mengenai Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat
Pasca Wafatnya Paku Buwono XII, ada beberapa catatan penting yang ditarik
peneliti sebagai kesimpulan, diantaranya:
1. Tidak ada wasiat secara resmi dari PB XII selama hidupnya menjadi penyebab
utama timbulnya konflik perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta
Hadiningrat. Subyektivitas kelompok “penjaga tradisi” dan “penyelamat
keraton” lahir di tengah keadaan yang simpang siur. Masing-masing mencoba
mempertahankan apa yang sudah mereka raih: kekuasaan. Pihak yang ada di
dalam keraton mencoba menguasai aset keraton berupa lingkungan fisik,
legitimasi dari sentana dalem dan abdi dalem, serta kepentingannya dengan
Pemkot dan Pemprov. Pada akhirnya, motif ekonomi politik menjadi salah satu
aspek yang ingin dikuasai pihak yang berdiam di keraton, terkait pengelolaan
dana hibah dan aset keraton yang diperebutkan di internal mereka sendiri.
Akibat keadaan itu, hubungan dengan pemerintah selaku penyalur dana
menjadi kurang harmonis, karena penghentian sementara dana hibah dari
Pemkot maupun Pemprov telah diklaim pihak keraton bahwa pemerintah tidak
lagi memiliki kepedulian terhadap kelestarian keraton.
2. Namun terlepas dari apa yang telah terjadi, usaha-usaha untuk meredakan
konflik berkepanjangan di Keraton Surakarta Hadiningrat semakin mencapai
titik temu. Dualisme raja yang berlangsung selama bertahun-tahun telah
98
berakhir dengan diakuinya seorang raja yang sah yaitu PB XIII Hangabehi.
itikad baik dari kedua belah pihak untuk berdamai patut diapresiasi, egoisme
pribadi yang telah mereka pelihara bertahun-tahun telah mereka luluhkan demi
kepentingan bersama. Meski masih ada pihak yang berusaha melampaui segala
kewenangan raja dan patih sebagai Dwitunggal, hal itu sebagai penguji sekuat
apakah persatuan Dwitunggal PB XIII Hangabehi dan KGPH PA Tedjowulan
dalam menyelesaikan episode konflik yang masih berjalan. Semangat
rekonsiliasi mereka akan menjadi catatan, perebutan kekuasaan dalam sebuah
kerajaan tidak selalu berujung terhadap kudeta dan pelengseran. Tapi bisa
diselesaikan melalui kesepakatan dalam nota kesepahaman.
3. Di luar perpecahan yang terjadi selama hampir 10 tahun lamanya di Keraton
Surakarta Hadiningrat, masing-masing pihak telah bersikap menurut perannya
masing-masing, yang tak lain sama-sama ingin menjaga kelestarian Keraton
Surakarta Hadiningrat. Hanya saja perbedaan ideologi menyebabkan tujuan
mereka melestarikan keraton terbentur. Timbulnya konflik telah
membangunkan khalayak ramai bahwa drama perebutan kekuasaan monarki
masih bisa disaksikan di era sekarang. Berbagai lapisan masyarakat yang
tertarik sekaligus prihatin dengan kisah ini akan serta-merta terdorong kembali
membuka literatur-literatur sejarah masa lampau. Mencoba mengkomparasi
bahwa Keraton Surakarta Hadiningrat di masa lampau adalah sebuah wilayah
yang berdiri sendiri yang kekuasaannya di Pulau Jawa cukup besar. Sisa-sisa
peninggalannya kini tidak hanya berupa situs dalam bentuk bangunan dan
prasasti semata, para penerusnya pun masih hidup dengan tetap melestarikan
99
sistem pemerintahan monarki di tengah arus demokratisasi.
B. Saran
Dari penjelasan secara keseluruhan, skripsi ini lebih menitikberatkan pada
latar belakang timbulnya konflik perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta
Hadiningrat hingga konflik-konflik yang terjadi setelahnya. Penulis mengakui
masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Penulis berharap di masa depan ada
penelitian-penelitian lain yang mampu melengkapi kekurangan skripsi ini dengan
meneliti kelanjutan dari perseteruan antara PB XIII Hangabehi dengan saudara-
saudara kandungnya yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat.
Kemudian bagi pemerintah, proses rekonsiliasi yang sudah berjalan dengan
baik harus tetap dalam pengawalan. Joko Widodo selaku pencetus rekonsiliasi
meskipun kini sudah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta harus tetap
bertanggung jawab hingga intrik-intrik di antara keluarga keraton selesai
seutuhnya. Tak menutup kemungkinan kebijaksanaan Joko Widodo dalam
penanganan saat itulah yang meluluhkan hati kedua belah pihak untuk berdamai.
Maka jangan sampai masyarakat beranggapan usaha Joko Widodo saat itu sebatas
„kendaraan politik‟ semata agar citranya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta
semakin baik di mata masyarakat.
Lalu bagi keraton sendiri, guna meniti masa depan yang jelas, struktur
birokrasi di dalam keraton perlu ditata ulang. Hal ini demi memantapkan dan
melancarkan jalannya roda pemerintah di istana. Juga memudahkan proses suksesi
agar tidak terjadi hal serupa di masa yang akan datang.
100
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Carter, April. 1985. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta: CV. Rajawali.
Graaf, H.J. D dan TH. Pigeaud, terj. Eko Endarmoko. 2003. Kerajaan Islam Pertama di
Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Hadisiswaya, AM. 2009. Filosofi Wahyu Keraton, Klaten: Sahabat.
Harskamp, Anton van, ed. 2005. Konflik-konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta:
Kanisius.
Houbent, Vincent J. H. 2002. Keraton dan kompeni Surakarta dan Yogyakarta,
1830-1870, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Ismaniyah, GRAy Koes. 2013. Mau Ke Mana Keraton Surakarta Hadiningrat.
Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
Ju Lan, Thung., ed. 2000. Konflik Lokal Nasional dalam Konteks ke-Jawaan di
Solo: Etnisitas dan Integrasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa. Malang: UIN Malang Press.
Machiavelli, Niccolo, terj. C. Woekirsari. 1987. Sang Penguasa. Jakarta: PT.
Gramedia.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Nurhajarini, Dwi Ratna, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan. 1999. Sejarah
Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Purwadi. 2008. Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi,
Kesusasteraan, dan Kebudayaan. Yogyakarta: Panji Pustaka.
______. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X. Jakarta: Bangun Bangsa.
101
Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Ricklefs, M.C, terj. Tim Penerjemah Serambi. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: Serambi, 2008.
Santosa, Sri Juari Santosa. 2006. Suara Nurani Keraton Surakarta. Yogyakarta:
Komunitas Studi Didaktika.
Shashangka, Damar. 2011. Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-
ajaran Rahasia. Jakarta: Dolphin.
Setiadi, Bram, Qamarul Hadi, dan Tri Handayani. 2000. Raja di Alam Republik.
Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Setiawan, B. 1991. Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi
Pustaka.
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo.
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Utomo, Mulyanto, Wahyu Susilo, dan Farid Achmadi. 2004. Di Balik Suksesi
Keraton Surakarta Hadiningrat. Solo: Aksara Solopos.
Varma, S.P. 2007. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajagrafindo.
Jurnal
Iswanto, Agus. 2012. “Islamisasi dan Jawanisasi dalam Naskah-naskah di Keraton
Yogyakarta.” Mimbar: Jurnal Kajian Agama dan Budaya Volume 29,
nomor 3, 2012.
Kamus
Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J. 2011. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Kompas Gramedia.
Surat Kabar
102
Harian Solopos.
Undang-Undang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Pasal 1 ayat 9 Tentang
Cagar Budaya.
Wawancara
Wawancara dengan GPH Dipokusumo, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo
Keraton Surakarta Hadiningrat.
Wawancara dengan KGPH Puger, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton
Surakarta Hadiningrat.
Wawancara dengan Redaktur Senior Harian Solopos, Mulyanto Utomo, 21
Januari 2014, di Kantor Harian Solopos.
Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan, 28 Januari 2014, di Hotel Kartika
Chandra.
Wawancara tertulis dengan Ratu Raja Arimbi, adik kandung sekaligus juru bicara
Sultan Kanoman, Sultan Emirudin, 17 November 2012.
Wawancara tertulis dengan Eko Ismadi, Pemerhati Keraton Surakarta
Hadiningrat, 19 Februari 2014.
Website
http://orgawam.wordpress.com, diakses pada 19 Februari 2013.
http://www.kerajaannusantara.com, diakses pada 3 Maret 2013.
http://arsip.gatra.com//2004-09-08/ Gatra nomor 42, beredar Jumat 27 Agustus
2004, diakses 1 Juni 2013.
http://apssi-sosiologi.org/wp-content/uploads/2013/05/27.-Ridhah-Taqwa.pdf,
diakses pada 1 Juli 2013.
http://staff.uny.ac.id diakses pada 21 Februari 2013
http://kbbi.web.id/, diakses pada 13 Desember 2013
103
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.
http://news.detik.com/read/2004/06/11/142814/162322/10/setelah-pb-xii-
mangkat-muncul-klaim-surat-wasiat, diakses pada 16 Februari 2014.
http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/1398/KEPPRES%20NO%2023%20TH%20198
8.pdf, diakses pada 1 Februari 2014
http://gudeg.net/id/directory/12/1750/Alun-Alun, diakses pada 22 Maret 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun, diakses pada 22 Maret 2014.
http://news.detik.com/read/2004/11/18/203959/241263/10/ahli-waris-pb-xii-
pertanyakan-keaslian-surat-wasiat, diakses pada 6 Februari 2014.
http://alimu.staff.ipb.ac.id/2010/12/02/berebut-takhta-setelah-raja-tiada/, diakses
pada 14 Februari 2014.
http://jogja.tribunnews.com/2012/05/29/dewan-evaluasi-penganggaran-dana-
hibah-keraton/, diakses pada 14 Februari 2014.
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2165-raja-
terlama-dinasti-mataram, diakses pada 1 Februari 2014.
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kabut-tebal-masih-menggelayuti-keraton-
63082.html, diakses pada 16 Februari 2014.
http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/hangabehi-murtiyah-rebutan-dana-
79218.html, diakses pada 14 Februari 2014.
http://www.solopos.com/2013/03/12/dana-hibah-geram-dana-hibah-tak-cair-
keraton-ajukan-bantuan-ke-unesco-387074, diakses pada 14 Februari 2014.
http://www.soloblitz.co.id/2013/03/16/keraton-butuh-6-bulan-untuk-ajukan-dana-
ke-unesco/, diakses pada 14 Februari 2014.
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/dua-raja-gelar-malem-selikuran-23632.html,
diakses pada 16 Februari 2014.
http://timlo.net/baca/28481/kerabat-keraton-beberkan-isi-rekonsiliasi/, diakses
pada 16 Februari 2014.
http://www.solopos.com/2012/05/24/masyarakat-saksikan-proses-rekonsiliasi-
raja-kembar-298111, diakses pada 16 Februari 2014.
104
http://www.antaranews.com/berita/314053/gusti-murtiyah-protes-mou-keraton-
surakarta, diakses pada 18 Februari 2014.
http://www.solopos.com/2012/06/04/konflik-keraton-4-mentri-akhirnya-tanda-
tangani-mou-rekonsiliasi-pb-xiii-tedjowulan-191119, diakses pada 18
Februari 2014.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=298
320:lda-pecat-raja-keraton-solo&catid=95:nusantara&Itemid=146, diakses
pada 19 Februari 2014.
http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja-
surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.
http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja-
surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.
http://www.soloblitz.co.id/2013/11/04/tedjowulan-sinuhun-pb-xiii-telah-
bubarkan-dewan-adat/, diakses pada 19 Februari 2014.
http://timlo.net/baca/68719518506/didesak-bubarkan-dewan-adat-walikota-
enggan-buru-buru/, diakses pada 19 Februari 2014.
http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/02/22/778355/pemkot-solo-bingung-
sikapi-lembaga-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/483610-sby-ambil-alih-penyelesaian-
konflik-keraton-surakarta, diakses pada 25 Februari 2014.
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/islam-dan-kraton-kasunanan-surakarta-masa-
sunan-pakubuwana-iv-bagian-1/, diakses pada 27 Maret 2014.
http://mursid.web.id/hari-jadi-ke-268-kota-solo.html, diakses pada 27 Maret 2014.
http://www.soloblitz.co.id/2013/01/09/pemberian-gelar-harus-di-keraton-tanpa-
jual-beli/, diakses pada 12 April 2014.
http://www.timlo.net/baca/2997/syahrini-dan-julia-perez-peroleh-gelar-
kehormatan/, diakses pada 15 April 2014.
http://www.detikpos.net/2009/07/gelar-keraton-solo-untuk-manohara.html,
diakses pada 14 April 2014.
105
http://news.detik.com/read/2013/01/06/153510/2134368/10/tertipu-gelar-palsu-
pengusaha-malaysia-polisikan-kerabat-keraton-solo, diakses pada 15 April
2014.
http://news.detik.com/read/2013/01/11/182120/2140065/10/2/digugat-soal-jual-
beli-gelar-keraton-solo-ancam-gugat-balik-wn-malaysia, diakses pada 15
April 2014.
http://kabutinstitut.blogspot.com/2010/01/mendadak-priyayi.html, diakses pada
15 April 2014.
http://joglosemar.co/2013/10/dana-dicoret-keraton-jangan-jual-gelar.html, diakses
pada 15 April 2014.
xii
LAMPIRAN 1: SILSILAH RAJA-RAJA KERATON SURAKARTA HADININGRAT
Sumber: Purwadi, Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi, Kesusasteraan, dan Kebudayaan.
(Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008).
Ki Ageng Pemanahan
Panembahan Senopati(1575-1601)
Panembahan Krapyak(1601-1613)
Sultan Agung Hanyokrokusumo(1613-1645)
Hamangkurat I(1645-1677)
Hamangkurat II P. Puger (Paku Bowono I)(1677-1703) (1704-1719)
Hamangkurat III Hamangkurat IV(1703-1706, dibuang ke Sri Lanka) (1719-1727)
Mas Garendi (1742)
Pakubuwono II P. Mangkubumi P. Mangkunegara(1727-1747) (Hamengku Bowono I)
(1755-1792)
(Mas Said)Hamengku Buwono II P. Natakusuma (Mangkunegara I)
(1792-1828) (Paku Alam I) (1757-1796)
Raja-raja Raja-raja Pangeran PangeranSurakarta Yogyakarta Pakualaman mangkunegaran
xiii
LAMPIRAN 2: DAFTAR PUTRA-PUTRI PAKU BUWONO XII
No Nama TanggalLahir
Istri Selir
Mandayaningrum
RetnoDiningru
m
PradapaNingrum
Kusumaningrum
Rogasmara
Pujaningrum
1 Koes Ondowiyah(GKR Alit)
18-10-1947 1
2 Suryo Partono(KGPH Hangabehi)
19-06-1948 1
3 Suryo Suprapto(KGPH Hadiprabowo)
21-03-1949 1
4 Koes Supiyah(GKR Galuh Kencana)
23-03-1950 2
5 Suryono(GPH Puspohadikusumo)
19-07-1950 1
6 GRAy Koes Rahmaniyah 6-10-1950 2
7 GRAy Koes Saparniyah 15-11-1950 2
8 GRAy Koes Handariyah 14-06-1951 3
9 GRAy Koes Kristiyah 15-06-1951 1
10 GRAy Koes Sapardiyah 19-05-1952 3
11 GRAy Koes Raspiyah 30-08-1952 1
12 Suryo Suseno(KGPH Kusumayuda)
5-04-1953 4
13 GRAy Koes Triyah 17-05-1954 3
14 GRAy Koes Isbandiyah 24-07-1954 5
15 Suryo Sutejo(KGPH Tedjowulan)
3-08-1954 2
16 GRAy Koes Sapartinah 3-05-1955 2
17 Suryo Bandono(GPH Puger)
22-12-1955 6
18 Suryo Suparto(GPH Dipokusumo)
22-05-1956 3
19 GPH Suryo Saroso 28-07-1957 3
20 Suryo Bandriyo(GPH Benowo)
8-09-1957 7
21 GRAy Koes Niyah 29-10-1957 4
22 Suryo Sudiro(GPH Notokusumo)
12-10-1958 4
23 Suryo Suharso(GPH Madukusumonagoro)
18-10-1958 8
24 Suryo Darsono(GPH Wijoyosudarsono)
18-05-1959 5
25 GKR Koes Moertiyah 1-11-1959 9
26 Suryo Sutrisno(GPH Suryowicaksono)
22-11-1959 5
27 GRAy Koes Sabandiyah 19-08-1960 6
28 GRAy Koes Triniyah 17-11-1960 6
29 GRAy Koes Indriyah 19-10-1961 10
30 Nur Muhammad(GPH Nur Cahyaningrat)
22-02-1962 7
31 GRAy Koes Suwiyah 5-11-1962 4
32 GRAy Koes Ismaniyah 1-08-1963 8
33 GRAy Koes Samsiyah 24-08-1964 9
34 GRAy Koes Saparsiyah 30-01-1969 10
35 GPH Suryo Wahono 22-06-1972 11
Sumber: Mulyanto Utomo, Wahyu Susilo, Farid Achmadi, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat (Solo: Aksara Solopos,2004).
xiv
LAMPIRAN 3: GELAR KEBANGSAWANAN DI KERATON SURAKARTAHADININGRAT
S.I.S.K.S.
B.R.Aj.
B.R.M.
G.K.R.
G.P.H.
G.R.M.
G.R.Ay.
K.G.P.A.A.
K.G.P.H.
K.P.
K.P.A.
K.P.H.
K.R.
K.R.A.
K.R.Ay.
K.R.H.
K.R.M.H.
K.R.H.T.
K.R.M.T.H.
Sampeyan Dalem IngkangSinuhun Kangjeng Susuhunan
Bandara Raden Ajeng
Bandara Raden Mas
Gusti Kangjeng Ratu
Gusti Pangeran Haryo
Gusti Raden Mas
Gusti Raden Ayu
Kangjeng Gusti PangeranAdipati Anom
Kangjeng Gusti Pangeran Haryo
Kangjeng Pangeran
Kangjeng Pangeran Aryo
Kangjeng Pangeran Haryo
Kangjeng Ratu
Kangjeng Raden Adipati
Kangjeng Raden Ayu
Kangjeng Raden Haryo
Kangjeng Raden Mas Haryo
Kangjeng Raden HaryoTumenggung
Kangjeng Raden MasTumenggung Haryo
Gelar untuk raja di Keraton SurakartaHadiningrat
Cucu perempuan raja
Cucu laki-laki raja
Untuk istri permaisuri atau putri rajatertentu atas kehendak raja
Putra pangeran yang sudah dewasa
Putra pangeran muda yang lahir dari istriselir
Putri raja yang sudah bersuami
Putra mahkota kerajaan atau pangeranadipati anom, calon pengganti raja
Putra raja yang sudah sangat senior/sepuh
Putra menantu
Gelar bangsawan bukan dari sentana
Putra pangeran tua, namun dalam waktuterakhir sering diberikan bukan kepadapangeran tua sesuai kehendak raja
Untuk istri permaisuri
Patih
Gelar untuk istri selir
Sentana setingkat Riya Nginggil
Sentana setingkat Riya Nginggil untukcucu, buyut, dan di bawahnya
Setingkat Bupati Riya Nginggil bukansentana (abdi dalem)
Abdi dalem Bupati Riya Nginggil
xv
R.Aj.
R.Ay.
R.M.G.
R.M.
R.T.
Raden Ajeng
Raden Ayu
Raden Mas Gusti
Raden Mas
Raden Tumenggung
Buyut atau canggah yang belum bersuami
Buyut atau canggah yang sudah bersuami,atau mereka yang bersuamikan putra rajaatau sentana
Putra raja yang lahir dari istri permaisuri
Canggah atau keturunan raja tingkatkeempat atau lebih
Abdi dalem setingkat Bupati Anom
xvi
LAMPIRAN 4: TRANSKRIP WAWANCARA
Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan
1. Acuan apa yang digunakan oleh keraton dalam mengadakan suksesi?
Unggah ungguh, sopan santun, tata krama, dan angger-angger. Jadi acuan
dan aturan yang digunakan adalah acuan orang Jawa yang berbudaya. Dan itu
sudah berlangsung ratusan tahun. Namun bila dikaitkan dengan perkembangan
dan situasi sekarang, tentu itu tidak rasional. Seperti perubahan-perubahan yang
terjadi di kerajaan-kerajaan Pulau Jawa. Sejak zaman Airlangga hingga sekarang,
itu selalu ada masa perubahan. Majapahit berakhir, Demak muncul. Demak
berakhir, muncul Pajang. Muncul Panembahan Senopati, lalu Amangkurat, baru
muncul Paku Buwono (PB). Selalu digaris bawahi yang tertua. Sedangkan PB XII
itu bukan anak tertua. Ia anak yang paling kecil. Hanya yang menetapkan beliau
menjadi PB XII adalah Presiden Bung Karno. Itu era kemerdekaan. Era
sebelumnya, harus mendapat persetujuan dari Belanda. Dulu penguasa di tanah
Jawa pada khususnya adalah Belanda. Jadi kerangka berpikir itu harus menjadi
acuan.
2. Bagaimana kondisi keraton saat ini?
Suksesi tahun 2004 lalu dimaknai juga harus patuh kepada angger-angger,
juga yang tertua. Bila ingin berpikir secara mendalam, itu bisa dipertahankan tapi
juga tidak bisa dipertahankan. Artinya bila angger-angger berada dalam posisi
yang lemah, yang tidak memiliki visi ke depan sama sekali, tinggal menuju
kehancuran saja. Kalau mau melihat dari tahun 2004 sampai 2014, apa yang
terjadi di keraton? Itu kan sudah perpecahan. Tapi jangan ditujukan sasaran
kepada saya, orang harus dibuka semua matanya. Karena saya sudah melakukan
rekonsiliasi dengan PB XIII. Sekarang saya tidak pakai PB XIII, tapi Panembahan
Agung (PA). Hikmahnya delapan tahun itu, bila melihat keraton terus seperti ini,
hancur keraton ini. Maka pemerintah dalam hal ini memandang perlu saya perlu
mengalah. Jadi yang muda mengalah, yang tua merangkul untuk perbaikan masa
depan keraton. Tapi, saat saya dan Mas Behi sudah baikan, muncul namanya Koes
xvii
Moertiyah, adik dari Mas Behi sendiri. Publik sudah tahu semua, tapi nama
Tedjowulan yang selalu dikait-kaitkan sampai detik ini, dan itu dibentuk opini.
Kalau mau jujur, siapakah yg mendesain? Ya menantu-menantunya itu, tidak
perlu disebutkan pasti sudah tahu semua. Dan Sinuhun PB XIII itu tidak bisa
berbuat apa-apa. Karena sudah berbeda, Mas Behi merasa raja tidak bisa
ditentukan oleh siapapun juga. Karena dia mengikrarkan diri, menyatakan dirinya
sebagai raja. Tetapi dari saudara-saudara kandungnya itu, mengatakan jadi raja
karena dari saya. Kapan ketemunya? Jadi sudah berebut kekuasaan. Siapa? Antara
Moertiyah dan Mas Behi. Yang saya heran, sinuhun kadang muncul
keberaniannya, kadang lemah. Ketegasan dan keberanian ada, tapi hanya bersifat
kontemporer. Jadi tidak betul-betul tegas. Raja tidak bisa seperti itu. Saya tidak
bermaksud merendahkan siapapun juga. Tapi bila cara pengelolaannya seperti itu,
dimotori yang bukan haknya, oleh para menantu, kapan mau selesainya?
3. Mengapa keraton bisa sampai seperti itu?
Karena manajemen tidak baik. Kenapa manajemen tidak baik, karena
pemimpin tidak baik. Karena ada planning, organizing, actuating, budgeting,
controling. Itu tidak jalan semuanya. Kenapa tidak jalan, karena tidak ada
leadership. Leadershipnya apa, sabda pandhita ratu. Semua ucapan raja adalah
titah, peraturan, undang-undang. Itu tidak terlaksana. Kenapa tidak terlaksana,
karena sudah kehilangan kewibawaan serta kehilangan kepercayaan. Kasarnya,
tidak berkemampuan. Dan misalkan didukung oleh semuanya, adik-adiknya dan
semuanya, itu bisa berjalan. tetapi sekarang kan tidak, bertentangan. Sehingga
bertanya, keadaan apakah seperti ini? Dulu saya yang disalahkan, karena
Tedjowulan dan Tedjowulan. Sekarang?
Lalu saya diminta mengalah oleh pemerintah, yang muda mengalah, yang
tua merangkul sehingga terjadi kerukunan. Kalau melihat kerajaan-kerajaan
zaman dahulu hancur karena ketidakrukunan. Faktornya dari mana, dari dalam.
Lalu sekup nasional, hancurnya NKRI, juga dari dalam. Pun pasti ada orang dari
luar. Faktor X orang ketiga itu pasti ada. Kesimpulannya, pemerintah tetap harus
xviii
berperan di dalam keraton. Karena punya hak dan undang-undang. Kalau saya
presiden, sudah saya usir itu Lembaga Dewan Adat. Sampai semua beres. Jika
sudah, silakan duduki keraton lagi. Tapi pemerintah kan punya tata krama, punya
pancasila, punya kebhinekaan, punya budi pekerti. Sehingga dipolitisir ini
masalah internal dan keluarga. Tapi internal keluarga tidak bisa apa-apa. Bilang
tidak perlu dana tapi toh minta juga. Kekuasaan mana? Pada pemerintah. Bisa
dibandingkan pemerintah sekarang seperti apa, pemerintah di keraton seperti apa.
Kalau sudah melihat intern dan ekstern yang berada di keraton seperti itu, saya
menyimpulkan lebih baik tidak usah ikut saja. Sehingga saya mendirikan Forum
Silaturahmi Keraton Nusantara. Saya ketua umumnya, mengacu pada budaya-
budaya yang berada di NKRI. Karena benteng dari NKRI adalah budaya. Itu pun
masih perlu perjuangan.
4. Mengapa Gusti Tedjo memiliki motivasi untuk menjadi raja?
Pasca PB XII meninggal, saya yang memimpin rapat, terhitung lima kali
rapat. Saya menetapkan sementara, mengajak saudara-saudara saya berembuk, ini
yang menjadi raja siapa? Bicara angger-angger, angger-angger itu ditetapkan oleh
raja yang menduduki saat itu. Dan secara filosofi yang tertua, tertua, dan tertua.
Akhirnya saya mengusulkan Mas Behi saja, dan itu ditolak. Baik secara lahiriah
maupun secara tertulis. Semua putra/i PB XII menolak, kecuali saudara
Hangabehi sendiri. Juga sentana dalem, hampir 90% menolak. Abdi dalem,
menolak. Akhirnya saya diminta maju untuk menyelamatkan keraton. Ada surat
perintahnya dari Pengageng Sentana Dalem, Pengageng Parentah Keraton, dan
Pengageng Parentah Keputren. Lembaga itu sudah ada sejak PB X, sah jika secara
hukum. Dan bila menuntut secara hukum nanti akan ramai. Ini pun dipolitisir oleh
semua orang, seolah yang benar itu mereka. Dan sekarang apa yang terjadi di
keraton sudah terlihat bagi orang yang sadar, masalahnya berani atau tidak media
menulis.
xix
5. Adakah usaha-usaha dari Gusti Tedjo untuk meredakan perseteruan
akhir-akhir ini, terutama antara PB XIII Hangabehi dengan Lembaga
Dewan Adat?
Berbicara masalah keraton itu tiga: Histori, spiritual, dan religi. Dan kalau
keraton dipimpin oleh orang yang tidak berkualitas bila dihadapkan pada situasi
dan kondisi saat ini, apa lagi 10 tahun ke depan, habislah keraton. Kalau sudah
habis, pemerintah akan ambil alih. Kalau diambil alih, yang rugi siapa? Semuanya
rugi. Walaupun bukan berarti pemerintah itu jelek, tapi menyelamatkan keraton.
Dan saya sudah menyerahkan surat kepada Mas Behi, mengajak Mas Behi
membuat rencana-rencana ke depan. Kata Mas Behi, kita bicarakan saja dulu
dengan saudara-saudara yang lain. Tapi kenyataannya beda, dan orang sudah tahu
kelakuan saudaranya bagaimana. Jadi kejadian keraton tidak direncanakan
seketika, tapi sudah dari dulu. Dan saya tidak bisa mengatasi itu seketika
dikarenakan saya dinas di militer. Sekarang tinggal tunggu saja. Yang saya
renungkan kalau PB XIII ini meninggal. Dan saya tidak akan ikut campur lagi,
karena saya sudah cukup banyak memberikan masukan pada kakak saya PB XIII,
solusi apa yang harus dijalankan dan harus dicari. Tapi sampai detik ini terjadi
kemandegan. Karena terjadi kemandegan seperti itu, saya tidak mau dituduh
penyebab ini semuanya. Orang biar lihat yang sesungguhnya terjadi. Saya sudah
memberikan masukan-masukan apa yang harus dilakukan sampai masa yang akan
datang di tahun 2025 karena ada kontak dengan pemerintah terkait rekonsiliasi
berkenaan dengan bangunan dsb. Itu yang mesti harus disiapkan. Semua bisa
menjadi raja, tapi yang bagaimana? Visinya apa? Kalau berpikir sekup yang lebih
mendalam lagi, ini akan terjadi perubahan yang sangat besar.
6. Apakah peristiwa yang melanda keraton saat ini murni dimotori oleh
aktor-aktor tertentu atau ada isyarat dari alam?
Secara spiritual, keadaan yang terjadi akhir-akhir ini, Gempa Jateng, Merapi
meletus, memang alamiah. Semua juga alam. Tapi kenapa beruntun? Dari mulai
sekup yang kecil sampai yang besar. Bagi orang yang beriman, itu adalah isyarat.
xx
Jadi intelektual, spiritual, dan emosional raja dituntut untuk peka. Bicara masalah
alam, harus spiritual. Karena itu hal yang gaib, tetapi spiritual juga harus menyatu
dengan intelektualitas. Nama Mangkunegaran, Pakualaman, Hamengku Buwono,
dan Paku Buwono jangan dilihat sebagai manusianya. Nama itu harus dikaji dan
diambil filosofinya secara spiritual.
7. Berbicara mengenai Lembaga Dewan Adat, bagaimana Lembaga
Dewan Adat bisa berdiri?
Lembaga dewan adat itu tidak ada, harusnya sinuhun PB XIII menolak.
Lembaga dewan adat adalah ormas, tapi ada undang-undangnya di Kesbangpol.
Yang mendirikan adalah Koes Moertiyah. Beberapa orang punya visi dan punya
program, mengajukan dana ke pemerintah, itu Lembaga Dewan Adat. Kalau luar
Jawa namanya Lembaga Adat. Mungkin karena adik-adiknya anggota dewan jadi
seolah-olah yang menentukan raja adalah mereka. Lembaga Dewan Adat bisa
ditiadakan jika sinuhun mau. Sekarang tinggal bagaimana sinuhunnya. Jika benar
berlindung kepada saya, harus dikerjakan sama-sama.
8. Sebenarnya, seperti apa sosok PB XIII itu?
Saya punya kakak dan pengganti ayah, sebagai raja dia itu tidak sehat. Salah
satu kelemahan yang paling menonjol adalah sabda: ucapan. Dan sinuhun ini
sakit, ucapannya kadang-kadang dipahami kadang tidak. karena sakit, ia tidak bisa
disegani ucapannya.
9. Bagaimana dengan keaslian surat wasiat PB XII?
Surat wasiat PB XII adalah palsu dan bohong-bohongan semua, dalangnya
ya menantu-menantunya itu. Selama keraton tidak dijalankan dengan ikhlas dan
kejujuran, keraton akan seperti itu. Keraton harus bersih dari politik dan akal-
akalan. Jika prinsip manunggaling kawula gusti dijalani, tidak akan pernah terjadi
hal-hal seperti itu. Karena kawulanya sudah kurang ajar semua sama raja. Dari sisi
agama, kok bisa tunggal bapak tunggal ibu bertengkar? Apakah di dunia ada
seperti itu? Banyak. Anak dibunuh dll. Karena keraton pusat kebudayaan dsb,
xxi
dianggap hal yang aneh. Hal yang tabu. Tapi manusia ya sama. Hanya kebetulan
dilahirkan di situ. Harusnya manusia yang ada di keraton itu muncul tingkat
kesadaran yang tinggi. Kalau sudah begitu akan mendapat pencerahan. Sehingga
saya tidak lagi pakai PB XIII, tapi Panembahan Agung, yang memiliki makna
hanya menyembah kepada Tuhan YME. Tetapi visi lahiriahnya adalah
sinkritisme.
10. Terakhir, untuk kemajuan keraton ke depan, apa yang harus
dilakukan oleh seluruh keluarga keraton?
Zaman ini secara spiritual Jawa adalah zaman kalabendu, zaman edan. Dan
kita akan lepas dari zaman yang serba susah ini kalau kita mendapat seorang raja
dan ratu yang benar. Kalau tidak kita tidak akan lepas dari zaman kalabendu. Dan
kita bisa dikangkangi oleh negara lain. Ini ujian terakhir pada tahun 2014. Sama
dengan keraton, salah memilih, habis. Negara lain, Jepang, pemimpinnya
disiapkan dulu jadi Angkatan Laut. Dari kata ing alaga itu kan pemimpin perang,
berarti kan panglima terdepan. Kalau mengatasi ini saja kok tidak bisa selesai, dan
saling menyalahkan, ini yang akan tambah rusak. Raja-raja di tanah Jawa ini
makanya mesti didampingi kaum spiritual. Raja Islam oleh ulama. Itu syarat
kehidupan. Historis, spiritual, dan religi.
Sementara ini, keraton terjadi kemandegan lagi. Semua hanya bisa
menunggu. Kecuali sinuhun sadar memanggil saya. Kalau tidak ya tidak. Nanti
saya dikira ambisius. Jadi beban akan lebih kepada PB XIII, saya sudah merdeka.
Harusnya beliau didampingi oleh guru spiritual. Bukan kerangka pribadi, tapi
yang memahami spiritual keraton.
xxii
Wawancara dengan KGPH Puger
1. Apa Pandangan Gusti mengenai ketetapan adat?
Dalam sejarah, aturan perjanjian raja dan pejabat, penasbihan putra-putri,
sentono, itu ada aturannya. Angger-angger, aturan, hukum adat, itu sudah ada dan
berjalan secara alami. Analoginya tidak perlu ditulis berupa rambu-rambu bahwa
lampu hijau harus berangkat dan merah berhenti. Dan itu berjalan. dan
perjalanannya dari awal, di nusantara ini, dulu adanya suku. Kalau buka di dalil,
aku ciptakan kamu bangsa dan suku. Nusantara belum ada bangsa Indonesia.
Suku ini adalah keputusan Allah, tidak ada dalil yang mengatakan keputusan
Allah kalah dengan keputusan manusia. Negara indonesia sendiri adalah
keputusan manusia, aklamasi membentuk sebuah negara. Dulu suku, kemudian
bermetamorfosa. Di situlah ada yang disebut darah biru dan bangsawan. Ketika
suku memilih kepala suku, anak turun keturunan kepala suku inilah yang ada
sampai sekarang menjadi ratu dan raja adalah metamorfosa yang disebut
kelompok darah biru yang ditasbihkan untuk bangsa ini. Bangsawan yaitu orang
yang peduli, peduli kepada suku atau bangsa. ketika orang peduli, hartawan,
cendikiawan, dermawan, relawan, adalah orang yang peduli. Jika bangsawan tidak
peduli pada bangsa, ia bukanlah berdarah biru. Kebanyakan dari darah biru ini,
dididik untuk peduli. Maka banyak darah biru menjadi bangsawan. Dan banyak
menjadi pahlawan (super bangsawan). RA Kartini darah biru, dia bangsawan
(peduli) juga pahlawan. Bangsawan juga bisa disematkan kepada peneliti, karena
peduli terhadap ilmu. Tapi kebanyakan semua itu bisa disebut bangsa karena ia
peduli terhadap keberadaan bangsa ini sendiri. muncullah aturan-aturan dan
kesepakatan dari kepala suku yang turun-temurun itu. Agar yang peduli-peduli
tadi bisa ditempatkan di grade-grade sesuai kemampuannya dan berdasarkan
tingkat pengabdiannya.
Masa-masa dulu begitu, maka terjadi pertempuran antar suku. Jadi sejak
abad ke 7, lalu abad ke 14 Zaman Majapahit, lalu Zaman Pajang, Mataram, dan
pertengahan abad ke 18 ketika zaman Kartasura, undang-undang kerajaan sudah
xxiii
di amandemen, agar proses pengangkatan raja bisa berjalan mulus. Belum lagi
masuknya VOC sehingga terjadi kepentingan politik. VOC mulai membuat
wilayah Nusantara wilayah Blok Barat. Biarpun secara de facto VOC bekerjasama
dengan sultan dan raja. Lalu bagaimana posisi raja dan sultan saat blok barat dan
blok timur berseteru? Maka Belanda saat itu mengunci sultan supaya
pandangannya hanya satu, ke Belanda. Secara de facto, memang ada kontrak kerja
sama. Ketika perjanjian itu terjadi, maka rasanya Raja Mataram ini ada
penasbihan berasal dari Belanda. Padahal tidak. Itu hanya memastikan raja dan
sultan ini yang melanjutkan tampuk kepemimpinan. Sehingga dipastikan kerja
samanya jalan. Jadi bukan penasbihan, tapi kerja sama. Namun karena kelicikan
Belanda, dikurangi bahkan ditambah-tambahkan bagiannya, munculah opini
bahwa Belanda itu penjajah. Namun sebetulnya tidak ada penjajahan, tapi Belanda
selangkah lebih maju dari keraton. Penjajahan hanya move, karena ada Blok Barat
dan Blok Timur. Akhirnya sistem diamandemen, bupati dan calon raja harus
dimagangkan. Magang pun ada simbol-simbol lama, sampai terakhir yang ada di
keraton, ada simbol yang tertua itu Hangabehi, atau dimagangkan dengan simbol
putra permaisuri. Itulah bentuk-bentuk aturan yang tidak perlu ditulis lagi. Dan itu
sudah menjadi simbol, bahwa putra raja harus diambil dari permaisuri. Ada yang
istrinya banyak tapi dipermaisurikan. Kalau permaisuri punya anak laki-laki,
maka anak laki-laki yg memiliki simbol anak lelaki tertua tadi gugur. Tapi kalau
permaisuri tidak memiliki anak laki-laki, diambillah anak tertua dari raja itu.
Meskipun itu anak dari garwa yang ke sekian, asal ia yang tertua, ialah yang
pantas menjadi raja. Dan harus laki-laki. Mengapa laki-laki? Karena ini adalah
Kerajaan Islam. Wali harus laki-laki. Anak tertua dari raja. Entah dari istri ke
berapapun yang lahir tertua laki-laki dialah yang berhak. Dan itu sudah menjadi
tatanan rambu-rambu, bilamana tidak ditulis, orang-orang sudah harus mengerti,
itulah proses suksesinya.
Dulu, yang punya grade tua itu biasanya dinaikkan menjadi Pangeran
Hangabehi. dulu dalam gelarnya ada nama Adipati KGPA karena memiliki
wilayah, sekarang karena sudah tidak ada wilayah, maka bergelar KGPH.
xxiv
Kadipaten dulu punya wilayah kekuasaan, ada abdi dalem, dsb. Banyak ahli
sejarah dan ahli sastra keluaran dari kadipaten, contohnya Ronggowarsito. Lalu
kenapa keraton harus sampai dikorbankan oleh Blok Barat dan Timur? Keraton
kan punyanya adat, orang Jawa.
2. Pendapat Gusti terhadap ketiga pengageng yang mendeklarasikan
Tedjowulan?
Itu adalah suatu pelanggaran. Walaupun PB XII memiliki wasiat sekalipun,
tidak bisa dipenuhi karena cacat hukum. Misalnya ia ingin anak keduanya saja
yang mendapat warisan, itu tidak bisa. Dalam agama jelas melanggar, karena
tidak adil membagi warisan. Pakubuwono XII memiliki kakak laki-laki yg lebih
tua, tapi dari garwa selir. Karena PB XII berangkat dari permaisuri. Harusnya
pemerintah memanggil dan mencari ahli untuk mempelajari wawasan mengenai
aturan itu, sehingga tidak ada yang melanggar ketentuan adat.
Mudah-mudahan yang menyimpang tadi disadarkan. Tidak boleh lupa
dengan keputusan-keputusan Allah, apalagi dilanggar. Kalau tidak ada jalan
keluar, kembalilah pada dalil.
3. Bagaimana situasi Keraton Surakarta Hadiningrat ketika Indonesia
baru merdeka?
Setelah dipastikan bergabung, raja ditasbihkan menjadi kepala daerah, maka
dibentuklah Daerah Istimewa Surakarta. Namun karena terjadi masalah politis
lagi, sehingga terjadi pembunuhan, penculikan, dari pada lebih banyak korban
lagi, lebih baik diamankan dulu.
4. Apakah benar legenda yang menyebutkan PB XII tidak boleh
berpermaisuri karena menuruti wasiat ibundanya?
Legenda Ratu Paku Buwono memang berwasiat PB XII tidak boleh
berpermaisuri memang dibenarkan, tapi bisa juga dikatakan Paku Buwono XII
menjaga perasaan ibundanya sendiri, bila ia nanti mengambil permaisuri saat
beliau masih hidup. Jadi ia mengorbankan dirinya untuk tidak berpermaisuri. Tapi
xxv
simbol pengangkatan itu ada, ketika ibu Hangabehi meninggal, iringan
penghormatan menggunakan iringan permaisuri (monggang). Karena sudah ada
aturannya juga untuk pengiringan jenazah. Tidak ada wasiat apa-apa, karena itu
sudah peraturan tak tertulis.
5. Apakah di keraton sudah ada unsur demokrasi?
Dulu ada, di masa PB X. Keraton sudah memiliki Bale Agung, DPRnya
keraton. Ada tokoh agama, tokoh masyarkat, cendekiawan, dan politisi. Juga ada
rapat pleno di pagelaran, rakyat sudah bisa masuk.
6. Lalu mengapa terjadi penobatan-penobatan?
Itulah pelanggaran-pelanggaran oleh orang yang telah hilang kesadaran,
mereka sudah berani mengamandemen ketetapan-ketetapan Allah.
xxvi
Wawancara dengan GPH Dipokusumo
1. Bagaimana struktur pemerintahan keraton di era demokratisasi sekarang
ini?
Kini, secara struktural, keraton dikelola oleh 3 elemen: Pengageng Parentah
Keraton, Pengageng Parentah Keputren, dan Pengageng Sentana Dalem. Dahulu, ada 9
elemen, diantaranya ada Papatih Dalem, Penghulu Keraton, dan Prajurit. Kini, prajurit
memang masih ada, tapi hanya sebagai kerangka budaya.
2. Bagaimana seharusnya keraton mengadakan suksesi?
Mengenai suksesi, seorang raja harus mengangkat putra mahkota yang lahir dari
permaisurinya untuk meneruskan kekuasaan ayahnya. Hanya masalahnya, apakah anak
raja dari permaisuri memiliki keterwakilan seorang anak laki-laki? Suatu contoh, di
Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X berencana mengangkat adiknya
sebagai pengganti jika nanti ia wafat, karena semua anaknya perempuan, tidak ada satu
pun seorang lelaki.
Di Keraton Surakarta, PB XII tidak mengambil seorang permaisuri. Munculah
subyektivitas melalui hukum-hukum yang tidak tertulis dengan apa yang disebut angger-
angger. Suksesi yang dilakukan hanya merujuk pada catatan sejarah zaman-zaman
sebelumnya, tidak ada fatwa tertulis mengenai pengangkatan yang resmi. Dalam struktur
kelembagaan perangkat keraton, seorang permaisuri harus ada. Alasan internalnya,
karakteristik sistem pemerintahan dan tradisi adat keraton yang turun menurun.
Sedangkan alasan eksternalnya, sistem keraton yang ada di seluruh dunia, monarki
konstitusional.
3. Benarkah wasiat yang dibacakan oleh saudara-saudara kandung Hangabehi
adalah wasiat langsung dari PB XII?
Mengenai surat wasiat, Pihak Tedjowulan tidak percaya, karena pihak Hangabehi
tidak bisa membuktikan. Dan penggunaan anger-angger untuk memperkuat legitimasi
anak selir tertua, juga bukan hal yang tepat. Karena dari wasiat Kangjeng Ratu Paku
Buwono dahulu, larangan kepada PB XII untuk tidak berpermaisuri sudahlah tersirat,
keraton harus menyatu dengan alam modernisasi. Apa lagi, PB XII sendiri tidak berpesan
xxvii
apa-apa mengenai siapakah penggantinya kelak. Maka, secara adat Hangabehi telah
melanggar ketentuan tak tertulis yang sebenarnya harus dilaksanakan oleh seluruh elemen
masyarakat keraton. Yaitu, mengambil sebuah keputusan mengenai masa depan keraton
dengan jalan musyawarah. Seluruh putra-dan putri dari garwa selir tanpa terkecuali.
Dalam hal ini, ketiga pangageng yang merupakan lembaga paling bertanggung jawab
dalam mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan administrasi keraton, harus mengambil
tindakan preventif yang dapat merangkul semua pihak.
4. Lalu apakah tindakan menobatkan secara langsung Tedjowulan merupakan
tindakan yang dapat dibenarkan? Mengapa sampai muncul nama
Tedjowulan?
Satu tahun sebelum PB XII wafat, Gusti Haryo Mataram, putra dalem PB X, yang
juga mantan rektor UNS, pada saat itu acara dies natalies UNS, ditanya oleh wartawan:
Siapakah yang pantas menggantikan PB XII? Yang jadi tentara itulah yang pantas, yang
tak lain adalah Tedjowulan. Sebuah ungkapan subyektif. Didengar PB XII. Ada sebuah
pengertian, panglima tertinggi adalah tentara. maka ialah yang berhak memimpin
pemerintahan keraton dengan menjadi raja. Didukung oleh rakyat dan pecinta budaya.
5. Lalu mengapa ada nama Hangabehi?
kembali pada angger-angger, karena ia anak lelaki tertua. Namun tidak semua
Hangabehi (anak lelaki pertama) menjadi raja. Kakak PB XII juga bernama Hangabehi.
tetapi adiknyalah yang menjadi raja.
6. Apa pendapat Gusti mengenai Biworo yang menetapkan Hangabehi menjadi
putra mahkota sebelum akhirnya menjadi PB XIII?
Biworo KGPAA yang disampaikan itu tidak memiliki landasan hukum yang
kuat. Selain tanpa ada persetujuan dari saya dan dua pengageng lainnya, biworo
itu secara tak langsung telah memutus mekanisme musyawarah di tingkat
keluarga yang terus digelar.
7. Lalu alasan ketiga pengageng mengangkat Tedjowulan?
Ketiga pengageng merenungi betul wasiat seorang putra dari PB X, Gusti Haryo
Mataram. Seorang intelektual, Mantan Rektor UNS, guru lemhanas, paman PB XII. Juga
xxviii
menampung aspirasi dari seluruh sentana dalem. Apalagi tedjowulan seorang kolonel,
yang secara gradual kepemimpinan sudah memenuhi.
8. Lalu jika yang didukung Tedjowulan, mengapa Hangabehi yang lebih kuat?
Karena selama ini Hangabehi tinggal di keraton. Sedangkan Tedjowulan di luar
keraton. Jika Tedjowulan mencoba menerobos, maka akan terjadi konflik. Jika konflik,
akan terjadi korban. Jika terjadi korban, yang berlaku adalah hukum negara. Karena
keraton bagian dari negara.
9. Benarkah Hangabehi pernah terlibat kasus Child Traficking?
Pernah ada kasus child traficking yang dilakukan oleh Hangabehi, dan itu
dibenarkan oleh Tedjowulan. Sebenarnya bisa dijadikan bargaining oleh kubu
Tedjowulan untuk memperkuat kekuasaannya, tapi tidak dilakukan. Karena itu adalah
aib, dan tidak akan digunakan demi kekuasaan. Biarlah proses hukum yang berjalan, tapi
tidak perlu dipermalukan.
10. Apa yang sesungguhnya terjadi di internal keraton terkait rekonsiliasi pada
tahun 2012 lalu?
Pihak pemkot melalui Joko Widodo sudah melakukan rekonsiliasi, tetapi pihak
Koes Moertiyah tidak percaya. Surat dari Menteri Dalam Negeri dianggap palsu yang
memutuskan hangabehi sebagai raja dan Tedjowulan sebagai wakil.
11. Apa saja komponen utama dari Keraton Surakarta Hadiningrat?
Keraton ada 3 hal, yaitu fisik, upacara, dan perawatan benda-bendanya. Secara
fisik sudah tidak utuh lagi. Rumah-rumah bukan lagi milik keraton. Akhirnya mereka
para abdi dalem hidup di luar keraton, meski ada sebagian yang masih bertahan karena
loyalitas. Tiap tahun keraton mendapat 300 juta rupiah dari pemkot dan 1,2 Miliar dari
Pemda. Namun biaya yang tertera tidaklah cukup untuk membiayai seluruh kegiatan
keraton yang rutin per hari, per minggu, per bulan, per tiga bulan. Seperti kegiatan besar
seperti Sekaten, Selikuran, Upacara Suro, Grebeg pasa, dan lain-lain. Untuk budaya
memang besar, tapi sudah diperingatkan oleh budayawan, jika sampai hilang, untuk
menghidupkan kembali lebih mahal. Akhirnya kerabat-kerabat berkontribusi. Sempat ada
wacana bantuan dari pemerintah pusat, tapi meminta manajemen dibenahi dulu. Dan
xxix
sejak tahun 2012, bantuan mandeg karena pihak keraton tidak bisa memberikan
pertanggungjawaban.
12. Mengapa pada akhirnya Tedjowulan mengalah?
Karena dalam Islam, seseorang harus berani merendahkan diri dan mengalah untuk
menang. Selain itu juga menjadi momentum agar Tedjowulan dapat kembali ke dalam
keraton.
xxx
Wawancara dengan Mulyanto Utomo
1. Apa sebab timbulnya dua raja di Keraton Surakarta Hadiningrat?
Konflik itu karena kepentingan perebutan kekuasaan. PB XII belum
menyiapkan putra mahkota, walaupun versi Gusti Mung (GKR Koes Moertiyah)
sudah, yaitu anak tertua. Disamping ingin menguasai keraton, dalih mereka raja
itu harus dari anak tertua. Tapi menurut Tedjowulan, tidak mampu jika Hangabehi
yang jadi raja. Dari sisi intelektual, pengelolaan, dan karakter dianggap tidak
mampu, karena Tedjowulan adalah seorang tentara, dan ini dianggap mampu.
Inilah yang menjadikan konflik. Yang satu merasa mempunyai hak, Tedjowulan
pun merasa punya hak, bila ditinjau dari kemampuannya. Tedjowulan akhirnya
dalam tanda kutip mau mengalah. Meskipun dalam kubu Hangabehi akhirnya juga
terjadi konflik, dari adik-adiknya, yaitu ingin menguasai. Gusti Mung ingin
mengatur segalanya. Sejak PB XII masih hidup, ia terus mendampingi. Gusti
Mung mempunyai kekuasaan yang kuat, legitimasi kepada abdi dalem pun kuat.
Dan rumor yang berkembang sebelum PB XII wafat, yang didukung dan
dinobatkan adalah Tedjowulan. Tedjowulan layak dalam memimpin, tapi menurut
Gusti Mung bukan dalam adat keraton.
2. Berapa persen pihak sentana dalem dan abdi dalem yang mendukung
Tedjowulan?
Persentase yg mendukung Tedjowulan itu 90%, bahkan Hangabehi sendiri
kini berlindung pada Tedjowulan. Tedjowulan patihnya. Bisa diprediksi nanti
Tedjowulan akan memiliki kemungkinan untuk menjadi raja.
3. Apa saja tugas pokok raja untuk masa sekarang ini?
Tugas pokok sebagai seorang raja sebagai pemangku adat saja di
lingkungan keraton, tidak sampai keluar.
4. Kekuatan Keraton Surakarta Hadiningrat pada saat ini?
xxxi
Keraton Surakarta Hadiningrat pada kala itu sangat mempengaruhi kondisi
sosial ekonomi politik bangsa. Maka harus dilestarikan. Bahkan Keraton
Surakarta Hadiningrat sangat berpengaruh bagi Belanda. Koran pertama kali ada
di Solo. Demikian PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), terbit di Solo. Budi
Utomo juga lahir di Solo. Salah satunya karena kekuasaan keraton saat itu.
Menjadi pusat kerajaan yang luar biasa. Ketika kemerdekaan hilang,
kekuasaannya hilang, sehingga kini hanya sisanya. Sisanya itulah kini yang
disebut budaya adiluhung (luar biasa). Kebudayaan orang Jawa dan perilakunya
paling tidak ada hubungannya dengan keraton masa lalu. Pengaruh itu yang harus
dipertahankan, nguri-nguri (lestari). Keraton kini hanya simbol, pernah ada
sebuah wilayah kerajaan pada masa lalu.
5. Benarkah Pemerintah Kota Solo untuk sementara menghentikan dana
hibah karena Gusti Mung yang tidak transparan dalam mengelola
dana hibah?
Pemerintah memberikan dana meskipun itu hibah, harus ada pertanggungjawaban
dan laporannya. Laporan itu sudah ada alurnya. Mungkin Gusti Mung tidak bisa
memberikan laporan seperti itu. Atau pemerintah bingung, ini mesti diberikan
kepada siapa, karena ada dua raja. Akhirnya pemerintah menghentikan alokasi
dana hibah untuk sementara waktu guna keraton memperbaiki manajemennya
terlebih dahulu.
xxxii
LAMPIRAN 5: Foto-foto Penulis Bersama Narasumber
Wawancara penulis bersama KGPH PA Tedjowulan di Hotel Kartika Chandra, 28 Januari2014.
xxxiii
Wawancara penulis Bersama KGPH Puger di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat,20 Januari 2014.
xxxiv
Wawancara penulis Bersama GPH Dipokusumo di Sasana Mulyo Keraton Surakarta
Hadiningrat, 18 Januari 2014.
xxxv
Wawancara penulis bersama Mulyanto Utomo, Redaktur Senior di Kantor Harian Solopos,
21 Januari 2014.
top related