keraton yogyakarta
DESCRIPTION
Keraton YogyakartaTRANSCRIPT
1. Sejarah Singkat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang
berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur
dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara
induk Kerajaan Belanda bersama negara dependen Kesultanan
Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir adalah Perjanjian Politik 1940
(Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan
yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun
1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
(bersama Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa
setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta.
Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama
kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi
dan VOC di bawah Gubernur Jendral Jacob Mossel, Kerajaan Mataram dibagi
dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan
Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah dari Kerajaan Mataram dan
Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan
nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan HB I kemudian membuat ibukota kerajaan beserta istananya
dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang
terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Yang dinamakan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan
tanggal 7 Oktober 1756. Penggantinya tetap mempertahankan gelar
Hamengku Buwono.
2. Keadaan Geografi, Sosial, Ekonomi, Politik dan Pemerintahan
a. Wilayah
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta
pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari
Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan
Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari
Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya
(sekitar 309,864500 km2), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara
memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km2). Selain itu, masih
terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600
karya (sekitar 9,3544 km persegi).
Nagari Ngayogyakarta meliputi: Kota tua Yogyakarta (di antara
Sungai Code dan Sungai Winongo) dan daerah sekitarnya dengan batas
Masjid Pathok Negara.
Nagara Agung meliputi:
(1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu
wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak
jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
(2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai
Gunung Merbabu),
(3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai
Bagawanta dan Sungai Progo),
(4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai
Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang),
(5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta
[suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
Manca Nagara meliputi:
(1) Wilayah Madiun terdiri dari daerah Madiun Kota, Magetan,
Caruban, dan Setengah Pacitan
(2) Wilayah Kediri meliputi daerah Kertosono, Kalangbret, dan Ngrowo
(Tulung Agung)
(3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto)
(4) Wilayah Rembang meliputi daerah Jipang dan Teras Karas
(Ngawen)
(5) Wilayah Semarang meliputi Selo atau Seselo (makam nenek moyang
raja Mataram), Warung (Kuwu-Wirosari), dan Sebagian Grobogan.
Wilayah tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun
terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan
Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari
Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Wilayah
tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah
Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda
akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara dan ditandatangani
Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah
dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta.
Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan
Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut
terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran
(Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).
b. Penduduk
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga
diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat
(kawula Dalem) yang menggunakan wilayah tersebut. Hal ini tidak
terlepas dari sistem pemakaian tanah yang menggunakan sistem lungguh
(tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu
perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya
dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930
penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dibedakan menjadi tiga golongan
yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata
(kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan
menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan
bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang
pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4
(anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang
termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan
dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi
tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan
Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah
penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan
pendatang dari luar. Selain itu orang asing maupun keturunannya yang
bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berada di wilayah
kesultanan.
c. Pemerintahan dan politik
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan
dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram.
Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet
(urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah
Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang
seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan
kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang
bersifat personal.
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar
masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan
Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
(1) Kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tengen, yang
keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(2) Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Gedhong Tengen, yang
keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(3) Kanayakan Siti Sewu dan Kanayakan Bumijo, yang keduanya
mengurusi tanah dan pemerintahan;
(4) Kanayakan Panumping dan Kanayakan Numbak Anyar, yang
keduanya mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang
karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin
pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan
khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus
masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-
upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam
lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota
dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat
senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem.
Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan
peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui
bawahannya, Demang, dan Bekel.
Sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan
negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin
posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta
untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di
bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan
kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri
Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi.
Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain
sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula
dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan, diangkat dan diberhentikan
berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan
pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen
Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang
dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selesai Perang Diponegoro pada 1830, pemerintahan Nagari yang
berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh
Belanda untuk mencegah pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara
de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der
Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu
pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang
dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan.
Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan
Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat 18 Maret 1940
untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan
Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat
modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN
Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah
Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam
kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana,
setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil
yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan
ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari
pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar terjadi saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB
IX) naik tahta pada tahun 1940, selama pendudukan Jepang (1942-1945).
Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan
dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan
baru yang dinamakan Paniradya untuk menampung urusan pemerintahan
yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang yang dikepalai oleh
Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan.
Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya
selaku kepala pemerintahan.
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH
Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak
itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya tapi
mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai
kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu
urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan
dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang
mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang
berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya
di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan memipin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari
beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana
dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh
Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan
pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan
berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah
administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa.
Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.
d. Hukum dan peradilan
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi
berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan
Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu :
(1) Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani
masalah kasus pidana maupun perdata.
(2) Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang
menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara
pegawai kerajaan.
(3) Al Mahkamah Al Kabirah atau sering disebut dengan Pengadilan
Surambi adalah pengadilan syar’iyah berlandaskan Syariat (Hukum)
Islam. Merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan
Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan
ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah
dan waris, serta jinayah (hukum pidana), kemudian berubah hanya
menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
(4) Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan
pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan
yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini
sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu
Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah
Dalem.
Perubahan bidang kehakiman terjadi pada 1831 ketika pemerintah
Hindia Belanda mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman
dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan
Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai
ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan
Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto
dan Bale Mangu dihapuskan pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya
dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta
menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem
peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan
yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad
Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan
pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Sistem hukum kerajaan pernah menggunakan sebuah Kitab
Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut Kitab Angger-
angger, disusun oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
pada 1817 yang terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-
biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem,
Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring
berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH diganti dengan KUH
Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.
e. Ekonomi dan Agraria
Sumber ekonomi utama bagi Kesultanan Yogyakarta adalah
tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena
itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai
seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan,
pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu.
Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu
tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah
yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi
teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai
tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam
pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga
digunakan masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari
generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian
hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat
umum bebas dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut
mereka tidak diijinkan untuk menjualnya. Hingga tahun 1816 tanah-tanah
tersebut juga disewakan kepada orang-orang Cina dan Indo-Eropa (Louw
dan De Klerck, 1984 I: 49)
Kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan
hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821
pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan
dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan
eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan
memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti
rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada
1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di
Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai
kompensasi istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana
Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah
1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan
ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula
ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880,
seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan
pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban
ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan
secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk
melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna
meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta
dijadikan romusha oleh Jepang.
f. Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di
Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar
aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan
hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan
hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni
arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung
Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang
merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari
sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain
dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam.
Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan
berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh
karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila
dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula
yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi
berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan
disampaikan melalui cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan
kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu
wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan
juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra
lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan
membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa
yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah),
dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa
tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling
menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di
lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih
mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara
pemakainya.
Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan
sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat
dinikmati oleh keluarga kerajaan yang meliputi pendidikan agama dan
sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon
(kompleks masjid raya kerajaan). Pendidikan sastra diselenggarakan oleh
Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak
terpisah.
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan
pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan
dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian
dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam
bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan
yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B.
Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan
Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi
kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun
demikian kepercayaan-kepercayaan lokal masih tetap dianut rakyat
disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritual
kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan
diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menunjukkan sebuah
kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam
dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari
pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi muncul pada 1912 dari
kalangan Imam Kerajaan. Kemudian kawasan Kauman menjadi tempat
tinggal para Imam Kerajaan dan menjadi pusat gerakan puritan itu.
g. Pertahanan dan keamanan
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem
militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah
juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan
kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan
kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun
begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal
dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta terdiri dari
angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi 26 kesatuan. Selain itu
terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari
pengawal para penguasa di Manca Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan
di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan.
Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian
hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh
Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota
dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian.
Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh
Daendels pada 1810 dan ditandatanganinya perjanjian 1812 yang
mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi
kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki
tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk
menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya
perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta
hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih
Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari
senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi
tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan
militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi
untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari
keterlibatan kesultanan dalam perang pasifik Sultan membubarkan
tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah
Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus
1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.
3. Struktur Bangunan Keraton Yogya
a. Kompleks Depan
(1) Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari
arah utara merupakan gerbang berlapis yaitu Gapura Gladhag dan
Gapura Pengurakan. Gapura Gladhag dahulu tedapat di ujung utara
Jalan Trikora (di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI 46) namun
saat ini sudah tidak ada lagi. Sementara di sebelah selatannya terdapat
Gapura Pangurakan Njawi yang saat ini menjadi gerbang pertama
yang dilewati bila masuk ke Keraton dari sisi utara.
(2) Alun-Alun Lor (Alun-Alun Utara)
Merupakan lapangan berumput di sisi utara Keraton Yogya.
Pinggiran alun-alun ditanami dengan pohon beringin dan secara
khusus di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin bernama Kyai
Dewadaru dan Kyai Janadaru.
Pada zaman dahulu hanya Sultan dan Pepatih Dalem yang
boleh berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini.
Tempat ini juga menjadi lokasi rakyat bertatap muka berkumpul untuk
menyampaikan aspirasinya kepada Sultan saat terjadinya Pisowanan
Agung.
b. Kompleks Inti
(1) Kompleks Pagelaran
Bangunan utamanya adalah Bangsal Pagelaran, atau dikenal
sebagai Tratag Rambat. Zaman dahulu digunakan sebagai tempat di
mana punggawa kesultanan menghadap Sultan dalam upacara resmi.
Saat ini tempat ini masih digunakan untuk upacara adat keraton,
namun juga dimanfaatkan untuk acara-acara pariwisata dan religi.
Teradapat pula sepasang Bangsal Pemandengan yang terletak di
sisi sebelah timur dan barat dari Pagelaran. Dahulu Bangsal
Pemandengan digunakan Sultan untuk menyaksikan latihan perang
yang dilakukan tentara kesultanan di Alun-alun Utara.
Sayap timur bagian selatan Pagelaran terdapat Bangsal
Pengrawit yang digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem.
Saat ini sisi selatan dari kompleks Pagelaran dihiasi dengan relief
perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Nilai historis lain, yaitu
sebagai bagian keraton yang digunakan sebagai tempat perintisan
Universitas Gajah Mada di mana para mahasiswa dahulu belajar
sebelum kampus UGM yang sekarang di Bulak Sumur dibangun.
(2) Kompleks Siti Hinggil
Merupakan kompleks utama yang digunakan untuk upacara
resmi kesultanan, terutama bila terjadi pelantikan sultan baru.
Kompleks ini terletak di sisi selatan Pagelaran. Pada 19 Desember
1949 di kompleks ini dilaksanakan peresmian Universitas Gajah
mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya
menggunakan dua jenjang untuk naik di sisi utara dan selatannya.
Di kompleks Siti Hinggil ini terdapat beberapa bangunan yaitu:
(a) Dua Bangsal Pacikeran yang digunakan abdi dalem mertolulut
dan Singonegoro sampai sekitar tahun 1926.
(b) Bangunan Tarub Agung yang berbentuk kanopi persegi dengan
empat tiang. Tempat ini befungsi untuk tempat singga sejenak
para pembesar menunggu romongannya masuk ke dalam istana
(c) Bangsal Kori, yaitu tempat yang digunakan para abdi dalem Kori
dan abdi dalem Jaksa untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada
Sultan.
(d) Bangsal Manguntur Tangkil, terletak di tengah-tengah Siti
Hinggil. Bangunan ini merupakan tempat Sultan duduk di atas
singgasananya saat acara-acara resmi kerajaan spert pelantikan
Sultan maupun Pisowanan Agung.
(e) Bangsal Witono, digunakan untuk menyimpan lambang-lambang
serta pusaka kerajaan pada saat ada acara resmi kerajaan
(f) Bale Bang sebagai tempat penyimpanan Gamelan Sekati, KK
Guntur Madu dan KK Naga WIlaga.
(g) Bale Angun-angun, sebagai tempat penyimpanan tombak KK
Suro Angun-Angun
(3) Kamandhungan Lor
Di bagian selatan dari Siti Hinggil terdapat sebuah lorong yang
membujur dari timur-barat. Pada bagian selatan dinding lorong
tersebut terdapat sebuah gerbang besar bernama Regol Brojonolo yang
menghubungkan Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah
timur dan barat dari sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan.
Gerbang ini hanya dibuka saat ada acara resmi kerajaan.
Untuk memasuki kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks
dalam Keraton sehari-hari bisa melalui Gapura Keben di sisi barat dan
timur kompleks Kamandhungan Lor yang menjadi penghubung ke
Rotowijayan dan Kemitbumen.
Kompleks Kamandhungan Lor sering disebut Keben karena
banyak pohon keben di halamannya. Di bagian tengah halaman,
sebagai bangunan utama di kompleks ini, berdirilah Bangsal
Ponconiti. Sampai dengan 1812, bangsal ini digunakan untuk
mengadili perkara yang secara langsung dipimpin oleh Sultan dalam
proses pengadilannya. Ada pula yang mengatakan digunakan utuk
mengadili perkara terkait keluarga kerajaan. Saat ini bangsal tersebut
digunakan untuk acara adat seperti sekaten atau garebeg. Di selatan
Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan tamu dari
kendaraan mereka. Kanopi ini bernama Bale Antiwahana.
(4) Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti berada di sebelah selatan
Kamandhungan Lor dan dihubungkan dengan Regol Sri Manganti.
Bangunan yang terdapat di kompleks ini yaitu:
(a) Pada sisi barat kompleks terdapat Bangsal Si Manganti yang
dahulu digunakan untuk menerima tamu penting kerjaan. Saat ini
digunakan untuk menyimpan beberapa pusaka keraton berupa
gamelan dan juga untuk kepentingan wisata keraton
(b) Bangsal Traju Mas, terletak di sisi timur, dahulu merupakan
tempat pejabat kerajaan mendampingi Sultan saat menyambut
tamu. Saat ini digunakan untuk menempatkan pusaka berupa
tandu dan meja hias
(c) Di sebelah timur bangsal terdapat dua meriam buatan Sultan HB
II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa Cina. Di sebelah
timurnya terdapat Gedhong Parentah Hageng Karaton, yaitu
gedung administrasi tinggi istana. Terdapat beberapa bangunan
lainnya seperti Pecaosan Jaksa, Pecaosan Prajurit, dan lain-lain.
(5) Kedhaton
Dari sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol
Donopratopo yang menghubungkannya denan kopleks Kedhaton.
Kompleks Kedhaton merupakan bagian inti dari keseluruhan
bangunan Keraton. Kompleks ini dapat dibagi menjadi tiga bagian
halaman yaitu:
(a) Pelataran Kedhaton yang merupakan tempat tinggal Sultan
(b) Pada bagian ini terdapat Bangsal Kencono yang merupakan
balairung utama istana. Bangsal ini berfungsi untuk tempat
pelaksanaan berbagai upacara khusus keluarga kerajaan.
(c) Terdapat pula Tratag Bangsa Kencana yang dulu digunakan
sebagai tempat latihan tari; Ndalem Ageng Proboyakso sebagai
pusat dari istana secara keseluruhan yang menjadi tempat
disimpannya pusaka kerajaan, tahta sultan, serta lambang-
lambang kerajaan lainnya; Gedhong Kenen sebagai tempat
tinggal resmi Sultan yang bertahta; Gedhong Purworetno sebagai
kantor resmi sultan; Bangsal Manis sebagai tempat perjamuan
resmi kerajaan dan tempat membersihkan pusaka pada bulan
Suro; serta masih ada banyak bangsal dan gedhong lainnya.
(d) Keputren yang merupakan tempat tinggal istri dan para putri
Sultan, secara khusus bagi putri Sultan yang belum menikah.
Sejak dahulu sampai sekarang tempat ini selalu tetutup untuk
umum.
(e) Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para putra Sultan,
terutama yang belum menikah. Terdapat Pendapa Kesatriyan,
Gedhong Prignggadani, dan Gedhong Srikaton. Saat ini tempat ini
digunakan untuk menyelenggarakan acara-acara pariwisata.
(6) Kamagangan
Dari selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol
Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan
kompleks Kamagangan. Pada gerbang ini terdapat patung dua
ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton
Yogyakarta. Kompleks ini dahulu digunakan untuk penerimaan
calon abdi dalem, tempat berlatih, tempat ujian, dan apel
kesetiaan para abdi dalem yang masih magang. Dalam kompleks
ini terdapat beberapa bagian yaitu:
(a) Bangsal Magangan sebagai tempat upacara Bedhol
Songsong, yaitu pertunjukan wayang kulit yang menandai
selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton
(b) Pawon Ageng yang merupakan dapur istana, terdiri dari
Sekul Langgen di timur dan Pawon Ageng Gebulen di barat
(c) Panti Pareden, tempat pembuatan gubungan menjelang
upacara garebeg
(7) Kamandhungan Kidul
Dari selatan kompleks Kamagangan terdapat gerbang Regol
Gadhung Mlati yang menghubungkannya dengan kompleks
Kamandhungan Kidul. Di kompleks ini terdapat bangunan
Bangsal Kamandhungan, yang konon berasal dari pendopo desa
Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi
tempat Sri Sultan HB I bermarkas saat perang.
(8) Siti Hinggil Kidul
Dikenal sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di
sebelah utara alun-alun Kidul, dengan luas kurang lebih 500
meter2. Dulu di tengahnya terdapat pendopo sederhana, kemudian
tahun 1956 dipugar menjadi Gedhing Sasana Hinggil Dwi Abad
untuk memperingati 200 tahun kota Yogyakarta.
Tempat ini dahulu digunakan Sultan untuk menonton para
prajurit Keraton yang melakukan gladi resik upacara Garebeg,
pertunjukan adu manias dengan macan, dan tempat latihan
prajurit perempuan Langen Kusumo. Tempat ini juga menjadi
awal dari prosesi perjalanan upacara pemakaman Sultan yang
wafat menuju Imogiri. Saat ini lebih sering digunakan untuk
pertunjukan seni seperti wayang kulit, pameran, dan lain-lain.
c. Kompleks Belakang
(1) Alun-Alun Kidul (Alun-alun Selatan)
Alun-alun Kidul sering disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran
berasal dari kata pengker yang berarti belakang. Alun-alun ini
dikelilingi tembok persegi dengan lima gapura, satu di selatan dan
masing-masing dua di timur dan barat.
Berbeda dengan Alun-alun Utara, di Alun-alun Selatan hanya
ada dua pasang pohon beringin. Sepasang di tengah alun-alun yang
dinamakan Supit Urang dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi
selatan yang dinamakan Wok. Dari gapura sisi selatan terdapat jalan
Gading yang menghubungkanya dengan Plengkung Nirbaya.
(2) Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan dari poros utama
Keraton. Merupakan tempat Sultan HB I masuk ke Keraton Yogya
untuk pertama kalinya saat terjadi pemindahan pusat pemerintahan
dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini menjadi rute keluar
prosesi pemakaman Sultan ke Imogiri. Oleh karena itu tempat ini
kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
4. Silsilah Raja-Raja Keraton Yogyakarta
a. Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792)
Sultan HB I lahir dengan nama Raden Mas Sujana,
merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan
HB I terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi sebelum naik
tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan
Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II.
Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi,
ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan
Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni
Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram).
b. Sultan Hamengku Buwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828)
Hamengkubuwono II atau terkenal dengan nama
Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan
Belanda, antara lain menentang gubernur jendral
Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan
protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat
kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan
misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi,
perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta
tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa
Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya
bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika
Inggris menginjakkan kaki di jawa sampai pertengahan 1812 ketika tentara
Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam
perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III,
Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa
hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II.
Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun
benteng kraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles
menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian
diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.
c. Sultan Hamengku Buwono III (1769 – 3 November
1814)
Hamengkubuwana III adalah putra dari
Hamengkubuwana II. Setahun kemudian ketika
Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di
bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan
Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin
oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun
(1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton
Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-
kemunduran tersebut antara lain :
(1) Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu,
separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan
diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya.
(2) Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara
keamanan keraton.
(3) Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran
Notokusumo yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi
Pangeran Adipati Ario Paku Alam I.
Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun.
d. Sultan Hamengku Buwono IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822)
Hamengkubuwono IV sewaktu kecil bernama BRM
Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, maka
dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I
hingga tahun 1820. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat
bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar
(Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).
e. Sultan Hamengku Buwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni
1855)
Hamengkubuwono V bernama kecil Raden Mas
Menol dan diangkat sebagai raja dalam usia 3 tahun dan
dibantu dewan perwalian antara lain Pangeran
Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa
pemerintahannya terjadi peristiwa penting yaitu Perang
Jawa atau Perang Diponegoro (1825 – 1830). Setelah perang selesai
angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta diperkecil menjadi sama
seperti sekarang ini.
Angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah,
macam senjata, personil dan perlengkapan lain diatur oleh Belanda untuk
mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda.
Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang
dapat menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.
f. Sultan Hamengku Buwono VI (19 Agustus 1821 – 20 Juli 1877)
Sultan HB VI adalah adik dari Hamengkubuwono
V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran
Adipati Mangkubumi. Kedekatannya dengan Belanda
membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada
tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda.
g. Sultan Hamengku Buwono VII
Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra HB
VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta
menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII,
banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang
seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik
memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp
200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering
dijuluki Sultan Sugih.
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju
modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan
mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Tanggal 29 Januari 1920 HB VII yang saat itu berusia lebih dari 80
tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota
sebagai penggantinya. Peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya
karena putera mahkota yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal
dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang
tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII
yang terkenal selalu menentang aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah
menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali
ini berbeda karena pengangkatan HB VIII dilakukan saat HB VII masih
hidup, bahkan menurut cerita sang ayah diasingkan oleh anaknya
pengganti putera mahkota yang wafat ke luar keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang
anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero)
yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan
kerajaan. Setelah turun tahta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan
“Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya” yang artinya
masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang
meninggal di luar keraton, yaitu HB VIII meninggal dunia di tengah
perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika
Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang
meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di
keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta
pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di
Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini
bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah
berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.
h. Sultan Hamengku Buwono VIII (3 Maret 1880 - 22
Oktober 1939)
Sri Sultan HB VIII dinobatkan menjadi Sultan
Yogyakarta tanggal 8 Februari 1921. Pada masa HaB
VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana
yang dipakai untuk berbagai kegiatan.
Putra-putra HB VIII banyak disekolahkan hingga
perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah
GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX,
yang bersekolah di Universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi
bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal
Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan
Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah
tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Beliau
meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta
karena menderita sakit.
i. Sultan Hamengku Buwono IX
Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun,
putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden
Ajeng Kustilah. Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai
Sultan Yogyakarta tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo
Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng
Kaping Songo”. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara
tahun 1973-1978. Beliau dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia dan
pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington
University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di
pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.
j. Sultan Hamengku Buwono X
Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM
Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH
Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota
diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo
Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubuwono X
adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan
dinobatkan sebagai raja tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab
1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri
Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin
Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa.
Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan,
pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini
Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003
beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008.
Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.Sejak
menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal
di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa,
dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran
Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat
setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung
yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di
kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk
kepentingan bangsa dan negara.