keraton yogyakarta

40
1. Sejarah Singkat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir adalah Perjanjian Politik 1940 (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai. Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur Jendral Jacob Mossel, Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah dari Kerajaan Mataram dan Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya

Upload: amarianadewi

Post on 25-Oct-2015

85 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Keraton Yogyakarta

TRANSCRIPT

Page 1: Keraton Yogyakarta

1. Sejarah Singkat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang

berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur

dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara

induk Kerajaan Belanda bersama negara dependen Kesultanan

Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir adalah Perjanjian Politik 1940

(Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan

yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun

1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

(bersama Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa

setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta.

Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama

kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.

Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi

dan VOC di bawah Gubernur Jendral Jacob Mossel, Kerajaan Mataram dibagi

dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan

Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah dari Kerajaan Mataram dan

Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan

nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan HB I kemudian membuat ibukota kerajaan beserta istananya

dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang

terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Yang dinamakan

Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan

tanggal 7 Oktober 1756. Penggantinya tetap mempertahankan gelar

Hamengku Buwono.

2. Keadaan Geografi, Sosial, Ekonomi, Politik dan Pemerintahan

a. Wilayah

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta

pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari

Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan

Page 2: Keraton Yogyakarta

Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari

Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya

(sekitar 309,864500 km2), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara

memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km2). Selain itu, masih

terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600

karya (sekitar 9,3544 km persegi).

Nagari Ngayogyakarta meliputi: Kota tua Yogyakarta (di antara

Sungai Code dan Sungai Winongo) dan daerah sekitarnya dengan batas

Masjid Pathok Negara.

Nagara Agung meliputi:

(1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu

wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak

jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),

(2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai

Gunung Merbabu),

(3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai

Bagawanta dan Sungai Progo),

(4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai

Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang),

(5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta

[suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).

Manca Nagara meliputi:

(1) Wilayah Madiun terdiri dari daerah Madiun Kota, Magetan,

Caruban, dan Setengah Pacitan

(2) Wilayah Kediri meliputi daerah Kertosono, Kalangbret, dan Ngrowo

(Tulung Agung)

(3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto)

(4) Wilayah Rembang meliputi daerah Jipang dan Teras Karas

(Ngawen)

Page 3: Keraton Yogyakarta

(5) Wilayah Semarang meliputi Selo atau Seselo (makam nenek moyang

raja Mataram), Warung (Kuwu-Wirosari), dan Sebagian Grobogan.

Wilayah tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun

terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan

Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari

Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Wilayah

tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah

Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda

akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara dan ditandatangani

Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah

dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta.

Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan

Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut

terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran

(Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

b. Penduduk

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga

diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat

(kawula Dalem) yang menggunakan wilayah tersebut. Hal ini tidak

terlepas dari sistem pemakaian tanah yang menggunakan sistem lungguh

(tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu

perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya

dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930

penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dibedakan menjadi tiga golongan

yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata

(kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan

menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan

bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang

pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4

Page 4: Keraton Yogyakarta

(anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang

termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan

dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat

keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi

tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan

Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah

penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan

pendatang dari luar. Selain itu orang asing maupun keturunannya yang

bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berada di wilayah

kesultanan.

c. Pemerintahan dan politik

Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan

dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram.

Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet

(urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah

Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang

seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan

kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang

bersifat personal.

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar

masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan

Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:

(1) Kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tengen, yang

keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;

(2) Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Gedhong Tengen, yang

keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.

Kementerian urusan luar adalah

(3) Kanayakan Siti Sewu dan Kanayakan Bumijo, yang keduanya

mengurusi tanah dan pemerintahan;

Page 5: Keraton Yogyakarta

(4) Kanayakan Panumping dan Kanayakan Numbak Anyar, yang

keduanya mengurusi pertahanan.

Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang

karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin

pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan

khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus

masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-

upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam

lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota

dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat

senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem.

Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan

peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui

bawahannya, Demang, dan Bekel.

Sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan

negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin

posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta

untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di

bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan

kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri

Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi.

Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain

sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula

dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan, diangkat dan diberhentikan

berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan

pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen

Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang

dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.

Selesai Perang Diponegoro pada 1830, pemerintahan Nagari yang

berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh

Page 6: Keraton Yogyakarta

Belanda untuk mencegah pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara

de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der

Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu

pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang

dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan.

Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan

Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat 18 Maret 1940

untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan

Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat

modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN

Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah

Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam

kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana,

setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil

yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan

ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari

pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar terjadi saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB

IX) naik tahta pada tahun 1940, selama pendudukan Jepang (1942-1945).

Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan

dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan

baru yang dinamakan Paniradya untuk menampung urusan pemerintahan

yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang yang dikepalai oleh

Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan

Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan.

Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya

selaku kepala pemerintahan.

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH

Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak

itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya tapi

mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai

Page 7: Keraton Yogyakarta

kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu

urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan

dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang

mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang

berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya

di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.

Sultan memipin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari

beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana

dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh

Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan

pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan

berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah

administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa.

Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.

d. Hukum dan peradilan

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi

berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan

Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu :

(1) Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani

masalah kasus pidana maupun perdata.

(2) Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang

menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara

pegawai kerajaan.

(3) Al Mahkamah Al Kabirah atau sering disebut dengan Pengadilan

Surambi adalah pengadilan syar’iyah berlandaskan Syariat (Hukum)

Islam. Merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan

Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan

ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah

dan waris, serta jinayah (hukum pidana), kemudian berubah hanya

menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.

Page 8: Keraton Yogyakarta

(4) Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan

pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan

yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini

sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu

Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah

Dalem.

Perubahan bidang kehakiman terjadi pada 1831 ketika pemerintah

Hindia Belanda mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman

dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan

Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai

ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan

Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto

dan Bale Mangu dihapuskan pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya

dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta

menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem

peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan

yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad

Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan

pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.

Sistem hukum kerajaan pernah menggunakan sebuah Kitab

Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut Kitab Angger-

angger, disusun oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta

pada 1817 yang terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-

biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem,

Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring

berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH diganti dengan KUH

Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.

e. Ekonomi dan Agraria

Sumber ekonomi utama bagi Kesultanan Yogyakarta adalah

tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena

itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai

Page 9: Keraton Yogyakarta

seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan,

pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu.

Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu

tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah

yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi

teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai

tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam

pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga

digunakan masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari

generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian

hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat

umum bebas dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut

mereka tidak diijinkan untuk menjualnya. Hingga tahun 1816 tanah-tanah

tersebut juga disewakan kepada orang-orang Cina dan Indo-Eropa (Louw

dan De Klerck, 1984 I: 49)

Kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan

hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821

pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan

dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan

eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan

memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti

rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada

1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di

Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai

kompensasi istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana

Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah

1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan

ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula

ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880,

seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan

pembangunan infrastruktur.

Page 10: Keraton Yogyakarta

Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban

ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan

secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk

melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna

meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta

dijadikan romusha oleh Jepang.

f. Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di

Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar

aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan

hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan

hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni

arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung

Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang

merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari

sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain

dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk

penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam.

Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan

berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh

karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila

dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula

yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi

berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan

disampaikan melalui cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan

kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu

wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan

juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra

lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan

Page 11: Keraton Yogyakarta

membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa

yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah),

dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa

tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling

menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di

lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih

mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara

pemakainya.

Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan

sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat

dinikmati oleh keluarga kerajaan yang meliputi pendidikan agama dan

sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon

(kompleks masjid raya kerajaan). Pendidikan sastra diselenggarakan oleh

Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak

terpisah.

Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan

pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan

dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian

dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam

bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan

yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B.

Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan

Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi

kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang

kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun

demikian kepercayaan-kepercayaan lokal masih tetap dianut rakyat

disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritual

kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan

diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menunjukkan sebuah

kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam

dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari

Page 12: Keraton Yogyakarta

pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi muncul pada 1912 dari

kalangan Imam Kerajaan. Kemudian kawasan Kauman menjadi tempat

tinggal para Imam Kerajaan dan menjadi pusat gerakan puritan itu.

g. Pertahanan dan keamanan

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem

militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah

juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan

kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan

kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun

begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal

dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta terdiri dari

angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi 26 kesatuan. Selain itu

terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari

pengawal para penguasa di Manca Nagara.

Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan

di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan.

Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian

hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh

Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota

dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian.

Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh

Daendels pada 1810 dan ditandatanganinya perjanjian 1812 yang

mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi

kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki

tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk

menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.

Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya

perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta

hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih

Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari

senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi

Page 13: Keraton Yogyakarta

tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan

militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi

untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari

keterlibatan kesultanan dalam perang pasifik Sultan membubarkan

tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah

Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus

1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

3. Struktur Bangunan Keraton Yogya

a. Kompleks Depan

(1) Gladhag-Pangurakan

Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari

arah utara merupakan gerbang berlapis yaitu Gapura Gladhag dan

Gapura Pengurakan. Gapura Gladhag dahulu tedapat di ujung utara

Jalan Trikora (di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI 46) namun

saat ini sudah tidak ada lagi. Sementara di sebelah selatannya terdapat

Gapura Pangurakan Njawi yang saat ini menjadi gerbang pertama

yang dilewati bila masuk ke Keraton dari sisi utara.

(2) Alun-Alun Lor (Alun-Alun Utara)

Merupakan lapangan berumput di sisi utara Keraton Yogya.

Pinggiran alun-alun ditanami dengan pohon beringin dan secara

khusus di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin bernama Kyai

Dewadaru dan Kyai Janadaru.

Pada zaman dahulu hanya Sultan dan Pepatih Dalem yang

boleh berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini.

Tempat ini juga menjadi lokasi rakyat bertatap muka berkumpul untuk

menyampaikan aspirasinya kepada Sultan saat terjadinya Pisowanan

Agung.

Page 14: Keraton Yogyakarta

b. Kompleks Inti

(1) Kompleks Pagelaran

Bangunan utamanya adalah Bangsal Pagelaran, atau dikenal

sebagai Tratag Rambat. Zaman dahulu digunakan sebagai tempat di

mana punggawa kesultanan menghadap Sultan dalam upacara resmi.

Saat ini tempat ini masih digunakan untuk upacara adat keraton,

namun juga dimanfaatkan untuk acara-acara pariwisata dan religi.

Teradapat pula sepasang Bangsal Pemandengan yang terletak di

sisi sebelah timur dan barat dari Pagelaran. Dahulu Bangsal

Pemandengan digunakan Sultan untuk menyaksikan latihan perang

yang dilakukan tentara kesultanan di Alun-alun Utara.

Sayap timur bagian selatan Pagelaran terdapat Bangsal

Pengrawit yang digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem.

Saat ini sisi selatan dari kompleks Pagelaran dihiasi dengan relief

perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Nilai historis lain, yaitu

sebagai bagian keraton yang digunakan sebagai tempat perintisan

Universitas Gajah Mada di mana para mahasiswa dahulu belajar

sebelum kampus UGM yang sekarang di Bulak Sumur dibangun.

(2) Kompleks Siti Hinggil

Merupakan kompleks utama yang digunakan untuk upacara

resmi kesultanan, terutama bila terjadi pelantikan sultan baru.

Kompleks ini terletak di sisi selatan Pagelaran. Pada 19 Desember

1949 di kompleks ini dilaksanakan peresmian Universitas Gajah

mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya

menggunakan dua jenjang untuk naik di sisi utara dan selatannya.

Di kompleks Siti Hinggil ini terdapat beberapa bangunan yaitu:

(a) Dua Bangsal Pacikeran yang digunakan abdi dalem mertolulut

dan Singonegoro sampai sekitar tahun 1926.

(b) Bangunan Tarub Agung yang berbentuk kanopi persegi dengan

empat tiang. Tempat ini befungsi untuk tempat singga sejenak

para pembesar menunggu romongannya masuk ke dalam istana

Page 15: Keraton Yogyakarta

(c) Bangsal Kori, yaitu tempat yang digunakan para abdi dalem Kori

dan abdi dalem Jaksa untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada

Sultan.

(d) Bangsal Manguntur Tangkil, terletak di tengah-tengah Siti

Hinggil. Bangunan ini merupakan tempat Sultan duduk di atas

singgasananya saat acara-acara resmi kerajaan spert pelantikan

Sultan maupun Pisowanan Agung.

(e) Bangsal Witono, digunakan untuk menyimpan lambang-lambang

serta pusaka kerajaan pada saat ada acara resmi kerajaan

(f) Bale Bang sebagai tempat penyimpanan Gamelan Sekati, KK

Guntur Madu dan KK Naga WIlaga.

(g) Bale Angun-angun, sebagai tempat penyimpanan tombak KK

Suro Angun-Angun

(3) Kamandhungan Lor

Di bagian selatan dari Siti Hinggil terdapat sebuah lorong yang

membujur dari timur-barat. Pada bagian selatan dinding lorong

tersebut terdapat sebuah gerbang besar bernama Regol Brojonolo yang

menghubungkan Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah

timur dan barat dari sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan.

Gerbang ini hanya dibuka saat ada acara resmi kerajaan.

Untuk memasuki kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks

dalam Keraton sehari-hari bisa melalui Gapura Keben di sisi barat dan

timur kompleks Kamandhungan Lor yang menjadi penghubung ke

Rotowijayan dan Kemitbumen.

Kompleks Kamandhungan Lor sering disebut Keben karena

banyak pohon keben di halamannya. Di bagian tengah halaman,

sebagai bangunan utama di kompleks ini, berdirilah Bangsal

Ponconiti. Sampai dengan 1812, bangsal ini digunakan untuk

mengadili perkara yang secara langsung dipimpin oleh Sultan dalam

proses pengadilannya. Ada pula yang mengatakan digunakan utuk

mengadili perkara terkait keluarga kerajaan. Saat ini bangsal tersebut

digunakan untuk acara adat seperti sekaten atau garebeg. Di selatan

Page 16: Keraton Yogyakarta

Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan tamu dari

kendaraan mereka. Kanopi ini bernama Bale Antiwahana.

(4) Sri Manganti

Kompleks Sri Manganti berada di sebelah selatan

Kamandhungan Lor dan dihubungkan dengan Regol Sri Manganti.

Bangunan yang terdapat di kompleks ini yaitu:

(a) Pada sisi barat kompleks terdapat Bangsal Si Manganti yang

dahulu digunakan untuk menerima tamu penting kerjaan. Saat ini

digunakan untuk menyimpan beberapa pusaka keraton berupa

gamelan dan juga untuk kepentingan wisata keraton

(b) Bangsal Traju Mas, terletak di sisi timur, dahulu merupakan

tempat pejabat kerajaan mendampingi Sultan saat menyambut

tamu. Saat ini digunakan untuk menempatkan pusaka berupa

tandu dan meja hias

(c) Di sebelah timur bangsal terdapat dua meriam buatan Sultan HB

II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa Cina. Di sebelah

timurnya terdapat Gedhong Parentah Hageng Karaton, yaitu

gedung administrasi tinggi istana. Terdapat beberapa bangunan

lainnya seperti Pecaosan Jaksa, Pecaosan Prajurit, dan lain-lain.

(5) Kedhaton

Dari sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol

Donopratopo yang menghubungkannya denan kopleks Kedhaton.

Kompleks Kedhaton merupakan bagian inti dari keseluruhan

bangunan Keraton. Kompleks ini dapat dibagi menjadi tiga bagian

halaman yaitu:

(a) Pelataran Kedhaton yang merupakan tempat tinggal Sultan

(b) Pada bagian ini terdapat Bangsal Kencono yang merupakan

balairung utama istana. Bangsal ini berfungsi untuk tempat

pelaksanaan berbagai upacara khusus keluarga kerajaan.

(c) Terdapat pula Tratag Bangsa Kencana yang dulu digunakan

sebagai tempat latihan tari; Ndalem Ageng Proboyakso sebagai

pusat dari istana secara keseluruhan yang menjadi tempat

Page 17: Keraton Yogyakarta

disimpannya pusaka kerajaan, tahta sultan, serta lambang-

lambang kerajaan lainnya; Gedhong Kenen sebagai tempat

tinggal resmi Sultan yang bertahta; Gedhong Purworetno sebagai

kantor resmi sultan; Bangsal Manis sebagai tempat perjamuan

resmi kerajaan dan tempat membersihkan pusaka pada bulan

Suro; serta masih ada banyak bangsal dan gedhong lainnya.

(d) Keputren yang merupakan tempat tinggal istri dan para putri

Sultan, secara khusus bagi putri Sultan yang belum menikah.

Sejak dahulu sampai sekarang tempat ini selalu tetutup untuk

umum.

(e) Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para putra Sultan,

terutama yang belum menikah. Terdapat Pendapa Kesatriyan,

Gedhong Prignggadani, dan Gedhong Srikaton. Saat ini tempat ini

digunakan untuk menyelenggarakan acara-acara pariwisata.

(6) Kamagangan

Dari selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol

Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan

kompleks Kamagangan. Pada gerbang ini terdapat patung dua

ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton

Yogyakarta. Kompleks ini dahulu digunakan untuk penerimaan

calon abdi dalem, tempat berlatih, tempat ujian, dan apel

kesetiaan para abdi dalem yang masih magang. Dalam kompleks

ini terdapat beberapa bagian yaitu:

(a) Bangsal Magangan sebagai tempat upacara Bedhol

Songsong, yaitu pertunjukan wayang kulit yang menandai

selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton

(b) Pawon Ageng yang merupakan dapur istana, terdiri dari

Sekul Langgen di timur dan Pawon Ageng Gebulen di barat

(c) Panti Pareden, tempat pembuatan gubungan menjelang

upacara garebeg

Page 18: Keraton Yogyakarta

(7) Kamandhungan Kidul

Dari selatan kompleks Kamagangan terdapat gerbang Regol

Gadhung Mlati yang menghubungkannya dengan kompleks

Kamandhungan Kidul. Di kompleks ini terdapat bangunan

Bangsal Kamandhungan, yang konon berasal dari pendopo desa

Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi

tempat Sri Sultan HB I bermarkas saat perang.

(8) Siti Hinggil Kidul

Dikenal sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di

sebelah utara alun-alun Kidul, dengan luas kurang lebih 500

meter2. Dulu di tengahnya terdapat pendopo sederhana, kemudian

tahun 1956 dipugar menjadi Gedhing Sasana Hinggil Dwi Abad

untuk memperingati 200 tahun kota Yogyakarta.

Tempat ini dahulu digunakan Sultan untuk menonton para

prajurit Keraton yang melakukan gladi resik upacara Garebeg,

pertunjukan adu manias dengan macan, dan tempat latihan

prajurit perempuan Langen Kusumo. Tempat ini juga menjadi

awal dari prosesi perjalanan upacara pemakaman Sultan yang

wafat menuju Imogiri. Saat ini lebih sering digunakan untuk

pertunjukan seni seperti wayang kulit, pameran, dan lain-lain.

c. Kompleks Belakang

(1) Alun-Alun Kidul (Alun-alun Selatan)

Alun-alun Kidul sering disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran

berasal dari kata pengker yang berarti belakang. Alun-alun ini

dikelilingi tembok persegi dengan lima gapura, satu di selatan dan

masing-masing dua di timur dan barat.

Berbeda dengan Alun-alun Utara, di Alun-alun Selatan hanya

ada dua pasang pohon beringin. Sepasang di tengah alun-alun yang

dinamakan Supit Urang dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi

selatan yang dinamakan Wok. Dari gapura sisi selatan terdapat jalan

Gading yang menghubungkanya dengan Plengkung Nirbaya.

Page 19: Keraton Yogyakarta

(2) Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan dari poros utama

Keraton. Merupakan tempat Sultan HB I masuk ke Keraton Yogya

untuk pertama kalinya saat terjadi pemindahan pusat pemerintahan

dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini menjadi rute keluar

prosesi pemakaman Sultan ke Imogiri. Oleh karena itu tempat ini

kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.

4. Silsilah Raja-Raja Keraton Yogyakarta

a. Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792)

Sultan HB I lahir dengan nama Raden Mas Sujana,

merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan

HB I terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi sebelum naik

tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan

Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II.

Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi,

ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan

Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni

Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram).

b. Sultan Hamengku Buwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828)

Hamengkubuwono II atau terkenal dengan nama

Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan

Belanda, antara lain menentang gubernur jendral

Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan

protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat

kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan

misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi,

perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta

tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa

Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya

bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika

Page 20: Keraton Yogyakarta

Inggris menginjakkan kaki di jawa sampai pertengahan 1812 ketika tentara

Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam

perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III,

Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa

hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II.

Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun

benteng kraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles

menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian

diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.

c. Sultan Hamengku Buwono III (1769 – 3 November

1814)

Hamengkubuwana III adalah putra dari

Hamengkubuwana II. Setahun kemudian ketika

Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di

bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan

Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin

oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun

(1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton

Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-

kemunduran tersebut antara lain :

(1) Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu,

separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan

diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya.

(2) Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara

keamanan keraton.

(3) Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran

Notokusumo yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi

Pangeran Adipati Ario Paku Alam I.

Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun.

d. Sultan Hamengku Buwono IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822)

Page 21: Keraton Yogyakarta

Hamengkubuwono IV sewaktu kecil bernama BRM

Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, maka

dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I

hingga tahun 1820. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat

bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar

(Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).

e. Sultan Hamengku Buwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni

1855)

Hamengkubuwono V bernama kecil Raden Mas

Menol dan diangkat sebagai raja dalam usia 3 tahun dan

dibantu dewan perwalian antara lain Pangeran

Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa

pemerintahannya terjadi peristiwa penting yaitu Perang

Jawa atau Perang Diponegoro (1825 – 1830). Setelah perang selesai

angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta diperkecil menjadi sama

seperti sekarang ini.

Angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah,

macam senjata, personil dan perlengkapan lain diatur oleh Belanda untuk

mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda.

Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang

dapat menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.

f. Sultan Hamengku Buwono VI (19 Agustus 1821 – 20 Juli 1877)

Sultan HB VI adalah adik dari Hamengkubuwono

V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran

Adipati Mangkubumi. Kedekatannya dengan Belanda

membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada

tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda.

Page 22: Keraton Yogyakarta

g. Sultan Hamengku Buwono VII

Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra HB

VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta

menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII,

banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang

seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik

memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp

200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering

dijuluki Sultan Sugih.

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju

modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan

mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

Tanggal 29 Januari 1920 HB VII yang saat itu berusia lebih dari 80

tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota

sebagai penggantinya. Peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya

karena putera mahkota yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal

dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang

tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII

yang terkenal selalu menentang aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah

menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali

ini berbeda karena pengangkatan HB VIII dilakukan saat HB VII masih

hidup, bahkan menurut cerita sang ayah diasingkan oleh anaknya

pengganti putera mahkota yang wafat ke luar keraton Yogyakarta.

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang

anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero)

yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan

kerajaan. Setelah turun tahta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan

“Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya” yang artinya

masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang

Page 23: Keraton Yogyakarta

meninggal di luar keraton, yaitu HB VIII meninggal dunia di tengah

perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika

Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang

meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di

keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta

pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di

Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini

bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah

berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.

h. Sultan Hamengku Buwono VIII (3 Maret 1880 - 22

Oktober 1939)

Sri Sultan HB VIII dinobatkan menjadi Sultan

Yogyakarta tanggal 8 Februari 1921. Pada masa HaB

VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana

yang dipakai untuk berbagai kegiatan.

Putra-putra HB VIII banyak disekolahkan hingga

perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah

GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX,

yang bersekolah di Universitas Leiden.

Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi

bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal

Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan

Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah

tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Beliau

meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta

karena menderita sakit.

i. Sultan Hamengku Buwono IX

Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun,

putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden

Ajeng Kustilah. Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai

Page 24: Keraton Yogyakarta

Sultan Yogyakarta tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem

Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo

Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng

Kaping Songo”. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara

tahun 1973-1978. Beliau dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia dan

pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington

University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di

pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.

j. Sultan Hamengku Buwono X

Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM

Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH

Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota

diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo

Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubuwono X

adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan

dinobatkan sebagai raja tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab

1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri

Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin

Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa.

Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan,

pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini

Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003

beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008.

Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.Sejak

menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal

di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa,

dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya.

Page 25: Keraton Yogyakarta

Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran

Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat

setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung

yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di

kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk

kepentingan bangsa dan negara.