kekuatan pembuktian audit investigasi …/kekuatan... · kekuatan pembuktian audit investigasi oleh...
Post on 06-Sep-2018
257 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
KEKUATAN PEMBUKTIAN AUDIT INVESTIGASI OLEH BADAN
PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI
KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS KORUPSI PIMPINAN DPRD KOTA SURAKARTA)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
RATNA KUSUMA DEWI
NIM : E0005262
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KEKUATAN PEMBUKTIAN AUDIT INVESTIGASI OLEH BADAN
PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI
KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS KORUPSI PIMPINAN DPRD KOTA SURAKARTA)
Disusun oleh :
RATNA KUSUMA DEWI
NIM : E0005262
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Sugeng Praptono, S.H, M.H NIP. 131 411 016
Pembimbing II
Bambang Santoso, S.H, M.Hum NIP.131 863 797
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KEKUATAN PEMBUKTIAN AUDIT INVESTIGASI OLEH BADAN
PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI
KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS KORUPSI PIMPINAN DPRD KOTA SURAKARTA)
Disusun oleh :
RATNA KUSUMA DEWI
NIM : E0005262
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 16 Juli 2009
TIM PENGUJI
1. Isharyanto, S.H., M.H. ( .................................. ) NIP. 132 306 584 Ketua 2. Sugeng Praptono, S.H., M.H ( .................................. ) NIP. 131 411 016 Pembimbing I 3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ................................. ) NIP. 131 863 797 Pembimbing II
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.
NIP.196109301986011001
iv
ABSTRAK
RATNA KUSUMA DEWI. E0005262. KEKUATAN PEMBUKTIAN AUDIT INVESTIGASI OLEH BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS KORUPSI PIMPINAN DPRD KOTA SURAKARTA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) proses penyusunan audit investigasi oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perkara tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun 2003, dan (2) tentang kekuatan pembuktian keterangan ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun 2003.
Penelitian ini merupakan penelitian empiris yaitu penelitian dimana pada awalnya yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau di masyarakat. Penelitian empiris merupakan penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai perilaku – perilaku nyata dalam relaitas sosial/ masyarakat (Law in Action). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi lapangan dan studi kepustakaan. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi lapangan dan studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan audit investigasi oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perkara tindak pidana korupsi APBD Kota Surakarta Tahun 2003 meliputi: adanya permintaan dari Penyidik untuk melakukan audit terhadap perkara korupsi, dikeluarkan surat tugas dari Kepala BPKP, pelaksanaan audit terhadap bukti – bukti yang berkaitan dengan perkara yang diajukan untuk diaudit, pembuatan laporan audit, pembahasan hasil temuan dengan Penyidik, Kekuatan pembuktian keterangan ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun 2003 mempengaruhi keyakinan hakim dalam penjatuhan putusan sebagaimana tertuang dalam Putusan No. 119/PID.B/2005/PN. SKA pada tanggal 22 Agustus 2005.
v
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap
dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
- An-Nisa 4 : 135 -
Tak ada yang namanya rahasia sukses. Sukses adalah hasil persiapan, kerja
keras, dan belajar dari kegagalan.
- Colin Powell -
Bukan besar atau kecil yang membuat engkau menang atau gagal, tetapi
jadilah yang terbaik siapapun engkau adanya
- Douglas Mallock -
Don’t Put Off Until Tomorrow What You Can Do To Day
- Penulis -
Dibalik Musibah Tersimpan Kebahagiaan
- Penulis -
vi
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan
kepada :
§ Allah SWT, Pemilik Semesta Raya,
yang senantiasa memberikan yang
terbaik dalam setiap detik episode
kehidupan;
§ Ayah dan Bunda yang telah memberi
dukungan dan meyakinkan bahwa aku
pasti bisa menyelesaikan pendidikan;
§ Adiku yang selalu membantu dan
menyemangati;
§ Indonesia tercinta, tempat aku
bernaung;
§ Almamaterku, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: KEKUATAN
PEMBUKTIAN AUDIT INVESTIGASI OLEH BADAN PENGAWAS
KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI KETERANGAN
AHLI TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI
KASUS KORUPSI PIMPINAN DPRD KOTA SURAKARTA). Penulisan
skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan skripsi.
2. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Skripsi di Bagian
Hukum Tata Negara yang telah membimbing dan memberikan ilmunya
kepada penulis.
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang
telah menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan
ilmu, bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk
memberi nasihat, cerita, serta mendengar keluh kesah penulis.
viii
4. Bapak Rehlamen Ginting, S.H, M.H, yang telah menyediakan waktu serta
pikirannya bagi tersusunnya skripsi ini dan juga atas semangat dan
motivasinya sehingga penulis dapat segera menyelesaiakan skripsi ini.
5. Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik
atas bimbingan, cerita dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
7. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan
seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.
8. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
bantuannya yang memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk
penulisan penelitian ini.
9. Bapak Sumitro, Ak, selaku Kepala Bidang Investigasi BPKP Perwakilan
Jawa Tengah.
10. Bapak Soesidianto, Ak, selaku Pembimbing Institusi Mitra di Bidang Audit
Investigasi BPKP Perwakilan Jawa Tengah yang telah dengan sabar
memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi Penulis untuk
menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
11. Segenap staf Perpustakaan BPKP Perwakilan Semarang atas bantuannya
sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan.
12. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suryo Sumpeno dan Ibunda Lasiyem,
yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata
yang dapat mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat
membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada Ananda.
13. Adiku tercinta Pipit yang selalu memberikan kasih sayang, arahan, dukungan
dan motivasi kepada penulis.
ix
14. Alm. Eyang Lusmiyatun, Kakek dan Nenekku yang selalu memberikan kasih
sayang dan doa yang tiada henti untuk cucunya agar menjadi orang yang
berguna bagi nusa dan bangsa, semoga Ananda dapat memenuhi harapan
kalian kepada Ananda.
15. Keluarga Besar Eyang Lusmiyatun dan Keluarga Besar Kartodimulyo yang
telah memberi semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan
pendidikan dan segera mendapat pekerjaan, Amin.
16. Zulmi Apriadi yang dengan setia mendengar keluh kesah penulis dan memberi
bantuan, semangat, nasihat, serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi.
17. Sahabat-sahabat kampus Galuh, Rida, Netti, Tony, Sunit, yang dengan setia
mendengar keluh kesah penulis dan memberi bantuan, semangat, serta
dukungan untuk menyelesaikan skripsi, Maaf telah banyak merepotkan kalian.
Semoga Persahabatan ini tidak lekang oleh waktu dan jarak.
18. Reca atas pinjaman bukunya dan bantuan mengedit tata tulis skripsi ini.
19. Keluarga Besar Anglila, Mbak Ery, Mbak Dhini, Mbak Etik, atas dukungan
untuk menyelesaikan skripsi, Tata (Bundo), Imeh (beby) yang menjadi teman
seperjuangan (hidup 05) senantiasa setia mendengar keluh kesah penulis dan
memberi bantuan, semangat, serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi,
Maaf telah banyak merepotkan kalian. Semoga Persahabatan ini tidak lekang
oleh waktu dan jarak (ayo kapan nyusul...). Lilis, Yanti semoga kalian dapat
menciptakan kebersamaan di Kos Anglila tercinta.
20. Sahabat Kos, Agwin, Handoko, Erdi, Lutfi, Mas Ahmad, Sudadi, Denny,
Randi, Rangga terimakasih buat kebersamaannya selama 4 tahun ini, kalian
semua memberi warna dalam perjalanan hidup penulis semoga kita dapat
bertemu kembali nantinya di saat sudah menemukan jati diri kita masing-
masing.
21. Titin (yang selalu membantu merapikan rambut saat kuliah), Lis Budi, Mbak
Na, Nofi, Anis, Lilin, Febti (Teman-teman main di kampus).
22. Teman-teman MCC serta Segenap Panitia SOMASI.
23. Seluruh teman-teman Angkatan 2005 FH UNS yang telah mengisi hari-hari
kuliah penulis selama ini. Maaf tidak bisa menyebutkan kalian satu persatu.
x
24. Seluruh Guru serta teman-teman SD, SMP, SMU yang telah menjadi bagian
hidup penulis.
25. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 5 Mei 2009
Penulis
RATNA KUSUMA DEWI
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO.................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian.................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian.................................................................. 7
E. Metode Penelitian................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................... 15
1. Tinjauan Umum Tentang Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan .................................................................... 15
a. Sejarah BPKP………………...................................... 15
b. Tugas, Fungsi, dan Wewenang BPKP……………… 23
c. Perbedaan BPKPdan BPK ..................................….... 26
2. Tinjauan Umum Mengenai Audit Investigasi................... 28
a. Pengertian Audit Investigasi ....................................... 28
b. Prosedur dan Teknik Audit Investigasi……………... 29
c. Hasil Laporan Audit Investigasi......................... ........ 32
xii
3. Tinjauan Umum Penanganan Tindak Pidana Korupsi ...... 34
a. Pengertian Penanganan.. ............................................. 34
b. Mekanisme Penanganan Tindak Pidana
Korupsi………………................................................ 34
4. Tinjauan Tentang Pembuktian .......................................... 51
a. Pengertian Pembuktian .. ............................................ 51
b. Sistem Pembuktian ..................................................... 53
c. Alat Bukti .................................................... .............. 55
B. Kerangka Pemikiran................................................................ 59
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyusunan Audit Investigasi oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta
Tahun Anggaran 2003 ........................................................... 60
B. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dari
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
dalam Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Surakarta Periode 1999-2004 ....................................... 104
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................ 118
B. Saran....................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah negara hukum, hal ini secara tegas
menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum yang
demokratis. Salah satu ciri dari negara hukum yang demokratis adalah
menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada kecualinya (equality before the
law).
Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk
mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut dapat tercapai
apabila masalah hukum ditempatkan pada kedudukan yang sesungguhnya,
sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Di negara Indonesia hukum
dijadikan suatu aturan, kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan
karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban masing-
masing.
Proses penegakan hukum di Indonesia berkaitan erat dengan proses
pembangunan negara, karena pembangunan negara disamping dapat
menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, dapat juga
mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak
sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang
meresahkan masyarakat. Untuk itu diperlukan penegakan hukum. Salah satu
tindak pidana yang cukup fenomenal adalah korupsi. Karena tindak pidana ini
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat (Evi Hartanti, 2006: 1).
xiv
Di Negara Indonesia perkara korupsi semakin marak terjadi dan belum
ada penanganan yang dapat menghentikan perilaku korupsi atau setidaknya
membuat pelaku korupsi jera. Perilaku korupsi sudah kian meluas dan
dilakukan secara terorganisir dan sistematis memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat yang menjadikan negara ini sebagai salah satu negara
terkorup di dunia. Pada tahun 2003 Transparency International (TI) di Berlin
Jerman menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup Nomor 6, dari 133
negara di dunia. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 2004 kedudukan
Indonesia mengalami pergeseran sedikit, yakni berada diurutan kelima negara
terkorup dari 146 negara. Dari hasil TI tahun itu menunjukkan bahwa
pemberantasan korupsi di Indonesia belum berjalan sebagaimana diharapkan,
sehingga ketentuan yang menyatakan negara hukum yang demokratis hanya
merupakan ketentuan normatif, karena tidak dapat dilihat dalam kenyataan.
Kejahatan-kejahatan koruptif yang tidak terjangkau oleh hukum, pada
umumnya terdiri dari dua tipe, yaitu perbuatan yang tidak dikualifisir sebagai
kejahatan dalam arti hukum akan tetapi sangat merugikan masyarakat,
perbuatan yang menurut hukum dikualifisi dan dirumuskan sebagai kejahatan,
namun aparat penegak hukum karena politik dan ekonomi ataupun karena
keadaan sekitar perbuatan yang dilakukan menyebabkan laporan atau
penuntutan sulit diadakan atau tidak dilakukan.
Korupsi lebih banyak terjadi pada sektor publik, yang sering dianggap
masalah sosial yang serius, yang lebih ditentukan oleh faktor lingkungan
kelembagaan dibandingkan karena rendahnya kompensasi. Sistem hukum
Indonesia secara umum tidak dipandang positif, badan yudikatif dan kejaksaan
juga dianggap sebagai lembaga publik yang paling korup. Sehingga korupsi
dikatakan sudah menjadi budaya di Indonesia, karena disadari atau tidak
praktek korupsi sering terlihat dengan mata telanjang di sekitar kita (mungkin
sekarangpun sedang terjadi praktek korupsi) dan tanpa disadari kita sudah
masuk kedalam lingkaran koruptor, disisi lain keengganan sebagian besar
xv
warga masyarakat melaporkan pelaku koruptor (pejabat negara, birokrat,
konglomerat, aparat penegak hukum dan lain sebagainya) yang melakukan
korupsi, merupakan suatu fenomena tersendiri. Hal inilah yang mengakibatkan
korupsi sulit diberantas.
Disebut- sebut bahwa korupsi sekarang ini sudah merupakan budaya yang
memerlukan penjelasan genesis dan perkembangannya sehingga budaya
korupsi itu hidup sampai sekarang. Karena korupsi merupakan masalah
budaya maka pelaku korupsi bukan hanya lapisan atas yaitu para bangsawan
dan birokrat seperti priyayi saja tetapi sudah merambah ke lapisan bawah yaitu
rakyat. Itulah sebabnya jika korupsi sudah merupakan kejahatan yang
menjangkau semua lapisan masyarakat, maka kejahatan ini merupakan
extraordinary crimes. Dengan kata lain, korupsi ini sudah berlangsung dan
terjadi dengan penuh komplikasi, sehingga disebut sebagai suatu keadaan
yang luar biasa. Sudah sejak lama penguasa dihinggapi penyakit yang tidak
dapat membedakan domein publik dan domein privat. Hal ini disebabkan oleh
pengimitasian property kewenangan yang hanya dimiliki oleh penguasa. Jadi
yang seharusnya menjadi milik publik dimanfaatkan sebagai milik sendiri.
Selanjutnya milik pribadi mampu menutupi milik publik, sehingga keduanya
bercampur, namun dari percampuran tersebut yang paling menonjol adalah
pengakuan sebagai milik pribadi.
Perubahan rezim ternyata tidak menghasilkan pemimpin yang
berwawasan jauh kedepan untuk menghilangkan korupsi yang melemahkan
sendi – sendi kehidupan sosial dan politik. Manisnya korupsi sudah dinikmati
oknum eksekutif dan legislatif di tingkat pusat sebelum keluarnya Undang –
Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang –
Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Keuangan Daerah.
Mengikuti model kepatronan maka dengan keluarnya kedua undang – undang
itu daerah ingin juga merasakan manisnya korupsi, maka dengan cepat meniru
perilaku pusat untuk melakukan korupsi. Dengan demikian lengkaplah korupsi
dilakukan di tingkat pusat dan daerah – daerah dari tingkat tinggi ke tingkat
xvi
rendahan. Salah satu contoh korupsi yang masuk kedalam lingkup birokrasi
pemerintahan dengan adanya kedua undang – undang tersebut yaitu dalam
kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
dilakukan oleh anggota DPRD, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi,
dari seluruh daerah di tanah air.
Berbagai macam kesulitan dihadapi oleh aparat yang berwenang untuk
menyeret pelaku korupsi tersebut. Hambatan tersebut bisa disebabkan karena
ada tekanan politis yang berasal dari campur tangan eksekutif maupun
legislatif, atau dikarenakan oleh rumitnya birokrasi di peradilan. Tidak hanya
itu, tidak jarang aparat penegak hukum juga ikut “bermain” dalam melindungi
pelaku korupsi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kasus korupsi
sulit untuk diberantas (Indonesian Court Monitoring. 2004.
http://www.antikorupsi.org).
Meski demikian ada beberapa tersangka kasus korupsi yang sempat
diperiksa di pengadilan. Salah satunya adalah kasus korupsi yang melibatkan
Bambang Mudiarto dan H.M Yusuf Hidayat, sebagai terdakwa kasus korupsi
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bambang Mudiarto
dan H.M Yusuf Hidayat dalam kedudukannya sebagai Ketua dan Wakil
DPRD Surakarta telah mengesahkankan Perubahan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Surakarta Periode 1999-2004
yang mana karena perbuatannya tersebut mengakibatkan negara mengalami
kerugian keuangan negara. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) negara mengalami kerugian
sebesar Rp. 4.272.474.000,00 (Berita Acara Pemeriksaan Saksi Ahli
BPKP,Polwiltabes Surakarta).
Dalam kasus yang sekilas diuraikan diatas kita melihat peranan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yakni melakukan audit
investigasi terhadap kasus korupsi tersebut. Audit investigasi merupakan
kegiatan pemeriksaan di bidang keuangan negara terkait dengan tanggung
xvii
jawab aparat pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara yang diduga
mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang. Hasil dari
audit tersebut digunakan untuk membuktikan telah terjadinya korupsi yakni
memenuhi unsur merugikan kekayaan negara.
Setelah melalui proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Surakarta, hakim
memberikan putusan yang tertuang di dalam Putusan No.
119/PID.B/2005/PN. SKA pada tanggal 22 Agustus 2005 dengan menyatakan
bahwa Bambang Mudiarto dan H.M Yusuf Hidayat terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi yang
sebagaimana didakwakan jaksa.. Untuk itu Bambang Mudiarto dan H.M
Yusuf Hidayat divonis lima tahun penjara denda Rp.200 juta subsider enam
bulan kurungan, dan membayar uang pengganti Rp. 266.795.000, untuk
Bambang Mudiarto, dan Rp. 89.212.500, untuk H.M Yusuf Hidayat. (Putusan
No. 119/PID.B/2005/PN. SKA pada tanggal 22 Agustus 2005)
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
pemasalahan mengenai korupsi khususnya yang dalam penanganannya
melibatkan peranan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
sehingga dalam penulisan hukum ini penulis memilih judul: “ KEKUATAN
PEMBUKTIAN AUDIT INVESTIGASI OLEH BADAN PENGAWAS
KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) SEBAGAI
KETERANGAN AHLI TERHADAP PENANGANAN TINDAK
PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS KORUPSI PIMPINAN DPRD
KOTA SURAKARTA)”.
xviii
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini perumusan masalah dari obyek yang diteliti dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana penyusunan audit investigasi oleh Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) dalam perkara tindak pidana korupsi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun 2003?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian ahli dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam persidangan perkara tindak
pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Surakarta Tahun 2003?
C. Tujuan Penelitian
Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan tertentu,
demikian pula penelitian ini juga mempunyai tujuan obyektif dan subyektif
sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui penyusunan audit investigasi oleh Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) khususnya yang
digunakan untuk membuktikan unsur merugikan kekayaan negara
dalam tindak pidana perkara korupsi anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) Kota Surakarta Periode 1999-2004.
b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian kesaksian ahli dari Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam
persidangan perkara tindak pidana korupsi anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD) Kota Surakarta Periode 1999-2004.
xix
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan peneliti di bidang Hukum Tata
Negara dan juga bidang Hukum Acara Pidana.
b. Untuk melatih kemampuan peneliti dalam menerapkan teori ilmu
hukum yang didapat selama perkuliahan guna menganalisis
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam bidang Hukum
Tata Negara dan juga bidang Hukum Acara Pidana.
c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana
dalam ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum ;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang kepidanaan secara umum
dan Hukum Tata Negara serta Hukum Acara Pidana pada khususnya;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan dan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia agar lebih
meningkatkan peranan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) sebagai lembaga yang turut andil dalam memberantas tindak
pidana korupsi.
xx
E. Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan cara-cara mengenai bagaimana suatu
penelitian itu akan dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik
mengenai tata cara pengumpulan data, maupun analisis data serta laporan
penelitian.
Adapun metodologi yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian empiris, yaitu penelitian dimana pada awalnya yang diteliti
adalah data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian
terhadap data primer di lapangan atau di masyarakat (Soerjono Soekanto,
2005 : 3). Penelitian empiris merupakan penelitian yang mengkonsepkan
hukum sebagai perilaku – perilaku nyata dalam relaitas sosial/ masyarakat
(Law in Action).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah deskriptif, yaitu
suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang keadaan
dan gejala - gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun,
mengklarifikasi, menganalisa, serta menginterprestasikannya (Soerjono
Soekanto, 2005 : 10). Dalam penulisan hukum ini penulis akan
mendeskripsikan mengenai penyusunan audit investigasi oleh Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Semarang dan bagaimana
kekuatan pembuktian kesaksian ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Semarang atas hasil audit investigasinya dalam
persidangan kasus korupsi Anggaran Pendapataan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003.
xxi
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan penulis dalam melakukan penulisan
hukum ini adalah dengan pendekatan penelitian secara kualitatif, yaitu
pendekatan dengan mendasarkan pada data - data yang dinyatakan
responden secara lisan maupun tulisan, dan juga perilakunya yang nyata,
diteliti, dan dipelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2005 :
32).
4. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian hukum ini penulis akan melakukan penelitian di
Kantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Semarang
yang beralamat di JL. Raya Semarang - Kendal Km. 12 Kotak Pos 1142
Semarang 50186, Telepon : (024) - 8662203, 8662204 Fax : (024)
8662201, 8662202 Email : jateng@bpkp.go.id.
5. Jenis Data
Data adalah semua informasi mengenai variabel atau obyek yang
diteliti. Didalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung
dari masyarakat (data primer / primary data) dan dari buku pustaka (data
sekunder / secondary data) (Soerjono Soekanto, 2005 : 12).
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber
yang berhubungan dengan obyek penelitian melalui wawancara.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari
perpustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan
peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan
penelitian hukum penulis.
xxii
6. Sumber Data
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan dua sumber data
yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
dari sumber pertama yakni perilaku warga masyarakat melalui
penelitian (Soerjono Soekanto, 2005 : 13).
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung dari perpustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-
dokumen, dan peraturan perundang-undangan khususnya yang
berkaitan dengan penelitian hukum penulis.
Sumber data yang akan digunakan adalah:
1). Bahan Hukum Primer, yaitu :
a. Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
menjadi Undang - Undang No 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
b. Undang – Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
Nepotisme,
c. KUHAP,
d. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah,
e. Undang - Undang No.15 Tahun 2004 tentang Tanggung Jawab
Pengelolaan Keuangan Negara,
f. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara,
g. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
xxiii
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
h. KEPPRES No. 31 Tahun 1983 tentang BPKP,
i. KEPPRES No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen,
j. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No:119/PID.B/2005/PN.
SKA.
2). Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari buku, artikel,
majalah, koran, makalah dan lain sebagainya khususnya yang
berkaitan dengan penelitian hukum ini.
3). Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri
dari kamus, dan bahan - bahan dari internet.
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian
langsung di lapangan. Teknik pengumpulan data ini diperlukan
keakuratannya tentang permasalahan yang diteliti oleh penulis. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:
a. Studi Lapangan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara terjun
secara langsung ke obyek penelitian. Yang dapat dilakukan dengan
cara:
1). Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara
mengadakan tanya jawab dengan narasumber seorang
auditor Bidang Investigasi BPKP guna memperoleh data
yang berhubungan dengan penelitian baik dilakukan secara
lisan maupun tertulis.
xxiv
2). Observasi yaitu peninjauan secara cermat terhadap semua
data yang diperoleh yang berhubungan dengan objek
penelitian.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan
cara mencari data-data dari buku-buku, dokumen-dokumen, arsip dan
juga peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek
penelitian.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengumpulkan data mengolah data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dengan analisis
akan menguraikan data memecahkan masalah yang diselidiki berdasarkan
data-data yang diperoleh.
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data model
kualitatif interaktif, yaitu data yang terkumpul akan dianalisis melalui 3
tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan kemudian menarik
kesimpulan. Selama itu pula suatu proses siklus antara tahapan tersebut,
sehingga data yang terkumpul berhubungan satu dengan yang lain secara
otomatis (H.B. Sutopo, 2002:19).
Untuk lebih jelasnya, dibuat skema sebagai berikut:
(H. B. Sutopo, 2002:19)
Pengumpulan data
Reduksi data Penyajian data
Penarikan kesimpulan
xxv
Adapun penjelasan dari tahap - tahap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Merupakan proses pencarian data dari berbagai sumber yang
relevan dengan pokok masalah yang diteliti dalam penelitian ini guna
memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Reduksi Data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal - hal yang tidak penting yang muncul
dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus
menerus sampai lapoan akhir penelitian selesai.
c. Penyajian Data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset
dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, tabel
dan sebagainya.
d. Penarikan Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang
ditemui dengan melakukan pencatatan - pencatatan peraturan, pernyataan -
pernyataan, konfigurasi - konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat,
akhirnya peneliti menarik kesimpulan. (HB. Sutopo, 2002 :37).
F. Sistemaika Penulisan Hukum
Sitematika yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini terdiri
dari beberapa bab yang saling berkaitan dan berhubungan, yaitu sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada Bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, manfaat penelitian,
xxvi
metode penelitian, jadwal penelitian dan sitematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan
yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka
pemikiran. Hal-hal tersebut diatas merupakan
landasan yang mendasari analisis hasil penelitian
yang diperoleh dari studi kepustakaan yang mengacu
pada pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini dipaparkan hasil dari penelitian yang
telah dilakukan serta pembahasannya yang berkaitan
tentang pokok-pokok permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini meliputi kesimpulan jawaban pada
perumusan masalah dan saran-saran yang terkait
dengan permasalahan yang diteliti.
xxvii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan BPKP
a. Sejarah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP)
Sejarah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan
lembaga pengawasan sejak sebelum era kemerdekaan. Dengan
besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 secara eksplisit
ditetapkan bahwa Djawatan Akuntan Negara (Regering
Accountantsdienst) bertugas melakukan penelitian terhadap
pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu.
Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan pertama di
Indonesia adalah Djawatan Akuntan Negara (DAN). Secara
struktural DAN yang bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan
negara berada di bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian
Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1961
tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN),
kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan
kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN
merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua
pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen,
jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi
pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal.
xxviii
Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966
dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara
(DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal
kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan
pengawasan badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas
DAN Thesauri Jenderal. DJPKN mempunyai tugas melaksanakan
pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran
daerah, dan badan usaha milik negara/daerah. Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada
Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang
pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN
(www.bpkp.co.id).
Diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP,
sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada
di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah
satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31
Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau
lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara
leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit
organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya.
Adapun pertimbangan lain pentingnya dibentuk Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yaitu bahwa:
a) Peningkatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
memerlukan peningkatan pengawasannya;
b) Perlu diperoleh hasil pengawasan yang obyektif, sehingga di
samping pengawasan melekat yang ada pada masing - masing
unit organisasi pemerintah, maka diperlukan pengawasan yang
terlepas dari unit - unit pelaksana;
xxix
c) Pengawasan yang obyektif terhadap organisasi pemerintah
meliputi: pengawasan keuangan, pengawasan ketaatan kepada
peraturan prundang – undangan, pengawasan terhadap
dayaguna, hasilguna, dan kehematan kegiatan pemerintah
(pemerintah manajemen), pengawasan terhadap dayaguna,
hasilguna, dan kehematan program pembangunan oleh
pemerintah (pemeriksaan program) (R.A Supriyono, 2007:
196).
Dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur
organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi
lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan
kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga
sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik
dan obyektif. Dalam perkembangannya pendekatan yang dilakukan
BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak
sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau
pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai
digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam
membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian
keuangan negara.
Pada masa reformasi ini BPKP banyak mengadakan
Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman
dengan pemda dan departemen/lembaga sebagai mitra kerja BPKP.
MoU tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk
meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai good
governance. Berdasarkan arahan Presiden RI tanggal 11 Desember
2006, BPKP melakukan reposisi dan revitalisasi fungsi yang kedua
kalinya. Reposisi dan revitalisasi BPKP diikuti dengan penajaman
visi, misi, dan strategi.
xxx
Visi BPKP:
"Auditor Presiden yang responsif, interaktif, dan terpercaya untuk
mewujudkan akuntabilitas keuangan negara yang berkualitas."
Misi BPKP:
1. Menyelenggarakan pengawasan intern terhadap akuntabilitas
keuangan negara yang mendukung tata kelola kepemerintahan
yang baik dan bebas KKN,
2. Membina penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah,
3. Mengembangkan kapasitas pengawasan intern pemerintah yang
profesional dan kompeten,
4. Menyelenggarakan sistem dukungan pengambilan keputusan
yang handal bagi presiden/pemerintah (www.bpkp.co.id).
Sebagai wujud implementasi visi, misi tersebut diatas,
kegiatan BPKP dapat dikelompokkan menjadi empat hal, meliputi:
1. Audit
Kegiatan audit mencakup:
a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
b) Laporan Keuangan dan Kinerja BUMN/D/Badan Usaha
Lainnya,
c) Pemanfaatan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Kredit
Usaha Tani (KUT) dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP),
d) Peningkatan Penerimaan Negara, termasuk Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP),
e) Dana Off Balance Sheet BUMN maupun Yayasan yang
terkait,
f) Dana Off Balance Budget pada Departemen/LPND,
xxxi
g) Audit Tindak Lanjut atas Temuan-Temuan Pemeriksaan,
h) Audit Khusus (Audit Investigasi) untuk mengungkapkan
adanya indikasi praktik Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan
penyimpangan lain sepanjang hal itu membutuhkan
keahlian di bidangnya,
i) Audit lainnya yang menurut pemerintah bersifat perlu dan
urgen untuk segera dilakukan.
2. Konsultasi, asistensi dan evaluasi
Di bidang konsultasi, asistensi dan evaluasi, BPKP berperan
sebagai konsultan bagi para stakeholders menuju tata
pemerintahan yang baik (good governance), yang mencakup:
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Sistem
Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD), Good Corporate
Governance (GCG) pada Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah.
3. Pemberantasan Korupsi
Di bidang perbantuan pemberantasan korupsi, BPKP
membantu pemerintah memerangi praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme, dengan membentuk gugus tugas anti korupsi dengan
keahlian audit forensik. Dalam rangka penegakan hukum dan
pemberantasan KKN, BPKP telah mengikat kerjasama dengan
Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI yang dituangkan dalam
bentuk Surat Keputusan Bersama. BPKP juga mengikat
kerjasama dengan Komisi Pemberntasan Korupsi. BPKP
tergabung dalam Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Timtas Tipikor) bersama-sama dengan Kejaksaan dan
Kepolisian (yang telah selesai masa tugasnya).
xxxii
4. Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan
Di bidang pendidikan dan pelatihan pengawasan, BPKP
menjadi instansi pembina untuk mengembangkan Jabatan
Fungsional Auditor (JFA) di lingkungan instansi pemerintah.
Setiap auditor pemerintah harus memiliki sertifikat sebagai
Pejabat Fungsional Auditor. Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Pengawasan (Pusdiklatwas) BPKP berperan menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan sertifikasi kepada seluruh auditor
pemerintah.
BPKP dalam struktur organisasinya dipimpin oleh Kepala
BPKP, dan untuk melaksanakan kegiatan diatas dilakukan oleh
masing – masing fungsi yang dikepalai oleh beberapa Deputi
meliputi Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Perekonomian, Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Politik, Sosial, dan Keamanan, Deputi Pengawasan Bidang
Penyelenggaraan Keuangan Daerah, Deputi Bidang Akuntan
Negara, dan Deputi Bidang Investigasi. Selain itu, terdapat
empat Pusat yaitu Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan, Pusat
Informasi Pengawasan, dan Pusat Pembinaan Jabatan
Fungsional Auditor. Susunan organisasi tersebut dapat dilihat
dalam bagan sebagai berikut:
xxxiii
STRUKTUR ORGANISASI BPKP
Sumber: www.bpkp.co.id
xxxiv
Dalam penulisan hukum ini, penulis lebih menspesifikasikan
pada Deputi Investigasi, yang berperan dalam penanganan terhadap
tindak pidana korupsi. Deputi Investigasi dalam menjalankan
tugasnya juga mempunyai visi dan misi sebagai berikut:
Visi:
“ Menjadi investigator yang profesional, berintegritas dan berperan
aktif dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
dan penanggulangan hambatan kelancaran pembangunan dalam
mewujudkan Good Governance.”
Misi:
1. Membantu terwujudnya aparatur negara yang bersih dan
terselenggaranya manajemen pelaksanaan pembangunan yang
baik,
2. Meningkatkan kualitas hasil investigasi di bidang
pemberantasan KKN dan penanggulangan hambatan
kelancaran pembangunan.
Deputi Bidang Investigasi mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan di bidang investigasi. Sehingga Deputi
Bidang Investigasi tersebut menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis investigasi dan penyusunan
rencana investigasi;
b) penyusunan pedoman teknis dan pemberian bimbingan teknis
investigasi;
c) koordinasi dan pelaksanaan investigasi terhadap kasus
penyimpangan yang berindikasi merugikan negara dan
terhadap hambatan kelancaran pembangunan pada instansi
pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara, badan-
xxxv
badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,
dan badan usaha milik daerah;
d) pemberian bantuan investigasi terhadap kasus penyimpangan
yang berindikasi merugikan negara dan terhadap hambatan
kelancaran pembangunan pada instansi pemerintah pusat dan
daerah, badan usaha milik negara, badan-badan lain yang di
dalamnya terdapat kepentingan pemerintah, dan badan usaha
milik daerah atas permintaan pihak yang berwenang, instansi
atau badan usaha yang bersangkutan, instansi penyidik
dan/atau instansi/lembaga yang berwenang lainnya;
e) pemantauan tindak lanjut hasil investigasi;
f) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan investigasi;
g) analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil investigasi
(www.bpkp.co.id).
b. Tugas, Fungsi, dan Wewenang Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP)
Pentingnya Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) sebagai internal auditor pemerintah kian terasa dengan
adanya tuntutan masyarakat atas penyelenggara negara yang bersih
dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) seperti yang
diamanatkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan adanya
tuntutan mengenai keterbukaan dan good governance.
Pada tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan
Presiden No 64 tahun 2005. Tugas pokok dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah melaksanakan tugas
xxxvi
pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 52 KEPPRES No. 103 Tahun 2001).
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai fungsi
sebagai berikut:
a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan keuangan dan pembangunan;
b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengawasan keuangan dan pembangunan;
c) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas
BPKP;
d) pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan
terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan
pembangunan;
e) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi
umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan,
organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan,
kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah
tangga (Pasal 53 KEPPRES No. 103 Tahun 2001).
Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencakup aspek - aspek
sebagai berikut:
a) Pemeriksaan keuangan dan ketaatan terhadap peraturan
perundang – undangan;
b) Penilaian tentang daya guna dan kehematan dalam penggunaan
sarana yang tersedia;
c) Penilaian hasil guna dan manfaat yang direncanakan dari suatu
program (R.A Supriyono, 2007: 197-198).
xxxvii
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 KEPPRES No. 103 Tahun 2001, BPKP
mempunyai kewenangan (Pasal 54 KEPPRES No. 103 Tahun
2001):
a) penyusunan rencana nasional secara makro di
bidangnya;
b) perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro;
c) penetapan sistem informasi di bidangnya;
d) pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan
otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di
bidangnya;
e) penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan
dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan
jabatan di bidangnya;
f) kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
(1) memasuki semua kantor, bengkel, gudang,
bangunan, tempat-tempat penimbunan, dan
sebagainya;
(2) meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen,
buku perhitungan, surat-surat bukti, notulen rapat
panitia dan sejenisnya, hasil survei laporan-
laporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang
diperlukan dalam pengawasan;
(3) pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang
persediaan dan lain-lain;
(4) meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil
pengawasan, baik hasil pengawasan BPKP sendiri
xxxviii
maupun hasil pengawasan Badan Pemeriksa
Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya.
Setelah melakukan serangkaian tata kerja sebagaimana telah
diuraikan diatas, maka kepala Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) menyampaikan laporan hasil pengawasan
atau pemeriksaannya kepada menteri atau pejabat lain yang
bersangkutan, yang mana tembusan laporan disampaikan kepada:
a) Menteri Koordinator Perekonomian dan Pengawasan
Pembangunan;
b) Menteri keuangan sepanjang mengenai laporan pemeriksaan
keuangan;
c) Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sepanjang
mengenai pemeriksaan yang bersangkutan dengan
pendayagunaan aparatur negara;
d) Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka) sepanjang mengenai
hasil pemeriksaan keuangan;
e) Pejabat - pejabat lain yang dipandang perlu;
f) Jika hasil pemeriksaan diperkirakan terdapat unsur tindak
pidana korupsi, kepala Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) melaporkannya kepada Jaksa Agung.
(R.A Supriyono, 2007: 197-198).
c. Perbedaan BPKP dengan BPK
BPKP adalah Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan yang merupakan lembaga non departemen dibentuk
oleh Presiden dengan Keputusan Presiden, sehingga BPKP
bertanggung jawab langsung kepada Presiden terkait dengan
kinerjanya. Tugas pokok dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) adalah melaksanakan tugas pemerintahan di
xxxix
bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52
KEPPRES No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen). BPKP merupakan auditor
internal. Sebagai auditr internal BPKP mempunyai kewenangan
untuk melakukan pengawasan anggaran Negara (Pasal 72 Keppres
No. 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara). Pengawasan tersebut meliputi pemeriksaan
keuangan dan ketaatan terhadap peraturan perundang – undangan;
penilaian tentang daya guna dan kehematan dalam penggunaan
sarana yang tersedia; penilaian hasil guna dan manfaat yang
direncanakan dari suatu program.
Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. berdasarkan pengertian tersebut BPK
merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang –
undang. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis,
dan evaluasi yang dilakukan secara independen. objektif, dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi
mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara.pemeriksaan tersebut dilaksanakan oleh BPK (Pasal 1 butir
9 dan butir 10 Undang – Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan).
xl
2. Tinjauan Mengenai Audit Investigasi
a. Pengertian Audit Investigasi
Audit investigasi adalah kegiatan pemeriksaan dengan
lingkup tertentu yang tidak dibatasi periodenya, dan lebih spesifik
pada area - area pertanggungjawaban yang diduga mengandung
inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang dengan hasil
audit berupa rekomendasi untuk ditindak lanjuti bergantung pada
derajat penyimpangan wewenang yang ditemukan (Indra Pastian,
2007: 49). Tujuan audit investigasi adalah mengadakan audit lebih
lanjut atas temuan audit sebelumnya, serta melaksanakan audit
untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau
informasi dari masyarakat. Audit investigasi yang dilakukan oleh
BPKP terkait posisi BPKP sebagai auditor internal yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan di bidang
anggaran Negara sebagaimana diamanatkan dala Pasal 72 Keppres
No 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Audit investigasi dilakukan ketika ada permintaan dari pihak
yang memerlukan untuk dilakukan audit. Maksud dari kata
memerlukan disini adalah bahwa terdapat suatu pelaksanaan
kegiatan yang diduga terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang.
Pelaksanaan audit investigasi dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a) Adanya permintaan kepada lembaga yang berwenang untuk
melakukan audit yang dalam penulisan hukum ini ditujukan
kepada BPKP,
b) Dikeluarkan surat tugas dari Kepala BPKP,
c) Dibentuk Tim untuk melakukan audit,
xli
d) Pelaksanaan audit dengan cara melakukan pengujian terhadap
bukti – bukti yang berkaitan dengan perkara yang diajukan
untuk diaudit,
e) Penilaian terhadap kecukupan bukti yang telah diaudit,
f) Penyusunan laporan Audit,
b. Prosedur dan Teknik Audit Investigasi
Prosedur audit adalah tindakan – tindakan yang dilaksanakan
selama berlangsungnya pemeriksaan yang semata – mata
menyangkut metode, tetapi bukan prinsip atau standart. Prosedur
audit ini didasarkan pada pertimbangan profesi dan keadaan.
Prosedur yang tepat akan dapat membuktikan ketelitian
pembukuan dan kelayakan penyajian laporan keuangan. Didalam
setiap audit harus terdapat review, Observasi, inspeksi,
penghitungan (count), pembuktian, pengujian ketelitian dan
rekonsiliasi (Ruchyat Kosasih, 1984: 24).
Atas dasar syarat tersebut prosedur audit dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a) Pengujian/ evaluasi internal control
Seperti dalam system EDP data cenderung semakin padat,
pengujian data tergantung pada pengujian alat pengendalian.
Sistim pengendalian ini harus benar – benar diperiksa.
b) Pembahasan aktivitas operasionil.
Pembahasan mengenai hal ini misalnya mengenai
penyiapan dan route faktur, metode penggajian/ upah,
penutupan asuransi, metode depresiasi, dll.
c) Inspeksi dan Penghitungan.
Prosedur pekerjaan ini merupakan yang kompeten atas
aktiva klien seperti uang kas, persediaan barang, kertas
berharga dan aktiva tetap.
xlii
d) Perolehan kekuatan bukti (evidence proof)
Harus terdapat bukti eksistensi (adanya), syahnya dan bukti
ketelitian apa yang dibukukan oleh klien. Sebagian terbesar
pembukuan biasanya didukung oleh dokumen pembukuan yang
diperoleh dalam pemeriksaan. Berikut merupakan contoh
beberapa dokumen:
(1). Dokumen yang mendukung aktiva dan pendapatan:
rekening Koran Bank, surat wesel, lembar penghitungan
persediaan barng, surat pengapalan (bill of lading), faktur
pembelian, order penjualan, faktur penjualan, bukti
pengiriman, kontrak konsinyasi, surat konfirmasi, akte
jual beli aktiva tetap, surat ketetapan pajak dan kontrak –
kontrak.
(2). Dokumen yang mendukung utang dan biaya: surat
permintaan pembelian, order pembelian, faktur
pembelian, bukti penerimaan, bukti pengeluaran, surat
hipotik, kontrak dan konfirmasi.
(3). Dokumen yang mendukung aktivitas dan persetujuan:
perjanjian persekutuan, akte pendirian/ anggaran dasar,
peraturan lainnya, risalah rapat Direksi/Komisais atau
rapat pemegang saham, undang – undang, peraturan
pemerintah, keputusan anggaran, resolusi penyisihn laba,
penjaminan aktiva, perjanjian pinjaman, pengumuman
pembayaran deviden, dll.
(4). Dokumen yang mendukung transaksi intern, antar bagian:
catatan penugasan, catatan hasil, orer produksi, akumulasi
biaya per bagian atau per produk, analisa depresiasi, order
pembelian antar bagian, transfer uang dan transaksi buku
memorial yang disetujui.
e) Perolehan bukti ketelitian (accuracy proof).
xliii
Harus terdapat bukti ketelitian pembukun dengan jalan
mentransirnya secara sampling dan menguji pedoman, alat
mekanis dan sistim EDP.
f) Penyusunan rekonsiliasi.
Hal ini menyangkut perbandingan pembuatan klien dengan
data yang diperoleh dari sumber lain yang independent.
Misalnya saldo Bank direkonsiliasi dengan saldo menurut buku
besar, rekening Koran dan buku harian Bank, jumlah faktur
penjualan untuk suatu periode yang sama dan lain – lain
((http://dunia.pelajar-islam.or.id 1 Maret 2009).
Teknik audit adalah suatu metode atau proses yang lebih
detail untuk membuktikan ketelitian sehingga memperoleh
kepuasan dalam pemeriksaan yang berjalan lancar dan efisien.
Teknik dan prosedur audit saling berhubungan dan berbeda untuk
tiap penugasan bergantung pada keadaan (Ruchyat Kosasih, 1984:
24).
Untuk mendapatkan hasil investigasi yang maksimal, seorang
auditor harus juga menguasai beberapa teknik investigasi, antara
lain:
a) teknik penyamaran atau teknik penyadapan,
b) teknik wawancara, apabila akan menghadapi sang auditee,
orang-orang yang diduga memiliki info yang dibutuhkan atau
bahkan sang bosnya si audite,
c) teknik merayu untuk mendapatkan informasi, apakah dengan
memakai kesanggupan sendiri atau dengan bantuan orang
lain,mengerti bahasa tubuh, dalam membaca posisi si audite,
bohong atau jujur,
d) dapat dilakukan dengan bantuan software, seperti CAAT
(Computer Assisted Audit Tools) (http://dunia.pelajar-
islam.or.id 1 Maret 2009).
xliv
Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar
auditing, dan penyesuaian dilakukan sesuai dengan keadaan yang
dihadapi. Dalam merencanakan dan melaksanakan audit
investigasi, auditor menggunakan sikap yang skeptis yang
profesional (skeptic profesionalism) serta menerapkan asas praduga
tidak bersalah ( Ruchyat Kosasih, 1984: 24). Audit investigasi
sebaiknya dilaksanakan oleh tim atau minimal salah satu auditor
yang telah mengembangkan temuan audit sebelumnya yang dalam
penelitian hukum ini dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP).
Dasar pelaksanaan audit investigasi terkait teknik dan
prosedur audit investigasi antara lain: kewenangan yang ada pada
lembaga audit, satuan pengawas, permintaan dari DPR, dewan
komisaris atau manajer suatu perusahaan, atau ketentuan lain
sebagai dasar pelaksanaan.
c. Hasil Laporan Audit Investigasi
Setelah melaksanakan beberapa tahapan audit investigasi
sebagaimana telah diuraikan diatas, auditor akan membuat laporan
mengenai pelaksanaan audit. Tujuan dari dibuatnya laporan
tersebut agar pihak yang meminta dilakukan audit mengetahui
temuan dari audit investigasi. Pada umumnya isi dari audit
investigasi yaitu:
i. dasar dilakukannya audit,
ii. temuan dari hasil audit (penyimpangan yang menimbulkan
dampak yang baik bagi masyarakat, bangsa, dan negara),
iii. tindak lanjut dari temuan audit sebelumnya, dan
xlv
iv. saran atau rekomendasi untuk ditindak lanjuti hasil audit
tersebut bergantung pada derajat penyimpangan wewenang
yang ditemukan.
Laporan audit investigasi bersifat rahasia. Hasil audit
investigasi tidak boleh dibocorkan kepada pihak yang tidak berhak
mengetahuinya, di mana hasil ini biasanya telah diklarifikasi dan
dibacakan ulang kepada si audite, agar audite mengerti sejauh
mana investigasi dan eksaminasi dilakukan dan hasil yang
didapatkan. Dalam menyusun laporan tersebut, auditor tetap
menggunakan asas praduga tidak bersalah.
Hasil audit investigasi pada umumnya dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a) Apa yang dilaporkan masyarakat tidak terbukti;
b) Apa yang diadukan terbukti, misalnya tejadi penyimpangan
dari suatu aturan atau ketentuan yang berlaku namun tidak
merugikan negara atau perusahaan;
c) Terjadi kerugian bagi perusahaan akibat perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh karyawan;
d) Terjadi kekurangan kas atau persediaan barang milik negara,
dan bendaharawan tidak dapat membuktikan bahwa
kekurangan tersebut bukan diakibatkan karena kesalahan
ataupun kelalaian bendaharawan;
e) Terjadi kerugian negara sebagai akibat terjadinya wanprestasi
atau kerugian dari perikatan yang lahir dari undang – undang;
f) Terjadi kerugian negara sebagai akibat dari perbuatan melawan
hukum dan tindak pidana lainnya (Indra Pastian, 2007: 55).
xlvi
3. Tinjauan Umum Penanganan Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Penanganan
Penanganan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
proses, cara, perbuatan menangani (Departemen Pendidikan
Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia.2001. Jakarta:Balai
Pustaka).
Sehingga penanganan tindak pidana korupsi merupakan
proses, cara dan perbuatan menangani yang terdiri dari beberapa
rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik berdasarkan
kewenangannya yang diperoleh dari peraturan perundang –
undangannya.
b. Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Penanganan itu sendiri terdiri dari beberapa rangkaian
tindakan, yang meliputi:
1) Penyelidikan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang _
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang - undang
ini.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Penyelidik
dalam penanganan perkara berupaya atas inisiatif sendiri
untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak
xlvii
pidana. Tetapi dalam kenyataan sehari - hari, biasanya
penyelidik/ penyidik baru mulai melaksanakan tugasnya
setelah adanya laporan/ pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Penyidikan kasus-kasus korupsi pada umumnya didahului
dengan langkah/proses penyelidikan, dimana di dalam
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a) Terlebih dahulu membuat laporan informasi yang
sumbernya dari masyarakat (sumber harus dirahasiakan
dan dilindungi).
b) Kemudian melengkapi administrasi berupa surat perintah
penyelidikan dan surat perintah tugas.
c) Apabila telah selesai melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidik membuat laporan pelaksanaan tugas, apa saja
yang didapat dari lapangan dituangkan secara jelas
terutama dua alat bukti yang sudah harus terpenuhi
apabila kasusnya akan dilanjutkan ke tahap penyidikan.
d) Apabila tidak terpenuhi unsurnya dan tidak adanya alat
bukti, maka kasus tersebut dapat dihentikan.
2) Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang - undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP).
Berdasarkan rumusan diatas maka tugas utama penyidik
adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti
tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan kemudian menemukan tersangka. Dalam rangka
xlviii
melaksanakan tugas utama tersebut, penyidik diberi
kewenangan - kewenangan sebagaimana diatur oleh Pasal 75
ayat (1) KUHAP, yaitu bahwa Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian;
c) menyuruh berhenti seorang tersnagka dan memerksa
tanda pengenal dari tersangka;
d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan an
penyitaan;
e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i) mengadakan penghentian penyidikan;
j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Didalam proses penyidikan korupsi kita masih memakai
acara yang diatur dalam kitab undang hukum acara pidana
(KUHAP). Selain itu adapula ketentuan – ketentuan khusus
yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang
kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun
2001. Dalam penanganan perkara korupsi unsur kerugian
negara adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi, oleh
sebab itu untuk menentukan kerugian negara dibutuhkan
xlix
keterangan / pendapat ahli dalam hal ini BPKP (Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan).
Langkah-langkah penyidikan yang digunakan dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi:
(1). Membuat Laporan Polisi, setelah sebelumnya
melakukan proses penyelidikan dan dua alat bukti
sudah terpenuhi, selanjutnya administrasi penyidikan
dibuat yaitu berupa surat perintah tugas, surat perintah
penyidikan dan kelengkapan administrasi lainnya.
(2). Pemanggilan Saksi:
(a). Surat Panggilan harus jelas isinya, nama yang
memanggil, pekerjaan, alamat, hari, tanggal, jam
tempat penyidikan dan ditandatangani oleh Kepala
selaku Penyidik.
(b). Pengiriman Surat Panggilan disertai dengan Surat
Pengantar dan mencantumkan nama, pangkat
Penyidik No Telepon yang dapat dihubungi.
(c). Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu,
kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos
tercatat 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan
sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang
waktu yang wajar Pasal 112 ayat (1) KUHAP)
(3). Pemanggilan Tersangka:
(a). Pemanggilan Tersangka sudah harus mempunyai
bukti permulaan yang cukup.
(b). Dua alat bukti sudah terpenuhi Pasal 184, 185
KUHAP
(c). Telah melakukan gelar perkara dihadapan Kepala
Satuan masing-masing.
l
(d). Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu,
kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos
tercatat 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan
sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang
waktu yang wajar Pasal 112 ayat (1) KUHAP)
(4). Pemanggilan Ahli:
(a). Setiap perkara korupsi membutuhkan ahli untuk
menghitung kerugian negara
(b). Ahli yang ditunjuk untuk menghitung kerugian
negara adalah BPKP dan BPK.
(c). Demikian juga ahli lainnya yaitu ahli Hukum, ahli
Bangunan, perusahaan Apraisal, ahli tehnik, ahli
perbankan dari Bank Indonesia dan ahli lainnya
sesuai yang perkara yang sedang ditangani.
(d). Surat permohonan ahli ditujukan kepada
kantor/badan yang akan kita mintai keterangan
sebagai ahli.
(5). Pemeriksaan Saksi, Ahli, dan Tersangka
(a) Keterangan Saksi
Pada prinsipnya semua orang dapat menjadi
saksi dan merupakan suatu kewajiban jika dipanggil
oleh penyidik yang diberikan kewenangan untuk itu
(Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Saksi
akan memberikan keterangan, yang disebut
keterangan saksi yaitu merupakan salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1
butir 27 KUHAP).
li
Dari pengertian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa unsur-unsur dari keterangan
saksi adalah :
(i). Keterangan dari orang (saksi);
(ii). Mengenai suatu peristiwa pidana;
(iii). Peristiwa itu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan ia alami sendiri.
Dalam memberikan keterangannya terdapat
beberapa ketentuan yaitu:
(i). keterangan saksi diberikan tanpa tekanan dari
siapapun dan dalam bentuk apapun. Misalnya
diarahkan atau disugestikan atau dipengaruhi;
(ii). saksi diwajibkan memberikan keterangan
dengan sebenar - benarnya. Hal ini dapat
diingatkan oleh penyidik sebelum saksi
memberikan kesaksiannya;
(iii). untuk tujuan agar saksi tidak dipengaruhi oleh
pihak lain maka saksi diperiksa sendiri - sendiri
(Pasal 116 ayat (2) KUHAP).
Berdasarkan Pasal 118 ayat (2) KUHAP, saksi
diperkenankan tidak membubuhkan tanda tangan
pada berita acara pemeriksaan. Hal ini
dimungkinkan karena berita acara pemeriksaan
tidak memuat secara sempurna atau mungkin dapat
juga terjadi kekeliruan dalam memuatnya karena
dibuat atas penafsiran penyidik.
lii
(b) Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP). Dari
pengertian diatas kualifikasi ahli dapat ditentukan
atas dasar latar belakang pendidikannya, maupun
pekerjaannya. Sehingga ahli dalam memberikan
kesaksian bertindak atas nama lembaga. Dalam hal
ahli memberikan kesaksian harus disertai surat
penugasan sebagai ahli dari lembaga terkait.
Perbedaan keterangan saksi dan keterangan
ahli yaitu keterangan saksi ialah keterangan yang
diberikan mengenai hal yang ia alami, ia lihat atau
ia dengar sendiri, sedangkan keterangan ahli ialah
keterangan yang diberikan atas keahlian yang ia
miliki, yang memberikan penghargaan atas sesuatu
keadaan dengan memberikan kesimpulan atau
sesuatu pendapat. Keterangan ahli merupakan hal
yang penting karena merupakan alat bukti yang sah,
sehingga akan mempermudah bagi hakim dalam
melakukan pembuktian dan memperkuat keyakinan.
Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas,
karena tidak mengikat seorang hakim untuk
menggunakannya apabila bertentangan dengan
keyakinannya.
liii
(c) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti diatur
dalam Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi sebagai
berikut :
(i). Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri;
(ii). Keterangan terdakwa yang diberikan di luar
sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan
itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya;
(iii). Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri.
Penjelasan resmi Pasal 284 ayat (2) KUHAP,
antara lain adalah sebagai berikut yang dimaksud
dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu ialah
ketentuan khusus acara pidana: tindak pidana
korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun
2001 memuat ketentuan Khusus acara pidana antara
lain:
(i). Tersangka wajib memberi keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda
istri/suami serta anak-anaknya dan harta benda
korporasi yang diketahuinya ( Pasal 28);
liv
(ii). Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tak bersalah (Pasal 37);
(iii). Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah
dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan
yang sah maka perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38).
(6). Penyitaan
(a). Penyidik terlebih dahulu mendapat Surat izin dari
Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan
perlu dan sangat mendesak, harus segera bertindak
dan berkewajiban segera melaporkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri guna memperoleh prsetujuan.
(b). Membuat Berita Acara Penyitaan, dibacakan, diberi
tanggal, ditandatangani Penyidik, orang yang
bersangkutan / keluarga / kepala desa lingkungan
dan 2 (dua) orang saksi dan turunan berita acara
disampaikan kepada atasan Penyidik , keluarga
yang barangnya disita dan kepala desa (Pasal 129
ayat (1) (2) (3) (4)).
(c). Memahami Pasal penyitaan yang terdapat didalam
KUHAP Pasal 1 butir Pasal 16, Pasal
38,40,41,42,43,128,129,130,44,45.
(7). Penggeledahan
(a). Terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal
kepada Tersangka atau keluarga (famili).
(b). Harus disaksikan oleh 2 (dua) orang Saksi dalam hal
tersangka penghuni setuju, atau oleh Kepala Desa,
Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi
dalam hal tersangka / penghuni menolak atau tidak
hadir (Pasal 33 ayat (4)).
lv
(c). Memahami Pasal Pasal penggeledahan ( Pasal 33,
34, 125, 126, 127).
(d). Membuat Berita Acara tentang jalannya hasil
penggeledahan dan turunanya disampaikan kepada
pemilik / penghuni.
(e). Untuk penggeledahan badan disesuaikan, untuk
wanita, polwan yang melakukan.
(f). Dilakukan secara arif dan bijaksana.
(8). Penangkapan
(a). Perintah dilakukan terhadap seorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP).
(b). Memperlihatkan identitas, menunjukkan Surat
Perintah Tugas, tidak arogan.
(c). Tidak adanya unsure kekerasan.
(d). Disaksikan oleh Kepala Lingkungan RT/ RW.
(e). Tidak menggunakan media cetak dan elektronika
dalam proses penangkapan. Memberikan kepada
Tersangka Surat Perintah Penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penagkapan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat Ia diperiksa, tembusannya kepada Keluarga.
(f). Memahami Pasal 16,17,18 dan 19 KUHAP
(9). Penahanan
(a). Menjelaskan kepada Tersangka bahwa Tindak
Pidana yang telah dilakukan olehnya telah cukup
bukti dan memperhatikan Pasal 21 ayat (4) KUHP.
(b). Menunjukan Surat Perintah Penahanan kepada
Tersangka.
(c). Membuat Berita Acara Penahanan.
lvi
(d). Penyidik / Penyidik Pembantu tidak dibenarkan
menakut-nakuti tersangka yang akan ditahan.
(e). Mengirim surat kepada keluarga tersangka dan
dibuatkan tanda terima dalam waktu 1x24 Jam.
(f). Sebelum memasukkan keruang sel tahanan agar
dicek kesehatan, difoto dan diambil sidik jari
tersangka.
(g). Apabila Tersangka tidak mau menandatangani surat
perintah penahanan penyidik / penyidik pembantu
membuat Berita Acara penolakan ditandatangani
oleh Saksi.
(h). Dilengkapi Surat Perintah Penahanan.
(i). Dicatat jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
penyerahan surat pemberitahuan penahanan kepada
keluarga tersangka.
(j). Perlu diingat jangka waktu penahanan terbatas
(Pasal 29 KUHAP)
(k). Pemeriksaan tersangka harus mulai dilakukan dalam
satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan
(Pasal 122 KUHAP).
(10). Penyelesaian Berkas Perkara
(a). Penyidik, Penyidik Pembantu wajib
memberitahukan hasil perkembangan penyidikan
kepada Pelapor (SP2HP) setelah 20 hari penanganan
perkara.
(b). Penyidik / penyidik Pembantu harus berani
mengambil sikap menentukan perkara tersebut.
Apabila cukup bukti segera limpahkan, sedangkan
tidak cukup bukti, demi hukum bukan tindak pidana
segera dihentikan.
lvii
(c). SP3 diberikan tembusanya kepada Pelapor dan
Tersangka.
Penyidik / Penyidik Pembantu Melakukan Gelar
Perkara sebelum menerbitkan SP3
(d). Apabila Perlu Pelapor / penasehat hukumnya
mengikuti gelar perkara dimaksud.
3) Penuntutan
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas
diserahkan kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat 2 KUHAP
Dimana penyerahan tersebut dilakukan dalam dua tahap
yaitu: tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas
perkara; tahap kedua, dalam hal penyidik sudah dianggap
selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti kepada penuntut umum.
Jika dalam penyerahan tahap pertama, penuntut umum
bependapat bahwa berkas kurang lengkap maka ia dapat
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk
dilengkapi disertai petunjuk (Penuntut umum menerbitkan
PK.2 dan petunjuk) atau melengkapi sendiri, berdasarkan
Undang - Undang No. 5 Tahun 1991. Berdasarkan Pasal 110
ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut umum
tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka
penyidikan dianggap selesai.
Setelah penuntut umum menerima penyerahan berkas
perkara yang merupakan hasil penyelidikan dari penyidik
(Pasal 138 KUHAP), penuntut umum segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil
lviii
penyidikannya sudah lengkap atau belum. Apabila dipandang
belum lengkap atau belum memenuhi pesyaratan untuk
dilakukan penuntutan, penuntut umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi dan
disempurnakan sesuai dengan petunjuk penuntut umum atau
penuntut umum dapat bertindak sendiri sebagai penyidik
untuk melengkapi dan menyempurnakan.
Apabila perkara yang diusut telah mendapatkan titik
terang sehingga jelas persoalannya, maka Jaksa menyerahkan
berkas perkara itu kepada hakim, untuk dituntut dengan
permohonan supaya hakim memeriksa dan memberi
keputusan tentang perkara tersebut. Sehingga dapat diketahui
definisi ‘menuntut’ adalah merupakan permintaan pihak
Penuntut Umum supaya si terdakwa yang telah diusut dalam
pemeriksa permulaan segera diadili.
Setelah penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut
umum membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1), Pasal 143
ayat (2) KUHAP) dan selanjutnya sesuai dengan ketentuan
Pasal 143 ayat (1) KUHAP melimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri dengan permintaan segera mengadili
perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
Kemudian turunan surat dakwaan dan pelimpahan perkara
ke pengadilan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya
atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada waktu yang
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke pengadilan yang berwenang. Penuntut umum
dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
lix
penyempurnaan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya. Pengubahan surat dakwaan tersebut hanya
dapat dilakukan satu kali saja, dimana perubahan itu
dilakukan selambat - lambatnya tujuh hari sebelum sidang
dimulai. Dengan mana perubahan tersebut harus
diberitahukan kepada tersangka, atau penasihat hukumnya.
Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk
menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa itu ternyata bukan merupakan tindak pidana
yang dimaksud atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam ketetapan, dan
selanjutnya ketetapan tersebut diberitahukan kepada
tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dikeluarkan dari
tahanan. Apabila dikemudian hari ditemukan alasan baru,
penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
tersangka.
4) Pemeriksaan di Persidangan
Pemeriksaan dimuka persidangan ini merupakan
pemeriksaan terakhir (Eindonerzoek) bagi tersangka,
pemeriksaan mana merupakan kelanjutan daripada
pemeriksaan permulaan (Vor Onderzoek) yang telah
dilakukan oleh penyidik. Tujuan daripada pemeriksaan ini
adalah untuk mendapatkan kepastian tentang salah dan
benarnya terdakwa. Oleh karena itu pemeriksaan harus
dilakukan secara seksama dan secara langsung terhadap
terdakwa dan tidak boleh diwakilkan. Hal ini berlaku juga
bagi pemeriksaan para saksi. Dengan demikian dapat
diperoleh kebenaran materiil dari hukum acara pidana
lx
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari
dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan
dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan
(Andi Hamzah,1996: 7-8).
Pemeriksaan perkara pidana di persidangan secara garis
besar, terlihat dalam urut-urutan dibawah ini:
a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum
(Pasal 153 ayat (3) KUHAP)
Ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari fair
trial, sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya
persidangan. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut
apabila memeriksa perkara kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak.
b. Terdakwa dipanggil (Pasal 154 ayat (1) KUHAP)
Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
dipanggil masuk ke ruang sidang.
c. Pembacaan surat dakwaan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP)
Pembacaan surat dakwaan dilakukan untuk perkara
yang diproses dengan acara biasa, sedangkan untuk
perkara singkat, yang dibaca adalah catatan dakwaan.
lxi
d. Keberatan atau eksepsi dari penasehat hukum/ terdakwa
(Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
Isi keberatan tersebut dapat berupa :
a) bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa
perkara;
b) dakwaan tidak dapat diterima;
c) dakwaan harus dibatalkan.
e. Pendapat penuntut umum (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
Atas keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau
penasehat hukum, penuntut umum diberi kesempatan
untuk menyatakan pendapatnya.
f. Putusan sela (Pasal 156 ayat (2) KUHAP)
Atas keberatan dan tanggapan tersebut, hakim ketua
sidang dapat memutus dengan putusan sela. Jika
keberatan diterima, perkara tidak dapat dilanjutkan.
Sebaliknya jika keberatan ditolak, maka perkara bisa
dilanjutkan.
g. Pemeriksaan materi perkara (alat bukti)
Apabila pemeriksaan dilanjutkan, maka dilakukan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti dan barang bukti
(pemeriksaan materi perkara) :
a) Alat bukti keterangan saksi;
b) Alat bukti keterangan ahli;
c) Alat bukti surat;
d) Alat bukti petunjuk;
e) Alat bukti keterangan terdakwa;
f) Barang bukti.
lxii
h. Penuntut umum membacakan tuntutan (Rekuisitor)
Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian
surat dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap
di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang
kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.
i. Terdakwa atau penasehat hukum membacakan pembelaan
(Pledoi)
Pledoi adalah tangkisan terhadap pembuktian yang
dibacakan penuntut umum dalam tuntutan pidana dan
terdakwa maupun penasehat hukumnya berusaha
mengajukan bukti balik dari pembuktian yang diajukan
penuntut umum dimuka sidang. Pembelaan tidak lepas
dari eksistensinya bantuan hukum.
j. Penuntut umum membacakan jawaban atas pembelan
(Replik)
Replik adalah jawaban atau tanggapan penuntut
umum terhadap pledoi yang diajukan tedakwa atau
penasehat hukumnya.
k. Terdakwa atau penasehat hukum membacakan duplik
Duplik adalah tanggapan atau bantahan terhadap
replik.
Dalam pelaksanaan proses pemeriksaan perkara pidana di
persidangan terdapat pihak-pihak yang berhubungan, antara
lain :
a) Hakim (majelis/ tunggal)
Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 KUHAP, pengertian
hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
lxiii
b) Jaksa/ penuntut umum
Dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP disebutkan
pengertian dari jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sedangkan Penuntut umum dijelaskan dalam Pasal
1 angka 6 huruf b yang berbunyi: penuntut umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
c) Terdakwa
Menurut Pasal 1 angka 15 KUHAP, terdakwa
adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan
diadili di sidang pengadilan.
d) Penasehat hukum
Pengertian penasehat hukum sesuai Pasal 1 angka
13 KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk
memberi bantuan hukum.
Untuk mengadili tindak pidana korupsi tidak diperlukan
peradilan khusus seperti tindak pidana ekonomi. Pelaku
tindak pidana korupsi dapat diadili di pengadilan negeri biasa
dengan proses pemeriksaan biasa.
4. Tinjauan Tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan salah satu hal yang penting dalam
menentukan kebenaran atas dakwaan yang didakwakan kepada
lxiv
terdakwa dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, pembuktian
perlu diketahui secara mendalam.
Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-
ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara
yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh
undang-undang dan boleh dipergunakan hakim untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap,
2002:273).
Sedangkan menurut Darwan Prints, yang dimaksud
pembuktian adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwalah yang salah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya (Darwan Prints, 1998:133).
Pembuktian tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberi kepastian tentang perkara yang diajukan.
Sudikno berpendapat bahwa membuktikan mengandung tiga
pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis, membuktikan
dalam arti konvensional, dan membuktikan dalam hukum atau
mempunyai arti yuridis (Sudikno Mertokusumo, 1981: 91).
Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian :
1) Memberi (memperlihatkan bukti);
2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran melaksanakan
(cita-cita dan sebagainya);
3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu itu benar);
4) Meyakinkan, menyaksikan.
lxv
Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang
disusun dan didapat dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan
atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan
dengan masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana. Suatu
pembuktian menurut hukum pada dasarnya untuk menentukan
substansi atau hakekat adanya fakta-fakta masa lalu yang tidak
terang menjadi fakta yang terang.
b. Sistem Pembuktian
Dalam ilmu hukum, kita kenal empat jenis sistem atau teori
pembuktian, yaitu :
1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif
(positif wettelijke bewijsteorie).
Sistem ini berkembang diabad pertengahan, dan saat ini
sudah mulai ditinggalkan. Dikatakan secara positif karena
hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya jika telah
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut
oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan
sama sekali
2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atau sistem
keyakinan belaka (conviction intime).
Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu
peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu
kepada kebijaksanaan hakim. Menurut sistem ini hakim tidak
terikat kepada alat-alat bukti tertentu, hakim harus memutus
tentang kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinannya belaka.
3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan
yang logis (la convictio raisonee).
Bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada
lxvi
dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Hakim bebas untuk menentukan macam dan banyaknya alat-
alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan
terdakwa, satu-satunya peraturan yang mengikat kepadanya
ialah bahwa dalam keputusannya hakim harus menyebutkan
pula alasan-alasannya.
4) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif
(negatief wattelijke)
Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang
ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim
memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:247-
253).
Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa
adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam undang-undang dan
cara mempergunakannya disebut juga dalam undang-undang
itu, belum berarti hakim musti menjatuhkan hukuman. Hal
tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas
kebenarannya.
Sistem pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam
Pasal 183 (KUHAP) yang berbunyi : “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan
lxvii
untuk pembuktian. Dalam pembuktian ini penuntut umum
membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung
jawab untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang
kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa,
bukan sebaliknya terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Hakim dalam menjatuhkan putusan akan
menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan
hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang
didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta
menetapkan pidana apa yang harus dijatuhkan kepadanya
setimpal dengan perbuatannya (Martiman Prodjohamijaya,
1983:19).
c. Alat bukti
Bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil
atau pendirian atau dakwaan. Alat-alat yang diperkenankan untuk
dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana disebut
dakwaan di sidang pengadilan misalnya : keterangan terdakwa,
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk (Andi
Hamzah,1996: 254).
Alat bukti yang sah adalah alat–alat yang ada hubungannya
dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana
yang telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat-alat bukti yang
sah menurut Pasal 184 (1) KUHAP adalah :
1) Keterangan saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, sedangkan keterangan lebih
rinci mengenai keterangan saksi dijelaskan pada Pasal 185
KUHAP. Poin penting dalam pasal tersebut adalah
lxviii
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya. Jadi dalam hal ini harus ada
lebih dari satu saksi atau dapat pula satu saksi yang didukung
oleh alat bukti yang sah lainnya.
2) Keterangan ahli
Dalam KUHAP keterangan ahli diatur dalam Pasal 186
yang berbunyi : “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan.” Penjelasan dari pasal
tersebut berbunyi : ”Keterangan ahli dapat juga diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan”. dari pengertian tersebut dapt dijelaskan bahwa
keterangan ahli dapat juga diberikan di luar sidang yaitu pada
waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum.
3) Surat
Dalam Pasal 187 KUHAP, yang dimaksud surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c
KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, adalah:
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
lxix
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan
dengan pemeriksaan saksi-saksi dan pemeriksaan terdakwa.
Pada saat pemeriksaan saksi, dinyatakan mengenai surat-surat
yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan kepada
terdakwa pada saat memeriksa terdakwa (Leden
Marpaung,1992: 395).
4) Petunjuk
Pengaturan tentang alat bukti petunjuk terdapat dalam
Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat diperoleh dari ;
(a) keterangan saksi;
(b) surat;
(c) keterangan terdakwa.
lxx
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
5) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti diatur dalam
Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :
(i). Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan
atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(ii). Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti
di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya;
(iii). Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri;
(iv). Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain.
lxxi
Hasil Audit Investigasi Keterangan Ahli BPKP
Alat bukti Surat Alat Bukti Keterangan Ahli
Putusan Hakim
AUDIT INVESTIGASI
BPKP
B. Kerangka Pemikiran
BPKP adalah lembaga non departemen yang dibentuk oleh Presiden
berdasarkan Keppres No. 31 Tahun 1983 tentang BPKP. BPKP merupakan
auditor internal yang mempunyai kewenangan melakukan pengawasan
terhadap anggaran Negara (Pasal 72 Keppres No. 17 Tahun 2000 tentang
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Anggaran Negara) yang salah satu
apresiasinya diwujudkan dalam audit investigasi. BPKP sering diminta untuk
menjadi ahli dalam berbagai perkara korupsi yakni untuk menjelaskan
kerugian keuangan negara. Negara Indonesia menganut sistem pembuktian
negatif. Sehingga dalam mengambil keputusan hakim harus mendasarkan pada
alat bukti minimum dan keyakinan hakim sendiri. Ahli BPKP dapat
memeberikan keterangan di persidangan sehingga dianggap sebagai alat bukti
keterangan ahli. Sedangkan ahli yang tidak hadir di persidangan, laporan ahli
yang diberikan pada saat penyidikan dan dilakukan dibawah sumpah dapat
juga dihadirkan di persidangan untuk dperiksa sebaga alat bukti surat.
lxxii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyusunan Audit Investigasi oleh Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta
Tahun Anggaran 2003
1. Kasus Posisi:
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor:
170/162/1999 tanggal 20 September 1999, mengesahkan Bambang
Mudiarto sebagai Pimpinan DPRD Kota Surakarta dan H.M Yusuf
Hidayat sebagai wakilnya. Setelah menduduki jabatannya tersebut
mereka pada tanggal 11 Maret 2003 telah menyetujui dan
mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RAPBD) Kota Surakarta tahun Anggaran 2003 menjadi APBD Kota
Surakarta Tahun 2003 dengan Perda Nomor 1 Tahun 2003.
Pada tanggal 24 Desember 2002 dan tanggal 24 Februari 2003,
Bambang Mudiarto, H.M Yusuf Hidayat, H. Soewardi, B.A, H.
Siswandi masing - masing selaku unsur pimpinan DPRD Kota
Surakarta mengadakan rapat dengan agenda membicarakan
mengenai usulan penambahan penghasilan Pimpinan dan Anggota
DPRD Kota Surakarta Periode 1999-2004 menjadi lebih besar.
Pembahasan tersebut tertunda karena Bambang Mudiarto telah lebih
dahulu mengesahkan RAPBD Tahun 2003 menjadi APBD Tahun
2003 pada tanggal 11 Maret 2003. Pada tanggal 13 Agustus 2003, 25
Agustus 2003, dan 4 September 2003 diadakan rapat kembali dengan
agenda sama yaitu mengenai penambahan penghasilan Pimpinan dan
Anggota DPRD Kota Surakarta Periode 1999-2004, dan kemudian
usulan tersebut disetujui dan disahkan dengan mengeluarkan Surat
lxxiii
Keputusan Pimpinan Dewan No. 08/PIMP-DPRD/III/2003 dan
diperbaharui dengan Surat Keputusan Pimpinan Dewan No.
28A/PIMP-DPRD/IX/2003 yang ditandatangani oleh Bambang
Mudiarto, H.M Yusuf Hidayat, H. Soewardi, B.A, H. Siswandi yang
masing – masing dalam kapasitas selaku unsur Pimpinan DPRD
Kota Surakarta Periode 1999-2004. Surat Keputusan Pimpinan
tersebut disetujui dan disahkan melalui mekanisme sebagai berikut:
a) Sekretaris Dewan (Sekwan) dalam hal ini Drs. Soemarlan
Djatmiko, mempersiapkan bahan yang diperlukan di dalam
rapat Panitia Rumah Tangga (PRT) Dewan. Anggota PRT
tersebut terdiri dari darsono, SE, H. Mujahid, Drs. Bandung
Joko Suryono, Drs. Rio Suseno, Ipmawan M. Iqbal, SP, S.Sg,
Eriadi Dodi Prasetya, H. Sali Basuki, Purwono, SH yang
kemudian melakukan rapat pada tanggal 13, 25 Agustus 2003,
dan tanggal 4 September 2003 dan Sekretaris Dewan mencatat
hasil rapat untuk dibicarakan dalam Rapat Pimpinan Dewan.
Sekretaris Dewan membawa catatan hasil rapat PRT sebagai
bahan dalam rapat Pimpinan Dewan, sekretaris Dewan ikut
serta mencatat hasil Rapat Pimpinan Dewan. Dimana hasil
terakhir dari rapat tersebut adalah dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pimpinan Dewan.
b) Surat Keputusan Pimpinan Dewan tersebut selanjutnya
diserahkan ke Panitia Anggaran Pemerintahan Kota (Pemkot)
Surakarta untuk dilakukan pembahasan oleh Panitia Anggaran
(Panggar) Pemkot surakarta, bersama – sama dengan materi
usulan anggaran belanja dari dinas yang lain, setelah dilengkapi
dengan Nota Keuangan dari Wali Kota, dikembalikan lagi
kepada DPRD, untuk dibahas di dalam sidang Komisi DPRD,
maupun dalam sidang Paripurna DPRD.
lxxiv
c) Bahwa ternyata, Surat Keputusan Pimpinan Dewan tersebut
tidak dilakukan pembahasan oleh Panitia Anggaran Pemkot
Surakarta, dengan harapan akan menjadi bahan pembahasan
dalam Sidang Komisi maupun sidang Paripurna DPRD, namun
ternyata baik sidang komisi maupun Sidang Paripurna DPRD
juga tidak dibahas dan langsung disetujui oleh Dewan (DPRD),
sehingga keluarlah Surat Keputusan Pimpinan Dewan.
Bahwa berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Surakarta
Nomor: 13 Tahun 2003 tanggal 13 November 2003 tentang
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surakarta
Tahun Anggaran 2003, antara perubahan anggaran rutin DPRD Kota
Surakarta Tahun 2003 dibandingkan dengan anggaran untuk
Kesejahteraan Masyarakat terjadi perbedaan yang sangat mencolok,
antara lain:
a) Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan
terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olah Raga mengalami
kenaikan sebesar 0,92% atau naik sebesar Rp. 158.000.000,00.
Pada sektor ini anggaan semula Rp. 17.146.730.000,00 naik
menjadi Rp. 17.304.730.000,00.
b) Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera hanya mendapat
alokasi anggaran sebesar Rp. 90.470.000,00.
c) Sektor Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Anak
dan Remaja, semula anggaran sebesar Rp. 3.868.089.000,00
mengalami penurunan sebesar Rp. 295.016.000,00 atau turun
menjadi 7,63% sehingga menjadi Rp. 3.537.073.000,00.
d) Sektor Perumahan dan Pemukiman anggaran semula sebesar
Rp. 850.000.000,00 sebesar Rp. 370.000.000,00 atau turun
menjadi 43,53% menjadi Rp. 480.000.000,00.
lxxv
e) Sektor Agama tetap seperti semula sebesar Rp. 879.000.000,00.
f) Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tetap seperti semula
yaitu Rp. 425.000.000,00.
Selain itu anggaran belanja rutin DPRD Kota Surakarta tahun
2003 sesuai DIKDA (Daftar Isian Kegiatan Daerah) Nomor:
914/016/R/III/2003 tanggal 18 Maret 2003 mengalami perubahan
besaran anggaran dari sebesar Rp. 13.092.341.000,00 menjadi
DIKDA Perubahan Nomor: 914/02/Prb/R/XI/2003 tanggal 17
November 2003 sebesar Rp. 16.359.000.000,00 atau naik sebesar
11,58%.
Perbandingan pada perubahan Anggaran Pendapatan Daerah
Kota Surakarta Tahun 2003 antara anggaran pada Sektor
Kesejahteraan Masyarakat (antara lain Pendidikan, Kesehatan,
Kesejahteraan Sosial dan lain sebagainya) dan Perubahan Anggaran
Belanja Rutin DPRD Kota Surakarta Tahun 2003 seharusnya lebih
banyak alokasi anggaran belanja rutin pada Sektor Kesejahteraan
Masyarakat daripada alokasi Anggaran Belanja Rutin DPRD Kota
Surakarta Tahun 2003.
Perubahan kenaikan penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD
Kota Surakarta Periode 1999-2004 diperinci sebagai berikut:
a. Pembayaran yang sudah ada aturan/ ketentuan:
1) Kenaikan Biaya Operasional Rp. 1.390.000.000,00.
lxxvi
Tabel 1. Perbandingan Biaya Operasional DPRD TA 2003
2. Kenaikan Belanja Barang Rp. 854.250.000,00
Tabel 2. Perbandingan Kenaikan Belanja Barang DPRD TA 2003
lxxvii
3. Kenaikan Biaya Perjalanan Dinas ke Luar Jawa Rp.
93.430.000,00
Tabel 3. Perbandingan Kenaikan Biaya Perjalanan Dinas DPRD TA 2003
lxxviii
lxxix
lxxx
Jumlah 1 + 2 + 3 Rp. 2.338.280.000,00
b. Pembayaran yang tidak ada dasar/ ketentuannya:
1) Pembayaran Premi Asuransi Rp. 780.000.000,00
- 45 x Rp. 10.000.000,- Rp. 450.000.000,00
- 44 x Rp. 7.500.000,- Rp. 330.000.000,00 +
Rp. 780.000.000,00
2) Anggaran untuk fraksi Rp. 200.000.000,00
Fraksi TNI Rp. 40.000.000,00
lxxxi
Fraksi Golkar Rp. 40.000.000,00
Fraksi PDIP Rp. 40.000.000,00
Fraksi Pembaharuan Rp. 40.000.000,00
Fraksi PAN Rp. 40.000.000,00 +
Rp. 200.000.000,00
3) Biaya Reses Rp. 46.000.000,00
Jumlah 1 + 2 + 3 Rp. 1.026.000.000,00
c. Pembayaran yang tidak sesuai peruntukannya:
1) Sosial kemasyarakatan Rp. 428.034.000,00
Setelah dinaikkan Rp. 1.141.734.000,00
Seharusnya Rp. 673.500.000,00 -
Selisih Rp. 468.234.000,00
PPh Ps.21 Rp. 40.200.000,00 +
Rp. 428.034.000,00
2) Bantuan Rumah Tangga Rp. 458.405.000,00
Pimpinan dan Anggota Rp. 867.500.000,00
Sekretaris Rp. 3.300.000,00 +
Jumlah Rp. 870.800.000,00
Pos belanja barang Rp. 331.500.000,00 -
Jumlah Rp. 539.300.000,00
PPh Ps. 21 Rp. 80.895.000,00-
Kerugian negara sebesar Rp. 458.105.000,00
3) Perjalanan Dinas Rp. 5.255.000,00
Bambang M ke Jakarta Rp. 2.420.000,00
Bambang M ke Ambon Rp. 1.200.000,00
H. Siswandi ke Sidoarjo Rp. 1.635.000,00+
lxxxii
Jumlah Rp. 5.255.000,00
4) Biaya Pendidikan Rp. 16.500.000,00
Kontribusi penganugrahan
Citra insan Indonesia 2
Yang diterima James A.P Rp. 2.500.000,00
Biaya wisuda Strata II
Yang diterima James A.P Rp. 14.000.000,00 +
Jumlah Rp. 16.500.000,00
Jumlah 1 + 2 + 3 + 4 Rp. 908.134.000,00
Jumlah a+b+c Rp. 4.272.474.000,00
Dari uraian peristiwa diatas, maka perbuatan Bambang
Mudiarto dan HM. Yusuf Hidayat dalam kaspasitasnya selaku
pimpinan DPRD Kota Surakarta Periode 1999-2004, telah
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, masing – masing sebagai
berikut:
1 Bambang Mudiarto Rp 266.795.000
2 HM. Yusuf Hidayat Rp 89.212.500
3 Bambang Rusiantono EMT Rp 84.275.000
4 Drs. Agus Priyono Rp 86.175.000
5 Eko Budianto Rp 85.475.000
6 Farkan Mulyaditomosarkoro Rp 84.275.000
7 Drs. Widjojo Kusumo Rp 86.175.000
8 Gunawan M Suud, BA Rp 88.175.000
9 Drs. Bambang Priyono Rp 86.175.000
10 Krismas Irmono Rp 85.475.000
11 RM. Kus Rahardjo Rp 88.175.000
12 Alqaf Hudaya, SH Rp 10.200.000
lxxxiii
13 M. Fajri Rp 85.475.000
14 Antonius Sugianto Rp 84.275.000
15 H. Farid Badres Rp 88.175.000
16 KRMH Satrio Hadinagoro Rp 86.175.000
17 Djoko Santoso Rp 85.475.000
18 Drs. Bambang Sugiatmadi Rp 84.275.000
19 Geyol Suryopranoto Rp 88.175.000
20 Mardikun Rp 86.375.000
21 Bernadus Sunaryanto Rp 85.475.000
22 Srihartono Rp 84.375.000
23 H. Husein Syifa, SE Rp 88.175.000
24 Heru S Notonegoro, SH Rp 85.425.000
25 Hasan Mulachea Rp 84.275.000
26 Zaenal Arifin Rp 86.175.000
27 H. Soewardi, BA Rp 18.925.000
28 Drs. Hendratno, MM Rp 84.275.000
29 Budiprayitno Rp 85.475.000
30 James August Pattiwael Rp 102.675.000
31 Honda Hendarto Rp 88.175.000
32 Ipmawan M Iqbal, SP,S.Ag Rp 86.175.000
33 Eriadi Dodi Prasetyo, SE Rp 84.275.000
34 Drs. Bandung Joko S, SH Rp 86.175.000
35 Purwono, SH Rp 125.475.000
36 H. Sali Basuki Rp 125.475.000
37 Darsono, SE Rp 128.175.000
38 Mujahid Rp 86.175.000
Jumlah Rp4.272.474.000
Menindaklanjuti kasus diatas bahwa telah terjadi tindak pidana
korupsi dana APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003, untuk
membuktikan adanya kerugian keuangan Negara yang merupakan
lxxxiv
salah satu unsur korupsi, maka pihak Kepolisian Wilayah Kota Besar
Surakarta meminta bantuan ahli audit dari BPKP Perwakilan
Semarang untuk melakukan audit terhadap kerugian keuangan
negara.
2. Penyusunan Audit Investigasi oleh Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP)
a. Dasar Audit
1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan
Non Departemen sebagaimana terakhir kali diubah dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005.
2) Surat Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta Nomor:
B/2290/IX/2004/Reskrim tanggal 22 September 2004 perihal
Permintaan Bantuan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian
Kuangan Negara/ Daerah Dugaan Tindak Pidana Korupsi atas
Anggaran Belanja Rutin Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Surakarta Tahun 2003.
3) Surat Tugas Kepala Perwakilan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Nomor: S.
5397/PW11/5/2004 tanggal 27 September 2004 perihal
Permintaan Bantuan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian
Kuangan Negara/ Daerah Dugaan Tindak Pidana Korupsi atas
Anggaran Belanja Rutin Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Surakarta Tahun 2003.
lxxxv
b. Sasaran dan Ruang Lingkup
1) Sasaran Audit
Sasaran audit yang dilakukan adalah audit investigasi
dengan sasaran audit untuk membuktikan kebenaran formil
dan materiil ada tidaknya penyimpangan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2003.
2) Ruang Lingkup Audit
Ruang lingkup audit investigasi meliputi Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2003. Audit dilaksanakan
berdasarkan Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional
Pemerintah (SA-APFP) oleh karenanya meliputi pemeriksaan
dokumen – dokumen/ bukti – bukti yang mendukung proses
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003 dan
pertanggungjawabannya, konfirmasi, klarifikasi, dan
wawancara dengan pihak – pihak terkait serta prosedur audit
lainnya yang diangap perlu dan sesuai dengan keadaan. Audit
dilaksanakan mulai tanggal 26 April 2004 sampai dengan
tanggal 10 Agustus 2004.
c. Data Obyek/ Kegiatan yang di Audit
1) Data Umum
Nama Obyek Audit : Sekretariat DPRD Kota Surakarta
Alamat : Jl. Adi Sucipto No.143 A, Surakarta
Ketua DPRD : Bambang Mudiarto
lxxxvi
Sekretaris DPRD : Drs. Soemarlan Sujatmiko
Bendahara : Darsono, SE
2) Data Keuangan
a) Buku Kas Umum tahun 2003
b) SPM beban sementara dan beban tetap tahun 2003
c) SPJ keuangan beban sementara dan beban tetap tahun
2003
d) Rekapitulasi premi asuransi tahun 2000 – 2002
e) Daftar isian kegiatan daerah, belanja rutin tahun
anggaran belanja 2003 No. 914/02/Prb/R/XI/2003
tanggal 17 November 2003
f) Perjanjian kerjasama antara DPRD Kota Surakarta
dengan PT. Asuransi Jiwa Seraya (Persero)
Surakarta dan PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya
g) Surat keterangan bringin live No.
B.23.02.1658.KMM.VII.2002 tanggal 12 Juli 2002
tentang Program BRI Viesta atas nama Petros
Krismas Irmono
d. Dasar Hukum Obyek/ Kegiatan yang di Audit
1) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara;
lxxxvii
3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 200 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
5) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002
tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan
Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan
APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD;
6) Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor:
171/92/1999 tanggal 11 Agustus 1999 perihal Peresmian
Pengangkatan dan Peresmian Pemberhentian Keanggotaan
DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta;
7) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/2477/SJ
tanggal 5 Desember 2001 perihal Pedoman Umum
Penyusunan dan Pelaksanaan APBD.
e. Materi Temuan
Hasil audit terhadap pengelolaan APBD DPRD Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2003 terdapat penyimpangan sebagai
berikut:
1) Jenis Penyimpangan
Berdasarkan hasil audit yang telah dilakukan
terdapat kerugian keuangan Negara/ daerah tas Anggaran
Belanja Rutin Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Surakarta Tahun 2003 adalah
lxxxviii
sebesar Rp. 4.272.474.000,00 dengan rincian sebagai
berikut:
a) Selisih Pembayaran Biaya Sosial Kemasyarakatan,
Bantuan Rumah Tangga anggota DPRD, Penetapan
Perda Permit, Operasional Komisi, Bantuan
Perumahan dan Taktis Operasional Tahun Anggaran
2003 dengan tahun sebelumnya yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan merugikan keuangan negara
sebesar Rp. 2.244.850.000,00.
b) Biaya Operasional bantuan fraksi yang tidak ada dasar
ketentuannya dan merugikan kekayaan negara sebesar
Rp. 200.000.000,00 karena fraksi bukan alat
kelengkapan DPRD.
c) Belanja barang untuk ongkos kantor lain – lain,
digunakan untuk membayar biaya bantuan rumah
tangga pimpinan dan anggota DPRD serta Sekwan
sebesar Rp. 870.000.000,00 yang merugikan
kekayaan negara sebesar Rp. 458.405.000,00.
d) Realisasi anggaran belanja barang untuk ongkos
kantor lain – lain, digunakan untuk biaya kegiatan
sosial kemasyarakatan sebesar Rp. 1.141.734.000,00.
e) Pembayaran biaya reses yang seharusnya tidak
dibayarkan sebesar Rp. 46.000.000,00 dan merugikan
kekayaan negara.
f) Pembayaran biaya perjalanan dinas dobel sebesar Rp.
5.255.000,00 dan merugikan kekayaan negara.
lxxxix
g) Kelebihan pembayaran uang saku untuk perjalanan
dinas luar Jawa Tengah/ Luar Jawa sebesar Rp.
93.430.000,00.
h) Pengeluaran biaya pendidikan yang tidak sesuai
peruntukannya sebesar Rp. 16.500.000,00 dan
merugikan kekayaan negara.
i) Pembayaran premi asuransi yang tidak ada dasar
hukumnya sebesar Rp. 780.000.000,00 dan uang
tersebut sampai akhir pemeriksaan tidak ada bukti
setor kembali ke negara.
2) Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
Adapun fakta dan proses kejadian atas
penyimpangan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Proses Perubahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun
Anggaran 2003 sebagai berikut:
(1) Sekretaris Dewan (Sekwan) dalam hal ini Drs.
Soemarlan Djatmiko, mempersiapkan bahan
yang diperlukan di dalam rapat Panitia Rumah
Tangga (PRT) Dewan. Anggota PRT tersebut
terdiri dari darsono, SE, H. Mujahid, Drs.
Bandung Joko Suryono, Drs. Rio Suseno,
Ipmawan M. Iqbal, SP, S.Sg, Eriadi Dodi
Prasetya, H. Sali Basuki, Purwono, SH yang
kemudian melakukan rapat pada tanggal 13,
25 Agustus 2003, dan tanggal 4 September
2003 dan Sekretaris Dewan mencatat hasil
rapat untuk dibicarakan dalam Rapat Pimpinan
xc
Dewan. Sekretaris Dewan membawa catatan
hasil rapat PRT sebagai bahan dalam rapat
Pimpinan Dewan, sekretaris Dewan ikut serta
mencatat hasil Rapat Pimpinan Dewan.
Dimana hasil terakhir dari rapat tersebut
adalah dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pimpinan Dewan.
(2) Surat Keputusan Pimpinan Dewan tersebut
selanjutnya diserahkan ke Panitia Anggaran
Pemerintahan Kota (Pemkot) Surakarta untuk
dilakukan pembahasan oleh Panitia Anggaran
(Panggar) Pemkot surakarta, bersama – sama
dengan materi usulan anggaran belanja dari
dinas yang lain, setelah dilengkapi dengan
Nota Keuangan dari Wali Kota, dikembalikan
lagi kepada DPRD, untuk dibahas di dalam
sidang Komisi DPRD, maupun dalam sidang
Paripurna DPRD.
(3) Bahwa ternyata, Surat Keputusan Pimpinan
Dewan tersebut tidak dilakukan pembahasan
oleh Panitia Anggaran Pemkot Surakarta,
dengan harapan akan menjadi bahan
pembahasan dalam Sidang Komisi maupun
sidang Paripurna DPRD, namun ternyata baik
sidang komisi maupun Sidang Paripurna
DPRD juga tidak dibahas dan langsung
disetujui oleh Dewan (DPRD), sehingga
keluarlah Surat Keputusan Pimpinan Dewan
yang meliputi:
xci
(a) SK Nomor: 28 A/PIMP-DPRD/III/2003
tanggal 8 September 2003 tentang
Perubahan Anggaran Belanja Daerah yang
terdiri dari: Kenaikan Biaya/ Tarif
terhadap biaya Sosial Kemasyarakatan,
Bantuan Rumah Tangga, Penetapan Perda,
Operasional Komisi, Bantuan perumahan
dan Taktis Operasional;
(b) SK Nomor: 28/PIMP-DPRD/X/2003
tanggal 10 Oktober 2003 dan SK Nomor:
24 A/PIPM-DPRD/III/2002 tanggal 30 Juli
2002 tentang Pemberian Premi asuransi;
(c) SK Nomor: 08/PIMP-DPRD/III/2003
tanggal 12 Maret 2003 tentang
pengeluaran Anggaran Biaya Operasional
Fraksi;
(d) SK Nomor: 08/PIMP-DPRD/III/2003
tanggal 12 Maret 2003 dan SK Nomor: 28
A/PIMP-DPRD/III/2003 tanggal 8
september 2003 Pasal 2.2.1.1011.60
tentang Anggaran Biaya Bantuan Rumah
Tangga Pimpinan Dewan, Anggota Dewan
dan Sekretaris Dewan dibayar dengan
menggunakan Anggaran Barang untuk
Ongkos Kantor Pos langganan –
langganan;
(e) SK Nomor: 08/PIMP-DPRD/III/2003
tanggal 12 Maret 2003 dan SK Nomor: 28
A/PIMP-DPRD/III/2003 tanggal 8
xcii
september 2003 Pasal 2.2.1.1011.90
tentang Anggaran untuk membayar Biaya
Sosial Kemasyarakatan dibayar dengan
menggunakan anggaran – anggaran
belanja barang untuk kantor pos lain –
lain.
b) Pelaksanaan Anggaran
Dalam pelaksanaan APBD DPRD Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2003, terdapat
penyimpangan bahwa untuk APBD DPRD Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2003 mengalami
kenaikan dari tahun sebelumnya, dimana kenaikan
tersebut tidak sesuai dengan kebutuhannya sehingga
merugikan keuangan negara sebesar Rp.
4.272.474.000,00, yang diperinci sebagai berikut:
xciii
Tabel 4. Kenaikan APBD DPRD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003
Penjelasan masing - masing unsur kerugian keuangan
negara adalah sebagai berikut:
(i) Terjadi perubahan anggaran/ kenikan biaya tahun
2003 yang tidak sesuai dengan kebutuhannya dan
merugikan keuangan negara sebesar Rp.
2.244.850.000,00.
(ii) Dalam tahun 2003 Anggaran Belanja Sekretariat
DPRD (tidak termasuk belanja pegawai dewan)
mengalami perubahan, yang semula sebesar Rp.
13.092.341.000,00 menjadi Rp.
16.359.069.000,00 atau terdapat kenaikkan
xciv
sebesar Rp. 3.266.728.000,00 dengan rincian
sebagai berikut:
Temuan Satuan (Rp.)
Belanja Pegawai (Sekretariat) 79.501.000,00
Belanja Barang 908.130.000,00
Belanja Pemeliharaan 63.550.000,00
Belanja Perjalanan Dinas -93.325.000,00
Belanja Lain – Lain 2.308.872.000,00
Jumlah 3.266.728.000,00
Perubahan anggaran belanja tersebut antara
lain disebabkan karena adanya perubahan biaya/
tarif untuk sosial kemasyarakatan, bantuan rumah
tangga dewan, penetapan Perda/ Permit,
Operasional Komisi, Bantuan Perumahan dan
Taktis Operasional, yang meliputi:
- Biaya belanja barang untuk biaya sosial
kemasyarakatan dan bantuan rumah tangga
dewan sebesar Rp. 1.005.000,00, terdiri dari:
Satuan (Rp.)
Biaya Sosial
Kemasyarakatan 673.500.000,00
Bantuan Rumah Tangga
Dewan 331.500.000,00
Jumlah 1.005.000.000,00
- Biaya operasional/ penunjang kegiatan sebesar
Rp. 1.636.000.000,00, terdiri dari:
Satuan (Rp.)
Penetapan Perda/ Permit 862.500.000,00
Operasional Komisi 331.500.000,00
Bantuan Perumahan 206.000.000,00
Taktis Operasional 236.000.000,00
Jumlah 1.636.000.000,00
xcv
Sesuai SK Pimpinan DPRD Kota Surakarta
No.28A/PIMP-DPRD/III/2003 tanggal 8
September 2003 tentang Biaya Pemeliharaan
Kesehatan, Bantuan Rumah Tangga, Biaya
Kegiatan Sosial, Biaya Pendidikan, Pembelian
Bahan Bakar, Biaya Perjalanan Dinas dan Biaya
Operasional DPRD Kota Surakarta berlaku mulai
Agustus 2003. Kenaikan biaya tersebut telah
direalisasi dan telah dipertanggungjawabkan pada
bulan Desember 2003 yaitu dengan membayar
secara rapel mulai Agustus 2003.
Perubahan anggaran berupa kenaikkan biaya/
tarif (Biaya Sosial Kemasyarakatan, Bantuan
Rumah Tangga, Penetapan Perda/ Permit,
Operasional komisi, Bantuan Perumahan, dan
Taktis Operasional) tidak memperhatikan
ketentuan sesuai Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 903/2477/SJ tanggal 5 Desember 2001
perihal Pedoman Umum Penyusunan dan
Pelaksanaan APBD pada point VII. Perubahan
anggaran/ kenaikan biaya Dewan Tahun 2003
disebabkan karena adanya kebijakan Pimpinan
Dewan untuk menaikan biaya. Akibatnya terdapat
pembayaran biaya Sosial Kemasyarakatan,
Bantuan Rumah Tangga, Penetapan Perda/ Permit,
Operasional komisi, Bantuan Perumahan, dan
Taktis Operasional yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan merugikan keuangan Negara
sebesar Rp. 2.224.850.000,00 (Rp.
2.641.000.000,00 – Rp. 396.000.150.000,00)
xcvi
(iii) Dalam APBD DPRD Kota Surakarta Tahun
Anggaran 2003 terdapat pengeluaran pembayaran
premi asuransi untuk 45 orang anggota DPRD
Kota Surakarta sebesar Rp. 780.000.000,- dengan
rincian sebagai berikut:
45 x Rp. 10.000.000,00 Rp. 450.000.000,00
44 x Rp. 7.500.000,00 Rp. 330.000.000,00 +
Rp. 780.000.000,00
Pembayaran premi asuransi diatas
mendasarkan pada SK Pimpinan Dewan No.
28/PIMP-DPRD/X/2000 tanggal 10 Oktober 2000
tentang Pengaturan Biaya Asuransi untuk Anggota
DPRD Kota Surakarta, dengan premi asuransi
sebesar Rp. 7.500.000,00 per orang/ tahun dan SK
Pimpinan Dewan No. 24A/PIMP-DPRD/VII/2002
tanggal 30 Juli 2002 tentang Biaya Asuransi
Lanjutan bagi Anggota DPRD Kota Surakarta,
dengan premi asuransi sebesar Rp. 10.000.000,00
per orang/ tahun. Sesuai catatan Rapat No.
27/PRT-DPRD/X/2000 tanggal 6 Oktober 2000
dan No. 09/PRT-DPRD/VII/2002 tanggal 4 Juli
2002 dinyatakan bahwa jenis asuransi dengan
jangka waktu asuransi berakhir sesuai dengan
masa bakti dan nilai tunai pada akhir masa
asuransi akan diterima anggota dewan.
Pada tahun 2003 juga terdapat realisasi
pembayaran uang duka wafat sebesar Rp.
10.000.000,00 dan bantuan pengangkutan jenazah
xcvii
sebesar Rp. 2.500.000,00 kepada ahli waris
anggota dewan atas nama H. Suwardi.
Pembayaran tersebut tidak sesuai dengan Perda
No. 3 Tahun 2001 tentang Kedudukan Keuangan
Dewan Pewakilan Rakyat Daerah Kota Surakarta,
sehingga nilai tunai atas asuransi tidak dapat
menjadi hak anggota dewan.
Pembayaran premi asuransi anggota dewan
dibayar karena kebijakan pimpinan dewan dalam
rangka pemberian tali asih kepada anggota dewan
pada akhir masa bakti, akibatnya terdapat
pengeluaran anggaran yang merugikan keuangan
negara sebesar Rp 780.000.000,00.
(iv) Dalam APBD DPRD Kota Surakarta Tahun
Anggaran 2003 realisasi pengeluaran anggaran
untuk fraksi pada DPRD Kota Surakarta sebesar
Rp. 200.000.000,-, dengan rincian sebagai berikut:
Fraksi TNI Rp. 40.000.000,00
Fraksi Golkar Rp. 40.000.000,00
Fraksi PDIP Rp. 40.000.000,00
Fraksi Pembaharuan Rp. 40.000.000,00
Fraksi PAN Rp. 40.000.000,00 +
Rp.200.000.000,00
Di dalam Perda No. 3 Tahun 2001 tentang
Kedudukan Keuangan Dewan Pewakilan Rakyat
Daerah Kota Surakarta tidak mengatur mengenai
biaya operasional untuk fraksi. Biaya operaional
fraksi dibayarkan karena Kebijakan Pimpinan
xcviii
Dewan, yaitu dalam kenyataannya kegiatan fraksi
dilakukan sehingga diperlukan biaya yang
akibatnya terdapat pengeluaran anggaran yang
merugikan keuangan Negara sebesar Rp.
200.000.000,00
(v) Belanja barang untuk ongkos kantor lain – lain,
digunakan untuk membayar biaya bantuan rumah
tangga pimpinan dan anggota DPRD serta Sekwan
sebesar Rp. 870.000.000,00 yang merugikan
kekayaan negara sebesar Rp. 458.405.000,00.
Realisasi anggaran belanja barang untuk
ongkos kantor lain – lain digunakan untuk biaya
kegiatan sosial kemasyarakatan dengan rincian
sebagai berikut:
Setelah dinaikkan Rp. 1.141.734.000,00
Seharusnya Rp. 673.500.000,00 -
Selisih Rp. 468.234.000,00
PPh Ps.21 Rp. 40.200.000,00 +
Rp. 428.034.000,00
Terdapat belanja barang untuk ongkos kantor
langganan – langganan digunakan untuk
membayar biaya bantuan rumah tangga Pimpinan
dan Anggota Dewan serta sekretaris Dewan
dengan rincian sebagai berikut:
Pimpinan dan Anggota Rp. 867.500.000,-
Sekretaris Rp. 3.300.000,- +
Jumlah Rp. 870.800.000,-
Pos belanja barang Rp. 331.500.000,- -
xcix
Jumlah Rp. 539.300.000,-
PPh Ps. 21 Rp. 80.895.000,- -
Kerugian negara sebesar Rp. 458.105.000,-
Pengeluaran tersebut diatas mendasarkan pada SK
Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 8/PIMP-
DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003 dan No.
28A/PIMP-DPRD/IX/2003 tanggal 8 September 2003
tentang Biaya Pemeliharaan Kesehatan, bantuan Rumah
Tangga, Biaya Kegiatan Sosial, Biaya Pendidikan,
Pembelian Bahan Bakar, Biaya Perjalanan Dinas dan
Biaya Operasional DPRD Kota Surakarta. Pengeluaran
sebesar Rp. 870.800.000,00 termasuk pengeluaran rapel
karena kenaikan biaya/ tarif sebesar Rp.
331.500.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2)
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan
Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
menyatakan bahwa penggunaan anggaran dilarang
melakukan pengeluaran – pengeluaran atas beban
belanja daerah untuk tujuan lain daripada yang
ditetapkan.
Bantuan rumah tangga dibayar karena adanya
kebijakan dari Pimpinan Dewan, bahwa untuk biaya
bantuan rumah tangga dialokasikan pada pos langganan
– langganan, akibatnya terdapat pengeluaran yang tidak
c
sesuai peruntukannya sebesar Rp. 870.000.000,00 dan
merugikan kuangan negara sebesar Rp. 458.405.000,00.
(vi) Realisasi anggaran belanja barang untuk ongkos kantor
lain – lain digunakan untuk biaya kegiatan sosial
kemasyarakatan sebesar Rp. 1.141.734.000,00 dan
merugikan keuangan negara sebesar Rp. 428.034.000,00.
Sampai dengan 31 Desember 2003, dari anggaran
belanja barang untuk ongkos kantor pos lain – lain
sebesar Rp. 1.447.627.000,00 dan telah terealisasikan
sebesar Rp. 1.389.796.150,00. Dari realisasi sebesar Rp.
1.389.796.150,00 sebagian besar digunakan untuk
membayar biaya kegiatan sosial kemasyarakatan
sebesar Rp. 1.141.734.000,00 dengan rincian:
Pengeluaran tersebut mendasarkan pada SK
Pimppinan Dewan No:8/PIMP-DPRD/III/2003 tanggal
12 Maret 2003 dan SK No: 28A/PIMP-DPRD/IX/2003
tanggal 8 September 2003 tentang Biaya Pemeliharaan
Kesehatan, Bantuan Rumah Tangga, Biaya Kegiatan
Sosial, Biaya Pendidikan, Pembelian Bahan Bakar,
Biaya Perjalanan Dinas dan Biaya Operasional DPRD
Kota Surakarta. Pengeluaran sebesar Rp.
ci
1.141.734.000,00 termasuk pengeluaran rapel karena
kenaikan biaya/ tarif sebesar Rp. 673.500.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2)
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan
Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
menyatakan bahwa penggunaan anggaran dilarang
melakukan pengeluaran – pengeluaran atas beban
belanja daerah untuk tujuan lain daripada yang
ditetapkan.
Bantuan Sosial Kemasyarakatan dibayar karena
adanya kebijakan dari Pimpinan Dewan, bahwa untuk
biaya Bantuan Sosial Kemasyarakatan dialokasikan
pada pos lain – lain, akibatnya terdapat pengeluaran
yang tidak sesuai peruntukannya sebesar Rp.
1.141.734.000,00 dan merugikan keuangan negara
sebesar Rp. 428.034.000,00.
(vii) Pembayaran biaya reses yang seharusnya tidak dibayarkan
sebesar Rp. 46.000.000,00.
Mengacu pada agenda dewan/ jadwal rapat – rapat
DPRD Kota Surakarta, reses masa persidangan 1 tahun
sidang 2003 ditetapkan tanggal 2 s/d 9 Mei 2003.
Namun pada masa reses tersebut terdapat kegiatan
anggota dewan, yaitu:
cii
Perjalanan dinas Komisi C
Ke Manado dan Minahasa
Tgl 28 April 2003 s/d 4
Mei 2003
Rp. 128.180.000,00
Perjalanan dinas Komisi D
Ke Manado dan Makasar
Tgl 4 Mei 2003 s/d 8 Mei
2003
Rp. 113.865.000,00
Masa reses persidangan II tahun sidang 2003
ditetapkan tanggal 13 s/d 18 Oktober 2003. Namun,
pada masa reses tersebut terdapat kegiatan anggota
dewan, yaitu:
Perjalanan dinas Komisi E
Ke Surabaya Tgl 11
Oktober 2003 s/d 17
Oktober 2003
Rp. 34.535.000,00
Perjalanan dinas Komisi C
Ke Jakarta Tgl 10 Oktober
2003 s/d 14 Oktober 2003
Rp. 95.725.000,00
Masa reses persidangan III tahun sidang 2003
ditetapkan tanggal 1 s/d 6 Desember 2003. Namun,
pada masa reses tersebut terdapat kegiatan anggota
dewan, yaitu:
Perjalanan dinas ke
Jakarta oleh Bambang
Mudiarto, Siswandi, Yusuf
Rp. 9.680.000,00
ciii
Hidayat dan Joko P Tgl 3
Desember 2003 s/d 6
Desember 2003
Perjalanan dinas Komisi C
Ke Jakarta Tgl 4
Desember 2003 s/d 7
Desember 2003
Rp. 25.690.000,00
Pada masa reses ketua dan anggota dewan telah
menerima uang reses sebesar Rp. 1.000.000,00 per
orang/ masa reses. Realisasi pengeluaran untuk rese
tahun 2003 seluruhnya sebesar Rp. 178.000.000,00.
Pengeluaran biaya reses tersebut mendasarkan pada SK
Pimpinan DPRD Kota Surakarta No. 8/PIMP-
DPRD/III/2003 tanggal 12 Maret 2003 tentang Biaya
Pemeliharaan Kesehatan, Bantuan Rumah Tangga,
Biaya Kegiatan Sosial, Biaya Pendidikan, Pembelian
Bahan Bakar, Biaya Perjalanan Dinas dan Biaya
Operasional DPRD Kota Surakarta. Dimana seharusnya
apabila anggota dewan melakkan perjalanan dinas
dalam masa reses, maka biaya reses tidak perlu
dibayarkan. Uang reses dibayarkan karena anggota
dewan menganggap bahwa unga reses merupakan hak
anggota dewan yang akan diterima 4 kali dalam
setahun.
Dengan adanya waktu perjalanan dinas bersamaan
dengan masa reses, maka terdapat tumpang tindih
pengeluaran, yaitu seharusnya reses tetapi melakukan
perjalanan dinas. Besarnya pengeluaran yang tumpang
tindih dan merugikan keuangan negara sebesar Rp.
46.000.000,00, yaitu:
civ
(viii) Pembayaran biaya perjalanan dinas double sebesar Rp.
5.255.000,00.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap Surat Perintah
Perjalanan Dinas (SPPD) terdapat perjalan dinas
double, yaitu:
Perjalanan dinas Bambang Mudiarto SPPD
No.090/393/IX/2002 tanggal 15 Oktober 2002 tujuan
Jakarta sebesar Rp 2.420.000,00 dan
No.090/554/IX/2002 tanggal 15 Oktober 2002 tujuan
Jakarta sebesar Rp. 2.995.000,00 berdasarkan
klarifikasi realisasinya tanggal 16 September 2002 s/d
19 September 2002 tujuan Jakarta, dengan demikian
cv
terdapat double pengeluaran SPPD sebesar Rp.
2.420.000,00.
Perjalanan dinas Bambang Mudiarto SPPD
No.090/452/IX/2002 tanggal 3 Oktober 2003 tujuan
Ambon, tetapi realisasinya tanggal 8 Oktober 2003 s/d
9 Oktober 2003, dengan demikian terdapat double
pengeluaran SPPD sebesar Rp. 1.200.000,00.
Perjalanan dinas H. Siswandi SPPD
No.090/616/X/2003 tanggal 17 Oktober 2002 tjuan
Sidoarjo sebesar Rp. 1.635.000,00 berdasar klarifikasi
tidak direalisasi.
Dalam peraturan yang berlaku, seharusnya perjalan
dinas dibayar sesuai dengan surat perintah dan tanggal
direalisasinya, sehingga tidak ada biaya perjalanan
dinas yang dibayar double. SPPD double dibayar karena
padatnya SPPD yang bersangkutan dan lemahnya
kontrol Subbag keuangan, akibatnya terdapat double
pengeluaran SPPD dan merugikan keuangan negara
sebesar Rp. 5.255.000,00.
(ix) Kelebihan pembayaran uang saku (uang makan, uang
transport lokal) untuk perjalanan dinas luar Jateng/ luar
Jawa sebesar Rp. 93.430.000,00.
Perjalanan dinas ke luar Jateng/ luar Jawa dalam
rangka kunjunga kerja dewan dengan akomodasi
ditanggung oleh biro perjalanan masih mendapatkan
uang saku, uang makan, dan uang transport lokal.
Realisasi perjalanan dinas yang dilaksanakan oleh biro
cvi
perjalanan dinas pada tahun 2003 sebesar Rp.
180.405.000,00 dengan rincian sebagai berikut:
Besarnya uang saku perjalanan dinas sebesar Rp.
93.430.000,00 dengan rincian per Komisi sebagai
berikut:
Berdasarkan SK Walikota No.060/85/1/2002
tanggal 25 Oktober 2002 tentang Standarisasi Indeks
Biaya Kegiatan, Pemeliharaan, Pengadaan dan
No Uraian Tujuan Realisasi (Rp.) Seharusnya
(Rp.)
Selisih (Rp.)
1 Komisi A Makasar Manado Batam 23.835.000 11.550.000 12.285.000
2 Komisi A Tangerang Pekanbaru 22.140.000 10.800.000 11.340.000
3 Komisi B Medan 25.830.000 12.600.000 13.230.000
4 Komisi C Manado Minahasa 25.480.000 12.250.000 13.230.000
5 Komisi C Jakarta Batam 17.320.000 8.200.000 9.120.000
6 Komisi D Jakarta Pekanbaru Batam 20.095.000 9.700.000 10.395.000
7 Komisi D Makasar Manado 19.375.000 9.250.000 10.125.000
8 Komisi E Jakarta Kutai Surabaya 17.330.000 8.125.000 9.205.000
9 Komisi E Gorontalo 9.000.000 4.500.000 4.500.000
Jumlah 180.405.000 86.975.000 93.430.000
cvii
Honorarium Tahun 2003, dalam hal akomodasi
ditanggung ole biro perjalanan, maka uang makan dan
transport lokal tidak perlu dibayar. Uang saku (uang
saku, uang makan, dan transport lokal) dibayar karena
adanya kebijaksanaan Pimpinan Dewan bahwa tarif
SPPD belum memadai, akibatnya terdapat selisih uang
sau perjalanan dinas luar Jawa dan merugikan keuangan
negara sebesar Rp. 93.430.000,00.
(x) Pengeluaran anggaran biaya pendidikan yang tidak sesuai
dengan peruntukannya sebesar Rp. 16.500.000,00.
Pembayaran anggaran biaya pendidikan seharusnya
untuk pendidikan, seminar dalam rangka peningkatan
SDM dan penugasan yang sah, tetapi dipergunakan
untuk:
No dan Tgl
BKU
Uraian Jumlah
(Rp.)
Keterangan
502, 16-09-
03
Kontribusi
penganugrahan
Citra insan
Indonesia 2
2.500.000 diterima
James A.P
502, 16-09-
03
Biaya wisuda
Strata II
14.000.000 diterima
James A.P
Biaya pendidikan dibayarkan karena kesalahan
dalam menafsirkan biaya pendidikan oleh dewan dan
sekretaris dewan, akibatnya terdapat pengeluaran yang
tidak efektif dan merugikan keuangan negara sebesar
Rp. 16.500.000,00.
cviii
f. Penyebab dan Dampak Penyimpangan
Penyimpangan tersebut disebabkan oleh:
1) Pihak DPRD Kota Surakarta Periode 1999 – 2004 menginginkan/
mengupayakan jumlah anggaran dan realisasi belanja DPRD/
Sekretariat DPRD yang lebih besar tanpa memperhentikan
batasan – batasan menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku;
2) Pihak Pemerintahan DPRD Kota Surakarta Periode 1999 – 2004
(eksekutif) mulai dari Sekretaris DPRD, Bagian Keuangan Setda,
dan Bagian Sekretaris Daerah selaku Ketua Tim APBD sampai
dengan Ketua DPRD Kota Surakarta Periode 1999 – 2004 tidak
melakukan fungsi kontrolnya untuk menyaring sesuai ketentuan
yang berlaku terhadap permintaan anggaran dan realisasi dari
pihak DPRD;
3) Kelemahan pengawasan dari Sekretaris DPRD terhadap Kepala
Bagian Keuangan Sekretariat DPRD dan pemimpin kegiatan/
proyek dalam pengelolaan keuangan.
Penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara /
daerah pemerintahan DPRD Kota Surakarta sebesar Rp. 4.272.474.000,00
terdiri dari:
a) Pembayaran yang sudah ada aturan/ ketentuan:
(I) Kenaikan Biaya Operasional Rp. 1.390.000.000,00
(II) Kenaikan Belanja Barang Rp. 854.250.000,00
(III) Kenaikan Biaya Perjalanan
Dinas ke Luar Jawa Rp. 93.430.000,00 + Jumlah Rp. 2.338.280.000,00
b) Pembayaran yang tidak ada dasar/ ketentuannya:
cix
(I) Pembayaran Premi Asuransi Rp. 780.000.000,00
(II) Anggaran untuk fraksi Rp. 200.000.000,00
(III) Biaya Reses Rp. 46.000.000,00 +
Jumlah Rp. 1.026.000.000,00
c) Pembayaran yang tidak sesuai peruntukannya:
(I) Sosial kemasyarakatan Rp. 428.034.000,00
(II) Bantuan Rumah Tangga Rp. 458.405.000,00
(III) Perjalanan Dinas Rp. 5.255.000,00
(IV) Biaya Pendidikan Rp. 16.500.000,00 +
Jumlah Rp. 908.134.000,00
Jumlah a+b+c Rp. 4.272.474.000,00
g. Pihak – Pihak yang Diduga Terkait/ Bertanggungjawab
Pihak – pihak yang diduga terkait/ bertanggungjawab adalah sebagai
berikut:
1) Anggota DPRD Kota Surakarta Periode 1999 – 2004;
2) Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat DPRD Kota Surakarta.
h. Bukti yang Diperoleh
1) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD Kota Surakarta;
2) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003
cx
menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003;
3) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2003
tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003;
4) Surat Keputusan Pimpinan Dewan No. 08/PIMP-
DPRD/III/2003 dan diperbaharui dengan Surat Keputusan
Pimpinan Dewan No. 28A/PIMP-DPRD/IX/2003 tentang
Penambahan Pengasilan Pimpinan dan Anggota DPRD Kota
Surakarta Periode 1999 – 2004;
5) Surat Keputusan Pimpinan Dewan No. 28A/PIMP-
DPRD/III/2003 tentang Perubahan Kenaikan Biaya/ tarif
terhadap biaya Sosial Kemasyarakatan, bantuan Rumah
Tangga, penetapan Perda, Operasional Komosi, bantuan
Perumahan dan Taktis Operasional;
6) DIKDA Nomor: 914/016/R/III/2003 tanggal 18 Maret 2003
dan diperbaharui dengan DIKDA Nomor:
914/02/Prb/R/XI/2003 tanggal 17 November 2003 tentang
Perubahan Anggaran Belanja Rutin DPRD Kota Surakarta
Tahun 2003.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya
disebut BPKP adalah sebuah lembaga pemerintah non departemen
(LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. BPKP merupakan lembaga yang dibentuk oleh Presiden
berdasarkan Keputusan Presiden No 31 Tahun 1983 tentang BPKP. Tugas
pokok dari BPKP adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52 KEPPRES No. 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
cxi
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen). Tugas
pengawasan keuangan tersebut lebih dispesifikasikan pada bidang audit
investigasi yang mempunyai peranan terhadap penanganan tindak pidana
korupsi.
Audit investigasi adalah kegiatan pemeriksaan dengan lingkup
bidang keuangan yang tidak dibatasi periodenya, dan lebih spesifik pada
area - area pertanggungjawaban (tanggung jawab pengelolaan keuangan
negara) yang diduga mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan
wewenang dengan hasil audit berupa rekomendasi untuk ditindak lanjuti
bergantung pada derajat penyimpangan wewenang yang ditemukan. BPKP
merupakan auditor internal yang mempunyai wewenang untuk melakukan
pengawasan anggaran negara (Pasal 27 Keppres No 17 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Audit investigasi dalam penulisan hukum ini dibatasi pada bidang
keuangan negara sub bidang pengelolaan fiskal yaitu pengelolaan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam kasus korupsi
yang melibatkan Bambang Mudiarto dan H.M Yusuf Hidayat, sebagai
terdakwa kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Bambang Mudiarto dan H.M Yusuf Hidayat dalam
kedudukannya sebagai Ketua dan Wakil DPRD Surakarta telah
mengesahkankan Perubahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD) Kota Surakarta Periode 1999-2004 yang mana
karena perbuatannya tersebut mengakibatkan negara mengalami kerugian
keuangan negara. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) negara mengalami kerugian sebesar
Rp. 4.272.474.000,00 (Berita Acara Pemeriksaan Saksi Ahli
BPKP,Polwiltabes Surakarta).
Berdasarkan uraian singkat kasus korupsi dana APBD diatas
sebagaimana telah penulis jelaskan dalam Bab 3 huruf A poin 1, terdapat
indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh aparat negara yaitu ketua dan
cxii
wakil ketua DPRD Kota Surakarta Periode 1999-2004. Penyimpangan
tersebut meliputi:
1. Terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia mengenal adanya
teori pembagian kekuasaan yang meliputi tiga cabang kekuasaan
negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. DPRD merupakan
lembaga legislatif, maksudnya bahwa DPRD mempunyai tugas
meliputi fungsi pengawasan, fungsi anggaran, dan fungsi
pembentukan peraturan perundang – undangan. Dimana dalam
hukum positif fungsi – fungsi tersebut diperinci dalam UU No. 2
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 15 sampai dengan Pasal 21 UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 angka 7
dan Pasal 19 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
Kekuasaan menetapkan APBD pada hakekatnya merupakan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah untuk
melaksanakan desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam UU No.
25 Tahun 1999, yang merupakan wilayah kekuasaan
penyelenggaraan legislatif yang dilakukan oleh DPRD sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 1999. Mekanisme penetapan
RAPBD menjadi APBD meliputi:
a. Kepala daerah mengajukan RAPBD kepada DPRD;
b. DPRD bersama dengan Kepala Daerah melakukan pembahasan
terhadap RAPBD, dan kemudian DPRD menetapkan APBD;
c. Untuk melaksanakan APBD tersebut DPRD menetapkan
PERDA.
cxiii
Dalam otonomi daerah, untuk dapat melaksanakan Peraturan
Daerah, maka Kepala Daerah akan menetapkan Keputusan Kepala
Daerah. Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah tersebut
mempunyai hierarki lebih rendah dari padanya untuk dapat
menjadikan kaidah – kaidah di dalam Peraturan Daerah menjadi
operatif. Selain daripada itu Peraturan Daerah tersebut tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan lain dan
peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi. Dalam Tap MPR
No. 3 Tahun 2000 jo UU No. 10 Tahun 2004 diatur mengenai
hierarki dan tata urutan peraturan perundang – undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang –
undangan yang lebih tinggi (Lex Superior derograt Legi Inferriori),
maka apabila hal tersebut terjadi terhadap peraturan yang dibentuk
tersebut menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
Ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 1999 bersifat sebagai
norma dasar (ground norm) artinya ketentuan tersebut digunakan
sebagai payung hukum dalam legalitas dari APBD sehingga harus
dijabarkan dengan peraturan yang dibuat oleh lembaga eksekutif
dalam bentuk Surat Keputusan (SK) dari Walikota/ Bupati. Apabila
terdapat Perda yang dibentuk kemudian mengatur lain dari ketentuan
dasar UU No. 22 Tahun 1999 maka dapat dikatakan Perda tersebut
bertentangan dengan peraturan dasar sehingga terjadi perbuatan
melawan hukum (Onrechtmatigdead) yang bertentangan dengan
undang – undang.
Terkait dengan kasus sebagaimana telah diuraikan dalam angka
1 bahwa Pimpinan DPRD membuat Surat Keputusan (SK) sebagai
pelaksanaan dari Perda. Kewenangan menetapkan Peraturan
pelaksanaan Perda berada pada Kepala Daerah sebagai pelaksanaan
dari APBD (UU No. 22 Tahun 1999). Tindakan Pimpinan DPRD
dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan kewenangan karena
cxiv
yang berwenang menetapkan peraturan pelaksanaan Perda adalah
kewenangan eksekutif yang dalam kasus seharusnya dilakukan oleh
Kepala Daerah dengan mengeluarkan SK.
2. Melampui batas wewenang DPRD
Dalam menentukan APBD adalah merupakan kewenangan
DPRD sebagai pelaksanaan dari fungsi budget yang merupakan
pengawasan terhadap eksekutif, bukan untuk kepentingan DPRD
sendiri. Kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif dalam Hukum
Tata Negara adalah kewenangan untuk menentukan keuangan
(berapa besar uang yang dikeluarkan) dan kemudian mendapat
pengawasan oleh DPRD. Sehingga DPRD tidak boleh memasuki
wilayah yang bersifat teknis,misalnya untuk untuk pengadaan barang
DPRD dapat mengajukan usul untuk keperluan internal setempat,
tetapi jika sampai ada penentuan besarnya nilai mata uang, hal ini
sudah memasuki wilayah teknis.
Dalam kasus korupsi APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran
2003, Pimpinan DPRD mengajukan penambahan anggaran untuk
kegiatan operasional dewan. Penambahan anggaran tersebut bukan
hanya mengenai macam dan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan
tetapi menyangkut mengenai besarnya dana yang akan digunakan.
Selain daripada itu dalam pelaksanaan APBD tersebut terjadi
pengeluaran dana yang seharusnya dialokasikan untuk pos tertentu
namun dalam pelaksanaannya terjadi penggunaan dana yang yang
tidak sesuai untuk peruntukannya sehingga mengakibatkan kerugian
keuangan negara sebesar Rp 4. 272.474.000,00.
Dalam pelaksanaan APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran 2003
diduga terdapat indikasi penyalagunaan wewenang dan akibat dari
penyalahgunaaan wewenang tersebut menimbulkan tindakan yang
melampui batas kewenangan, maka dilakukan tindakan oleh penyidik
cxv
yakni melakukan penyidikan yang terlebih dahulu diawali dengan
penyelidikan. Setelah penyimpangan diuraikan dengan jelas, guna
memperkuat dakwaannya diperlukan bantuan ahli dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menguatkan unsur – unsur
korupsi yang salah satunya adalah perbuatan tersebut mengakibatkan
kerugian keuangan negara. Ahli dari BPKP merupakan ahli dibidang
akuntansi yang bertugas untuk menghitung jumlah kerugian keuangan
negara yang merupakan salah satu unsur koupsi melalui audit investigasi
yang meliputi beberapa tahap sebagai beberapa tahap,meliputi:
g) Adanya permintaan dari Penyidik kepada BPKP untuk melakukan
audit terhadap perkara korupsi,
h) Dikeluarkan surat tugas dari Kepala BPKP,
i) Dibentuk Tim untuk melakukan audit sebagaimana yang diminta
oleh Penyidik,
j) Pelaksanaan audit dengan cara melakukan pengujian terhadap bukti
– bukti yang berkaitan dengan perkara yang diajukan untuk diaudit,
k) Penilaian terhadap kecukupan bukti yang telah diaudit,
l) Pembuatan laporan Audit,
m) Pembahasan hasil temuan dengan Penyidik.
B. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Persidangan Perkara
Tindak Pidana Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Surakarta Periode 1999-2004
cxvi
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan ahli merupakan
salah satu alat bukti yang sah. Dalam beracara di sidang pengadilan
keterangan ahli diberikan pada saat pemeriksaan ahli, sebagaimana telah
dijelaskan dalam Bab II angka 3 huruf b point 4 mengenai proses beracara
di persidangan. Pada pemeriksaan ahli, Hakim ketua sidang mengajukan
beberapa pertanyaan diantaranya mengenai identitas ahli, latar belakang
pendidikan, apakah pernah diperiksa ditingkat penyidik dan kesediaan ahli
untuk mengucapkan sumpah/janji. Kemudian Hakim ketua sidang
mempersilahkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan pertanyaan
pada ahli. Majelis Hakim dapat mengajukan pertanyaan sepanjang proses
pemeriksaan ahli. Jaksa Penuntut Umum mengajukan pertanyaan dengan
tujuan memperkuat surat dakwaan, Penasihat Hukum mengajukan
pertanyaan dengan tujuan melemahkan dakwaan dan Majelis Hakim
mengajukan pertanyaan dengan tujuan memperoleh keyakinan bahwa telah
terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut bertujuan menggali kebenaran materiil untuk membuat
terang suatu perkara.
Auditor BPKP sering diminta pihak Penyidik ataupun Jaksa Penuntut
Umum untuk memberikan keterangan ahli di persidangan, dalam kasus
tindak pidana korupsi. Pada saat auditor BPKP memberikan keterangan
ahli, berbagai variasi pertanyaan baik dari Majelis Hakim, Jaksa Penuntut
Umum maupun Terdakwa dan Penasihat Hukumnya sesuai dengan tujuan
masing- masing. Dari pertanyaan dan jawaban pada proses pemeriksaan
ahli di persidangan tersebut akan dikaji dari aspek hukumnya.
Berdasarkan kasus posisi sebagaimana telah dikemukakan dan
diuraikan diatas, berikut pemaparan ahli dari BPKP pada saat memberikan
penjelasan dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun 2003:
cxvii
1. Bahwa dasar saksi mengaudit keuangan DPRD Kota Surakarta Tahun
2003 adalah surat tugas atasan yang didahului adanya permintaan dari
Polwil Surakarta.
2. Bahwa metode yang digunakan dalam audit keuangan DPRD Kota
Surakarta Tahun 2003 adalah:
a. Pengujian atas mutasi keuangan pada buku kas umum (BKU).
b. Pengujian atas pencatatan penerimaan SPM beban sementara dan
beban tetap pada buku kas umum.
c. Pengujian perhitungan, pemungutan dan penyelesaian pajak.
d. Pengujian anggaran dan realisasi keuangan serta penyetoran saldo
kas.
e. Pengujian atas tanggal pelaksanaan perjalanan dinas.
f. Pengujian atas kebenaran formal bukti pertanggungjawaban
keuangan.
g. Penilaian atas perubahan anggaran dan pengujian dengan ketentuan
yang mendasarinya.
h. Penilaian atas pertanggungjawaban keuangan dengan ketentuan
yang mendasari.
i. Pengujian kesesuaian antara bukti pengeluaran dengan alokasi
anggaran.
j. Menentukan kerugian keuangan negara/ daerah atas anggaran rutin
Sekwan Kota Surakarta Tahun 2003.
3. Bahwa prosedur dalam audit tersebut adalah: penilaian terhadap
kecukupan bukti audit yang berada pada penyidik Kepolisian Wilayah
Surakarta, dan melakukan wawancara dengan Sekwan dan Staf
cxviii
keuangan DPRD Kota Surakarta serta staf kantor keuangan daerah Kota
Surakarta untuk mengklarifikasi.
4. Bahwa hasil audit memperlihatkan ada kerugian negara atau pemerintah
daerah Kota Surakarta sebesar Rp. 4.272.474.000,00.
5. Bahwa untuk anggaran DPRD perubahan anggaran 2003 terdapat
adanya kenaikan biaya tahun 2003 yang tidak sesuai dengan kebutuhan
sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp. 2.244.850.000,00.
6. Bahwa perubahan tersebut tidak beradasarkan Pasal 23 ayat (1) PP No.
105 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29
Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan
Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan APBD.
7. Bahwa hal – hal yang merugikan keuangan negara tersebut adalah:
a. Terdapat Selisih Pembayaran Biaya Sosial Kemasyarakatan,
Bantuan Rumah Tangga anggota DPRD, Penetapan Perda Permit,
Operasional Komisi, Bantuan Perumahan dan Taktis Operasional
Tahun Anggaran 2003 dengan tahun sebelumnya yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan merugikan keuangan negara sebesar Rp.
2.244.850.000,00.
b. Biaya Operasional bantuan fraksi yang tidak ada dasar
ketentuannya dan merugikan kekayaan negara sebesar Rp.
200.000.000,00 karena fraksi bukan alat kelengkapan DPRD.
c. Belanja barang untuk ongkos kantor lain – lain, digunakan untuk
membayar biaya bantuan rumah tangga pimpinan dan anggota
DPRD serta Sekwan sebesar Rp. 870.000.000,00 yang merugikan
kekayaan negara sebesar Rp. 458.405.000,00.
cxix
d. Realisasi anggaran belanja barang untuk ongkos kantor lain – lain,
digunakan untuk biaya kegiatan sosial kemasyarakatan sebesar Rp.
1.141.734.000,00.
e. Pembayaran biaya reses yang seharusnya tidak dibayarkan sebesar
Rp. 46.000.000,00 dan merugikan kekayaan negara.
f. Pembayaran biaya perjalanan dinas dobel sebesar Rp. 5.255.000,00
dan merugikan kekayaan negara.
g. Kelebihan pembayaran uang saku untuk perjalanan dinas luar Jawa
Tengah/ Luar Jawa sebesar Rp. 93.430.000,00.
h. Pengeluaran biaya pendidikan yang tidak sesuai peruntukannya
sebesar Rp. 16.500.000,00 dan merugikan kekayaan negara.
i. Pembayaran premi asuransi yang tidak ada dasar hukumnya
sebesar Rp. 780.000.000,00 dan uang tersebut sampai akhir
pemeriksaan tidak ada bukti setor kembali ke negara.
8. Bahwa biaya bantuan asuransi tidak sesuai dengan peruntukannya
karena dalam perjanjian bila masa kontrak asuransi berakhir, nilai tunai
tidak kembali ke Kas Daerah melainkan dibayarkan kepada masing –
masing Anggota DPRD Kota Surakarta sedang dalam Pasal 11 Perda
No. 1 Tahun 2001 biaya kematian dan jaminan sosial sudah diatur.
9. Bahwa SK Pimpinan DPRD tidak mengatur hal – hal yang belum diatur
dalam Perda No. 3 Tahun 2001, dan menurut Pasal 10 PP No. 105
Tahun 2003 pengeluaran anggaran harus dengan SK Walikota, dan UU
No. 22 Tahun 1999 tersebut menyebutkan bahwa pengeluaran anggaran
harus dengna SK Kepala Daerah, dan Keputusan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan Peraturan yang
lebih tinggi (Pasal 2).
cxx
10. Bahwa bantuan fraksi tidak diatur dalam Perda atau UU No. 22 Tahun
1999.
11. Bahwa fraksi bukan meupakan alat kelengkapan DPRD.
12. Bahwa biaya reses yang dibayarkan kepada Anggota DPRD masing –
masing anggota Rp. 1.000.000,00.
13. Bahwa Anggota DPRD Kota Surakarta telah menerima uang reses juga
menerima uang perjalanan dinas atau kegiatan kunjungan ke daerah.
14. Bahwa uang saku perjalanan dinas sesuai dengan SK Walikota sebesar
Rp. 150.000,00 / hari dan uang saku berdasarkan SK Pimpinan Dewan
DPRD sebesar Rp. 300.000,00 / hari per orang.
15. Bahwa Anggota DPRD Kota Surakarta yang bernama James August
Pattiwael menerima biaya pendidikan sebesar Rp. 16.500.000,00.
16. Bahwa dalam mengaudit keuangan DPRD Kota Surakarta dengan cara
mengumpulkan data – data, melakukan analisa data dan membuat
kesimpulan.
17. Bahwa biaya Bantuan Rumah Tangga untuk anggota DPRD diberikan
dari pos belanja barang kantor.
18. Bahwa belanja untuk ongkos kantor telah habis digunakan.
19. Bahwa bukti/ kuitansi dari pihak ketiga telah dilampirkan dalam
pengeluaran untuk ongkos dan langganan – langganan.
20. Bahwa yang menandatangani kuitansi adalah Pimpinan DPRD Kota
Surakarta.
21. Bahwa jumlah rasional langganan – langganan kantor Rp.
1.104.000.000,00 terealisir Rp. 1.095.000.000,00 dan untuk bantuan
rumah tangga DPRD sebesar Rp. 885.000.000,00.
cxxi
22. Bahwa jumlah anggaran langganan – langganan kntotr yang digunakan
sesuai dengan peruntukannya sebesar Rp. 195.000.000,00.
23. Bahwa belanja untuk ATK habis dipakai.
24. Bahwa anggaran untuk belanja kantor dan lain – lain sebesar Rp.
1.447.000.000,00.
25. Bahwa anggaran tersebut yang digunakan sesuai peruntukannya adalah
sebesar Rp. 2.500.000.000,00.
26. Bahwa SK No. 28A/PIMP-DPRD/III/2003 tentang perubahan tarif
DPRD ditetapkan bulan September 2003, dibyarkan mulai bulan
Agustus 2003, dan realisasinya sejak bulan Januari sampai dengan
Desember 2003 dan dibayarkan dengan tarif lama, sedangkan rapel
kenaikan tarif dibayarkan sejak bulan Agustus 2003 sampai dengan
bulan Desember 2003.
27. Bahwa pembayaran premi asuransi untuk Anggota DPRD adalah
bantuan APBD naun tidak ada dasar hukumnya.
28. Bahwa dana asuransi dapat menimbulkan kerugian keuangan negara
karena dana tersebut dikeluarkan dari APBD dan tidak akan kembali ke
Kas Daerah tetapi menjadi milik pribadi masing – maing Anggota
DPRD Kota Surakarta.
29. Bahwa untuk pembayaran premi asuransi dibayarkan pada pos anggaran
penunjang kegiatan.
30. Bahwa saksi telah melakukan audit DPRD Kota Surakarta sejak tanggal
26 April 2004 sampai dengan 10 Agustus 2004, dan untuk pemeriksaan
investigasi tanggal 27 September 2004 sampai dengan 5 Oktober 2004
untuk perhitungan keuangan negara.
31. Bahwa standarisasi yang saksi gunakan untuk mengauit adalah dari SPJ.
cxxii
32. Bahwa saksi mengetahui adanya dana yang tidak sesuai dengan
peruntukannya.
33. Bahwa yang menentukan uraian anggaran dalam daftar isian kegiatan
ada di SK Mendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan telah ditentukan.
34. Bahwa dasar yang digunakan dalam mengaudit anggaran DPRD Kota
Surakarta 2003 adalah:
a. Buku Kas Umum tahun 2003
b. SPM beban sementara dan beban tetap tahun 2003
c. SPJ keuangan beban sementara dan beban tetap tahun
2003
d. Rekapitulasi premi asuransi tahun 2000 – 2002
e. Daftar isian kegiatan daerah, belanja rutin tahun
anggaran belanja 2003 No. 914/02/Prb/R/XI/2003
tanggal 17 November 2003
f. Perjanjian kerjasama antara DPRD Kota Surakarta
dengan PT. Asuransi Jiwa Seraya (Persero) Surakarta
dan PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya
g. Surat keterangan bringin live No.
B.23.02.1658.KMM.VII.2002 tanggal 12 Juli 2002
tentang Program BRI Viesta atas nama Petros Krismas
Irmono
35. Bahwa anggaran DPRD dan anggaran Sekwan sesuai dengan Perda
perubahan tahun 2003 meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja
pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain – lain.
cxxiii
36. Bahwa yang menyebabkan beban terhadap kerugian negara atas
pelaksanaan anggaran rutin Sekwan Surakarta tahun 2003 atas nama
Bambang Mudiarto dan HM. Yusuf Hidayat adalah sebagai berikut:
a. Bambang Mudiarto secara keseluruhan menerima Rp.
306.000.000,00 dengan perincian:
Jumlah tersebut dikurangi sosial kmasyarakatan yang berupa
rapel dalam perubahan anggaran sehingga menjadi Rp.
279.170.000,00 dikurangi PPh 15 % sehinga yang diterima Rp.
266.795.000,00.
b. HM. Yusuf Hidayat secara keseluruhan menerima Rp.
100.400.000,00 dengan perincian:
Jumlah tersebut dikurangi sosial kmasyarakatan yang
berupa rapel dalam perubahan anggaran dan dikurangi PPh
15 % sehinga yang diterima Rp. 89.212.500,00.
cxxiv
37. Bahwa bantuan rumah tangga dan sosial kemasyarakatan tidak
tercantum pada SK penjaaran perubahan APBD 2003.
38. Bahwa SPJ para anggota DPRD bersumber pada APBD Kota Surakarta
dan dasar pembuatan SPJ tersebut adalah Perda No. 13 Tahun 2003.
39. Bahwa yang mencantumkan anggaran bantuan rumah tangga dan
bantuan sosial kemasyarakatan pada ongkos lain – lain adalah PRT
sehingga dapat disimpulkan bahwa bantuan rumah tangga dainggarkan
dari pos lain – lain kantor.
40. Bahwa pada masa reses juga diperbolehkan mengadakan kunjungan
studi banding apabila memang ada kebutuhan tetapi kalau mengadakan
kunjungan kerja maka uang reses tidak boleh diambil.
41. Bahwa yang saksi periksa pada anggaran studi banding adalah
kelebihan uang saku dengan perhitungan kerugian keuangan negara
mengacu pada SK No. 28A/PIMP-DPRD/III/2003 tentang perubahan
tarif DPRD.
42. Bahwa yang menyebabkan kerugian keuangan negara pada SK No.
28A/PIMP-DPRD/III/2003 karena perubahan tersebut tidak mengacu
pada Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2003 tentang Keuangan
Daerah tetapi PP No. 105 Tahun 2002.
43. Bahwa saksi dalam mengaudit anggaran DPRD Kota Surakarta sesuai
dengan Surat Tugas No.S.5397 tanggal 27 Septemeber 2004.
44. Bahwa saksi dalam mengaudit anggaran DPRD tersebut langsung
mericek ke Kas Daerah.
45. Bahwa peraturan yang mengatur tentang penggunaan biaya pendidikan
ada dalam perubahan APBD 2003 anggaran pendidikan Rp.
242.000.000,00 unttuk biaya peningkatan SDM anggota DPRD dengan
cxxv
uraian: seminar dan lokakarya Rp. 11.250.000,00 dan tenaga ahli Rp.
35.000.000,00.
46. Bahwa pmeriksaan pada keuangan DPRD Kota Surakarta mengacu
pada Perda maupun UU No. 22 Tahun 1999.
47. Bahwa yang berhak atau mempunyai hak prerogative untuk memeriksa
APBD adalah BPK.
48. Bahwa saksi sebagai auditor atas permintaan Polwil Surakarta bukan
atas nama BPKP.
49. Bahwa yang dimaksud kerugian yang berkaitan dengan APBD adala
menurut PP No. 105 Tahun 2000 dan UU No. 31 Tahun 1999
kerugian adalah pengeluaran yang tidak seharusnya dikeluarkan
tetapi dikeluarkan.
50. Bahwa setelah diadakan audit ada pengeluaran yang lebih besar dari
yang semestinya.
51. Bahwa dasar bantuan asuransi adalah mengacu pada SK No. 8/PIMP-
DPRD/III/2003 atau SK No. 28A/PIMP-DPRD/III/2003 karena SK
tersebut hanya mengtur tentang tarif dasar pengeluarannya terdapat
pada Susduk DPRD yang berdasarkan Perda, sedangkan Perda tidak
mengatur tenang bantuan asuransi.
52. Bahwa penyimpangan sebesar Rp. 4,2 Milyar lebih identik dengan
jumlah kerugian negara.
53. Bahwa pada tanggal 17 September 2003 sampai dengan 21
September 2003 terdakwa Bambang Mudiarto melakukan kunjungan
di dua tempat dan menerima perjalanan dinsa double.
54. Bahwa terdakwa Bambang Mudiarto dalam menerima perjalanan
dinas secara global.
cxxvi
55. Bahwa jumlah uang perjalanan dinas yang diterima terdakwa
Bambang Mudiarto sejumlah Rp. 2.400.000,00 dan Rp. 2.295.000,00.
56. Bahwa pembayaran perjalanan dinas tersebut salah satunya
dibenarkan.
57. Bahwa setelah BPKP mengevaluasi, Perda perubahan tersebut tidak
mengacu pada substansi SK Mendagri tentang tiga syarat adanya
perubahan APBD yaitu, adanya kebutuhan yang mendesak, adanya
peningkatan PAD, dan adanya kebijakan strategis.
58. Bahwa sepengetahuan saksi tidak ada peraturan yang mengatur
tentang keuangan fraksi.
59. Bahwa pemeriksa keuangan DPRD Kota Surakarta terdiri dari 4
orang yang terdiri dari Ketua Team, Pengendali Khusus, Pengendali
Teknik dan Seorang Saksi.
60. Bahwa sepengetahuan saksi tidak ada peraturan yang mengatur
tentang asuransi Anggota DPRD.
61. Bahwa saksi telah melihat adanya polis asuransi untuk anggota
DPRD Kota Surakarta, tercantum nama perorangan.
62. Bahwa kerugian akibat adanya pembayaran premi asuransi anggota
DPRD sejumlah Rp. 780.000.000,00.
63. Bahwa bukan keikutsertaan asuransi anggota DPRD yang salah tetapi
karena nilai tunai asuransi tidak dikembalikan kepada KAs Daerah
dan diambil untuk pribdai anggota DPRD.
64. Bahwa sampai dengan pemeriksaan selesai tidak ada bukti
pengembalian dana asuransi tersebut kepada Kas Derah.
Proses pemeriksaaan perkara pidana ditujukan untuk menemukan
kebenaran material terhadap suatu tindak pidana yang telah terjadi.
cxxvii
Kebenaran material adalah kebenaran yang didasarkan pada alat-alat bukti
yang sah dan keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-
cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian tersebut meliputi juga
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-
undang dan boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan
yang didakwakan. Pembuktian tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberi kepastian tentang perkara yang diajukan.
Sistem pembuktian di Indonesia menganut Sistem pembuktian
berdasar undang-undang secara negatif (negatief wattelijke). Sistem
pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam Pasal 183 (KUHAP) yang
berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut ketentuan
bunyi Pasal 183 KUHAP bahwa hakim terikat pada alat bukti minimum
ditambah keyakinan hakim itu sendiri. Alat bukti tersebut terikat pada
ketentuan undang – undang. Keterangan ahli merupakan alat bukti yaitu
menempati urutan kedua sebagaimana tertera dalam Pasal 184 KUHAP.
Dalam hukum acara pidana dikenal asas bahwa hakim dianggap tahu
akan hukumnya (Ius curia novit). Asas ini mengandung filosofi bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa atau
mengadilinya (Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Akan tetapi dalam perkara pidana berlaku asas
legalitas (Nullum delictum) yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
cxxviii
Untuk membantu hakim agar memperoleh gambaran yang jelas mengenai
hal-hal teknis di luar pengetahuan hakim, KUHAP telah memberi dasar
hukum bagi hakim untuk mengadopsi keterangan yang disampaikan oleh
orang-orang yang memiliki pengetahuan tertentu di luar pengetahuan
hakim (pendapat ahli), misalnya pendapat yang disampaikan oleh dokter
forensik, pakar perbankan, akuntan, dan lain-lain.
Dalam kasus korupsi dana APBD Kota Surakarta Tahun Anggaran
2003, terdapat peran ahli dari BPKP yakni sebagai auditor internal.
Sebagai audit internal maka BPKP berwenang untuk melakukan audit
investigasi dengan hasil audit berupa telah terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan APBD tersebut. Berdasarkan audit investigasi yang dilakukan
terdapat bahwa akibat penyimpangan pelaksanaan dana APBD tersebut
mengakibatkan negara mengalami kerugian keuangan negara sebesar
Rp. 4.272.474.000,00. Dalam putusannya hakim mengadopsi keterangan
ahli BPKP yang tertera dalam pertimbangan putusan yaitu menyatakan
Terdakwa I Bambang Mudiarto dan Terdakwa II H.M Yusuf Hidayat
terbukti melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
(Pasal 1 angka 28 KUHAP). Dari pengertian diatas kualifikasi ahli dapat
ditentukan atas dasar latar belakang pendidikannya, maupun pekerjaannya.
Sehingga ahli dalam memberikan kesaksian bertindak atas nama lembaga.
Dalam hal ahli memberikan kesaksian harus disertai surat penugasan
sebagai ahli dari lembaga terkait. Fungsi ahli adalah untuk membuat terang
suatu perkara pidana, sehingga ahli adalah orang yang berkompeten
mengenai suatu bidang tertentu. Dalam pemeriksaan persidangan belum
tentu hakim, jaksa, maupun penasehat hukum mengetahui atau menguasai
cxxix
semua bidang, sehingga hakim merasa perlu untuk mendengarkan
keterangan ahli mengenai perkara yang sedang diperiksa yang mungkin
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam amar putusan yang
dijatuhkan.
Di dalam Pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa keterangan ahli ialah
apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Dalam hal ahli
memberikan kesaksian pada pemeriksaan sidang harus disertai dengan
surat tugas dari instansi tempat ahli bernaung. Apabila ahli tanpa surat
tugas memberikan kesaksian di muka sidang maka hakim dapat menolak
atau hakim dapat mengesampingkan keterangan ahli. Berdasarkan
Penjelasan Pasal 186 disebutkan bahwa Keterangan ahli ini dapat juga
sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka keterangan ahli dapat dilakukan di
dalam ataupun di luar persidangan pada waktu pemeriksaan penyidikan.
Apabila keterangan ahli disampaikan di dalam persidangan maka
keterangan ahli berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli, tetapi jika
disampaikan pada waktu pemeriksaan penyidikan, keterangan ahli tersebut
dibuat dalam bentuk laporan tertulis dengan mengingat sumpah dan
berfungsi sebagai alat bukti surat untuk menambah keyakinan hakim guna
membuat terang suatu perkara. Diadopsi tidaknya pendapat ahli tersebut
ke dalam putusan hakim sangat bergantung kepada diterima/berguna
tidaknya pendapat ahli tersebut untuk membuat terang perkara pidana yang
bersangkutan dan memiliki relevansi dengan surat dakwaan bahwa
terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
sehingga dapat mempengaruhi keyakinan hakim.
cxxx
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis,
yaitu (1) tentang proses penyusunan audit investigasi oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perkara tindak pidana korupsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta Tahun
2003, dan (2) tentang kekuatan pembuktian kesaksian ahli dari Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam persidangan perkara
tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Surakarta Tahun 2003.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok
diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Proses penyusunan audit investigasi oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perkara tindak pidana
korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Surakarta Tahun 2003 meliputi:
n) Adanya permintaan dari Penyidik kepada BPKP untuk
melakukan audit terhadap perkara korupsi,
o) Dikeluarkan surat tugas dari Kepala BPKP,
p) Dibentuk Tim untuk melakukan audit sebagaimana yang
diminta oleh Penyidik,
q) Pelaksanaan audit dengan cara melakukan pengujian terhadap
bukti – bukti yang berkaitan dengan perkara yang diajukan
untuk diaudit,
r) Penilaian terhadap kecukupan bukti yang telah diaudit,
s) Pembuatan laporan Audit,
t) Pembahasan hasil temuan dengan Penyidik,
cxxxi
2. Kekuatan pembuktian kesaksian ahli dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam persidangan perkara
tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kota Surakarta Tahun 2003 mempengaruhi keyakinan
hakim dalam penjatuhan putusan sebagaimana tertuang dalam
Putusan No. 119/PID.B/2005/PN. SKA pada tanggal 22 Agustus
2005.
B. Saran
1. Auditor BPKP dalam melakukan audit terhadap tindak pidana korupsi
khususnya hendaknya dilakukan dengan penuh kecermatan dan
kehati-hatian karena terbukti atau tidaknya perbuatan yang didakwakan
sangat bergantung pada dapat dibuktikannya unsur tersebut yakni
berupa hasil temuan audit yang menyatakan terdapat kerugian
kekayaan negara.
2. Auditor perlu memahami pentingnya proses persidangan agar auditor
yang akan memberikan keterangan ahli di persidangan dapat
menempatkan diri dalam kapasitas sebagai ahli, sehingga pendapat
yang disampaikannya dapat mempunyai nilai pembuktian, yaitu
dipergunakan oleh hakim sebagai dasar dalam membentuk
keyakinannya.
3. Auditor yang diajukan di persidangan hendaknya adalah orang yang
melakukan audit terhadap kasus karena auditor dituntut untuk dapat
menjaga kompetensinya guna membuktikan kerugian kekayaan negara.
cxxxii
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Indra Bastian. 2007. Audit Sektor Publik. Jakarta: Saleba Empat. Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. H.B Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press. Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia. 2002.
Survei Nasional mengenai Korupsi di Indonesia, Laporan Akhir Tahun Pebruari 2002.
Ruchiyat Kosasih. 1984. Auditing Prinsip dan Prosedural. Yogyakarta:
Ananda. Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi: Tinjauan Khusus terhadap
Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya menurut Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
M. Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. Mansyur Semma. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor. Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.
Yogyakarta: Ananda. Moch Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktik.
Bandung: Mandar Maju. Leden Marpaung.1991. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta:
Sinar Grafika RA Supriyono. 1990. Pemeriksaan Manajemen dan Pengawasan
Pemerintah Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Soerjono Soekanto.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
cxxxiii
Prapto Soepardi. 1990. Tindak Pidana Korupsi. Surabaya: Usaha
Nasional.
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana. KEPPRES No. 31 Tahun 1983 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan. KEPPRES No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 200 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/2477/SJ tanggal 5
Desember 2001 perihal Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang – Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang - Undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
Tanggung Jawab Keuangan Negara Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No:119/PID.B/2005/PN. SKA.
cxxxiv
www.bpkp.com diakses pada tanggal 9 Desember 2008 pukul 20.00.
http://dunia.pelajar-islam.or.id diakses pada tanggal 1 Maret 2009 pukul
19.00.
http://www.antikorupsi.org diakses pada tanggal 1 Maret 2009 pukul
19.15.
top related