kekuatan hukum pembuktian dari surat perjanjian...
TRANSCRIPT
i
KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN DARI SURAT PERJANJIAN
DIBAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN
MENURUT HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
(Studi Kasus Putusan Nomor : 47/ PDT.G/ 2017/ PN.Cbi)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S.H. )
Oleh :
MUHAMMAD JAFAR SIDDIQ
NIM : 1113048000069
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H / 2018 M
v
ABSTRAK
Muhammad Jafar Siddiq. NIM 111304800069. KEKUATAN HUKUM
PEMBUKTIAN DARI SURAT PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN
SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN MENURUT HUKUM
ACARA PERDATA DI INDONESIA (Analisis PutusanPengadilan Negeri
CibinongNomor : 47/ PDT.G/ 2017/ PN.Cbi) Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439H/2018M. Isi: ix + 82 halaman + 17
halaman lampiran + 4 halaman daftar pustaka.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah kekuatan hukum dari suatu
pembuktian surat perjanjian dibawah tangan sebagai alat bukti dalam persidangan
menurut hukum acara perdata di Indonesia dalam Putusan Pengadilan Negeri
Cibinong Nomor 47/ PDT.G/ 2017/ PN.Cbi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan hukum terhadap kekuatan dari alat bukti yang ditunjukan dalam
proses persidangan di Pengadilan Negeri cibinong.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penilitian hukum Normatif-
Yuridis. Metode ini pada dasarnya adalah penggabungan atara pendekatan norma-
norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat
ahli, makalah-makalah dan adanya penambahan yang berkaitan dengan
pembuktian dalam sebuah perkara.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Hakim dalam Putusan Nomor
47/ PDT.G/ 2017/ PN.Cbi telah tepat menjatuhkan hukuman terhadap pihak
tergugat yang telah melakukan wanprestasi dengan pihak penggugat. Karena
kekuatan dari surat perjanjian yang dibuat secara dibawah tangan apabila menjadi
alat bukti dalam persidangan dapat memiliki kekuatan hukum pembuktian yang
sama dengan akta otentik jika akta perjanjian tersebut diakui oleh para pihak
keberadaannya. Karena pembuktian dengan suatu akta memang merupakan cara
pembuktian yang paling utama, maka dari itu dapat dimengerti mengapa
pembuktian dengan alat bukti tulisan ini oleh undang-undang disebut sebagai cara
pembuktian yang pertama. selain itu juga dapat dimengerti bahwa mengapa
undang-undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat
penting mengharuskan adanya pembuatan akta. Oleh karena itu hasil penelitian
dari penulis ini bisa dijadikan sebagai rujukan masyarakat umum bahwa surat
perjanjian dibawah tangan itu sah sebagai alat bukti jika terjadi sengketa dan
jangan takut untuk menuntut haknya apabila ada yang dilanggar dari isi perjanjian
yang telah dibuat.
Kata Kunci : Wanprestasi, HakKreditur, dan Bea Materai
Pembimbing : Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Daftar Putaka : Tahun 1980 Sampai Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “KEKUATAN HUKUM
PEMBUKTIAN DARI SURAT PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN
SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN MENURUT HUKUM
ACARA PERDATA DI INDONESIA (Analisis PutusanPengadilan Negeri
CibinongNomor : 47/ PDT.G/ 2017/ PN.Cbi)” dapat diselesaikan dengan baik,
meskipun di dalam pembuatannya terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat
proses penyusunan skripsi ini. Penelitian skripsi ini tidak dapat dicapai tanpa
adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Syafrudin Makmur S.H., M.H. dan Ahmad Bahtiar M.Hum. dosen
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya
serta kesabaran dalam membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penelitian skripsi ini dengan tepat waktu.
4. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Staff Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan
fasilitas yang memadai guna menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Semua pihak-pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu
yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Jakarta, 21 Desember 2018
Muhammad Jafar Siddiq
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... ...... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Metode Penelitian ................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ....................................................... 11
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Krangka Konseptual .......................................................... 13
B. Krangka Teori ................................................................... 31
C. Studi (Review) Kajian Terdahulu .................................... 40
BAB III : MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA
WANPRESTASI PERJANJIAN UTANG PIUTANG
MELALUI LITIGASI
A. Utang-piutang dalam perjanjian ....................................... 42
B. Prestasi, Wanprestasi dan Jaminan .................................... 46
C. Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Litigasi .............. 52
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI CIBINONG
NOMOR : 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi
A. Posisi Kasus Dalam Putusan Pengadilan Negeri Cibinong
Nomor : 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi .............................. 63
ix
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Cibinong .......................................................................... 67
C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Cibinong
Nomor: 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi ............................... 70
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 81
B. Rekomendasi .................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia itu merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Karena manusia diciptakan oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala sebagai
mahluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu manusia dalam melakukan setiap kegiatan aktivitas untuk
memenuhi kebutuhannya selalu berubungann antara yang satu dengan yang
lainnya. Salah satu bentuk hubungan antara manusia yang satu dengan yang
lainnya bisa kita jumpai dalam bentuk perjanjian.
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa yang dimana seorang
berjanji kepada seseorang yang lainnya atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa yang seperti ini,
maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
dengan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang menerbitkannya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan.
Oleh karena itu hal ini dituangkan didalam akta perjanjian sebagai bukti
adanya suatu janji atau kesanggupan dari kedua belah pihak.1
R. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa yang
dimana ada seseorang berjanji kepada seseorang atau dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu. Dari peristiwa itu timbul suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan sebagai “perikatan”.
Oleh sebab itu perjanjian menerbitkan atau membuat perikatan antara dua
pihak yang membuatnya.2 Lain halnya dengan pengertian perjanjian menurut
Yahya Harahap yang dimana menurut beliau bahwa perjanjian adalah suatu
hubungan hukum kekayaan atau harta benda dari dua orang atau lebih yang
1 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 2005), h. 1
2 R. Subekti, Azas-azasHukum Perjanjian, ( Jakarta : Penerbit PT. Internusa, 1979 ), h. 1
2
memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk menunaikan suatu
prestasi.3
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa
suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih dari satu orang.
Dari ketentuan pasal ini bisa dikatakan untuk adanya suatu perjanjian paling
sedikit harus ada dua belah pihak sebagai subyek hukum, dimana dalam hal
ini masing-masing pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal
tertentu. Perihal yang dimaksudkan dapat berupa untuk penyerahan sesuatu,
berbuat sesuatu, maupun untuk tidak melakukan sesuatu. Perjanjian itu sendiri
boleh dilakukan oleh siapa saja, antara orang yang satu dengan yang lainnya,
maupun antara orang perseorangan dengan suatu badan hukum. Hal ini
disebebkan karena adanya suatu asas perjanjian yang menganut kebebasan
dalam berkontrak.
Sebagaimana yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak
yang tersirat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum perdata, maka
para pihak yang akan mengikatkan diri didalam suatu perjanjian apapun dapat
mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 1338 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tersebut. Akan tetapi bisa juga mendasarkan
pada kesepakatan bersama, yang artinya dalam hal-hal mengenai ketentuan
memaksa, harus sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan
kepada para pihak. Dengan demikian perjanjian selain dikuasai oleh asas-asas
umum dari hukum perjanjian juga dapat dikuasai oleh hal-hal yang di sepakati
oleh kedua belah pihak.
Suatu perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan dengan adanya itikad
yang baik, dimulai pada sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian
tersebut. Karena suatu perjanjian harus dilandasi dengan asas kemitraan, yang
dimana asas kemitraan ini mengharuskan adanya sikap dari para pihak yang
3 Yahya Harahap. M, Segi – segi Hukum Perjanjian, ( Bandung : Penertbit PT. Alumni
Cet. II, 1986 ), h. 6
3
berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut
meruapakan dua mitra yang akan berjanji.4
Perikatan yang lahir dari suatu perjanjian yang memang dikehendaki
oleh dua orang atau dua belah pihak yang membuat suatu perjanjian tersebut.
Sedangkan perjanjian yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-
undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang
mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka
berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat antara
satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.5
Undang-undang telah mengakui hak seseorang untuk secara bebas
membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula menentukan isi
dari perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.
Selain itu asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Selain itu juga perlunya ditambah dengan asas keseimbangan,
agara seluruh asas hukum kontrak pada khususnya maupun instrumen hukum
yang ada didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan mendasarkan
nilai dan norma hukum yang berlaku.6
Berdasarkan bentuknya suatu perjanjian dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu perjanjian yang dilakukan secara tertulis dan perjanjian yang
dilakukan secara lisan. Perjanjian yang dilakukan secara tertulis ini kemudian
dibedakan lagi menjadi dua yaitu berupa akta otentik dan akta dibawah
tangan. Perjanjian dibawah tangan ini tidak terdapat suatu formalitas
didalamnya, karena boleh dibuat oleh siapa saja yang berkepentingan dalam
bentuk yang dikehendaki. Artinya dalam hal ini adanya suatu kebebasan
dalam membuat perjanjian dibawah tangan karena tidak terikat dalam
4 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, ( Bandung : Penerbit PT. Alumni,
1994 ), h. 46
5 R. Subekti., Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 2005), h. 3
6 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
(Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2007 ), h. 123.
4
Undang-undang. Sedangkan akta otentik ini dibuat harus dengan persetujuan
dan dihadapan pejabat umum yang berkenan dalam hal tersebut.
Perjanjian dibawah tangan ini merupakan perjanjian yang sangat
mudah dibuat oleh siapa saja, sebab perjanjian ini tidak menghabiskan waktu
yang lama dan biaya yang murah. Karena dalam pembuatannya surat
perjanjian ini hanya dihadiri oleh para pihak yang berkepentingan dengan
perihal tersebut dan di saksikan oleh beberapa orang saja. Hal ini lah yang
membuat kebanyakan para pihak lebih cenderung untuk melakukan perjanjian
dibawah tangan dengan mengeluarkan biaya yang sedikit demi mendapatkan
keuntungan yang besar.
Untuk membuat suatu perjanjian dibawah tangan agar bisa menjadi
suatu akta yang mempunyai kekuatan hukum dalam masalah pembuktian
yang sama dengan akta otentik harus memenuhi persyaratan sebagaimana akta
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Oleh karena itu ada
kecenderungan orang-orang yang yang membuat perjanjian dibawah tangan
seperti itu kemudian dilegalisasi dihadapan notaris.Perjanjian dibawah tangan
ini termasuk kedalam suatu akad berkontrak, yang dimana dalam hal ini
kedua belah pihak telah terikat dengan suatu perjanjian secara tertulis.
Adapun ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan isi dari kesepakatan
kedua belah pihak. Dalam hal ini perjanjian bisa menjadi bentuk kontrak
timbal balik atau kontrak sepihak.7
Pada masa lalu jumlah uang yang harus dibayar oleh siberutang dalam
membuat suatu perjanjian pada masa perang dunia kedua, terdapat
Yurisprudensi Mahkamah Agung. Dalam hal ini dasar untuk penilaian
kembali jumlah yang terutang yaitu harga emas sebelum perang dibanding
dengan harga emas sekarang. Akan tetapi resiko tentang kemerosotan nilai
mata uang itu dipikul oleh masing-masing pihak. Pada mulanya putusan
seperti itu diambil dalam menetapkan jumlah uang tebusan dalam soal gadai
tanah, akan tetapi kemudian utang-piutang uang juga mendapat perlakuan
7Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, (Malang: Penerbit PT.Setara Press, 2016), h. 69
5
yang sama. Yurisprudensi tersebut mencerminkan suatu penerapan asas itikad
baik yang harus diindahkan dalam hal pelaksanaan suatu perjanjian, seperti
terkandung dalam pasal 1338 (3) B.W.8
Seiring dengan perkembangan zaman pada saat ini, pihak pemerintah
sudah mengangkat pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan suatu
akta perjanjian seperti Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam hal
ini Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai perjanjian dan ketetapan-ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan. Selain itu juga adanya Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang dalam telah diatur oleh pemerintah sebagai pejabat umum yang
diberi keweangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai hak atas suatu
tanah dan satuan rumah susun.
Pada praktiknya dimasyarakat masih banyak yang membuat perjanjian
diluar dari pejabat umum yang berwenang. Seperti halnya perjanjian utang-
piutang yang hanya dibuat berdasarkan perjanjian dibawah tangan. Oleh
sebab itu hal-hal seperti ini yang akan menimbulkan banyak persoalan-
persoalan mengenai kekuatan hukum antara hak dan kewajiban, serta akibat
hukum yang akan timbul dari perjanjian dibawah tangan tersebut apabila
disuatu masa menimbulkan kegagalan dari isi perjanjian yang akhirnya
menimbulkan sengketa di Pengadilan. Dalam hal ini yang menjadi
permasalahan hukum dalam perjanjian utang-piutang yang hanya didasarkan
suatu surat sebagai bukti perjanjian, yang sering terjadi adalahpihak kreditur
sebagai pemberi pinjaman mengalami kesulitan dalam hal pembuktianadanya
suatu perjanjian dengan debitur apabila timbulnya suatu sengketa antara
parapihak.
Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui secara lebih mendalam
mengenai sengketa utang-piutang yang didasari oleh surat perjanjian dibawah
tangan pada proses di Pengadilan. Tujuan dari proses peradilan adalah untuk
menentukan suatu kebenaran dan berdasar atas kebenaran itu akan ditetapkan
8 R. Subekti, Aneka Perjanjian, ( Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya 1995 ), h. 127
6
suatu putusan hakim, untuk menentukan suatu kebenaran dalam proses
peradilan maka diperlukan suatu pembuktian. Menurut Subekti membuktikan
ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.9 Sedangkan menurut Sudikno
Mertokusumo pembuktian adalah pembuktian secara yuridis tidak lain
merupakan pembuktian secara historis. Karena pembuktian yang bersifat
yuridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik
dalam hal pembuktian secara yuridis maupun ilmiah, maka membuktikan
pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-
peristiwa tertentu dianggap benar.10
Sesuai dari perihal yang sudah diuraikan, maka hal ini yang membuat
menarik minat dari peneliti untuk dibahas lebih lanjut sebagai karya ilmiah
yang akan diteliti dengan menggunakan judul ”KEKUATAN HUKUM
PEMBUKTIAN DARI SURAT PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN
SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN MENURUT
HUKUM ACARA PERDATA DIINDONESIA (Analisis Putusan
Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 47/PDT.G/2017/PN.Cbi)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka identifikasi masalah
dari penelitian ini adalah :
a. Banyaknya penggunaan dari perjanjian dibawah tangan oleh
masyarakat.
b. Penyalahgunaan dari surat perjanjian dibawah tangan.
c. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai ranah pengadilan.
d. Sulitnya pembuktian dari kekuatan akta perjanjian dibawah tangan.
9 R. Subekti, Hukum Pembuktian, cet. 13, (Jakarta: Penerbit PT Pradnya Paramita, 2001),
h. 1.
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 5, cet. 2, (Yogyakarta:
Penerbit PT Liberty, 1999), h.109.
7
2. Pembatasan Masalah
Demi tercapainya penelitian yang lebih fokus dan tidak meluas dari
pembahasan yang dimaksud dalam penelitian, maka penulis
membatasinya pada ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini mengenai
kekuatan hukum yang dimiliki oleh sebuah akta perjanjian dibawah
tangan sebagai bentuk suatu bukti dari adanya sebuah perikatan mengenai
utang-piutang yang dijadikan sebagai alat pembuktian surat dalam
persidangan pada saat terjadinya sengketa terhadap kesepakatan dari
perjanjian tersebut.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah
yang telah di uraikan diatas, maka peneliti merumuskan masalah utama
yakni “Kekuatan Hukum Pembuktian dari Surat Perjanjian di Bawah
Tangan sebagai Alat Bukti dalam Persidangan Menurut Hukum Acara
Perdata di Indonesia berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong
Nomor 47/PDT.G/2017/PN.Cbi”.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas,
maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian untuk ini sebagai
berikut:
a. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa wanprestasi hutang
piutang dalam akta dibawah tangan melalui jalur litigasi menurut
hukum acara perdata di Indonesia?
b. Bagaimana pertimbangan hukum menurut Hakim dalam analisis
Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor : 47 / PDT.G / 2017 /
PN.Cbi mengenai kedudukan dan kekuatan hukum pembuktian dari
sebuah akta dibawah tangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih
dalam demi mengetahui lebih lanjut mengenai surat perjanjian yang
8
dibuat secara dibawah tangan. Sedangkan untuk secara khususnya tujuan
diadakannya penelitian ini sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa wanprestasi
secara litigasi.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari seorang hakim tentang
kedudukan dan kekuatan hukum dari surat perjanjian dibawah tangan
apabila menjadi alat bukti dipersidangan.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian perihal mengenai kekuatan
hukum dari surat perjanjian dibawah tangan yang dijadikan sebagai alat
bukti dalam perjanjian utang-piutang menurut hukum acara perdata di
Indonesia (Studi Kasus Putusan Nomor : 108/ Pdt.G/ 2016/ PN.Cbi) ini
diharapkan dapat memberikan nilai kegunaan bagi penelitian, baik dalam
segi teoritis maupun segi praktis sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah sebagai salah satu upaya
unutk mengembangkan wawasan secara teori terhadap penerapan ilmu
hukum terhadap persoalan yang terjadi dimasyarakat. Selain itu juga
sebagai bentuk upaya demi mingkatkan pengetahuan dan ilmu hukum
yang khususnya pada perjanjian utang-piutang.
b. Manfaat Praktis dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan dan masukan bagi para pihak dalam melakukan
perjanjian utang-piutang yang dibuat secara dibawah tangan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis dan
konsisten.11
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penilitian
hukum Normatif-Yuridis. Penelitian dalam bentuk Normatif-Yuridis
11
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : Penerbit PT. UI Press,
1984), h. 42.
9
adalah bentuk penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang
ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli,
makalah-makalah, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pembuktian
dalam sebuah perkara.
2. Jenis Pendekatan
Penelitian dalam pembuatan karya ilmiah ini menggunakan
beberapa jenis pendekatan, yaitu diantaranya:
a. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu
dengan pendekatan masalah yang didasarkan pada teori-teori hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pendekatan Studi Kasus (Case Approach) yaitu Pendekatan kasus
yang digunakan untuk memahami kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu-isu hukum yang sedang dihadapi, yang mana dalam hal ini telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam penelitian penulis menggunakan Putusan Pengadilan Negeri
Cibinong Nomor : 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif-
yuridis, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yakni sumber
data berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non-
hukum dikumpulkan berdasarkan permasalahan dan dikaji secara
komperhensif agar dapat digunakan untuk menjawab suatu pertanyaan
atau untuk memecah suatu masalah.12
12
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56.
10
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum utama yang dalam
penelitian hukum normatif berupa perturan perundang-undangan yang
berlaku dan memilikii kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang
digunakan meliputi pengkaijian dalam Putusan Pengadilan Negeri
Cibinong Nomor : 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian atau jurnal hukum,
makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah.13
c. Bahan Non Hukum Merupakan bahan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan yang memiliki makna terhadap adanya bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Bahan Hukum Primer dan bahan Hukum Sekunder maupun bahan
hukum yang lainnya ini kemudian dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan
inti dari permasalahan yang sedang dibahas pada saat ini. Kemudian
bahan tersebut diolah berdasarkan sumber data yang rumusannya dikaji
secara komprehensif.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data-data yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka data-
data tersebut diolah secara deskriptif dengan memilih data sesuai
kualitasnya untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.14
Setelah
itu data dianalisi untuk penyajiannya dilakukan dengan cara analisa data
yang dilakukan dengan cara menyusun data tersebut secara sistematis
13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h. 13-14
14
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, ( Jakarta : PT.
Ghalia Indonesia, 1990 ), h. 47
11
sehingga mendapatkan suatu kesimpulan yang ilmiah untuk dituangkan
dalam penulisan skripsi ini.
6. Teknik Penulisan
Dalam penelitian Skripsi ini, peneliti mengacu pada buku
pedoman penelitian Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-
masing dari sub bab guna memperjelas cakupan dari permasalahan yang
menjadi objek dari penelitian. Urutan dari masing-masing bab telah dibentuk
dan disusun oleh penulis sebagai berikut:
BAB I Merupakan Bab pendahuluan yang mana dalam hal ini terdiri dari
latar belakang masalah yang memberikan gambaran secara umum
mengenai perumusan dari suatu masalah yang sedang dibahas,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian, serta
bagaimana sistematika dari penulisan tersebut.
BAB II Merupakan Bab yang berisikan tentang kajian pustaka, yang
dimana terdiri dari krangka konseptual, krangka teori dan tinjauan
kajian studi review terdahulu. Krangka konseptual merupakan
konsep-konsep sebagai pijakan dalam penulisan. Krangka teori
merupakan konsepsi berupa rangkaian teori-teori yang relevan
dengan pokok permasalahan.
BAB III Merupakan Bab yang berisikan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa kasus wanprestasi terhadap suatu perjanjian utang-piutang
melalui litigasi atau pengadilan.
BAB IV Merupakan Bab pembahasan dari studi kasus, maka peneliti akan
memfokuskan penulisan mengenai analisis dari pengolahan data
yang telah didapat. Kemudian pembahasan masalah tentang
12
kedudukan dan kekuatan akta dibawah tangan yang dijadikan
sebagai alat bukti untuk persidangan dalam Putusan Pengadilan
Nomor : 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi.
BAB V Merupakan Bab penutup yang berisikan menganai kesimpulan dan
rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
tentang perjanjian akta dibawah tangan yang dijadikan sebagai alat
bukti dengan akibat hukum yang akan timbul dengan akta
perjanjian tersebut.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Krangka Konseptual
Untuk menghindari terjadinya suatu kesalahan dalam mengartikan
judul penelitian ini dan sebagai landasan pijakan bagi peneliti untuk membatu
menyelesaikan dalam penulisan hasil penelitian. Maka penulis menyediakan
konsep-konsep sebagai berikut:
1. Pembuktian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bukti ini berasal dari
terjemahan bahasa Belanda yaitu bewjis yang diartikan sebagai sesuatu
yang menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa. Dalam kamus hukum,
bewjis ini diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan
kebenaran dari fakta tertentu atau ketidak benaran dari fakta lain oleh para
pihak dalam perkara pengadilan guna memberi bahan kepada hakim bagi
penilaiannya.1 Sementara itu membuktikan berarti memperlihatkan bukti
dan pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara
membuktikan. Pembuktian adalah suatu perbuatan untuk membuktian
akan suatu fakta. Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan
bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan,
menyaksikan dan meyakinkan.2
Menurut Syafrudin Makmur pembuktian adalah segala sesuatu
atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran
sesuatu, secara terminologi pembuktian berati memberi keterangan
dengan dalil hingga meyakinkan.3 Karena membuktikan ialah
meyakinkan seorang hakim tentang suatu kebenaran dari suatu salil atau
dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam suatu persengketaan. Menurut
1 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia, 1986), h.83.
2 Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Penerbit PT. Balai Pustaka, 1990), h.133.
3 Syafrudin Makmur, Pendampingan Tahap Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Proses
Pidana, (Pamulang: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014), h.10
14
Anshoruddin dengan mengutip beberapa pendapat yang mengartikan
pembuktian sebagai berikut:
a. Menurut Muhammad at Thohir Muhammad „Abd al „Aziz adalah
membuktikan suatu perkara adalah memberikan keterangan dan dalil
hingga dapat meyakinkan orang lain.
b. Menurut Shobi Mahmasoni bahwa membuktikan suatu perkara adalah
mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang
meyakinkan. Artinya segala hal yang menjadi ketetapan atau
keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.4
Tujuan dari pembuktian adalah agar putusan hakim didasarkan
pada bukti-bukti tersebut, agar hakim dapat memberi putusan yang
definitif, pasti dan tidak meragukan.5 Oleh karena itu tujuan dari adanya
pembuktian baik dari pihak penggugat maupun dari pihak tergugat adalah
untuk membuktikan dalil masing-masing. Dalam hal ini penggugat
dimaksudkan untuk membuktikan peristiwa hukum yang telah dijabarkan
dalam bentuk posita agar seluruh petitumnya dapat dikabulkan.
Sedangkan bagi pihak tergugat tujuan dari pembuktian adalah untuk
membuktikan bahwa dalil-dalil penggugat dalam posita tidak terbukti
sehingga petitum penggugat akan ditolak seluruhnya oleh hakim. Dalam
perihal pembuktian, maka yang harus dibuktikan ialah peristiwa atau
hubungan hukumnya. Artinya hubungan antara pihak penggugat dan
pihak tergugat dan bukan mengenai hukumnya, karena mengenai hukum
hakim dianggap lebih tahu.6 Dalam hal ini para pihak cukup
mengungkapkan akan kebenaran dari dalilnya masing-masing atas suatu
fakta.
Pembuktian dalam acara perdata di Indonesia tidak bisa terlepas
dari buku keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur
mengenai pembuktian dan daluwarsa. Selain dari Kitab Undang-undang
4 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Penerbit PT. Pustaka Pelajar, 2004), h. 25-26.
5 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010), h.93.
6 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,... h.268
15
Hukum Perdata masalah pembuktian dari perkara perdata di Indonesia
juga diatur dalam Reglemen Indonesia yang telah di perbaharui, staatblad
1941 Nomor 44 (RIB) dan di dalam Reglement Buiten Gewesten (RBG)
atau Reglemen Daerah Sebrang (RDS). Perlu diketahui bahwa H.I.R dan
RBG ini diperuntukan untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura.
2. Perjanjian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, janji didefinisikan sebagai
bentuk ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk
berbuat. Sedangkan berjanji adalah menyatakan bersedia dan sanggup
untuk berbuat sesuatu.7 Berdasarkan definisi yang di berikan oleh Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dapat dipahami bahwa orang yang berjanji
kepada orang lain berarti orang yang bersangkutan menyatakan kesediaan
dan kesanggupannya untuk berbuat sesuatu.8 Sebagaimana telah di
jelaskan dalam literatur hukum perjanjian, bahwa perwujudan dari suatu
perjanjian dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.9
Menurut Prof. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada soserang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.10
7 Hasan Alwi, Hans Napoliwa, Dedi Sugono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Ketiga), Departemen Pendidikan Nasional: Balai Pustaka, Cetakan Kelima, Jakarta, 2007, h. 458.
8 Iswantoro Dwi Yuwono, Baca Buku Ini Sebelum Tanda Tangan Surat Perjanjian,
(Yogyakarta : Penerbit PT. Pustaka Yustisia, 2013), h.7.
9 Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan XVI, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 1996),
h.36.
10
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 2005), h.1.
16
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap perjanjian merupakan salah satu
sumber perikatan. Perjanjian atau Verbintensis mengandung pengertian
suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda atara dua orang atau
lebih yang memberikan kekuatan hak kepada salah satu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.11
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.Pengertian
perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanjikepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa itulah maka timbul suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan”.
Dengan demikian dari berbagai definisi perikatan tersebut, maka
dapat disimpulkan dalam suatu perikatan setidaknya terdapat satu hak dan
satu kewajiban. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur yang melekat di
dalam perikatan, yaitu sebagai berikut :
a. Unsur hubungan hukum (rechtsverhouding, legal relation) adalah
hubungan yang di dalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan
pada pihak yang lainnya melekat satu kewajiban. Hubungan hukum
dalam perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh
hukum itu sendiri.
b. Unsur kekayaan (vermogen, patrimonial) adalah kekayaan yang
dimiliki oleh salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan.
Perikatan itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan
atau mogensrecht dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan yang
kita kenal dengan hukum benda.
c. Unsur para pihak (partijen, parties) adalah pihak kreditur dan pihak
debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam
perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
11
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : penerbit PT alumni,
1986), h.6.
17
d. Unsur prestasi (prestatie, performance) adalah adanya obyek hukum
atau suatu hal yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan
hukum. Dalam pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu,
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.12
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
perjanjian secara tertulis dan perjanjian tidak tertulis. Perjanjian tertulis
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan.
Sedangkan perjanjian tidak tertulis atau secara lisan adalah suatu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan atau
kesepakatan kata saja. Perjanjian tertulis ini dibedakan menjadi 3 bentuk,
antara lain yaitu:
a. Perjanjian dibawah tangan yang hanya ditandatangani oleh para pihak
yang bersangkutan saja. Perjanjian semacam ini hanya mengikat para
pihak dalam berkontrak saja, tetapi tidak mempunyai kekuatan
mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain jika kontrak tersebut
disangkal oleh pihak ketiga, maka para pihak atau salah satu pihak
yang berkontrak tersebut berkewajiban untuk mengajukan bukti-bukti
yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga
yang dimaksud adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.
b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak. Fungsi dari kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata
hanya melegalisir kebenaran dari tanda tangan para pihak. Akan tetapi
kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi
perjanjian.
c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notaris. Akta notaris merupakan akta yang dibuat dihadapan dan
12
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis, (Malang : Penerbit PT Setara Press, 2016), h.7.
18
dimuka pejabat yang berwenang seperti: Notaris, PPAT, Catatan Sipil
dan lain sebagainya.13
Fungsi utama perjanjian adalah untuk memberikan kepastian
tentang mengikatnya suatu perjanjian antara para pihak. Fungsi perjanjian
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Fungsi Yuridis perjanjian adalah untuk dapat memberikan kepastian
hukum bagi para pihak yang membuatnya.
b. Fungsi Ekonomis perjanjian adalah untuk menggerakkan hak milik
sumber daya dari nilai penggunaannya yang lebih rendah menjadi
nilai yang lebih tinggi.14
3. Sumber Perikatan
Menurut ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, setiap perikatan lahir dari kontrak dan undang-undang. Kata
undang-undang dalam pasal ini mempunyai arti baik secara formil
maupun materiil adalah peraturan yang tertulis. Karena kata undang-
undang dalam pasal ini merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Wet
yang juga dapat diartikan sebagai hukum yang mencakup undang-undang
(hukum tertulis) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat). Artinya
bahwa perikatan dapat timbul bukan hanya dari kontrak dan undang-
undang saja tetapi juga hukum adat (hukum tidak tertulis) seperti
misalkan gadai tanah secara adat.15
a. Perikatan Bersumber dari Kontrak
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perjanjian
atau verbintensis mengandung pengertian suatu hubungan hukum
kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi
13
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Penerbit PT Sinar Grafika,
2001), h.166-167.
14
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.18.
15
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.7.
19
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.16
Hukum perikatan merupakan hukum pelengkap, konsesnsuil,
dan obligatoir. Bersifat sebagai hukum pelengkap, artinya jika para
pihak membuat ketentuan masing-masing dan setiap pihak dapat
mengesampingkan peraturan dalam Undang-undang. Bersifat
konsesuil artinya ketika kata sepakat telah dicapai oleh masing-
masing pihak, kontrak tersebut bersifat mengikat dan dapat dipenuhi
dengan tanggung jawab. Sementara itu bersifat obligatoir berarti
setiap perikatan yang telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan
hak milik akan berpindah setelah dilakukan penyerahan kepada tiap-
tiap pihak yang telah bersepakat.
b. Perikatan Bersumber dari Undang-undang
Perikatan yang timbul karena undang-undang selanjutnya
dibagi lagi atas perikatan yang timbul semata-mata karena undang-
undang dan perikatan yang timbul dari udnag-undang karena
perbuatan manusia. Kemudian perikatan yang timbul dari undang-
undang karena perbuatan manusia dibagi lagi atas perbuatan menurut
hukum dan perbuatan melawan hukum. Adapun penjabarannya
sebagai berikut:
(a) Undang-undang karena perbuatan manusia, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 1353 Kitab Undang-undang Hukum
perdata.
(1) Perbuatan menurut hukum
(a) Perwakilan sukarela atau zaakwarneming
(b) Mengurus kepentingan orang lain
(c) Pembayaran tak berutang
(d) Perutangan alamiah
16
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian,(Bandung: Penerbit PT Alumni,
1986), h.6
20
(2) Perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad
dijelaskan dalam Pasal 1365-1380 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata
Terkait dengan perbuatan melawan hukum, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan
perumusan apa yang dimaksud dengan onrechtmatigedaad,
selama ini perumusannya diserahkan kepada doktrin dan
yurisprudensi. Adapun menurut doktrin, suatu perbuatan
dikatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyebutkan, bahwa setiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan
kerugian itu dan mengganti kerugian tersebut. Dari ketentuan
pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai hasil
yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan nelawan
hukum harus memenuhi unsur-unsur:
(a) Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum
(b) Harus ada kesalahan
(c) Harus ada kerugian yang ditimbulkan
(d) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian
(b) Hanya undang-undang saja
(1) undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal
45 dan 46) yaitu hak dan kewajiban orang tua dan anak.
(2) Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(a) Perkarangan berdampingan
(b) Kewajiban mendidik dan memelihara anak
(c) Kewajiban anak memelihara orang tua yang sudah uzur
atau alimentasi
21
Pada prinsipnya sistem hukum perikatan bersifat terbuka. Artinya
setiap perikatan memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk
mengadakan berbagai bentuk kontrak seperti yang telah diatur dalam
undang-undang serta peraturan khusus atau peraturan baru yang belum
ada ketentuannya. Para ahli hukum kontrak pada umumnya sependapat
bahwa sumber perikatan sebagaimana diatur dalam pasal 1233 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata sudah tidak relevan lagi dengan konteks
modern dan sumber lainnya dapat diterima sebagai sumber hukum
perikatan yaitu berupa doktrin, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.
Hubungan kreditur dan debitur pada umumnya pihak debitur tidak
hanya berkewajiban memenuhi prestasi (schuld), tetapi juga harus
mempunyai jaminan (haftung) sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan
1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Schuld adalah adanya
hutang debitur kepada kreditur. Sedangkan yang dimaksud dengan
haftung adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur yang
dijaminkan atau dipertanggung jawabkan atau dicadangkan bagi
pelunasan hutang debitur. Dengan demikian schuld dan haftung selalu ada
pada pihak debitur, namun demikian terdapat pengecualian-pengecualian
terkait dengan schuld dan haftung17
.
Schuld tanpa haftung dalam hal ini debitur memiliki utang, tetapi
jika debitur tidak mau memenuhi kewajibannya, kreditur tidak dapat
menuntut pemenuhannya. Misalkan dalam perikatan alamiah, utang
dalam perjudian atau sisa utang seorang yang pailit setelah dilakukan
dengan perdamaian. Schuld dengan haftung terbatas terdapat dalam hal
pewarisan, ahli waris yang menerima warisan secara bersyarat
(benefisier) hanya berkewajiban membayar utang-utang yang
ditinggalkan oleh pewaris terbatas pada sebatas harta kekayaan yang
ditinggalkan. Sedangkan Haftung dengan schuld pada orang lain dalam
perikatan pihak ketiga memberikan jaminn barangnya untuk dipakai
sebagai jaminan oleh debitur terhadap kreditur. Dalam hal ini pihak ketiga
17
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit PT Putra Abardin,
1999), h.7
22
tidak berkewajiban untuk memenuhi prestasi, namun tetap bertanggung
jawab atas pemenuhan prestasi.
Semua perikatan yang dibuat sesuai dengan undang-undang dan
berlaku sebagai undang-undang sebagai mereka yang membuatnya.
Perikatan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Perikatan harus dilaksanakan dengan itikad baik, yaitu
dengan keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu. Kemudian
mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain dan sudah tentu
keinginan itu sesuatu yang baik.18
4. Jenis Perikatan
Suatu prikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua belah
pihak berdasarkan salah satu pihak berhak untuk menuntut sesuatu dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutannya. Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang,
sedangkan yang dapat di tuntut hanya berupa satu hal dan penuntutan ini
dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini termasuk kepada perikatan
yang paling sederhana. Selain bentuk yang paling sederhana itu, Hukum
Perdata mengenal juga berbagai macam perikatan yang sedikit lebih
rumit, diantara nya adalah sebagai berikut:
a. Perikatan Bersahaja
Perikatan bersahaja atau perikatan murni ini merupakan
perikatan yang paling sederhana. Karena dari masing-masing pihak
hanya terdiri dari satu orang saja dan begitu pula dengan pemenuhan
prestasi nya yang seketika itu dapat dengan langsung terjadi
penagihan hak dan kewajibannya.19
Contohnya seperti orang yang
melakukan transaksi jual beli sabun di warung. Dalam hal ini hanya
18
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.8-11
19
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Prespektif BW, (Bandung: Penerbit PT
Nuansa Aulia, 2012), h.162
23
terdiri dari satu orang saja dan pemenuhan hak dan kewajibannya bisa
langsung selesai pada saat itu.
b. Perikatan Bersyarat
Suatu perikatan dikatan bersyarat apabila perikatan ini
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datangdan masih
belum tentu akan terjadi. Baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatalkan perjanjian menurut terjadinya atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut.20
Pengertian “syarat” dalam perikatan bersyarat ini
merujuk pada suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Menurut Pasal 1253 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
ada dua macam syarat, yaitu tangguh (Pasal 1263 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata) dan syarat batal (Pasal 1265 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata).
c. Perikatan Dengan Ketentuan Waktu
Perikatan dengan ketentuan waktu dalam suatu perikatan
adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi, tetapi dalam hal ini
sudah pasti akan terjadi. Hal ini terdapat dalam Pasal 1268 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Tentu saja hal ini berlainan dengan
perikatan bersyarat, karena dalam perikatan ini suatu ketetapan
waktunya sudah di pastikan lahirnya suatu perjanjian atau
perikatannya. Namun hanya saja perikatan ini mengguhkan
pelaksanaannya, ataupun menentukan lama berlakunyasuatu
perjanjian atau perikatan tersebut. Contohnya seperti sewa-menyewa
rumah yang dilakukan mulai dari 1 Januari 2010 sampai dengan 1
Januari 2015. Maka perjanjian sewa mengenai rumah tersebut adalah
suatu perjanjian dengan ketetapan waktu.
d. Perikatan Mana Suka (Alternatif)
Perikatan ini diatur dalam Pasal 1272 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dalam perikatan mana suka atau alternatif ini debitur
berkewajiban untuk melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi
20
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.21 (Jakarta: Penerbit PT Intermasa, 2005), h.5.
24
yang sudah dipilih, baik itu pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga.
Dalam perikatan semacam ini siberutang dibebaskan jika ia
menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam
perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang
yang lainnya. Hak memilih ada pada siberutang, jika hak ini tidak
secara tegas diberikan kepada siberpiutang.
e. Perikatan Tanggung-Menanggung
Perikatan ini diatur dalam Pasal 1278 Kitab Undang-undang
Hukum perdata. Dalam perikatan tanggung-menanggung ini salah satu
pihak atau masing-masing pihak lebih dari satu orang. Dalam
perikatan ini dikenal adagium: “satu untuk seluruhnya atau seluruhnya
untuk satu”. Maksudnya jika ada beberapa orang debitur terhadap
seorang kreditur maka dalam perikatan biasa dapat dibagi, masing-
masing debitur dapat ditagih untuk suatu bagian tertentu sebanding
dari jumlah keseluruhan debitur. Dalam perikatan tanggung
menanggung jika ada beberapa orang debitur, maka masing-masing
dari semua debitur dapat ditagih untuk keseluruhan utang dan
pelunasan yang satu membebaskan yang lain.21
f. Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak dapat Dibagi
Perikatan ini diatur dalam Pasal 1296 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Suatu perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah
terdapat pada prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian
mana tidak bolah mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau
tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa pada sifat barang yang
tersangkut didalamnya. Akan tetapi juga dapat di simpulkan dari pada
maksudnya perikatan itu sendiri. Dapat dibagi menurut sifatnya
terletak pada suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang
atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat dibagi kewajiban
21
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Prespektif BW,... h.164
25
untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa
kehilangan hakekatnya.22
g. Perikatan Dengan Ancaman Hukum (Starfbeding)
Perikatan dengan ancaman hukum ini diatur dalam Pasal 1304
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pengertian ancaman hukuman
dalam perikatan ini bukanlah hukuman fisik (badan), akan tetapi
hukuman pembayaran suatu ganti rugi atau benda (Pasal 1307 Kitab
Undang-undang Hukum perdata).23
Perikatan semacam ini adalah
suatu perikatan yang dimana di tentukan bahwa si berutang untuk
jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu
apabila perikatannya tidak dapat dipenuhi. Penetapan hukuman ini
dimaksudkan sebagai ganti dari penggantian kerugian yang di derita
oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam
perjanjian tersebut.
h. Perikatan Generik dan Perikatan Spesifik
Perikatan ini diatur dalam Pasal 1391 dan 1392 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Dalam perikatan generik prestasi ditentukan
menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan dalam prikatan spesifik
prestasi ditentukan secara tertentu dan pasti. Contohnya kewajiban
menyerahkan 10 kilo gram gula pasir adalah merupakan perikatan
generik, sedangkan kewajiban menyerahkan satu rumah tertentu yang
ditunjuk merupakan perikatan spesifik.
i. Perikatan Perdata dan Perikatan Alamiah
Dalam perikatan perdata pelaksanaannya dapat dituntut
didepan Pengadilan, sedangkan dalam perikatan alamiah
(natuurlijkeverbintenis) yang demikian itu tidak mungkin terjadi,
tetapi sekali orang melunasi perikatan alamiah secara sukarela, maka
uang pelunasan itu tidak dapat dituntut kembali. Oleh karena itu
perikatan ini dikatakan perikatan hukum yang tidak sempurna. Setelah
dilakukan pembayaran, maka perikatan alamiah berubah menjadi
22
Subekti, Hukum Perjanjian,... h.9
23
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Prespektif BW,... h.165
26
perikatan perdata dan karenanya mendapat perlindungan hukum.
Konsekuensinya pelunasan tersebut merupakan pembayaran yang sah
dan bukan merupakan pembayaran tak berutang.24
5. Hapus dan Berakhirnya Kontrak
Secara teoritis hapusnya kontrak perjanjian berbeda dengan
berakhirnya suatu kontrak perjanjian. Suatu kontrak perjanjian akan
berakhir apabila segala perikatan yang timbul dari kontrak perjanjian
tersebut telah hapus seluruhnya. Dengan berakhirnya suatu kontrak
perjanjian maka perikatan-perikatan yang terdapat didalam kontrak
tersebut secara otomatis menjadi hapus. Dengan kata lain berakhirnya
perikatan tidak dengan sendirinya mengakibatkan berakhirnya kontrak
perjanjian. Sedangkan berakhirnya kontrak perjanjian yang dengan
sendirinya mengakibatkan berakhirnya suatu perikatan.
Hapus dan berakhirnya suatu kontrak perjanjian secara definitif
memiliki makna berbeda. Berakhirnya suatu kontrak perjanjian terdiri
dari:
a. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam suatu kontrak perjanjian
tersebut telah berakhir.
b. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri suatu kontrak
perjanjian tersebut.
c. Karena telah ditentukan oleh undang-undang, misalkan kontrak akan
berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak dari peserta kontrak
perjanjian tersebut.
d. Adanya keputusan dari seorang Hakim.
e. Tujuan yang dimaksud dari kontrak perjanjian tersebut telah
tercapai.25
Sementara itu hapusnya suatu kontrak perjanjian dapat terjadi
karena adanya beberapa hal, diantaranya yaitu:
24
J.Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 1993),
h.79
25
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit PT. Putra Abardin,
1999), h.68.
27
a. Karena adanya pembayaran, sebagaimana yang dimaksud dengan
pembayaran ini dalam hukum perikatan adalah setiap tindakan dari
pemenuhan prestasi. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi
atau tegasnya adalah pembayaran.
b. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga.
Penggantian itu terjadi karena adanya pembayaran yang telah
diperjanjikan ataupun karena telah ditetapkan oleh undang-undang.
c. Tentang penawaran pembayaran tunai yang diikuti penyimpanan dan
penitipan. Dalam hal perikatan dapat hapus dengan adanya penawaran
pembayaran yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan ini dimana
debitur yang akan membayar hutangnya kepada kreditur, tetapi
kreditur menolak pembayaran tersebut dan oleh debitur uang atau
barang yang akan dibayarkan kepada kreditur dititipkan kepada pihak
pengadilan agar dibayarkan kepada pihak kreditur.
d. Karena adanya pembaharuan dari hutang tersebut. Yang dimaksud
pembaharuan dari hutang adalah suatu kontrak perjanjian dengan
mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus
diadakannya suatu perikatan baru.
e. Musnahnya dari suatu barang yang terhutang. Dalam hal ini
musnahnya dari suatu barang yang terhutang adalah suatu barang
tertentu yang menjadi obyek perikatan dihapus dan dilarang oleh
pihak Pemerintah yang sudah tidak boleh diperdagangkan lagi. Pasal
1553 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa jika
selama waktu sewa barang yang disewakan sama sekali telah musnah
karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa-
menyewa tersebut telah gugur.
f. Karena adanya perpindahan hutang dan perpindahan kontrak
perjanjian. Dalam praktiknya di masyarakat hal ini sering kali terjadi,
dimana suatu kontrak perjanjian dialihkan kepada pihak lain. Hal ini
terjadi misalkan pemilik suatu perusahaan memindahkan
perusahaanya kepada pihak lain dengan janji bahwa pemilik baru
28
tersebut akan mengambil alih juga segala bentuk hak-hak dan
kewajiban yang melekat pada perusahaan tersebut.
g. Kompensasi atau adanya perjumpaan hutang. Kompensasi ini terjadi
apabila dua orang saling berhutang antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga hutang-hutang tersebut dihapuskan oleh karena undang-
undang yang telah menentukan bahwa suatu perhitungan antara
mereka seimbang.
h. Karena adanya percampuran dari hutang tersebut. Dalam hal
percampuran hutang ini biasanya terjadi dalam hal pewarisan. Dimana
pihak debitur menjadi ahli waris si kreditur. Apabila kreditur
meninggal dunia, maka hutang-hutang debitur dibayarkan oleh pihak
ahli warisnya.
i. Pembebasan hutang adalah pernyataan kehendak dari pihak kreditur
untuk membebaskan pihak debitur dari suatu perikatan perjanjian dan
pernyataan kehendak tersebut dapat diterima oleh pihak debitur.
j. Karena adanya kebatalan dan pembatalan dari suatu perjanjian.
Alasan yang dapat menimbulkan batalnya suatu perikatan adalah
karena perikatan tersebut terdapat cacat pada syarat-syarat yang
objektif. Cacat tersebut adalah objek yang melanggar undang-undang
dan ketertiban umum.26
6. Alat Bukti
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat
digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran dari suatu peristiwa di
dalam persidangan. Alat bukti yang dimaksudkan adalah dengan
mengajukan beberapa bukti-bukti ke pengadilan, namun bukti yang
diajukan merupakan bukti yang berharga atau competent edvidence,
sehingga tidak membuang waktu dan tenaga. Mengenai apa saja yang
termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara dari suatu peradilan
sudah menentukannya secara rinci. Karena alat bukti dalam suatu hukum
acara antara yang satu dengan yang lain nya pasti berbeda.
26
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.83-84.
29
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Phyllis B. Gerstenfeld
yang membagi tipe dari suatu bukti menjadi dua, yaitu direct evidence
dan circumtantial evidence. Direct evidence dapat diartikan sebagai bukti
yang cenderung menunjukan keberadaan dari suatu fakta tanpa adanya
bukti tambahan. Sementara itu circumtantial evidence adalah bukti yang
membutuhkan pembuktian lagi lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan
atas bukti tersebut. Sedangkan menurut Max M. Houck circumtantial
edvidence adalah bukti yang didasarkan pada suatu kesimpulan dan bukan
dari suatu pengetahuan atau observasi. Atas dasar itulah ia berpendapat
bahwa tidak semua alat bukti memilki kekuatan pembuktian yang sama.
Karena bisa saja kekuatan bukti yang satu mempunyai kedudukan yang
lebih dari alat bukti yang lain, semua tergantung pada pembuktian suatu
kasus di pengadilan.27
Larry E. Sullivan dan Marie Simonetti Rosen membagi bukti
dalam tiga kategori, yaitu bukti langsung, bukti tidak langsung dan bukti
fisik. Bukti langsung membentuk unsur kejahatan melalui melalui
penuturan saksi mata, pengakuan atau apapun yang diminati termasuk
tulisan dan suara berupa video atau rekaman digital lainnya. Butkti tidak
langsung didasarkan pada suatu perkataan dan analisis yang masuk akal.
Bukti fisik yang dihasilkan dari penyidikan kriminal untuk menentukan
adanya kejahatan yang dihubungkan antara suatu barang, korban dan
pelakunya.28
7. Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara mempertahankan dan memelihara hukum perdata materiil.
Hukum acara perdata juga diartikan sebagai suatu peraturan yang
mengatur bagaimana cara untuk mengajukan suatu perkara perdata
27
Max M. Houck, Essentials of Forensic Science Trace Edvidence, (New York: Imprint
of Infobase Publishing, 2009), h. 2
28
Larry E. Sulvian Marie Simonettie Rosen, Encyclopedia of Law Enforcement,
(California: Sage Publications, 2010), h.36.
30
terhadap pengadilan perdata dan juga mengatur bagaimana cara hakim
perdata memberikan putusan terhadap suatu subjek hukum.
Menurut Goodhart setiap hakim akan mengulas fakta-fakta dari
suatu perkara yang dapat dibuktikan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut
hakim dapat mengulas argumen hukum untuk sampai pada suatu
kesimpulan dalam rangka memutus suatu perkara. Fakta-fakta yang
terpenting dalam perkara tersebut digabungkan dengan argumen hukum,
maka akan menjadi suatu pertimbangan sebagai prinsip hukum yang
bersifat mengikat yang dikenal dengan istilah ratio decidendia. Ratio
telah ditetapkan sebagai prinsip yang harus diambil dari putusan hakim
berdasarkan fakta-fakta yang dianggap oleh hakim sebagai materi.29
Selain pertimbangan yang bersifat mengikat yang disebut dengan
ratio decidendi terdapat juga pertimbangan yang tidak bersifat mengikat
yang dikenal dengan obiter dictum. Oleh karena itu pertimbangan yang
bersifat obiter dictum tidak mengikat untuk kasus-kasus dimasa
mendatang, namun terkadang dapat saja obiter dictum memiliki otoritas
persuasif signifikan. Obiter dictum tidak mengikat karena dibuat hakim
tanpa harus mengujinya terlebih dahulu dan mempertimbangkan masing-
masing konsekuensi aktualnya. Artinya adalah kemungkinan besar
pertimbangan yang diberikan untuk obiter dictum tidak sematang dengan
ratio decidendi.30
Dalam perkara perdata yang dicari adalah mengenai kebenaran
hukum formal. Oleh karena itu hakim terikat hanya pada alat bukti yang
dinyatakan sah dalam undang-undang. Dengan demikian hakim dalam
pemeriksaan perkara perdata bersifat pasif, tergantung dari para pihak
yang bersengketa. Akan tetapi dalam rangka mencari kebenaran materiil
29
Peter De cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law dan Sosialist
Law, (Jakarta: Penerbit PT. Nusa Media, 2010), h.352
30
Micael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: Penerbit PT. Nusa
Media, 2010), h.143.
31
atas perkara yang diajukan oleh para pihak, maka hakim juga dapat
bersifat aktif.31
B. Krangka Teori
Krangka teori adalah konsepsi-konsepsi berupa teori-teori,
pandangan-pandangan dan penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok
permasalahan. Adapun bentuk-bentuk dari teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Teori Asas Perjanjian
Asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi
inspirasimengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. Maka dari
itu asas sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang
ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat
dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. Asas hukum
merupakan “jantung” dari sebuah peraturan karena asas hukum
merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan
hukum dan sebagai alasan dari lahirnya peraturan hukum.
Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya melahirkan suatu
peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan melahirkan peraturan
hukum dan putusan hakim yang merupakan hukum positif. Asas hukum
dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum
dalam peraturan yang konkrit.32
Dalam hukum kontrak perjanjian terdapat
terdapat 5 asas yang telah dikenal. Kelima asas tersebut antara lain adalah
asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme
(concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas
iktikad baik (good faith), asas kepribadian (personality).33
a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
31
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit PT. Erlangga,
2012), h.80.
32
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit
PT Liberty, 1996).
33
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit PT UII Press,
2014), h.83
32
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki
posisi sentral didalam hukum kontrak perjanjian, karena mempunyai
pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual dari para
pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan
dari kehendak bebas berkontrak bagi para pihak. Karena asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak
perjanjian, mengadakan kontrak perjanjian dengan siapapun,
menentukan isi dari kontrak perjanjian, pelaksanaan beserta
persyaratannya dan menentukan bentuk kontrak perjanjian yang akan
dibuat, baik itu secara tertulis maupun secara lisan.34
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan
pasal 1320 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
berbunyi “Suatu sebab yang tidak terlarang”. Bagi para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun
dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan suatu hak
dan kewajiban, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan
tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang terlarang. Seperti yang
tertuang dalam pasal 1337 Kitab Uundang-undang Hukum Perdata “
suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum.”
Menurut Johanes Gunawan asas kebebasan berkontrak ini
meliputi beberapa hal, diantaranya yaitu :
(a) Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat
kontrak atau tidak membuat kontrak.
(b) Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan
membuat suatu kontrak.
(c) Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk kontrak.
(d) Kebebasan para pihak untuk menentukan isi kontrak.
34
Salim H.S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.3, (Jakarta:
Penerbit PT Sinar Grafika, 2006).
33
(e) Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak.
Dalam kontrak standar, cara pembuatannya telah ditentukan oleh
salah satu pihak.35
b. Asas Konsensualisme (Consensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consesnsus). Asas
ini sangat berhubungan dengan lahirnya suatu kontrak perjanjian yang
mengandung arti bahwa kontrak perjanjian itu terjadi sejak detik
tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai pokok-pokok
perjanjian. Dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang
menyebutkan “kesepakatan antarapara pihak“ dimana menurut asas ini
perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat yaitu
persesuaian kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh para pihak.
Dengan demikian Asas konsensualisme ini menunjukan bahwa
pada dasarnya suatu perjanjian yang telah dibuat baik secara lisan atau
tulisan antara para pihak telah mengikat. Karena dari perjanjian
tersebut telah melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam
perjanjian tersebut, setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan
atau consensus. Pengecualian pada prinsip ini adalah dalam hal
perundang-undangan memberikan syarat formalitas tertentu terhadap
suatu kontrak. Contohnya pada saat terjadi jual beli tanah yang
merupakan kesepakatan yang harus dibuat dengan akta otentik yang
diterbitkan oleh notaris.
c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum atau pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat dari hukum kontrak perjanjian.
Asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak. Asas kepastian hukum ini diatur dalam pasal 1338 ayat (1)
35
Johanes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada Asas
Kebebasan Berkontrak, (Padjajaran, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat No.3-4,
Jilid XVII, 1987), h.55
34
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi “Bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak, misalkan
salah satu pihak ingkar janji atau yang biasa disebut sebagai
wanprestasi maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa pihak
yang melanggar itu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan isi kontrak. Bahkan dalam hal ini juga hakim dapat
memerintahkan bagi pihak yang melanggar untuk membayar ganti
rugi. Putusan pengadilan ini merupakan jaminan bahwa hak dan
kewajiban para pihak dalam kontrak perjanjian memiliki kepastian
hukum dan tentu saja secara pasti memiliki perlindungan hukum.36
d. Asas Itikad Baik (Good Faith / Tegoeder Trouw)
Asas itikad baik terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad yang baik.37
Asas itikad
baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.itikad baik adalah bersifat dinamis. Artinya dalam
melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati
sanubari seorang manusia.
Asas itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya relatif-subjektif
dan mutlak absolut-objektif. Pada itikad baik yang nisbi relatif-
subjektif, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad baik yang absolut-objektif atau hal yang sesuai
dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai
keadaan sekitar perbuatan hukumnya penilaian tidak memihak
36
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.25
37
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Penerbit PT.
Pradana Media Group, 2008), h. 4
35
menurut norma-norma yang objektif. Wirjono Prodjodikoro membagi
itikad baik menjadi dua macam, yaitu :
(a) Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum.
Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan
seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai
hubungan hukum telah terpenuhi.
(b) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang termaksud dalam hubungan hukum itu.
Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam
pasal 1338 (3) KUH Perdata bersifat objektif dan dinamis
mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya.
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Asas ini diatur dalam ketentuan
pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 berbunyi “Pada
umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.
Pada umumnya seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri.Pasal 1340 berbunyi “perjanjian hanya
berlaku antar pihak yang membuatnya.”dari rumusan tersebut dapat
diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi,
hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
2. Teori Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian merupakan syarat-syarat yang dimana
dalam perjanjian tersebut harus ada, maka perjanjian tersebut dinyatakan
sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Apabila tidak
terpenuhinya syarat-syarat perjanjian tersebut, maka perjanjian itu
menjadi tidak sah. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya
perjanjian terdiri dari :
36
a. Kesepakatan Mengikatkan Diri (Consesus)
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara
satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Adapun yang menjadi
indikator “sesuai” itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain. Pernyataan kesepakatan
bisa dilakukan secara tegas maupun secara diam-diam. Pernyataan
tegas dapat berupa lisan, tertulis atau dengan tanda isyarat. Sedangkan
pernyataan secara diam-diam tanpa sengaja terjadi kesepakatan yang
dinyatakan tidak secara tegas dan biasa terjadi dalam kehidupan kita
sehari-hari tanpa kita sadari. Seperti halnya seorang penumpang yang
naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada
kondektur kemudian pihak kondektur ini menerima uang tersebut
karena sudah mengantarkan orang tersebut sampai ditujuan. Dalam
hal ini secara tidak langsung telah terjadi kontrak meskipun tidak
dinyatakan secara tegas.
Persetujuan tersebut harus bebas dan tanpa adanya paksaan
atau intervensi dari pihak manapun. Karena kemauan yang bebas
merupakat syarat yang utama untuk terjadinya kontrak yang sah.
Apabila suatu perjanjian terjadi karena adanya paksaan (dwang),
kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) atau penipuan, maka perjanjian
tersebut dinyatakan tidak sah. Dalam Pasal 1321 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyatakan jika didalam berkontrak
terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka didalam perjanjian
tersebut terjadi cacat kehendak dan oleh karena itu perjanjian tersebut
harus dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak
sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian.
Seseorang dikatakan telah membuat perjanjian secara khilaf manakala
dia membuat perjanjian tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau
kesan yang ternyata tidak benar.38
38
H.R Daeng Naja, Contract Drafting, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2006),
h.86.
37
Untuk menentukan kapan suatu kesepakatan itu dapat terjadi,
terdapat empat teori yang menjelaskan tentang hal tersebut, yaitu:
(a) Uitings theorie atau teori saat melahirkan kemauan yang artinya
bahwa perjanjian terjadi apabila atas penawaran tertentu telah
dilahirkan kemauannya dari pihak lain. Kemauan dari pihak lain
tersebut dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain
memulai untuk menulis surat penerimaan atau menyatakan
kemauannya.
(b) Verzend theorie atau teori saat mengirim surat penerimaan,
menjelaskan bahwa perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan
dikirimkan kepada penawar.
(c) Onvangs theorie atau teori saat menerima surat penerimaan yang
artinya bahwa perjanjian terjadi pada saat penawar menerima
surat penerimaan dari pihak lain.
(d) Vernemings theorie atau teori saat mengetahui surat penerimaan,
menerangkan bahwa perjanjian baru terjadi apabila si penawar
telah membaca atau telah mengetahui isi surat penerimaan
tersebut.39
b. KecakapanBerkontrak (Capacity)
Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak
adalah kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Kecakapan disini artinya para pihak yang membuat suatu perjanjian
haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek
hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk
membuat suatu perjanjian. Kecuali orang-orang yang dinyatakan
sebagai tidak cakap hukum menurut Undang-Undang. Karena hukum
hanya mengatur segala yang tampak dari tingkah laku orang dalam
pergaulan hidupnya di masyarakat. Beberapa golongan orang-orang
yang dinyatakan tidak cakap hukum adalah sebagai berikut:
39
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.20.
38
(a) Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 18
tahun menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Meskipun belum berumur 18 tahun apabila seseorang
telah atau pernah menikah maka orang tersebut sudah dianggap
dewasa dan cakap untuk membuat perjanjian.
(b) Orang yang berada dibawah pengampuan yaitu orang yang tidak
dapat mengelola bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang
yang berada dibawah pengampuan, kedudukannya sama dengan
seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum
dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya maka seorang
dewasa yang berada dibawah pengampuan harus diwakili oleh
pengampu atau kuratornya. Dalam Pasal 433 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa setiap orang dewasa
yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, idiot, atau
mata gelap, harus dibawah pengampuan. Termasuk seseorang
yang yang sudah dewasa namun boros terhadap harta.
(c) Seorang perempuan yang dalam hal-hal telah ditetapkan oleh
Undang-Undang telah melarang membuat kontrak-kontrak
perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya perempuan
juga dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan Pasal 31
ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo. SEMA No.3 Tahun
1963.
c. Adanya Sesuatu Hal Tertentu (Certainty of Terms)
Sesuatu hal dapat diartikan sebagai obyek dari perjnjian.
Sehingga obye perjanjian haruslah sesuatu hal atau suatu barang yang
cukup jelas. Hal tersebut maksudnya obyek yang diatur di dalam
perjanjian tersebut harus lah obyek yang jelas, dan tidak boleh samar-
samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian
kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya perjanjian yang fiktif.
Misalnya perjanjian jual-beli sebuah mobil, haruslah jelas mobil apa
yang di jual-belikan, tahun berapa pembuatannya, warnanya apa,
nomor mesin berapa dan lain sebagainya. Hal tersebut jika semakin
39
jelas dalam penjelasannya maka akan semakin baik dan tidak boleh
hanya mengatakan penjualan mobil tanpa adanya keterangan yang
jelas.
d. Sebab Yang Halal (Legality)
Didalam Undang-Undang memang tidak disebutkan
pengertian mengenai suatu sebab (orzaak, causa). Adapun yang
dimaksud dengan sebab bukanlah merupakan sesuatu yang
mendorong para pihak untuk melakukan kontrak perjanjian. Karena
alasan yang membuat para pihak melakukan perjanjian itu tidak
menjadi perhatian yang umum. Maka dari itu adapun sebab yang tidak
diperbolehkan adalah jika isi kontrak perjanjian bertentangan dengan
Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum. Misalkan adalah
jual beli seorang bayi adalah tidak sah karena hal tersebut
bertentangan dengan norma hukum. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata memberikan kebebasan untuk melakukan kontrak perjanjian
kepada para pihak, baik itu secara tertulis maupun secara lisan, akan
tetapi tidak diperbolehkan jika hal tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang.40
Dari keempat syarat yang telah disebutkan diatas, dua syarat yang
pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-
orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.41
Suatu kontrak perjanjian tidak hanya mengikat apa saja yang
dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya kontrak perjanjian dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau norma hukum. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan
menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu kontrak
40
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.21-23
41
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 2005), h.17.
40
perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dimasukan kedalamnya. Kontrak
perjanjian yang sudah lahir tidak bisa ditarik kembali tanpa adanya izin
dari pihak lawan. Sehingga saat detik lahirnya kontrak perjanjian adalah
sangat penting untuk diketahui sebelum kontrak perjanjian tersebut
ditetapkan.
C. Studi (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang disusun oleh Bagus Try Prasetyo konsentrasi Hukum perdata
dagang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2010.
Berjudul “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan
Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi dan Waarmerking
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris”. Perbedaan skripsi tersebut dengan yang diangkat oleh peneliti
adalah bahwa dalam skripsi tersebut membahas mengenai akta dibawah
tangan yang sudah dilegalisasi oleh notaris, sedangkan yang menjadi
objek kajian dari peneliti adalah akta dibawah tangan yang belum di
legalisasi oleh notaris.
2. Skripsi yang disusun oleh Ibnu Ady Susilo, Prodi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Tahun 2016. Berjudul
“Perlindungan Hukum Terhadap Jual Beli Tanah : Praktek
Pemberian Kuasa Menjual Melalui Akta Otentik Notaris Didaerah
Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini lebih menjelaskan mengenai
analisis perlindungan akta notaris terhadap penjual dan pembeli yang
digunakan untuk perjanjian jual beli tanah dengan menggunakan
perantara surat kuasa. Perbedaan skripsi tersebut dengan yang diangkat
oleh peneliti adalah dalam skripsi tersebut yang dibahas adalah mengenai
perlindungan dari akta otentik notaris yang digunakan sebagai perjanjian
jual beli tanah dengan menggunakan perantara surat kuasa terhadap yang
dikuasakan masing-masing, sedangkan yang menjadi objek kajian dari
peneliti adalah kekuatan surat perjanjian utang piutang yang dijadikan
sebagai alat bukti di dalam persidangan menurut hukum acara yang
berlaku di Indonesia.
41
3. Buku yang bertemakan “Hukum Perikatan“ yang dikarang oleh
Lukman Santos AZ. Buku referensi ini berisi mengenai perjanjian
dibawah tangan termasuk ke dalam suatu akad berkontrak, yang dimana
dalam hal ini kedua belah pihak telah terikat dengan suatu perjanjian
secara tertulis. Adapun ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan
ini dari kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini perjanjian bisa
menjadi bentuk kontrak timbal balik atau kontrak sepihak.
4. Jurnal hukum yang berjudul “Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit Di
Bawah Tangan Pada Bank Perkreditan Rakyat” pengarang Ida Bagus
Gde Gni Wastu, jurnal hukum yang diterbitkan oleh Jurnal Ilmiah Prodi
Magister Kenotariatan 2017. Dalam jurnal ini pembahasan fokus pada
Pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan
menurut Hukum Perbankan baik Undang - Undang Perbankan maupun
Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU tentang Pedoman
Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang
mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank -
bank wajib mempergunakan/membuat perjanjian kredit secara tertulis,
yang jelas berbeda rujukan Undang-Undang dalam pembahasannya dari
jurnal ini.
42
BAB III
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI
PERJANJIAN UTANG-PIUTANG MELALUI LITIGASI
A. Utang-Piutang Dalam Perjanjian
1. Pengertian Utang-Piutang
Kata Pinjam-meminjam berasal dari Istilah verbruik-lening yang
mana kata verbuik berasal dari bahasa Belanda verbruiken yang memiliki
arti menghabiskan. Definisi mengenai pinjam – meminjam terdapat dalam
Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 1754 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang berarti suatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian. Dengan syarat dan
ketentuan bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.1
Menurut Gatot Supramono memberikan defenisi Utang-piutang
adalah Perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan
objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang yang dimana
kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman,
sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang dan uang yang telah
dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
yang diperjanjikan. Berdasarkan pengertian pinjam-meminjam itu, pihak
yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam dan
jika barang itu telah musnah dengan cara bagaimanapun, maka
kemusnahan itu adalah atas penanggungannya. Karena si peminjam telah
diberikan kekuasaan untuk menghabiskan atau memusnahkan barang
pinjaman, maka sudah semestinya dia dijadikan sebagai pemilik barang
itu. Akan tetapi selain sebagai pemilik dari barang tersebut, dia juga
memikul segala resiko yang akan ditimbulkan atas barang tersebut.
Pasal 1756 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai
perihal peminjaman uang, utang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri
atas jumlah uang yang telah disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum
1 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014), h.125.
43
saat pelunasan utang telah terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga
(nilai) atau adanya perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka
pengembalian jumlah yang telah dipinjam harus dilakukan dalam mata
uang yang berlaku pada waktu pelunasan. Hal ini dihitung menurut dari
harga atau nilai yang berlaku pada saat itu. Maka dengan demikian untuk
menetapkan jumlah uang yang terutang kita harus berpangkal pada
jumlah yang disebutkan dalam perjanjian.
Dalam menetapkan jumlah uang yang harus dibayar oleh si
berutang dalam perjanjian-perjanjian sebelum perang Dunia ke II terdapat
suatu yurisprudensi dari Mahkamah Agung yang terkenal yang menjadi
dasar untuk penilaian kembali jumlah yang terutang yaitu harga emas
sebelum perang dibanding dengan harga emas sekarang. Namun resiko
tentang kemerosotan dari nilai mata uang itu dipikul oleh masing-masing
pihak setengah. Pada mulanya putusan-putusan seperti itu diambil dalam
menetapkan jumlah uang tebusan dalam soal gadai tanah, tetapi kemudian
utang-piutang uang juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Yurisprudensi tersebut mencerminkan suatu pengetrapan dari asas itikad
baik yang harus di indahkan dalam hal pelaksanaan dari suatu perjanjian,
seperti halnya terkandung dalam Pasal 1338 ayat 3 B.W.2
2. Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Utang-Piutang
Perjanjian utang-piutang dapat terjadi karena dilatarbelakangi oleh
suatu sebab. Pada umumnya bentuk perjanjian utang-piutang
dimasyarakatdapat terjadi karena dua macam, yaitu karena murni adanya
utang-piutang dan karena dilatarbelakangi perjanjian lain.
a. Karena Murni Perjanjian Utang-piutang.
Perjanjian utang-piutang yang dimaksud disini adalah tidak
adanya suatu hal yang menjadi latar belakang lain dan perjanjian itu
dibuat karena hanya semata-mata untuk melakukan utang-piutang.
Misalnya seorang pedagang buah yang sedang kekurangan modal
untuk meningkatkan usahanya, lalu dia pergi ke bank untuk
2 R. Subekti, Aneka Perjanjian,... h.126-127.
44
meminjam uang daam bentuk kredit. Dalam hal ini dapat dilihat
bahwa terjadinya perjanjian karena murni kepentingan utang-piutang.
b. Karena Dilatarbelakangi Oleh Perjanjian Lain.
Lain halnya dengan perjanjian utang-piutang ini, terjadinya
perjanjian tersebut karena sebelumnya telah terjadi suatu perjanjian
lain yang melatarbelakangi perjanjian tersebut. Perjanjian sebelumnya
dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang-piutang yang
kedudukannya berdiri sendiri. Karena perjanjian yang sebelumnya
telah selesai dilaksanakan. Misalkan, dalam perjanjian jual-beli sepeda
motor secara kredit, setelah pembeli membayar uang muka dan
penjual menyerahkan sepeda motor, maka perjanjian jual beli ini
sudah selesai, dimana si pembeli sudah membayar harga sepeda motor
tersebut akan tetapi hanya sebagian. Sisa dari harga sepeda motor
yang belum dibayar merupakan utang bagi si pembeli. Maka dari itu
bisa dikatakan bahwa utang tersebut lahir karena adanya latarbelakang
dari perjanjian yang sebelumnya. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa
antara perjanjian jual-beli dengan perjanjian utang-piutang sama-sama
perjanjian pokok dan masing-masing dari perjanjian tersebut berdiri
sendiri.
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam suatu perjanjian yang bertimbal balik seperti halnya dengan
perjanjian utang-piutang ini, maka hak dan kewajiban kreditur bertimbal
balik dengan hak dan kewajiban debitur. Maka hak dari kreditur
merupakan kewajiban debitur, dan begitu pula sebaliknya, kewajiban dari
seorang kreditur merupakan hak dari seorang debitur.
a. Kreditur
Ketentuan dari perjanjian utang-piutang sebagaimana dapat
diketahui nahwa hal tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata mengenai kewajiban-kewajiban dari seorang
kreditur tidak banyak diatur, pada intinya kreditur wajib menyerahkan
uang yang akan dipinjamkan kepada debitur setelah terlaksananya
45
suatu perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1759 hingga Pasal 1761 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, memiliki ketentuan sebagai berikut:
(a) Pasal 1759 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa orang yang telah meminjamkan tidak boleh meminta
kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewat dari waktu
yang telah ditentukan dalam perjanjian.
(b) Pasal 1760 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa apabila dalam suatu perjanjian utang-piutang tidak
ditentukan jangka waktunya, dan pihak kreditur menuntut
pengembalian dari pinjamannya, dengan cara mengajukan suatu
gugatan perdata ke pengadilan, makadalam hal ini Hakim
berkuasa untuk menetapkan jangka waktu pengembalian utang
tersebut. Akan tetapi dengan mempertimbangkan keadaan debitur,
serta dapat memberikanbentuk kelonggaran untuk membayar
utang.
(c) Pasal 1761 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa jika telah diadakan suatu perjanjian, bahwa pihak yang
telah meminjam suatu barang atau sejumlah uang akan
mengembalikannya bilamana ia mampu unutk melakukan itu.
Maka Hakim mengingat keadaan dan akan menentukan waktu
dari pengembaliannya.
b. Debitur
Dalam Pasal 1763 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa orang yang menerima suatu pinjaman diwajibkan
untuk mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama pada
jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila dalam suatu perjanjian
tidak ditentukan jangka waktu dari pengembaliannya, maka Hakim
berkuasa untuk memberikan suatu kelonggaran bagi debitur sesuai
dengan ketentuan dari Pasal 1760 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
46
Akan tetapi jika debitur tidak mampu untuk mengembalikan
barang atau uang yang telah dipinjam dalam jumlah dan keadaan yang
sama, maka ia diwajibkan untuk membayar harganya, dalam hal ini
harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya menurut
ketentuan dari perjanjian harus dikembalikan. Menurut Pasal 1764
Kitab Undang-undang Hukum perdata jika waktu dan tempat tidak
ditentukan, harus di ambil harga barang pada waktu dan tempat
dimana perjanjian telah terjadi. Karena barang pinjaman harus
dikembalikan ditempat pinjaman itu telah terjadi dan juga dimana
tempat barang itu telah diterima oleh peminjam. Oleh karena itu
dalam Pasal 1764 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menetapkan
bahwa apabila tidak terdapat penunjukan tempat pengembalian, maka
harus dikembalikan pada tempat dimana perjanjian peminjaman telah
terjadi dan dalam menetapkan harga yang harus dibayar oleh debitur.3
B. Prestasi, Wanprestasi dan Jaminan
1. Prestasi (Prestatie, Performance)
Prestasi adalah kewajiban debitur untuk melaksanakan apa yang
telah diperjanjikan atau dengan kata lain prestasi merupakan pelaksanaan
dari hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh para pihak yang telah
mengikatkan diri sesuai dengan term dan condition sebagaimana telah
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Prestasi sama halnya dengan objek kontrak, karena dalam prestasi
kewajiban debitu selalu disertai oleh 2 hal yaitu schuld dan halftung.
Schuld merupakan utang debitu kepada kreditur, sementara halftung
adalah harta kekayaan debitur yang dipertanggung jawabkan untuk
pelunasan debitu tersebut. Dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur
baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada menjadi jaminan dari pemenuhan hutangnya terhadap kreditur.
3 R. Subekti, Aneka Perjanjian,... h.127-128.
47
Wujud dari suatu prestasi diatur dalam Pasal 1234 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang menytakan bahwa setiap kontrak adalah
untuk memberikan sesuatu (te geven), untuk berbuat sesuatu (te doen),
dan tidak berbuat sesuatu (niet doen). Prestasi dengan memberikan
sesuatu , yaitu menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitur
kepada kreditur termasuk pemberian sejumlah uang, dan termasuk
penyerahan hak milik atas benda yang bergerak dan tidak bergerak.
Sedangkan prestasi dengan berbuat sesuatu adalah kontrak untuk
mengerjakan sesuatu hal. Karena prestasi memiliki beberapa sifat yaitu:
a. Harus sudah tertentu dan dapat ditentukan, karena jika prestasi tidak
tertentu atau tidak dapat di tentukan dapat mengakibatkan batalnya
suatu perjanjian.
b. Harus mungkin, artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara
wajar dengan segala usahanya.
c. Harus diperboleh kan atau karena sebab yang halal, artinya hal ini
tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan
ketentuan yang ada.
d. Harus memiliki asas manfaat untuk kreditur, artinya kreditur dapat
menggunakan atau menikmati dan mengambil hasilnya.
e. Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan sesuai dengan
ketentuan perjanjian. Artinya apabila prestasi terdiri dari satu
perbuatan akan tetapi dilakukan dengan lebih dari satu perbuatan
makan perjanjian itu dinyatakan batal.4
2. Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu wanprestatie
yang berarti presatasi buruk atau cedera janji. Dalam bahwa Inggris
wanprestasi ini disebut breanch of contract yang bermakna tidak
dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh
kontrak. Secara etimologi wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang
dikarenakan adanya unsur kelalaian atau kesalahan dari salah satu pihak,
4Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis,... h.73-74.
48
karena tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
kontrak. Sedangkan pihak lain telah memberikan peringatan atau somasi
terhadapnya terlebih dahulu.
Menurut M. Yahya Harahap wanprestasi adalah pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Seorang debitur dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi
apabila dalam melakukan pelaksanaan prestasi kontrak telah lalai
sehingga terlambat dalam jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam
melaksanakan prestasi tidak menurut selayaknya atau sepatutnya.5
Sedangkan menurut Sri Soedewi Mashjoeri Sofyan bahwa wanprestasi
adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan yang terdiri dari dua
macam sifat yaitu atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak
secara sepatutnya dan terdapat hal-hal yang prestasinya tidak dilakukan
pada waktu yang tepat.6
Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa
yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu kesengajaan atau
kelalaian dari pihak debitur yang mengakibatkan ia tidak dapat memenuhi
prestasi yang seharusnya dipenuhi dalam suatu kontrak perjanjian dengan
seorang kreditur atau siberhutang. Adapun bentuk-bentuk dari
wanprestasi adalah sebagai berikut:
a. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukan7
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi,
perlu diperhatikan apakah dalam kontrak perjanjian tersebut telah
5M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Penerbit PT. Alumni,
1986), h.
6Sri Soedwi Mashjoeri Sofyan, Hukum Perutangan, (Yogyakarta: Penerbit Bagian Seksi
Hukum Perdata Universitas Gajah Mada,1980), h.12.
7 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit PT. Intermasa, 1987), h.15
49
ditentutkan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi. Karena
perlu mengingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya. Tetapi
dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentua pasal
1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata debitur dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Dengan adanya keterlambatan atau kelalaian dalam pemenuhan
prestasi oleh debitur, maka akan adanya akibat hukum yang ditimbulan
dari wanprestasi yaitu:
a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi
b. Kreditur dapat meminta pembatalan kontrak perjanjian melalui
pengadilan
c. Kreditur dapat meminta pemenuhan dari kontrak perjanjian ataupun
pemenuhan dari kontrak perjanjian yang disertai dengan ganti rugi
atau pembatalan kontrak dengan ganti rugi8
Kelalaian ini harus dinyatakan secara resmi, yaitu dengan
peringatan atau sommatie oleh juru sita di pengadilan atau juga cukup
dengan surat tercatat, agar hal ini tidak mudah dipungkiri oleh pihak
berhutang sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan peringatan tersebut harus secara tertulis. Ada
berbagai kemungkinan yang bisa dituntut terhadap debitur yang lalai,
yaitu:
a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan kontrak perjanjian meskipun
pelaksanaan ini sudah terlambat.
b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian, yaitu kerugian yang
dideritanya karena kontrak perjanjian tidak atau terlambat dilaksnakan
sebagaimana mestinya.
c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan kontrak perjanjian yng disertai
dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat
dari keterlambatan pelaksanaan kontrak.
8 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Prespektif BW, (Bandung: Penerbit PT.
Nuansa Aulia, 2012), h.176.
50
d. Dalam hal suatu kontrak perjanjian yang meletakan kewajiban timbal-
balik, kelalaian satu yang lain untuk meminta kepada hakim supaya
kontrak perjanjian tersebut dibatalkan. Hal ini disertai dengan
permintaan penggantian atas kerugian sesuai dengan ketentuan Pasal
1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, maka penggantian kerugian dapat dituntut sebagai berikut:
a. Biaya-biaya yang sesungguhnya telah dikeluarkan (konsten)
b. Kerugian yang sesungguhnya menimpa harta benda dari si berpiutang
(schaden)
c. Kehilangan keuntungan (interessen) yaitu berupa keuntungan yang
akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai
Seorang debitur yang dituduhkan cederai janji dan telah dituntut
hukuman kepadanya dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari
hukuman yang akan diberikan dengan cara mengajukan beberapa alasan.
Pembelaan tersebut terbagai menjadi 3 macam, yaitu:
a. Karena adanya keadaan yang memaksa (overmacht atau force
majeur)
b. Mengajukan pembuktian bahwa pihak kreditur juga telah lalai
(exeptio non adimpleti contractus)
c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntu
ganti rugi (rechtvenverking)
3. Jaminan Utang
Jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor
atas pembayaran utang yang telah diberikannya kepada kreditor, dimana
hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang
bersifat assessoir terhadap suatu perjanjian pada pokoknya berupa
perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.9
9 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, ( Jakarta: Penerbit PT. Erlangga, 2013), h.8
51
Istilah jaminan ini merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,
yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie hal ini mencakup secara
umum cara-cara kreditur menjamin untuk dapat dipenuhi tagihannya,
disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-
barangnya. Selain itu istilah jaminan, dikenal juga dengan sebutan
agunan. Istilah agunan dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 23 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.10
Ragam jaminan utang dapat dikatakan bahwa suatu jaminan kredit
memiliki banyak ragam bentuknya. Akan tetapi dalam hal ini penulis
akan menggolongkan ke dalam beberapa golongan tergantung pada
kriteria yang akan kita gunakan, antara lain yaitu:
a. Jaminan umum dan jaminan khusus
Jaminan umum adalah jaminan dari pihak debitor yang terjadi
secara by the operation of law dan merupakan mandatory rule: barang
bergerak ataupun tidak bergerak milik debitor menjadi tanggungan
utangnya kepada kreditor. Dasar hukumnya adalah pasal 1131 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Dengan begitu apabila seorang
debitur dalam keadaan wanprestasi, maka lewat kewajiban jaminan
umum ini kreditur dapat meminta kepada pihak pengadilan untuk
menyita dan melelang seluruh harta debitur.
Jaminan utang khusus adalah setiap jaminan yang bersifat
kontraktual, yakni yang terbit dari suatu perjanjian tertentu atau tidak
timbul dengan sendirinya. Ada yang memang khusus diajukan
terhadap barang-barang tertentu seperti halnya gadai, hipotek,
asuransi, tagihan, atau hak retensi yang tidak diajukan terhadap barang
tertentu.11
b. Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan
10
www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-jaminan.html 11
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang,... h.9
52
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang mempunyai hubungan
langsung dengan benda tertentu. Karena jaminan ini selalu mengikuti
bendanya, kemanapun benda tersebut beralih atau dialihkan. Jaminan
kebendaan yang bersifat khusus mencakup penentuan atau penunjukan
atas benda tertentu milik debitur atau milik pihak ketiga untuk menjadi
jaminan utangnya kepada kreditur. Apabila debitur wanprestasi atas
pembayaran utangnya maka hasil dari penjualan benda objek jaminan
tersebut harus terlebih dahulu dibayarkan kepada kreditur yang
bersangkutan untuk melunasi pembayaran utangnya.
Jaminan perorangan adalah jaminan yang hanya mempunyai
hubungan langsung dengan pihak pemberi jaminan, bukan terhadap
benda tertentu. Jaminan perorangan ini hanya dapat di pertahankan
terhadap orang tertentu saja. Karena seorang kreditur lewat jaminan ini
dapat mengambil harta debitur yang wanprestasi dengan atau tanpa
perantara sebagai sita jaminan.
c. Jaminan regulatif dan jaminan non regulatif
Jaminan regulatif adalah jaminan kredit yang kelembagaannya
sendiri sudah diatur secara eksplisit dan sudah dapat pengakuan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan jaminan non
regulatif adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur atau tidak
khusus diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetapi
dikenal dan dilaksanakan dalam praktik.12
C. Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Litigasi
Litigasi merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa melalui jalur
Pengadilan. Dalam hal ini semua pihak yang sedang bersengketa akan saling
berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah sebuah putusan dari Majelis Hakim yang menyatakan win or lose
solution. Dalam hal penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan dapat
juga disebut sebagai hukum acara perdata, karena mengatur tentang
sebuah proses penyelesaian perkara melalui sebuah Pengadilan Umum yang
12
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang,... h.13
53
secara formal diakui telah sah menurut undang-undang. Hukum acara perdata
mempertahankan berlakunya hukum perdata agar hak dan kewajiban pihak-
pihak diperoleh dan dipenuhi sebagaimana mestinya.13
Perkara perdata dapat terjadi karena adanya pelanggaran terhadap hak
seseorang, seperti diatur dalam hukum perdata. Pelanggaran hak seseorang itu
dapat terjadi karena perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian
bagi orang lain atau karena wanprestasi. Perkara perdata adalah suatu perkara
perdata yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dalam
hubungan keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan
melalui pengadilan.
(a) Tahap Administrasi
Tahap administratif adalah hal-hal yang berhubungan dengan
gugatan dan yang harus dilakukan pengadilan negeri sehubungan dengan
gugatan penggugat. Tahap administratif terdiri dari :
a. Pendaftarkan gugatan
Sebuah gugatan telah siap maka pihak dari penggugat atau
wakilnya mendaftarkan gugatan tersebut kepada panitera perdata
pengadilan dengan membayar uang pendaftaran atau yang biasa
disebut dengan persekot atau biaya panjar untuk berperkara sesuai
dengan yang telah di tentukan oleh pihak Pengadilan.
Selain itu biaya gugatan akan bergantung pada domisili atau
alamat dari pihak tergugat. Maksudnya adalah dalam hal ini pihak
tergugat berada diwilayah pengadilan mana tergugat itu tinggal.
Apabila domisili atau tempat tinggal diluar dari wilayah gugatan,
maka biayanya akan bertambah. Hal ini dikarenakan panggilan atau
surat menyurat tergugat akan di sampaikan melalui pengadilan dimana
tergugat tinggal. Karena hal itu termasuk pemanggilan yang dilakukan
secara delegasi yang artinya pemanggilan disampaikan pengadilan
13
https://www.suduthukum.com/2017/03/penyelesaian-sengketa-melalui.html
54
yang mengadili kepada tergugat melalui pengadilan diwilayah lain
sesuai dengan domisili tergugat.14
b. Penetapan hakim majelis dan panitera penganti
Pihak ketua pengadilan akan mengeluarkan surat penetapan
majelis hakim untuk memeriksa gugatan tersebut, yang terdiri dari
ketua majelis dan anggota majelis. Selain itu juga pihak pengadilan
negeri juga menetapkan panitera pengganti (clerk) dalam pemeriksaan
perkara tersebut. Panitera pengganti adalah petugas atau sekretaris
majelis hakim yang mencatat seluruh tindakan dalam proses
pemeriksaan perkara yang penting dan relevan yang dituangkan dalam
berita acara persidangan.15
c. Penetapan sidang dan pemanggilan juru sita kepada para pihak
Setelah selesai penetapan hakim majelis oleh pihak pengadilan
maka yang selanjutnya adalah penatapan hari pertama sidang yang
akan di buat secara bersamaan dengan berita acara pemanggilan oleh
juru sita kepada para pihak. Juru sita atau bailif adalah petugas
pengadilan yang memiliki tugas berkaitan dengan penyampaian surat-
surat untuk pengadilan tentang persidangan bagi para pihak yang
berperkara. Pemanggilan ini dapat diartikan sebagai penyampaian
pemberitahuan secara resmi oleh juru sita atas perintah dari majelis
hakim, baik itu ditunjukan untuk pihak penggugat maupun pihak
tergugat untuk menghadiri persidangan atas sebuah perkara yang telah
resmi didaftarkan.16
Ada yang memfokuskan tugas juru sita dengan pemanggilan
persidangan, meskipun demikian makna panggilan tidaklah diartikan
secara harafiah karena itu termasuk pemberitahuan atau penyampaian
14
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,
(Jakarta: Penerbit PT. Erlangga, 2015), h. 113
15
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.114
16
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.114
55
penetapan pengadilan kepada para pihak yang dimaksudkan.
Pemanggilan itu dibagi menjadi tiga, yaitu:
(a) Pemangilan yang harus dijalankan sebelum pemeriksaan
persidangan dimulai.
(b) Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan
persidangan dimulai.
(c) Pemanggilan yang harus dijalankan setelah selesai sebelum
pemeriksaan setelah putusan.17
2. Tahap Yudisial
Tahap Yudisial yaitu sebuah tahapan yang meliputi pemeriksaan
dan tindakan hukum sejak hari pertama sidang sampai dengan putusan
hakim. Tahap yudisial terdiri dari:
a. Pemeriksaan perkara
Pada persidangan pertama akan dilakukan nya upaya
perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 H.I.R dan Pasal 154 Rbg
yang pada intinya dalam suatu perkara yang berjalan hakim akan
mendamaikan para pihak. Akan tetapi sebelum adanya mediasi untuk
perdamaian maka hakim akan memeriksa terlebih dahulu dari
kelengkapan berkas dari perkara tersebut, antara lain mengenai apakah
dari penggugat dan tergugat hadir atau tidak.
Apabila salah satu pihak tidak hadir, maka hakim akan
memeriksa catatan dari juru sita tersebut dalam relaas panggilan
tersebut yang telah disampaikan juru sita kepada para pihak. Akan
tetapi jika salah satu pihak tidak hadir atau dinyatakan tidak lengkap
antara pihak penggugat dan tergugat maka persidangan secara formal
akan ditunda dalam kurun waktu satu minggu.18
b. Proses mediasi
Perdamaian dengan cara mediasi ini tercantum sesuai dengan
Pasal 1 angka 7 PERMA No. 01/2008 ialah penyelesaian sengketa
17
Soebyakto, Kejurusitaan (Jakarta: Penerbit PT. Djambatan, 1995), h.33
18
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.118
56
melalui proses perundingan dengan perantaraan mediator. Dalam hal
ini mediator tersebut dapat berasal dari seorang hakim, akademisi,
advokat, atau pihak lain yang telah bersartifikasi.
Apabila para pihak setuju menggunakan mediator yang
tersedia dipengadilan, maka hakim akan menyarankan kepada para
pihak untuk menghubungi panitera pengganti yang selanjutnya akan
bertemu dengan mediator. Mediator yang telah dipilih akan
memimpin jalannya mediasi yang pada intinya dalam proses ini
mediator akan mengarahkan kepada para pihak untuk melakukan satu
kesepakatan dengan tujuan sebuah perdamaian.19
c. Pembacaan gugatan
Pembacaan gugatan ini dilakukan karena tidak tercapainya
kesepakatan damai yang dilakukan pada saat proses mediasi. Akan
tetapi sebelum dilakukan nya pembacaan gugatan oleh majelis hakim
tersebut, pihak majelsi hakim telah menerima laporan dari mediator
menganai hasil yang dicapai dalam proses mediasi, dimana para pihak
ternyata tidak mencapai perdamaian. Karena perdamaian tidak
tercapai tentu dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara.
Pembacaan gugatan ini akan disampaikan dan dibacakan oleh
pihak majelis hakim dengan sebaik-baik nya agar para pihak dapat
mengerti maksud dan tujuan yang terdapat dari gugatan tersebut.
Kemudian para pihak juga diperkenankan untuk menanyakan sesuatu
perihal gugatan tersebut apabila masih ada kegamangan atau
kebimbangan mengenai isi gugatan.20
d. Penyampaian jawaban oleh tergugat
Jawaban adalah tanggapan dari tergugat atas dalil-dalil atau
hal-hal yang telah dikemukakan penggugat dalam surat gugatanya
untuk mencapai tuntutannya. Dalam sebuah gugatan, pengugat akan
mengemukakan sebuah peristiwa, dimana dengan peristiwa tersebut
19
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil, h.119-
120
20
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.
127
57
tergugat dinyatakan telah melakukan sebuah wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum.
Dengan perihal tersebut pada intinya dalam petitum pengugat
mohon kepada hakim untuk melunasi kewajiban tertentu atau mohon
suatu pembatalan perjanjian para pihak. Oleh karena itu dalam
menyampaikan jawabannya tergugat haruslah mencermati pula apakah
dalam gugatan tersebut penggugat mengemukakan:
(a) Alasan hukum
(b) Pendapat pengadilan (yurisprudensi)
(c) Doktrin hukum
Jawaban tergugat tergantung dari isi gugatan penggugat untuk
mencapai tujuan dari tuntutannya. Apabila penggugat meminta provisi
maka sudah tentu pihak tergugat harus menjawabnya. Selain itu juga
tergugat memiliki hak untuk mengajukan eksepsi atau tidak. Jika
pihak tergugat merasa perlu mengajukan eksepsi atau jawaban, maka
tergugat harus mengemukakan jawaban yang berlandaskan dengan
argumentasi hukumnya.
e. Penyampaian replik oleh penggugat
Apabila pihak tergugat telah menyampaikan jawabanya, maka
hakim akan memberikan kesempatan kepada penggugat pada
persidangan yang berikutnya untuk menyampaikan replik. Dalam
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia replik ini
dapat diartikan sebagai jawaban atas jawaban. Replik bisa dikatakan
juga sebagai tanggapan penggugat atas jawaban tergugat.21
Replik ini akan menjadi sangat penting apabila tergugat
mengajukan eksepsi dan gugatan rekopensi. Karena dalam sebuah
eksespsi memaparkan sebuah argumen agar gugatan tidak dapat
diterima, selain itu juga dalam rekopensi tergugat juga dapat meminta
sesuatu yang dapat merugikan pihak tergugat. Maka dari itu replik ini
21
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil..., h.
167
58
menjadi sangat penting bagi pihak penggugat untuk menjawab atas
jawaban dari pihak tergugat yang bisa saja merugikan pihak tergugat.
f. Penyampaian duplik oleh tergugat
Jika pihak penggugat mengajukan replik, maka tergugat juga
memiliki hak yang sama untuk mengajukan duplik. Dalam Kamus
Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, duplik ini
diartikan sebagai jawaban lanjutan dari terdakwa atas replik
penggugat dalam perkara perdata.22
Maksudnya adalah setelah
penggugat mengajukan replik maka tergugat dapat menyampaikan
tanggapan berupa duplik. Karena duplik ini diajukan oleh tergugat
sebagai jawaban atau tanggapan atas replik penggugat.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa replik pada
perinsipnya hanya pengulangan dalil gugatan penggugat. Karena
sebagaimana dapat diketahui bahwa penggugat tidak dapat mengubah
gugatanya kecuali hal-hal yang menyangkut yang tidak menyangkut
perihal pokok. Demikian pula dengan duplik hanya bentuk
pengulangan atas jawaban sebelumnya, namun dalam hal ini tergugat
lebih mempertajam jawaban tersebut.
g. Pembuktian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bukti ini berasal
dari terjemahan bahasa Belanda yaitu bewjis yang diartikan sebagai
sesuatu yang menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa. Dalam
kamus hukum, bewjis ini diartikan sebagai segala sesuatu yang
memperlihatkan kebenaran dari fakta tertentu atau ketidakbenaran dari
fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan guna memberi
bahan kepada hakim bagi penilaiannya.23
Sementara itu membuktikan
berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai
proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Pembuktian adalah suatu
perbuatan untuk membuktian akan suatu fakta. Membuktikan berarti
22
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.
168
23
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia, 1986), h.83.
59
memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai
kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan
meyakinkan.24
Menurut H. Syafrudin Makmur pembuktian adalah segala
sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan
kebenaran sesuatu, secara terminologi pembuktian berati memberi
keterangan dengan dalil hingga meyakinkan.25
Karena membuktikan
ialah meyakinkan seorang hakim tentang suatu kebenaran dari suatu
salil atau dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Menurut Anshoruddin dengan mengutip beberapa
pendapat yang mengartikan pembuktian sebagai berikut:
(a) Menurut Muhammad at Thohir Muhammad ‘Abd al ‘Aziz adalah
membuktikan suatu perkara adalah memberikan keterangan dan
dalil hingga dapat meyakinkan orang lain.
(b) Menurut Shobi Mahmasoni bahwa membuktikan suatu perkara
adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada
batas yang meyakinkan. Artinya segala hal yang menjadi
ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.26
Tujuan dari pembuktian adalah agar putusan hakim didasarkan
pada bukti-bukti tersebut, agar hakim dapat memberi putusan yang
definitif, pasti dan tidak meragukan.27
Oleh karena itu tujuan dari
adanya pembuktian baik dari pihak penggugat maupun dari pihak
tergugat adalah untuk membuktikan dalil masing-masing. Dalam hal
ini penggugat dimaksudkan untuk membuktikan peristiwa hukum
yang telah dijabarkan dalam bentuk posita agar seluruh petitumnya
24
Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Penerbit PT. Balai Pustaka, 1990), h.133.
25
Syafrudin Makmur, Pendampingan Tahap Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Proses
Pidana, (Pamulang: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014), h.10
26
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Penerbit PT. Pustaka Pelajar, 2004), h. 25-26.
27
Mertokusumo Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010), h.93.
60
dapat dikabulkan. Sedangkan bagi pihak tergugat tujuan dari
pembuktian adalah untuk membuktikan bahwa dalil-dalil penggugat
dalam posita tidak terbukti sehingga petitum penggugat akan ditolak
seluruhnya oleh hakim. Dalam perihal pembuktian, maka yang harus
dibuktikan ialah peristiwa atau hubungan hukumnya. Artinya
hubungan antara pihak penggugat dan pihak tergugat dan bukan
mengenai hukumnya, karena mengenai hukum hakim dianggap lebih
tahu.28
Dalam hal ini para pihak cukup mengungkapkan akan
kebenaran dari dalilnya masing-masing atas suatu fakta.
h. Penyampaian kesimpulan
Kesimpulan dapat diartikan dengan conculsion atau resume
dari gugatan dari seluruh hasil persidangan, yang diajukan penggugat
atau tergugat pada akhir persidangan.29
Praktik pengajuan kesimpulan
tersebut sangat beragam. Ada sebagian hakim yang menawarkan
kepada para pihak apakah akan menyampaikan kesimpulan atau tidak.
Ada juga dalam praktik para pihak seakan setuju dengan kesimpulan,
sehingga hakim akan menanyakan langsung kepada para pihak kapan
kesimpulan akan diserahkan atau diajukan.
Kesimpulan akan dibuat setelah tidak ada bukti-bukti lagi yang
akan disampaikan oleh para pihak kepada hakim. Apabila para pihak
mengatakan sudah cukup mengenai pembuktian maka acara
persidangan dilanjutkan dengan agenda kesimpulan tersebut. Hal ini
juga merupakan puncak dari proses persidangan sebelum
dijatuhkannya putusan oleh mejelis hakim, maka dari itu hakim akan
menilai kesimpulan dari dua sisi yaitu:
(a) Sisi penggugat
Kesimpulan penggugat tentu akan didasari oleh dalil penggugat
atau sesuai dengan isi posita yang dikaitkan dengan petitum
28
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,... h.268.
29
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.
201
61
untuk menguatkan dalil-dalil agar gugatannya dapat dikabulkan
oleh majelis hakim.30
(b) Sisi tergugat
Kesimpulan dari tergugat sudah pasti akan berbalikan dari
kesimpulan penggugat. Karena isi kesimpulan tergugat adalah
untuk menolak gugatan yang diajukan. Tergugat dalam hal ini
akan selalu berusaha mengatakan dalil penggugat tidak terbukti.31
i. Putusan majelis hakim
Putusan yang di katakan oleh hakim adalah pernyataan hakim
sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan untuk mengakhiri dan
menyelesaikan sebuah perkara diantara para pihak.32
Waktu
penjatuhan putusan paling lambat enam bulan dari waktu tidak
tercapainya perdamaian dari mediasi, yang konsepnya sudah jadi pada
saat pembacaan putusan. Lewat dari waktu diatas majelis hakim harus
melaporkan kepada ketua pengadilan tinggi melaluiketua pengadilan
negeri dengan menyampaikan alasan.33
Dalam membuat putusan tersebut majelis hakim harus
mempertimbangkan dengan cermat dalil-dalil penggugat dan tergugat
serta bukti-bukti yang telah diajukan oleh para pihak. Dalam membuat
putusan tersebut, sejumlah asas harus dipenuhi oleh hakim agar
putusannya didasarkan pada pertimbangkan hukum yang tepat dan
benar. Asas itu dapat disebut juga sebagai pengertian dan nilai-nilai
yang menjadi titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan
interpretasi undang-undang tersebut.34
30
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.202
31
V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil,... h.205
32
Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,... h.271 33
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata
Khusus, Buku ke II, h.21 34
Theo Hujibers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius, 1995), h.81
63
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI CIBINONG NOMOR : 47 /
PDT.G / 2017 / PN.Cbi
A. Posisi Kasus Dalam Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor : 47 /
PDT.G / 2017 / PN.Cbi
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis mengaitkan permasalahan
dalam penelitian tentang kekuatan hukum alat bukti surat perjanjian dibawah
tangan dalam sengketa kasus utang-piutang dengan suatu kasus seperti
berikut:
Ir. Budiyono yang bertempat tinggal di jalan Mandor Hasan Rt.004,
Rw.006, No.27, Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta
Timur, dalam hal ini memberikan kuasa kepada H. Syafrudin Makmur, S.H.,
M.H., Advokat yang beralamat di Jalan Karyawan No.8, Kedaung Pamulang,
Tanggerang Selatan berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 1 Februari
2017.Dalam hal ini melawan Dinda Sri Mintarsih yang beralamat di Jalan
Golf Estate Bogor Raya Blok H.3, No.9, Rt.001, Rw.004, Desa Sukaraja,
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.
Kejadian ini berawal pada saat reuni sekolah SMAN 42 Jakarta yang
dilaksanakan tanggal 1 sampai dengan 5 November 2013 di Kota Malang,
Jawa-Timur, Penggugat bertemu dengan Saudari Tergugat (Dinda Sri
Mintarsih) dan temannya bernama Saudara Achmadi.
Pada tanggal 2 November 2013, di Kota Malang Tergugat bersama
temannya bernama Achmadi berkunjung ke kamar penginapan Penggugat
menunjukkan gambar-gambar pusaka keluarganya, seperti Samurai, Batu
Giok dan lain-lainnya yang harganya cukup fantastis.
Pada tanggal 4 November 2013, teman dari Tergugat yang bernama
Achmadi datang ke kantor Penggugat menyerahkan tagihan tiket pesawat
Batik Air seharga Rp 1.500.000,-(satu juta lima ratus ribu rupiah), setelah
dibayar oleh Penggugat, Saudara Achmadi menyampaikan pesan dari
Tergugat “pinjaman uang untuk dijadikan Sponsor Penjual Samurai Tombol 3
64
milik Tergugat” serta sejak tanggal 4 November 2013 Saudara Achmadi
sering datang ke kantor Penggugat membicarakan hal tersebut diatas sehingga
akhirnya Penggugat katakan :”Sudah Dinda Sri Mintarsih (Tergugat) suruh
ketemu Saya (Penggugat)”.
Tergugat datang ke kantor Penggugat bersama saudara Achmadi pada
tanggal 15 November 2013, untuk membicarakan tentang Samurai dan
pinjaman dana untuk sponsor dan Penggugat jawab :” Penggugat penuhi
pinjaman untuk sponsor tersebut, jika ada jaminan yang setara dengan
pinjaman dan dapat sewaktu-waktu bisa dijual, digadaikan di Bank atau
dimiliki oleh Penggugat”, sehubungan Tergugat tidak dapat menunjukan
jaminan apa-apa, Penggugat berikan Pinjaman Sponsor kepada Tergugat
sebesar Rp 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) yang dibayarkan oleh Ir. Siti
Rochmah (Bukti P-1)
Tanggal 25 November 2013, bertempat di ruang Majelis Umum
Yayasan Masjid PB. Sudirman yang beralamat di Jalan Raya Bogor Km 24,
Cijantung, Jakarta-Timur telah terjadi kesepakatan yang tertuang dalam Surat
Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat tentang Pinjaman sebesar Rp
250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah) sebagai Sponsor yang
dipergunakan untuk mengurus administrasi dan perbaikan Pedang King Rool
Jepang milik Tergugat dan memberikan Jaminan berupa Surat Girik Tanah
dengan C. 5495 milik atas nama Nyonya Nasipah, terletak di Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Kota Jakarta-Timur, Kecamatan Makasar, Kelurahan
Makasar, Jalan Dago, RT 016, RW 03, seluas 150 M2 (seratus lima puluh
meter persegi) kepada Penggugat yang dipergunakan sebagai Jaminan yang
tertera dalam Akta Pembagian Hak Bersama, Nomor : 5038/2013, tanggal 19
Desember 2013, oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Zainal Almanar,
S.H., M.K.n (Bukti P-2).
Berdasarkan Jaminan berupa Surat Girik Tanah, Nomor C 5495 atas
nama Nyonya Nasipah tersebut, Tergugat Memperoleh dan menjadi
Pemegang Tunggal dari Hak Bersama sebagaimana diuraikan diatas dalam
halaman 2, point a dari Akta Pembagian Hak Bersama Nomor : 5038/2013,
65
yaitu seluas 100 M2 (seratus meter persegi), berikut bangunannya, dengan
batas-batas : (Bukti P-3)
a. Sebelah Utara dengan tanah Djeni;
b. Sebelah Timur dengan tanah Aglis Setiawan;
c. Sebelah Selatan dengan tanah Patmah;
d. Sebelah Barat dengan tanah Patmah;
Penggugat mencairkan uang sebesar Rp 240.000.000,-(dua ratus empat
puluh juta rupiah) pada tanggal 26 November 2013 yang kemudian diserahkan
kepada kepada Tergugat setelah dibayarkan oleh Ir. Siti Rochmah setelah
disetujui oleh Penggugat yang sebelumnya telah diberikan sebesar Rp
10.000.000,(sepuluh juta rupiah) (Bukti P-4).
Tanggal 2 Januari 2014 Tergugat menghadap Penggugat lagi dan
meminta tambahan hutang sebesar Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah),
mengingat akan kedatangan undangan orang Jepang, Mr. Takano yang akan
membeli pedang tersebut sehingga diperlukan biaya tambahan operasional dan
atas bujuk rayu Tergugat tersebut, Penggugat menyetujui lagi tambahan hutan
sebesar Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), yang dibayarkan oleh Ir. Siti
Rochmah yang diterima oleh Tergugat, sehingga total pinjaman sebesar Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) (Bukti P-5). Kemudian pada tanggal 14
Januari 2014 Penggugat memberikan pinjaman kepada Tergugat sebesar Rp
2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk kepemilikan Samurai (Bukti P-6)
Pertengahan bulan Januari dan akhir Februari 2014 Penggugat diantar
Saudara Achmadi mengecek hasil kerja Tergugat, ternyata samurai tersebut
tidak dapat berfungsi atau macet, sehingga tidak ada satupun pembeli yang
berminat. Dan pada awal bulan Maret 2014 Penggugat sudah memohon agar
uang pinjaman tersebut dikembalikan, karena uang tersebut akan Penggugat
gunakan untuk kepentingan lain dan sejak saat itu Tergugat selalu menjanjikan
yang muluk-muluk sebagai berikut:
a. Menunjukkan deposito warusan uang senilai 20 Trilyun yang dapat
dicairkan di Korea;
66
b. Batu giok yang harganya ratusan milyard dan samurai bermacam-macam
yang triliyun semuanya ada digambar hpnya untuk meyakinkan
korbannya;
c. Akan mendapatkan warisan sebanyak 6 peti uang polimer/plasik nominal
100.000 an Yang satu petinya berisi 64 Milyard jadi totalnya warisan
tersebut senilai 384 Milyar yang sudah tersedia di gudangnya hanya
tinggal mencari biaya pengangkutannya saja;
d. Dan lain-lain janji yang tak pasti diucapkan bahwa semua ini akan cair
sehingga ia akan kaya raya dan orang mendengarnya diajak untuk
menikmati kekayaannya itu;
Akan tetapi pada tanggal 16 Juni 2014 benda tersebut dinyatakan tidak
berfungsi, maka dibuatlah Surat Pernyataan tentang SAMURAI TIDAK
MEMENUHI KRITERIA oleh Penggugat yang disaksikan oleh para saksi
(Bukti P-7).
Namun karena merasa tergugat ingin mengusahakan kembali benda
tersebut, maka tanggal 27 November 2014 dengan sangat terpaksa Penggugat
berikan pinjaman lagi sebesar Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) kepada
Tergugat atas desakan yang meyakinkan yang diserahkan oleh Saudara Achmadi
atas persetujuan Penggugat (Bukti P-8).
Mulai tanggal 1 Desember 2014, Penggugat menagih Tergugat hampir
tiap hari lewat SMS dan Hp. Tidak ada jawaban dan tanpa hasil yang
diharapkan. Sampai dengan tanggal 16 Februari 2015 Penggugat mengirim surat
kepada Tergugat perihal pengosongan rumah tinggal sesuai jaminan yang
diserah kepada Penggugat, tapi tidak digubris sama sekali (Bukti P-9);
Dalam perjalanan kasus ini Penggugat sempat dirawat di Rumah Sakit,
mengeluarkan biaya, tidak terpenuhinya kewajiban utama selaku Kepala
Keluarga dan tidak fit dalam berkonsentrasi pekerjaan (Bukti P-10)
Bahwa sampai batas yang ditagih oleh Penggugat, ternyata Tergugat
tidak mau melunasi kewajiban hukumnya untuk membayar lunas utangnya
tersebut kepada Penggugat.
67
Berdasarkan adanya perihal sebagaimana yang dijelaskan diatas sebagai
akibat adanya ingkar janji ini yang dilakukan oleh Tergugat patut secara hukum
Penggugat mengalami kerugian materiil terdiri dari akibat adanya pinjaman
sebesar Rp 352.000.000,- (P-1 s/d P-8) + Kerugian atas kesehatan Penggugat
sebesar Rp 8.108.747,- (P-10) + Biaya Perkara sebesar Rp 1.921.000,- (P-11) +
Biaya Advokat sebesar Rp 113.325.000 (P-12) + Transportasi dan Akomodasi
sebesar Rp 90.000.000,- (P-13) selama persidangan. Jumlah kerugian materiil
sebesar Rp 565.354.747,- (lima ratus enam puluh lima juta tiga ratus lima puluh
empat ribu tujuh ratus empat puluh juta rupiah).
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim
1. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan dari seorang hakim dalam mengambil sebuah
keputusan dari kasus perkara ini akan menjadi salah satu sumber yang
cukup baik bagi penulis untuk menyelesaikan karya tulisan ini.
Pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Cibinong Kelas 1A dalam
Putusan NO.47/Pdt.G/2017/PN.Cbi tanggal 22 November 2017 sebagai
berikut:
Menimbang bahwa sehubungan dengan pembuktian perkara
perdata masing-masing pihak membuktikan apa yang telah didalilkan,
dimana Penggugat membuktikan apa saja yang telah diuraikan dalam
surat gugatannya, selanjutnya mengacu pada Pasal 1865 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak guna menegakkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu
peristiwa diwajibkan untuk membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut”.
Menimbang bahwa setelah mencermati isi dari gugatan, bukti-
bukti serta kesimpulan yang telah diajukan, maka dapat disimpulkan yang
menjadi permasalahan pokok yang harus dibuktikan dalam gugatan ini
adalah perbuatan apa yang telah dilakukan oleh Tergugat sehingga
68
perbuatan tersebut dapat dikategorikan telah melakukan tindakan ingkar
janji (wanprestasi) kepada Penggugat.
Menimbang bahwa hal pokok untuk dapat menentukan ada atau
tidaknya suatu perbuatan ingkar janji (wanprestasi) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
terlebih dahulu harus dibuktikan apakah perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya sudah sah karena memenuhi seluruh syarat-syarat yang diatur
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”,
dengan demikian dalam perkara ini hal pokok yang harus diuraikan dan
dibuktikan secara tegas oleh Penggugat adalah adanya perikatan atau
telah saling mengikatkan diri yang menimbulkan hubungan hukum
dimana satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban, yang harus
dibebani kepada para pihak secara berimbang untuk melaksanakan hak
dan kewajiban yang telah menjadi kesepakatan masing-masing.
Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-1 tersebut Majelis hakim
berpendapat kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat benar terjadi dan
telah memenuhi maksud Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Kesepakatan tersebut didasarkan pada asas konsensualisme yang
artinya antara Pengugat dengan Tergugat telah mencapai suatu
persesuaian kehendak yakni Tergugat telah menerima uang dari Pengugat
sebagaimana diterangkan pula oleh saksi Ependi, saksi bersesuaian
dengan keterangan saksi Haryo Surasto dan saksi Sitti Rochmah.
69
Menimbang, bahwa oleh karena perjanjian antara Penggugat dengan
Tergugat sah maka salah satu asas perjanjian yang harus dipenuhi
masing-masing pihak adalah apa yang telah disepakati harus dipenuhi
(promise must be kept).
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-7 ditemukan fakta jika
pedang milik Tergugat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, bukti
P-7 tersebut dibuat oleh Penggugat dan ditandatangani pula oleh saksi
Haryo Suharyo, yang menjelaskan dan memuat pernyataan bahwa
pedang/samurai tidak memenuhi kriteria, selanjutnya dijelaskan pula
bahwa akibat dari tidak berfumgsinya pedang samurai tersebut maka tidak
dapat ditransaksikan dengan siapapun;
Menimbang, bahwa sehubungan dengan fakta diajukannya gugatan
ini oleh Penggugat maka dapatlah dibuktikan Tergugat tidak dapat
memenuhi kewajibannya terhadap kesepakatan sebelumnya yakni
menyerahkan uang konpensasi sebagai mediator dan sebagai sponsor
kepada Penggugat
Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan hukum
tersebut diatas, maka gugatan Penggugat dikabulkan sebagian dan ditolak
untuk selebihnya, sehingga petitum kesatu gugatan Penggugat ditolak;
2. Putusan Hakim
Telah diputuskan dalam permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Cibinong pada hari Kamis, tanggal 31 agustus 2017
oleh kami Zaufi Amri, S.H., sebagai Hakim Ketua Majelis, Chandra
Gautama, S.H., dan M. Ali Askandar, S.H., M.H,. masing-masing sebagai
Hakim Anggota Majelis, putusan mana diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 06 September 2017 oleh
Hakim Ketua Majelis dengan didampingi Hakim Anggota Majelis
tersebut, dibantu Bambang Noorhady, S.H., Penitera Pengganti
Pengadilan Negeri Cibinong serta dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan
tanpa dihadiri oleh Tergugat.
70
a. Menyatakan Tergugat telah dipanggil dengan patut tetapi tidak hadir;
b. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dengan Verstek;
c. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada
Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp. 353.000.000,- (tiga
ratus lima puluh tiga juta rupiah) serta bunga sebesar 1,5 % (satu
koma lima persen) setiap bulan atau sebesar Rp. 5.295.000,- (lima juta
dua ratus sembilan puluh lima ribu) yang dibayarkan sejak putusan ini
berkekuatan hukum tetap sampai dengan lunasnya seluruh pinjaman
Tergugat;
d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
1.021.000,- (satu juta dua puluh satu ribu rupiah);
e. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.
C. Analisis dari Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor : 47 / PDT.G /
2017 / PN.Cbi
Putusan hakim Pengadilan Negeri Cibinong nomor 47 / PDT.G / 2017
/ PN.Cbi yang telah mengabulkan gugatan dari pihak penggugat untuk
sebagian secara verstek ini dinilai sudah cukup baik. Karena menurut peneliti
hal seperti ini sering terjadi di masyarakat pada umumnya, akan tetapi
mungkin jarang yang menaikan kasus seperti ini sampai dengan ke dalam
ranah pengadilan.
Dalam hal ini yang menarik untuk di lakukan analisis adalah
mengenai landasan hukum, kedudukan hukum dan kekuatan alat bukti yang
digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara sengketa
wanprestasi perjanjian utang piutang di bawah tangan.
1. Landasan Teori
Putusan hakim dalam kasus perkara sengketa dengan surat dibawah
tangan ini dirasa sudah tepat. Karena pada dasarnya secara teori mengenai
perjanjian, alat bukti yang disampaikan oleh pihak tergugat sudah
memenuhi syarat. Sebagaimana Prof. Subekti mengatakan bahwa
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
soserang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
71
melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.1
Selain itu juga M. Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan. Perjanjian atau Verbintensis
mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta
benda atara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak kepada
salah satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.2
Dengan demikian dari berbagai definisi perikatan tersebut, maka
dapat disimpulkan dalam suatu perikatan setidaknya terdapat satu hak dan
satu kewajiban. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur yang melekat di
dalam perikatan, yaitu sebagai berikut :
a. Unsur hubungan hukum (rechtsverhouding, legal relation) adalah
hubungan yang di dalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan
pada pihak yang lainnya melekat satu kewajiban. Hubungan hukum
dalam perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh
hukum itu sendiri.
b. Unsur kekayaan (vermogen, patrimonial) adalah kekayaan yang
dimiliki oleh salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan.
Perikatan itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan
atau mogensrecht dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan yang
kita kenal dengan hukum benda.
c. Unsur para pihak (partijen, parties) adalah pihak kreditur dan pihak
debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam
perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
1 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 2005), h.1.
2 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : penerbit PT alumni,
1986), h.6.
72
d. Unsur prestasi (prestatie, performance) adalah adanya obyek hukum
atau suatu hal yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan
hukum. Dalam pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu,
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.3
2. Landasan Hukum
Beberapa landasan hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan
Negeri Cibinong dalam memutuskan perkara ini antara lain adalah
mengenai ketentuan hal pokok untuk dapat menentukan ada atau tidaknya
suatu perbuatan ingkar janji (wanprestasi) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terlebih dahulu harus
dibuktikan apakah perjanjian yang telah dibuat sebelumnya sudah sah
karena memenuhi seluruh syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”, dengan
demikian dalam perkara ini hal pokok yang harus diuraikan dan
dibuktikan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai adanya
perikatan atau telah saling mengikatkan diri yang menimbulkan hubungan
hukum dimana satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban.
Hal ini yang menguatkan keyakinan Hakim sebagaimana telah di
jelaskan juga dalam literatur hukum perjanjian, bahwa perwujudan dari
suatu perjanjian dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang
3 Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama dan Bisnis... h.7.
73
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu4
Berdasarkan bukti P-1 tersebut Majelis hakim berpendapat
kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat benar terjadi dan telah
memenuhi maksud Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Kesepakatan tersebut didasarkan pada asas konsensualisme yang artinya
antara Pengugat dengan Tergugat telah mencapai suatu persesuaian
kehendak yakni Tergugat telah menerima uang dari Pengugat
sebagaimana diterangkan pula oleh saksi Ependi, saksi bersesuaian
dengan keterangan saksi Haryo Surasto dan saksi Sitti Rochmah.
Oleh karena itu perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat dapat
dinyatakan sebagai perjanjian yang sah. Maka salah satu asas perjanjian
yang harus dipenuhi masing-masing pihak adalah apa yang telah
disepakati harus dipenuhi (promise must be kept).
3. Landasan Agama
Perihal mengenai pembuktian dari sebuah perjanjian juga
dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Dalam
hal ini memang benar bahwa sebuah utang piutang yang menggunakan
sebuah tempo atau kurun waktu tertentu maka harus dituangkan dalam
sebuah sebuah tulisan dan harus dituliskan secara benar sesuai dengan
kejadian yang terjadi.
ا ئرا تذا ءاي ا ٱنز ئن أجم﴿أ نا أب كاتة يسى تى تذ كى كاتة تٲنعذل كتة ت ن فٲكتث
نا ۥ ست تك ٱنه ن ٱنحك هم ٱنز عه ن كتة فه ٱنه ا عه ٱنز شثخس يأ كتة ك ا فا كا
ٱستش ۥ تٲنعذل ن هم فه م ا أ ضعفا أ نا ستطع أ ٱنحك سف ي سجانكى عه ذ ذا ش
فشجم فا نى كا سجه ي ا ٱيشأتا ا فتزكش ئحذ ذاء أ تضم ئحذ ٱنش ي تشض
نا تس ذاء ئرا يا دعا نا أب ٱنش ٱنأخش ۦ رنكى ألسط عذ ٱنه ا أ تكتث صغشا أ كثشا ئن أجه ي
تجشج حاضشج ا ئنا أ تك أنا تشتات أد ذج و نهش ا أل كى فهس عهكى جاح أنا تكتث ا ت تذش
نا ضاس كاتة ا ئرا تثاعتى ذ ذ أش ئ تفنا ش ٱنه كى ٱنه عه ٱتما ٱنه ۥ فسق تكى عها فا
ئ كتى عه سفش ٢٨٢ تكم شء عهى نى تجذا كاتة ۞ يمثضح ا فش فا أي
4 Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan XVI, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 1996), h.36.
74
إد ٱنز ٱؤتتعضكى تعض ۥ ءاثىا فه ا فا ي كت ذج ا ٱنش نا تكت ۥ ست تك ٱنه ن ۥ ت أي ۥ لهث
عهى ه ا تع ت ﴾٢٨٢ ٱنه
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang
lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu
itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat 283 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Selain itu juga hal ini diperkuat dalam sebuah hadist menyatakan bahwa
bukti (al-bayyinat) adalah, semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan.
Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Dari
„Amru bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw bersabda:
انثح عه» ذع عه عه ان ان ذع « ان
75
Artinya: Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu
wajib bagi orang yang didakwa.
Imam Baihaki meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad shahih dari Nabi saw,
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
كش» أ عه ي ان ذع «انثح عه ان
Artinya: Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu
wajib bagi orang yang mengingkarinya.
Oleh karena itu, bukti merupakan hujjah bagi pendakwa, yang
digunakan untuk menguatkan dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas
untuk menguatkan dakwaannya. Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika
sesuatu itu (bersifat) pasti dan meyakinkan. Seseorang tidak boleh memberikan
kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada „ilm, yaitu didasarkan pada
sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di
atas dzan (keraguan). Sebab, Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi:
اال فذع» ذ س فاش ت يثم انش «ئرا سأ
Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah.
(Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.
Oleh karena itu, bukti yang didapatkan dari jalan tertentu, atau jalan yang
bisa mengantarkan kepada keyakinan, seperti diperoleh dari proses
penginderaan salah satu alat indera, sedangkan yang diindera itu bisa
dibuktikan validitasnya, maka bukti semacam ini termasuk bukti yang
meyakinkan. Masyarakat diperbolehkan memberikan kesaksian dengan bukti
semcam ini.
Sedangkan bukti yang tidak diperoleh dari jalan seperti itu, maka
bersaksi dengan bukti tersebut tidak diperbolehkan. Karena bukti tersebut
bukanlah bukti yang meyakinkan. Jika bukti tersebut berasal dari sesuatu yang
meyakinkan, seperti halnya kesaksian yang diperoleh dengan jalan as-
sama’ (mendengar informasi dari orang lain), contohnya kesaksian dalam
kasus nikah, nasab, kematian, dan lain-lain, maka secara otomatis seorang saksi
boleh memberikan kesaksiannya (dengan bukti-bukti tersebut). Informasi yang
ia dengar itu telah membuat dirinya yakin, meskipun ia tidak menjelaskan
keyakinannya itu dengan kesaksiannya. Sebab, keyakinan yang ia miliki
76
merupakan sesuatu yang telah lazim bagi dirinya, sehingga dirinya sah untuk
memberikan kesaksian.
4. Kedudukan Hukum dari Alat Bukti Surat Dibawah Tangan Sebagai
Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata Di Indonesia
a. Pembuktian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bukti ini berasal
dari terjemahan bahasa Belanda yaitu bewjis yang diartikan sebagai
sesuatu yang menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa. Dalam
kamus hukum, bewjis ini diartikan sebagai segala sesuatu yang
memperlihatkan kebenaran dari fakta tertentu atau ketidakbenaran dari
fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan guna memberi
bahan kepada hakim bagi penilaiannya.5
Menurut H. Syafrudin Makmur pembuktian adalah segala
sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan
kebenaran sesuatu, secara terminologi pembuktian berati memberi
keterangan dengan dalil hingga meyakinkan.6 Karena membuktikan
ialah meyakinkan seorang hakim tentang suatu kebenaran dari suatu
salil atau dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam suatu
persengketaan.
Tujuan dari pembuktian adalah agar putusan hakim didasarkan
pada bukti-bukti tersebut, agar hakim dapat memberi putusan yang
definitif, pasti dan tidak meragukan.7 Oleh karena itu tujuan dari
adanya pembuktian baik dari pihak penggugat maupun dari pihak
tergugat adalah untuk membuktikan dalil masing-masing.
b. Alat Bukti
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat
digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran dari suatu peristiwa
di dalam persidangan. Alat bukti yang dimaksudkan adalah dengan
5 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia, 1986), h.83.
6 H. Syafrudin Makmur, Pendampingan Tahap Penyelidikan dan Penyidikan Dalam
Proses Pidana, (Pamulang: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014), h.10
7 Mertokusumo Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010), h.93.
77
mengajukan beberapa bukti-bukti ke pengadilan, namun bukti yang
diajukan merupakan bukti yang berharga atau competent edvidence,
sehingga tidak membuang waktu dan tenaga. Mengenai apa saja yang
termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara dari suatu peradilan
sudah menentukannya secara rinci. Karena alat bukti dalam suatu
hukum acara antara yang satu dengan yang lain nya pasti berbeda.
c. Kedudukan surat dibawah tangan dalam pembuktian
Setelah penulis membaca dan menganalisis isi putusan
berdasarkan pertimbangan hakim dalam perkara nomor
108/Pdt.G/2016/PN.Cbi, keberadaan atau kedudukan surat dibawah
tangan ini merupakan bentuk dari alat bukti surat atau tulisan. Selain
itu juga surat perjanjian biasa yang dijadikan sebagai alat bukti dalam
perjanjian utang-piutang menurut hukum perdata termasuk dalam
golongan alat bukti surat yaitu akta di bawah tangan. Peneliti
berpendapat berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”, dengan demikian dalam perkara ini hal pokok
yang telah diuraikan dan dibuktikan dalam persidangan adalah adanya
perikatan atau telah saling mengikatkan diri yang menimbulkan
hubungan hukum antar pihak telah benar terjadi karena adanya
pembuktian dari alat bukti surat dibawah tangan tersebut.
5. Kekuatan Akta Dibawah Tangan Sebagai Alat Bukti Di Persidangan
Dalam Putusan Pengadilan Nomor : 47 / PDT.G / 2017 / PN.Cbi
Kekuatan dari alat bukti tulisan atau alat bukti surat merupakan alat
bukti yang sangat krusial dalam pemeriksaan suatu perkara perdata dalam
pengadilan. Hal ini sebagaimana telah diatur bahwa alat bukti tertulis atau
alat bukti surat sengaja dibuat untuk kepentingan pembuktian di
kemudian hari apabila terjadi sengketa. Secara garis besar bahwa bukti
tulisan ini terdiri dari dua macam yaitu sebuah akta atau surat-surat lain.
Akta adalah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan
78
bukti tentang suatu peristiwa dan di tandatangani oleh para pembuatnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa suatu surat dapat
dianggap sebagai akta jika memiliki ciri sengaja dibuat dan telah
ditandatangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan siapa
surat itu dibuat. Pengaturan mengenai akta diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1880.
Surat perjanjian biasa yang dibuat secara dibawah tangan baru
mempunyai kekuatan hukum dan nilai pembuktian sempurna apabila
keberadaannya dapat diakui oleh para pihak yang bersepakat dan para
pihak mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam perjanjian
tersebut adalah tanda tangan miliknya. Karena tanda tangan pada
hakekatnya adalah tanda atau ciri dari si pembuat atas suatu dokumen
yang dapat dibenarkan atau yang dapat diakui kebenarannya sesuai
dengan isi dari Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hal ini bisa dicermati dari ketentuan Pasal 1875 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa suatu tulisan dibawah
tangan yang diakui kebenaranya oleh orang yang dihadapkan kepadanya
atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya menimbulkan bukti
lengkap seperti layaknya akta otentik bagi orang yang
menandatanganinya. Karena penandatanganan suatu dokumen secara
umum mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Sebagai Bukti (Edvidence)
Suatu tanda tangan mengidentifikasikan penandatangan dengan
dokumen yang telah ditandatanganinya. Pada saat penandatanganan
membubuhkan tanda tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan
tersebut akan mempunyai hubungan (attribute)dengan
penandatangan.
b. Sebagai Ceremony
Penandatanganan suatu dokumen akan berakibat si penandatangan
mengetahui bahwa ia telah melakukan perbuatan hukum, sehingga
akan mengeleminasi adanya incomsiderate engagement.
c. Sebagai Persetujuan (Approval)
79
Tanda tangan melambangkan adanya persetujuan atau otorisasi
terhadap suatu tulisan.8
Selain itu juga adanya materai yang berlaku pada surat perjanjian
tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa sudah sah surat perjanjian
dibawah tangan tersebut di jadikan sebagai alat bukti di dalam pengadilan
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 13 tahun
1985 tentang Bea Materai. Berdasarkan undang-undang tentang Bea
Materai tersebut dinyatakan bahwa Bea Materai adalah pajak atas
dokumen, termasuk didalamnya surat kontrak dan surat-surat lainnya
yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.9
Selain itu dengan adanya keterlibatan dari para saksi fakta yang
turut serta memberikan kesaksian mengenai apa yang terjadi dan apa saja
yang disepakati dari surat perjanjian tersebut. Karena para saksi yang
dihadirkan memang benar adanya sesuai dengan isi dari perjanjian yang
mencantumkan juga nama dari para saksi yang menyaksikan pembuatan
dari surat perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 171 ayat (2) HIR
“kesaksian yang diberikan oleh saksi bukanlah berdasarkan logika atau
akal sehat, tetapi karena mengalami dan melihat sendiri.”Oleh karena itu
seorang saksi dilarang untuk membuat kesimpulan sendiri.10
Jadi kekuatan dari surat perjanjian yang dibuat secara dibawah
tangan apabila menjadi alat bukti dalam persidangan, memiliki kekuatan
hukum pembuktian yang sama dengan akta otentik jika akta perjanjian
tersebut diakui oleh para pihak keberadaannya. Karena pembuktian
dengan suatu akta memang merupakan cara pembuktian yang paling
utama, maka dari itu dapat dimengerti mengapa pembuktian dengan alat
bukti tulisan ini oleh undang-undang disebut sebagai cara pembuktian
8 Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, (Malang: Penerbit PT.Setara Press, 2016),
h.114
9 Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan,... h.115
10 V. Harlen Sinaga, Hukum Acara Perdata Dengan Pemahaman Hukum Mteriil,... h.187
80
yang pertama. selain itu juga dapat dimengerti bahwa mengapa undang-
undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat
penting mengharuskan adanya pembuatan akta.11
Akan tetapi sebaliknya jika tanda tangan itu disangkal oleh salah
satu pihak, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut
diwajibkan untuk membuktikan kebenaran akan penandatanganan atau isi
dari akta dibawah tangan tersebut dengan alat bukti yang lain. Oleh
karena itu dalam contoh kasus yang dibahas ini oleh peneliti, pihak
penggugat menambahkan pembuktian atas surat perjanjian dibawah
tangan tersebut dengan menghadirkan beberapa saksi fakta yang melihat
dan menyaksikan maupun yang memang terlibat langsung dan tertera di
dalam surat perjanjian untuk menjadi seorang saksi pada saat pembuatan
surat perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1902 Kitab
Undang-undang hukum Perdata yang menyatakan bahwa dalam segala
hal yang oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan
tulisan, namun jika itu ada permulaan pembuktian dengan tulisan, maka
diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi.
11
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29, (Jakarta: Penerbit PT.
Itermasa, 2001), h.180.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan sebuah
proses penyelesaian sengketa dalam ranah Pengadilan. Dalam hal ini
semua pihak yang sedang bersengketa akan saling berhadapan satu sama
lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir
dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah sebuah putusan
dari Majelis Hakim yang menyatakan win or lose solution. Dalam hal
penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan dapat juga disebut
sebagai hukum acara perdata, karena mengatur tentang sebuah proses
penyelesaian perkara melalui sebuah Pengadilan Umum yang secara
formal diakui telah sah menurut undang-undang. Hukum acara perdata
mempertahankan berlakunya hukum perdata agar hak dan kewajiban
pihak-pihak diperoleh dan dipenuhi sebagaimana mestinya.
2. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam kedudukan suatu surat perjanjian
biasa yang dijadikan sebagai alat bukti dalam perjanjian utang-piutang
termasuk dalam golongan alat bukti surat yaitu akta di bawah tangan.
Surat perjanjian biasa yang dibuat secara dibawah tangan baru mempunyai
kekuatan hukum dan nilai pembuktian sempurna apabila keberadaannya
dapat diakui oleh para pihak yang bersepakat dan para pihak mengakui
bahwa tanda tangan yang tertera dalam perjanjian tersebut adalah tanda
tangan miliknya. Kekuatan dari surat perjanjian yang dibuat secara
dibawah tangan apabila menjadi alat bukti dalam persidangan, memiliki
kekuatan hukum pembuktian yang sama dengan akta otentik jika akta
perjanjian tersebut diakui oleh para pihak keberadaannya. Karena
pembuktian dengan suatu akta memang merupakan cara pembuktian yang
paling utama, maka dari itu dapat dimengerti mengapa pembuktian
dengan alat bukti tulisan ini oleh undang-undang disebut sebagai cara
82
pembuktian yang pertama. selain itu juga dapat dimengerti bahwa
mengapa undang-undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang
dianggap sangat penting mengharuskan adanya pembuatan akta.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil dari pembahasan pada penulisan ini, maka penulis
memiliki saran yang mungkin sekiranya bisa bermanfat apabila terjadi kasus
yang sama, yaitu sebagai berikut:
1. Setiap para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian hutang-piutang
sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik yang sesuai dengan ketentuan
kontrak dalam membuat suatu perjanjian. Sehingga apabila diperlukan
pembuktiannya akan mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang pasti
dan akurat.
2. Pembuatan surat perjanjian dalam bentuk akta otentik yang dilakukan di
hadapan pejabat yang berwenang atau notaris sangat membantu seorang
hakim dalam memberikan pertimbangan dan keputusan yang adil dan
netral bagi para pihak. Karena notaris merupakan seorang yang ahli
dibidang tersebut dan dapat menjadi seorang saksi ahli apabila dimintai
keterangannya oleh hakim.
3. Perlu adanya sebuah obyek jaminan yang tuangkan kedalam perjanjian
utang-piutang. Hal ini digunakan sebagai pemberian keyakinan kepada
pihak kreditor atas pembayaran utang yang telah diberikannya kepada
debitor, dimana hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu
perjanjian yang bersifat assessoir terhadap suatu perjanjian pada
pokoknya berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang
83
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Alwi, Hasan, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Departemen
Pendidikan Nasional: Balai Pustaka, Cetakan Kelima, Jakarta, 2007.
AZ, Lukman Santoso, Hukum Perikatan, Teori Hukum dan Teknis Pembuatan
Kontrak, Kerjasama dan Bisnis, Malang : PT Setara Press, 2016.
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT. Alumni 1994.
Bogdan, Micael, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT. Nusa
Media, 2010
Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
Cruz, Peter De, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law dan
Sosialist Law, Jakarta: PT. Nusa Media, 2010.
Fuady Munir, Hukum Jaminan Utang, Jakarta: Penerbit PT. Erlangga, 2013
Gunawan, Johanes, Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada
Asas Kebebasan Berkontrak, Padjajaran, Majalah Ilmu Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat No.3-4, Jilid XVII, 1987.
H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2004.
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1986.
Harahap, Yahya, Segi – segi Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Alumni Cet.II,
1986.
Hiariej, Eddy O.S, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Erlangga, 2012.
Houck, M Max, Essentials of Forensic Science Trace Edvidence, New York:
Imprint of Infobase Publishing, 2009.
J.Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung: PT Alumni, 1993.
84
Kansil, C.S.T, Modul Hukum Perdata termasuk Asas Hukum Perdata, Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 1995.
Khairandy, Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia, Yogyakarta: PT UII Press, 2014.
Makmur, Syafrudin, Pendampingan Tahap Penyelidikan dan Penyidikan Dalam
Proses Pidana, Pamulang: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
2014.
Meliala, Djaja S, Hukum Perdata Dalam Prespektif BW, Bandung: PT Nuansa
Aulia, 2012.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, Yogyakarta: PT
Liberty, 1996.
- - - - - - , Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 5, cet. 2, Yogyakarta: PT Liberty,
1999.
Naja, H.R Daeng, Contract Drafting, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Penerbit PT Putra
Abardin, 1999.
Rosen, Larry E. Sulvian Marie Simonettie, Encyclopedia of Law Enforcement,
California: Sage Publications, 2010.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2001.
- - - - - - , Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.3,
Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006.
Sinaga, V. Harlen, Hukum Acara Perdata Dengan Pemahaman Hukum Materiil,
Jakarta: PT. Erlangga, 2015.
Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: PT. UI Press, 1984.
85
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
PT. Ghalia Indonesia Cet. IV, 1990.
Sofyan, Sri Soedwi Mashjoeri, Hukum Perutangan, Yogyakarta: Bagian Seksi
Hukum Perdata Universitas Gajah Mada,1980.
Subekti, Azas-azas Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Internusa, 1979.
- - - - - - , Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1987.
- - - - - - , Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa 1994.
- - - - - - , Hukum Perjanjian Cetakan XVI, Jakarta: PT. Intermasa, 1996.
- - - - - - , Hukum Pembuktian , cet. 13, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001.
- - - - - - , Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29 Jakarta: PT. Intermasa,
2001.
- - - - - - , Hukum Perjanjian, Cet.21 Jakarta: PT Intermasa, 2005.
- - - - - - , Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: PT. Pradana
Media Group, 2008.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dan Praktek, Cet IV, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Yuwono, Iswantoro Dwi, Baca Buku Ini Sebelum Tanda Tangan Surat
Perjanjian, Yogyakarta: PT. Pustaka Yustisia, 2013.
B. PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1234 tentang Prestasi
86
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1243 tentang Wanprestasi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1278 tentang Perikatan Tanggung
Menanggung
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1304 tentang Perikatan Dengan
Ancaman Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 tentang Ketentuan Perjanjian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 tentang Syarat Terjadinya
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1321 tentang Batalnya Kontrak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1329 tentang Kecakapan Hukum
Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata Pasal 1337 tentang Larangan Berkontrak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 tentang Kebebasan
Berkontrak.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 tentang Utang Piutang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1756 tentang Peminjaman Uang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1880
tentang Pengaturan Akta
Kitab Undang-Undang hukum Perdata Pasal 1902 tentang Pembuktian
C. INTERNET
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5105e9605684a/kekuatan-
pembuktian-perjanjian
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-
pembuktian-fotokopi-dokumen
https://www.suduthukum.com/2017/03/penyelesaian-sengketa-melalui.html
87
https://www.sakaran.com/2016/06/bacaan-terjemah-al-baqarah-ayat-282-283.html
www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-jaminan.html