kegawatdaruratan tht rian.doc
Post on 12-Feb-2015
180 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EPISTAKSIS
Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung dan dapat timbul spontan
tanpadapat ditelusuri sebabnya. Epistaksis bukanlah suatu penyakit melainkan suatu
tanda atau gejala. Walau pada umumnya epistaksis dapat diatasi dengan mudah,
namun perdarahanhidung merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap
dokter harus siap menanganikasus demikian.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagianposterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
arteriathmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatinadan arteri ethmoid posterior.
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis
interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui :
Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melaluiforamen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior
dandinding lateral hidung.
Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalanmelalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior
septumnasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri
ethmoidanterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.
DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau
keluhanbukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangatmenjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor
etiologi harusdicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.
ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosahidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian
anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya
anastomosis.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan
sistemik
Lokal
Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan
sekretdengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan
sebagainya.Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan
dapat juga menyebabkan epistaksis.
Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten,kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemongioma,karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahantelangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease). Pasienini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di
traktusgastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.
Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisiperdarahan
hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atauperforasi, akan
terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jarimenimbulkan
trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosimembrana mukosa
septum dan kemudian perdarahan.
Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering
sistemik
Kelainan darah
misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia, ITP, diskrasiadarah, obat-obatan
seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pulamempredisposisi
epistaksis berulang.
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis
kronik,sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak
baik.
infeksi akut
biasanya pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-
kadangbeberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai
fase menstruasi
Defisiensi Vitamin C dan K
Alkoholisme
Penyakit von Willebrand
LOKASI EPISTAKSIS
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukarditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior danposterior.
Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumberperdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri
ethmoidanterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan
dengantindakan sederhana
Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga
dapatmenyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien
denganpenyakit kardiovaskular
GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakanghidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau padabagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorekhidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosahidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma
terperinci. Riwayat pengobatan ataupenyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.
Banyak pasien minum aspirin secara teraturuntuk banyak alasan. Aspirin merupakan
penghambat fungsi trombosit dan dapatmenyebabkan pemanjangan atau perdarahan.
Penting mengenal bahwa efek ini berlangsungbeberapa waktu dan bahwa aspirin
ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyakproduk. Alkohol merupakan
senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsipembekuan secara
bermakna.Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa
\Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasiatau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung
dibuka dan dengan alatpengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan,
sekret maupun darah yangsudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan
dalam hidung diobservasi untukmencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,dimasukkan kapas yang dibasahi dengan
larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2%atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untukmenghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahandapat berhenti untuk
sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidungdikeluarkan dan
dilakukan evaluasi
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yangbersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahanhidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan. Pemeriksaan yangdiperlukan berupa
Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior.Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkhainferior harus diperiksa dengan cermat.
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
Skrining terhadap koagulopati
1. Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin
parsial,jumlah platelet dan waktu perdarahan.
2. Riwayat penyakit
3. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
yangmendasari epistaksis.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Perlu dicari, :
1. riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari
hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belim lama
11. Penggunaan obat-obatan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan,mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada
syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
1. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikandengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan kearah septum selama beberapa menit (metode Trotter).
2. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah
dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat
penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
3. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukankaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat
10% atau denganelektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu.
4. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol
yang dibuat darikasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari
5. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan
mempunyai 3buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi
yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior
sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung
kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon
Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar
melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu
mendorong tamponini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu
denganpemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkandi tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai
benang lagipada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik
tampon keluarmelalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq
harus dirawat.
Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon
diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air
Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi
ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus
tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara
retrograd melalui duktusnasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon
posterior dapat timbul otitismedia, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan
sudut bibit bila benang yangdikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah
yangturun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan
infark miokarddan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau
transfusi darah
DIAGNOSIS BANDING
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluardari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di
basis craniiyang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba
eustachius.
PENCEGAHAN
1. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain,:
2. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli,pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat
tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir
gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
3. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
4. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan
5. cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
6. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
7. Bersin melalui mulut.
8. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
9. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin atau ibuprofen.
10. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
11. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritas
ABSES LEHER DALAM
ABSES PERITONSIL (QUINSY)
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang
menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang
signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel
penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang
untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang
berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus
setiap tahun.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang manayang terlibat. Gejala
dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.Abses peritonsiler (Quinsy)
merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam
dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina
ludovici (Ludwig Angina).
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi padabagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar.
Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerahpillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi
tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitarfaring menyebabkan
pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsultonsil tetapi tetap dalam
batas otot konstriktor faring.
ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atauinfeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanyakuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateraldan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Proses initerjadi karena
komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjarmukus weber di
kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob
yang berperan adalahFusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.
PATOLOGI
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak
diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi
peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank
abscess formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah
ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Absesperitonsil juga dapat
terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunakdan
berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Absesdapat pecah spontan,
sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitiskronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran
(presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis)
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyerumenelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga(otalgia), muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah(hipersalivasi), suara sengau
(rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher(limitation in
neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy danperadangan otot tengkuk
(cervical muscle inflammation).
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrinedan jarum
besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran10cc. Aspirasi
material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, danmaterial dapat dikirim
untuk dibiakkan.
DIAGNOSIS BANDING
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis
interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan
adenitis tonsil.
TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4
x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris
mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatansupratonsillar. Drainase atau
aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segeragejala-gejala pasien.
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bilatonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a”tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah
drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderitaabses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh.Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yangdilakukan Ozbek
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenousdexamethasone pada
antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikanmengurangi waktu opname di
rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanyadiberi antibiotik parenteral.
PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.,
maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebutperadangan telah
mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi padasaat operasi.
ABSES PARAFARING
ETIOLOGI
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :1)Langsung,yaitu akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.Peradangan terjadi
karena ujung jarum suntik yamg telah terkomtaminasi kuman menembus lapisa otot
tipis (m. Konstriktor faring superior) yangmemisahkan ruang parafaring dari fossa
tonsilaris. 2) Proses supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber
infeksi untuk terjadinya absesruang parafaring. 3) Penjalaran infeksi dari ruang
peritonsil, retrofaring atausubmandibula.
GEJALA DAN TANDA
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.
KOMPLIKASI
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
perdangan intrakranial,ke bawah menyusuri selubung karotismencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat,
bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbultromboflebitis dan septikemia.
TERAPI
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak adaperbaikan dengan
antibiotika dalam 28-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis melalui insisi dari
luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.pterigoidinterna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bilananah terdapat di selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahaninsisi horozontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faringsuperior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal.
ABSES RETROFARING
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi padaleher bagian dalam
( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada
ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dansinus
paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Penyakit inibiasanya
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadikarena pada usia
tersebut ruang retrofaring masih berisi kelnjar limfe, masing-masing 2-5 buah pada
sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfedari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah.Pada usia diatas 6 tahun kelenjar
eakan mengalami atrofi.
Akhir – akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang dijumpai . Halini disebabkan
penggunaan antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafasatas. Pemeriksaan
mikrobiologi berupa isolasi bakteri dan uji kepekaan kumansangat membantu dalam
pemilihan antibiotik yang tepat. Walaupun demikian,angka mortalitas dari komplikasi
yang timbul akibat abses retrofaring masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat sangatdibutuhkan. Penatalaksanaan abses
retrofaring dilakukan secaramedikamentosa dan operatif . Insisi abses retrofaring
dapat dilakukan secaraintra oral atau pendekatan eksternal bergantung dari luasnya
abses. Padaumumnya abses retrofaring mempunyai prognosis yang baik
apabiladidiagnosis secara dini dan dengan penanganan yang tepat sehingga
komplikasi tidak terjadi.
ETIOLOGI
Keadaan yang dapatmenyebabkan terjadinya abses retrofaring ialah : (1)infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring. (2)Trauma dinding
belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakanmedis, seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi. (3)tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin).
Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah
1.Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A (paling sering),
Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus non–hemolyticus, Staphylococcus aureu , Haemophilus
sp
2.Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria
Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara
bersamaan
KLASIFIKASI
Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :
1. Akut.
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadi
akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga
hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas kekelenjar limfe retrofaring
(limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada
orang dewasa terjadi akibat infeksilangsung oleh karena trauma akibat penggunaan
instrumen (intubasiendotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.
2. Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini
terjadi akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara
langsung menyebar melalui ligamentum longitudinalanterior. Selain itu abses dapat
terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari
kelenjar limfe servikal.
GEJALA DAN TANDA
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas.
Gejala dan tanda klinis yang sering dijumpai pada anak :
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. suara sengau
4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.
pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).
5. Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa
dijumpai adanya : kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada
pergerakan obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea.
Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila
dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda
asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopiatau adanya riwayat
batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. rasa sakit di leher ( neck pain )
4. keterbatasan gerak leher
5. dispnea
6. Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai
terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagianatas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang fotorontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaranruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaranretrotrakeal lebih
dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orangdewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
DIAGNOSIS BANDING
1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Abses peritonsil
4. Abses parafaring
TERAPI
Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
1. posisi pasiens upine dengan leher ekstensi
2. pemberian O2 dan intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung /
intubasi fiber optik
3. trakeostomi / krikotirotomi
Medikamentosa
Antibiotik ( parenteral )
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnyatanpa
menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harusmencakup terhadap
kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gramnegatif. Dahulu diberikan
kombinasi Penisilin G dan Metronidazolesebagai terapi utama, tetapi sejak
dijumpainya peningkatan kuman yangmenghasilkan B – laktamase kombinasi obat ini
sudah banyakditinggalkan. Pilihan utama adalahclindamycin yang dapat
diberikantersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
kedua(seperticefur oxim e) atau beta – lactamase – resistant penicillin seperti
ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin /
sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih
kurang 10 hari.
Simtomatis
Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan
elektrolit.
Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
Operatif
Aspirasi pus ( needle aspiration )
Insisi dan drainase :
Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil danterlokalisir. Pasien
diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimanaleher dalam keadaan hiperekstensi
dan kepala lebih rendah dari bahu.Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling
berfluktuasi danselanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat
penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Laluinsisi diperlebar dengan forsep atau
klem arteri untuk memudahkanevakuasi pus.
Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterioratau posterior : untuk
abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring.Pendekatan anterior dilakukan
dengan membuat insisi secara horizontalmengikuti garis kulit setingkat krikoid atau
pertengahan antara tulanghioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk
memperluaspandangan sampai terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan
insisipada batas anterior m. sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem
erteri bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotisdisisihkan ke arah
lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpulabses dibuka dan pus
dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluasdan selanjutnya dipasang drain
( Penrose drain ). Pendekatan posteriordibuat dengan melakukan insisi pada batas
posterior m.sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan
dariabses. Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses
dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakangselubung karotis.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang parafaring,ruang
vaskuler visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas sampaiasfiksia, (4) bila
pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi danabses paru.
ABSES SUBMANDIBULA
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari rung submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula
danmembagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila
saja.Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennyasebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
ETIOLOGI
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelanjar limfe submandibula.
Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Kuman penyebab
biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
GEJALA DAN TANDA
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah, mungkin berfluktuasi.
Trismus sering ditemukan
TERAPI
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral.
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkaldan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.Insisi
dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,tergantung letak
dan luas abses.
Paien dirawat inap 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
ANGINA LUDOVICI
Angina ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas
berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses,
sehingga keras pada perabaan submandibula.
ETIOLOGI
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob.
GEJALA DAN TANDA
Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula
yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat
mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena
sumbatan jalan napas
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala
dan tanda klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici” dapat terjadi fluktuasi.
TERAPI
Sebagai terapi dapat diberikan antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob,
dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasiyang dilakukan untuk
tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) danevakuasi pus (pada angina Ludovici
jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis.Insisi dilakukan di garis tengah secara
horizontal setinggi os hioid (3-4 jari dibawah mandibula). Perlu dilakukan
pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi)untuk mencegah kekambuhan.Pasien
dirawat inap sampai infeksi reda.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadiialah :(1) sumbatan jalan napas, (2) penjalaran
abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan (3) sepsis
SUMBATAN LARING
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan
dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin
ventilasi .sumbatan laring dapat disebebkan oleh radabg akut, dan radang kronis,
benda asing, trauma, tumor laring, kelumpuhan nervus rekuren bilateral
Gejala dan tanda sumbatan laring
1. Suara serak sampai afoni
2. Sesak napas
3. Stridor yang terdengar waktu inspirasi
4. Gelisah karena pasien haus udara
5. Pucat dan sianosis
6. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal
Jackson membagi sumbatan laring dalam 4 stadium
1. Stadium 1, cekungan tampak pada suprasternal pada saat inspirasi, stridor
pada saat inspirasi dan pasien masih tenang
2. Stadium 2, cekungan pada inspirasi makin dalam, muncul cekungan didaerah
epigastrium, pasien sudah mulai gelisah dan stridor terdengar saat inspirasi
3. Stadium 3, terdapat tambahan cekungan di sela-sela iga dan di infraklavikula,
pasien sangat gelisah dan dispnea, stridor terdengar saat inspirasi dan
ekspirasi
4. Stadium 4, cekungan bertambah menjadi sangat jelas, pasien sangat gelisah,
tampak ketakutan dan sianosis. Pasien bisa mengalami asfiksia
Penanggulangan sumbatan laring
Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan agar jalan napas
lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian natiinflamasi, antialergi dan
antibiotika serta oksigen diberikan pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan
oleh peradangan. Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah intubasi endotrakea,
krikotirotomi dan trakeostomi
Trakeostomi merupakan membuat lubang pada dinding depan trakea untuk bernapas.
Menurut letak stoma, tarkeostomi dibedakan menjadi letak tinggi dan letak rendah
yang mana didasarkan atas cincin trakea ketiga
Indikasi trakeostomi
1. Mengatasi obstruksi laring
2. Mengurangi ruang rugi saluran napas
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus
4. Untuk memasang respirator
5. Untuk mengambil benda asing
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat
napas dengan cara mebelah membran krikotiroid, tindakan ini harus dikerjakan cepat
walau persiapannya darurat
BENDA ASING DALAM SALURAN NAPAS
Benda asing di dalam suatu organ adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari
dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada.
ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas
antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat
tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal, faktor fisik,proses menelan
yang belum sempurna pada anak, dan faktor medikal.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakkan berdasarkan anamnesis
adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul rasa tercekik, gejala dan tanda
pemeriksaan fisik dengan auskultasi, palpasi dan pemeriksaan radiologik sebagai
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti benda asing dalam saluran napas ditegakan
setelah dilakukan tindakan endoskopi atas indikasi diagnostik dan terapi
GEJALA DAN TANDA
Gejala sumabtan benda asing di dalam saluran napas tergantung pada lokasi benda
asing, derajat sum batan (total atau sebagian), sifat, bentuk dan ukuran benda asing.
Benda asing yang masuk melalui hidung dapat tersangkut dui hidung, nasofaring,
laring trakea dan bronkus. Benda yang masuk melalui mulut dapat terhenti di
orofaring, hipofaring, tonsil, dasar lidah, sinus piriformis, esofagus, dan dapat juga
tersedak dan masuk ke laring
Aspirasi benda asing dapat dibagi dalam 3 stadium
Stadium 1
merupakan gejala permulaan berupa batuk-batuk hebat secara tiba-tiba, rasa
tercekik, rasa tersumbat di tenggorok, bicara gagap, dan obstruksi jalan napas segera.
Stadium 2
Interval asimtomatik karena refleks-refleks melemah dan gejala rangsangan akut
menghilang. Berbahaya karena sering menyebabkan diagnosis aspirasi diabaikan atau
terlambat.
Stadium 3
Telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi, atau infeksi, sehingga timbul
batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia, dan abses paru.
Benda asing di laring dapat menimbulkan kegawatan bila menyumbat total, sehingga
bisa terjadi kematian mendadak akibat asfiksia karena spasme laring, dengan gejala
disfonia sampai afonia, apnea, dan sianosis. Sumbatan tidak total dapat menimbulkan
suara parau, disfonia sampai afonia, batuk dengan sesak, odinofagia, mengi, sianosis,
hemoptisis, dispnea dengan derajat bervariasi, dan rasa subyektif dari benda asing.
Pasien gelisah dan memegang lehernya (V sign). Pada sumbatan parsial laring yang
lama akan timbul gejala tambahan berupa stridor, selain batuk tiba-tiba, serak, dan
sesak napas.
Benda asing di trakea memberikan gejala batuk tiba-tiba yang berulang-ulang dengan
rasa tercekik, serak, dispnea, sianosis, rasa tersumbat di tenggorok, gejala
patognomonik yaitu audible snap, palpatory thud, dan asthmatoid wheeze. Jika
tersangkut di karina, dapat terjadi atelektasis di satu sisi paru dan emfisema di sisi
yang lain.
Pasien dengan benda asing di bronkus umumnya datang pada fase asimtomatik.
Kemudian benda asing bergerak ke perifer, sehingga udara yang masuk terganggu
dan pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang dengan mengi. Dapat timbul
emfisema, atelektasis, drowned lung, dan abses paru. Gejala fisik dapat bervariasi
karena perubahan posisi benda asing. Keluhan batuk kronik dan sesak napas
menyerupai gejala pasien asma atau bronkopneumonia.
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut di tonsil, dasar lidah,
valekula, sinus piriformis menimbulkan rasa nyeri pada waktu menelan. Benda asing
di sinus piriformis menunjukkan tanda Jackson, yaitu akumulasi ludah di sinus
piriformis tempat benda asing tersangkut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan foto leher dalam posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher serta
toraks postero anterior dan lateral. Benda yang bersifat radioopak difoto segera
setelah kejadian, sedangkan benda yang radiolusen dibuatkan setelah 24 jam
kejadian, biasanya baru tampak tanda atelektasis atau emfisema. Endoskopi dilakukan
atas indikasi diagnostik dan terapi. Bronkogram dipakai untuk benda asing radiolusen
di perifer pada pandangan endoskopi serta menilai bronkiektasis. Pemeriksaan
laboratorium darah berguna untuk mengetahui gangguan keseimbangan asam basa
dan tanda infeksi traktus trakeobronkial. Cara terbaik untuk melihat saluran napas
secara keseluruhan adalah video fluoroskopi. Gambaran emfisema obstruktif tampak
sebagai pergeseran mediastinum ke sisi paru yang sehat saat ekspirasi dan pelebaran
interkostal.
KOMPLIKASI
Bila lama berada di bronkus, dapat timbul penyakit paru kronik supuratif,
bronkiektasis,abses paru, dan jaringan granulasi yang menutupi benda asing.
Sumbatan total laring yang berlangsung lebih dari 5 menit pada dewasa atau 8 menit
akan menyebabkan kerusakan jaringan otak dan henti jantung.
PENATALAKSANAAN
Yang terbaik adalah pengangkatan segera dengan endoskopi dalam kondisi paling
aman dan trauma yang minimum. Pasien dengan benda asing di laring harus ditolong
segera karena dapat terjadi asfiksia segera. Pada anak dengan sumbatan total laring,
anak dipegang dengan posisi terbalik, kepala ke bawah, kemudian daerah
punggung/tengkuk dipukul, sehingga benda asing dapat dibatukkan ke luar. Cara lain
dengan perasat Heimlich. Bila sumbatan tidak total, perasat ini tidak dapat digunakan.
Pasien dirujuk ke rumah sakit untuk ditolong mengeluarkan dengan cunam dan
laringoskop atau bronkoskop. Bila perlu dilakukan trakeostomi dulu.
Pasien dengan benda asing di trakea harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
bronskoskopi. Benda dikeluarkan dengan bronkoskopi secara segera pada pasien tidur
telentang dalam posisi Trendelenburg, supaya tidak lebih turun ke bronkus. Benda
asing dipegang dengan cunam yang sesuai dan dikeluarkan melalui laring, diusahakan
sumbu panjang benda asing segaris trakea agar mudah. Bila bronkoskopi tidak ada,
dilakukan trakeostomi dan benda asing dikeluarkan memakai cunam/alat penghisap
melalui stoma tersebut. Bila tidak berhasil dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
endoskopi.
Benda asing di bronkus dikeluarkan dengan bronkoskop kaku atau serat optik dan
cunam yang sesuai. Tindakan ini harus segera dilakukan, apalagi bila benda asing
bersifat organik. Bila tidak dapat dikeluarkan, misalnya tajam, tidak rata, dan
tersangkut pada jaringan, dapat dilakukan servikotomi atau torakotomi. Antibiotik
dan kortikosteroid tidak rutin diberikan setelah endoskopi. Dilakukan fisioterapi dada
pada kasus pneumonia, bronkitis purulenta, dan atelektasis. Pasien dipulangkan 24
jam setelah tindakan bila paru bersih dan tidak demam. Pasca bronkoskopi dibuat foto
toraks hanya bila gejala pulmonum tidak menghilang. Pada keadaan tersebut perlu
diselidiki lebih lanjut dan diobati secara tepat dan adekuat.
Benda asing di dasar lidah dilihat dengan kaca tenggorok yang besar. Pasien diminta
menarik lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan
kiri, cunam dengan tangan kanan untuk mengambil benda tersebut. Bila perlu, dapat
disemprotkan silokain atau pantokain. Untuk mengeluarkan benda asing di valekula
dan sinus piriformis dilakukan laringoskopi langsung.
TRAUMA LARING
ETIOLOGI
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi
atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi
endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya
akibat menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
GEJALA KLINIK
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul
mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara
serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat
trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara.
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau frakt
ur tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan
masuk ke jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah
muka, dada, dan abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit.
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak
dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk, luka
sayat, luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan) juga dapat
timbul akibat trauma laring.
DIAGNOSIS
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya
oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring
meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena terjadinya asfiksia. Diagnosis
luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara
pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea.(2)
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada,
sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak
sadar dan sesak nafas.(2)
Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya
dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu mungkin
terdapat suara parau, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat dapat
terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring, sehingga
menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia atau afonia,
hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang ditemukan di
daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran
nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan
adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga
tidak terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk
mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang
rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika
dan serum anti-tetanus.
Luka tertutup (closed injury)
Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan
penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu
kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam
waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat
seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di
kemudian hari.
Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau
konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak
langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan. Pada umumnya
pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian
kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edem, hematoma, atau
laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.
Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah:
1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
2. Emfisema subkutis yang progresif.
3. Laserasi mukosa yang luas.
4. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
5. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya
ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur
atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka
dengan gelambir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring
dapat digunakan stent atau mold dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankan
selama 4 atau 6 minggu.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis pita
suara, dan stenosis laring.
top related