kedudukan hukum adat
Post on 10-Feb-2016
43 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk
dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta
dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan
manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat.
Adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara
dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan
senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi
cukup penting.
Ruang lingkup hukum adat di Indonesia menurut Soerojo Wignjodipoero meliputi
Hukum Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum
Antar Bangsa Adat. Dari pernyataan tersebut tampak bahwa hukum adat meliputi
berbagai bidang kehidupan, sebagaimana suatu system hukum yang lainnya.
Keanekaragaman adat di Indonesia menjadikan hukum adat tetap eksis dan tetap
dijunjung tinggi terutama oleh masyarakat adat. Hukum adat bisa dimasukkan dalam
kerangka hukum positif (Ius Constitutum) yang memiliki sanksi tertentu, namun hukum
adat juga merupakan hukum yang tidak tertulis dan juga tidak dikodifikasikan. Maka
permasalahannya adalah dalam implementasi hukum adat itu sendiri tidak mempunyai
asas legalitas, namun hanya ditaati oleh masyarakat hukum adat secara sukarela.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi
hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan Hakim yang berisi azas-azas hukum
dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berakar pada kebudayaan
tradisional.
Hukum adat mempunyai sifat yang istimewa yaitu hukum adat adalah hukum
rakyat yang tidak tertulis. Demikian pula tidak ada suatu Badan Legislatif yang secara
revolusioner membuat peraturan baru pada setiap perubahan keadaan dan perubahan
kebutuhan hukum. Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupannya sendiri yang
terus-menerus berubah dan berkembang. Hukum adat selalu pula menjalani perubahan-
perubahan yang terus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang
dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan kata tentang pengisian suatu
hukum adat dalam permusyawaratan rakyat. Dalam hal itu, setiap perkembangan yang
terjadi selalu mendapatkan tempatnya di dalam tata hukum adat. Dan hal-hal yang lama
tidak dapat lagi dipergunakan atau dipakai secara tidak revolusioner pula lalu
ditinggalkan.1
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan dan sejak
itu pula menjadi Dasar Hukum tertinggi di Indonesia. Adanya aturan peralihan
memberikan izin terus berlakunya hukum dan perundang-undangan Zaman Kolonial
Belanda dahulu selama belum dicabut, diganti maupun diubah atas kuasa UUD 1945.
Akibatnya dalam pelaksanaannya di masyarakat sering terjadi kekacauan di bidang
hukum. Khususnya dalam lapangan Hukum Sipil/Hukum Perdata dan Dagang. Politik
dualism yang dijalankan oleh pemerintah Kolonial Belanda dahulu di lapangan hukum ini
terus berlanjut sampai sekarang.
Pembentukan Hukum Nasional adalah salah satu cara untuk segera mengakhiri
dualisme dalam system hukum yang berlaku di Negara kita tersebut karena hukum adat
dan Hukum Eropa (Barat) menunjukan perbedaan yang fundamental. Sumbangsih hukum
adat bagi pembentukan hukum nasional, adalah dalam hal pemakaian azas-azas, pranata-
pranata dan pendekatan dalam pembentukan hukum,
B. Rumusal Masalah
1. Bagaimana eksistensi Hukum Adat dalam perkembangan Hukum Modern di
Indonesia?
2. Apa yang menjadi problematika penerapan Hukum Adat dalam tatanan Hukum
Modern?
1 H. Moch Koesno, Hukum Adat Dewasa Ini (Fakultas Hukum UII. 1983). Hal.17
BAB II
PEMBAHASAN
1. Eksistensi Hukum Adat dalam Perkembangan Hukum Modern di Indonesia
Hukum adat bisa masuk dalam kerangka hukum positif ( Ius Constitutum ) yang
memiliki sanksi tertentu, namun hukum adat juga merupakan hukum yang tidak tertulis
dan juga tidak dikodifikasikan. Dalam pengimplementasian hukum adat itu sendiri tidak
mempunyai asas legalitas, namun hanya ditaati oleh masyarakat hukum adat secara
sukarela.
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman
kolonial dan yang masih tetap berlaku pada zaman sekarang, adalah Pasal 131 ayat 2 sub
b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan
sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht)
c. Hukum bagi beberapa golongan bersama- sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila
kepentingan umum memerlukannya.
d. Hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan "syntese” antara hukum adat
dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven atau "ambtenarenrecht" van
Idsinga).2
Hukum adat juga diakui eksistensinya dalam konstitusi Undang-Undang Dasar
1945 yang termuat dalam pasa 18B ayat (2) yaitu “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dari ayat tersebut dapat diambil
intisari bahwa keberadaan hukum adat masih diakui dalam tertib hukum nasional, namun
apabila sepanjang masih ada, dengan kata lain tidak diperkenankan menggali suatu
pranata hukum yang telah mati atau sudah tidak berlaku sejak duhulu. Selain itu, hukum
2 Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012
adat dalam pelaksaannya sebagai sumber hukum yang diakui secara nasional juga harus
sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
Hukum adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam
pasal 1 dan pasal 5. Pasal 1, ditegaskan bahwa, “Kecuali pengadilan desa seluruh badan
pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemenm badan pengadilan swapraja
(Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum
yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan pengadilan adat
(Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan agama jika
pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari
pengadilan adat yang telah dihapuskan”.
Pada tahun 1960 dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 Lampiran A
Paragraf 402, ditetapkan Hukum Adat sebagai Azas-Azas Pembinaan Hukum Nasional.
Garis garis besar politik dibidang hukum adat dalam ketetapan tersebut meliputi:
a. Azas-azas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan
berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat
adil dan makmur.
b. Di dalam usaha kearah homginitas dalam bidang hukum supaya diperhatikan
kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c. Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum waris supaya
diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat, dan lainnya.
Dengan diundangkannya Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tersebut maka kedudukan serta
peranan hukum adat dalam pembinaan hukum nasional menjadi lebih jelas dan tegas,
yaitu sepanjang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur yang
menjadi landasannya.
Hukum adat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 merupakan pengaturan yang sangat
bersentuan langsung dengan masyarakat adat. Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960
ditegaskan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang
tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada hukum agama. Dalam
Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum adat yang disempurnakan dan disuaikan
dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia
internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan
realisasi dari Tap MPRS II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402.
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan keputusan
pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat, juga merupakan sarana
pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum, sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke
masa dapat dilacak perkembangan – perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat
lokal maupun yang telah berlaku secara nasional. Perkembangan- perkembangan hukum
adat melalui yurisprudensi akan memberikan pengetahuan tentang pergeseran dan
tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat lokal dan menguatnya hukum adat
yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat secara nasional.
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, hal ini
ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29
April 1986. Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, hal ini
ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29
April 1986.
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana
diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya.
Hukum adat yang dipakai sebagai azas-azas atau landasan pembinaan hukum
nasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan Nasional dan
Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
2. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan Negara Indonesia yang
berfalsafah Pancasila.
3. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-Peraturan Tertulis
(Undang-Undang)
4. Hukum adat yang bersih dari sifat-sifat Feodalisme, Kapitalisme serta
Pengisapan manusia atas manusia.
5. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan unsur-unsur agama.
Setelah hukum adat dijadikan azas-azas Hukum Nasional maka lahirlah hukum
modern yang antara lain Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, UU ini
menggantikan berbagai jenis hukum yang mengatur masalah pertanahan di tanah air, UU
No 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan dan undang-undang lainnya yang
sampai sekarang digunakan dasar hukum dalam mengatasi permasalahan hukum adat di
Indonesia.
Hukum adat yang dipakai asas-asas atau landasan hukum nasional tersebut diatas
adalah hukum adat yang telah “disaneer” atau telah “dimodenisir” artinya hukum adat
asli atau murni yang dipermuda kembali bentuk-bentuk pernyataannya dengan menerima
pengertian-pengertian dan lembaga-lembaga hukum barat yang telah disesuaikan dengan
iklim serta kondisi dan perasaan hukum masyarakat dan bangsa Indonesia pada abad
sekarang ini.3
3 Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, Gunung Agung, 1982. Hal 28
2. Problematika Penerapan Hukum Adat dalam Hukum Modern
A. PENERAPAN HUKUM CAMPURAN TERHADAP MASYRAKAT
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-
hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda
karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah
saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia, rakyat Indonesia
seolah tak lagi takut pada hukum yang berlaku di negara ini.
Kebanyakan orang akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat di “beli”,
yang menang mereka yang mempunyai kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman
dari gangguan hukum walaupun aturan negara di langgar. Ada pengakuan informal di
masyarakat bahwa karena hukum dapat di beli maka aparat penegak hukum tidak dapat
diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Praktik
penyelewengan dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan,
peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang
gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif
menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum
adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika
menjerat yang kaya dan kuat.
Menurunnya kualitas sebagai negara hukum di Indonesia tidak lepas dari
lemahnya etika para profesional hukum. Menggejalanya perbuatan profesional yang
mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar, baik
sebagai individu anggota masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam organisasi
profesi, di samping sifat manusia yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak
sebanding dengan jasa yang diberikan.
B. KAITAN HUKUM CAMPURAN TERHADAP JALANNYA PERATURAN DI
INDONESIA
Sistem hukum di Indonesia sebernarnya menganut campuran sistem hukum dunia,
Indonesia saat ini masih menganut campuran antara hukum adat, hukum agama, serta
sistem hukum eropa. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena sistem hukum Indonesia
menganut sebagian besar hukum peninggalan Belanda. Indonesia yang notabene menjadi
daerah atau wilayah “jajahan” Belanda selama berabad-abad tentunya tidak bisa lepas
dari sistem hukum yang ditinggalkan Belanda sehingga sistem hukum Indonesia adalah
campuran dari sistem hukum agama, hukum adat, dan hukum Eropa yang lebih tepatnya
hukum Belanda. Selain itu, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga
tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari unsur “agama”. Oleh karena itu, sistem hukum
Indonesia sekarang juga erat kaitannya dengan hukum agama meskipun tak menyerap
seutuhnya dari hukum agama tersebut.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di
Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau
dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan
wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu
masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Dan hukum islam juga
tidak ketinggalan dalam mengatur jalanya peraturan hukum di Indonesia seperti
terbentuknya kitab kompilasi hukum, begitu juga dengan hukum adat yang ada di
Indonesia, Prof. Mr. Cornelius van Vollenhoven, mengatakan bahwa hukum adat adalah;
hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda atau
alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan
Belanda dahulu. Adajuga yang mengatakan hukum adat adalah hukum yang hidup pada
masyarakat setepat (living law), dimana pendapat ini diperkuat oleh Prof. Sacipto
Rahardjo atau yang sering dikenal bapak hukum progresif.
Hukum adat merupakan sistem hukum tertua yang berlaku di dalam suatu
komunitas masyarakat adat, sehingga seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero pernah
mengatakan bahwa ”Ibi Societas, Ibi Ius (Dimana ada masyarakat maka disitu ada
Hukum)”, hukum akan selalu hadir dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial
masyarakatnya dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti perkembangan hukum.
Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, tidak semua adat istiadat dapat
disentuh oleh para petugas hukum dalam bentuk penetapan-penetapan. ( lihat Ter Haar –
teori Beslissingen). Para warga masyarakat pada umumnya bersedia melakukan sesuatu
ketentuan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya, bukan hanya karena ketentuan
itu ditetapkan oleh para penguasa atau para petugas hukum, tetapi karena kesadaran
bahwa ketentuan-ketentuan itu memang sudah sepantasnya ditaati oleh segenap warga
masyarakat.
Di samping penetapan para petugas hukum adat ada beberapa faktor lain yang
menentukan agar adat istiadat berkekuatan mengikat secara materiil yang sempurna,
ialah:
1. Adat istiadat itu sesuai dengan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat
ybs ;
2. Sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi;
3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat ybs;
4. Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.
Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui
proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan
hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan
keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan
yang berlakudalam masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara
masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih hukum negara dalam
menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi?
Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat
peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang
bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan
negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang
mereka hadapi.
Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah di satu
pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang terintegrasi
utuh dengan sistem nilai dan sistem sosial yang mereka anut. Pada bagian lain, negara
hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi,
mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem
kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis
terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat.
Sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari
pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan
atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya
dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantangan upaya
penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan.
Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan
generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum
dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat
adat.
Keempat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan
dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga
sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan
peradilan negara.
Hakim adat yang bertugas pada peradilan adat, dalam melaksanakan tugasnya
harus:
1. Berpegangan pada hukum tertulis yang telah disiapkan sebelumnya ;
2. Berdasar adat istiadat yang sudah pernah diputuskan oleh para petugas hukum
sebelumnya ; dan
3. Harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat, atau yang sesuai dengan rasa keadilan yang
tumbuh dalam masyarakat.
Oleh karena itu hakim adat harus memberi bentuk kepada apa yang dibutuhkan
sebagai kaidah hukum yang berlaku menurut rasa keadilan masyarakat, karena kesadaran
hukum masyarakat itu harus dapat mempengaruhi kesadaran hakim dalam mengambil
keputusan mengenai masalah yang timbul dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas tersebut hakim adat terikat pada :
1. Nilai-nilai yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat ;
2. Sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam masyarakat ;
3. Syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan ;
4. Putusan-putusannya sendiri yang pernah diputuskannya ;
putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah yang serupa yang masih dapat
dipertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hukum adat kita tak kenal sistem precedent. Bilamana hakim tidak mendapatkan
putusan yang lampau mengenai masalah yang sama atau bilamana putusan yang lampau
itu tidak mungkin lagi dipertahankan, maka hakim harus mencarinya dalam kenyataan
yang hidup dalam masyarakat, dengan memperhatikan beberapa pedoman penting, yaitu
(Prof.Djojodigoeno) :
1. Azas-azas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan ukuran statis,
guna mengabdi tujuan hukum yang bernama “tata”;
2. Keadaan masyarakat pada waktu sekarang, yang merupakan ukuran dinamik,
guna mengejar “tata masyarakat yang adil”; dan
3. Individualitas masing-masing kasus yang merupakan ukuran plastis.
Dengan demikian, maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu
perkara menurut hukum adat dapat berupa :
1. Melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada, sepanjang masih
mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
2. Tidak melaksanakan aturan hukum adat yang ada, melainkan memberi
penetapan baru, bilamana menurut keyakinan dan rasa keadilan hakim, aturan
hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
3. Hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah, kalau terjadi hal-hal
sebagai berikut;
peristiwa/faktanya tidak terang (siapa yang salah) hukum yang menguasai perkara
itu tidak jelas; kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan
rasa tidak puas masyarakat.
Kesimpulan
1. Hukum adat bisa masuk dalam kerangka hukum positif ( Ius Constitutum ) yang
memiliki sanksi tertentu, namun hukum adat juga merupakan hukum yang tidak
tertulis dan juga tidak dikodifikasikan. Dalam pengimplementasian hukum adat
itu sendiri tidak mempunyai asas legalitas, namun hanya ditaati oleh masyarakat
hukum adat secara sukarela. Hukum adat juga diakui eksistensinya dalam
konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang termuat dalam pasa 18B ayat (2)
yaitu “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.” Dari ayat tersebut dapat diambil intisari
bahwa keberadaan hukum adat masih diakui dalam tertib hukum nasional, namun
apabila sepanjang masih ada, dengan kata lain tidak diperkenankan menggali
suatu pranata hukum yang telah mati atau sudah tidak berlaku sejak duhulu.
2. Sistem hukum di Indonesia sebernarnya menganut campuran sistem hukum dunia,
Indonesia saat ini masih menganut campuran antara hukum adat, hukum agama,
serta sistem hukum eropa. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena sistem hukum
Indonesia menganut sebagian besar hukum peninggalan Belanda. Indonesia yang
notabene menjadi daerah atau wilayah “jajahan” Belanda selama berabad-abad
tentunya tidak bisa lepas dari sistem hukum yang ditinggalkan Belanda sehingga
sistem hukum Indonesia adalah campuran dari sistem hukum agama, hukum adat,
dan hukum Eropa yang lebih tepatnya hukum Belanda. Selain itu, Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam juga tidak bisa melepaskan diri begitu
saja dari unsur “agama”. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia sekarang juga
erat kaitannya dengan hukum agama meskipun tak menyerap seutuhnya dari
hukum agama tersebut.
Saran
Dikarenakan masyarakat di Indonesia masih menggunakan hukum adat sebagai
suatu acuan, hal ini membuktikan akan eksistensi hukum adat yang terus ada dari zaman
dahulu hingga zaman sekarang, dan tentunya akan tetap eksis ditengah-tengah
masyarakat Indonesia hingga kedepannya. Diakui nya hukum adat yang tertuang di dalam
UUD 1945 menunjukan bahwa memang Indonesia akan terus menganggap keberadaan
Hukum Adat di dalam masyarakat Indonesia.
Hukum adat adalah suatu kebiasaan yang ada di dalam masyarakat, dan perkara
hukum yang terus terjadi pun masih terikat dengan hukum adat, sehingga perlu tetap
dianggap sebagai salah satu sumber hukum demi terciptanya keadilan bagi masyarakat
indonesia,
Daftar Pustaka
Koesno Moch, Hukum Adat Dewasa Ini, Fakultas Hukum UII, 1983
Wignjodipoero Soerojo, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan, Gunung Agung, 1982.
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012
top related