kedudukan anak kandung sah dan anak luar kawin menurut hukum adat serta hukum perdata
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN ANAK KANDUNG SAH DAN ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ADAT SERTA HUKUM PERDATA
Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah
Hukum Adat
OLEH :
Sandy Muslim 0910611047
Hery Purnomo 0910611052
Jurusan : S1 Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya
sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari
makalah ini adalah ”Kedudukan Anak Kandung Sah dan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Adat Serta Hukum Perdata”. Penulisan makalah ini ditujukan
intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian dalam mata kuliah Hukum Adat
semester ganjil di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta.
Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
adanya dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu
dalam pembuatan makalah ini.
2. Dwi Aryanti Ramadhani, S.H., M.H. , selaku dosen Hukum Adat.
3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan
makalah ini, yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu.
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca. Namun, makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena
itu, sangat diperlukannya kritik dan saran yang dapat membangun makalah
ini sehingga menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis mengucapkan maaf
yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan yang mungkin ada didalam
makalah ini.
Jakarta,Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
1.3. Tujuan Penulisan..................................................................................... 3
1.4. Metode dan Teknik Penulisan................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Anak
2.1.1 Definisi Anak Kandung Sah.......................................................... 5
2.1.2. Definisi Anak Luar Kawin.............................................................. 6
2.2. Kedudukan Anak Kandung Dalam Hukum Adat dan Perdata
2.2.1. Kedudukan Anak Kandung Dalam Hukum Adat........................... 8
2.2.2. Kedudukan Anak Kandung Dalam Hukum Perdata....................... 9
2.3. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Dan
Perdata
2.3.1. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat..................... 10
2.3.2. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata................ 13
BAB III PENUTUP......................................................................................................... 18
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 19
Lampiran....................................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian
berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya
dalam keluarga dan bagaimana seharusnya dia diperlakukan oleh
kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan
Negara. Melalui kebijakan-kebijakan dalam mengayomi anak. Menurut
ajaran islam, anak merupakan amanah Allah dan tidak bias dianggap
sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati orang
tuanya. Sebagai amanah, anak harus diperlakukan dan dijaga sebaik
mungkin oleh orang yang memegangnya yaitu orang tua. Anak adalah
manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak mungkin bisa
dihilangkan dengan alasan apapun.
Hal ini lah yang melatarbelakangi pemilihan judul makalah ini yaitu “KEDUDUKAN ANAK KANDUNG SAH DAN ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ADAT SERTA HUKUM PERDATA”.
.
1.2. Rumusan Masalah
Anak kandung sah adalah anak yang dilahirkan dalam
perkawinan yang sah, mempunyai ibu yang melahirkannya (ibu
biologis) dan ayah yang menikahi ibu yang melahirkannya (ayah
biologis) serta memiliki kedudukan yang terpenting di dalam keluarga
somah (gezin) masyarakat adat. Disamping oleh orang tuanya, anak
itu dilihat sebagai generasi penerus, juga dipandang sebagai wadah
atau tempat tumpuan dimana semua harapan orang tuanya kelak
kemudian hari. Wajib ditumpahkan juga dipandang sebagai pelindung
orang tuanya disaat orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik
untuk mencari nafkah sendiri.
Namun tidak semua anak lahir dari perkawinan yang sah,
Kehadiran seorang anak di luar perkawinan akan menjadikan suatu
permasalahan yang cukup memprihatinkan baik bagi seorang wanita
yang melahirkan maupun bagi lingkungan masyarakat setempat. Di
mana dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan
menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan diantara keluarga
maupun di dalam masyarakat mengenai kedudukan hak dan
kewajiban anak tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama anak luar kawin secara
prinsip hukum adat dicela, tetapi merupakan kajian yang menarik bila
ternyata cela hukum adat terhadap anak luar kawin justru dapat
dikesampingkan, di mana pada kenyataannya penyimpangan yang
dimaksud terjadi juga dengan berlandas kepercayaan akan petaka
adat yang bersumber dari kentalnya kepercayaan masyarakat
terhadap mitos yang ada. Jika didalam kehidupan masyarakat ternyata
ada seorang wanita yang melahirkan anak dan tidak mempunyai
seorang suami, merupakan masalah yang penting pada kehidupan
individu keluarganya maupun dalam masyarakat, karena anak luar
kawin itu akan hidup ke dalam kehidupan masyarakat seperti halnya
anak sah. Seorang anak luar kawin, menurut hukum adat di Jawa
Tengah, dianggap (fiksi) tidak mempunyai bapak dan oleh karenanya
juga tidak memiliki hubungan kekeluargaan dari pihak bapak. Anak
tersebut hanya mempunyai hubungan dengan ibunya, dan keluarga
ibunya, tidak ada perbedaan antara anak yang sah dan anak di luar
perkawinan dalam hal pemeliharaan
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai anak tidak sah atau
diluar kawin, kedudukan hukum yaitu yang berkaitan dengan hak-hak
keperdataan mereka tentu saja sangat tidak menguntungkan, dimana
berdasarkan pasal 43 ayat 1 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan “bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya
dan keluarga ibunya”.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat mengemukakan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan anak kandung sah serta anak luar kawin
menurut hukum adat dan hukum perdata?
2. Apa saja hak-hak keperdataan yang hilang dari anak luar nikah?
3. Bagaimana cara memperoleh hubungan hukum terhadap ayah
bagi anak luar nikah?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui kedudukan anak kandung sah serta anak luar kawin
menurut hukum adat dan hukum perdata.
2. Mengetahui hak-hak keperdataan yang hilang pada anak luar
kawin.
3. Mengetahui cara memperoleh hubungan hukum terhadap ayah
bagi anak luar kawin.
1.4. Metode Dan Teknik Penulisan
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan
karya ilmiah ini adalah studi pustaka. Studi pustaka digunakan untuk
mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis untuk
disesuaikan dengan fakta yang terjadi sebagai penyebab
permasalahan yang terjadi dalam karya ilmiah ini. Sumber-sumber
yang dijadikan rujukan dalam karya ilmiah ini diperoleh dari berbagai
sumber bacaan, baik itu buku referensi maupu situs-situs internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di artikan
sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai
manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya
seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu
dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.
2.1.1. Definisi Anak Kandung Sah
Dalam pasal 250 KUH Perdata yang berbunyi anak
sah adalah “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.”
Dalam pasal 42 undang-undang no.1 tahun 1974
tentang perkawinan yang berbunyi “Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”.
Dalam kompilasi hukum islam pasal 99: Anak yang
sah adalah :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan
yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim
dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Menurut hukum adat, anak kandung sah adalah anak
yang dilahirkan dalam perkawinan sah, mempunyai ibu
yaitu wanita yang melahirkannya dan mempunyai bapak
yaitu suami dari wanita yang melahirkannya.
2.1.2. Definisi Anak Luar Kawin
1. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan :
Undang-undang ini tidak secara tegas memberikan
pengertian tentang istilah “anak luar kawin” tetapi hanya
menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar
nikah, hal ini sebagaimana bunyi pasal 42-43 yang pada
pokoknya menyatakan :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan
di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya
dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin adalah
anak yang dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki
hubungan keperdataan dengan ibunya saja.
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak luar kawin merupakan anak yang dilahirkan
dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan diluar pernikahan yang sah. Predikat sebagai
anak luar kawin tentunya akan melekat pada anak yang
dilahirkan diluar pernikahan tersebut.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua macam yaitu
sebagai berikut:
A. Anak luar kawin dalam arti luas adalah anak luar
pernikahan karena perzinahan dan sumbang. Anak Zina
adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar
nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah
satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan
orang lain sementara Anak Sumbang adalah Anak yang
dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan
undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.
Sebagaimana kita ketahui, Pasal 8 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melarang
Perkawinan antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu
dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak
susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.
B. Anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang
dilahirkan diluar pernikahan yang sah.
Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki
hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa
disahkan pun tidak ada akibat hukumnya (Pasal 288
KUHPerdata). Kedudukan anak itu menyedihkan. Namun
pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan,
karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya
diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.
2.2. Kedudukan Anak Kandung Dalam Hukum Adat dan Perdata
2.2.1. Kedudukan Anak Kandung Menurut Hukum Adat
Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya pada
perumusan masalah, bahwa anak kandung sah memiliki
kedudukan yang terpenting di dalam setiap somah (gezin)
masyarakat adat. Di samping oleh orang tuanya anak itu
dilihat sebagai generasi penerus serta dipandang sebagai
tempat tumpuan bagi orang tuanya.
Orang karenanya maka sejak anak itu masih di
dalam kandungan hingga dia dilahirkan , bahkan kemudian
dalam pertumbuhan selanjutnya dalam masyarakat adat
terdapat banyak upacara-upacara adat yang sifatnya
religio magis yang menyelenggarakannya berurutan
mengikuti perkembangan fisik anak tersebut yang semua
itu bertujuan untuk melindungi anak beserta ibu yang
mengandung serta melahirkannya dari segala bahaya dan
gangguan-gangguan, serta kelak setalah anak dilahirkan
agar dapat menjelma menjadi anak yang dapat memenuhi
harapan orang tua yang melahirkannya dan mengurusnya.
Contoh : dalam masyarakat adat priangan (Jawa Barat)
a. Ketika anak masih dalam kandungan
pada bulan ke-tiga, ke-lima, ke-tujuh, dan ke-sembilan
dilakukan, dan pada bulan ke-tujuh kehamilan
upacaranya dinamakan tingkeb.
b. Pada saat anak lahir
diadakan upacara penanaman bali (plasenta) atau
kalau tidak ditanam dilakukan upacara penghanyutan
kearah laut.
c. Dan seterusnya
2.2.2. Kedudukan Anak Kandung Menurut Hukum Perdata
Kedudukan anak kandung dalam KUH Perdata
merupakan kedudukan tertinggi, dimana si anak berhak
atas pemenuhan kebutuhan dari kedua orang tuanya baik
pendidikan, pewarisan, pemeliharaan, perwalian nikah, dan
perwakilan di dalam ataupun di luar pengadilan serta
segala hak anak dari kedua orangtuanya dengan sendirinya
melekat kepadanya. Hal ini sangat berbeda dengan
kedudukan anak luar kawin yang meletakkan kedudukan
anak luar nikah hanya memiliki hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2.3. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat dan Perdata
2.3.1. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat
Kedudukan hukum dari seorang anak yang
dilahirkan di luar ikatan perkawinan menurut hukum adat
adalah sama seperti seorang anak sah dalam hubungan
terhadap ibunya. Jadi anak itu pada dasarnya mempunyai
hubungan hukum sebagai anak dengan dengan orang
tuanya hanya terhadap wanita yang melahirkannya,
sedangkan dengan lelaki yang menyebabkan ia lahir tidak
terdapat hubungan hukum.
Kita dapat memproyeksikan kedudukan anak luar
kawin dengan melihat kepada masyarakat adat di beberapa
daerah seperti di Mentawai, Timor, Minahasa, dan Ambon
wanita yang melahirkannya itu adalah ibu dari anak yang
bersangkutan sehingga biasa saja seperti kejadian normal
dimana seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan
sah.
Akan tetapi di beberapa daerah lainnya ada
pendapat yang wajib mencela dengan keras terhadap si ibu
yang tidak kawin melahirkan serta terhadap anaknya yang
dilahirkannya tersebut.
Namun dengan perkembangan kebudayaan maka
terciptalah aturan-aturan untuk mencegah si ibu dan si anak
tersebut tertimpa nasib yang malang dengan terbentuknya
lembaga hokum tertentu dalam pergaulan suasana hukum
adat yang disebut lembaga hukum kawin penutup malu
(Schaamte Bedekking) yang dapat di bedakan :
1. Kawin Paksa (Gedwongen Huwelijk)
Ialah perkawinan dimana seorang wanita yang tidak
dalam keadaan kawin tetapi mengandung dengan lelaki
yang menyebabkan wanita itu mengandung (Kapang
Tubas-Lampung). Tindakan demikian misalnya di
Sumatera Selatan selalu di ambil dalam rapat marga,
demikian pula di Bali bahkan apabila pria tersebut tidak
mau mengawini wanita yang telah mengandung dan
melahirkan anak karenanya maka ia dapat dijatuhi
hukuman.
2. Kawin Sempurna (Nood Huwelijk)(Lap Huwelijk)
Adalah perkawinan dimana seorang wanita yang tidak
kawin tetapi mengandung dengan laki-laki siapa saja
yang mau menjadi suami dengan maksud agar
kelahiran bayi jatuh dalam perkawinan.
Dan apabila tidak ada yang mau maka wanita itu
dikawinkan dengan kepala suku atau kepala desa.
a) Pada orang Jawa kawin darurat (Lap Huwlijk) ini
dinamakan nikah tambelan.
b) Pada orang Bugis disebut Pattiongkoq Siriq, dan
c) Di Jawa Barat disebut Kawin Tambe(a)lan atau
kawin liwat atau kawin bapak angkat
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
tanggal 3 September 1958 No. 216 K/Sip/1958
menyatakan bahwa “didalam hukum adat pada
dasarnya setiap anak yang lahir didalam ikatan
perkawinan adalah sah meskipun kelahirannya
disebabkan oleh laki-laki lain. Secara yuridis ibu dari
anak tersebut adalah wanita yang melahirkannya dan
ayah anak tersebut adalah suami dari wanita itu”.
Dalam hak kewarisan anak luar nikah, menurut
hukum adat yang hukum keluarganya bersistem
parental, kiranya tidak memberi kesulitan. Oleh karena
anak tersebut dapat mewaris secara penuh dari ibunya
maupun menggantikan kedudukan ibunya dalam
mewaris dari neneknya.
Di daerah Jawa anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah adalah anak kowar, anak ini
hanya dapat mewaris dari ibunya atau keluarga ibunya.
Walaupun demikian apabila kemudian ibunya setelah
anak itu lahir kawin dengan lelaki yang membenih anak
tersebut dan anak itu tinggal bersama ayah kandungnya
itu, si anak tetap tidak dapat mewaris dari bapaknya.
Begitu pula anak yang lahir dari ayah ibunya yang
kemudian cerai kemudian rujuk kembali secara diam-
diam tanpa dilakukan di hadapan pejabat negara atau
agama, ia tetap anak kowar dan tidak bersah sebagai
ahli waris. Anak Luar Kawin yang tidak layak menjadi
ahli waris apabila :
a. Jika oleh hakim ia dihukum karena membunuh
pewaris, jadi wajib ada putusan hakim yang
menghukumnya.
b. Jika ia secara paksa mencegah kemauan pewaris
untuk membuat wasiat.
c. Jika ia melenyapkan atau memalsu surat wasiat dari
pewaris.
d. Melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.
2.3.2. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata
Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan telah mengatur bahwa anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya da keluarga ibunya. Ketentuan ini
dipertegas pula dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia bahwa anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Sebagai konsekuensinya akta kelahiran
anak tersebut hanya mencantumkan anak dari ibu
kandungnya. Juga tentang hak waris, ia hanya bisa menjadi
ahli waris dari ibu dan keluarga ibu. Sekalipun akta
kelahirnya terkesan kurang lengkap, namun sesungguhnya
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta kelahiran
dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.
Dalam praktiknya akta tersebut bisa dipergunakan untuk
berbagai kepentingan, misal untuk melanjutkan studi,
melamar pekerjaan, dan sebagainya. Bila suatu ketika ayah
biologis mengakui bahwa itu anaknya, lalu menikahi ibu
anak tersebut, maka akan memiliki status keperdataan
yang lengkap, sehingga akta anak tersebut bisa
ditingkatkan menjadi anak ayah dan ibu.
Sejalan dengan ini Pasal 272 KUHP Perdata
memberikan rumusan, bilamana seorang anak dibenihkan
di luar perkawinan, menjadi anak sah apabila sebelum
perkawinan orang tuanya telah mengakui anak luar nikah
itu sebagai anaknya. Pengakuan ini membawa serta akibat
yuridis, di antaranya tentang tentang kewajiban dalam
pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, menjadi
ahli waris dari ayah dan ibu serta keluarga ayah dan ibu
dan sebagainya.
Berikut merupakan hak-hak keperdataan yang hilang
bagi seorang anak luar kawin :
1. Alimentasi atau tunjangan nafkah yang ditujukan bagi
keluarga sedarah di dalam garis lurus ke bawah atau ke
atas. Undang-undang perkawinan mengatur hal ini
dalam pasal 45 dan pasal 46 sebagai berikut :
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara
menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga
dalam garis lurus ke atas bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa anak luar
kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan
ibu dan keluarga ibu, sehingga secara hukum ayah
biologis anak tidak memiliki kewajiban untuk membiayai
kehidupan dan pendidikannya. Begitu pula sebaliknya si
anak tidak memiliki kewajiban untuk memelihara
ayahnya.
2. Hak untuk mendapatkan warisan
Andaikan si ayah biologis dari anak luar kawin
tersebut meninggal dunia, si anak tidak akan
mendapatkan warisan, sebab dia bukan merupakan ahli
waris. Ahli waris yang sah menurut hokum adalah anak
yang sah dari pewaris (orang yang telah meninggalkan
harta warisan). Hal ini dapat dilihat pada pasal 852 KUH
Perdata yang isinya “Anak-anak atau Keturunan-
keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai
perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua
mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-
keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis ke
atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran
yang lebih dulu…..”
2.4. Pengakuan Anak Luar Kawin
Menurut peraturan perundang-undangan , anak luar kawin
tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya dan keluarga
ayahnya sama sekali. Jika si ayah ingin mendapatkan hubungan
hukum dengan si anak, hokum sudah menyediakan jalan
keluarnya, yaitu dengan melakukan pengakuan anak.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengakuan anak yaitu
pengakuan tersebut haruslah disertai dengan persetujuan ibu
selama ia masih hidup, yang mana diatur dalam pasal 284 KUH
Perdata yang menyebutkan “tiada pengakuan anak luar kawin
dapat diterima selama ibunya hidup, meskipun ibu itu termasuk
golongan Indonesia atau yang disamakan dengan golongan itu,
bila si ibu tidak menyetujui pengakuan itu…..”.
Pengakuan menurut pasal 281 KUH Perdata harus
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Melalui akta kelahiran si anak pada waktu pelaksanaan
perkawinan.
2. Akta otentik yang dilakukan di hadapan catatan sipil.
3. Akta lainnya, misalkan akta notaris yang khusus dibuat
untuk keperluan itu dan ditulis dalam surat wasiat yang
kemudian akan dicantumkan di dalam akta lahir si anak.
Bagian warisan anak luar kawin yang diakui setelah seorang
anak diakui, maka secara hukum dia berhak atas warisan si ayah.
Jika suatu hari si ayah meninggal, maka si anak yang diakui
warisan anak yang diakui tersebut diatur dengan cara tersendiri
dan berbeda dengan anak sah. mengenai pembagiannya diatur
seperti di bawah ini :
1. Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau
seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3
bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka
sebagai anak-anak yang sah. Seperti dalam bunyi pasal 863
KUHPerdata yang menyebutkan : “Jika yang meninggal itu
meninggalkan keturunan yang sah menurut undang-undang atau
seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris
sepertiga dari bagian yang sedianya mereka terima seandainya
mereka anak-anak yang sah menurut undang-undang……”.
2. Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun
suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam
garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst) atau saudara laki-laki dan
perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui
tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun jika hanya terdapat
saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang
diakui tersebut mendapat 3/4. Dimana hal ini diatur dalam pasal
863 KUHPerdata yang isinya : “....; Jika si meninggal tak
meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, akan tetapi
meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas, ataupun
saudara laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka
mereka mewaris setengah dari warisan; dan jika hanya ada sanak
saudara dalam derajat yang lebih jauh, tida perempat”.
3. Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah,
maka mereka memperoleh seluruh warisan. Diatur dalam pasal
865 KUHPerdata yang berbunyi :” Jika si meninggal tak
meninggalkan ahli waris yang sah, maka sekalian anak luar kawin
mendapat seluruh warisan”).
BAB III
PENUTUP
Dari hasil pembahasan di atas maka dapat penulis simpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Bahwa kedudukan anak kandung dari sudut pandang hukum adat
dan hukum perdata adalah sama, dimana anak kandung memiliki
hak kewarisan dari kedua orang tuanya. Hal ini berlawanan dengan
anak luar kawin dimana hanya dapat mewaris dari ibu dan keluarga
ibunya. Pasal 43 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2. Dalam hukum perdata dimungkinkan anak luar kawin untuk
mendapatkan hubungan hukum dengan ayahnya dengan cara
pengakuan anak luar kawin sebagaimana di jelaskan pada BAB II.
3. Dalam hukum adat, untuk mengantisipasi terjadinya anak luar
kawin maka dibentuklah lembaga hokum kawin penutup malu
(Schaamte Bedekking) yang dapat di bedakan :
Kawin Paksa (Gedwongen Huwelijk)
Kawin Sempurna (Nood Huwelijk)(Lap Huwelijk)
Daftar Pustaka
Tolib setiady, Bey, S.H. M.Pd., (2008), “Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam
kajian kepustakaan)”, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Subekti, Prof. S.H., (2001), “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, PT Intermasa,
Jakarta.
LAMPIRAN
Sarah Amalia
SAAT MELAHIRKAN, INGIN DITEMANI SUAMI
Di saat sang istri tengah hamil 7 bulan, Ariel "Peter Pan" malah dikabarkan
(masih) menjalin hubungan dengan model cantik, Luna Maya. Gosipnya, Ariel
bahkan berani membawa Luna menginap di Bandung, sementara dengan sang
istri, ia tak kunjung tinggal seatap. Sang istri pun hanya pasrah. Satu
harapannya, Ariel menemani saat proses persalinan.
Ariel Peter Pan seolah tak habis membuat berita. Setelah heboh kehamilan Sarah
Amalia, kekasih yang akhirnya dinikahi Ariel secara resmi, 30 Januari lalu, kini
vokalis Peter Pan tersebut kembali dilanda gosip tak sedap. Ia disebut-sebut
masih saja terus menjalin hubungan kasih dengan seorang model, Luna Maya.
Bahkan, kabarnya Ariel berani membawa Luna menginap di rumah keluarganya
di Bandung, pertengahan minggu lalu.
Luna dikabarkan sempat menginap selama 2 hari di kediaman keluarga Ariel.
Keduanya bahkan sempat berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan di kota
kembang. Sepulang dari Bandung, Ariel hanya sebentar singgah di Jakarta. Kamis
(7/4) ia bertolak ke Malaysia, dan tak dapat dihubungi hingga berita ini
diturunkan. Lalu bagaimanakah Sarah Amalia, istri sah Ariel, menanggapi kabar
ini?
BERUSAHA TEGAR
Semula, ketika NOVA menanyakan kabar burung tersebut kepada Sarah alias Lia,
Kamis
(7/4) siang, wanita cantik ini mengaku terkejut. "Ah, masa sih?" ujarnya dari
seberang telepon. Kaget dan kecewa, jelas terdengar dari nada bicara wanita
yang tengah mengandung 7 bulan ini.
Meski begitu, Lia memilih bersikap bijak. "Aku enggak mau termakan gosip. Nanti
malah runyam," ujar Lia tenang. Sebagai istri, Lia ingin mempercayai sang suami
sepenuhnya. "Kalau itu benar aku enggak akan bikin apa-apa. Biar Tuhan saja
yang membalas. Aku toh, bisa apa?" ujarnya pasrah.
Justru wanita kelahiran 16 Desember 1979 ini, sengaja bersikap cuek. "Aku
enggak mau banyak pikiran. Aku mau konsentrasi ke bayiku aja," sambung Lia
lewat pesan singkat yang dikirimnya Jumat (8/4).
Dengan nada bercanda Lia melanjutkan, "Kalau aku stres, nanti bayiku keluarnya
enggak bisa senyum, lagi. Hehe." Begitulah. Lia berusaha tetap tegar. Setegar
fisiknya yang masih beraktivitas seperti biasa dan mengendarai mobil sendiri ke
manapun ia pergi.
Ngidam Pasta dan Keju
Ketegaran Lia ini mau tak mau mengundang decak kagum. Bayangkan saja, sejak
resmi menikah 30 Januari lalu, hingga kini Lia belum juga tinggal satu atap
dengan sang suami. Hal ini tentu saja mengundang tanya. Namun, Lia tak protes.
"Enggak apa-apa. Ariel, kan, sibuk. Enggak selalu ada di Jakarta. Jadi, saat ini biar
saja tinggal sendiri-sendiri."
Demi sang suami pula, Lia selalu menghindari wawancara dengan wartawan. Di
beberapa kesempatan, ia menyiratkan sikapnya ini karena tak ingin salah
berucap. Pun ketika beberapa wartawan mendatangi kantornya di Kemang,
Jakarta Selatan, Jumat (8/4) sore. Setelah berkali-kali menolak wawancara,
akhirnya Lia bersedia ditemui, meski hanya mau bercerita tentang kondisi
kehamilannya.
Ditemani beberapa anggota keluarganya, mengalirlah cerita dari mulut Lia.
"Kehamilanku udah masuk 7 bulan. Alhamdulillah, dari awal sampai sekarang,
semuanya baik-baik saja," ujar Lia yang mengaku sering mual-mual pada 4 bulan
pertama kehamilan.
Uniknya, tak seperti perempuan hamil lain, Lia ternyata pintar mengontrol emosi.
"Kalau ngidam, sih, aku ada. Jadi suka makan aneka pasta dan keju. Kadang-
kadang malah aku suka bikin sendiri," cerita Lia ceria yang sejak hamil tak tahan
dengan bau susu. "Sempat aku enggak bisa minum susu, saking eneknya.
Sekarang, sih, alhamdulillah, sudah bisa."
Karena kerap mual dan muntah, berat badan Lia di awal kehamilan malah susut 4
kg. "Tapi sekarang sudah seperti ibu-ibu hamil lainnya," ucap Lia yang mengaku
belum tahu kapan akan menggelar acara Nujuh Bulanan. "Mungkin nanti, saat
aku ada waktu."
Lia pribadi mengaku tak memusingkan berbagai detail upacara adat. "Aku, sih,
senang aja. Tapi yang paling penting, sih, pengajiannya," ujar Lia yang hingga
saat ini belum membeli baju dan perlengkapan bayi. "Setelah tujuh bulanan, baru
belanja."
Yang ada di benak Lia hanya menjaga kesehatannya dan sang jabang bayi
dikandungannya. "Aku rutin periksa ke dokter, minimal sebulan sekali," ujar Lia
yang ternyata tak pernah ditemani Ariel saat ke dokter. "Tapi banyak, kok, orang-
orang yang menyayangi aku, menemani aku," ujarnya tersenyum.
Jika tante atau keluarganya tak bisa, cerita Lia, dirinya punya beberapa sahabat
yang selalu siap menemani. Tak sedihkah Lia, sedang hamil besar tapi tak pernah
ditemani suami? "Orang hamil, kan, enggak boleh sedih," ujar Lia.