kebijakan pendistribusian pasukan militer amerika …
Post on 21-Oct-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN PASUKAN MILITER
AMERIKA SERIKAT DARI OKINAWA KE GUAM, HAWAI,
DAN DARWIN 2006-2014
Skripsi
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Ardhiana Fitriyanie
1110083000004
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
iv
ABSTRAK
Setelah Jepang mengakui kekalahannya pada Perang Dunia II tahun
1945, dan disaat yang bersamaan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer
skala besar sehingga, wilayah Jepang dijaga oleh AS dan tentara Sekutu
lainnya selaku pemenang Perang Dunia II. Pada tahun 1960 dengan
menandatangani perjanjian aliansi Treaty of Mutual Cooperation and
Security, AS kemudian secara legal mendirikan pangkalan militernya di
seluruh daratan Jepang sebagai komitmen AS menjaga teritori Jepang dari
ancaman eksternal serta menjaga stabilitas Kawasan Timur Jauh. Tetapi
pembangunan dan penempatan pasukan militer AS di Jepang khususnya di
Okinawa mendapatkan reaksi penolakan dari penduduk lokal Okinawa dan
meminta pemerintah Jepang untuk menutup pangkalan militer AS dari
wilayah mereka.
Selama bertahun-tahun Pemerintah Jepang telah berupaya untuk
membujuk AS mengenai pemindahan pangkalan militernya dari Okinawa
hingga pada tahun 2006, respon AS cukup mengejutkan yaitu mengeluarkan
kebijakan luar negeri berupa pendistribusian pasukan militer sebanyak 9000
personil dan memindahkannya ke tiga lokasi yakni Guam, Hawai, dan
Darwin yang tertuang dalam U.S.-Japan Alliance: Transformation and
Realignment for the Future.
Persetujuan AS untuk memindahkan pasukan militernya dari Okinawa
sebanyak 9000 bukanlah tanpa alasan, dimana dalam penelitian ini
ditemukan bahwa alasan terbesar AS mendistribusikan pasukan milliternya
dari Okinawa adalah karena kekhawatiran AS akan peningkatan kekuatan
militer Cina di Kawasan Asia Pasifik. Penelitian ini juga berhasil melihat
dengan kekhawatiran AS tersebut, akhirnya mengarahkan AS untuk
menggunakan strategi baru yaitu Hedging. Hedging bukan saja balancing
atau engagement melainkan memadukan kedua strategi tersebut secara
bersamaan.
Selain itu penelitian ini juga menemukan alasan AS memilih Guam,
Hawai dan Darwin yaitu AS dapat mendirikan banyak akses “lily pads” di
Kawasan Asia Pasifik untuk memperkuat “Hub and Spoke” dengan negara-
negara aliansi AS maupun non-aliansi. Sehingga hegemoni AS di kawasan
Asia Pasifik tidak tergeser oleh kehadiran Cina. Kepentingan AS di kawasan
merupakan faktor utama AS yang pada akhirnya mau mendistribusikan
pasukan militernya dari Okinawa tahun 2006.
Kata kunci: AS, Jepang, Distribusi Pasukan Militer, Pangkalan Militer
AS, Kebijakan Luar Negeri, Hedge, Lily Pads, Keamanan Nasional, Aliansi.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat-
Nyalah peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan
Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai,
dan Darwin (2006-2014)”. Peneliti sangat menyadari hanya karena Dialah peneliti
mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Peneliti menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan,
bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Orang tua tercinta Ayahanda Sukardi dan Ibunda Sri Suratmi yang telah
memberikan dukungan baik moral maupun materil kepada peneliti serta
tidak pernah lelah memberikan semangat dan doa agar peneliti mampu
menyelesaikan skripsi ini.
2. Kakak peneliti yaitu Ardhiana Sitarusmi yang selalu ada untuk peneliti
sebagai patner bertukar pikiran dalam semua bidang baik akademik
maupun non akademik.
3. Debby Affianty, M.Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan
Agus Nilmada Azmi, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Teguh Santosa, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi peneliti yang
tanpa henti memberikan saran, kritikan, arahan, kesabaran serta berbagi
pengalaman baik ilmu maupun kehidupan.
vi
5. Adian Firnas, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk kepada peneliti selama
menjalankan perkuliahan di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Para dosen dan staff FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
jajaran dosen jurusan Hubungan Internasional atas ilmu yang diberikan
selama peneliti menjalankan kegiatan perkuliahan dan bantuan dalam
urusan administrasi selama masa kuliah.
7. Narasumber yang telah menyediakan waktu untuk memberikan
kesempatan peneliti untuk bertanya mengenai berbagai hal terkait isu
yang peneliti ambil dalam materi skripsi yaitu Jonathan Berkshire Miller
dari Pacific Forum Centre for Strategic and International Studies
(CSIS), John Hemmings dari London School of Economics (LSE), Iis
Gindarsah dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
Indonesia, David Vine dari American University, dan Terence Roehrig,
PhD dari US Naval War College.
8. Teman-teman terbaik peneliti yaitu Mentari Rika Noviandri, Putu Ayu
Widyantini, Prasetyo Dharma, M.Khusni Mubarak yang telah
memberikan semangat serta dorongan moril agar peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini.
9. Teman-teman terbaik peneliti di HI A yaitu Ramadhani Eko. P, Nabila
Fatma Giyanti, Nuning Sintya Defa, Meri Puji Astuti, Clara Safitri, Gina
Nurbaiti, Anggi Febrianto, M. Yoga, Syafiq Muhammad, dan Siti
Kholilah. Pengalaman selama empat tahun perkuliahan adalah
pengalaman yang luar biasa.
vii
10. Teman-teman HI A 2010 yang tidak bisa sebutkan satu persatu.
Terimakasih atas kepercayaan kalian menjadikan peneliti sebagai wakil
ketua kelas abadi bersama Ramadhani Eko. Empat tahun perkuliahan
terasa singkat jika bersama kalian. Terima Kasih telah berjuang bersama
dan menjadi kelas terbaik.
11. Teman-teman International Studies Club (ISC) yang telah banyak
memberikan pengalaman berorganisasi yaitu Ka Andri, Ka Amar, Ka
Adit, Andre, Bayu, Fahmi, Fikri, Desica, Aptiani, Acit, Dzikri, Tara,
Annisa, Mahar, dan anggota ISC lainnya.
12. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih Semuanya.
Jakarta, 9 Desember 2014
Ardhiana Fitriyanie
viii
DAFTAR SINGKATAN
ANZUZ The Australia, New Zealand, United States Security
Treaty
AUSMIN United States and Australia held Ministerial
Consultations
ARF ASEAN Regional Forum
ASCM Anti-Ship Cruise Missile
ASDF Air Self Defense Force
AS Amerika Serikat
CFAY Commander Fleet Activities Yokosuka
CLCS Commission on the Limits of the Continental Shelf
COMLOG WESTPAC Commander, Logistic Group, Western Pacific
CSD Collective Security Defense
CSL Cooperative Security Location
DOC Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea
DPJ Democratic Party of Japan
DPRI Defense Policy Review Initiative
GSDF Ground Self Defense Force
ICBM Intercontinental Ballistic Missile
IRBM Intermediate Range Ballistic Missile
JSDF Japan Self Defense Force
MCAS Marine Corps Air Station
ix
MEU Marine Expeditionary Unit
MRBM Medium Range Ballistic Missile
MSDF Maritime Self Defense Force
NATO North Atlantic Treaty Organization
OTH Over-The-Horizon
PCB Polychlorinated Biphenyl
PLA The People’s Liberation Army
PLAN People’s Liberation Army Navy
PPM Part Per Million
PVA People’s Volunteer Army
RVN Republic of Vietnam Navy
SACO Special Action Committee on Okinawa
SCC Security Consultative Committee
SDP Social Democratic Party
SFPT San Francisco Peace Treaty
SOFA Status of Forces Agreement
SSBN Ballistic Missile Submarines, Nuclear
UNC United Nations Command
UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea
UNTAC United Nations Transitional Authority in Cambodia
USCAR United States Civil Administration in the Ryukyus
USPACOM United States Pacific Command
ZEE Zona Ekslusif Ekonomi
x
DAFTAR TABEL
Tabel III.C.1 Penempatan Kapal Angkatan Laut PLA Cina………………………… 70
Tabel III.C.2 Penempatan Kapal Angkatan Udara PLA Cina………………………. 71
DAFTAR GRAFIK
Grafik II.C Persentase Lahan Pangkalan Militer AS................................................ 41
Grafik III.A Jumlah Pasukan Militer AS di Kawasan Asia Pasifik Sampai
2012…………………………………………………….……………...
52
Grafik III.C.1
Nilai Gross Domisetic Product Cina (1990-2010)……………...…… 66
Grafik III.C.2
Anggaran Belanja Militer AS (2002-2010)…………………………... 67
Grafik III.C.3
Anggaran Belanja Militer Cina (2002-2010)…………………………. 68
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.B Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Jepang…………... 31
Gambar II.C.1
Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Prefektur
Okinawa………………………………………………….……………
37
Gambar II.C.2
Peta Lokasi Strategis Okinawa…………………………..…………… 39
Gambar III.A Penempatan Pasukan Militer AS di Asia Pasifik……………………... 51
Gambar III.B.1
Peta Jangkauan Balistik Misil Korea Utara……….……………...…... 58
Gambar III.B.2.1
Peta Laut Cina Selatan........................................................................... 61
Gambar III.B.2.2 Peta Sengketa Laut Cina Timur………………………….…………… 64
Gambar III.C Peta Jangkauan Balistik Misil Cina…………………………………... 72
xii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………………………………............. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…………………………………....................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI……………………………………………… iii
ABSTRAK…………………………………………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. v
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK……................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………….... xi
DAFTAR ISI……………………………..……………………….………………….............. xii
BAB I PENDAHULUAN………………..…………………………………………............... 1
A. Pernyataan Masalah................................................................…………............... 1
B. Pertanyaan Penelitian……………………………………………………................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...……………………………………….………. 6
D. Tinjauan Pustaka……………………………………………….……………….......... 7
E. Kerangka Pemikiran……………..………………………………………................... 12
F. Metode Penelitian……………...………………………………………...................... 21
G. Sistematika Penulisan…………..…………………………………………............... 22
BAB II HUBUNGAN ALIANSI AMERIKA SERIKAT-JEPANG ……………………...... 24
A. Sejarah Hubungan Aliansi Militer AS dan Jepang Paska Perang Dunia II 1945... 24
B. Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Jepang………………………... 30
C. Kepentingan Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Okinawa……….. 35
C.1Fasilitas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa……………………. 41
C.2Kondisi Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa.……………………. 44
xiii
BAB III PERTIMBANGAN KEAMANAN STRATEGIS AMERIKA SERIKAT DI
KAWASAN ASIA PASIFIK……………………..……………...………….......
48
A. Keterlibatan Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik……………………………... 48
B. Konflik Regional Asia Pasifik…...………………………………………................... 53
B.1 Konflik Semenanjung Korea……………………………………………….......... 53
B.2 Sengketa Maritim………………………………………………………............... 58
B.2.a Laut Cina Selatan………..………………………………………............... 58
B.2.b Laut Cina Timur………………………………………………................... 64
C. Peningkatan Kekuatan Militer Cina………………………………………………..... 66
C.1 Angkatan Laut………………………………………………………………....... 69
C.2 Angkatan Darat…………………..…………………………………………........ 70
C.3 Angkatan Udara………………….……………………………………….…....... 70
C.4 Kemampuan Space, Counterspace, dan Cyberwarfare...……………………… 72
BAB IV ANALISA KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN PASUKAN MILITER
AMERIKA SERIKAT DARI OKINAWA (2006-2014)……………..…………
74
A. Faktor Pemicu Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa
tahun 2006………………….…………..……………..…..………………………….
74
B. Relokasi Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan
Darwin…………………...……………………………………………………….......
81
BAB V KESIMPULAN……………………………………………………….…………....... 102
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………... 105
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini akan membahas mengenai kebijakan pendistribusian pasukan
militer Amerika Serikat dari Okinawa ke beberapa wilayah di Asia Pasifik seperti
Guam, Hawai, dan Darwin dari tahun 2006 sampai 2014.
Pada tahun 2006 Amerika Serikat (AS) dan Jepang melakukan pertemuan
untuk membahas penyusunan kembali (Realignment) aliansi militer terkait
Pangkalan Militer AS yang berada di Okinawa sejak tahun 1952. Hasil dari
Realignment tersebut Pemerintah AS akan menarik pasukan militernya dari
Okinawa sebanyak sekitar 9.000 personil dan memindahkannya ke beberapa
tempat di Kawasan Asia Pasifik seperti Guam, Hawai dan Australia (The Wall
Street Journal 2013).
Jumlah pasukan AS yang didistribusikan dari Okinawa adalah sebanyak
5.000 personil ke Guam, 2.000 personil ke Hawai, dan 2.500 personil ke
Australia. Pemindahan ini membutuhkan waktu sekitar lima atau enam tahun dari
tahun kesepakatan Realignment dan tergantung pada kondisi Pangkalan Militer
AS di Jepang. Selain itu, biaya total keseluruhan relokasi akan ditanggung kedua
negara, dan AS meminta Jepang untuk membiayai relokasi sebesar 6,09 milyar
dolar AS (sekitar 32 trilyun rupiah) dari total biaya relokasi sebesar 10,27 milyar
dolar AS (sekitar 82 trilyun rupiah) (The Wall Street Journal 2013).
2
Keinginan untuk mendistribusikan Pasukan Militer AS dari Okinawa
merupakan salah satu agenda utama Jepang untuk memenuhi tuntutan rakyat
Okinawa yang menginginkan semua pangkalan militer AS dipindahkan dari
wilayah Prefektur Okinawa sehingga untuk memenuhi tuntutan ini, Jepang
berupaya bernegosiasi dengan AS terkait isu ini diberbagai pertemuan bilateral
kedua negara (Brooks 2010:41).
Salah satu upaya perundingan bilateral yang dilakukan kedua negara sejak
tahun 1997 adalah Security Consultative Committee (SCC) atau yang lebih
dikenal dengan “aliansi 2+2”. SCC adalah sebuah forum bilateral yang membahas
tentang hubungan keamanan bilateral kedua negara, dan pada tahun 2002 di dalam
pertemuan SCC, AS-Jepang membahas mengenai transformasi aliansi kedua
negara untuk menghadapi tantangan keamanan bersama atau yang dikenal dengan
Defense Policy Review Initiative (DPRI) (Brooks 2010:42).
Pembahasan DPRI antara lain yaitu menyangkut ambisi AS untuk melawan
terorisme dan mentransformasi aliansi AS-Jepang dengan pembahasan merujuk
pada kesepakatan AS akan memindahkan pasukan militernya dari Okinawa pada
tahun 2006 dan memindahkannya ke Guam. Selain itu, kedua negara juga
menyetujui untuk melakukan penggabungan dan pengintegrasian Pangkalan
Militer AS di Okinawa dengan Pangkalan Militer AS di daratan Jepang lainnya
serta melakukan renovasi fasilitas Pangkalan Udara Iwakuni di Prefektur
Yamaguchi dan Barak Zama di Prefektur Kanagawa (Brooks 2010:44).
Tindakan Jepang meminta AS untuk memindahkan pasukannya dari
Okinawa disebabkan oleh beberapa faktor domestik seperti penolakan warga
Okinawa atas kehadiran Pangkalan Militer AS yang diawali oleh kasus kriminal
3
pemerkosaan terhadap gadis berumur 12 tahun pada tahun 1995 oleh personil
militer AS dan tekanan dari partai politik di Pemerintahan Jepang (Japan
Communist Party 2000).
Partai yang ikut serta menolak kehadiran Pangkalan Militer AS di Okinawa
salah satunya adalah Democratic Party of Japan (DPJ) dan Social Democratic
Party (SDP) yang menekan pemerintah Jepang untuk segera memindahkan
pangkalan militer AS dari Okinawa dan merevisi ulang Status of Forces
Agreement (SOFA) mengenai ekstra teritori yang dimiliki oleh pasukan militer
AS (Brooks 2010:12).
Selain itu, keinginan untuk memindahkan pasukan militer AS dari Okinawa
bukan hanya dilihat dari alasan kejahatan saja, melainkan pemerintah Jepang
terlalu banyak menghabiskan dana APBN untuk membiayai operasional militer
AS di Jepang. Pemerintah Jepang harus membayar tagihan listrik dan uang saku
serta uang 100.000 dolar AS (sekitar satu milyar rupiah) bagi setiap personil AS
per tahun sehingga, hampir 65% biaya pangkalan militer AS ditanggung oleh
pemerintah Jepang (Smith 2001:2).
Melihat tekanan yang datang sebenarnya pemerintah Jepang berada pada
posisi dilema di mana disatu sisi pemerintah harus mendengarkan tuntutan rakyat
dan disisi lain perjanjian militer dengan AS juga tidak bisa diubah secara sepihak
mengingat hubungan aliansi AS-Jepang sudah terjalin sejak tahun 1951.
Berdasarkan perjanjian keamanan dengan AS tahun 1960 yaitu Treaty of Mutual
Cooperation and Security, kehadiran militer AS tetap dipertahankan di wilayah
Jepang untuk menjaga dari ancaman eksternal. Komitmen AS dalam menjaga
keamanan wilayah Jepang disebabkan sejak kekalahan Jepang pada Perang Dunia
4
II tahun 1945, Jepang dilarang untuk memiliki kekuatan skala besar sehingga
pertahanan teritori Jepang bergantung kepada tentara pertahanan Jepang yang
dikenal dengan Japan Security Defense Force (JSDF) dan Pasukan Militer AS di
Jepang (O.Hague 2007:61)
Menghadapi situasi ini upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Jepang
adalah terus bernegosiasi dengan AS terkait pemindahan pasukan militer AS dari
Okinawa dan kemudian upaya ini membuahkan hasil yaitu akhirnya AS merubah
keputusannya dengan menyetujui pemindahan pasukan militernya dari Okinawa
sebanyak 9.000 personil dan merelokasinya ke tiga tempat yaitu Guam, Hawai,
dan Darwin (Vaughn 2007:2).
Alasan lain dari pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa selain
sebagai respon pemerintah Jepang, ini juga merupakan bentuk strategi AS dalam
menghadapi tantangan dan ancaman negara lain yang dapat mengancam
kepentingan AS di kawasan Asia-Pasifik seperti konflik Laut Cina Selatan dan
klaim kepemilikan Kepulauan Spratly serta klaim atas kepemilikian Pulau Paracel
oleh Cina dan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Brunei
Darussalam dan Malaysia (Vaughn 2007:2).
Selain itu, strategi lain untuk menghadapi ancaman di Kawasan Asia Pasifik
yaitu dengan memperkuat kerjasama militer dengan negara aliansi maupun negara
non-aliansi (Fravel 2012:33). Ancaman di Kawasan Asia Pasifik tidak hanya
berhenti pada isu konflik martim saja melainkan ancaman juga datang dari adanya
potensi konflik di Semananjung Korea terkait masalah pengembangan Program
Nuklir Korea Utara di mana Korea Utara kembali mengancam akan meluncurkan
5
senjata misil balistik kepada AS dan Korea Selatan di tahun 2006 dan 2009
(Fravel 2012:40).
Fokus Pemerintah AS terhadap penguatan kerjasama lebih ditekankan pada
kerjasama di bidang pertahanan hal ini seperti yang disampaikan oleh Mantan
Ketua The House Subcomittee Asia dan Pasifik, Jim Leach bahwa AS akan
menghadapi tantangan geopolitik terbesarnya di Asia pada tahun-tahun
mendatang (Vaughn 2007:4). Jim Leach juga mengatakan bahwa
mempertahankan kehadiran kekuatan militer AS di luar negeri menjadi elemen
kunci dalam mengeluarkan kebijakan keamanan nasional AS di Asia Pasifik
selain itu, kehadiran militer AS ini akan mempromosikan stabilitas regional
bersama dengan negara aliansi dan mitra lainnya serta menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Pasifik (Vaughn 2007:5).
Dari beberapa penjelasan ini, peneliti merasa perlu untuk membahas lebih
lanjut tentang pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa di tahun 2006 dan
melihat berapa pentingnya kawasan Asia Pasifik bagi AS sampai tahun 2014.
B. Pertanyaan Penelitian
Penempatan pasukan militer AS di Okinawa terbilang cukup lama yaitu
sejak tahun 1945 sampai 2006, sekitar 50 tahun, dan penempatan pasukan militer
ini menuai banyak kritik. Namun, kritik yang diajukan kepada pemerintah AS
selama 50-tahun terakhir ini tidak membuat pemerintah AS memindahkan
pasukannya dari Okinawa. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang,
akhirnya tahun 2006, AS menyatakan persetujuannya untuk memindahkan
pasukan militernya dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin sebanyak 9.000
personil. Selain itu, pemindahan pasukan militer ini juga didasarkan oleh
6
keinginan AS untuk melindungi kepentingannya di kawasan Asia Pasifik dari
ancaman yang mungkin datang.
Melihat gambaran isu di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas
kebijakan luar negeri AS di bidang militer lebih lanjut, sehingga penulis
mengangkat pertanyaan penelitiannya adalah:
“Mengapa Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri
berupa pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa tahun 2006?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian berjudul Kebijakan
Pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin
2006-2014 adalah untuk menjawab pertanyaan yang menjadi permasalahan yang
telah diajukan oleh peneliti. Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa alasan dan faktor yang mempengaruhi Amerika Serikat
mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa pendistribusian pasukan
militernya dari Okinawa, Jepang.
2. Memberikan gambaran umum mengenai orientasi dari kebijakan Amerika
Serikat terhadap negara-negara di Asia Pasifik dan hubungannya dengan
penarikan pasukan militer AS dari Okinawa, Jepang.
3. Mengetahui teori dan konsep dalam studi Hubungan Internasional yang
relevan dan dapat digunakan sebagai alat analisa terhadap isu militer ini.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat diantaranya
adalah:
7
1. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu
hubungan internasional baik di lingkup universitas maupun lingkup nasional
dan internasional.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya
untuk membahas tentang pendistribusian pasukan militer AS tidak hanya di
Okinawa, Jepang namun juga bisa penarikan pasukan militer AS di Irak,
Afghanistan, dan negara lainnya.
3. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi penelitian berikutnya
untuk membahas hubungan aliansi AS-Jepang pasca keputusan penarikan
pasukan militer AS dari Okinawa yang dilakukan oleh Pemerintah AS.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer AS dari
Okinawa ke Guam, Hawai dan Darwin tahun 2006-2014 ini bertujuan untuk
memperdalam pengetahuan mengenai alasan AS menarik pasukannya dari
Okinawa. Oleh karena itu, ada baiknya jika menelaah penelitian-penelitian lain
mengenai penarikan pasukan militer AS ataupun yang berkaitan dengan pasukan
militer AS yang telah ada sebelumnya sebagai pembanding dan pelengkap
penelitian. Pada bagian ini peneliti akan meninjau beberapa penelitian yang
berkaitan dengan pasukan militer AS.
Penelitian pertama terkait dengan judul peneliti adalah penelitian yang
dilakukan oleh Syarifuddin dari Universitas Indonesia tahun 1983 yang berjudul
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Korea Selatan
Antara Tahun 1976-1979 : Penarikan Pasukan Militer Amerika Serikat Dari
Korea Selatan.
8
Di dalam penelitiannya, Syarifudin membahas tentang alasan dan faktor
yang mempengaruhi AS memilih menarik pasukan militernya dari Korea Selatan
di tahun 1976-1979. Faktor yang mempengaruhi penarikan ini antara lain yaitu
faktor konflik antara Sino-Uni Soviet, hubungan RRC-AS, dan ketiga peranan
optimal Beijing serta Jepang dalam menangkal perluasan pengaruh AS di Asia.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Syarifuddin melihat bahwa penarikan pasukan
militer AS dipengaruhi oleh pola hubungan antara negara-negara besar dan juga
negara-negara kecil sehingga, hubungan antar negara tersebut dapat memicu
adanya persaingan yang cukup besar antar negara.
Persaingan antara negara-negara besar seperti Cina-Uni Soviet juga telah
mengurangi kebutuhan AS untuk menempatkan pasukan militernya secara besar-
besaran. Hal ini disebabkan jika AS terlalu agresif justru akan membuat posisi AS
menjadi sulit. Sehingga pada masa Presiden Carter, ia mengeluarkan kebijakan
luar negeri berupa penarikan 33 ribu tentara AS secara bertahap dari Korea
Selatan tahun 1976-1979.
Penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin menggunakan teori pentautan
atau linkage theory dimana teori pentautan memiliki makna bahwa dalam sistem
hubungan antar negara, negara kecil memiliki ikatan dengan negara-negara besar,
sedangkan untuk metode penelitiannya Syarifuddin menggunakan metode
deskriptif dengan sumber data sekunder berupa data perpustakaan, wawancara,
dan sumber lainnya.
Kesamaan penelitian Syarifuddin dengan penelitian penulis adalah dari segi
pemilihan topik yaitu terarah pada Penarikan Pangkalan Militer AS, kemudian
peneliti juga membahas mengenai pola hubungan AS dengan negara-negara di
9
sekitar Kawasan Asia Pasifik, serta metode penulisan yang digunakan oleh
peneliti juga menggunakan kualitatif yang bersifat deskriptif dengan sumber data
sekunder. Perbedaan penelitian Syarifuddin dengan peneliti adalah objek
penelitian dimana dalam penelitian Syariduddin objek penarikan pasukan miiter
AS adalah Korea Selatan, sedangkan peneliti menggunakan objek Okinawa,
Jepang, selain itu pembahasan peneliti juga mencangkup penjelasan pemilihan
lokasi Guam, Hawai dan Darwin sebagai lokasi pemindahan pasukan militer AS
dari Okinawa.
Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian peneliti yaitu
Faris Bimantara dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) Terhadap
Kerjasama Bilateral AS-Jepang Dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan
Periode 2001-2006.
Pokok permasalahan dari penelitian Bimantara adalah latar belakang apa
yang mempengaruhi penempatan Pangkalan Militer AS di Okinawa, Jepang dan
bagaimana pengaruh penempatan Pangkalan Militer AS di Okinawa terhadap
kerjasama pertahanan dan keamanan AS-Jepang periode 2001-2006. Di dalam
penelitiannya, Faris Bimantara menjelaskan bahwa alasan AS memilih Okinawa
sebagai pangkalan militernya karena lokasi Okinawa memiliki nilai yang strategis
dari sisi lokasi di mana letak Okinawa dekat dengan negara-negara penting AS di
kawasan Asia Timur.
Selain itu, keberadaan pangkalan militer AS di sana juga membuat
pergerakan militer AS lebih fleksibel dan efisien dalam mengawasi pergerakan
militer negara lain di beberapa negara kawasan tersebut yang dianggap sebagai
10
ancaman, serta kepentingan AS di kawasan pun menjadi lebih mudah terutama
dalam menghadapi serangan musuh AS memiliki Jepang sebagai aliansi utamanya
di Kawasan Asia Timur.
Berdasarkan isu yang diangkat oleh Faris Bimantara, maka teori yang
digunakan Faris adalah Grand Theory yaitu Neorealisme serta beberapa konsep
pendukung lainnya seperti kepentingan nasional, power, dan konsep aliansi,
sedangkan untuk metode penelitian, ia menggunakan metode kualitatif.
Kesamaan penelitian Faris Bimantara dengan penelitian yang peneliti ambil
adalah dari segi objek penelitian yaitu Amerika Serikat dan Okinawa, Jepang,
kemudian metode yang digunakan juga sama yaitu kualitatif. Namun perbedaan
penelitian Faris dan penelitian peneliti adalah dari segi tahun penelitian, Faris
memfokuskan penelitian tahun 2001-2006, sedangkan peneliti 2006-2014. Selain
itu peneliti lebih berfokus kepada alasan AS mengeluarkan kebijakan
pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa, dan merelokasinya ke Guam,
Hawai, serta Darwin. Perbedaan berikutnya adalah peneliti mencoba
menggunakan konsep baru yaitu hedging dimana dalam konsep ini terdapat dua
bentuk aksi kebijakan yaitu balancing dan engagement sehingga peneliti mencoba
melihat sisi lain dari aksi AS mengeluarkan kebijakan ini.
Penelitian ketiga yang terkait dengan penelitian peneliti adalah artikel jurnal
dari Sudbury Democratic Town Committee, ditulis oleh John Riordan tahun 2009
berjudul The Case for Rapid and Complete withdrawal of U. S. forces from Iraq.
Dalam artikel jurnal internasional ini yang dibahas adalah mengenai alur kejadian
dari penarikan pasukan militer AS dari Irak serta menjelaskan proses perjanjian
penarikan dari masa Presiden AS, George W. Bush hingga Barack Obama.
11
Penjelasan artikel ini adalah AS telah mengagendakan penarikan pasukan
militer AS dari Irak sejak masa pemerintahan George W. Bush, tetapi hal tersebut
dapat dilakukan jika Irak telah dianggap kuat dalam berdemokrasi dan stabil
dalam pemerintahan serta mampu untuk memberantas terorisme. Namun,
komitmen tersebut tidak pernah diwujudkan oleh Presiden George W. Bush
karena dibalik tertundanya kesepakatan itu AS memliki rencana lain yaitu ingin
menata dunia Islam sesuai dengan kepentingan nasional AS, dan tujuan invasi
Irak adalah menduduki Irak secara permanen dan membangun pangkalan militer
abadi untuk proyeksi kekuatan regional AS.
Meskipun selama masa Presiden George W Bush, komitmen tersebut tidak
pernah terlaksana, tetapi ketika masa Presiden Barack Obama, AS mau menarik
pasukan militernya dari Irak pada tahun 2009, dan direncanakan penarikan
pasukan akan selesai dalam kurun waktu 16 bulan. Kesimpulan dari artikel
tersebut ialah penarikan pasukan yang dilakukan oleh AS akan membawa
keuntungan bagi kedua belah pihak, selain itu menurut John Riordan semakin
cepat AS menarik pasukannya dari Irak akan semakin baik karena Irak akan
semakin mandiri, serta rekonstruksi Irak juga akan mulai kembali pulih.
Kesamaan artikel jurnal internasional yang ditulis oleh John Riordan dan
penelitian peneliti adalah sama-sama membahas mengenai upaya AS untuk
menarik pasukan militernya dari suatu negara. Selain itu, pada masa Presiden
Barack Obama, upaya AS dalam melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui
sebelumnya lebih terlihat konkrit daripada masa George W Bush. Sedangkan
perbedaanya adalah objek lokasi John Riordan fokus kepada Irak, sedangkan
peneliti adalah Okinawa, Jepang.
12
Dapat dilihat dari hasil ketiga tinjauan pustaka diatas, maka penelitian
peneliti yang berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika
Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014 memberikan
gambaran berbeda dari kebijakan luar negeri AS di bidang militer terhadap negara
lain. Selain itu, perbedaan peneliti dengan penelitian-penelitian serupa salah
satunya adalah konsep yang digunakan peneliti sebagai alat analisa topik ini yaitu
menggunakan konsep hedging dimana peneliti melihat bahwa penggunaan konsep
hedging lebih tepat dalam menganalisa alasan AS yang pada akhirnya mau
mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa setelah bertahun-tahun AS
tidak ingin memindahkannya. Hal ini disebabkan bahwa konsep hedging
menggunakan dua pendekatan aksi yakni balancing dan engagement sehingga,
suatu negara ketika berhadapan dengan negara lain yang dianggap sebagai
ancaman akan menggunakan kedua aksi ini untuk tetap mempertahankan
kepentingan nasionalnya.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya menganalisa Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer
Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014,
maka peneliti akan menggunakan beberapa konsep pendukung penelitian untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya yaitu konsep
hedging, konsep kebijakan luar negeri, dan aliansi.
1.1 Konsep Hedging
Paska Perang Dingin, kekuatan dunia bukan lagi bipolar melainkan telah
berubah menjadi unipolar, para scholar studi keamanan mengatakan bahwa
keadaan unipolar tidak akan bertahan lama karena sistem internasional selalu
13
berubah sehingga suatu hari akan muncul negara-negara raising power sebagai
pengganti sistem yang unipolar (McDougall 1997:6).
Pada studi keamanan, negara merupakan aktor utama dalam sistem
internasional sehingga negara akan bertindak sesuai dengan kepentingan
nasionalnya. Didalam teori hubungan internasional terdapat beberapa konsep
yang dapat menjelaskan cara-cara sebuah negara menghadapi ancaman suatu
negara yaitu: Pertama “balancer”, negara dengan konsep ini percaya bahwa
negara yang memiliki kekuatan besar di dalam sistem internasional tidak akan
selamanya dapat berkuasa karena akan muncul negara penyeimbang yang sama-
sama memiliki kekuatan besar. Sehingga keadaan akan menjadi seimbang selain
itu, menurut Kenneth Waltz balancing memiliki dua bentuk yaitu balancing
internal dan eksternal (Waltz 1979:118).
Balancing internal berarti sebuah negara akan berusaha untuk
meningkatkan kekuatan militer, kemampuan ekonomi, dan meningkatk;an
kecerdasan strategi demi mengurangi kesenjangan kekuatan dengan negara yang
dianggap sebagai ancaman. Sedangkan balancing eksternal adalah suatu negara
akan bergabung atau membangun suatu aliansi tertentu untuk menambah kekuatan
sehingga kekuatan negara lawan dapat di minimalisir (Waltz 1979:118).
Kedua “banwagoners’, negara yang menggunakan konsep ini percaya
bahwa negara-negera kecil yang tahu bahwa kekuatan mereka tidak seimbang
dengan kekuatan negara besar maka mereka akan berusaha mendekati kekuatan
negara besar tersebut untuk berlindung dan melakukan kerjasama sehingga
kepentingan negara mereka akan aman dan negara kekuatan besar tidak
menganggap mereka sebagai ancaman (Walt 1987:173).
14
Ketiga adalah hedging, hedging merupakan strategi alternatif dari
balancing atau banwagoning yang dapat digunakan oleh suatu negara dalam
menghadapi ancaman dari negara lain. Sebelum konsep hedging diaplikasikan
kedalam ilmu hubungan internasional, konsep ini sudah lebih dulu dikenal dalam
ilmu ekonomi keuangan yaitu hedging berarti menunjukkan posisi sebuah
investasi satu dan lainnya dengan tujuan untuk mengimbangi potensi kerugian
atau keuntungan yang mungkin ditimbulkan oleh investasi dari rekan yang lain
(Sieberg 2011:24).
Menurut kamus ekonomi, “hedge” didefinisikan sebagai “hedge involves
deliberately taking on new risk that offset an existing one” atau dapat dikatakan
hedging digunakan untuk mengurangi resiko dari kemungkinan pergeseran harga
investasi aset yang tidak pasti dengan mengambil keputusan yang lain (Sieberg
2011:25). Hedging pada ilmu ekonomi keuangan dan hubungan internasional
memiliki kesamaan yaitu keduanya sama-sama berada pada situasi yang tidak
pasti sehingga implikasi dari probabilitas adalah keputusan yang diambil harus
diperhitungkan dan dipertimbangkan berapa besar kerugian yang akan didapatkan
jika mengambil keputusan yang lain (Sieberg 2011:26).
Di dalam hubungan internasional, sistem internasional selalu mengalami
perubahan sehingga setiap negara akan khawatir atas perubahan sistem
internasional tersebut. Akibatnya setiap negara akan merasa tidak aman dengan
munculnya negara raising power. Ancaman yang ditimbulkan akibat adanya
perubahan sistem internasional tidaklah pasti, karena negara raising power yang
dianggap sebagai ancaman potensial masih terus berkembang sehingga “ketidak
pastian” ini membuat suatu negara akan memperhitungkan langkah yang tepat
15
untuk diambil ketika berhubungan dengan negara raising power meskipun
kebijakan tersebut memiliki resiko (Tessman 2012:195).
Menurut John Hemmings, hedging di dalam hubungan internasional
berarti suatu negara akan mengambil resiko dengan menggunakan dua kebijakan
yang saling berlawanan terhadap negara lain yaitu balancing dan engagement
(Hemmings 2013). Sedangkan menurut Tessman, hedging merupakan sebuah
perilaku yang kurang konfrontatif dari balancing, kurang kooperatif daripada
bandwagoning (Tessman 2012:193).
Menurut Tessman dan Wolfe dalam tulisannya yaitu Great Powers and
Strategic Hedging: The Case of Chinese Energy Security Strategy tahun 2011,
ada empat cara sebuah negara melakukan strategi hedging yaitu pertama, perilaku
negara yang meningkatkan kemampuan militernya untuk menghadapi potensial
konflik di masa depan dengan negara yang menjadi potensi ancaman, cara
hedging seperti ini dikenal dengan tipe hedging A, dan/atau meningkatkan strategi
cadangan sumber daya untuk melepaskan bantuan yang diberikan oleh pemimpin
sistem (hedging tipe B).
Strategi kedua, suatu negara akan menghindari provokasi atau konfrontasi
langsung dari negara yang dianggap potensial sebagai ancaman dengan cara
bergabung dengan aliansi militer untuk melawan negara potensial ancaman
tersebut (external balancing) atau meningkatkan kekuatan militernya (internal
balancing).
Strategi ketiga adalah penggunaan strategi hedging harus dikoordinasikan
secara terpusat, artinya masalah yang sedang dihadapi sebuah negara dalam
berhubungan negara raising power harus menjadi perhatian utama kepentingan
16
negara sehingga pembahasan kebijakan yang tepat dikoordinasikan dengan
seluruh organ pemerintah yang bertanggung jawab. Strategi keempat adalah
negara harus siap menanggung biaya yang dikeluarkan domestik maupun biaya
internasional dalam penggunaan strategi hedging jangka pendek.
Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi hedging membuat suatu negara
menghindari kemungkinan terburuk dalam berhubungan dengan negara raising
power dengan cara menggabungkan strategi balancing dan engagement dalam
satu waktu sehingga konflik secara langsung dapat diminimalisir. Hasil kebijakan
yang dikeluarkan dari perilaku hedging hanya dapat bertahan dalam jangka
pendek sehingga sebuah negara harus terus memperhitungkan pilihan-pilihan lain
dalam membuat sebuah kebijakan lainnya.
1.2 Kebijakan Luar Negeri
Setelah melihat konsep Hedging diatas maka selanjutnya peneliti ingin
menjelaskan mengenai beberapa konsep lain yang mendukung penggunaan
konsep hedging salah satunya adalah kebijakan luar negeri.
Kebijakan Luar Negeri menurut James N. Rosenau memiliki tiga konsep
yang berbeda yaitu sekumpulan orientasi (a cluster of orientations), seperangkat
komitmen dan rencana untuk bertindak (a set of commitments to and plans for
action) dan bentuk perilaku atau aksi (a form of behaviour) (Rosenau 1972:16):
Kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan orientasi yaitu merupakan
pedoman bagi para pembuat keputusan ketika menghadapi kondisi eksternal,
dimana orientasi tersebut meliputi perilaku, persepsi, dan nilai yang dianut oleh
sebuah negara karena disebabkan oleh pengalaman sejarah dan keadaan strategis
sehingga akhirnya menempatkan negara tersebut di dalam sistem internasional.
17
Biasanya konsep kebijakan luar negeri berdasarkan sekumpulan orientasi berakar
dari tradisi dan aspirasi lingkungan sosial negara itu sendiri, sehingga negara akan
mengacu pada orientasi dalam negerinya saat membuat suatu kebijakan luar
negeri (Rosenau 1972:16).
Kedua, kebijakan luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan rencana
diartikan sebagai tindakan negara berupa sebuah strategi, kebijakan, atau
keputusan ketika mereka berhubungan dengan lingkungan eksternal dalam sistem
internasional dimana negara diharuskan membuat kebijakan sesuai dengan dasar
orientasi negaranya serta mengacu pada tujuan dan cara mendapatkan kepentingan
tersebut. Negara akan mengeluaran kebijakan berdasarkan konsep komitmen dan
rencana ketika isu yang dihadapi negara lebih nyata dan konkrit dan harus
diputuskan segera seperti kebijakan antar negara, kawasan, atau kebijakan
mengenai suatu isu yang spesifik. Rencana dalam pembuatan kebijakan luar
negeri biasanya dapat dilihat melalui komunikasi diplomatik, penyataan resmi
negara, ataupun konferensi pers (Rosenau 1972:17).
Ketiga, kebijakan luar negeri sebagai bentuk perilaku atau tindakan dilihat
pada tingkatan yang lebih empiris yaitu berupa langkah-langkah nyata yang
diambil oleh para pembuat keputusan ketika negara berhubungan dengan aktor
internasional lainnya dan menimbulkan pola interaksi dalam sistem internasional.
Sehingga negara harus melakukan tindakan nyata seperti mengeluarkan kuputusan
atau kebijakan untuk menghadapi perubahan lingkungan eksternal (Rosenau
1972:17).
18
Jadi, dari ketiga bentuk kebijakan luar negeri tersebut akan digunakan oleh
negara sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi oleh negara tersebut,
dimana negara dapat menentukan kebijakan luar negerinya dengan melihat
prioritas kepentingan nasionalnya serta para pembuat kebijakan akan dapat
menentukan kebijakan luar negeri berdasarkan konsep sekumpulan orientasi,
komitmen dan rencana, atau tindakan dan bentuk perilaku.
Menurut Charles W.Kegley, Jr dan Eugene R. Wittkopf dalam bukunya
yang berjudul World Politics Trend and Transformation, mengatakan bahwa
beberapa varibel yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan luar negeri suatu
negara diantaranya adalah Geostrategic, kapabiitas militer, kemampuan ekonomi,
dan sistem pemerintahan. Kegley dan Wittkopf juga mengatakan untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara perlu untuk
memisahkan dua faktor utama yaitu faktor internasional dan faktor domestik
(Wittkopf 1997:40).
Faktor internasional berarti pengaruh yang diberikan kepada suatu negara
yang berasal dari luar batas negara tersebut atau dapat dikatakan pengaruh yang
datang bukan dari dalam tubuh negara tersebut melainkan datang dari struktur
internasional yang mampu mempengaruhi negara dalam sistem internasional,
contohnya adalah hukum internasional, perdagangan internasional, jumlah aliansi
militer dengan negara lain atau perubahan sistem internasional lainnya.
Sedangkan faktor internal atau domestik ialah faktor yang datang dari dalam batas
negara itu sendiri atau dapat dikatakan kebijakan luar negeri yang datang akibat
pemikiran dan pilihan dari negara itu sendiri bukan dari sistem internasional,
19
contohnya ialah geopolitik, kapabilitas militer, pembangunan ekonomi, dan tipe
pemerintahan (Wittkopf 1997:42).
Melihat pengertian faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri di
atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri adalah suatu proses yang
dilakukan oleh negara dimana sebelum menentukan kebijakan yang akan
dikeluarkan, negara harus melihat faktor apa saja yang mempengaruhinya,
seberapa penting kebijakan ini dan bagaimana dampak atau efek yang timbul
setelah kebijakan luar negeri diputuskan.
1.3 Konsep Aliansi
Menurut Alex Mintz dalam bukunya Understanding Foreign Policy
Decision Making, mengatakan aliansi merupakan bentuk umum dalam sebuah
interaksi antar negara terutama dalam hal kapabilitas militer. Negara yang
tergabung dalam aliansi berarti telah menandatangani perjanjian militer dimana
dalam aliansi milliter jika salah satu negara diserang oleh pihak luar maka negara
lain akan membantu menghadapi musuh tersebut (DeRouen 2010:126)
Terbentuknya aliansi juga menjadi salah satu upaya dalam menghadapi
dilema keamanan (security dilemma) yang terjadi pada suatu negara. Dengan
adanya aliansi militer terdapat beberapa keuntungan misalnya adanya stabilitas
keamanan sebuah negara dan kawasan karena ada kekuatan lain yang menopang.
Aliansi juga dianggap sebagai suatu cara untuk mengurangi kesalahpahaman, dan
ketidakpastian yang dapat memicu perang (DeRouen 2010:126).
Namun, Alex Mintz juga menjelaskan kekurangan dalam aliansi militer
adalah ketergantungan yang cukup tinggi bagi negara dengan kapabilitas yang
rendah kepada negara yang kapabilitasnya tinggi. Selain itu, dengan adanya
20
aliansi militer justru memicu negara lain yang tidak tergabung dalam aliansi
tersebut untuk membuat tandingan aliansi baru dengan kekuatan yang jauh lebih
besar sehingga keadaaan ini dapat menimbulkan peperangan (DeRouen
2010:127).
Masih dalam buku Understanding Foreign Policy Decision Making Bruce
Bueno de Mesquita mengatakan bahwa terdapat tiga jenis aliansi yaitu netralitas
atau pakta non-agresi adalah perjanjian penandatangan dimana masing-masing
negara tidak akan menyerang wilayah lain. Bentuk berikutnya, ententes,
melibatkan lebih dari sebuah komitmen dimana setiap negara yang melakukan
perjanjian antara satu sama lain memiliki komitmen yang harus dipatuhi oleh
semua anggota (DeRouen 2010:127)
Ketiga adalah pakta pertahanan, dimana pakta pertahanan mengandung arti
yaitu menentukan bagaimana masing-masing negara dapat membantu setiap
negara anggota lain saat mereka dalam keadaan diserang oleh musuh.
Pembentukan aliansi merupakan bentuk perpanjangan dari kebijakan luar negeri,
sehingga hal itu mempengaruhi suatu negara dalam mengambil keputusan yang
berkaitan dengan urusan luar negeri. (DeRouen 2010:127)
Melihat beberapa konsep terkait penarikan pasukan militer AS yang
dipaparkan diatas, maka peneliti merasa bahwa konsep hedging, kebijakan luar
negeri, dan aliansi akan relevan dalam menjelaskan alasan pemerintah AS
mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa dan memindahkannya ke
Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014.
21
F. Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer
Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014
akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Neuman dalam
melakukan penelitian yang bersifat kualitatif, teknik pengumpulan data didasarkan
kepada analisis, interpretasi, persentasi dari informasi naratif (Neuman 1997:139).
Bentuk jawaban penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah
penjelasan narasi. Teknik data analisis kualitatif adalah analisis data naratif yang
menggunakan cara induktif dan teknik yang berulang termasuk didalamnya ada
strategi kategori dan mengkontekstualisasikan strategi (Neuman 1997:139).
Sehingga dalam menjelakan penelitian ini, peneliti akan mengambil berbagai
sumber data dan mengolahnya menjadi narasi analitis sesuai dengan fakta data
yang didapatkan selama penelitian.
Sehubungan dengan penjelasan diatas maka peneliti akan menggunakan
teknik pengumpulan data dengan metode kualitatif adalah salah satunya dengan
menggunakan data primer, data sekunder dan studi pustaka. Penulis mendapatkan
data primer melalui wawancara melalui surel dengan peneliti dari Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) Pacific Forum yaitu Jonathan
Berkshire Miller dan Doktor John Hemmings dari London School of Economics
(LSE), serta wawancara langsung dengan Iis Gindarsah dari CSIS Indonesia.
Sedangkan peneliti mengambil data sekunder melalui studi pustaka seperti
membaca sumber buku-buku dari perpustakaan yang dikunjungi oleh peneliti
misalnya Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
22
Politik UIN Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan CSIS
Indonesia, dan sumber lain seperti jurnal, artikel, website dan lain-lain.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terbagi menjadi lima bab. Kelima bab tersebut
akan diuraikan melalui sistematika berikut ini:
BAB I Pendahuluan
Pada bagian ini peneliti menjelaskan pentingnya masalah yang
menjadi tema penelitian. Selain itu, peneliti juga menjelaskan
permasalahan, tujuan dan manfaat, metode, konsep teori yang
digunakan sebagai alat analisa penelitian ini, serta menjabarkan
sejumlah hasil penelitian sejenis yang menjadi rujukan bagi
penelitian ini.
BAB II Hubungan Aliansi Militer Amerika Serikat Dengan Jepang
Pada bagian ini memaparkan penjelasan mengenai awal hubungan
aliansi militer AS dengan Jepang setelah berakhirnya Perang Dunia
II, kepentingan AS menempatkan pasukan militernya di Jepang,
penempatan pasukan AS di seluruh wilayah Jepang, dan gambaran
umum mengenai fasilitas serta kondisi pangkalan militer AS di
Okinawa, Jepang.
BAB III Pertimbangan Keamanan Strategis Amerika Serikat di
Kawasan Asia Pasifik
Bagian ini memaparkan penjelasan mengenai keterlibatan AS di
Kawasan Asia Pasifik, dan melihat kondisi regional Asia Pasifik.
Kondisi regional Asia dilihat dari beberapa isu penting yang terjadi
23
di kawasan ini seperti peningkatan kekuatan militer Cina, konflik
Semenanjung Korea, serta konflik sengketa maritim yaitu Laut
Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
BAB IV Analisa Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika
Serikat dari Okinawa tahun 2006-2014
Bab ini akan menganalisa alasan AS mendistribusikan pasukan
militernya dari Okinawa pada tahun 2006 dan melihat
perubahannya hingga tahun 2014. Analisa pertama yaitu dilihat
dari faktor pemicu yang membuat AS mengeluarkan kebijakan
pendistribusian pasukan militernya dari Okinawa, kemudian setelah
kebijakan pendistribusian dikeluarkan bab ini melanjutkan pada
analisa alasan AS memilih Guam, Hawai, dan Darwin sebagai
lokasi pemindahan pasukan militernya dari Okinawa.
BAB V Kesimpulan
Bab ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang
diajukan dalam sub bab permasalahan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian yang
memiliki objek analisis yang sama.
24
BAB II
HUBUNGAN ALIANSI MILITER AMERIKA SERIKAT- JEPANG
A. Sejarah Hubungan Aliansi Militer AS dan Jepang Paska Perang Dunia
II 1945
Perang Dunia II berakhir ditandainya dengan Jepang menyerah pada
Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 ketika dua kota di Jepang yaitu Kota Hiroshima
dan Nagasaki dibom oleh tentara Sekutu. Pengakuan kekalahan Jepang secara
formal diwakili oleh Mamoru Shigemitsu dan Gen Yoshijiro Umezu yang
dilakukan di atas kapal USS Missouri, Teluk Tokyo pada 2 September 1945
dengan mendatangani Deklarasi Potsdam (Record 2009:12).
Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh U.S National Archives &
Records Administration melalui website resminya, Deklarasi Potsdam merupakan
bentuk pernyataan kekalahan Jepang tanpa syarat dan mendefinisikan syarat
penyerahan semua angkatan bersenjata Jepang kepada Sekutu. Deklarasi ini
disusun pada tanggal 26 Juli 1945 di Potsdam, Jerman dan ditandatangi oleh tiga
pemimpin dunia yaitu Presiden AS, Harry S. Truman, Perdana Menteri Inggris,
Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-shek. Pemimpin Uni
Soviet, Joseph Stalin ikut dalam konfrensi Potsdam namun tidak ikut
menandatangai deklarasi, hal ini disebabkan Uni Soviet tidak terlibat perang
melawan Jepang sampai tanggal 8 Agustus 1945. Setelah Deklarasi Potsdam
disusun, maka pada tanggal 2 September tahun 1945 di atas Kapal USS Missouri,
Teluk Tokyo, Jepang secara legal menandatangani deklarasi tersebut. Berikut
adalah cuplikan isi pernyataan kekalahan Jepang:
25
“We, acting by command of and in behalf of the Emperor of Japan, the Japanese
Government and the Japanese Imperial General Headquarters, ... We hereby proclaim
the unconditional surrender to the Allied Powers of the Japanese Imperial General
Headquarters and of all Japanese armed forces and all armed forces under Japanese
control wherever situated ...” (U.S National Archives & Records Administration 1995)
(Kami bertindak atas nama dan perintah kekaisaran Jepang, Pemerintah Jepang, dan
Markas Besar Jepang...Kami dengan ini menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
kekuatan sekutu dari Markas Besar Jepang dan semua atribut militer di bawah kontrol
Jepang) (Terjemahan penulis)
Dalam dokumen yang diterbitkan oleh U.S National Archives & Records
Administration, juga menyebutkan bahwa Perjanjian Potsdam terdiri dari 13 poin
yang menjadi acuan pernyataan kekalahan Jepang kepada Sekutu. Lima
diantaranya yang menyebutkan kekalahan Jepang adalah poin ke- 7, 8, 9, dan 13
yaitu pertama, sebelum ada tatanan baru dalam pemerintahan Jepang, dan sebelum
adanya bukti bahwa peperangan yang dibuat oleh Jepang sudah dihapuskan, maka
sebagian wilayah Jepang akan ditunjuk oleh Sekutu untuk diamankan dan
diduduki oleh tentara Sekutu.
Kedua, Jepang harus mengikuti persyaratan yang tertera dalam Deklarasi
Kairo1 serta wilayah kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau tertentu,
yakni Pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, dan pulau-pulau kecil lainnya
akan ditentukan oleh Sekutu. Ketiga, Pasukan Militer Jepang akan dilucuti serta
mereka diizinkan kembali ke rumah masing-masing untuk memulai kehidupan
1 Deklarasi Kairo merupakan hasil dari Konferensi Kairo yang diadakan pada 27 November
2947 di Kairo, Mesir. Deklarasi Kairo ini di tandatangani oleh tiga pemimpin besar dunia Presiden
AS, Franklin D. Roosevelt, PM Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-Shek.
Deklarasi ini diumumkan ke publik pada 1 Desember 1943. Isi dari Deklarsi ini dikembangkan
dari ide Atlantic Charter tahun 1941 yang diterbitkan oleh Sekutu pada Perang Dunia II untuk
menetapkan tujuan yang ingin dicapai setelah Perang selesai. Di dalam isi Deklarasi Kairo
disebutkan bahwa tujuan Sekutu adalah untuk mengalahkan Jepang dan ingin mendapatkan
keuntungan untuk mereka sendiri tanpa adanya pemikiran ekspansi territorial ke wilayah lain.
Sekutu juga menginginkan tentara Jepang dilucuti dari semua pulau-pulau kecil di Pasifik, dan
wilayah Cina yang telah dicuri oleh Jepang yaitu Manchuria, Formosa, dan Pecadores harus
dikembalikan kepada Cina, serta wilayah Korea akan dibebaskan dari perbudakan Jepang.
Deklarasi Kairo ini di tandatangani oleh tiga pemimpin besar dunia Presiden AS, Franklin D.
Roosevelt, PM Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-Shek.
Sumber : http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html diakses pada 16
Agustus 2014
26
baru sebagai warga sipil. Keempat, Sekutu mengatakan kepada pemerintah Jepang
untuk memberitakan pernyataan kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu ke
seluruh dunia dan Jepang harus menjamin tindakan ini dapat terlaksana dengan
aman, jika Jepang menolak untuk menyerah maka Sekutu akan terus melancarkan
serangan hingga Jepang hancur (The National Archives and Records
Administration 1995).
Perjanjian lain yang ditandatangi oleh Jepang ialah San Francisco Peace
Treaty (SFPT). Perjanjian damai ini ditandatangani Jepang bersama 48 negara
lainnya pada 8 September 1951 di San Francisco, AS untuk membahas mengenai
hubungan antara Jepang dan Sekutu dalam memelihara perdamaian dan keamanan
internasional. Dalam San Francisco Peace Treaty (SFPT) juga membicarakan
bahwa Jepang mengakui kemerdekaan Korea dan melepaskan wilayah jajahannya
yang lain yakni Formosa (Taiwan), Pescadores, Sakhalin, Kuril, dan beberapa
pulau kecil di pasifik seperti Pulau Spratly dan Paracel (The Open University
1998).
Dalam pasal 2 Perjanjian San Francisco, Jepang juga menyetujui untuk
menjalankan sistem hak kewenangan wilayah (Trusteeship System) sesuai dengan
mandate PBB dan AS akan bertindak sebagai satu-satunya administering
authority di Jepang. Beberapa wilayah Jepang yang berada dalam kewenangan
otoritas administrasi AS sesuai dengan sistem Trusteeship adalah Okinawa,
Kepulauan Daio, Kepulauan Bonin, Pulau Rosario, Pulau Volcano, Pulau Parece
Vela, dan Pulau Marcus (The Open University 1998).
27
Meskipun Jepang telah mendapatkan kemerdekaan pada 8 September 1951
sesuai pasal 1 dalam San Francisco Peace Treaty yang menyatakan bahwa Sekutu
menjamin kedaulatan wilayah Jepang, namun pada poin 9 Deklarasi Potsdam
dinyatakan bahwa angkatan bersenjata Jepang akan dilucuti (dihapuskan), dan
industri militer Jepang dihilangkan, sehingga Jepang menjadi negara demiliterisasi
yang tidak memiliki status kepemilikan militer nasional skala besar (Mueller
2007). Pernyataan yang sama mengenai Jepang tidak memiliki militer skala besar
juga tertera dalam pasal 9 Konstitusi Jepang yang dinyatakan oleh Ministry of
Defense sebagai berikut:
“Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese
people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of
force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the
preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never
maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized” (Ministry of
Defense 2004)
(Demi menciptakan sebuah perdamaian internasional berdasarkan asas keadilan dan
ketertiban, sebagai negara yang berdaulat, rakyat Jepang menyatakan akan meninggalkan
cara kekerasan (perang) dalam menghadapi permasalahan internasional. Dalam rangka
mewujudkan pernyataan diatas maka angkatan darat, laut dan udara tidak akan ikut
terlibat dalam potensi perang mendatang. Hak untuk terlibat perang tidak akan diakui)
(Terjemahan penulis)
Berdasarkan Pasal 9 Konstitusi Jepang diatas disebutkan bahwa pasukan
militer Jepang dilarang bersikap agresif dalam menyelesaikan perselisihan
internasional, sebaliknya Jepang harus bersikap netral dan damai ketika menemui
masalah internasional, sehingga kebijakan pertahanan ini dinamakan Kebijakan
Pasif (Cai 2008). Meskipun kebijakan pasif telah digunakan Jepang sebagai
bentuk kebijakan luar negerinya dan Jepang dilarang untuk memiliki angkatan
bersenjata militer, namun berdasarkan perjanjian keamanan dengan AS yaitu
Treaty of Mutual Cooperation and Security, Jepang diperbolehkan memiliki
28
pertahanan nasional dikenal dengan Japanese Self-Defense Forces (JSDF) yang
dibentuk pada tahun 1954 (O.Hague 2007:61).
Sebelum Treaty of Mutual Cooperation and Security direvisi pada 19
Januari tahun 1960, landasan kerjasama aliansi militer antara Jepang dan AS
adalah San Francisco Treaty yang menandai berakhirnya penempatan tentara
Sekutu di Jepang serta menjadi awal hubungan aliansi militer AS dengan Jepang.
Di dalam Perjanjian San Francisco, AS menyatakan kepentingannya dalam
menjaga perdamaian dan keamanan kawasan Asia Timur, sehingga AS akan
mempertahankan militernya di wilayah Jepang dan AS berperan sebagai
pelindung keamanan Jepang dan juga Timur Jauh. Kegunaan utama dari JSDF
adalah menjaga pertahanan teritori negara dari dalam (The Shield) sedangkan
adanya pasukan militer AS di Jepang adalah sebagai penjaga garis depan wilayah
Jepang (The Spear) (O.Hague 2007:61).
Japan Self Defense Force (JSDF) atau yang sering dikenal dengan Self
Defense Force (SDF) telah resmi bekerja pasca Perang Dunia II dan bertugas
untuk menjaga pulau-pulau Jepang dari ancaman eksternal dan tidak diizinkan
digunakan ke luar negeri serta SDF dilarang memiliki senjata nuklir atau senjata
apapun yang bersifat ofensif (Reed 1983:28). Menurut data yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pertahanan Jepang melalui website resminya, mengatakan bahwa
Japan Self Defense Force dibagi menjadi tiga unit yaitu Ground Self Defense
Force (GSDF), Maritime Self Defense Force (MSDF), dan Air Self Defense Force
(ASDF). Jumlah personil SDF sampai pada tahun 2005 adalah sekitar 250.000
tentara serta SDF memiliki 6 % anggaran dana nasional atau sekitar 50 miliar
dolar AS setara dengan 589 trilyun rupiah.
29
Meskipun Japan Self Defense Force tidak diizinkan digunakan di luar
negeri berdasarkan konstitusi Jepang, namun setelah beberapa tahun Japan Self
Defense Force dibentuk, mereka diizinkan untuk dikirim ke luar negeri dengan
tujuan sebagai pasukan penjaga perdamaian bersama AS dan PBB. Beberapa misi
perdamaian yang pernah dilakukan oleh Self Defense Force adalah SDF pernah
mengirimkan kapal “penyapu” ranjau pada 26 April 1991 ke Teluk Persia,
tujuannya adalah untuk membersihkan ranjau-ranjau yang masih aktif maupun
tidak selama Perang Teluk terjadi (Muneo 2014:2).
Misi kedua SDF adalah ditugaskan sebagai pasukan perdamaian dibawah
United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) pada 19 Agustus
1992 dan membantu pembangunan jalan, jembatan bagi warga Kamboja. Ketiga,
misi bagi SDF adalah mengirimkan kapal maritim SDF ke Afganistan pada 9
November 2001 bersama dengan militer AS dan NATO, SDF bertugas untuk
menginvasi Afganistan setelah kejadian pengeboman 9 September 2001. Selain
itu, PM Koizumi dan kabinetnya juga mengizinkan SDF mengirimkan kapal
maritimnya ke Samudera Hindia berdasarkan UU Khusus Anti-Terorisme tahun
2001 sebagai bentuk dukungan aliansi Jepang kepada AS dalam melawan
terorisme dunia (Muneo 2014:3).
Setelah melihat peranan SDF di luar negeri cukup penting sebagai pasukan
pendukung AS, maka AS manyatakan bahwa Jepang merupakan mitra aliansi
yang strategis bagi AS. Selain itu, sejalan dengan kepentingan AS untuk menjaga
perdamaian dan keamanan di Timur Jauh, maka AS menempatkan pasukannya di
Jepang, dan penempatan pasukan militer AS di Jepang juga sebagai pelindung
Jepang jika Jepang diserang oleh musuh (O.Hague 2007:63).
30
Pernyataan bahwa pasukan militer AS adalah sebagai pelindung Jepang
tertera dalam pasal 6 Treaty of Mutual Cooperation and Security sebagai berikut:
“For the purpose of contributing to the security of Japan and the maintenance of
international peace and security in the Far East, the United States of America is granted
the use by its land, air and naval forces of facilities and areas in Japan…” (Institute of
Oriental Culture, University of Tokyo 1960)
(Sebagai tujuan bentuk kontribusi dalam menjaga keamanan Jepang dan pemeliharaan
perdamaian internasional di Timur Jauh, maka AS diizinkan untuk menggunakan fasilitas
angkatan darat, laut dan udaranya di wilayah Jepang) (Terjemahan penulis)
Berdasarkan pernyataan tersebut maka, aliansi kedua negera ini memiliki
mutual interest yaitu dari sisi Jepang, mereka lebih merasa aman karena
pertahanan negera dapat dijaga oleh AS sehingga dapat meminimalkan ancaman
serangan eksternal, serta Jepang tetap dapat mempertahankan isi pasal 9 dalam
UU konstitusinya (O.Hague 2007:63). Sedangkan keuntungan jangka panjang
bagi AS adalah kepentingan AS dalam menghadang perluasan ideologi komunis
dari Uni Soviet dan Cina di kawasan Asia Pasifik pada masa perang dingin dapat
terlaksana karena pusat militer AS di Asia berada di wilayah Jepang, yang
dianggap strategis (McDougall 1997:20).
B. Penempatan Pasukan Militer AS di Jepang
Berdasarkan Treaty of Mutual Cooperation and Security pasal 6 tahun
1960 yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, secara legal AS dapat
menempatkan pangkalan militernya di wilayah Jepang. Pangkalan militer AS ini
kemudian digunakan sebagai garda depan saat Perang Dingin dan Perang Korea
tahun 1950-1953 berlangsung, bahkan Jepang disebut sebagai “rare base” oleh
AS karena dapat mempermudah pergerakan tentara AS di Semenanjung Korea
(McDougall 1997:36).
31
Pangkalan Militer AS di Jepang memiliki sekitar 135 fasilitas militer yang
tersebar di beberapa prefektur Jepang yaitu Okinawa, Kanagawa, Nagasaki, dan
Tokyo. (Terlihat pada gambar II.B) Jumlah personil militer AS yang ditempatkan
di Jepang adalah sekitar 52.000 personil dengan penempatan 26.000 personil
tersebar di daratan Jepang dan 25.000 personil lainya di tempatkan di Prefektur
Okinawa (Muto 2004).
Gambar II.B Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Jepang
Sumber: http://www.tokyoprogressive.org/content/us-bases-japanampo diakses pada 2
September 2014
Berikut adalah beberapa pusat pangkalan militer AS di darataan Jepang:
1. Pangkalan Udara Misawa
Pangkalan Udara Misawa terletak di Pulau Honshu, Kota Misawa,
Prefektur Aomori. Wilayah ini berada sekitar 400 km sebelah utara
Tokyo dan hanya berjarak 5 km dari Samudera Pasifik. Jumlah populasi
32
di Prefektur Aomori adalah sekitar 42.000 jiwa termasuk jumlah
pasukan militer AS sekitar 3.800 personil, 700 pekerja sipil AS, dan
1.100 pasukan angkatan udara Jepang (JASDF). Unit militer AS yang
ada di Pangkalan Udara Misawa adalah 35th
Fighter Wing sebagai
pasukan penerbang yang mengendarai pesawat tempur F-16 dan dibagi
menjadi empat kelompok, 2 skuadron, 27 unit pendukung skuadron
(CNIC, Naval Air Facility Misawa 2008).
Pada saat Perang Dunia II terjadi, Pangkalan Udara Misawa
dijadikan sebagai lokasi latihan tempur bagi angkatan bersenjata Jepang
yang akan dikirim untuk menyerang Pearl Harbour, karena lokasi ini
dikelilingi oleh perairan yang mirip dengan lokasi Pearl Harbour. Saat
pasukan Sekutu menyerang daratan Jepang, Pangkalan Udara Misawa
ikut hancur dengan total kerusakan mencapai 90%, kemudian
pangkalan ini dibangun kembali saat AS menghadapi Perang Korea,
Perang Vietnam, serta menjadi lokasi yang strategis untuk misi
pengintaian Uni Soviet dan Cina pada tahun 1950an. Pasukan Bela Diri
Jepang (JASDF) pertama kali bergabung bersama angkatan udara AS
adalah saat JSDF terbentuk pada tahun 1954 (CNIC, Naval Air Facility
Misawa 2008).
2. Pangkalan Udara Yokota
Pangkalan Udara Yokota terletak di Pulau Honshu, Kota Fussa,
Selatan Tokyo dengan jumlah pasukan militer AS sekitar 14.000
personil, dan menempati lahan seluas sekitar 136.000 m2. Unit pasukan
militer di Pangkalan Udara Yokota adalah 374 Airlift Wing, unit ini
33
ditugaskan beroperasi di seluruh kawasan Asia Timur dengan dibagi
menjadi empat kelompok yaitu kelompok operasi, kelompok
pendukung pasukan khusus, kelompok pemelihara peralatan, dan
kelompok medis. Misi dari 374 Airlift Wing adalah memberikan
komando supply untuk pelaksanaan pemberian pasokan logistik, kargo,
peralatan militer, dan sebagai pasukan evakuasi. Nama Pangkalan
Udara Yokota sebelumnya adalah Lapangan Udara Tama yang
dibangun oleh Kerajaan Jepang pada 1940 sebagai salah satu kekuatan
utama militer Jepang. Lapangan Udara Tama digunakan sebagai lokasi
pengujian dan pelatihan bagi tentara Jepang saat Perang Dunia II
berlangsung, serta dijadikan sebagai tempat bertemunya Jepang dan
Italia ketika mendiskusikan strategi perang (Patrick M. Cronin 2012).
Ketika Jepang menyerah pada Sekutu tahun 1945, Lapangan Udara
Tama kemudian diduduki oleh tentara kavaleri AS dan diganti dengan
nama Fussa Army Airfield, setelah itu AS kembali memutuskan
mengganti nama Fussa Army Airfiled menjadi Yokota Air Base serta
pada tahun 2005, Pangkalan Udara Yokota dijadikan sebagai markas
besar bagi JASDF (Patrick M. Cronin 2012:10).
3. Pangkalan Udara Angkatan Marinir Iwakuni
Marine Corp Air Station (MCAS) Iwakuni adalah pangkalan udara
bagi angkatan militer marinir AS yang terletak di Pulau Honshu, Kota
Iwakuni di Prefektur Yamaguchi. Lokasi ini berada 300 km sebelah
barat dari Okasa dan 30 km sebalah barat daya dari Kota Hiroshima dan
jumlah personil marinir saat ini sekitar 15.000 personil termasuk
34
pekerja nasional Jepang. MCAS adalah pangkalan udara pendukung
pesawat marinir yang memiliki 3 unit pelayanan pemeliharaan pesawat,
31 armada pesawat JMSDF, 12 skuadron logistik, dan 171 skuadron
pesawat pendukung selain itu, MCAS juga digunakan sebagai tempat
pelatihan para angkatan marinir (Marine Corps Air Station Iwakuni
2006).
Pada saat Perang Dunia II terjadi, Jepang menggunakan Pangkalan
Udara Iwakuni sebagai tempat pelatihan dan pertahanan tentara Jepang
namun, saat Jepang kalah oleh Sekutu, pangkalan udara Iwakuni
diduduki oleh tentara Inggris, Australia, Selandia Baru, dan AS.
Pangkalan udara ini kemudian rekonstruksi ulang dan dijadikan
pangkalan militer oleh Tentara Kerajaan Australia (Royal Australian
Air Force) tahun 1948, kemudian pada tahun 1950 pangkalan udara
Iwakuni berpindah menjadi pangkalan udara milik AS dan digunakan
sebagai Springboard saat Perang Korea terjadi tahun 1950-1953
(Marine Corps Air Station Iwakuni 2006).
4. Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka
Pangkalan Angkatan Laut AS atau yang dikenal dengan
Commander, Fleet Activities Yokosuka (CFAY) terletak di Kota
Yokosuka, Prefektur Kanagawa. Lokasi ini berada di pintu masuk
Teluk Tokyo dengan jarak 65 km dari selatan Tokyo, 30 km dari selatan
Yokohama di Semananjung Miura. Misi dari CFAY yaitu bertanggung
jawab atas pemeliharaan, pengoperasiaan fasilitas angkatan laut
Yokosuka seperti logistik, dan pemberian pelayanan administrasi ke
35
seluruh unit angkatan laut AS yang ditempatkan di negara aliansi AS,
serta beroperasi di sekitar Pasifik Barat atau yang dikenal dengan
Commander, Logistic Group, Western Pacific (COMLOG WESTPAC)
(Commander U.S 7th Fleet 2010). Pangkalan Laut AS memiliki 60-70
armada kapal laut yang tersebar di negara aliansi AS lainnya, dan
menempatkan 23 kapalnya di Jepang di bawah otoritas CFAY seperti
kapal induk tenaga nuklir, USS George Wahington, USS Ronald
Reagan, Kapal komando USS Blue Ridge, dan kapal perusak USS
Fitzgerald (CNIC Commander Fleet Activities Yokosuka 2009).
Jumlah personil militer AS di CFAY adalah sekitar 3.700 persnil dan
4.300 personil SDF, selain itu CFAY merupakan pangkalan laut
terbesar bagi angkatan laut AS di dunia karena pangkalan laut
Yokosuka memiliki lokasi yang strategis untuk operasional Angkatan
Laut AS di Perairan Pasifik (Muto 2004)
C. Kepentingan Penempatan Pasukan Militer AS di Okinawa
Berdasarkan San Francisco Peace Treaty pada 8 September 1951 dimana
perjanjian ini mulai efektif dilaksanakan pada 28 April 1952, Jepang menyetujui
Trussteeship System yang menempatkan beberapa pulau di Jepang berada di
bawah otoritas AS, hal ini ditunjukkan dalam pasal 3 yang berbunyi:
Japan will concur in any proposal of the United States to United Nations to place under
trusteeship system, with the United States as the sole administering authority, Nansei
Shoto south of 29 degrees north latitude (including the Ryukyu Islands and Daito
Islands), Nampo Shoto south of Sofu Gan (including the Bonin Islands, Rosario Islands
and the Volcano Islands) and Parece Vela and Marcus Island. Pending the making of
such a proposal and affirmative actions thereon, the United States will have the right to
exercise all and any power of administration, legislation, and jurisdiction over the
territory and inhabitants of these islands, including their territorial waters (Watanabe
1970)
36
(Jepang menyetujui usulan mengenai penempatan wilayah dibawah sistem perwalian
dari PBB yang menjadikan AS sebagai pemegang hak perwalian tersebut dan wilayah
yang menjadi otoritas administrasi AS adalah wilayah yang terletak pada 29 derajat
Lintang utara Nansei Shoto (termasuk Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito),
wilayah yang terletak pada Nampo Shoto selatan dari Sofu Gan (termasuk Kepulauan
Bonin, Kepulauan Rosario, dan Kepulauan Volcano) dan Parece Vela, serta Pulau
Marcus. Sambil menunggu pembuatan proposal dan tindakan lebih lanjut, AS memiliki
hak untuk melaksanakan kegiatan adminitrasi, legislasi, dan yuridiksi atas wilayah-
wilayah tersebut termasuk masyarakat, serta wilayah perairan mereka) (Terjemahan
penulis)
Dengan adanya pasal tersebut, maka status Okinawa masih belum
dikembalikan ke wilayah Jepang seutuhnya seperti pulau-pulau lainnya, sehingga
AS memiliki hak untuk menempatkan dan mendirikan pangkalan militer di
Okinawa sampai status Okinawa resmi ditentukan di masa mendatang. AS
memiliki pasukan sekitar 27.000 personil dari 52.000 total keseluruahan pasukan
militer AS di daratan Jepang selain itu terdapat sekitar 37 fasilitas pangkalan
militer AS yang tersebar di seluruh wilayah Okinawa yang terlihat pada Gambar
II.C dibawah ini, hal ini menandakan bahwa AS memiliki 75% pasukan militer
yang berpusat di Okinawa (Pajon 2010:4).
37
Gambar II.C.1 Peta Penyebaran Fasilitas Militer AS di Prefektur Okinawa
Sumber: http://okinawa-institute.com/en/node/32 diakses pada 19 Juli 2014
Dalam artikel jurnal berjudul Understanding Okinawa’s Role in the U.S.-
Japan Security Agreement yang ditulis Jacques Fuqua dan diterbitkan oleh
National Clearing house for United States-Japan Studies tahun 2001, mengatakan
bahwa Okinawa merupakan wilayah prefektur Jepang yang dihuni oleh sekitar 1,5
juta penduduk dan merupakan wilayah selatan Jepang. Okinawa memiliki luas
wilayah sekitar1.201,03 km2 atau 0,6% dari total daratan Jepang dan sebelum
menjadi prefektur di Jepang, Okinawa merupakan sebuah kerajaan merdeka yang
dikenal dengan nama Kerajaan Ryukyu.
Saat masih menjadi kerajaan, Ryukyu memiliki hubungan perdagangan
yang erat dengan Kerajaan Cina dan Jepang hingga pada abad ke 18, Kerajaan
Ryukyu dimasukkan ke dalam wilayah Jepang secara sepihak dan menghapuskan
status Kerajaan Ryukyu menjadi Prefektur Okinawa oleh Kerajaan Jepang pada
38
tahun 1879. Meskipun secara status Ryukyu merupakan prefektur di Jepang,
namun sebenarnya pergantian status ini masih menimbulkan kontroversi, terutama
bagi Cina yang merasa Ryukyu adalah bagian dari Kerajaan Cina serta dari pihak
Kerajaan Ryukyu sendiri juga menganggap bahwa mereka bukan bagian dari
Kerajaan Jepang. Akibat dari klaim satu sama lain tersebut, Cina dan Jepang
akhirnya berperang memperebutkan Kerajaan Ryukyu pada tahun 1894-1895,
dan hasil dari peperangan tersebut adalah Cina kalah serta Kerajaan Ryukyu
sepenuhnya kembali menjadi Prefektur Okinawa milik Jepang (Watanabe
1970:58).
Kerajaan Jepang melihat Kerajaan Ryukyu sebagai wilayah strategis untuk
jalur perdagangan selain itu, ketika Ryukyu diambil alih Jepang, Ryukyu
dijadikan sebagai benteng oleh Jepang untuk menghindari serangan bangsa
Spanyol dari arah Filipina dan juga saat Perang Dunia II Ryukyu menjadi benteng
pertahanan darat tentara Jepang dari serangan tentara Sekutu (Fuqua 2001:2) .
Keberhasilan Okinawa sebagai basis pertahanan tentara Jepang dalam
menghalau serangan darat tentara Sekutu, membuat AS melihat Okinawa sebagai
lokasi ideal untuk melakukan serangan balik ke Jepang melalui jalur udara yaitu
dengan target serangan ke Kota Hiroshima dan Nagasaki yang bertujuan untuk
melumpuhkan Jepang. Akibat perang tersebut, tercatat hampir 220,000 warga
Okinawa tewas, dan sekitar 14.000 tentara AS tewas (Bandow 1998:6).
Fungsi strategis wilayah Okinawa juga dibuktikan dari kedekatan jarak
Okinawa dengan beberapa negara di Kawasan Asia Pasifik seperti ke Manila yang
berjarak 900 km, ke Taiwan 390 km, ke Korea 830 km, dan ke Shanghai, Cina
510 km. Sedangkan jarak wilayah Okinawa ke Tokyo adalah 970 km, hal ini
39
menandakan wilayah Okinawa cenderung lebih dekat dengan negara-negara
tersebut daripada ke wilayah daratan Jepang (Watanabe 1970:5).
Pergerakan militer AS yang lebih mudah ke beberapa negara di kawasan
Asia Pasifik juga dilihat saat terjadi perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam
tahun 1965. Jika ditinjau dari jalur udara, Okinawa hanya membutuhkan 2 jam
waktu tempuh pesawat menuju Semenanjung Korea dan ke Taiwan. Waktu
tempuh ini lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu tempuh 5 jam dari
Guam dan 11 jam dari Hawai’i yang harus militer AS ambil jika melakukan
penerbangan ke Semenanjung Korea dan Taiwan, jarak Okinawa dengan wilayah
sekitarnya dapat dilihat pada Gambar II.C.2 dibawah ini (Watanabe 1970:60).
Gambar II.C.2 Peta Lokasi Strategis Okinawa
Sumber: http://orientalreview.org/2010/10/01/is-guam-ready-to-accept-the-us-military-bases-
from-okinawa/ dikses pada 2 Agustus 2014
40
Melihat letak Okinawa yang strategis tersebut maka Okinawa dijuluki
sebagai “kunci utama Jalur Pasifik” karena akses yang mudah dijangkau dan dekat
dengan Semenanjung Korea, Taiwan serta wilayah teritori lain yang rawan konflik
di Kawasan Asia Pasifik (Fukumura 2007:7). Selain itu, salah satu media cetak
Jepang yaitu Ryukyu Shimpo mengatakan bahwa bagi AS, Okinawa seperti sebuah
hadiah dari kemenangan Perang Dunia II (Bandow 1998:4).
Posisi Okinawa semakin penting bagi AS pada masa Perang Dingin tahun
1945-1991, hal ini terlihat ketika AS banyak mendirikan fasilitas militer di
Okinawa dengan mengeluarkan biaya pembangunan sekitar 50 juta dolar AS atau
setara dengan 589 milyar rupiah sebagai antisipasi kemenangan partai komunis di
Cina tahun 1950. Selain itu, dengan hak otoritas (U.S Trussteeship) yang dimiliki
AS atas Okinawa, AS mendirikan pemerintahan administrasi yang disebut dengan
United States Civil Administration in the Ryukyus (USCAR) dibawah komando
Jendral Douglas MacArthur tahun 1950 (The National Archives and Records
Administration 1995).
Tujuan dari pembentukan ini adalah memberikan pengawasan terhadap
kegiatan domestik Okinawa, termasuk masalah-masalah domestik Okinawa dan
mendorong rakyat Okinawa ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik seperti
kesehatan, pendidikan, dan informasi kerjasama pemerintah AS dengan Jepang.
USCAR juga berkontribusi dalam pendirian bank sentral Okinawa, perusahaan
listrik, dan perusahaan air Okinawa. (Watanabe 1970:22). Namun USCAR
dihentikan pada 15 Mei 1972 setelah perjanjian antara AS dan Jepang terkait
pengembalian Kepulauan Ryukyu, dan Kepulauan Daito ke Pemerintah Jepang
41
Area Barak
31%
Area Latihan
13%
Pangkalan
Udara
43%
Pusat
pelayanan,
Informasi dan
Penyimpanan
13%
telah ditandatangani pada 17 Juni 1971 di Tokyo, Jepang (The National Archives
and Records Administration 1995).
1. Fasilitas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa
Sejak Okinawa menjadi wilayah otoritas AS (U.S Trusteeship), AS
berhak mendirikan pangkalan militer di Okinawa dan tercatat dari total
wilayah Okinawa yaitu sekitar 1.201,03 km2, lahan yang digunakan
sebagai pangkalan militer adalah seluas sekitar 229, 2 km2
serta total
pangkalan militer AS di seluruh Jepang adalah 310.1 km2 (Shimoji
2011:4). Berdasarkan jumlah luas wilayah tersebut menandakan bahwa
hampir ¾ total wilayah Okinawa digunakan sebagai basis pangkalan
militer AS yang dapat dilihat pada Grafik II.C
Grafik II.C Persentase Lahan Pangkalan Militer AS
Sumber: Yoshio Shimoji, Futenma: Tip of the Iceberg in Okinawa’s Agony, The Asia-
Pacific Journal: Japan Focus, 2011
Keterangan dari gambar grafik diatas adalah bahwa keseluruhan
lahan yang digunakan untuk fasilitas pangkalan militer AS adalah 229, 2-
km2
dengan pembagian sebagai berikut:
42
a. Pangkalan Udara
Pangkalan udara yang ada di Okinawa adalah Futenma, Kadena dan
Iejima Auxiliary ketiganya memiliki luas lahan 8 km2, 19,9 km
2 dan 4,8
km2, sehingga lahan yang digunakan untuk pangkalan udara adalah seluas
34,6 km2 (Shimoji 2011:1).
Pangkalan Udara Futenma merupakan pusat dari seluruh kegiatan
Angkatan Udara AS dan merupakan salah satu pangkalan udara terbesar di
Jepang yang terletak di pusat Kota Ginowan bersama dengan Pangkalan
Udara Iwakuni yang berada di Prefektur Yamaguchi (Shimoji 2010:5).
Fungsi dari pangkalan udara Futenma adalah sebagai landasan pacu
pesawat sebesar 2.800 m, kemudian sebagai hangar, fasilitas komuniasi,
sebagai pemeliharaan dan perbaikan pesawat tempur, dan sebagai tempat
penyimpanan amunisi. (Yukie Yoshikawa Research 2011).
b. Area Barak
Area barak adalah area terbesar kedua yang digunakan oleh militer
AS sebagai tempat pusat pelatihan tentara militer AS di Okinawa. Fasilitas
barak yang berada di Okinawa diantaranya adalah Barak Schwab dengan
luas lahan 20.6 km2, Barak Hansen seluas 51.2 km
2, Barak Courtney
seluas 1.3 km2 dan Barak Zukeran yang didalamnya termasuk Barak
Butler dan Foster memiliki luas 6.4 km2
sehingga total luas lahan yang
digunakan untuk pembangunan fasilitas barak adalah 80,3 km2.
(Shimoji
2011:5)
43
Barak Schwab, Hansen dan Zukeran merupakan barak yang paling
luas diantara fasilitas barak lainnya. Barak Schwab merupakan kawasan
pelatihan militer yang berlokasi di Kota Nago, serta ada pula barak yang
terletak di pantai Henoko. (Shimoji 2011:5)
Barak Hansen merupakan tempat latihan tembak dan pengecekan
amunisi terbesar, dan memiliki fasilitas klinik, bank, daerah hiburan dan
rekreasi. Sedangkan Barak Zukeran dan Barak Courtney merupakan basis
komando marinir AS di Okinawa yang memiliki beberapa fasilitas, seperti
perawatan untuk senjata, perumahan personil marinir, dan sekolah. Barak
Zukeran juga merupakan area barak terbesar yang terletak di pusat pulau
Okinawa seperti di Kota Okinawa, Ginowan, Uruma, Chatan dan Desa
Kitanakagusuku. (Yukie Yoshikawa Research 2011)
Barak Zukeran dibagi menjadi empat distrik yaitu: Butler District
sebagai markas komando pangkalan marinir, Buckner District sebagai
markas Batalyon ke-58 marinir, Plaza District sebagai perumahan militer
dan Foster District sebagai tempat pemeliharaan senjata dan penyimpanan
peralatan militer. (Yukie Yoshikawa Research 2011)
c. Area Pelatihan
Area pelatihan terbesar bagi militer AS di Okinawa adalah Northern
Training Area yang memiliki luas 78.2 km2
area ini melewati desa
Kunigami sampai desa Higashi. Kegunaan Northern Training Area adalah
sebagai basis latihan gabungan antara militer AS dan SDF Jepang, serta
menjadi tempat latihan mengendarai helikopter yang berada dibawah
44
pengelolaan komando marinir, angkatan darat, angakatan laut dan
angkatan udara AS (Shimoji 2011:4).
Daerah sekitar area pelatihan ini merupakan aset penting bagi
pemerintah daerah Okinawa karena daerah sekitar pelatihan berguna
sebagai penyedia sumber air dari hutan yang dilindungi di pulau utama
Okinawa untuk disalurkan ke penduduk Okinawa. (Yukie Yoshikawa
Research 2011)
d. Pusat Pelayanan, Informasi dan Penyimpanan.
Pusat Pelayanan, Informasi dan Penyimpanan yang ada di Okinawa
diantaranya adalah Kadena Ammunition Storage Area seluas 26.6 km2,
kemudian Makiminato Service Area seluas 2.7 km2, dan Army Fuel
Storage Facility seluas 1.6 km2 (Shimoji 2011:3).
Kadena Ammunition Storage Area merupakan area terbesar ketiga
setelah Northern Training Area, area ini berada di dekat Pangkalan Udara
Kadena, fungsinya adalah sebagai pusat pelayanan, penyimpan dan
pemeliharaan amunisi konvensional bagi empat divisi angkatan bersenjata
AS (Marinir, AD, AL, dan AU) (Yukie Yoshikawa Research 2011).
2. Kondisi Pangkalan Militer AS di Okinawa
Saat Perang Dunia II berakhir, penduduk Okinawa terkejut dengan
pembangunan pangkalan militer yang didirikan oleh pasukan militer AS di
Okinawa pada tahun 1950-an. Pembangunan pangkalan militer tersebut
didirikan hampir di seluruh daratan Okinawa dan mendominasi wilayah
darat serta perairan, sehingga para penduduk pribumi Okinawa harus
pindah dan tinggal di pinggiran kota (Gavan McCormack 2012:77)
45
Berdasarkan laporan yang di rilis oleh pemerintah Prefektur
Okinawa tahun 2011 melalui situs resminya menyatakan bahwa terdapat
20 titik area udara dan 28 area perairan yang mengelilingi Okinawa,
diperuntukkan khusus bagi pelatihan militer AS sehingga kegiatan
memancing, dan penerbangan komersial di area tersebut dilarang
digunakan untuk kepentingan umum.
Aktivitas pangkalan militer yang ada di Okinawa mengakibatkan
timbulnya polusi yang meresahkan rakyat Okinawa. Beberapa kasus polusi
yang terjadi akibat aktivitas pangkalan militer adalah pencemaran yang
terjadi di daerah Iheya, dimana pencemaran ini menyebabkan 8 orang
meninggal akibat keracunan zat arsenic, selain itu pencemaran lain juga
pernah terjadi pada tahun 1972 yaitu ketika terdapat insiden tumpahan
minyak bumi yang menyebabkan kerusakan struktur tanah dan air untuk
lahan Okinawa (Hayashi Kiminori 2009:2).
Pencemaran terjadi kembali pada tahun 1987 dimana 76 liter minyak
bumi tumpah dari transformator listrik yang ada di pusat penyimpanan
Pangkalan Udara Kadena. Setelah kejadian tersebut pihak AS melakukan
tes laboratorium pada bulan maret tahun 1987 dan menyatakan bahwa
minyak tumpah tersebut mengandung Polychlorinated Biphenyl (PCB)
sebanyak 214 parts per million (ppm) sedangkan tanah yang tercemar
telah mengandung 2290 ppm PCB. Tes kedua kembali dilakukan pada
bulan Oktober 1987 dan hasil laboraturium menyatakan tanah yang
terkontaminasi mengalami kenaikan yaitu dari 2290 menjadi 5535 ppm.
(Mitchell 2014:1)
46
Menurut standar tanah internasional kandungan PCB tidak boleh
melampaui 3 ppm, dan saat itu aturan Jepang lebih ketat dari standar
tersebut yaitu Jepang menargetkan kandungan PCB tanah tidak boleh lebih
dari 0,03 ppm. Tetapi AS justru menargetkan kandungan PCB tidak lebih
dari 25 ppm padahal zat PCB cukup berbahaya karena dapat menyebabkan
kerusakan saraf, kehilangan kekebalan tubuh, kerusakan reproduksi serta
memicu kanker (Mitchell 2014:2).
Pencemaran yang sama terjadi lagi pada tahun 2002 yaitu
ditemukannnya zat tar dalam minyak yang terkubur di lokasi Mihama,
Kota Chatan dan pemerintah Jepang harus melakukan pembuangan zat
tersebut dengan biaya 84 juta yen setara dengan 9,4 milyar rupiah.
Pencemaran lingkungan kembali terjadi akibat tumpahnya zat setara
arsenic, hexavalent, dan PCB yang ditemukan di wilayah Barak Kuwae
pada tahun 2003 serta tahun 2007 terdapat tumpahan bahan bakar jet di
Pangkalan Udara Kadena, Okinawa (Hayashi Kiminori 2009:5).
Selain kondisi lingkungan yang buruk akibat fasilitas pangkalan
militer AS di Okinawa, kondisi sosial di wilayah tersebut juga terganggu
karena pangkalan militer AS berada di pusat kota yang dekat dengan
perumahan penduduk, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya.
Kerusakan yang rawan terjadi adalah kecelakaan militer, contohnya pada
tahun 1999 terdapat helikopeter Futenma yang jatuh di pantai Okinawa,
dimana letak kejatuhan helikopter ini dekat dengan pembangkit tenaga
listrik (Japanese Communist Party 2000).
47
Selain kecelakaan pesawat, kebisingan juga menjadi faktor
keresahan rakyat Okinawa dengan adanya pangkalan militer AS wilayah
mereka hal ini disebabkan selama bulan juni tahun 1995, terdapat suara
kebisingan dari kegiatan pangkalan militer mencapai 2.244 kali. Biasanya
frekuensi kebisingan terjadi antara jam 07.00 pagi hingga 19.00-malam
yang mencapai 595-kali atau (26%). Selanjutnya tahun 1999 dilakukan
penelitian kembali oleh para ahli medis mengenai dampak kebisingan
suara bagi kesehatan manusia, dan hasilnya riset tersebut menyatakan
bahwa dampak kebisingan suara pesawat dapat mengakibatkan kelainan
pada perilaku bayi, tingkat kelahiran rendah dan gangguan pendengaran
jangka panjang (Okinawa Prefectural Government 2011).
48
BAB III
PERTIMBANGAN KEAMANAN STRATEGIS AMERIKA SERIKAT DI
KAWASAN ASIA PASIFIK
A. Keterlibatan AS di Kawasan Asia Pasifk
Selama Perang Dingin berlangsung, AS memiliki peranan yang cukup
dominan di kawasan Asia Pasifik terutama ketika AS harus menghadapi
penyebaran pengaruh komunisme dari Uni Soviet dengan mengeluarkan kebijakan
Containment pada masa Presiden Harry S. Truman tahun 1947. Kebijakan
Containment pertama kali diperkenalkan oleh George F Kennan yang menjabat
sebagai Duta Besar AS untuk Rusia sekaligus seorang ahli Rusia. Saat itu, Kennan
melihat kebijakan luar negeri Uni Soviet didasari oleh pemikiran Komunis
Marxis, serta Kennan juga mengatakan tindakan politik Kremlin adalah:
“A fluid stream which moves constantly wherever it is permitted to move, toward a given
goal. Its main concern is to make sure that it has filled every nook and cranny available
to it in the basin of world power. But if it finds unassailable barriers in its path, it accepts
these philosophically and accommodates itself to them” (Shapiro 2007:2).
(Bagaikan sebuah cairan yang bergerak terus menerus tanpa henti dan akan terus bergerak
menuju semua tempat dimana pun berada. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa ia
telah mengisi setiap sudut dan celah yang ada di dunia. Tetapi jika diperjalanan ia
menemukan hambatan yang sulit, ia kan berusaha untuk menghadapinya) (Terjemahan
Penulis)
Kebijakan Containment memiliki dua tujuan yaitu menghapus,
mengurangi dan menciptakan perdamaian dunia dari ancaman pengaruh Uni
Soviet, serta membawa perubahan bagi sebuah negara untuk melaksanakan tujuan
dan prinsip Piagam PBB tanpa adanya paksaan dari Uni Soviet. Sehingga
Kebijakan Containment berarti “menahan” pengaruh ideologi Komunis Uni
Soviet di daerah yang pernah diduduki Uni Soviet ketika terjadi Perang Dunia II
tahun 1942-1945 (Shapiro 2007).
49
Kebijakan Containment awalnya dijalankan di Eropa khususnya Eropa
Barat dan sekitarnya seperti Yunani, Austria, Irlandia, Perancis, Belanda, dan
Turki dengan memberikan bantuan ekonomi yang dikenal dengan Marshal Plan2
(Wilson 1977:33). Setelah Eropa, kebijakan Containment meluas ke negara-
negara kawasan Asia terutama ketika komunis menguasai daratan Cina pada tahun
1949. Keberhasilan komunis menguasai Cina, membuat AS semakin khawatir
dengan efek domino yang dapat dihasilkan Uni Soviet di Asia. Sehingga untuk
mencegah perluasan ideologi komunis semakin besar, AS kemudian menjadikan
Jepang sebagai mitra strategis dan mendirikan pangkalan militer di Jepang
(McDougall 1997:20).
Penempatkan pasukan militer AS di Jepang khususnya berbasis di
Okinawa, membuat pergerakan AS lebih mudah yaitu dengan mengirimkan
pasukan militer untuk membantu Korea Selatan menghadapi Korea Utara yang
dibantu Cina dan Uni Soviet ketika Perang Korea terjadi tahun 1950. Selain itu,
ketika AS tidak bisa memenangkan Perang Vietnam dimana komunis berhasil
menguasai seluru wilayah Vietnam maka AS semakin khawatir penyebaran
komunis akan semakin meluas ke wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat
(McDougall 1997:22)
2 Marshal Plan adalah bantuan keuangan dan kemanusiaan yang diberikan oleh AS sebagai
usaha merevitalisasi perekonomian Eropa khususnya Eropa Barat yang rusak akibat Perang Dunia
II serta bantuan ini merupakan usaha AS untuk membendung pengaruh Uni Soviet di kawasan
Eropa Barat. Konsep Marshal Plan dibentuk oleh Menteri Luar Negeri George C Marshal dengan
beberapa ahli seperti George Kennan dan William Clayton yang kemudian di publikasikan pada 5
juni tahun 1947di Harvard, di Eropa Marshal Plan dikenal dengan European Recovery Program
(ERP) dan Eropa mendapatkan bantuan sebesar 13 Miliar Dolar namun, bantuan Marshal Plan
berhenti pada tahun 1951. Sumber: Theodore A.Wilson, “The Marshal Plan 1947-1951”, Foreign
Policy Association, Inc 236 (Juni 1977):5.
50
Sehingga untuk mewujudkan kepentingan AS dalam menghadapi ancaman
regional Asia Pasifik maka AS melakukan strategi keamanan dengan beberapa
negara di Asia Pasifik seperti perjanjian keamanan dengan Jepang tahun 1951,
Australia dan New Zealand (ANZUZ) tahun 1951, Korea Selatan tahun 1954,
Taiwan tahun 1954, Thailand dan Filipina tahun 1954. Salah satu hasil
kesepakatan perjanjian keamanan tersebut ialah AS dapat menempatkan pasukan
militernya di beberapa negara aliansi AS di Asia Pasifik. Selain itu, AS juga
menempatkan pasukan militernya di Guam dan Hawai sehingga memudahkan AS
untuk menghadapi pengaruh ideologi Uni Soviet dan Cina pada masa Perang
Dingin tahun 1945-1991 (McDougall 1997:19).
Setelah Perang Dingin berakhir yang ditandai oleh jatuhnya Uni Soviet
pada tahun 1991, AS tetap mempertahankan pasukan militernya di negera-negara
aliansinya, hal ini disebabkan menurut AS ancaman eksternal lain dapat muncul
kembali meskipun Uni Soviet telah runtuh. Sehingga untuk menjaga keamanan
dan perdamaian di Kawasan Asia Pasifik, kehadiran Pasukan Militer AS masih
tetap dipertahankan (McDougall 1997:20).
Pasukan Militer AS yang ditempatkan di beberapa negara di wilayah Asia
Pasifik berada di bawah U.S Pacific Command (USPACOM) di mana markas
besar USPACOM berada di Hawai. Selain membawahi pangkalan militer di
sekitar Asia Pasifik, USPACOM memiliki misi sebagai garis depan pertempuran
membela AS dan kepentingannya serta menjaga Kawasan Asia Pasifik tetap aman
dan sejahtera. USPACOM juga bertanggung jawab langsung kepada Presiden AS
melalui Menteri Pertahanan, serta USPACOM didukung oleh empat divisi militer
yaitu angkatan darat, laut, marinir, dan armada pendukung (U.S. Pacific Fleet),
51
beberapa lokasi penempatan pasukan dan jumlah militer AS di Asia Pasifik dapat
dilihat pada Gambar III.A dan Tabel III A dibawah ini (Green 2012:6):
Gambar III.A Penempatan Pasukan Militer AS di Asia Pasifik
Sumber: http://www.chinapost.com.tw/asia/australia/2012/03/29/336088/p2/Australian-
territory.htm diakses pada 1 September 2014
52
Grafik.III.A Jumlah Pasukan Milliter AS di Kawasan Asia Pasifik Sampai
2012
Sumber: David J. Berteau dan Michael J. Green, U.S Force Strategy in the Asia Pacific
Region: an Independent Assessment (Washington DC: Center for Strategic and International
Studies, 2012), 48.
Keterangan dari grafik diatas adalah pada tahun 1996 jumlah pasukan AS
yang ditempatkan di Hawai adalah sekitar 53.575, Jepang sekitar 44.660, Korea
Selatan sekitar 35.910, dan Guam sekitar 6.700, sedangkan jumlah pasukan
militer pada tahun 2012 mengalami penurunan yaitu sekitar 40.000 di Hawai,
40.000 di Jepang, 28.000 di Korea Selatan, dan sekitar 5.000 di Guam (Green
2012:48).
Meskipun penurunan pasukan AS pada tahun 1996 disebabkan oleh berakhirnya
Perang Dingin tahun 1991, namun AS tidak sepenuhnya menarik pasukan
militernya dari negara aliansinya di Kawasan Pasifik melainkan, AS tetap
mempertahankan pasukannya untuk menghadapi tantangan regional yang harus
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
Hawai Jepang Korea Selatan Guam
1996
2012
53
dihadapi AS dan negara-negara Kawasan Asia Pasifik lainnya di masa mendatang
(Green 2012:49).
B. Konflik Regional Asia Pasifik
Kawasan Asia Pasifik merupakan episentrum dinamika dunia yang
terdapat kekuatan negara-negara besar seperti Cina, Jepang, India, Australia, AS
dan ASEAN, kawasan ini juga memiliki populasi lebih dari sepertiga populasi
dunia. Meskipun wilayah Asia Pasifik adalah episentrum dinamika dunia, dan
menjadi kekuatan pendorong ekonomi global, tantangan keamanan kawasan ini
tetap ada seperti isu keamanan yaitu terorisme, poliferasi nuklir, isu sengketa
perbatasan, isu ekonomi dan isu lingkungan (Swielande 2012:75).
Tantangan keamanan di kawasan Asia Pasifik jika tidak dikelola dengan
baik akan mengakibatkan timbulnya masalah yang lebih rumit seperti munculnya
ancaman keamanan dari negara lain serta timbulnya ketegangan konflik antar
negara diantaranya seperti Korea Selatan-Korea Utara terkait konflik
Semenanjung Korea, Cina-negara Asia Tenggra terkait sengketa Laut Cina
Selatan dan Cina-Jepang terkait isu sengketa Laut Cina Timur (Swielande
2012:75).
1. Konflik Semananjung Korea
Konflik Semenanjung Korea merupakan isu kawasan yang menjadi
perhatian dunia, hal ini disebabkan sejak Perang Korea tahun 1950-1953 terjadi,
kedua Korea sampai hari ini masih tidak dapat berdamai. Berdasarkan artikel yang
dikeluarkan oleh US Department of State Office of the Historian menyebutkan
bahwa Semenanjung Korea memiliki sejarah yang panjang, yaitu setelah dijajah
oleh Jepang tahun 1910, wilayah Semenanjung Korea harus dibagi menjadi dua
54
wilayah Selatan dan Utara pada tahun 1945 oleh AS dan Uni Soviet berdasarkan
aturan 38th
Paralell.
Menurut ensiklopedia Britannica 38th Parallel adalah nama yang
diberikan untuk menyatakan garis lintang 38° Utara Asia Timur yang memisahkan
Korea menjadi dua bagian, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Militer AS
membuat penetapan garis 38th Parallel berdasarkan Konferensi Potsdam dan
pembagian tersebut mengakibatkan pemisahan banyak desa di sepanjang garis
38th
Parallel.
Kondisi Semenanjung Korea kemudian menjadi kompleks ketika adanya
pembentukan rezim baru di Korea yaitu wilayah selatan mengikuti orientasi
ideologi AS di bawah kepemimpinan Syngman Rhee dan wilayah utara mengikuti
orientasi ideologi komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung. Akibat
pembentukan kedua pengaruh ideologi tersebut tercetuslah Perang Korea pada 25
Juni 1950 dengan Korea Utara yang melepaskan tembakan pertama kali (Liem
1993).
Meskipun terlihat bahwa Korea Utara yang melepaskan tembakan terlebih
dahulu pada 25 Juni 1950 pukul 4 pagi hari waktu korea, namun sebenarnya
Korea Selatan sebelumnya telah memprovokasi Korea Utara yakni Syngman Rhee
beberapa kali menyatakan akan “kembali” ke Korea dan berusaha mendapatkan
wilayah yang “hilang”. Kedua, Rhee mendapatkan dukungan dari pejabat tinggi
AS, John Foster Dulles, enam hari sebelum Perang Korea terjadi dimana ia
menyatakan:
"You are not alone. You will never be alone so long as you continue to play worthily your
part in the great design of human freedom" (Lee 1998).
55
(Anda tidak sendirian, anda tidak akan pernah berjuang sendiri selama anda tetap
melanjutkan bagian anda dalam menentukan kebebasan umat manusia) (Terjemahan
Penulis)
Sehingga dari beberapa tindakan provokasi Korea Selatan, akhirnya Korea
Utara menyerang Korea Selatan dan Perang Korea berlangsung selama sekitar 3
tahun. Perang Korea berakhir dengan dilakukannya Perjanjian Gencatan Senjata
yang ditandatangani oleh UNC diwakili oleh Letnan Jendral William Harrison Jr,
Korea Utara diwakili oleh Jendral Nam il, dan Peng Teh Huai dari People's
Volunteer Army (PVA) Cina di Panmunjom, Provinsi Gyeonggi-do Korea Selatan
pada 27 Juli 1953 (Niksch 1995:3). Berdasarkan perjanjian gencatan senjata
tersebut, Korea Selatan mendapatkan kepemilikan atas wilayah pegunungan timur
dari garis 38th Parallel dan Korea Utara mendapatkan kepemilikan atas wilayah
selatan garis 38th Parallel yang meliputi kota Kaesong. (Il 2010:38)
Pasca Perang Korea tahun 1953 Korea Utara menghadapai tantangan baru
yaitu harus mempertahankan ekonominya sekaligus memprioritaskan kekuatan
militernya untuk menghadapi ancaman aliansi AS dan Korea Selatan, hal ini
disebabkan ketika Perang Korea terjadi, Korea Utara merasa kecewa atas tindakan
Uni Soviet yang tidak cukup membantu Korea Utara dalam Perang Korea
(Roehrig 2005:22). Korea Utara juga melihat adanya perubahan pola hubungan
keamanan dengan Cina dan Uni Soviet sehingga Korea Utara merasa khawatir
akan ditinggalkan oleh dua sekutunya tersebut terutama Cina yang terkesan lebih
fokus kepada hubungan ekonomi dengan Korea Selatan dibandingkan dengan
Korea Utara. Sehingga keadaan ini membuat Korea Utara merasa perlu untuk
meningkatkan upaya kemandirian negaranya dengan memiliki teknologi nuklir
dan balistik misil (Baek 2004:201).
56
Kemandirian untuk memiliki pertahanan nasional sendiri dibuktikan pada
masa Presiden Kim Il Sung, Korea Utara mulai memproduksi tank, kendaraan
lapis baja, kapal perang, dan kapal selam. Korea Utara kemudian memproduksi
duplikat tank Cina dan Soviet dimana produksi tank tersebut mendapatkan
dukungan dari dua negara aliansinya. Pada tahun 1980, Korea Utara mulai
membuat senjata nuklir dan balistik misil dengan mengembangkan Medium-
Range Ballistic Missile (MRBM), Intermediate-Range Ballistic Missile (IRBM),
serta percepatan senjata kimia dan program senjata biologi (Baek 2004:202).
Masih dalam tulisan yang dibuat oleh Seung Joo Baek dalam kompilasi
buku Korea: East Asian Pivot tahun 2004, Seung Joo Baek menyampaikan setelah
Kim Il Sung wafat, rezim Pyeongyang digantikan oleh anaknya yaitu Kim Jong Il.
Pengembangan nukilr dan balistik misil juga dikembangkan saat era Kim Jong Il,
pengembangan ini dibuktikan dalam ranking kekuatan militer dunia, Korea Utara
menempati urutan kelima dengan perkiraan jumlah tentara sekitar 1.106.000
personil. Semua personil tersebut dialokasikan untuk 3.500 tank membutuhkan
950.000 personil, 46.000 personil untuk 313 kapal perang dan 110.000 untuk 504
pesawat tempur.
Kekuatan militer yang dimiliki Korea Utara ini membuat kekhawatiran
bagi Korea Selatan dan AS karena beberapa kali Korea Utara melakukan uji coba
balistik misil di dekat perbatasan Korea Selatan. Selain itu Korea Utara juga
berhasil mengembangkan rudal yang dinamakan Hwasong-5 dan berhasil di uji
coba pada 1984 dengan jarak tembak 320 km (Pinkston 2008:16).
57
Sukses dengan Hwasong-5, Korea Utara kembali memproduksi Hwasong-
6, Nodong, Paektusan-1 yang biasa dikenal dengan Taepodong-1, Taepodong-2,
dan Musudan, kemudian misil-misil mampu diproduksi oleh Korea Utara hanya
dalam waktu 5 tahun dari tahun 1987-1992 (Pinkston 2008:30).
Dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Daniel A. Pinkston dan diterbitkan
oleh Strategic Studies Institute tahun 2008 dijelaskan bahwa Korea Utara kembali
meluncurkan uji coba 7 rudal berturut-turut pada 5 juli 2006 yaitu tepat satu hari
setelah perayaan Kemerdekaan AS pada 4 Juli. Peluncuran pertama dilakukan
pada jam 3.32 pagi waktu Korea (KST) dengan menggunakan rudal Hwasong-6
yang memiliki jarak tembak 507 km. Kedua, jam 4.10 pagi dengan rudal nodong
yang memiliki jarak tembak 805 km. Ketiga jam 4.59 pagi dengan Paektusan -2
(meledak saat peluncuran). Keempat jam 7.12 pagi dengan Hwasong-6 yang
memiliki jarak tembak 453 km, dan peluncuran pada jam 7.31 pagi yang memiliki
jarak tembak 493 km. Keenam jam 8.17 pagi dengan Nodong yang memiliki jarak
tembak 780 km, dan ketujuh dengan Scud-ER yang memiliki jarak tembak 432
km dapat dilihat pada Gambar III.B.1 dibawah ini:
58
Gambar III.B.1 Peta Jangkaun Balistik Misil Korea Utara
Sumber: http://fas.org/spp/starwars/docops/fm100-12d/chap2.htm diakses pada 18 September
2014
Kemampuan Korea Utara dalam mengembangkan senjata rudal dan nuklir
dalam skala besar, dapat menimbulkan ketidakstabilan di kawasan Asia Pasifik
sehingga AS membuat upaya pencegahan untuk menghentikan pengembangan
program nuklir Korea Utara, seperti menginisiasi Six Party Talks bersama empat
negara lainnya yaitu Jepang, Korea Selatan, Rusia, dan Cina pada tahun 2003.
(Baek 2004:209).
2. Sengketa Perbatasan Maritim
a. Laut Cina Selatan
Sengketa perbatasan Laut Cina Selatan hingga saat ini masih belum
terselesaikan oleh negara-negara yang terlibat seperti Cina, dan beberapa
59
negara Asia Tenggara yaitu Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei.
Ketegangan konflik Laut Cina Selatan pernah terjadi antara Cina dan
Vietnam di perairan lepas Laut Cina Selatan saat kapal patrol Vietnam
menangkap serta menabrak kapal nelayan Cina pada tahun 1974. Setelah
insiden tersebut. Kementerian Luar Negeri Cina untuk pertama kalinya
menyatakan kepemilikan atas territorial pulau-pulau lepas pantai Laut Cina
Selatan dan hal tersebut merupakan hak maritim Cina, serta pemerintah Cina
menekankan bahwa hak atas sumber daya di wilayah Laut Cina Selatan
adalah milik Cina (Benson 2012).
Satu bulan setelah pernyataan Cina tersebut, pada Februari 1974 pasukan
Republic of Vietnam Navy (RVN) menembaki dua kapal nelayan Cina yang
memasuki wilayah pantai Laut Cina Selatan yang diklaim oleh Vietnam. Atas
insiden penembakan tersebut, Cina kemudian mengirim enam kapal angkatan
laut ke wilayah Crescent untuk menghadapi empat kapal RVN dan terjadilah
kontak senjata antar kedua pihak yang mengakibatkan 36 orang meninggal,
110 luka-luka dan lebih dari 160 orang hilang baik di pihak Cina maupun
Vietnam (Benson 2012) .
Klaim Cina terhadap kepemilikan Laut Cina Selatan tidak hanya
berhenti pada garis batas saja namun, kepulauan-kepulauan di Laut Cina
Selatan seperti Paracel dan Spratly juga diklaim oleh Cina dengan
berdasarkan pada peta nine-dash line tahun 1947 yang dikeluarkan oleh
Departemen Dalam Negeri Cina. Peta tersebut kemudian dijadikan dasar
Deklarasi Teritorial Laut Cina pada tahun 1958 selain itu, Pemerintah Cina
60
juga memberikan instruksi kepada People’s Liberation Army Navy (PLAN)
untuk melakukan penelitian pada kedua Kepulauan tersebut. (Benson 2012)
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Jeff W Benson dan dirilis oleh
USNI News, menyebutkan hasil survei PLAN Cina menunjukan Fiery Cross
Reef akan menjadi lokasi strategis untuk pembangunan stasiun pengamatan
laut permanen. PLAN juga mendesain dua bentuk operasi di Laut Cina
Selatan, yaitu Cina memiliki hak teritorial dan memperluas kekuatan
angkatan laut dari level near-coastal defense menjadi near-seas active
defense. Keseluruhan wilayah Laut Cina Selatan yang diklaim oleh Cina
termasuk Laut Kuning dan Laut Cina Timur yang berada di 12 mil dari
daratan Cina menimbulkan reaksi protes dari negara tetangga seperti
Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Taiwan. Hal ini
disebabkan karena kelima negara ini juga mengklaim atas kepemilikan Laut
Cina Selatan.
Sengketa Laut Cina Selatan sampai saat ini masih belum terselesaikan,
padahal berdasarkan ketetapan pasal 76 United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1980 mengenai landasan kontingen,
dijelaskan bahwa setiap negara yang memiliki teritorial laut harus didaftarkan
ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) untuk
melegalkan Zona Ekslusif Ekonomi (ZEE) setiap negara (Polling 2013:6).
Fungsi CLCS adalah menetapkan batas wilayah terluar yaitu 200 mil dari
garis pantai terluar suatu negara (Coastal States) berdasarkan ketetapan
hukum laut PBB (UNCLOS) tahun 1980 serta CLCS memberikan
rekomendasi kepada Coastal States mengenai pembentukan batas terluar, dan
61
(Coastal States) tidak boleh mengurangi batas laut negara lain yang
berbatasan langsung dengannya (United Nations 2012).
Namun keenam negara, Cina, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam,
Malaysia, dan Vietnam memiliki versi yang berbeda satu sama lain dalam hal
pengklaiman kepemilikan batas Laut China Selatan, hak teritorial yang
diklaim dapat dilihat pada gambar III.2.1
Gambar III.B.2.1 Peta Laut Cina Selatan
Sumber: http://www.brookings.edu/research/papers/2014/08/south-china-sea-perspective-bader-
lieberthal-mcdevitt Diakses pada 22 Agustus 2014
62
Berdasarkan peta diatas, berikut pengklaiman kepemilikan Laut Cina
Selatan dari masing-masing negara selain Cina, yaitu (Polling 2013:6):
1. Malaysia mengklaim kepemilikan batas Laut Cina Selatan berdasarkan
batas laut yang disepakati dengan Indonesia tahun 1969 dan Thailand tahun
1979 serta berdasarkan peta Malaysia tahun 1979. Namun, garis pantai yang
diakui Malaysia sebenarnya dianggap tidak sah, hal ini disebabkan peta yang
dikeluarkan Malaysia tahun 1979 tersebut tidak pernah didaftarkan pada
CLCS.
2. Filipina hampir mengklaim keseluruhan dari garis batas Laut Cina
Selatan yang ditetapkan oleh CLCS. Filipina mengkalim batas tersebut
termasuk Kepulauan Spartly/Pulau Kalayan dimana kesepakatan kepemilikan
pulau tersebut berdasarkan hasil dari Treaty of Paris antara Spanyol dan AS
tahun 1898 di Paris, terkait kekalahan dan penyerahan wilayah jajahan
Spanyol ke AS.
3. Vietnam menyatakan garis batas yang dibuat CLCS tidak sah karena
Vietnam tidak pernah menyetujui pembentukan batas laut yang disepakati
oleh komunitas internasional, selain itu Vietnam memiliki peta kepemilikan
Laut Cina Selatan sesuai versinya sendiri yaitu keseluruhan Laut Cina Selatan
termasuk Kepulauan Paracel dan Spartly.
4. Brunei mengklaim garis batas Laut Cina Selatan didasarkan kepada
tiga hal yaitu: perbatasan laut dengan Malaysia berdasarkan Konstitusi
Inggris pada tahun 1958, memperpanjang garis laut terluar dari 200 mil laut
Brunei yang dinyatakan pada tahun 1982 oleh Kerajaan Brunei dan telah
63
disetujui oleh Malaysia, serta perpanjangan batas laut terluar mencapai 60 mil
sesuai dengan peta Brunei tahun 1988.
Melihat beberapa negara Asia Tenggara dan Cina saling bersikeras
mengklaim kepemilikan Laut Cina Selatan, maka hal tersebut membuat AS
khawatir, hal ini disebabkan karena tensi di wilayah ini semakin tinggi
sedangkan, menurut AS semua negara berhak menikmati laut lepas termasuk
kebebasan berlayar di wilayah laut internasional, baik kapal komersial
maupun kapal militer. Selain itu, kebebasan bernavigasi di zona internasional
juga telah tercantum dalam United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS)
pasal 87 (Fravel 2012:300). Isi pasal tersebut yang dicantumkan dalam
website resmi PBB adalah pasal 87ayat 1 berbunyi:
The high seas are open to all States, whether coastal or land-locked. Freedom of the
high seas is exercised under the conditions laid down by this Convention and by other
rules of international law. It comprises, inter alia, both for coastal and land-locked
States:(a) Freedom of navigation; (b) Freedom of overflight; (c) Freedom to lay
submarine cables and pipelines, subject to Part VI; (d) Freedom to construct artificial
islands and other installations permitted under international law, subject to Part VI; (e)
Freedom of fishing, subject to the conditions laid down in section 2; (f) Freedom of
scientific research, subject to Parts VI and XIII (United Nations 2013).
(Laut lepas adalah wilayah yang terbuka bagi semua negara baik pantai maupun
daratannya. Kebebasan beraktivitas di laut lepas diatur oleh konvensi dari aturan yang
dibuat berdasarkan hukum internasional, kebebasan tersebut meliputi: (a) kebebasan
navigasi; (b) kebebasan terbang diatasnya; (c) kebebasan meletakkan kabel dan pipa
bawah laut, yang dijelaskan pada Bagian VI; (d) kebebasan membangun pulau buatan
dan instalasi lainnya yang diatur berdasarkan hukum internasional, dijelaskan di Bagian
VI; (e) kebebasan menangkap ikan, yang ditetapkan pada bagian 2; (f) kebebasan
melakukan riset ilmiah, yang dijelaskan pada Bagian VI dan XIII) (Terjemahan penulis)
Mengacu pada pasal PBB diatas, maka seharusnya tensi di wilayah Laut
Cina Selatan dapat berkurang, dan CLCS juga menyatakan bahwa setiap negara
yang berkonflik di wilayah ini perlu mengacu pada hukum internasional yang
berlaku sehingga konflik di Laut Cina Selatan tidak berlarut (Polling 2013:23).
64
b. Laut Cina Timur
Selain sengketa perbatasan Laut Cina Selatan, terdapat isu sengketa lain
yang masih belum terselesaikan yaitu klaim atas kepemilikan Pulau
Senkaku/Diaoyu oleh dua negara besar di Asia Timur yaitu Jepang dan Cina.
Sengketa pulau Senkaku/Diaoyu mulai memanas ketika AS mengembalikan
Pulau Ryukyu dan Daito yang berada di bawah U.S Trussteeship ke Jepang
pada tahun 1972, ketika itu Cina menolak jika status pulau Senkaku/Diaoyu
termasuk di dalam pulau-pulau yang telah dikembalikan ke Jepang oleh AS.
Atas penolakan Cina tersebut, maka pulau Senkaku/Diaoyu berada dalam
status quo selama beberapa tahun. Peta pulau Senkaku/Diaoyu yang menjadi
sengketa kedua negara dapat dilihat pada Gambar III.B.2.2 di bawah ini
(Smith 2013):
Gambar III.B.2.2 Peta Sengketa Laut Timur Cina
Sumber: http://www.eia.gov/countries/regions-topics.cfm?fips=ecs diakses pada 22 Juli 2014
65
Pulau Senkaku/Diaoyu menjadi perhatian Jepang dan Cina ketika pada
tahun 1969 komisi ekonomi PBB yaitu UN Economic Commission for Asia
and the Far East melaporkan adanya temuan potensi sumber daya alam
seperti minyak, gas bumi dan hidrokarbon yang ada di pulau tersebut. Jepang
dan Cina sepakat untuk menghindari topik pembicaraan terkait pulau
Senkaku/Diaoyu selama beberapa tahun seperti pernyataan Presiden Deng
Xiaoping kepada PM Jepang Takeo Fukuda bahwa wajar jika antar negara
memiliki perbedaan pandangan terhadap suatu isu seperti penyebutan nama
pulau Senkaku bagi Jepang, dan Diaoyu bagi Cina maka lebih baik untuk
menghindari pembicaraan terkait pulau tersebut (Kai 2013).
Namun, tensi atas klaim pulau tersebut kembali muncul pada tahun 2010
ketika kapal nelayan Cina menabrak dua kapal Polisi Pantai Jepang di
perairan dekat pulau Senkaku/Diaoyu dan kapten kapal nelayan tersebut
ditahan oleh Jepang, selain itu tahun 2012 Jepang membeli 3 dari 5 pulau di
sekitar pulau Senkaku/Diaoyo yang mengakibatkan kemarahan Cina terhadap
Jepang. Kemungkinan adanya kontak senjata antara Jepang dan Cina cukup
besar mengingat kedua negara memiliki armada laut yang kuat, selain itu
aliansi antara Jepang-AS juga dapat menimbulkan kesalahan persepsi bagi
Cina sehingga kemungkinan Cina memilih mengambil tindakan agresif
sangat besar dimana hal tersebut dapat memicu perang di kawasan Asia
Timur (Smith 2013).
66
C. Peningkatan Kekuatan Militer Cina
Perkembangan perekonomian Cina mulai kembali maju ketika Cina telah
mengubah bentuk pemerintahannya menjadi republik pada tahun 1949 kemudian
pada tahun 1950, Cina kembali memulai industri dalam negerinya dengan
meningkatkan investasi dalam sektor industri baja, beton dan alat berat serta
pemerintah juga memaksimalkan sumber daya alam yang dimiliki Cina. Hasilnya
pada tahun 1978 pertumbuhan GDP Cina mengalami peningkatan dari 3%
pertahun sebelum tahun 1978 menjadi 8% pertahun setelah tahun 1978. Dalam
satu dekade GDP Cina kembali meningkat pesat yaitu dari 3.0 trilyun dolar tahun
2000 menjadi 10.1 trilyun dolar di tahun 2010 dan gambar GDP Cina dapat dilihat
pada Gambar III.2.3 dibawah ini (Zhu 2012:106)
Grafik III.C.1 Nilai Gross Domestic Product (GDP) Cina tahun 1990-2010
Sumber:
http://www.ccusd93.org/education/components/scrapbook/default.php?sectiondetailid=32938&
diakses pada 16 Agustus 2014
Berdasarkan data yang diliris oleh The Institute for Security and
Development Policy melalui website resminya menyatakan meningkatnya
67
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Milyar Dollar AS
pertumbuhan perekonomian Cina juga diiringi dengan meningkatnya kekuatan
militer negaranya dimana Cina memfokuskan untuk membangun, melengkapi dan
melatih tentara nasional Cina yang dikenal dengan The People's Liberation Army
(PLA). Hal ini dapat dilihat dari bertambahnya anggaran dana untuk pembiayaan
belanja militer Cina yaitu dari 27,9 milyar dolar AS di tahun 2000 menjadi 78
milyar dolar AS di tahun 2010. Jika dibandingkan dengan anggaran belanja
militer AS, terlihat jelas bahwa anggaran belanja Cina meningkat pesat,
perbandingan anggaran belanja militer kedua negara dapat dilihat pada Grafik
dibawah ini (Erickson 2013:810) :
Grafik III.C.2 Anggaran Belanja Militer AS (2002-2010)
Sumber: The Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) Military Expenditure
Database http://milexdata.sipri.org/result.php4 diakses pada 1 September 2014
68
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Milyar Dolar AS
Grafik III.C.3 Anggaran Belanja Militer Cina (2002-2010)
Sumber: Defense expenditure, Ministry of National Defense The People’s Republic of China
http://eng.mod.gov.cn/Database/Expenditure/index.htm# diakses pada 13 Juli 2014.
Berdasarkan kedua grafik di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan
anggaran militer Cina yaitu pada tahun 2002 Cina mengeluarkan dana anggaran
pertahanan militer sebesar 27,4 miliyar dolar, tahun 2003 dana anggaran
pertahanan militer Cina mengalami kenaikkan sebesar 3,2 milyar dolar menjadi
30,6 milyar dolar, tahun 2004 anggaran kembali naik sebesar 5 milyar dolar
menjadi 35,4 milyar dolar, tahun 2005 anggaran mengalami kenaikan 4, 4 milyar
dolar menjadi 39,8 milyar dolar, tahun 2006 anggaran menjadi 47, 8 milyar dolar,
tahun 2007 anggaran menjadi 57,2 milyar dolar naik sebesar 10 milyar dolar,
tahun 2008 anggaran militer Cina sebesar 67,2 milyar dolar, tahun 2009 anggaran
pertahanan militer menjadi 79,7 milyar dolar, dan tahun 2010 anggaran
pertahanan militer Cina menjadi 85,9 milyar dolar atau setara dengan 995 trilyun
rupiah (Erickson 2013:811).
Anggaran belanja militer kemudian dialokasikan untuk pemeliharaan
peralatan perang, pembelian senjata, peningkatan kemampuan serta pembiayaan
personil. Berdasarkan Annual Report to Congress berjudul Military and Security
69
Developments Involving the People’s Republic of China yang dirilis oleh
Kementerian Pertahanan AS tahun 2011 menyatakan bahwa Cina
mengembangkan persenjataannya disetiap divisi PLA yaitu :
a. Angkatan Laut
Peningkatan kekuatan militer Angkatan Laut PLA dapat dilihat dari
persenjataan canggih yang mereka miliki. Saat ini Angkatan Laut PLA
dipersenjatai dengan Anti-Ship Cruise Missile (ASCM) yang memiliki
jarak tembak lebih dari 185 km, selain itu Angkatan Laut PLA memiliki
sekitar 60 kapal selam, 51 kapal amfibi, 86 rudal balistik. Angkatan Laut
PLA Cina telah membangun fasilitas terowongan khusus untuk pangkalan
laut yang berfungsi sebagai anti deteksi radar, menyelesaikan
pembangunan pangakalan angakatan laut di wilayah Yulin, sebelah Pulau
Hainan, dan melakukan pengembangan Over-The-Horizon (OTH)
terhadap kemampuan pengawasan gelombang sky-wave dan surfacewave
yang dapat mengawasi dan memantau wilayah Pasifik Barat.
Tercatat pada tahun 2010 Cina telah menghasilkan kapal selam rudal
balistik bertenaga nuklir (SSBN) yang memiliki jarak jelajah hingga 7,400
km, kapal selam bertenaga nuklir (SSN Type 093) generasi kedua, dan
menghasilkan lima (SSN Type 095) tambahan generasi ketiga. Beberapa
kapal angkatan laut ini pernah dikirim untuk ditempatkan di sekitar Laut
Cina Selatan dan Laut Cina Timur, penempatan kapal dapat dilihat pada
tabel III.C.1
70
Tabel III.C.1 Penempatan Kapal Angkatan Laut PLA
Jenis Kapal Total (Unit) Penempatan di sekitar
Laut Timur dan Laut
Cina Selatan (Unit)
Kapal Perusak 26 16
Fregat 53 44
Kapal Amfibi/Logistik 28 26
Kapal landasan berukuran medium 23 18
Kapal Selam Diesel 48 30
Kapal Selam Nuklir 5 2
Kapal Patroli Pantai 86 67
Sumber: Department of Defense, Military and Security Developments Involving the
People’s Republic of China (Virginia: Office of the Secretary of Defense, 2012), 28
b. Angkatan Darat
Cina memiliki personil tentara angkatan darat sekitar 1.250.000 dan
sekitar 400.000 personil ditempatkan di tiga wilayah militer yang
bersebrangan dengan Taiwan, Cina juga meningkatkan angkatan daratnya
dengan memodernisasi tank tipe-99 generasi ke tiga sebagai kendaraan
tempur utama, kendaraan generasi baru tipe amfibi, dan beberapa sistem
roket. PLA juga sering melakukan latihan gabungan salah satunya adalah
latihan gabungan Angkatan Darat dari wilayah Beijing, Lanzhou, dan
Chengdu yang disebut Shiming Xingdong dengan pelatihan bermanuver,
koordinasi darat-udara, dan mobilisasi jarak jauh sebagai bagian dari
melatih keterampilan untuk menghadapi konflik perbatasan.
c. Angkatan Udara
Cina memiliki lebih dari 490 pesawat tempur dan dapat beroperasi
dengan jangkauan luas misalnya dapat mencapai wilayah Taiwan tanpa
membutuhkan pengisian bahan bakar, Cina juga telah menguji prototype
pesawat tempur generasi terbaru pada tahun 2011 dengan menggabungkan
71
komponen pesawat siluman, sistem avionic, serta mesin super-cruise yang
mampu terbang lebih lama daripada pesawat tempur lainnya.
Selama lima tahun terakhir terhitung dari tahun 2006, Cina telah
mengakuisisi beberapa unit PMU-2 jenis SA-20 dengan sistem tercanggih
milik Rusia, yang memiliki sistem tembak rudal hingga berjarak 195 km,
dan mampu melawan rudal balistik jarak jauh. Perusahaan industri
penerbangan Cina saat ini sedang mengambangkan pesawat Airborne
Warning and Control System dengan kerangka pesawat tipe KJ-200 dan
Y-8 yang mampu membuat pesawat mengenali bahaya lebih awal jika
datang sebuah serangan mendadak. Penjelasan total kepemilikan pesawat
PLA Cina dapat dilihat pada Tabel III.C.3.
Tabel III.C.2 Fasilitas Angkatan Udara PLA Cina
Pesawat Udara To
tal (Unit)
Penempatan
di Taiwan
(Unit)
Pesawat Tempur 1,5
70
310
Pesawat Peledak/Perusak 55
0
180
Pesawat Logistik 30
0
40
Sumber: Sumber: Department of Defense, Military and Security Developments Involving
the People’s Republic of China (Virginia: Office of the Secretary of Defense, 2012), 28
Selain itu, Cina juga telah mengembangkan beberapa balitik
misil dan Jarak tempuh balistik misil PLA dapat dilihat dari gambar III.C
dibawah ini:
72
Gambar III.C Peta Jangkauan Balistik Misil Cina
Sumber: http://www.globalsecurity.org/wmd/world/china/overview.htm diakses pada 18
September 2014
d. Kemampuan Space, Counterspace dan Cyberwarfare
Selain peningkatan kekuatan militer, Cina juga saat ini
megembangkan kemampuan ruang angkasa, tercatat pada tahun 2010 Cina
melakukan peluncuran 15 satelit ke luar angkasa. Hal ini merupakan
sebuah rekor bagi Cina karena mampu meluncurkan roket dalam jumlah
besar dan peluncuran roket luar angkasa ini mampu memperluas kegiatan
intelejen, pengawasan, navigasi, meteorologi, dan komunikasi. Cina juga
sedang mengembangkan kemampuan roket ini untuk mencegah
pemanfaatan aset luar angkasa yang akan dilakukan oleh musuh ketika
terjadi konflik, selain itu pada tahun 2010 Cina berhasil meluncurkan dua
73
satelit komunikasi yaitu sipil dan militer, dan satelit meteorologi ke luar
angkasa.
Tahun 2010 banyak sistem komputer dunia termasuk Pemerintah AS
menjadi target penyusup untuk mencuri file penting negara, melihat hal
tersebut, Pemerintah Cina khawatir dengan berkembangnya cyberwarfare
sehingga Cina mengembangkan kemampuan cyberwarfare yang dapat
membantu operasi militer.
Cyberwarfare dikembangkan untuk membantu operasi militer di tiga
bidang yaitu pertama memungkinkan pengumpulan data melalui
exfiltration, kemudian cyberwarfare dapat digunakan untuk membatasi
atau memperlambat kinerja “penyusup” ketika mereka ingin masuk
jaringan rahasia negara serta dapat berfungsi sebagai kekuatan tambahan
ketika serangan kinetik terjadi saat terjadi konflik.
74
BAB IV
ANALISA KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN PASUKAN MILITER
AMERIKA SERIKAT DARI OKINAWA (2006-2014)
A. Faktor Pemicu Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari
Okinawa tahun 2006
Perang Dunia II berakhir tahun 1945, ketika Jepang mengakui kekalahan
tanpa syarat kepada sekutu. Setelah kekalahan Jepang tersebut, kemudian AS dan
Jepang menata kembali hubungan yang sempat memburuk ketika Perang Dunia II
berlangsung dimana kedua negara saling membom wilayah satu sama lain hingga
menewaskan ribuan warga sipil. Penataan hubungan kembali kedua negara
dibuktikan dengan AS dan Jepang menjadi patner aliansi militer yang diawali dari
San Francisco Peace Treaty (SFPT) tahun 1951 dan berlanjut kepada perjanjian
Treaty of Mutual Cooperation and Security tahun 1960.
Berdasarkan perjanjian aliansi tersebut, AS berhak menempatkan pasukan
militer dan mendirikan pangkalan militernya untuk menjaga kedaulatan Jepang
dan kestabilan kawasan. Sehingga AS secara legal dapat menempatkan pasukan
militernya di Jepang, di mana AS menempatkan sekitar 52.000 personil dengan
pembagian penempatan personil yaitu 26.000 personil di daratan Jepang dan
25.000 personil lainnya ditempatkan di Prefektur Okinawa (Muto 2004).
Jika melihat penempatan pasukan tersebut maka dapat terlihat bahwa porsi
personil paling banyak ditempatkan di Prefektur Okinawa. Jika dibandingkan
dengan wilayah lainnya, Okinawa memang tidak diuntungkan karena banyak
pasukan militer dan pangkalan militer AS didirikan disana sehingga, hal ini
menimbulkan konflik berkepanjangan antara warga lokal Okinawa dengan
75
pemerintah AS. Keberadaan pangkalan dan pasukan militer AS di Okinawa dinilai
mengganggu aktivitas warga lokal karena banyak terjadi kasus kriminal yang
dilakukan oleh para personil militer AS. Selain kasus kriminal, pangkalan militer
AS di Okinawa juga menyebabkan beberapa kerugian yang dialami oleh warga
Okinawa terutama di sektor lingkungan yaitu polusi udara, air, suara, pencemaran
tanah oleh zat beracun, dan kecelakaan pesawat.
Sebenarnya, sejak dulu AS dan Jepang telah berusaha untuk mengatasi
masalah ini, hal ini terbukti AS dan Jepang membentuk sebuah badan khusus
pada tahun 1995 yang dinamakan Special Action Committee on Okinawa (SACO).
Tugas SACO adalah untuk mengkonsolidasikan, mengurangi masalah fasilitas
pangkalan di sekitar Okinawa, dan menyesuaikan prosedur operasiaonal pasukan
militer AS, serta menjaga komitmen dan konsistensi perjanjian Treaty of Mutual
Cooperation and Security (Ministry of Foreign Affairs of Japan 1996).
Tujuan dari dibentuknya SACO adalah untuk mengurangi penderitaan
yang dialami oleh warga Okinawa akibat aktivitas fasilitas pangkalan militer AS
(Nihon 2008). Namun, upaya AS melalui pembentukan SACO masih belum
berhasil meredam kemarahan warga Okinawa, hal ini terlihat dari reaksi warga
Okinawa yang masih terus menuntut pemerintah Jepang menutup pangkalan AS
dari wilayah mereka.
Melihat upaya SACO masih belum dapat membuahkan hasil yang
signifikan untuk meredam penolakan warga Okinawa terhadap fasilitas pangkalan
militer AS, maka Pemerintah Jepang berusaha memenuhi tuntutan rakyat dengan
membawa isu pemindahan pangkalan militer AS di forum bilateral AS-Jepang
76
seperti “Japan-US Security Consultative Committee (SCC) atau disebut juga
dengan the 2+2 talks.
Forum bilateral SCC berjalan baik ketika membahas isu aliansi keamanan
kedua negara dan pembahasan peran kedua negara di kawasan, namun ketika SCC
membahas perihal pemindahan pangkalan militer AS di Okinawa, AS melihat
bahwa pembahasan untuk memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa
ketempat lain di luar Okinawa tidak mungkin terjadi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor salah satunya yaitu komitmen AS untuk menjaga stabilitas
regional Asia, seperti tertera dalam perjanjian aliansi militer AS-Jepang tahun
1960 yang menyatakan bahwa AS akan menjadi pelindung Jepang dan menjaga
stabilitas Timur Jauh.
AS mengatakan bahwa Okinawa merupakan wilayah yang strategis untuk
melindungi Jepang dan bagi pergerakan militer AS di kawasan, itulah mengapa
Okinawa disebut sebagai “Kunci Utama Jalur Pasifik” (Fukumura 2007) dan jika
pangkalan militer AS dipindahkan ke luar Okinawa, AS tidak bisa melindungi
Jepang dari ancaman eksternal. Hal ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa AS dan Jepang telah menandatangani perjanjian Treaty of Mutual
Cooperation and Security, maka secara legal kedua negara menyatakan
menyetujui adanya aliansi militer satu sama lain sebagai bentuk pakta pertahanan.
Menurut Alex Mintz pakta pertahanan adalah sebuah komitmen dari
masing-masing negara yang menyatakan diri akan membantu setiap negara
anggota lain ketika mereka diserang oleh lawan (DeRouen 2010:126). Melihat hal
tersebut, jika Jepang diserang oleh musuh maka AS harus siap membantu Jepang
untuk melindungi teritori Jepang.
77
Selain itu karena Jepang terikat perjanjian yang menyatakan Jepang tidak
boleh memiliki militer skala besar maka untuk melindungi Jepang dari ancaman
eksternal, Jepang akan bergantung kepada kehadiran militer AS di wilayahnya.
Kebutuhan Jepang terhadap kehadiran pangkalan militer AS juga
disampaikan oleh mantan Perdana Menteri Naoto Kan yang menyatakan:
“Including the Marines in Okinawa, all U.S. troops stationed in Japan play a major role
in contributi ng to our nation’s safety and the region’s stability” (Klingner 2011:5).
(Termasuk pasukan marinir di Okinawa, semua pasukan militer AS yang ditempatkan di
seluruh Jepang memainkan peranan penting untuk keamanan negara kita dan stabilitas
regional) (Terjemahan Penulis)
Meskipun AS dan Jepang sama-sama saling membutuhkan dalam hal
militer, namun AS juga tidak bisa berdiam diri melihat Jepang mendapat tekanan
domestik, selain itu AS menganggap Jepang adalah patner aliansi terpenting di
kawasan Asia Pasifik, tidak hanya segi militer tetapi juga ekonomi. AS tidak ingin
tekanan domestik Jepang mempengaruhi kebijakan Jepang terhadap kerjasama
militer dan ekonomi dengan AS sehingga, sebagai jawaban pengganti atas
tuntutan Jepang, AS lebih memilih untuk memindahkan pasukan militernya
sebanyak 9.000 personil daripada memindahkan pangkalan militernya ke luar
Okinawa yang tertuang dalam Realigment AS-Jepang tahun 2006.
Keputusan AS mendistribusikan pasukan militernya sebanyak 9000
personil mendapatkan respon positif dari Jepang, selain itu keuntungan AS
dengan mengeluarkan keputusan ini adalah pembahasan pemindahan fasilitas
pangkalan militer AS ke luar Okinawa dapat sementara aman. Alasan lain AS
tidak ingin memindahkan pangkalan militernya ke luar Okinawa karena pangkalan
militer AS terutama Marine Corps Air Station memungkinkan pelaksanaan
operasi tempur full-spectrum dimana The Third Marine Expeditionary Force (III
78
MEF) ketika beroperasi bersifat fleksibel, terukur, mandiri, dan dapat menyebar
secara cepat ke wilayah sekitar Okinawa dalam waktu singkat. Hal ini juga
disampaikan oleh Duta Besar AS untuk Jepang, John Roos bahwa tentara marinir
AS mampu:
“Rapidly move our ground combat and support units on Okinawa across the island chain
that links Northeast and Southeast Asia to wherever they would be required. For heavier
and longer-range operations, the Marines would be supported by our naval fleet in
Sasebo, just a few days sailing time away, which could project both Marine ground and
air power anywhere in the region” (Klingner 2011:8).
(Tentara AS mampu bergerak dengan cepat dari seluruh penjuru Okinawa yang
menghubungkan Asia Timur dan Asia Tenggara ke wilayah yang membutuhkan bantuan
AS. Untuk operasi yang lebih besar, marinir dari Okinawa akan dibantu oleh angkatan
laut yang berada di Sasebo, sehingga tentara marinir hanya membutuhkan waktu berlayar
beberapa hari, dan mereka akan mampu melindungi kawasan baik darat, dan udara)
(Terjemahan Penulis)
Hal serupa juga disampikan oleh mantan komandan U.S. Marine Forces
Pacific, Letnan Jendral Keith Stalder yang menyatakan:
“When the 31st MEU [Marine Expeditionary Unit] is aboard ship in Okinawa, there is a
100 percent chance they are about a day’s transit time to either a U.S. defense treaty ally,
a threat to regional stability, or a perennial disaster relief location” (Klingner 2011:8).
(Ketika Marine Expeditionary Unit (MEU) ke-31 beroperasi maka mereka memiliki
100% peluang bergerak ke seluruh wilayah sekutu AS dengan hanya membutuhkan waktu
transit satu hari untuk menjaga wilayah regional dan memberikan bantuan kemanusian)
(Terjemahan Penulis)
Melihat keuntungan ini, maka AS tidak ingin jika fasilitas pangkalan
militer AS baik udara, darat, laut harus dipindahkan ke luar wilayah Okinawa
karena AS menginginkan kepentingannya tetap terjaga di kawasan khususnya di
Asia Pasifik. Selain sebagai upaya dalam membantu pemerintah Jepang dalam
meredam tekanan domestik, sebenarnya AS bersedia memindahkan pasukan
militernya dari Okinawa ke Guam adalah sebagai strategi AS untuk menghadapi
ancaman eksternal yaitu Cina, Korea Utara maupun ancaman eksternal lainnya
seperti sengketa antar negara. Namun, sebelum AS harus menjaga teritori Jepang
79
dari ancaman eksternal seperti Cina, AS terlebih dahulu telah memiliki strategi
agar Jepang tidak terlalu bergantung kepada AS yaitu AS mendukung Jepang
untuk menginterpretasi ulang Pasal 9 Konstitusi Jepang tahun 1947 dimana di
dalam pasal 9 tersebut disebutkan bahwa Jepang dilarang menggunakan kekerasan
bahkan perang ketika menghadapi permasalahan internasional. Selain itu kekuatan
militer Jepang tidak boleh dipakai ke luar negeri kecuali diminta oleh PBB dan
AS sebagai pasukan pendukung, sehingga dengan Jepang menghapuskan Pasal 9,
maka Jepang dapat menggunakan militernya ketika terjadi sengketa internasional.
Pada tanggal 1 Juli 2014, reinterpretasi Pasal 9 Konstitusi Jepang
kemudian berhasil dilakukan dan PM Shinzo Abe menyatakan bahwa Jepang
memiliki hak untuk Collective Self Defense (CSD) sebagai langkah Jepang untuk
melindungi teritori Jepang dari ancaman eksternal (ABC News 2014). CSD
merupakan hak sebuah negara untuk melakukan serangan kepada negara lain jika
negara tersebut telah diserang terlebih dahulu oleh lawan, dan jika sebuah negara
diserang oleh lawan maka negara lain boleh (tetapi tidak wajib) membantu negara
tersebut melawan aggressor sebagai bentuk self-defense (Sakoda 2013).
Meskipun secara keseluruhan Jepang masih belum dapat dikatakan
negara”normal” yaitu memiliki kekuatan militer nasional skala besar, namun
perubahan kebijakan Jepang dengan adanya Collective Self Defense ini membuat
AS merasa cukup lega, hal ini disebabkan jika Cina melakukan ancaman yang
serius, Jepang mampu menghadapi Cina dengan melakukan tindakan tegas,
meskipun AS tetap akan membantu Jepang menghadapi Cina. Selain itu
keuntungan lain adalah jika AS merasa terancam oleh Cina atau Korea Utara,
Jepang dapat mengirimkan militernya untuk menyerang Cina dan Korea Utara
80
karena status militer Jepang bukan lagi sebagai pasukan perdamaian tetapi sebagai
pasukan pendukung militer AS untuk melawan musuh sesuai dengan makna
aliansi pakta pertahanan AS-Jepang.
Setelah melihat faktor pertama pemicu AS memindahkan pasukan
militernya dari Okinawa adalah alasan aliansi Jepang, maka faktor pemicu lainnya
adalah kondisi regional Kawasan Asia Pasifik itu sendiri di mana dalam kawasan
Asia Pasifik terdapat ancaman Cina, dan konflik maritim, dan isu Semanjung
Korea.
Dalam studi hubungan internasional beberapa scholar meyakini bahwa
negara adalah aktor utama dalam sistem internasional dan kepentingan nasional
merupakan prioritas utama sehingga power akan sangat mempengaruhi cara suatu
negara dalam memperoleh kepentingan nasionalnya (Deutsch 1988:21).
Power dalam sistem internasional selalu bersifat relatif dan selalu berubah
sehingga suatu negara akan sangat berhati-hati dalam menggunakan power yang
mereka miliki ketika berhubungan dengan negara lain. Power selalu dikaitkan
dengan kemampuan militer suatu negara sehingga semakin besar power suatu
negara akan semakin besar pula kekuatan militernya. Fungsi militer saat ini tidak
sama dengan fungsi militer ketika terjadi Perang Dunia I, II dan Perang Dingin
yaitu terfokus pada pertahanan kedaulatan negara atau memperluas wilayah
kekuasaan saja, tetapi fungsi militer saat ini bertambah menjadi mempertahankan
kekuasaan dan pengamanan aset negara terutama aset ekonomi (Deutsch
1988:31).
81
Di dalam hubungan internasional, sistem internasional selalu dapat
berubah, perubahan ini dapat memunculkan masalah yang menjadi kekhawatiran
setiap negara sehingga untuk mengantisipasi ancaman di masa depan, suatu
negara akan meningkatkan kekuatan militernya tidak terkecuali dengan Cina.
Peningkatan kekuatan militer Cina membuat negara-negara lain resah seperti
Korea Selatan, Jepang, Filipina, dan AS, hal ini disebabkan tidak ada yang
mengetahui seberapa besar kekuatan militer yang dimiliki oleh Cina bahkan Cina
sendiri pun tidak tahu seberapa besar kekuatan militernya karena hingga saat ini
Cina terus berkembang dimana setiap tahun budget militernya terus bertambah
sekitar 10% per tahun.
Kekuatan Cina hanya dapat diprediksi dari data yang bersumber dari
laporan pemerintah, buku tahunan, white papers atau laporan resmi lainnya, hal
ini disebabkan karena informasi mengenai kebijakan militer Cina secara
keseluruhan tidak dapat diakses bahkan cenderung tertutup (Anthony H.
Cordesman 2006:2). Keadaan seperti ini membuat AS tidak bisa memprediksi
seberapa jauh Cina akan terus memperkuat militernya, belum lagi keterlibatan
Cina selama dekade terakhir sangat besar di kawasan Asia Pasifik seperti yang
disampaikan oleh Robert D Kaplan dalam artikel tulisannya berjudul How We
Would Fight China tahun 2005 menyatakan bahwa:
“Today the Chinese are investing in both diesel-powered and nuclear-powered
submarines—a clear signal that they intend not only to protect their coastal shelves but
also to expand their sphere of influence far out into the Pacific and beyond” (The
Atlantic News 2005).
(Saat ini Cina sedang mengembangkan kapal selam betenaga diesel dan nuklir-hal ini
jelas menunjukkan niat Cina untuk melindungi wilayah pesisir pantainya dan juga Cina
ingin memperluas pengaruhnya ke wilayah Pasifik dan sekitarnya) (Terjemahan Penulis)
82
Kekhawatiran AS yang lain atas kekuatan militer Cina adalah
pengembangan balistik misil contohnya berjenis Intercontinental Ballistic Missile
(ICBM) diantaranya yaitu Dong Feng 31A (DF-31A/CSS-10) dan Dong Feng 5A
(DF-5A/CSS-4) yang memiliki jarak tembak lebih dari 13.000 km dan 12.000 km
(Keck 2014). Jika melihat dari estimasi jarak tembak misil tersebut maka
tembakan CSS-10 dapat mencapai Laut Pasifik Utara, dan Samudera Atlantik
bahkan jarak tembak misil jenis CSS mampu mencapai seluruh daratan AS.
Pengembangan militer Cina tidak hanya pada balistik misil saja namun juga
mencangkup alutsista militer lainnya seperti yang dikatakan oleh mantan Menteri
Pertahanan AS, Donald Rumsfeld yaitu:
“China appears to be expanding its missile forces, allowing them to reach targets in
many areas of the world, not just the Pacific region, while also expanding its missile
capabilities within this region. China also is improving its ability to project power, and
developing advanced systems of military technology" (Gates 2005).
(Cina terlihat sedang mengembangkan rudal yang memungkinkan mereka dapat
menjangkau seluruh dunia, tidak hanya Kawasan Pasifik. Cina juga meningkatkan
kekuatan dan mengembangkan sistem yang canggih untuk teknologi militernya.)
(Terjemahan Penulis)
Meskipun Cina mengatakan bahwa pengembangan alutsista militernya
untuk perdamaian namun tidak ada yang dapat menjamin bahwa Cina tidak akan
mengganggu kepentingan AS di masa mendatang. Melihat ketidakpastian ini
mengarahkan AS untuk berhati-hati dalam berhubungan dengan Cina karena jika
ancaman kekuatan Cina ditanggapi secara reaktif, maka Cina juga akan
menanggapi secara reaktif ancaman AS. Sehingga situasi ini akan mengakibatkan
ketidakstabilan di kawasan Asia dan Pasifik yang justru akan lebih merugikan AS
di masa mendatang.
Berdasarkan pemaparan diatas, perhitungan strategi AS dalam menghadapi
raising power Cina adalah dengan hedging dimana hedging menggunakan dua
83
bentuk strategi secara bersamaan yaitu balancing dan engagement. Penggunaan
hedging oleh AS dalam menghadapi Cina juga disampaikan oleh seorang peneliti
dari Pasific Forum Centre for Strategic and International Studies (CSIS) sekaligus
seorang Doktor dari London School of Economics (LSE), John Hemmings yaitu:
“A country hedges with another country at the behavior and/or at the policy level.
Behavior is always there, but sometimes a state will hedge without having a deliberate
strategy. It's defense department might have one China policy (balancing), while its
treasury department would have another (engagement). Some might argue this is what's
happening in the US because there are not many policy documentation about hedging
itself” (Wawancara melalui surel, 24 September 2014)
(Sebuah negara melakukan hedge pada level kebijakan untuk berhubungan dengan negara
lain. Perilaku hedge pasti dilakukan bahkan terkadang hedge dilakukan tanpa negara
tersebut menyatakan strateginya. Untuk menghadapi Cina, kementerian pertahanan akan
melakukan balancing, sedangkan kementerian keuangan akan melakukan engagement.
Beberapa pendapat mungkin mengatakan hedging memang dilakukan oleh AS dalam
menghadapi Cina, karena tidak ada dokumentasi kebijakan khusus yang menyatakan
mengenai hedging itu sendiri) (Terjemahan Penulis)
Dari penjelasan John Hemmings di atas dapat dilihat bahwa perilaku
hedging tidak akan dinyatakan secara resmi oleh sebuah negara karena hedging
lebih bersifat taktik yang dapat mempengaruhi kebijakan bukan sebuah bentuk
kebijakan terbuka.
Pada dasarnya menurut Kenneth Waltz, balancing berarti upaya sebuah
negara untuk mengimbangi negara lain yang dianggap potensial sebagai ancaman
dan balancing memiliki dua bentuk internal dan eksternal. Balancing internal
berarti suatu negara akan meningkatkan kekuatan militernya dan mengurangi
kesenjangan militer dengan negara yang dianggap sebagai ancaman. Sedangkan
balancing eksternal suatu negara akan membangun atau memperkuat aliansi
militer dengan negara patner untuk meminimalkan kekuatan lawan.
Kedua bentuk balancing ini telah dilakukan oleh AS untuk menghadapi
Raising Power Cina hal ini dapat dilihat dari perilaku AS yang menarik pasukan
militernya dari Okinawa ke beberapa wilayah di Kawasan Asia Pasifik seperti
84
Guam, Hawai, dan Darwin sesuai dengan perjanjian Realignment AS-Jepang pada
tahun 2006. Selain menarik pasukan militernya sekitar 9000 personil dengan
pembagian 5.000 personil ke Guam, 2.000 personil ke Hawai, dan 2.500 personil
ke Darwin, AS juga membangun kerjasama di bidang militer dengan beberapa
negara patner non-aliansi AS di Kawasan Asia Pasifik diantaranya adalah
Indonesia, India, Malaysia, Vietnam, dan Brunei.
Penarikan pasukan militer AS dari Okinawa dan menempatkannya di
Guam, Hawai dan Darwin adalah salah satu bagian strategi hedging AS terhadap
Cina dari sisi balancing yang disebut dengan strategi “lily pads”. Diartikan dari
namanya lily pads merupakan bunga teratai dan berdaun bundar yang memiliki
kedekatan jarak antara satu daun dengan daun lain sehingga, memudahkan katak
melompat dari satu daun teratai ke daun lainnya. Analogi ini yang digunakan AS-
terutama pada masa pemerintahan George W Bush- untuk mendirikan
“pangkalan” militer sebagai cara mempertahankan hegemoninya di dunia.
Pangkalan militer yang didirikan AS melalui strategi “lily pads” ini,
ukurannya kecil dan fasilitasnya terbatas sehingga hanya dapat menampung
sedikit personil tentara, serta perlengkapan senjata juga yang tidak besar. Negara
yang memiliki akses pangkalan militer AS atau sebagai negara “host” disebut
dengan Cooperative Security Location (CSL) di mana CSL merupakan lokasi
yang digunakan untuk fasilitas militer tetapi bukan sebuah pangakalan yang besar.
Meskipun pangkalan ini kecil, tetapi AS mendirikan banyak “lily pads”
yang tersebar di dunia yaitu terbentang dari Djibouti, yang terletak di Timur Laut
Afrika sampai Honduras, Amerika Tengah, kemudian dari Mauritania, Afrika
Utara sampai Darwin, Australia. Melihat dari penyebaran fasilitas militer AS ini,
85
maka secara keseluruhan pangkalan militer AS tersebar di sekitar 150 negara
dengan estimasi jumlah pasukan militer sekitar 255.065 personil aktif yang
ditempatkan di seluruh dunia (Global Research 2007).
Setelah masa jabatan Presiden George W Bush selesai tahun 2009, strategi
“lily pads” kemudian dilanjutkan oleh Presiden Barack Obama melalui kebijakan
Asia Pivot yang ia keluarkan tahun 2011 dan memperkuat “lily pads” di
Kawaasan Asia Pasifik diantaranya adalah Thailand, Singapura, Filipina, Guam,
Pulau Tinian dan Darwin. Selain itu, AS juga melakukan kerjasama militer
misalnya berupa latihan bersama dengan beberapa negara non-aliansi seperti
Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Vietnam yang bertujuan untuk bersama-sama
menjaga stabilitas kawasan Asia Pasifik.
Dilihat dari penggunaan strategi “lily pads” ini, tujuan AS adalah
mempermudah pergerakan pasukan militer AS jika terjadi konflik atau bahkan
konfrontasi militer langsung antara AS dan “lawan” serta dengan adanya “lily
pads”, pergerakan Cina yang diprediksi mampu mengancam AS dapat ditekan.
Selain itu, Cina juga akan berpikir ulang jika akan menentang AS secara langsung
di beberapa isu kawasan seperti Laut Cina Selatan, dan Laut Cina Timur
mengingat lokasi “lily pads” di Kawasan Asia Pasifik sangat berdekatan antar satu
sama lain.
Strategi “lily pads” juga digunakan sebagai balancing internal AS adalah
dengan memperkuat kekuatan militernya karena memiliki pangkalan yang kecil,
AS lebih mudah mempertahankan kualitas personil militernya dibandingkan
dengan kuantitas, selain itu AS juga lebih mudah melakukan renovasi atau
perubahan fasilitas lainnya karena lokasi yang kecil dan tidak membutuhkan biaya
86
besar untuk meronovasi satu “lily pads”. Mantan Wakil Menteri Pertahanan
bidang kebijakan masa Presiden Geroge W Bush, Douglas Feith juga
mengatakan hal serupa yaitu:
"We are not focused on maintaining numbers of troops overseas, instead, we
are focused on increasing the capabilities of our forces and those of our
friend” (Feith 2004).
(Kami tidak berfokus mempertahankan jumlah pasukan militer di luar negeri,
tetapi kami memfokuskan untuk meningkatkan kemampuan militer kami dan
patner kami) (Terjemahan Penulis)
Meskipun strategi “lily pads” di Kawasan Asia Pasifik adalah sebagai
bentuk balancing untuk Cina, namun makna hedging tetap menggabungkan antara
balancing dan engagement. Sehingga cara lain AS dalam menghadapi raising
power Cina adalah dengan engagement salah satunya berupa kerjasama antar
kedua negara. Hal ini terbukti dari pernyataan mantan Menteri Pertahanan AS,
Robert Gates bahwa:
“US did not see China as a “strategic adversary” of the United States, but “a
partner in some respects” and a “competitor in other respects and importance of
engaging the PRC” (Kan 2014:3).
(AS tidak melihat Cina sebagai “musuh strategis”, tetapi AS melihat Cina sebagai
“mitra dalam beberapa hal” dan sebagai “pesaing dalam hal lainnya dan sangat
penting untuk melibatkan Cina”) (Terjemahan Penulis)
Jika dilihat dari pernyataan Gates diatas, AS melihat Cina memang sebagai
kompetitor, tetapi bukan berarti AS harus menghadapi Cina selayaknya musuh
melainkan, AS perlu untuk menjaga hubungan baik dengan Cina hal ini bertujuan
untuk tetap menjaga kepentingan AS tidak terganggu khususnya di Kawasan Asia
Pasifik.
Beberapa bentuk usaha engagement AS kepada Cina adalah pertama AS
berusaha mengajak Cina untuk bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP)
mengenai kesepakatan perdagangan bebas bersama 12 negara di Asia dan Pasifik
87
yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Mexico,
Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam. Kedua, AS juga membantu Cina
untuk dapat bergabung dengan WTO pada tahun 2001 yang membuat Cina dapat
bersaing di pasar dunia sehingga Cina dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonominya. Masuknya Cina dalam perdagangan dunia, membuat Cina menjadi
salah satu negara mitra ekonomi penting bagi AS, hal ini dilihat dari nilai
perdagangan bilateral AS–Cina pada tahun 2006 dimana AS mengimpor
kebutuhan dalam negeri dari Cina mencapai 287. 774-juta dolar dan di tahun 2013
mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu 440. 447-juta dolar AS (US Census
Bureau 2014) .
Ketiga, pada tahun 2012, Menteri Pertahanan AS, Panetta berkunjung
untuk mengundang PLA Cina untuk menghadiri olahraga multirateral militer atau
dikenal dengan Rim of the Pacific (RIMPAC) yang dipimpin AS dan
diselenggarakan di dekat Hawai tahun 2014. Selain itu, Angkatan Laut Cina juga
mau bekerjasama dengan Angkatan Laut AS untuk memerangi pembajakan di
Teluk Aden pada tahun 2008 dan AS juga berhasil mengajak PLA Cina untuk
terlibat dalam kerjasama militer dengan NATO (Kan 2014:4).
Pertemuan engagement lainnya adalah AS mengajak Cina untuk
membahas masalah keamanan di Kawasan Asia Pasifik seperti Laut Cina Selatan
dalam pertemuan tahunan ASEAN Regional Forum (ARF) bersama 10 negara
anggota ASEAN lainnya. Selain itu, AS, Cina dan 28 negara-negara di Asia
Pasifik juga terlibat dalam forum keamanan tahunan, dikenal dengan The Shangri-
La Dialogue (SLD) yang dihadiri oleh menteri pertahanan, kepala biro
kementerian pertahanan dan pemimpin militer di Hotel Shangri-La, Singapura.
88
Bentuk engagement berikutnya adalah keterlibatan AS dan Cina dalam Six Party
Talks untuk membahas poliferasi nuklir Korea Utara bersama empat negara
lainnya yaitu Korea Selatan, Jepang, Rusia, dan Korea Utara (Kan 2014:6).
Dengan pembentukan Six Party Talks tahun 2003, AS berhadap Cina lebih
aktif membujuk Korea Utara untuk menghentikan poliferasi nuklirnya, namun AS
percaya bahwa Korea Utara tidak akan mudah dibujuk bahkan oleh Cina dan
Rusia (Kan 2013:8). Sehingga isu Semanjung Korea juga merupakan salah satu
faktor AS memindahkan konsentrasinya ke Asia Pasifik karena AS perlu
menstabilkan keamanan di Semanajung Korea.
Dengan meanrik pasukan militernya dari Okinawa dan memindahkan ke
tiga tempat di Asia Pasifik, AS jauh lebih mudah mengontrol pergerakan Korea
Utara dan memastikan Korea Utara tidak bertindak gegabah di kawasan termasuk
pada Korea Selatan karena kekuatan militer AS dan negara aliansinya dapat
dengan mudah bergerak di Semanjung Korea untuk melawan Korea Utara.
Selain itu, tanpa bantuan dari Cina dan Rusia, Korea Utara akan kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan domestiknya karena Korea Utara telah mendapatkan
sanksi internasional berupa embargo ekonomi dan militer sehingga Korea Utara
membutuhkan bantuan dana dari Cina dan Rusia yang merupakan dua negara
aliansi terdekat Korea Utara untuk tetap memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Dengan kehadiran pasukan militer AS di Asia Pasifik maka Cina akan
berusaha untuk memfokuskan diri menyeimbangkan kekuatan dengan AS, karena
Cina juga khawatir kepentingannya di Asia Pasifik dapat terusik oleh AS. Saat ini
Cina masih terkesan tidak akan mengusik kepemimpinan AS di dunia selama AS
juga tidak mengusik ekonomi, politik-sosial, dan pembangunan milik Cina.
89
Melihat masih dominannya kekuatan AS di kawasan, akan membuat Cina berpikir
ulang untuk banyak membantu Korea Utara dalam pengembangan nuklir dan
balistik misil Korea Utara karena Cina tidak ingin AS ikut campur dalam masalah
domestik Cina dengan menggunakan alasan Cina terlalu banyak membantu Korea
Utara dibeberapa bidang.
Walaupun Cina seakan bersikap tidak mempermasalahkan kepemimpinan
AS di dunia, bukan berarti Cina akan diam bila AS bertindak terlalu jauh ke dalam
isu yang juga menjadi perhatian Cina salah satunya isu Laut Cina Selatan. Sikap
tegas Cina telah ditunjukkan dengan cara mendirikan pos-pos militer di sekitar
Laut Cina Selatan, belum lagi Cina juga telah mengeluarkan peta kepemilikan
Laut Cina Selatan sesuai dengan versi Pemerintah Cina yaitu nine dash line
(Benson 2012). Melihat Sikap Cina yang semakin tegas pada isu Laut Cina
Selatan, maka hal ini membuat AS khawatir terhadap kepentingannya di Laut
Cina Selatan dapat terusik oleh Cina sehingga AS perlu terlibat ke dalam isu
untuk mencari solusi yang menguntungkannya.
Kepentingan terbesar AS terhadap isu Laut Cina Selatan adalah mengenai
freedom of navigation, freedom of overflight dan perdagangan tanpa hambatan,
dengan ketiga indikator tersebut membuat kapal laut, pesawat militer ataupun
komersial dapat melewati wilayah tersebut tanpa harus meminta izin kepada suatu
negara tertentu karena wilayah tersebut adalah zona internasional (Jeffrey A.
Bader 2014:6).
Laut Cina Selatan dapat dikatakan seperti jantung ekonomi Asia yang
terbentang dari Samudera Pasifik Barat sampai India dan jalur perdagangan AS
hampir selalu melewati wilayah ini untuk berhubungan ekonomi dengan negara-
90
negara Asia Pasifik lainnya bahkan jumlah nilai perdagangan AS melalui jalur
Laut Cina Selatan mencapai 1, 2-trilyun dolar atau sekitar 14.386-trilyun rupiah
pertahunnya (Kaplan 2012:9).
Selain itu, Laut Cina Selatan juga memiliki potensi sumber daya alam
yang besar seperti kandungan minyak dan gas alam dengan potensi yang dimiliki
oleh Laut Cina Selatan tersebut, AS menghadapi dilema disatu sisi AS tidak bisa
berdiam diri melihat isu ini semakin memanas tetapi di sisi lain AS juga tidak mau
bersikap keras terhadap masalah ini terutama jika menentang Cina. Hal ini
disebabkan karena wilayah Laut Cina Selatan jauh dari jangkauan teritori AS dan
AS tidak ingin memihak salah satu negara yang menghadapi konflik teritori
karena hal tersebut bukan wewenangnya dan AS ingin tetap berada pada posisi
netral.
Sehingga agar tensi di kawasan ini tidak meningkat dan berubah menjadi
konflik bersenjata, AS berusaha untuk megajak semua negara yang terlibat konflik
untuk melakuan pembahasan dalam forum internasional seperti ARF, PBB,
kemudian merumuskan negosiasi kode etik yang akhirnya menghasilkan
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada tahun
2002 (Jeffrey A. Bader 2014). Meskipun DOC terbentuk, tetapi AS yakin bahwa
perjanjian DOC tidak akan bertahan lama untuk ditaati oleh negara-negara yang
berkonflik terlebih lagi bagi Cina. Cina tidak akan mengikuti aturan internasional
karena Cina tidak meratifikasi UNCLOS dan Cina tetap bersikeras bahwa Laut
Cina Selatan adalah miliknya sesuai dengan nine dash line yang dibuat Cina.
Melihat sikap Cina yang tidak menyetujui aturan internasional dan Cina
juga telah menempatkan pos-pos militer di sekitar Laut Cina Selatan seakan Cina
91
sudah siap menghadapi konflik bersenjata dengan Vietnam, Filipina, dan negara
lainnya, maka langkah AS adalah menambahkan lokasi “lily pads” untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yaitu konflik bersenjata antara Cina dengan
negara aliansi AS lainnya di sekitar Laut Cina Selatan.
Prediksi Pemerintah AS jika mereka memindahkan pasukan militer dari
Okinawa dan menambahkannya di Kawasan Asia Pasifik ke Guam, hal tersebut
dapat mencegah Cina berbuat nekat dengan memulai konflik bersenjata di Laut
Cina Selatan karena pasukan militer AS akan lebih mudah bergerak menuju Laut
Cina Selatan melalui akses Darwin, Filipina, Singapura, dan Thailand. Hal ini
seperti yang dikatakan oleh Obama ketika berkunjung ke Australia pada tahun
2011 yaitu:
“we will send a clear message to them that we think that they need to be on track
in terms of accepting the rules and responsibilities that come with being a world
power” (washingtonpost 2011).
(Kami akan mengirim pesan yang jelas kepada mereka (Cina) karena kami pikir
mereka harus tetap pada jalur yang benar yaitu mengikuti aturan dan tanggung
jawab sebagai kekuatan dunia) (Terjemahan Penulis)
Sikap AS ini juga ditunjukkan pada isu Laut Cina Timur, karena AS tidak
ingin terlibat langsung dalam urusan sengketa teritori antara Jepang dan Cina
terkait isu Laut Cina Timur maka AS lebih memilih memperkuat aliansi
militernya dengan Jepang dan beberapa negara Asia Pasifik lainnya agar dapat
mencegah Cina melakukan tindakan assertive pada kedua wilayah tersebut.
B. Relokasi Pasukan Militer AS dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan
Darwin
Ketika Perang Dingin berakhir ditandai dengan jatuhnya Uni Soviet tahun
1991, posisi AS menjadi seperti “polisi dunia” di mana julukan ini membuat AS
harus tetap menjaga kestabilan dunia tidak terkecuali kawasan Asia dan Pasifik.
92
Saat ini Kawasan Asia Pasifik memiliki enam dari sepuluh negara dengan
pertumbuhan cepat dunia seperti India, Cina, Jepang, Korea Selatan, Indonesia,
dan Malaysia. Selain itu, 60% barang produksi AS di ekspor ke kawasan ini,
kemudian ada lima dari sepuluh negara memiliki budget militer terbesar yaitu
Cina, Vietnam, Korea Utara, Korea Selatan, dan India, serta yang terpenting
adalah lima dari delapan negara dengan kepemilikan nuklir berada di Asia Pasifik
seperti Cina, India, Korea Utara, dan, Pakistan (Green 2012:13).
Melihat potensi yang dimiliki oleh kawasan tersebut, kawasan Asia Pasifik
menjadi rentan terhadap konflik sehingga meskipun setelah Perang Dingin
berakhir, AS tetap mempertahankan keberadaan militernya di kawasan ini
meskipun jumlahnya dikurangi ketika masa Presiden Richard Nixon. Salah satu
pangkalan militer terpenting AS di Asia Timur adalah di Jepang dengan total
pasukan militer sekitar 40.000 personil dan AS telah mendirikan pangkalan
militer di Jepang sejak 1945.
Namun pangkalan militer AS di Jepang, khususnya yang berada di
Okinawa mendapatkan penolakan dari warga pribumi sehingga baru tahun 2006
berdasarkan hasil Realignment AS-Jepang, AS mengeluarkan kebijakan untuk
memindahkan pasukan militernya dari Okinawa sebanyak sekitar 9.000, dan
merelokasinya ke Guam, Hawai,serta Darwin. Jumlah pasukan AS yang di
relokasi dari Okinawa adalah sebanyak 5.000 personil ke Guam, 2.000 personil ke
Hawai, dan 2.500 personil ke Darwin (The Wall Street Journal 2013).
Suatu negara dalam merumuskan sebuah kebijakan luar negeri harus
memiliki gambaran terhadap isu yang menjadi perhatian negara tersebut, sehingga
negara tersebut dapat memperhitungkan baik buruknya kebijakan yang akan
93
dikeluarkan. Menurut Rosenau terdapat tiga konsep dalam merumuskan kebijakan
luar negeri yaitu a cluster of orientations, a set of commitments to and plans for
action, dan a form of behaviour dan bentuk ketiga dari konsep ini dapat dilihat
dari perilaku AS dalam menghadapi situasi internasional saat ini. Kebijakan luar
negeri sebagai bentuk perilaku atau tindakan dilihat pada tingkatan yang lebih
empiris yaitu berupa langkah-langkah nyata yang diambil oleh para pembuat
keputusan ketika negara berhubungan dengan aktor internasional lainnya dan
menimbulkan pola interaksi dalam sistem internasional. Sehingga negara harus
melakukan tindakan nyata seperti mengeluarkan kuputusan atau kebijakan untuk
menghadapi perubahan lingkungan eksternal (Rosenau 1972:17)
Melihat pernyataan Rosenau diatas, keputusan AS untuk menarik pasukan
militernya dari Okinawa sebanyak 9000 personil adalah sebuah tindakan nyata
yang diambil AS ketika menghadapi situasi internasional yang tidak “pasti” ini,
sehingga dengan keputusan penarikan tersebut, AS dapat lebih siap menghadapi
perubahan internasional serta ancaman yang mungkin dapat muncul di Kawasan
Asia Pasifik.
Selain itu, pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa ke tiga lokasi di
atas didasari oleh beberapa perhitungan yaitu kepentingan nasional, geostrategic,
dan kepabilitas militer AS sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan
sebelumnya bahwa kepentingan AS di Kawasan Asia Pasifik cukup besar
terutama ketika menyangkut isu Laut Cina Selatan dimana AS memiliki
kepentingan pelayaran internasional sehingga jika wilayah ini sampai pada konflik
yang lebih besar maka kepentingan AS akan terganggu belum lagi ancaman yang
harus dihadapi AS adalah Cina di kawasan ini.
94
Untuk menghadapi ancaman tersebut, AS yang sebelumnya telah memiliki
pangkalan militer di Guam dan Hawai akan menjadikan kedua lokasi ini sebagai
langkah awal untuk mengeksekusi strategi AS yaitu pemindahan pasukan militer
AS dari Okinawa. Dari hasil perundingan Realignment tahun 2006, dikatakan
bahwa pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa akan selesai sampai tahun
2014, jika di lihat dari rentang waktu tersebut maka pemindahan pasukan militer
AS memakan waktu 9 tahun. Melihat rentang waktu selama 9 tahun akan sulit
bagi AS jika memindahkan pasukan sebanyak 7.000 personil ke lokasi baru
misalnya Singapura atau Filipina, sehingga AS memilih Guam dan Hawai sebagai
lokasi pertama pemindahan pasukan tersebut.
Meskipun Singapura dan Filipina merupakan Cooperative Security
Location (CSL) AS, maka AS tidak bisa memindahkan pasukan militernya dari
Okinawa ke dua lokasi ini, hal ini disebabkan luas geografi kedua negara tidak
besar dan fasilitas militer mereka tidak mampu menampung jumlah 9.000 pasukan
miiter AS. Hal serupa juga disampaikan oleh peneliti dari CSIS Indonesia, Iis
Gindarsah yang mengatakan:
“Menurut saya redistribusi ini juga mesti dipertimbangkan dari sisi geografi negara
tersebut, memang AS punya akses ke Singapur dan Filipina, tapi kita lihat pemindahan
pasukan AS kan 9000 dari Okinawa dan 2500 nya dipindahkan ke Darwin, coba lihat
singapur, apakah 2500 personil ini mau ditampung oleh pemerintah Singapura? belum
tentu, bagi saya Singapura akan keberatan karena jumlah 2500 orang itu akan sangat
berdampak signifikan bagi Singapura belum lagi kita ihat dari jumlah penduduk
Singapura sendiri yang sudah padat dengan luas negara yang sempit, saya kira
Singapura tidak cocok untuk penempatan pasukan militer AS yang baru”(Wawancara 23
September 2014)
Selain itu, pemindahan pasukan militer AS ke Guam dan Hawai
disebabkan oleh kondisi domestik AS itu sendiri yaitu ketika kebijakan
pemindahan pasukan dikeluarkan tahun 2006, AS sedang dalam krisis finansial di
mana budget militer AS melambung tinggi akibat pendanaan militer AS pada
95
Perang Iraq dan Afganistan. Total pendanaan perang di Iraq dan Afganistan dari
tahun 2001-2006 adalah sekitar 438, 1 milyar dolar AS. Melihat total anggaran
perang yang sangat besar, maka pemerintah AS “menghemat” anggaran dari 427
milyar dolar AS tahun 2005 menjadi 207 miliyar dolar AS tahun 2010 (Belasco
2011:2).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka pendanaan distribusi pasukan militer
AS dari Okinawa lebih dibebankan kepada Jepang yaitu 6, 09 milyar dolar dari
10, 27 milyar dolar AS, sehingga anggaran dana militer AS dapat dialokasikan
untuk program militer lainnya seperti pembelian alutsista atau pengembangan
program nuklir daripada AS harus membangun pangkalan militer baru seperti di
Singapura atau Filipina.
Penempatan sekitar 2.000 personil pasukan militer AS dari Okinawa ke
Hawai akan lebih mudah karena Hawai adalah markas besar militer AS di Asia
Pasifik (USPACOM) sehingga AS tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk
tambahan infrastruktur militer baru. Sedangkan untuk Guam, sejak tahun 2000 AS
telah membangun forward deployed forces di Guam sebagai bentuk peningkatkan
operasional militer AS, lokasi deterrence dan power projection untuk menanggapi
potensi krisis, bencana, perlawanan teroris, dan ancaman lainnya, serta sebagai
wilayah pendukung untuk Korea Selatan, Jepang, Filipina, Taiwan, atau wilayah
Asia lainnya (Kan 2013:8).
Pertimbangan lain AS memilih Guam sebagai lokasi pemindahan pasukan
militer AS dari Okinawa adalah karena Guam sebagai “rumah” bagi angkatan
laut, dan angkatan udara militer AS, di samping itu AS juga tidak perlu khawatir
mengenai protes atau penolakan dari penduduk pribumi, hal ini disebabkan Guam
96
merupakan wilayah unincorporated AS sehingga AS dapat dengan leluasa
membangun fasilitasi militer di Guam.
Selain itu yang terpenting adalah wilayah Guam cukup dekat dengan
markas besar militer AS di Honolulu, dan Guam merupakan basis militer AS
terdekat dengan negara-negara aliansi AS di sekitar Asia Timur seperti Jepang,
Korea Selatan, Thailand, Filipina, Singapura, dan Australia sehingga Guam dapat
dikatakan sebagai ujung tombak pangkalan militer AS di Asia Pasifik.
Kedekatan jarak yang dimiliki Guam dengan beberapa negara aliansi AS
tersebut dapat dilihat dari waktu tempuh penerbangan pesawat AS seperti tiga jam
ke Tokyo, Manila, empat jam ke Seoul, Hongkong, Taiwan, lima jam ke Saigon,
Singapura, dan Bali, kemudian enam jam ke Bangkok, Sydney, Auckland, serta
tujuh jam ke Fiji, Honolulu, Samoa, Tahiti (Global Security 2013).
Melihat dekatnya jarak tempuh pesawat AS dari Guam tersebut,
memudahkan militer AS untuk menghadapi ancaman kekuatan militer Cina,
poliferasi nuklir dan balitik misil Korea Utara serta menghadapi konflik Laut Cina
Selatan karena AS ingin memperkuat “hub and spoke” antar negara-negara
aliansinya. “Hub and Spoke” dapat di analogikan sebagai model roda kereta kuda
atau roda sepeda di mana di dalam roda tersebut ada titik-titik penyangga yang
tidak sejajar tapi berhubungan satu sama lain melalui satu titik poros di tengah
roda.
Model ini kemudian diaplikasikan AS dalam bidang militer ketika
berhubungan dengan negara-negara aliansi dan patnernya, hal ini dapat dilihat
bahwa “hub” AS di Asia Pasifik diantaranya adalah Hawai, Guam, dan Okinawa
di mana ketiga lokasi ini menjadi pusat-pusat pangkalan militer AS karena di
97
lokasi ini operasi militer di mulai dan kemudian akses operasi militer diteruskan
ke “spoke”. Negara yang menjadi “spoke” biasanya tidak memiliki pangkalan
militer AS yang besar atau negara ini disebut sebagai CSL karena hanya berfungsi
sebagai lokasi penyangga atau pendukung dari pusat-pusat pangkalan militer AS.
Beberapa CSL yang dijadikan sebagai “spoke” diantaranya seperti Singapura,
Thailand, Filipina, Pulau Tinian, Pulau Marshal, New Zealand, dan Australia.
Selain Guam dan Hawai, AS kemudian menambahkan Darwin sebagai
lokasi distribusi pasukan militer AS dari Okinawa, seperti yang telah dijelaskan
pada paragraf sebelumnya bahwa Australia merupakan lokasi yang tepat bagi
akses militer AS sebagai “spoke”. Selain itu, Australia juga merupakan negara
aliansi terpenting AS di Asia Pasifik bersama dengan Jepang, dan Korea Selatan,
meskipun AS tidak memiliki pangkalan militer yang besar di Australia seperti
pangkalan militernya di Jepang, dan Korea Selatan, namun Autralia memberikan
sinyal kepada AS bahwa mereka siap membantu AS dalam menghadapi ancaman
di kawasan.
Hal ini terbukti pada tahun 2011 Komandan USPACOM, Laksamana
Williard mengatakan bahwa Personil Angkatan Laut AS akan di rotasi ke wilayah
utara Australia atau wilayah Australia lainnya yang dekat dengan Asia Tenggara.
Selain itu, pada tahun 2011 melalui United States and Australia held Ministerial
Consultations (AUSMIN) kedua belah pihak sepakat untuk memperkuat
pertahanan yaitu dengan menyediakan fasilitas pangkalan, pelabuhan sebagai
tempat berlabuh kapal-kapal militer AS (Kan 2013:10).
Setelah pertemuan AUSMIN tahun 2011, Presiden Obama bersama PM
Julia Gilliard menyatakan AS akan merotasi 250 personil militer AS ke Darwin
98
pada tahun 2012, dan akan diteruskan sampai pasukan militer AS yang dirotasi
berjumlah 2.500 yang merupakan personil militer AS dari Okinawa (The
Guardian 2011).
Alasan pemilihan Darwin sebagai lokasi pemindahan pasukan militer AS
dari Okinawa adalah karena lokasi Darwin dekat dengan Asia Tenggara sehingga
jika AS ingin melakukan operasi militer ke kawasan tersebut, Darwin akan
menjadi alternatif tercepat, selain itu jika ditinjau dari sisi Australia, alasan
Australia mau menampung pasukan militer AS adalah karena kepentingan
Australia sendiri khususnya di Asia Tenggara. Bagi Australia ancaman bukan
hanya datang dari Cina melainkan datang dari Indonesia yang merupakan negara
besar di kawasan Asia Tenggara, dan Australia juga memiliki kepentingan
terhadap Indonesia yaitu wilayah timur Indonesia seperti Papua, yaitu adanya
Freeport. Letak Darwin dekat dengan wilayah Timur Indonesia, sehingga dengan
penempatan pasukan militer AS di Darwin, maka kepentingan Australia juga
dapat terpenuhi. Australia juga menyatakan akan membantu AS dalam
menghadapi ancaman di kawasan Asia Pasifik. Hal ini seperti yang disampaikan
oleh seorang Peniliti Forum CSIS, Jonathan Berkshire Miller yaitu:
“The decision to deploy troops to Darwin likely has a few drivers. One thing to keep in
mind is that this falls under the US rebalancing policy or "pivot". In light of this, the
location of Darwin - and its relative proximity to SE Asia - also serves as a reassurance
to US allies and partners in SE Asia that the US was committed to staying in the region as
a security player...” (Wawancara melalui surel, 18 September 2014).
(Keputusan untuk menempatkan pasukan militer di Darwin dipicu oleh beberapa hal, tapi
yang perlu diingat adalah bahwa ini bagian dari kebijakan Asia Pivot AS. Dalam hal ini,
Darwin- letaknya dekat dengan Asia Tenggara-dan berfungsi sebagai jaminan sekutu dan
mitra AS di kawasan Asia Tenggara, dan AS berkomitmen untuk berada di kawasan ini
sebagai penjaga keamanan…”) (Terjemahan Penulis)
99
Berdasarkan letak Darwin yang dekat dengan Asia Tenggara, maka akses
“lily pads” AS di Kawasan Asia Pasifik semakin mudah karena Singapura dan
Filipina juga telah menyetujui untuk memperkuat pertahanan kawasan bersama
AS. Hal ini dibuktikan pada tahun 2012, Filipina mengizinkan AS menggunakan
Teluk Subic dan Pangkalan Clark sebagai fasilitas pendukung marinir dan
angkatan udara AS.
Sebenarnya jika dibandingkan dengan Darwin, Teluk Subic di Filipina
lebih memiliki nilai strategis di mana wilayah ini berdekatan langsung dengan
Laut Cina Selatan dan wilayah Cina. Selain itu, Filipina merupakan negara aliansi
AS dan terlibat dalam isu sengketa Laut Cina Selatan, sehingga dengan
pemindahan 9.000 pasukan dari Okinawa, Filipina akan sangat diuntungkan
karena mendapatkan perlindungan dari AS dan AS juga mendapatkan akses lebih
mudah untuk menghadang Cina. Namun, sampai tahun 2014 pemindahan pasukan
militer AS dari Okinawa ke Filipina masih menjadi wacana besar, karena hingga
tahun 2014, AS belum mengirimkan atau memindahkan pasukan militernya
kesana.
Meskipun belum adanya pernyataan resmi dari pemerintah AS bahwa
mereka akan memindahkan pasukan militernya ke Filipina khususnya ke Teluk
Subic, tetapi seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Filipina menyetujui untuk
memperkuat aliansi militernya dengan AS. Hal ini dibuktikan dengan sikap
Filipina kembali membuka akses militer dan akan menempatkan kapal perang
serta pesawat jet tempur di Teluk Subic yang memiliki jarak 124 km dari
Scarborough Shoal di mana daerah ini merupakan daerah kontrol Cina di wilayah
Laut Cina Selatan (Reuters 2013).
100
Selain itu, tahun 2012 Presiden Beniqno Aquino bersama dengan Kongress
menyetujui modernisasi militer Filipina sebesar 1,8 milyar dolar AS dengan
alokasi pembelian kapal perang, pesawat tempur dan perlengkapan radar. Filipina
juga memberikan akses yang luas bagi angkatan laut AS untuk mengunjungi
Teluk Subic, dan tercatat hingga tahun 2013, kapal perang AS telah singgah ke
Teluk Subic sebanyak 72 kali, 88 kali di tahun 2012, 54 di tahun 2011, dan 51di
tahun 2010 (Reuters 2013).
Melihat setiap tahun terjadi peningkatan kunjungan kapal perang AS di
Teluk Subic menunjukkan sikap Filipina sangat positif terhadap kehadiran militer
AS di wilyahnya, bahkan ketua Subic Bay Metropolitan Authority (SBMA),
Roberto Garcia membenarkan rencana Filipina untuk membangun pangkalan baru
dan sejak tahun 2002 hubungan militer AS-Filipina mulai kembali terjalin kuat
(Reuters 2013).
Namun pertimbangan AS tidak langsung memindahkan pasukan
militernya dari Okinawa ke Teluk Subic adalah AS tidak ingin terlihat terlalu
agresif di kawasan Asia Pasifik terutama di wilayah Laut Cina Selatan, jika AS
menempatkan pasukan militernya di Teluk Subic maka AS seperti memberikan
pesan kepada Cina bahwa AS siap membantu Filipina untuk melawan Cina dalam
isu sengketa Laut Cina Selatan. Hal ini yang tidak diinginkan oleh AS, karena jika
pesan tersebut yang tertangkap oleh Cina maka Cina akan menganggap AS secara
terang-terangan akan melawannya dan Cina pasti akan melakukan tindakan
balasan. Sehingga jika hal ini terjadi kepentingan AS akan sangat terganggu
sehingga strategi AS adalah secara perlahan meningkatkan akses militer di Teluk
101
Subik, namun saat ini pilihan terbaik adalah menempatkan pasukan militernya di
Darwin.
Alasan lain Darwin menjadi lokasi pemindahan pasukan militer AS dari
Okinawa adalah Australia dirasa mampu menampung jumlah pasukan yang
banyak dan fasilitas militer Australia juga memadai, sehingga AS tidak perlu
banyak mengeluarkan tenaga dan biaya untuk distribusi pasukan ini, di sisi lain
Australia juga mendapatkan keuntungan dengan kehadiran militer AS di Darwin
salah satunya adalah jaminan keamanan di Oceania.
Secara keseluruhan, melihat perhatian AS di kawasan Asia Pasifik begitu
besar di bidang militer, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan Obama Asia Pivot
merupakan salah satunya cara AS untuk rebalance Cina bukan kehawatiran AS
terhadap Korea Utara atau bahkan sekedar membantu negara lain ketika mendapat
musibah bencana alam, tetapi lebih menjaga kepentingan nasional AS terutama di
Kawasan Asia Pasifik. Cina selalu dianggap sebagai ancaman terbesar AS di
Kawasan Asia Pasifik, hal ini sebabkan dalam setiap isu yang menjadi perhatian
AS, Cina selalu terlibat di dalam isu tersebut sehingga secara tersirat maupun
tersurat,AS selalu mengindikasikan bahwa Cina merupakan sebuah ancaman
bukan hanya untuk AS tapi semua negara di kawasan ini.
102
BAB V
KESIMPULAN
Setelah melihat dari keseluruhan penjelasan peneliti, maka kesimpulan yang
dapat ditarik dari penelitian berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer
Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014
adalah alasan AS mendistribusikan pasukannya dari Okinawa dan
memindahkannya ke Guam, Hawai, dan Darwin disebabkan oleh pertama,
hubungan aliansi AS dengan Jepang. Hal ini dapat dilihat bahwa dengan
memperhatikan aliansi dengan Jepang, AS berusaha menjawab tuntutan Jepang
untuk menarik pasukan militer AS dari Okinawa. Selain itu, untuk menghadapi
ancaman di kawasan Asia Pasifik, Presiden Obama melalui kebijakan Pivot to
Asia juga memperkuat hubungan aliansi AS dengan negara-negara aliansi serta
menjalin hubungan baik di bidang militer dengan negara mitra non-aliansi.
Disisi lain dengan konsep aliansi, AS membuka jalan bagi Jepang untuk
dapat menginterpretasi ulang kebijakan pasif Jepang dan menggantinya dengan
melakukan Collective Security Defense (CSD). Dengan adanya reinterpretasi
ulang oleh Jepang mengenai hak melakukan CSD, AS mendapatkan keuntungan
yaitu AS dapat memanfaatkan kekuatan militer Jepang serta alutsista buatan
Jepang untuk menghadapi Cina jika Cina melakukan tindakan nekat di kawasan
terkait isu sengketa maritim.
Kekhawatiran AS terhadap Cina di Kawasan Asia Pasifik disebabkan oleh
peningkatan yang dialami Cina baik peningkatan kekuatan ekonomi maupun
militer, sehingga dengan adanya peningkatan tersebut AS merasa Cina dapat
mengancam kepentingan AS di dunia.
103
Jika bersinggungan dengan isu ekonomi, dan militer negara yang paling
vokal menyuarakan stabilitas internasional adalah AS, hal ini disebabkan AS
merupakan negara super power dan hampir semua norma internasional diatur oleh
AS yang menganggap dirinya adalah “polisi dunia” sehingga jika ada suatu negara
yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan militernya, secara natural AS
akan merasa terancam.
Kekhawatiran AS terhadap suatu ancaman yang datang tidak bisa ditanggapi
dengan reaktif karena sistem internasional saat ini mengalami perubahan setiap
waktu dan di dalam perubahan tersebut akan muncul negara-negara yang memiliki
kekuatan besar sehingga AS harus memikirkan dampak di masa depan jika AS
bertindak reaktif. Sehingga konsep hedging sangat efektif untuk melihat perilaku
AS dalam menghadapi Cina khususnya di Kawasan Asia Pasifik dengan
menggunakan aksi balancing dan engagement, AS dapat memperlihatkan kepada
Cina bahwa AS masih memiliki pengaruh yang sangat besar di kawasan hal ini
dibuktikan dengan penggunaan strategi lily pads yang AS terapkan di Kawasan
Asia Pasifik. Selain itu AS juga memperlihatkan kepada Cina bahwa untuk
bersikap hati-hati terhadap AS terkait isu sengketa di kawasan ini, meskipun
secara tertulis AS tidak dapat terlibat langsung dalam konflik di Kawasan Asia
Pasifik, namun AS telah mendapatkan “restu” dari beberapa negara di Kawasan
Asia Pasifik untuk melindungi mereka dari ancaman Cina.
Namun di sisi lain, untuk tetap mempertahankan kepentingan ekonominya,
AS perlu menjalin hubungan baik dengan Cina terutama di bidang ekonomi,
sehingga dengan konsep hedging AS seakan “tersenyum di wajah tetapi
mengepalkan tangan di belakang”. Kedua, konsep pembuatan kebijakan luar
104
negeri juga menjawab perilaku AS dalam menarik pasukan militernya dari
Okinawa, Jepang, dimana dalam konsep kebijakan luar negeri terdapat empat
faktor pembuatan kebijakan luar negeri dan dua di antaranya sangat
mempengaruhi kebijakan AS yaitu keamanan nasional, geostrategic, dan
kepentingan ekonomi.
Faktor keamanan nasional dilihat dari kekhawatiran AS terhadap
pengembangan senjata militer Cina yang dapat menjangkau wilayah teritori AS,
sedangkan kepentingan ekonomi AS dilihat dari perilaku AS mempertahankan
hubungan ekonomi berupa ekspor-impor dengan Cina sehingga, dibandingkan
dengan sikap defensive atau offensive, AS lebih memilih hedging untuk
menghadapi Cina di Kawasan Asia Pasifik. Selain itu, kebijakan luar negeri AS
terkait pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa terbukti efektif dalam
mempertahankan hegemoni AS di kawasan Asia Pasifik. Hal ini terlihat ketika
masa kepemimpinan Presiden Barack Obama, kebijakan Pivot to Asia berhasil
membawa militer AS semakin kuat di kawasan Asia Pasifik dengan
memperbanyak “lily pads” dan memperkuat “hub and spoke” di kawasan ini serta
mempersiapkan peningkatan kekuatan militer AS untuk menghadapi setiap
ancaman yang datang baik dari Cina, Korea Utara, atau negara potensial ancaman
lainnya.
105
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
DeRouen, Alex M. d. K. 2010. Understanding Foreign Policy Decision Making.
New York: Cambridge University Press.
Deutsch, Karl W. 1988. The Analysis of International Relations. 3rd
ed.
Englewood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice-Hall Inc.
Fravel, M T. 2012. “The Unted States in the South China Sea Disputes.”
Princeton University Press 33(3):292-319.
Gavan McCormack, Satoko O. N. 2012. Resistant Islands: Okinawa Confronts
Japan and the United States. 1st ed. Plymouth, England: Rowman &
Littlefield Publishers.
Lovel, John. 1970. Foreign Policy in Perspective : Strategy, Adaptation, Decision
Making. New York: Holt Inc.
McDougall, Derek. 1997. The International Politics of the New Asia Pacific. 1st
ed. Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
McIntosh, Malcolm. 1986. Japan Re-Armed. 1st ed. London, Great Britain:
Frances Pinter.
Neuman, W. L. 1997. Social Research Methods : Qualitative and Quantitatitive
Approache. 5th
ed. Boston, Massachusetts, USA: Perason Education Inc.
Reed, Robert F. 1983. The U.S-Japan Alliance : Sharing The Burden of Defense.
National Defense University Press.
Reischaurer, Edwin O. 1970. The United Stated and Japan. New York : The
Harvard University Press.
106
Rosenau, James N. 1972. The Study of Foreign Policy. New York: Free Press.
Scott Burchill, Andrew L. e. a. 2005. Theories of International third editions.
New York : Palgrave Macmillan.
Smith, John B. a. S. 2001. The Globalization of World Politics. New York:
Oxford University Press.
Walt, Stephen M. 1987. Origins of Alliances. 1st ed. Ithaca, New York: Cornell
University Press.
Waltz, Kenneth N. 1979. Theory of international politics. 1st ed. Boston ,
Massachusetts: Mass Addison-Wesley Pub. Co.
Watanabe, Akio. 1970. The Okinawa Problem : A Chapter in Japan-U.S
relations. 1st ed. Victoria, Australia: Melbourne University Press.
Wittkopf, Charles W. K. J. a. E. R. 1997. World Politics : Trend and
Transformation. 6th
ed. New York, New York: St.Martin's Press.
Jurnal
Anthony H. Cordesman, Martin K. 2006. “Chinese Military Modernization and
Force Development.” Center for Strategic and International Studies
IV(3):1-102.
Baek, Seung J. 2004. Korea : The East Asian Pivot. 3rd
ed. New Port, Rhode
Island: Naval War College Press.
Bandow, Doug. 1998. “Okinawa : Liberating Washington's East Asian Military
Colony.” IV(34):4.
Belasco, Amy. 2011. “The Cost of Iraq, Afghanistan, and Other Global War on
Terror Operations Since 9/11.” Congressional Research Service II(17):1-59.
107
Brooks, William L. 2010. “The Politics Of The Futenma Base Issue in Okinawa.”
Asia Pasific Policy Papers Series II(9):1-110.
Erickson, Adam P. L. a. A. S. 2013. “Demystifying China’s Defence Spending :
Less Mysterious in the Aggregate.” Cambride Journal 216:805-830.
Fravel, M. T. 2012. “Maritime Security in The South China Sea and The
Competition Over Maritime Rights.” Cooperation From Strength The
United States, China, and the South China Sea 33-50.
Fuqua, Jacques. 2001. “Understanding Okinawa’s Role in the U.S.-Japan Security
Agreement.” National Clearing house for United States-Japan Studies 2.
Green, David J. B. a. M. J. 2012. “U.S. Force Posture Strategy in the Asia Pacific
Region: An Independent Assessment.” Center for Strategic and
International Studies III(17):1-126.
Hayashi Kiminori, Oshima K. a. Y. M. 2009. “Overcoming American Military
Base Pollution in Asia: Japan, Okinawa, Philippines.” The Asia-Pacific
Journal 28(2):2-10. Retrieved April 29, 2014.
Il, Ohn C. 2010. “The Causes of the Korean War, 1950-1953.” International
Journal of Korean Studies XIV(2):20-44.
Kan, Shirley A. 2013. “Guam: U.S. Defense Deployments.” Congressional
Research Service II(11):1-26.
Kan, Shirley A. 2014. “U.S.-China Military Contacts: Issues for Congress.”
Congressional Research Service 1-49.
Kaplan, Patrick M. C. a. R. D. 2012. “Cooperation From Strength : US Strategy
and The South China Sea.” Cooperation From Strength : US Strategy and
The South China Sea III(12):1-109.
108
Klingner, Bruce. 2011. “Top 10 Reasons Why the U.S. Marines on Okinawa Are
Essential to Peace and Security in the Pacific.” The Heritage Foundation
214(2571):1-12.
Lee, Jeongseok. 2012. “Hedging against Uncertain Future : The Response of East
Asian Secondary Powers to Rising China.” International Political Science
Association XXII(12):1-25.
Medeiros, Evan S. 2005. “Strategic Hedging and the Future of Asia-Pacific
Stability.” The Washington Quarterly I(29):146-167.
Mitchell, Jon. 2014. “Military Contamination on Okinawa: PCBs and Agent
Orange at Kadena Air Base.” The Asia-Pacific Journal XII(12):1-4.
Muneo, Narusawa. 2014. “The Overseas Dispatch of Japan’s Self-Defense Forces
and U.S. War Preparations.” The Asia-Pacific Journal 12(31):1-3.
Niksch, Larry. 1995. “North Korea's Campaign Against the Korean Armistice.”
Congressional Research Service Report for Congress 1-6.
O.Hague, Bruce A. W. a. M. 2007. “The U.S.-Japan Alliance:Sustaining the
Transformation.” Joint Force Quarterly I(44):59-64.
O.Hague, Bruce A. W. a. M. 2007. “The U.S.-Japan Alliance:Sustaining the
Transformation.” Joint Force Quarterly I(44):60-65.
Okinawa Prefectural Government. 2011. “Okinawa Prefectural Government.”
Ginowan.
Pajon, Celine. 2010. “Understanding the Issue of US Military Bases in Okinawa.”
ifri Center for Asian Studies 4.
Patrick M. Cronin, et a. 2012. “Yokota Civil-Military Use of U.S. Bases in
Japan.” Center for New American Security II(13):1-31.
109
Pinkston, Daniel A. 2008. “The North Korean Ballistic Missile Program.”
Strategic Studies Institute 16.
Polling, Gregory B. 2013. “The South China Sea in Focus : Clarifying the Limits
of Maritime Dispute.” Center for Strategic & International Studies 1-48.
Record, Jeffry. 2009. “Japan's Decision for War in 1941 : Some Enduring
Lessons.” The Strategic Studies Institute I(17):1-60.
Roehrig, Terence. 2005. “Restraining the Hegemon: North Korea, the United
States and Asymmetrical Deterrence.” Pacific Focus XX(2):7-51.
Shimoji, Yoshio. 2010. “The Futenma Base and the U.S.-Japan Controversy: an
Okinawan perspective.” The Asia-Pacific Journal V(18):1-5.
Shimoji, Yoshio. 2011. “Futenma: Tip of the Iceberg in Okinawa’s Agony.” The
Asia-Pacific Journal: Japan Focus IX(43, No 3):4.
Shimoji, Yoshio. 2011. “Futenma: Tip of the Iceberg in Okinawa’s Agony.” The
Asia-Pacific Journal: Japan Focus IX(43, No 3):1-4.
Smethurst, Richard J. 2012. “Japan, the United States, and the Road to World War
II in the Pacific.” The Asia-Pacific Journal 10(37):3.
Smith, SheilaA. 2001. “Japan's Uneasy Citizens and the U.S-Japan Alliances.”
East West Center VIII(54):1-8.
Smith, SheilaA. 2001. “Japan's Uneasy Citizens and the U.S-Japan Alliances.”
East West Center 2.
Smith, Sheila A. 2013. “A Sino-Japanese Clash in the East China Sea.” Council
on Foreign Relations II(12):1-8.
Swielande, Tanguy S. d. 2012. “The Reassertion of the United States in the Asia-
Pacific Region.” Strategic Studies Institute 75-89.
110
Tessman, Brock F. 2012. “System Structure and State Strategu: Adding Hedging
to the Menu.” Routledge Taylor&Francis Group XI(21):192-231.
Vaughn, Bruce. 2007. “U.S. Strategic and Defense Relationships.” CRS Report
for Congress 1-30.
Wilson, Theodore A. 1977. “The Marshal Plan 1945-1951.” Foreign Policy
Association XI(236):1-67.
Wolfe, Brock T. a. W. 2011. “Great Powers and Strategic Hedging: The Case of
Chinese Energy Security Strategy.” International Studies Association
13(2):214–240.
Yoshida, Kensei. 2010. “Okinawa and Guam: In the Shadow of U.S. and Japanese
“Global Defense Posture”.” The Asia-Pacific Journal.
Zhu, Xiaodong. 2012. “Understanding China’s Growth: Past, Present, and
Future.” Journal of Economic Perspectives 26(4):103-124.
Thesis
Sieberg, Erik T. 2011. “Risk and Hedging: A Forecasting Model Analysis of
Estonian Security Strategy.” PhD Thesis, International Relations, University
of Tampere-School of Management, Finland.
Website
ABC News. 2014. “Home: News: World: apan's cabinet approves changes to its
pacifist constitution allowing for 'collective self-defence'.” ABC News Web
site. Retrieved Oktober 30, 2014 (http://www.abc.net.au/news/2014-07-
01/an-japan-constitution/5564098).
111
Benson, Jeff W. 2012. “Home: News & Analysis : South China Sea : A History of
Armed Conflict.” USNI News. Retrieved Juli 12, 2014
(http://news.usni.org/2012/06/20/south-china-sea-history-armed-conflict).
Cai, Yuan. 2008. “Volume 2 : The Rise and Decline of Japanese Pacifism.” New
Voices Japan Fondation, Sydney. Retrieved Agustus 29, 2014
(http://newvoices.jpf-sydney.org/2/chapter9.pdf).
CNIC Commander Fleet Activities Yokosuka. 2009. “Home : About Us :
Welcome to Fleet Activities Yokosuka.” CNIC Commander Fleet Activities
Yokosuka. Retrieved Agustus 22, 2014
(http://www.cnic.navy.mil/regions/cnrj/installations/cfa_yokosuka.html).
CNIC, Naval Air Facility Misawa. 2008. “About Us : Operations and
Management.” CNIC Naval Air Facility Miasawa Website. Retrieved
September 9, 2014
(http://www.cnic.navy.mil/regions/cnrj/installations/naf_misawa.html).
Coakley, Robert W. 2001. “Home : General Resources : World War II.” U.S
Army Center of Military History. Retrieved Agustus 30, 2014
(http://www.history.army.mil/books/AMH/AMH-23.htm).
Commander U.S 7th Fleet. 2010. “About 7th Fleet : History.” Commander U.S
7th Fleet Website. Retrieved Agustus 22, 2014
(http://www.c7f.navy.mil/history.htm).
Feith, Douglas J. 2004. “Home:Secretary of Defense:Speeches.” U.S. Department
of Defense. Retrieved Oktober 21, 2014
(http://www.defense.gov/Speeches/Speech.aspx?SpeechID=133).
112
Fukumura, Yoko. 2007. “Home: Patners: Okinawa : Effects of long-term US
Military presence.” Women for genuine security website. Retrieved Maret
22, 2014 (http://www.genuinesecurity.org/partners/okinawa.html).
Fukumura, Yoko. 2007. “Home: Patners: Okinawa : Effects of long-term US
Military presence.” Women for Genuine Security. Retrieved Agustus 11,
2014 (http://www.genuinesecurity.org/partners/report/Okinawa.pdf).
Gates, Robert M. 2005. “Home: Secretary of Defense:Speeches.” U.S Department
of Defense. Retrieved Oktober 21, 2014
(http://www.defense.gov/Speeches/Speech.aspx?SpeechID=77).
Global Research. 2007. “Home : Region : USA : The Worldwide Network of US
Military Bases.” Global Research Website. Retrieved November 2, 2014
(http://www.globalresearch.ca/the-worldwide-network-of-us-military-
bases/5564).
Global Security. 2013. “Home: Military: Facilities: PACOM.” Global Security
Website. Retrieved Oktober 25, 2014
(http://www.globalsecurity.org/military/facility/guam.htm).
Hemmings, John. 2013. “Home: East Asia.” The Diplomat Web Site. Retrieved
September 17, 2014 (http://thediplomat.com/2013/05/hedging-the-real-u-s-
policy-towards-china/).
Institute of Oriental Culture, University of Tokyo. 1960. “Home : U.S-Japan
Relations : US-Japan Treaties & Agreements.” Embassy of The United State
in Japan Website. Retrieved Agustus 30, 2014 (http://www.ioc.u-
tokyo.ac.jp/~worldjpn/documents/texts/docs/19600119.T1E.html).
113
James K, Bowen. 2007. “Historical Sources : Pearl Harbour.” The Pasific War.
Retrieved Agustus 26, 2014
(http://www.pacificwar.org.au/pearlharbor/Japattack.html).
Japan Communist Party. 2000. “Home: Japanese:Domestic.” Japan Communist
Party Web site. Retrieved November 12, 2013
(http://www.jcp.or.jp/tokusyu/okinawa/Okinawa.pdf).
Jeffrey A. Bader, Kenneth G. L. a. M. M. 2014. “Home: Research: Policy Brief.”
Brookings Foreign Policy Brief web site. Retrieved Oktober 21, 2014
(http://www.brookings.edu/research/papers/2014/08/south-china-sea-
perspective-bader-lieberthal-mcdevitt).
Kai, Jin. 2013. “Features: Diplomacy: Security: East Asia.” The Diplomat.
Retrieved Juli 22, 2014 (http://thediplomat.com/2013/10/structural-distrust-
undermining-a-senkakudiaoyu-solution/).
Keck, Zachary. 2014. “Home: East Asia:Is China Preparing MIRVed Ballistic
Missiles?” The Diplomat Web site. Retrieved Oktober 19, 2014
(http://thediplomat.com/2014/08/is-china-preparing-mirved-ballistic-
missiles/).
Lee, Oliver. 1998. “The Choson Sinbo Website.” Retrieved November 21, 2014
(http://www1.korea-np.co.jp/pk/054th_issue/koreanwar/98080501.htm).
Liem, Channing. 1993. “The Choson Sinbo website.” Retrieved November 21,
2014 (http://www1.korea-
np.co.jp/pk/054th_issue/koreanwar/98080502.htm).
114
Marine Corps Air Station Iwakuni. 2006. “Home : History.” Marine Corps Air
Station Iwakuni. Retrieved Agustus 22, 2014
(http://www.mcasiwakuni.marines.mil/History.aspx).
Ministry of Defense. 2004. “Home: Defense Activities: Defense Policy: Ⅰ.
Constitution and the Basis of Defense Policy.” Ministry of Defense official
website. Retrieved Juli 22, 2014
(http://www.mod.go.jp/e/d_act/d_policy/dp01.html).
Ministry of Foreign Affairs of Japan. 1996. “Top: Regional Affairs: North
Amarica: The United States: President Clinton's 1996 State Visit to Japan:
The Japan-U.S. Special Action Committee (SACO) Interim Report.”
Ministry of Foreign Affairs of Japan Web site. Retrieved Oktober 22, 2014
(http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/security/seco.html).
Mueller, Major G. P. J. 2007. “Homepage : News Archives : Article.” The
Official Homepage of U.S Army. Retrieved Agustus 28, 2014
(http://www.army.mil/article/4613/Occupied_Japan____A_Progress_Report
/).
Muto, Ichiyo. 2004. “Overview : People's Plan Study Group : US Military Bases
in Japan.” Japan Computer Access Network. Retrieved September 9, 2014
(http://www.jca.apc.org/wsf_support/2004doc/WSFJapUSBaseRepoFinalAl
l.html).
Nihon. 2008. Retrieved Oktober 10, 2013
(http://nihon.awardspace.com/okinawa_sofa_crime.html).
Reuters. 2013. “Home: World: US: Manila plans air, naval, bases at Subic with
access for U.S Official say.” Reuters News. Retrieved November 4, 2014
115
(http://www.reuters.com/article/2013/06/26/us-philippines-usa-
idUSBRE95P1EP20130626).
Sakoda, Robin". 2013. “Home: Publications: Japan Chair Platform: Japan and
Collective Self-Defense: An American Perspective.” Center for Strategic
and International Studies. Retrieved Oktober 30, 2014
(http://csis.org/publication/japan-chair-platform-japan-and-collective-self-
defense-american-perspective).
Shapiro, Ian. 2007. “Home: Sample Chapter:Containment: Rebuilding a Strategy
against Global Terror.” Princeton University Press. Retrieved Agustus 28,
2014 (press.princeton.edu/chapters/pons/s2_9143.pdf).
The Atlantic News. 2005. “Home : Archieve: How We Would Fight China.” The
Atlantic News Website. Retrieved Oktober 22, 2014
(http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2005/06/how-we-would-
fight-china/303959/).
The Guardian. 2011. “News: US News.” The Guardian website. Retrieved
Oktober 26, 2014 (http://www.theguardian.com/world/2011/nov/16/china-
us-troops-australia).
The National Archives and Records Administration. 1995. “Home : Research Our
Records: Guide to Federal Records: Records of U.S. Occupation
Headquarters, World War II.” National Archives. Retrieved Agustus 22,
2014 (http://www.archives.gov/research/guide-fed-
records/groups/260.html#260.12).
116
The Open University. 1998. The Asia Pasific Profile. 3rd
ed. Forest Gate, London:
Commercial Colour Press. Retrieved Juni 07, 2014
(http://www.jpri.org/publications/workingpapers/wp78.html).
The Wall Street Journal. 2013. “World News: Plan to Shift U.S. Forces in Pacific
Hits Speed Bumps on Guam.” The Wall Street Journal Website. The Wall
Street Journal. Retrieved Maret 22, 2014
(http://www.wsj.com/articles/SB10001424127887323874204578217490207
346314).
U.S Department of State. 2008. “Milestones : 1937-1945 : Japan, China, the
United States and the Road to Pearl Harbor, 1937–41.” U.S Department of
State Office of the Historian Web site. Retrieved Juni 05, 2014
(http://history.state.gov/milestones/1937-1945/pearl-harbor).
U.S National Archives & Records Administration. 1995. “Home: Japanese
Surrender Document.” U.S National Archives & Records Administration.
Retrieved Juni 12, 2014
(http://www.archives.gov/exhibits/featured_documents/japanese_surrender_
document/).
United Nations. 2012. “Home: Up: Advise&Assistance: Function of the CLCS.”
Ocean and Law of the Sea United Nations Website. Retrieved Juli 12, 2014
(http://www.un.org/depts/los/clcs_new/commission_purpose.htm).
United Nations. 2013. “THE Convention and the Related Agreement: United
Nations Convention on the Law of the Sea.” United Nation Oceans and Law
of the Sea. Retrieved Juli 22, 2014
117
(http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/part7.htm
).
US Census Bureau. 2014. “Census.gov: Business & Industry: Foreign Trade :
U.S. International Trade Data.” US Census Berau Website. Retrieved
Oktober 22, 2014 (https://www.census.gov/foreign-
trade/balance/c5700.html).
washingtonpost. 2011. “News: Post TV: Asia & Pacific.” washingtonpost web
site. Retrieved Pktober 25, 2014
(http://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/us-troops-headed-to-
australia-irking-china/2011/11/16/gIQAiGiuRN_story_1.html).
Yukie Yoshikawa Research. 2011. “U.S. Military Base Map in Okinawa.” Yukie
Yoshikawa Research Website. Retrieved Juni 11, 2014 (http://okinawa-
institute.com/en/node/81).
top related