kebijakan al-makmun tentang pendidikan
Post on 16-Oct-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN
TESISDisusun Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:SUHERMAN
NIM :08.2.00.1.12.08.0049
PembimbingMUHAMMAD ZUHDI, M. Ed. Ph.D
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMSEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
2010
ii
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan
A.Translitersi= ' = z = q
= b = s = k
= t = sh = l
= th = ṣ = m
= j = ḍ = n
= ḥ = ṭ = w
= kh = ẓ = h
= d = ‘ = y
= dh = gh
= r = f
Mad dan Diftong
5. huruf “ ” ditulis al- seperti “ ” ditulis al- ḥamdu
6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesiatidak masuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah,shalat, dan lain-lain.
B. Singkatan-singkatan:H. = Hijriah M. = Masehih. = halaman t.th. = tanpa tahun
Saw. = ṣallallāhu ‘alaihi wasallam t.p. = tanpa penerbitSWT. = Subhānahū wa Ta’ālā t.t. = tanpa tempat
1 a panjang = ā
2 i panjang = ī
3 u panjang = ū
4 diftong = Au
= uw
= Ai
Iy
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan bi bawah ini :
Nama : SUHERMAN
NIM : 08.2.00.1.12.08.0049
Tempat Tanggal Lahir : Kuningan, 04 Pebruari 1967
Menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Kebijakan al-Ma’mun Tentang
Pendidikan” adalah benar-banar karya saya sendiri, didukung oleh berbagai
sumber terkait. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya,
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
iv
PENGESAHAN
Tesis yang berjudul “Kebijakan al-Ma’mun Tentang Pendidikan” ditulis olehSuherman, Nomor Induk Mahasiswa 08.2.00.1.12.08.0049, telah diperbaiki sesuaidengan saran-saran dan komentar dari tim penguji pada ujian tesis tanggal 15November 2010. Disahkan sebagai salah satu sarat untuk memperoleh gelarMagister Agama (MA) pada Program Magister Pengkajian Islam BidangPendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tim Penguji
Dr. Yusuf Rahman, MAKetua/Merangkap Penguji
Muhammad Zuhdi. M. Ed., Ph. DPembimbing/Merangkap Penguji
Prof. Dr. Suwito, MAPenguji
Dr. Muhbib Abdul Wahab, MAPenguji
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah membaca dan memberi petunjuk serta saran-saran seperlunya terhadap
tesis dengan judul “Kebijakan al-Ma’mun Tentang Pendidikan” yang di susun
oleh Suherman dengan Nomor Induk Mahasiswa 08.2.00.1.12.08.0049. pada
Konsentrasi Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Jakarta, telah diperiksa dan disetujui untuk diteruskan kesidang ujian tesis
vi
ABSTRAK
“Kebijakan al-Ma’mun Tentang Pendidikan” yang di tulis olehSuherman,merupakan hasil penelitian tesis S-2, Program PascasarjanaKonsentrasi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) SarifHidayatullah Jakarta, tahun 2010.
Penelitian ini bentujuan untuk medapatkan sebuah prototype kebijakanpemerintahan al-Ma’mun tentang Pendidikan dan kontribusinya terhadapkemajuan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam,melalui studi pengenalan latarbelakang kehidupan sosio-budaya dan politik serta peradabannya.
Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif, yang bersifat categoricalanalyze untuk menemukan prototype tertentu. Kenyataan obyektif tentangkebijakan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang dilakukan olehKhalifah al-Ma’mun pada masa pemerintahannya dilakukan melalui penelitianlibrary research dengan pendekatan sejarah (historical approach), denganpenekanan pada latar belakang kehidupan al-Ma’mun, pengumpulan data tersebutdilakukan melalui berbagai sumber tertulis,data tersebut kemudian dianalisissecara kualitatif.
Kesimpulan tesis ini adalah adanya upaya-upaya yang dilakukan olehKhalifah al-Ma’mun pada masa pemerintahannya untuk terus melanjutkan tradisikeilmuan yang diwariskan oleh pendahulunya, maka al-Ma’mun mengambilkebijakan untuk lebih memperbesar anggaran negara bidang Pendidikan denganberorientasi kepada pengembangan sumber daya manusia(Human Resourch),danterbuka terhadap perkembangan pluralitas masyarakat, terutama terhadap bangsaPersia dalam kerangka mengembangkan Pendidikan dan ilmu pengetahuan sertaperadaban pada masa pemerintahannya.
Pengembangan Pendidikan dan ilmu pengetahuan dilakukan melaluipenerjemahan-penerjemahan manuskrip dan buku-buku berbahasa asing kedalambahasa Arab yang dilakukan secara besar-besar, dengan alokasi dana yang cukupbesar, merupakan bagian terpenting dari kegiatan ilmiah. Hal ini merupakanprioritas utama pemerintahan al-Ma’mun dalam menyelenggarakan prosesPendidikan dan informasi budaya, disamping kegiatan diskusi dan perdebatanyang dilakukan di berbagai tempat/lembaga,seperti; istana,masjid,bait al-hikmah,dan di “lembaga” Pendidikan lainnya.Al-Ma’mun lebih cenderung untukmengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat rasional. Sehinggaberkembanglah faham rasionalisme Mu’tazilah, bahkan faham ini pada masanyamenjadi mazhab resmi Negara.
Pada zamannya, lahirlah tokoh intelektual kaliber dunia,seperti; al-Kindi(filosof muslim Arab pertama),al-Khawarizmi(ahli matematika danastronom terkenal),Hunain bin Ishaq(seorang Nestorian ahli bahasa danadministrasi), bahkan Ahmad bin Hambal(ahli hadits) meskipun berbedapaham,tapi ia lahir pada masanya.Di samping tokoh-tokoh Mu’tazilah,seperti;Abu al-Hudzail al-“Allaf(135-236H./753-850 M.), al-Nazhzham(w.231 H/845 M.),Ahmad bin Abi Daud(w.855 M.)dan lain sebagainya.
vii
ABSTRACT
“Al Ma’mun’s Education Policy” written by Suherman, is the result ofthesis research, at the postgraduate school program, concentration of Islamiceducation, State Islamic University, Syarif Hidayatullah Jakarta, in 2010.
This research is aimed to get a prototype of Al Ma’mun governmentalpolicy about education and its contribution to the science progress in the Islamiccivilization, through the introduction study of background of its socio-cultural,politics and civilization.
This research uses a descriptive method with categorical analyze to find acertain prototype. Objective facts of education policy and science developmentconducted by Caliph Al Ma’mun at his governmental period were conductedthrough a library research with historical approach, by emphasizing at the lifebackground of Al-Ma’mun. The data collecting is conducted through variouswritten sources, then the data was analyzed qualitatively.
The conclusion of this thesis is that there are efforts conducted by CaliphAl Ma’mun at his governmental period to continuously carrying on the sciencetradition endowed by its predecessor, by taking a policy to enlarging the nationalbudget in the field of education by orientating to developing the human resourceand it was opened to the growth of social plurality, especially to the Persian nationin order to developing the education, science and civilization at his governmentalperiod.
Developing of education and science were conducted by translating theforeign manuscripts and books to the Arabic language on a large scale and bigenough of fund allocation, as the most important part of the scientific activities. Itwas the first priority of al-Ma’mun government to carrying out education processand culture information, beside the discussion activity and debate conducted in themany places or institutes, such as palace, mosque, Bait al-Hikmah,and otherseducation “institutes”. Al Ma’mun was more intending to developing a rationalscience, so the rationalism of Mu’tazila emerged, even this stream was basicallybecame a official government ideology.
By the time, famous intellectual figures of the world emerged, such as AlKindi (the first Arabic-Moslem philosopher), Khawarizmi (well-knownmathematician and astronomy scientist), Hunain bin Ishaq (a Nestorian linguistand administration expert, even Ahmad bin Hanbal (Hadits expert), thoughdiffered from opinion, was born at that period, besides the figures of Mu’tazilah,such as Abu Al Hudzail al ‘Allaf (135-236 H/753-850 M), Al Nazhzham (d. 231H/845 M), Ahmad bin Abi Daud (d. 855 M), and others.
viii
" ")S-2(٢٠١٠.
.)categorical analyze(
.
..
.
..
)()(
)() (-٧٥٣/هـ٢٣٦-١٣٥(.
.) ٨٥٥. ()٨٤٥/هـ٢٣١. ()٨٥٠
ix
KATA PENGANTAR
BismillāhirrohmānirrohīmPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
Juga kepada keluarganya, para sahabatnya dan kepada umatnya.
Dalam kesempatan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama
penulisan tesis ini, sejujurnya penulis banyak sekali mengalami berbagai kesulitan
dan kendala, terutama dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan
yang menjadi sumber penelitian ini. Namun berkat bantuan dan dorongan moril
dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan selama penulisan tesis ini dapat
diatasi. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang tak terhingga terutama kepada yang terhormat :
1. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan fasilitas
berupa bantuan beasiswa kepada penulis sampai selesai proses studi di tingkat
magister ini.
2. Kepala SMP Negeri 127 Jakaarta barat,Bapak Drs. H. Syafiuddin Noer selaku
atasan penulis yang telah memberikan ijin untuk mengikuti pendidikan S-2 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,dan rekan-rekan
guru di SMP Negeri 127 Jakarta, yang selalu memotifasi demi lancarnya
penyelesaian studi S-2 ini.
3. Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA
dengan segala kebijakannya telah memberikan pelayanan terbaiknya kepada
penulis selama ini.
4. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan pembinaan akademis kepada penulis, terutama kepada Bapak
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Dr. Fuad Jabali, MA.,
Dr. Yusuf Rahman, MA., Dr. Udjang Thalib, MA., dan Staf Tata Usaha dari
pimpinan sampai karyawannya.
5. Bapak Muhammad Zuhdi, M.Pd. Ph.D. selaku pembimbing tesis ini dengan
penuh kesabaran yang selalu menjadi solusi bagi penulis saat merasa kesulitan.
Segala amal kebaikannya, penulis kembalikan kepada Yang Maha Kuasa.
x
6. Dosen-dosen Sekolah Pascasarjana tercinta yang telah mencurahkan ilmunya
kepada penulis selama belajar di kampus ini.
7. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Bapak R. Sugandi (Alm) dan Ibunda Kari
yang telah mendidik dan membesarkan penulis dalam buaian kasih sayangnya
yang tiada bertepi. Semoga Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada
mereka, sebagaimana mereka menyayangi anaknya di waktu kecil.
8. Bapak/Ibu mertua penulis, Bapak KH.Sukron Makmun (alm) do’a dari kami
senantiasa tercurahkan, dan Ibu Siti Rohibah yang mendoakan dengan tulus
ikhlas dan memberikan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan
studi.
9. Istriku tercinta,Indah Puspita Dewi Rahayu dan anak-anaakku Istiqamah
Meidinata serta Mazidah Salbiyah yang selalu menemani dengan setia,
mendorong dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi dan
pembuatan tesis ini.
10. Kawan-kawan tercinta sesama mahasiswa Magister di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta program beasiswa Departemen
Agama angkatan 2008, yang sering saling berbagi suka dan duka dalam
dinamika kehidupan mahasiswa di asrama putra, serta segenap rekan-rekan
dan pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis
selama menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berharap, semoga semua kebaikan
yang telah mereka berikan kepada penulis, mendapatkan pahala yang berlipat
ganda dari kehadirat-Nya. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dan bagi para pembaca yang cinta ilmu pengetahuan. Amīn
Yā Rabbal ‘ ālamīn.
Jakarta, 20 Agustus 2010
Penulis
SUHERMAN
xi
DAFTAR ISI
Cover dalam ....................................................................................................... i
Pedoman Transliterasi ........................................................................................ ii
Pengesahan......................................................................................................... iii
Persetujuan Pembimbing.................................................................................... iv
Abstraksi ............................................................................................................ v
Kata Pengantar ................................................................................................... vi
Daftar Isi............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Permasalahan........................................................................... 21
1. Identifikasi Masalah .......................................................... 21
2. Pembatasan Masalah ......................................................... 22
3. Perumusan Masalah .......................................................... 23
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................ 23
D. Tujuan Penelitian .................................................................... 24
E. Manfaat Penelitia .................................................................... 25
F. Metodologi Penelitian ............................................................. 25
G. Sistematika Penelitian ............................................................. 26
BAB II HUBUNGAN NEGARA DAN PENDIDIKAN DALAM
SEJARAH ISLAM
A. Kekuasaan dan Pendidikan ..................................................... 29
1. Bentuk Pemerintahan Islam .............................................. 29
2. Perkembangan Pendidikan pada Masa Nabi ..................... 36
3. Perkembangan pendidikan setelah masa Nabi .................. 42
B. Kebijakan Pendidikan. ............................................................ 45
C. Hakikat Pendidikan ................................................................. 51
xii
BAB III PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEBELUM AL-MA’MUN
A. Perkembangan Lembaga Pendidikan sebelum al-Ma’mun..... 59
1. Masjid................................................................................ 62
2. Maktab............................................................................... 69
3. Toko Buku......................................................................... 76
4. Majlis-majlis ..................................................................... 78
B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan sebelum al-Ma’mun.......... 83
BAB IV AL-MA’MUN DAN KEBERHASILANNYA DI BIDANG
PENDIDIKAN
A. Sejarah al-Ma’mun.................................................................. 107
1. Pengangkatan al-Ma’mun sebagai Khalifah ..................... 109
2. Masa Pemerintahan al-Ma’mun ........................................ 113
B. Kebijakan Pemerintahan al-Ma’mun ...................................... 119
1. Menangguhkan pemindahan kota sementara dari khurasan
ke Baghdad........................................................................ 120
2. Memajukan Ilmu Pengetahuan dalam berbagai bidang
disiplin ilmu ...................................................................... 121
a. Kurikulum ................................................................... 124
b. Metoda Pengajaran...................................................... 127
c. Murid........................................................................... 129
d. Guru ........................................................................... 130
3. Menjadikan Aliran Mu’tazilah sebagai Mazhab Resmi
Negara ............................................................................ 132
4. Pembentukan Lembaga Mihnah........................................ 134
5. Menciptakan Perdamaian di Kalangan Bani Hasyim........ 136
C. Lembaga Pendidikan Pada Masa al-Ma’mun ......................... 139
1. Kontribusi al-Ma’mun Terhadap Lembaga Pendidikan.... 141
a. Perpustakaan. .............................................................. 142
b. Bait al-Hikmah ............................................................ 146
c. Observatorium............................................................. 149
xiii
2. Kontribusi al-Ma’mun Terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan ................................................................... 153
a. Gerakan Penerjemahan................................................ 153
b. Mengembangkan Diskusi............................................ 148
c. Mengembangkan Paham Rasionalisme....................... 160
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 167
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 170
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan kehidupan manusia, pendidikan mengambil peranan
yang sangat menentukan untuk tercapainya tujuan hidup baik di dunia maupun di
akhirat. Oleh karena itu pada penulisan tesis ini, penulis ingin menguraikan
mengenai sejarah perkembangan pendidikan Islam hingga mencapai puncaknya
pada masa Khalifah al-Ma’mun pada Dinasti Abbasiyah.
Sangatlah menarik sekali untuk diketahui, faktor-faktor apa sajakah yang
telah mempengaruhi keberhasilan keberhasilan umat Islam pada masa itu sampai
berhasil mencapai puncaknya dalam bidang ilmu pengetahuan dibandingkan
dengan dunia barat.
Maka, Pada bab pertama ini akan diuraikan tentang latar belakang
masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, penelitian terdahulu yang
relevan, metodologi dan tujuan dari penelitian ini secara komprehensip untuk
mendapatkan satu kesimpulan yang jelas.
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang memerintahkan kepada umatnya untuk selalu
mencari ilmu, karena Islam sangat menjunjung tinggi orang-orang yang memiliki
ilmu pengetahuan. Dengan ilmu penmgetahuan, seseorang akan menjadi mulia,
terhormat dan mampu menghadapi segala permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan ini.1
Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang
seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri, dimana Islam lahir dan berkembang
lengkap dengan usaha-usaha pendidikan untuk mentransformasikan ilmu
pengetahuan.2
1Lihat al-Qur’an, surat al-Muja>dalah,(22), 11
2Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002), Vii.
2
Sedangkan tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah terwujudnya
kepribadian muslim, yang keseluruhan aspeknya merealisasikan atau
mencerminkan ajaran Islam, dengan kata lain kepribadian yang seluruh aspek-
aspeknya yakni baik tingkah laku lahirnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, mau pun
filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukan pengabdian kepada Tuhan dan
penyerahan diri kepada-Nya. Akhirnya kepribadian muslim itu tidak akan terlepas
dari berpilihnya tiga hal yaitu; Iman, Islam dan Ikhsan.3
Dengan memperhatikan dasar, proses dan tujuan dari pendidikan yang
sangat mulia itu, maka hemat penulis alangkah bahagianya kalau semua manusia
di dunia ini mendapatkan pendidikan yang baik. Persoalannya, mampukah
bangsa-bangsa di dunia ini menyelenggarakan pendidikan dengan baik. Kalau
mampu kenapa masih banyak manusia yang tidak berpendidikan, kalau tidak
bukankah dahulu Islam pernah meraih masa kejayaan di bidang ilmu pengetahuan.
Untuk mengetahui itu semua, maka penulis mencoba untuk meneliti
tentang sejarah pendidikan Islam pada masa awal pemerintahan Islam hingga
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun
Pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan Islam berlangsung
secara informal, itu pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya Dakwah Islamiyah,
atau penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam.
Proses pendidikan Islam pertama kali dilakukan di rumah sahabat nabi, yang
paling terkenal adalah di rumah Dar al-Arqam, selanjutnya, setelah masyarakat
Islam mulai terbentuk, maka proses pendidikan diselenggarakan di masjid. Proses
kegiatan belajar di kedua tempat ini dilaksanakan dengan cara halaqah,
membentuk lingkaran belajar.
Pendidikan masa masa awal ini dapat dibagi menjadi pendidikan pada
periode Mekah dan periode Madinah. Pendidikan Islam pada periode Mekah pada
intinya adalah mengajarkan ajaran tauhid, yang merupakan perhatian utama
Rasulullah ketika itu. Menurut, Mahmud Yunus, menyatakan bahwa pembinaan
pendidikan Islam pada masa ini meliputi:
3 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), 31.
3
a. Pendidikan keagamaan yang menitik tekankan kepada pendidikan tauhid.Hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, janganmempersekutukan dengan yang lain.
b. Pendidikan akliyah dan ilmiyah, yaitu mempelajari kejadian manusia darisegumpal darah dan kejadian alam semesta.
c. Pendidikan akhlak dan budi pekerti, sesuai dengan ajaran tauhid.d. Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian,
badan dan tempat kediaman.4
Sedangkan pendidikan Islam pada periode Madinah ini telah mengalami
perkembangan, bukan hanya sekedar tauhid, tetapi telah berkembang kepada
pembentukan dan pembinaan masyarakat. Adapun titik tekan pendidikan pada
periode ini antara lain;
a. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju kepada satu kesatuan
sosial dan politik. Antara lain yang dilakukan oleh Nabi dalam melaksanakan
pendidikannya adalah;
1. Nabi mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertengkaran antar suku,
dengan mengikat tali persaudaraan di antara mereka.
2. Nabi mengajarkan untuk selalu berusaha dan bekerja sesuai dengan
kemampuan dan pekerjaannya masing-masing, untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari hari.
3. menjalin kerjasama dan tolong menolong dalam membentuk kehidupan
masyarakat yang adil dan makmur
4. melaksanakan shalat jum’at sebagai media komunikasi seluruh umat
Islam.
b. Pendidikan Sosial dan kewarganegaraan, yang meliputi;
1. Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antar kaum muslimin
2. Pendidikan kesejahteraan sosial dan tolong menolong
3. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat.
c. Pendidikan untuk anak dalam Islam, Nabi selalu mengingatkan kepada
umatnya untuk;
1. Agar kita selalu menjaga diri dan angota keluarga dari Api neraka.
4Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995),.5-6.
4
2. Agar jangan meninggal anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan
tidak berdaya dalam menghadapi tantangan hidup.
3. Orang yang dimuliakan Allah adalah orang yang berdoa agar dikaruniai
keluarga dan anak keturunan yang menyenagkan hati.5
Sepeninggal Nabi, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh al-Khulafa’ ar-
Rasyidin. (11-41 H./632-661 M.), yang berdudukan di Madinah al-Munawarah,
selama lebih kurang 30 tahun menurut kalender Hijriyah dan 29 tahun menurut
kalender Masehi. Akan tetapi pemerintahan yang singkat ini sangat menentukan
sekali bagi kelanjutan agama Islam, termasuk pendidikan Islam dan kekuatan
Islam.
Pada masa khalifah Abu Bakar, masalah pendidikan nyaris tak tersentuh,
karena Abu bakar lebih memfokuskan pemerintahannya kepada para pemberontak
dan pembangkang terhadap Islam. Selain itu, Abu Bakar juga lebih memusatkan
perhatiannya untuk mengirim pasukannya dalam rangka memperluas ekspansi
wilayah Islam ke Syiria untuk melaksanakan niat Rasulullah yang telah
dipersiapkan sesaat sebelum Rasulullah wafat.6
Pada masa Khalifah Umar bin Kaththab, kondisi politik dalam keadaan
stabil, sehingga Umar banyak melanjutkan kebijakan yang telah diambil oleh Abu
Bakar. Ekspansi Islam dilanjutkan, sehingga mencapai hasil yang cukup gemelang
yang meliputi daerah kekuasaan semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak,
Persia dan Mesir. Berkaitan dengan pendidikan, maka khalifah Umar
memerintahkan kepada para panglimanya untuk selalu mendirikan masjid di
daerah-daerah yang menjadi taklukannya, sebagai tempat untuk beribadah dan
melakukan kegiatan pendidikan.7 Berkaitan dengan pendidikan pula, maka
khalifah Umar banyak mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap
daerah yang ditaklukkannya, yang bertugas untuk mengajarkan isi al-Qur’an dan
ajaran Islam kepada penduduk yang baru Islam. Dia juga menganjurkan kepada
5Zuhairini,dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Depag, 1986), 34-50.
6 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 17.
7Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan IslamI (Jakarta: Pustaka al Husna, 1993), 94.
5
setiap anak muslim untuk menghafal; al-Qur’an, dan kepada setiap bapak
diharapkan mampu mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anaknya sebelum mereka
masuk sekolah.8
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, Pelaksanaan pendidikan Islam tidak
jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan pada masa ini hanya
melanjutkan apa yang sudah ada. Belum terlihat ada usaha yang kongkrit yang
dikembangkan oleh khalifah Usman dalam bidang pendidikan, kecuali satu usaha
yang dianggap cemerlang dan cukup berpengaruh terhadap pendidikan Islam,
yaitu melanjutkan usulan Umar kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan
ayat-ayat al-Qur’an, dan membukukannya. Kemudian khalifah Usman
mengirimkan salinan al-Qur’an tersebut ke Makkah, Kuffah, Basrah dan Syam.
Sementara, Khalifah Ali Bin Abi Thalib, yang pemerintahannya penuh
dengan pergolakan-pergolakan politik, kekacauan dan pemberontakan, membuat
pemerintahannya nyaris tidak mempedulikan masalah perkembangan pendidikan
Islam. Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, saat kericuhan politik dimasa Ali
ini, hampir dapat dipastikan bahwa kegiatan Pendidikan Islam mendapat
hambatan dan gangguan, walaupun tidak terhenti sama sekali. Khalifah Ali saat
itu tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh
perhatiannya ditujukan kepada masalah keamanan dan kedamaian bagi
masyarakan Islam.9
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan Islam
pada masa keempat khalifah ini belum berkembang seperti masa-masa
sesudahnya, dan pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang
menekankan pada pengajaran baca-tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber
pada al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. Ali terbunuh oleh anggota Khawarij,
kemudian kedudukan Ali sebagai Khalifah digantikan oleh Anaknya Hasan,
8Tedd D. Beavers, Arabic Contributions to Educational Thought, terj. Deny Hamdani,Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Riora Cipta, 2001), 18.
9 Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Bandung:Angkasa, 1985), 68.
6
selama beberapa bulan, karena posisi Hasan semakin lemah, sementara Muawiyah
semakin kuat, akhirnya Hasan mengambil keputusan untuk mengadakan
perjanjian damai dengan Muawiyah. Perjanjian ini akhirnya dapat
mempersatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan di bawah
Muawiyah Ibn Abi Sofyan. Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut
dengan masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan mulailah kekuasaan bani Umayyah
(661 – 750 M.), dalam sejarah.
Pelaksanaan pendidikan Islam pada masa ini semakin meningkat dari masa
sebelumnya..kalau sebelumnya pendidikan hanya dilaksanakan di kuttab, di
rumah-rumah dan masjid, pada masa ini pendidikan dilaksanakan juga di Istana
untuk mendidik anak-anak keluarga kerajaan, di samping itu para penguasa sering
mengadakan majlis-majlis keilmuan. Pada masa ini juga mulai ada perhatian
terhadap pembidangan ilmupengetahuan, seperti ilmu tafsir, hadis, fiqh dan ilmu
kalam.
Di bidang ilmu kalam, dapat ditelusuri cikal bakal gerakan teologi Islam,
yaitu Wasil Ibn ’Atha yang dianggap sebagai pendiri aliran Mu’tazilah. Aliran ini
muncul sebagi reaksi terhadap aliran khawarij dan murji’ah yang telah
berkembang dimasa itu. Di antara doktrin utama aliran Mu’tazilah adalah
paham”kebebasan manusia” atau Free Will, yang pada masa sekarang
dikembangkan oleh golongan Qadariyah yang merupakan lawan dari golongan
Jabariyah.10
Walaupun perhatian terhadap pendidikan dan perkembangan pemikiran
tidak sebesar pada masa Abbasiyah, namun usaha-usaha umat Islam pada masa ini
sangat besar dan penting sekali pengaruhnya bagi perkembangan pendidikan dan
pemikiran pada masa sesudahnya. Dinasti Umayyah telah meletakkan dasar-dasar
bagi kemajuan pendidikan dan pemikiran di masa Dinasti Abbasiyah kelak.
Karena usahanya inilah Philip K. Hitti mengatakan bahwa masa dinasti Umayyah
merupakan ”inkubasi” atau masa tunas bagi perkembangan intelektual Islam.11
10Fayyaz Mahmud, A History of Islam (London: Oxford University Press, 1960), 94.
11Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmillan Press Ltd., 1974), 242
7
Pada masa Dinasti Abbasiyah (750 M-1258 M), ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan sekaligus berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Seorang khalifah
yang cerdas, bijak, santun dan bersifat pemaaf,12 serta pencinta ilmu, Al-Ma’mun
bin Harun Al-Rasyid, menyadari benar bahwa kekuasaan yang dimilikinya
merupakan amanat dari Tuhannya, sehingga ketika berkuasa Ia senantiasa
memamfaatkan kekuasaannya itu untuk ilmu pengetahuan dan peradabannya.13
Di era kepemimpinannya, kekhalifahan Abbasiyah menjelma menjadi
pemimpin adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam
terbentang luas mulai dari pantai Atlantik di barat hingga sampai tembok besar
Cina di timur. Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil
menjadikan dunia Islam sebagai penguasa dalam Ilmu pengetahuan dan peradaban
dunia.
Berkat inovasi dan gagasannya yang cukup brilian, Baghdad yang
merupakan ibu kota Abbasiyah menjelma menjadi pusat kebudayaan dunia,
khalifah sangat mendukung sekali terhadap pengembangan keilmuan dan seni.
Perpustakaan Bait al-hikmah yang didirikan oleh Ayahnya, Harun al-Rasyid,
disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet
ilmuwan muslim yang melegenda.
Professor Dreiker sebagaimana dikutip Afif, dalam pengamatannya
mengatakan : “ Arab moslims promoted ancient studies and researches to a great
extent and founded new field of knowledge which had not been known before”.14
12Ia memaafkan al-Fadhl bin Rabi yang telah menggalang kekuatan untuk menentangKhalifah, Al-Ma’mun juga memaafkan Ibrahim bin Al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagaiKhalifah di Baghdad pada saat al-Ma’mun berada di Merv, padahal al-Mu’tashim dan al-Abbasbin al-Ma’mun mengusulkan agar membunuh Ibrahim. Tidak hanya itu saja, Ia juga memaafkanal-Husain bin Dhahhak , yang pernah mengatakan bahwa al-Ma’mun tidak akan merasa tenangdengan jabatannya karena Ia akan diburu oleh musuh-musuhnya. Lihat Didin Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 94.
13ketika pengangkatan Al-Ma’mun menjdi khalifah ke 7 pada tahun 813 A.D. Baghdadmenjadi pelopor pusat pengajaran dan pendidikan dunia. Ia banyak menyediakan buku-buku,memanggil para sarjana (scholars) dengan sangat hangat sambutan dan kecintaanya terhadapmereka. Lih. Afif A Tabbarah, The Spirit of Islam: Doctrine & Teaching (New Delhi: Islam BookService, 1998), 266-267.
14Afif A Tabbarah, The Spirit of Islam : Doctrine & Teachin (New Delhi: Islam BookService, 1998), 267.
8
Pemerintahan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah ini merupakan puncak
peradaban Islam (Klasik) terbesar abad pertengahan. Liberalisasi ilmu
pengetahuan yang diformalkan oleh al-Ma’mun sebagai khalifah ke-7 dengan
menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara, merupakan salah satu dari
aspek pendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam pada masa itu.
Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan semakin nampak, ilmu-ilmu agama
dan ilmu pengetahuan umum semakin banyak digemari orang-orang Islam.
Keberpihakan al-Ma’mun terhadap paham Mu’tazilah ini tampaknya tidak
bisa dipisahkan dari kehausannya terhadap ilmu pengetahuan yang rasional dan
kecintaannya terhadap filsafat.15
Para ulama dan cendikiawan bahu-membahu untuk mengadakan
penelitian dan riset. Suasana ini nampak sekali ketika al-Ma’mun
mengembangkan lembaga penterjemahan dan penelitian, bait al-Hikmah. Mereka
bukan saja para pelindung ilmu pengetahuan melainkan para pelajar yang haus
akan ilmu pengetahuan. Mereka, adalah para ilmuwan dari seluruh penjuru dunia
yang sengaja datang untuk mengunjungi majlis-majlis ilmu, bahkan mereka
mendapatkan penemuan-penemuan baru, laporan penelitian dan lain sebagainya.16
Pada masa (Abbasiyah) ini, fungsi politik masjid berangsur-angsur mulai
ditinggalkan,semua urusan kenegaraan diselenggarakan di dalam istana. Selain
untuk beribadah, Masjid mulai di pergunakan untuk kegiatan pertemuan ilmiah
para sarjana dan ulama. Masjid memiliki andil yang cukup besar dalam
megembangankan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam kebudayaan Islam,
yang mencapai puncaknya pada masa dinasti tersebut.17 Pergeseran fungsi masjid
ini sebatas pada bidang politik, yaitu masjid bukan lagi sebagai tempat untuk
merumuskan dan memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebab telah
digantikan dengan istana, tempat bertahtanya khalifah sekaligus memerintah.
15Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 95.
16M. Atiqul Haq, Wajah peradaban (Bandung : Zaman, 1998), 51.
17Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: Intennasa, 1994 ), 77.
9
Namun demikian bukan berarti Istana hanya sebagai tempat bertahtanya
khalifah dan pemerintahannya saja,tempat ini pun sering kali dijadikan tempat
berkumpulnya para sastrawan,cendikiawan dan para ulama dari berbagai kota di
bagdad,18 untuk melakukan diskusi-diskusi dalam rangka memecahkan berbagai
persoalaan yang berkembang pada saat itu, baik persoalan pemerintahan maupun
non pemerintahan, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam.
Kegiatan tersebut sering kali dilakukan oleh khalifah al-Ma’mun ketika
menjalankan roda pemerintahannya. Sehingga pada masa ini dikenal dengan
sebutan the golden age of Islam (masa keemasan Islam),19 periode klasik.
Beliau adalah Abdullah abul Abbas al-Ma’mun yang dilahirkan pada tahun
170 H. di malam kemangkatan pamannya khalifah al-Hadi.20 Al-Ma’mun Bin
Harun al-Rasyid merupakan seorang pemimpin (Khalifah) urutan ke tujuh dari
khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas,21 dan mencapai puncak kejayaan
serta popularitas pemerintahan dinasti ini pada masa khalifah Harun al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya, al-Ma’mun (813-833 M).22
Al-Ma’mun yang memiliki nama lengkap Abu Ja’far al-Ma’mun bin
Harun al-Rasyid, orang barat menyebutnya almamon, ia dilahirkan pada tanggal
14 september 786 M. Ayahnya adalah Khalifah Harun al-Rasyid, sedangkan
ibunya seorang mantan budak yang bernama Marajil.
18M. Masyhur Amin, Dinamika Islam (Yogya: LKPSM, 1995), 95.
19M. Masyhur Amin, Dinamika Islam (Yogya: LKPSM, 1995), 95. Lihat juga, DidinSaefuddin Buchori, Sejarah Polotik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 77.
20A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I (Jakarta: Pustaka al Husna, 1993), 129.
21. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), 49. Khalifa-khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama adalah Abu al-Abbas as-Saffah(132-136 H./750-754M.), kedua, Abu Ja’far al-Mansyur (136-158 H./754-775 M.), ketiga, Al-Mahdi (158-169 H./777-785 M.), keempat, al-Hadi (169-170 H./785-786 M.), kelima, Harun ar-Rasyid, (170-193 H./786-809 M.), keenam, Al-Amin (193-198 H./809813 M.) dan ketujuh Al-Ma’mun (198-218 H./813-833 m.), as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, Al-Mas’udi, Muruj, jilid III-IV,dan Boswort, Islamic, 24. lihat juga, Didin saefuddin, Sejarah Politik Islam (Jakarta: PustakaIntermasa, 2009). 111-112.
22Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 52.
10
Lantaran sang ibu bukan dari keturunan Abbasiyah, maka pada tahun 802
M. Sang Ayah mewariskan singgasana kekhalifahannya kepada putranya yang
lain yang bernama al-Amin, sedangkan al-Ma’mun ditunjuk sebagai gubernur di
Khurasan, dan sebagai khalifah setelah al-Amin. Setelah khalifah al-Rasyid wafat
pada tahun 809 M. Hubungan ke dua saudara yang berlainan ibu itu menjadi
kurang baik.
Konflik hubungan yang kurang baik itu semakin memburuk setelah al-
Amin memecat al-Ma’mun dari posisi Gubernur di Khurasan, dan menunjuk
putranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khurasan. Al-Ma’mun
menganggap bahwa keputusan itu sebagi pelanggaran terhadap wasiat yang
diberikan Ayahnya Harun Al-Rasyid, sehingga keduanya melakukan perang
saudara, dengan bantuan pasukan Khurasan yang di pimpin oleh Thahir bin
Husain, akhirnya al-Ma’mun dapat mengalahkan pasukan al-Amin.
Al-Ma’mun dinobatkan menjadi khalifah, ketika beliau sedang berada di
Rayy pada tahun 198 H./813 M., akan tetapi beliau tetap bertempat tinggal di
Khurasan sampai tahun 204 H/819 M.23Beliau dikenal sebagai seorang khalifah
yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Sehingga pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing menjadi salah satu kebijakannya.
Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, beliau memberikan gaji yang
cukup besar kepada penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut
agama lain yang ahli di bidangnya. Beliau juga banyak mendirikan lembaga-
lembaga pengkajian ilmu pengetahuan dan penterjemahan, salah satu karya
terbesarnya yang tercatat dalam sejarah adalah pengembanagan bait al-Hikmah,24
suatu lembaga dan perpustakaan untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan
pada tahun 830 H. Lembaga ini dijadikan sebagai basis pengumpulan manuskrip-
23Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebuyaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 121.
24Dalam Bait al-Hikmah terdapat sebuah observatorium astronomi, wacana-wacana yangmenjadi objek penelitian dan penerjemahan adalah karya-karya tulisan Plato, Aristoteles,Hippocrates, Galen, Ptolemi dan lain sebagainya. Karya-karya mereka telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Lihat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 31.
11
manuskrip Yunani dan sekaligus merupakan pusat penterjemahan, dan juga
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.25
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun inilah. Baghdad mulai dikenal
menjadi pusat kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan.26 Meskipun pada masa-
masa sebelumnya, yaitu Ja’far al-Mansyur dan Harun al-Rasyid, sebagai
mendiang ayahnya telah banyak melakukan hal yang sama, akan tetapi belum
begitu terkenal seperti apa yang diperbuat oleh al-Ma’mun.
Kemasyhuran dan kepopuleran al-Ma’mun dalam bidang ilmu
pengetahuan dan kesusastraan pada masa pemerintahaannya terlihat jelas dalam
karya penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syalabi, bahwa Al-Ma’mun
merupakan salah satu diantara khalifah-khalifah terbesar dan orang-orang yang
paling bijak. Dia menggunakan beberapa sitem dalam pemerintahannya, antara
lain untuk mengembangkan pendidikan tentang ilmu filsafat dan studi sastra.
Untuk itu, Al-Ma’mun menyuruh agar seluruh hasil karya dari penelitian atau
sumber-sumbernya diterjemahkan ke dalam bahasa arab dan menerbitkannya. Dia
juga menguasai Evclides (ilmu ukur), dan mempelajari ilmu pengetahuan tentang
zaman purba (arkeoligi), serta mendiskusikan ilmu-ilmu pengetahuan lain dan
melindungi orang-orang bijak yang akrab dengannya.27
Kehausan al-Ma’mun akan ilmu pengetahuan mendorong dirinya untuk
menyibukan diri dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan filsafat.
Sementara untuk mengurus pemerintahannya, ia mempercayakannya kepada Fadl
bin Sahl yang di angkatnya sebagai panglima tertinggi.28
Hal senada diakui Langgulung, bahwa tampak ketika al-Ma'mun
memerintahkan untuk mengumpulkan kitab-kitab yang ada di daerah-daerah
kekuasaanya, seperti Syiria, Afrika, dan Mesir dalam menggantikan pajak-pajak,
selalu terlihat unta-unta yang memasuki kota Baghdad dengan membawa kertas
25Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 52.
26Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 52. lihat juga W Montgomery, 68.
27Ahmad Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), 140.
28Pujian dan sanjungan tentang sifat al-Ma’munoleh para sejarawan dapat dilihatJalaluddin as-Suyuthi, Ta>rikh al-Khulafa> (Kairo: Maktab an-Nahd}ah al-Misriyah, 1975), 487-489..
12
dan kitab-kitab. Sehingga di istana al-Ma'mun nampak seakan-akan menjadi
sebuah tempat pertemuan ilmu dan sastera, bukan sebagai pusat pemerintahan dan
Khalifah, sebab di sana berkumpul orang-orang yang terdiri dari guru-guru,
pengkritik-pengkritik, penterjemah dan komentator-komentator.29
Inilah yang merupakan salah satu faktor keberhasilan pemerintahan al-
Ma’mun dalam melaksanakan kebijakan pemerintahannnya. Sebagai seorang
pencinta ilmu, Al-Ma’mun tidak segan-segan memanggil para ulama (ilmuwan)
untuk bergabung dalam majelis (diskusi) di istananya. Bahkan istananya sering
kali dijadikan tempat untuk bermalam-malam (menginap) bagi para sastrawan
dan para ulama ahli ilmu untuk mengarang (membuat) buku dan menerjemahkan
buku-buku yunani kedalam bahasa Arab.
Salah satu pioner penerjemah pemikiran Yunani pada masa itu adalah
Abu Yahya al-Bithriq di bawah patronase al-Mansyur, ia telah menerjemahkan
karya-karya besar Galen, Hippocrates dan Ptolemi, Quadripartium. Karya besar
lainnya adalah Elements karya Euclid, dan al-majisthi (Mageste).30 Hunain bin
Ishaq, seorang Kristen Nestorian dari Hirah, yang telah menerjemahkan karya-
karya Yunani untuk khalifah al-Ma’mun. Buku-buku yang berhasil
diterjemahkannya hampir semuanya karya Galen (yang terdiri dari 20.000
halaman), karya Aristoteles; Catagories, Phisics, Magna Moralia dan
Hermeneutics, dari karya Plato; Republic, Times dan Laws. Dari karya-karya
Hippocrates, ia menerjemahkan Aphorisme, dari karya Diascorides, Materia
Medica, dan dari karya Ptolemi empat buku tentang astronomi dan kitab
perjanjian lama.
Sedangkan anak Hunain, yang bernama Ishaq, menerjemahkan karya-
karya Aristoteles, yaitu; Metaphisics, filsafat jiwa, De Generaione et De
Corruptione dan komentar Alexander mengenai karya-karya Aristoteles.
Dalam sejarah, pemerintahan al-Ma'mun dapat menjadi besar tidak
terlepas dari kebijakan-kebijakan pendahulunya yang telah lebih dahulu sukses
29Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna zikra, 2000), 85.
30Philip K. Hitti, History of Arab (London : MacMillan Press, 1974), 311.
13
dalam pemerintahannya, antara lain; Abu Ja'far al-Mansyur dan Harun al-
Rasyid.31
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, filsafat, kebudayaan dan
peradaban ini menjadi satu ciri yang menonjol pada masa dinasti Abbasiyah
dibandingkan dengan dinasti-dinasti Islam yang lainya.32
Ciri lain yang menonjol dari pemerintahan bani Abbas adalah
berpindahnya ibu kota pemerintahan ke Baghdad sehingga terjadi asimilasi antar
bangsa Arab dengan bangsa lain yang telah lebih dahulu mengalami
perkembangan ilmu pengatahuan, dan dalam penyelenggaraan negara adanya
sebuah jabatan wazir, yang membawahi departemen-departemen, serta
terbentuknya ketentaraan profesional baru yang sebelumnya tidak ada.
Menurut Didin kemajuan yang begitu pesat dibidang pendidikan dan Ilmu
pengetahuan sekurang- kurangnya dipengaruhi oleh tujuh faktor,33 sebagai
berikut :
1. Kontak antara Islam dan persia yang merupakan jembatan untuk
berkembangnya ilmu pengetahuan dan falsafat. Hal ini mengingatkan bahwa
secara kultural, Persia memang lebih banyak berperan dalam pengembangan
tradisi keilmuan Yunani. Salah satu lembaga yang berperan dalam penyebaran
tradisi helenistik (Yunani) di Persia adalah akademi Jundishapur, yang
merupakan warisan dari kekaisaran Sassaniyah. Selain itu ada pula
salonika,Creshipon dan Nishapur.34
31Kekayaan yang melimpah yang diwariskan kepada Harun al Rasyid dimamfaatkan bagikepentingan social,seperti membangun rumah sakit, membangun lembaga pendidikan untuk dokterdan farmasi, dan pada masanya paling tidak sudah terdapat lebih kurang 800 dokter. Di sampingitu ia juga membangun tempat-tempat pemamdian umum, maka tingkat kemakmuran yang palingtinggi telah terwujud pada masa pemerintahan ini, kesejahteraan,kesehatan,pendidikan,ilmupengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masainilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi di dunia.Lihat Badri yatim, Sejarah peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 52-53.
32Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009),101.
33Didin Saefuddin Buchori, Zaman keemasan Islam (Jakarta: Radja Grafindo Persada,2001), 148-150.
34Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 101.
14
2. Etos intelektual dan dukungan penuh para khalifah, terutama khalifah Harun
al-Rasyid dan Al-Ma’mun,35 terhadap ilmu pengetahuan sehingga dapat
dikatakan bahwa peradaban Islam diprakarsai oleh penguasa dan memperoleh
patronase penguasa yang dalam hal ini diawali pada masa pemerintahan
Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun.
3. Peranan keluarga Barmark yang mendapatkan tugas dari penguasa untuk
mendidik khalifah dan keluarga istana. Keluarga ini terkenal karena
kecerdasan dan keluhuran budinya, sehingga secara turun temurun banyak
waktu yang dicurahkan oleh keluarga ini untuk ikut mencerahkan intelektual
keluarga istana bani Abbas, bahkan kemudian dipercaya menjadi orang kedua
dalam pemerintahan sebagai wazir,36 Dinasti Abbasiyah sampai masa
kekhalifahan Harun al-Rasyid.
4. Kegiatan penerjemahan literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab
dengan secara besar-besaran dan didukung oleh alokasi dana yang cukup besar
pula yang disediakan khalifah.37
5. Relatif stabilnya kekuasaan dan tidak adanya pem,bukaan wilayah baru serta
hampir tidak adanya pemberontakan-pemberontakan yang merongrong
pemerintahan Abbasiyah.
35Dua khalifah ini memang paling menonjol diantara khalifah-khalifah yang lain,sehingga kedua khalifat ini dapat disebut sebagai khalifah paling besar. Banyak buku yang ditulissecara khusus mengenai khalifah tersebut, misalnya, Andre Clot, Harun al-Rasyid and the Word ofthe Thausand and One Nights (London: Saqi Book, 1989). Lihat juga Didin Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009). 101.
36Wazir adalah seorang yang dipercaya khalifah untuk memimpin sebuah lembaga yangdi namakan al-Wizarat. Lembaga dan jabatan ini dalam sejarah pemerintahan Islam baru adasetelah dibentuk oleh khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Wazir membawahi kepala-kepaladepartemen. Ia adalah seorang pembantu dan sekaligus penasihat utama Khalifah, di manatugasnya adalah mewakili Khalifah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan mengangkat parapejaban negara atas persetujuan kahalifah. Wazir berkedudukan sebagai kepala pemerintahanekseutif dan pemimpin pasukan militer. Lihat. Suyuti Pulungan, fiqih siyasah (Jakarta: RajawaliPres, 2002), 173.
37Diriwayatkan bahwa imbalan yang diberikan kepada para pennerjemah adalah berupaemas seberat buku yang diterjemahkan. Para penerjemah berasal dari kalangan Muslim dan non –Muslim. Kendati demikian, justru penerjemah yang paling terkenal adalah dari kalangan non-Muslim sepertiu; Hunain bin Ishak dan tsabit bin Qurrah. Lihat. Didin Saefuddin Buchori, SejarahPolitik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 102.
15
6. Adanya kebuyaan yang heterogen di Baghdad, sehingga menimbulkan proses
interaksi antara satu budaya dengan budaya yang lain.38
7. Situasi sosial Baghdad yang kosmo polit di mana berbagai macam suku, ras
dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain,
mendorong pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.39
Ketujuh faktor inilah yang mendorong tercapainya kemajuan yang begitu
pesat di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan yang diraih pada masa dinasti
Abbasiyah terutama pada masa Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun.
Dalam sejarah, pemerintahan al-Makmun bisa menjadi besar tidak terlepas
dari kebijakan-kebijakan pendahulunya yang telah sukses dalam
pemerintahannya, antara lain; Khalifah abu Ja’far al-Mansyur dan Khalifah Harun
al-Rasyid.40
Ayahnya, Harun al-Rasyid cukup berhasil dalam bidang keuangan negara
dan pembangunannya. Keduanya mempunya peranan yang cukup besar untuk
kemajuan, bukan saja pada bidang memperluas wilayah kekuasaan, melainkan
juga dalam hal meningkatkan penerjemahan-penerjemahan terhadap filsafat
yunani dengan segala aspeknya kedalam bahasa Arab.41
Keberpihakan khalifah – pada masa klasik tersebut – terhadap ilmu
pengetahuan membawa suasana baru dan mendapat dukungan serta perhatian
38Dibaghdad terdapat empat kebudayaan yang berlainan, yaitu kebudayaan Arab, Persia,Yunani dan Hindu. Lihat Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: PustakaIntermasa, 2009), 102.
39Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 102.
40Kekayaan yang banyak dimamfaatkan oleh khalifah Harun al-Rasyid untuk keperluansocial, antara lain; membangun rumah-rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Padamasa pemerintahannya sudah terdapat paling tidak sekitar 850 dokter. Di samping itu jugamembangun tempat-tempat pemandian ( sebagai fasilitas) umum. Tingkat kemakmuran yangpaling tinggi terwujud pada masa khalifah ini, antara lain; kesejahteraan, kesehatan, pendidikan,ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada masa keemasannya. Pada masainilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Lihat BadriYatim, Sejarah Pradaban Islam (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000), 52.
41Diantara buku-buku filsafat yang di terjemahkan pada masa khalifah al-Mansyur adalahbuku-buku logika, kemudian pada masa al-Ma’mun dilakukan penerjemahan terhadap buku-bukufilsafat yang lain, seperti ketuhanan, etika dan psikologi. Lihat, A. Hanafi, Pengantar FilsafatIslam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 41. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagaiaspek (Jakarta: UIP, 1985), 68.
16
penuh terhadap kegiatan-kegiatan intelektual Islam. Menurut hanun, umat Islam
pada saat itu juga memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pemikiran yang
rasional dan filosofis. Akibatnya, terjadi perkembangan dalam bidang keagamaan,
yang sebelumnya dominan bersumber dari doktrin agama, kemudian
dikembangkan secara nalar dan filosofis sehingga muncul pembagian terhadap
ilmu-ilmu naqliyah dan ilmu-ilmu aqliyah.42
Khalifah al-Ma’mun telah menjadikan pemerintahannya mencapai
kemajuan yang luar biasa yang ”belum pernah” dialami oleh para pendahulunya.
Beliau memadukan antara keunggulan ilmu pemgetahuan dan teknologi serta
agama dalam rangka mengemban amanat. Karenanya, ia percaya bahwa ahli ilmu
merupakan sekelompok hamba Allah yang terpilih diantara hamba-hambanya.
Itu karena ahli-ahli ilmu laksana tentara dan pemimpin umat manusia yang kalau
mereka lenyap dunia akan kesepian.43
Kecintaan dan kekaguman al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan telah
ditanamkan dan tumbuh sejak masih kanak-kanak. Menurut Ahmad syalabi dalam
bukunya ”Sejarah Kebudayaan Islam” mengatakan bahwa diantara faktor yang
menjadikan sebutan al-Ma’mun adalah keintelektualannya dan kecintaannya
terhadap Ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya itulah yang telah meletakkan
dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah.44
Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para
ilmuwan dari beragam Agama untuk datang kebait al-Hikmah. Al-Ma’mun
menempatkan para intelektual itu dalam posisi yang sangat mulia dan sangat
terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus, astronom,
ahli hukum serta para sarjana yang mengusai ilmu lainnya digaji dengan bayaran
yang sangat tinggi.
Dengan insentif dan gaji yang sangat tinggi itu, para ilmuwan tersebut
dipacu semangatnya untuk terus menterjemahkan beragam teks ilmu pengetahuan
42Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 103.
43Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), 85.
44Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, terj. (Jakarta: Bulan Bintang,1991), 190.
17
dan karya-karya dari berbagai bahasa seperti, Yunani dan sansekerta ke dalam
bahasa Arab. Bahkan demi perkembangan ilmu pengetahuan khalifah al-Ma”mun
rela mengirimkan utusannya untuk pergi ke Bizantium guna mengumpulkan
beragam manuskrip yang termashur untuk di terjemahkan kedalam bahasa Arab.
Di Bait al Hikmah ini, Ia mengumpulkan berbagai buku (sumber) tentang
ilmu pengatahuan, sehingga pada zamannya itulah lahir tokoh-tokoh filosof Arab
yang agung, yaitu Abu Ya’kub bin Ishaq al-Kindi (180- 258H./ 796-873 M.) yang
telah menulis beberapa buku tentang ilmu pengetahuan. Al-farra, (w. 820 H),
seorang ahli filologi yang telah menuliskan buku untuk al-ma’mun dan
mendiktekan secara umum tentang tafsir al-Qur’an.45
Selain al-Kindi dan al-farabi, banyak lagi tokoh-tokoh lain yang muncul
ketika al-ma’mun memerintah. Di antara tokoh-tokoh utama dalam kerajaan al-
Ma’mun antara lain; Yahya bin Aktam yang menjadi Qadhi Qodhat (Hakim
Agung), juga seorang ahli hadits yang terkemuka. Ahmad bin Daud al-Mu’tazilah,
seorang alim yang disegani di istana.46 Tokoh-tokoh ini telah memdapatkan
pendidikan klasik dengan baik, mereka merupakan para ahli dibidang filsafat
yunani, fiqih dan ilmu-ilmu agama adalah berkat kemudahannya dalam
mempelajari ilmu-ilmu asing kedalam bahasa mereka (Arab).
Tidak dapat dielakan lagi bahwa penerjemahan buku karya-karya
pemikiran yunani telah menyebabkan semaraknya dunia ilmu pengetahuan Islam
di masa klasik. Hal ini mengakibatkan pada kegairahan gerak ilmiah secara
Liberal, bebas. Dan berimbas kepada kebebasan terhadap materi pendidikan, baik
pendidikan agama maupun pendidikan filsafat. Walapun pendidikan di masa
klasik ini tidak sekompleks pendidikan modern, namun pendidikan Islam klasik
dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan sepanjang
sejarah.
Menurut Watt, sebelum munculnya penerjemahan buku-buku Yunani,
memang telah terjadi kegiatan intelektual yang gencar dikalangan orang-orang
45J. Pederson, Fajar Intelektualisme Islam (Bandung: Mizan, 1996), 72.
46Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, terj. (Jakarta: Bulan Bintang,1991), 141.
18
Islam, terutama mengenai masalah-masalah fikih.47 Dengan demikian etos
intelektual memang sudah ada dikalangan umat Islam sebelum penterjemahan
berlangsung.
Sejak permulaan penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan
Islam mengalami kemajuan cukup pesat baik dalam materi pengajaran
(kurikulum) maupun lembaga pendidikannya,48 misalnya Bait al-Hikmah, menjadi
pusat kegiatan ilmiah.49 Hal ini disebabkan karena peran kebijakan yang terapkan
oleh khalifah al-Ma’mun yang di anggap tepat dan cukup gemilang pada saat itu.
Menurut Mehdi Nakosteen, gerakan penerjemahan yang berlangsung di
Baghdad tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan yang sebelumnya
dilakukan pada masa kekaisaran Sassaniyah, yakni yang berpusat disebuah
akademi yang bernama jundishapur.50
Gelombang Hellenisme,51 merupakan akibat yang wajar dari hasil kegiatan
penerjemahan karya-karya Yunani kuno kedalam bahasa Arab. Meskipun hal itu
nampaknya telah dirintis sejak zaman Bani Ummayah di Damaskus – misalnya,
47W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Terj. Hartono Hadikumoro (Yogyakarta: TiaraWacana, 1990), 139.
48Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 43.
49Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23
50Jundishapur adalah sebuah lembaga akademi yang merupakan pusat kegiatanpenerjemahan buku karya-karya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani serta Hindu ke dalambahasa Pahlavi dan Syiria ke dalam bahasa Arab, lihat. Mehdi Nakosteen, History of IslamicOrigins of Western Education AD 800-1350. terj. Joko S. Kahar. (Colorado: University ofColorado Press, 1964), 33.
51Menurut Nurcholis Madjid, istilah “Hellenisme” pertama kali diperkenalkan oleh ahlisejarah dari Jerman, J.G.Droysen. Droysen menggunakan istilah “Hellenisme” sebagai sebutanuntuk masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani kuno dan dunia Kristen.Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang MasalahKeimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:Paramadina, 1995, hal. 233. Berbeda denganDroysen, beberapa ahli sejarah, seperti Bernard Lewis dan Philip K. Hitti, menggunakan istilah”Hellenisme” sebagai sebutan un tuk adopsi peradaban Yunani Kuno maupun peradaban Yunanipada masa sesudah meninggalnya Alexander Agung. Peradaban Hellenisme dapat dibedakan atasperadaban Hellenis dan Hellenistik, yang berasal kata “Hellene” yang artinya Greek atau Yunani.Hellenis adalah peradaban Yunani Kuno mulai 776 S>M.sampai meninggalnya Alexander Agungpada tahun 323 S.M. Sedangkan Hellenistik adalah peradaban Yunani pada masa sejakmeninggalnya Alexander Agung sampai berkuasanya Romawi atas wilayah-wilayah Hellenistik,Lihat Edward Mc Nall Burns dan Philip Lee Ralp, Civilizations from ancient to Contemporary(New York: W.Norto and Company, Inc, 1963), 246-247.
19
disebut-sebut bahwa khalifah Ibn Yazid (w. 84 H./704 M.), seorang putera
khalifah yang klaim kehalifahannya ditolak, telah mencurahkan perhatiannya
kepada pengkajian filsafat – akan tetapi gerakan penerjemahan itu sendiri baru
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun yang berpusat
di Baghdad dengan menganut faham Mu’tazilah.52
Pemikiran Hellenistik pertama kali menjadi perhatian umat Islam setelah
mereka tertarik kepada Teologi.53 Perdebatan antara umat Islam dan Kristen yang
dilaksanakan di majelis-majelis oleh khalifah-khalifah Dinasti Umayyah,
menyebabkan umat Islam mengenal kebudayaan Hellenistik.Ketertarikan umat
Islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan penerjemahan buku-buku
yunani kedalam bahasa Arab.
Ketertarikan berikutnya adalah dengan terjadinya kontak yang semakin
dekat, dan khalifah al-Manshur memindahkan pusat pemerintahannya ke
Baghdad, dekat ibu kota Persia, Ctesiphon, sekitar 762M.54
Berkat kebijakan dalam memerintah dan jasanya dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan memajukan ”Pendidikan Islam”, maka al-Ma’mun pantas
dimasukan kedalam daftar khalifah besar Dinasti Abbasiyah. Menelusuri jejak-
jejak sejarah kepiawaian al-Ma’mun sebagai seorang khalifah besar Daulat Bani
Abbasiyah dalam mengelola kebijakan negara, terutama dalam memajukan
peradaban dan kebudayaan klasik dengan semangat menggali budaya-budaya
asing; Helenistik, Persia dan Yunani melalui penterjemahan-penterjemahan dan
membangun lembaga observatory, sehingga dapat mengantarkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan pendidikannya menghasilkan sebuah peradaban yang gemilang
saat itu.
52Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23.
53Gelombang Hellenisme pertama bersentuhan dengan pemikiran Islam memang lebihbanyak terlihat dalam pemikiran teologi. Lihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi danFilsafat Islam, (Jakarta: P3M., 1987), 54-113.
54Pemindahan ibu kota ke Baghdad dikarenakan merasa kurang aman berada di tengah-tengah orang Arab yang selalu berebut kekuasaan. Lihat Hanun, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta: Kalimah, 1999), 29.
20
Salah satu usaha keseriusan al-Ma’mun dalam pengembangan ilmu
pengetahuan adalah dengan mengembangkan Bait al-Hikmah. Lembaga ini
kemudian difungsikan sebagi pusat penerjemahan buku-buku sains dari Yunani,
dan untuk menambah leterature lembaga tersebut maka al-Ma’mun mengurimkan
utusannya ke Bizantium untuk memperoleh manuskrip-manuskrip Yunani.
Diantara penerjemah terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Masawaih, al-
Hajjaj bin Mathar, dan Yahya bin al-Bittriq.55
Diantara karya-karya terjemahan yang ada adalah karya Yahya bin al-
Bittriq (Galen, Hippocrates, dan Ptolemi tentang Quardripartium, dan karya
Euchid tentang Elements), karya Hunain bin Ishaq atau Joantitus, seorang kristen
Nestorian dari Hirah (Galen, Aristoteles tentang Catagories, Phisic, Magna
Moralia, dan Hermeneutics, Plato tentang Republik, Timeus, The Laws, dan
Hippocrates tentang aphorisme, Diascorides tentang Materia Medica, Ptolemi
tentang Astronomi), karya anak dari Hunain (Aristoteles Metaphisics, Filsafat
jiwa, De Generatione at De coruptione, dean komentar dari Alexander terhadap
pemikiran aristoteles).56
Menurut Stanton, sampai akhir abad ke 10, hampir semua karya-karya
yang terkenal di museum Hellenistik telah diterjemahkan seluruhnya ke dalam
bahasa Arab. Mengngat betapa besarnya perhatian al-Ma’mun terhadap ini, maka
Bernard Lewis menyatakan bahwa Islam merupakan pewaris pusaka Hellenisme
ketiga setelah Greek dan Latin Christendom, dengan melakukan penerjehan secara
besar-besaran karya-karya warisan Yunani kedalam bahasa Arab.57
Demikian berkembangnya penerjemahan pada masa al-Ma’mun,sehingga
jumlah karya-karya Yunani telah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dengan sangat berlimpah, oleh sebab itu, akhir abad ke sembilan belas hampir
55Philip K. Hitti, History of Arab (London: Macmillan Press Ltd., 1974), 310.
56Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Islam Klasik(Bandung: Angkasa, 2004), 184.
57Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Jamhuri (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1988), 140.
21
semua karya-karya yang diketahui dari museum Hellenistik telah tersedia bagi
ilmuwan-ilmuwan Muslim.58
B. PERMASALAHAN
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana di jelaskan di atas,
maka penelitian yang berjudul” Pengaruh kebijakan al-Ma’mun terhadap
kemajuan Pendidikan Islam” merupakan keingin tahuan penulis untuk
mengungkapkan dan mengidentifikasi langkah-langkah kebijakan strategis apa
saja yang telah diambil khalifah al-Ma’mun pada masa pemerintahannya,
sehingga bisa mencatatkan dirinya pada puncak daftar khalifah-khalifah besar
dinasti Abbasiyah,59 dan membawa pencerahan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan dunia pendidikan Islam pada umumnya.
Pada umumnya para pakar sejarah (Charles Michael Stanton dan W.
Montgomery, Watt) baik peneliti atau pun penulis sejarah memberikan penilaian
bahwa; pada masa Daulah Abbasiyah (terutama pada masa pemerintahan khalifah
Harun al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun) inilah telah tercapai Era Keemasa
Islam (The Golden Age of Islam) dalam rentang waktu yang panjang.
Didin Saefuddin Buchori, setidaknya mencatat ada tujuh faktor yang
mendukung keberhasilan khalifah al-Ma’mun dalam membawa kemajuan ilmu
pengetahuan dunia pendidikan Islam.60
Prestasi yang diraih oleh khalifah al-Ma’mun itulah yang mendorong
penulis untuk melakukan penelitian tentang upaya kebijakan apa sajakah yang
telah dilakukan pada masa pemerintahannya dan apa kontribusinya terhadap
kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
58Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, alih bahasa H. Affandi danHasan Asari (Jakarta : Logos Publishing Housa, 1994), 83.
59Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal.190.
60Didin Saefuddin Buchori, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Radja Grafindo Persada,2001), 148-150.
22
2. Pembatasan Masalah
Tesis yang berjudul ”Kebijakan al-Ma’mun tentang Pendidikan” ini
penulis kemukakan beberapa model kebijakan pemerintahan Khalifah al-
Ma’mun dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
pendidikan Islam yang penulis anggap baik dan representatif.
Ada beberapa jenis kebijakan politik yang dapat memberikan pengaruh
positif terhadap umat Islam pada masa itu, seperti tentang pemindahan
pemerintahan kota, kebijakan tentang upaya memajukan ilmu pengetahuan dan
pendidikan, kebijakan tentang pemberlakuan mihnah,61 dan menjadikan faham
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara. Serta kebijakan internal dalam upaya
mendamaikan keluarga bani hasyim.
Ada pun jenis kontribusi dari kebijakan tersebut dapat di gambarkan
menjadi dua, yaitu: Pertama, kontribusi terhadap pendidikan yang ada adalah
meliputi; materi (kurikulum) pendidikan, membangun perpustakaan, Bait al-
Hikmah dan Observatorium. Kedua, kontribusi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan yang meliputi; gerakan penerjemahan, mengembangkan diskusi-
diskusi dan melegalisasi faham rasionalisme Mu’tazilah menjadi mazhab resmi
negara.
Jenis-jenis kebijakan dan kontribusinya inilah yang akan penulis paparkan
dalam tesis. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dalam tesis ini lebih terfokus
terhadap Kebijakan Kahalifah al Ma’mun dan kontribusinya terhadap kemajuan
pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam yang tidak terlalu melebar,
sehingga dapat diketahui batasan-batasan yang jelas dalam penyajian tesis ini.
61Secara fenomenologi,Mihna dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telah terjadisebelum masa al-Ma'mun. jahm Ibn Sofwan dihukum mati karena ia membawa paham sendiri,Ma'bad al-Juhani dihukum mati karena melahirkan paham Qadariyah pada masa khalifah abdulMalik ibn Marwan pada tahun 80 Hijriyah, ghaylan al-Dimasyqi juga dihukum mati oleh Hisyamibn Abdul Malik pada tahun 105 H. lihat, Ahmad Amin, D}uha al-Islam (Kairo:al- Nahdah al-Misriyah), 162, dan Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),14, Semacam ujian untuk meyakinkan paham/keyakinan terhadap orang lain.
23
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan sebagai mana di paparkan di atas, maka
pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan pemerintah al-Ma’mun tentang pendidikan.
2 Apa kontribusinya terhadap kemajuan pendidikan.
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian yang mengkaji mengenai kekhalifahan dinasti Abbasiyah
memang sudah banyak dilakukan oleh para ahli sejarah dan disiplin ilmu lainnya
di seluruh penjuru dunia, akan tetapi penelitian yang secara mendetail mengenai
kebijakan yang diterapkan oleh khalifah al-Ma’mun terhadap kemajuan
pendidikan (Rasionalisme pendidikan) hemat penulis masih cukup sedikit
sehingga sampai penulis memulai penyususnan proposal tesis ini penulis merasa
belum cukup banyak membacanya.
Namun demikian masih tetap diperlukan sebuah kajian yang secara khusus
membahas mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh khalifah al-
Ma’mun pada saat itu, sehingga pada masa itu umat Islam tergerak untuk bangkit
mempelajari ilmu pengetahuan, bahkan akhirnya bisa membawa Islam kepada
puncak keemasannya.
Penulisan tesis ini lebih diarahkan kepada penelitian kepustakaan (library
riset) mengenai langkah-langkah kongkrit kebijakan yang diambil oleh Khalifah
al-Ma’mun pada masa pemerintahannya. Sehingga dengan kebijakan-kebijakan
itu al-Ma’mun mampu mengankat Islam untuk mencapai punjak keemasannya,
terutama pada bidang Ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Dalam hal ini menurut penulis penelitian terdahulu yang dianggap relevan
diantaranya :
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam. The Clasical Periode,
A. D. 700-1.300. Rowman & littlefield Publisher, Inc. 1990. Mencoba untuk
membuktikan kaitan yang jelas antara kemajuan berbagai cabang ilmu
pengetahuan (sains) dalam peradaban Islam dengan lembaga Pendidikan Islam.
24
As-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, Bairut Dar al-Kutub, menyatakan ;”al-
Ma’mun adalah seorang tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan,
kehebatan, kesabaran dan kecerdasannya,”sehingga dapat menghantarkan
pemerintahannya mencapai puncak keemasan Islam.
Didin Saefuddin Buchori, Zaman keemasan Islam, Pustaka Intermasa.
2001. menjelaskan bahwa peradaban Islam pada periode ini juga dibuktikan
dengan banyaknya lembaga pendidikan dan pusat pendidikan, baik dalam bidang
keagamaan maupun ilmu pengetahuan umum, dan telah melahirkan banyak tokoh
intelektual Islam yang sangat penting dan berpengaruh bagi peradaban modern.
D. Tujuan Penelitian
Ada pun yang menjadi tujuan dari penulisan tesis ini, dapat penulis
kemukakan sebagai berikut :
Pertama, untuk memberikan informasi dan padangan tertentu bahwa al-
Ma’mun bin Harun al-Rasyid merupakan seorang tokoh dan sekaligus ulama-
cendikiawan, sehingga beliau diberi julukan oleh umat Islam sebagai ” orang
besar” (The Great), yang telah menghantarkan umat Islam untuk mencapai masa
keemasannya.
Kedua, memberikan informasi seobyektif mungkin, bahwa tidak selalu
benar, ada anggapan kalau pola kepeminpinan para khalifah bani Abbasiyah yang
keturunan arab bersifat eksklusif dan monarkhis. Hal ini setidaknya dibuktikan
oleh salah satu pemimpin yaitu khalifah ke-7 bani Abbasiyah yakni al-Ma’mun
bin Harun al-Rasyid mampu menampilkan gaya kepemimpinan yang merakyat
dan egaliter dapat diterima kalangan manapun baik Arab maupun non Arab.
Sehingga mampu mengankat pemerintahannya mencapai punca kejayaannya..
Ketiga, memberikan gambaran bahwa kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintahan al-Ma’mun mampu memberikan dinamika ilmiah yang cukup ideal
pada saat itu, sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh kedua
pendahulunya; yakni al-Mansyur dan Harun al-Rasyid dalam memprioritaskan
aspek peradaban Islam, yaitu: pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui kegiatan
penerjemahan karya-karya yunani dan pengembangan ilmu-ilmu lainnya.
25
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan mengenai kebijakan yang ditempuh
khalifah al-ma’mun pada masa pemerintahannya sehingga membawa kemajuan
terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan ini diharapkan dapat bermamfaat
umumnya bagi para pembaca sebagai bahan kajian/pemikiran bagi yang akan
melakukan kajian/penelitian lebih lanjut, dan juga bagi para pengambil kebijakan
di bidang pendidikan Islam di Indonesia mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi
sumber inspirasi dalam menentukan arah kebijakan pendidikan Islam di Indonesia
agar pendidikan Islam khususnya dan pendidikan pada umumnya yang ada di
tanah air ini bisa bangkit dan lebih baik dari saat ini.
Penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan motivasi dan menambah
khazanah keilmuan bagi peneliti khususnya dan bagi teman-teman pendidik untuk
mendapatkan informasi yang seobyektif mungkin mengenai pola-pola
kepemimpinan bani abbasiyah terutama pada masa pemerintahan khalifah al-
Ma’mun, sehingga sanggup membawa dunia Islam mencapai puncak
keemasannya, terutama dalam bidanmg ilmu pengetahuan dan pendidikan.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode, seperti
metode historis, library riset dan conten analisis. Maksud dari setiap metode dan
penerapannya secara ringkas dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kesejarahan (historical
approach) yang terpokus kepada penelitian tentang biografis, yakni penelitian
tentang pendidikan seseorang, sifat-sifat, watak, pengaruh pengaruh lingkungan
maupun pemikiran dan ide-ide dari subjek serta pembentukan karakter tokoh.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengkaji biografi al-Ma’mun, situasi dan
kondisi yang dimungkinkan untuk ikut serta mempengaruhi pola pengambilan
kebijakan-kebijakannya dalam melaksanakan pemerintahannya.
26
Teknik analisis62 penelusuran data dalam penelitian ini menggunakan cara
library research, yakni dengan mengkaji karya-karya ahli sejarah dan pendidikan
tentang al-Ma’mun untuk memperolah data mengenai kebijakan yang diterapkan
al-Ma’mun dan kontribusinya terhadap kemajuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan dalam peradaban Islam secara lengkap.
Disisi lain juga dalakukan penelusuran data yang sama dalam rangka
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai lembaga-lembaga
pendidikan dan ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu.
Ditinjau dari sifatnya ini, kemudian penulis menggolongkan data tersebut
kedalam katagori penelitian kualitatif dengan prosedur kegiatan dan teknik
penyajian hasil finalnya secara deskriptif.
Adapun teknik penulisan tesis ini mengacu kepada buku pedoman
penulisan karya ilmiah (makalah,tesis dan disertasi) Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010 – 2011.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini mengikuti kepada buku pedoman penulisan karya
ilmiah (karya ilmiah,tesis dan disertasi) yang diterbitkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sebagai mana lazimnya sebuah tesis atau buku,
pembahasan dalam tesis ini dibagi ke dalam beberapa bab yang saling
berhubungan satu bab dengan bab selanjutnya. Penelitian ini dibagi menjadi lima
bab yang terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan, dan satu bab
penutup, dengan komposisi sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang di dalamnya akan dijelaskan
mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
telaah kepustaan, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
62 Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untukmemperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metoda pengumpulan data denganmasalah penelitian yang akan di pecahkan, masalah memberi arah dan mempengaruhi metodapengumpulan data. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik serta alat pengumpulan dataakan memungkinkan untuk tercapainya pemecahan masalah secara valid dan realiable serta dapatdirumuskan secar obyektif.
27
Pada bab dua ini akan diuraikan tentang hubungan negara dan
pendidikan dalam pemerintahan al-Ma’mun yang meliputi; kekuasaan dan
pendidikan, kebijakan pendidikan dan hakikat pendidikan.
Pada bab tiga akan dijelaskan mengenai perkembangan lembaga-
lembaga pendidikan sebelum al-Ma’mun yang berhubungan dengan masdjid,
maktab, toko-toko buku atau kedai dan majlis-majlis, serta perkembangan ilmu
pengetahuan sebelum masa pemerintahannya.
Pada bab empat ini akan diuraikan tentang perkembangan lembaga
pendidikan pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang meliputi; perpustakaan, bait
al-hikmah dan observatorium, dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
kontribusinya pada masa pemerintahannya yang meliputi; gerakan penerjemahan,
mengembangkan diskusi-diskusi dan mengembangkan faham rasionalisme
Mutazilah.
Pembahasan berikutnya berupa pembahasan terakhir atau bab penutup,
yang di dalamnya akan disajikan mengenai kesimpulan dari permasalahan yang
telah di bahas dalam tesis ini dan daftar pustaka.
28
BAB II
HUBUNGAN NEGARA DAN PENDIDIKAN
DALAM SEJARAH ISLAM
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang
sangat menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakat itu sendiri,
oleh karena, pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan secara sadar
untuk melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi muda sebagai
pewaris itu semua.
Demikian pula halnya di kalangan umat Islam, pendidikan Islam
mempunyai peranan yang sangat penting, peran pendidikan dikalangan umat
Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk
melestarikan, mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan
mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam kepada pribadi-pribadi generasi
penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap
berfungsi dan berkembang dalam kehidupan dimasyarakat dari waktu ke waktu.
Dengan istilah lain pendidikan Islam mempunyai peran untuk menanamkan,
mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi
manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Guna mewujudkan itu semua, maka tanggung jawab terhadap Pendidikan
tidak dapat dibebankan kepada salah satu pihak saja, malainkan semua pihak
harus terlibat dalam hal Pendidikan. Dengan kata lain tanggung jawab Pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, diri sendiri, sekolah,
masyarakat dan pemerintah (Negara).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Negara mempunyai hubungan
yang signifikan dengan Pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut.
Oleh karena itu pada bab ini akan diuraikan mengenai perkembangan
pembentukan pemerintahan Islam pada masa Nabi Muhammad Saw.dan kaitannya
dengan perkembangan Pendidikan masa Islam pertama, kebijakan Pendidikan
dan hakikat Pendidikan.
29
A. Kekuasaan dan Pendidikan.
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan struktur kekuasaan di dalam
masyarakat, kekuasaan yang mengabaikan atau merampas hak-hak asasi manusia
akan menyebabkan terhambatnya perkembangan manusia. Oleh sebab itu, peran
pemerintahan dalam pendidikan sangat menentukan, terutama dalam
mempasilitasi terciptanya kemerdekaan individu yang sejati, dimana setiap
individu berhak untuk dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama
memecahkan masalah bersama.
Di sini kita akan melihat betapa peran pentingnya pendidikan bagi rakyat
yang merupakan dasar bagi rakyat untuk dapat berkembang. Pendidikan
merupakan alat penting dalam proses kesetaraan dan kesejahteraan anggota
masyarakat dalam arti semua orang mempunya kesempatan yang sama untuk
berkembang.
Di bawah ini akan diuraikan mengenai proses terjadinya pendidikan dan
kaitannya dengan pemerintahan pertama dalam Islam, serta konep-konsep tentang
pendidikan dari beberapa tokoh pendidikan.
1. Bentuk pemerintahan dan Pendidikan Islam
Bentuk pemerintahan Islam yang dibangun pertama kali oleh Nabi
Muhammad saw. di Madinah, bukanlah berbentuk kerajaan atau kekaisaran
seperti yang di anut oleh dua kekuasaan yang telah ada pada saat itu, yaitu
Kekaisaran Sasaniyah di Persia dan Kekaisaran Romawi Timur di Bizantium.
Akan tetapi, pemerintahan yang dianut Nabi pada waktu itu, sudah bisa dikatakan
pemerintahan yang cukup ideal atau sudah modern untuk ukuran saat itu.
Tatanan sosial politik yang dibangun Nabi Muhammad telah membuat
kagum umat Islam dan sekaligus para ahli peneliti tentang Islam. Fenomena ini
menurut Antony Black, merupakan sebuah gambaran yang menggambarkan
kesuksesan besar yang tidak dapat dicapai oleh kebanyakan revolusi.63
63Antony Black, Pemikiran Politik Islam, terj. Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2006),36.
30
Kenyataan bahwa Nabi Muhammad, memimpin negara dan kekuasaan
agama secara sekaligus, merupakan implementasi dari nilai-nilai ajaran agama
Islam yang mengungkapkan mengenai kesatuan antara agama dan kekuasaan,
antara yang sakral dan frofan, antara dunia dan akhirat.
Bagaimana Nabi bisa membentuk pemerintahan yang demikian ideal, dan
bagaimana perjuangnnya dalam melakukan penataan sosial politik masyarakat
setelah ditetapkan sebagai nabi dan rasul di tanah kelahirannya Mekah, maka
perlu diperhatikan beberapa aspek geografi, etnografi, dan antropolgi bangsa Arab
pada masa pra Islam.
Jazirah Arab adalah sebuah wilayah yang dipenuhi oleh padang pasir.
Menurut bahasa kata ”Arab” berarti juga padang pasir, tanah gundul, dan
gersang yang tiada air dan tanamannya.64 Luas wilayah jazirah arab kurang lebih
1.100.000 mil persegi atau 3.156.558 kilo meter persegi, yang terletak antara
Benua Asia dan Benua Afrika. Sebelah barat daerah Arab dibatasi oleh laut
merah, dan sebelah timur dibatasi oelh teluk Persia atau laut Oman atau sungai
Daljah (Tiggris) dan Furrat (Euphraat). Sedangkan disebelah selatan dibatasi oleh
samudra Hindia dan sebelah utaranya oleh Sahara Tiih, yaitu lautan pasir yang ada
di antara Negeri Syam dan sunga Furrat. Itulah sebabnya daerah Arab ini terkenal
sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul Arabiyah.65
Jazirah Arab ini dibagi atas dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian
tepi. Bagian tengah ini terdiri dari tanah pegunungan yang amat jarang dituruni air
hujan. Penduduknya sedikit dan terdiri atas kaum pengembara (nomaden) yang
selalu berpindah-pindah tempat menuruti turunnya hujan dan mencari padang-
padang yang banyak ditumbuhi rumput untuk menjadi tempat menggembalakan
ternak, dan penduduknya di kenal dengan sebutan kaum badui, yaitu penduduk
gurun.66
64Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suhardi(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), 25.
65Munawar Chalil, Kelengkapan Ta>rikh Nabi Muhammad Saw. (Jakarta: Gema InsaniPress, 2001), 13.
66Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 3.
31
Menurut Hussein Haikal,67 dasar hidup pengembaraan tersebut adalah
kabilah. Kabilah-kabilah, yang selalu berpindah-pindah dan sering mengembara
itu, tidak mengenal suatu peraturan atau tata cara seperti yang kita kenal sekarang,
melainkan hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan
kebebasan kabilah yang penuh. Mereka tidak mempedulikan kemewahan, hidup
untuk menetap, serta tidak tertarik kepada apa pun termasuk pendidikan selain
kebebasan. Mereka hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan
anggota-anggota kabilahnya, oleh karena itu mereka tidak menyukai ketidak
adilan yang ditimpakan kepada mereka, dan mereka mau melawannya mati-
matian kalau pun tidak, mereka akan pergi meninggalkannya.
Oleh karena itu, penduduk padang pasir ini mempunyai sifat pemberani,
karena memang dalam hidupnya banyak sekali mengalami berbagai tekanan dan
kesulitan, sehingga menimbulkan keberanian. Akan tetapi, keberinian ini sering
disalah gunakan, diantaranya adalah untuk memerangi penduduk yang menempati
daerah yang subur, oleh sebab itu, sering terjadi peperangan merebut daerah-
daerah yang subur.68
Ada pun bagian tepi merupakan sebuah pita kecil yang melingkari Jazirah
itu, di sini, boleh dikatakan hujun turun dengan teratur, oleh karena itu
penduduknya tidak ada yang mengembara, melainkan menetap disitu. Mereka
mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan, serta sempat pula membina berbagai
kebudayaan. Mereka ini biasa disebut ahlul h}ad}ar (penduduk negeri).69
Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Jazirah Arab di antaranya
Kerajaan Yaman, Kerajaan Saba, Kerajaan Himyar, Kerajaan Hirah dan Kerajaan
Ghassan. Kerajaan-kerajaan tersebut telah berperan penting dalam menyebarkan
kebudayaan Persia dan Romawi di Jazirah Arab. Di antara jenis kebudayaan yang
67Muhammad Hussen Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Bogor: LiteraAntarnusa, 2001), 14-15.
68Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Rizqi Putra, 2009), 14.
69Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 4.
32
di bawa dari Persia dan Romawi itu antara lain, agama, ilmu pengetahuan, budaya
tulis baca dan kemiliteran,70
Jadi, jika dilihat dari segi pemukiman penduduk, maka bagsa Arab ini
terbagi dua, yaitu bangsa yang bemukim di desa-desa yang ada di padang pasir,di
dekat-dekat pegunungan yang hidupnya selalu berpindah-pindah, dengan jumlah
penduduk yang cukup besar. Dan mereka yang bermukim di kota-kota, yang
sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, dan suka bepergian
keluar negeri secara individual.akan tetapi, karena sulitnya perjalan, lebih-lebih di
perjalanan sering mendapat gangguan, maka perdagangan mereka lalu tidak
memperoleh kemajuan.
Dalam hal agama, bangsa Arab sebenarnya telah mengenal Tuhan Allah,
memahami keesaan Allah, dan mengikuti agama yang menuhankan Allah. Hal ini
disebabkan karena mereka seringkali kedatangan dakwah dari para utusan Allah,
yang menyampaikan seruan kepada mereka supaya menyembah Allah yang Esa
semata-mata dan jangan sampai mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.71
Utusan yang datang ke bangsa Jazirah Arab adalah Nabi Ibrahim as. Dan
Nabi Ismail as.sementara utusan Allah yang datang ke bangsa Arab dari kaun ’Ad
adalah Nabi Hud as. Sedangkan yang datang ke kaum Tsamud adalah Nabi Saleh
as. Sebelum itu, mereka adalah penyembah kayu-kayu,batu-batu dan menyembah
manusia yang dianggap sakti serta dapat memberi barang apa pun yang mereka
minta.
Kepercayaan terhadap agama tauhid ini lama-kelamaan berubah menjadi
penyembah berhala. Menurut riwayat Ibnu Khalibi,yang dikutip Fatah,dalam kitab
al-ashnam, perubahan kepercayaan itu terjadi karena adat bangsa Arab yang
selalu membawa batu yang diambil di sekitar ka’bah bila mereka akan
meninggalkan kota Mekah. Hal tersebut dilakukan karena mereka sangat
mencintai kota Mekah dan Ka’bahnya. Sehingga di mana pun mereka berada,
batu itu dipujanya sebagaimana mereka melakukan thawaf di sekeliling ka’bah.
70Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Mukhtar Yahya (Jakarta:Jayamurni, 1973), 26-30.
71Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 7.
33
Kemudian batu-batu itu mereka bawa dan di tempatkan di sekeliling ka’bah, maka
penuhlah ka’bah itu dengan berhala-berhala, yang paling terkenal adalah Latta,
Uzza, Manah, dan Hubbal. Namun demikian masih ada orang yang tetap
mempercayai adanya tuhan Yang Maha esa (Allah), tetapi sudah terkontaminasi
pada pemujaan berhala.72
Mereka mengelilingi berhala,mendatangi dan berkomat-kamit di
hadapannya. Dengan penuh keyakinan, mereka berharap bahwa berhala-berhala
itu akan bisa memberika syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa pun yang
dikehendaki, mereka tidak segan-segan untuk meminta pertolongan tatkala
tengah menghadapi kesulitan dan berdoa untuk memenuhi kebutuhan.
Tidak hanya itu, mereka juga menunaikan haji dan thawaf disekeliling
berhala, merunduk dan bersujud di hadapannya. Mereka bertaqarub dengan
menyajikan berbagai macam korban,sesajen serta penyembelihan hewan piaraan
dan hewan qurban demi berhala dan menyebut namanya.
Kondisi kepercayaan seperti ini, turut mempengaruhi prilaku kehidupan
bangsa Arab saat itu, seperti dalam urusan makan dan minum, bagi bangsa Arab
pada saat itu dapatlah dikatakan tidak ada yang dilarang, karena tidak ada yang
dianggap kotor dan jijik, segala macam binatang boleh dimakan. Segala jenis
minuman boleh diminum, bahkan ada yang suka meminum darah binatang dan
darah yang dibekukan.73
Begitu pun dengan pelacuran yang biasa mereka lakukan, meski dilakukan
dengan cara tertutup. Para perempuan pelacur demngan terang terangan membuka
kedai pelacuran, yang mereka tandai dengan memasang bendera di muka
rumahnya masing-masing. Kalau pelacur itu hamil maka ia akan memanggil
semua laki-laki yang pernah mencampurinya. Setelah bayi itu lahir, maka
diundilah siapa laki-laki yang akan menjadi ayah dari si bayi tersebut. Hasil
undian itulah yang akan menentukan ayah sibayi itu.74
72Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Rizqi Putra, 2009), 17.
73Munawar Chalil, Kelengkapan Ta>rikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema InsaniPress, 2001), 30.
74Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suihardi(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), 60
34
Begitu pula, dengan pernikahan poliandri atau satu wanita yang memiliki
banyak suami juga terjadi di zaman itu. Bila wanita itu melahirkan anak, maka
ia(wanita) akan menentukana siapa ayah sibayi itu, dengan cara menunjuk salah
satu dari laki-laki(suami) yang dikehendakinya.75
Demikian halnya dengan kriminalitas, seperti mencuri dan merampok bagi
bangsa Arab di tanah Arab pada masa itu merupakan suatu perbuatan lainnya
yang biasa ada pada setiap kabilah, dan perbuatan itu dilakukan bukan saja oleh
kaum laki-laki melainkan juga oleh kaum perempuan. Hanya sebahagian kecil
saja dari mereka yang tidak biasa melakukannya.76
Kendati demikian,di kalangan mereka masih terdapat sifat-sifat terpuji
yang mengandung simpati dan kekaguman yang lain, seperti kedermawanan,
kesetiaan terhadap janji, keberanian, ketegaran, kesederhanaan dan sifat suka
menolong, bangsaq Arab paling tidak suka menerima penghinaan baik bagi
dirinya apalagi terhadap kehormatan kabilahnya. Bagi mereka, kepala berpisah
dari badan itu adalah urusan kecil dibandingkan dengan pelecehan terhadap
kehormatan diri dan kabilah mereka.77
Demikianlah kondisi keadaan bangsa Arab sebelum Islam. Dalam kondisi
seperti itulah, Nabi dilahirkan dan dibesarkan serta berjuang untuk mengajak
bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya untuk kembali ke agama tauhid,
mengenal Tuhan Allah, memahami ke Esaan Allah, dan beribadah atau
menyembah hanya kepada Allah yang Esa semata tanpa melakukan persekutuan
dengan-Nya, serta memperbaiki kehidupan diri dan kelompok lingkungan sekitar
ke arah yang lebih baik.
Hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali yang mengenal ilmu
pengetahuan dan kepandaian lainnya. Bahkan kaum Quraisy Mekah sebagai
penduduk kelas atas (Bangsawan) hanya 17 orang yang memiliki kemampuan
75Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, 60.
76Munawar Chalil, Kelengkapan Ta>rikh Nabi Muhammad Saw., 29.
77Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, 63-65
35
tulis-baca, dan hanya 11 orang dari suku Aus dan Khazroj sebagai penduduk
Yatsrib (Madinah) yang pandai membaca.78
Menghadapi kenyataan seperti itu, maka Nabi Muhammad diutus oleh
Allah SWT. Dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak yang
berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Dalam masalah ilmu pengetahuan Rasul mengajak para sahabatnya untuk
mempercayai Allah yang Maha Esa, tidak Syirik, berakhlak mulia, dapat
dipercaya, jujur dan sekaligus berilmu. Untuk itu Rasul selalu menjelaskan kepada
para sahabatnya tentang Islam, amal sholeh, dan tentang kepercayaan.
Pengajaran ini mula-mula dilakukan di rumah salah satu sahabat Nabi
yang bernama Abu al-Arqam, di luar kota Mekah. Tempat tersebut kemudian
terkenal dengan sebutan Dar al-Arqam. Di sinilah Rasul pertama berdakwah dan
sekaligus membimbing dan mendidik umat Islam pada permulaan Islam. Sehingga
tempat itu dapat dianggap sebagai lembaga pendidikan pertama yang didirikan
Rasul.79
Lembaga Dar al-Arqam memang merupakan pusat kegiatan umat Islam
pada masa awal. Mula-mula secara sembunyi-sembunyi karena khawatir terhadap
tindakan suku Quraisy yang tidak menyukai tindakan Rasul. Dalam
perkembangannya menjadi tempat yang terbuka untuk umum, dan kegiatannya
pun bertambah banyak.
Selain membimbing tentang keimanan, Rasul juga membimbing yang
nantinya mengarah kepada kepandaian, dengan cara mengajak para sahabat untuk
menghafal, memahami dan mengamalkan isi ayat-ayat al-Qur’an yang sudah
turun, dan menyryh sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya. Mengenai
kepandaian menulis Rasul pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk
membuat huruf dengan mengambil contoh dari huruf bangsa Himyar. Usaha
tersebut menunjukan dimulainya umat Islam untuk mengarah kepada kepandaian
tulis baca.80
78Ahmad Amin, Fajar al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1965), 141
79Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prena Media, 2003), 18
80Ahmad Amin, D}uha> al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1965), 241
36
Melalui usaha itu Islam semakin berkembang, umat Islam makin
bertambah dan wilayah Islam semakin meluas. Dengan bimbingan Nabi dan
pengaruh al-Qur’an telah lahir orang-orang pandai. Sahabat dekat Nabi banyak
yang menjadi terkenal karena kemampuannya, di antaranya Umar bin Khattab, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan
Aisyah.81
Ketika Rasul hijrah dan diangkat menjadi kepala negara, Rasul pun
melaksanakan:
1. Proklamasi berdirinya berdirinya sebuah negara dengan cara mengumumkanMadinah al-Munawarah baagi kota yatsrib sebagi ibu kota.
2. Mendirikan Masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat Islam.3. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar berdasarka agama
sebagai basis warga negara,4. Membuat Undang-undang atau peraturan berdasarka perjanjian-perjanjian
yang terkenal dengan Traktat Madinah.5. Membuat batas wilayah sebagai basis teritorial dengan membuat parit pada
waktu perang Khandaq6. Membuat lembaga-lembaga pelengkap sebuah pemerintahan, semisal
angkatan perang, lembaga Pendidikan, bait al-mal, lembaga yang mengaturadministrasi negara, serta menyusun ahli-ahli yang cakap yang bertindaksebagai pendamping Nabi.82
Dari uraian tersebut dapat diketahuan bahwa tanggung jawab yang paling
utama yang harus ditangani pemerintah adalah pendidikan Islam, sebab disinilah
letak kunci hidup makmur dan bahagia bagi seluruh rakyat. Tanggung jawab itu
datang karena mereka (Pemerintah) dipilih rakyat untuk mengurus rakyat,
sedangkan urusan rakyat yang paling pokok adalah pendidikan mereka.
2. Perkembangan pendidikan pada masa Nabi
Setelah Nabi menerima wahyu yang pertama dan kedua,83 Nabi
diwajibkan untuk memanggil (memberikan pendidikan, berdakwah) suatu umat
yang telah begitu rusak kepercayaan dan akhlaknya,yang begitu fanatik atas adat
81Ahmad Amin, Fajar al-Islam, 145
82Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 19-20
83Al-Qur'an, surat al-'Alaq, 1-5 dan al-Muddatstsir, 1-7.
37
dan istiadat serta agama berhala nenek moyangnya,dengan berdakwah secara
diam-diam diantara keluarga dan sahabat dekatnya.
Nabi telah mendidik umatnya secara bertahap,mulai dari keluarga
dekatnya, seperti isterinya (siti Khadijah), saudara sepupunya (Ali bin Abi Thalib
yang baru berumur 10 tahun), kemudian sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak
(Abu Bakar), zaed (bekas budak yang kemudian menjadi anak angkatnya) dan
Ummu Aiman (pengasuh nabi sejak ibunya masih hidup) dan orang-orang
terdekat lainnya.
Perjuangan yang Nabi lakukan bukan tanpa rintangan, seperti yang pernah
dilakukanan oleh Abu Lahab, ia memprotes seruan Nabi, bahkan menuduhnya
Nabi Muhammad saw. telah berubah ingatan. Ada juga yang menawarkan barter
sesembahan dengan cara Muhammad boleh menyembah sesembahan yang mereka
sembah dan mereka pun akan menyembah apa yang diserukan muhammad.
Bahkan menurt Ibnu Ishaq, dalam Sirah Nabawiyah, diantara mereka,84 ada yang
melemparkan isi perut domba,ada yang menaruh kotoran unta di pundak selagi
Nabi salat, dan ada juga yang meletakkannya di periuk Nabi. Kejadian ini
diketahui oleh Fatimah putri Nabi, yang kemudian menolong membersihkannya,
sementara pelakunya hanya tertawa terbahak-bahak.85
Derita dan siksaan pun dialami oleh para pengikut Nabi yang dilancarkan
oleh para penentangnya. Kekejaman yang dilakukan oleh kaum Quraisy Mekah
terhadap kaum Muslimin itu, mendorong Nabi untuk mengungsikan sahabat-
sahabatnya ke luar Mekah. Maka tempat yang dipilih adalah Habsyah (Ethiophia)
sebagai negeri tempat pengungsian, karena Negus (Raja) negeri itu adalah seorang
yang adil.86
84Mereka adalah Orang-orang yang terbiasa menyakiti Nabi selagi Nabi berada di dalamrumah, diantaranya Abu Lahab, al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah, Uqbah bin Abu Mu’aith,Ady bin Hamra ats-Tsaqafy, dan Ibnul Ashda al-Hudzaly mereka semua merupakan tetangga dekatNabi. Dan tak seoramng pun diantara mereka yang masuk Islam, selain al-Hakam Bin Abul Ash.Lihat, al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suihardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,1999), 120.
85Shaykh Shafiur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, 120.
86Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, .22.
38
Menguatnya posisi umat Islam, membuat reaksi kaum musyrikin Quraisy
semakin keras,kemudian mereka mengambil keputusan untuk memutuskan segala
hubungan yang berkaitan dengan Bani Hasyim, tindakan pemboikotan ini
berlangsung selama tiga tahun, dan baru berhenti setelah beberapa pemimpin
Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang
keterlaluan.
Apa yang menyebabkan begitu dahsyatnya teror dan siksaan yang di
lancarkan oleh kaum quraisy terhadap para pengikut Muhammad ini? Menurut
Ahmad Shalabi, mencatat ada lima faktor penyebab;
Pertama, persaingan berebut kekuasaan. Kaum Quraisy mengira dengantunduk kepada agama Muhammad berarti tunduk kepada kekuasaan AbdulMuthalib.
Kedua, persamaan hak antara kasta bangsawa dan hamba sahaya.Pelapisan sosial yang sudah berurat berakar di kalangan masyarakat arab sulituntuk di rubah, mereka menolak untuk disamakan statusnya antara bangsawan danhamba sahaya, dan Islam datang justru melebur jurang perbedaan tersebut.
Ketiga, perasaan takut akan hari kebangkitan. Kaum Quraisy tidak bisamenerima agama Islam yang mengajarkan bahwa manusia akan dibangkitkansetelah kematiannya. Manusia akan dihidupkan kembali dalam keadaan tiadamemiliki pengaruh apa-apa, terlebih lagi kekuasaan.
Keempat, taklid terhadap nenek moyang. Bagi kaum Quraisy amatlah beratuntuk meninggalkan agama, adat istiadat, dan kebiasaan nenek moyang yangturun temurun.
Dan kelima, faktor ekonomi. Salah satu bisnis yang laku pada saat ituadalah pesanan pembuatan patung.87
Dengan keadaan seperti ini, tidak memungkin bagi Nabi untuk
membangun sebuah pemerintahan Islam di Mekah, oleh karena itu,setelah banyak
penduduk Yatsrib yang memeluk Islam, yang setia kepada Nabi dan telah
mengikat diri dengan suatu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian ”Aqabah
pertama”.88
87Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta :Jayamurni, 1973), 62-63
88Isi perjanjian itu antara lain berbunyi, atas nama penduduk Yatsrib, Kami memintakepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib,mereka berjanji akan membela Nabi dari segalaancaman, dan Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan, lihat, Badri Yatim, SejarahPeradaban Islam (Jakarta: Radja grafindo Persada, 1998), 24.
39
Karena cobaan berupa tekanan yang dilakukan oleh kaum kafir Mekah
demikian hebat, Nabi lalu diperintahkan untuk berhijrah ke madinah. Peristiwa
hijrah ini terjadi pada tanggal 12 Rabiul awal atau 27 september 622 M. Setibanya
Nabi dimadinah yang pertama ia lakukan adalah membangun masjid,
mempersatukan kaum muhajirin dan kaum anshar, dan membuat perjanjian
dengan penduduk non muslim yang isinya antara orang Islam dan non muslim
saling melindungi dan menjamin keselamatan masing-masing.
Peristiwa tersebut, menurut Thamas W. Arnold, dinilai sebagai ”suatu
gerakan strategi yang jitu”,89 yaitu suatu gerakan yang membebaskan kaum
muslimin dari tindakan sewenang-wenang kaum quraisy. Di Madinah, Nabi
diterima oleh penduduk Yatsrib, dan diangkat menjadi pemimpin mereka. Dengan
demikian, Nabi sekarang bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai
kepala negara. Dengan kata lain dalam diri nabi sekarang terkumpul dua
kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai
rasul secara otomatis merupakan kepala negara.90
Langkah pertama yang dilakukan nabi di Madinah dalam rangka
pembentukan sebuah negara adalah membuat apa yang kemudian di kenal dengan
nama”Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) pada tahun pertama Hijriyah.91
Piagam ini memuat tentang peraturan-peraturan dan hubungan antara berbagai
komunitas dalam masyarakat Madinah. Dalam kaitan ini, Nabi bertindak sebagai
kepala negara, dan piagam Madinah sebagai konstustisinya..
Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernisme Islam, membenarkan
bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi merupakan suatu negara dan
pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.
Pembentukan masyarakat baru ini ditantadi dengan sebuah perjanjian tertulis yang
89Thomas W. Arnold, The Caliphate (London: Routledge & Keagan Paul, 1965), 23
90Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), 101.
91Tentang pembuatan Piagam Madinah para sejarah sepakat bahwa Piagam Madinahdibuat pada permulaan periode Madinah atau tahun pertama hijriyah, demikian menurutWatt.sedangkan Well Husen, menetapkannya sebelum perang badar, sementara Hubert Grimneberpendapat bahwa piagam itu dibuat setelah perang Badar. Lihat. J.Suyuti, Prinsip-prinsipPemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an (Jakarta: RajaGrapindo Persada), 87-88.
40
disebut shahifat atau yang lebih dikenal dengan ”Piagam Madinah” (Mitsaq al-
Madinah) atau dalam pandangan sekarang sering disebut dengan konstitusi
Madinah.92
Menurut analisis Suyuti Pulungan, naskah perjanjian Madinah
mengandung beberapa prisip, yaitu prinsip-prinsip persatuan dan persaudaraan,
persamaan, kebebasan, tolong-menolong, dan membela yang teraniaya, hidup
bertet6angga, keadilan, musyawarah, pelaksanaan hukum dan sangsi hukum,
kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk agama, pertahanan dan
perdamaian, amar ma’ruf dan nahyi mungkar, kepemimpinanh dan tanggung
jawab pribadi dan kelompok, serta prinsip ketakwaan dan ketaatan93
Untuk memperlancar tugas-tugas kenegaraan, Nabi dibantu oleh beberapa
orang sekretaris seperti, Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib.sementara untuk
pemerintahan daerah, Nabi mengangkat para gubernur atau hakim. Salah satu
diantaranya mengangkat Mu’adz bin Jabal menjadi gubernur Yaman. Sedangkan
untuk hubungan internasional, Nabi mengadakan hubungan diplomatik dengan
negara-negara sahabat. Ia mengirimkan surat dakwah kepada kepala negara lain,
diantaranya Persia, Abbessinia, Oman, Yamamah, Bahrain, Syam dan Yaman.
Negara Madinah yang dipimpin Nabi merupakan model bagi hubungan
antar agama dan negara dalam Islam94 Usaha Nabi segabagi”eksperimen
Madinah” ini secara jelas menyajikan pola pendelegasian, wewenang dan
kehidupan berkonstitusi.ide pokoknya adalah tatanan sosial-politik yang
diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama serta
tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc (sementara) yang dapat berubah-ubah sejalan
dengan kemauan peminpin. Melainkan dengan prinsip-prinsip yang dilembagakan
dalam sebuah dokumen kesepakan dasar semua anggota masyarakat, yaitu
konstitusi.
92Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II (Jakarta: Radja grafindo Persada, 1998), 26.
93J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: Rajawali, 2002), 85.
94Robbert N. Bellah, Beyond Belief, terj. Rudi Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina,2000), 213. lihat kata pengantar Nurcholish Madjid dalam Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
41
Dalam hal pendidikan, yang mula pertama diupayakan oleh Nabi sebagai
kepala Agama dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan Madinah adalah
membangun masjid. Melalui lembaga masjid ini, Nabi memberikan pendidikan
pendidikan Islam. Dia juga memperkuat persatuan dikalangan kaum muslimin
antara kaum Muhajirin dan Anshor, serta mengikis habis sisa-sisa permusuhan
yang ada diantara keduan kaum tersebut.
Pada umumnya, materi pendidikan Islam yang diberikan pada periode
Madinah ini lebih ditekankan kepada:
1. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju suatu kesatuan sosial
dan pilitik. Wujud pelaksanaan pendidikan tersebut adalaha
a. Mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertengkaran antar suku, dengan
mengikat tali persaudaraan diantara mereka.
b. Mengajarkan bagai mana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
dengan berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan pekerjaannya
masing-masing.
c. Menjalin kerja sama dan tolong-menolong dalam membentuk tata
kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
d. Shalat jum’at sebagai media komunikasi seluruh umat Islam
2. Pendidikan sosial dan kewarganegaraan, yang mengambil bentuk pendidikan;
a. Ukhuwah(persaudaraan) antara kaum muslimin.
b. Kesejahteraan sosial dan tolong menolong
c. Kesejahteraan keluarga kaum kerabat.
3. Pendidikan anak dalam Islam.Rasulullah selalu mengingatkan pada umatnya
antara lain;
a. Agar kita selalu menjaga diri dan keluarga dari api neraka.
b. Agar jangan meninggalkan anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan
tidak berdaya menghadapi tantangan hidup. 95
Ada pun pendidikan anak yang dilakukan pada masa ini adalah dalam
bentuk, pendidikan Tauhid, pendidikan salat, pendidikansopan santun dalam
95Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Rizqi Putra, 2009), 40.
42
keluarga, pendidikan sopan santun dalam masyarakat dan pendidikan
kepribadian.96
4 Pendidikan Hankam dan Dakwah Islam, dalam rangka memperkokoh
masyarakat dan negara baru.97
Setelah Nabi wafat, maka kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh para
sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib, yang
kemudian dikenal dengan sebutan al-Khulaf’ar-Rasyidin. Daulat al-Khulafa ar-
Rasyidin ini memerintah selama 30 tahun dari tahun 11-41 H./632-661 M. Yang
berkedudukan di Madinah al-Munawarah.
3. Perkembangan Pendidikan setelah masa Nabi
Pada masa khulafa al-Rasyidin ini juga banyak memperhatikan tentang
pendidikan, terlebih setelah wilayah kekuasaan Islam semakin meluas, maka
banyak orang Arab muslim yang keluar Jazirah arab, dan orang Ajam datang ke
Jazirah Arab. Gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, terutama
dibidanng pendidikan, orang ajam yang berasal dari luar Jazirah Arab ini adalah
bangsa yang dahulunya pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dari
bangsa Arab, walau pun semangatnya sudah padam, namun bekasnya masih
nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat perkembangan Yunani,
seperti Iskandariyah, Antiokia, Harram dan Yunde Sahpur.98
Kedatangan mereka ini mendorong penguasa waktu itu khalifah umar bin
Khattab, memerintahkan untuk membuat tata bahasa Arab, agar mereka terhindar
dari kesalahan dalam membaca al-qur’an dan Hadis.maka Ali bin Abi Thaliblah
pembangun dasar-dasar ilmu nahwu yang selanjutnya di sempurnakan oleh Abu
al-aswad al-Duwaly.99 Selain itu perlu juga penafsiran ayat al-Qur’an sehingga
mereka terhindar dari kesalahan memahaminya.
96Pendidikan yang dilakukan pada masa ini merupakan gambaran pendidikan yangdijelaskan dalam al-Qur’an, Surat Luqman, ayat 13-19.
97Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, 40
98Ahmad Amin, D}uha> al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1965), 255.
99Ahmad Amin, D}uha> al-Islam, 241.
43
Untuk kepentingan pengajaran di luar Jazirah Arab, maka penguasa
mengirim guru-guru yang terdiri dari para sahabat ahli ilmu, seperti Abdullah bin
Mas’ud di kirim ke Kuffah, Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik di utus ke
Basrah, Mu’adz, Ubadah, Abu Darda dikirim ke Syam, dan Abdullah bin Amr bin
Ash dikirim ke Mesir. Melalui tangan-tangan mereka inilah berkembangnya ilmu-
ilmu keIslaman di negeri-negeri itu, dan banyak menghasilkan ulama (ahli ilmu).
Demikian, hubungan antara penguasa saat itu dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan, jadi untuk memajukan bangsa dan negara serta
untuk menyebar luaskan Islam, maka perlu pengembangan ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Negara akan semakin kokoh, pemerintahan akan stabil apa bila
rakyatnya mempunyai pendidikan dan ilmu pengetahuan yang cukup, oleh karena
itu, negara bagaimana pun akan terus berusaha untuk memajukan pendidikan dan
ilmu pengetahuan.
Demikian pula halnya pada masa Daulah bani Umayyah, setelah
memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri Syam
yang telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya, setelah
melakukan pembangunan dibidang fisik, menata sistem pemerintahan, memajukan
ekonomi perdagangan dan mengembangkan bidang kebudayaan. Salah satu aspek
dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau pada masa
Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin pengembangan ilmu pengetahuan terpusat pada
usaha untuk memahami al-qur’an dan Hadis, maka perhatian pada masa ini
disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan
oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam.
Misalnya, pada masa Khalid bin Yazid, ia sangat tertarik terhadap ilmu
kimia dan kedokteran, sehingga ia menyediakan sejumlah harta dan
memerintahkan para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk
menerjemahkan buku-buku kima dan kedokteran ke dalam bahasa Arab, usaha ini
menjadi terjemahan pertama dalam sejarah.100
100Ahmad Amin, D>}uha> al-Islam, 225.
44
Demikian juga al-Walid bin Abdul Malik,ia memberi perhatian kepada
bimaristan,101 yang ia dirikan di damaskus pada tahun 884 M. Begitru pula
dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang memerintahkan para ulama untuk
secara resmi membukukan hadis-hadis Nabi (secara tidak resmi sebenarnya sudah
ada pribadi-pribadi yang sejak zaman sahabat telah membukukannya).
Dari uraian ini dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan Islam dapat
berkembang dengan pesat karena mendapat dukungan yang kuat dari para
penguasa, selain keinginan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan yang ada pada
umat Islam saat itu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pendidikan erat
kaitannya dengan struktur kekuasaan, oleh sebab itu, peran pemerintah tidak
dihilangkan dalam hal pendidikan akan tetapi, memfasilitasi terciptanya
kemerdekaan yang sejati dimana setiap individu dapat mengembangkan dirinya
dan secara bersama-sama dapat memecahkan masalah bersama. Di sini kita
melihat bahwa pendidikan merupakan alat penting dalam proses kesetaraan
anggota masyarakat dalam arti mempunyai kesempatan yang sama bagi semua
orang untuk berkembang.
Demikian jean-Jarques Rousseau, berpendapat bahwa apabila generasi
muda itu mendapat pendidikan yang benar maka masyarakat masa depan akan
dapat diselamatkan, sehingga manusia dapat mengatasi pertentangan antara
individu dengan tuntutan sosial, karena pada masyarakat yang telah bobrok pada
masa itu agak sulit untuk menstranformasikan seorang anak menjadi manusia
yang sebenarnya dan warga negara yang baik.102 Oleh karena itu ia mengusulkan
suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan kodrat manusia.
Selanjutnya Rousseaeu mengatakan bahwa manusia primitif serta alamiah
adalah manusia yang bebas dan sejahtera (Free and happy), karena kehidupannya
tidak dibatasi oleh masyarakat dimana tempat ia hidup, tetapi manusia primitif
101Bimaristan, adalah sebuah tempat untuk melakuakan pengobatan dan perawatan bagiorang-orang yang sakit serta sebagai tempat studi tentang ilmu-ilmu kedokteran. Lihat.AhmadAmin D}>uha> al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1972), 225.
102Jean-Jacques Roussau yang lahir di Genava tahun 1712 dari seorang bapak pembuatarloji, lihat. Ronald F. Reed Tony W.Jahnson, Philosophical in Education (New York: Addison-Wesley Longman Inc. ,2000), 61-71.
45
dan alamiah adalah manusia yang telah belajar hidup sesuai dengan pembatasan-
pembatasan yang diberikan oleh alam kepadanya. 103
Begitu pula dengan John Dewey dalam bukunya menggaris bawahi
mengenai hubungan antara pendidikan dan Demokrasi. Apabila kita
menginginkan suatu masyarakat yang demokrasi, yang pertama-tama harus
dilakukan adalah mendemokratisasikan pendidikan. Hal ini berarti pendidikan
bukanlah sesuatu yang harus mencekoki peserta didik dengan ilmu pengetahuan,
akan tetapi ilmu pengetahuan itu harus dimiliki oleh peserta didik karena
pengalamannya. 104
Dalam masalah kekuasaan dan pendidikan, bagi Dewey, kekuasaan
(power) dalam pendidikan adalah dimensi yang lain. Justru pendidikan hendaknya
mengembangkan kekuatan (power) yang berada di dalam hakikat peserta didik.
Kekuatan itu berupa insting atau kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang
distimulasi oleh lingkunannya, yaitu lingkungan manusia (masyarakat) dan
lingkungan alamnya.105
B. Kebijakan Pendidikan.
Berbicara tentang kebijakan pendidikan,merupakan sebuah konsep yang
sering kita dengar, kita ucapkan,bahkan kita lakukan, akan tetapi sering pula tidak
kita pahamidengan sepenuhnya. Oleh karena itu, kita lihat apa yang dimaksud
dengan kebijakan pendidikan.
Pertama, stilah kebijakan (policy) kadang sering dicampur adukan dengan
kebijaksanaan (wisdom), padahal kedua istilah ini mempunyai makna yang jauh
berbeda. Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan
akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan
akal manusia. Namun demikian akal manusia merupakan unsur yang dominan
103Ronald F. Reed Tony W.Jahnson, Philosophical in Education, 61-71.
104John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy ofEducation (New York: Mac Millan, 1916), 106
105John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy ofEducation, 106
46
didalam mengambil keputusan dari berbagai opsi dalam pengambilan keputusan
kebijakan. Suatu kebijaksanaan lebih menekankan kepada faktor-faktor emosional
dan irasional. Bukan berarti bahwa suatu kebijaksanaan tidak mengandung unsur-
unsur rasional, barangkali faktor-faktor rasional tersebut belum tercapai pada saat
itu ataumasih merupakan sebuah intuisi.
Bagaimana dengan kebijakan pendidikan? bukankah pendidikan sudah
dikenal sejak manusia lahir dari sang ibu yang secara instingtif akan melindungi
dan mengajari anaknya sehingga menjadi dewasa.dalam proses pendewasaan sang
ibu akan dibantu oleh orang-orang disekitarnya, oleh masyarakat dengan adat
istiadat yang merupakan pekem-pakem untuk membesarkan anak hingga dewasa.
Proses pendidikan pada masyarakat modern atau yang telah maju, tidak
dapat lagi dilakukan secara terbatas oleh seorang ibu, atau keluarganya, melainkan
pendidikan sudah menjadi tugas bersama di dalam masyarakat. Sehingga
muncullah lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah atau pusat-pusat
pelatihan yang proses pendidikannya dapat berjalan secara formal.di dalam
melaksanakan tugas pendidikan tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan
tertentu, supaya tujuan pendidikan yang diharapkan oleh stakeholder dapat
tercapai.
Mengapa kebijakan pendidikan itu perlu? Kebijakan pendidikan itu
diperlukan karena erat kaitanya dengan pengaturan kehidupan dengan sesama
manusia. Oleh karena itu, kebijkan pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan
pertanyaan mengenai apakah hakekat manusia? sehingga jawabannya akan
membawa kepada pertanyaan apakah sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia
ini, dan bagaimana manusia itu dapat mewujudkan tujuannya.106
Dari sinilah kita akan sampai kepada petanyaan, apakah sebenarnya proses
pendidikan itu? Pengertian yang tepat mengenai hakikat proses pendidikan itu
akan melahirkan berbagai kebijakan pendidikan. Salah satu makna dari proses
pendidikan adalah pemberdayaan, banyak pemikir modern dari berbagai disiplin
ilmu mengakui bahwa makna pendidikan adalah sebagai pembebasan manusia
106Pertanyaan ini pula yang menjadi pokok utama pertanyaan filsafat folitik dan filsafatmoral yang menelaah kehidupan masyarakat politik seperti Negara. Lihat. A. John Simmons,Political Phylosophy (London: Oxford University Press, 2008), 2.
47
dari berbagai keterikatannya, baik keterikatan biologis, keterikatan sosial dan
keterikatan lingkungannya.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa proses pendidikan akan
tampak dengan jelas mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara kekuasaan
dan pendidikan. Tidak seluruh kekuasaan itu sifatnya negatif, bahkan tanpa
kekuasaan tidak mungkin proses pendidikan itu terjadi. Namun kekuasaan yang
terus-menerus tanpa batas merupakan suatu pemberangusan terhadap hakikat
manusia sebagai makhluk merdeka, sehingga manusia itu menjadi tidak berdaya
karena telah dirampas hak-hak asasinya sebagai manusia.
Untuk menjawab petanyaan mengenai hakikat manusia, setidaknya ada
dua golongan yang memberikan jawaban, kaum eksistensialis mengatakan bahwa
manusia di lahirkan di dunia dalam keadaan tidak berdaya,dia terlempar kedunia
ini dan terpaksa harus bertanggung jawab terhadap keberadaannya. Keberadaan
manusia ini sebenarnya adalah untuk menuju kematiannya. Dia tidak mempunyai
kemampuan apa-apa karena bergantung kepada nasib keberadaannya di dunia
yang maya atau ketiadaan. Ini adalah pandangan yang pesimis dari seorang
eksistensialis.
Di samping, pandangan yang pesimis ada pula pandangan yang
optimis,mengenai keberadaan manusia. Manusia dianggap sebagai sebagai pusat
kehidupan di dunia ini, dengan kata lain, dunia ini ada karena adanya manusia,
manusia memberikan makna terhadap dunia karena manusia sebagai subjek
mampu mengatasi objek-objek yang ada disekitarnya. Jadi proses pendidikan
adalah memberikan kemampuan kepada individu untuk dapat memberikan makna
terhadap dirinya dan lingkungannya.107
Pandangan mengenai hakikat manusia dapat dibedakan dalam dua aliran
besar, yaitu aliran idealisme spiritualisme dan materialisme. Hakikat manusia
menurut pandangan idealis bahwa kehidupan manusia itu ditentukan oleh
percaturan antara ide-ide yang saling berlawanan, dari satu ide dengan ide yang
lain, atau tesa bertentangan dengan anti tesa, sehingga melahirkan ide yang lebih
107Lihat kupasan mengenai eksistensialisme,Aliran-alirannya serta posisinya dalam prosespendidikan. Gerald L, Gutek, Philosophical and ideological Voices in Education (Boston: Allyn &Beacon, 2004), 85-106.
48
tinggi, yang akhirnya berakhir pada ide absolut. Ide absolut ini bisa dipahami
berupa negara, atau maha pencipta atau insan kamil. Akan tetapi manusia adalah
makhluk manusia yang terbatas yang tidak akan pernah mencapai ide absolut itu.
Sedangkan paham materialisme mamandang bahwa manusia itu tidak
lebih dari bagian alam mikro yaitu bagian dari alam materi yang melihat hal
realistis yang dapat diraba dan dapat dibentuk dengan kekuatan-kekuatan yang
ada di masyarakat. Oleh karena itu, berbagai ungkapan manusia yang disebut
kebudayaan atau agama merupakan produk dari kelas-kelas di dalam masyarakat.
Tugas pendidikan adalah menyadari akan adanya kepincangan-
kepincangan di dalam masyarakat yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan
tersebut, sehingga tugas pendidikan adalah merombak kelas-kelas artifisial yang
dikonstruksikan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi di dalam masyarakat, untuk
menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Proses pendidikan terjadi dalam kehidupan masyrakat yang berbudaya,108
karena kebudayaan manusia merupakan hasil interaksi dari anggota
masyarakatnya yang kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dengan proses perubahannya.
Jadi, proses pendidikan dinilai sebagai proses mentransmisikan nilai-nilai
budaya yang telah terakumulasi dari satu generasi ke generasi yang lainnya.seperti
yang terjadi pada masyarakat tradisional yang belum mengenal lembaga
pendidikan sekolah, maka pendidikan terjadi di dalam lingkungan keluarga dan di
dalam lingkunangan masyarakatnya yang terbatas.
Demikian halnya dengan pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan
kultural umat manusia tidak lain merupakan salah satu alat pembudayaan
(enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat
difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia
(sebagi makhluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.109
108H. A. R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia(Bandung: Rosdakarya, 1999)
109Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islamklasik (Bandung : Angkasa, 2004), 4.
49
Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia yang berbeda-beda itu,
maka lahirlah berbagai rumusan tentang tujuan dari proses pendidikan. Tujuan
yang akan dicapai melalui kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan,
yaitu kebijkan pendidikan. Oleh karena pendidikan merupakan suatu ilmu praksis
yang berarti kesatuan antara teori dan praktik maka kebijakan pendidikan terletak
dalam tatanan normatif dan tatanan deskriptif110 yang mencakup antara lain:
1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan Deliberasi mengenai
hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadika manusia dalam lingkungan
kemanusiaa. Oleh karena itu kebijakan pendidikan merupakan penjabaran
dari visi dan misi pendidikan pada masyarakat tertentu.
2. Kebijakan pendidilan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagi ilmu praksis
yaitu kesatuan antara teori dan prakti.
3. kebijakan pendidikan harus mempunyai validitas antara perkembangan pribadi
dan masyarakat yang memiliki pendidikan.
4. Kebijakan pendidikan harus mengandung unsur keterbukaan (openness),
artinya tidak bisu dari suara-suara dalam masyarakat yang merupakan
penggerhanaan dari hakikat pendidikan itu sendiri.
5. kebijakan pendidikan harus didukung oleh riset dan pengembangan, artinya
suatu kebijakan pendidikan bukanlah merupakan suatu hal yang abstrak tetapi
suatu yang dapat diimplementasikan. Dengan demikian rumusan suatu
kebijkan pendidikan haruslah berdasarkan atas hasil pertimbangan berbagai
pakar multidisipliner dengan fokus pada kebutuhan peserta didik dalam proses
memanusia,111 melalui riset dan pengembangan melalui eksperimen, maka
kebijakan pendidikan dapat diuji validitasnya sehingga kebijakan pendidikan
tersebut dapat direvisi dan dimantapkan
110Di Amerika masalah hubungan filsafat dan pendidikan dalam kebijakan pendidikantetap menjadi perdebatan para pakar. Lihat, Andre T.Lumpe, "The Role of Philosophy inEducational Reforms: Never the Twain ShalMeet?" dalam Gregory J. Sizek (ed), Handbook ofEducational Policy, 1999), 81-98.
111H.A.R. Tilaar, dalam "Transdisiplinaritas dalam Pedagogik Modern" yangdisampaikan pada seminar Nasional tentang Transdisiplinarity dalam dunia Pendidikan, di UNJ,29 Oktober 2007.
50
6. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efesiensi, kebijakan pendidikan
bukan semata-mata berupa rumusan verbalmengenai tingkah laku dalam
pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan
dalam masyarakat, dalam lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga
pendidikan sebagai lembaga sosial (social institution) membutuhkan
sumberdaya, terutama suberdaya mausia (pendidik, organ-organ pendidikan),
dan sumber daya keuangan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang baik
adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan kemampuan,maka
pertimbangan-pertimbangan kemampuan tenaga, tersedianya dana,
pelaksanaan yang bertahap serta didukung oleh kemampuan riset dan
pengembangan merupakan syarat-syarat bagi kebijakan pendidikan yang
efesien112
7. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi pada
kebutuhan peserta didik. Seperti telah diuraikan di atas bahwa pendidikan
sangat erat dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya kekuasaan
diarahkan bukan untuk menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan diarahkan
untuk dapat memfasilitasi dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik.
Dalam pandangan naturalisme romantisme Rousseau ditunjukan bahwa
masyarakat telah merusak perkembangan peserta didik. Pandangan Rousseau
ini tentunya tidak realistis, karena bagaimana pun juga pendidikan adalah
milik masyarakat. Oleh karena itu,masyarakat perlu diarahkan agar pendidikan
memfasilitasi tuntutan kemerdekaan manusia, masyarakat perlu disadarkan
pentingnya fungsi pendidikan bagi kelanjutan masyarakat yang terus berubah.
Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat demokratis bukannya untuk
menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh
kembangnya peserta didik sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan
produktif.
8. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijakan yang irasional,
seperti yang telah dipaparkan di atas, kebijakan pendidikan telah lahir dari
112 H.A.R. Tilaar & Rian Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk MemahamiKebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Public (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2008), 142-150
51
proses deliberalisasi para pakar dalam berbagai disiplin,sehingga terumuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan untuk kepentingan rakyat dalam mewujudkan
cita-cita bangsa yang diimajinasikan. Kebijkan pendidikan merupakan hasil
olahan rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang
dinggap paling efesien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai macam
resiko serta jalan keluar bagi pemecahannya.
9. Kejelasan dari tujuan pendidikan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang
tepat. Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya hanya akan
mengorbankan kepentingan peserta didik.
10. Kebijakan pendidikan harus diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta
didik dan bukan pemuasan Birokrat.
Demikanlah, aspek-aspek yang mencakup dalam pengambilan kebijakan
dibidang pendidikan. Suatu kebijakan mempunya makna intensional, oleh karena,
kebijakan itu mengatur tungkah laku sesorang atau organisasi dan kebijakan
meliputi pelaksanaan dan evaluasi dari tindakan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa kebijakan
pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah
strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka
untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk
suatu kurun tertentu.
C. Hakikat Pendidikan
Berbicara tentang hakikat pendidikan, atau apakah makna pendidikan bagi
manusia? maka Jawaban atas pertanyaan ini adalah berkenaan dengan apakah
sebenarnya hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang dilahirkan
di dunia dalam keadaan tidak berdaya oleh karena itu dia tidak mempunyai
kemampuan apa-apa, dia terlempar kedunia ini dan terpaksa harus bertanggung
jawab terhadap keberadaannya, demikian menurut pendapat kaum eksistensialis,
yang melihat manusia dengan penuh rasa pesimis, bahkan keberadaannya ini pun
merupakan suatu malapetaka. Keberadaan manusia ini sebenarnya adalah menuju
kematian saja.
52
Di samping, pandangan yang pesimis ada pula pandangan yang optimis
mengenai keberadaan manusia, keberadaan manusia dianggap sebagai pusat
kehidupan di dunia, dengan kata lain dunia ini ada karena adanya manusia, jadi
keberadaan manusia sangat memberikan makna terhadap dunia sebab manusia
subjek dianggap mampu mengatasi objek-objek yang ada di sekitarnya. Jadi
pendidikan merupakan suatu proses yang dapat memberikan makna terhadap
dirinya dan lingkungannya.
Sementara dalam Islam, manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh
Allah SWT. untuk beribadah dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini.113 Guna
melaksanakan ini maka manusia sudah dilengkapi dengan potensi dan fitrahnya,
serta diberikan pedoman dan petunjuk bagi manusia untuk memperoleh
kebahagiaannya yaitu berupa Al-qur'an.
Al-Qur'an merupakan Allah yang di dalamnya tidak hanya berisika tentang
dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan kehidupan manusia, baik yang menyangkut
hubungan dengan Tuhan sebagai khaliq yang wajib disembah, maupun sebagai
integrasinya dalam hubungan sesama manusia. Akan tetapi lebih luas lagi
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bersumber dari petunjuk-peyunjuk al-qur'an..114
Al-Quran telah memberikan petunjuk yang sangat besar dalam pendidikan
dan penemuan-penemuan para ahli serta pertumbuhan ilmu pengetahuan yang
sangat pesat di dunia Islam. Al-qur'an merupakan sumber pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang mengajak manusia dengan bahasanya yang lemah lembut dan
balaghahnya yang indah, sehinga mampu membawa dimensi baru terhadap
pendidikan dan berusaha mengajak para ilmuan untuk terus menggali makna
kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya.
Pendidikan Islam bila dilihat dari segi kehidupan kultur umat manusia
tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan (enkulturasi)
113Al-Qur'an, surat adz Dza>riya>t; 56 dan al-Baqarah; 21 dan 30
114Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan AgamaIslam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) dalam kata pengantar, hal. V. lihat jugaHadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 14.
53
masyarakat manusia itu sendiri. Sebagai alat pendidikan dapat difungsikan untuk
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia (baik sebagai
makhluk pribadi mau pun sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagian hidup di akhirat.
Secara teoritis, pendidikan Islam adalah konsep berpikir yang bersifat
mendalam dan terperinci tentang masalah-masalah kependidikan yang bersumber
dari ajaran Islam dimana rumusan-rumusan tentang konsep dasar, pola, sistem,
tujuan, metoda dan materi (subtansi) kependidikan Islam yang disusun menjadi
suatu ilmu yang bulat.115
Padangan dasar pendidikan Islam pada garis besarnya dapat dianalisi dari
aspek-aspek konsepsional sebagai berikut:
1. Hakikat pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan anak didik supaya menjadi manusia dewasa
sesuai dengan tujuan pendidikan islam.
2. asas pendidikan Islam adalah asas perkembangan dan pertumbuhan dalam
perikehidupan yang berkesinambungan antara kehidupan duniawiah dan
ukhrawiyah, jasmaniah dan rohaniah atau antara kehidupan materil dan mental
spiritual. Dalam pelaksanaan oprasinal asas adil dan merata, asas menyeluruh
dan asas integralitas, juga dijadikan pegangan dalam pendidikan praktis sesuai
pandangan teoritis yang dipegangnya.
3. Modal dasar pendidikan Islam adalah kemampuan dasar (Fitrah) untuk
berkembang dari masing-masing pribadi manusia yang dikaruniai Tuhan.
Kemampuan dasar ini merupakan potensi mental spiritual dan fisik yang
diciptakan Tuhan sebagai "fitrah" yang tidak bisa diubah atau dihapuskan oleh
siapa pun, akan tetapi dapat diarahkan perkembangannya dalam proses
pendidikan sampai titik optimal yang berakhir pada takdir Tuhan.
4. Sasaran strategis pendidikan Islam adalah menanamkan dan mengembangkan
nilai-nilai agama dan nilai-nilai ilmu pengetahuan secara mendalam dan
meluas dalam pribadi anak didik, sehingga akan terbentuk sikap beriman dan
115M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis BerdasarkanPendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 11-14.
54
bertakwa dengan kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Ruang lingkup pendidikan Islam adalah mencakup kegiatan-kegiatan
kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam
bidang kehidupan manusia.
6. Metode yang digunakan dalam proses pencapaian tujuan adalah metode yang
didasarkan atas pendekatan-pendekatan keagamaan (religious), kemanusiaan
(humanity), dan ilmu pengetahuan (scientific), pendekatan tersebut dilakukan
atas landasan nilai-nilai moral keagamaan. Dengan demikian maka semboyan
kaum atheis yang menyatakan "tujuan dapat menghalalkan segala cara" (the
aim santifies the means), bertentangan dengan pendidikan Islam.116
Pendidikan memang merupakan aktivitas yang diarahkan untuk
pengembangan individu sepenuhnya. Akan tetapi menurt Ashraf, dikatakan bahwa
dalam konsep pendidikan Islam harus jelas pengertian tentang pengembangan
individu yang dimaksudkan. Manusia merupakan wakil Tuhan di bumi dan
seluruh ciptaan lainnya tunduk kepada manusia.117
Aktivitas pendidikan Islam seyogianya dapat membentuk kepribadian
yang memiliki nilai-nilai agama Islam,memilih dan memutuskanserta berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab dengan nilai-nilai Islam.118
Aktivitas pendidikan Islam itu juga harus merupakan sebuah upaya untuk dapat
menghasilkan perwujudan manusia yang berguna bagi dirinya dan bagi
masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkanajaran
Islam dalam berhubungan dengan Allah SWT. Dan dengan manusia serta sesama
makhluk lainnya, dan dapat mengambil manpaat yang semakin meningkat dari
alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat.119
116M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis BerdasarkanPendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 16-17
117Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pengantar Sayid Husein Nasr (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1996), 1.
118Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif,1989), 23.
119Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 31.
55
Jadi pendidikan (tarbiyah) adalah menjaga dan memelihara fitrah anak,
mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam dan
mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan
kesempurnaannya yang layak serta dilaksanakan secara bertahap
Untuk melengkapi pendalaman tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan
dengan pendidikan Islam, maka tidak ada salahnya jika dikutip hasil rumusan
Konferensi Dunia pertama tentang tujuan pendidikan Islam di Mekah pada tahun
1977 sebagai berikut;
”Pendidikan seharusnya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan yangseimbang dalam kepribadian manusia secara total malalui latihansemangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh. Karena itu,pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusiadalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal,ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif disamping memotifasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dankesempurnaan”.120
Sedangkan menurut Quthb, bahwa ciri khas pendidikan Islam adalah
melakukan pendekatan yang menyeluruhterhadap wujud manusia, jasmani dan
rohani, fisik dan mental, Islam memandang manusia secara totalitas dan kembali
kepada fitrahnya. Dengan kata lain, Islam menempatkan manusia menurut apa
yang ada padanya.121
Dari uraian ini dapat diambil beberapa kesimpulan asasi untuk memahami
makna pendidikan, yaitu; pertama, merupakan satu proses yang mempunyai
tujuan atau sasaran, kedua, secara mutlak, pendidik yang sebenarnya adalah Allah
SWT. Pencipta fitah dan pemberi berbagai potensi. Ketiga, pendidikan menuntut
adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan
pendidikan dan pengajaran,sesuai dengan urutan yang telah disusun secara
sistematis, dan keempat, kerja pendidik harus mengikuti aturan penciptaan dan
120Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pengantar Sayid Husein Nasr(Jakarta: ustaka Firdaus, 1996), 25.
121Muhammad Quthb, Minhaju al Tarbiyah al Isla>miyah (Bairut: Dar al Syuruq, t.t.), 14.
56
pengadaan yang dilakukan oleh Allah, sebagai man harus mengikuti syara" dan
Din Allah.122
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam adalah
usaha mengembangkan fitrah manusia sesuai dengan ajaran agama Islam, agar
tercapai kehidupan manusia yang makmur dan bahagia. Jadi di dalam pengertian
pendidikan Islam tersebut terkandung empat masalah pokok, yaitu; pertama,
usaha mengembangkan, kedua, fitrah manusia, ketiga, ajaran agama Islam, dan
keempat, kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.123
Jadi hakikat pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendidikan itu
sendiri. Secara pedagogis pendidikan merupakan upaya sadar dan bertujuan. Yang
berarti pekerjaan mendidik mengandung makna serangkaian proses kegiatan yang
menuju kearah tujuan. Tujuan merupakan salah satu faktor yang paling penting
dalam proses pendidikan. Sebab pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan
menimbulkan ketidak menentuan (ideterminisme).
Membicarakan tujuan pendidikan, menuntun kita kepada
memperbincangkan dua hal yang amat penting, pertama, mengajak kita untuk
membahas mengenai tujuan hidup, lebih tegasnya tujuan hidup manusia,bvsebab
tujuan pendidikan pada dasarnya adalah identik dengan tujuan hidup manusia di
bumi ini. Pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk
memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.124
Di pihak lain, pada hakikatnya manusia didik adalah untuk mewujudkan
dari tujuan hidupnya itu sendiri,125 dan tujuan hidup itu sendiri ditentukan oleh
pandangan hidup setiap manusia. Oleh karena itu, T.S. Eliot, dalam pendidikan
122Abdurrahman An-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Isla>miyah, terj. Herry Noer Aly,Prinsip-Prinsip Dasar dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan diMasyarakat (Bandung: Diponegoro, 1992), 31-32.
123Syahmina Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: KalamMulia, 1986), 1-4.
124Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Psikologis danPendidikan (Jakarta: Pustaka al-husna, 1989), 33. lihat juga hasan Langgulung, Asas-AsasPendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), 305.
125Syahmina Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam , 35.
57
yang terpenting adalah tujuannya harus diambil dari pandangan hidupnya atau
nilai-nilai yang dianut dalam hidup dan kehidupannya.126
Ke dua, mengajak kita untuk membahas mengenai sifat asal (nature)
manusia, sebab pada diri manusia itulah dicita-citakan sesuatu yang akan
ditanamkan oleh pendidikan.127 dari pandangan ini, maka tujuan lebih tepat
diidentifikasi sebagai dunia cita, yaitu suasana yang cukup ideal atau dapat
disebut nilai-nilai ideal yang akan diwujudkan oleh pendidikan.128 Nilai-nilai
ideal dalam Islam yang dijadikan dasar untuk menetapkan tujuan pendidikan
Islam adalah nilai-nilai yang berkisar pada seputar hakikat manusia,
kedudukannya di alam semesta dan akhir hidupnya.
Berdasarkan penuturan Hajid ’Arsyan al-Kailani, secara filosofis, Islam
menetapkan bahwa manusia itu adalah makhluk Allah yang memiliki multi relasi,
ia berhubungan dengan penciptanya, (al-’Alaqah baina al- Khaliq wa al-Insan), ia
berhubungan dengan alam (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-Kaon), ia juga
berhubungan dengan manusia lain (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-Insan), dengan
kehidupan dunia (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-hayah), dan dengan kehidupan
akhirat (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-akhirah).129 Jadi manusia hidup diarahkan
untuk dapat memenuhi relasi-relasi tersebut. Ketika suatu relasi aja terabaikan
oleh manusia, maka akan memiliki efek samping yang tidak sederhana terhadap
relasi-relasi yang lainnya.
Dengan demikian, dapat ditetapkan bahwa tujuan pendidikan baik
berdasarka tujuan dan pandangan hidup maupun berdasarkan sifat asal (nature)
manusia, ditujukan untuk mengintegrasikan dan menyeimbangkan aspek jasmani,
akal dan rohani, mengintegrasikan dan menyeimbangkan sisi individu dan sosial,
126Nelsen, F. Du Bois, Educational Psychology and Instructionsl Decision (HomeWood:Illionis: the Dorsey Press, 1979), 14.
127Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Pikologis danPendidikan, 33.
128Zuharaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 159.
129Hajid ‘Arsyan al-Kailani, Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>miyah (Mekah al-Mukarramah:Muktabah Hadi, 1987), 83.
58
mengintegrasikan dan menyeimbangkan posisinya sebagai ’abid dan khalifah,
serta mengintegrasikan dan menyeimbangkan aspek kehidupan dunia dan akhirat.
Jadi hakikat pendidikan merupakan satu usaha yang dilakukan secaca terus
menerus dan bertahap dalam rangka memberikan bimbingan dan arahan kepada
fitrah (Potensi) yang dimiliki manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup di
dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.
Akhirnya dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tugas dan tanggung
jawab pendidikan baik secara umum maupun secara pendidikan Islam adalah
terletak pada orang tua, diri sendiri, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Artinya
dalam kaitan ini kemajuan ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari keikutsertaan
pemerintah dalam membangun dunia pendidikan, tapi bukan berarti pula
segalanya harus ditentukan oleh pemerintah, karena tanggung jawab pendidikan
juga bukan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah, melaikan pula
orangtua, pribadi, sekolah dan masyarakat.
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa tanggung
jawab Negara dalam hal pendidikan menjadi prioritas yang utama. Oleh karena
itu, peran pemerintah dalam hal ini ikut serta mendorong, mempasilitasi terhadap
proses pencapaian tujuan pendidikan, dengan keberhasilan dan pencapaian tujuan
pendidikan maka berarti pula tujuan negara pun semakin dekat untuk dapat
diwujudkan.
59
BAB III
PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN DAN ILMU
PENGETAHUAN SEBELUM AL-MA’MUN
Lembaga pendidikan merupakan salah satu sarana pembelajaran atau
tempat yang efektif untuk menyebarkan (menstranfer) ilmu dan pengetahuan.
Lembaga pendidikan ini telah ada sejak zaman dahulu dan telah dikenal sejak
zaman Yunani Kuno.
Dalam Islam sendiri lembaga pendidikan ini telah dikenal sejak zaman
Rasullah SAW. menyebarkan Islam di Mekkah, yaitu dengan menggunakan
rumah salah satu sahabat Nabi yang bernama Arqam bin Arqam di bukit shafa,
sebagai sarana pendidikan tempat untuk Nabi menyampaikan wahyu yang ia
terima-Nya atau menyebarkan ajaran Islam kepada para sahabat, walau dengan
cara sembunyi-sembunyi (sirriyah). Baru kemudian setelah Nabi melakukan
Hijrah, proses pendidikan dapat diselenggarakan di masjid-masjid bahkan setelah
itu menyebar bukan hanya sekedar di masjid-masjid melainkan dapat juga
diselenggarakan di tempat lain, seperti; istana, toko-toko buku, perpustakaan dan
lain sebagainya.
Perkembangan lembaga pendidikan sejak pertama telah menunjukan
signifikansi dan keunggulannya. Sebab, dengan menggunakan cara pelembagaan
pendidikan, setidaknya penyebaran ilmu pengetahuan mempunyai nilai dan
kwalitas yang baik. Transformasi ilmu pengetahuan akan dapat berlangsung lebih
efektif apabila didukung dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai
dan baik. Hal ini mengingat bahwa perjalanan pendidikan Islam telah menunjukan
era keemasannya pada zaman klasik, oleh sebab itu pada bab ini akan di uraikan
mengenai perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu pengatahuan
pada masa sebelum pemerintahan al-Ma’mun.
A. Perkembangan Lembaga Pendidikan Sebelum al-Ma’mun.
Pada awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan Islam formal yang
sistematis belumlah terselenggara, kalau pun ada, pendidikan yang berlangsung
60
bisa dikatakan bersifat informal, dan ini pun lebih dari pada berkaitan dengan
upaya-upaya Dirasah Islamiyah – lebih kepada penyebaran dan penanaman
dasar-dasar keyakinan atau kepercayaan dan ibadah Islam.130 Jadi, sebelum
adanya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal dengan lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya sudah berkembang lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal.
Banyak ahli sejarah yang berbeda pendapat mengenai bagaimana bentuk
(format) dan klasifikasi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebenarnya tidak
terlalu begitu krusial mengenai perbedaan-perbedaan pendapat tersebut. Akan
tetapi yang perlu dikemukakan disini adalah pendapat-pendapat para ahli
pendidikan.
Menurut Charles Michael Stanton, seorang pemerhati pendidikan
mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam di masa klasik itu ada dua macam,
yaitu lembaga pendididkan Islam Formal dan lembaga pendidikan Islam yang
bersifat informal.131 Ada pun kriteria yang dipergunakan Stanton untuk
membedakan kedua bentuk lembaga tersebut adalah hubungan antara lembaga-
lembaga pendidikan dengan Negara yang berbentuk theokrasi. 132
Lembaga pendidikan formal, adalah merupakan lembaga pendidikan yang
didirikan oleh negara dengan tujuan untuk mermpersiapkan pemuda-pemuda
Islam agar dapat menguasai ilmu pengetahuan agama dan supaya dapat berperan
dalam menyebarkan agama atau menjadi tenaga birokrasi atau pegawai
pemerintahan.Lembaga-lembaga pendidikan formal ini dalam pengoprasinalannya
mendapatkan biaya subsidi dari penguasa dan dibantu oleh orang-orang kaya yang
berupa harta wakaf.
130Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan (Jakarta:Logos, 1994), V, Bandingkan dengan AzyumardiAzra, Pendidikan Islam (Jakarta:Logos, 2000), vii
131Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan, 122.
132Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan, 46.
61
Ada pun pengelolaan administrasinya berada di tangan penguasa.
Sedangkan kurikulum dari lembaga pendidikan formal ini biasanya terdiri dari
ilmu agama dan ilmu naqliyah. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan informal
tidak dikelola oleh pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan informal inilah
yang kemudian menawarkan kurikulum pelajaran-pelajaran yang bersifat umum
disamping ilmu pengetahuan agama, termasuk di dalamnya dipelajari tentang
filsafat.133
Berbeda dengan Stanton, George Makdisi membagi lembaga pendidikan
Islam (sebelum lahirnya madrasah) menjadi dua tipe, yaitu lembaga pendidikan
yang bersifat exklusif (tertutup) terhadap dunia pengetahuan umum dan lembaga
pendidikan yang bersifat inklusif (terbuka) terhadap dunia pengetahuan umum
disamping agama.134 Makdisi lebih melihat kepada pendidikan yang pernah
dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yaitu suatu pendidikan atau pembelajaran
yang diberikan kepada anak-anak raja di istana yang diberikan oleh guru-guru
yang khusus di datangkan pihak istana, yaitu dengan cara private.
Pada dasarnya apa yang dikemukakan oleh Stanton dan Makdisi adalah
lebih melihat kepada materi yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan
tersebut, bukan kepada metode dan atau bagaimana bentuk dari lembaga-lembaga
tersebut. Meskipun demikian, Makdisi tampaknya lebih menekankan kepada
bagaimana dan apa materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam,
sedangkan Stanton melihatnya lebih kepada bentuk kelembagaannya itu sendiri.
Berbeda dengan Stanton dan Makdisi, Asma Hasan Fahmi lebih cenderung
melihat kepada (lembaga) pendidikan keluarga lah sebagai pusat (lembaga)
pendidikan pertama, seperti yang terjadi pada masa Rasulullah, bahwa proses
pendidikan Islam pertama kali berlangsung di salah satu rumah sahabat Nabi yang
bernama Arqam,135 setelah masyarakat Islam mulai terbentuk, maka pendididkan
133Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 46.
134George Makdisi, Typology of Institutions of Learning dalam AN Anthology Studiesoleh Issa J.Baullata (Montreal: McGill Indonesia IAIN Develovment Project, 1992), 16
135Lewis Ma'luf, Al Munjid fil Lughah Wal A’lam (Bairut: al-Athba>hal Salikiyah, 1908),150.
62
mulai dilaksanakan di lembaga-lembaga seperti; masjid, kutab, perpustakaan,
h{awanit al-Warraqin, ribat{, rumah sakit dan madrasah (sekolah).136
Dengan demikian, lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga yaitu;
masdjid, kutab, perpustakaan, h{awanit al-Warraqin, ribat dan lain sebagainya
adalah merupakan lembaga pendidikan ‘formal’ dalam Islam klasik. Dalam hal ini
baik Stanton, Makdisi dan Hasan Fahmi sepakat.
1. Masjid
Sejarah pendidikan dalam Islam mulai berlangsung sejak diangkatnya
Muhammad menjadi Nabi dan Rasul oleh Allah SWT. Yang ditandai dengan
diterimanya wahyu pertama melalui malaikat Jibril di guha Hira pada tahun 610
M. Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi sebagai mana dikutip Hanun,
menjerlaskan bahwa; pendidikan Islam telah terjadi sejak nabi Muhammad
diangkat menjadi Rasul Allah di Mekah dan Beliau sendiri sebagai gurunya.137
Pada waktu itu Muhammad sebagai calon guru pertama dalam Islam
diajarkan oleh Jibril untuk membacakan surat al-‘Alaq sebagai berikut:
“ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telahmenciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahapemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam(Maksudnya: Allahmengajar manusia dengan perantaraan tulis baca) Dia mengajar kepada manusiaapa yang tidak diketahuinya.”138
Kemudian disusul dengan wahyu yang kedua tentang perintah kepada
Nabi untuk bangkit memberikan peringatan kepada manusia dan mengangungkan
nama Allah SWT.meninggalkan kebiasaan kebiasaan buruk agar hidup bisa bersih
136Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1979), 29. lihat juga, Muhammad Munir Musa,Al-Tarbiyah al-Isla>miyah: Ushuluha waTathawuruha Fi al-Bilad al-’Arab (Cairo: Alam Kutub, 1977), 91
137Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 12
138Departeman Agama, Al Qur’an dan terjemah, 1079.
63
lahir dan bathin. Dari sinilah dimulainya gerakan pendidikan dan pengajaran
dalam Islam pertama di Mekah,dan dilaksanakan di rumah Arqam binArqam.
Pendidikan Islam mulai dilaksanakan oleh Rasulullah setelah mendapat
perintah dari Allah SWT. Agar menyeru kepada Allah SWT., sebagai mana
termaktub dalam al-Qur’an, surat al-Muddatstsir (74) ayat 1-7, sebagai berikut;
” Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan! DanTuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosatinggalkanlah,Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh(balasan) yang lebih banyak.Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,bersabarlah.”139
Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti juga mendidik.
Pendidikan pada masa itu merupakan proto type yang harus terus menerus
dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pada masanya nanti.
Di rumah keluarga inilah Rasulullah menjadikan sebagai lembaga
pendidikan Islam pertama guna mengadakan dan menyalurkan perubahan dalam
masyarakat.140 Pembinaan masyarakat yang dilakukan Nabi bersama para
sahabat-Nya nampak pada perubahan yang terjadi pada masyarakat Arab meliputi
segala segi dan bidang kehidupan.
Dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah merupakan pertanda
baru bagi lembaga pendidikan dalam sejarah pendidikan Islam di samping
keluarga dan masyarakat. Lembaga pendidikan baru ini bernama Masjid.
Masjid pada periode awal merupakan lembaga pendidikan informal dan
memiliki peranan serta pengaruh yang sangat besar dalam upaya penanaman dan
penyebaran nilai-nilai dasar keislaman, disamping fungsi utama masjid adalah
sebagai tempat untuk beribadah, juga di pergunakan sebagai sarana yang amat
penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka,
139Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995), 992
140Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Mutiara, 1966), 14.
64
di samping itu juga sebagai tempat bermusyawarah, berunding, menyelesaikan
berbagai permasalahan yang dihadapi saat itu.141
Pada zaman Rasulullah, masjid juga berfungsi sebagai sarana pengajaran.
Sebagai otoritas penafsir wahyu Allah (al-Qur’an), beliau seringkali
menyampaikan berbagai hal kepada masyarakat,baik di dalam maupun di luar
masjid, sementara pendengarnya membentuk lingkaran (h{alaqah) di depan Nabi.
Sepeninggal Nabi,tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dengan
penambahan materi hadits-hadits Nabi.
Sebagai pusat pendidikan, peranan dan pengaruh masjid sangat besar
terutama ditunjukan untuk mengingatkan manusia akan kehidupan ukhrawi atau
kehidupan setelah kehidupan di dunia, oleh sebab itu maka materinya pun berkisar
pada pengetahuan keagamaan. Metode yang sering di gunakan di masjid terutama
adalah nasihat-nasihat dan kisah-kisah.142
Masjid dikenal sebagai sebuah institusi pendidikan tertua dan sangat
penting dalam perjalanan sejarah ummat Islam. Masjid adalah pusat utama bagi
perkembangan ajaran dan kebudayaan Islam. Masjid yang pertama kali dibangun
oleh Rasulullah pada perjalanan hijrahnya dari Mekah menuju ke Madinah adalah
masjid yang bernama “Masdjid Quba” kemudian disusul dengan masjid nabawi
yang dibangun di kota Madinah.143 Dalam merancang bangunan masjid dia
menggunakan pengetahuannya mengenai biara Kristen yang berfungsi ganda,
sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan.144
Selain sebagai tempat peribadatan, masjid juga dijadikan sebagai
“lembaga pendidikan”, Rasulullah telah memulainya dengan mengajarkan pokok-
pokok ajaran Islam kepada para sahabatnya di rumah Arqam bin Arqam sebagai
tempat untuk pembelajaran. Di sini pula Rasulullah menerima para tamu yang
141Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 26.
142Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1979), 29.
143M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), 461.
144Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 23.
65
ingin bertanya kepadaNya tentang ajaran Islam dan orang-orang yang ingin
masuk Islam.
Menurut Hasan Langgulung, kurang lebih 13 tahun lamanya Rasulullah
menjadikan rumah keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam Islam guna
mengadakan dan menyalurkan perubahan dalam masyarakat.145 Dengan demikian
dapat di katakan bahwa sebelum masjid dijadikan sebagai satu tempat
pembelajaran, maka jauh sebelum itu kegiatan pembelajaran telah dilakukan di
keluarga atau rumah tangga pada awal Islam di Mekah.
Akan tetapi, dengan hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Dari kota Mekah ke
Madinah, hal ini merupakan awal pertanda bagi terbukanya lembaga pendidikan
baru dalam sejarah pendidikan Islam – disamping keluarga – yaitu masdjid,
sebagai “tempat” atau “lembaga” pengganti rumah.
Masjid pertama yang didirikan kaum muslimin di Madinah adalah Masjid
Quba.146 di sinilah mereka mengatur segala urusan,bermusyawarah guna
mewujudkan tujuan,menghindarkan berbagai kerusakan dari mereka, saling bahu-
membahu dalam mengatasi berbagai masalah dan menghindarkan dari setiap
kerusakan terhadap aqidah, diri dan harta mereka.
Masjid dalam sejarah pendidikan Islam tidak hanya sekedar berfungsi
sebagai tempat untuk beribadah semata, melainkan juga berfungsi sebagai pusat
pendidikan dan kebudayaan hingga saat sekarang.Masjid dalam fungsinya sebagai
pusat pendidikan dan kebudayaan memainkan peranan yang penting pada periode
pertama. Sebagai lembaga pendidikan,masjid merupakan pusat tempat berlakunya
proses pendidikan Islam. Di dalam masjid didirikan atau diadakan tempat untuk
belajar baik itu di dalam mau pun di samping masjid dalam bentuk s{ufah atau
kut{t{ab.
Masjid dalam fungsinya sebagai pusat kebudayaan, merupakan tempat
bagi kegiatan sosial, politik, budaya dan agama. Khususnya dalam kehidupan
social dan politik yaitu sebagai pusat dalam pelaksanaan urusan kenegaraan
145Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Al-Husna, 1985), 25.lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 14.
146Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 4-5
66
seperti tempat pembaiatan khalifah, tempat pertemuan dan tempat
bermusyawarah.147
Namun setelah masyarakat Islam memasuki era kemajuan, maka masdjid
pun turut mengalami perubahan. Kompleksnya tuntutan masyarakat akan masjid
menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan tentang masjid, sehingga masdjid
terbagi menjadi dua; yaitu masdjid tempat shalat jum’at atau masjid jami’ dan
masjid biasa. Istilah jami’ berasal dari Masjid jami’. Akhirnya hanya disebut jami’
sebagai lawan dari masjid yang tidak dipakai untuk melaksanakan kegiatan shalat
jum’at.
Menurut George Makdisi, jumlah jami’ lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah masdjid. Pada abad ke-11 M. di Baghdad hanya terdapat enam jami’tetapi
beratus-ratus masdjid dapat di jumpai di sana. Begitu pula di damaskus, sedikit
sekali jumlah jami’ dibandingkan dengan jumlah masdjid. Di Kairo – berbeda
dengan di Baghdad dan di Damaskus- terdapat jami’ sebagai sarana mengkanter
mazhab-mazhab Sunni, khususnya Mazhab syafi’i.148
Baik jami’ mau pun masjid biasa keduanya dipergunakan sebagai tempat
proses terjadinya pendidikan Islam, namun demikian, perbedaan status suatu
mesdjid pasti akan mengakibatkan perbedaan karakteristik di kedua masdjid
tersebut. Jami’ sebagai lembaga pendidikan , memiliki h{alaqah-h{alaqah,149 yang
mengajarkan berbagai disiplin ilmu agama. H{alaqah adalah membentuk lingkaran
147Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan IslamKlasik (Bandung: Angkasa, 2004), 35
148George Makdisi, Typology of Institutions of Learning dalam Anthology Studies olehIssa J.Baullata (Montreal: McGill Indonesia IAIN Develovment Project, 1992), 13. Bandingkandengan Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta:Logos, 1994), 35-36
149H{alaqah artinya lingkaran. Lembaga ini secara umum dikenal dengan system h{alaqah.Kegiatan h{alaqah biasanya terjadi di masdjid-masdjid atau di rumah-rumah. H{alaqah yangbiasanya terjadi dirumah dilaksdanakan oleh seorang ulama dengan mengundang murid-muridnyauntuk berdiskusi atau berdebat atau mengajar kepada murid-murid. Kegiatan ini berlangsungsecara terus menerus. Bahkan setelah madrasah lahir , sitem h{alaqah ini di laksanakan juga dimadrasah-madrasah. Dari sini kelihatannya h{alaqah ini merupakan semacam metode penyampaianmateri pelajaran, akan tetapi h{alaqah ini tidak dapat disebut sebagi satu metoda, karena iamerupakan ”lembaga” tersendiri meski tidak berlangsung disuatu gedung tersendiri. Iamenunjukan adanya kebebasan penuh bagi guru-guru atau ulama-ulama untuk mengajar. Lihat,Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 49.
67
yang mengelilingi seorang syaikh yang dengan kefasihannya dalam berbicara dan
kedalaman ilmu pengetahuannya dapat menarik para pendengar.150
Hal yang menonjol pada periode pertama ini adalah bahwa pendidikan
yang dilakukan di masjid dalam bentuk h{alaqah ini diberikan dengan cuma-Cuma
dan merupakan kewajiban bagi semua anak umat Islam untuk mendapatkannya,
metoda pengajaran yang diberikan antara lain, membaca,menulis,menerangkan al-
Qur’an,dan menjadikan murid untuk mengenal kebudayaan Islam dan arab.
Kegiatan pengajaran yang berbentuk majlis-majlis juga seringkali
dilaksanakan di jami’. Bahkan tidak sedikit jami’ yang memiliki zawiyah-
zawiyah, - tempat orang-orang yang senantiasa ingin mendekatkan diri kepada
Tuhan – yang mengajarkan keagamaan . Zawiyah itu didirikan dan dipersiapkan
untuk seorang syaikh yang terkenal yang bertugas untuk mengajarkan ilmunya
dan mengasingkan diri untuk beribadah. Pada umumnya zawiyah ini dikenal
dengan nama syaikh yang terkenal karena ilmunya dan ketaqwaannya.151
Berbeda dengan jami’, masdjid-masdjid memberikan kebebasan penuh
kepada umat Islam untuk mengadakan h{alaqah-h{alaqah. Karena masjid tidak
berhubungan dengan kekuasaan, ulama-ulama yang mengajar di masdjid tidak
terkait dengan otoritas penguasa.
Peran ulama dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan di sini tidak
terbatas hanya kepada ilmu-ilmu agama, tetapi juga terhadap ilmu umum seperti
Filsafat, teologi, sastra, kedokteran dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
kapabilitas dan kredibilitas keilmuawan ulama pada abad ini tidak hanya diakui
oleh ilmuwan muslim saja, tetapi juga diakui oleh ilmuwan di seluruh penjuru
dunia.
Biaya pendidikan pun tidak di bebankan kepada Negara, akan tetapi, di
tanggung bersama antara murid-murid dan umat Islam secara umum. Namun,
tidak menutup kemungkinan ada penguasa yang dengan suka rela menafkahkan
sebahagian harta bendanya untuk terselenggaranya pendidikan. Misalnya, khalifah
150Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 24.
151Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1979), 47.
68
al-Qadir pernah mengirimkan makanan yang diambilkan dari atas mejanya sendiri
untuk dibagi-bagikan kepada murid-murid yang sedang belajar dan timnggal di
masjid.152 Konon ibnu Tulun sering mengirim utusannya untuk memberikan uang
kepada para pelajar yang kehabisan bekal uang untuk biaya hidup sehari-hari.153
Adapun pada awalnya, menurut Sayyid Hossein Nasr, bahwa sitem
pendidikan yang dilaksanakan di masdjid hanyalah terbatas pada Al-Qur’an dan
Hadits. Namun dalam perkembangannya, di masjid juga tidak hanya sekedar
mengajarkan Al-Qur’an dan Hadits saja, melainkan juga menawarkan kajian-
kajian yang bervareatif mencakup; tafsir, fiqh, kalam, bahasa arab dan sastra.lebih
jelas Seyyed Hossein Nasr memberi batasan bahwa berfungsinya masdjid sebagai
sekolah adalah ketika Umar bin Khattab berkuasa, dengan bukti masdjid yang ada
di kota Kufah, Basrah dan Damaskus yang telah dipergunakan untuk pengajaran
al-qur’an dan Hadits. Kemudian lambat laun ditambah dengan pelajaran Nahwu
(gramatika) dan sastra di gabungkan pula ke dalam institusi pendidikan ini.
Masjid yang dimaksud adalah masdjid jami’ al-Thuluni dan masdjid al-Azhar.154
Batasan usia dalam pendidikan di masjid tidak dianggap penting lagi,
hanya kepada anak-anak perlu lebih diperhatikan terlebih dahulu.155 Jadi masjid
muncul sebagai pusat pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi bagi remaja dan
orang dewasa dalam ilmu-ilmu agama.156
Dengan demikian bahwa lembaga pendidikan dalam Islam telah ada sejak
periode-periode awal Islam yang secara berarti bahwa sistem pendidikan Islam
pun telah mulai dilaksanakan di masjid, sebagai pusatnya.
Bahkan dalam beberapa hal hingga pra madrasah telah berkembanglah
lembaga-lembaga pendidikan lainnya seperti; Maktab, Bait al-hikmah, Majlis
152A.S. Tritton, Materials On Muslim Education in the Middle Age (London: Luzac,1957)
153Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 47.
154Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Lihatjuga Armai Arief,Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: CRSD Press, 2005), 103.
155Sayyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban di dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1990),50.
156Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, .23.
69
(tempat perkumpulan para cendikiawan dan para pelajar), Observatori-observatori
dan zawiyah di dalam persaudaraan sufi.157 Jadi pendidikan Islam secara informal
telah ada sejak permulaan Islam (masa Rasulullah setelah hijrah ke Madinah),
yakni dengan membangun masjid yang kemudian difungsikan bukan hanya
sekedar untuk ibadah semata, tapi, kemudian difungsikan pula untuk
melaksanakan proses pembelajaran dengan cara lingkaran belajar atau h{alaqah.
2. Maktab
Lembaga pendidikan kutab atau maktab ini telah ada sejak masa pra Islam.
Hal ini tentu saja terkait dengan kegiatan pendidikan saat itu, yang menurut M.
Hamidullah sudah berkembang dengan baik, meskipun diakuai bahwa catatan-
catatan pada masa jahiliyah tidak dapat ditemukan, namun ia mendapatkan
beberapa bukti yang dapat memberikan gambaran situasi pendidikan saat itu.158
Penjelasan Hamidullah tersebut belum menunjukan apakah kegiatan
pendidikan tersebut bersifat masal atau hanya diikuti oleh orang-orang tertentu.
Dalam hal ini Ahmad Shalabi, dengan merujuk pada karya Al-Baladuri, Futuh al-
Buldan menjelaskan bahwa Sufyan bin Umayyah dan Abu qais bin 'Abdul Manaf
adalah orang arab asli pertama yang belajar membaca dan menulis. Guru mereka
adalah seorang nasrani yang bernama Bishr 'Abd Al-Malik yang telah belajar ilmu
ini di Hira, dan orang arab pertama yang menjadi guru adalah Wadi al-Qura yang
hidup di sana dan mualai mengajarkan membaca dan menulis kepada penduduk
Arab. Sehingga, peda saat datangnya Islam hanya ada 17 orang quraisy yang
mengenal tulis baca.159
Dengan merujuk kepada data yang di tulis oleh Shalabi, dapat dikatakan
bahwa kegiatan pendidikan menulis dan membaca hanya dilakukan oleh
sekelompok orang dan khususnya di Mekah. Hal ini bisa dimaklumi karena
kebiasaan penduduk di Jazirah Arab selalu berpindah-pindah (nomaden) tentu
157M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), 224.
158Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan IslamKlasik (Bandung: Angkasa, 2004), 46.
159Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 16.
70
perhatian yang mereka berikan lebih besar kepada pemenuhan kebutuhan primer
berupa makanan, sementara kegiatan pendidikan mereka anggap tidak penting
sama sekali, karena keterampilan menulis dan membaca belum menjadi hal yang
umum dimiliki masyarakat saat itu, maka yang berkembang saat itu adalah tradisi
lisan. Dalam kondisi seperti itu, maka yang menjadi "guru" adalah mereka yang
paling banyak memiliki hafalan.160
Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan sepakat bahwa maktab/kuttab
adalah sebuah lembaga pendidikan dasar. Sulit memang rasanya untuk
menentukan apakah maktab dan kuttab itu merupakan dua nama untuk satu
lembaga ataukah dua nama yang saling berbeda satu sama lainnya.Juga tidak
diketemukan suatu kejelasan apakah kedua istilah tersebut dipakai secara
simultan. Akan tetapi menurut Shalaby, kuttab lebih berfokus kepada pengajaran
tulis-baca dan sering kali dilaksanakan oleh orang-orang Kristen.161
George Makdisi lebih jauh menjelaskan bahwa kedua istilah ini sebagai
bentuk pendidikan dasar.162 Menurutnya, Maktab jelas berbeda dengan kuttab,
paling tidak di Naisapur. Untuk memperkuat pendapatnya ini, dia menjelaskan
laporan bahwa Abdul Gharif Al-Farisi pernah belajar dimaktab pada usia lima
tahun, untuk mempelajari Al-qur’an dan ilmu-ilmu Agama di Persia. Setelah usia
sepuluh tahun, ia kemudian memasuki kuttab untuk mempelajari sastra.
Seterusnya ia pun menjelaskan bahwa ada laporan bahwa maktab adalah sekolah
tingkat dasar yang mempelajari khat, kaligrafi, Al-Qur’an, Akidah dan Syair.
Muniruddin Ahmed, sebagai mana mengutip al-Mubarrad, berpendapat
bahwa al-maktab merupakan suatu tempat untuk melakuakan kegiatan belajar
mengajar, sedangkan al-kuttab adalah sebutan bagi pelajar yang belajar di
maktab.seterusnya Ahmed mengutip penjelasan Tadj al-’Arus yang memaparkan
160Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Period (Maryland:Rowman &Littlefield,Inc., 1990), 14.
161Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 16-17.
162George Makdisi, “Typology of Institutions of Learning” dalam An Anthology Studiesoleh Issa J.Baullata, (Montreal: McGill Indonesia IAIN Develovment Project, 1992),13. Dengandemikian pendidikan kutab merupakan pendidikan dasar yang mempersiapkan anak-anak untukmelanjutkan studinya di masdjid. Lih. Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 100.
71
tentang laporan tentang Salman al-Farisi sebagai orang yang pertama kali
memperkenalkan lembaga kuttab, jadi lembaga ini sudah dikenal di Persia
sebelum Islam. Dengan demikian Ahmed menyimpulkan bahwa istilah kuttab
paling tidak merupakan istilah yang sudah ada pada masa Salman al-Farisi, akan
tetapi ia tidak memperkenalkan nama lembaga kuttab yang tidak dikenal (asing)
bagi pendengaran orang-orang Arab. Kemungkinan lain ada seseorang yang
menambahkan nama kuttab pada laporan sejarah tersebut. Terlepas benar atau
salah penggunaan istilah antara maktab dan kuttab, yang jelas telah di sepakati
bersama bahwa keduanya adalah merupakan sebuah lembaga pendidikan tingkat
dasar.163
Di dunia Arab, Kuttab/Maktab dikenal ada 2 macam, menurut Shalabi,164
kuttab yang pertama adalah kuttab yang berfungsi sebagai tempat yang
dipersiapkan untuk anak-anak belajar membaca dan menulis, dengan teks dasar
puisi-puisi Arab dan dengan sebahagian besar guru-gurunya adalah non-Muslim.
Kuttab jenis ini telah ada sebelum Islam berkembang di tanah Arab. Hal ini
dibuktikan oleh tindakan Rasul atas sejumalah tawanan Badar yang dibebaskan
setelah mereka mengajarkan tulis - baca kepada sejumlah anak-anak muslim.165
Pada kuttab jenis ini peserta didik diajarkan tulis-baca dengan teks dasar puisi-
puisi Arab. Hal ini menunjukan sebelum adanya al-Qur’an, puisi-puisi Arab
dianggap sangat penting sebab biasanya berisi ungkapan bahasa yang cukup halus
dan mempunyai nilai etika yang tunggi.
Kuttab yang kedua, adalah yang berfungsi sebagai tempat untuk
mempelajari Al-Qur’an dan prinsip-prinsip ajaran Islam lainnya. Banyak
dikalangan ilmuwan,seperti Philip K. Hitti, Ahmad Amin, dan Inaz Goldziher
yang terjebak dengan menyamakan antara kedua jenis kuttab tersebut.sehingga
mereka beranggapan bahwa baik pelajaran tulis-baca maupun pelajaran al-qur’an
dan pelajaran dasar-dasar agama lainnya diajarkan pada kutab yang sama, dan
163Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 48.
164Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kashashaf, 1954), 19-20.
165Ahmad Shalabi, Ta >rikh al-Tarbiyat` al-Isla>miyyat{~~~~, 45.
72
kemungkinan guru-guru non muslim yang mengajarkan baca-tulis al-Qur’an
kepada anak-anak Muslim.166
Menurut Ahmad shalabi, kedua jenis kuttab itu terpisah, kuttab jenis ke
dua ini tidak ditemui pada masa paling awal, karena kuttab jenis ini baru dimulai
setelah qurra> (ahli baca) dan h{uffa>zh (penghafal) al-Qur’an telah banyak.167
Dalam hal ini Rasulullah pernah memerintahkan kepada al-Hakam bin Said untuk
mengajar pada sebuah kutab di Madinah.168
Sedangkan menurut Asma Hasan, kutab dalam jenis ini merupakan
pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di masdjid yang sifatnya
umum.169 Oleh kaena itu, pendidikan di sini dapat dilakukan apabila seorang guru
kuttab adalah orang yang hafal al-Qur’an.170Kuttab jenis ini baru berkembang
pada masa umayyah setelah jumlah qurra>’ dan h{uffa>zh telah banyak dan al-
Qur’an pun telah banyak digandakan. Pada masa-masa sebelumnya pengajaran al-
Qur’an berlangsung dalam h{alaqah di masjid-masjid atau rumah-rumah secara
informal.171
Namun demikian – tidak menutup kemungkinan – sistem kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan di kuttab atau s{uffah.172 Kadang-kadang dilaksanakan di
rumah-rumah guru-guru mereka, yang hanya dapat menampung beberapa murid
saja, ada juga yang dilakukan di tempat terbuka di luar masjid, karena anak-anak
dipandang terlalu kacau dan ribut jika dilakukan di dalam masjid.173 seperti kuttab
166Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan IslamKlasik (Bandung: Angkasa, 2004), 141.
167Ahmad Shalabi,Ta>rikh al-Tarbiyat ~al-Islamiyat ~, 44-48
168Jawad ’Ali, al-Mufashshal, VII, 292, Dikutip dari Hasan Asari, Menyingkap ZamanKeemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), 26
169Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,terj. Ibrahim Husein(Jakarta: Bulan Bintang, 1979),.30
170Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 19
171Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 102.
172Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Kudus, 1998), 87.
173Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 16-17.
73
milik Abu Qasim al-Balkhi di Kuffah. Kegiatan belajar mengajar di kuttab ini
berlangsung dari hari sabtu sampai hari kamis, sedangkan hari jum’at libur,174
karena pada hari itu akan dilaksanakan kegiatan shalat jum’at. Oleh karena itu
dapat dikatakan pula bahwa sistem pembelajaran di maktab/kuttab pada gilirannya
hanya menjadi semacam pelengkap atau ”lembaga privat”.175
Meskipun demikian, sistem pendidikan di kuttab ini tidak pernah
membeda-bedakan lapisan strata sosial anak, tidak ada perbedaan antara anak-
anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin, bahkan mereka memperoleh hak
yang sama dalam belajar. Bahkan di Persia pada abad kedua hijriah – pada
perkembangan selanjutnya – telah diwajibkan bagi seluruh orang tua untuk
mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di kuttab176, untuk dididik dan di
ajarkan ilmu-ilmu umum.
Pada abad pertama masa Islam klasik kurikulum yang diajarkan di kuttab
hanya terbatas pada pelajaran membaca dan munulis saja, kemudian meningkat
dengan diajarkannya pendidikan keagamaan. Oleh karena itu bisa dikatakan
bahwa kuttab pada masa itu merupakan lembaga pendidikan yang bersifat tertutup
untuk pelajaran ilmu pengetahuan umum.
Perkembangan lembaga pendidikan kuttab secara luas berlangsung pada
awal abad ke 2 hijriyah,yakni sejak masa Muawiyah. Menurut Hisham Nashabi,
perkembangan kuttab ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kebutuhan akan
keterampilan menulis dan membaca, sejalan dengan berkembangnya kegiatan-
kegiatan di kota-kota Islam baru,seperti pencatatan al-Qur’an dan Hadits, serta
perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan setelah adanya gerakan Arabisasi
pada masa Umayah.177
174Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30
175Secara umum, Kuttab pada gilirannya hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolahumum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Lih. Azyumardi Azra,Perndidikan Islam, (Jakarta: Logos, 2000), 97
176Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 32.
177Hisham Nashabi,”Educational Institution,” in R. Berkely, Islamic City (Princeton:Prenceton University Press, 1992), 70.
74
Seiring dengan perkembangan kemajuan, maka pada abad ke delapan
Masehi, di kuttab mulai diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum di samping ilmu-
ilmu agama. Bahkan pada akhirnya kuttab ini pun terbagi kepada dua jenis, yaitu;
secular learning–kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama dan religious
learning-kuttab yang mengajarkan tentang ilmu pengetahuan Agama,178 meskipun
jumlah dan peminatnya masih sedikit.179
Perbedaan kuttab ini pada dasarnya hanyalah untuk membedakan segi
administrasi atau pembiayaan dari masing-masing kutab. Biaya pendidikan non
agama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham per tahun atau lebih
kurang U.S. $ 120 sampai 240.180 perbedaan jumlah biaya pendidikan ini
bergantung kepada kondisi finansial orang tua murid, yang akhirnya akan
berimbas kepada imbalan atau kesejahteraan guru-guru yang mengajar. Menurut
shalaby gaji guru rata-rata mencapai 1000 dirham per bulan atau sekitar U.S.$
240, walaupun banyak yang menerima lebih besar dari itu.181
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, kuttab atau pendidikan dasar
telah banyak mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak awal dan dapat
menyesuaikan kepada berbagai latar belakang sosial budaya yang ada.
Selanjutnya , pendidikan dasar pada waktu itu merupakan satu unit yang dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak mempunyai hubungan organis dengan
pendidikan yang lebih tinggi.182
178Perbedaan ini dipandang dari bagaimana cara guru untuk memperoleh imbalan ataskerja keras yang telah mereka lakukan. Lihat, Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta:Logos, 1999), 49.
179Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kashashaf, 1954), 43.
180A.S. Tritton, Muslim Education in the Middle Ages (London: Luzac, 1957), 25. tidaktersedianya informasi tentang daya beli dan pengaruh inflasi menutup kemungkinan mengetahuinilai uang dari satu periode ke periode yang lain.dengan mempergunakan perkiraan oleh Durant,Hitti dan Suyuti (Lihat Bibliografi), nilai satu dirham dalam dolar Amerika (U.S.Dolar) padapertengahan abad ke-20 adalah sekitar 0,24 dollar (24 sen).
181Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 136.
182Tidak ada keterkaitan hubungan organis antara pendidikan dasar dengan pendidikanyang lebih tinggi adalah karena kaum muslimin pada waktu itu tidak mengembangkan pendidikantinggi secara sistematis.Sekolah-sekolah yang mereka dirikan hanya sampai tingkatdasar,sementera pendidikan tinggi lebih terpusat kepada pribadi pribadi tertentu bukan padasekolah.Lihat, Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anas Mahyudin, MembukaPintu Ijtihad (Bandung: Mizan, 1984), 201.
75
Sekolah-sekolah yang didirikan hanya sampai tingkat dasar. Sedangkan
pendidikan tinggi lebih terpusat kepada individu pribadi-pribadi tertentu, bukan
kepada sekolah-sekolah. Di samping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi,
menurut Rahman, pada waktu itu juga terdapat dua jenis pendidikan;
Pertama, pendidikan sekolah istana. Pendidikan ini diberikan kepada para
pangeran dengan tujuan untuk mempersiapkan mereka menjadi pemimpin-
pemimpin pemerintahan, kelak kurikulum yang di ajarkan disamping pelajaran
agama mereka juga diajarkan tentang pidato,kesusastraan, dan nilai-nilai
kesatriaan.
Kedua, pendidikan orang dewasa. Pendidikan ini diberikan kepada orang
banyak yang tujuannya dalah terutama untuk mengajarkan mereka tentang al-
Qur’an dan agama.183 Jadi lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti yang
disebutkan di atas dipergunakan sebagai tempat belajar bagi orang-orang dewasa,
pemuda dan ulama sesuai dengan disiplin ilmu yang diminatinya.
Mengenai masalah pendidikan bagi wanita pada umumnya tidaklah jauh
berbeda keadaanya dengan periode pertama. Pendidikan bagi mereka tetap
diberikan pada hari-hari khusus seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Begitu juga halnya dengan pendidikan untuk anak-anak dapat dilaksanakan di
suffa. Kurikulum pelajaran yang diberikan di samping pelajaran al-Qur’an,
membaca, menulis dan berhitung juga diberikan pelajaran sastra Arab dan
kaligrafi.184
Pada perkembangannya materi yang diberikan di kuttab-kuttab cukup
bervariasi, bergantung kepada kebutuhan daerah tertentu, dan juga bergantung
kepada kemampuan para ulama yang ada di daerah itu. Ibnu Khaldum (w.808
H./1406 M.), mencatat menganai perbedaan praktik pendidikan kutab pada
masanya, sebagai berikut:
1. Umat Islam al-Maghrib (Maroko), sangat menekankan terhadap pengajaran al-
qur'an, sehingga anak-anak di daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain
183Fazlur Rahman, Islamic Methodologi in History, terj. Anas Mahyudin, Membuka PintuIjtihad (Bandung: Mizan, 1984), 182.
184Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Kudus, 1998), 89.
76
sebelum ia dapat menguasai al-qur'an secara baik. Pendekatan yang digunakan
adalah otografi (mengenali satu bentuk kata dalam hubungan dengan bunyi
bacaan), oleh karena itu Muslim maroko dapat menghafal al-qur'an lebih baik
dibandingkan dengan muslim dari daerah yang lain.
2. Muslim Spanyol (al-Andalus) lebih mengutamakan kepada menulis dan
membaca. Al-Qur'an tidak lebih utama dibandingkan dengan puisi dan bahasa
Arab,penekanan ini akhirnya banyak melahirkan ahli kaligrafi, yang dapat
membaca dan menyalin al-qur'an tanpa harus menghafalnya.
3. Daerah Ifriqiyah (Afrika Utara:Tunisia, Al-Jazair, dan Libiya), pendidikan
kutab disini lebih mengutamakan kepada al-qur'an dengan tekanan yang
khusus pada variasi bacaan (qiraat), lalu diikuti dengan seni kaligrafi dan
hadits. Keempat, daerah Timur (al-masyriq, Timur tengah, Iran, asia tengah
dan semenanjung India), Yang menurut pengakuannya – tidak ia ketahuai
secara jelas dibandingkan dengan tiga daerah yang pertama – secara umum
daerah ini menganut kurikulum campuran, dengan al-Qur'an sebagai inti
materi,tetapi tidak memadukannya dengan kaligrafi, sehingga tulisan tangan
anak-anak dari daerah ini kurang begitu baik.185
Dari uraian di atas dapat dikatakan,bahwa kuttab pada masa Islam
berfungsi sebagai lembaga pendidikan dasar. Pada masa awal Islam kuttab
diselenggarakan dengan melibatkan guru-guru non-Muslim. Sistem pengajaran
difokuskan pada kemampuan membaca dan menulis, yang pada
perkembangannya, setelah kebutuhan mengkaji al-Qur'an semakin meningkat dan
sumber daya manusia (guru) dan fasilitas yang memadahi untuk mengajarkan al-
Qur'an, maka kuttab menjadi tempat yang strategis untuk pengajaran kitab suci
ini, bahkan al-Qur'an menjadi mata pelajaran par excellent selain
membaca,menulis,ilmu hitung dan ilmu pengetahuan agama dasar yang lain.
3. Toko buku atau kedai (H{awanit al-Waraqin)
H{awanit adalah bentuk jama’ dari h{anut yang berarti kedai, dan al-
Warraqin merupakan bentuk jama’ d{awaraq yang berarti penyalinan manuskrip.
185Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, 594-595.
77
Jadi, sebuah tempat atau semacam toko buku tempat menjual kitab-kitab penting
hasil karya para penyalin. Di sisi lain kedai ini juga berfungsi sebagai
perpustakaan umum. Pemiliknya selain menyediakan kitab-kitab bermutu juga
menyelenggarakan forum diskusi dan tukar pikiran yang dihadiri oleh para ulama
dan para penuntut ilmu.186
Walapun sarjana-sarjana modern cukup sulit untuk mengakui bahwa toko-
toko buku atau ”kedai-kedai” yang ada sebagai pusat pendidikan tinggi, tetapi
mereka tetap mengakui fungsi itu di kota-kota Islam.187 Menurut Hasan Fahmi,
kelahiran kedai-kedai ini berhubungan erat dengan penemuan kertas sebagai alat
tulis. Memang industri kertas bermula dari negri Cina pada tahun 105 M. Namun,
kemudian pengembangannya untuk menjadi tujuan alat tulis di mulai oleh bangsa
Arab di Baghdad sekitar tahun 794 M. Melalui jasa al Fadhi bin Yahya pada masa
Harun al-Rasyid. Sesudah itu, kemudian industri kertas mulai berkembang di
dunia, seperti; Syiria, Mesir, Afrika Utara dan Andalus.188
Toko-toko buku muncul sejak permulaan Kerajaan Bani abbas, Bahkan
Nakosteen melihat bahwa selama kejayaan khalifah Abbasiyah, toko-toko buku
berkembang pesat di wilayah timur tengah, dan peran pentingnya menyebar di
seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung liberia,
Sebelum terjadinya perusakan oleh pasukan Mongol, Baghdad telah memiliki
tidak kurang dari 100 penjual buku, dan diantaranya di kota-kota Sharaz, Mosul,
Basrah, kairo, Kordova, Fez, Tunis dan banyak kota-kota lain yang mendukung
untuk terus bertambahnya jumlah toko-toko buku yang ada189
Para pembeli dan penjual buku atau catatan-catatan (manuskrip) – yang
berasal dari kalangan cerdik pandai – turut serta memberikan kontribusi yang
besar terhadap kehidupan intelektual dalam masyarakat melalui karya-karya
186Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 221.
187Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education (Boulder:University of Colorado Press, 1964), 470.
188Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 102.
189Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education (Boulder:University of Colorado Press ,1964), 73.
78
pilihan mereka yang diterjemahkan dari baerbagai bahasa seperti Yunani dan
persia, demikian pula dengan para saudagar buku, ia tidak hanya membeli dan
menjual buku-bukunya kepada para pelanggannya, mereka juga seringkali
memfunsikan diri sebagai percetakan.
Dengan demikian, maka toko-toko buku dilain pihak sebagai tempat
terjadinya transaksi bisnis, di pihak lain juga merupakan pusat pengumpulan dan
penyebaran buku-buku, maka tidaklah heran jika lingkaran-lingkaran studi
berkembang dengan pesat dan mengaitkan dirinya dalam bentuk bangunan
(ruangan) khusus.
Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah atau bahkan
kadang-kadang ada yang menjadi pemimpin dari lingkaran studi tersebut. Pemilik
toko dapat mengundang orang-orang pandai dari golongan masyarakat sekitar
untuk duduk dan mengarahkan diskusi-diskusi tentang masalah-masalah
intelektual dan keagamaan. Para ilmuwan pun kadang sering datang ke toko-toko
buku tertentu untuk bergabung dengan sanggar sastra yang ada, bahkan sampai
ada yang dibiayai (dipelihara), ditetapkan sebagai tenaga oleh seorang saudagar
buku.190
Dari uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa toko-toko buku dan
pemiliknya pada saat itu, telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
perkembangan dunia pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi
kebangkitan intelektual Islam.
4. Majlis-majlis.
Majlis merupakan isim makan - kata yang menunjukan arti tempat – dari
asal kata (fi’il) jalasa. Jalasa yang artinya duduk. Sinonim dengan kata qa’adah.
Jalasa mengacu kepada keadaan seseorang yang duduk setelah melakukan
kegiatan yang lain, seperti tidur dan berbaring.191 Misalnya; pernyataan Khatib al-
190Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan (Jakarta: Logos, 1994), 163.
191George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Crystian West WithSpecial Reference to Scholasticism (Endinburgh University Press, 1990), 11.
79
Baghdadi (w. 463 H./1071 M.) yang dikutip oleh George Makdisi: ثم اتوا الجمعة و
صلواركعثین ثم جلسوا یطلبون العلم والسنة (kemudian datanglah pada hari jum’at dan
shalatlah dua raka’at kemudian duduk belajar ilmu dan sunnah).
Istilah majlis telah lama dipakai oleh dunia pendidikan sejak abad pertama
Islam. Awal mulanya ia mununjukan kepada arti tempat terjadinya proses
kegiatan belajar mengajar, seperti ungkapan. خرج الى مجلسه الزىكان یملى فیه الحدیث
(Fulan pergi kesuatu majlis yang mengajarkan hadits). Kata majlis ini juga bisa
dipakai untuk menunjukan arti pelajaran, seperti Dia ) لم یحدث الامجلسا او مجلسین
hanya mengajarkan satu atau dua hadits saja). Selain itu juga majlis bisa diartikan
sebagai tempat duduk, yaitu kursi yang dipakai oleh seorang guru untuk mengajar,
seperti هو المقدم من اصحا به والدى جلسى بعده فى مجلسه (Dia guru mengajar lebih dahulu
dari pada teman-temannya). Bahkan majlis bisa dipakai untuk menunjukan orang-
orang yang duduk di suatu majlis.192
Pada perkembangan selanjutnya - dimana dunia pendidika Islam
mencapai zaman keemasannya – majlis berarti merupakan sesi dimana aktivitas
belajar mengajar atau diskusi berlangsung, dan belakangan majlis di artikan
sebagai sejumlah aktivitas. Majlis yang di-idhafah-kan kepada nama orang berarti
menunjukan milik, misalkan majlis al-Nabi, itu menunjukan bahwa majlis yang
diselenggarakan oleh Nabi, namun demikian tidak semua berarti milik ada juga
yang bukan milik. Misalkan majlis al-Syafi’i ini bukan berarti menunjukan majlis
yang diselenggaran di rumah al Syafi’i, tetapi ini merupakan satu kegiatan belajar
mengajar yang diselenggarakan oleh al-Syafi’i. Jadi majlis yang disebutkan
terakhir ini lebih condong sebagai kelas yang didalamnya dilakukan kegiatan
belajar mengajar yang disampaikan mengenai Fiqih imam Syafi’i.193
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, majlis
banyak digunakan sebagai kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu
yang ada, sehingga pada perkembangannya majlis mengalami banyak ragamnya.
192George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Crystian West WithSpecial Reference to Scholasticism, 11.
193Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 51.
80
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muniruddin ahmed yang dikutip oleh
Hanun Asrohah, bahwa majlis-majlis yang ada terbagi dalam 7 macam, yaitu;
الحدیثمجلس (tempat pengkajian hadits) التدریسمجلس (tempat Pengajaran umum)
المناظرةمجلس (tempat berdebat) المداكرةمجلس (tempat diskusi) الشورىمجلس (tempat
untuk mengambil keputusan) الادبمجلس (tempat para pujangga, sastrawan).
مجلس الفتو dan النظرمجلس١٩٤
Majlis al-hadits merupakan tempat dimana berlangsungnya proses
kegiatan belajar mengajar hadits, majlis ini terbagi dua tipe, pertama, majlis
hadits yang bersifat permanen, dilaksanakan oleh seorang guru/Ahli di bidang
hadits dan berlangsung lama hingga 20 sampai 30 tahunan. kedua, majlis hadits
yang dilaksanakan sewaktu-waktu, biasanya dilakukan sekali atau dua kali dalam
setahun dengan jumlah peserta biasanya mencapai ratusan ribu peserta, seperti
majlis yang disampaikan oleh seorang ulama yang bernama ’Ashim bin ’Ali di
Mesdjid Al-Rusafa dihadiri oleh peserta lebih kurang mencapai jumlah antara
100.000 sampai 120.000 orang.195
Sementara majlis al-Munaz{arah pada awal mulanya merupakan tempat
pertemuan,perdebatan bukan semacam lembaga pendidikan seperti majlis al-
munazharah yang diselenggarakan atas perintah khalifah. Menurut Syalabi,
Khalifah Muawiyah sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di
istananya.196 Demikian juga pada masa Dinasti abbasiyah, khalifah al-Ma’mun
sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di istananya.
Ada juga majlis al-munaz{arah yang lebih bersifat edukatif, yang
dilaksanakan secara kontinyu. Dimana terjadinya proses belajar mengajar antara
murid dan guru, yang dilanjutkan dengan tanya jawab.
Berdasarkan inovasi yang dilakukan oleh murid-muridnya yang belajar
hadits, sebelum dimulainya pelajaran, biasanya mereka berkumpul untuk saling
mengingat dan mereviw pelajaran yang sudah berlalu sambil menunggu kehadiran
194Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 51.
195Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 51-52.
196Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 67.
81
guru. Lama kelamaan majlis ini pun berkembang menjadi suatu lembaga
pendidikan.197
Secara khusus, Majlis al-adab atau majelis sastra merupakan majlis yang
teristimewa dibandingkan dengan majlis-majlis yang lain, oleh karena itu pada
masa bani Umayyah dan Abbasiyah, majlis-majlis ini pada awalnya merupakan
perkembangan dari majlis di masjid. Bahkan majlis-majlis ini menuai
perkembangannya jauh lebih pesat bermula pada zaman Abbasiyah.
Menurut Mahmud Yunus majlis sastra yang ada pada masa Abbasiyah
dihiasi dengan perhiasan yang sangat indah sekali, sesuai dengan kebesaran
khalifah pada masa itu. Sedangkan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh
khalifah, begitu pula akhir dan selesainya majlis itu.198
Pada masa pemerintahan khalifah harun al-Rasyid (170 – 193 H./786 –
809 M.) majlis sastera menunjukan perkembangan kemajuan yang cukup
signifikan, karena khalifah sendiri merupakan salah seorang ahli ilmu
pengetahuan dan mempunyai cukup kecerdasan. Apalagi negara dalam keadaan
tidak terlalu menghawatirkan (dalam keadaan tenang) dan pembangunan berjalan
dengan lancar.
Pada majlis Rasyid sering kali diadakan perlombaan sya’ir di kalangan
ahli sya’ir, dan perdebatan-perdebatan diantara para fuqaha serta sayembara seni
dan sastra diantara ahli-ahli kesenian dan kesusastraan.199
Pada masa Harun al-Rasyid ini lahirlah para pujangga dan ahli ilmu dalam
bermacam-macam bidang kecerdasan. Di bidang pujangga ada nama-nama yang
cukup terkenal diantaranya; Abu Nawas, Abul ’Atahia, Da’bai Muslim bin al-
Walid, al-Abbas bin al-Ahnaf. Di bidang seni musik ada nama yang cukup
terkenal yaitu Ibrahim al-Mausili dan anaknya yang bernama Ishak.
Sedangkan di bidang ahli bahasa, terdapat nama abu ’Ubaidah, al-
Ashma’i, al-Kasai dan Sibawaihi, serta di bidang fiqh antara lain Abu Yusuf,
197Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 53.
198Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya, 1989), 86.
199Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 87.
82
sahabat Abu Hanifah dan Muhammad (keduanya berada di Baghdad), yang
bertempat di Madinah, yaitu; Imam al-Malik dan Imam Syafi’i sebelum hijrah ke
Mesir.
Akhirnya majlis ini mencapai puncak keemasannya pada masa khalifah al-
Ma’mun, karena beliau sendiri merupakan salah seorang sosok ulama besar. Oleh
karena itu majlis al-Ma’mun selalu penuh oleh para ahli ilmu, ahli sastra, ahli
sya’ir, ahli kedokteran dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh al-Ma’mun dari
segala penjuru dunia yang telah berkemajuan. Kadang-kadang al-Ma’mun sendiri
turut larut dalam diskusi dan perdebatan tentang berbagai hal dengan mereka. Di
samping itu banyak lagi guru-guru dan penerjemah-penerjemah ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab.200
Demikianlah perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam yang ada
pada masa itu, yang terus mengalami proses penyesuaian dengan kemajuan yang
telah di capai pada saat itu, baik dari segi sarana dan prasarananya, kurikulum
mau pun pembiayaannya.
Kurikulum,201 pendidikan Islam di masa klasik pada mulanya berkisar
pada bidang studi tertentu, namun seiring perkembangan sosial dan kultural, maka
materi kurikulum semakin di perluas. Pada masa Nabi di Madinah, materi yang
diajarkan berkisar pada belajar menulis,membaca al-Qur’an,keimanan, ibadah,
akhlak dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.202
Pada masa kejayaan Islam, kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-
Qur’an dan Agama, membaca, menulis serta syair. Dalam berbagai kasus
ditambah dengan nahwu,cerita dan berenang. Di lain pihak di istana-istana
biasanya di tegaskan pentingnya pengajarannya khitabah, ilmu sejarah, cerita
200Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 88.
201Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari olehsiswa. Secara lebih luas kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran yang harus diselesaikanoleh siswa, akan tetapi, semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sebuahlembaga pendidikan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam persfektif Islam (Bandung:Rosdakarya, 1992),.53
202Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam persfektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992),59-60.
83
perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti; al-Qur’an, syair
dan fikih.203
B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan sebelum Al-Ma’mun.
Peradaban suatu masyarakat biasanya ditentukan oleh kondisi alam dan
lingkungannya. Philip K.Hitti berpendapat bahwa daerah asal bangsa Semit adalah
semenanjung Arabia. Sementara dalam perjanjian lama masih mempertahankan
bahwa Mesopotamia merupakan daerah tempat asalnya.204
Pada umumnya semua nenek moyang bangsa Semit dalah berasal dari
bangsa Arab. Kata Arab merupakan istilah Semit untuk penduduk padang pasir
dari suku Shem, Putra keturunan Nabi Nuh.205
Pada awalnya, mereka adalah masyarakat penggembala yang berpindah-
pindah dari padang sahara,yang memberikan perlindungan terhadap bahasa dan
etniknya. Migrasi pertama bangsa Arab terjadi sekitar tahun 3500 SM. Di
sepanjang pantai barat Arab. Gelombang eksodus ini bergerak melalui Hijaz,
Sinai hingga ke Mesir, tempat berakulturasinya bangsa Semit dengan bangsa
Hamit untuk mengukir sejarah Mesir dan menyerap unsur-unsur ilmu pengetahuan
dan budaya yang kemudian menjadi basis peradaban.206
Kontak budaya antara Arab dan Yunani serta persia yang mengakibatkan
terjadinya puncak ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam – kemudian
ditindak lanjuti dengan usaha penerjemahan – ini terjadi sekitar abad ke-8, yaitu
pada masa khalifah Abu Ja’far al-Mansyur ( 754 – 775 M.).
Ahmad Hanafi, menjelaskan kalau masa pemerintahan khalifah al-
Mansyur ini dianggap sebagai permulaan masa penerjemahan terhadap filsafat
Yunani dengan segala lapangannya ke dalam bahasa Arab, maka tidak berarti
203Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992),118.
204Philip K.Hitti, History of The Arabs, Edisi Revisi (London: Macmilian & Co.,Ltd.,1974), 10.
205Tedd D. Beavers, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Riora Cipta, 2001), 3.
206Antony Nutting, The Arabs: A Narrative History From Muhammed to The Present(New York: New American’ Library, 1964), 16.
84
bahwa sebelum masa itu kaum muslimin tidak berkenalan dengan filsafat atau pun
tidak terpengaruh dalam cara berpikirnya, karena penerjemahan bukanlah satu-
satunya cara atau jalan untuk tersebarnya suatu ilmu.207
Memang pada awal lahirnya Islam, umat Islam belum terlalu banyak yang
memiliki budaya membaca dan menulis, yang bagi masyarakat Arab budaya ini
hanya berkembang di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani, itu pun masih sangat
sedikit. Pada masa Nabi Muhammad menyiarkan Agama di Mekah, di kalangan
kaum Quraisy ada 17 orang yang pandai baca-tulis.208
Setelah terjadinya perang Badar, maka didapati ada beberapa tawanan
perang yang mempunya cukup kemampuan atau pandai membaca dan menulis.
Para tawanan ini pun kemudian di berikan kesempatan untuk membebaskan
(menebus) dirinya dengan syarat ia harus mau mengajarkan baca-tulis kepada 10
anak Muslim untuk satu orang tawanan.209 Menurut Shalabi, bahwa lembaga yang
dipakai saat itu untuk melaksanakan kegiatan belajar membaca dan menulis itu
bernama kuttab,210 Ia merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah
masjid.
Pada masa Nabi, negara Islam meliputi seluruh jazirah arab dan
pendidikan Islam berpusat di Madinah. Setelah Rasulullah wafat, maka kekuasaan
pemerintahan Islam secara bergantian dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa keempat khalifah ini
kekuasaan Islam telah meluas sampai keluar jazirah Arab, yang meliputi Mesir,
PersiaSyiria dan Irak.
Pada awal pemerintahan Abu Bakar, pendidikan Islam telah berhasil
menyelamatkan keaslian materi dasar pendidikan islam, dengan terbentuknya tim
pengumpul dan penyusun ayat-ayat al-Qur’an,akibat banyaknya bermunculan
207Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 41.
208Mahdi Gulsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’an, terj. Agus Effendi (Bandung:Mizan, 1993), 33.
209Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,1979), 506. lihat juga, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung,1989), 22.
210Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 33.
85
orang-orang yang mengaku nabi palsu dan banyaknya sahabat penghafal al-
Qur’an yang gugur melawan pemberontakan. Pembentukan tim tersebut atas saran
dari Umar bin Khattab dengan di ketuai oleh Zaid bin Tsabit.
Setelah kondisi politik mulai stabil, pemerintahan berganti ketangan Umar
bin Khattab.Umar melanjutkan kebijakan Abu Bakar dengan mengirim pasukan
untuk memperluas wilayah Islam dan dengan berpesan kepada para panglimanya,
bahwa setiap mereka berhasil menguasai suatu kota, hendaknya mereka
mendirikan sebuah masdjid sebagai tempat untuk beribadah dan pendidikan.211
Berkaitan dengan pendidikan, Umar bin Khattab mengangkat dan menunjuk guru-
guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan, yang bertugas untuk mengajarkan
isi al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam.212
Pada pemerintahan umar, sahabat-sahabat besar yang lebih dekat dengan
Rasulullah dan memiliki pengaruh yang cukup besar, dilarang meninggalkan
Madinah kecuali atas izin khalifah, itu pun terbatas waktunya. Akibatnya
penyebaran ilmu dari para sahabat besar terpusat di kota Madinah.
Dengan meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan
Islam bertambah besar, karena mereka yang baru masuk Islam ingin menimba
ilmu dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Dengan demikian
tidak terelakan lagi telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah jauh
menuju ke Madinah sebagai pusat ilmu agama Islam.
Gairah untuk menuntut ilmu agama Islam yang ada dikemudian hari
menjadi pendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin ilmu keagamaan,
seperti; tafsir, hadits, fikih dan sebagainya.
Pelaksanaan pendidikan Islam pada masa Khalifah Usman bin Affan pada
umumnya tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Sedikit perubahan telah
mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu diperbolehkannya para sahabat
dekat Nabi untuk keluar Madinah – yang sebelumnya dilarang oleh Khalifah
Umar bin Khattab - dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan
ini sangat besar sekali artinya bagi pelaksanaan pendidikan Islam, karena mereka
211Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, 94.
212Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), 17.
86
bisa memberikan pengajaran langsung kepada umat Islam diluar Madinah dan
Mekah, khususnya dari semenanjung Arab.213
Sebuah usaha yang cukup cemerlang dan sangat berpengaruh terhadap
dunia pendidikan Islam yang telah dilakukan Khalifah Usman bin Affan, yaitu
melanjutkan usulan Umar kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan
tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian Usman memerintahkan kepada zaid bin
Tsabit bersama Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits
untuk menyalin mushaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar.
Penyalinan ini dilatar belakangi oleh laporan dari Huzaifah bin Yaman,
yang melaporkan bahwa ia menyaksikan perselisihan dalam bacaan al-
Qur’an.Oleh karena itu, Usman meminta kepada Zaid bin Tsabit apabila terjadi
perselisihan antara ia dan ketiga anggotanya maka harus ditulis sesuai dengan
lisan quraisy, karena al-Qur’an itu diturunkan dengan lisan Quraisy, sedangkan
Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy.214
Setelah selesai menyalin mushaf itu, kemudian Usman memerintahkan
kepada para penulis al-Qur’an untuk menyalin kembali beberapa mushaf yang
akan dikirim ke Mekkah, Kufah, Basrah dan Syam. Fungsi al-Qur’an sangat
pundamental bagi sumber Agama dan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, menjaga
keaslian al-Qur’an dengan menyalin dan membukukannya, merupakan suatu
usaha yang dilakukan demi perkembangan ilmu-ilmu Islam di masa mendatang.215
Setelah Usman Bin Affan, maka naiklah Ali bin Abi Thalib sebagi
Khalifah. Sejak awal kekhalifahan Ali Bin Abithalib selalu dihadapkan kepada
berbagai kekacauan dan pemberontakan yang ada. Sehingga membuat Shalabi
berkomentar bahwa ”sebenarnya tidak pernah ada satu hari pun, keadaan yang
stabil selama pemerintahan Ali, tak ubahnya Ia sebagai seorang yang menambal
kain usang, jangankan menjadi baik, malah bertambah sobek”.
213Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 19.
214Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam (Bandung:Angkasa, 1985), 59.
215Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 20.
87
Demikianlah nasib pemerintahan Ali Bin Abi Thalib. Khalifah Ali pada
saat itu tidak sempat lagi memikirkan masalah-masalah pendidikan, karena
seluruh perhatiannya dicurahkan kepada masalah keamanan dan kedamaian bagi
masyarakat Islam.216
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada masa
keempat khalifah ini belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya.
Pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang
menekankan kepada pengajaran baca tulis dan pengajaran ajaran-ajaran Islam
yang bersumber kepada al-Qur’an dan hadis Nabi.
Hal ini lebih dikarenakan oleh konsentrasi umat Islam - terutama para
penguasanya – terhadap perluasan wilayah Islam dan terjadinya pergolakan politik
pada masa Ali bin Abi Thalib. Dalam pergolakan politik antara Ali dengan
Muawiyah, Ali dapat dikalahkan dengan menerima usulan tahkim dari muawiyah.
Dengan tahkim ini Muawiyah akhirnya berhasil mendirikan pemerintahan
tandingan di Damaskus.
Setelah Dinasti Umayyah berkuasa, Pelaksanaan pendidikan Islam
semakin meningkat dari masa sebelumnya. Pada masa ini, pendidikan selain
dilaksanakan di kuttab, rumah-rumah dan masdjid juga dilaksanakan di istana
untuk mendidik anak-anak keluarga kerajaan.
Bahkan menurut Shalabi, Muawiyyah sering menyelenggarakan majlis
dengan mengundang para ulama, sastrawan dan ahli sejarah untuk menerangkan
sejarah bangsa Arab, melalui syair-syair Arab, cerita-cerita Persia, dan sitem
pemerintahan serta administrasi Persia.217 Usaha-usaha ini mendorong
berkembangnya syair-syair Arab dan munculnya buku Akhbar al-Madin (buku
tentang raja-raja dan sejarah orang-orang kuno).218
Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak hanya sebatas pada
memahami al-Qur’an dan Hadits, akidah, akhlak dan ibadah, tetapi sudah di
216Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam (Bandung:Aangkasa, 1985), 68.
217Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam, 59.
218Fayyaz Mahmud, A History of Islam (London: Oxford University Press, 1960), 94.
88
sesuaikan dengan tuntutan zaman, tertuju kepada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh
bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam. Karena Damaskus sebagai ibu kota
Daulah Umawiyah merupakan sebuah kota tua yang berada di negri Syam yang
telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya.
Pengaruh Helenisme juga sudah ada dimasa ini, sehingga usaha-usaha
untuk menerjemahkan buku-buku Yunani sudah mulai dilakukan. Misalnya,
Masarjawaih, seorang ahli fisika beragama yahudi, telah menerjemahkan buku-
buku kedokteran, astronomi dan kimia ke dalam bahasa Arab.219
Penerjemahan ini dilakukan oleh Khalid bin Yazid, cucu Muawiyyah yang
sangat tertarik kepada ilmu kimia dan ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah
harta dan memerintahkan kepada para sarjana Yunani yang bermukin di Mesir
untuk menerjemahkan buku-buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab.
Usaha ini merupakan bentuk penerjemahan yang pertama dalam sejarah.220 Akan
tetapi, usaha penerjemahan ini tidak banyak dilakukan, yang akhirnya dilanjutkan
pada masa Abbasiyah dengan secara besar-besaran.
Al Walid bin Abdul Malik pun memberikan perhatian kepada bimaristan,
yaitu rumah sakit tempat berobat dan perawatan orang-orang sakit sreta sebagai
tempat studi kedokteran. Sementara Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
memerintahkan para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi.
Ia juga bersahabat dengan Ibn Abjar, seorang dokter dari Iskandariyah yang
kemudian menjadi dokter pribadinya.221 Dari hubungan itu akhirnya ikut
mempengaruhi pandangan Khalifah terhadap ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain
dari Yunani.
Pengaruh lain dari para ilmuwan adalah penyusunan ilmu pengetahuan
yang lebih sistematis, sehingga terjadi pembidangan ilmu pengatahuan sebagai
berikut; pertama, ilmu pegetahuan bidang Agama yaitu,segala ilmu yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Kedua, ilmu pengetahuan bidang sejarah
219Philip. K. Hitti, History of the Arab (London: Macmillan Press , 1956), 242.
220Ahmad Amin, D{uha< al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965),.262.
221 Ahmad Amin, D{uha> al-Islam,.262
89
yaitu, segala ilmu yang membahas tentang perjalan hidup, kisah dan riwayat.
Ketiga, ilmu pengetahuan bidang bahasa yaitu, segala ilmu yang mempelajari
bahasa, nahwu, sharaf dan lainnya. keempat, ilmu pengetahuan bidang filsafat
yaitu, egala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing seperti ilmu
mantiq, kedokteran, kimia, astronomi dan ilmu hitung.222
Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa perhatian Dinasti
Umayyah terhadap perkembangan pemikiran dan pendidikan Islam belum cukup
besar dibandingkan dengan masa Dinasti Abbasiyah. Namun usaha-usaha yang
dilakukan umat Islam pada masa ini sangat besar dan penting sekali pengaruhnya
bagi perkembangan pendidikan dan pemikiran pada masa sesudahnya. Walau pun
kecil Dinasti Umayyah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan
pendidikan dan pemikiran di masa yang akan datang.
Menurut Philip K. Hitti, usaha-usaha yang pernah dilakukan pada masa
Dinasti Umayyah ini merupakan ”inkubasi” atau masa tunas bagi perkembangan
intelektual Islam.223 Sementara ahmad Amin memperkirakan bahwa seandainya
Dinasti Umayyah dapat melanjutkan kekuasaannya yang hilang direbut oleh
dinasti Abbasiyah, niscaya Dinasti Umayyah akan mampu mencapai kejayaan di
bidang pemikiran seperti yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah, karena pada masa
kekuasaannya telah muncul gerakan ilmiah dan aliran-aliran keagamaan.224
Dengan adanya gerakan ini, berarti Dinasti Umayyah telah berhasil
mengembangkan pendidikan lebih besar dari pada masa sebelumnya.
Keberhasilan ini karena didukung oleh mantapnya stabilitas sosial, politik dan
ekonomi. Di samping ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah sikap
umat Islam yang sangat menghargai pengetahuan.
Kecenderungan terhadap ilmu pengetahuan pun terus mengalir pada diri
setiap penguasa, sehingga lanjut hanafi, kegiatan penerjemahan yang telah terjadi
pun merupakan akibat dari adanya pertentangan dikalangan kaum muslimin itu
222Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam(Jakarta: Kencana, 2007), 41-42.
223Philip. K. Hitti, History of the Arab (London: Macmillan Press , 1956), 240.
224Ahmad Amin, D}uha> al-Islam, 2.
90
sendiri, dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, dimana tiap-tiap
golongan berusaha keras untuk mempertahankan eksistensinya dan berjuang terus
untuk mengalahkan lawan-lawannya, oleh karena itu diperlukan bahan-bahan
untuk perdebatan dari manapun datangnya.225
Semenjak al-Mansyur naik tahta, umat Islam semakin hari semakin
terbawa oleh peradaban Yunani. Apalagi setelah al-Mansyur memindahkan pusat
pemerintahannya ke Baghdad, dekat ibu kota Persia, Clesiphon, sekitar 762 M.
yang sebelumnya bertempat di al-Hasyimiyah, dekat kuffah, yang merupaka
tempat pergerakan kaum syiah.
Maka untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri, al-Mansyur memindahkannya ke Baghdad, yang merupakan kota kuno
yang terletak disebelah barat sungai Tigris.226 Dengan demikian pusat
pemerintahan dinasti bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Bahkan
tentara pengawalnya pun bukan diambil dari orang Arab melainkan diangkat dari
orang-orang Persia.227
Akibat yang ditimbulkan dengan pemindahan ibu kota ke Baghdad, maka
terjadilah akulturasi budaya Persia-Yunani dengan Arab di Baghdad, sehingga
lahirlah khalifah-khalifah yang mempunyai darah keturunan Persia, seperti al-
Ma’mun.228
Oleh karena itu maka, terjadi pergeseran nama dari khalifah, pada masa
itu, dipandang sebagai tokoh mistik, tokoh”setengah suci”yang kehidupannya
diatur oleh birokrasi resmi kerajaan.229 Karena khalifah-khalifah Abbasiyah
menurut pandangan orang-orang Persia adalah merupakan penguasa yang
mengatur mereka berdasarkan mandat dari Tuhan.230
225Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 41.
226Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 91.
227Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UIP, 1985), 66.
228Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, 69 .
229Akbar, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), 46.
230M. Masyhur Amin, Dinasti Islam (Yogyakarta: LKPSM, 1995), 99.
91
Kepindahan ibu kota ke Baghdad, membuat kota ini semakin maju dalam
bidang ilmu pengetahuan, bahkan menjadi ibu kota ilmiah. Karena menurut
riwayat, di samping itu banyak pula buku-buku yang ikut di pindahkan ke
Baghdad, yang masih berupa naskah-naskah tulisan tangan dan diangkut dengan
lebih kurang seratus unta.
Bahkan, menurut fachrudin, ada diantaranya sebuah surat perjanjian
penting antara al-Mansyur dengan Michel II, yang di dalamnya terdapat satu ayat
yang berbunyi; ”Agar diberikan kepada al-Mansyur salah satu dari perpustakaan
Istambul yang terdapat di dalamnya buku-buku penting karangan Ptolemee (w.
167 M.) di dekat Alexandria.” buku-buku ini kemudian segera disali ke dalam
bahasa Arab dan dikenal dengan nama al-Magesti.231
Khalifah al-Mansyur yang sering dilukiskan sebagai seorang tokoh
Abbasiyah yang terkenal hebat,berani,tegas dan berpikir cerdas serta gagah
perkasa232, ia diangkat menjadi Khalifah pada tahun 136 H. Atau bertepatan
dengan tahun 754 M. Ia juga mempekerjakan dokter-dokter, para cerdik pandai
dan astrolog-astrolog di istananya. Dia mengangkat ahli medis paling masyhur,
yang bernama georgius bin Jabaril, kepala sekolah kedokteran Jundisapur di
Persia, dan muridnya Isa bin Syahlata, sebagai dokter istana.
Khalifah al-mansyur juga mengangkat seorang dokter utama, yang berasal
dari pusat pengobatan yang terkenal di Jundisapur, yaitu Jurjis bin Bakhtishu,
seorang Kristen Nestorian, dan anaknya juga diangkat menggantikan
kedudukannya.233 Kehadiran ilmuwan-ilmuwan dan dokter-dokter dari Persia ini
semakin mempertebal rasa ketertarikan umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan
dan filsafat Yunani.
Di antara astrolog yang terkenal adalah seorang Persia dari keluarga
cendikiawan astrolog al-Naubakti. Dia juga memilih sarjana-sarjana terkenal
untuk menerjemahkan karya-karya medis dan lainnya untuk dirinya. Diantara
231Fachrudin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 77.
232Jalaluddin as-Suyuthi, Ta>rikh al-khulafa>, 141.
233Bayard Dodge, Muslim Educational in Medieval Times (Washington; The Middle EastInstitute, 1962), 16.
92
mereka adalah al-Bithriq, yang dianggap berjasa atas sejumlah terjemahan di
bidang kedokteran dan astrologi.234
Setelah al-Mansyur berhasil mendirikan kota Baghdad (144 H./762 M.)
sebagai ibu kota Negara, kemudian ia menarik banyak ulama dan para ahli dari
berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad.seterusnya ia pun
merangsang usaha pembukuan ilmu agama,seperti fiqh, tafsir,tauhid,hadits atau
ilmu-ilmu lain seperti ilmu bahasa, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Akan tetapi
yang lebih mendapat perhatian Khalifah adalah penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan yang berasal dari luar.235
Untuk mentransfer karya-karya Yunani ke dalam Islam, al-Mansyur lebih
berminat kepada Filsafat dan ilmu pengetahuan serta memberikan dukungan besar
dan perlindungan bagi kegiatan penerjemahan. Tetapi, karena langkanya
penerjemah handal pada saat itu serta bahan-bahan ilmiah dan filosofis Yunani,
maka proses penerjemahan tidak mendapat kemajuan sesuai dengan apa yang
diharapkan.236
Usaha yang dilakukan al-Manshur untuk menjadikan Baghdad sebagai ibu
kota negara cukup berhasil. Baghdad dalam waktu yang cukup singkat tumbuh
menjadi pusat kota perdagangan komersial dan politik. Al-Mansyurlah yang
memantapkan dan meneguhkan Kerajaan Abbasiyah, menyusun peraturan-
peraturan, membuat undang-undang dan menciptakan inovasi-inovasi dalam
pemerintahan. Karenanya sejak ia berkuasa, tatanan birokrasi pemerintahan mulai
di benahi,pengaturan kas negara, serta pemamtapan pasukan militer juga
mendapat perhatiannya.
Di bawah al-Mansyur pulalah untuk pertama kalinya di adakan ke-
waziran,237 yaitu sebuah jabatan pemerintahan yang berasal dari Persia,secara
resmi dipergunakan, dan khalid bin barmaks, yang berasal dari Balks Persia –
234Madjid Fahry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Oleh R. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta:Pustaka Jaya, 1987), 34.
235Ahmad Amin, D{uha> al-Islam, 272.
236Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 30.
237Al-wazir atau kementrian adalah nama sebuah lembaga dan jabatan yang baru dalamsejarah pemerintahan Islam yang diciptakan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur, Wazirmembawahi kepala departemen. Lihat, J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah danPemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 173-174.
93
pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani - merupakan orang yang pertama
yang menjabat kedudukan tinggi tersebut238, dan sekaligus sebagai pendidik dari
anak-anak khalifah, hingga turun temurun ke anak cucunya, karena itu corak
pemerintahannya pun banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, sehingga
kebudayaan Arab sedikitdemi sedikit kurang. Bahkan gerakan membangun ilmu
pengetahuan pun telah dirintisnya secara besar-besaran, oleh khalifah abu ja’faral-Mansyur,setelah mendirikan kota Baghdad (144H./762 M.).239 Ia merangsang
usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqh, tafsir, hadits, tauhid dan ilmu lainnya
seperti ilmu bahasa dan ilmu sejarah.
Pada awal pemerintahannya, banyak sekali masalah yang harus dihadapi.
Namun, berkat bakat kepemimpinan yang dimiliki dan pengalamannya, semua
permasalahan yang dihadapi dapat ia selesaikan dengan baik. Al–Mansyur wafat
pada tahun158 H.bertepatan dengan tahun 775 M. Di pertengahan jalan menuju ke
Mekah saat mau melaksanakan ibadah haji.240 Kedudukannya kemudian
digantikan oleh putranya yang bernama al-Mahdi (158-169 H./175-189 M.). 241
Masa pemerintahanya, menurut william Muir, merupakan masa transisi
antara masa pemerintahan abbasiyah awal yang keras dan kasar dengan masa
pemerintahan selanjutnya yang makmur.242 Stabilitas yang diwariskan Ayahnya
memungkinkan untuk mengembangkan kemakmuran imperium semasa
pemerintahannya di Baghdad lebih berkembang. Karena itu zaman pemerintahan
al-Mahdi terkenal sebagai zaman yang makmur dan hidup dalam kedamaian yang
menunjukan kematangan pemikiran dan kemajuan dibidang pemerintahan dan
politik.
238Philip K. Hitti, History of The Arabs, 293.
239Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Faruq al-Islamiyah (Kairo: Mathba’ah Ali Shahih,1959), 137.
240Didin saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 86.
241Pada masa ini, pertanian ditingkatkan dengan mengadakan irigasi, dan penghasilangandum, beras, kurma dan zaitun(olves) bertambah. Hasil pertambangan seperti emas, perak,tembaga, besi dan lain-lainnya pun berkembang. Transit perdagangan antara timur dan barat punmembawa kekayaan Basrah menjadi sebuah pelabuhan yang penting. Lihat. Harun Nasution, IslamDitinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UIP, 1985), 68.
242William Muir, The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall (London: Darf Publisher,1984), 465.
94
Al-Mahdi memulai pemerintahanya dengan membebaskan semua tahanan
dari penjara, kecuali yang melakukan kejahatan-kejahatan yang membahayakan.
Ia juga membebaskan Hasan, anak Ibrahim, dan memberinya tunjangan yang
besar. Al-Mahdi tidak selalu menggunakan kekerasan untuk menundukan musuh-
musuhnya, sehingga ia dikenal sebagai penguasa yang lemah lembut dan
Dermawan. Atas perintahnya Masjid nabi dibangun kembali dan diperindah,
sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang ada di semua kota penting diperbesar.
Al-Mahdi adalah seorang penguasa yang toleran,namun demikian ia tidak
memberikan peluang bagi tumbuhnya praktek-praktek bid’ah. Ia juga
membentengi beberapa kota, khususnya Rusafa243 dan Baghdad Timur. Selama
pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional, juga musik,
syair, Filsafat dan kesusastraan mulai menarik perhatian banyak orang. Al-mahdi
sendiri lebih tertarik kepada hadis dari pada ilmu-ilmu lainnya244
Setelah berkuasa selama sepuluh tahun, kemudian makhkotanya dialihkan
kepada putranya yang tertua, yaitu Musa al- hadi (169-170 H./785-786 M). Masa
pemerintahan al-hadi tidak begitu populer, hal ini dikarenakan singkatnya masa
pemerintahan yang ia pegang, yaitu satu tahun satu bulan dua puluh hari.
Kemudian ia digantikan oleh saudaranya Harun al-Rasyid. Di masa al-Rasyid
inilah, abbasiyah mencapai puncak kekuasaannya. Di bawah kekuasaannya,
Baghdad muncul sebagai pusat imperium Islam yang besar dan berlimpah
kemegahan serta kemakmuran. Ia merupakan satu-satunya rival Bizantium kala
itu.
Pengalihan budaya warisan Yunani yang telah dirintis oleh al-
Mansyur,kemudian dilanjutkan oleh khalifah al-Rasyid. Maka khalifah Harun al-
Rasyid (766-809 M.) sebagai khalifah yang ketiga melanjutkan kebijakan
kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Di mana ia mengembangkan sebuah
tradisi ilmiah bahkan lebih dari itu, ia mencoba memampaatkan kekayaan negara
untuk keperluan sosial, membangun rumaqh sakit, lembaga pendidikan dokter dan
farmasi. Sehingga pada masanya, sebagaimana di katakan Badri Yatim, telah
243Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Ta>rikh al-Umam wa al-Muluk, 611.
244Hasan Ibrahin Hasan, Ta>rikh al-Islam, 42.
95
terdapat paling tidak sekitar 800 tenaga dokter. Di samping itu ia juga
membangun pemandian umum, kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasannya.245
Puncak kemajuan Daulah Bani abbas terjadi pada masa khalifah Harun ar-
Rasyid (170-193 H./786-809 M,) dan putranya, al-Ma’mun (198—218 H./813-
833 M.) Ketika Harun al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,
kekayaan melimpah, keamanan terjamin walau ada juga pemberontakan, dan luas
wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India.
Harun al-Rasyid (785-809 M) – pengganti al-Mansyur, setelah al-Mahdi
memerintah dari tahun 775-785 M. Yang telah mewariskan kemewahan dan
keberhasilannya dalam perekonomian,246- membawa dampak positif bagi
kemajuan-kemajuan selanjutnya. Terutama dalam meningkatkan sarana-sarana
sosial dan kesejahteraan sosial, serta pendidikan dan ilmu pengetahuan, budaya
dan kesusastraan.247
Dengan kematangan yang diperoleh dari Ayahnya, ia dapat menjadikan
kota Baghdad sebagai kota yang megah dan pusat budaya dan ilmu pemngetahuan
saat itu. Sebagai mana dikatan Ali Mufrodi,248 sebelum naik tahta sebagai khalifah
Abbasiyah, Harun al-Rasyid – yang dilahirkan di Rayy pada tahun 145 H. Dari
ibu yang bernama Khaizuran – telah dilatih oleh ayahnya, al-Mahdi, untuk
memerintah di Saifah tahun 163 H. Setahun kemudian ia diberi tanggung jawab
yang lebih besar, yakni memerintah wilayah Anbar dan Afrika Utara, dan tahun
165 H. Ia dilantik sebagai penguasa di Saifah kembali untuk menghadapi
pertempuran yang berkobar di sana. Tahun berikutnya, 166 H. Ia dilantik sebagai
putra mahkota yang akan memegang kekuasaan Abbasiyah setelah al Hadi,
saudaranya.
245Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 52-53.
246Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, 68.
247Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,.53.
248Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 93.
96
Pada masa Harun al-rasyid, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan
perdagangan dunia kala itu. Terbukti banyak masyarakat muslim yang mulai
memperhatikan al-’Ilmu al-naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitandengan al-
Qur’an al-Karim, diantaranya; ilmu Tafsir, Qira’at}, H{adith, dan Us}ul Fiqh dan
’ulum lisaniyah seperti; ilmu al-Lughah, ilmu al-Nah{wu, ilmu al-Bayan dan al-
Adab.249 Sehingga muncullah empat ulama terkemuka dalam bidang Fiqh; yaitu
Abu Hanifah (80-150 H./ 688-768 M.), Imam Malik, (95-179H./703-797 M.) al-
Safi’i (150-204 H./ 768- 822 M.) dan Ahmad bin Hambal, (164-241 H.782-859
M.)250
Dalam bidang hadith muncul nama Bukhari (9194-256 H./810-870 M.),
dan Muslim bin al-hajjaj al-quraisyi (202-251 H./817-865 M). Dalam bidang
Tafsir, muncul nama Ibnu jarir al-Tabari (224-310 H./839-923 M.), yang
dilahirkan Thabristan, sebelah selatan laut Caspienne, dan meninggal di Baghdad.
Tafsirnya bernama Jami’ul bayan Fil Tafsir al-qur’an.251 Semua ini membuktikan
bagaimana besarnya hasrat kaum muslimin untuk menuntut ilmu pengetahuan,
sehingga mereka rela merantau meninggalkan tumpah darahnya dan keluarganya
bertahun-tahun lamanya, karena cintanya akan ilmu pengetahuan.252
Bahkan al-Rasyid, mampu membuktikan kecerdasan kaum muslimin yang
telah sanggup membuat jam, kemudian dihadiahkan kepada Charlemagne
(penguasa eropa, wafat 747-814 M.) sebagai tanda kecerdasan kaum muslimin.253
Masa pemerintahan Harun al-Rasyid(766-809 M.) yang dikenal dengan sebutan
Khalifah seribu satu malam, yang penuh dengan kemewahan dan kemegahan
dilukiskan dalam lirik sebagai berikut:
”Tempat dan masa berjaya
249Maksum, Madrasah dan Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos,1999),54.lihat juga Said Mursi Ahmad, Tata{wwur al-fikr al-Tarbawiy (Kairo: ’Alam al-Kuttub, 1982), 209.
250Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 123.
251Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1985), 81.
252Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidaya Karya, 1989), 25.
253Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, 86.
97
Seperti emas bercahaya
Harun al-Rasyid yang Bijaksana”254
Gemerlapnya istana dan bangunan yang mewah yang menjulang tinggi
telah menghiasi kota Baghdad (sebagai ibu kota) dan kota-kota propinsi lain
seperti; Bukhara, Samarkhan, Balkhshraz, Damaskus, Alleppo, Yerusalem, Kairo,
Tunis, Fez, Dalermo dan kordoba. Haruin al-Rasyid adalah Raja besar pada
zamannya, dan hanya Charlemagna yang mampu menyainginya.
Inilah yang kemudian disebut sebagai fase ekspansi, integrasi dan puncak
kemajuan, daerah Islam meluas melalui afrika Utara sampai ke Spayol di Barat
melalui Persia sampai India di Timur. Pada masa inilah berkembang dan terjadi
puncak kemajuan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam
bidang non agama dan juga bidang kebudayaan Islam.255 fase ini ditandai dengan
munculnya ulama-ulama besar seperti tersebut di atas. Baghdad sebagai ibu kota
kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah al-Mansyur256 mencapai
popularitasnya pada masa Harun al-Rasyid, walaupun kota itu belum genap lima
puluh tahun dibangun.
Kemegahan dan kemakmurannya tercermin dalam istana khalifah yang
luasnya sepertiga dari kota Baghdad yang bundar itu dan dilengkapi bangunan-
bangunan sayap serta ruang audiensi yang dipenuhi berbagai perlengkapan
terindah. Kemewahan istana itu muncul terutama dalam upacara-upacara
penobatan khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para
duta negara asing.257
Inilah gambaran penting pada masa awal pemerintahan abbasiyah pertama,
yaitu bertepatan dengan abad kelima atau keenam, yang ditandai dengan
254Akbar, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), 47
255Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad abduh (Jakarta: Aramadina,2002), 1-2.
256Abu Ja’far al-Mansyur membangun kota Hasyimiyah, yaitu Baghdad. Baghdad adalahsebuah nama kota kuno yang berarti pasar domba menurut bahasa Armenia, sedangkan menurutbahasa Persia Baghdad berarti Kebun Allah. Lihat Fathiyah al-Nabrawi, Ta>rikh al Niz{am wa al-H{ad}arah al-Isla>miyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamiyah, 1994), 298.
257Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 104.
98
kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pemngetahuan, disebut juga periode
klasik.258
Namun menurut M. Arifin, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan Islam
dapat kita saksikan dalam berbagai periode, dari Daulah Ummayah, Daulah
abbasiyah, Daulah fatimiyyah dan Oestmaniyyah pada abad-abad ke 4 H. Atau 10
M. Pengaruhnya sampai abad-abad kemudian jelas nampak dalam perkembangan
peradaban bangsa-bangsa di negara-negara Barat, seperti Spanyol, Perancis dan
lain sebagainya. Di samping itu dapat pula dikenali para pujangga muslim dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, kimia, astronomi, al-Jabar,
kedokteran dan arsitektur, dalam sejarah kebudayaan Islam pada abad-abad
tersebut.259
Bahkan kata stanton, seorang Islamisit, menegaskan bahwa sepanjang
abad ke 5 dan 6, sebelum penaklukan Islam atas Afrika Utara, perpindahan para
ilmuwan dari Alexandria,Atena, dan Bizantium ke daerah-daerah yang berada di
bawah perlindungan Raja Sasaniyah, membawa warisan ilmiah Yunani ke
Mesopotamia Utara, antara sungai Tigris dan Euphrat – perbatasan antara
Sasaniyah dan Bizantium – dan juga ke Jundi Shapur di dekat teluk Persia. Kerja
intelektual dalam bentuk berbagai karya orisinal dan tafsiran di bidang
kedokteran, sains, dan filsafat – akumulasi pengetahuan dunia Yunani – mengalir
ke dunia Islam.260 Jadi,ketika ekspansi Islam mulai merambah ke kawasan
Bizantium (Yunani) dan Persia,para khalifah Umayyah tidak menyia-nyiakan
akan hal mempelajari budaya tersebut.
Namun meskipun demikian, pemerintahan umayyah yang arabisme, lebih
mengutamakan pemikiran dan ilmu serta budaya yang asli dari bangsa Arab,
dibandingkan dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta budaya asing dari
negri yang ditaklukannya. Hal ini dikarenakan orang-orang bani umayyah,
258Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:Bulan Bintang, 1987), 12.
259M.Arifin, Ilmu pendidikan Islam, 84.
260Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan, 66.
99
menurut Hasan Langgulung, terkenal fanatik kepada Arab dan Islam, sekali pun
mereka orang politik dan Birokrat, bukan ahli ilmu dan agama.261 Akibatnya
perkembangan ilmu pengetahuan hanya berkembang pada dominasi ilmu-ilmu
agama (naqliyah) saja.
Hal ini tercermin pada karya-karya para ulama masa ini yang tersebar di
antara; ilmu nahwu, sharaf, balaghah, sastra, hadits, tafsir, dan ilmu-ilmu agama
lainnya. Sebagaimana dikatakan Phipip K. Hitti,262 bahwa pada masa ini juga
telah ada perhatian terhadap pembidangan ilmu tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
Di bidang hadits muncul seorang ahli hadits, seperti Hasan al-Basri, di bidang fiqh
muncul Ibnu Sihab al-zuhri,di bidang ilmu kalam dapat ditelusuri cikal bakal
gerakan teologi Islam, yaitu Wasil Bin Atha, yang dianggap sebagai pendiri aliran
Mu’tazilah.263
Berkat kefanatikan orang-orang Dinasti Umayyah, maka bahasa Arab
berkembang dengan luas264 Orang-orang non-Arab pada waktu itu sedah mulai
pandai berbahasa arab. Terutama pengetahuan pemeluk-pemeluk Islam baru dari
bangsa-bangsa non-Arab, perhatian kepada bahasa arab, terutama tatabahasanya,
mulai diperhatikan. Inilah yang mendorong Sibawaih untuki menyusun al-kitab,
yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa arab.265
Pada umumnya zaman ini merupakan masa tunas dari pertumbuhan ilmu
pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu-ilomu lainnya yang ada dan hidup
pada zaman itu. Sebagamana telah diketahui perlkkembangan ilmu agama dengan
segala alat ilmu pembatasnya, didukung oleh faktor-faktor perluasan wilayah
261Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, 122.
262Philip K. Hitti, History of The Arabs, 242.
263Di kalangan teologi muslim,kelompok yang paling agresif dan interes terhadapdialektika Yunani adalah aliran Mu’tazilah. Lihat, Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam(Jakarta: Raja Grafindo, 1999),161.
264Berkembangnya bahasa arab, pertama kali dilakukan oleh Khalifah Abdul al-Malik(685-705 M.), sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Lihat, Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 44.
265Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1985), 63.
100
Islam ke daerah-daerah yang beraneka ragam kultural dan anthropologisnya,
berbeda-beda sosial budaya dan kepercayaannya serta pandangan hidupnya.266
Akibat orang-orang Islam banyak mengarahkan perhatiannya kepada
kebudayaan, ilmu dan peradaban-peradaban yang dijumpainya di negeri-negeri
yang ditaklukkannya itu, maka dalam waktu yang bersamaan, mereka juga
memberikan perhatian yang besar kepada ilmu bahasa, satera, dan agama untuk
membentengi diri dari pengaruh pemikiran-pemikiran luar.267 seperti perdebatan
antara Muslim dan Kristen yang berlangsung di istana khalifah umayah yang
toleran mengarahkan pemikir-pemikir muslim pada kultur Kristen Yunani, dan itu
pun sebatas untuk menyanggah dan mempertahankan (menguatkan) argumentasi-
argumentasi ketika harus berdiskusi dengan pihak asing (Kristen).
Dengan bergantinya bani Umayyah yang arabisme, kepada Abbasiyah
yang melanjutkan tradisi monarchi (sistem turun temurun) pendahulunya, maka
terjadi perubahan-perubahan. Zaman Abbasiyah adalah zaman keterbukaan
terhadap budaya-budaya dan peradaban-peradaban asing seluas-luasnya, dan
dapat dibayangkan akibat dari keterbukaan itu. Karena keterbukaan terhadap
pemikiran asing demiklian besar, maka mau tidak mau akan membawa kepada
keterbukaan kepada diri sendiri, yaitu peninggalan arab Islam.268
Menurut Harun Nasution, di masa ini pula lah pertama kalinya dalam
sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya
dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, syiria, mesopotamia
dan Persia.269 Cendikiawan-cendikiawan Islam, lanjut Harun, bukan hanya
sekedar menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-
buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalamnya hasil penyelidikan yang mereka
lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka
266Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Bandung:Angkasa, 1985), 90.
267Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 122.
268Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 123.
269Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1985), 17.
101
dalam lapangan filsafat. Dengan demikian maka lahirlah ahli-ahli ilmu
pengetahuan dan filosof-filosof Islam.
Hal senada juga diuraikan oleh seorang orientalis kenamaan, yaitu Philip
K. Hitti, dalam bukunya History of The Arabs,270 meskipun dengan nada
menyindir, Ia dalam penelitiannya telah mengakui keberhasilan-keberhasilan dari
penaklukan Islam ini telah membawa kemajuan dan kebesaran pada masanya.
Menurutnya, dengan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh orang arab atas
daerah-daerah Bulan sabit yang subur serta atas negeri Persia dan Mesir, maka
mereka pun telah memiliki pusat-pusat peradaban yang pertama di seluruh dunia.
Tidak ada apa-apa yang diberikan oleh orang Arab dalam bidang kesenian,
arsitektur, filsafat, kedokteran, pengetahuan, kesusastraan dan soal pemerintahan,
semuanya harus mereka pelajari.
Faktor yang menyebabkan majunya ilmu pengetahuan di dunia Islam
sebagian besar adalah dikarenakan adanya transformasi budaya Yunani-Persia,
melalui penerjemahan.oleh karena itulah maka, Nakoesteen – seorang pemerhati
pendidikan Islam – menyimpulkan bahwa setidaknya ada empat faktor utama
yang mendorong terjadinya Transmidi ilmu-ilmu asing ke dalam peradaban Islam
klasi.
1. Penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh Kristen Ortodok yangmewakili penguasa Bizantium, atas sekte-sekte Kristen, terutama Nestoris danMonophysit. Sekte-sekte ini terpaksa mencari lingkungan yang lebihbersahabat untuk mereka dapat hidup dan berkembang dengan damai, danmereka menyebar kedaerah-daerah yang dikuasai oleh kerajaan sasaniyah danke semenanjung Arabia.yang paling penting adalah mereka membawa sertatradisi ilmiah Yunani dan Helenisme, terutama di bidang kedokteran,matematika, astronomi, filsafat dan teknologi, lalu mengembangkannya begitumereka menetap di tempat yang baru. Ketika Islam menaklukan kerajaanRomawi dan Sasaniyah, penganiayaan Kristen ortodok mendorong kaumminoritas ini menyambut gembira kedatangan pasukan Muslim yang terkenaltoleran terhadap perbedaan agama maupun adat regioan. Kelompok-kelompokini kemudian membangun persahabatan yang baik dengan umat Islam danmembuka jalur transmisi pengetahuan yang mereka bawa.
2. Penaklukan Alexander Agung (336-323 S.M.) yang mencapai Mesir, Persia,dan India, secara otomatis disertai dengan penyebaran ilmu pengetahuanYunani kedaerah-daerah tersebut, yang kemudian pengetahuan itu
270Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Mc Millan, 1956), 54.
102
dikembangkan dan diperkaya dengan tradisi-tradisi lokal, sebelum akhirnyadiserap kedalam peradaban.
3. Faktor ketiga adalah akademi Jundi Shapur, yang memadukan tradisi ilmiahberbagai budaya: India, Yunani, Helenisme, Syiria, Hebrew dan Persia. Disinilah usaha penerjemahan ke dalam bahasa Pahlavi dan syiria berlangsungdengan intensif menjelang penaklukan Islam. Peradaban Islam jelasmerupakan pewaris utama tradisi ilmiah Jundi Shapur yang tetap merupakanpusat utama kegiatan ilmiah sampai bangkitnya Baghdad, Sisilia danKordoba.271
Dari keempat faktor tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kegiatan
penerjemahan pada saat itu ternyata membawa dampak yang luar biasa, dengan
kata lain, penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani telah menyebabkan
semaraknya dunia pendidikan Islam dimasa klasik, walau pun pendidikan pada
masa klasik itu tak sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islam klasik dapat
dikatakan maju bahkan dianggap mecapai keemasan dalam sepanjang sejarah.
Sejak permulaan penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan Islam
mengalami kemajuan pesat baik pada materi pengajarannya (kurikulum) mau pun
lembaga pendidikan.272
Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan
pengetahuan agama, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti matematika,
filsafat dan kedokteran. Misalnya, di Kuttab, yaitu salah satu dari lembaga
pendidikan tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan
membaca dan menulis, kemudian di ajarkan pula pendidikan keagamaan. Sejak
abad ke-8 M., Kuttab mulai mengajarkan pelajaran ilmu pengetahuan di samping
ilmu agama.273 Semua ini dilakukan setelah adanya kontak antara Islam dengan
waeisan budaya Hellenisme.
Ada pun materi-materi yang ditransmisikan seperti halnya tersebut di atas
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bahan-bahan yang diterjemahkan langsung dari bahasa Latin ke bahasa Arab.
271Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Wester Education, A.D. 800-1350 Withan Introduction to Medieval Muslim Education (Boulder: The University of Colorado Press,1964), 13-15.
272Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam , 43.
273Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 43-44
103
2. Bahan-bahan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlavi, berbaur denganpemikiran zoroaster-Hindu, lalu ditransfer lewat terjemahan bahasa arab
3. bahan-bahan yang diterjemahkan dari Hindu (Sansekerta) ke bahasa Pahlavi,lalu ke bahasa-bahasa Syiria, Ibrani dan Arab.
4. Bahan-bahan yang di tulis pada masa Islam oleh ilmuan-ilmuan Muslim tetapisebenarnya hanya merupakan jiplakan dari sumber-sumber nonMuslim,dengan garis transmisi yang tidak jelas.
5. Bahan-bahan yang tak lebih dari sekedar komentar-komentar atau ringkasan-ringkasan dari karya Yunani atau Persia.
6. Bahan-bahan yang merupakan pengembangan dari kegiatan ilmiah pra Islam,tetapi tidak akan berkembang dalam Islam bila tidak didasarkan atas(kegiatan) ilmiah masa Hellenisem, Syiria, Zoroaster, dan Hindu Pra Islam;dan
7. bahan-bahan yang muncul dari jenius individual dan dorongan kebangsaanmaupun kedaerahan. Ini akan berkembang lepas dari (kegiatan) pendidikanpra Islam, meskipun bentuk yang akan diambil oleh penemuan-penemuanorisinal ini mungkin saja berbeda, kalau saja mereka berkembang dalam satukonteks atau kerangka kerja yang non-Islam.274
8.Perkenalan dengan warisan Hellenisme tidak hanya sekedar membuat
umat Islam merasa puas dengan mempelajari pemikiran-pemikiran Yunani,tetapi
juga mendorong semangat kehidupan intelektual Islam. Setelah dapat menguasai
karya-karya Hellenisme, ilmuwan-ilmuwab Islam mengadakan pengamatan,
penelitian, dan pengkajian lebih mendalam lagi sehingga mereka berhasil
menemukan teori-teori baru dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang belum
ada pada masa sebelumnya.275
Filsafat Yunani menjadi Fashion intelektual saat itu dan akhirnya
berdirilah banyak aliran dan sub-aliran menurut tingkat pengadopsian filsafat
tersebut. Al-Quran sendiri ditafsirkan menurut konsep-konsep tersebut, sehinga
al-Qur’an tidak lagi sebatas sebuah kitab praktis dan sederhana, yang menekankan
kepada pengetahuan persepsi indera (tentu saja dalam kebudayaan primitif seperti
kebudayaan Arab nomad pada masa sebelum Islam, penekanannya selalu pada
persepsi indera, bukan pada intelektual) penafsiran-penafsiran baru yang
dipengaruhi oleh pemikiran Yunani yang menekankan rasio,menjadikan al-Qur’an
274Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Wester Education, A.D. 800-1350 Withan Introduction to Medieval Muslim Education, 14-15.
275Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 45
104
sebagai kitab yang mempunyai makna-makna tersembunyi. Kemudian muncullah
aliran baru yang bernama Mu’tazilah. Mazhab ini menerapkan kriteria akal
terhadap semua ajaran Islam. Sehingga anggota aliran ini disebut kaum
rasionalis.276 Mazhab ini kemudian pada masa al-Ma’mun dijadikan mazhab resmi
Negara.
Kebijakan al-Ma'mun yang menetapkan paham Mu'tazilah ini sebagai
mazhab sebagai resmi negara antara lain karena didorongan oleh rasa kecintaanya
kepada ilmu pengetahuan dan keinginannya untuk terus mengembangkan tradisi
intelektual, baik dalam bidang ke agamaan maupun dalam bidang ilmu
pengetahuan umum
Diantara paham (aliran) yang ada pada masa itu, yang dianggap cocok dan
dapat merespon terhadap tuntutan pengembangan ilmu pengatahuan dan
perkembangan pemikiran Islam adalah paham mu’tazilah, karena Mu’tazilah
dalam pengembangan pengajarannya lebih cenderung untuk dominan
mempergunakan rasio (pemikiran), sehingga penganut paham ini pun disebut
kaum rasionalitas.
Mu’tazilah mempunyai lima ajaran pokok yang sudah mereka sepakati
bersama, barang siapa telah menganut kelima ajaran poko tersebut, maka ia
berhak untuk mendapat gelar Mu’tazilah, kelima pokok ajaran tersebut adalah
tauhid, keadilan (Al-’Adl), janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’id), tempat di
antara dua tempa (al-manzilah bain al-manzilatain), amar ma’ruf nahi mungkar.
Itulah kelima pokok ajaran kaum Mu’tazilah yang merupakan hasil dari berbagai
perdebatan dan diskusi-disakusi yang mereka lakukan sebagai reaksi atas
pendapat pendapat yang muncul pada masanya, seperti mushabbih{ah,
mujassimah, Jah{amiyah, murji’ah, khawarij dan lain sebagainya.
Al-Syahristani, menyebutkan dalam kitabnya mengenai hal-hal yang
disepakati oleh kaum mu’tazilah adalah sebagi berikut;
1. Allah adalah qadim, mereka sepakat untuk meniadakan sifat-sifat qadim yanglain dari(dan berdiri pada) dzat-Nya.
276Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam (Yogyakarta: Pustaka,1999), 302-303.
105
2. Al-Qur’an adalah makhluk-Nya, mereka sepakat juga menafikan biasanyaAllah dilihat dengan mata kepala di dunia dan akhirat
3. Manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatannya, baik mau pun buruk, danberhak menerima balasan yang adil di akhirat.
4. Tuhan adalah Maha Suci dari perbuatan buruk dean zhalim. Tuhan tidakmelakukan kecuali kebaikan.
5. Seorang mukmin bila wafat dalam keadaan taat dan tobat, niscaya ia masuksurga, dan bila wafat tanpa tobat dari dosa besar yang dilakukannya,niscaya iakekal dalam neraka dengan azab yang lebih ringan dari azab yang diberikankepada kaum kafir.
6. Akal manusia sanggup mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, dansebelum datangnya keterangan wahyu,manusia wajib mensyukuri nikmatTuhan dan wajib mengerjakan perbuatan yang baik serta menjauhi perbuatanyang buruk. 277
Disamping itu, kesederhanaan ajaran Islam yang perpangkal kepada
kesalehan, pada perkembangannya di masyarakat banyak memunculkan berbagai
macam bid'ah, inilah yang diatasi oleh paham Mu'tazilah, dalam rangka
melaksanakan prinsip amar makruf nahi mungkar ini kaum Mu’tazilah
memaksakan pahamnya kepada masyarakat, sehingga karena itu pula kemudian
al-Ma'mun menetapkan paham ini menjadi mazhab resmi negara,yang kemudian
melahirkan satu kebijakan tentang mihnah.meskipun akhirnya kebijakan ini
menjadi bumerang bagi pemerintahan al-Ma'mun itu sendiri.
Mihnah yang mulai dijalankan pada tahun 218 H. Ini merupakan bentuk
pemeriksaan terhadap para pejabat pemerintahan dan peradilan serta para ulama,
dan sekaligus memaksakan kepada mereka supaya menganut paham Mu’tazilah
bahwa al-Qur’an itu makhluk yang Hadits, kekerasan dan kebengisan jelas
nampak mewarnai gerakan mihnah tersebut. Mereka ingin membasmi paham yang
mengatakan bahwa al-Qur’an itu qadim, sebab paham demikian – menurut kaum
mu’tazilah – berarti menyekutukan Tuhan dengan al-Qur’an, sedangkan dosa
syirik merupakan dosa besar yang tidak dapat diampuni jika tidak bertobat
sebelum wafat.278
277Al-Syahristani, al-Milal wa al-Nih{al, 44-45.
278Abdul Aziz Dahlan, Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam, I (Jakarta:Beunebi Cipta, 1987), 91.
106
Itulah paham yang dipandang munkar oleh kaum mu’tazilah,sehingga
karenanya perlu diluruskan dengan jalan kekerasan sekalipun. Akibat dari
tindakannya ini kemudian menimbulkan dendam dan kebencian yang amat luar
biasa pada kebanyakan masyarakat Islam pada masa itu kepada kaum mu’tazilah.
Akibat lain dari gerakan ini adalah terjadinya konflik-konflikm intern
agama yang di alami khalifah al-Ma’mun hingga khalifah al-Mutawakkil (847-
861 M.). Aliran mu’tazilah yang cenderung rasional itu justru dituduh sebagai
aliran pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Sehingga pada masa pemerintahan al-
Mutawakkil aliran ini dicabut atau dibatalkan sebagai mazhab resmi negara,
dengan demikian maka gerakan mihnah pun dihentikan dan sebagai gantinya ia
merestui ia merestuiakan muhadditsin yang dipimpin oleh Ahmad bin
Hanbal,sebagai lawan terbesar Mu’tazilah waktu itu, maka kedudukan Mu’tazilah
mulai menurun, bahkan sebahagian pemuka-pemukanya telahtelah meninggalkan
barisan Mu’tazilah, seperti Abu Isa al-Warraq dan Abu al-Husain Ahmad ibn ar-
Rawandi279.
Dengan demikian golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya
pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap aliran mu’tazilah yang rasional ini
menyebabkan menyempitnya horizon intelektual280
279Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: Yayasan Penerbit Indonesia, 1971), 65.
280Syed Ameer Ali, Api Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 464.
107
BAB IV
AL MA’MUN DAN KEBERHASILANNYA DI BIDANG PENDIDIKAN
Prestasi luar biasa yang ditunjukan umat Islam pada masa dinasti umayah
dengan keberhasilannya menaklukan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan
Rumawi dan Persia, dan disusul kemudian dengan prestasi yang lebih hebat lagi
dalam penaklukan bidang ilmu pengetahuan, maka lengkaplah sudah prestasi yang
diraih umat Islam pada masa tersebut sehingga tidak salah kalau ahli sejarah
menyebutnya sebagai masa keemasan Islam ( The Golden Age of Islam). Kenapa
tidak? Usaha penelaahan ilmu pengetahuan yang dilakukan pada masa bani
Umayah dilakukan secara besar-besaran pada masa bani Abbasiyah.
Kondisi seperti ini pada masa bani Abbasiyah sangat memungkinkan
sekali untuk melakukan berbagai hal terkait perkembangan dan kemajuan di
berbagai bidang.dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, mengingat
bahasa Arab telah mencapai tahap kesempurnaan, baik huruf, tanda baca, harakat
pembendaharaan kata telah lengkap, maupun tatabahasanya, dan dipakai sebagai
bahasa administrasi dan komunikasi. Di dukung oleh industri kertas sebagai mana
yang dibuat oleh Cina, sudah bisa diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.
Demikian juga kemantapan dibidang politik, memungkinkan ekonomi
berkembang dengan pesat dan pembangunan bisa dilaksanakan dalam segala
bidang dan kesejahteraannya. Oleh karena itu pada bab ini diuraikan tentang
keberhasilan al-Ma’mun di bidang pendidikan, sejarah al-Ma’mun, kebijakan
yang diambil pada masa pemerintahannya, pertumbuhan lembaga-lembaga
pendidikan dan kontribusinya terhadap kemajuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
A. SEJARAH AL MA’MUN
Al-Ma’mun nama lengkapnya adalah Abdullah Abu-Abbas bin al-Rasyid.
Al-Ma’mun dilahirkan pada hari jum’at pertengahan bulan Rabi’ul Awwal tahun
170 H. di malam kemangkatan pamannya Khalifah al-Hadi.281 Seperti yang telah
281Jalaluddin al-Syuyuthi, Tha>rikh al-Khulafa,( Baerut: Dar el-Kutub, 1975), 284
108
dipaparkan, al-Ma’mun lahir enam bulan lebih dahulu dari saudara sebapaknya al-
Amin. Ibunya merupakan bekas hamba sahaya yang bernama Marajil. Akan tetapi
al-Amin secara silsilah dari garis ibu berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun,
disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah, seorang keturunan Arab, oleh
karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.282 Sementara itu
al-Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua 6 bulan dibanding dengan al-
Amin, ia adalah lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara.283
Secara silsilah, al-Ma’mun adalah saudara seayah dengan al-Amin, putra
dari ar-Rasyid. Sementara kakek-kakek mereka berdua berujung kepada Abbas
bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Khalifah Abdullah ibn
Harun al-Rasyid naik menjabat sebagai khalifah yang ke tujuh di dalam Daulat
Abbasiyah dengan panggilan khalifah al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.),
menggantikan saudaranya seayah lain ibu, yaitu al-Amin (193-198 H./809-813
M.), yang hanya memerintah selama lebih kurang 4 tahun 8 bulan,284 sementara
al-Ma’mun memerintah lebih kurang 20 tahun lamanya. Ia menjabat tampuk
kekuasaan pada usia 28 tahun dan wafat dalam usia 48 tahun.285 Usia yang relatif
muda ini telah membawa dirinya ke dalam posisi orang-orang besar dari khalifah-
khalifah abbasiyah pada masa inilah“secara politis”negara Islam sudah bisa
menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi.286
Inilah daftar silsilah keturunan al-Ma’mun sampai kepada kakek-kakeknya
Abbas bin Abdil Muthalib.287
282Ketika Harun al-Rasyid berkuasa, beliau mengangkat ketiga orang putranya; Al-Amin,Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim sebagai putra mahkota secara bergiliran.Peristiwa ini menimbulkanperang dan pemberontakan setelah wafatnya ar-rasyid. M.Masyhur Amin, Dinasti Islam(Yogjakarta:LKPSM, 1995), 99
283A. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), 129.
284M. Masyhur Amin, Dinasti Islam, (Yogjakarta:LKPSM, 1995), 99.
285Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),145.
286 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),53.
287Diolah dari sumber: Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I (Jakarta: BulanBintang, 1977), 26. lihat juga Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: InterMasa, 2009), 110 – 112.
109
Silsilah di atas itu memperlihatkan urutan sampai kepada khalifah ke 7,
yaitu khalifah al-Ma’mun yang oleh para ahli sejarah di Barat dipanggil dengan
sebutan The Great (Orang Besar) Khalifah Abbasiyah.288
1. Pengankatan al-Ma’mun Sebagai Khalifah
Al-Ma’mun diangkat menjadi khalifah ke 7, Daulah Abbasiyah pada usia
28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahanya dimulai pada
tahun 198 H. atau bertepatan tahun 813 M. sampai dengan tahun 218 H. atau
288Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 27.
Abbas bin Abdil Muthalib
Abdullah
Ali
Muhammad Ibrahim Abdullah Saleh Abdul Samad
1.Abdullah Abul Abbasal-Saffah (132-136H/750-754M)
2.Abdullah Abu Ja’far al-Mansur (136-156 H./754-775 M.)
Musa
3. Al-Mahdi(158-169 H./777-785 M.)
4. Al-Hadi(169-170 H/785-786 M)
5. Harun al-Rasyid(170-193 H/786-809 M)
7. Al-Ma’mun (198-218H./813-833 M.)
6.Al-Amin (193-198H/809-813 M.)
110
bertemapatan tahun 833 M. pada masa pemerintahannya ini dipandang sebagai
puncak keemasan dan kebesaran Daulat Abbasiyah.289
Pengangkatan AL-Ma’mun sebagai khalifah dilatar belakangi oleh koflik
perang saudara dengan pasukan al-Amin. Sewaktu al-Amin menjabat sebagai
khalifah di Baghdad, sementara al-Ma’mun menjabat sebagai Gubernur (Amir) di
kota Khurasan (Merv, sekarang masuk Iran) ibu kota Asia tengah waktu itu.
Menurut Suyuti, “al-Amin adalah seorang yang bertutur dan berseni sastra, tetapi
amat buruk dalam mengurus pemerintahannya. Pikirannya lemah, wataknya
tergesa-gesa, singkat kata ia tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin”.290
Segala urusan kenegaraan lebih banyak diserahkan kepada mentri
kepercayaannya, yaitu fadhil bin Rabi..
Tidak lama setelah al-Amin diangkat sebagai khalifah,ia mengambil satu
keputusan yang kontroversial, yaitu dengan melepaskan jabatan putra mahkota
dari al-ma’mun dan al-Kasim yang oleh Harun ar-Rasyid dahulu diberikan.291
Sebagai gantinya, ia melantik putranya, Musa bin al-Amin sebagai putra mahkota.
Padahal pada tahun 791 M. Harun ar Rasyid, atas permintaan istrinya, Ratu
Zubaedah, seorang wanita keturunan Arab, menunjuk ketiga anak laki-lakinya
yaitu Al-Amin, Al-Ma’mun dan al-Qasim, sebagai calon-calon pengganti secara
berturut-turut setelah kematiannya.292
Peristiwa ini, mengundang kemarahan di pihak al-Ma’mun, dan dianggap
sebagai tantangan untuk berperang, sehingga terjadilah peperangan antara
kelompok al-Amin dengan didukung 50.000 tentara dibawah pimpinan Ali bin Isa
bin Mahan, sedangkan dipihak al-Ma’mun,dipimpin oleh Tahir bin Husain dengan
didukung 40.000 tentara.293 Peperangan ini terjadi di dekat Rayy pada tahun 811
M.dan dimenangkan oleh pihak al-Ma’mun. tidak puas atas kekalahan tersebut,
289Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 3, 149.
290Jalaluddin al-Syuyuthi, Ta>rikh al-Khulafa> , 474.
291Al-Mas’udi, Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwh{ar (Bairut: Dar el Kitab al-Lubnani,1982), 398.
292Al-Mas’udi, Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwhar, 396.
293Al-Mas’udi, Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwhar,.399
111
al-Amin kemudian mengerahkan pasukan baru dibawah pimpinan Abdurrahman
al-Jabalah. Pasukan Tahir pun kembali mengalahkan pasukan ini, dan berhasil
menduduki Hamadan. Al-Ma’mun pun mengirim dua orang Jenderalnya, yaitu
Harsama dan Jubair, untuk menduduki seluruh Persia.294
Kemudian jenderal-jenderal al-Ma’mun, yaitu Tahir bin Husain dan
Harsama, berangkat untuk menyerang al-Amin. Mereka menaklukkan Ahwaz,
Yemana, Bahrain, Oman serta merebut Wasit, selanjutnya Jenderal-jenderal itu
berangkat menuju Baghdad dari berbagai jurusan, mereka mengepung kota
Baghdad selama beberapa bulan,hingga Baghdad mengalami kerusakan yang
besar selama pengepungan itu. Sehingga akhirnya, al-Amin terpaksa harus
mencari perlindungan sendiri bersama ibu dan keluarganya di sebuah benteng di
tepi barat sungai., karena tokoh-tokoh penting yang selama ini mendukungnya
mulai meninggalkannya.
Selanjutnya al-Amin berpikir untuk menyerah saja karena ia masih
percaya bahwa saudaranya(al-Ma’mun) akan berlaku baik. Ternyata, dalam
perjalanan menuju penyerahan dirinya itu, ia justru disergap dan dibunuh oleh
beberapa orang tentara Persia.295
Persaingan antara dua orang saudara itu tampaknya tidak bisa dilepaskan
dengan persaingan yang terjadi antara para pendukung kedua khalifah tersebut,
yaitu amir-amir Arab dan amir-amir Persia, untuk memperebutkan supremasi
politik pada pemerintahannya. Al-Amin adalah putra Harun, dari zubaidah yang
keturunan Arab, sedangkan al-Ma’mun putra Harun dari wanita keturunan Persia.
Menurut Muir, al-ma’mun adalah pujaan rakyat Khurasan dan mereka
menyebutnya sebagai “anak dari saudara perempuan kita.”296
Setelah kematian al-Amin, Naiklah al-Ma’mun sebagai khalifah pada
tahun 813 M. al-Ma’mun diangkat menjadi khalifah sewaktu berumur 28 tahun,
dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa
294Keterangan lebih lengkap lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, at-Tabari, Ta>rikh alUmam wa al-Muluk (Bairut:Dar el-Fikr, 1987), 217-242.
295Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, at-Tabari, Ta>rikh al Umam wa al-Muluk, 271
296Muir, The Caliphate, 484.
112
keemasan yang melanjutkan kebesaran yang telah dicapai oleh Ayahnya,Harun ar-
Rasyid.297 Jauh berbeda dengan saudaranya, al-Amin, Al-Ma’mun memiliki sifat
pemaaf, ia juga kurang berminat terhadap hiburan dan permainan.298
Sifat pemaafnya al-Ma'mun ini dibuktikan kepada al-Fadhil bin Sahl,299
yang pada waktu itu diberikan kewenangan penuh untuk mengurusi urusan
pemerintahan, kewenangan ini kemudian disalah gunakan dengan menggalan
kekuatan dan dukungan untuk menentang khalifah di Merv, demikian juga kepada
Ibrahim bin al-Mahdi,yang telah melantik dirinya sebagai khalifah di
Baghdad,pada saat al-Ma'mun masih berada di Merv,padahal waktu itu al-
Mu'tashim dan al-Abbas bin al-Ma'mun mengusulkan untuk membunuh Ibrahim.
Sebagaimana dikutip Didin, Suyuti mengatakan: “Al-Ma’mun adalah
tokoh Bani abbas yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran
dan kecerdasannya.” selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad, ia tidak mau
mendengar sembarang nyanyian. Faktor penyebabnya adalah karena ia harus
berkonsentrasi penuh untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir
runtuh., dan ia juga harus berkonsentrasi pada buku-buku yang ia baca.300
Al- Ma’mun yang berkeluarga pada usia relatif cukup muda, yaitu umur
16 tahun. Pada perkawinan al-ma’mun, putra ar-Rasyid, dengan Buran, anak
seorang wajirnya, al-Hasin bin Sahl, di laksanakan pada tahun 825 H., sebagai
mana di ceritakan oleh ali Mufrodi, merupakan sebuah pesta pora yang cukup
meriah, sehingga bisa dikatakan sebagai sebuah pemborosan yang besar.
Betapa tidak, lanjut mufrodi, seribu butir mutiara yang indah dan besar-
besar yang terletak di atas baki emas ditaburkan kearah mempelai berdua yang
berdiri di atas hamparan tikar yang dihiasi dengan mutiara dan batu hitam. Di
samping itu banyak hadiah yang diberikan berupa tanah,hamba sahaya dan
297Karena kebesarannya al-ma’mun juga banyak diabadikan dalam buku tersendiri sepertikarya Ali Muhammad Ridha,’Ashr al-Islami az- Z{ah{aby, al-Ma’mun al ‘Abbasy. Lihat. DidinSaefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 94.
298Pujian dan sanjungan tentang sifat-sifat al-Ma’mun oleh para ahli sejarah dapat dilihatmisalnya pada as-Syuyuthi, Ta>rikh al-Khulafa> (Baerut: Darl Al-Kutub), 487-489.
299Jalaluddin as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa> , 487-489.
300Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 94.
113
barang-barang berharga lainnya kepada keluarga khalifah dan keluarga para
pejabat tinggi Negara.301
2. Masa Pemerintahan al-Ma’mun.
Al–Ma’mun sebagai pengganti ayahnya meneruskan tradisi keilmuan dan
penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia juga
mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang di beri nama Bait al-hikmah
(gedung kebijaksanaan) yang di dalamnya terdapat sebuah observatorium yang
diperuntukkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Meskipun kata, Ahmad
Shalabi, pembangunan Bait al-Hikmah ini telah diawali pada masa Harun al-
Rasyid.302
Diantara kelebihan yang dimiliki al-Ma’mun adalah keintektualannya dan
kecintaannya kepada ilmu pengetahuan serta jasa-jasanya dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan,ia juga banyak mengumpulkan buku-buku untuk disimpan di
bait al-hikmah. Selain itu, ia pun banyak mengundang para penerjemah untuk
menerjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab,
dengan memberikan imbalan gaji yang cukup besar dan memuaskan. Suyuthi,
mengatakan bahwa,"al-Ma'mun adalah salah satu tokoh Bani Abbas yang paling
utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran dan kecerdasannya".sehingga
ia telah dapat menempatkan dirinya dipuncak kekhifahan abbasiyah303.
Para khalifah Abbasiyah memiliki kualitas yang berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya. Kendati demikian, apabila diperhatikan dari kualitas
kepemimpinannya, tampaknya dari sembilan khalifah Abbasiyah pertama, hanya
lima orang saja yang termasuk kepada khalifah besar (The Great). Kelima
khalifah tersebut adalah Abu al-Abbas as-Saffah, Abu Ja’far al-Mansyur, al-
Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun. Sedangkan al-Hadi, al-Amin, al-
301Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta:Logos, 1999),104.
302Ahmad Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 120.
303Mengeai masalah sanjungan dan pujian tentang sifat-sifat al-Ma'mun oleh sejarawandapat dilihat misalnya pada as-Suyuti, Ta>ikh al-khulafa> (Maktabah an-Nahdah al-Misriyah,1975),. 487-489.
114
Mu’tashim dan al-Watsiq dianggap kurang mampu memimpin dan membawa
kemajuan kekhalifahan Abbasiyah.304
Masa pemerintahan al-Ma’mun termasuk ke dalam katagori khalifah yang
berhasil mencapai puncak kemegahan dan kebesaran Daulat abbasiyah. Sekali pun
masa-masa sepeninggalnya masih tetap gemilang, akan tetapi sedikit demi sedikit
kekuasaan para khalifah itu mulai menurun. Sebab, kekhalifahan al-Ma’mun ini
merupakan puncak tertinggi pada periode pertama masa Daulat Abbasiyah dan
masa sesudahnya telah bergeser dan berpindah ketangan sultan-sultan.305
Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah adalah Abu al-Abbas as-Saffah (132-
136 H./750-754 M.). Menurut as-Suyuthi, dalam Tarikh al-Khulafa, dikatakan
bahwa beliau adalah seorang yang bermoral tinggi, memiliki loyalitas, disegani,
berpikir luas, pemalu, bertingkah laku baik. Ia sopan dan menepati janji sesuai
dengan waktunya.306
Kalau Abu al-Abbas as-Saffah dianggap sebagai pendiri, maka khalifah
Abu Ja’far al-Mansyur (136-158 H./754-777 M.) dianggap sebagai Pembina
sebenarnya Dinasti Abbasiyah. Beliau adalah tokoh Abbasiyah yang terkenal
hemat, berani, tegas, berpikir cerdas dan gagah perkasa.307 Menurut Ibnu
Thabathiba, al-Mansur adalah seorang raja yang agung, tegas, bijaksana, alim,
berpikir cerdas, pemerintahannya rapih, amat disegani dan berbudi baik. Namun
seperti pendahulunya, sifat keras dan tidak mengenal belas kasih kepada orang-
orang yang tidak sepaham dengannya menjadi cirri dari khalifah ini.
Khalifah berikutnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin al-Mansur,
yang bergelar al-Mahdi (158-169 H./777-785 M.), merupakan putra al-Mansur
304Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik, 84.
305Khalifah al-Ma’mun, sebelumnya (132 H./750 M.) sampai wafatnya Khalifah al-Watsiq (232 H./874 M.) termasuk kepada periode pemerintahan Abbasiyah pertama. Sedangkanmasa sesudahnya , dimana khalifah-khalifah masa masa itu lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang Turki, yang berakibat legitimasi terhadap khalifah berpindah ketangan para sultan. LihatM.Masyhur Amin, Dinasti Islam (Yogyakarta :LKPSM, 1995),95. lihat juga Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik:Perkembangan ilmu pengetahuan Islam (Jakarta:Kencana, 2007),.50-51.
306Jalaluddin as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa> (Kairo: Maktab an-Nahdah al-Misriyah, 175),100.
307Jalaluddin as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, 414.
115
yang dilahirkan di Idzdad, sebuah tempat antara khuzistan dan Isfahan pada tahun
126 H.308 Masa pemerintahannya, menurut William Muir, merupakan masa
transisi antara masa pemerintahan Abbasiyah yang keras dan kasar dan masa
pemerintahan berukutnya yang makmur.309 Ia merupakan penguasa yang lembut
dan dermawan, setelah naik tahta ia berusaha untuk menghapus kesan kekakuan
dan kekasaran pemerintahan yang dilakukan ayahnya. Ia sangat baik dan berbelas
kasih kepada kaum miskin dan kurang mampu.
Harun al-Rasyid (170-193 H./786-809 M.), adalah khalifah berikutnya
yang termasuk ke dalam lima besar khalifah Bani Abbasiyah, merupakan khalifah
yang dianggap paling cerdas dan cemerlang yang membawa Dinasti Abbasiyah
mencapai zaman keemasannya, ia memerintah selama 23 tahun dan mampu
membuat Dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan dibidang politik,
ekonomi,perdagangan, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dalam kitab-kitab
sejarah pun ia mendapatkan porsi pembahasan yang paling panjang diantara
khalifah-khalifah lainnya.310
Dimasa pemerintahan Haruan al-Rasyid, mendirikan Baitul Hikmah yang
merupakan sebuah ilustrasi kebudayaan dan pikiran yang cemerleng pada saat itu,
dan merintis jalan kearah kebangkitan, serta membangun baitul mal yang yang
ditugaskan untuk menanggung narapidana dengan memberi makan dan pakaian di
musim panas dan musim dingin, Beliau juga membuat buku seribu satu malam
yang menduduki tempat paling atas di bidang kesusastraan dunia.
Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang paling dihormati, suka
bercengkrama, alim dan sangat dimuliakan sepanjang usia menjadi khalifah.
Kedudukan khalifah Harun al-Rasyid di dalam negerinya lebih hebat dari segala
peristiwa dan kekacauan yang timbul di beberapa tempat, menurut as-Suyuti,
308As-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, 434.
309William Muir, The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall (London:Darf Publisher,1984), 465.
310Lihat misalnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Tabari,Ta>rikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut :Dar el-Fikr, 1987), ia menjadi figur yang legendaris karena cerita-cerita tentangdirinya dalam Kitab Alf Laylah wa Laylah ( 1001 malam).
116
bahwa zaman pemerintahan Harun al-Rasyid seluruhnya merupakan zaman yang
penuh kebaikan, semuanya indah seperti pengantin baru.311
Khalifah terakhir yang termasuk dalam lima besar khalifah Abbasiyah
adalah al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.). Menurut Suyuthi, al-Ma’mun
adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuaannya, keberanian,
kehebatan, dan kecerdasannya, jauh berbeda dengan saudaranya al-Amin, ia
memiliki sifat pemaaf, dan juga kurang berminat terhadap hiburan dan
permainan.312
Semasa kecilnya, al-Ma’mun telah banyak mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan. Dia banyak mempelajari Hadits dari ayahnya, Harun al-Rasyid dan
guru-gurunya bernama Hasim, Abid bin Awwan,Yusuf bin Atiyah dan banyak
lagi. Di lain pihak ia juga belajar sastra, tata bahasa arab, dan falsafah.
Al-Ma’mun merupakan salah satu keturunan Bani Abbas yang mempunyai
kecerdasan yang tinggi, pintar, berpendirian kokoh, penyantun, berpengetahuan,
berpikir logis, pemberani, dermawan dan mempunya cita-cita yang tinggi. Bahkan
al-khatib sampai berani berkata bahwa tidak ada seorang pun dari khalifah yang
hafal al-qur’an dengan baik selain Utsman bin Affan dan al-Ma’mun.313
Al-Ma’mun adalah seorang khalifah yang sangat mencintai akan ilmu
pengetahuan dan saleh perangainya. Sifat dan watak baiknya itulah yang
menyebabkan ia mampu memegan jabatan pemerintahannya selama 20 tahun.
Akan tetapi kebesaran jiwa dan perangai baik al-Ma’mun, mendapat sorotan yang
tajam, ketika terjadi kontroversi mengenai pemberlakuan mih{nah (Ingkuisisi)
terhadap lawan-lawan diskusinya. 314
311Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 99.
312Pujian dan sanjungan tentang sifat al-Ma’mun ole4h para sejarawan dapat dilihatmisalnya pada as-Suyuti,Ta>rikh, 487-489.
313Riwayat ini termasuk khabar gharib, menurut Ibnu Katsir. Lihat , Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Bairut: Maktab al-Ma’arif, 1990), 275.
314Pada mulanya al-Ma’mun tidak menjelaskan pendiriannya secara terbuka, karena iakhawatir akan terjadinya perbedaan pendapat dengan para ulama yang pada umumnya beraliransuni. Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta:Intermasa, 1994), 151.
117
Pada bulan Rabi’ul Awal tahun 218 H. kira-kira empat bulan sebelum
meninggal. Al- Ma’mun pernah menulis surat yang ditujukan kepada Gubernur
Irak, Ishak ibn Ibrahim, yang isinya antara lain memerintahkan agar menguji para
qadhi dan para saksi tentang khulq al-Qur’an dan mengintruksikan supaya mereka
melaksanakan perintah tersebuit. Surat itu demikian panjang, dengan
mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ia adalah
makhluk.315 Para qadhi dan para saksi yang menolak untuk menyatakan khuluq al-
qur’an dianggap telah musyrik. Dengan demikian mereka tidak berhak untuk
menduduki jabatan hakim dan kesaksian mereka tidak sah. Surat tersebut dikirim
keseluruh wilayah kekuasaan Islam, seperti Damaskus, dan dengan demikian
maka terjadilah mih{nah 316 di seluruh wilayah itu.
Mih{nah ini merupakan semacam lembaga penyelidik yang berfungsi untuk
meneliti paham seseorang, terutama para pejabat pemerintahan pada saat itu.
Mih{nah ini intinya untuk mengetahui paham yang dianut oleh seseorang (para
pejabat), apakah ia berpahakan Mu'tazilah atau bukan, karena pada masanya ini
Mu'tazilah dijadikan paham resmi Negara.
Keberpihakan al-Ma'mun terhadap paham Mu'tazilah ini tampaknya tidak
dapat dipisahkan dari kehausannya terhadap ilmu pengetahuan yang rasional, dan
kecintaannya terhadap filsafat yang mendorongnya untuk lebih menyetujui paham
Mu;tazilah ini dibandingkan dengan paham-paham yang lain yang ada pada saat
itu.
Al-Ma’mun wafat pada hari rabu, tanggal 13 Jumadil akhir, pada waktu
sedang berperang melawan Romawi di Bazandon317 (Tarsus) kemudian
315Dalil-dalil al-Qur’an itu antara lain surat ke 43:2, 6:1, 20:99 dan 11:1. untuk lebihlengkapnya lihat Melville Patton, Ahmed ibn Hambal and Mih{nah (al-Hilal, t.th), 104-107.
316Secara fenomenoligi, mih{nah dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telahterjadi sebelum masa al-Ma’mun. jahm ibnu Sofwan dihukum mati karena ia membawa fahamsendiri. Ma’bad al-Juhani dihukum mati karena melahirkan faham Qadariyah pada masa KhalifahAbdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H.Ghaylan al-Dimasyqi juga dihukum mati oleh khalifahHisyam ibn Abdul Malik pada tahun 105 H. lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo:Maktabahal-Nahdah,1965),162, dan Nur khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1990), 14.
317C. Israr, Sejarah Kesenian Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), 117.
118
dimakamkan ditempat itu juga pada tahun 218 H.318 Ia memerintah selama lebih
kurang dua puluh tahun. Setelah al-Ma’mun wafat.maka posisi kekhalifahan
digantikan oleh al-Mu’tashim pada tahun 899 M.Ia dibesarkan dalam lingkungan
militer,sehingga mempunyai sifat berani dan berminat menjadi pahlawan,319 tidak
heran, jika ia dikenal tidak berpengetahuan tinggi, alhasil, Khalifah Harun al-
Rasyid sendiri kurang berkenan untuk melantiknya menjadi putra mahkota atau
bakal Khalifah. Sehingga pada masa Al-Ma’mun pun ia hanya dijadikan sebagai
tangan kanan Khalifah untuk menyelesaikan berbagai kesulitan sekaligus
memimpin berbagai peperangan. Ia juga diangkat oleh al-Ma’mun sebagai
penguasa di Syiria dan Mesir, sebelum dilantik sebagai putra makhkota.
Pemerintahaannya berlangsung selama sepuluh tahun.
Kendati demikian, pengangkatan al-Mu’tashim sebenarnya tidak disetujui
oleh sekelompok tentara yang menginginkan Abbas, anak al-Ma’mun sebagai
penguasa, namun demikian, kerusuhan-kerusuhan yang muncul dapat
dihindarka..320 Wafatnya al-Ma’mun merupakan awal kemunduran Dinasti
Abbasiyah.321
Diantara paham atau aliran yamg ada pada masa itu, maka paham
Mu’tazilah inilah yang dianggap cocok atau mampu menampung keinginan
pemerintah (al-Ma’mun) untuk mengembangkan tradisi intelektual yang
diwariskan pendahulunya, dan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang sedang
digandrungi masyarakat muslim pada masa itu. Mu’tazilah menawarkan konsep
rasionalitas atau penggunaan akal lebih dominan dari pada nash.
318Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir,at-Tabari, Ta>rikh al Umam wa al-Muluk (Bairut:Darel-Fikr, 1987), 516.
319Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan wa anha abna az-Zama>n (Kairo:Maktabah an-Nahd}ahal-Misriyah,1949), 24.
320Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta:Inter Masa, 2009), 95.
321Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta:Intermasa, 1994),.222.
119
B. Kebijakan Pemerintahan al-Ma’mun.
Dalam masa pemerintahannya, al-Ma’mun banyak menghadapi berbagai
masalah,rintangan dan ancaman atas keutuhan dinasti Abbasiyah, khususnya
ancaman internal akibat terjadinya ”perang saudara” antara pihak al-Amin yang
mayoritas didukung oleh golongan Arab dengan Al-Ma’mun yang pada waktu itu
lebih banyak mendapat dukungan dari golongan Persia. Orang-orang Arab marah
terhadap al-Ma’mun, karena ia dianggap tidak lagi mengikuti tradisi sebelumnya,
yang Arab murni (Arabisentris). Ia lebih cenderung banyak melibatkan orang-
orang non Arab (Persia) dalam sistem pemerintahannya. Akibatnya, kecemburuan
dan kefanatikan terhadap kesukuan Arab muncul kembali. Hal ini kemudian
menjadi ancaman tersendiri bagi pemerintahan al-Ma’mun.322
Hal ini muncul dilatar belakangi atas kepindahan ibu kota dari Khurasan
ke Baghdad oleh khalifah al-Ma’mun. Kemudian menimbulkan kemarahan dari
orang-orang Persia terhadap al-Ma’mun. Begitu hebatnya berbagai gerakan yang
dihadapi al-Ma’mun, sehingga ia bekerja keras disepanjang siang dan malam
selama masa pemerintahannya untuk mengatasi semua masalah itu.323 Akan tetapi
dengan kekuatan dan ketangkasan, kecerdikan yang dimilikinya, maka ia dapat
dengan mudah mengatasi situasi politik yang memburuk, sehingga akhirnya ia
dapat melakukan pembenahan-pembenahan dari dalam negeri.
Kendati dalam situasi kondisi pemerintahan yang banyak terjadi
pemberontakan, namun, menurut Badri yatim, Al-Ma’mun dapat mengatasi
semuanya itu dengan sikap yang tegas lagi arif dan bijak sana. Walau demikian
pemberontakan-pemberontakan yang timbul bukanlah dilatar belakangi oleh
perebutan kekuasan, akan tetapi lebih dikarenakan oleh faktor-faktor etnis dan iri
atas keberhasilan-keberhasilan yang diraih oleh khalifah al-Ma’mun.324
322Rintangan ini banyak dilator belakangi oleh persaingan antar golongan Arab danPersia. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 62.bandingkan dengan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: KotaKembang, 1989), 120-121
323Ahmad. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 130.
324Ahmad. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 133.
120
Untuk memperkecil dan mempersempit pertikaian yang ada dan oposisi
terhadap pemerintahannya, di samping memajukan ilmu pengetahuan, kemudian
al-Ma’mun segera melakukan terobosan-terobosan baru guna menanggulangi
perpecahan tersebut. Terobosan-terobosan tersebut dapat dilihat dari kebijakan
kebijakan yang diterapkan oleh al-Ma’mun selama berkuasa, kebijakan tersebut
berupa kebijakan politik al-Ma’mun, antara lain;
1. Menangguhkan pemindahan kota sementara dari khurasan ke Baghdad
(198-204 H./813-819 M.)
Dalam buku ensiklopedi Islam disebutkan, bahwa al-Ma’mun sebelum
naik tahta pernah mengepung Baghdad selama hampir satu tahun,karena al-Amin,
saudaranya berniat untuk membatalkan pewarisan kekhalifahan kepada Al-
Ma’mun dan mengangkat Musa al-Amin anak kandungnya sendiri sebagai putra
makhkota. Dari sinilah terjadi peperangan antara pasukan Al-Amin dengan
pasukan Al-Ma’mun yang berakhir dengan kekalahan di pihak al-Amin.325 Atas
keputusan sepihak yang diputuskan oleh pihak al-Amin, akhirnya perang saudara
itu tidak dapat dihindarkan lagi.
Setelah Baghdad dapat dikuasai oleh tentara al-Ma’mun, ia tidak langsung
menduduki Baghdad sebagai ibu kota, melainkan tetap tinggal di Khurasan, baru
kemudian setelah situasi politik memungkinkan maka al-Ma’mun memindahkan
ibukota khurasan ke Baghdad.
Kebijakan pemindahan kota Khurasan ke Baghdad ini bukan sesuatu yang
tanpa alasan dan tujuan yang jelas, pemindahan kota tersebut bertujuan:
1. Al-Ma’mun ingin mendinginkan atau menenangkan perasaan penduduk ibukota ( terutama para pendukung setia dan keluarga al-Amin dari keturunanArab) yang baru saja ditinggal wafat oleh saudaranya, al-Amin.
2. Al-Ma’mun juga ingin mengetahui atau menjajagi seberapa besar pengaruhkekuatan dari pendukung saudaranya itu dalam lingkungan keluargaAbbasiyah.
3. Al-Ma’mun juga ingin menyelami seberapa pendirian sebenarnya keluargaAbbasiyah terhadap dirinya.karena semenjak kecil ia lebih cenderung kepada
325Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Intermasa, 1994),149-150
121
keluarga dari pihak ibunya (yang keturunan Persia) dibandingkan dengankeluarga dari Ayahnya (yang keturunan Arab).326
Di lain pihak kebijakan untuk tinggal beberapa tahun di Khurasan adalah
guna memberikan kesempatan kepada unsur-unsur pendukung al-Amin untuk bisa
bernapas lega dan secara perlahan-lahan memperlihatkan dirinya sebagai lawan
terbuka. Ia juga bermaksud untuk dapat mengetahui berbagai kemelut yang terjadi
dan merancang cara untuk menghadapinya nanti kalau sudah kembali ke ibu kota
(Baghdad). Tetapi pertempuran berikutnya malah terjadi bukan di Irak atau
Khurasan, melainkan di Suriah, kemudian menyusul di Kuffah, melawan keluarga
Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan al-Ma’mun, kesemuanya itu dapat di patahkan oleh pasukan al-
Ma’mun.327
Akibat kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh al-Ma’mun dan
pasukannya (orang-orang Persia) dalam berbagai kontak senjata, melawan
pemberontakan pemberontakan yang terjadi, menimbulkan kemarahan yang besar
di kalangan orang-orang Arab. Sementara kebijakan al-ma’mun memindahkan
kota Khurasan ke Baghdad justru sebaliknya menyebabkan kemarahan orang-
orang Persia kepadanya328.
2. Memajukan Ilmu Pengtahuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu
Orang-orang Islam pada saat itu mempunyai kecenderungan yang cukup
rajin untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan, baik agama, tafsir, bahasa,
fiqih maupun ilmu-ilmu pemngetahuan lainnya,seperti; ilmu hitung, ilmu hukum,
ilmu falak, ilmu perbintangan, dan dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan
lainnya.
Pada awal Islam, terutama pada masa sesudah dilakukannya penerjemahan
ke dalam bahasa Arab, sejak masa Khalifah al-Mansur (khalifah Abbasiyah yang
326Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 149-150.
327Ahmad. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 150.
328Al i Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1999), 95.
122
ke II, antara tahun 745-775 M.) dan gerakan penterjemahan ini mencapai
puncaknya pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M.) yaitu pada waktu orang-
orang Islam telah mulai menterjemahkan buku-buku karya orang Yunani,Persi
dan India ke dalam bahasa mereka. Oleh karena itu para Khalifah menganggap
sangat penting terhadap usaha-usaha tersebut, maka didirikanlah sebuah lembaga
khusus yang berfungsi sebagai tempat untuk melakukan kegiatan penterjemahan
dan mempelajari berbagai ilmu.329
Al–Ma’mun, putra Harun al-Rasyid yang memerintah pada tahun 198-212
H./813-833 M.330 Ini terkenal bukan karena Ayahnya Harun al-Rasyid, melainkan
karena keintelektualannya dan kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan serta jasa-
jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu pada tahun 209 H.
Atau bertepatan tahun 830 M. Ia mendirikan bait al h{ikmah, sebuah perpustaan
terbesar pada masa itu, yang sekaligus juga berfungsi sebagai akademi, tempat
melakukan penelitian dan balai penerjemahan.
Pada masanya penerjemahan literatur-literatur asing terhadap basaha Arab
dilakukan secara besar besaran dengan didukung oleh alokasi dana yang cukup
besar, yang disediakan oleh Khalifah. Diriwayatkan bahwa imbalan yang
diberikan kepada penterjemah adalah berupa emas seberat buku yang
diterjemahkan.331 Hal ini menunjukan betapa seriusnya al-ma’mun dalam
memajukan perkembangan ilmu pengetahuan.
Diantara penerjemah-penerjemah yang termashur pada masa itu antara lain
adalah:
1. Hunain Ibn Ishaq, seorang Kristen, yang pandai berbahasa Arab dan Yunani(ia pernah berkunjung ke Yunani), ia terjemahkan 20 buku karya Galen kedalam bahasa syiria dan 14 buku lainnya ke dalam bahasa Arab,dalamkegiatan ini Hunain dibantu oleh tidak kurang 90 orang pembantu danmuridnya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
2. Anak Hunain yang bernama Ishaq (w. 910 M.)3. Sabit ibnu Qurra (825-901), seorang penyembah bintang
329Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1979), 19.
330Samsurizal Panggabean dalam Islamika no.5 tahun 1994, .8.
331Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Inter Masa, 2009), 102.
123
4. Qusta ibnu Luqa, seorang Kristen5. Hubays, merupakan kemenakan dari Hunain6. Abu Bisr Matta Ibnu Yunus (w 939 M.)332
Dengan adanya penerjemahan ini, sebahagian besar dari karya-karya
Aristoteles, Plato,neoplatonisme dan sebahagian besar dari karya-karya Galen
dan karya-karya dalam ilmu pengetahuan Yunani dan ilmu kedokteran dapat
dibaca oleh para ilmuwan dan uylama Islam.karya-karya tentang filsafat banyak
menarik perhjatian kaum Mu’tazilah, sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh
pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani.
Abu Hudzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazhzham, Bisr ibnu al-Mu’tamir dan
lain-lainnya banyak membaca buku filsafat. Dalam pembahasan mereka tentang
teologi Islam, daya akal atau logika yang mereka jumpai pada filsafat Yunani
banyak mereka pergunakan.sehingga tidak mengherankan kalau teologi kaum
Mu’tazilah ini mempunyai corak rasional dan liberal.
Dengan demikian, maka filsafat,kebudayaan dan sekolah Yunani seperti di
Antiokia (Antakya, Turki) sangat berpengaruh sekali di Baghdad. Karya-karya
sastra, karya ilmiah dan filsafat Yunani menjadi sangat berkembang. Sikap
keagamaan yang bebas dan rasional pun mengalami perkembangan yang
signifikan, sebagai mana aliran Mu’tazilah yang merupakan aliran teologi
rasional. Dua buah tempat penelitian (observatorium) juga dibangun oleh al-
Ma’mun, yang satu bertempat di Damaskus dan satunya lagi bertempat di
Baghdad dekat Bait al-H{ikmah.333
Bahkan kegiatan intelektual ini menurut Asma Hasan Fahmi, berjalan
terus diseluruh wilayah negara Islam sampai abad ke XII Masehi, hal ini sama
sekali tidak terpengaruh oleh kondisi keadaan negara, dengan kelemahan-
kelemahan yang terjadi dalam kerajaan Abbasiyah dan terpecah-pecahnya
kerajaan tersebut kedalam beberapa negara kecil yang kemudian berdiri sendiri.
332Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2006),4
333Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 1994), 150.
124
Hal ini tidak lain, dimungkinkan oleh karena kebanyakan para sultan yang
ada selalu terus memacu, nmemberi motivasi, dorongang terhadap para ulama,
dan banyak para ulama dan para pelajar yang merantau dari satu negeri ke negeri
yang lain untuk berdiskusi, bertukar pikiran dan mengumpulkan berbagai macam
ilmu pengetahuan.334 Dari mulai filsafat, matematika, ilmu kedokteran, ilmu
astronomi, ilmu hitung dan lain sebagainya.
Sehingga pendidikan pada saat itu turut mengalami perkembangan yang
cukup baik pada masa tersebut, antara lain:
a. Kurikulum
Kurikulum pada masa Islam klasik sudah tentu tidak akan sama dengan
kurikulum pada masa sekarang ini, kurikulum pada masa itu tidak banyak
menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam satu jenjang waktu,
pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
siswa. Setelah materi tersebut selesai, maka siswa baru diperbolehkan
mempelajari mapa pelajaran yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya,
misalnya pada tahap permulaan siswa diharuskan belajar menulis dan membaca,
setelah siswa tersebut bisa menulis dan membaca, berikutnya siswa baru
diperbolehkan untuk belajar berhitung dan seterusnya.
Hal tersebut lebih dikarenakan pada saat itu belum adanya koordinasi antar
lembaga pendidikan yang ada, atau oleh suatu organisasi atau pemerintah seperti
sekarang ini, kalau pun ada dalam kasus tertentu, penguasa turut ambil bagian
pada pendidikan di mesjid, namun pada pelaksanaannya proses belajar-
mengajarnya itu bergantung sepenuhnya kepada guru yang memberikan
pelajaran, sehingga antara guru yang satu dengan yang lainnya tidak ada
keterkaitannya dalam kelulusan siswa pada lembaga tersebut.
Tiap-tiap guru akan memberikan ujian sendiri terhadap siswa yang telah
selesai mengikuti pelajarannya, kemudian ia akan diberikan ijazah, oleh
karenanya, seorang siswa kemungkinan bisa memiliki banyak ijazah , baik dalam
satu bidang studi, maupun dari berbagai macam bidang studi lain.
334Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, 20.
125
Menurut Ahmad Tafsir yang dimaksud kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, lebih luas lagi kurikulum bukan hanya
sekedar rencana mata pelajaran, akan tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan di sekolah.335
Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari
sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Disamping itu,
siswa juga diwajibkan untuk mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat
memberikan pengalaman belajar.
Sedangkan kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa itu pada
mulanya hanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring dengan
perkembangan sosial dan kultural, maka materi kurikulum pun semakin luas.
Mengidentifikasi kurikulum pada masa Nabi memang terasa sulit,
dikarenakan Nabi mengajar pada sekolah kehidupan yang luas tanpa dibatasi
dinding kelas, Nabi memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-
nilai pendidikan untuk menyampaikan ajarannya.
Pendidikan Islam pada masa Rasulullah dimulai sejak Nabi Muhammad
SAW diutus menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah, sistem pendidikan ini lebih
bertumpu kepada Nabi, sebab pada saat itu hanya Nabi yang mempunyai otoritas
untuk menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pengajaran yang
diberikan pada periode Mekah berkisar pada ayat-ayat makkiyah yang berjumlah
93 surat dan petunjuk-petunjuknya yang dikenal dengan sunnah dan hadis.
Sementara pendidikan pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran yang
diberikan berkisar pada belajar menulis, membaca al-Qur’an, keimanan, ibadah,
akhlak, dasar-dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Metoda yang
dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan
penghayatan yang mendalam dan didukung dengan bukti-buktiyang rasional dan
ilmiah (menurut kemampuan berpikir orang yang diajak berdialog). Untuk materi
ibadah biasanya disampaikan melalui metode demonstrasi dan peneladanan.
335Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam,(Bandung: Rosdakarya, 1992),53
126
Sedangkan pada masa khulafa al Rasidin, untuk pendidikan dasar adalah
membaca dan menulis, membaca dan menghapal al-Qur’an, dan pokok-pokok
agama islam. Sementara untuk tingkat menengah dan tinggi terdiri dari al-Qur’an
dan tafsir, Hadis dan pengumpulannya, serta Fiqih,336 Filsafat dan ilmu duniawi
belum dikenal pada saat itu.
Pada masa kejayaan Islam materi pendidikan sudah mengalami
penambahan, hal ini terjadi karena Islam telah bersentuhan dengan budaya
masyarakat non Islam yang menyebabkan permasalahan sosial semakin kompleks,
problem tersebut akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan keagamaan dan
intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam.
Perkembangan kehidupan intelektual dan keagamaan membawa
perkembangan lain bagi kurikulum pendidikan pada saat itu, materi yang
diajarkan pun bertambah dengan ilmu-ilmu baru seperti tafsir, hadis, fikih, tata
bahasa, sastra, matematika, teologi, filsafat, astronomi dan kedokteran.
Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat
rendah adalah al-Qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair. Sementara
dalam berbagai kasus ditambah dengan nahwu, cerita dan berenang. Sedangkan
untuk anak-anak amir dan penguasa, kurikulumnya sedikit berbeda. Di Istana
biasanya ditegaskan pentingnya khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara
pergaulan di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, syair dan fikih.337
Kurikulum yang diajarkan pada tingkat menengah meliputi; al-Qur’an,
Bahasa dan sastra arab, Fiqih, Tafsir, Hadis, nah{wu, ilmu-ilmu eksakta, mantiq,
falaq, sejarah, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran dan musik.338 Walau pun
kurikulum ini belum seragam di laksanakan di seluruh daerah.
Ada pun kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukan adanya
keberagaman, namun secara umum lembaga pendidikan tinggi ini mempunya dua
fakultas, pertama, fakultas ilmu agama dan sastra, yang mempelajari; tafsir, h{adis,
fiqih, nah{wu, balaghah, bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu
336Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya agung, 1979), 40
337Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustala al-Husna, 1992), 118
338Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), 55-56
127
H{ikmah (filsafat), mempelajari; mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu
eksakta, ilmu ukur, falaq, ilmu teoligi, ilmu hewan, ilmu nabati dan kedokteran.339
Stanton berpendapat bahwa materi pelajaran yang di berikan pada lembaga
pendidikan tinggi ketika itu adalah sebagai berikut:
Ilmu-ilmu agama sangat mendominasi kurikulum lembaga pendidikantinggi formal, dan al-qur’an berada pada porosnya. Disiplin-disiplin yangperlu untuk memahami dan menjelaskan makna al-Quran tumbuh sebagaibagian inti dari pengajaran, yakni h{adis, lalu tafsir. Tantangan utamadalam mempelajari h {adis adalah keharusan menghafal secara literalratusan h{adis, dan membangun kemampuan untuk memilih h{adis yangtepat diantaranya dalam menjawab satu pertanyaan hukum. Sedangkantafsir –metode penafsir arti dan konteks literatur agama- sangat bergantungkepada keahlian seorang guru dan kemampuannya mengajarkan metode-metode penafsiran dan penjelasan bahasa al-Qur’an.340
Fiqih dalam sistem ini merupakan bagian dari kajian khusus dalam
mazh{ab tertentu, dimana ilmu-ilmu agama yang lain berfungsi sebagai prasyarat.
Sementara kurikulum pelajaran yang mencakup sains dan sastra muncul pada
waktu pemikiran-pemikiran Islam sudah mulai maju, kemerdekaan berfikir mulai
berkembang, bidang-bidang penelitian sudah semakin meluas, ilmu-ilmu
diberbagai bidang yang mencakup sains dan sastra sudah mulai bangkit, dan
semakin bertambah kegiatan ilmiah falsafi pada umat Islam.
’Athiyah, memberikan contoh, Abu Ishak al-Kindi, seorang filosof Islam,
telah mempelajari kedokteran, aljabar, Sya’ir, logika, filsafat dan musik pada
ketiga Hijriyah. Yang dilaksanakan pada lembaga informal di luar madrasah.
Dengan melihat kenyataan tersebut, maka pendidikan keagamaan dan
pendidikan sains pada saat itu dilaksanakan secara terpisah pada lembaga
pendidikan yang berbeda pula dan mungkin lahir dari paradigma yang ber beda
juga
b. Metode Pengajaran
Metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang penting
dalam mentransfer pengetahuan atau budaya dari seorang guru kepada muridnya.
339Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), 57-58340Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, (Jakarta: Logos, 1994), 53
128
Metode pengajaran yang dipakai pada saat itu dapat dikelompokkan pada tiga
macam, lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan bisa saja berupa dikte, ceramah,
qira’ah, dan diskusi.
Dikte merupakan metode untuk menyampaikan pengetahuan yang
dianggap baik dan aman karena pelajar dapat memiliki catatan. Murid-murid
biasanya membuwat catatan pelajaran dengan menuliskan nama guru yang
menyampaikan pelajaran, tempat dan hari mereka menerima pelajaran. Ketika
pelajaran berlangsung, murid-murid duduk dilantai, memegang catatan ditangan
kiri dan lututnya dijadikan “bangku” untuk menulis dengan tempat tinta untuk
pena. Metode ini dianggap penting karena pada saat itu buku-buku cetakan seperti
sekarang ini sangat sulit sekali untuk dimiliki oleh para pelajar.
Sedangkan metode ceramah adaalah guru membacakan bukunya atau
menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Pada
saat-saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada murid untuk
mencatat dan bertanya.
Sementara metode qira’ah atau membaca biasanya digunakan untuk
pelajaran membaca, dan diskusi merupakan metoda yang khas dalam pendidikan
Islam pada masa itu. Di mana para ulama sering mengadakan majelis-majelis
diskusi dan perdebatan. Metode ini banyak dipergunakan dalam pengajaran ilmu-
ilmu yang bersifat filosofis dan fikih. Dimana murid-murid boleh bertanya
langsung kepada guru dan mereka tidak diizinkan untuk tinggal diam dan hanya
mendengarkan saja, murid-murid harus berpartisipasi aktif selama diskusi
berlangsung. Hal ini memungkinkan seorang guru untuk mengetahui secara
langsung kemampuan dan intelektual murid-muridnya.
Kedua metode menghafal, metode ini merupakan ciri umum dalam sistem
pendidikan Islam pada saat itu. Metode ini sangat ditekankan sekali untuk dapat
menghafal suatu pelajaran, murid harus membaca berulang-ulang sehingga
pelajaran dapat melekat di benak mereka. Selanjutnya akan mengeluarkannya
kembali atau mengkontekstualisasi pelajaran yang di hafalnya itu, sehingga dalam
diskusi atau perdebatan dia dapat merespon, mematahkan lawan atau
memunculkan sesuatu yang baru.
129
Metode ini pun bisa bersifat pasif jika murid berhenti pada tataran
menghafal saja tanpa diikuti dengan pemahaman, kemampuan mengabstraksi atau
mengkontekstualisasi, sehingga ilmunya tidak berkembang.
Ketiga, metode tulisan, metode ini dianggap paling penting pada saat itu.
Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama, dimana biasanya guru
membacakan buku yang dia susun kepada murid-muridnya, dan muridnya
menuliskan kembali apa yang telah dibacakan oleh gurunya, sehingga setelah
selesai pelajaran mereka menyerahkan hasil tulisannya untuk mendapatkan
pengesahan dari gurunya, untuk menyatakan bahwa tulisan tersebut merupakan
hasil berguru kepadanya.
Metode ini dianggap sangat bermanfaat bagi proses penguasaan ilmu
pengetahuan, juga sangat besar artinya bagi pengadaan jumlah buku teks, karena
pada saat itu belum ada mesin cetak, sehingga untuk mendapatkan buku teks
dirasa sangat sulit, dengan adanya metode pengkopian buku-buku, kebutuhan
akan buku teks sedikit dapat teratasi.
c. Murid
Mempelajari kehidupan murid pada periode klasik dapat dibedakan antara
murid sekolah di tingkat dasar dan murid sekolah di tingkat tinggi, ciri utama
kehidupan murid di sekolah dasar adalah bahwa ia diharuskan belajar membaca
dan menulis. Bahan pengajaran yang diberikan biasanya berupa syair-syair, bukan
al-Qur’an karena jika memakai al-Qur’an dikhawatirkan mereka membuat
kesalahan-kesalahan yang akan dapat menodai kemuliaan al-Qur’an.
Belajar di sekolah tingkat dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan
bergantung kepada seberapa besar kemampuan anak-anak untuk mengikuti/
menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya. Anak-anak yang
mempunyai kemampuan yang cukup serta rajin akan dapat dengan cepat
menyelesaikan pelajaran, sedangkan anak-anak yang kurang mampu dan agak
malas tentu akan lambat dalam penyelesaiannya.
Alasan mengapa batas waktu yang harus ditempuh murid-murid tidak
seragam, adalah karena guru-guru, bahkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada
130
pada saat itu tidak pernah memberikan penawaran yang khusus kepada murid
untuk dapat menyelesaikan pada waktu tertentu, dan murid-murid diberi
kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja untuk dapat
menyelesaikannya.341
Murid-murid yang telah menyelesaikan sekolah tingkat dasar biasanya bisa
langsung memasuki sekolah lanjutan (tingkat tinggi) tanpa harus memasuki
sekolah lanjutan tingkat menengah terlebih dahulu. Namun tidak berarti setiap
anak harus menamatkan sekolah tingkat dasar terlebih dahulu agar dapat
mengikuti sekolah tingkat tinggi. Kadang-kadang mereka juga diperbolehkan
untuk mengikuti sekolah tingkat tinggi tanpa harus menunggu mereka
menyelesaikan sekolah di tingkat dasar.
d. Guru
Di antara ciri khas pendidikan Islam pada periode klasik adalah teacher
oriented, pendidikan yang berpusat kepada guru, bukan institution oriented. Jadi
kualitas pendidikan pada saat itu bergantung kepada guru, bukan kepada lembaga.
Oleh karena itu, murid-murid bebas untuk memilih mengikuti pelajaran yang
mereka kehendaki, dan mereka tidak mesti belajar di tempat tertentu saja.
Hubungan guru dan murid pada pendidikan tingkat dasar layaknya seperti
hubungan antara orang tua dengan anaknya. Guru akan mengajar anak didiknya
dengan rendah hati, jika guru menemui anak didiknya berbuat salah, maka guru
akan menegurnya dengan lemah lembut tidak dengan kasar. Tetapi, jika guru
sudah tidak mampu menguasai keadaan, maka ia pun dengan terpaksa akan
melakukannya.342
Di samping guru memperhatikan tingkah laku anak didiknya, guru juga
memperhatikan kemampuan anak-anak didiknya dalam belajar, dengan
341Muniruddin Ahmed, Islam Education and the Scholar’s Social Status uptothe 5thCentury Muslim Era (11 th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Bagdad(Verlag: DerIslam Zurich,1968), 147.
342 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah,1999), 82
131
memperhatikan kemampuan muridnya, maka guru akan mudah memberikan
petunjuk kepada muridnya tentang pelajaran apa yang cocok untuk muridnya.
Guru juga akan mengukur kecerdasan anak didiknya dengan cara; guru
pertama memberikan pelajaran kepada si anak, kemudian guru akan mengambil
kesimpulan tentang kecerdasan si anak terhadap materi pelajaran yang sudah
disampaikannya, atau guru mengukur kekuatan hapalan murid untuk mengetahui
apakah ia suka menghapal atau suka berpikir penalaran.
Tentang gaji, biasanya guru meminta gaji dari murid-muridnya, jumlah
gaji terserah kepada anak didiknya, dan bergantung kepada kemampuan orang tua
si murid itu sendiri. Pada umumnya, gaji yang diperoleh guru dapat di bagi
kedalam dua macam, yaitu gaji yang berhubungan dengan waktu dan gaji yang
berhubungan dengan pelajran yang di dapat oleh si anak tersebut.
Bentuk gaji yang pertama dibayarkan oleh semua murid, yaitu berupa
sejumlah kecil uang yang dibayarkan setiap minggu atau setiap bulan ditambah
dengan makanan yang diberikan setiap minggu. Kadang- kadang pembayaran ini
dilakukan pada musim tertentu.
Dalam keadaan tertentu pula diberikan sejumlah gandum atau jagung
sebagai ganti pembayaran uang yang bisa dibayarkan oleh si murid setelah mereka
menghapalkan suatu surat tertentu. Bahkan, jika mereka selesai menghapal
seluruh al-Qur’an, sebagai ungkapan kebahagiaan, mereka akan memberikan
bahan-bahan pakaian, uang dan lainsebagainya, sesuai dengan kemampuan
keluargasimurid.
3. Menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.
Aliran Mu’tazilah yang dimotori pertama kali oleh Washil bin ’Atha (80-
131 H./700-749 M.) Dan muridnya, yang bernama ’Amru bin Ubaid ( 80-144
H./700-762 M.), setelah lebih kurang 150 tahun (100-250 H.), akhirnya
132
mendapatkan tempat khusus bagi penyebaran dan perkembangannya setelah
mereka benar-benar mendalami filsafat Yunani yang beraliran rasional.343
Mu’tazilah ini adalah nama yang diberikan oleh lawan-lawannya, mereka
sendiri menamakannya adalah Ahl al Tauh{id wa’al ’adl. hal ini dikarenakan oleh
bebera sebab diantaranya; pertama, karena Washil ibn ’Atha sendiri sebagai
pendiri aliran ini berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu Hasan Basri dalam
masalah qadar dan orang yang berdosa besar, kedua, karena orang-orang
mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat Islam, yaitu bahwa orang
yang melakukan dosa besar tidak mu’min dan tidak pula kafir. Dan yang ketiga,
karena mereka tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi zaman
Usman bin Affan dan zaman Ali bin Abi Thalib.344
Sedangkan menurut Ahmad ibn al Murthadha,(wafat 850 M.), dalam
bukunya al munayatu wa’l-Amal, mengatakan bahwa, yang memberi nama
mu’tazilah adalah aliran mu’tazilah itu sendiri, dengan interpretasi bahwa mereka
menyingkir dan menjauhi dari hal-hal yang bid’ah,karena mereka tidak menyalahi
ijma’, bahkan memakai apa yang telah di ijmakan pada masa pertama Islam.345
Mu’tazilah yang dikembangkan dan disosialisasikan oleh generasi pasca
Washil bin ’Atho atau angkatan ke dua antara lain ; Abu al-Huzail al- ’Allaf (135-
235 H.) yang digelari filosof Mu’tazilah pertama,346 telah mendapat tempat yang
khusus pada Dinasti abbasiyah,al-Ma’mun mengakui bahwa aliran mu’tazilah
sebagai mazhab resmi Negara pada tahun 212 H.adalah dalam rangka untuk
mengembangkan tradisi intelektual, baik keagamaan mau pun ilmu-ilmu umum.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa al-Ma’mun mengembangkan
faham Mu’tazilah , aliran theologi rasional ini terjadi karena kebijaksanaannya
untuk menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Walau pun pada
343Untuk lebih lengkapnya, lihat Muhammad bin Abdul Karim , Muslim Sects andDivisions. The Section on Muslim Sects in Kitab al-Milal wan Nih{al, terj. Karsidi Diningrat, Sekte-sekte Islam (Bandung: Pustaka, 1996), 58.
344Khaerdji Abdul Chalik, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), 60.
345A.Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Jayamurni, 1973), 70.
346A. Azhar Basyir, Refleksi atas persoalan KeIslaman (Bandung: Mizan, 1996), 30.
133
masa itu terdapat banyak ulama dari syi’ah, Khawarij dan Suni, serta berbagai
macam diskusi-diskusi yang didominasi oleh kaum Mu’tazilah. Kesederhanaan
ajaran Islam yang berpangkal kepada kesalehan, membuka peluang munculnya
berbagai macam bid’ah. Inilah yang diatasi oleh kaum Mu’tazilah. Akhirnya al-
Ma’mun menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.347 Meskipun
akhirnya nanti menjadi bumerang bagi pemerintahan al-Ma’mun itu sendiri.
Keberpihakan al-Ma’mun terhadap paham Mu’tazilah ini nampaknya
tidak bisa dipisahkan dari kecintaanya dan kehausannya akan ilmu pengetahuan
yang rasional. Kecintaanya terhadap filsafat mendorongnya untuk lebih memilih
menyetujui paham Mu’tazilah dari pada paham yang lain.
Pada awalnya memang ilmu-ilmu ”non agama” atau ”keduniaan”
mendapat tempat tersendiri pada masa pemerintahannya. Meskipun pada dasarnya
Islam tidak pernah membeda-bedakan antara nilai ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu non agama (ilmu umum), akan tetapi pada praktiknya, supremasi lebih
diberikan kepada ilmu-ilmu agama. Hal ini disebabkan karena sikap keagamaan
dan kesalehan yang memandang ilmu-ilmu agama sebagai jalan”tol”menuju
tuhan.348
Sebelum kehancuran aliran theologi Mu’tazilah pada masa khalifah
Abbasiyah, al-Ma’mun ( 198-218 H./813-833 M.), mempelajari ilmu-ilmu umum
– yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris - bukan sesuatu hal yang
tidak ada dalam kurikulum pendidikan (Madrasah), tetapi dengan ”pemakruhan” –
untuk tidak mengatakan ”pengharaman” – penggunaan nalar setelah runtuhnya
Mu’tazilah, ilmu-ilmu umum yang sangat di curigai itu dihapuska dari kurikulum
pendidikan (Madrasah), mereka yang cenderung dan masih berminat kepada ilmu-
ilmu umum tersebut, terpaksa mempelajarinya dengan secara sendiri-sendiri.
Atau bahkan ”di bawah tanah”, karena mereka dipandang sebagai ilmu- ilmu
347Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Intermasa, 1994),151.
348Azyumardi Azra dalam Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta:Logos, 1994), vii
134
”subversif” yang dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin Suni, terutama
pada masalah kalam dan fiqh.349
4. Pembentukan lembaga Mih{nah
Lembaga Mih{nah yang dibangun oleh al-Ma’mun pada tahun 212 H./827
M. Ini dalam rangka untuk melanggengkan salah satu paham keagamaan yang ada
yaitu Mu’tazilah, - meminjam istilah yang digunakan oleh Sanggurizal
Panggabean – adalah untuk melegitimasi dan otoritas kekhalifahan.
Pemilihan dan penetapan atas aliran ini dikarenakan pandangan Mu’tazilah
sesuai dengan kepentingan politik al-Makmun dan kepentingan-khalifah pada
umumnya untuk menjadikan institusi khalifah sebagai pemegang monopoli
penafsiran doktri-doktrin keagamaan dan otoritas keagamaan selain politik. Dalam
rangka itulah muncul - lembaga
”Mih{nah al-Qur’an sebagai makhluk.350
Pada awalnya al-Ma’mun tidak menjelaskan pendiriannya secara terbuka,
karena ia merasa khawatir akan terjadinya perbedaan pendapat dengan para ulama
yang ada pada saat itu yang umumnya beraliran suni. Barulah pada tahun 212
H./827 M. Al-Ma’mun mengumumkan pendiriannya yang cenderung memilih
kepada aliran Mu’tazilah, akan tetapi pada saat itu baru terbatas dikalangan istana
saja.
Tokoh utama Mu’tazilah pada waktu itu adlah Ahmad bin Abi Dawud dan
Sumamah bin al-Asyras, mendorong al-Ma’mun untuk mengumumkannya kepada
umat Islam secara resmi. Namun demikian, ia masih dicegah oleh Hakim agung,
yang waktu itu dijabat oleh yahya bin Aksum, dia menyarankan agar khalifah
tidak condong kepada salah satu pihak. Barulah setelah Yahya bin aksum wafat
dan digantikan oleh Ahmad bin Abi Dawud, al-Ma’mun mengumumkan
pendiriannya secara resmi.351
349Azyumardi Azra dalam Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, vii
350Samsurizal Pangabean dalam Islamika no.5 tahun 1994, 9
351Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 151.
135
Al-Muluk352 atau inquisisi – diberlakukan oleh khalifah Abbasiyah antara
tahun 833 dan 848 M.353 - pertama kali diberlakukan pada masa khalifah al-
Ma’mun dikalangan para pejabat kehakiman, kemudian para ulama dan para
gubernur, akan tetapi pemuka agama lainnya tidak diganggu. Isi al-Muluk itu
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalam Allah. Kalau al-
qur’an itu kalam Allah, itur berarti menunjukan bahwa al-Qur’an itu kadim.
Sedangka ia diciptakan, dan yang kadim hanyalah Allah, siapa yang tidak
menerima atau menolak keyakinan resmi itu, maka ia akan dipecat dari
jabatannya.
Al-Muluk yang diberlakukan al-Ma’mun sangat membahayakan posisi
Mu’tazilah itu sendiri di kemudian hari. Paham Mu’tazilah dalam kenyataanya
banyak dianut oleh kelompok elit intelektual yang banyak melakukan studi
filsafat, yang sulit diterima oleh masyarakat awam dan kelompok tradisional (ahli
hadits), mayoritas dari kalangan mereka (ahlu hadits) berpandangan sebaliknya
dari apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan pemerintah, kelak pemikiran
theologi, matematika,kimia kedokteran dan Astronomi merupakan bagian dari
kajian-kajian filsafat.oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa dinasti abbasiyah itu tidak bisa
dilepaskan dari peran para filosof.354
Dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
melakukan al-Muluk, maka terjadilah konflik-konmflik intrn agama yang dialami
al-Ma’mun hingga masa pemerintahan al-Mutawakil (847-861 M.) yang berujung
kepada pembatalan aliran ini sebagai aliran resmi negara.dan golongan salaf bisa
352Secara fenomenologi,Mihna dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telah terjadisebelum masa al-Ma'mun. jahm Ibn Sofwan dihukum mati karena ia membawa paham sendiri,Ma'bad al-Juhani dihukum mati karena melahirkan paham Qadariyah pada masa khalifah abdulMalik ibn Marwan pada tahun 80 Hijriyah, ghaylan al-Dimasyqi juga dihukum mati oleh Hisyamibn Abdul Malik pada tahun 105 H. lihat, anmad amin, Duha al-Islam (Kairo: al- Nahdah al-Misriyah),162 dan Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),14.
353John, L. Esposito, The Oxford History of Islam (Inggris: Oxford University Press,1999), 27.
354John, L. Esposito, The Oxford History of Islam, 27.
136
kembali naik daun.355 Meskipun pada akhirnya pembatalan itu – hanya sesaat –
kemudian aliran Mu’tazilah pada Dinasti Buwaih bangkit kembali.
Demikianlah kejadian Al-Muluk ini yang dalam catatan sejarah disebut
sebagai ”noktah Hitam” dalam perjalanan kekhalifahan al-Ma’mun, yang
sebenarnya telah banyak berperan aktif dalam membangun budaya ”kebebasan”
dan menunjukan perkembangan ilmu pengetahuan dan ”keagamaa” yang
mendapat rekor tertinggi sebagai khalifah Abbasiyah yang paling berperan dalam
mengantarkan dinasti ini kepuncak peradaban Islam.
5. Menciptakan perdamaian dikalangan keluarga Bani Hasyim.
Sikap kebesaran al-Ma’mun tercermin dalam kebijaksanaannya turut
berusaha mendamaikan keluarganya yang sedang bertikai dan berperang satu
sama lain.meskipun, dari peperangan-peperangan yang dialami semenjak awal
pemerintahan hingga ia naik tahta, dapatlah dipatahkan. Sebagai mana dikatakan
oleh Syed Mahmudnasir, bahwa setelah perang saudara berakhir dengan
kemenangan al-Ma’mun, kemudian ia naik tahta di Baghdad,356 Ia kemudian
tidak lantas arogan, melainkan memberikan kebebasan kepada para pendukung al-
Amin termasuk keluarganya.
Hal ini terlihat juga ketika al-Ma’mun memberikan kelonggaran gerak
kepada pihak Syiah, yang walau pun Dinasti Abbasiyah beraliran Suni dan
kemudian menetapkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Pada
tahun 201 H./817 M. Adalah merupakan tahun dimana terjadi titik balik yang
sangat mendasar bagi perjalanan pemikiran al-Ma’mun.
Khaliafh al-Ma’mun mengutus tokoh-tokoh syiah untuk pergi ke Madinah
untuk mengundang Ali ar-Ridha, keturunan Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu
sekaligus menantu Rasulullah. Kedatangan ar Ridha di Khurasan disambut dengan
penghormatan, kemudian al-ma’mun mengawinkan ar-Ridha dengan putrinya
yang bernama Ummu al-Fazl. Secara tak terduga, ia juga mengangkat ar-Ridha
355Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 84.
356Shaykh Mahmudunasir, Islam (Bandung: Rosdakarya, 1994), iv.
137
untuk menjadi khalifah penggantinya setelah ia meninggal. Lalu hal itu
diumumkan kewilayah-wilayah Islam pada waktu itu. 357
Sebagai tanda kesungguhannya, ia rela menukar lambang resmi Abbasiyah
yang berwarna hitam dengan warna hijau (lambang keluarga alawiyyin), baik
pada pakaian resmi seperti jubah dan sorban maupun pada panji-panji yang ada,
bendera dan tanda-tanda lainnya yang ada dalam kedaulatan abbasiyah yang suni
kepada keluarga Alawiyyin yang syiah secara suka rela dan damai. Namun Ali ar
ridha meninggal sebelum al-Ma’mun wafat, dengan demikian pergeseran
kekuasaan itu tidak terjadi.358 Dan tetap jatuh ketangan al-Mu’tasim sebagai mana
yang ditetapka oleh Ayahnya Harun al-Rasyid.
Dari uraian terakhir tentang kebijakan tersebut di atas, maka dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa kekhalifahan al-ma’mun yang memerintah selama 20
tahun tersebut bisa dikatagorikan kepada dua bagian; pertama, dalam
kehausannya, alma’mun akan ilmu pengetahuan mendorong dirinya untuk selalu
menyibukan diri dengan mempelajari kebudayaan dan membahas filsafat di Merv,
dengan menyerahkan (mempercayakan) tugas kepemerintahannya kepada Fazhl
bin Sahl. Kedua, kemudian selama 14 tahun masa pemerintahannya, al-Ma’mun
memegang sendiri kendali pemerintahan tersebut.359
Dengan demikian, secara keseluruhan dari kebijakan-kebijakan yang
diterapkan oleh para khalifah Dinasti Abbasiyah dari awal hingga akhir (termasuk
al-Ma’mun di dalamnya) menerapkan kebijakan sebagai berikut :
a. Para khalifah tetap keturunan Arab, tetapi para pembantunya (mentri-wajir),
gubernur, Panglima dan pegawai diangkat dari bangsa Persia.360
b. Kota Baghdad sebagai ibu kota, dijadikan kota Internasional untuk segala
kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya, sehingga timbul akulturasi dari
357Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 150.358Shaykh Mahmudunasir, Islam (Bandung: Rosdakarya, 1994), iv359Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), 20.360Inilah fase pertama dari kemajuan ilmu pengetahuan yang juga disebut periode
pengaruh Persia pertama dari 132 – 232 H./750 – 874 M. Lihat, Corl Brockeleman, History ofIslamic People (London, 1982.)
138
berbagai budaya, dari mulai bangsa Arab, Persia, Romawi, Hindi, Zindi,
Barbar dan lain sebagainya.
c. Ilmu pemngetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat mulia dan
berharga, sehingga setiap khalifah selalu membuka kesempatan untuk terus
mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
d. Rakyat diberikan kebebasan berpikir dan memperoleh hak asasinya dalam
segala bidang, seperti dalam akidah, ibadah, filsafat, dan ilmu
pengetahuannya.
e. Para menteri dari keturunan Persia diberikan hak penuh untuk menjalankan
pemerintahannya, sehingga mereka dapat memegang peranan penting dalam
memajukan kebudayaan Islam.
f. Daulat Abbasiyah, berkat usahanya yang dilakukan secara sungguh-sungguh
oleh para khalifahnya dapat membangu perekonomiannya dengan labih baik.
Mereka memiliki perbendaharaan yang berlimpah-limpah disebabkan karena
penghematan dalam pengeluarannya.
g. Dari segi sosial, yang meliputi susunan masyarakat keluarga,kehidupan
pribadi dan sebagainya, disusun sebagai berikut; masyarakat dibagi atas dua
kelompok, yaitu; kelompok khusus dan kelompok umum, kelompok umum
terdiri dari para seniman, para ulama, para fuqaha, para pujangga, saudagar,
pengusaha, kaum buruh,dan para petani. Sedangkan kelompok khusus terdiri
dari khalifah, pembesar negara, bangsawan dan petugas-petugas negara.
Sementara struktur pemerintahan pada masa al-ma’mun tidak jauh berbeda
dengan struktur pemerintahan sebelumnya. Struktur pemetintahan sebagaimana
yang dijelaskan oleh J.S. Pulungan,361 terdiri dari al-khilafat, al-wizarat, al-
kitabat dan al-h{ijabat. Lembaga-lembaga ini dijabat oleh orang-orang pilihan,
seperti, khilafat di jabat oleh seorang khalifah sebagaimana telah diuraikan di atas,
dan suksesi khalifah berjalan secara turun temurun di lingkungan keluarga Daulat
abbasiyah.362
361J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah (Jakarta:Raya Grafindo, 1994), 173-175
362J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah, 173.
139
Lembaga al-wizarat (Kementrian) dipimpin oleh seorang wazir, seperti
menteri zaman sekarang. Lembaga dan jabatan ini baru ada dalam sejarah
pemerintahan Islam yang diciptakan oleh khalifah Abu Ja’far al-Mansyur. Wazir
adalah pembantu dan sekaligus penasihat utama khalifah, yang dalam tugasnya
sekaligus dapat mewakili khalifah dalam melaksanakan tugas-tugas
kepemerintahan, mengangkat dan memberhentikan pejabat negara atas
persetujuan khalifah.363
Sedangkan lembaga al-kitabat, adalah sebuah lembaga yang terdiri dari
beberapa katib (sekretaris), mungkin mirip dengan sekretariat negara. Yang terdiri
dari katib al-rasail, katib al-kharaj, katib al-jund, katib al-syurt{at dan katib al-
qad{i. Ada pun lembaga lainnya adalah al-Niz{am al-maz{alim, yaitu lembaga yang
bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban
hukum, baik dilingkungan pemerintahan mau pun dilingkungan masyarakat. Dan
memutuskan perkara-perkara bagi yang sedang berperkara.364
C. Lembaga Pendidikan pada masa al-Ma’mun.
Sejak kekuasaan Islam beralih dari Dinasti ummayah ketangan Dinasti
abbasiyah, maka banyak terjadi perubahan –perubahan yang sifatnya mendasar.
Perubahan itu diawali dengan dinamika politik yang semakin terbuka dan
toleransi terhadap pluralitas budaya (kemajemukan), khususnya tentang budaya
”Arab” an sich berubah menjadi budaya Arab-Yunani-Persia. Kenyataan ini
dimulai sejak masa pemerintahan Harun al- Rasyid, khalifah ke 5 sampai khalifah
ke 7, yaitu al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid.
Perubahan tradisi budaya arab ke budaya ”Asing” ini berimbas pula
kepada corak pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ketika pada masa Dinasti
ummayah, corak pendidikan dan ilmu pengetahuan berorientasi kepada teks-teks
keagamaan, yaitu; ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu bahasa, (nahwu dan sharaf) serta
ilmu-ilmu naqliyah lainnya. Meskipun,ilmu-ilmu yang berorientasi kepada
pengembangan logika (filsafat) sudah ada namun tidak sampai mempengaruhinya.
363J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah, 174.
364J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah,175.
140
Namun demikian, setelah Dinasti abbasiyah memimpin, pendidikan dan
ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang cukup, khususnya oleh kedua
khalifah ini ( Harun al-Rasyid dan al-ma’mun bin al-Rasyid). Menunjukan masa
keemasannya. Pengaruh ilmu-ilmu Yunani dan Persia sangat menonjol sekali,
terutama logika filsafatnya sehingga secara keseluruhan baik ilmu-ilmu agama
mau pun ilmu-ilmu umum mendapat tempat di masa ini.
Hal ini dikarenakan para wajir dan pembantu-pembantu khalifah banyak
berasal dari orang-orang Persia (keluarga Barmak) yang mendapat tempat yang
layak dan dukungan yang besar dari khalifah. Mereka bahu membahu untuk
mentransformasikan budaya Helenisme Persia ke dalam budaya Arab.
Kontak intelektual dengan helenoisme membawa pengaruh yang sangat
dalam bagi perkembangan kemajuan peradaban Islam,khususnya di bidang
pemikiran,yang akibatnya perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan
menuai puncaknya dengan banyak melahirkan tokoh-tokoh kaliber dunia, dalam
bidangnya masing-masing.
Dalam bidang ilmu filsafat muncul nama, al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi,
Ibnu Sina dan al-Ghazali. Selain ahli filsafat, nama ar-Razi dan Ibnu sina juga
dikenal sebagai dokter. Di bidang ilmu pengetahuan, terkenal nama-nama al-
Khawarizmi, Ibnu al-Haitam, Jabir bin Hayyan, al-Biruni, at-Tabari, al-Farghani
dan al-Fazari.365
Sementara itu, dibidang ilmu-ilmu keislaman juga berkembang pesat,
dalam bidang hadits tercatat nama-nama seperti Bukhori dan Muslim, dalam
bidang hukum Islam ada nama-nama Malik bin Anas, Idris asy-Syafi’i, AbuHanifah dan Ahmad bin Hanbal, dalam bidang ilmu tafsir ada nama at-Tabari,d
alam bidang ilmu kalam ada nama-nama Washil bin Atha, abu al-Huzail, Abu
Hasan al-asy’ari, dan al-Maturidi, sedangkan dalam ilmu tasawuf muncul nama-
nama Rabi’ah al-Adawiyah, Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bustami dan Husen
bin Mansur al-Hallaj,366 dan yang lainnya.
365Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Inter Masa, 2009), 104.
366Nama –nama tokoh penting dalam sejarah Islam, baik dalam lapangan Politik,keilmuan, seni mau pun lainnya diabadikan dalam kitab seperti; t{abaqat<<<<<<<<<<<<<<< <~ al kubra, karya ibnuSa’ad, dan Wafayat al A’yan wa anba abna az-Zaman, karya Ibnu Khalikan.
141
Pada masa Khalifah al-Ma’mun ( 198-218H./813-833 M.) berkuasa ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam menuai puncak kejayaannya. Hal itu
disebabkan karena pada masa itu tradisi terhadap adu pendapat sangat digalakan
terutama di istana, sehingga mereka mengenal segala macam soal; logika,
gramatika dan lain sebagainya itu merupakan hal yang terbiasa. Bahkan dalam
adu pendapat tersebut terdapat sikap toleransi yang besar dalam perbedaan
pendapat dan pandangan.367
Kondisi seperti ini telah membawa pendidikan Islam mencapai puncak
keemasannya. Begitu pula dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam formal,
seperti madrasah-madrasah dan universitas-universitas berkembang dengan pesat.
Demikian pula halnya dengan kemampuan intelektual umat Islam.
Perekembangan kemampuan intelektual tersebut dikarenakan umat Islam mampu
menyerap dan memamfaatkan perkembangan ilmu mantik dan filsafat.368
Tradisi keilmuan, intelektualitas dan penelitian pada saat itu semakin
bertambah semarak, sejak dibangunnya laboraturium perbintangan oleh al-
Ma’mun, dan pada tahun 828 M. Al-Ma’mun mengangkat seorang ahli
matematika yang cukup brilian, yaitu al- Khawarizmi (w.249 H./863 M.) untuk
mengarahkan studi dan penelitiannya di laboratorium tersebut. Setelah abad ke 10,
observatori-observatori mendapat dukungan dari para penguasa yang membangun
lembaga-lembaga itu untuk penjelajahan dunia ngkasa yang lebih jauh, sebagai
media untuk menentukan hari-hari yang paling baik yang menguntungkan dan
merugikan bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan politik tertentu.369
1. Kontribusi al-Ma’mun terhadap lembaga-lembaga pendidikan.
Banyak para ahli sejarah yang berbada pendapat mengenai klasifikasi
lembaga pendidikan pada masa tersebut, Charles Michael Stanton, membagi
lembaga pendidikan pada masa klasik kepada dua macam yaitu lembaga
367Muhaimin, dkk. Dalam Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman (Cirebon: Dinamika,1999), 70.
368Muhaimin, dkk. Dalam Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, 71
369Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 171-172.
142
pendidikan formal dan informal.370 Kriteria yang di gunakan oleh Stanton untuk
membedakan kedua lembaga tersebut adalah hubungan lembaga pendidikan
dengan negara yang berbentuk theokrasi.
Lembaga pendidikan formal adalah lembaga yang didirikan oleh negara
untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama
dan berperan dalam agama, atau menjadi tenaga birokrasi, atau pegawai
pemerintahan.pengelolaan administrasi lembaga ini berada ditangan penguasa,
sedangkan lembaga informal tidak dikelola oleh negara.
George Makdisi membagi lembaga pendidikan ini kepada dua tipe yaitu
lembaga pendidikan yang exklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum, dan
lembaga pendidikan yang inklusif (terbuka) terhadap pengetahuan umum.371
Ada pun kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan lembaga-lembaga
pendidikan pada masanya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Perpustakaan.
Perhatian Islam terhadap pendidikan dan kemuliaan buku sebagai media
pengetahuan berada dibelakang tumbuhnya perpustakaan dalam peradaban Islam.
Dalam Islam, buku tidak hanya diperlakukan semata-mata sebagai sebuah media,
buku bahkan mempunyai nilai-nilai moral tersendiri yang turut melandasi
terhadap pemberian perhatian besar yang diberikan kepadanya. Perhatian ini
misalnya dalam bentuk keharusan untuk menyebarluaskan dan pemeliharaan buku
sebagai bagian dari kegiatan mendukung ilmu pengetahuandan pendidikan.
Di sisi lain, tumbuhnya perpustakaan berkaitan erat dengan
diperkenalkannya teknologi pembuatan kertas pada dunia Islam. Dengan adanya
teknologi pembuatan kertas dapat mempermudah pekerjaan, menurunkan biaya,
dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi buku.
Pada gilirannya hal ini akan memotivasi para ilmuwan dan para peneliti
untuk menuliskan hasilkaryanya, sehingga pada akhirnya akan mendorong
370Charles Miichael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 122
371George Makdisi, “Typology of Institutions of Learning” dalam An Anthology Studiesoleh Issa J. Baullata (Monterial: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), 16
143
ledakan jumlah buku yang beredar. Jadi, upaya pemasyarakatan pendidikan dan
ilmu pengetahuan atau dalam bahasa Pinto, ”Demokrasi pengetahuan” merupakan
landasan lain tumbuhnya lembaga perpustakaan dalam Islam dalam skala besar-
besaran.372
Istilah perpustakaan itu sendiri menurut George Makdisi, mempunyai
enam peristilahan yang digunakan secara terpadu untuk menggambarkan sebuah
perpustakaan. Tiga syarat pertama yaitu berupa bayt (kamar atau ruangan),
Khizanah (lemari) dan daar(rumah; dan tiga syrat kedua adalah berupa hikmah
(kebijakan) ’ilmu (ilmu pengetahuan) dan kuttub (buku-buku) jadi, kata-kata dan
konsep ini berpadu sehingga membentuk satu tujuan istilah yang menggambarkan
perpiustakaan; seperti bayt al-H{ikmah, Khizanah al-h{ikmah ,Da>r al-h{ikmah, Da>r
al-ilmu ,Da>r al-kutub, Bayt al-Kutub dan Khizanah al-ilmiyah. Bisa ditambahkan
pula dua istilah lain yaitu Bayt al-ilmu dan khizanah al-ilmiyah. Pada
kenyataannya kombinasi kesemuanya ini telah digunakan dan seiring iastilah-
istilah ini dapat dipertukarkan.373
Perpustakaan berkembang luas pada masa dinasti Abbasiyah, baik
perpustakaan umum mau pun perpustakaan pribadi. Faktor yang menyebabkan
berkembangnya perpustakaan antara lain adalah meluasnya penggunaan bahan
kertas untuk menyalin kitab-kitab, bermunculannya para penyalin kitab, dan
berkembangnya para h{alaqah para sastrawan dan ulama.di samping itu
penghargaan terhapad ilmu pengetahuan mendorong kaum muslimin un tuk
membeli kitab-kitab dari berbagai negeri.374 Dengan demikian perpustakaan
menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan yang amat penting pada saat itu.
Perpustakaan umum biasanya berpusat di kota-kota besar atau ibu kota,
kadang-kadang mempunyai bangunan tersendiri dan kadang-kadang pul;a
berdampingan dengan bangunan masjid, sekolah, rumah sakit atau ribath. Para
372Olga Pinto, The Liberaries of the Arabs During the Time of the Abbaside (IslamicCulture 3, tahun 1929), 213-214.
373George makdisi, The Rise of colleges: Institutions of Learning in Islam and the west(Endinburgh : University Press, 1982), 24-25.
374Hery Noer Aly, ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 220.
144
petugasnya terdiri atas para ulama, penyalin kitab, penjilid buku, penerjemah dan
orang-orang yang melayani para pecinta ilmu. Perpustakaan ini terbuka bagi para
pecinta ilmu.
Perpustakaan juga mempunyai peranan yang cukup penting sebagai
transmisi pengetahuan. Penguasa-penguasa telah mendirikan banyak perpustakaan
baik itu perpustakaan umum mau pun perputakaan pribadi dilingkungan istana
mereka masing-masing. Demikian pula dengan orang-orang kaya, mereka juga
banyak yang mendirikan perputakaan pribadi. Di setiap perpustakaan telah banyak
disimpan beribu-ribu buku dan dilengkapi dengan ruangan khusus untuk
menyelenggarakan h{alaqah-h{alaqah.
Perpustakaan dan pusat pendidikan tinggi yang paling terkenal di Baghdad
selama masa kepemimpinan al-Ma’mun (813-833 M.) adalah Bait al-h{ikmah.
Lembaga ini menggabungkan perpuistakaan,sanggar sastra,lingkaran studi dan
observatorium sekaligus, yang kesemuanya itu beraada di bawah pengawasan
khalifah al-Ma’mun.
Lembaga ini mencapai puncaknya di bawah al-Ma’mun dan
kekhalifahannya .375 Hal ini diawali ketika al-Ma’mun mengirimkan sekolompok
utusannya,-termasuk didalamnya adalah staf perpustakaan bait al-hikmah – ke
daerah-daerah kekuasaan Bizantium untuk mencari manuskrip-manuskrip yang
berharga dan membawanya pulang ke Baghdad, kemudian manuskrip-manuskrip
tersebut dijadikan bahan kajian di lembaga itu.376
Putra Harun al-Rasyid, Khalifah al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid telah
banyak mempekerjakan kaum cerdik-cendikiawan terkenal seperti al-Kindi,377
filosof pertama untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa
375Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta:Logos, 1994), 169.
376Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung :Mizan,1994), 110.
377Ia adalah seorang dokter,ahli optika,astronomi,geometrid an ahli musik.beliau telahmenjadi penghafal al-Qur’an ketika ia baru berusia 10 tahun dalam The Legacy of Islam, dikatakanbahwa buku tentang optika yang dikarangnya diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Dan banyakmempengaruhipemikiran Roger Bacon. Lihat, Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban,Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: LPPI, 2002), 11.
145
Arab. Al-Kindi sendiri menulis hampir 300 judul buku tentang masa;lah-masalah
kedokteran,filsafat sampai musik yang disimpan di bayt al-hikmah.
Al-Ma’mun menggaji para penerjemah dan untuk merangsang upaya
mereka dalam mensahkan dan menandatangani setiap penerjemahan. Ma’mun
juga mengutus orang-orangnya untuk mendatangi tempat-tempat yang jauh seperti
India, Syiria, Mesir guna mengumpulkan karya-karya yang jarang dan unik.
Dokter terkenal Hunai bin Ishak sampai mengembara jauh ke Palestina untuk
mendapatkan kitan al-Burhan.378
Menurut Mahmud Yunus, perpustakaan pada masa ini terbagi menjadi
dua, pertama,perpustakaam umum, yang tempatnya dimasjid-masjid, yang dibaca
oleh umum yang datang ke masjid dan madrasah. Di sebuah kota seperti di Merv,
pengelana dan ahli geografi Yaqut mendapatkan tidak kurang dari dua belas
perputakaan umum. Selama tiga tahun menetap di kota itu, ia berhasil
mengumpulkan sebagian besar materi untuk kamus geografinya.
Ditunjukan sedemikian banyak pertimbangan dalam hal menyemarakan
buku, sehingga ia menyimpan 200 jilid sekaligus. Baghdad, Damaskus, Kairo,
Cordoba, Fez, Isfahan, Lahore, Delhi, Samarkhand, kota-kota besar mau pun
kecil, memiliki sejumlah perpustakaan umumsebagian besar perputakaan ini
menerima subsidi bantuan dari pemerintah, dan sebagian dari perputakaan ini
merupakan wakaf yang didirikan oleh individu-individu yang ingin memajukan
ilmu pengetahuan.
Ada pun perpustakaan khusus diadakan oleh para alim ulama dan ahli
sastera di rumahnya masing-masing, untuk dipakainya sendiri.379 dan terdapat
beribu-ribu koleksi pribadi. Selama periode Abbasiyah, koleksi pribadi milik
Yahya bin Khalid al-Barmaki di Baghdad terkenal paling lengkap, setiap jilid
buku diperpustakaan itu, memiliki tiga kopian dan sebagian besar merupakan
karya langka dari Bayt al-hikmah. Selama abad ke sebelas, perpustakaan Mahmud
al-daulah bin Fatik, seorang yang ahli dalam menulis dan sekaligus kolektor besar.
378Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21 (Bandung: Mizan, 1996), 46.
379Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 91-93.
146
Perpustakaan –perpustakaan ini bukanlah hanya sekedar gudang untuk
menumpukna buku-buku, tetapi merupakan perpustakaan-perpustakaan yang aktif
(Working liberaries) dalam segala seginya. Selain program-program riset yang
intensif, kuliah, perdebatan dan aktivitas-aktivitas lainnya di masyarakat.Para
cerdi cendikiawan dapat dengan bebas menyalin buku-buku dan menyalin naskah-
naskah yang ada .380
Al-hasil, al-Ma’mun bukanlah hanya sekedar seorang Khalifah, melainkan
juga sebagai seorang pelopor pendiri perpustakaan dari Dinasti abbasiyah,
jejaknya kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa lain dan umat Islam. Tindakan
al-Ma’mun juga ditiru oleh khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah,yang kemudian
mendirikan Dar al-’Ilm dan Dar al-Hikmah, kedua gedung ilmiah tersebut
dilengkapi perpustakaan yang besar sebagai tandingan Bayt al-Hikmah di
baghdad.
b. Bait al-Hikmah.
Perpustakaan sebagai”lembaga” pendidikan mulai mendapatkan tempat
tersendiri di dalam masyarakat Islam pada periode al-Ma’mun yang berpusat di
Bait al-Hikmah, yang oleh Stanton disebut sebagai pusat pendidikan tinggi
pertama dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan bersama para sejarawan bahwa
bait al-Hikmah (Gedung hikmah atau Gedung Pengetahuan) merupakan gedung
pendidikan yang pertama, kecuali masjid.
Bait al-Hikmah sendiri dibangun oleh khalifah ke tujuh,yaitu al-Ma’mun
bin Harun al-Rasyid di Baghdad pada tahun 215H./ 830 M. Lembaga ini berasal
dari sebuah perpustakaan yang sederhana yang telah beroperasi sejak masa Harun
al-Rasyid yang bernama Khizanah al- Hikmah.381
Al-Ma’mun meningkatkan kegiatan lembaga ini dengan memasukan
kegiatan pengajaran dan kegiatan penerjemahan karya-karya filsafatdan ilmu
380 Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 40.
381Pendiri bait al-hikamh, menurut A. Salaby dan M. Yus didirikan oleh Harun al-Rasyid,yaitu dengan peristilahan Daar al-ilmi. Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta:Mutiara, 1966), 91-93.
147
pengetahuan asing dari berbagai bahasa.382 Lembaga ini memiliki staf yang
terdiri dari sejumlah cendikiawan muslim dan non muslim yang terkenal, seperti
Quata Ibn Luqa, Yahya Bin ’Adi, dan diantaranya dokter dari India, Duban.
Musa al-Khawarizmi, matematikawan ternama muslim dan penemu al-
Jabar, juga bekerja di Bayt al-Hikmah, dan menulis buku terkenalnya, yaitu kitab
al-Jabar wa al-muqabalah, juga dilakukan di sini. Lembaga ini terus berjalan
sebagai perpustakaan dunia Muslim sampai abad ke dua puluh. Ia digeser oleh
munculnya perpustakaan kedua Baghdad yang koleksinya memiliki kualitas yang
sama.383
Bayt al-Hikmah ini kemudian dilengkapi dengan observatorium. Al-
Ma’mun mempekerjakan seorang ahli matematika yang brilian, yaitu al-
Khawarizmi, untuk mengamati dan untuk mengadakan studi riset di
observatorium – khususnya untuk menyusun kalender.384
Tidak hanya itu ia juga dengan antusias mengumpulkan sejumlah besar
karya-karya klasik dalam berbagai bahasa untuk kemudian dipelajari dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tujuannya, tentu saja secara umum agar
memudahkan orang-orang Islam untuk dapat mempelajarinya. Setelah melalui
periode Negosiasi, Al-ma’mun bahkan berhasil mengirimkan sekelompok utusan-
termasuk di dalamnya staf perpustakaan- untuk mencari manuskrip berharga dan
membawanya ke Baghdad, kemudian dijadikan bahan kajian di bait al-Hikmah,
seperti yang dilakukan oleh Hunayn bin Ishak al-’Ibadi (W. 260H./8734M.)
Di Bait al-Hikmah, menurut C.A Qadir, Hunayn melakukan penerjemahan
karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, Apolonius dan Achimedes yang mencakup
silsafat dan berbagai bidang pengetahuan lain. Penerjemah lain yang setara
dengan nya adalah Qustha bin Luqa (w. Awal abad ke-4 H./10 M.) yang tidak saja
melakukan penerjemahan, melainkan juga melakukan revisi terhadap sejumlah
penerjemahan-penerjemahan yang lebih dulu. Dengan demikian ia tidak saja
382Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), 109.
383Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 47.
384 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam, 69.
148
memperkaya penerjemahan, melainkan juga menaikkan mutu penerjemahan yang
beredar dalam bahasa Arab di kalangan orang Islam.385
Selain itu Ishak bin hunain menterjemahkan buku pokok pokok ilmu ukur
karangan Aqlidis (Euclide, 306-283 S.M), dan buku bola karangan arkhimidis
(Archimede’s 287-212 S.M), buku sufisthus, karangan Aflathun (Plato 430-347
S.M), dan buku al-maqulat, karanganaristhu(Aristoteles 384-322 S.M).386
Juga di lembaga ini telah terkumpul bahan/buku dari bermacam-macam
bahasa yaitu bahasa Arab, Yunani, Suryani, Persia, India, dan bahasa Qibthi.387
Ada pun nama lain yang paling pantas disebut dalam konteks ini adalah
Al-Kindi (w.260 H./870 M.) yang memperoleh kedudukan ditengah-tengah
kelompok sarjana yang dipekerjakan oleh al-Ma’mun di Bait al-Hikmah. Di
sinilah ia memulai pengembangan filsafat Islam dan menempatkan dirinya sebagai
tokoh sentral bidang kajian filsafat Islam.388
Bait al-Hikmah ini memiliki koleksi yang besar, yang mencakup koleksi
pribadi khalifah. Lembaga ini terbuka bagi umum, dan materi-materi penulisan
tersedia bagi siapa pun, mereka yang ingin menghabiskan waktunya untuk
menelaah juga diberi penginapan, makan dan gaji.389
Dalam survai ekstensifnya, Some Leading Muslim Libraries of The
World, S.M. Imanuddin memaparkan bahwa perpustakaan-perpustakaan historis
muslim dirancang sedemikian rupa sehingga keseluruhan perpustakaan tampak
dari satu ntitik pusat.390
Di samping sebagai pusat penerjemahan, Bait al-Hikmah juga berkaitan
dengan kegiatan al-Ma’mun mendukung dan menyebarkan aliran teologi
385C.A Qodir, Philosophy and Science in the Islamic World (London: Rautledge, 1990),36.
386Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 64.
387Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 65
388Nasr Sayed Hosein, Sains dan peradaban di dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1990),43-44
389Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 47.
390Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 47.
149
Mu’tazilah. Inter aksi ini pulalah yang menyebabkan pengaruh pengaruh yang
berjangkauan jauh terhadap watak pendidikan Islam sepanjang masa pertengahan
Islam.391
Setelah masa kejayaannya maka vitalitas bait al-Hikmah mengalami
penurunan pada pertengahan abad ke-3, masa ini bertepatan dengan masa
beralihnya arus teologi kehalifahan abbasiyah, dari mendukung menjadi
menganiaya penganut Mu’tazilah. Asosiasi Bait al-Hikmah dengan Mu’tazilah
tidak memungkinkannya untuk lepas sepenuhnya dari efek kemunduran
Mu’tazilah.
Begitu pun lembaga ini, baru benar-benar runtuh ketika terbakar oleh
serangan Mongol atas Baghdad pada tahun 646 H./1258 M.392 Sebagai mana
dikatakan Mahmud Yunus, bahwa lembaga ini tidak lagi terkenal sesudah
wafatnya al-Ma’mun, bahkan terus menerus mundur, terutama setelah tersebar
madrasah-madrasah Nizamiyah dan lahirnya ancaman keras dari golongan ulama
terhadap ilmu-ilmu yang berpusat dilembaga ini.393
c. Observatorium.
Di samping perpustakaan, al-Ma’mun juga telah membangun
observatorium dan rumah sakit. Di observatorium ini sering kali diadakan kajian-
kajian terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yunani. Observatorium ini tidak
banyak di bangun oleh penguasa-penguasa sehingga jumlahnya dapat dihitung
dengan jari.
Walau pun bukan merupakan kebanyakan sekolah istana, observatori
betul-betul didirikan disebuah sekolah yang besar seperti Bait al-Hikmah yang
391Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History, terj. Anas Mahyuddin, membuka pintuijtihad (Bandung:Mizan,1984), 182-183
392Bait al-Hikmah terus berjalan sebagai bagian dari sebuah sekolah istana sampai masapenghancuran oleh pasukan Mongol, tentara-tentara hulagu membakarnya membakarnyabersamaan dengan pengrusalkan kota Baghdad pada tahun1258 M.lihat, Charles Michael Stanton,Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 132
393Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 66.
150
dibangun di Baghdad.394 Setelah Khalifah al-Ma’mun membangun laboratorium
perbintangan, maka pada tahun 828 M. Ia mengangkat al-Khawarizmi untuk
mengarahkan studi dan penelitian di sana.
Observatori tersebut berisikan alat-alat peneropong bintang-bintang yang
telah berdiri di Baghdad, oleh al-Ma’mun. Menurut Mahmud Yunus, bahwa alat
peneropong bintang tersebut berhubungan langsung dengan Bait al-Hikmah.
Selanjutnya al-Ma’mun menyarankan agar para ulama mempelajari kitab majisthi
yang berisi ilmu falak (astronomi), lalu meminta para ulama untuk membuat alat-
alat peneropong bintang untuk mempelajari hal ihwal bintang-bintang
sebagaimana dibuat oleh Bathlimus, pengarang kitab al-Majisthi.395
Kemudian mereka membuat alat peneropong tersebut di Baghdad dan di
Damaskus. Segala hasil penyelidikan yang mereka dapatkan dengan alat
peneropong tersebut, mereka catat/bukukan dan mereka namai dengan sebutan
”Peneropong al-Ma’mun”. Sedangkan yang melakukan peneropongan tersebut
adalah Yahya bin Abu Mansyur, ahli perbintangan yang termasyhur pada masanya
dan dibantu oleh Khalid al-Mazuri, Sanad bin Ali dan al-Abbas al-Jauhari.
Dengan lembaga-lembaga sebagai mana tersebut diatas, - walau pun tidak
semua berawal dari al-Ma’mun, namun ia ” bertindak” sebagai ” penerus”396 –
adalah merupakan kebijakan pendahulunya terutama Khalifah Harun al-Rasyid,
sang Ayah, yang telah mendudukkan posisi ilmu pengetahuan dan budaya
peradaban Islam mencapai puncak keemasannya. Khususnya, di bidang
pendidikan dan pemikiran ilmiah.
Kemajuan yang dicapai ditandai dengan pengadptasian warisan budaya
dan peradaban serta ilmu-ilmu yang didapat dari Yunani, Persia, Mesir, Yahudi,
Kriten dan India ke dalam Islam. Kemudian warisan-warisan tersebut
dikembangkan dan di Islamkan oleh sarjana-sarjana muslim, maka menjadilah ia
394Sayyed Hossein Nasr, Science and Civillization in Islam (New York: New AmericanLibrary, 1968), 80-88
395Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Mutiara, 1966), 65
396Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), 110.
151
sebagai kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan Islam itu sendiri397 pada
masa itu.
Kebijakan yang diterapkan Istana pada saat itu dikarenakan termotivasi
oleh kualitas kebudayaan asing tentang masalah kenegaraan yang dianggap ideal,
sehingga bagi pihak istana dianggap perlu untuk mengadopsi dan mengangkatnya
dalam budaya pemerintahan Islam.
Sebenarnya kebijakan ini berawal dari Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur,
ketika ia mengambil dan mengangkat dokter-dokter dari perguruan Jundishapur
menjadi dokter-dokter istana di Baghdad. Di samping kebijakan al-Ma’mun ini,
juga peran politik yang dimainkan oleh para wazir dari Persia dalam peralihan
Filsafat dan pengetahuan Hellenis ke dalam pemikiran Arab – Islam sangatlah
menonjol.
Diantara wazir ini adalah berasal dari keluarga Barmak yang amat terkenal
dengan kemampuannya dalam persoalan filsafat Helenis. Mereka sangat pandai
sekali dalam memainkan peranannya dengan sempurna pada masa Khalifah Harun
al-Rasyid dan Khalifah Al-Ma’mun bin al-Rasyid.398
Kebijakan khalifah-khalifah Abbasiyah terhadap keluarga al-Barmaki
yang orang Persia ini, menurut Ira M. Lapidus, karena dianggap pemikiran bangsa
Yunani dan Persia ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kalangan
istana, sebab pemikiran tersebut memperkenalkan ideal manusia mengenai
pengukuhan dirinya dikalangan aristokratis, yang berperan untuk memantapkan
kualitas sosial dan moral elite kerajaan dalam term-term yang sebagian konsisten
dengan ajaran Islam dan sebagian berasal dari warisan-warisan non-Islam dari
bangsa-bangsa kuno.
Idea aristokratik ini menyerukan kepada kalangan istana, administrator,
dan pembantu-pembantukhalifah agar percaya kepada tuhan. Dan agar waspada
dan sadar terhadap pengadilan akhirat.399
397Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 1.
398Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965), 65
399Lapidus,Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah (Abad VII-XII M.)(Jakarta: Raja Grafindo, 1999), 146.
152
Akibat dari akulturasi dan asimilasi budaya asing ke dalam dunia Islam
ini, menimbulkan kemajuan-kemajuan dibidang sains dan kebudayaan pada masa
ini. Untuk membina dan mengkader para siswa dan pelajar yang dapat membaca
buku-buku asing dan budayanya maka dibentuklah tempat-tempat belajar sebagai
institusi. Institusi yang pertama kali dibangun adalah tempat penelitian, yang
dibentuk oleh orang-orang yang senang akan belajar dan ingin mempelajari ilmu
pengetahuan dan memperoleh beasiswa, atau oleh para pembuat aturan yang
mencoba menyebarkan dan menyampaikan doktrin politik dan doktrin agama
tertentu..
Di mana institusi yang biasanya memiliki perpustakaan atau laboratorium
ini, diskusi tentang berbagai aspek hukum dan teologi seringkali di adakan dan
pelajaran tentang bermacam-macam subyek sesekali di berikan. Diantaranya yang
paling terkenal adalah Dar al”ilmi di Kairo yang mengajarkan mengenai doktrin
Fatimiah, Dar Abdawa di Aeleppo yang mengajarkan Syi’ah, dan sunni di ajarkan
di Bait al-Hikmah di Baghdad.400
Oleh karena itulah, Harun Nasution melihat kemajuan-kemajuan yang
dilakukan oleh sebelum al-Ma’mun hingga pada masa kegemilangannya (periode
al-Ma’mun), memberikan catatan khusus antara lain:
1. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan belajar diberikan kepadaanak setiap orang Islam dengan cuma-cuma, dan begitu juga denganpenggunaan sarana dan fasilitas pendidikan lainnya. Untuk kepentingan sosialdan pendidikan, masyarakat dan pemerintah tidak segan segan untukmengeluarka biaya yang besar
2. Karakteristik dari pendidikan Islam pada periode ini adalah karakteristik yangpaling tinggi yang pernah dicapai umat-umat Islam dalam semua bidangpendidikan, yaitu bersifat universal, toleran, berpikir luas, kreatif, dinamis,rasional, pemikiran cukup berkembang, ijtihad, terdapat keserasian antara ilmudan agama, dan sumber pendidikan dan pemikiran diambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.401
400Joseph S. Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam (Surabaya, 2001),78.
401Harun Nasution, Prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi tantangan Zaman (Jakarta:LP IAIN, t.th), 42.
153
2. Kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Kontribusi al-Ma’mun dalam memajukan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan (intelektualisa) Islam sangat lah besar. Ia bukan saja sebagai seorang
khalifah, tapi juga seorang ahli ilmu yang memahami betul akan arti
kekhalifahannya, sehingga ia sadar bahwa para khalifah itu adalah pilihan-pilihan
allah dan hamba-hamba yang berguna untuk memajukan negara dan bangsa.
Ada pun kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
yang menjadikan Baghdad sebagai pusat ilmu dan peradaban pada dunia yang
berpengaruh pada sumber kejayaan eropa pada masa berikutnya adalah:
a. Gerakan Penerjemahan.
Di bawah patronase khalifah-khalifah Abbasiyah pertama – Khususnya al-
Mansyur, al-Rasyid dan al-Ma’mun – puncak kegiatan penerjemahan berlangsung
antara tahun 750 M. Dan 850 M. Tidak saja karya-karya orang Nestoris dan pagan
Neo platonis dari Mesopotamia yang tersedia secara melimpah, tetapi melalui
penaklukan daerah perbatasan Bizantium, manuskrip-manuskrip tambahan adalah
merupakan bagian kekayaan yang dibawa pulang ke Baghdad. Di dorong oleh
semangat keinginan belajar yang lebih kuat tentang Yunani, para Khalifah – bila
tidak dapat memperoleh manuskrip dengan penaklukan – bahkan siap membelinya
dari musuh mereka, terutama dari istana Bizantium di Konstantinovel.402
Secara khusus, di bawah pemerintahan al-ma’mun, proses penerjemahan
mencapai puncaknya yang tertinggi. Seorang yang berpendidikan tinggi yang
mengenal beberapa karya Yunani, al-Ma’mun menganut ajaran sekelompok
intelektual terkenal dengan nama Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa agama dan
akal tidak mungkin bertentangan. Dia berharap dapat memperkuat pandangan
mereka dengan meningkatkan tersedianya terjemahan bahasa Arab dari karya-
karya berbahasa Yunani dan syiria, terutama yang berkaitan dengan filsafat.
Orang-orang Kristen yang telah menerjemahkan manuskrip-manuskrip
Yunani ke dalam bahasa Syiria memperlakukan teks-teks filsafat dan teks-teks
agama sebagai buku suci, dan mereka tidak akan mengubah satu kata pun dalam
402Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 82.
154
proses penerjemahan itu.403 Setiap kata Yunani dipindahkan secara literal. Bila
kata yang berarti sama tidak dijumpai dalam bahasa syiria, mereka akan
menuliskan kata Yunani sebagaimana adanya.
Terjemahan masa awal ini, meskipun sulit untuk ditafsirkan dan terasa
janggal untuk dibaca,tapi sangat jujur terhadap sumber aslinya.dan sampai
sekarang masih menjadi kunci penting dalam membandingkan terjemahan-
terjemahan karya klasik Yunani yang dilakukan belakangan dengan terjemahan
yang lebih tua.404
Upaya awal penerjemahan karya-karya ini ke dalam bahasa Arab. Terjadi
dengan cara yang sama dalam terjemahan literal, kata-kata bahasa Arab
menggantikan bahasa Syiria.ketika penerjemah tidak menemukan kata yang
sesuai, atau karena tidak ada (dalam bahasa Arab), maka ia mencantumkan kata
aslinya, Yunani atau Syiria. Bahasa Arab saat itu baru saja mengembangkan kosa
kata yang dibutuhkan untuk mengakomodasi proses abstarksi. Karenanya, para
penerjemah berjuang memperkaya bahasanya dengan kosa kata yang baru untuk
melukiskan konsep-konsep yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip berbahasa
Syiria.
Ilmuwan-ilmuwan berbahasa Arab merasa bahwa penerjemahan masa
awal ini secara gramatika sangat janggal dan sulit untuk dimengerti. Filosof Arab,
Al-Kindi memberikan penafsiran tersendiri atas pemikiran neoplatonisme dalam
bentuk yang masuk ke dunia Islam.405
Pada masa awal penerjemahan banyak bermunculan karya-karya Muslimin
yang biasanya berujud ikhtisar atau interpretasi buku-buku yang bewrasal dari
Yunani. Kemudian lahirlah generasi-generasi penulis Muslim yang orisinal,
mereka bukan saja menterjemahkan, membuat ikhtisar, komentar atau sekedar
mengutif, akan tetapi telah mengembangkannya dengan melakukan perenungan,
pengamatan ilmiah dan memadukan dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga karya-
403F.E.Peters, Aristotle and the Arab (New York: New York University Press, 1968), 17.
404Frans Rosenthal, the Clasikal Heritage of Islam (Barkeley: University of CaliforniaPress, 1965),17.
405Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 83.
155
karya tersebut oleh Lapidus dan Bernard Lewis dikatakan sebagai karya umat
Islam murni dan asli. Mendukung pendapat kedua ahli sejarah tersebut,
Nurcholish Madjid menegaskan bahwa mustahil karya-karya tersebut dianggap
sebagai carbon copy Hellenisme.
Al-Ma’mun (813-833 M.) berusaha meningkatkan perhatiannya pada ilmu
pengetahuan untuk menterjemahkan buku-buku kebudayaan Yunani, Ia mengajak
penterjemah dari golongan Kristen, Sabi’i dan bahkan juga penyembah bintang
pun ia ajak, untuk itu maka ia mendirikan Bait al-Hikmah. Gerakan penerjemahan
dan pembangunan lembaga tersebut, menurut Muhammad Abed al-Jabiri,406
karena ia sekaligus memamfaatkan Filsafat metafisika Aristoteles.
Warisan pra Islam itu kemudian difungsikan disatu sisi dalam kerangka
perseteruan memperebutkan hegemoni dan dominasi budaya antara kaum Syiah
dan Abbasiyah, dan pada sisilainnya dalam memecahkan ilmu kalam.dalam
kondisi demikian tentu saja tidak mengharuskan munculnya kebutuhan untuk
mempelajari matematika dan bahkan ilmu-ilmu kalam. Sebaliknya, justru
semuanya langsung melompat ke pengetahuan-pengetahuan metafisis atau filsafat
ketuhanan.
Jadi, urat nadi dari periode awal penerjemahan ini adalah Bayt al-hikmah,
yang pada awalnya merupakan sebuah pusat penelitian dan penerjemahan, tetapi
kemudian berkembang menjadi akademi besar.para penerjemah generasi pertama
kebanyakan dari keluarga Barmak dari khurasan, orang-orang zoroaster dari
daerah-daerah Persia yang lain, dan para Kristen Nestoris dari syiria yang
mengabdi pada kebutuhan intelek tual Islam tanpa meninggalkan
keyakinannya.para penerjemah yang paling aktif di bait al-hikmah adalah abu sahl
fazhl bin naubakh dan alan al-Syu’ubi, keduanya berkebangsaan persia, serta
Yunana (John) bin Masuya (Maskuya/masawayh), seorang syiria.407
406Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LKIS, 2000),116.
407Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education,A.D.800-1350 withan Introduction to medival Muslim Education (Boulger: The University of Colorado Press, 1964),145
156
Menurut abdurrahman, Edisi arab yang disempurnakan dari terjemahan-
terjemahan awal ini muncul pada masa kekhalifahan al-Ma’mun,408 sebagai hasil
kerja dari satu pusat penerjemahan khusus yang didirikan di istananya.
Penerjemah paling terkenal yang tinggal disana adalah seorang Nestoris, hunayn
bin Ishaq al-’Ibadi (809-873),409 seorang mudi Masawayh yang fasih dalam
bahasa yunani dan Persia. Perhatian al-Ma’mun terhadap proses penerjemahan
begitu besar, sehingga ia berani membayar Hunayn dengan emas seberat
lembaran-lembaran yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab.410
Ishaq bin Hunayn (809-873 M.),secara khusus dalam catatan stanton,
tertarik dengan aristoteles dan penerjemahan metaphysic; On The soul; On The
Generation and Corruption of Animal, dan komentar-komentar Alexander
Apharodisias atas Aristoteles. Pada pertengahan abad ke sembilan, kebanyakan
karya-karya Yunani di bidang Sains, kedokteran dan astronomi telah terbit dalam
bahasa arab.
Al-Hajjaj (786-833 M.) seorang Neoplatonis pagan dari Harran,
menerjemahkan karya ptolemy, Mathematike Syniaxis-yang mendapat gelar al-
Mageste (Karya Besar) dan diwariskan sampai ke zaman kita sekarang sebagai al-
Magest. Dia juga menerjemahkan karya Euclid, Elements dan karya Phylos,
Pneumatics. Pada awal abad ke 10, terjemahan karya-karya Achimedes dan
sebuah terjemahan karya Euclid yang baru tersedia.411
Jadi, buku-buku yang pertama diminati – khususnya filsafat – mendapat
perhatian lebih besar dan diterjemahkan oleh Hunayn (809-873 M.) ke dalam
bahasa arab, adalah karya-karya Aristoteles.menurut C. Israr, bahwa berbagai
408Untuk menampung para penterjemah yang menerjemahkan buku-buku yunani atausuryani ke dalam bahasa arab,al-Ma’mun mendirikan Bait al-hikmah,pada tahun 215 H.lihat,Abdurrahman, Pengaruh Arab dalam bentuk Pemikiran Eropa (semarang: wicaksana), 16
409Hunayn tidak saja berjasa sebagai penerjemah,tetapi juga sebagai salah seorang perintispencarian terminology ilmiah dalam bahasa arab, yang pada masanya masih berada pada periodeperkembangan awal. Lihat, Haskell D.Isacs, Arabic Medical Literatur, dalam M.J.L young et.al.(Ed) Religion,Learning and Science in the Abbasid Period (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1990), 344.
410F.E.Peters, Aristotle and the Arab (New York: New York University Press, 1968), 17.
411Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 84.
157
filsafat Yunani kuno telah dianalisa dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab.filsafat yunani yang pertama sekali disalin ke dalam bahasa Arab ialah
karya-karya aristoteles seperti; Maqua Marslia412.
Menurut Oemar amin, Hunayn bukan saja bekerja di Baghdad, akan tetapi
ia diperintahkan untuk mendatangi tempat-tempat yang dirasakannya dapat
memperoleh buku-buku filsafat Yunani tentang Ketuhanan. Hunaqyn telah
mengelilingi sepanjang daerah Syiria, Palestina dan Mesir. Ia telah berhasil
membawa categories, Phycis, dan Magna Moralita karangan Aristoteles, republic,
Laws dan Timaeus karangan Plato. 413
Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang di datangkan dari
Bizantium kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa arab, kegiatan
penerjemahan414 ini berjalan kira-kira satu Abad. Bait al-hikmah yang didirikan
al-Ma’mun bukan hanya sekedar pusat penerjemahan tetapi juga akademi yang
mempunyai perpustakaan. Diantara cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan
disini adalah kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi dan
sejarah disamping filsafat.415
Jadi, gelombang helenisme itu merupakan hasil wajar dari kegiatan
penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Meskipun
tampaknya hal ini telah lama dirintis sejak zaman Dinasti Bani Umayyah di
Damaskus - misalnya, disebut-sebut bahwa khalifah ibn Yazid (W. 84 H./704 M.)
seorang putra khalifah yang klaim ke khalifahannya di tolak, telah mencurahkan
pengkajiannya terhadap filsafat – tetapi gerakan penerjemahan itu mencapai
puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang menganut faham
Mu’tazilah.
412C.Israr, Sejarah Kesenian Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),13.
413Oemar Amin, Kultur Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1975),21
414Sampai akhirnya, terjemahan-terjemahan buku berbahasa Arablah, terutama di bidangilmu pengetahuan, yang membentuk fondasi pengajaran pada Univesitas-unicersitas di Eropa.lihat,Ahmad syafi’I ma’arif dalam Posisi Umat Islam terhadap perkembangan teknologi Modern, yangdisunting oleh A.Rifa’i Hasan dan amrullah Ahmad dengan judul Presfektif Islam dalamPembangunan Bangsa (Yogya: PLP2M, 1987), 212.
415Harun Nasution, Islam di tinjau dari Berbagai aspeknya, 70.
158
Kemu’tazilahan al-Ma’mun ini telah membuatnya ”liberal”untuk ilmu
pengetahuan rasional, dan kebijaksanaannya mendirikan bayt al-hikmah (rumah
kearifan) sebagai pusat kegiatan ilmiah telah menciptakan suasana yang subur
dikalangan kaum muslimin tertentu untuk berkembangnya pemikiran
spekulatif.416
Oleh sebab itu, Baghdad pada masa pemerintahan al-ma’mun merupakan
pusat peradaban Islam serta ilmu pengetahuan, bahkan di kota ini, seluruh
peradaban non-Islam dapat dengan bebas menyatakan pendapatnya, begitu pula
dalam hal melakukan ibadah, mereka mempunyai hak yang sama dengan kaum
Muslimin. Ia membentuk sebuah Dewan Negara yang keanggotaanya terdiri dari
berbagai kalangan masyarakat termasuk Islam, Kristen, Yahudi dan Zoroaster.417
Bahkan, sejumlah orang non-muslim menduduki jabatan yang penting
dalam pemerintahannya, salah seorang diantara mereka adalah Gabrail bin
Bakhtushu, seorang sarjana Kristen yang memegang posisi tinggi di
kekhalifahannya. Karena sikapnya yang liberal terhadap non muslim, maka
kemakmuran dan kedamaian semakin baik dikerajaannya. Di kerajaannya lebih
dari 11.000 gereja di samping sinagog dan kuil kaum Zoroaster. Dengan demikian
suasana harmonis ini menjadikan kota Baghdad semakin anggun dan damai.
b. Mengembangkan diskusi-diskusi
Al-Ma’mun bukan saja melakukan kegiatan penerjemahan-
pemnerjemahan, ia juga menyemarakan istananya dengan menyelenggarakan
diskusi-diskusi dalam berbagai bidang. Menurut Mustafa as-siba’i, seorang
sejarawan terkemuka menggambarkan suasana kegiatan keilmuan pada masa
kejayaan Islam dan toleransinya terhadap agama-agama non-Islam dengan cara
mengembangkan tradisi h{alaqah-h{alaqah, keilmuan di hadapan para khalifah
biasanya menghimpun berbagai ulama (ilmuwan) dari berbagai agama dan
mazhab.
416Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23.
417Jamil ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (akarta:Pustaka Firdaus), 316.
159
Al-Ma’mun sendiri mempunyai sebuah h{alaqah keilmuan, di situ
berkumpul semua ulama agama dan mazhab, ia selalu berkata kepada mereka,
”bahaslah ilmu apa pun yang kalian kehendaki tanpa berdalilkan kitab agamanya
masing-masing agar tidak menimbulkan kemusykilan-kemusykilan golongan”418
semangat ini mendorong masyarakatnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengisi
pendidikan sesuai dengan harapan dan keinginan golongan tertentu. Khususnya
Mu’tazilah dalam mengembangkan fahamnya yang bercirikan rasio logisnya.
Menurut Khalaf bin Mutsanna, sebagaiman yang dikutip, As-Shiba’i,bahwa kami pernah menyaksikan sepuluh orang pakar di Bashrah berkumpul
disebuah majlis. Mereka adalah para pakar nahwu al-Khalil bin Ahmad (suni),
penyair al-Humairi (Syiah), Saleh bin Abdul Quddus (Jinddiq), Sofyan bin
Mujasyi (Khawarij sekte shufriyah), Basyar bin Burd (Syu’ubi), Hammad Ajrad(Jinddiq Syu’ubi), penyair ibnu Rasil Jalut (Yahudi), pakar ilmu kalam IbnuNazhir (Nasrani), Umar bin Muayyad (Majusi), dan Ibnu Sinan al-Harrani
(Shaba’i).Mereka berkumpul saling menyenandungkan syair, menceritakan khabar-
khabar dan berbincang-bincang dalam suasana keakraban. Hampir tak tampak
bahwa diantara mereka terdapat perbedaan yang menyolok dalam agama dan
mazhab.419
Suatu keharmonisan yang terjalin sesama masyarakat, baik Arab-Persia
berjalan cukup mengesankan, sehingga bisa dikatakan bahwa kerukunan antar
pemeluk agama dan mazhab justru menjadikan ajang diskusi dari berbagai disiplin
ilmu. Hal ini terjalin justru ketika sang penguasa memberikan keleluasaan pada
segenap komponen masyarakat untuk berperan aktifdalam mengembangkan
intelektualitas dan budaya serta peradabannya. H.A.R.Gibb, mengatakan bahwa,
”Tumbuh suburnya Sains dalam masyarakat Islam, lebih bergantung padakeliberalan dan dukungan mereka yang berkedudukan tinggi”.420
418Mustafa as-syiba’I, Min Rawa’i> Had{aratina, terj. oleh Fauzi Rahman (Jakarta: GemaInsani Press, 1992), 99.
419Mustafa as-Syiba’i, Min Rawa’i> Had}aratina, 100.
420Achmad Syafi’i Ma’arif dalam Posisi umat Islam terhadap Perkembangan TeknologiModern, oleh A. Rifa’i Hasan dan Amrullah Ahmad, Presfektif Islam dalam PembangunanBangsa (Yogyakarta: PLP2M, 1987),.212.
160
Oleh karena itu, hampir disemua sektor kehidupan terutama gerakan
ilmiah pada masa itu sangat mengesankan.Kota Baghdad sebagai pusat gerakan
keilmuan serta budaya dan peradaban dunia telah melahirkan para ulama ahli
debat.
Berkat ilmu dialektika, para ulama pun bergairah untuk memperdebatkan
bermacam-macam agama, seperti membicarakan soal penciptaan Al-Qur’an,
apakah Qur’an itu hadis atau Qadim, dan sebagainya. Khalifah al-Ma’mun sendiri
(198-218 H.) sering menghadiri sidang-sidang debat tersebut, bahkan ikut serta
dalam perdebatan. Akibatnya, banyak yang tidak senang kepadanya, terutama
sekali karena ia lebih mengutamakan Sayidina Ali binAbi Thalib dari pada
Khalifah Rasyidin.421
Demikianlah kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di masa Daulah
Abbasiyah ketika tampuk pimpinan dipegang oleh seorang yang cinta akan ilmu,
yaitu al-Ma’mun.422 Ia dengan kecerdasan dan kesalehannya telah menjadikan
Baghdad sebagai pusat kegiatan ilmiah dan sekaligus pusat peradaban dunia Islam
ketika itu. Bahkan dlam catatan sejarah, kemajuan yang dicapainya ini sebelum
dan sesudah pemerintahannya belum ditemukan di dunia Islam saat itu.
c. Mengembangkan Faham Rasionalisme Mu’tazilah
Kemajuan dan peradaban Islam menuai puncak kejayaannya sejak
terjadinya pertemuan antara pemikiran Islam dan Arab yang asli dengan
pemikiran Yunani,423 Persia dan India, maka muncullah mazhab-mazhab
pemikiran yang memantulkan pertemuan ini di negeri-negeri Islam, yang
421Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarata: Bulan Bintang,1985), 80.
422Bahkan al-Ma’mun sangat terkenal tentang kebaikan intelektualnya, ia seorangterpelajar,seorang failosof,seorang ahli agama. Ia menyuruh menyalin buku-buku teknik yangdiperlukan untuk pengembangan. Lihat, Oemar Amin, Kultur Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1975), 151
423Ketika gelombang filsafat Hellenisme berpengaruh pada para cendikiawan dan paraulama pada akhir kekuasaan bani Umayah. Lihat, Usman Pelly, Masalah Dikhotomi Ulama danIntelektual dalam Masyarakat Islam, dalam A. Rifa’i Hasan, Presfektif Islam dalam PembangunanBangsa (Yogyakarta: PLP2M, 1987), 225.
161
memihak ke mazhab ini atau mazhab itu, atau memantulkan semacam perkawinan
pemikiran asli dan pemikiran asing.
Mazhasb-mazhab (aliran-aliran) pemikiran yang mula-mula sekali muncul
selain dari golongan Mu’tazilah pada zaman daulah Umayyah, kemudian
diteruskan pada masa abbasiyah dan bercabang-cabang menjadi berbagai
mazhab.424
Di samping Mu’tazilah yang menggunakan logika, pengaruh filsafat dan
logika Yunani yang berskala luas ini menimbulkan respon di dunia Islam dan
memunculkan dialektik (mutakallimin) yang memakai senjata logika Yunani
untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam.425 terutama ketika persoalan teologi
menyinggung sifat-sifat allah.426
Aliran Mu’tazilah lahir lebih kurang pada permulaan abad pertama
Hijriyah di kota Basrah (Irak), sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam di masa itu,tempat perpaduian antara kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama. Kemudian secara perlahan-lahan aliran Mu’tazilah ini
memperoleh pengaruh di tengah-tengah masyarakat, terutama di Baghdad.
Pengaruh itu mencapai puncaknya pada ke tiga khalifah bani abbas, yakni al-
Ma’mun (198-218 H.), al-Mu’tashim (218-227 H.) dan al-Watsiq (227-232 H.).
Puncak monumental kegiatan intelektual kaum Mu’tazilah ini dapat dilihat
ketika mereka mendapat dukungan pengaruh dari kekhalifahan al-Ma’mun (813-
833 M.). Pengaruh ini telah membuahkan kebijakan yang sangat menguntungkan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan rasional, dan sekaligus menjadikan ibu kota
kekhalifahan (Baghdad) sebagai pusat kegiatan ilmiah internasional ketika itu.427
Al-Ma’mun mengembangkan faham Mu’tazilah, aliran teologi rasional initerjadi karena kebijaksanaannya untuk menyerap ilmu pengetahuan yang berasal
424Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988),124.. Bandingkan dengan Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung:Mizan, 1996), 27.
425Ameer Ali, A Short History of The Saracens (London, 1951), 303.
426Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1996), 27
427A. Rifa’i Hasan, Presfektif Islam dalam Pembangunan Bangsa (Yogyakarta: PLP2M,1987), .225.
162
dari Yunani.428 Dengan kebijakannya inilah kultur Yunani memiliki sebuah
pengaruh yang menonjol terhadap pertumbuhan peradaban Islam. Berbagai nilai
dari kultur Yunani tersebut, malalui berbagai jalur, masuk ke dalam pembentukan
pemikiran Islam.
Pengaruh Hellenistik yang paling menonjol adalah dalam bidang filsafat.
Filsafat adalah sebuah gerakan dengan keragaman posisi yang disatukan oleh
kesamaan peristilahan dan melalui sebuah komitmen pada sebuah program
investigasi yang rasional, meliputi logika, sains kealaman, dan metafisika. Para
filosof di zaman Islam juga menghadapi isu-isu teologis,seperti permasalahan
mengenai hubungan filsafat dengan wahyu.429
Sekalipun demikian filsafat bukanlah merupakan sebuah analisa yang
bersifat netral, tetapi ia merupakan sebuah bentuk dari keyakinan. Tujuan utama
dari sebuah filsafat tidak hanya kepada pengetahuan intelektual saja, tetapi juga
bertujuan untuk menyerap jiwa manusia dalam alam spiritual yang darinya filsafat
tersebut datang. Ajaran-ajaran kefilsafatan juga berbeda dengan ajaran-ajaran
Islam mengenai berbagai permasalahan tertentu, misalnya mengenai kebangkitan
dan menghukum tubuh manusia, teori tentang keabadian ciptaan alam semesta,
dan pengetahuan Tuhan yang bersifat universal dan partikular.
Jadi, filsafat Hellenistik menghadirkan sebuah warisan rasional yang
merefleksikan realitas metafisika, dunia fisik, dan keberadaan manusia yang
mengajukan sebuah tantangan fundamental terhadap wahyu al-Qur’an sebagaisuber yang komplit dan sebagai sumber kebenaran yang tidak mungkin salah.
Sebab, secara tekstual kebenaran wahyu itu telah dijamin keorisinilannya dan
secara de facto telah diterima dikalangan umt Islam.
Upaya untuk menggabungkan ajaran agama Islam dengan pemikiran
Yunani mendominasi kehidupan intelektual sepanjang khalifah Bani abbasiyah,
dan ini mempengaruhi semua bidang ilmu pengetahuan. Kontroversi mulai
muncul setelah diperkenalkannya karya-karya sains dan filsafat Yunani pada
pertengan abad ke delapan, dan muncul menjadi sebuah gerakan yang jelas dalam
h{alaqah-h{alaqah ilmiah, melalui sekelompok ilmuwan yang berasal dari Hira
428Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta:Intermasa, 1994), 151
429Lapidus, Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah (Abad VII-XII M.)(Jakarta: Raja Grafindo, 1999), 143.
163
(sebuah kota kecil yang terletak antara Basrah dan Kuffah, Mesopotamia Selatan),
yang kemudian dikenal sebagai kelompok Qadariyah, dari kata arab ’qadar’ yangberarti ketentuan Tuhan.430
Khalifah al-Ma’mun termasuk yang mendukung rasionalitas Yunanitersebut. Ia menganut ajaran-ajaran Mu’tazilah dan menggunakan kekuasaanya
untuk mendirikan satu pusat penerjemahan dan Bayt al-Hikmah yang merupakan
lembaga pendidikan tinggi pribadi yang pertama dibangun oleh orang Islam.
Bait al-Hikma ini menjadi tempat untuk mempelajari dan pusat
penyebaran teologi dan filsafat Mu’tazilah. Dan lembaga ini mengundangberbagai ilmuwa dari berbagai daerah yang jauh untuk hadir dan melakukan debat
antar sesamanya disemua bidanmg ilmu pengetahuan diantaranya agama dan
filsafat, matematika dan ilmu-ilmu lainnya.
Para ilmuwa yang dipekerjakan oleh khalifah al-Ma’mun berusaha terusuntuk menyelaraskan pengetahuan tentang dunia yang nyata dengan pengetahuan
tentang lapisan –lapisan alam di luar bumi ini. Sepanjang periode yang penuh
semangat ini, para ilmuwa berusaha terus untuk memperluas kosa kata arab agar
dapat mengungkapkan konsep-konsep ilmiah dan filsafat yang lebih maju.431
Kelompok Mu’tazilah yang terdiri atas tokoh-tokoh yang intim dengan
filsafat jelas mendapatkan keuntungan dengan situasi dan kondisi ini. Mereka
banyak memiliki kelompok pengikut dari kelompok Syi’ah, yang walaupun secarapolitis tertekan, akan tetapi secara kultur ia menang, karena wazir-wazir yang
diangkat oleh para khalifah abbasiyah adalah merelka yang sebenarnya simpati
terhadap ahl al-bait. Artinya Mu’tazilah secara kultur dilindungi oleh negara.Keberhasilan aliran Mu’tazilah pada masa ini tidak terlepas dari tokoh-
tokoh seperti; Abu Hudzail al-Allaf432 (w. 226 H./836-845 M.), mencapai puncak
430Ignaz Goldziher, Mohammed and Islam (New Haven: Yale University Press, 1917),100-101.
431Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 94.
432Abu Hudzail al-Allaf, nama lengkapnya adalah Abu al Hudzail Muhammad ibn alHudzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al ‘Allaf maula Abd al Qais, ia diberi sebutan al ‘allaf, karenarumahnya yang di Basrah terletak di kampong ‘Allafin(penjual makanan binatang) dan bukan diAl-laf, ia berguru kepada Usman al Thawil murid washil ibn “Atha al Ghazal, pendiri aliranMu’tazilah, sekaligus pelopor perkembangan alam pikiran dalam dunia Islam.lihat Ali Musthafaal-Ghurabi, Ta>rikh al-Fi<>rraq al-Isla>miyah (Mesir: Maktabah wa mathba’ah Muhammad AliShubaih wa auladih, t.t), 148.
164
kebesarannya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi
muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya.
Ada pun paham atau pemikiran yang ditimbulkan oleh Abu Hudzail ini
antara lain;
1. Bahwa Allah Ta’ala tidak mempunya sifat yang berdiri di luar Dzat-Nya. Iamengakui adanya sifat-sifat yang tidak lain adalah dzat-Nya sendiri.
2. Bahwa akal mampu mengetahui Tuhan dan mampu mengetahui baik danburuk,demikian pula mampu mengetahui kewajiban-kewajiban. Meskipundemikian bukan berarti bahwa manusia karena memiliki akal kemudian tidakbutuh kepada keterangan wahyu.
3. Bahwa Tuhan telah menciptakan yang terbaik bagi manusia, artinya mustahilTuhan berbuat zhalim, meskipun Ia mampu, karena yang demikian itu adalahmanifestasi dari kekurangan, sedangkan kekurangan itu tidak boleh ada padaTuhan. Salah satu perbuatan terbaik Tuhan kepada manusia adalah mengirimRasul-rasul untuk menyampaikan wahyu kepada mereka agar mendapatkankebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu pengiriman Rasulmerupakan perbuatan yangtidak mungkin diabaikan oleh Tuhan, dan ia wajibmelakukan sesuatu yang terbaik.
4. Bahwa kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan hanya ada di duniaini saja, sedangkan di akhirat tidak ada lagi kebebasan yang ada hanyalahpaksaan. Dunia adalah tempat taklif, oleh karena itu ia dimintai tanggungjawabnya oleh Tuhan nati di akhirat. Tapi permintaan tanggung jawab itutidak lagi logis, apabila manusia di dunia ini tidak diberi kebebasan dankermampuan untuk bertindak. Sementara di akhirat adalah tempatpembalasan, Tuahan akan membalas perbuatan baik dengan surga danperbuatan jahat dengan azab. Kebebasan kemanusiaan dan perbuatan tidaklagi dibutuhkan di akhirat, karena saat itu semuanya akan berjalan dalamkendali atau paksaan Allah.433
Demikian pula dengan Ibrahim Ibnu Sayyar al-Nazham434 (w231 H./775-
845 M.), al-Nazhzham adalah salah seorang tokoh dari aliran Mu’tazilah, ia
adalah murid dfari Abu al-Hudzail, namun karena kecerdasannya melebihi
gurunya,ia memiliki ketajaman ingatan, keluasan tinjauan, kebebasan berpikir dan
kemurnian ungkapan serta kemampuan berdebat. Ia merupakan seorang teolog
433H.A. Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), 74
434Nama lengkapnya adalah Ibrahim Ibn Sayyar ibn Hani’ al Nazhzham, ia dilahirkan diBashrah pada tahun 185 H. paqda masa khalifah Harun al-Rasyid dan meninggal pada tahun 221H.pada masa khalifah al-Mu’tashim. Jadi ia hidup selama 36 tahun. Sementara pendapat lainmengatakan bahwa ia meninggal pada tahun 231 H. ia merupakan murid dari Abu al-Hudzail.Lihat. Ali Musthafa al-Ghurabi, Ta>rikh al-Firraq al-Isla>miyah (Mesir:Maktabah wa mathba’ahMuhammad Ali Shubaih wa auladih, t.t), 187.
165
dan sekaligus sasterawan. Paham pemikiran yang dianut oleh an-Nazhzham
adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Tuhan mustahil melakukan kezhaliman, bahkan lebih dari itu IA tidakkuasa untuk melakukannya, tegasnya Tuhan tidak kuasa memasukkan ahlisurga ke dalam neraka, dan ahli neraka ke dalam surga. Tuhan hanya kuasaberbuat yang adil atau berbuat kebaikan yang terbaik. Kezhaliman hanyatimbul dari diri yang tidak sempurna. Sedangkan Tuhan Maha Sempurna danMaha Tahu. Olehy karena itu kekuasaanya hanya mewujudkan yang terbaik.
2. Bahwa kemu’jizatan al-Qur’an terletak pada kebenaran isinya bukan padagaya dan bahasanya. Oleh karenanya yang tidak bisa ditandingi adalahkebenaran isinya dalam mengungkapkan kebenaran tentang berita dankisah0kisah umat terdahulu serta berita tentang hal-hal yang gaib dalambentuk ramalan. Dengan demikian menjadi bukti tentang kerasulan NabiMuhammad adalah kebenaran isi al-Qur’an dan bukan gaya bahasanya.
3. Bahwa akal manusia mampu mengetahui tuhan, baik dan buruk. Orang yangberakal wajib mengetahui Allah melalui pemikiran atau argumen dan wajibpula mengetahui yang baik dan yang buruk melalui akal sebelum datangnyawahyu. Akal manusia memiliki ikhtiar (pilihan ) antara melakukan atau tidakmelakaukan sesuiatu perbuatan.
4. Bahwa manusia pada hakikatnya adalah roh, sedangkan badan adalah alat dantempat bagi roh. Roh adalah jisim yang halus yang meresap dalam badan danhati, seperti air meresap dalam bunga atau minyak dalam susu. Roh itumempunyai kekuatan, kemampuan, hidup dan kehendak. Kemampuan itutersedia sebelum digunakan untuk suatu perbuatan.
5. Bahwa orang yang mencuri uang atau benda senilai 199 dirham belumdikatakan fasiq, karena jumlah tersebut belum belum mencapai jumlah nisabuntuk mengeluarkan zakat, sedangkan nisab zakat adalah 200 dirham. Dengandemikian pencurian yang telah mencapai ukuran nisab zakat, pel;akunyadipandang fasiq, dan orang fasiq kekal di dalam neraka, hanya azabnya lebihringan dari azab yang dialami orang kafir.
6. Bahwa al-Qur’an atau kalam Allah adalah makhluk. Kalam adalah suara yangtersusun dari huruf-huruf dan dapat di dengar. Suara bersifat baharu, tidakkekal dan merupakan ciptaan Tuhan. Dengan demikian maka al-Qur’an adalahdiciptakan dan tidak kekal.435
Demikianlah paham-paham pemikiran yang dikemukakan oleh tokoh-
tokoh Mu’tazilah, selain itu ada juga tokoh-tokoh seperti;Amr bin Harb (w.841
M.), Bisr Ibnu al-Mu’tamir (w.226 H.825 M.), Abu Musa al-Mirdar (w.841 M.),
Ja’far ibn Harb (w. 851 M.), Ahmad ibn abi daud (w. 855 M.), dan Ibnu Ibadh (w.
435H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Ilmu Kalam (Jakarta : Diadit Media, 2002), 74-76.
166
210 H.).436 Mereka ini merupakan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang merumuskan
doktrin-doktrin mu’tazilah dengan secara matang. Mereka hidup dalam tempat
dan waktu Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya dalam sejarah.
Dinasti Abbasiyah mencapai puncak ke emasan (kejayaan) khususnya
dibidang ilmu pengetahuan, menurut Jarji Zaldan, karena dalam masa tersebut
berbagai ilmu pengetahuan telah matang,pertumbuhannya telah sempurna, dan
berbagai kitab yang bermutu telah cukup banyak dikarang, terutama ilmu bahasa,
sejarah, geografi, adab, dan filsafat.437
Secara umum puncak kejayaan yang dicapai Dinasti Abbasiyah ini tidak
terlepas dari faktor-faktor pendukung diantaranya:
1. Islam semakin meluas, tidak hanya di Damskus tetapi juga di Baghdad2. Orang-orang di luar Islam banyak dipakai untuk menduduki institusi
pemerintahan3. Pemerintahan Abbasiyah membentuk tim penerjemah dari bahasa Yunani ke
bahasa Arab.4. Sebagian penerjemah memberikan pendapatnya5. Rakyat bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang6. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan,7. Dalam penyelenggaraan negara pada masa pemerintahan Abbasiyah adanya
jabatan Wazir, yang membantu khaliafah dalam menangani urusanpemerintahan.
8. Ketentuan Profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan bani Abbas.438
Namun setelah kekhalifahan dikendalikan oleh Khalifah al-Mutawwakil
(232-247 H./847-861 M.) kejayaan dan kebesaran Mu’tazilah mulai redup.
Bersamaan dengan itu, orientasi teologi Mu’tazilah pun diganti dengan ahli
sunnah yang mendapat dukungan dari para ulama ahli fiqh, yang akibatnya
perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan kurang menyeimbangkan antara
aspek teologis – filosofis, melainkan mengarah kepada teologis – Fiqhiyah. Hal
ini dikarenakan al-Mutawakil hingga Nizham al-Mulk (1092 M.) menganut
paham aliran ahli sunnahnya al-asy’ari.
436John L. Esposito, The Oxford History of Islam (ed.),( Oxford University Press, 1999),278.
437A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakaarta: Bulan Bintang, 1979), 246.
438Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 54.
167
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan kajian pada bab-bab terdahulu, maka dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh al-Ma’mun
selama masa pemerintahannya dalam menghantarkan keberhasilannya di bidang
pendidikan dan memajukan ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah,
pada dasarnya adalah karena ia lebih memperioritaskan kepada Human
Development of Resources (SDM) dengan cara memperbesar anggaran untuk
pendidikan, dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, yaitu al-Amin,
bahkan Harun al-Rasyid dan Abu Ja’far al-Mansyur sekalipun. Hal ini disebabkan
karena :
1. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, Daulat Abbasiyah merupakan sebuah
bentuk Negara tunggal yang sangat luas dan kaya akan hasil pendapatannya,
sehingga dengan kekayaan Negara yang melimpah, al-Ma’mun mampu
menyatukan kekhilafahannya dengan memberlakukan bahasa resmi Negara
yaitu menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan komunikasi.
2. Pejabat-pejabat atau wazir-wazir yang ada di lingkungan pemerintahan al-
Ma’mun terdiri atas orang-orang pilihan dari para ahli dan ilmuwan yang
berasal dari keluarga Barmak, yaitu sebuah keluarga keturunan Persia yang
telah lebih dahulu menguasai ilmu pengetahuan, sehingga sangat membantu
sekali dalam pelaksanakan kebijakan pemerintahannya,khususnya dalam
mengembangkan tradisi ilmiah dan transformasi budaya Persia – Arab atau
Yunani – Arab dan India - Arab, yaitu khususnya berkaitan dengan :
a. Tradisi penerjemahan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa
Arab, dan memberikan bayaran (gajih) bagi para penerjemah dengan
bayaran yang tinggi bahkan dengan emas,sehingga lahirlah penerjemah-
penerjemah terkenal, seperti Hunain bin Ishaq (w. 873 M.), yang telah
menerjemahkan hampir semua karya Galen (yang terdiri dari 20.000
halaman)diantaranya 20 buku Galen diterjemahkan kedalam bahasa Siria
168
dan 14 buku lainnya kedalam bahasa Arab dan dipersembahkan kepada
khalifah al-Ma’mun, di samping karya Aristoteles, Plato, Hippocrates,
Ptolemi dan lain sebagainya.
b. Mentradisikan debat ilmiah dan diskusi dengan mengundang para ulama
dan ilmuwan untuk datang keistananya untuk mendiskusikan berbagai
masalah yang berkembang, sehingga lahirlah orator-orator ulung di
bidangnya seperti, al-Kindi (Filosof terkemuka Arab).
c. Mengirimkan duta-duta istana (para staf bait al-Hikmah) untuk
menemukan naskah-naskah asing yang akan diterjemahkan kedalam
bahasa Arab,
d. Dan memberikan biaya penelitian (riset) bagi para ilmuwan yang mau
melakukan penelitian dan lain sebagainya.
Adapun kontribusi al-Ma’mun dalam memajukan Pendidikan dan ilmu
pengetahuan, terlihat pada kemegahan dan keramaian ibu kota Baghdad yang
menjadi pusat peradaban Islam dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
budaya, dengan berdirinya Bait al-Hikmah dan lembaga penelitian
(Observatorium). Hal ini disebabkan karena :
1. Pada masa al-Ma’mun belum ada lembaga Pendidikan formal atau pun
lembaga riset lainnya, kecuali masjid dan istana. Untuk melembagakan
aktivitas ilmiah dan riset-riset akademik yang awalnya berjalan secara non
formal, maka al-Ma’mun segera membangun lembaga Pendidikan sekaligus
tempat untuki melakukan penelitian (riset), yaitu Bait al-Hikmah. Arti penting
dari lembaga ini adalah terletak pada multi fungsi-nya. Di samping berfungsi
sebagai “lembaga pendidikan” pada waktu itu, lembaga ini juga berfungsi
sebagai tempat untuk melakukan penerjemahan karya-karya Asing kedalam
bahasa Arab, dan juga berfungsi sebagai pusat perpustakaan serta pusat
penelitian.
2. Berkat adanya lembaga Bait al-Hikmah dan Observatori, maka peran serta
para ulama, ilmuwan dan para ahli sastera dapat tertampung di sini. Bahkan
dengan adanya kedua lembaga tersebut berhasil membawa kemajuan terhadap
sosio-intelektual, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan
169
berkembangnya beragam aliran (paham), filsafat, ilmu pengetahuan,
kedokteran, kimia, ilmu alam dan lain sebagainya. Dengan adanya lembaga ini
pula dapat melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan kaliber dunia, seperti ; al-Kindi,
Ibnu Sina, al-Farabi, al-Khawarizmi, Hunain bin Ishaq dan lain sebagainya.
Maka dikenallah era al-Ma’mun ini dengan sebutan The Golden Age in Islam.
170
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Chalik, Chaerudji, A. H., Ilmu Kalam, Jakarta: Diadit Media, 2002.
Abdurrahman, Pengaruh Arab Dalam Bentuk Pemikiran Eropa, Semarang:Wicaksana, 1992.
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.
Ahmed, Akbar S., Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta:Erlangga,
Al-Attas, Naquib, M., Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka, 1981.
Ali, Ameer, A short History of The Saracens, London, 1951.
Aly, Noer, Hery, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Amin, Ahmad, D{uha> al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965.
Amin, Mahsyur, M., Dinamika Islam, Yogyakarta: LKPSM, 1995.
Amin, Oemar, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: Press Group, 2005.
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Armstrong, Karen, Islam Sejarah Singkat, Yogyakarta: Jendela, 2001.
As’ari, Hasan, Menyingkap Zaman keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Asy-Siba’Iy, Mustafa, Min rawai’I Hadharatina, trej. Oleh Fauzi Rahman,Kebangkitan Peradaban Islam, Jakarta: Gema Insanio Press, 1992.
Azra,Azyumardi, Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2000.
Basyir, Azhar, A., Administrative Development: an Islamic Perspective, terj. A.Nashir Budiman, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan,Jakarta, Rajawali, 1989.
Basyir, Azhar, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Jayamurni, 1973
Basyir, Azhar, Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan,1996
171
Beavers, D., Teed, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya,1992.
Brockelemen, Carl, History of Islam People, London, 1982.
Buchori, Saefuddin, Didin, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Intermasa, 2009.
Buchori, Saefuddin, Didin, Zaman Keemasan Islam, Jakarata, Grasindo, 2002.
Burns, Mc Nall Edward dan Philip Lee Ralp, Civilizations from ancient toContemporary, Newyork:W.Norto and Company,Inc,1963.
Clot, Andre, Harun al-Rasyid and the word of the thausand and one nights,London: Saqi Book, 1989.
Dahlan,Abdul, Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta;Beunebi Cipta, 1987.
Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: Intermasa, 1994.
Dodge, Bayard, Muslim Educational in Meieval times, Washington: The MiddleEast Institute, 1962.
Engineer, Asghar, Ali, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Esposito, John L., The Oxford History of Islam, Inggris: Oxford University Press,1999.
F.E. Feters, .Aristotle and the Arabs, New York: New York University Press,1968.
Fachruddin, Fuad, M., Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: BulanBintang, 1985.
Fahmi, Asma, Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: BulanBintang, 1979.
Fahry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka jaya, 1987.
Ghurabi, Al, Mustafa Ali, Ta>rikh al-Firraq al-Islamiyah, Kairo: Mathba’ah Alishahih, 1959
Goldziher, Ignaz, Mohammed and Islam, New Harvad: Yale University Press,1917.
Gulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993
Hanaf, A., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
172
Hasan, Rifa’i, A., Prespektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta:PLP2M, 1987.
Hasyim, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hitti, Philip K., History of The Arab, Londo: Mc Millan, Ltd. 1970.
Hodgson, Marshal G.S., The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Hopkins, J.F.P., Geografical and Navigational, dalam majalah Yung, et.al. (ed),Religion, Learning and Science in the Abbasid Period, Cambridge:University Press, 1990.
Ibnu, Katsir, Al-Bidayat~ wa al-nihayat~, Bairut: Maktab al-Ma’arif, 1990.
Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan islam, Bandung: Kota Kembang, 1989.
Isacs, Haskell D., Arabic Medical Literature, dalam Majalah Yung et.al.(ed),Religion, Learning and Science in the Abbasid Period, Cambridge:University Press, 1990.
Israr, C., Sejarah Kesenian Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Jabari, Al, Abed, Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKIS,2000.
Kamal Pasha, Musthafa, dkk, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,Yogyakarta: LPPI, 2002.
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-husna, 1988
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, Bandung: Al-Husna,1985.
Lapidus, Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah(Abad VII-XIIM.), Jakarta: Raja Grafindo, 1999
Lewis,Bernard, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Jamhuri,Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
M.,Atiqul, Haq, Wajah Peradaban, Bandung: Zaman, 1998.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentangMasalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:Paramadina, 1995,
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulab Bintang, 1994.
173
Makdisi, George, The Rise of Humanism in Clasical Islam and the Christian westwith Special Reference to Scholasticism, Edinburgh: University Press,1990.
Makdisi, George, Typology of institutions of Learning dalam An Antology studiesoleh Issa J. Baullata, Mc Gill Indonesia IAIN Development Project,Montreal, 1992.
Maksum, Madrasah dan Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999.
Mas’udi, al., Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwh{{ar, Baerut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1982.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999.
Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Cirebon: Dinamika, 1999.
Musa, Muhammad Munir, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Us{uluh{a waTat{awwuruha fial Bilad al- Arab, Cairo: Alam al-Kutub, 1977.
Nabrawi, Fathiyah, al., Ta>rikh al-Niz{am wa al-H{ad{arah al- Islamiyah, Cairo; Daral-Fikr, 1974
Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origins of Western Education, Boulder:University of Colorado Press. 1964.
Nasir, Hussain, Sayyid, Science and Civillization in Islam, New York: NewAmerican Library, 1968
Nasir, Mahmud, Sayyid, Islam, Bandung; Rosda karya, 1994.
Nasution, Harun, falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1998.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai aspek, jakarta: UIP, 1985.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Nasution, Harun, Prinsip-prinsip Islam dalam Menghadapi tantangan zaman,Jakarta: LP IAIN, t.th.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: yayasan Penerbit Indonesia, 1971.
Nawawi, Rif’at Sauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad abduh, Jakarta:Aramadina, 1992
Pederson, J., Fajar Intelektualisme Islam, Bandung: Mizan, 1996.
174
Pinto, olga, The Liberaries of the Arab During the Time of the Abbaside, IslamicCulture 3, 1929
Price, Kingsley, Education and Philosophical Thought, SA; Allyn and Bacon Inc.,Boston, 1965.
Pulungan, J., Suyuti, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Qodir, A.,C.,Philosophy and Science in the Islamic World, London: Routlege,1990.
Rahman, Fazlur, Islamic Metodologi in History, terj. Anas Mahyuddin, MembukaPintu Ijtihad, Bandung: Mizan, 1984.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Rosenthal, Frans, The Classical Heritage of Islam, Berkeley,University ofCalifornia Press, 1965.
Shaliba, Jamil, Al-Mu’jam al-Falsafi, Libanon: Dar al-Kitab al-Lubani, 1978.
Shihab, M., Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1997.
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiyah I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Stanton, Michael, Charles, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos, 1994.
Sunanto, Musyarifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu PengetahuanIslam, Jakarta: Kencana, 2007.
Supardi, Ahmad dan soekarno, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:Angkasa, 1985.
Suyuti, as, Jalaluddin, Ta>rikh al-khulafa>, Baerut: Dar el-Kutub, 1975
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,1993.
Syiba’i, as, Mustafa, Min Rawa’i Hadharatina, terj. Fauzi Rahman, KebangkitanPeradaban Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1992
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Szylicwics, S., Joseph, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, Surabaya:Al-Ikhlas, 2001.
175
Tabbarah, A., Afif, The Spirit of Islam: Doctrine & Teaching, New Delhi, IslamBook Service, 1998
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam, Bandung: Rosdakarya,1992.
Thabari, at, Jarir, Ibn, Muhammad, Ja’far, Abu, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,Bairut: Dar el-Fikr, 1987.
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka setia, 1997.
W Montgomery, Watt, Kejayaan Islam, terj. Hartono Hadikumoro, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1990.
W. Montgomery, Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Jakarta: Gramedia 1997.
W. Montgomery, Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Jakarta: P3M., 1987.
Yatim. Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1996.
Ziauddin, Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, Bandung: Mizan, 1996.
176
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
A. Identitas Pribadi
Nama : SUHERMAN
Tempat /Tanggal Lahir : Kuningan, 04 Pebruari 1967
Pendidikan : S-2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pekerjaan : Guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 127
SSN Jakarta Barat
Alamat : Jln. H. Sueb. Rt. 004/003. No. 48. Petukangan
Selatan Jakarta Selatan
E-mail : Suheran @ yahoo.co.id
B. Keluarga
Bapak : R. Sugandi (Alm)
Ibu : Kari (Alm)
Bapak Mertua : H. Salbini (Alm)
Ibu Mertua : Hj. Siti Khadidjah
Isteri : Indah Puspita Dewi Rahayu
Anak : 1. Istiqamah MeiDinata
2. Mazidah Salbiyah
C. Riwayat Pendidikan : 1. SDN Legok I. 1981
2. MTs. PUI Cidahu 1984
3. Aliyah PUI Ciawi Gebang 1987
4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1992
5. S-2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010
top related