keanekaragaman hayati
Post on 16-Jul-2015
91 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Minat masyarakat umum untuk melindungi keanekaragaman hayati dunia
semakin meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini. Baik ilmuwan maupun
masyarakat umum kini memahami bawa kita hidup dalam periode pemusnahan
keanekaragaman hayati yang luar biasa. Keanekaragaman hayati di dunia
mencakup spesies yang luar biasa banyak jumlahnya. Keanekaragaman hayati
tersebut melibatkan komunitas bologi yang kompleks, dan dalam tiap spesies
terdapat pula variasi genetik yang sangat kaya. Jutaan tahun diperlukan untuk
membentuk komunitas biologi yang ada di dunia, termasuk hutan tropika humida,
terumbu karang, hutan tua di daerah iklim sejuk, dan padang rumput. Namun,
semuanya sedang mengalami kerusakan parah akibat ulah manusia. Ribuan bahkan
puluhan ribu spesies dan jutaan populasi yang unik diduga akan punah dalam
beberapa dekade ke depan (Lawton dan May 1995; Levin 2001; Jackson 2002).
Biologi konservasi adalah ilmu lintas-disiplin (terpadu) yang dikembangkan
untuk menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan ekosistem. Ada
tiga tujuan dalam biologi konservasi, yaitu:
1. Menyelidiki dampak manusia terhadap keberadaan dan kelangsungan
hidup spesies, komunitas, dan ekosistem
2. Mengembangkan pendekatan praktis untuk mencegah kepunahan
spesies, menjaga variasi genetik dalam spesies, serta melindungi dan
memperbaiki komunitas biologi dan fungsi ekosistem terkait
3. Mempelajari serta mendokumentasi seluruh aspek keanekaragaman
hayati di bumi
(Wilson 1992)
Biologi konservasi muncul pada tahun 1980-an akibat disiplin ilmu terapan
yang bersifat tradisional mengenai pengelolaan sumber daya, termasuk kehutanan,
pertanian, biologi perikanan, dan pengelolaan satwa liar, tidak cukup komprehensif
untuk mengatasi ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati. Biologi
konservasi berbeda dengan disiplin ilmu terapan karena lebih memberi penekanan
pada pemeliharaan jangka panjang bagi seluruh komunitas biologi, dan sekaligus
penekanan bagi keberlanjutan ekonomi.
Keanekaragaman hayati, menurut World Wildlife Fund (1989), adalah
jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki,
serta ekosistem rumit yang mereka bantu menjadi lingkungan hidup.
Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat:
1. Keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan
Protista serta spesies dari Kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur,
hewan, multiseluler).
2. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies, baik di
antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di
antara individu- individu dalam satu populasi.
3. Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta
asosiasinya dengan ekosistem masing-masing
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Keunikan dan tingginya keanekaragaman hayati tidak terlepas dari latar
belakang iklim, sejarah geologi, unit biogeografi, proses spesiasi, bentuk (serta
jumlah dan ukuran) pulau, jumlah ekosistem dan seterusnya (Darlington 1957;
Whittaker 1998). Indonesia terletak di daerah tropika yang iklimnya stabil
sepanjang tahun dan menyebabkan terbentuknya habitat dan relung yang lebih
banyak dibanding dengan bioma lainnya.
Meletusnya Gunung Krakatau dengan begitu hebat pada tahun 1883
membuat kepulauan gunung berapi tersebut terkenal dan sangat penting secara
ekologi. Setelah letusan tersbut, tidak saja seluruh vegetasi dan hewan pada
permukaan terbakar, tetapi hampir dapat dipastikan bahwa seluruh permukaan
tanah menjadi steril. Dengan demikian , dapat dilakukan pengamatan
bagaimana caranya tumbuhan dan hewan melakukan kolonisasi di atas lahan
perawan (Dammerman; 1948).
Berdasarkan sejarah geologinya, pulau-pulau di Indonesia dapat terbagi
atas dua kelompok:
1. Pulau laut; pulau yang belum pernah berhubungan dengan daratan
lainnya (misalnya Simuelue, Enggano, Buru, Kai, dan Tanimbar).
Pulau-pulau lautan hanya dapat memperoleh keanekaragaman hayati
dari migrasi satwa dan tumbuhan, yang berasal dari tempat-empat yang
lain.
2. Pulau Benua; pulau yang pada masa lampau mempunyai hubungan
dengan daratan atau benua lainnya karena turunnya permukaan laut
(misalnya Nias, Bawean, Natuna, Belitung, Sumba, dan Aru). Pulau-
pulau benua memperoleh keanekaragaman hayatinya ketika pulau-pulau
tersebut berhubungan dengan benua. Pulau-pulau ini memperoleh
tambahan dari hasil migrasi tumbuhan dan satwa.
2.2. Upaya Konservasi Spesies dan Penangkaran Biota
Konservasi spesies di Indonesia dilakukan melalui berbagai peraturan
perlindungan dan pembatasan perdagangan hidupan liar, serta berbagai
program penangkaran yang diupayakan berorientasi pada perlindungan dan
pemanfaatan berkelanjutan. Lokasi-lokasi ex-situ terkait termasuk taman
botani, taman safari, kebun binatang, penangkaran burung, buaya serta
berbagai reptile lain, Pusat Konservasi Gajah, dan sebagainya.
CITES yang merupakan konvensi atau perjanjian internasional yang
mengatur perdagangan internasional terhadap berbagai spesies tumbuhan dan
satwa terancam punah, yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1978 telah
mulai dilaksanakan. Tanggung jawab pelaksanaan, khususnya dalam mengatur
tata laksan ekspor dan impor spesies tumbuhan dan satwa, berada pada LIPI
dan PHKA. LIPI, khususnya Pusat Penelitian Biologi, bertanggung jawab
menjalankan fungsi ilmiah (CITES Scientific Authority), dan PHKA
melaksanakan fungsi manajemen (CITES Management Authority).
Pendefinisian mengenai berbagai bentuk kawasan yang dilindungi
diatur dalam berbagai peraturan perundangan terkait, di antaranya adalah UU
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, dan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Kawasan Lindung. Bahkan, kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pun
pernah diatur, melalui SK Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan
Menteri Kehutanan No. 9 K/06/MPR/1989 Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang
Pedoman Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan
Hutan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, kawasan yang
dilindungi (kawasan konservasi) bagi pelestarian alam terbagi atas dua
kelompok utama, yaitu Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
serta hutan yang dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan yaitu
Hutan Lindung.
1. Kawasan Suaka Alam
Kawasan suaka alam merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di daratan maupun di perairan, yang memiliki fungsi utama sebagai
penyangga kehidupan. Terdapat dua macam kawasan, yaitu Cagar Alam
dan Suaka Margasatwa. Cagar alam hanya dapat dilakukan kegiatan-
kegiatan terbaas untuk kepentingan penelitian, pendiidkan,
pengembangan ilmu pengetahuan, dan kegiatan yang menunjang
budidaya. Suaka margasatwa berfungsi untuk melestarikan
keanekaragaman atau keunikan jenis satwa, sehingga dimungkinkan
dilakukan kegiatan pembinaan habitatnya untuk tujuan penelitian,
pendidikan dan juga wisata terbatas. Kawasan suaka alam dapat juga
dijadikan kawasan biosfir, yaitu kawasan yang memiliki ekosistem asli,
unik, dan/atau yang terdegradasi yang dilindungi untuk keperluan
penelitian dan pendidikan.
2. Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan yang hampir sama dengan
kawasan suaka alam, hanya saja memiliki fungsi lebih, yaitu dapat
dimanfaatkan sumber daya hayati dan ekosistemnya secara lestari.
Contohnya adalah Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, serta
dimanfaatkan untuk tujuan-tuuan penelitian, pendidikan, serta
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekerasi. Taman Hutan Raya
adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang
alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan untuk
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan
pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi.
3. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah hutan-hutan yang fungsinya untuk melindungi
kawasan hutan sebagai sumber daya air, tanah, dan ekosistem, sehingga
dapat memberikan perlindungan pada sistem penyangga kehidupan.
3.3.Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Berdasarkan amandemen UUD 1945, keanekaragaman hayati yang
berupa ekosistem hutan tercakup dalam pengertian ‘bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria sera
UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
merupakan dua undang-undang pertama setelah kemerdekaan Indonesia
yang memberikan dasr hukum bagi pengelolaan keanekaragaman hayati.
Penguatan dasar hukum untuk konservasi keanekaragaman hayati terjadi
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (sering disebut KSDH) memiliki latar
belakang tersendiri. UU ini mengatur perlindungan keanekaragaman hayati
bagi spesies dan ekosistemnya. UU ini merupakan turunan dari UU No. 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Sembiring dan Husbani; 1999). Dasar hukum perlindungan spesies
di Indonesia berawal pada masa pendudukan Belanda
(Dierenschbechermings Ordonantie; 1931 dan Dierenschbechermings
Verordening 193, Ordonansi Pelindungan Binatang Liar No. 134 tahun
1931, Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura No. 133 tahun 1939)
berdasarkan pasal 43 UU No. 5 Tahun 1990 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Namun, pasal 42 UU nNo. 5 Tahun 1990 memuat suatu ketentuan
perlaihan, sehingga berbagai Keputusan Menteri Pertanian ang menetapkan
berbagai spesies dilindungi masih tetap berlaku sebagai peraturan pelaksana
(Marpaung; 1995).
3.4.Konvensi Nagoya
Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya pada 8 Mei 2013 dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, dua tahun setelah protokol tersebut
ditandatangani. Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi. Tanggal 12
Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan
berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara dan telah
90 hari diterima Sekretaris Jenderal PBB.
Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan
pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi
Keragaman Hayati. Implikasi dari diterimanya protokol ini yaitu akan ada
pengaturan pemanfaatan dan perdagangan keragaman hayati secara global,
termasuk pembagian keuntungan, persetujuan transfer yang menguntungkan,
dan pemberitahuan kepada pemangku kepentingan, alih teknologi, dan lain-
lain.
Protokol Nagoya fokus terhadap sumber daya genetik. Protokol Nagoya
harus memperhatikan hak masyarakat adat sehingga Protokol Nagoya ini tidak
menutup akses masyarakat terhadap property right-nya. Pengaturan dalam
Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan
terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional,
termasuk pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain, mencegah
pencurian sumber daya genetika atau biopiracy. Akses terhadap sumber daya
tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum
nasional.
RUU Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum
internasional, yaitu negara mempunyai kebijakan lingkungan hidup dan
pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatan di dalam yuridiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan
kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yuridiksi
negara lain.
Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber
baru bahan baku kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri
memusatkan perhatian pada negara dengan keragaman hayati tinggi seperti
Indonesia. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan industri farmasi
internasional melalui dua cara. Pertama, mengurangi peran bioprospeksi
menjadi sekadar alat pencari uang. Namun, ekspor dan eksploitasi sumber daya
alam skala besar dapat menyebabkan menurunnya persediaan bahan baku alam
tanpa menghasilkan keuntungan dan teknologi apa pun. Dengan dukungan dari
Konvensi Keragaman Hayati, pilihan kedua adalah mengelola secara komersial
sumber daya alam yang dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan
penduduk lokal.
Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk
membangun kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang
berhubungan dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi
sampel. Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan
kapasitas teknologi, tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.
Keanggotaan negara akan menegaskan penguasaan negara atas sumber
daya genetika serta kedaulatan negara atas pengaturan akses dan pengetahuan
tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan
Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy dan
pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati.
BAB III
Kesimpulan
Biologi konservasi adalah ilmu lintas-disiplin (terpadu) yang dikembangkan untuk
menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan ekosistem. Keanekaragaman
hayati, menurut World Wildlife Fund (1989), adalah jutaan tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang mereka
bantu menjadi lingkungan hidup. Keunikan dan tingginya keanekaragaman hayati tidak
terlepas dari latar belakang iklim, sejarah geologi, unit biogeografi, proses spesiasi, bentuk
(serta jumlah dan ukuran) pulau, jumlah ekosistem dan seterusnya (Darlington 1957;
Whittaker 1998). Konservasi spesies di Indonesia dilakukan melalui berbagai peraturan
perlindungan dan pembatasan perdagangan hidupan liar, serta berbagai program
penangkaran yang diupayakan berorientasi pada perlindungan dan pemanfaatan
berkelanjutan.
Indonesia menjadi negara ke-26 yang telah meratifikasi Protokol Nagoya, pada 8
Mei 2013 dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013. Protokol Nagoya mengatur
akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari
pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati. Pengaturan dalam Protokol Nagoya
bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya
genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk pemanfaatan produk turunannya
(derivatif).
LAMPIRAN
LALAPwwwukumonline.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2013
TENTANG
PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES
AND THE FAIR AND
EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION
TO THE CONVENTION ON
BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA
SUMBER DAYA GENETIK DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL
DAN SEIMBANG YANG TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS
KONVENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang melimpah dan bernilai
ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan sumber daya genetik harus diberikan berdasarkan persetujuan dari
penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan
sumber daya genetik;
c. bahwa pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan sumber daya genetik harus memberikan keuntungan yang adil dan
seimbang kepada penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan sumber daya genetik;
d. bahwa Pemerintah Indonesia pada tanggal 11 Mei 2011 telah menandatangani
Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable
Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological
Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari
Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) yang mengatur tentang
prosedur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang kepada
penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan
sumber daya genetik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu mengesahkan Nagoya Protocol on Access to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their
Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang
Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan
Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman
Hayati) dengan Undang-Undang.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON TO
GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF
BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE CONVENTION ON
BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA
SUMBER DAYA GENETIK DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL DAN
SEIMBANG YANG TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS KONVENSI
KEANEKARAGAMAN HAYATI).
Pasal 1
(1) Mengesahkan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and
Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on
Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik
dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari
Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati).
(2) Salinan naskah asli pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources
and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the
Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber
Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul
dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) dalam bahasa Inggris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 8 Mei 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
www.hukumonline.com
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 8 Mei 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 73
www.hukumonline.com
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2013
TENTANG
PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES
AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM
THEIR UTILIZATION TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY
(PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA SUMBER DAYA GENETIK
DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL DAN SEIMBANG YANG
TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS KONVENSI KEANEKARAGAMAN
HAYATI)
I. UMUM
Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang melimpah dan bernilai
ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, perlu dilakukan berbagai langkah, seperti
melakukan inventarisasi terhadap berbagai potensi sumber daya yang dapat
dijadikan modal pembangunan. Sumber daya dimaksud salah satunya adalah
sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan
sumber daya genetik yang memiliki nilai ekonomis. Selanjutnya, sumber daya
tersebut perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan.
Berdasarkan hasil toponimi atau inventarisasi dan penamaan pulau oleh
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian
Kelautan dan Perikanan, tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487
(tiga belas ribu empat ratus delapan puluh tujuh) pulau. Pulau yang satu dan
yang lain dipisahkan oleh lautan sehingga membuahkan 47 (empat puluh tujuh)
ekosistem yang sangat berbeda.
Sedangkan berdasarkan Status Keanekaragaman Hayati Indonesia yang
diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2011, keragaman
spesies yang dimiliki Indonesia, terdiri atas:
a. 707 (tujuh ratus tujuh) spesies mamalia;
b. 1.602 (seribu enam ratus dua) spesies burung;
c. 1.112 (seribu seratus dua belas) spesies amfibi dan reptil;
d. 2.800 (dua ribu delapan ratus) spesies invertebrata;
e. 1.400 (seribu empat ratus) spesies ikan;
f. 35 (tiga puluh lima) spesies primata; dan
g. 120 (seratus dua puluh) spesies kupu-kupu.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia
memiliki 450 (empat ratus lima puluh) spesies terumbu karang dari 700 (tujuh
ratus) spesies dunia.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki
keanekaragaman sumber daya genetik dan ekosistem dengan karakteristik
tertentu. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang semakin beragam dan kompleks.
Upaya perlindungan terhadap sumber daya genetik telah dilakukan melalui
alokasi sejumlah kawasan, baik di darat, di pesisir, maupun di laut untuk
dijadikan kawasan konservasi dalam berbagai bentuk seperti taman nasional,
kawasan konservasi daratan dan perairan, dan suaka margasatwa darat dan laut.
Selain bertujuan untuk melindungi sumber daya genetik, kawasan konservasi
juga dimaksudkan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan sumber daya pesisir dan lautan dengan meningkatkan kualitas
nilai dan keanekaragamannya. Upaya lain yang telah dilakukan termasuk
membangun peta ekologi wilayah Indonesia.
Selain itu, perlindungan tersebut dimaksudkan juga untuk menjaga
kesinambungan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
yang berkaitan dengan sumber daya genetik bagi generasi yang akan datang.
Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara
berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan
komunitas lokal kepada generasi berikutnya. Untuk itu, dalam melestarikan
dan memanfaatkan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan sumber daya genetik, harus terpolakan dan tercermin dalam
pengetahuan, inovasi, dan praktik yang terkait serta perlu dikembangkan
pengaturan pengelolaannya sehingga dapat menampung dinamika dan aspirasi
masyarakat hukum adat dan komunitas lokal.
Dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada
saat ini pemanfaatan sumber daya genetik tidak terbatas pada sumber daya
genetiknya saja tetapi juga terhadap produk turunannya (derivatives) dari
sumber daya genetik tersebut. Produk turunan merupakan suatu senyawa
biokimia alami yang dihasilkan dari ekspresi genetik atau hasil metabolisme
sumber daya hayati atau genetik. Produk turunannya tersebut dapat berupa:
a. individu hasil persilangan/perkawinan/metode lainnya;
b. bahan aktif dari hasil metabolisme sumber daya genetik;
c. enzim; dan
d. gen.
Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian
Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Nagoya Protocol on Access to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their
Utilization to the Convention on Biological Diversity) yang selanjutnya disebut
Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional di bidang lingkungan
hidup dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mengatur akses
terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan
seimbang antara pemanfaat dan penyedia sumber daya genetik berdasarkan
persetujuan atas dasar informasi awal dan kesepakatan bersama serta bertujuan
untuk mencegah pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Perjanjian
Protokol Nagoya merupakan perjanjian yang sangat penting bagi Negara
Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang adil dan seimbang
yang timbul dari pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol
Nagoya, antara lain:
1. Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
2. Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal
utilization) terhadap keanekaragaman hayati.
3. Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang
adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia
sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed
Terms).
4. Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan
yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan
kesepakatan bersama.
5. Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana
diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-
hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber
daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber
daya genetik.
7. Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi
dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu
negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi
sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan
pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan
kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas
yurisdiksi negara yang bersangkutan.
Peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan Protokol
Nagoya, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya
Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3656);
f. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
h. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);
i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);
j. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
k. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
l. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
m. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4739);
n. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian
mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4612);
o. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
p. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
r. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5068);
s. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5073).
Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran.
Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil
dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik;
b. pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan
seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed
Terms);
c. akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang
berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan
atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia
sumber daya genetik;
d. penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian
nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik
dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan;
e. mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral
benefit sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara;
f. mekanisme kelembagaan diatur dengan:
1) penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA)
sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan
kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar
informasi awal serta kesepakatan bersama; dan
2) penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang
berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga
berfungsi sebagai NCA;
g. pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang
merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran
informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan
atas pemanfaatan sumber daya genetik;
h. penaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses
dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik;
i. pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints)
pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi,
prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang
diakui secara internasional;
j. penaatan terhadap kesepakatan bersama Penyedia (provider) dan pemanfaat
(user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas
pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian
sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan
pilihan forum penyelesaian sengketa;
k. model klausul kontrak kesepakatan bersama Negara Pihak mendorong
pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak
dalam kesepakatan bersama;
l. kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar Negara Pihak
mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik
sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan
akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya
genetik;
m. peningkatan kesadaran Negara Pihak melakukan upaya untuk
meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan
isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan;
n. peningkatan kapasitas Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan
kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain
pengembangan:
1) kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajiban-
kewajiban dalam Protokol Nagoya;
2) kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;
3) kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan
menegakkan langkah-langkah legislatif, administratif atau kebijakan
nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan
4) kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk
menambahkan nilai pada sumber daya genetik.
o. transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama Negara Pihak meningkatkan
dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk
pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya
genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal
sumber daya genetic;
p. prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya
Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja
sama dan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan
penanganan kasus ketidaktaatan terhadap substansi Protokol Nagoya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5412
DAFTAR PUSTAKA
Indrawan, Mochamad; Richard B., Primack; Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi-
Edisi Revisi. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5053379b7e4d3/ratifikasi-protokol-nagoya-
dan-konvensi-rotterdam-dinilai-tepat
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/apa-manfaat-perjanjian-protokol-nagoya
bagi-indonesia
top related