keanekaragaman hayati

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Minat masyarakat umum untuk melindungi keanekaragaman hayati dunia semakin meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini. Baik ilmuwan maupun masyarakat umum kini memahami bawa kita hidup dalam periode pemusnahan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Keanekaragaman hayati di dunia mencakup spesies yang luar biasa banyak jumlahnya. Keanekaragaman hayati tersebut melibatkan komunitas bologi yang kompleks, dan dalam tiap spesies terdapat pula variasi genetik yang sangat kaya. Jutaan tahun diperlukan untuk membentuk komunitas biologi yang ada di dunia, termasuk hutan tropika humida, terumbu karang, hutan tua di daerah iklim sejuk, dan padang rumput. Namun, semuanya sedang mengalami kerusakan parah akibat ulah manusia. Ribuan bahkan puluhan ribu spesies dan jutaan populasi yang unik diduga akan punah dalam beberapa dekade ke depan (Lawton dan May 1995; Levin 2001; Jackson 2002). Biologi konservasi adalah ilmu lintas-disiplin (terpadu) yang dikembangkan untuk menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan ekosistem. Ada tiga tujuan dalam biologi konservasi, yaitu: 1. Menyelidiki dampak manusia terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup spesies, komunitas, dan ekosistem 2. Mengembangkan pendekatan praktis untuk mencegah kepunahan spesies, menjaga variasi genetik dalam spesies, serta melindungi dan memperbaiki komunitas biologi dan fungsi ekosistem terkait 3. Mempelajari serta mendokumentasi seluruh aspek keanekaragaman hayati di bumi (Wilson 1992) Biologi konservasi muncul pada tahun 1980-an akibat disiplin ilmu terapan yang bersifat tradisional mengenai pengelolaan sumber daya, termasuk kehutanan,

Upload: yuni-ratnasari

Post on 16-Jul-2015

91 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Keanekaragaman Hayati

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Minat masyarakat umum untuk melindungi keanekaragaman hayati dunia

semakin meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini. Baik ilmuwan maupun

masyarakat umum kini memahami bawa kita hidup dalam periode pemusnahan

keanekaragaman hayati yang luar biasa. Keanekaragaman hayati di dunia

mencakup spesies yang luar biasa banyak jumlahnya. Keanekaragaman hayati

tersebut melibatkan komunitas bologi yang kompleks, dan dalam tiap spesies

terdapat pula variasi genetik yang sangat kaya. Jutaan tahun diperlukan untuk

membentuk komunitas biologi yang ada di dunia, termasuk hutan tropika humida,

terumbu karang, hutan tua di daerah iklim sejuk, dan padang rumput. Namun,

semuanya sedang mengalami kerusakan parah akibat ulah manusia. Ribuan bahkan

puluhan ribu spesies dan jutaan populasi yang unik diduga akan punah dalam

beberapa dekade ke depan (Lawton dan May 1995; Levin 2001; Jackson 2002).

Biologi konservasi adalah ilmu lintas-disiplin (terpadu) yang dikembangkan

untuk menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan ekosistem. Ada

tiga tujuan dalam biologi konservasi, yaitu:

1. Menyelidiki dampak manusia terhadap keberadaan dan kelangsungan

hidup spesies, komunitas, dan ekosistem

2. Mengembangkan pendekatan praktis untuk mencegah kepunahan

spesies, menjaga variasi genetik dalam spesies, serta melindungi dan

memperbaiki komunitas biologi dan fungsi ekosistem terkait

3. Mempelajari serta mendokumentasi seluruh aspek keanekaragaman

hayati di bumi

(Wilson 1992)

Biologi konservasi muncul pada tahun 1980-an akibat disiplin ilmu terapan

yang bersifat tradisional mengenai pengelolaan sumber daya, termasuk kehutanan,

Page 2: Keanekaragaman Hayati

pertanian, biologi perikanan, dan pengelolaan satwa liar, tidak cukup komprehensif

untuk mengatasi ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati. Biologi

konservasi berbeda dengan disiplin ilmu terapan karena lebih memberi penekanan

pada pemeliharaan jangka panjang bagi seluruh komunitas biologi, dan sekaligus

penekanan bagi keberlanjutan ekonomi.

Keanekaragaman hayati, menurut World Wildlife Fund (1989), adalah

jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki,

serta ekosistem rumit yang mereka bantu menjadi lingkungan hidup.

Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat:

1. Keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan

Protista serta spesies dari Kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur,

hewan, multiseluler).

2. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies, baik di

antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di

antara individu- individu dalam satu populasi.

3. Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta

asosiasinya dengan ekosistem masing-masing

Page 3: Keanekaragaman Hayati

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Keunikan dan tingginya keanekaragaman hayati tidak terlepas dari latar

belakang iklim, sejarah geologi, unit biogeografi, proses spesiasi, bentuk (serta

jumlah dan ukuran) pulau, jumlah ekosistem dan seterusnya (Darlington 1957;

Whittaker 1998). Indonesia terletak di daerah tropika yang iklimnya stabil

sepanjang tahun dan menyebabkan terbentuknya habitat dan relung yang lebih

banyak dibanding dengan bioma lainnya.

Meletusnya Gunung Krakatau dengan begitu hebat pada tahun 1883

membuat kepulauan gunung berapi tersebut terkenal dan sangat penting secara

ekologi. Setelah letusan tersbut, tidak saja seluruh vegetasi dan hewan pada

permukaan terbakar, tetapi hampir dapat dipastikan bahwa seluruh permukaan

tanah menjadi steril. Dengan demikian , dapat dilakukan pengamatan

bagaimana caranya tumbuhan dan hewan melakukan kolonisasi di atas lahan

perawan (Dammerman; 1948).

Berdasarkan sejarah geologinya, pulau-pulau di Indonesia dapat terbagi

atas dua kelompok:

1. Pulau laut; pulau yang belum pernah berhubungan dengan daratan

lainnya (misalnya Simuelue, Enggano, Buru, Kai, dan Tanimbar).

Pulau-pulau lautan hanya dapat memperoleh keanekaragaman hayati

dari migrasi satwa dan tumbuhan, yang berasal dari tempat-empat yang

lain.

2. Pulau Benua; pulau yang pada masa lampau mempunyai hubungan

dengan daratan atau benua lainnya karena turunnya permukaan laut

(misalnya Nias, Bawean, Natuna, Belitung, Sumba, dan Aru). Pulau-

pulau benua memperoleh keanekaragaman hayatinya ketika pulau-pulau

tersebut berhubungan dengan benua. Pulau-pulau ini memperoleh

tambahan dari hasil migrasi tumbuhan dan satwa.

Page 4: Keanekaragaman Hayati

2.2. Upaya Konservasi Spesies dan Penangkaran Biota

Konservasi spesies di Indonesia dilakukan melalui berbagai peraturan

perlindungan dan pembatasan perdagangan hidupan liar, serta berbagai

program penangkaran yang diupayakan berorientasi pada perlindungan dan

pemanfaatan berkelanjutan. Lokasi-lokasi ex-situ terkait termasuk taman

botani, taman safari, kebun binatang, penangkaran burung, buaya serta

berbagai reptile lain, Pusat Konservasi Gajah, dan sebagainya.

CITES yang merupakan konvensi atau perjanjian internasional yang

mengatur perdagangan internasional terhadap berbagai spesies tumbuhan dan

satwa terancam punah, yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1978 telah

mulai dilaksanakan. Tanggung jawab pelaksanaan, khususnya dalam mengatur

tata laksan ekspor dan impor spesies tumbuhan dan satwa, berada pada LIPI

dan PHKA. LIPI, khususnya Pusat Penelitian Biologi, bertanggung jawab

menjalankan fungsi ilmiah (CITES Scientific Authority), dan PHKA

melaksanakan fungsi manajemen (CITES Management Authority).

Pendefinisian mengenai berbagai bentuk kawasan yang dilindungi

diatur dalam berbagai peraturan perundangan terkait, di antaranya adalah UU

Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, dan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang

Kawasan Lindung. Bahkan, kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pun

pernah diatur, melalui SK Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan

Menteri Kehutanan No. 9 K/06/MPR/1989 Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang

Pedoman Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan

Hutan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, kawasan yang

dilindungi (kawasan konservasi) bagi pelestarian alam terbagi atas dua

kelompok utama, yaitu Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,

serta hutan yang dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan yaitu

Hutan Lindung.

1. Kawasan Suaka Alam

Page 5: Keanekaragaman Hayati

Kawasan suaka alam merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik

di daratan maupun di perairan, yang memiliki fungsi utama sebagai

penyangga kehidupan. Terdapat dua macam kawasan, yaitu Cagar Alam

dan Suaka Margasatwa. Cagar alam hanya dapat dilakukan kegiatan-

kegiatan terbaas untuk kepentingan penelitian, pendiidkan,

pengembangan ilmu pengetahuan, dan kegiatan yang menunjang

budidaya. Suaka margasatwa berfungsi untuk melestarikan

keanekaragaman atau keunikan jenis satwa, sehingga dimungkinkan

dilakukan kegiatan pembinaan habitatnya untuk tujuan penelitian,

pendidikan dan juga wisata terbatas. Kawasan suaka alam dapat juga

dijadikan kawasan biosfir, yaitu kawasan yang memiliki ekosistem asli,

unik, dan/atau yang terdegradasi yang dilindungi untuk keperluan

penelitian dan pendidikan.

2. Kawasan Pelestarian Alam

Kawasan pelestarian alam adalah kawasan yang hampir sama dengan

kawasan suaka alam, hanya saja memiliki fungsi lebih, yaitu dapat

dimanfaatkan sumber daya hayati dan ekosistemnya secara lestari.

Contohnya adalah Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman

Wisata Alam. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, serta

dimanfaatkan untuk tujuan-tuuan penelitian, pendidikan, serta

menunjang budidaya, pariwisata, dan rekerasi. Taman Hutan Raya

adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang

alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan untuk

kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan

pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi.

3. Hutan Lindung

Hutan lindung adalah hutan-hutan yang fungsinya untuk melindungi

kawasan hutan sebagai sumber daya air, tanah, dan ekosistem, sehingga

dapat memberikan perlindungan pada sistem penyangga kehidupan.

Page 6: Keanekaragaman Hayati

3.3.Undang-undang dan Peraturan Pemerintah

Berdasarkan amandemen UUD 1945, keanekaragaman hayati yang

berupa ekosistem hutan tercakup dalam pengertian ‘bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria sera

UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

merupakan dua undang-undang pertama setelah kemerdekaan Indonesia

yang memberikan dasr hukum bagi pengelolaan keanekaragaman hayati.

Penguatan dasar hukum untuk konservasi keanekaragaman hayati terjadi

dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (sering disebut KSDH) memiliki latar

belakang tersendiri. UU ini mengatur perlindungan keanekaragaman hayati

bagi spesies dan ekosistemnya. UU ini merupakan turunan dari UU No. 4

Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

Hidup (Sembiring dan Husbani; 1999). Dasar hukum perlindungan spesies

di Indonesia berawal pada masa pendudukan Belanda

(Dierenschbechermings Ordonantie; 1931 dan Dierenschbechermings

Verordening 193, Ordonansi Pelindungan Binatang Liar No. 134 tahun

1931, Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura No. 133 tahun 1939)

berdasarkan pasal 43 UU No. 5 Tahun 1990 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Namun, pasal 42 UU nNo. 5 Tahun 1990 memuat suatu ketentuan

perlaihan, sehingga berbagai Keputusan Menteri Pertanian ang menetapkan

berbagai spesies dilindungi masih tetap berlaku sebagai peraturan pelaksana

(Marpaung; 1995).

Page 7: Keanekaragaman Hayati

3.4.Konvensi Nagoya

Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya pada 8 Mei 2013 dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, dua tahun setelah protokol tersebut

ditandatangani. Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi. Tanggal 12

Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan

berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara dan telah

90 hari diterima Sekretaris Jenderal PBB.

Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan

pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi

Keragaman Hayati. Implikasi dari diterimanya protokol ini yaitu akan ada

pengaturan pemanfaatan dan perdagangan keragaman hayati secara global,

termasuk pembagian keuntungan, persetujuan transfer yang menguntungkan,

dan pemberitahuan kepada pemangku kepentingan, alih teknologi, dan lain-

lain.

Protokol Nagoya fokus terhadap sumber daya genetik. Protokol Nagoya

harus memperhatikan hak masyarakat adat sehingga Protokol Nagoya ini tidak

menutup akses masyarakat terhadap property right-nya. Pengaturan dalam

Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan

terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional,

termasuk pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain, mencegah

pencurian sumber daya genetika atau biopiracy. Akses terhadap sumber daya

tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum

nasional.

RUU Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum

internasional, yaitu negara mempunyai kebijakan lingkungan hidup dan

pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa

kegiatan di dalam yuridiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan

kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yuridiksi

negara lain.

Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber

baru bahan baku kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri

memusatkan perhatian pada negara dengan keragaman hayati tinggi seperti

Indonesia. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan industri farmasi

Page 8: Keanekaragaman Hayati

internasional melalui dua cara. Pertama, mengurangi peran bioprospeksi

menjadi sekadar alat pencari uang. Namun, ekspor dan eksploitasi sumber daya

alam skala besar dapat menyebabkan menurunnya persediaan bahan baku alam

tanpa menghasilkan keuntungan dan teknologi apa pun. Dengan dukungan dari

Konvensi Keragaman Hayati, pilihan kedua adalah mengelola secara komersial

sumber daya alam yang dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan

penduduk lokal.

Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk

membangun kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang

berhubungan dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi

sampel. Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan

kapasitas teknologi, tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.

Keanggotaan negara akan menegaskan penguasaan negara atas sumber

daya genetika serta kedaulatan negara atas pengaturan akses dan pengetahuan

tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan

Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy dan

pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati.

Page 9: Keanekaragaman Hayati

BAB III

Kesimpulan

Biologi konservasi adalah ilmu lintas-disiplin (terpadu) yang dikembangkan untuk

menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan ekosistem. Keanekaragaman

hayati, menurut World Wildlife Fund (1989), adalah jutaan tumbuhan, hewan, dan

mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang mereka

bantu menjadi lingkungan hidup. Keunikan dan tingginya keanekaragaman hayati tidak

terlepas dari latar belakang iklim, sejarah geologi, unit biogeografi, proses spesiasi, bentuk

(serta jumlah dan ukuran) pulau, jumlah ekosistem dan seterusnya (Darlington 1957;

Whittaker 1998). Konservasi spesies di Indonesia dilakukan melalui berbagai peraturan

perlindungan dan pembatasan perdagangan hidupan liar, serta berbagai program

penangkaran yang diupayakan berorientasi pada perlindungan dan pemanfaatan

berkelanjutan.

Indonesia menjadi negara ke-26 yang telah meratifikasi Protokol Nagoya, pada 8

Mei 2013 dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013. Protokol Nagoya mengatur

akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari

pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati. Pengaturan dalam Protokol Nagoya

bertujuan memberi akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya

genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk pemanfaatan produk turunannya

(derivatif).

Page 10: Keanekaragaman Hayati

LAMPIRAN

LALAPwwwukumonline.com

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2013

TENTANG

PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES

AND THE FAIR AND

EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION

TO THE CONVENTION ON

BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA

SUMBER DAYA GENETIK DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL

DAN SEIMBANG YANG TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS

KONVENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang melimpah dan bernilai

ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang

berkaitan dengan sumber daya genetik harus diberikan berdasarkan persetujuan dari

penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan

sumber daya genetik;

Page 11: Keanekaragaman Hayati

c. bahwa pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang

berkaitan dengan sumber daya genetik harus memberikan keuntungan yang adil dan

seimbang kepada penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang

berkaitan dengan sumber daya genetik;

d. bahwa Pemerintah Indonesia pada tanggal 11 Mei 2011 telah menandatangani

Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable

Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological

Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan

Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari

Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) yang mengatur tentang

prosedur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang kepada

penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan

sumber daya genetik;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,

huruf c, dan huruf d perlu mengesahkan Nagoya Protocol on Access to Genetic

Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their

Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang

Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan

Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman

Hayati) dengan Undang-Undang.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3882);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).

Page 12: Keanekaragaman Hayati

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON TO

GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF

BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE CONVENTION ON

BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA

SUMBER DAYA GENETIK DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL DAN

SEIMBANG YANG TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS KONVENSI

KEANEKARAGAMAN HAYATI).

Pasal 1

(1) Mengesahkan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and

Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on

Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik

dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari

Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati).

(2) Salinan naskah asli pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources

and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the

Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber

Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul

dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) dalam bahasa Inggris

dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Page 13: Keanekaragaman Hayati

Pasal 2

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini

dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 8 Mei 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

www.hukumonline.com

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 8 Mei 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 73

www.hukumonline.com

Page 14: Keanekaragaman Hayati

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2013

TENTANG

PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES

AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM

THEIR UTILIZATION TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY

(PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA SUMBER DAYA GENETIK

DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL DAN SEIMBANG YANG

TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS KONVENSI KEANEKARAGAMAN

HAYATI)

I. UMUM

Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional

yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang melimpah dan bernilai

ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk melaksanakan amanat tersebut, perlu dilakukan berbagai langkah, seperti

melakukan inventarisasi terhadap berbagai potensi sumber daya yang dapat

dijadikan modal pembangunan. Sumber daya dimaksud salah satunya adalah

sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan

sumber daya genetik yang memiliki nilai ekonomis. Selanjutnya, sumber daya

tersebut perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan

secara berkelanjutan.

Berdasarkan hasil toponimi atau inventarisasi dan penamaan pulau oleh

Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian

Kelautan dan Perikanan, tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487

(tiga belas ribu empat ratus delapan puluh tujuh) pulau. Pulau yang satu dan

Page 15: Keanekaragaman Hayati

yang lain dipisahkan oleh lautan sehingga membuahkan 47 (empat puluh tujuh)

ekosistem yang sangat berbeda.

Sedangkan berdasarkan Status Keanekaragaman Hayati Indonesia yang

diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2011, keragaman

spesies yang dimiliki Indonesia, terdiri atas:

a. 707 (tujuh ratus tujuh) spesies mamalia;

b. 1.602 (seribu enam ratus dua) spesies burung;

c. 1.112 (seribu seratus dua belas) spesies amfibi dan reptil;

d. 2.800 (dua ribu delapan ratus) spesies invertebrata;

e. 1.400 (seribu empat ratus) spesies ikan;

f. 35 (tiga puluh lima) spesies primata; dan

g. 120 (seratus dua puluh) spesies kupu-kupu.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia

memiliki 450 (empat ratus lima puluh) spesies terumbu karang dari 700 (tujuh

ratus) spesies dunia.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara

yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki

keanekaragaman sumber daya genetik dan ekosistem dengan karakteristik

tertentu. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk

memenuhi kebutuhan hidup yang semakin beragam dan kompleks.

Upaya perlindungan terhadap sumber daya genetik telah dilakukan melalui

alokasi sejumlah kawasan, baik di darat, di pesisir, maupun di laut untuk

dijadikan kawasan konservasi dalam berbagai bentuk seperti taman nasional,

kawasan konservasi daratan dan perairan, dan suaka margasatwa darat dan laut.

Selain bertujuan untuk melindungi sumber daya genetik, kawasan konservasi

juga dimaksudkan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungan sumber daya pesisir dan lautan dengan meningkatkan kualitas

nilai dan keanekaragamannya. Upaya lain yang telah dilakukan termasuk

membangun peta ekologi wilayah Indonesia.

Page 16: Keanekaragaman Hayati

Selain itu, perlindungan tersebut dimaksudkan juga untuk menjaga

kesinambungan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional

yang berkaitan dengan sumber daya genetik bagi generasi yang akan datang.

Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara

berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan

komunitas lokal kepada generasi berikutnya. Untuk itu, dalam melestarikan

dan memanfaatkan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang

berkaitan dengan sumber daya genetik, harus terpolakan dan tercermin dalam

pengetahuan, inovasi, dan praktik yang terkait serta perlu dikembangkan

pengaturan pengelolaannya sehingga dapat menampung dinamika dan aspirasi

masyarakat hukum adat dan komunitas lokal.

Dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada

saat ini pemanfaatan sumber daya genetik tidak terbatas pada sumber daya

genetiknya saja tetapi juga terhadap produk turunannya (derivatives) dari

sumber daya genetik tersebut. Produk turunan merupakan suatu senyawa

biokimia alami yang dihasilkan dari ekspresi genetik atau hasil metabolisme

sumber daya hayati atau genetik. Produk turunannya tersebut dapat berupa:

a. individu hasil persilangan/perkawinan/metode lainnya;

b. bahan aktif dari hasil metabolisme sumber daya genetik;

c. enzim; dan

d. gen.

Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian

Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas

Konvensi Keanekaragaman Hayati (Nagoya Protocol on Access to Genetic

Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their

Utilization to the Convention on Biological Diversity) yang selanjutnya disebut

Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional di bidang lingkungan

hidup dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mengatur akses

terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan

seimbang antara pemanfaat dan penyedia sumber daya genetik berdasarkan

Page 17: Keanekaragaman Hayati

persetujuan atas dasar informasi awal dan kesepakatan bersama serta bertujuan

untuk mencegah pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Perjanjian

Protokol Nagoya merupakan perjanjian yang sangat penting bagi Negara

Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang adil dan seimbang

yang timbul dari pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol

Nagoya, antara lain:

1. Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.

2. Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal

utilization) terhadap keanekaragaman hayati.

3. Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang

adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia

sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed

Terms).

4. Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan

yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan

kesepakatan bersama.

5. Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana

diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-

hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber

daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber

daya genetik.

7. Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

8. Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi

dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Page 18: Keanekaragaman Hayati

Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu

negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi

sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan

pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa

kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan

kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas

yurisdiksi negara yang bersangkutan.

Peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan Protokol

Nagoya, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3419);

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya

Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan

dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor

56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);

d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3556);

e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3656);

f. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3888);

g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

Page 19: Keanekaragaman Hayati

h. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);

i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

j. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4411);

k. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4433);

l. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

m. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4739);

n. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International

Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian

mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian)

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4612);

o. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);

p. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5059);

Page 20: Keanekaragaman Hayati

q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

r. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5068);

s. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5073).

Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran.

Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut:

a. ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil

dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik;

b. pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan

seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed

Terms);

c. akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang

berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan

atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia

sumber daya genetik;

d. penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian

nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik

dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan;

e. mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral

benefit sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara;

f. mekanisme kelembagaan diatur dengan:

Page 21: Keanekaragaman Hayati

1) penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA)

sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan

kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar

informasi awal serta kesepakatan bersama; dan

2) penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang

berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi

Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga

berfungsi sebagai NCA;

g. pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang

merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran

informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan

atas pemanfaatan sumber daya genetik;

h. penaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses

dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik;

i. pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints)

pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi,

prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang

diakui secara internasional;

j. penaatan terhadap kesepakatan bersama Penyedia (provider) dan pemanfaat

(user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas

pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian

sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan

pilihan forum penyelesaian sengketa;

k. model klausul kontrak kesepakatan bersama Negara Pihak mendorong

pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak

dalam kesepakatan bersama;

l. kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar Negara Pihak

mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik

sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan

akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya

genetik;

Page 22: Keanekaragaman Hayati

m. peningkatan kesadaran Negara Pihak melakukan upaya untuk

meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan

isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan;

n. peningkatan kapasitas Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan

kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain

pengembangan:

1) kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajiban-

kewajiban dalam Protokol Nagoya;

2) kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;

3) kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan

menegakkan langkah-langkah legislatif, administratif atau kebijakan

nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan

4) kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk

menambahkan nilai pada sumber daya genetik.

o. transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama Negara Pihak meningkatkan

dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk

pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya

genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal

sumber daya genetic;

p. prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya

Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja

sama dan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan

penanganan kasus ketidaktaatan terhadap substansi Protokol Nagoya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5412

Page 23: Keanekaragaman Hayati

DAFTAR PUSTAKA

Indrawan, Mochamad; Richard B., Primack; Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi-

Edisi Revisi. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5053379b7e4d3/ratifikasi-protokol-nagoya-

dan-konvensi-rotterdam-dinilai-tepat

http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/apa-manfaat-perjanjian-protokol-nagoya

bagi-indonesia