jurusan muamalah fakultas syari’ah institut agama islam...
Post on 09-Apr-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS TERHADAP HASIL PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
TENTANG ZAKAT SEBAGAI PAJAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu-Ilmu Syari’ah
Oleh:
AZIZAH ILMIYANTI
NIM: 082311003
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
MOTTO
Ÿωuρ ãΨ ôϑ s? ç� ÏY õ3tG ó¡n@ ∩∉∪ š�Îh/ t�Ï9 uρ ÷� É9 ô¹$$ sù ∩∠∪
DAN JANGANLAH KAMU MEMBERI (DENGAN MAKSUD)
MEMPEROLEH (BALASAN) YANG LEBIH BANYAK. DAN UNTUK
(MEMENUHI PERINTAH) TUHANMU, BERSABARLAH. (QS. AL-MUDATSIR:
6-7)
PERSEMBAHAN
� Bapak dan Ibu tercinta, karya ini terbingkai dari keringat dan air matamu yang
senantiasa jatuh penuh keridlaan demi ego diriku.
� Kedua adikku yang menjadi motivasi dan penyemangat, terima kasih atas
perhatian dan motivasinya.
� Sahabat-sahabatku yang selalu menghibur dan menemani hari-hariku tanpa kalian
terasa sunyi.
� Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, semoga karya ini menjadi bukti cinta dan
pengabdianku kepadamu dan bukan pertanda perpisahanku denganmu.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan
bhwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi
satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 07 Juni 2012
Deklarator,
Azizah Ilmiyanti
082311003
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia tertanggal 22 Januari 1998 Nomor : 157/1987 dan 0593b/1987.
ABSTRAK
Pemikiran hukum Islam sebagai produk pemahaman dari pesan-pesan teks al-Quran dan
Hadits selalu mengalami perkembangan. Problematika mengenai zakat dan pajak di kalangan
muslim menjadi sangat krusial. Zakat merupakan kewajiban seorang muslim, tapi ada kewajiban
lain yang harus dipenuhi yang berhubungan dengan harta yaitu membayar pajak. Fazlur Rahman
mengartikan zakat sebagai pajak yang didasarkan pada al-Qur’an. Zakat sendiri sebenarnya
adalah ajaran agama samawi yang telah dilestarikan dan diamalkan. Setelah Islam hadir, zakat
kemudian diadopsi serta dilanjutkan sebagai ibadah ma>liyah ijtima>’iyyah.
Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui kontruksi pemikiran Fazlur
Rahman terhadap penetapan zakat sebagai pajak, (2) Untuk mengetahui metode pemikiran Fazlur
Rahman terhadap penetapan zakat sebagai pajak berdasarkan hukum Islam.
Metode Penelitian yang digunakan (1) jenis penelitian kualitatif, yang bersifat
kepustakaan atau Library Research, (2) metode pengumpulan data adalah dokumentasi, (3)
metode analisis data yang digunakan adalah content analysis.
Hasil penelitian menunjukkan Pertama, penetapan zakat sebagai pajak yang dicetuskan
oleh Fazlur Rahman merupakan hasil pemikiran Fazlur Rahman, yang dimaksudkan agar sistem
perpajakan yang ada di Pakistan dirasionalkan dan diefesienkan dengan menetapkan kembali
zakat. penetapan zakat sebagai pajak dapat menjadi efektif, apabila didukung adanya suatu
institusi zakat yang disahkan atau dilembagakan oleh pemerintah, sehingga zakat bisa berfungsi
secara maksimal dalam perannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Metode
yang digunakan Fazlur Rahman terkait pemikirannya dalam penetapan zakat sebagai pajak yaitu
menggunakan metode “double movement of interpretation”, Metode pemikiran Fazlur Rahman
dalam penetapan zakat sebagai pajak dapat dilihat dari aspek maqa>s}id sya>ri’ah yaitu untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan dengan cara penafsiran kembali terhadap
kategori delapan ashnaf oleh Fazlur Rahman yang mencakup seluruh aspek pembiayaan negara,
meliputi biaya pertahanan, pendidikan, komunikasi dan bahkan biaya pendelegasian diplomatik.
Metode pemikiran Fazlur rahman juga dapat dilihat dari aspek pengembangan illat hukum yaitu
agar tercipta kesejahteraan sosial, ekonomi, politik dan keuangan, dengan cara distribusi
kekayaan sehingga kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya, hal ini sesuai
dengan tujuan zakat yang terdapat dalam QS. al-Hasyr ayat 7 yang menetapkan prinsip bahwa
kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya.
KATA PENGANTAR
ا�� � رب ا���� �� ا�� ان �إ�� إ� ا� و أ�� ان �� ا �� ور����
��� ا�� ب� �ا�!�$ �# �! ��"� �� و�! ا���ب� ا
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada
kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Analisis Terhadap Hasil Pemikiran Fazlur Rahman
Tentang Zakat Sebagai Pajak”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian
dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam di Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil
dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.A. selaku Dekan Fakultas Syari’ah, yang telah
memberi kebijakan teknis di tingkat fakultas.
2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. dan Bapak Drs. Saekhu, MH., selaku
Pembimbing I dan II yang dengan penuh kesabaran dan keteladanan telah
berkenan meluangkan waktu dan memberikan pemikirannya untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam pelaksanaan penulisan skripsi.
3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah
memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan fakultas syari’ah,
dengan pelayanannya.
4. Orang tua atas do’a restu dan pengorbanan baik secara moral ataupun material
yang tidak mungkin terbalas.
5. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya baik moril
maupun materiil secara langsung atau tidak dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan mendapat
imbalan yang lebih baik lagi dari Allah SWT dan penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat. Amin…
Semarang, Juni 2012
Penyusun
Azizah Ilmiyanti
082311003
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………..………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………. iii
HALAMAN MOTTO ……………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………. v
HALAMAN DEKLARASI ………………………………………… vi
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………. vii
HALAMAN ABSTRAK ……………………………………………. xi
HALAMAN KATA PENGANTAR ………………………………. x
DAFTAR ISI ………………………………………………………… xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………… 1
B. Perumusan Masalah ………………………………. 7
C. Tujuan Penelitian ………………………………… 7
D. Telaah Pustaka …………………………………… 8
E. Metode penelitian ………………………………… 10
F. Sistematika Penulisan …………………………….. 12
BAB II ZAKAT DAN PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
A. Konsep Dasar Zakat ……………………………… 15
B. Konsep Dasar Pajak ……………………………… 26
C. Macam-macam Zakat dan Pajak …………………. 34
D. Pendapat Ulama’ Terhadap Kewajiban Zakat dan Pajak…….
………………………………………….. 43
BAB III KONTRUKSI PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN DALAM
PENETAPAN ZAKAT SEBAGAI PAJAK
A. Biografi dan Karya Fazlur Rahman ………………… 46
B. Pemikiran Fazlur Rahman mengenai Zakat sebagai Pajak
……………………………………………………….. 57
C. Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Fazlur Rahman dalam
Penetapan Zakat sebagai Pajak ……………… 61
D. Metode Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat sebagai
Pajak ………………………………………. 67
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN FAZLUR
RAHMAN TENTANG ZAKAT SEBAGAI PAJAK
A. Analisis Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat sebagai
Pajak ………………………………………. 76
B. Analisis Metode Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat
sebagai Pajak …………………….. 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………… 91
B. Saran ………………………………………………. 92
C. Penutup …………………………………………… 93
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran hukum Islam sebagai produk pemahaman dari pesan-pesan
teks al-Quran dan Hadits selalu mengalami perkembangan. Hal ini tidak lepas
dari kondisi dan tuntunan masyarakat yang sarat dengan dinamika. Berkaitan
dengan permasalahan tersebut, maka peran ijtihad sebagai upaya untuk
menggali dan mengembangkan hukum Islam menjadi sangat penting.
Keberadaan hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan
kreatif. Hal ini dapat dilihat dari ajaran Rasulullah SAW kepada sahabat
dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Ijtihad yang
dilakukan sahabat pada masa Nabi masih hidup, tidak mengalami problem
metodologis, karena apabila para sahabat mendapatkan kesulitan dalam
menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi kepada Nabi.1
Namun keadaan demikian berubah setelah Rasulullah wafat. Para
sahabat tidak hanya dihadapkan pada masalah-masalah baru, tetapi juga
krusial terutama polemik tentang siapa yang pantas mengganti Nabi untuk
1 Lihat, Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Terj. Drs. Moh. Said. MA, dkk.,
Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama
Islam, 1985, hal. 22. Tiga generasi pertama setelah wafat Nabi (632 M) atau dengan kata lain abad I
Islam dalam banyak hal adalah periode yang sangat penting dalam hukum Islam, meskipun karena
kurangnya bukti-bukti kontemporer merupakan periode yang sangat kabur. Dalam periode ini banyak
gambaran hukum Islam yang berbeda terwujud dan masyarakat Islam awal menciptakan institusi-
institusi hukum sendiri.
2
memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas
syara’.2 Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad
dengan berpedoman kepada al-Quran, al-Hadits dan tindakan-tindakan
normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.3
Dari sisi ini jelas bahwa ijtihad adalah konsep yang fundamental dan
sangat aktif dalam pembentukan syari’ah selama abad VIII dan XI M. Begitu
syari’ah matang sebagai sistem perundang-undangan dan pengembangan
berbagai prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup, maka ruang
ijtihad tampak menyempit menuju titik kepunahannya. Fenomena ini dikenal
dalam sejarah yurisprudensi Islam sebagai tertutupnya pintu ijtihad.4
Selaras dengan pendapat di atas, bahwa dalam sejarah fiqh Islam,
fungsi ijtihad pernah mengalami kemandegan, karena munculnya institusi
ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlak, seperti
institusi empat imam madzhab yang sangat populer itu. Fazlur Rahman
berpendapat bahwa tidak ada yang tahu kapan pintu ijtihad itu ditutup dan
tepatnya siapa yang menutupnya, meskipun ada orang yang berpendapat
bahwa pintu ijtihad ditutup oleh para pengarang di kemudian hari.
2 Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII
Press, 2005, hal. 3-4. 3 Sunah yang terkenal mendukung ijtihad adalah riwayat percakapan antara Nabi dengan
Mu’adz bin Jabal ketika ia ditunjuk menjadi gubernur/hakim ke Yaman. Diriwayatkan, Nabi bertanya
kepada Mu’adz tentang sumber yang akan digunakan dalam memerintah provesi dan memutuskan
perkara di sana. Mu’adz menjawab, pertama-tama akan mencari dari al-Qur’an, jika al-Quran tidak
memberikan jawaban, maka akan dicari dari Sunah Nabi. Jika tidak ada sunah yang dapat diterapkan,
ia akan menggunakan pendapat/keputusan pribadi. (ajtahidu ra’yi). Nabi dikabarkan menyetujui
urutan-urutan sumber syari’ah itu. 4 Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKIS, 2004, hal. 46.
3
Tertutupnya pintu ijtihad berdasarkan state of affair (kondisi) pada waktu itu.
Secara formal tidak ada yang namanya penutupan pintu ijtihad oleh siapapun
atau otoritas/ sumber tinggi apapun dalam Islam, namun state of affair
perlahan-lahan tapi pasti berlaku dalam dunia Islam di mana pemikiran
seluruhnya sebagai aturan umum terhenti.5
Fazlur Rahman juga merupakan ulama modern. Pemikiran Fazlur
Rahman ditandai dengan cara pikir kritis, analitis dan sistematis.
Menurut Fazlur Rahman, ijtihad adalah:
Ijtihad berarti upaya memahami makna suatu teks atau
preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan, dan
mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas atau
membatasi atau pun memodefikasinya dengan cara-cara yang
lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup
ke dalamnya.6
Pengertian ijtihad menurut Fazlur Rahman yang dipahami dari teks di
atas, bahwa ijtihad merupakan upaya memahami makna suatu teks atau
preseden di masa lampau yang mempunyai suatu aturan dan untuk mengubah
suatu aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi ataupun
memodifikasinya dengan cara-cara sedemikian rupa, hingga suatu situasi baru
dapat dicakup di dalamnya dengan suatu solusi baru. Implikasi metodologi
yang terdapat dalam definisi di atas adalah bahwa teks (al-Quran dan Sunnah)
5 Fazlur Rahman,” Islamic Methodology in History”, diterjemahkan Anas Mahyuddin,
Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1995, hal. 149. 6 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition Terj.
Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1985,
hal.8.
4
dapat dipahami untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip yang dijadikan
sebagai aturan baru. Kajian ijtihad yang dipahami dari pendapat Fazlur
Rahman yaitu meliputi, pemahaman teks dalam keutuhan konteksnya di masa
lampau, pemahaman situasi baru yang sedang terjadi sekarang dan
pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung di dalam teks tersebut.7
Ijtihad adalah salah satu alternatif yang dipilih oleh Fazlur Rahman
dalam upaya pembaharuan hukum Islam. Dalam sejumlah karya
penelitiannya, Fazlur Rahman menekankan aspek metodologi pemikiran Islam
di mana hukum merupakan aspek yang dominan dalam pemikiran
metodologinya. Ide dan pemikiran Fazlur Rahman terkait dengan metodologi
hukum Islam terdapat dalam beberapa bukunya, seperti Islamic Methodology
in History, Islam, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual
Tradition, dan Major Themes of the Qur’an.8 Misalnya dengan metode
historis untuk mempermudah dan mengembangkan ijtihad, dalam
mempertahankan serta mensistematiskan sebuah bangunan teoritis suatu
pemikiran yang di dalam kategori sosial sering kali dibedakan dengan istilah
normatif.9 Salah satu hasil ijtihad Fazlur Rahman adalah mengenai sistem
zakat dan pajak, sebuah konsep Fazlur Rahman yang diterapkan kepada
masyarakat untuk menjadikan zakat sebagai pajak.
7 Ibid., hal. 9. 8 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang: Metodologi Pembaharuan Hukum
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 6. 9 Fazlur Rahman, “Islam dan Modernitas,” Loc. Cit.
5
Menurut Fazlur Rahman, zakat merupakan satu-satunya pajak yang
diharuskan oleh al-Qur’an.10
Zakat sendiri sebenarnya adalah ajaran agama
samawi yang telah dilestarikan dan diamalkan. Setelah islam hadir, zakat
kemudian diadopsi serta dilanjutkan (tahmi>l) sebagai ibadah ma>liyah
ijtima>’iyyah. Hal ini bisa dipahami dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat
73:
Νßγ≈ uΖù= yè y_uρ Zπ £ϑÍ←r& šχρ ߉öκu‰ $tΡÌ� øΒ r'Î/ !$uΖ øŠym÷ρ r& uρ öΝÎγø‹ s9 Î) Ÿ≅÷è Ïù ÏN≡ u ö� y‚ø9 $# uΘ$s%Î) uρ Íο4θ n= ¢Á9 $#
u !$tFƒÎ) uρ Íο 4θ Ÿ2“9 $# ( (#θ çΡ% x. uρ $oΨ s9 tωÎ7≈ tã ∩∠⊂∪ )ا�����٧٣: (
Artinya: “Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Kami wahyukan
kepada mereka agar berbuat kebajikan, melaksanakan shalat, dan
menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah”.11
(QS. al-
Anbiya’: 73)
Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa ibadah
zakat telah menjadi bagian yang telah disampaikan peneliti di muka bahwa
zakat adalah ibadah ma>liyah ijtima>’iyyah yang menjurus pada aspek sosial
kemasyarakatan terutama di bidang ekonomi untuk mencapai kesejahteraan
dan keadian yang menjadi fitrah manusia.
Zakat merupakan kewajiban seorang muslim, tapi ada kewajiban lain
yang harus dipenuhi yang berhubungan dengan harta yaitu membayar pajak.
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan
10 Fazlur Rahman, Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives, International
Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, 1970, hal.327. 11 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemah, Bandung: Sygma
Publishing, 2011, hal. 328.
6
peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak
dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta
terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Diskusi mengenai hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai
sejak masa-masa awal pengembangan Islam. Terjadi tatkala pasukan
muslimin baru saja berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran-
saran pembantunya memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan
perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan. Tanah-tanah yang direbut
dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara
tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai tetap dianggap milik
penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk di wilayah Irak tersebut
diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah
memeluk ajaran Islam.12
Hal ini menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum
muslimin di luar zakat. Hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik. Dimulai
dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan Eropa dan hegemoni
peradaban Barat sehingga hukum-hukum syar’i semakin ditinggalkan, dan
sebaliknya hukum-hukum Barat buatan manusia diutamakan. Kewajiban zakat
12 Mursyid, Mekanisme Pengumpulan Zakat, Infaq dan Shadaqah menurut Hukum Syara’
dan Undang-Undang,Yogyakarta: Magista Insania Press, 2006, hal.69.
7
disub-ordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak. Akibatnya muncul
pertanyaan: Wajibkah kaum Muslimin membayar zakat sementara ia telah
membayar pajak, padahal sebenarnya pajak tidak mempunyai hubungan
keterkaitan langsung dengan keyakinan agama. Oleh sebab itu antara zakat
dan pajak tidaklah bisa dipersamakan, sehingga muncul perdebatan tentang
kewajiban membayar zakat setelah pajak ataupun sebaliknya.
Dengan adanya kontroversi di masyarakat terkait dengan kewajiban
pajak dan zakat, maka peneliti tertarik untuk mengkaji pemikiran Fazlur
Rahman mengenai zakat sebagai pajak. melalui sebuah penelitian yang
berjudul, “Analisis Terhadap Hasil Pemikiran Fazlur Rahman Tentang
Zakat Sebagai Pajak”. Dengan penelitian ini, diharapkan kontroversi
tersebut dapat disikapi secara objektif dan proporsional.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dalam penelitian ini
permasalahan yang dikaji yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kontruksi pemikiran Fazlur Rahman terhadap penetapan
zakat sebagai pajak?
2. Bagaimana Metode Pemikiran Fazlur Rahman terhadap penetapan
zakat sebagai pajak ditinjau berdasarkan hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
8
1. Untuk mengetahui kontruksi pemikiran Fazlur Rahman terhadap
penetapan zakat sebagai pajak.
2. Untuk mengetahui metode pemikiran Fazlur Rahman terhadap
penetapan zakat sebagai pajak berdasarkan hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Dalam melakukan penelitian terhadap pemikiran Fazlur Rahman
terhadap penetapan zakat sebagai pajak, maka perlu kiranya perlu dilakukan
telaah terhadap studi-studi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini
dimaksudkan untuk melihat relevansi dan sumber-sumber yang akan dijadikan
rujukan dalam penelitian ini dan sekaligus sebagai upaya menghindari
duplikasi terhadap penelitian ini. Sebagai wujud untuk menghindari terjadinya
plagiat penelitian, maka berikut ini akan penulis sajikan beberapa pustaka
yang berupa skripsi yang relevan dengan judul yang penulis teliti, di
antaranya yaitu:
Lukman Hakim dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pendapat
Yusuf Al-Qardawy Tentang Pajak Tidak Bisa Mengganti Zakat”, menurut
analisis penulis, pajak tidak bisa mengganti zakat, karena keduanya memiliki
perbedaan yang prinsipil. Perbedaan itu dapat ditinjau dari berbagai segi, di
antaranya: ditinjau dari dasar hukumnya bahwa kewajiban zakat berdasarkan
hukum yang ditegaskan dalam al-Qur'an dan dijelaskan di dalam Sunnah al-
Rasul. Oleh karena itu, zakat adalah kewajiban agama, merupakan rukun dari
9
kelima rukun Islam. Walaupun di dalamnya mengandung unsur
kehartabendaan sosial, namun ia adalah ibadah saudara sekandung shalat.
Tarif dan nishab ditentukan oleh Allah SWT sedangkan alokasi
pendayagunaanya mendapat ketentuan dari Allah SWT. Sedangkan kewajiban
pajak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
negara, melalui badan yang berwewenang untuk itu, yaitu di Indonesia adalah
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dengan persetujuan
DPR melembagakan pajak. Pemerintah menuntut pelanggaran dan kejahatan
pajak, menentukan tarif, menurunkannya, menaikkannya, bahkan
menghapuskannya sama sekali apabila keadaan menghendakinya.13
M. Idil Ghufron menulis skripsi “Penerapan Zakat atas Konsep Pajak
(sebagai alternatif dalam mendistribusikan keuangan Negara untuk rakyat)”.
Penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian normatif kualitatif (library
research). Hasil penelitian yang dilakukan oleh M. Idil Ghufron dapat
disimpulkan bahwa perbedaan dan persamaan antar zakat dan pajak banyak
pemikir yang ikhtilaf. Di antaranya Amin Aziz, Yusuf Qardhawi dan Masdar
farid Mas’udi. Pajak dan zakat saling melengkapi baik dalam cara
pembayarannya ditentukan ukuran yang jelas dan tidak semua harus
membayar. Dan penerapan zakat atas konsep pajak akan sangat
menguntungkan kedua belah pihak antar negara, pemerintah dan rakyat, serta
13 Lukman Hakim, Analisis Pendapat Yusuf Al-Qardawy Tentang Pajak Tidak Bisa
Mengganti Zakat, Skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Semarang.
10
dapat menjadi alternatif yang sangat tepat dalam mendistribusikan keuangan
negara untuk rakyat.14
Berdasarkan keterangan di atas, maka skripsi yang penulis susun ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya adalah penelitian
terdahulu belum menyentuh persoalan zakat sebagai pajak perspektif Fazlur
Rahman.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Tulisan ini bersifat kepustakaan atau Library Research yaitu penelitian
yang dilakukan dengan menggunakan kepustakaan atau literature baik berupa
buku, laporan ataupun catatan hasil penelitian terdahulu.15
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.16
2. Sumber Data
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan
datanya adalah dengan menelusuri dan me-recover buku-buku dan tulisan-
14 Moh. Idil Ghufron, Penerapan Zakat Atas Konsep Pajak (Sebagai Alternatif Dalam
Mendistribusikan Keuangan Negara Untuk Rakyat, Skripsi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Malang. 15 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002, hal. 11. 16 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001, hal. 3.
11
tulisan dalam bentuk lain yang berkaitan dengan objek penelitian. Di samping
itu juga ditelusuri serta dikaji buku-buku dan tulisan-tulisan lain yang
mendukung kedalaman dan ketajaman analisis dalam penelitian ini. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua sumber data yaitu:
a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh secara langsung dari
subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi
yang dicari.17
Data primer ini adalah buku karya Fazlur Rahman yaitu;
Islamic Methodology in History, Modernity: Transformation of
Intellectual Tradition, dan Major Themes of the Qur’an.
b. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari sumber lain, tidak
langsung diperoleh dari subyek penelitiannya.18
Data sekunder ini
didapat dari buku-buku karya orang lain yang masih ada hubungannya
dengan data primer, seperti buku Islam dan Tantangan Modernitas;
Studi atas Pemikiran Fazlur Rahman karya Taufik Adnan Amal.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah
dokumentasi yaitu metode pencarian data mengenai hal-hal variabel yang
berupa catatan, transkrip, buku, notulen, dan lain-lain.19
17 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, cet. I, hal. 91. 18 Ibid. 19 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 2002, hal. 206.
12
Dalam hal ini penulis menggunakan buku-buku yang berhubungan
dengan pemikiran Fazlur Rahman mengenai zakat sebagai Pajak baik yang
berasal dari data primer maupun data sekunder.
4. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik content
analysis. Data-data yang penulis kumpulkan adalah bersifat deskriptif dan
data tekstual yang bersifat fenomenal, maka dalam mengelola data tersebut
penulis menggunakan analisis isi, sebagaimana dikatakan Sumardi
Suryabrata, sebagai content analysis.20
maksudnya jika analisisnya berupa
non-statistic maka digunakan data yang bersifat deskriptif dan data ini sering
dianalisis menurut isinya karena itu analisis semacam ini juga disebut analisis
isi. Dengan metode ini penulis akan melakukan analisis data dan pengolahan
secara ilmiah tentang zakat sebagai pajak dalam bab IV.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing mempunyai titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang
saling mendukung dan saling melengkapi. Adapun garis besar sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, terdiri atas:
A. Latar Belakang Masalah
20 Saifuddin Azwar, Op.cit., hal. 91.
13
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Telaah Pustaka
E. Metode penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II: Zakat dan Pajak Menurut Hukum Islam, membahas tentang:
A. Konsep Dasar Zakat
B. Konsep Dasar Pajak
C. Macam-macam Zakat dan Pajak
D. Pendapat Ulama’ Terhadap Kewajiban Zakat dan Pajak
BAB III: Kontruksi Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat
sebagai Pajak
A. Biografi dan Karya Fazlur Rahman
B. Pemikiran Fazlur Rahman mengenai Zakat sebagai Pajak
C. Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Fazlur Rahman dalam
Penetapan Zakat sebagai Pajak
D. Metode Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat
sebagai Pajak
BAB IV: Analisis Hukum Islam terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
tentang Zakat sebagai Pajak
14
A. Analisis Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat
sebagai Pajak
B. Analisis Metode Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan
Zakat sebagai Pajak
BAB V: Penutup, yang berisi meliputi:
A. Kesimpulan
B. Saran
C. penutup
15
BAB II
ZAKAT DAN PAJAK MENURUT HUKUM ISLAM
A. Konsep Dasar Zakat
1. Definisi Zakat
Kata zakat merupakan kata dasar (mas}dar) dari zaka> yang
berarti berkala, tumbuh, bersih dan baik.1 Dalam literatur lain zakat juga
memiliki beberapa arti, yaitu al-Barakatu (keberkahan), at- Tah>}aratu
(kesucian), as- S{alahu (kebersihan).2
Secara terminologi, zakat adalah nama suatu ibadah wajib yang
dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik
sendiri kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan
syariat Islam.3
Selain definisi di atas, beberapa ulama lain memberikan definisi
sebagai berikut:
1. Menurut Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar,
sebagaimana yang dikutip oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam bukunya Pedoman Zakat, zakat adalah :
�� ����� ����� ��� �������� �������� ������ ���������� ����� �! �"#�$ �%��&'�'#� �(���#�$ ��)���*+#� �(�� �������� ,-� ���.�/
1Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Terj. Didin Hafidudin (ed,) et. al. Jakarta: Litera
Antarnusa, 1987, hal. 34. 2 Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, cet. II, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002, hal. 7. 3 Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 10.
16
“Memberi sesuatu bagian dari harta yang sudah sampai
nishab kepada orang fakir dan sebagainya yang tidak bersifat
dengan sesuatu halangan syara’ yang tidak membolehkan kita
memberikan kepadanya”.4
2. Menurut Sayid Sabiq di dalam kitabnya Fiqhus Sunnah
menerangkan bahwa :
��0�� 12�#� "�#�$ �"#�3�+ �4� &5�� �(�� �(�6���7� �/������� 8��# 9:�6�$ 1;�<8�#�
“Zakat ialah nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah Ta’ala
yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin.”5
3. Yusuf Qardhawi mengemukakan definisi zakat adalah sejumlah
harta tertentu yang diwajibkan Allah menyerahkannya kepada
orang-orang yang berhak.6
Dari pemaparan di atas terdapat perbedaan rumusan dan pengertian
zakat yang dikembangkan oleh para ulama, walaupun dapat dipahami
esensi dari kesemuanya adalah sama. Zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.7
2. Dasar Hukum Zakat
Dasar hukum disyariatkannya zakat terdapat dalam al- Qur’an dan
Hadits dan di antaranya sebagai berikut:
a. al- Qur’an
4 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1996,
cet. ke-1, hal. 2. 5 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah (Beirut : Dar Al-Fikr, 1992), hal.276. 6 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Uchtiar Baru Van Hoeve, 1997,
cet. 1, hal. 1986.
7 UU No. 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
17
õ‹è{ ô ÏΒ öΝ ÏλÎ;≡ uθøΒr& Zπ s%y‰|¹ öΝ èδã�Îdγ sÜ è? Ν Íκ Ïj. t“ è?uρ $pκ Í5 Èe≅ |¹uρ öΝ Îγ ø‹n=tæ ( ¨βÎ) y7 s?4θn=|¹
Ö s3y™ öΝçλ°; 3 ª!$# uρ ìì‹ Ïϑy™ íΟŠ Î=tæ ∩⊇⊃⊂∪ )٣٠ا: ا�����(
Artinya:“Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan
dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.8 (QS. At- Taubah: 103)
!$tΒuρ Ο çF÷� s?# u ÏiΒ $\/ Íh‘ (# uθç/ ÷�z Ïj9 þ’ Îû ÉΑ≡ uθøΒr& Ĩ$Ζ9 $# Ÿξsù (#θç/ ö�tƒ y‰Ψ Ïã «!$# ( !$tΒuρ
Ο çF÷� s?# u ÏiΒ ;ο 4θx. y— šχρ߉ƒ Ì�è? tµ ô_uρ «!$# y7 Í× ¯≈ s9 'ρé'sù ãΝ èδ tβθà� ÏèôÒßϑø9 $# ∩⊂∪
)٣٩: ا��وم(Artinya:“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta
manusia bertambah, Maka tidak bertambah pada pandangan
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, Maka itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.9 (QS.Ar-
Ruum: 39)
Di dalam al-Qur'an terdapat beberapa kata, yang walaupun
mempunyai arti yang berbeda dengan zakat, tetapi kadangkala
dipergunakan untuk menunjukkan makna zakat, yaitu infaq, sedekah dan
hak. Zakat disebut infa>q (at-Taubah: 34) karena hakikatnya zakat adalah
penyerahan harta untuk kebajikan- kebajikan yang diperintahkan Allah
SWT. Disebut s}adaqah (at- Taubah: 60 dan 103) karena memang salah
satu tujuan utama zakat adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada
Allah SWT. Zakat disebut hak, oleh karena memang zakat itu merupakan
8 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, Bandung: Sygma Publishing, 2011,
hal. 203. 9 Ibid., hal. 408.
18
ketetapan yang bersifat pasti dari Allah SWT yang harus diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya (mustah}iq).10
b. Hadits
Selain dari al-Qur’an dasar hukum wajibnya zakat dijelaskan
dalam beberapa hadits Nabi SAW di antaranya yaitu:
���=8>�� ������ � ���: 8?#�8��@ ���( �����A�> � �( ���<��8��B ���( �$�6���5 � �( ������" ���( � ���> �4� �����2�- � �( CD���- ���3���> � �( ����( � 8��E ���?�- B4� � ���F���� 8( *�#���8- B4� "*A��
:*A�6�� �/���A� ���3�G ���3HI� �$�#�� "��#���( �!� CJ CD�>� �F�: �$�#�. "�F�>�; CD�( �K �$��/# �$*K C4� ���$&� "���6��BJ �4� �!�L�( �M�: CD��� ���# ��I��#�@ �!� N�A��OF�: CD8( C4� �!��+���P � �A���F�: �����E ���A���Q� �!1< "&J �����: ���#���A�R �!�L�( �M�: CD��� ���# ��I�#��@ �!� N�A���F�: CD8( C4� �$�!�+���P � �A���F�: ���>�SHR �!�� "�����#��F�: 1+TU��1I ���( CD�������V�F�: ��1+��)>� �A1! "� ���V��F�: )X���#� ����(
Artinya :“Telah mengabarkan kepada kita dari Abu Ashimi
Dhohaqu bin Mahladin, dari Zakariya bin Ishaq, dari yahya bin Adillah
Soifiyyi, dari Abi Ma’bad, dari Ibnu Abbas ra, bawasannya Nabi SAW
pernah mengutus ke negeri Yaman, lalu beliau bersabda “Ajaklah mereka
supaya mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali
Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, jika mereka telah
mentaati yang demikian itu, maka berilah pelajaran kepada mereka.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali
dalam sehari semalam. Jika mereka telah mentaati yang demikian itu,
maka berilah pelajaran kepada mereka. Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta benda mereka yang
diambil dari orang-orang kaya diantara mereka lalu diberikan kepada
orang-orang fakir diantara mereka”.11
(HR. Bukhori)
���� � �� ��� �� ����ال � ���� ه�� �� ا� �� �ر��د � ا� �� �� ا��ال�� #��� ا� ا� ل-�ر �ل+ *�� ا� "(ر ة���ه "ا �� �ن�ال& $�ل#" أ ��
*ل ع�5� أ��<� =�م�/ال م-� *ل ;:7م *�2آز د67� ��� �5لم �23ا �م :��/* و����� �ن@�/زA7-+* �� ��� =�م/ل�ا م-BCD �EF م@/* �G�" � +/* ��� �� نأ �Iل� منأ ل-�
2K ŸŸ ��� كF�آ ŸŸωωωω uu uuρρρρ ¨¨ ¨¨ tt tt || ||¡¡¡¡ øø øøtttt ss ss†††† tt tt ÏÏ ÏÏ%%%% ©© ©©!!!! $$ $$#### tt ttββββθθθθ èè èè==== yy yy‚‚‚‚ öö öö7777 tt ttƒƒƒƒ !! !!$$$$ yy yyϑϑϑϑ ÎÎ ÎÎ//// ãã ããΝΝΝΝ ßß ßßγγγγ9999 ss ss????#### uu uu ªª ªª!!!! $$ $$#### ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ ÏÏ ÏÏ&&&& ÎÎ ÎÎ#### ôô ôôÒÒÒÒ ss ssùùùù uu uuθθθθ èè èèδδδδ #### ZZ ZZ���� öö öö yy yyzzzz ΝΝΝΝ çç ççλλλλ °° °°;;;; (( (( öö öö≅≅≅≅ tt tt////
10 Didin Hafiduddin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infaq Shadaqah, Jakarta: Gema
Insani, 1998, hal. 15. 11 Imam Abi Abillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Buhori, Juz. III, Beirut:
Darul Fikr, 1986, hal. 215.
19
uu uuθθθθ èè èèδδδδ @@ @@���� ŸŸ ŸŸ°°°° öö ööΝΝΝΝ çç ççλλλλ °° °°;;;; (( (( tt ttββββθθθθ èè èè%%%% §§ §§θθθθ ss ssÜÜÜÜ ãã ãã‹‹‹‹ yy yy™™™™ $$$$ tt ttΒΒΒΒ (( ((####θθθθ èè èè==== ÏÏ Ï󃃃 rr rr2222 ÏÏ Ïϵµµµ ÎÎ ÎÎ//// tt ttΠΠΠΠ öö ööθθθθ tt ttƒƒƒƒ ÏÏ ÏÏππππ yy yyϑϑϑϑ≈≈≈≈ uu uuŠŠŠŠ ÉÉ ÉÉ)))) øø øø9999 $$ $$#### 33 33 ¬¬ ¬¬!!!! uu uuρρρρ ßß ßß^≡≡≡≡ uu uu���� ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ ÏÏ ÏÏNNNN≡≡≡≡ uu uuθθθθ≈≈≈≈ yy yyϑϑϑϑ ¡¡ ¡¡¡¡¡¡9999 $$ $$#### ÇÇ ÇÇÚÚÚÚ öö öö‘‘‘‘ FF FF{{{{ $$ $$#### uu uuρρρρ 33 33 ªª ªª!!!! $$ $$#### uu uuρρρρ $$$$ oo ooÿÿÿÿ ÏÏ ÏÏ3333 tt ttββββθθθθ èè èè==== yy yyϑϑϑϑ ÷÷ ÷÷èèèè ss ss???? ×× ××���� ÎÎ ÎÎ6666 yy yyzzzz )������ ��(
Artinya : “Dari Ali bin Abdillah, bercerita kepada Hasyim bin Qosim,
lalu bercerita kepada Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar, dari ayahnya Abdurrahman Sholihis Sama’ dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah
SAW bersabda: “Barang siapa yang dikarunia harta oleh Allah, lalu tidak
menunaikan zakatnya, maka kelak pada hari kiamat hartanya itu akan
diserupakan dalam rupa ular berbisa yang memiliki dua bintik hitam di atas
kedua matanya yang akan melilitnya, lalu mematuk kedua rahannya. Ular
tersebut akan berkata “Aku adalah kekayaanmu dan harta simpananmu”.
Selanjutnya, beliau membacakan firman Allah “Sekali-kali janganlah orang-
orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Harta yang
mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya pada hari kiamat.
Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) dilangit dan dibumi. Dan
Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan”.12 (HR. Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan bahwa keberadaan zakat dianggap
sebagai ma'lu>m minad-di>n bid}-d}aru>rah atau diketahui secara
otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman
seseorang.13
3. Sejarah disyari’atkannya Zakat
Ajaran zakat bukan milik Islam semata karena syari’at zakat sudah
ada pada agama-agama samawi sebelum datangnya ajaran Islam yang
dibawa Rasulullah saw.
öΝ ßγ≈uΖù=yèy_ uρ Zπ £ϑÍ←r& šχρ߉öκ u‰ $tΡÌ�øΒ r'Î/ !$uΖøŠ ym÷ρr& uρ öΝ Îγ ø‹s9 Î) Ÿ≅ ÷èÏù ÏN≡ u�ö y‚ø9 $# uΘ$s% Î) uρ
Íο 4θn=¢Á9 $# u!$tFƒ Î) uρ Íο 4θŸ2“9 $# ( (#θçΡ% x. uρ $oΨ s9 tωÎ7≈ tã ∩∠⊂∪ )٧٣: �ا�����(
Artinya: “Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin yang member petunjuk dengan perintah Kami dan Kami
12 Ibid., hal.218. 13Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994, hal. 231.
20
wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat,
dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah”.14
(QS. al-Anbiya’: 73)
Enam abad sebelum datangnya Islam yaitu pada zaman Nabi Isa
AS. Ajaran zakat sudah disyari’atkan, sebagaimana firman Allah SWT:
Í_ n=yèy_uρ % º. u‘$t7 ãΒ tør& $tΒ àMΖà2 Í_≈ |¹÷ρr& uρ Íο 4θn=¢Á9 $$Î/ Íο 4θŸ2“9 $# uρ $tΒ àM øΒߊ $|‹ym )٣١: ��ی�( ∪⊆⊃∩
Artinya: “Dan dia menjadikan aku seorang yang dberkahi di mana saja
aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan)
shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”.15
(QS.
Maryam: 31)
Muhammad SAW diutus ketika umat manusia dalam keadaan yang
sangat memperihatinkan yaitu penindasan manusia atas manusia,
pemegang kekuasan memperlakukan rakyatnya dengan semena-mena.
pemegang kekuasaan cenderung mengklaim bahwa rakyat itu miliknya,
yang boleh diperlakukan dengan cara dan untuk tujuan apa saja yang ia
suka. Untuk memberikan legitimasi pada klaimnya, para penguasa kala itu
membangun mitos-mitos yang menerangkan seolah kekuasan yang
dipegang diterima langsung dari Tuhan, dan dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan yang juga digariskan oleh Tuhan, rakyat selaku budak kekuasan
harus loyal kepada pihak yang berkuasa. Sebagai konsekuensi ekonomis
kesetiaan rakyat diukur dengan materi dengan bukti konkrit bersedia
menyisihkan apa yang mereka miliki bagi kepentingan penguasa itu
14 Departemen Agama RI, Op.cit., hal. 328. 15 Ibid., hal.307.
21
sendiri. Dalam sejarah kekuasaan raja-raja di kepulauan Nusantara,
konsekuensi ekonomis itulah yang dikenal dengan sebutan “upeti”.16
Upeti sebagaimana halnya sesaji merupakan suatu konsep yang
berangkat dari keyakinan bahwa segala sesuatu berpusat pada Tuhan, atau
dewa yang maha menentukan. Jika sesuatu yang baik maupun yang buruk
berpangkal dari Tuhan atau dewa, maka segala sesuatu juga harus diurus
langsung dengan tuhan atau dewa itu, melalui cara-cara tertentu yang
dikenal sebagai doa. Pada mulanya tuhan dan doa merupakan dua perkara
yang dipersepsi sebagai bersifat ruhani semata. Tetapi dengan
dimaterialisirnya tuhan atau dewa yang ruhani serta ghaib, juga dengan
dimateialisirkannya doa oleh manusia. Doa tidak lagi dihayati sebagai
moment ruhani, melainkan sudah ditransformasikan dalam wujud materi
yang disebut “sesaji”.17
Dalam konteks sejarah yang demikian ini Muhammad SAW diutus
Tuhan mentransformasikan kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip
keruhanian yang sejati. Menurut Masdar, Islam datang bukan untuk
menghapus lembaga “upeti” atau membuat lembaga baru sebagai
tandingan atau alternatif, tetapi dengan spirit “zakat” menjadikan lembaga
upeti yang membuat kemadlaratan orang banyak dapat ditransformasikan
untuk menegakkan kemaslahatan orang banyak.18
Sehingga kekayaan dan
fasilitas tidak hanya beredar di antara kelompok tertentu saja.
16 Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam, cet. III
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 103-105. 17 Ibid., hal. 105. 18 Ibid., hal. 111.
22
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, zakat telah difardlukan
Allah sejak permulaan Islam,19
yakni sebelum Nabi hijrah ke Madinah.
Pada awalnya zakat yang disyari’atkan itu tidak disertai dengan ketentuan
tentang zakat baru dalam bentuk seruan untuk mengeluarkan zakat secara
sukarela. Baru setelah tahun kedua Hijriah (623 M), sudah ditentukan jenis
harta yang harus dizakati beserta kadar dan ukurannya masing-masing.20
Pada waktu itu ketentuan tentang penerima zakat (mustahiq),
hanya mengatur tentang zakat yang akan diberikan kepada fakir dan
miskin. Hal ini didasarkan pada ketetapan firman Allah SWT:
βÎ) (#ρ߉ö6 è? ÏM≈ s%y‰¢Á9 $# $£ϑÏèÏΖsù }‘ Ïδ ( βÎ) uρ $yδθà� ÷‚è? $yδθè?÷σ è?uρ u!# t�s) à� ø9 $# uθßγ sù ×�ö yz öΝ à6 ©9 4 ã�Ïe� s3ムuρ Ν à6Ζtã ÏiΒ öΝ à6 Ï?$t↔ Íh‹y™ 3 ª!$# uρ $yϑÎ/ tβθè=yϑ÷ès? ×� Î6 yz ∩⊄∠⊇∪
)٢٧١: ا����ة(Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik.
Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada
orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan
menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha
Mengeahui apa yang kamu kerjakan”.21
(QS. al- Baqarah: 271)
Ketetapan tentang penerima zakat (mustahiq) secara lengkap, baru
diatur pada tahun 9 H.22
4. Mustahiq dan Muzaki zakat
a. Mustahiq Zakat
19 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, cet I, Bandung: Pustaka, 1984, hal. 40. 20 Hasbi Ash-Shiddiqiey, Op.cit., hal. 8. 21 Departemen Agama RI, Op.cit., h. 46. 22 Hasbi Ash- Shiddiqiey, Op.cit., h. 10.
23
Mustahiq zakat yaitu istilah untuk orang yang berhak menerima
zakat, berdasarkan Qs. At-Taubah: 60 yang termasuk mustahiq zakat
adalah sebagai berikut:
1. Fakir
Menurut jumhur ulama fiqih, fakir adalah orang-orang yang tidak
mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, tempat dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk
dirinya sendiri maupun keluarga dan orang-orang yang menjadi
tanggungannya.23
Pada umumnya, orang fakir disamakan dengan orang
miskin. Namun menurut Wahbah al-Zuhayly, orang fakir memiliki
kemampuan harta di bawah orang miskin.24
2. Miskin
Jumhur ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang
mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri
dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi.25
3. ‘Amil
‘Amil adalah orang-orang yang ditugaskan oleh imam, kepala
pemerintah atau wakilnya, yang bertugas untuk mengumpulkan harta zakat
dan mengurus administrasinya.26
‘Amil merupakan orang yang
bertanggung jawab melaksanakan segala sesuatu yang berkenaan dengan
23 Abdul Aziz Dahlan (eds), Op.cit.., hal. 1996. 24 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, terj. Agus Effendi dan B. Fannany,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, hal. 281. 25 Abdul Azis Dahlan (eds), loc. cit., 26 Sayyid Sabiq, Op.cit., hal. 91.
24
zakat mulai dari mendata wajib zakat, mengumpulkan, membukukan,
memelihara dan mendistribusikan zakat.
4. Muallaf
Muallaf adalah orang-orang yang masih lemah niatnya dalam
memeluk Islam, maka seorang pemimpin perlu membujuk hatinya dengan
sesuatu pemberian untuk menguatkan keislamannya, dengan pemberian
sebagian zakat itu diharapkan orang-orang yang setaraf dengannya ikut
masuk Islam.27
5. Riqa>b
Yang artinya adalah budak belian yang diberi kebebasan usaha
mengumpulkan kekayaan agar bisa menebus dirinya untuk merdeka.28
6. Gharim
Gharim adalah orang-orang yang mempunyai hutang yang
dipergunakan untuk perbuatan yang bukan untuk maksiat, dan zakat
diberikan agar mereka dapat membayar hutangnya.29
7. Sabi>lillah
Menurut jumhur ulama sabi>lillah adalah membelanjakan dana
zakat untuk orang-orang yang berperang dan petugas-petugas penjaga
perbatasan/ untuk jihad. Sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali
mengatakan, dana zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada orang-orang
27 Abdul Rochim dan Fathoni, Syariat Islam: Tafsir Ayat-Ayat Ibadah, Edisi I, Jakarta:
Rajawali, Cet. ke-1, 1987, hal. 255. 28 Syukir Ghazali dan Amidhan (eds), Pedoman Zakat, Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat
dan Wakaf, 1985, hal.123. 29 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2, 2002,
hal. 193.
25
yang berperang dan orang-orang yang berjihad yang fakir. Pendapat ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa orang kaya yang berperang itu
sudah dapat mempersiapkan diri dan menyiapkan perlengkapannya.
Sedangkan orang fakir yang ikut perang, dibiayai negara tidak termasuk
dalam kelompok sabi>lillah.30
8. Ibnu Sabil
Menurut Ahmad Azhar Basyir, Ibnu Sabil adalah orang yang
sedang dalam perantauan atau perjalanan. Kekurangan atau kehabisan
bekal, untuk biaya hidup atau pulang ketempat asalnya. Yang termasuk
golongan ini adalah pengungsi-pengungsi yang meninggalkan kampung
halamannya untuk menyelamatkan diri atau agamanya dari tindakan
penguasa yang sewenang-wenang.31
b. Muzakki Zakat
Muzakki yaitu orang yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat.
Seseorang tidak diwajibkan berzakat selama ia belum mampu memenuhi
kewajiban pokoknya. Menurut para ulama yang dimaksud dengan
kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi akan
menyebabkan kerusakan dan kemelaratan dalam hidup. Para ulama telah
memasukan syarat ini sebagai syarat kewajiban wajib zakat karena
biasanya orang yang mempunyai kelebihan kebutuhan pokoknya maka
30 Muhammad Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet.
IV, 2004, hal. 146. 31 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997, hal.
84.
26
orang tersebut dianggap mampu dan kaya. Kebutuhan pokok yang
dimaksud ini meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Syarat orang yang wajib zakat adalah:
1) Islam
Zakat merupakan sebuah ibadah dan hanya wajib dilakukan setelah
seseorang memeluk agama Islam. Dengan Islamnya seseorang, maka ia
menjadi seorang wajib zakat yang akan mengantarkannya mendapatkan
penghormatan dari Allah SWT.
2) Merdeka
Menurut kesepakatan ulama, Zakat tidak wajib atas hamba
sahayanya karena hamba sahayanya tidak mempunyai hak milik.
Tuannyalah yang memiliki apa yang ada ditangan hambanya.32
3) Baligh dan berakal
Keduanya dipandang sebagai syarat oleh madzab Hanafi. Dengan
demikian, Zakat tidak wajib diambil dari harta anak kecil dan orang gila
sebab keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib
mengerjakan ibadah; seperti shalat dan puasa, sedangkan menurut. jumhur,
keduanya bukan merupakan syarat. Oleh karena itu, Zakat wajib
dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila. Zakat tersebut
dikeluarkan oleh walinya.33
B. Konsep Dasar Pajak
1. Pengertian pajak
32 Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzab, Cet. 7, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008, hal. 98. 33 Ibid., hal. 100.
27
Pajak dalam bahasa Arab disebut kharaj yang berarti
mengeluarkan.34
Secara etimologis kharaj adalah sejenis pajak yang
dikeluarkan pada tanah yang ditaklukkan dengan kekuatan senjata,
terlepas dari apakah si pemilik seorang muslim.35
Dalam pengertian lain,
kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan. Misalnya dengan dikeluarkannya
pungutan dari hasil tanah pertanian. Secara etimologi mempunyai arti
sebagai iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada
negara/ pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli
barang dan sebagainya.36
Terdapat berbagai ragam mengenai definisi pajak dikalangan para
sarjana ahli di bidang perpajakan. Menurut Adriani yaitu:
“Pajak adalah iuran negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan
dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah”.37
Sedangkan menurut S. I. Djajaningrat yaitu:
Pajak yaitu suatu kewajiban menyeraahkan sebagian daripada
kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari
negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.38
34 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pon.Pes
Al-Munawir, 984, h. 356. 35 M. Abdul Mannan, Teori & Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1997, h. 250. 36 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994, hal. 812. 37 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, cet. V, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hal. 23. 38 Ibid., hal. 3.
28
Berdasar pada definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan mengenai ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu:
a. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah), berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
b. Pembayaran pajak tidak mendapat kontraprestasi individu oleh
pemerintah atau tidak ada hubungan langsung antara jumlah
pembayaran pajak dengan kontra prestasi yang diperoleh secara
individu.
c. Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan kontra
prestasi dari negara terhadap wajib pajak.
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah dan jika
masih surplus digunakan untuk “public investment”.
e. Pajak dipungut disebabkan adanya sutu keadaan, kejadian atau
perbuatan yang memberikan pada seseorang kedudukan tertentu.
f. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu
mengatur atau mengontrol masyarakat sebagai wajib pajak.
Selain itu pajak harus memiliki unsur sebagai berikut. Unsur
adalah sesuatu yang harus ada supaya sesuatu itu ada. Maka dapat
disebutkan unsur-unsur pajak adalah:
1. Adanya penguasaan pemungut pajak
2. Adanya subjek pajak
3. Adanya objek pajak
4. Adanya masyarakat atau kepentingan umum
29
5. Adanya surat ketetapan pajak (SKP)
6. Adanya Undang-Undang pajak yang mendasari
2. Fungsi Pajak
Sebagai salah satu sumber penerimaan negara pajak memiliki
fungsi sebagai mana dijelaskan di bawah ini:
Fungsi pajak terbagi dua, yaitu:39
a. Fungsi Budgetair yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b. Fungsi Regulerend yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan
ekonomi.
Dalam fungsi budgetair, pajak berfungsi sebagai salah satu sumber
penerimaan negara yang hasilnya digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran untuk
pembangunan. Upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pemasukan dana
ke kas negara melaui cara ekstensifikasi maupun intensifikasi
pemumgutan pajak dengan penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak.
Pajak mempunyai fungsi regulerend artinya pajak sebagai alat
yang digunakan pemerintah untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dibidang sosial dan ekonomi maupun tujuan-tujuan tertentu di
luar bidang keuangan, serta dapat mengendalikan kegiatan masyarakat
agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah.
39 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2003, hal.10.
30
3. Teori-Teori Pemungutan Pajak
Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran (justification)
untuk menjawab berbagai perdebatan yang ada di kalangan para sarjana
dan pemikir masalah pemungut pajak mengenai apakah negara dibenarkan
memungut pajak dari rakyat adalah sebagai berikut:
a. Teori Asuransi
Teori ini menyatakan bahwa pajak disamakan dengan pembayaran
premi untuk perlindungan, sebagaimana terdapat dalam asuransi
pertanggungan.40
Beberapa pakar menentang teori asuransi sebagai dasar
pemungutan pajak karena dalam hal timbul kerugian, tidak ada
penggantian secara langsung dari negara, serta antara pembayaran jumlah
pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidaklah terdapat hubungan
langsung.41
b. Teori Kepentingan
Para penganut teori ini mengatakan bahwa negara berhak
memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut
mempunyai keentingan kepada negara. Makin besar kepentingan
penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara
kepadanya. Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan
antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya.
Negara tidak boleh pilih-pilih dalam melindungi penduduknya. Di
40 Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan (Rev), Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 10. 41 Prof. Supramono, Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan
Perhitungan Yogyakarta: CV. Andi Offset, hal. 2.
31
samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan
langsung atau kontra pretasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah
menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.42
c. Teori Daya Pikul
Teori ini menyatakan bahwa biaya-biaya atas perlindungan yang
diberikan oleh negara kepada warga negara haruslah dipikul oleh segenap
orang yang menikmatinya dalam bentuk pajak. Berdasarkan asas keadilan,
pajak yang dikenakan terhadap masyarakat tergantung dari daya pikul
masing-masing masyarakat. Daya pikul seseorang dapat diukur
berdasarkan besarnya penghasilan yang telah mempertimbangkan
pengeluaran seseorang sehingga masyarakat dengan penghasilan yang
lebih tinggi memiliki daya pikul yang lebih tinggi pula.43
d. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi negara (organische Staatsleer)
yang mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas
untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil
tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan dibidang
pajak. Dengan sifat seperti itu maka negara mempunyai hak mutlak untuk
memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya.
Menurut teori ini dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat
dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat
berkewajiban membayar pajak. Kelemahan dari teori ini adalah negara
42 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit, 2005, hal. 77-78. 43 Prof. Supramono, Theresia Woro Damayanti, Op.cit., h. 2.
32
bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam
pemungutan pajak.44
e. Teori Daya Beli
Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak mempersoalkan asal
mulanya negara memungut pajak melainkan banyak melihat kepada
"efeknya" dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya.
Menurut teori ini pajak digunakan untuk menarik daya beli
masyarakat. Pajak yang dipungut oleh negara dapat mengurangi
penghasilan yang akan digunakan oleh masyarakat untuk konsumsi
sehingga akibat dari pemungutan pajak adalah berkurangnya daya beli
masyarakat secara individu. Pada akhirnya, negara akan menyalurkan
kembali daya beli yang sudah ditarik ini kepada masyarakat secara umum
dalam bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.45
Teori-teori ini merupakan pemecahan atas dasar menyatakan
keadilannya pemungutan pajak oleh negara, sehingga para ahli atau
pemikir menamakannya sebagai asas menurut falsafah hukum, yang dalam
"The four maxims" termasuk maxim pertama. Meskipun demikian,
beberapa prinsip telah berhasil juga dikembangkan sepanjang masa
sehingga memberikan suatu kerangka yang dapat digunakan sebagai
kriteria-kriteria sistem perpajakan yang adil. Prinsip-prinsip ini adalah
antara lain prinsip manfaat dan prinsip kemampuan membayar.46
44 Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 20. 45 Prof. Supramono, Theresia Woro Damayanti, Op.cit., hal. 3. 46 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco, 1981,
hal. 35.
33
4. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem Pemungutan Pajak dapat dibagi menjadi 3 bagian. Menurut
Waluyo dalam bukunya “Perpajakan”, menuliskan bahwa:47
1. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan kepada
wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak itu sendiri.
b. Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
2. Official Assessment System.
Sistem pemungutan pajak yang dibayar oleh wajib pajak setelah
terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk
melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang
dipersamakan, seperti karcis dan atau nota pesanan (bill).
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
b. Wajib pajak bersifat pasif.
47 Waluyo, Perpajakan Indonesia: pembahasan sesuai dengan ketentuan pelakanaan
perundang-undangan perpajakan terbaru, Jakarta: Salemba Empat, 2002, hal. 19.
34
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
3. Withholding Tax System.
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak. Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang
adalah pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
C. Klasifikasi Zakat dan Pajak
1. Klasifikasi Zakat
Ahli fiqh membagi zakat kepada dua macam, pertama zakat fitrah,
kedua zakat ma>l (harta). Dalam fiqih zakat, ditentukan harta-harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya (al-amwal al-zakawiyah). Macam-macam
zakat dijelaskan sebagai berikut:
a. Zakat Nafs (Jiwa) atau Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah suatu zakat yang dikeluarkan oleh orang-orang
muslim sebagai pembersih dirinya dan menjadi tanggungannya, disamping
untuk menghilangkan cela yang terjadi selama puasa pada bulan
Ramadhan.48
Kadar zakat fitrah di ukur dengan takaran, yaitu satu sha’ bahan
makanan pokok masyarakat, atau sekitar 2,25 kg. Berdasarkan hal ini,
48 Ahmad Husnan, Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Jakarta: al-Kautsar,
1996, h.81.
35
seorang muslim wajib mengeluarkan satu sha’¦ bahan makanan pokok di
negerinya, atau seberat timbangan yang setara dengannya.
b. Zakat Ma>l (Harta)
Zakat Ma>l atau zakat harta adalah zakat yang harus dikeluarkan
yang berkaitan dengan pemilikan sejumlah harta yang ada bagi orang
Islam, terhadap zakat harta pelaksanaannya didasarkan kepada dua hal,
yaitu umur didapatnya harta tersebut (haul) dan ukuran minimal untuk
menilai jumlah harta sehingga harta dapat dikeluarkan zakatnya (nishab).
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal
4 ayat (2) harta yang wajib dikenakan zakat adalah:
1. Emas, perak dan logam mulia lainnya.
2. Uang dan surat berharga lainnya.
3. Perniagaan.
4. Pertanian, perkebunan dan perhutanan.
5. Peternakan dan perikanan.
6. Pertambangan.
7. Perindustrian.
8. Pendapatan dan jasa.
9. Rika>z
Di bawah ini akan dijelaskan harta kekayaan yang wajib
dikeluarkan zakatnya:
1) Zakat Emas, Perak dan Uang
36
Emas, perak dan uang wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah
dipunyai (dimiliki secara pasti) selama satu tahun penuh dan mencapai
nisabnya. Nisab untuk emas, perak dan uang adalah sebagai berikut:
− Emas nisabnya adalah 20 dinar, lebih kurang sama dengan 96 gram
emas murni. Setelah dimiliki selama satu tahun, wajib dikeluarkan
zakatnya sebesar 2,5 %.
− Perak nisabnya adalah 200 dirham, beratnya sama dengan lebih
kurang 672 gram. Setelah dimiliki selama satu tahun, wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Berdasarkan beberapa hadits,
emas dan perak yang menjadi perhiasan wanita yang cukup senisab
dan dimiliki cukup setahun pula, hendaklah dikeluarkan zakatnya
sebanyak 2,5 %.
− Untuk uang giral maupun kartal, nisabnya adalah sama dengan
nilai atau harga 96 gram emas, bila disimpan cukup setahun,
zakatnya adalah 2,5 %.
− Adapun barang sebangsa permata, seperti intan, berlian, yakut,
zamrud dan segala jenis batu mulia, bebas tidak terkena zakat.
Kecuali apabila barang-barang tersebut merupakan barang
dagangan. Sehingga zakatnya bukan zakat dari jenis benda-benda
tersebut melainkan karena benda dagangan yang sudah tentu nilai
uang yang diperhitungkan dan sudah sampai satu tahun atau haul.49
2) Zakat perdagangan dan perusahaan
49 Ridwan Syamsuri, Zakat di dalam Islam, Jakarta: Pradnya Paramita, 1988, h.62.
37
Zakat perdagangan yang dimaksud bukan merupakan zakat profesi
sebagai pedagang, melainkan zakat yang dihasilkan dari keuntungan
berniaganya selama satu tahun (masa haul) yang dihitung sejak waktu
pembelian barangnya. Besarnya nishab barang perniagaan ini sama dengan
nishab emas dan perak, senilai 85 gram emas, zakatnya sebesar 2,5 %.
Zakat perdagangan ini didasarkan atas potensial berkembangnya
suatu harta kekayaan (usaha). Segala benda yang dapat dijadikan potensial
berkembangnya terhadap suatu harta, maka dapat dikenakan zakat. Tetapi
tidak semua benda yang berda dalam suatu tempat perniagaan dapat
dikenakan pajak, misalnya: timbangan barang, takaran, etalase tempat
penyimpanan barang dagangan atau barang lain yang digunakan sebagai
perkakas perniagaan. Sebab tidak berpotensi untuk berkembang, juga sejak
semula penjual tidak mempunyai niat menjual perkakas tersebut.
Para pakar zakat menganalogikan zakat perindustrian sama dengan
zakat perdagangan. Sehingga nishabnya juga sama dengan nishab emas
yaitu 85 gram emas, kadar zakatnya sebesar 2,5 %. Mencapai nishab pada
setiap akhir tahun, atau pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
bagi para pemegang saham. Secara umum pola pembayaran dan
penghitungan zakat perusahaan adalah sama dengan zakat perdagangan.
Sedangkan nisab untuk zakat perusahaan menurut Didin Hafidhuddin
adalah senilai 85 gram emas. Pola perhitungan zakat perusahaan,
didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan
kewajiban atas aktiva lancar atau seluruh harta (di luar sarana dan
38
prasarana) ditambah keuntungan, dikurangi pembayaran utang dan
kewajiban lainnya, lalu dikeluarkan 2,5 % sebagai zakatnya.50
3) Zakat Pertanian, Perkebunan dan Perikanan
Para ahli membuat istilah penyebutan zakat pertanian beraneka
ragam. Ada yang menyebutkan, zakat hasil bumi, zakat tanaman dan buah-
buahan, zakat biji-bijian dan buah-buahan, serta zakat tanaman dan buah-
buahan, serta zakat tanaman dan buah-buahan, serta zakat tumbuh-
tumbuhan (nabat). Namun dari semua istilah tersebut pada intinya adalah
sama, yakni zakat yang dikeluarkan dari hasil bumi. Di tanah air kita,
selain hasil bumi juga terdapat hasil laut yang perlu dikeluarkan
zakatnya.51
Menurut Didin Hafidhuddin, pengeluaran zakat hasil bumi tidak
harus menunggu satu tahun dimiliki, tetapi harus dilakukan setiap kali
panen atau menuai. Nishab zakat pertanian adalah mulai 5 wasaq. Untuk
menentukan nishab hasil pertanian yang lain seperti kopi, cengkih, panili,
lada, apel, kapas, dan sebagainya, diperhitungkan harga nishab hasil
tanaman yang menjadi bahan makanan pokok tersebut.
Mengenai zakat hasil laut ini memang tidak ada landasannya yang
tegas, sehingga di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat.
Namun jika dilihat dari surat al-Baqarah ayat 267 sebagaimana sudah
disebutkan di atas, jelas bahwa setiap usaha yang menghasilkan uang dan
memenuhi syarat baik nisab dan haulnya wajib dikeluarkan zakatnya. Dan
50 Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Op.cit., h. 102. 51 Ibid., h. 39.
39
pada umumnya mengenai harta yang diperdagangkan itu nisabnya sama
nilainya dengan nisab emas dan perak dan kadar zakatnya juga 2,5 %.
Adapun waktu mengeluarkan zakatnya seperti tanaman, yaitu disaat hasil
itu diperoleh.
4) Zakat Pertambangan
Zakat pertambangan adalah segala yang dikeluarkan dari hasil
bumi yang dijadikan Allah di dalamnya dan berharga, seperti timah, besi
dan sebagainya.52
Harta makdin (pertambangan) yang berupa besi, baja,
tembaga, kuningan, timah, minyak, batu bara, dan lain-lain di Indonesia
dikuasai oleh negara. Adapun yang berupa batu-batuan, emas dan perak,
oleh pemerintah masyarakat masih diperbolehkan menambangnya. Makdin
yang dikenakan zakat, yaitu 2,5%. Adapun nishabnya seharga nisab emas
ialah 20 dinar atau 96 gram.53
5) Zakat Peternakan
Syarat wajib zakat atas pemilik binatang tersebut antara lain:
a. Islam
b. Merdeka
c. Milik sempurna
d. Cukup Nishab
e. Sampai setahun lampaunya
52 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Op.cit., h. 149. 53 Syukri Ghozali, et. al. Pedoman Zakat 9 seri, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana
Keagamaan Islam, 2001, h.149.
40
Pemilik ternak telah memiliki binatang ternak tersebut selama 1
tahun.
f. Digembalakan di rumput yang mubah
Binatang tersebut makan dari makanan rumput liar bukan rumput
yang dibeli atau sengaja ditanam. Tidak diberi makan oleh pemiliknya
sedangkan binatang yang diberi makan (diambil makannya), tidak wajib
dizakati.
g. Anak binatang setelah lahir sampai nishabnya menurut tahun ibunya
atau kelahirannya, apabila ditambah dengan binatang lain dengan jalan
dibeli atau dipusakai atau sebagainya, dipisahkan perhitungan tahunnya
dari binatang yang telah cukup nishabnya itu.
h. Binatang yang dipakai untuk membajak sawah atau menarik gerobak,
tidak wajib dizakati. Sebagaimana juga kain yang dipakai atau perkakas
rumah tangga yang sengaja dipakai sendiri.
6) Zakat Pendapatan dan Jasa profesi
Zakat profesi (penghasilan) adalah zakat yang dikeluarkan dari
hasil profesi (pekerjaan) seseorang, baik dokter, arsitek, notaris, ulama/dai,
karyawan, guru, dan lain-lain. Menurut Yusuf Qardhawi, profesi
(pekerjaan) yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan
yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat
kecekatan tangan maupun otak. Kedua, pekerjaan yang dikerjakan
seseorang buat pihak lain, baik pemerintah, perusahaan, maupun
perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan telapak
41
tangan, otak, atau pun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium. Ada tiga kemungkinan
kesimpulan dalam menentukan nishab, kadar dan waktu mengeluarkan
zakat profesi. Hal ini sangat bergantung pada Qiyasi (analogi) yang
dilakukan:54
a. Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar dan
waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama juga dengan zakat
emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 %
dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan
pokok. Contoh: Bila A berpenghasilan Rp. 5.000.000,00 setiap bulan dan
kebutuhan pokok perbulannya Rp. 3.000.000,00 maka besar zakat yang
dikeluarkannya adalah 2,5 % X 12 X Rp.2.000.000,00 atau sebesar Rp.
600.000,00 per tahun atau Rp. 50.000,00 per bulan.
b. Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg
padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5% dan dikeluarkan pada setiap
mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam
contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat A adalah sebesar 5 % X Rp.
2.000.000,00 atau sebesar Rp. 1.200.000,00 per tahun atau Rp. 100.000,00
per bulan.
c. Jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa
adanya nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Pada contoh di
54 Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Op.cit., h. 96-98.
42
atas, maka A mempunyai kewajiban zakat sebesar 20 % X Rp.
5.000.000,00 atau sebesar Rp. 1.000.000,00 setiap bulan.
7) Barang Temuan (Rikaz)
Dalam kitab-kitab fiqih barang yang wajib dizakati hanya emas dan
perak saja. Demikian juga dengan barang temuan, yang dizakati terbatas
pada emas dan perak saja. Nisab untuk barang tambang adalah sama
dengan nisab emas (96 gram) dan perak (672 gram), kadarnya pun sama,
yaitu 2,5 %. Kewajiban untuk menunaikan zakat barang-barang tambang
adalah setiap kali barang itu selesai dibersihkan (diolah).55
2. Klasifikasi Pajak
Dalam pengelompokannya terdapat beberapa pembagian pajak
sebagai berikut:56
a. Menurut Golongannya, yaitu:
1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain. Contohnya: pajak penghasilan,
2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
b. Menurut sifatnya,
55 Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, h.
47. 56 Mardiasmo, Op.cit., hal. 5-6.
43
1. Pajak subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan
pada subyektifnya, artinya berpangkal pada diri orang atau badan
yang dikenai pajak (wajib pajak). Dalam hal ini yang diperhatikan
pertama kali adalah subyeknya (orang atau badan) dan baru
kemudian dicari obyeknya. Contoh: pajak penghasilan.
2. Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa
memperhatikan atau mempersoalkan keadaan subyek (wajib
pajak). Contohnys: Pajak Penjualan atas barang mewah.
c. Menurut lembaga pemungutannya
1. Pajak pusat, yaitu pajak yang kewenangan pemungutannya berada
pada pemerintah pusat. Contohnya: pajak penghasilan.
2. Pajak daerah, yaitu pajak yang kewenangan pemungutannya berada
pada pemerintah daerah, baik pada pemerintah daerah tingkat I
maupun pada pemerintah tingkat II. Contohnya: Pajak Kendaraan
Bermotor.
D. Pendapat Ulama’ terhadap Kewajiban Zakat dan Pajak
Secara garis besar pandangan ulama tentang zakat dan pajak dapat
digolongkan menjadi 3:
1. Pendapat ulama’ yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda
baik asas maupun tujuannya.
Ulama yang termasuk pada kelompok ini diantaranya yaitu: M.
Umer Chapra, dalam Islam and The Economic Challenge menyatakan:
“Hak negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat
pajak disamping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha
44
yang pada prinsipnya telah mewakili madzhab fiqih. Hal ini
disebabkan karena dana zakat dipergunakan pada prinsipnya untuk
kesejahteraa kaum miskin, padahal negara memerlukan sumber
dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi,
distribusi dan stabilisasi secara efektif. Hal ini dibela para fuqaha
berdasarkan hadits: “Pada hartamu ada kewajiban lain selain
zakat”.57
Abu yusuf dalam kitabnya al-kharaj menyatakan bahwa semua
khulafa ar-Rasyidin terutama Umar, Ali dan Umar Ibn Abdul Azis
dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan
keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat
untuk membayar, juga jangan sampai mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Abu Yusuf mendukung hak
penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut
kemampuan rakyat yang terbebani. 58
2. Pendapat ulama yang meyakini bahwa kewajiban terhadap harta
hanya berlaku pada zakat bukan pajak.
Ulama’ yang termasuk kelompok ini daiantaranya yaitu Dr. Hasan
Turobi dari Sudan, dalam bukunya Principle of Governance, Freedom and
Responsibility In Islam, beliau menyatakan:
“Pemerintah yang ada di dunia muslim dalam sejarah yang begitu
lama, pada umumnya tidak sah.” Karena itu, para fuqaha khawatir
jika diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan
menjadi suatu alat penindasan.59
57 M. Umar Chapra, Islam and The Economic Challenge, terj. Ikhwan Abidin Basri, Islam
dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 294. 58 Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal.
183. 59 Ibid., hal.186.
45
3. Pendapat ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak adalah
satu (sama) dan tidak terpisah.
Pendapat dari golongan ketiga adalah Imam Nawawi beliau berkata
bahwa pemungutan kharaj dari tanah itu 1/10, sedangkan kewaiban
zakatnya adalah 1/10. Oleh karena pembayaran kharaj 1/10 itu dianggap
sebagai ganti pembayaran zakat yang besarnya juga 1/10 dan baik kharaj
maupun zakat keduanya adalah kepentingan umum.60
60 Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003,
Jilid V, hal. 541-542
46
BAB III
KONSTRUKSI PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
DALAM PENETAPAN ZAKAT SEBAGAI PAJAK
A. Biografi dan karya Fazlur Rahman
1. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman merupakan intelektual muslim kontemporer yang
dilahirkan pada tanggal 21 September 1919, di daerah Hazara ketika India
belum terpecah menjadi India dan Pakistan, daerah tersebut sekarang terletak
di sebelah Barat Laut Pakistan.1 Fazlur Rahman dilahirkan di lingkungan
masyarakat yang taat beribadah kepada Allah SWT. Dalam pengakuannya,
Fazlur Rahman dan keluarganya mempraktikkan ibadah sehari-hari secara
teratur seperti dan lain-lain. Pada umur sepuluh tahun ia sudah hafal seluruh
ayat-ayat al-Qur’an.2 Ayahnya, Maulana Syahab al-Din, seorang ulama
terkenal lulusan madrasah Deoband. Meskipun berpendidikan agama sistem
tradisional, Syahab al-Din sangat menghargai sistem pendidikan modern.
Pendidikan dalam keluarga benar-benar sangat efektif dalam
membentuk watak dan kepribadian Fazlur Rahman. Ada beberapa faktor yang
telah membentuk karakter dan kedalaman keberagamaan Fazlur Rahman,
1 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjm. Taufiq Adnan Amal,
Bandung: Mizan, 1993, hal. 13. 2 M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII
Press, 2000, hal. 9.
47
salah satunya adalah pengajaran dari ibunya tentang kejujuran, kasih sayang,
serta kecintaan sepenuh hati seorang ibu. Hal lain adalah ayahnya tekun
mengajarkan agama kepada Fazlur Rahman di rumah dengan disiplin yang
tinggi sehingga ia mampu menghadapi bermacam peradaban dan tantangan di
dunia modern.3 Fazlur Rahman banyak dididik ilmu agama oleh orang tuanya
dengan madzhab fiqh tertentu yakni mazhab Hanafi. Selain itu ketika Fazlur
Rahman hidup di Pakistan telah lebih dahulu berkembang pemikiran yang
agak liberal seperti Syah Waliyullah, Syah Abdul Aziz, Sayyid Ahmad
Syahid, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, dan Sir Muhammad Iqbal.
Dari para pemikir tersebut tentunya juga mempengaruhi pola pikir Fazlur
Rahman.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan
memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940 Fazlur Rahman menyelesaikan
BA-nya dalam bidang sastra Arab pada Universitas Punjab. Kemudian, dua
tahun berikutnya (1942) dia menyelesaikan Masternya dalam bidang yang
sama pada Universitas yang sama pula. Empat tahun kemudian (1946) Fazlur
Rahman berangkat ke Inggris untuk pengembaraan intelektualnya keluar
negeri dengan masuk di Universitas Oxford di bawah bimbingan Prof. S. Van
Den Bergh dan H.A.R. Gibb dalam program doctor filsafat Islam (Ph.D). Pada
tahun 1949 Fazlur Rahman menyelesaikan studinya dengan disertasi tentang
3 Ibid., hal. 10.
48
Ibnu Sina.4 Dua tahun kemudian disertasinya diterbitkan oleh Oxford
University Press dengan judul Avecinna’s Psychology.
Ketika kuliah di Oxford University, pendidikan yang sudah maju di
Barat, maka Fazlur Rahman mempunyai kesempatan untuk mempelajari
beberapa bahasa-bahasa Barat. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin,
Yunani, Inggris, Jerman, Persia, Turki, Arab, dan Urdu.5 Penguasaan bahasa
yang bagus sangat membantunya dalam memperdalam dan memperluas ilmu
pengetahuan, terutama dalam studi-studi Islam melalui penelusuran literatur-
literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa mereka.
Dengan pengalaman ini, Fazlur Rahman tidak menjadikan apologetik, tetapi
justru lebih memperlihatkan penalaran yang objektif. Dengan demikian
banyak intelektual Muslim yang menjadikannya sebagai panutan dalam
pemikiran Islam.
Kendatipun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu dari para sarjana
Barat, tidak berarti Fazlur Rahman selalu berfikiran sama dengan pemikiran
para sarjana Barat. Fazlur Rahman tetap kritis dalam menilai pandangan-
pandangan yang diajukan para orientalis. Bahkan sejauh formulasi yang
dibentuk tidak memiliki argumen yang kuat atau karena kesalahpahaman
mereka terhadap masalah yang sedang dianalisis Fazlur Rahman tidak segan-
segan untuk mengkritiknya. Fazlur Rahman juga mengkritisi praktik dan atau
4 Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian Terhadap Metode, Epistomologi dan Sistem Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 62. 5 Ibid.
49
sistem politik dan sosial yang dikembangkan Barat yang secara moral objektif
telah jauh dari kebaikan.6
Dengan gelar akademik yang disandangnya dan penguasaan bahasa
yang sangat bagus, Fazlur Rahman benar-benar seorang Scholar yang
mumpuni dalam berbagai bidang kajian keislaman. Ia menguasai secara luas
dan mendalam sejarah Islam dalam bidang pemikiran, perkembangan sosial
politik dan budaya. Demikian pula ia sanggup membaca dengan cermat
khazanah klasik keilmuan Islam di segala bidang, betapa pun kunonya buku
tersebut yang belum menggunakan bahasa yang standar.
Setelah mendapatkan gelar doctor dalam bidang Filsafat Islam (Ph.D)
Fazlur Rahman tidak langsung pulang kampung, melainkan dia masih tetap
tinggal di Inggris dengan ikut mengembangkan karirnya sebgai seorang dosen
studi Persia dan filsafat Islam di Universitas Durham dari tahun 1950 hingga
tahun 1958.7 Selanjutnya pada tahun 1958 ia hijrah ke Kanada, ia di sana
diangkat sebagai lector kepala (associate professor) di Institut Studi Islam
Universitas Mc.Gill, Kanada. Pada tahun 1961 Fazlur Rahman diundang
untuk pulang di tanah airnya, Pakistan oleh seorang Presiden Ayyub Khan
yang memerintah pada waktu itu, untuk membantu pembaruan di Pakistan.
Terutama di lembaga Riset Islam Pakistan dan selanjutnya ia diangkat sebagai
6 M. Hasbi Amiruddin, Op.cit., hal. 11. 7 Ilyas Supena, Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur
Rahman, Semarang: Walisongo Press, hal. 45.
50
direktur lembaga tersebut pada tahun 1961- 1969. Pada tahun 1964, Fazlur
Rahman juga ditunjuk sebagai salah seorang anggota Dewan Penasehat
Ideologi Negara Islam Pakistan yang salah satu tugasnya adalah meninjau
seluruh hukum, baik yang telah ada maupun yang akan dibuat agar selaras
dengan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah serta mengajukan rekomendasi
kepada pemerintah pusat dan daerah bagaimana seharusnya kaum muslim
Pakistan menjadi muslim yang terbaik. Kedua lembaga ini yakni lembaga
Riset Islam Pakistan dan Dewan Penasehat Ideologi Negara Islam Pakistan
memiliki hubungan yang sangat erat, karena masing-masing dapat meminta
bahan-bahan dan mengajukan saran-saran mengenai suatu rancangan undang-
undang yang diajukan kepadanya.8
Fazlur Rahman menerima tawaran Ayyub Khan tersebut dengan
harapan ia dapat mengajukan gagasan-gagasan pembaruan dalam dunia Islam.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian ia lontarkan dalam tiga jurnal yang
diterbitkan lembaga riset Islam yakni Dirasah Islamiyah (Arab), Islamic
Studies (Inggris) dan Fikr -O-Nazr (Urdu). Melalui jurnal tersebut, bidang-
bidang kajian Islam Fazlur Rahman bukan hanya sejarah filsafat dan
pemikiran Islam pada umumnya, melainkan juga bidang-bidang lain yang
lebih praktis seperti riba dan bunga bank, sistem ekonomi, lembaga
8 Ibid.
51
perkawinan dan keluarga, masalah-masalah kesehatan pengobatan, sistem
politik dan kenegaraan dan sistem pendidikan.
Usaha-usaha tersebut dilakukannya dengan memberi makna baru
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan metodologi tafsir baru. Gagasan
pembaruan Fazlur Rahman tersebut yang pada dasarnya adalah representative
kelompok neo-modernis berkaitan dengan al-Sunnah dan al-Hadīth, riba dan
bunga bank, zakat, fatwa-fatwa tentang kehalalan binatang yang disembelih
dengan alat mekanik dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut banyak
mengundang kontroversi berskala nasional, yang puncaknya terjadi pada
bulan September 1967 ketika dua bab pertama karya monumentalnya “Islam“
dipublikasikan dalam jurnal berbahasa Urdu yang bernaung di bawah lembaga
Riset Islam. Dalam buku tersebut Fazlur Rahman mengatakan bahwa secara
keseluruhanya al-Qur’an adalah kalam Allah SWT, dan dalam pengertian
biasa juga seluruhnya merupakan perkataan nabi Muhammad SAW.9
Pernyataan tersebut seperti bisa diduga akan menimbulkan reaksi keras oleh
kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Bahkan tidak
sedikit yang menuduh Fazlur Rahman sebagai munkiru al-Qur’ān. Kondisi itu
diperparah dengan terjadinya demonstrasi masa dan aksi mogok kerja yang
berskala massif di beberapa kota di Pakistan pada awal September 1968. Aksi
massa menurut beberapa kalangan dinilai sebagai bersifat politis, memang
9 Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984, hal. 31.
52
dalam waktu yang cukup lama belum juga bisa diredakan. Salah satu pendapat
yang menyatakan aksi masa tersebut bersifat politis adalah Esposito.
Menurutnya Aksi massa tersebut sebenarnya bukan hanya datangnya dari
penyataan Fazlur Rahman, melainkan juga adanya faktor politik yang
sebenarnya lebih ditujukan untuk menentang kepemimpinan Ayyub Khan.10
Akhirnya, karena menemukan dirinya tanpa dukungan dan kurang
strategis dalam mengembangkan pembaruan Islam, Fazlur Rahman
mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam
pada 5 September 1968 yang langsung dikabulkan oleh Ayyub Khan. Dan
setahun kemudian pada tahun 1969 Fazlur Rahman melepaskan
keanggotaannya dari Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan.11
Pertimbangan pengunduran dirinya dari kedua lembaga tersebut merupakan
faktor yang sangat menentukan bagi keputusan Fazlur Rahman untuk segera
meninggalkan Pakistan di tengah hujatan dan sorotan kritik atas pandangan-
pandangannya sebagai seorang yang dianggap terlalu liberal.
Setidaknya terdapat beberapa faktor yang secara garis besar dapat
menjelaskan terjadinya kontroversi dan oposisi terhadap Fazlur Rahman di
Pakistan dan pengunduran dirinya selaku direktur Riset Islam dan
Keanggotaan Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan. Ulama tradisionalis
10 John L. Esposito, Pakistan : Pencarian Identitas Islam, dalam Islam dan Perubahan Sosial
Politik di Negara Berkembang, Terjemahan Wardah Hafiz, Yogyakarta : PLP2M, 1985, hal. 286. 11 Abd. A’la, Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003, hal. 37.
53
dan fundamentalis Pakistan dan oposan Fazlur Rahman yang paling setia dan
tangguh selama Fazlur Rahman menetap di Pakistan, tidak pernah memaafkan
“dosa” Fazlur Rahman karena mendapatkan didikan di Barat dan berhubungan
dengan Barat. Lantaran alasan ini pula, mereka tidak pernah merestui
penunjukkannya selaku Direktur Lembaga Riset Islam Pakistan. Bagi mereka
jabatan tersebut adalah hak privilese eksklusif seorang ‘alim yang terdidik
secara tradisional. Demikian pula, kolaborasi Fazlur Rahman dengan
pemerintahan Ayyub Khan kurang menguntungkan bagi Fazlur Rahman
karena kemarahan para ulama tradisionalis dan fundamentalis kepada Ayyub
Khan ditumpahkan padanya. Di samping itu gagasan-gagasan pembaruan
yang dikemukakan Fazlur Rahman terlalu liberal bagi mereka dan
menyudutkan kalangan tradisionalis dan fundamentalis Pakistan.
Latar belakang ketidaksenangan dan penentangan kaum tradisionalis
dan fundamentalis Pakistan terhadap Fazlur Rahman bersifat complicated
tersebut, pada akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk mengembangkan
pembaruan pemikiran Islam di negara lain yang dapat menerima pemikiran-
pemikiran progresifnya. Pada musim semi tahun 1969, Fazlur Rahman
diangkat menjadi guru besar tamu di Universitas California, Los Anggles dan
kemudian ditarik Universitas Chicago sebagai professor pemikiran Islam.
54
Pada tahun 1986, ia direkrut oleh Horald H. Swift menjadi guru besar di
Chicago University hingga wafatnya pada Juli 1988.12
2. Karya-karya Fazlur Rahman
Perkembangan pemikiran dan karya-karya Fazlur Rahman dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi),
periode perkembangan, dan periode kematangan. Periode pertama disebut
periode pembentukan karena pada periode ini Fazlur Rahman mulai
meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai
sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang pulang ke negerinya,
Pakistan. Pada periode ini, Fazlur Rahman berhasil menulis tiga karya
intelektualnya, yaitu: Avicenna’s Psychology (1952), berisikan kajian dari
pemikiran Ibn Sina yang terdapat dalam kitab Kitab al-Najat, Avicenna’s De
Anima, being the Psychological Part of Kitab al-Shifa’, merupakan suntingan
dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’ dan Prophecy
in Islam: Philosophy and Orthodoxy.13
Periode kedua disebut periode perkembangan, periode ini dimulai
sejak kepulangan Fazlur Rahman dari Inggris ke Pakistan sampai menjelang
keberangkatannya ke Amerika. Periode ini ditandai dengan suatu perubahan
yang radikal. Fazlur Rahman secara intens terlibat dalam upaya-upaya untuk
merumuskan kembali Islam dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan
12 Fazlur Rahman, Op.cit., hal. 15. 13 Ali Masrur, Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an: Model Penafsiran Fazlur Rahman, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 2002, hal. 46.
55
kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim kontemporer, khususnya bagi
Pakistan. Keterlibatan Fazlur Rahman ini menghasilkan karya yang berbentuk
buku, Islamic Methodology in History (1965), karya ini membahas konsep
sunnah, ijtihad, dan ijma’. Intisari dari buku tersebut adalah pemikiran bahwa
dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi
menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadits.
Menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal,
sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para
sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut. Sedangkan hadits
merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari sunnah
tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma’”.
Buku kedua yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah berjudul
Islam (1966) buku ini merupakan upaya Fazlur Rahman dalam menyajikan
sejarah perkembangan Islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas
abad keberadaan Islam. Dalam buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan
mengemukakan kritik historis, di samping sedikit memberikan harapan dan
saran-saran.14
Periode ketiga disebut dengan periode Kematangan, karya-karya
intelektual Fazlur Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (1970) mencakup
hampir seluruh kajian Islam normatif maupun historis. Dalam periode ini ia
14 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman), Bandung: Mizan, 1989, hal. 123-124.
56
berhasil menyelesaikan beberapa buku; pertama, Philosophy of Mulla Sadra
Shirazi (1975), buku ini merupakan kajian historis Fazlur Rahman terhadap
pemikiran Shadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra). Di dalamnya
mengungkapkan tentang sanggahan bahwa tradisi filsafat Islam telah mati
setelah diserang bertubi-tubi oleh al-Ghazali untuk membantah pandangan
sarjana barat modern yang keliru tentang hal tersebut.
Buku kedua, Major Themes of Qur’an (1980), buku ini berisi delapan
tema pokok al-Qur’an, yaitu; Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia
sebagai anggota Masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi,
setan dan kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim. Melalui karya ini,
Fazlur Rahman berhasil membangun suatu landasan filosofis yang tegar untuk
perenungan kembali makna dan pesan al-Qur’an bagi kaum muslimin
kontemporer. Buku ketiga yang dihasilkan Fazlur Rahman adalah "Islam and
Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982).”15
Dalam
buku ini Fazlur Rahman berbicara tentang pendidikan Islam dalam perspektif
sejarah dengan al-Qur’an sebagai kriteria penilai.
Buku terakhir yang dihasilkan oleh Fazlur Rahman adalah Health and
Medicine in Islamic Tradition (1987). Buku ini berusaha memotret kaitan
antar organis antara Islam sebagai sistem kepercayaan dan Islam sebagai
sebuah tradisi pengobatan manusia. Dengan menjelajahi teks-teks al-Qur’an
15 Ibid,. h. 136.
57
dan Hadits Nabi serta sejarah kaum muslim, Fazlur Rahman memperlihatkan
bahwa perkembangan ilmu pengobatan dalam tradisi Islam digerakkan oleh
motivasi etika agama dan keyakinan, bahwa mengobati orang sakit adalah
bentuk pengabdian kepada Allah. Di samping itu, Fazlur Rahman juga
menunjukan bahwa tergesernya ilmu pengobatan Islam oleh ilmu pengobatan
barat telah memunculkan problem etis, yaitu hilangnya dimensi religius-
spiritual dalam pengobatan manusia.16
B. Pemikiran Fazlur Rahman mengenai Zakat sebagai Pajak
Fazlur Rahman dikenal sebagai seorang tokoh intelektual Islam
modern yang ternama. Salah satu pemikirannya yaitu mengenai zakat dan
pajak. Pada awal 1966, Fazlur Rahman menyarankan pemerintah Pakistan,
lewat Dewan Penasehat Ideologi Islam, bahwa struktur perpajakan sebaiknya
dirasionalkan dan diefisienkan dengan menerapkan kembali zakat,
membenahi kembali tarifnya mengingat makin melambungnya anggaran
belanja pemerintah, dan memperluas cakupannya kepada sektor investasi
kekayaan sehingga dapat memperbaiki motivasi Islami para pembayar pajak
dan meminimalkan pengelakan pembayaran pajak.
Saran Fazlur Rahman didasarkan pada penafsirannya terhadap rincian
distribusi zakat dalam surat at-Taubah: 60 yang merupakan pengejawantahan
salah satu prinsip keadilan sosial dan ekonomi dalam QS. al-Hasyr: 7 yang
menyatakan bahwa kekayaan tidak boleh beredar hanya dikalangan orang-
16 Ali Masrur, Loc. Cit.
58
orang kaya. Fazlur Rahman berpandangan bahwa kategori-kategori yang
ditetapkan dalam QS. al-Taubah: 60 tersebut sedemikian luasnya sehingga
merangkum seluruh aktivitas negara. Kesejahteraan sosial dalam arti luas,
yang diisyaratkan oleh ayat tersebut meliputi membantu orang-orang yang
terjerat hutang, gaji pegawai administratif (kolektor pajak), pengeluaran
diplomasi (untuk menarik hati orang-orang ke dalam islam), pertahanan,
pendidikan, komunikasi dan kesehatan.17
Tetapi ketika saran tersebut
disiarkan melalui harian nasional berbahasa Urdu, mulai 16 Mei 1966 dan
seterusnya maka suatu kontroversi berskala nasional kembali meledak.
Oposisi dari kalangan ulama demikian hebatnya, sehingga anggota-anggota
Dewan Penasihat Ideologi Islam, termasuk ‘Ala Al-Din Shiddiqi (pemimpin
Dewan Penasihat Ideologi Islam) mengeluarkan pernyataan pers bahwa
mereka maupun Dewan Penasihat tidak terlibat atau bertanggungjawab atas
pandangan Fazlur Rahman.
Lebih jauh Fazlur Rahman menyatakan bahwa:
Zakat was the only permanent tax envisaged by the qur’an and
the prophet, that the statement of the items of its expenditure in
the qur’an is so comprehensive that, for that period, it contains
all the areas of public expenditures from defense through
communications (welfare of the “wayfarers” as the Qur’an has
it), to social welfare, and that, therefore, the muslims might
consider adjusting somewhat the zakat-rate and the basis of its
collection to modern needs. 18
17 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1995, hal. 60-61 18 Fazlur Rahman, “Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era”, Essays on Islamic
Civilization, ed. Donald P. Little, Leiden: E.J. Brill, 1976, hal. 295.
59
Perlu adanya langkah penyesuaian (readjustment) tarif zakat selaras
dengan kebutuhan kontemporer yang dapat diaplikasikan sebagai pengganti
pajak-pajak sekuler di negara-negara Islam. Ini sekaligus akan memberi
motivasi religius kepada para wajib pajak.19
Menurut Fazlur Rahman pada saat itu cakupan zakat disalah pahami,
zakat dipahami sebagai pajak kekayaan yang dikenakan terhadap kekayaan
seseorang yang tertimbun dan merupakan surplus (tidak terhadap pendapatan
tahunan sebagaimana pendapat beberapa penulis). Khususnya dalam periode
modern, zakat lantas murni menjadi santunan yang bersifat sukrela, sedang
kedudukannya yang dulu diganti oleh pajak sekuler yang datang dari negara
modern. Fazlur Rahman sangat menyayangkan sikap ulama yang menolak
langkah penyesuaian tarif zakat dengan dalih apabila zakat tidak dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat Islam, pemerintah dapat menetapkan pajak
lainnya. Penetapan pajak-pajak yang tidak islami ini, bagi Fazlur Rahman
merupakan esensi sekularisme.20
Kalangan modernis Pakistan, pada ujung kontroversi ini, menyalahkan
Fazlur Rahman bahwa ia terlalu tergesa-gesa mengadakan perubahan dalam
praktek zakat yang telah mapan. Mereka memang sepakat dengan Fazlur
Rahman, tetapi mereka menghendaki secara bertahap yaitu:
19 Taufik Adnan Amal, Op.cit., hal. 218. 20 Fazlur Rahman, Op.cit., hal. 119-120. Lihat juga artikelnya, “Islam Modernism”, hal. 327-
328.
60
1. Pemerintah dapat mengumpulkan zakat berdasarkan kesukarelaan.
2. Pemerintah mengubah zakat menjadi pajak formal.
3. Selanjutnya seluruh sistem perpajakan dimasukkan ke dalam naungan
zakat dengan mengubah strukturnya seperti yang disarankan Fazlur
Rahman.
Fazlur Rahman sendiri menilai bahwa kalangan modernis demikian
pula dengan kalangan ulama terlalu kaget melihat formulasi intelektual Fazlur
Rahman tentang zakat, karena sepanjang menyangkut sisi praktisnya, Fazlur
Rahman tidak menyarankan suatu perubahan seketika dalam sistem
perpajakan, sebab hal ini hanya mungkin dilakukan di bawah suatu rezim
modernis yang luar biasa adikaryanya.21
Tetapi, terdapat tuntutan yang umum dikalangan masyarakat muslim
untuk memperbaharui zakat menjadi pajak. Ini dibuktikan dalam dua
konstitusi Pakistan yang terakhir, dan beberapa negara Timur Tengah pun
telah mendirikan lembaga (kantor) untuk mengatur pembayaran zakat secara
kolektif. Namun dalam ekonomi yang sedang berkembang, para industrialis
besar biasanya bisa mengelak darinya manakala zakat masih dipahami dalam
pengertian Abad Pertengahan. Sebab, mereka biasanya punya tanggungan
utang yang besar terhadap bank dan sedikit punya surplus uang tunai (dan
21Fazlur Rahman, “Some Islamic Issues in The Ayyub Khan Era,” Loc.cit.,; dan artikelnya,
“Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives,” International Journal of Middle Eastern
Studies, vol. 1, 1970, hal. 327-328.
61
karena itu bisa dikategorikan “debitur”). Fenomena yang lebih menyakitkan
lagi adalah bahwa banyak orang-orang termasuk para industrialis mengelak
untuk membayar pajak “sekuler” Negara dan mengurangi rasa kesadaran
mereka dengan membayar zakat yang bebannya sedikit.22
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Fazlur Rahman
1. Aspek Ekonomi
Latar belakang aspek ekonomi yang melatar belakangi pemikiran
Fazlur Rahman disebabkan makin melambungnya anggaran belanja
pemerintah Pakistan pada saat itu. Ketidakstabilan keadaan politik Pakistan
pada tahun 1965 yang disebabkan kekalahan perang menghadapi India
membuat Pakistan terpuruk, sehingga juga berpengaruh pada bidang ekonomi.
Selain itu, pemikiran Fazlur Rahman lahir disebabkan banyaknya pengelakan
terhadap pajak. Mayoritas penduduk Pakistan adalah Muslim, mereka
menganggap pajak adalah pengaruh pemikiran Barat, sehingga banyak terjadi
pengelakan pajak. Oleh karena itu, Fazlur Rahman ingin merasionalkan dan
mengefisienkan sistem perpajakan dengan membenahi sistem zakat.
2. Aspek Sosial
Pakistan, sebuah negara yang didirikan bagi umat Islam,
diproklamirkan pada tanggal 15 Agustus 1947. Kelahiran negara ini
merupakan buah perjuangan umat Islam yang panjang di India untuk
22 Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives,” Op.cit., hal.
328.
62
melepaskan diri dari dominasi mayoritas umat Hindu. Negara Pakistan yang
diimpikan para arsiteknya adalah sebuah negara ideologis, dimana kaum
muslimin mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan
petunjuknya. Lebih jauh negara baru ini merupakan negara demokrasi dengan
konsep kedaulatan rakyat sebagai basisnya. Oleh karena itu, ijma’ sebagai
pelaksanaan ijtihad kolektif dipandang perlu sehingga disetujuilah para ulama
masuk ke dalam dewan legislatif untuk membantu dan memimpin
perbincangan-perbincangan tentang masalah yang bertalian dengan hukum,
setidak-tidaknya dalam tingkatan peralihan hingga hukum Islam telah
dimodernisasi. Ide-ide inilah yang kemudian menjadi basis pemikiran politik
kaum modernis muslim Pakistan.
Fazlur Rahman hidup di tengah-tengah pertarungan ketat antara
golongan-golongan modernis dan fundamentalis yang merumuskan sebuah
Negara Islam Pakistan. Pertarungan ini berawal dari gagasan modernis, seperti
Iqbal. Ia merumuskan suatu konsepsi kenegaraan Islam dalam bingkai term-
term ideologi modern ketika Pakistan belum merdeka, kemudian
dikemukakan pada sidang tahunan Muslim League di akhir 1930. Konsepsi
Iqbal ini pada dasarnya adalah sebagai kelanjutan dari gagasan Sir Sayyid
Ahmad Khan dan Maulana Muhammad ‘Ali. Secara personal, Iqbal mencela
ide-ide sekuler negara modern semisal nasionalisme, sosialisme, komunisme,
demokrasi, dan jargon Barat sekuler lainnya. Sebagai solusinya, Iqbal
63
menganggap bahwa Islam menjadi obat penawar bagi penyakit-penyakit
manusia.23
Ide Iqbal ini, tentu saja tidak serta-merta diterima oleh ulama, karena
tampaknya tidak memaksimalkan peran mereka di lembaga pemerintahan,
bahkan akan mengebiri mereka. Akhirnya, mereka mengusulkan sebuah
negara yang didasarkan atas teori-teori politik tradisional Islam (khilafah dan
imamah), sebagaimana yang pernah diberlakukan pada periode Islam awal.
Akan tetapi, apa yang diinginkan oleh para perancang Pakistan adalah negara
demokrasi, maka ulama harus mencari cara di mana konsep-konsep ideal
kenegaraannya dapat selaras dengan nilai-nilai demokrasi.24
Di samping kalangan ulama yang bersikeras menolak paham
modernis, terdapat kaum fundamentalis yang salah seorang tokoh yang ada
dibelakangnya adalah Abu A’la al-Maududi. Tokoh ini menyebut “negara
Islam-nya”dengan “kerajaan Tuhan” (illah al-hukumat). Di samping kalangan
tradisionalis dan fundamentalis yang dihadapi kalangan modernis, ada juga
23 Namun demikian, Iqbal memiliki konsepsi yang sama sekali berbeda, dalam memandang
“Islam” sebagai sebuah agama, dengan ulama-ulama yang selama ini menjadi pengayom bagi
masyarakat Muslim Pakistan. Sekalipun Iqbal mengusulkan tebentuknya sebuah Negara Islam Pakistan
yang merdeka dan berdaulat, namun ia membedakan antara Islam dan sebagai dasar hukum
kenegaraan dengan teokrasi yang mengandung makna fanatisme. Inilah ide dasar Iqbal yang kelak
mendasari pemikiran politik kalangan modernis 24 Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi
Klasik Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004, hal. 47
64
kalangan sekularis yang menuntut Pakistan menjadi suatu negara sekuler
modern tanpa mengacu sama sekali pada prinsip-prinsip Islam.25
Uraian-uraian di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa negara
Pakistan yang diimpikan para arsiteknya adalah sebuah negara ideologis,
negara di mana kaum Muslim mampu menerapkan ajaran Islam dan mampu
hidup dengan petunjuknya. Lebih jauh, negara baru ini merupakan sebuah
negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat sebagai basisnya.26
Dengan adanya pertarungan ideologi ini, Fazlur Rahman tampil dan
mengemukakan gagasan-gagasan pembaruannya. Selain merupakan respon
terhadap kontroversi akut di Pakistan, juga secara baik mewakili sudut
pandang kubu modernis, sekalipun pada akhirnya berbagai interpretasi dari
kalangan kubu modernis. Tetapi paling tidak, itulah setting historis yang
melatar belakangi seorang Fazlur Rahman dan turut membentuk gagasan-
gagasannya serta ikut pula menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.27
3. Aspek Intelektual
Setelah tiga tahun di Kanada, Fazlur Rahman memulai proyek paling
ambisius dalam hidupnya yang kemudian menjadi titik tolak dalam karirnya.
Pakistan, di bawah jendral Ayyub Khan, mulai memperbarui usahanya pada
pembentukan politik dan identitas negara. Antusias Fazlur Rahman sendiri
25 Ibid., hal. 48 26 Taufik Adnan Amal, Op.cit., hal. 57 27 Sibawaihi, Op. cit., hal. 48-49
65
terhadap masalah ini bisa dibuktikan dari kenyataan bahwa ia meninggalkan
karir akademiknya yang bergengsi di Kanada demi tantangan yang
menghadang di Pakistan. Pada awal-awal pembentukan Pusat Lembaga Riset
Islam (Central Institute of Islamic research), ia memulai menjadi profesor
tamu dan kemudian menjadi direktur selama satu periode (1961-1968). Di
samping sebagai direktur di lembaga ini, Fazlur Rahman juga bekerja pada
Dewan Penasihat Ideologi Islam (Advisory Council of Islamic Ideology),
sebuah badan pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan. Pada sisi lain dengan
posisi sebagai direktur lembaga riset, Fazlur Rahman memprakarsai
penerbitan Journal of Islamic Studies yang hingga kini masih terbit secara
berkala dan merupakan jurnal ilmiah keagamaan bertaraf internasional.
Penunjukan Fazlur Rahman untuk mengepalai lembaga tersebut
kurang mendapat restu dari kalangan ulama tradisional. Menurut mereka,
jabatan direktur lembaga tersebut seharusnya merupakan hak istimewa ulama
yang terdidik secara tradisional. Sementara Fazlur Rahman dianggap sebagai
kelompok modernis dan telah banyak terkontaminasi dengan pikiran-pikiran
Barat. Dengan kondisi awal semacam ini dapat dimaklumi jika selama
kepemimpinan Fazlur Rahman, lembaga riset tersebut selalu mendapat
tantangan keras dari kalangan tradisionalis dan fundamentalis (neo-revivalis).
Puncak dari tantangan ini meletus ketika dua bab pertama dari karya
pertamanya, Islam diterjemahkan ke dalam Bahasa Urdu dan dipublikasikan
pada jurnal Fikr-u-Nazr. Ketegangan-ketegangan ini terus berlanjut ditambah
66
dengan ketegangan politik antara ulama tradisional dengan pemerintah di
bawah kepemimpinan Ayyub Khan yang dapat digolongkan modernis.
Akhirnya pada saat-saat inilah, Fazlur Rahman merasa terpaksa “hengkang”
dari Pakistan.28
Setelah mengakhiri jabatannya selaku anggota Dewan Penasihat
Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, Fazlur Rahman hijrah ke Amerika dan
sejak tahun 1970 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai
aspeknya di Departemen of Near Eastern Languages and Civilazition,
University of Chicago. Kepindahannya ke Chicago salah satu pusat studi
Islam terkemuka di Amerika Serikat yang juga merupakan salah satu sarang
Orientalisme Barat tentu saja menimbulkan tanda Tanya besar. Tampaknya
oposisi yang tak sehat dari kalangan tradisionalis dan fundamentalis Pakistan
terhadapnya telah membuat Fazlur Rahman menyadari bahwa negeri asalnya
itu, demikian juga dengan negeri-negeri Muslim lainnya belum siap
menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab.
Menurut Fazlur Rahman, “Vitalitas kerja intelektual pada dasarnya
bergantung pada lingkungan kebebasan intelektual, karena pemikiran bebas
dan pemikiran merupakan dua patah kata yang sinonim dan seseorang tidak
dapat berharap bahwa pemikiran akan bisa tetap hidup tanpa kebebasan
pemikiran Islam. Begitu halnya seluruh pemikiran juga membutuhkan suatu
28 Sibawaihi, Op. cit., hal. 52-53
67
kebebasan yang dengannya perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan-
pandangan, dan perdebatan antara ide-ide dijamin”, karena di Barat kebebasan
intelektual itu diperoleh Fazlur Rahman, maka tentu saja ia tidak segan-segan
hijrah ke sana daripada berkembang di Pakistan atau di negeri-negeri Muslim
lainnya yang “belum dewasa” secara intelektual.29
D. Metode Pemikiran Fazlur Rahman dalam Penetapan Zakat sebagai
Pajak
Fazlur Rahman dikenal sebagai seorang pemikir neo-modernis yang
paling serius dan produktif dan juga sebagai seorang tokoh intelektual Muslim
yang memiliki latar belakang yang menarik. Fazlur Rahman memiliki latar
belakang tradisi keilmuan yang bertentangan, keilmuan madrasah India
Pakistan yang tradisional dan keilmuan Barat yang liberal, keduanya
berpengaruh dalam membentuk intelektualismenya.
Fazlur Rahman dilahirkan di Pakistan, suatu negara ideologis, negara
di mana kaum muslim mampu menerapkan ajaran islam dan hidup selaras
dengan berbagai petunjuk. Negara Pakistan merupakan suatu negara yang
baru muncul pada tahun 1947 yang merupakan negara demokrasi dengan
konsep kedaulatan rakyat sebagai basisnya.30
Meskipun Fazlur Rahman
terdidik dalam lingkungan tradisional, sikap kritis mengantar jati dirinya
sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah.
29 Taufik Adnan Amal, Op.cit, hal. 104. 30 Ibid., hal. 57
68
Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasannya terhadap sistem
pendidikan tradisional, terlihat dengan keputusannya melanjutkan studi ke
Barat di Universitas Oxford Inggris. Keputusan tersebut merupakan awal
sikap kontroversinya yang mendapat kecaman keras dari kalangan ulama-
ulama Pakistan kala itu yang memandang negatif setiap kecenderungan ke
Barat, sekalipun sikap tersebut ditempuh demi kebaikan dan kemajuan umat
Islam.31
Rupanya Fazlur Rahman senasib dengan Sayyid Ahmad Khan, yang
jauh sebelum Fazlur Rahman, pernah menerima kecaman serupa lantaran
sikapnya yang pro terhadap politik Inggeris di India, dan lantaran
pemikirannya yang rasional ia dituduh oleh para ulama sebagai seorang
kafir.32
Sekembalinya ke tanah airnya, Pakistan, pada tahun 1962, ia diangat
sebagai Direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga
diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology oleh
Pemerintah Pakistan pada tahun 1964. Lembaga tersebut bertujuan untuk
menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka
menjawab tantangan kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang
progresif. Sedangkan Dewan Penasihat Ideologi Islam bertugas meninjau
seluruh hukum, baik yang sudah maupun yang belum ditetapkan, dengan
31 Ghufron A. Mas‘udi, Op.cit., hal. 15 32 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal.168
69
tujuan menyelaraskannya dengan al-Quran dan Sunah. Kedua lembaga ini
memiliki hubungan kerjasama yang erat, karena Dewan Penasihat bisa
meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan
saran mengenai rancangan undang-undang.33
Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Fazlur Rahman
intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab
tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Fazlur Rahman, yang
mempresentasikan kaum modernis, selalu mendapat serangan dari kalangan
ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba
dan bunga bank, sunah dan hadits, zakat, proses turunnya wahyu al-Quran,
fatwa mengenai kehalalan binatang sembelihan secara mekanis dan lain-lain,
telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang
berkepanjangan. Bahkan pernyataan Fazlur Rahman dalam karya magnum
opus-nya, bahwa Alquran itu secara keseluruhan adalah kalam Allah dalam
pengertian bisa juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad, telah
menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media
yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya,
menetapkan Fazlur Rahman sebagai "munkir al-Qur’ân". Puncak kontroversi
33 Taufik Adnan Amal, "Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa
ini" dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif: Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Terj.). Cet.
ke-5. Mizan: Bandung, 1993, hal. 13-14
70
ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes
terhadap buku tersebut.
Tampak jelas, Fazlur Rahman banyak terinspirasi oleh tindakan-
tindakan kebijaksanaan Umar bin Khattab yang kreatif dan inovaif. Sepintas
lalu tindakan-tindakannya itu seakan-akan merupakan penyimpangan, namun
sebenarnya ia menghidupkan ruh al-Quran dan sunnah.34
Dengan demikian,
Fazlur Rahman bukanlah seorang tokoh parsial dalam aspek pemikiran
tertentu, tetapi ia hampir-hampir menguasai segala aspek pemikiran Islam
dalam posisi yang seimbang, Keseluruhan pemikirannya merupakan wujud
kesadarannya akan krisis yang dihadapi dunia Islam dewasa ini yang sebagian
besar berakar dari sejarah Islam sendiri, dan sebagian lainnya dari tantangan
modernitas. Dengan dorongan penuh tanggung jawab terhadap Islam, umat
dan masa depan mereka di tengah-tengah tantangan modernitas dewasa ini,
Fazlur Rahman mengabdikan potensi intelektualnya untuk mengatasi krisis
tersebut.35
Dalam menghadapi perkembangan islam kontemporer membuat
Fazlur Rahman berpikir keras dalam menemukan pre-skripsi yang mampu
mengatasi problem yang muncul. Oleh karena itu, menurut Fazlur Rahman
perlu dilakukan reinterpretasi pesan al-Qur’an. Menurut Fazlur Rahman,
34 Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam Terjemahan oleh Rusdi Karim
& Hamid Basyaib, Cet. ke-1, Yokyakarta: Salahuddin Press, 1987, hal. 4 35 Ibid., hal. 31-32
71
untuk melakukan reinterpretasi al-Qur’an tersebut diperlukan seperangkat
metodologi yang sistematis dan komprehensif. Secara global, proses
interpretasi dilakukan melalui mekanisme gerakan ganda (double movement)
yaitu bertolak dari situasi kontemporer menuju situasi al-Qur’an diturunkan,
kemudian kembali lagi ke situasi yang dihadapi sekarang.36
Karena seperti
disinyalir Fazlur Rahman, al-Qur’an merupakan respon Ilahi, yang
disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW terhadap situasi sosial-moral
masyarakat Arab. Metode double movement memiliki dua gerakan, yaitu:
1. Gerakan pertama
Gerakan pertama dari metode double movement terdiri dari dua
langkah, pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga pendekatan
pemahaman dan penafsiran Alquran, yaitu pendekatan historis, kontekstual,
dan sosiologis. Agaknya gerakan pertama ini lebih dikhususkan terhadap ayat-
ayat hukum. Rumusan gerakan pertama ini diungkapkan sebagai berikut:
Langkah pertama, orang harus memahami arti atau makna
suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji stuasi atau problema historis
di mana pernyataan Alquran tersebut merupakan jawabannya. Tentu
saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam situasi-situasi
spesifiknya, suatu kajian situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga bahkan keseluruhan
kehiupan masyarakat di Arabia pada saat Islam datang dan khususnya
di Makkah dan sekitarnya, harus dilakukan terlebih dahulu. Langkah
kedua, adalah menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut
dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan
moral sosial umum, yang dapat disaring dari ungkapan ayat-ayat
36 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago and London: The University of Chicago, 1982), hal. 5
72
spesifik dalam sinar latar belakang sosio-historis dan dalam sinar
"rationes leges" ('illat hukm) yang sering digunakan. Benarlah bahwa
langkah pertama yaitu memehami makna dari suatu pernyataan
spesifik –sudah memperlihatkan ke arah langkah kedua – dan
membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus ditujukan
kepada ajaran Alquran sebagai suatu keseluruhan, sehingga setiap arti
tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap
tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Alquran
sendiri menda'wakan secara pasti bahwa "ajaran tidak mengandung
kontradiksi", melainkan koheren dengan keseluruhan.37
Ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama, sebagaimana
dikutip di atas adalah penerapan metode berpikir induktif: "berpikir dari ayat-
ayat spesifik menuju kepada prinsip", atau dengan kata lain adalah "berpikir
dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada moral sosial yang bersifat umum
yang terkandung di dalamnya. Terdapat tiga perangkat untuk dapat
menyimpulkan prinsip moral-sosial. Pertama adalah perangkat ilat hukum
(ratio logis) yang dinyatan dalam Alquran secara eksplisit; kedua, ilat hukum
yang dinyatakan secara implisit yang dapat diketahui dengan cara
menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik yang terkait; ketiga adalah
perangkat sosio-historis yang bisa berfungsi untuk menguatkan ilat hukum
implisit untuk menetapkan arah maksud tujuannya, juga dapat berfungsi untuk
membantu mengungkapkan ilat hukum beserta tujuannya yang sama sekali
tidak dinyatakan.38
2. Gerakan kedua
37Ghufron A. Mas’adi, Op.cit., hal.152. 38 Ibid., hal.153.
73
Gerakan kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum,
nilai-nilai dan tujuan-tujuan Alquran yang telah disistematisasikan melaui
gerakan pertama terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang. Rumusan
gerakan kedua ini dinyatakan Fazlur Rahman sebagai berikut:
Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum (yaitu
yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama) menjadi
pandangan-pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum
tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang konkrik
sekarang ini. Sekali lagi kerja ini memerlukan kajian yang cermat atas
situasi sekarang dan analisis berbagai unsur komponennya, sehingga
kita dapat menilai situasi sekarang yang diperlukan dan menentukan
prioritas-prioritas baru untuk bisa mererapkan nilai-nilai Alquran
secara baru pula.39
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa dalam gerakan kedua ini terdapat
dua kerja yang saling terkait. Pertama adalah kerja merumuskan prinsip
umum Alquran menjadi rumusan-rumusan spesifik, maksudnya yang
berkaitan dengan tema-tema khusus, misalnya prinsip ekonomi qurani; prinsip
demokrasi qurani; prinsip hak-hak asasi qurani dan lain-lain, di mana rumusan
prinsip-prinsip tersebut harus mempertimbangkan konteks sosio-historis yang
konkrit, dan bukan rumusan spekulatif yang mengawang-awang, kerja
pertama tidak mungkin terlaksana kecuali disertai kerja kedua yaitu
pembahasan secara akurat terhadap kehidupan actual yang sedang
berkembang dalam segala aspeknya: ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain.
Kenyataan kehidupan aktual suatu masyarakat atau bangsa memiliki corak-
39Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam, Op.cit., hal. 7
74
corak tertentu yang bersifat situasional dan kondisional. Selain itu, ia sarat
akan perubahan-perubahan. Oleh karena itu, tanpa pencermatan situasi dan
kondisi aktual, akan cenderung kepada upaya pemaksaan prinsip-prinsip
qurani, sedangkan yang diinginkan Fazlur Rahman bukanlah seperti itu,
melainkan hanyalah "perumusan" prinsip umum Alquran dalam konteks
sosio-historis aktual. Bahkan suatu prinsip tidak dapat diterapkan sebelum ia
dirumuskan kembali.
Operasionalisasi metode double movement diantaranya yaitu
penumbuhan etika al-Qur’an ke dalam konteks kontemporer. Hal ini
merupakan gerakan kedua dari metode tafsir yang digagas Fazlur Rahman.
Mekanisme penumbuhan ini meliputi modifikasi aturan-aturan lama selaras
dengan situasi kontemporer, asalkan tidak memperkosa prinsip-prinsip yang
telah disistematisasikan ke dalam etika al-Qur’an. Namun sebelumnya, perlu
dilakukan kajian dan analisis terhadap situasi kontemporer beserta berbagai
komponennya demi kesuksesan penumbuhan etika al-Qur’an.40
Adapun prinsip yang dapat direduksi dari etika al-Qur’an adalah
prinsip keadilan sosial dan ekonomi. Melalui prinsip ini, aturan lama akan
dimodifikasi selaras dengan situasi kontemporer. Demikian juga dengan hal-
hal yang ada dalam situasi kontemporer akan dirubah senada dengan prinsip-
prinsip tersebut.
40 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Op.cit.,
hal. 7.
75
Salah satu prinsip keadilan sosial dan ekonomi yang diletakkan al-
Qur’an adalah mengenai distribusi zakat (QS. Al-Hasyr: 7). Sebagai korelasi
prinsip ini, al-Qur’an menetapkan zakat yang tujuan-tujuannya (siapa saja
yang berhak menerima) dirinci dalam QS. At-Taubah: 60. Fazlur Rahman
berpandangan bahwa kategori-kategori yang ditetapkan dalam ayat tersebut
sedemikian luasnya sehingga merangkum seluruh aktivitas Negara.
Kesejahteraan sosial dalam arti yang tidak hanya mencakup seperti yang
tertera dalam QS.At-taubah ayat 60 secara tekstual, melainkan yang
diisyaratkan oleh ayat tersebut meliputi kebutuhan negara.
76
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN
FAZLUR RAHMAN TENTANG ZAKAT SEBAGAI PAJAK
A. Analisis Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap Penetapan Zakat Sebagai
Pajak
Lahirnya pemikiran Fazlur Rahman tidak berasal dari ruang hampa
tanpa ada dialektika dengan realitas sosial. Dengan demikian sangat
dimungkinkan adanya pengaruh yang ikut mendorong lahirnya gagasan
tentang zakat sebagai pajak. Salah satu pemikiran Fazlur Rahman yaitu
mengenai zakat sebagai pajak. Fazlur Rahman menganggap bahwa zakat
adalah the only tax imposed by the Qur’an1 (pajak yang diberlakukan oleh al-
Qur’an).
Pemikiran Fazlur Rahman mengenai zakat sebagai pajak, berlainan
dengan pemikiran Masdar Farid Mas’udi yang mengatakan pajak itu zakat.
Tentang pelaksanaan zakat. Masdar mengatakan bahwa seperti halnya ruh dan
badan, zakat dan pajak memang berbeda, tetapi bukan terpisah. Zakat adalah
ruh dan pajak adalah badannya sebagai konsep keagamaan, zakat bersifat
ruhaniah dan personal, sementara konsep kelembagaan dari zakat itu sendiri
yang bersifat sosial, tidak lain pada apa yang kita kenal selama ini dengan
1Fazlur Rahman,“Islamic Modernism: It’s Scope, Method and Alternatives,” International
Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, 1970, hal. 327.
77
sebutan pajak. Dalam pandangan Masdar zakat sesungguhnya adalah ajaran
moral atau etika transendental untuk pajak serta pembelanjaannya yang pada
gilirannya juga untuk negara.2 Menurut analisis penulis, pendapat Masdar
lebih menekankan untuk pembayaran pajak, dengan alasan bahwa pajak itu
zakat; uang Allah untuk kemaslahatan rakyat. Sedangkan menurut Fazlur
Rahman zakat merupakan suatu pajak yang didasarkan pada al-Qur’an.
Perintah zakat dapat dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang tak
terpisahkan dalam pencapaian kesejahteraan sosial-ekonomi dari aspek al-
adalah al-ijtima>’iyah (keadilan sosial). Implikasi zakat dapat meminimalisir
kesenjangan sosial dalam masyarakat, sebab zakat diharapkan dapat
meningkatkan dan menumbuhkan perekonomian baik individu maupun
masyarakat. Hal ini perlu dibuktikan dengan logika ekonomi (kebijakan
fiskal), karena masih banyak orang yang menganggap bahwa zakat
merupakan faktor pengurang pendapatan kena pajak seseorang. Untuk itu,
para ekonom Islam dan ahli hukum Islam harus mampu menjelaskan dengan
nalar yang dapat diterima oleh masyarakat yang lebih mengedepankan
rasionalitas (masyarakat sekuler).
Ijtihad dalam masalah zakat telah dilakukan pada masa khulafaur
rasyidin. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar terjadi pembangkangan
masyarakat dalam membayar zakat. Abu Bakar berpendapat untuk
2 Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara
untuk Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005, hal.70.
78
memerangi mereka. Abu Bakar banyak mendapat kritik dari Sahabat
yang lain, terutama Umar yang mengatakan bahwa jika seseorang masih
mengucap dua kalimat syahadat, maka tidak boleh diperangi. Namun
demikian, Abu Bakar tetap bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya
hingga akhirnya para Sahabat yang lain menyetujui dan mengakui
kebenarannya. Menurut penulis, sebagai kepala negara saat itu, sikap Abu
Bakar untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat adalah
tindakan yang tepat dan sesuai dengan tuntutan keadaan. Karena jika
sumber dana terkurangi, hal itu akan berpengaruh pada keberlangsungan
pemerintahan serta mengakibatkan terhalanginya kaum lemah untuk
mendapatkan haknya.
Pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, beliau tidak
memberikan bagian zakat kepada muallaf, padahal dalam al-Qur`an surat
at-Taubah: 60 disebutkan bahwa di antara golongan penerima zakat adalah
al-muallafatu qulu>buh}um. Umar melakukan hal itu atas pertimbangan
bahwa Islam sudah kuat dan orang-orang yang baru masuk Islam sudah
tidak perlu diperlakukan secara istimewa .3
Penulis sepakat dengan pemikiran Fazlur Rahman yang menetapkan
zakat sebagai pajak di Pakistan pada tahun 1966, menurut analisis penulis
bahwa penetapan zakat sebagai pajak dapat dilakukan atas pertimbangan
3 Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat; Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2010, hal. 121.
79
bahwa formulasi hukum islam tidak bersifat kaku dan berhenti pada
pemahaman tekstual terhadap al-Qur`an dan sunnah Rasul. Sebagai
contoh yaitu ij t ihad yang dilakukan oleh abu bakar dan umar bin
khattab yang terlihat dari hasil contoh ijtihad mereka bahwa ketika
merumuskan hukum Islam, kondisi sosiologis senantiasa diperhatikan dan
mempunyai pengaruh di dalamnya. Ini menjadi bukti bahwa perhatian
terhadap realitas sosial memang ditekankan dalam rangka menentukan
hukum Islam.
Islam sebagai agama terakhir, yang diyakini sebagai agama
yang s}a>lihun li kulli zama>n wa maka>n tentunya diharapkan bisa
menyikapi perkembangan zaman tersebut dengan bijaksana. Demikian pula
hukum Islam yang dijadikan sandaran kaum muslimin dalam melaksanakan
aktivitas kesehariannya, juga perlu memperhatikan realitas kehidupan saat
ini. Hukum-hukum Islam hendaknya sejalan dengan perkembangan zaman,
sehingga ia menjadi hukum yang bisa dimengerti dan bisa dijalankan
oleh masyarakat modern, tanpa adanya unsur pemaksaan dan pemberatan.
Untuk itu, dalam rangka merumuskan hukum I s l a m , pemahaman terhadap
realitas sosial kekinian menjadi penting. Gagasan ini sejalan dengan kaidah
ushul, taghayyuru al-ahka>m bi taghayyuri al-azminah wa al- amkinah yang
berarti bahwa penyempurnaan konsep hukum selalu melibatkan ruang dan
80
waktu yang memagari masyarakat.4 Fazlur Rahman, seorang tokoh
pembaharu asal Pakistan mencetuskan pemikiran tentang penetapan zakat
sebagai pajak. Gagasan tersebut sekedar memberi alternatif atas masalah
ekonomi yang terjadi di Pakistan pada masa Ayyub Khan. Pada masa
pemerintahan Ayyub khan pengelakan terhadap pembayaran zakat masih
banyak terjadi. Hal itu dikarenakan zakat saat itu masih dipahami sebagai
zakat di abad pertengahan. Para kaum industrialis memahami zakat ditunaikan
bagi mereka yang mempunyai surplus uang tunai, sedangkan bagi mereka
yang mempunyai sedikit surplus uang tunai tidak diwajibkan berzakat (dan
karena itu bisa dikatakan “debitur”).
Menurut analisis penulis penetapan zakat sebagai pajak yang
dicetuskan oleh Fazlur Rahman merupakan hasil pemikiran Fazlur Rahman,
yang dimaksudkan agar sistem perpajakan yang ada di Pakistan dirasionalkan
dan diefesienkan dengan menetapkan kembali zakat. Zakat seyogyanya bisa
menjadi sumber penerimaan negara terbesar, karena Pakistan pada masa
pemerintahan Ayub Khan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Menurut hemat penulis, inti dari pemikiran Fazlur Rahman mengenai
penetapan zakat sebagai pajak dipengaruhi oleh dua alasan. Pertama, adalah
pergolakan pemikiran ideologis negara Pakistan pada masa-masa awal
berdirinya, di mana Fazlur Rahman turut terlibat di dalamnya. Zakat sebagai
4 Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani,
2004, hal.4.
81
pajak yang ditetapkan oleh Fazlur Rahman dimaksudkan sebagai solusi
kondisional Pakistan. Kedua, penetapan pemikiran Fazlur Rahman tersebut
menggunakan prinsip pendekatan kontekstual, yakni metode yang
memandang adanya keterkaitan suatu pemikiran dengan lingkungannya atau
konteksnya.
Zakat merupakan sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik moral dan
agama sekaligus. Zakat merupakan sebuah sistem ekonomi, karena zakat
merupakan pajak harta yang ditentukan. Ada yang sebagai pajak individu
(seperti zakat fitrah) dan apa yang berupa pajak kekayaan yang dipungut dari
modal dan pendapaan (seperti zakat mal). Zakat merupakan sumber keuangan
negara (baitul mal) dalam islam yang dipergunakan untuk membebaskan
setiap orang dari kesusahan dan menanggulangi kebutuhan masyarakat dalam
bidang ekonomi.
Zakat adalah sistem sosial, karena berfungsi menyelamatkan manusia
dari keemahan baik karena faktor bawaan ataupun karena kecelakaan. Secara
filosofis sosial zakat dikaitkan dengan perinsip ”keadilan sosial” dilihat dari
segi kebijaksanaan dan setrategi pembangunan dan distribusi pendapatan
masyarakat, pemerataan kegiatan pembangunan, serta pemberantasan
kemiskinan (memperkecil kesenjangan antara si kaya dengan si miskin).
Zakat juga merupakan sebuah sistem politik, karena pada dasarnya
kebijakan penghimpunan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat dikelola
82
oleh negara melalui sebuah lembaga khusus (amil zakat) dengan
memperhatikan asas keadilan.
Penetapan zakat sebagai pajak dapat menjadi efektif, apabila didukung
adanya suatu institusi zakat yang disahkan atau dilembagakan oleh
pemerintah, sehingga zakat bisa berfungsi secara maksimal dalam perannya
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hasil pemikiran Fazlur Rahman
mengenai penetapan zakat sebagai pajak, jika dihubungkan dengan
pengelolaan zakat di Indonesia yaitu pemerintah seharusnya menetapkan
regulasi mengenai penetapan sanksi yang tegas bagi para muzakki yang
mengelak membayar zakat oleh pemerintah Indonesia, hal ini dilakukan agar
zakat dapat berjalan secara maksimal dengan adanya sanksi yang tegas bagi
muzakki yang mengelak membayar zakat. Seandainya penetapan zakat
sebagai pajak yang dilakukan dalam suasana pelaksanaan zakat yang belum
berjalan secara maksimal, maka hal ini akan mempengaruhi sumber
penerimaan negara. Pajak notabennya sebagai sumber penerimaan negara
terbesar di Indonesia, tentu saja penetapan zakat sebagai pajak apabila
pelaksanaan zakat tidak berjalan maksimal tentu akan sangat berpengaruh
pada kondisi perekonomian di Indonesia yang juga akan merembet ke
beberapa aspek dari tingkat kesejahteraan rakyat, pendidikan, kesehatan dan
semua aspek sosial masyarakat lainnya.
B. Analisis Metode Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap Penetapan Zakat
Sebagai Pajak
83
Menurut Fazlur Rahman, zakat merupakan satu-satunya pajak yang
ditetapkan dalam al-Qur’an. Konsep zakat merupakan implikasi dari prinsip
keadilan yang merata dalam al-Qur’an yang tertuang dalam firman Allah QS.
al-H~asyr: 7:
!$Β u !$sùr& ª!$# 4’n?tã Ï&Î!θ ß™u‘ ô ÏΒ È≅÷δr& 3“tà) ø9 $# ¬T sù ÉΑθ ß™§= Ï9 uρ “Ï%Î! uρ 4’n1öà) ø9 $# 4’yϑ≈ tGuŠ ø9 $# uρ
ÈÅ3≈|¡ yϑø9 $#uρ Èø⌠$# uρ È≅‹ Î6¡¡9 $# ö’s1 Ÿω tβθ ä3 tƒ P's!ρ ߊ t ÷t/ Ï!$uŠ ÏΨ øîF{ $# öΝä3Ζ ÏΒ 4 !$tΒuρ ãΝä39 s?#u
ãΑθ ß™§9 $# çνρ ä‹ã‚sù $tΒuρ öΝä39 pκtΞ çµ ÷Ψ tã (#θßγtFΡ$$sù 4 (#θà) ¨?$#uρ ©!$# ( ¨βÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s) Ïè ø9 $# ∩∠∪
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
Walaupun ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan pembagian
harta rampasan perang kepada para Muhajirin yang miskin tanpa mengikut
sertakan orang-orang Madinah yang lebih lumayan perekonomiannya
sehingga mereka mengajukan keberatan, namun ayat tersebut menurut Fazlur
Rahman menunjukkan sebuah tema penting di dalam kebijaksanaan ekonomi
al-Qur’an secara garis besarnya. Dengan demikian, ayat tersebut bagi
penduduk Makkah ditunjukkan untuk memperingatkan penduduk Makkah
yang memupuk kekayaan dan memeras orang-orang miskin, sedangkan bagi
84
penduduk Madinah ayat tersebut berisi tentang kebijakan ekonomi melalui
penetapan zakat.
Tujuan-tujuan zakat ini diterangkan secara mendetail di dalam QS. at-
taubah: 60, berikut ini:
$yϑΡÎ) àM≈ s% y‰¢Á9 $# Ï !# t s)à� ù=Ï9 ÈÅ3≈|¡yϑø9 $# uρ t,Î#Ïϑ≈ yè ø9 $#uρ $pκö* n= tæ Ïπ x� ©9 xσ ßϑø9 $# uρ öΝåκæ5θ è=è% †Îûuρ
É>$s%Ìh9 $# tÏΒÌ≈ tó ø9 $# uρ †Îû uρ È≅‹ Î6 y™ «!$# È ø⌠$#uρ È≅‹Î6¡¡9 $# ( Zπ ŸÒƒÌsù š∅ ÏiΒ «!$# 3 ª!$# uρ
íΟŠ Î= tæ ÒΟ‹Å6 ym ∩∉⊃∪
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Penafsiran Fazlur Rahman terhadap QS. at-Taubah: 60 yaitu mengenai
kategori-kategori distribusi zakat memiliki cakupan yang luas termasuk
kesejahteraan sosial yang terdiri dari membantu orang-orang yang terjerat
hutang, gaji pegawai administratif (pengumpul pajak), pengeluaran diplomasi
(untuk menarik hati orang-orang ke Islam), pertahanan, pendidikan, kesehatan
dan komuniaksi. Kategori-kategori tersebut sedemikian luasnya sehingga
mencakup seluruh aktifitas negara sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur
Rahman.5 Dilihat dari aspek maqa>s}id sya>ri’ah, penetapan zakat sebagai
pajak bermaksud untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang
5 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1995, hal. 60-61.
85
dilakukan dengan cara penafsiran kembali terhadap kategori delapan ashnaf
oleh Fazlur Rahman. Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui
bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi
kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama
mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum
diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya. Tuhan tidak
mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’
bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud
umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita
mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash
syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya
kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran
makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu
memahami maksud syara’ (maqashid syari’ah). Segala hukum muamalah,
akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum
yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak
masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat
adalah mubah dan segala yang membawa madharat-masfadat adalah haram.
Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir neomodernis. Berkaitan
dengan tema pemikiran Fazlur Rahman tentang zakat sebagai pajak, penulis
melihat adanya usaha Fazlur Rahman untuk meramu metode baru, namun
sebenarnya metode pembaharuan hukum Islam yang disampaikan Fazlur
86
Rahman merupakan kelanjutan dari sebuah proses kesinambungan pemikiran
klasik. Metode yang digunakan Fazlur Rahman terkait pemikirannya dalam
penetapan zakat sebagai pajak yaitu menggunakan “metode tafsir”, metode ini
merupakan metode yang ditawarkan Fazlur Rahman untuk mengatasi krisis
islam dan kemodernan. Metode tafsir yang digunakan Fazlur Rahman terdiri
dari dua gerak ganda yang disebut “a double movement of interpretation”.6
Gerakan double movement Fazlur Rahman secara implisit menekankan
pada aspek pemikiran hukum islam. Langkah pertama dari dua gerakan tafsir
Fazlur Rahman adalah memahami ungkapan-ungkapan al-Qur’an untuk
digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral soial dengan cara mengaitkan
ungkapan-ungkapan spesifik al-Qur’an beserta latar belakang sosio-historis
dan dengan mempetimbangkan ratio legis (‘illat al-hukmu) yang dinyatakan
dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an. Langkah kedua dari metode tafsir
Fazlur Rahman adalah merumuskan prinsip-prinsip umum tersebut ke dalam
konteks sosio-hisoris aktual sekarang ini.7 Kemudian untuk mengoperasikan
metode ini, Fazlur Rahman menerapkan tiga tahapan, yaitu: pertama,
merumuskan world view (pandangan dunia) atau theology al-Qur’an8. Kedua,
6 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago and London: The University of Chicago, 1982), hal. 5. 7 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hal.5-6. 8 Adalah suatu pandangan di mana al-Qur’an harus dipahami dalam konteksnya yang tepat,
dalam artian konteks dan latarbelakang perjuangan nabi.
87
mensistematiskan etika al-Qur’an, dan ketiga menumbuhkan konteks al-
Qur’an pada masa kini.9
Istilah-istilah teknis yang digunakan Fazlur Rahman dalam rumusan
metodiknya di atas, seperti istilah “legal specific al-Qur’an”, “prinsip moral-
sosial”, “latar belakang sosio-historis” dan “ratio legis (‘illat al-hukmu)”,
merupakan istilah-istilah teknis dalam disiplin ilmu ushul fiqh (pemikiran
hokum Islam). Istilah-istilah teknis tersebut dalam konstruksi pemikiran
Fazlur Rahman merupakan “aturan-aturan (hukum) Islam dalam aspek
hubungan kehidupan masyarakat”.
Fazlur Rahman menyebut metodenya sebagai metode tafsir al-Qur’an,
tapi substansi metode tersebut hanya cocok diterapkan dalam aspek tertentu
kandungan al-Qur’an, yakni aspek hukum Islam. Metode tafsir Fazlur
Rahman tidak cocok diterapkan pada seluruh kandungan al-Qur’an selain
hukum Islam. Jadi, metode tafsir Fazlur Rahman secara substansial
merupakan metode “ushul fiqh”. Dapat diduga alasan Fazlur Rahman dibalik
penyebutan istilah metodenya sebagai metode penafsiran adalah perumusan
“nuansa baru” yang bermotif penafsiran dibandingkan dengan ushul fiqh yang
selama ini berkembang yang bermotif pemahaman redaksional. Pernyataan
Fazlur Rahman sendiri menegaskan bahwa upaya intelektual yang terdiri dari
dua gerakan penafsiran tersebut, secara teknis disebut “ijtihad” atau “jihad
9 Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode Epistomologi dan Sistem Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal.136.
88
intelektual”. Jelaslah ungkapan Fazlur Rahman tersebut memperkuat analisis
penulis, bahwa metode Fazlur Rahman pada dasarnya merupakan metode
ushul fiqh. Adapun metode penafsiran tersebut merupakan pendekatan
metodisnya.
Menurut analisis penulis, pemikiran Fazlur Rahman dalam penetapan
zakat sebagai pajak dengan menggunakan metode tafsir dengan dua gerakan
ganda (double movement of interpretation) yang telah dijelaskan di atas.
Metode tersebut menurut penulis terkandung unsur kajian ushul fiqh. Hal ini
terbukti dengan adanya istilah “ratio legis (‘illat hukum) yang digunakan oleh
Fazlur Rahman. ‘Illat al-hukmu merupakan salah satu rukun dari qiyas.
Metode qiyas adalah metode penggalian hukum islam dengan cara
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nas�hnya dengan cara menganalogikan kepada sesuatu peristiwa yang ada
nashnya dalam al-Qur‘an maupun Sunnah, karena adanya persamaan ‘illat al-
hukmu.10
Dalam struktur qiyas terdapat empat unsur yang saling terkait.
Pertama, al-as}l yaitu suatu kasus yang ada hukumnya dalam teks. Kedua, al-
furu>’,yaitu suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam teks. Ketiga, al-
h}ukm yaitu hukum as}l yang ada pada teks dan keempat, al-‘illat, yaitu
kondisi yang dijadikan landasan oleh hukum yang mempertemukan as}l dan
furu>’.11
Qiyas merupakan penerapan hukum analogis terhadap hukum
10 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra, 1994,, hal. 66. 11 Ibid.,hal. 80.
89
sesuatu yang serupa karena persamaan ‘illat. Dengan demikian, maka akan
melahirkan hukum yang sama pula antara peristiwa yang tidak ada nashnya
dengan peristiwa yang sudah ada nashnya dalam al-Qur‘an maupun Sunnah.
Dengan demikian qiyas itu merupakan hal yang fitri dan ditetapkan
berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan
dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang
membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan
antara sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka konsekuensinya
harus sama pula hukum yang ditetapkan.12
Operasional penggunaan qiyas
dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang
memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak
cukup hanya dengan pemahaman lafaz� saja. Selanjutnya, mujtahi>d mencari
dan memilih ada tidaknya ‘illat tersebut pada kasus yang tidak ada nashnya.
Apabila ternyata ada ‘illat, maka mujtahi>d menggunakan ketentuan hokum
pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan ‘illat. Dengan demikian, yang
dicari mujtahid disini ‘illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).13
Selanjutnya, jika ‘illat tersebut ternyata betul-betul terdapat pada kasus lain,
maka ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan
12 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hal. 337. 13 Rahmad Syafe‘i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka setia, 1998, hal. 87.
90
hukum yang terdapat pada nash menjalar pada kasus-kasus lain yang tidak
ada nashnya.14
‘Illat al-hukmu berarti ratio legis yaitu alasan di balik hukum.
Mengenai pemikiran Fazlur Rahman dalam penetapan zakat sebagai pajak,
ratio legis (‘Illat al-hukmu) tujuan pajak yaitu agar terjadi kesejahteraan
sosial, ekonomi, politik dan keuangan, dengan cara distribusi kekayaan
sehingga kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya, hal ini
sesuai dengan tujuan zakat yang terdapat QS. al-Hasyr: 7 yang menetapkan
prinsip bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya.
Sistem distribusi zakat menurut Fazlur Rahman harus diperluas sehingga
mencakup sektor investasi kekayaan dan seluruh aspek pembiayaan negara.
Sistem distribusi zakat diperluas dimaksudkan agar zakat tidak dipahami
hanya sebagai sumbangan sukarela.
Fazlur Rahman mencetuskan pemikiran mengenai zakat sebagai pajak
dimaksudkan agar peran zakat di Pakistan itu maksimal dan posisi zakat tidak
tergeser dan tidak diambil alih oleh pajak sekuler pada sebuah negara modern.
Metode yang digunakan Fazlur Rahman lebih menggunakan istilah dari unsur
Barat, ini dikarenakan Fazlur Rahman banyak menghabiskan waktunya
menempuh pendidikannya di Barat. Walaupun begitu, pemikiran dan metode
yang digunakannya tidak berseberangan dengan hukum Islam.
14 Ibid.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab pada
penulisan skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Fazlur Rahman menetapkan zakat sebagai pajak, dengan alasan bahwa
zakat sesungguhnya adalah ajaran umum al-Qur’an tentang keadilan sosio-
ekonomi. Zakat pada masa Nabi sudah menjadi sumber penerimaan
negara. Nabi kemudian menetapkan tarifnya yang diselaraskan dengan
kebutuhan normal masyarakatnya. Sementara kebutuhan masyarakat
modern dewasa ini telah berkembang sangat luas. Dengan pertimbangan
semacam ini, Fazlur Rahman menyarankan perlunya penyesuaian tarif
zakat dengan kebutuhan-kebutuhan modern serta aplikasinya sebagai
pengganti pajak-pajak sekular di negara-negara Islam.Fazlur Rahman
mencetuskan pemikiran mengenai zakat sebagai pajak dimaksudkan agar
peran zakat di Pakistan itu maksimal dan posisi zakat tidak tergeser dan
tidak diambil alih oleh pajak sekuler pada sebuah negara modern. Oleh
karena itu, menurut Fazlur Rahman umat Islam perlu memperbaiki
lembaga zakat sebagai sistem pajak. Menurut penulis, penetapan zakat
sebagai pajak juga harus diimbangi dengan regulasi mengenai penetapan
sanksi yang tegas bagi para muzakki yang tidak membayar zakat oleh
pemerintah Indonesia, hal ini dilakukan agar zakat dapat berjalan secara
92
maksimal dengan adanya sanksi yang tegas bagi muzakki yang mengelak
membayar zakat.
2. Metode pemikiran Fazlur Rahman dalam penetapan zakat sebagai pajak
yaitu “double movement of interpretation”. Metode pemikiran Fazlur
Rahman dalam penetapan zakat sebagai pajak dapat dilihat dari aspek
maqa>s}id sya>ri’ah yaitu untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat
yang dilakukan dengan cara penafsiran kembali terhadap kategori delapan
ashnaf oleh Fazlur Rahman yang mencakup seluruh aspek pembiayaan
negara, meliputi biaya pertahanan, pendidikan, komunikasi dan bahkan
biaya pendelegasian diplomatik. Metode pemikiran Fazlur rahman juga
dapat dilihat dari aspek pengembangan illat hukum yaitu agar tercipta
kesejahteraan sosial, ekonomi, politik dan keuangan, dengan cara
distribusi kekayaan sehingga kekayaan tidak hanya berputar di kalangan
orang-orang kaya, hal ini sesuai dengan tujuan zakat yang terdapat QS. al-
Hasyr: 7 yang menetapkan prinsip bahwa kekayaan tidak hanya berputar di
kalangan orang-orang kaya. Fazlur Rahman menyatakan bahwa ayat
tersebut merupakan petunjuk umum yang salah satu realisasi hukumnya
adalah perlunya institusi zakat. Menurut Fazlur Rahman, zakat harus
mencakup seluruh aktivitas dan kebutuhan dana sebuah negara modern.
B. Saran-saran
1. Upaya untuk memperbarui hukum Islam agar tetap relevan dengan sosio-
kultural perlu terus digiatkan. Sebab, dengan terus mencari format
idealmelalui ijtihad inilah hukum Islam akan tetap relevan.
93
2. Dalam menggagas sebuah pemikiran hukum sangat penting menggunakan
metode yang benar-benar relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan metode yang tepat akan semakin menguatkan kajian akademik
hukum Islam. Sehingga akan selalu muncul metode-metode baru yang
relevan untuk mengkaji hukum Islam.
3. Untuk menghasilkan produk pemikiran yang applicable perlu
dipertimbangkan implikasi dan relevansinya. Sebab, sedalam dan sekuat
apapun dalil yang digunakan (teks formal) tanpa mempertimbangkan
realitas, pemikiran tersebut akan kandas pada wilayah konsep semata. Di
sinilah diperlukan kajian sosio-historis agar sebuah pemikiran dapat
diterapkan sesuai kebutuhan sosial masyarakat.
C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis
menyadari bahwa meskipun telah diupayakan semaksimal mungkin namun
tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Namun demikian semoga tulisan ini ada
manfaatnya bagi pembaca budiman.
DAFTAR PUSTAKA
A’la,Abd. Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.
al-Munawar,SaidAgilHusin,HukumIslamdanPluralitasSosial,Jakarta: Penamadani,
2004.
Amal, Taufik Adnan, "Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha Neo-Modernisme Islam
Dewasa ini" dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif: Neomodernisme
Islam Fazlur Rahman (Terj.). Cet. ke-5. Mizan: Bandung, 1993.
_________________, Islam dan Tantangan Modernitas (Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman), Bandung: Mizan, 1989.
Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:
UII Press, 2000.
An-Na’im,Abdullah Ahmad,Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKIS, 2004.
an-Nawawi, Imam, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003,
Jilid V.
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra,
1996, cet. ke-1.
Azwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, cet. I.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997.
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, cet. V, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco,
1981.
Bukhori, Imam, Shohih Bukhori, Juz 2, Semarang: Toha Putra, t.th.
Chapra, M. Umar, Islam and The Economic Challenge, terj. IkhwanAbidinBasri,
Islam dan Tantangan Ekonomi,Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Uchtiar Baru Van Hoeve,
1997, cet. 1.
Damayanti, Prof. Supramono, TheresiaWoro, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan
Perhitungan Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Daud, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemah, Bandung: Sygma
Publishing, 2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994.
DidinHafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, cet. II, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002.
Esposito, John L., Pakistan : Pencarian Identitas Islam, dalam Islam dan Perubahan
Sosial Politik di Negara Berkembang, Terjemahan Wardah Hafiz, Yogyakarta
: PLP2M, 1985.
Ghazali, Syukir ,Amidhan (eds), Pedoman Zakat, Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat
dan Wakaf, 1985.
Ghozali, Syukri, et. al. Pedoman Zakat 9 seri, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana
Keagamaan Islam, 2001.
Ghufron, Moh. Idil, Penerapan Zakat Atas Konsep Pajak (Sebagai Alternatif Dalam
Mendistribusikan Keuangan Negara Untuk Rakyat, Skripsi Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Malang.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Hafiduddin, Didin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infaq Shadaqah, Jakarta: Gema
Insani, 1998.
Hakim, Lukman, Analisis Pendapat Yusuf Al-Qardawy Tentang Pajak Tidak Bisa
Mengganti Zakat, Skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
Semarang.
Hasan, M. Iqbal, Pokok-pokok materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Husnan, Ahmad, Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Jakarta: al-Kautsar,
1996.
Khallaf, Abdul Wahhab,Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra, 1994.
Mannan, M. Abdul, Teori & Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1997.
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2003.
Marsyahrul, Tony, Pengantar Perpajakan (Rev), Jakarta: Grasindo, 2001.
Mas‘udi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, Cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Mas’udi, MasdarFarid, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam, cet. III
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
__________________,Pajak itu Zakat; Uang Allah untuk Kemaslahatan
Rakyat,Bandung:PT. Mizan Pustaka, 2010.
__________________, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja
Negara untuk Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005.
Masrur, Ali, Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an: Model Penafsiran Fazlur Rahman,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2001.
Mu’allim,Amir,Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII
Press, 2005.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2,
2002.
Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta:
Pon.Pes Al-Munawir, 984.
Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit, 2005.
Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat, Terj. DidinHafidudin (ed,) et. al. Jakarta:
LiteraAntarnusa, 1987.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1995.
______________, “Islamic Modernism: ItsScope, Method and Alternatives,”
International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, 1970.
______________, “Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era”, Essays on Islamic
Civilization, ed. Donald P. Little, Leiden: E.J. Brill, 1976.
_____________, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
Terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi
Intelektual, Bandung: Pustaka, 1985.
_____________, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago and London: The University of Chicago, 1982).
_____________, Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam Terjemahan oleh Rusdi
Karim & Hamid Basyaib, Cet. ke-1, Yokyakarta: Salahuddin Press, 1987.
_____________, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, cet I, Bandung: Pustaka, 1984.
_____________, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjm Taufiq Adnan
Amal, Bandung: Mizan, 1993.
_____________,“Islamic Methodology in History”, diterjemahkan Anas Mahyuddin,
Membuka PintuIjtihad, Bandung: Pustaka, 1995.
Rochim, Abdul dan Fathoni, Syariat Islam: Tafsir Ayat-Ayat Ibadah, Edisi I, Jakarta:
Rajawali, Cet. ke-1, 1987.
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Beirut : Dar Al-Fikr, 1992.
Sari, Elsi Kartika, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Jakarta: Gramedia, 2007.
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Terj. Drs. Moh. Said. MA, dkk.,
Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama Islam, 1985.
Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif
Epistemologi Klasik Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004.
Suandy, Erly, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Supena, Ilyas, Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran HermeneutikaFazlur
Rahman, Semarang: Walisongo Press.
Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode Epistomologi dan Sistem
Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Syafe‘i, Rahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka setia, 1998.
Syamsuri, Ridwan, Zakat di dalam Islam, Jakarta: Pradnya Paramita,1988.
Waluyo, Perpajakan Indonesia: pembahasan sesuai dengan ketentuan pelakanaan
perundang-undangan perpajakan terbaru, Jakarta: Salemba Empat,2002.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994, hal. 231.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
____________________, Zakat Dalam Perspektif Sosial, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. IV, 2004.
Zuhaily, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, terj. Agus Effendi dan B.
Fannany, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Azizah Ilmiyanti
Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 06 September 1990
Alamat Asal : Jl. Bhakti No.54 Burikan Kudus
Pendidikan : - MI Banat NU Kudus
- MTs Banat NU Kudus
- MA Banat NU Kudus
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2008
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Azizah Ilmiyanti
top related