ix. disain model dinamik pengelolaan pariwisata di … · pariwisata di kawasan puncak travel cost...
Post on 07-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
216
IX. DISAIN MODEL DINAMIK PENGELOLAAN PARIWISATA DI KAWASAN PUNCAK
9.1 Sintesis Analisis Pariwisata Kawasan Puncak
Pada bab ini dilakukan sintesis dari keseluruhan alat analisis yang sudah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kompilasi alat analisis beserta hasil dan
penjelasan lainnya dicantumkan pada tabel 80 berikut ini.
Tabel 80. Keterkaitan tujuan, alat analisis dan hasil analisis dengan rumusan
black box
No. TUJUAN ALAT
ANALISIS HASIL ANALISIS
RUMUSAN BLACK BOX
1 Mengukur daya saing kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak
� travel cost methode (TCM)
� indeks daya saing Pariwisata
• Wisatawan bersedia mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terhadap lokasi-lokasi obyek wisata yang terpelihara dan mampu memberikan pelayanan wisata yang baik.
• Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki daya saing yang cukup tetapi bila dibandingkan dengan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang memiliki karakteristik alam yang hampir sama, posisi tingkat daya saing Kawasan Puncak masih berada dibawah Lembang.
INPUT :
• Laju pertumbuhan ekonomi
• Aktivitas penertiban
• Tarif wisata
• Jml penduduk
• Kapasitas jalan
OUTPUT :
• Meningkatnya daya saing Puncak
• Meningkatnya Pendapatan masyarakat
• Peningkatan PAD
• Peningkatan kamtibmas
• Meningkatnya kualitas lingkungan
• Lalu lintas lancar
2 Menghasilkan analisis daya dukung obyek wisata di Kawasan Puncak.
� analisis daya dukung (PCC, RCC, ECC)
Berdasarkan perhitungan daya dukung sebenarnya (real carrying capacity) kondisi ke-7 obyek tujuan wisata (OTW) yang diamati masih memadai untuk menampung jumlah kunjungan wisatawan saat ini. Namun setelah mempertimbangkan aspek manajemen yang dilakukan pihak pengelola OTW, maka kemampuan daya dukung OTW menjadi lebih rendah. Dari tujuh OTW yang diamati, obyek agrowisata Gn Mas dan Curug Cilember kondisi daya dukung efektifnya (ECC) sudah terlampaui.
INPUT :
• Kualitas SDM
• Kapasitas infrastruktur
• Jml wisatawan
• Luas areal obyek wisata
• Anggaran pemeliharaan lingkungan
OUTPUT :
Meningkatnya daya dukung pariwisata
3 Menghasilkan kajian kondisi kelembagaan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.
ISM • Tujuan pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata puncak yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan.
• Lembaga yang berperan sebagai faktor kunci dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
INPUT :
• Peran Lembaga
• Anggaran
• Regulasi
• Kualitas SDM
• Sarana dan prasarana
217
No. TUJUAN ALAT
ANALISIS HASIL ANALISIS
RUMUSAN BLACK BOX
(Disbudpar).
• Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan Puncak adalah tidak adanya manajemen yang terintegrasi serta belum adanya Standar Operasional Prosedur dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.
• Untuk mengatasi kendala serta mencapai tujuan yang diharapkan, maka program prioritasnya adalah membentuk institusi/forum khusus, evaluasi kebijakan/peraturan dan integrasi regulasi.
• Peran serta masyarakat
• Kerjasama lintas sektoral
OUTPUT:
• Pengelolaan pariwisata puncak yang terintegrasi
4 Menghasilkan analisis tingkat keberlanjutan kegiatan pariwisata di Kawasan Puncak.
� Analisis RAP-tourism (MDS)
Secara umum kondisi Pariwisata di Kawasan Puncak memiliki status tidak berkelanjutan, terutama pada dimensi hukum kelembagaan, ekologi, sosial budaya dan sarana prasarana. Atribut-atribut sensitif yang muncul dalam analisis ini dijadikan masukan/input dalam sistem.
INPUT:
• Jumlah penduduk
• Kelembagaan
• Kebijakan/regulasi
• Jumlah akomodasi wisata
• Kapasitas jalan
• Timbulan sampah
• Pelayanan air bersih
OUTPUT:
• Perluasan lapangan kerja
• Lalu lintas lancar
• Pariwisata yang berkelanjutan
5 Menghasilkan analisis kebijakan pemanfaatan ruang dan perizinan pariwisata di Kawasan Puncak.
content analysis (Analisis Isi)
- Kawasan Puncak dalam PP dan Perpres dinyatakan sebagai kawasan strategis nasional, dalam Perda Provinsi dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Provinsi begitu pula dalam Perda Kab.Bogor dinyatakan sbg KS kabupaten, namun arahannya masih bersifat makro dan tidak ditindaklanjuti dengan rencana detail yang lebih operasional.
- Amanat mengenai kelembagaan dan koordinasi jabodetabekpunjur tidak diatur kembali dalam RTRW Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten.
INPUT:
• Kebijakan/regulasi
• Kerjasama lintas sektoral
• Kelembagaan
OUTPUT :
Tersusunnya RDTR Kawasan Puncak
• Meningkatnya kualitas lingkungan
Hasil analisis pada tabel diatas merupakan data dan informasi yang
sangat berguna sebagai variabel input dan output yang diperhitungkan dalam
black box sebagai suatu sistem. Dijelaskan bahwa untuk memperbaiki output
nilai indeks daya saing pariwisata Kawasan Puncak, maka 8 (delapan) indikator
pembentuk daya saing menjadi input yang dikendalikan dalam sistem
218
pengelolaan pariwisata Puncak. Input tersebut antara lain belanja wisatawan
yang dinyatakan dengan tarif wisata, jumlah penduduk, jumlah wisatawan,
kapasitas jalan dan Kualitas SDM.
Berdasarkan hasil analisis daya dukung wisata didapatkan fakta bahwa
walaupun secara umum kapasitas daya dukung di tempat-tempat obyek wisata
masih memadai, namun dalam jangka waktu kedepan, kapasitas ini sudah tidak
memadai lagi, bahkan saat ini untuk obyek wisata Gunung Mas dan Curug
Cilember sudah melampaui daya dukung efektifnya. Harapan untuk
meningkatkan daya dukung wisata di tempat-tempat obyek wisata harus
dilakukan dengan mengendalikan variabel input antara lain jumlah wisatawan,
luas areal obyek wisata, kualitas SDM, anggaran pemeliharaan lingkungan dan
kapasitas infrastruktur. Kondisi iklim berupa curah hujan menjadi faktor pembatas
daya dukung wisata, namun dalam sistem ini variabel curah hujan dikategorikan
sebagai input lingkungan diluar sistem.
Kelembagaan selalu menjadi isu penting dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan. Kejadian kerusakan alam dan degradasi lingkungan
seringkali terjadi karena konflik kepentingan antar lembaga, tumpang tindih
kewenangan, koordinasi yang tidak berjalan dan komitmen yang lemah. Melalui
alat analisis ISM (Interpretive Structural Modelling) dihasilkan strukturisasi
kelembagaan, kendala, tujuan dan aktivitas/program yang diperlukan dalam
pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Elemen tujuan yang menjadi faktor
kunci yaitu terwujudnya pengelolaan pariwisata Puncak yang terpadu,
terintegrasi dan berkelanjutan; terlaksananya pengelolaan pariwisata di kawasan
puncak yang efisien dan efektif dan terlaksananya penegakan hukum secara
tegas dan jelas. Output yang dikehendaki dalam black box merupakan
manifestasi dari elemen tujuan yang diinginkan sekaligus penyelesaian atau
solusi atas kendala yang dihadapi.
Berdasarkan faktor kunci elemen tujuan serta elemen kendala maka
variabel outputnya adalah terwujudnya pengelolaan pariwisata yang terintegrasi.
Variabel input yang dimasukan dalam sistem diperoleh dari elemen program dan
elemen lembaga antara lain; peningkatan peran lembaga, ketersediaan
anggaran, penyusunan regulasi, peningkatan kualitas SDM, penyediaan sarana
dan prasarana, peningkatan peran serta masyarakat serta kerjasama lintas
sektoral.
219
Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pengelolaan
seluruh sumberdaya sedemikian rupa hingga kita dapat memenuhi kebutuhan
ekonomi, sosial, estetika dan ekologi. Output yang diharapkan dari aktivitas
pariwisata pada dasarnya adalah pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan
artinya tidak terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, ditandai
dengan empat kondisi yaitu: (1) anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam
proses perencanaan dan pembangunan pariwisata; (2) pendidikan bagi tuan
rumah, pelaku industri dan wisatawan; (3) kualitas habitat kehidupan liar,
penggunaan energi dan iklim mikro harus dimengerti dan didukung; (4) investasi
pada bentuk–bentuk transportasi alternatif (Yaman dan Mohd 2004).
Status keberlanjutan pariwisata di Kawasan Puncak berdasarkan analisis
Rap-tourism Multi Dimensional Scaling (MDS) menunjukkan nilai indeks
keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak untuk
pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan
tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu
untuk dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 31,86 dengan status tidak
berkelanjutan, dimensi ekologi sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan,
dimensi ekonomi sebesar 67,87 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial
budaya sebesar 32,43 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi sarana
prasarana sebesar 27,73 dengan status tidak berkelanjutan. Untuk mencapai
status berkelanjutan, maka kinerja pariwisata di Kawasan Puncak harus dibenahi
dari berbagai dimensi dengan cara menentukan atribut-atribut yang paling
sensitif untuk dijadikan variabel input dalam sistem pengelolaan pariwisata di
Kawasan Puncak. Variabel input diantaranya adalah kelembagaan, pertumbuhan
penduduk, kesempatan kerja, kebijakan/regulasi, kapasitas jalan, cakupan
pelayanan air bersih dan timbulan sampah.
9.2 Penyusunan Black Box (Kotak Gelap)
Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi
kinerja sistem yang digambarkan dalam bentuk diagram input-output (Manetch
dan Park,1977). Diagram input-output atau dikenal dengan sebutan diagram I-O
tersebut meliputi: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan; (2) variabel output yang tidak dikehendaki,
(3) variabel input yang terkendali; (4) variabel input yang tak terkendali; (5)
variabel input lingkungan; dan (6) variabel umpan balik sistem.
220
Sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak digambarkan dalam
diagram input-output, yang terdiri dari input terkontrol, input tidak terkontrol,
output dikehendaki dan output tidak dikehendaki. Melalui mekanisme
pengelolaan pariwisata output yang tidak dikehendaki diubah menjadi input
terkontrol yang masuk ke dalam sistem pengelolaan pariwisata yang berdaya
saing dan berkelanjutan. Input merupakan masukan yang diberikan pada sistem
pengelolaan pariwisata untuk mempengaruhi kinerja sistem secara langsung
maupun tidak langsung dalam mencapai tujuan.
Gambar 43. Diagram input-output (black box) pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.
INPUT TAK TERKENDALI
• Perubahan Sosial-budaya
• Kebijakan Nasional dan
Regional
• Dinamika perubahan ekonomi
global
INPUT
LINGKUNGAN
Kondisi geografis, Kondisi iklim
cuaca, Bencana
alam, Peraturan
pemerintah
OUTPUT YANG
DIKEHENDAKI
• Peningkatan Pendapatan masyarakat
• Peningkatan PAD
• Perluasan lapangan kerja
• Lalu lintas lancar
• Peningkatan kualitas lingkungan
• Peningkatan kamtibmas
• Berkurangnya jml bangli dan PKL
• Penanganan puncak yang terintegrasi
• Meningkatnya daya saing kawasan
• Pariwisata berkelanjutan
MODEL
PENGELOLAAN
PARIWISATA YANG
BERDAYA SAING
DAN
BERKELANJUTAN
PENGAWASAN DAN
PENGENDALIAN
PARIWISATA DI
KAWASAN PUNCAK
INPUT TERKENDALI
• Jumlah penduduk
• Jumlah kendaraan
• Jumlah akomodasi wisata
• Kapasitas jalan
• Laju pertumbuhan ekonomi
• Jml wisatawan
• Aktivitas penertiban
• Kelembagaan
• Anggaran
• Tarif wisata
• Kualitas SDM
• Kebijakan pemerintah daerah
• Kesempatan kerja
• Timbulan sampah
• Pelayanan air bersih
• Kerjasama lintas sektoral
• Peran serta masyarakat
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI
• Peningkatan jumlah sampah
• Penurunan jumlah investasi
• Penurunan kesehatan masyarakat
• Meningkatnya kriminalitas
• Kerusakan tata nilai budaya
• Meningkatnya tutupan lahan
• menurunnya daya dukung lingkungan
221
Input tidak terkendali pada sistem ini merupakan input yang sulit
dikendalikan langsung sehingga tidak dimasukan atau diikutsertakan dalam
sistem, perannya dianggap tidak terlalu mempengaruhi kinerja sistem, seperti
halnya, perubahan sosial-budaya, dinamika perubahan informasi dan ekonomi
global. Sedangkan input terkendali seperti halnya jumlah penduduk, wisatawan,
kendaraan, akomodasi, jalan dan sebagainya merupakan input yang penting
diatur dan dikendalikan karena sangat besar pengaruhnya pada kinerja sistem
pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Input lingkungan adalah peubah
yang mempengaruhi sistem akan tetapi sistem itu sendiri tidak dapat
mempengaruhinya, seperti halnya kondisi cuaca dan iklim serta kebijakan
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur dan Peraturan
Pemerintah 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Dalam perancangan model diagram black box perlu ditentukan suatu
parameter rancangan sistem. Seperti yang diungkapkan oleh Eriyatno (2003),
parameter rancangan sistem digunakan untuk menetapkan struktur sistem yang
merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan
keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi
kebutuhan yang ditetapkan. Peubah ini dapat dirubah selama pengoperasian
sistem untuk membuat kemampuan sistem bekerja lebih baik dalam keadaan
lingkungan yang berubah-ubah. Parameter rancangan sistem dapat berupa
lokasi fisik, ukuran fisik dari sistem dan komponen sistem.
Sebagai contoh, dalam suatu sistem pabrik teh, yang dimaksud
parameter perancangan sistem adalah sebuah SOP (Standar Operasional
Prosedur) yang dibuat oleh pihak manajemen sebagai acuan bagi pekerja dalam
rangka mewujudkan tujuan dari sistem produksi (Tindao 2009). Namun untuk
pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak karena belum dikelola dalam
manajemen terpadu sehingga melibatkan banyak sektor dan lembaga dengan
berbagai kewenangan, maka parameter rancangan sistem dimaksud berasal dari
beberapa kebijakan yang terkait langsung dan sangat intensif mengatur
pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak dari mulai kebijakan umum, tujuan
sampai kepada program-program dan target kinerja.
Pengukuran produktifitas atau pencapaian target dan sasaran merupakan
cara terbaik dalam menilai kemampuan atau kinerja pengelolaan pariwisata di
222
Kawasan Puncak. Proses transformasi input dan parameter rancangan sistem
akan menghasilkan output. Output terdiri dari output yang dikehendaki dan
output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki adalah peningkatan
pendapatan PAD dan masyarakat, perluasan lapangan kerja, lalu lintas lancar,
peningkatan kualitas lingkungan dan kamtibmas, berkurangnya PKL dan
bangunan liar, penanganan Kawasan Puncak yang terintegrasi, peningkatan
daya saing Kawasan Puncak serta mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.
Output yang tidak dikehendaki dari sistem ini merupakan hasil sampingan
yang tidak dapat dihindarkan dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan
output yang dikehendaki dan sering merupakan kebalikan dari output yang
dikehendaki. Output yang tidak dikehendaki dalam sistem pengelolaan pariwisata
di Kawasan Puncak adalah peningkatan jumlah sampah, tutupan lahan dan
kriminalitas, menurunnya daya dukung lingkungan, kesehatan masyarakat dan
jumlah investasi serta kerusakan tata nilai budaya.
Manajemen pengawasan dan pengendalian merupakan umpan balik
dalam jalannya sistem. Proses transformasi dari input menjadi output sering
terdapat perbedaan harapan yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan.
Oleh karena itu, diperlukan umpan balik agar hal-hal yang menimbulkan
perbedaan harapan yang tidak sesuai dapat ditangani dan disesuaikan dengan
harapan dan tujuan semula (Tindao ,2009). Berdasarkan hasil identifikasi sistem
dan sintesis analisis terhadap beberapa dimensi yang berpengaruh terhadap
pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak, maka dapat digambarkan dalam
diagram lingkar sebab-akibat dan kotak gelap. Diagram lingkar sebab-akibat
dapat dilihat pada gambar 44.
Jumlah
Wisatawan
Pendapatan
Daerah
Pendapatan
Masyarakat
+
+
+
+
+-Kualitas
Lingkungan+
Pembangunan
Daerah
Sarana
Akomodasi
-
Tutupan
Lahan
+
Pengembangan
Pariwisata
+
+
Kenyaman
+
Stabililtas
Keamanan
Kerawanan
Sosbud
Jumlah
KendaraanKemacetan
Lalin
-
+
+
+
+
Perubahan
Sosbud
Gambar 44. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan pariwisata di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.
223
Pengembangan pariwisata akan meningkatkan jumlah kunjungan wisata,
yang kemudian diikuti dengan penambahan sarana akomodasi wisata seperti
restoran, vila, hotel. Penambahan sarana dan prasarana tersebut akan
membutuhkan lahan. Jika tidak dilakukan pengendalian pertumbuhan tutupan
lahan yang baik maka akan mengakibatkan terlampauinya daya dukung
lingkungan sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan.
Selain itu, penambahan wisatawan akan diikuti dengan penambahan jumlah
kendaraan dan fasilitas jalan yang pada akhirnya sering menimbulkan
kemacetan sebagai akibat terlampuinya kapasitas jalan yang ada.
Kondisi ini akan menurunkan kenyamanan wisatawan dalam berwisata
yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap pengembangan
pariwisata di kawasan puncak. Demikian pula dengan perubahan kondisi sosial
budaya akan dipengaruhi oleh kehadiran wisatawan dengan segala budaya yang
dimilikinya. Apabila tidak dilakukan penanganan yang baik maka dihawatirkan
terjadi konflik sosial atau kerawanan sosial budaya yang akan mengganggu
stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Kondisi ini akan menurunkan
kenyamanan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pengembangan
pariwisata. Disisi lain pengembangan pariwisata berdampak positif terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya akan berkontribusi
positif terhadap peningkatan pendapatan daerah dan pembangunan daerah,
termasuk pendanaan untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
9.3 Model Dinamik Pengelolaan Pariwisata
Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model
didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi.
Struktur model dinamik yang dikembangkan merupakan gambaran dari interaksi
antara elemen-elemen dalam sistem. Model dinamik mampu menelusuri jalur
waktu dari peubah-peubah model dan dapat memberikan kekuatan yang lebih
tinggi pada analisis dunia nyata, untuk memudahkan proses perancangan model,
maka dilakukan pembagian sistem secara keseluruhan menjadi beberapa sub
sistem yaitu sub sistem: (1) Submodel Penduduk; (2) Submodel Transportasi
dan Akomodasi; (3) Submodel Fisik Lingkungan dan (4). Submodel Hukum dan
kelembagaan. Setiap struktur dari masing-masing sub sistem menunjukkan
ketergantungan sebab akibat dari perilaku masing-masing sub sistem.
224
Penyusunan model dinamik pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak
menggunakan asumsi :
(1) Pertambahan penduduk dihitung berdasarkan kelahiran dan migrasi
masuk serta kematian dan migrasi keluar per tahun
(2) Jumlah wisatawan yang menginap/bermalam di Kawasan Puncak adalah
sebesar 20% dari seluruh jumlah wisatawan.
(3) Komitmen pemerintah diperhitungkan berdasarkan frekuensi penertiban
bangunan tidak berizin, jumlah aparatur pelaksana penertiban dan
frekuensi sosialisasi.
(4) Kebijakan perangkutan dan aksesibilitas tidak mengalami perubahan.
(5) Laju pertumbuhan ekonomi Kawasan Puncak menggunakan angka laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor.
(6) Laju pertumbuhan penduduk Kawasan Puncak menggunakan laju
pertumbuhan penduduk Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua.
(7) Perkembangan ekonomi diwakili oleh kondisi retribusi dan pajak serta Laju
Pertumbuhan Ekonomi.
(8) Perkembangan lingkungan diwakili oleh kondisi timbulan sampah,
pertambahan kendaraan, pertambahan CO2, tutupan lahan dan daya
dukung lingkungan di obyek wisata.
(9) Perkembangan sosial budaya diwakili oleh kondisi penyediaan lapangan
pekerjaan, pengangguran, penertiban bangunan, komitmen pemerintah,
laju pertumbuhan penduduk.
(10) Pengelolaan pariwisata di masa yang akan datang masih tetap seperti
pengelolaan saat ini.
(11) Tidak terjadi upaya secara besar-besaran dalam penertiban bangunan PKL
dan bangunan tanpa izin lainnya.
(12) Asumsi lain berkaitan dengan penyusunan model dinamik dicantumkan
dalam lampiran.
9.3.1 Submodel Penduduk
Penduduk merupakan salah satu aset pembangunan yang paling
dominan yang dimiliki banyak negara berkembang pada umumnya. Berdasarkan
hasil Registrasi dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga
Berencana, pada Tahun 2009 tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu
4.340.520 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 2.230.314 jiwa
225
dan perempuan 2.110.206 jiwa dengan ratio jenis kelamin 106. Pertimbangan
untuk memasukkan variabel penduduk disebabkan karena fenomena
kecenderungan pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah akan
mempengaruhi terhadap pertambahan tutupan lahan karena pertambahan
pemukiman, infrastruktur dan fasilitas perkotaan lainnya.
Pertambahan penduduk yang berdasarkan deret ukur tersebut, menjadi
dasar pertimbangan diberlakukannya berbagai macam kebijakan untuk
mengendalikan atau mengurangi jumlah penduduk. Pertambahan penduduk
dipengaruhi oleh kelahiran (natalitas) dan migrasi masuk sedangkan yang
mengurangi jumlah penduduk adalah karena adanya kematian (mortalitas) dan
migrasi keluar (emigrasi). Pertambahan penduduk merupakan selisih antara
kelahiran ditambah migrasi masuk dikurangi kematian ditambah migrasi keluar.
Hubungan antara laju pertumbuhan penduduk dengan jumlah penduduk
membentuk loop positif (reinforcing) saling menguatkan artinya dengan semakin
tingginya laju pertambahan penduduk maka akan meningkatkan jumlah
penduduk. Sebaliknya, pengurangan jumlah penduduk membentuk loop negatif
(balancing), artinya semakin tinggi laju pengurangan penduduk maka jumlah
penduduk akan semakin menurun.
Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu, terutama
terhadap persebaran dan densitas (kepadatan). Pada tahun 2009 kecamatan
yang mempunyai kepadatan penduduk di atas 2.000 jiwa/km2 sebanyak 20
kecamatan, termasuk didalamnya adalah kecamatan Ciawi dan Megamendung
di Kawasan Puncak. Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur
muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja.
Perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk berumur 15 tahun
lebih disebut dengan partisipasi angkatan kerja. Tahun 2008 Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor secara total adalah 55,24%.
Peningkatan TPAK tidak terlepas karena adanya peningkatan kinerja
perekonomian daerah yang diperlihatkan dari peningkatan laju Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB).
226
PendudukKelahiran
-
+
Kematian
+
+
Migrasi
Masuk
Migrasi
Keluar
+
-
Gambar 45. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model penduduk.
Komponen penduduk dalam model ini dianggap sebagai suatu level
(akumulasi) yang bisa bertambah dan berkurang karena dinamika angka
kelahiran dan kematian. Dinamika aliran yang menyebabkan bertambah atau
berkurangnya suatu level disebut flow atau rate. Pada model ini faktor kelahiran
dan migrasi masuk (inmigration) adalah unsur rate penambah. Rate pengurang
jumlah penduduk disebabkan oleh faktor kematian dan migrasi keluar
(outmigration). Konstruksi sub model penduduk disajikan pada gambar 46.
Gambar 46. Struktur Model Dinamik sub model penduduk
Faktor penambah jumlah penduduk pada tiga kecamatan di Kawasan
Puncak berasal dari laju migrasi masuk (inmigration) yaitu rata-rata sebesar
1,5% per tahun sementara itu, kelahiran alamiah (natalitas) menyumbang sekitar
227
2,5% per tahun. Faktor pengurang pertambahan penduduk berasal dari migrasi
penduduk keluar sebesar 0,4% per tahun dan mortalitas sebesar 0,3% per tahun.
Simulasi model dinamik pada sub model penduduk seperti gambar 38.
berawal dari jumlah penduduk di wilayah studi sebesar 295.340 jiwa pada tahun
2009 dengan tingkat natalitas sebesar 2,5% dan tingkat mortalitas sebesar 0,3%
maka diperkirakan jumlah penduduk di tiga kecamatan pada tahun 2029 akan
mencapai 465.409 jiwa.
Jumlah penduduk pada awalnya menunjukkan pertumbuhan akibat
proses reinforcing oleh karena adanya positif feedback atau loop positive akan
tetapi dengan semakin bertambahnya waktu, terjadi proses balancing oleh loop
negative sehingga diperoleh keseimbangan. Faktor pembatas yang menahan
pertambahan penduduk adalah karena keterbatasan lahan. Pertambahan jumlah
penduduk mempunyai hubungan timbal balik negatif (negative feedback) dengan
ketersediaan lahan artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka
kecenderungannya akan mengurangi ketersediaan lahan yang kosong atau
memiliki hubungan positif (positive feedback) dengan peningkatan tutupan lahan
terbangun. Namun demikian, karena keterbatasan ketersediaan lahan,
sedangkan penduduk pertambahannya cukup cepat, maka pada suatu saat akan
terjadi pertumbuhan yang melambat sampai pada suatu titik keseimbangan
tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Fenomena
model ini mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth” dalam sistem
dinamik.
Pada tahun 2009 terdapat jumlah penduduk sebanyak 295.340 jiwa, dari
jumlah penduduk tersebut, didapatkan penduduk yang tidak bekerja sebanyak
41.348 jiwa. Berdasarkan asumsi jumlah penduduk tidak bekerja adalah 14%
dari jumlah penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2029 penduduk yang tidak
bekerja bertambah menjadi 65.157 jiwa. Pola penambahan jumlah penduduk
tidak bekerja mengikuti pola pertambahan penduduk dengan loop positif yang
saling memperkuat. Namun perubahan angka pengangguran sangat
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi daerah yang diindikasikan dengan perubahan
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) berdasarkan kinerja sektor dalam Produk
Domestik Regional Bruto ( PDRB). Asumsinya dengan peningkatan LPE akan
memicu peningkatan penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat disediakan
228
untuk penduduk angkatan kerja. LPE disini berperan sebagai faktor koreksi untuk
mengendalikan pertambahan jumlah pengangguran.
Jika terjadi perkembangan ekonomi yang baik disertai pengendalian
penduduk terutama dari kelahiran yang ketat, maka jumlah penduduk yang tidak
bekerja akan berkurang atau sebagian besar penduduk mendapatkan pekerjaan
sehingga kinerja pembangunan daerah akan semakin baik dan masyarakat
semakin sejahtera. Perkembangan sektor pariwisata memberikan pengaruh
yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja atau
penyediaan kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pariwisata
diperoleh dari kegiatan akomodasi baik hotel/wisma/vila/resort, juga kegiatan
hiburan dan restoran. Pada tahun 2009 kesempatan kerja pada sektor pariwisata
di Kawasan Puncak dapat menyerap 1.483 tenaga kerja, diperkirakan pada
tahun 2029 akan tersedia kesempatan kerja di sektor pariwisata untuk 2.337
tenaga kerja. Namun demikian, bila dibandingkan antara jumlah pengangguran
dengan kesempatan kerja yang dapat disediakan dari aktivitas pariwisata, masih
sangat kecil yaitu baru sekitar 3,6%.
Tabel 81. Simulasi sub model penduduk
229
Gambar 47. Grafik hasil simulasi jumlah penduduk periode 2009-2029
9.3.2 Submodel Transportasi dan Akomodasi
Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan
kebutuhan akan transportasi berupa kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun
kendaraan umum, demikian pula dengan peningkatan jumlah kendaraan akan
membutuhkan penyediaan fasilitas jalan yang memadai. Pemeliharaan,
peningkatan, pembangunan jalan baru maupun manajemen lalu lintas akan
meningkatkan kapasitas jalan terhadap pengguna jalan khususnya kendaraan.
Peningkatan jumlah kendaraan yang diikuti dengan penambahan ruas jalan baru
akan membutuhkan lahan-lahan baru untuk membangun jalan-jalan alternatif.
Demikian pula dengan penambahan obyek wisata dan akomodasi, baik berupa
hotel, villa maupun wisma akan menambah kebutuhan lahan-lahan baru.
Apabila tidak dilakukan pengendalian berdasarkan peruntukan ruang, maka
dapat menjadi ancaman bagi penyediaan ruang terbuka hijau atau areal-areal
yang harus dikonservasi.
Jumlah
Wisatawan
Kendaraan
+
Akomodasi
+
Kebutuhan
Lahan
Objek Wisata
Jalan
+
+
+
+
+
+
+
+
Gambar 48. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model
transportasi dan akomodasi.
230
Berdasarkan konstelasi regional, sistem jaringan jalan di Kawasan
Puncak, yaitu mulai dari Kota Bogor sampai dengan Kota Cianjur melalui Ciawi,
Cisarua dan Cipanas ditetapkan sebagai jaringan jalan kolektor primer. Volume
lalu lintas akan meningkat dengan cepat pada waktu akhir minggu (week end),
terutama pada hari jum’at, sabtu dan minggu. Pergerakan lalu lintas di Kawasan
Puncak sangat tinggi, sering terjadi kemacetan dalam bentuk antrian yang
sangat panjang. Kondisi ini sangat merugikan bagi masyarakat yang akan
melakukan pergerakan menerus tanpa harus melakukan maksud kegiatan
pariwisata. Pengaturan lalu-lintas yang dilakukan aparat kepolisian dan DLLAJ
adalah dalam bentuk pengaturan sistem pergerakan satu arah pada jam-jam
tertentu dan sistem pengalihan arus lalu-lintas, terutama untuk kendaraan besar
(seperti bus dan truk) untuk tidak melalui Kawasan Puncak melainkan melalui
jalur Sukabumi.
Gambar 49. Struktur model dinamik sub model transportasi dan akomodasi.
Pada sub-model transportasi dan akomodasi, variabel yang ditentukan
sebagai variabel level terdiri dari, jumlah kendaraan, jumlah akomodasi dan
jumlah penduduk. Jumlah lalu lintas harian kendaraan di kawasan puncak
berdasarkan data dari DLLAJ adalah 10.000 kendaraan/hari dan jumlah
kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak yang dihitung dari pos pengamatan
Ciawi pada saat week end diperoleh jumlah kendaraan adalah 39.564
kendaraan. Berdasarkan data lalu lintas harian rata-rata dan hasil survey pada
saat week end kemudian dikonversi dalam satu tahun, maka jumlah kendaraan
yang melintas kurang lebih adalah 6.144.000 kendaraan.
231
Berdasarkan hasil studi DLLAJ selama tiga tahun, diperoleh data
penambahan jumlah kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak yang dipantau
dari pos pengamatan yang sama adalah 2,5%. Berdasarkan simulasi model
dinamik, maka pada tahun 2029 penambahan kendaraan akan menjadi
12.860.098 kendaraan per tahun. Pertambahan jumlah kendaraan ini akan
dibatasi oleh pengaturan lalu lintas karena kondisi jalan yang pertambahannya
sangat lambat/sedikit, sehingga pada suatu saat akan terjadi penurunan jumlah
kendaraan yang melintasi Kawasan Puncak.
Demikian pula dengan penambahan jumlah wisatawan akan
meningkatkan jumlah akomodasi berupa penginapan dan sarana obyek wisata.
Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2009 luas
total akomodasi yang tersedia saat ini adalah sekitar 250.000 m2. Diperkirakan
pada saat tahun 2029 kebutuhan lahan untuk akomodasi berupa penginapan
dan jalan menjadi 521.280 m2
Tabel 82. Simulasi sub model transportasi dan akomodasi
232
Gambar 50. Grafik hasil simulasi jumlah kendaraan dan luas akomodasi
periode 2009-2029.
9.3.3 Submodel Fisik Lingkungan
Jumlah penduduk yang semakin meningkat ditambah pula dengan
kedatangan wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat obyek wisata dan
bermalam di tempat-tempat akomodasi wisata seperti hotel, villa dan wisma,
akan semakin memperbesar beban lingkungan di Kawasan Puncak.
Penambahan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah
angkutan transportasi atau kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan akan
menimbulkan kemacetan lalu lintas karena tidak memadainya antara kapasitas
jalan dengan jumlah pengguna jalan. Peningkatan jumlah kendaraan akan
menurunkan kualitas udara yang disebabkan emisi dari kendaraan bermotor dan
kebisingan yang ditimbulkan dari suara kendaraan.
Pencemaran udara tersebut selain menyebabkan menurunnya kualitas
udara juga mengganggu kenyamanan dan menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan. Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat
terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu: menurunnya fungsi
paru, peningkatan penyakit pernapasan, dampak karsinogen dan beberapa
penyakit lainya. Selain itu pencemaran udara dapat menimbulkan bau,
kerusakan materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam
yang merusak lingkungan . Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Bogor, pada tahun 2010 jumlah penderita ISPA di Kecamatan Ciawi sebanyak
31.217 orang, Kecamatan Cisarua sebanyak 15.093 orang dan Kecamatan
Megamendung sebanyak 6.032 orang.
233
Penambahan jumlah penduduk dan peningkatan kunjungan wisatawan
akan meningkatkan volume sampah yang dihasilkan. Keterbatasan sarana
prasarana pengelolaan sampah baik dalam bentuk tempat pembuangan
sementara (TPS), maupun tempat pembuangan akhir (TPA) serta keterbatasan
armada angkutan dan petugas kebersihan (pesapon) akan semakin menurunkan
kondisi sanitasi lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan kesehatan
masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat setempat dan sanitasi lingkungan
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kunjungan wisatawan
ke suatu destinasi. Informasi terjadinya wabah penyakit di suatu destinasi yang
tersampaikan kepada wisatawan merupakan propaganda buruk bagi tempat
destinasi tersebut.
Penambahan jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi selain
menimbulkan peningkatan penggunaan jalan dan kemacetan juga dapat
menimbulkan kesesakan atau kepadatan wisatawan di suatu tempat obyek
wisata. Peningkatan kunjungan wisatawan yang tidak mempertimbangkan daya
dukung fisik, faktor pembatas dan kapasitas manajemen dapat melampaui
kapasitas daya dukung efektifnya, sehingga kondisi berwisata di lokasi tersebut
menjadi sesak (overcrowded) dan tidak nyaman.
Kendaraan
Sampah
Pengunjung /
Wisatawan
Daya Dukung
OTW
Sanitasi
Lingkungan
+
+
-
Kenyamanan
Wisata
+
Kemacetan
Lalin
+
Kualitas
Udara
Kesehatan
Masyarakat
-
Kepadatan
+
-
-
-+
-
+
Gambar 51. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model fisik
lingkungan
234
Gambar 52. Struktur Model Dinamik sub model fisik dan lingkungan
Simulasi model dinamik pada sub model fisik dan lingkungan seperti
gambar 52, menjelaskan bahwa penambahan wisatawan ke Kawasan Puncak
akan memberikan dampak negatif dan positif bagi daerah. Dampak positifnya
adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan
retribusi yang dibayarkan para pelaku wisata. Pada tahun 2009, jumlah
wisatawan di Kawasan Puncak terdapat sebanyak 1.345.536 orang yang
memberikan kontribusi terhadap PAD sebanyak Rp. 29.242.751.500. Perolehan
PAD akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah
wisatawan, namun peningkatan jumlah wisatawan juga memiliki konsekuensi
terhadap penurunan kualitas udara dan penambahan sampah. Pada tahun
2029 diperkirakan sampah di kawasan Puncak yang berasal dari penduduk
maupun wisatawan terdapat sebanyak 3.698.248,21 kg atau sekitar 3.698
ton/thn. Penambahan jumah sampah ini membutuhkan peningkatan kapasitas
layanan dan penanganan persampahan dari pemerintah.
Tabel 83. Simulasi sub model fisik lingkungan
235
Gambar 53. Grafik hasil simulasi jumlah wisatawan, dan jumlah sampah
periode 2009-2029
9.3.4 Submodel Hukum dan Kelembagaan
Industri pariwisata merupakan industri yang mengutamakan menjual citra
lingkungan dan pelayanan. Untuk menciptakan lingkungan dan pelayanan yang
baik di suatu destinasi akan sangat tergantung pada kualitas kelembagaan dan
penegakan hukum. Aparatur dengan komitmen dan integritas yang tinggi akan
ditunjukkan dengan sikap patuh dan taat terhadap regulasi yang telah ditetapkan.
Penerapan perizinan yang sesuai aturan hukum disertai dengan pengawasan
dan pengendalian yang terus menerus akan meningkatkan kualitas pengendalian
tata ruang dan mengurangi jumlah bangunan yang tidak berizin atau bangunan
berizin tetapi menyimpang dari ketentuan ruang yang ada. Kondisi ruang di
Kawasan Puncak yang terkendali akan berkontribusi terhadap perbaikan kualitas
lingkungan yang pada akhirnya akan menjadi faktor utama yang menjadi daya
tarik wisata.
Integritas dan komitmen aparatur akan tergantung dari kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) aparatur yang merupakan faktor penting untuk mengatasi
beberapa permasalahan dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak,
seperti halnya persoalan koordinasi antar lembaga atau antar stakeholder.
Apabila koordinasi stakeholder berjalan dengan baik, maka akan mengatasi
persoalan tumpang tindih kewenangan, karena dari awal penentuan tugas pokok
dan fungsi kelembagaan sudah dibicarakan secara bersama. Peningkatan SDM
baik aparatur pemerintah maupun pelaku pengelola wisata berkontribusi
terhadap perbaikan pelayanan di bidang pariwisata. Perbaikan pelayanan
kepariwisataan akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan daya
tarik wisata di Kawasan Puncak.
236
Pengendalian
Tata Ruang
Pemberian
Izin
Penerapan
Regulasi
Tumpang
Tindih
Kewenangan
SDM
+
+
Bangunan
Berizin
+
Kualitas
Lingkungan
+
Daya Tarik
WIsata
Pelayanan
Koordinasi
Stakeholders
-
-
+
+Komitmen
Aparatur
Penerapan
Sanksi
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Gambar 54. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sub model hukum
dan kelembagaan
Gambar .55 Struktur model dinamik sub model hukum dan kelembagaan.
Dinamika perubahan jumlah wisatawan ke Kawasan Puncak akan
berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Pertambahan jumlah wisatawan akan menarik masyarakat baik masyarakat lokal
atau pendatang untuk berdagang menyediakan berbagai komoditi untuk dijual
kepada para wisatawan. Selain itu perkembangan jumlah wisatawan dapat
memicu terjadinya bangunan tanpa izin, walaupun peningkatannya tidak terlalu
drastis. Pada awal tahun simulasi jumlah bangunan tidak berizin terdapat
sebanyak 1.368 bangunan diperkirakan akan meningkat menjadi 1.912
237
bangunan pada tahun 2029. Peningkatan ini selain disebabkan karena perilaku
menyimpang masyarakat juga karena kurangnya jumlah aparatur pengawas
lapangan yang bertugas menegur dan menertibkan bangunan tidak berizin
tersebut.
Tabel 84. Simulasi sub model hukum dan kelembagaan
Gambar 56. Grafik hasil simulasi bangunan tidak berijin periode 2009-2029.
Pada gambar 57, ditampilkan suatu tiruan perilaku sistem pengelolaan
pariwisata di Kawasan Puncak secara keseluruhan yang merupakan hubungan
antara sub model kependudukan, sub model fisik lingkungan, sub model
transportasi dan akomodasi serta sub model hukum dan kelembagaan.
238
Gambar 57. Model pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak.
9.4 Validasi Model
Validasi merupakan tahap terakhir dalam pengembangan model untuk
memeriksa model yang dirancang apakah keluaran model sesuai dengan sistem
nyata. Rancangan model harus memenuhi syarat kecukupan struktur model.
Karena itu, perlu dilakukan uji validasi terhadap perilaku yang dihasilkan oleh
struktur model tersebut. Validasi perilaku dilakukan dengan membandingkan
antara perilaku yang dihasilkan oleh model dengan perilaku sistem nyata.
Validasi model dapat dilakukan melalui dua pengujian, yaitu uji validasi struktur
dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan
pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik. Uji validasi struktur
bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana keserupaan struktur model
mendekati struktur nyata. Uji ini dibedakan atas dua jenis yaitu validasi
konstruksi dan kestabilan struktur. Validasi konstruksi adalah keyakinan
239
terhadap konstruksi model diterima secara akademis, sedangkan kestabilan
struktur adalah keberlakuan atau kekuatan (robustness) struktur dalam dimensi
waktu (Muhammadi et al. 2001).
Uji validasi kinerja/output model lebih menekankan pemeriksaan
kebenaran yang taat data empiris. Uji ini merupakan aspek pelengkap dalam
metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan, sejauh
mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi
syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah dengan
membandingkan kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana
perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al 2001).
Model yang baik adalah model yang memenuhi kedua syarat tersebut
yaitu logis-empiris (logico-empirical). Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk
mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima secara akademik
atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memvalidasi output model, yaitu
dengan membandingkan output model dengan data empirik. Penyimpangan
terhadap output model dan dengan data empirik dapat diketahui dengan uji
statistik yaitu menguji penyimpangan: (1) Absolute mean error (AME) yaitu
penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai
aktual; (2) Absolute variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi
(variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima
atau ditolelir adalah antara 5-10% (Muhammadi et al 2001).
9.4.1 Uji Validasi Struktur dan kinerja
Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan
kebenaran logika pemikiran. Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model
dengan konsep teori empirik dan bertujuan untuk memperoleh keyakinan
sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata.
Uji validasi kinerja dalam penelitian ini menggunakan uji AME dengan
menggunakan data aktual perkembangan jumlah penduduk periode tahun 2006 -
2010. Adapun jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi di Kawasan Puncak
seperti pada tabel 81.
240
Tabel 85 . Data Validasi Model Berdasarkan Perkembangan Jumlah Penduduk
TAHUN PENDUDUK AKTUAL PENDUDUK SIMULASI
2006
2007
2008
2009
2010
283.444
278.965
287.152
296.340
303.529
283.444
289.963
296.632
303.455
310.434
AME PENDUDUK 0,025
AVE PENDUDUK 0,089
Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa,
AME menyimpang 2,5% dan AVE 8,9% untuk penduduk simulasi dari data
aktual. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE
adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan
perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan atau dapat
disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik dan dapat diterima
secara ilmiah.
Secara visual kecenderungan model dengan dunia nyata atau fakta di
lapangan dapat ditampilkan dalam bentuk grafis seperti tertera pada gambar 58.
Gambar 58. Grafik perbandingan penduduk aktual dan penduduk hasil simulasi.
Demikian juga perilaku yang dihasilkan oleh model lainnya memiliki pola
yang sama dengan perilaku sistem nyata maka model dapat dikatakan telah
dapat digunakan. Berikut masing-masing sub model yang menjelaskan grafik
241
perbandingan perilaku berdasarkan hasil simulasi dan kondisi aktual pada
masing-masing variabel.
Tabel 86. Data validasi model berdasarkan perubahan jumlah kendaraan
TAHUN JML KENDARAAN AKTUAL JML KENDARAAN SIMULASI
2006
2007
2008
2009
2010
5.511.703
5.662.547
5.758.711
6.073.680
6.215.619
5.511.703
5.677.054
5.847.365
6.022.786
6.203.470
AME KENDARAAN 0,001
AVE KENDARAAN 0,064
Hasil uji validasi menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0,1% dan AVE
6,4%. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE
adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan
perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan, seperti tertera
secara visual pada gambar 59.
Gambar 59. Grafik perbandingan jumlah kendaraan aktual dan jumlah
kendaraan hasil simulasi.
9.5 Simulasi Skenario Model Pengelolaan Pariwisata di Kawasan
Puncak
Analisis kebijakan merupakan pekerjaan intelektual yang memilah dan
mengelompokkan upaya atau tindakan untuk memperoleh pengetahuan tentang
cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem, untuk mencapai tujuan
yang diinginkan atau dengan kata lain adalah sebagai pengetahuan tentang cara
242
mempengaruhi sistem. Pengetahuan dengan menggunakan metode sistem
dinamis digunakan untuk menangani sistem yang rumit, berubah dan non linier.
Analisis kebijakan juga dimaksudkan untuk memahami pola kebijakan ataupun
perubahan faktor eksternal yang menjadi masukan sistem. Melalui analisis
kebijakan ini akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan-perubahan parameter
atau kebijakan terhadap perkembangan variabel-variabel yang dikaji.
Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan
metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan
perilaku sistem nyata. Menirukan perilaku sistem nyata maka, proses analisis
akan lebih cepat, bersifat menyeluruh, hemat dan dapat dipertanggungjawabkan
(Muhammadi et al. 2001). Melalui analisis kebijakan ini akan dilihat bagaimana
pengaruh perubahan-perubahan parameter atau kebijakan terhadap
perkembangan variabel-variabel yang dikaji. Selanjutnya dilakukan uji
sensitivitas model dengan membuat skenario-skenario model untuk menentukan
agenda kebijakan kedepan. Model yang telah dibentuk dan sah setelah
divalidasi, kemudian disimulasikan dimana tahun 2009 merupakan titik awal
simulasi (t = 0). Simulasi ini memungkinkan kita untuk melihat situasi pada
tahun yang diinginkan, untuk memudahkan menentukan bentuk perencanaan
yang akan ditetapkan.
Hasil simulasi tersebut digunakan dalam membuat peringkat skenario yang
mencerminkan urutan skenario yang yang akan dipilih sebagai kebijakan lebih lanjut.
Skenario bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dimasa
yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Skenario kebijakan
diterapkan mulai tahun 2009 dan dalam penelitian ini simulasi ditetapkan sampai
tahun 2029. Untuk melihat perilaku model, dibuat beberapa skenario model
dicobakan untuk sistem pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak. Skenario
dikembangkan dengan melakukan simulasi intervensi terhadap variabel
penduduk, transportasi dan akomodasi, fisik Lingkungan serta hukum dan
kelembagaan. Beberapa skenario kebijakan yang dicoba dalam simulasi ini
diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah Kabupaten Bogor dalam
mengelola pariwisata di Kawasan Puncak agar memiliki daya saing dan
berkelanjutan.
Dalam memilih skenario kebijakan didasarkan pada parameter rancangan
sistem dalam black box yang digunakan untuk menetapkan struktur sistem yang
243
merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan
keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi
kebutuhan yang ditetapkan. Output yang diinginkan dari sistem Pengelolaan
pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan adalah (1). Peningkatan
Pendapatan masyarakat, (2). Peningkatan PAD, (3). Perluasan lapangan kerja,
(4). Lalu lintas lancar, (5). Peningkatan kualitas lingkungan, (6).Peningkatan
kamtibmas, (7). Berkurangnya jumlah bangunan liar dan PKL, (8). Penanganan
puncak yang terintegrasi, (9). Meningkatnya daya saing kawasan dan (10).
Mewujudkan Pariwisata berkelanjutan.
Skenario yang dipilih untuk mencapai output yang dikehendaki tersebut
adalah dengan merancang tiga buah skenario: (1) skenario tanpa intervensi (TI),
yaitu jika pemerintah tidak melakukan apa-apa; (2) skenario RP (rencana
pemerintah), yaitu kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah
berupa; pengendalian penduduk, peningkatan ekonomi wilayah, membuka akses
jalan baru serta pengendalian bangunan tidak berizin; serta (3) skenario Alt
(Alternatif), yaitu skenario yang diusulkan berupa kebijakan pengendalian
penduduk, pembatasan jumlah kendaraan, peningkatan perekonomian kawasan,
pengendalian bangunan tidak berizin, serta pembiayaan lingkungan, (Skenario
RP dan Alt disusun untuk memenuhi output seperti yang tertera pada black box).
Tabel 87. Hubungan antara Output dalam Black Box dan Pemilihan Skenario
NO OUTPUT YANG DIKEHENDAKI SKENARIO RP SKENARIO ALT
1.
2.
3.
4.
5
6.
7.
8.
9..
Peningkatan Pendapatan masyarakat
Peningkatan PAD
Perluasan lapangan kerja
Lalu lintas lancar
Peningkatan kualitas lingkungan
Peningkatan kamtibmas
Berkurangnya jml bangli dan PKL
Meningkatnya daya saing kawasan
Mewujudkan Pariwisata berkelanjutan
- Meningkatkan ekonomi wilayah (Pajak dan retribusi, LPE)
Membuka akses jalan baru
- Pengendalian penduduk
- penertiban bangunan liar
penertiban bangunan liar
penertiban bangunan liar
Seluruh kebijakan
Seluruh kebijakan
- Meningkatkan ekonomi wilayah (Pajak dan retribusi, LPE)
- Membatasi jumlah kendaraan
- Pengendalian penduduk
- penertiban bangunan liar
- internalisasi biaya lingkungan
penertiban bangunan liar
penertiban bangunan liar
Seluruh kebijakan Seluruh kebijakan
244
9.5.1 Skenario Tanpa Intervensi (TI)
Pada model ini tidak dilakukan intervensi apapun, perkembangan
pengelolaan pariwisata dibiarkan seperti kondisi awal (tahun 2009). Keadaan ini
menunjukkan ketidakaktifan pemerintah dalam pengelolaan pariwisata di
Kawasan Puncak. Pada kondisi ini diasumsikan tidak ada program pengendalian
penduduk, tidak ada pembatasan kendaraan yang masuk/melintasi Kawasan
Puncak, pertumbuhan ekonomi berjalan konstan, tidak dilakukan pengendalian
pertumbuhan bangunan akomodasi wisata, tidak ada upaya untuk memperbaiki
kualitas lingkungan serta tidak ada upaya untuk penertiban bangunan tidak
berizin (bangunan liar).
9.5.2 Skenario Rencana Pemerintah (RP):
Kebijakan Pengendalian penduduk, Meningkatkan perekonomian
wilayah, pembangunan jalan alternatif serta meningkatkan frekuensi
penertiban bangunan liar.
Skenario RP (rencana pemerintah) adalah simulasi kebijakan yang telah
maupun akan direncanakan oleh pemerintah. Intervensi yang dilakukan
pemerintah adalah dengan (1) Mengendalikan pertambahan penduduk dengan
menekan angka kelahiran (natalitas) menjadi 2% per tahun; (2) Pemerintah
menyusun kalkulasi pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui berbagai
program sehingga LPE meningkat sebesar 5,13%; (3) Seiring dengan
pertumbuhan LPE maka pemerintah memandang perlu menaikan penerimaan
pajak dan retribusi dari sektor pariwisata, sehingga berdampak pada peningkatan
pengeluaran wisatawan; (4) Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas diusulkan
membuka akses jalan baru; (5) penegakan hukum dan penertiban bangunan
liar, dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui program nobat (nongol babat)
dengan frekuensi penertiban satu kali dalam setahun.
Salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi solusi dari kondisi
kemacetan lalu lintas adalah dengan membuka akses jalan baru. Tujuannya
adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan yang akan melewati jalur utama
jalan raya puncak yang berasal dari jalan Tol Jagorawi dan jalan raya Sukabumi.
Potensi jalan alternatif yang diusulkan dibagi dalam 2 wilayah yaitu jalan
alternatif utara dan jalur alternatif selatan. Alternatif akses jalan yang diharapkan
dapat mengatasi kemacetan lalu lintas pada jalur Puncak antara lain melalui
(FPS 2009):
245
1. Ruas jalan Jalur Utara:
a. Jalur Cilember – Batulayang – Tugu Selatan.
Jalur Cilember-Batulayang-Tugu Selatan merupakan jalur yang saat ini
sudah dimanfaatkan oleh pengguna jalan untuk menghindari kemacetan di
sekitar tanjakan Leuwimalang, Pasar Cisarua dan jalur masuk ke Taman Safari.
Kondisi jalan ini umumnya merupakan perkerasan aspal kecuali sekitar
persimpangan Ciburial yang memiliki perkerasan batu sepanjang 50 meter
dengan lebar 3 meter. Di lokasi Ciburial ini pun hampir sepanjang 500 meter
kondisi sekitar jalan (samping kiri dan kanan) merupakan tembok rumah
penduduk sehingga kemungkinan lebih sulit untuk memperlebar jalan juga
terdapat beberapa tanjakan dalam jalur jalan tersebut. Total panjang ruas jalan
ini sampai dengan keluar ke Jalan Raya Puncak di sekitar Restoran Hegar
(sebelum Green Garden) yaitu + 8 km.
b. Jalur Bukit Sentul – Cijayanti – Megamendung – Cilember –
Batulayang – TuguSelatan –PTP Gunung Mas.
Jalur ini menggunakan ruas tol Jagorawi melalui pintu keluar Sentul
Selatan, maka titik-titik rawan kemacetan seperti di Ciawi, Gadog dan Cibogo,
Pasar Cisarua sampai dengan Taman Safari tidak dilalui sebagaimana lintasan
saat ini. Untuk jalur utara ini jalan yang sudah ada masih memerlukan
peningkatan terutama ruas jalan Cijayanti menuju Megamendung,
Megamendung – Cilember dan Tugu Selatan – PTP Gunung Mas. Peningkatan
jalan ini dapat dilakukan melalui peningkatan perkerasan dan pelebaran jalan
dan pembangunan jembatan. Jalur Sentul ini akan bertemu dengan ruas jalan
Cilember tepatnya di sekitar Jalan Pesantren dan mengikuti alternatif jalur
pertama. Namun untuk menghubungkan ke jalur Jalan Raya Puncak tidak keluar
di Restoran Hegar tetapi di Sekitar Pabrik Teh Ciliwung Desa Tugu Selatan
(kurang lebih 500 meter sebelum ex Kantor Diparda) dan masuk mengikuti jalur
kebun teh dan keluar di sekitar Mesjid Attaawun.
Kondisi jalur Sentul sampai dengan Cijayanti sebagian berupa
perkerasan batu sedangkan antara Cijayanti dengan Cipayung (dekat Komplek
Pertamina) berupa perkerasan batu dan tanah. Dari Cipayung ke Megamendung
(Pusdikintel) berupa perkerasan aspal dengan lebar jalan 3 meter. Dari komplek
Pertamina ke Ujung Jalan (Curug) sepanjang 7,2 km terdapat perkerasan jalan
batu sepanjang sekitar 150 meter menjelang akhir ruas jalan. Dari Ujung jalan
246
tersebut untuk menembus ke jalan Pesantren terdapat jalan batu dengan lebar 2
meter dan melewati sungai. Saat ini jalan tersebut tidak dapat dilalui dengan
kendaraan mobil sepanjang + 2 km. Kondisi jalur Megamendung – Jalan
Pesantren ini disamping terjal juga jalanya kecil. Untuk menghubungkan jalur
Tugu Selatan (Ciburial) ke lokasi pabrik Teh Ciliwung melalui komplek villa dan
sekitar + 500 meter dihubungkan dengan jalan setapak dan melalui sungai
(belum ada jembatan). Lebar jalan dalam komlpeks ini rata-rata 3 meter dan
sekitarnya berupa tanaman tahunan.
2. Ruas jalan Jalur Selatan:
Jalur selatan terbagi menjadi 3 jalur utama:
a. Jalur Gadog (BPLP) – simpang Restoran Ibu Cirebon (Jalan raya puncak)
sepanjang + 16,5 km
b. Jalur Restoran Ibu Cirebon – simpang Paragajen (Cibeureum/Taman Safari)
sepanjang + 3,6 km (Jalan Raya Puncak dan Jalan Raya Taman Safari)
c. Jalur Simpang Paragajen – PTP Gunung Mas sepanjang + 5 km
Beberapa gambar alternatif akses jalan adalah sebagai berikut .
Salah satu jalan masuk menuju Desa Cipayung yang dapat menghubungkan Wilayah Cijayanti – Bukit Sentul atau Desa Gunung Geulis dengan kondisi perkerasan batu dan tanah.
Bagian jalan dari arah akhir ruas jalan Megaindah atau Pusdikintel yang dapat menghubungkan/menuju Jalan Pesantren – Cilember dengan kondisi sebagian jalan batu dan terdapat jembatan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat.
Kondisi jalan menuju Komplek Villa di Tugu Selatan, melalui Jembatan Sungai Citamiang.
Gambar 60. Ruas Jalan alternatif wisata di Kawasan Puncak
247
9.5.3 Skenario Alternatif (Alt):
Kebijakan Pengendalian penduduk, Membatasi jumlah kendaraan,
Meningkatkan perekonomian wilayah, meningkatkan frekuensi
penertiban bangunan tidak berizin, serta internalisasi biaya
lingkungan.
Skenario AIt adalah skenario alternatif berupa modifikasi skenario RP
dengan beberapa penambahan kebijakan secara komprehensif/holistik dari
berbagai dimensi baik dari dimensi sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan
serta lingkungan. Intervensi yang dilakukan adalah: (1) Mengendalikan
pertambahan penduduk dengan menekan angka kelahiran (natalitas) menjadi
2% per tahun, angka kematian dianggap tetap dan migrasi keluar dianggap
tetap; (2) Pemerintah menyusun kalkulasi pertumbuhan ekonomi ditingkatkan
melalui berbagai program sehingga LPE meningkat sebesar 5,13%; (3) Seiring
dengan pertumbuhan LPE dan dalam rangka pengendalian pembangunan maka
pemerintah memandang perlu menaikan pajak dan retribusi ; (4) Peningkatan
pajak dan retribusi tersebut dialokasikan sebesar 3% untuk membiayai perbaikan
lingkungan; (5) penertiban PKL dan bangunan liar dengan frekuensi penertiban
di Kawasan Puncak sebesar 2 kali/tahun; (6) Konsekuensinya perlu menambah
jumlah aparatur dan sarana/prasarana; (7) Sebagai upaya menanggulangi
kemacetan maka pemerintah menerapkan regulasi pembatasan jumlah dan jenis
kendaraan yang masuk/melintas pada setiap week end dan hari libur ke
Kawasan Puncak.
9.6 Perbandingan Antara Ketiga Skenario
Ketiga skenario tersebut selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui
skenario mana yang dapat memberikan kinerja terbaik. Perbandingan antara
ketiga skenario pada tahun awal simulasi (tahun 2009) dan tahun akhir simulasi
(2029) dapat dilihat selengkapnya pada tabel 88 berikut.
248
Tabel 88. Perbandingan berdasarkan skenario TI, RP dan Alt pada tahun 2009
dan 2029
Indikator Tahun 2009 Skenario tahun 2029
TI RP Alt
Jumlah penduduk (jiwa) Jumlah wisatawan (jiwa) Jumlah kendaraan (unit) Kebutuhan jalan (km) Volume sampah (lt/th) Kebutuhan akomodasi wisata (m
2)
Tutupan lahan (m2)
Perolehan pajak dan retribusi (Rp) Daya dukung wisata (jiwa) Biaya lingkungan ( Rp)
295.340 1.345.536 6.144.000
50.5 1.949.332
250.000 6.445.256
36.329.472.000 13.186.355
0
465.409 2.816.361
12.860.098 105.7
3.698.248 521.280.71
9.582.031.5 76.041.757.708
10.785.734 0
421.966 2.803.667
12.774.460 131.2
3.572.762 744.570
9.266.839.8 83.928.200.878
11.424.075 0
421.966 2.917.538
12.110.994 99.5
3.680.700 919.111
9.227.684 96.278.766.922
11.893.139 2.888.363.008
Keterangan : TI = Tanpa Intervensi, RP = Rencana Pemerintah, Alt = Alternatif
249
Gambar 61. Perbandingan hasil simulasi pada ketiga skenario untuk Jml Penduduk, Jml wisatawan, Jml kendaraan, Kapasitas ECC, Biaya Lingkungan, Luas Akomodasi, Luas Tutupan Lahan, dan jml sampah.
Jumlah penduduk pada saat awal simulasi adalah 295.340 jiwa, apabila
tidak dilakukan intervensi pengendalian penduduk, maka penduduk di kawasan
puncak akan mencapai 465.409 jiwa pada tahun 2029. Sejalan dengan
pertambahan penduduk maka jumlah penduduk yang tidak bekerja
(menganggur) meningkat menjadi 65.157 jiwa pada tahun 2029 dari 41.438
jiwa pada tahun 2009. Pertambahan penduduk pada skenario RP dan Alt
dikendalikan dengan menekan angka kelahiran sampai 2%. Angka pertambahan
penduduk pada skenario RP dan Alt lebih rendah dari skenario TI. Perkiraan
jumlah penduduk pada tahun 2029 sebesar 421.966 jiwa, terjadi peningkatan
42,87% dari kondisi tahun 2009.
Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan akan meningkatkan jumlah
kendaraan. Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak
pada tahun 2009 terdapat sebanyak 6.144.000 setahun. Jumlah penduduk
yang tinggal di Kawasan Puncak lebih sedikit dari jumlah wisatawan yang
berkunjung ke OTW di Kawasan Puncak. Jumlah wisatawan mencapai 1.235.965
jiwa sedangkan penduduk Kawasan Puncak hanya mencapai 295.340 jiwa
atau hanya 23,9%. Dengan demikian walaupun telah dilakukan pengendalian
jumlah penduduk melalui intervensi pada skenario RP dan Alt namun jumlah
kendaraan yang melintas ke Kawasan Puncak, terus mengalami peningkatan.
Jumlah lalu lintas harian kendaraan di kawasan puncak berdasarkan data dari
DLLAJ adalah 10.000 kendaraan/hari dan pada hari minggu mencapai 39.564
kendaraan.
250
Jika tidak dilakukan intervensi apapun (TI) untuk mengurangi jumlah
kendaraan yang ada, maka pada tahun 2029 jumlah kendaraan yang akan
melintasi atau memasuki Kawasan Puncak akan mencapai 12.860.098
kendaraan per tahun. Setelah dilakukan intervensi dalam skenario RP maka
jumlah kendaraan berkurang menjadi 12.802.131 kendaraan. Selanjutnya pada
skenario Alt dibuat suatu kebijakan yang prinsipnya tidak terlalu mengurangi
jumlah wisatawan sebagai sumber perekonomian daerah tetapi mengurangi atau
membatasi kendaraan yang masuk/melintas ke jalur Puncak karena kondisi saat
ini mengalami keterbatasan kapasitas jalan. Setelah intervensi program dalam
skenario Alt, maka jumlah kendaraan pada tahun 2029 adalah 12.110.994
kendaraan atau lebih rendah dari skenario TI dan RP.
Konsekuensi penambahan jumlah kendaraan akan berakibat terhadap
kebutuhan sarana infrastruktur jalan. Jika tidak dilakukan intervensi program (TI)
maka pada akhir tahun simulasi diperkirakan kebutuhan infrastruktur jalan
mencapai 528.497,17 m2 atau jika dikonversikan ke satuan panjang setelah
dibagi luas jalan rata-rata sekitar 5 m, maka panjang jalan yang diperlukan
adalah sekitar 105,7 km. Demikian pula setelah dilakukan skenario RP dengan
membuat jalan alternatif, walaupun mungkin dapat mengurangi kemacetan lalu
lintas, namun jumlah kendaraan masih mengalami peningkatan sehingga
diperlukan penambahan jalan seluas 656.115 m2 atau sepanjang 131,2 km.
Selanjutnya jika disimulasikan program pembatasan kendaraan pada
skenario Alt, sehingga jumlah kendaraan berkurang, maka panjang jalan yang
dibutuhkan adalah sekitar 99,5 km atau seluas 497.712,07 m2. Ditinjau dari
segi efisiensi anggaran dan kelestarian lingkungan terhadap tutupan lahan, maka
skenario Alt lebih baik dari skenario RP dan TI. Berdasarkan standar analisa
belanja pemerintah Kabupaten Bogor, biaya pembuatan 1 m2 jalan hotmiks
adalah Rp. 350.000. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan menggunakan
skenario Alt anggaran belanja pemerintah dapat dihemat antara 7 milyar sampai
dengan 15 milyar rupiah setiap tahunnya.
Sejalan dengan dinamika perubahan jumlah kendaraan yang memasuki
Kawasan Puncak, maka akan berpengaruh terhadap sumbangan CO2 ke udara
dari kendaraan. Berdasarkan hasil pengujian terhadap kendaraan bermotor jenis
niaga (Buchari 2010), sebuah kendaraan mengeluarkan emisi CO2 sebesar 134
gr/km/kendaraan. Jumlah CO2 yang dilepaskan ke udara pada tahun 2009 yang
251
berasal dari kendaraan yang melintasi puncak adalah 82.329.600 gr. Apabila
tidak dilakukan upaya-upaya pengurangan emisi, maka pada tahun 2029
penambahan jumlah emisi CO2 dari kendaraan yang dilepaskan ke udara di
Kawasan Puncak akan mencapai 162.287.316 gr.
Peningkatan wisatawan ke kawasan Puncak akan mendorong para
pengusaha untuk menambah pembangunan akomodasi baik berupa hotel, vila,
resort, maupun wisma. Selanjutnya berdasarkan hasil survey terhadap
responden diperoleh data bahwa tidak semua wisatawan menginap di Kawasan
Puncak, kurang lebih sekitar 20% dari jumlah wisatawan yang menginap di
Kawasan Puncak. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
luas obyek wisata yang ada saat ini yaitu seluas 1.416.000 m2, setelah
diakumulasikan dengan data luas tutupan jalan, akomodasi dan penduduk, maka
total luas tutupan lahan pada tahun 2009 adalah 6.445.256 m2. Tanpa intervensi
pembatasan wisatawan dan penduduk, pengaturan ruang dan perizinan maka
jumlah tutupan lahan akan terus bertambah, sehingga pada tahun 2029 luas
tutupan lahan yang diperlukan mencapai 9.582.032 m2 atau sekitar 7,4% dari
luas Kawasan Puncak (129.780.000 m2). Jumlah tutupan lahan yang dibutuhkan
akibat perkembangan akomodasi dan infrastruktur jalan pada skenario RP dan
Alt lebih sedikit jika dibandingkan skenario TI yaitu 9.266.839,8 m2 dan
9.227.684 m2. Pengurangan tutupan lahan ini salah satunya sebagai dampak
kebijakan penertiban bangunan liar yang dilaksanakan secara intensif.
Selanjutnya penambahan jumlah wisatawan akan dibatasi oleh daya
dukung lokasi obyek wisata. Pada tahun 2009, kondisi obyek wisata yang ada
di Kawasan Puncak dapat menampung 13.186.355 wisatawan. Seiring dengan
pertambahan waktu, kemampuan daya dukung obyek wisata untuk menampung
jumlah wisatawan akan semakin berkurang/menurun. Pada tahun 2029 jumlah
wisatawan yang dapat ditampung berkurang menjadi 10.785.734 wisatawan
pada skenario TI dan 11.424.075 wisatawan pada skenario RP serta 11.893.139
wisatawan pada skenario Alt. Penurunan daya dukung objek tempat wisata
dalam menampung kunjungan wisatawan dapat disebabkan oleh kondisi
infrastruktur yang buruk, kondisi obyek wisata yang tidak terpelihara serta
kapasitas manajemen atau pelayanan yang menurun.
Pertambahan penduduk dan wisatawan akan mengakibatkan
peningkatan timbulan sampah. Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan
252
Kebersihan (2009), sampah yang dihasilkan per orang di wilayah Kabupaten
Bogor adalah sebesar 2,5 ltr. Selain penduduk setempat, sampah pun dihasilkan
dari aktivitas wisatawan. Asumsinya jika penduduk menghasilkan sampah
sebanyak 2,5 ltr/hari, maka jika wisatawan berada di kawasan wisata dari pukul 9
sampai dengan pukul 19.00 (10 jam), maka sampah yang dihasilkan wisatawan
adalah 10/24 x 2.5 liter atau sekitar 0,9 liter/org/hari. Berdasarkan data jumlah
penduduk dan wisatawan di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung akan
diperoleh jumlah sampah sebanyak 1.949.332 lt pada tahun 2009. Apabila
pemerintah tidak melakukan intervensi apapun dalam pengendalian penduduk
dan wisatawan maka pada tahun 2029 sampah yang berasal dari penduduk dan
wisatawan mencapai 3.698.248 lt. Jumlah timbulan sampah akan berkurang
pada saat dilakukan pengendalian jumlah penduduk dan wisatawan pada
skenario RP dan Alt yaitu masing-masing jumlah sampah pada tahun akhir
simulasi menjadi 3.572.762 lt dan 3.680.700 lt.
Pertambahan jumlah wisatawan di Kawasan Puncak dapat memicu
pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL) dan vila atau bangunan akomodasi
lainnya yang tidak berizin. Hal ini kerapkali menimbulkan kemacetan lalu lintas
dan suasana kumuh menutupi keindahan pemandangan di Kawasan Puncak.
Pertambahan atau pengurangan PKL dan bangunan tidak berizin salah satunya
dipengaruhi seberapa intensif aktivitas sosialisasi, penertiban dan intensitas
pengawasan bangunan yang dilakukan pemerintah. Pada kondisi skenario
tanpa intervensi, bangunan PKL dan bangunan tidak berizin akan meningkat
sekitar 3,98% menjadi 1.912 bangunan pada tahun 2029. Pada skenario RP,
komitmen aparatur pemerintah dalam rangka penegakan hukum dilaksanakan
melalui pengawasan dan penertiban bangunan tidak berizin walaupun
pelaksanannya hanya satu kali dalam satu tahun, sehingga penambahan
bangunan liar tersebut dapat sedikit dikendalikan walaupun diperkirakan masih
terjadi kenaikan dari 1.368 bangunan pada tahun 2009 menjadi 1.707 bangunan
pada tahun 2029 atau bertambah sekitar 2,5%. Penertiban bangunan tidak
berizin, selain memerlukan kesiapan aparatur dari segi kecukupan jumlah
petugas, juga kesiapan sarana dan prasarana serta penyediaan anggaran.
Kegiatan penertiban bangunan tidak berizin berdasarkan standar anggaran
belanja daerah Kabupaten Bogor, adalah Rp. 12.000.000 per bangunan. Jika
pemerintah daerah mengalokasikan dana penertiban bangunan di Kawasan
Puncak sebesar Rp 1 milyar per tahun maka melalui skenario alternative,
253
bangunan tidak berizin dapat ditertibkan seluruhnya pada tahun 2028.
Percepatan penertiban bangunan tidak berizin dapat dilakukan dengan
menambah frekuensi penertiban dan meningkatkan jumlah alokasi anggaran
setiap tahunnya.
Penertiban bangunan tidak berizin di Kawasan Puncak akan mengurangi
tutupan lahan, namun dengan kebijakan membuka jalan baru diduga akan
menambah tutupan lahan dan memicu tumbuhnya bangunan-bangunan lahan
baru baik berizin maupun tidak berizin. Sehingga diperkirakan tutupan lahan
pada tahun 2029 akan mencapai 9.266.840 m2. Pada skenario alternatif,
frekuensi penertiban ditingkatkan sehingga diperkirakan sampai akhir tahun
simulasi jumlah bangunan tidak berizin dapat ditekan sampai 1.633 bangunan
atau pertambahannya bisa dikendalikan sampai 1,9%.
Dampak positif peningkatan aktivitas wisata adalah meningkatkan
penerimaan daerah berasal dari pajak dan retribusi. Peningkatkan penerimaan
pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi dari sektor pariwisata dapat
dilakukan melalui ekstensifikasi dan peningkatan tarif wisata di obyek wisata dan
maksimalisasi pajak hotel dan restoran. Penerimaan pajak dan retribusi pada
skenario TI diperkirakan akan meningkat dari Rp. 36.329.472.000 pada tahun
awal simulasi menjadi Rp. 76.041.757.708 pada tahun 2029. Kebijakan
peningkatan penerimaan pajak dan retribusi di Kawasan Puncak seperti yang
diterapkan pada skenario RP dan Alt selain untuk meningkatkan penerimaan
daerah sekaligus sebagai alat pengendalian pertambahan jumlah wisatawan.
Disimulasikan pada skenario RP dan Alt penambahan penerimaan daerah pada
tahun 2029 menjadi Rp. 83.928.200.878 dan Rp. 96.278.766.922.
Pada skenario alternatif, penerimaan daerah dari pajak dan retribusi
tidak seluruhnya digunakan pemerintah untuk membiayai belanja langsung dan
tidak langsung tetapi dialokasikan sebesar 3% untuk membiayai perbaikan
lingkungan, sehingga kelestarian Kawasan Puncak dapat terjaga.
9.7 Kebijakan dan Pendekatan Program
Berdasarkan ketiga skenario model kebijakan pengelolaan pariwisata di
Kawasan Puncak, skenario dengan kinerja terbaik adalah skenario alternatif
(Alt). Skenario alternatif dapat dilakukan melalui beberapa kebijakan dan
program seperti tercantum pada tabel 84.
254
Tabel 89. Rekomendasi kebijakan dan program pengelolaan pariwisata di
Kawasan Puncak
No KEBIJAKAN PROGRAM
1. Pengendalian penduduk 1. Optimalisasi Operasi yustisi dan Keluarga Berencana
2. Pembatasan kawasan pemukiman
2.
3.
Peningkatan perekonomian kawasan
Pembatasan jumlah kendaraan
3. Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja yang siap pakai
4. Peningkatan UKM di bidang pertanian dan industri rumah tangga (home industry)
5. Peningkatan penerimaan dari pajak dan retribusi
Penggunaan angkutan masal
4. Pengendalian bangunan tidak berizin
Optimalisasi pelaksanaan operasi wibawa praja
5. Peningkatan pembiayaan lingkungan
Internalisasi/penambahan biaya lingkungan dalam pajak/retribusi
9.7.1 Kebijakan Pengendalian Penduduk
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis
Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili
kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Besarnya jumlah
penduduk akan membawa implikasi tertentu, utamanya terhadap persebaran
dan densitasnya (kepadatan). Kepadatan penduduk mencerminkan banyaknya
penduduk tiap satuan luas wilayah. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010,
kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 18 orang per ha.
Kepadatan penduduk yang tinggi cenderung memperlambat pendapatan
per kapita melalui tiga cara, yaitu: (1) Memperberat beban penduduk pada lahan;
(2) Menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk
menaikkan penawaran mereka; (3) Menurunkan akumulasi modal, karena
dengan tambah anggota keluarga maka akan meningkatkan pengeluaran/biaya
(BPS 2010). Secara umum angka distribusi penduduk di Kabupaten Bogor lebih
tinggi dari 4%, dengan angka beban tanggungan sebesar 53,75. Berdasarkan
data-data kependudukan menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Bogor dengan
potensi yang dimilikinya mampu menarik penduduk untuk tinggal atau datang ke
wilayah ini. Perkembangan usaha industri, pemukiman dan wisata telah
menarik minat untuk bekerja, bertempat tinggal dan berwisata di Kabupaten
255
Bogor. Kondisi tersebut mengakibatkan konsekuensi terhadap tingginya
kepadatan penduduk.
9.7.1.1 Program Keluarga Berencana dan Operasi Yustisi
Pertambahan jumlah penduduk disebabkan karena pertambahan alamiah
(kelahiran) dan pertambahan karena migrasi masuk. Pengendalian penduduk
merupakan kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dilakukan
dengan mengurangi jumlah kelahiran yang dikenal dengan program keluarga
berencana. Berdasarkan data sensus ekonomi daerah (Suseda) tahun 2008,
angka kelahiran total (TFR) masih berkisar 2,51 dan rata-rata usia kawin pertama
wanita adalah 17,9 tahun. Situasi kependudukan di Kabupaten Bogor tersebut
merupakan fenomena yang memerlukan perhatian dan penanganan sungguh-
sungguh dan berkelanjutan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah
dengan mengendalikan jumlah penduduk dan meningkatkan kualitas penduduk.
Hal ini antara lain dilakukan dengan menggalakan dan meneguhkan
kembali Program operasi yustisi dan Keluarga Berencana Nasional di semua
tingkatan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud
Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal
melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan
sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Kegiatan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor, diarahkan
pada 5 (lima) kegiatan strategis yaitu: (1) program Pemberdayaan Keluarga
(PK); (2) Program KB dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR); (3) Program
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan PUP (Pendewasaan Usia
Perkawinan); (4) Program Penguatan kelembagaan keluarga kecil berkualitas;
dan (5) Program pengembangan sistem informasi data mikro keluarga.
Perkembangan pelaksanaan Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor pada
tahun 2010 menunjukan hasil yang baik yaitu pencapaian total peserta KB
sebanyak 157.157 peserta atau 96,61% dari Perkiraan Permintaan Masyarakat
(PPM) sebesar 162.666 peserta. Jumlah peserta KB Aktif (PA) sebanyak
660.676 akseptor, jika dibandingkan dengan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS)
sebanyak 913.344 PUS maka PA/PUS menjadi 72,34%. Sedangkan jika dilihat
berdasarkan mix kontrasepsi maka persentase pencapaian peserta KB baru
terhadap PPM per mix kontrasepsi adalah sebagai berikut: 3.026 akseptor IUD
256
(83,78% dari PPM), 1.117 peserta MOW (182,82% dari PPM), 6.159 peserta
implant (127,49% dari PPM), dan 89.002 peserta suntikan (96,96% dari PPM).
Pelaksanaan KB di Kawasan Puncak pada khususnya dan Kabupaten
Bogor pada umumnya sudah dilaksanakan dengan baik. Realisasi peserta KB
baru di Kawasan Puncak melebihi target yaitu masing-masing 106,14 % untuk
Kecamatan Megamendung dan 113,86% untuk Kecamatan Cisarua, sedangkan
Kecamatan Ciawi realisasinya adalah 93,68%. Prioritas kegiatan yang perlu
dilanjutkan dan tingkatkan dimasa yang akan datang adalah:
a. Rata-rata Usia Kawin di Kabupaten Bogor masih rendah yaitu 17,9 tahun,
sedangkan Provinsi Jawa Barat 18,05 tahun dan Nasional sudah mencapai
20 tahun. Perlu upaya dan kerja keras untuk memberikan motivasi/dorongan
agar para remaja mampu menunda usia perkawinannya hingga usia yang
dapat dikatakan matang baik dari sisi kesehatan fisik, psikis, ekonomi
maupun sosialnya. Wahana atau forum yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan remaja untuk dapat
menunda perkawinan adalah dengan memberikan pengetahuan dan
wawasan tentang kesehatan reproduksi melalui wadah konseling PIK KRR
(Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) yang telah
dibentuk di masing-masing kecamatan;
b. Menambah jumlah petugas lapangan pengelola KB, petugas lapangan
merupakan ujung tombak dalam pencapaian keberhasilan program. Saat ini
jumlah petugas lapangan KB baru 184 orang untuk melayani 428
desa/kelurahan, sehingga masih kekurangan petugas lapangan KB sebanyak
244 orang;
c. Meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap KB melalui
peningkatan peran serta Pos KB dan Sub Pos KB dalam pelaksanaan
program KB;
d. Meningkatkan frekuensi penyuluhan dan melaksanaan pembinaan untuk
menekan angka drop out (DO) peserta KB, karena saat ini angka DO peserta
KB untuk tingkat kabupaten termasuk tinggi yaitu 12,05%, bahkan untuk
kecamatan di Kawasan Puncak memiliki angka DO yang lebih tinggi yaitu
12,34% (Kecamatan Ciawi), 14,05% (Kecamatan Cisarua) dan 19,32%
(Kecamatan Megamendung);
257
e. Perlu penanganan yang komprehensif dan khusus serta berkesinambungan
terhadap segmen remaja, mengingat kehidupan remaja yang sangat rawan
terhadap resiko penyimpangan seksualitas, HIV/AIDS dan Narkoba;
f. Meningkatkan pelembagaan dan pembudayaan KB, salah satunya dengan
melanjutkan program “Kampung KB”;
g. Peningkatan cakupan pelayanan KB gratis bagi keluarga miskin;
h. Optimalisasi pelaksanaan operasi yustisi secara konsisten.
9.7.1.2 Program Pembatasan Kawasan Permukiman
Peningkatan jumlah penduduk salah satu penyebabnya adalah terjadinya
peningkatan pembangunan kawasan pemukiman. Berdasarkan penelitian Dewi
(2010), sebelum tahun 2000 kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat
yaitu dari 3,96% (1992) menjadi 8,49% (2000), atau meningkat sebesar 4,53%,
akan tetapi setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relative lebih cepat
selama kurun waktu 2000-2006, tutupan lahan permukiman meningkat 12%.
Demikian pula hasil penelitian Suwarno (2011), selama 9 tahun terakhir (2000-
2009) mengalami kenaikan dari 1.261,62 ha menjadi 3.356,73 ha atau rata-rata
18,45% per tahun. Peningkatan luas lahan permukiman 18,45% ini berarti lebih
tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk 3,28% per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa permintaan lahan untuk diubah menjadi lahan terbangun
sangat besar (laju permukiman lebih dari 5 kali laju pertumbuhan penduduk).
Peningkatan kawasan pemukiman/terbangun akan meningkatkan
kepadatan penduduk. Berdasarkan arahan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2008,
kepadatan penduduk untuk kategori sustainable (rendah) adalah < 50 jiwa/ha,
kepadatan sedang 50 – 100 jiwa/ha, kepadatan tinggi (kritis) adalah 100 – 150
jiwa/ha, serta destruktif > 200 jiwa/ha. Pada tahun 2010, kepadatan penduduk
Kecamatan Ciawi adalah 41 jiwa/ha, Kecamatan Cisarua adalah 18 jiwa/ha dan
Kecamatan Megamendung adalah 29 jiwa/ha. Berdasarkan model simulasi
jumlah penduduk di Kawasan Puncak pada tahun 2029 diperkirakan mencapai
421.966 jiwa dengan kepadatan sekitar 35 jiwa/ha. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kepadatan penduduk di wilayah Puncak dikategorikan
kepadatan sedang.
Namun demikian khusus untuk Kawasan Puncak tidak hanya
berdasarkan kepadatan penduduk, tetapi harus mempertimbangkan kunjungan
wisatawan yang jumlahnya dalam satu tahun melebihi angka jumlah penduduk
258
definitif di Kawasan Puncak, yaitu mencapai 1.345.536 jiwa atau berdasarkan
skenario TI, diproyeksikan pada tahun 2029 wisatawan bertambah menjadi
2.816.361 jiwa. Jika dijumlahkan antara penduduk dengan wisatawan maka
jumlahnya menjadi 3.238.327 jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut, maka
kepadatan penduduk dan wisatawan menjadi 264 jiwa/ha atau termasuk dalam
kepadatan tinggi dan mempunyai kecenderungan destruktif. Walaupun sifatnya
tidak menetap, namun pada saat-saat tertentu kondisi ini akan menimbulkan
suasana tidak nyaman dan dapat membebani serta merusak lingkungan.
Berdasarkan PP no 26 Tahun 2008 tentang RTRWN terhadap pemanfaatan
ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya dapat
dikenakan kebijakan disinsentif. Disinsentif kepada pemerintah daerah
diberikan, antara lain, dalam bentuk: pembatasan penyediaan infrastruktur;
pengenaan kompensasi; dan/atau penalti.
Berdasarkan kondisi, permasalahan dan ketentuan yang mengatur
Kawasan Puncak, maka implementasi pembatasan kawasan pemukiman
terbangun dapat dilaksanakan melalui:
1) Pengenaan pajak bumi dan bangunan yang tinggi secara selektif terutama
terhadap bangunan-bangunan baru;
2) Pembatasan penyediaan infrastruktur dan utilitas lain terutama terhadap
daerah-daerah dengan peruntukan non pemukiman;
3) Pengenaan retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang tinggi untuk setiap
bangunan di Kawasan Puncak, sebagai upaya menurunkan animo
masyarakat mendirikan bangunan di Kawasan Puncak;
4) Perambahan kawasan hutan maupun lahan HGU perkebunan agar
ditertibkan agar tidak berubah menjadi permukiman semi-permanen maupun
permanen;
5) Pengendalian yang ketat terhadap pemberian izin (IPPT/ILOK/IMB);
6) Distribusi penduduk di dalam kawasan dan distribusi wisatawan didalam
kawasan maupun keluar kawasan melalui pengembangan destinasi wisata
alternatif selain Kawasan Puncak.
Distribusi penduduk dalam kawasan dapat dilakukan dengan membuat
rencana zonasi yang membagi penduduk atas aktivitas ruang. Pengaturan
penduduk pada masing-masing Zona ditujukan agar dapat dicapai
keseimbangan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan. Pengaturan ini
259
ditentukan berdasarkan intensitas kegiatan struktur ruang dan fisik lahan yang
dapat dikembangkan pada masing-masing Zona. Hal ini didasari pula oleh
kecenderungan, dimana semakin dekat dengan pusat kegiatan, maka
kecenderungan kepadatan penduduk semakin tinggi. Distribusi wisatawan
didalam kawasan dapat dilakukan melalui pengaturan zonasi wisata dan
manajemen wisata kawasan berdasarkan kemampuan daya dukung masing-
masing Obyek Tujuan Wisata (OTW). Perencanaan zonasi wisata di Kawasan
Puncak sudah disusun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003.
Zona wisata di Kawasan Puncak terbagi atas zona A, B, C, dan D dengan
masing-masing fungsi, arahan pengembangan wisata yang diperbolehkan dan
komponen penataannya.
Kecamatan Ciawi termasuk dalam zona A, merupakan lokasi strategis
menjadi pintu gerbang menuju objek wisata di jalur Bopunjur (kawasan wisata
Puncak) dan objek wisata di jalur Bogor-Sukabumi. Sebagian besar Kecamatan
Cisarua dan Megamendung termasuk pada zona C dengan arahan
pengembangan antara lain pengembangan permukiman perkotaan dan kawasan
permukiman perdesaan, fungsi pertanian lahan basah dan kawasan perkebunan,
meningkatkan aksesibilitas objek wisata dengan pusat akomodasi wisata,
membentuk keterkaitan antara aktifitas pariwisata dengan aktifitas masyarakat
setempat, mempertahankan fungsi daerah resapan/ruang terbuka hijau pada
daerah dengan kelerengan curam, pengembangan prasarana dan sarana
pendukung pariwisata, pengaturan pemanfaatan villa/wisma yang disewakan,
mengendalikan perkembangan villa pada daerah-daerah yang tidak sesuai
peruntukkan dan menciptakan keterkaitan antara pusat akomodasi wisata
dengan objek-objek wisata.
Implementasi pengaturan wisata melalui zonasi wisata ini belum berjalan
maksimal, salah satu kendalanya adalah karena produk perencanaan ini tidak
mengikat masyarakat dan pemerintah karena tidak dituangkan dalam bentuk
peraturan daerah. Disarankan perlu dilakukan review kembali dan dituangkan
dalam bentuk peraturan daerah rencana detail dan zonasi Kawasan Puncak
yang memiliki kekuatan hukum, sehingga dapat menjadi pedoman bagi
pemerintah yang memiliki otoritas perizinan sekaligus sangsi bila terjadi
pelanggaran. Distribusi wisatawan didalam Kawasan Puncak selain melalui
pengaturan zonasi, juga dapat dilakukan melalui manajemen pariwisata secara
260
menyeluruh di Kawasan Puncak, salah satu alat pengendalinya adalah kapasitas
atau daya dukung pada setiap OTW.
Distribusi wisatawan keluar Kawasan Puncak perlu dilakukan setelah
memperhatikan kondisi infrastruktur yang semakin terbatas serta terjadinya
peningkatan tutupan lahan yang dapat mengancam konservasi lingkungan di
DAS Ciliwung. Sesuai dengan PP no 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, Kawasan
Puncak termasuk kedalam kawasan strategis nasional (KSN). Salah satu
kebijakannya adalah pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan
ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang
alam, dan melestarikan warisan budaya nasional. Dengan demikian
pengembangan pembangunan di Kawasan Puncak harus dibatasi sehingga
untuk mengalihkan sebagian wisatawan terutama wisatawan repeater ke
Kawasan Puncak perlu didistribusikan ke wilayah destinasi lainnya. Kebijakan
Pemerintah Kabupaten Bogor yang saat ini sedang mempersiapkan alternatif
puncak di wilayah Kabupaten Bogor sebelah Timur (Kawasan Puncak 2/Puncak
Raya), merupakan langkah tepat sebagai salah satu upaya memecah arus
wisatawan atau distribusi wisatawan keluar Kawasan Puncak, walaupun untuk
mewujudkan rencana ini memerlukan pendanaan yang besar dan jangka waktu
yang cukup lama.
9.7.2 Kebijakan Peningkatan Perekonomian Kawasan
Kawasan Puncak walaupun termasuk wilayah konservasi alam, namun
juga dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata baik skala lokal kabupaten
Bogor maupun skala regional Provinsi Jawa Barat. Kebijakan peningkatan
ekonomi pendapatan daerah di Kawasan Puncak perlu direncanakan secara
cermat dan hati-hati agar tidak bersifat eksploitatif yang dapat mengakibatkan
kerusakan atau degradasi lingkungan. Peningkatan ekonomi di Kawasan
Puncak yang merupakan kawasan wisata dapat dilaksanakan melalui (1)
Peningkatan penerimaan daerah dari pajak dan retribusi; (2) Peningkatan
kualitas SDM siap pakai; (3) Kemitraan antara pengusaha wisata dan
masyarakat setempat; (4) kerjasama dan keterkaitan dari aktivitas hulu-hilir.
261
9.7.2.1 Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja yang siap pakai
Permasalahan ketenagakerjaan di Kabupaten Bogor adalah kelebihan
pasokan tenaga kerja yang tidak seimbang dengan serapan tenaga kerja pada
lapangan usaha. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) total Kabupaten
Bogor tahun 2010 sebesar 59,60 artinya 59,60% dari penduduk usia kerja
terlibat dan berusaha dalan kegiatan produktif menghasilkan barang dan jasa.
Berdasarkan angka total angkatan kerja yang ada di Kabupaten Bogor pada
tahun 2010, sebanyak 1.722.345 jiwa (89%) adalah mereka yang aktif bekerja,
sedangkan sisanya 205.032 jiwa (11%) merupakan pengangguran terbuka.
Penduduk angkatan kerja yang bekerja di Kawasan Puncak sebagian besar
bekerja di sektor jasa (53%) serta perdagangan, hotel dan restoran (20%).
Tingginya proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut sesuai dengan
pengembangan Kawasan Puncak sebagai destinasi wisata.
Namun demikian berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari
pengusaha hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI, kualitas tenaga kerja
di Kawasan Puncak masih belum memadai dan perlu ditingkatkan kualitasnya.
Prioritas kegiatan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Kawasan Puncak
adalah melalui:
1) Pelatihan keterampilan bagi para calon tenaga kerja di tempat-tempat balai
latihan kerja (BLK) yang dilanjutkan dengan kegiatan magang;
2) Pelatihan customer service excelent bagi para pekerja wisata secara
berkesinambungan;
3) Mendirikan sekolah pariwisata, untuk mencetak/menghasilkan tenaga-tenaga
baru yang siap pakai;
4) Peningkatan jumlah aparatur dan pelaku wisata yang telah mengikuti
pendidikan dan pelatihan kepariwisataan, termasuk keterampilan berbahasa
asing.
9.7.2.2 Peningkatan UKM di bidang pertanian dan industri rumah tangga
(home industry)
Kawasan Puncak merupakan pusat kegiatan wisata di Kabupaten Bogor,
dimana sebagian besar potensi wisata, atraksi wisata dan fasilitas wisata berada
pada kawasan ini. Berdasarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Bogor pada tahun 2008 terdapat 168 akomodasi yang terdiri dari 7 hotel bintang
dan 161 hotel melati (termasuk wisma dan villa). Hotel bintang adalah Safari
262
Garden Hotel, Parama Hotel, Jayakarta Hotel, Grafika Mas Prioritas Hotel,
Permata Alam Hotel, Cipayung Asri hotel dan Citra Cikopo. Pada tahun 2008,
berdasarkan data Dispenda terdapat 121 rumah makan yang menawarkan menu
tradisional dan lokal. Selain potensi berupa fasilitas wisata, jumlah wisatawan
yang berkunjung ke Kawasan Puncak pada tahun 2009 adalah sebanyak
1.335.443.
Potensi wisata Puncak yang demikian besar perlu dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan wisata dari mulai kebutuhan
konsumsi (pangan), akomodasi, transportasi, industri, kerajinan dan jasa.
Permasalahan yang pada umumnya terjadi di daerah wisata adalah terjadinya
“kebocoran wisata” sehingga terjadi capital flight ke daerah lain dan masyarakat
setempat tidak menerima keuntungan dan manfaat dari aktivitas wisata.
Prioritas kegiatan yang perlu dipersiapkan adalah:
1) Pendataan dan pemetaan UKM untuk mengetahui jumlah, lokasi, jenis usaha,
kekuatan permodalan, permasalahan dan sebagainya;
2) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan para UKM di bidang pertanian,
industri dan jasa;
3) Membentuk forum UKM di Kawasan Puncak dengan tujuan untuk
memudahkan koordinasi, pengorganisasian dan penyampaian informasi;
4) Meningkatkan kemitraan antara UKM dengan para pelaku usaha di Kawasan
Puncak;
5) Menerapkan penggunaan teknologi informasi untuk memudahkan komunikasi
dan koordinasi antara UKM dan pengusaha wisata.
9.7.2.3 Peningkatan Penerimaan Pajak dan Retribusi
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran
serta masyarakat sekaligus sebagai sumber pendapatan daerah yang penting
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pungutan pajak mempunyai tiga fungsi atau tujuan, yaitu: (1) Fungsi penerimaan
(budgetair), pajak dikenakan dengan tujuan untuk mengumpulkan penerimaan
Negara dalam rangka membiayai kegiatan pemerintah; (2) Fungsi pengaturan
(regulator), berkaitan dengan dikenakannya pajak untuk mengatur transaksi
ekonomi yang terkait dengan obyek pajak; dan (3) Fungsi distribusi, pajak
dikenakan dalam rangka menciptakan pemerataan pendapatan antar warga
negara (Bappeda, 2007).
263
Kegiatan pariwisata yang dikenakan pajak adalah hotel, restoran dan
hiburan. Pajak hotel adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang
disediakan hotel dengan pembayaran oleh pribadi atau badan. Dasar pengenaan
pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang diberikan konsumen kepada hotel
(omzet). Besarnya tarif pajak hotel adalah 10 persen dengan cara menghitung
pajak hotel yaitu: tarif pajak (10%) x dasar pengenaan. Demikian pula pajak
restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan restoran
dengan pembayaran oleh orang pribadi atau badan. Cara penghitungannya
adalah: tarif pajak (10%) x dasar pengenaan (jumlah pembayaran yang dilakukan
konsumen kepada restoran (omzet). Pajak hiburan adalah pajak yang dikenakan
atas penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi
dikelompokan menjadi retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi
perizinan tertentu. Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang
disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah
daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula
disediakan oleh sektor swasta.
Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu
pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam,
barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Retribusi di sektor pariwisata seperti
retribusi izin usaha sarana pariwisata, retribusi izin usaha obyek wisata dan
retribusi izin jasa usaha wisata termasuk dalam kelompok retribusi perizinan
tertentu. Ketiga retribusi tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun
2007 tentang Pengelolaan Usaha Pariwisata. Selain pajak dan retribusi yang
berkaitan dengan pariwisata terdapat pajak dan retribusi lainnya seperti PBB,
IMB dan sebagainya. Peningkatan penerimaan pajak dan retribusi dilaksanakan
melalui prioritas kegiatan:
264
1) Pendataan objek pajak dan retribusi kepada seluruh wajib pajak dan retribusi
di Kawasan Puncak;
2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas pemungut pajak dan retribusi
pada lokasi-lokasi pemungutan pajak dan retribusi;
3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana berupa komputer,
sarana mobilitas dsb. untuk pemungutan pajak dan retribusi;
4) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap para wajib pajak dan
retribusi;
5) Meningkatkan pembinaan dan penyuluhan kepada para wajib pajak dan
retribusi agar sadar dan tepat waktu dalam pembayaran pajak dan retribusi;
6) Meningkatkan biaya pajak dan retribusi
9.7.3 Kebijakan Pengendalian Bangunan tidak Berizin
Bangunan tidak berizin terdiri atas beberapa katagori yaitu:(1) Bangunan
yang didirikan pada lahan yang tidak bermasalah dan sesuai dengan pengaturan
ruang tetapi belum mengurus perizinan; (2) Bangunan didirikan di atas lahan
yang bermasalah dan tidak sesuai dengan pengaturan ruang sehingga tidak
dapat mengurus perizinan; (3) Bangunan yang sudah berizin namun melakukan
perluasan bangunan yang tidak diurus izinnya; 4) Bangunan tidak permanen
PKL (pedagang kaki lima).
Jumlah bangunan tidak berizin terus bertambah tidak sebanding dengan
ketersediaan aparatur yang bertugas mengawasi dan menertibkan bangunan
tidak berizin. Selama pelaksanaan penertiban, ditemukan berbagai kendala
sebagai berikut: (1) Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) baik secara
kualitas maupun kuantitas apabila dibandingkan dengan cakupan wilayah
Kabupaten Bogor. Ditinjau dari luas wilayah dan banyaknya penduduk maka
jumlah anggota Polisi Pamong Praja yang ideal berjumlah 500 orang dengan
perbandingan 1 orang personil berbanding 8.000 penduduk; (2) Masih
kurangnya sarana dan prasarana yang memadai apabila dibandingkan dengan
banyaknya kegiatan serta luasnya Kabupaten Bogor; (3) Besarnya biaya untuk
melaksanakan penertiban; (4) Masih lemahnya koordinasi antar intansi terkait
serta (5) perlawanan yang sangat kuat dari pihak masyarakat luar. Masyarakat
luar ini umumnya mantan pejabat tinggi, pengusaha menengah-besar atau mitra
/ kolega pejabat pemerintah lokal. Dalam pelaksanaan kegiatan Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Bogor melakukan koordinasi lintas sektoral dengan
265
aparat keamanan yang terdiri dari Polres Bogor, Kodim 0621, Polisi Militer,
Koramil dan Polsek setempat. Dengan melakukan koordinasi lintas sektoral
dengan beberapa instansi tersebut maka diharapkan dapat membantu dan
mempermudah pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjaga
ketentraman dan ketertiban umum di wilayah Kabupaten Bogor.
Program yang perlu dilakukan adalah optimalisasi operasi wibawa praja melalui
kegiatan:
1. Penyuluhan/ sosialisasi kepada masyarakat;
2. Meningkatkan sarana, prasarana dan jumlah personil yang menangani
penertiban;
3. Melaksanakan aktivitas pengawasan dan penertiban secara intensif, konsisten
dan persisten;
4. Melaksanaan pendataan dan menyusun database bangunan tidak berizin;
5. Memberikan efek jera melalui penayangan pemilik bangunan tidak berizin di
media massa sebagai sangsi sosial;
6. Bekerjasama dengan instansi lain untuk membatasi ketersediaan infrastruktur
seperti akses jalan, listrik dan telekomunikasi bagi bangunan yang tidak
berizin.
9.7.4 Kebijakan Pembatasan Jumlah Kendaraan
Sebagai salah satu lintasan Bogor-Cianjur–Bandung, jalur jalan raya
Puncak memiliki beban yang cukup berat terutama karena lintasannya
dimanfaatkan juga sebagai jalur wisata menuju beberapa obyek wisata di
Kabupaten Bogor maupun di Kabupaten Cianjur. Kondisi tersebut
mengakibatkan volume kendaraan di jalur jalan raya Puncak sangat padat
dengan LHR (laju harian rata-rata) saat ini rata-rata 10.000 SMP/hari (SMP =
satuan mobil penumpang) serta V/C (Volume/Capacity) >1,0, maka dapat
dikategorikan sebagai jalur yang perlu diberikan alternatif penurunan volume lalu
lintas (Disbudpar, 2003).
266
3
Gambar 62. Titik Rawan Macet di Wilayah Puncak
Sumber : Kasat Lantas Polres Bogor
Kemacetan lalu lintas diakibatkan sebagian besar wisatawan bertujuan
untuk mengunjungi daya tarik wisata Taman safari Indonesia, Taman wisata
matahari, wana wisata Curug Cilember, dan lainnya yang semua akses jalurnya
melewati jalan raya puncak. Hal ini mengakibatkan intensitas kendaraan yang
melewati jalan raya Puncak semakin padat dan akhirnya mengakibatkan
kemacetan. Selain itu diperparah juga dengan terdapatnya pasar di sisi jalan
raya Puncak, Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, dimana badan jalan dipakai
untuk parkir kendaraan dan angkutan umum serta bahu jalan di pakai pedagang
kaki lima untuk tempat berdagang. Titik pusat kemacetan di jalan raya Puncak,
Kabupaten Bogor berada pada Gadog, Pasar Cisarua, dan pertigaan tugu
Taman Safari Indonesia. Solusi saat ini yang dilakukan pemerintah Kabupaten
Bogor dalam mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya Puncak adalah dengan
menerapkan sistem buka tutup. Sistem buka tutup biasanya dilakukan pada
akhir pekan dan hari libur dimana pada jam-jam tertentu dilakukan jalan satu
arah (one way) secara bergantian dari arah lampu merah keluar pintu tol Ciawi
sampai pertigaan tugu Taman Safari Indonesia dan berganti dari arah
sebaliknya.
Jumlah kendaraan eksisting yang melintas di Kawasan Puncak pada
tahun 2009 terdapat sebanyak 6.144.000 setahun. Apabila tidak dilakukan
pembatasan jumlah kendaraan, maka diperkirakan pada tahun 2029 jumlah
kendaraan menuju Kawasan Puncak akan mencapai 12.860.098 kendaraan per
267
tahun. Kapasitas jalan yang ada saat ini sangat tidak memadai untuk
menampung jumlah kendaraan sebanyak itu, sehingga diperlukan penambahan
panjang jalan sekitar 55,2 km. Melalui program pembatasan kendaraan menuju
Kawasan Puncak dianggap lebih efektif dipandang dari segi keamanan,
kenyamanan dan konservasi lingkungan.
Pembatasan kendaraan dapat dilakukan melalui penggantian moda
angkutan dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan masal. Berdasarkan hasil
diskusi melalui focus group discussion dan pendapat pakar baik eksekutif
maupun legislatif (anggota DPRD), penanganan transportasi di Kawasan Puncak
melalui pembatasan kendaraan dengan penggantian moda di masa yang akan
datang, dapat dilakukan dengan menyediakan kendaraan bis wisata atau
kendaraan monorail/sky train. Simulasi sketsa konsep pengaturan jalur wisata
dapat dilihat pada gambar 63 berikut.
Gambar 63. Sketsa konsep pengaturan jalur angkutan wisata.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa penggantian moda
(stop over) diusulkan untuk ditempatkan di sekitar wilayah Kecamatan Ciawi
tidak jauh dari mulut pintu tol jagorawi. Jalur wisata dibagi menjadi tiga buah
stasiun yaitu stasiun Taman Wisata Matahari, stasiun Taman Safari Indonesia
serta Stasiun Gunung Mas. Pengunjung atau wisatawan dapat memilih
268
perjalanan wisatanya menuju stasiun yang diinginkan. Pada setiap
pemberhentian stasiun dapat disiapkan sebuah rest area dilengkapi dengan
penjualan cinderamata dan kendaraan-kendaraan wisata yang dapat digunakan
wisatawan menuju destinasi obyek wisata lainnya. Kendaraan yang melintasi
jalur Puncak dapat dibagi dalam tiga ketegori yaitu 1) kendaraan bertujuan ke
destinasi Cianjur dan Bandung, 2) kendaraan yang commuter atau kendaraan
penduduk Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung dan 3) kendaraan yang
mengangkut wisatawan (temporer). Perlakuan terhadap ketiga kategori
kendaraan tersebut dapat diatur dengan cara 1) kendaraan menuju Cianjur dan
Bandung dapat diarahkan menuju jalur jalan Poros Tengah-Timur yang sedang
disiapkan Pemerintah Kabupaten Bogor berawal dari sentul dan berakhir di
Cipanas Kabupaten Cianjur, 2) kendaraan pribadi maupun umum yang
mengangkut penduduk setempat dapat langsung menuju kawasan puncak dan
3) kendaraan wisata diberikan stiker khusus dengan membayar atau dapat parkir
di stop over (terminal) untuk berganti moda menggunakan kendaraan wisata
yang disediakan.
Pendapat atau wacana dari para pakar dalam bentuk sketsa konsep jalur
wisata ini perlu ditindaklanjuti secara mendalam dan komprehensif dari berbagai
aspek yaitu aspek fisik wilayah, teknis, pembiayaan dan sebagainya. Hal-hal
lainnya yang perlu dipersiapkan/dilakukan adalah :
1) Menyusun studi kelayakan meliputi studi penggantian moda angkutan, jumlah
kendaraan yang dibatasi, kapasitas kendaraan pengganti, kelayakan
pembiayaan, kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya;
2) Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat;
3) Pengembangan rest area atau tempat parkir (stop over) wisatawan maupun
non wisatawan;
4) Penyediaan terminal/sub terminal untuk melayani kegiatan wisata dan
transportasi perkotaan;
5) Penerapan tarif parkir yang tinggi atau larangan parkir di kawasan yang akan
dibatasi lalu lintasnya, dan pengalihan moda dari kendaraan pribadi menjadi
angkutan massal pada lokasi-lokasi tertentu;
6) Menyusun peraturan/kebijakan terkait pengaturan/manajemen lalu lintas;
7) Melakukan kerjasama pembiayaan infrastruktur dengan pihak pemerintah
pusat, provinsi dan swasta.
269
9.7.5 Pembiayaan Lingkungan Kawasan Puncak
Pengelolaan lingkungan di Kawasan Puncak akan lebih optimal jika
dilakukan bersama-sama dengan stakeholder lainnya baik dari kalangan
pemerintah, masyarakat maupun swasta. Bentuk partisipasi dalam bentuk
kerjasama pembiayaan dapat dilakukan melalui kegiatan:
1) Bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah lainnya di sekitar Jabodetabek untuk membiayai
pengelolaan Kawasan Puncak;
2) Melibatkan peran serta swasta melalui dana CSR yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan;
3) Meminimalisasi kerusakan lingkungan dengan meningkatkan peran serta
swasta dalam pembuatan sumur resapan, penghijauan, penataan drainase
serta pengolahan sampah dan limbah;
4) Internalisasi biaya lingkungan dalam pajak dan retribusi yang dipungut dari
wajib pajak dan retribusi serta merumuskan skema pembiayaan
pembangunan melalui dana jaminan lingkungan.
9.8. Simulasi Peningkatan Nilai Keberlanjutan Multi Dimensi
Pariwisata Kawasan Puncak
Pada bab VI telah diuraikan bahwa analisis multi dimensi terhadap status
keberlanjutan Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata menunjukkan
nilai indeks keberlanjutan sebesar 34,74 yang berarti status Kawasan Puncak
untuk pengembangan pariwisata adalah tidak berkelanjutan. Pada bahasan ini
akan dilakukan simulasi untuk mengetahui status keberlanjutan setelah
diterapkannya kebijakan berdasarkan skenario alternatif.
Berdasarkan simulasi MDS tersebut diperoleh hasil bahwa nilai
keberlanjutan Kawasan Puncak sebesar 59,52, dimana dimensi hukum
kelembagaan sebesar 64,54, dimensi ekologi sebesar 52,97, dimensi sosial
budaya sebesar 51,47 dan dimensi sarana prasarana sebesar 58,64 sehingga
semua dimensi sudah berkelanjutan, termasuk dimensi ekonomi yang sejak awal
sudah berkelanjutan karena nilainya 67,87. Perubahan nilai keberlanjutan
berdasarkan dimensi, atribut dan kebijakan dapat dilihat pada tabel 90 berikut.
270
Tabel 90 Perubahan Nilai Dimensi setelah Penerapan Kebijakan Skenario Alternatif.
NO DIMENSI KEBIJAKAN
(SKENARIO ALTERNATIF)
NILAI
AWAL
NILAI
AKHIR
NAIK
1 DIMENSI HUKUM DAN KELEMBAGAAN
Kebijakan dimensi hukum dan kelembagaan dilaksanakan melalui penyusunan RDTR kawasan puncak, membentuk lembaga/forum wisata yang terintegrasi, pengendalian perizinan, peningkatan penertiban bangunan tidak berizin, meningkatkan koordinasi antar lembaga serta penerapan upaya insentif dan desinsentif.
31,86 64,54 32,68
2 DIMENSI EKOLOGI
Kebijakan dimensi ekologi dilaksanakan melalui pengendalian jumlah penduduk, pengaturan zonasi, pembatasan pemukiman, pembatasan jumlah kendaraan, penerapan upaya desinsentif melalui peningkatan pajak dan retribusi serta pengembangan kawasan destinasi alternatif.
31,38 52,97 21,59
3 DIMENSI EKONOMI Kebijakan dimensi ekonomi dilaksanakan melalui peningkatan kemitraan antara pelaku usaha wisata dengan masyarakat, mengembangkan UKM serta peningkatan penerimaan daerah dari pariwisata.
67,87 67,87 TETAP
4 DIMENSI SOSIAL BUDAYA
Kebijakan dimensi sosial budaya dilaksanakan melalui, peningkatan kualitas SDM pekerja melalui kegiatan pendidikan dan magang,peningkatan atraksi budaya, pengendalian jumlah penduduk..
32,43 51,47 19,04
5 DIMENSI SARANA DAN PRASARANA
Kebijakan dimensi sarana dan prasarana dilaksanakan melalui upaya penyediaan sarana pendidikan sekolah pariwisata, penyediaan air bersih, penanganan persampahan dan pemeliharaan sarpras di setiap OTW.
27,73 58,64 30,91
Berikut ini adalah hasil simulasi berbagai dimensi sebagaimana
ditunjukkan pada gambar ini.
271
Gambar 64. Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil Simulasi
Pada dimensi hukum dan kelembagaan, atribut yang perlu mendapatkan
perhatian untuk ditangani dengan baik adalah: 1). Ketersediaan lembaga yang
menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi, 2). ketersediaan
pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak, 3).
jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak, 4). Frekuensi
koordinasi antara berbagai instansi/stake holder dalam pengelolaan pariwisata di
Kawasan Puncak. Elemen yang berfungsi penting dalam sebuah sistem
kepariwisataan diantaranya adalah pengelolaan pelaku pariwisata, pelayanan
pariwisata, pengendali dan daya tarik pariwisata. Pelaku pariwisata dapat
berupa subyek maupun obyek yang perlu diperhatikan dari segi kualitas,
kuantitas dan mobilitas. Berkenaan dengan hal tersebut maka harus dilakukan
penelaahan dengan cermat untuk mengetahui perilaku wisatawan baik asal
tempat wisatawan. maupun wisatawan di destinasi wisata, preferensi wisatawan,
kualitas wisatawan, pencaran pasar wisatawan, sarana dan prasarana,
perangkutan dan sebagainya.
Jumlah lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan
Puncak sedikitnya terdapat 20 lembaga dengan tugas pokok, fungsi dan
kewenangan yang berbeda-beda, tetapi kadangkala terjadi tumpang tindih
kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Lemahnya
koordinasi, pembagian tugas yang jelas serta tidak adanya komando yang
menyinergikan antara berbagai lembaga merupakan faktor utama yang menjadi
272
kendala dalam pengelolaan pariwisata. Berdasarkan analisis ISM, para pakar
mengharapkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tampil sebagai leader yang
mengkoordinasikan pengelolaan pariwisata khususnya di Kawasan Puncak,
namun karena keterbatasan internal institusi seperti SDM, sarana prasarana,
pendanaan dan pedoman kerja (SOP) menjadi kendala besar bagi aktivitas
Disbudpar dalam meningkatkan kinerja pariwisata di Kabupaten Bogor pada
umumnya dan Kawasan Puncak pada khususnya. Agar pengelolaan Kawasan
Puncak lebih baik di masa depan para pakar mengharapkan adanya suatu
lembaga yang menangani secara khusus pengelolaan pariwisata di Kawasan
Puncak. Hasil wawancara dan diskusi dengan pimpinan daerah dan beberapa
dinas/instansi menyampaikan wacana dibentuknya semacam BUMD wisata yang
bertugas mengelola kawasan-kawasan wisata termasuk didalamnya Kawasan
Puncak. BUMD ditangani oleh seorang profesional yang direkrut secara khusus
melalui seleksi sedangkan badan pengawas BUMD dapat berasal dari unsur
pemerintah dalam hal ini Disbudpar, swasta/asosiasi, masyarakat/LSM, dan
perguruan tinggi.
Gambar 65. Analisis Monte Carlo Dimensi Hukum Kelembagaan Hasil Simulasi
Berdasarkan kondisi, permasalahan dan ketentuan yang mengatur
Kawasan Puncak, maka implementasi peraturan, hukum dan kelembagaan
273
tentang pembatasan kawasan pemukiman terbangun dapat dilaksanakan
melalui:
1) Pengenaan pajak bumi dan bangunan yang tinggi secara selektif terutama
terhadap bangunan-bangunan baru;
2) Pembatasan penyediaan infrastruktur dan utilitas lain terutama terhadap
daerah-daerah dengan peruntukan non pemukiman;
3) Pengenaan retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang tinggi untuk setiap
bangunan di Kawasan Puncak, sebagai upaya menurunkan animo
masyarakat mendirikan bangunan di Kawasan Puncak;
4) Perambahan kawasan hutan maupun lahan HGU perkebunan agar
ditertibkan agar tidak berubah menjadi permukiman semi-permanen maupun
permanen;
5) Pengendalian yang ketat terhadap pemberian izin (IPPT/ILOK/IMB);
6) Distribusi penduduk di dalam kawasan dan distribusi wisatawan didalam
kawasan maupun keluar kawasan melalui pengembangan destinasi wisata
alternatif selain Kawasan Puncak.
Gambar 66. Dimensi Ekologi Hasil Simulasi
Daya tarik wisata adalah elemen yang dapat menjadi magnet suatu
daerah, tanpa adanya daya tarik wisata maka tidak akan terjadi aktivitas
pariwisata, karenanya untuk memelihara dan mengoptimalkan daya tarik wisata
yang sebagian besar memperlihatkan keindahan alam, maka mutlak harus
menjaga, memelihara dan menjamin kelestarian lingkungan.
274
Pada dimensi ekologi atribut yang diubah nilai keberlanjutannya adalah
(1) kepadatan penduduk, dan (2) luas tutupan lahan. Hal ini antara lain
dilakukan dengan menggalakkan dan meneguhkan kembali Program operasi
yustisi dan Keluarga Berencana Nasional di semua tingkatan. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud Keluarga Berencana adalah upaya
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan,
melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Kegiatan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Bogor, diarahkan
pada 5 (lima) kegiatan strategis yaitu: (1) program Pemberdayaan Keluarga
(PK); (2) Program KB dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR); (3) Program
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan PUP (Pendewasaan Usia
Perkawinan); (4) Program Penguatan kelembagaan keluarga kecil berkualitas;
dan (5) Program pengembangan sistem informasi data mikro keluarga.
Gambar 67. Analisis Monte Carlo Dimensi Ekologi Hasil Simulasi
Pengendalian luas tutupan lahan dilakukan dengan berbagai upaya
seperti pengaturan ruang, dengan membuat rencana zonasi yang membagi
penduduk atas aktivitas ruang. Pengaturan penduduk pada masing-masing
Zona ditujukan agar dapat dicapai keseimbangan pemanfaatan ruang pada suatu
275
kawasan, Zona wisata di Kawasan Puncak terbagi atas zona A, B, C, dan D
dengan masing-masing fungsi, arahan pengembangan wisata yang
diperbolehkan dan komponen penataannya. Distribusi wisatawan didalam
kawasan dapat dilakukan melalui pengaturan zonasi wisata dan manajemen
wisata kawasan berdasarkan kemampuan daya dukung masing-masing Obyek
Tujuan Wisata (OTW). Selain itu aktivitas yang dilakukan untuk mengurangi
tutupan lahan oleh bangunan adalah dengan cara penertiban bangunan tidak
berizin, memperketat perizinan, dan pengawasan terhadap penambahan
bangunan.
Gambar 68. Dimensi Sarana Prasarana Hasil Simulasi
Pada dimensi sarana dan prasarana, setelah dilakukan intervensi program maka
diperkirakan atribut yang naik adalah: 1) Ketersediaan fasilitas penanganan
persampahan , 2) Jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM, dan
3). Ketersediaan angkutan umum.
276
Gambar 69. Analisis Monte Carlo Dimensi Sarana Prasarana Hasil Simulasi
Sarana dan prasarana adalah prasyarat bagi keberlangsungan proses
pariwisata. Sarana pariwisata adalah segala sesuatu yang melengkapi dan atau
memudahkan proses kegiatan pariwisata seperti; penginapan, rumah makan,
perbelanjaan, biro perjalanan, lembaga keuangan dan lain-lain. Wisatawan pada
saat mencapai destinasi maka hal yang akan dicari adalah 1) obyek yang
menjadi daya tarik, 2) cinderamata apa yang akan diperoleh, 3) dengan apa
menuju OTW, 4). dimana menginap, 5) fasilitas apa yang tersedia, 6) dimana
informasi dapat diperoleh dengan mudan dan jelas. Pembangunan dan
pengelolaan sarana dan prasarana terutama bila berkaitan dengan alam, harus
mempertimbangkan aspek lingkungan serta ekosistemnya agar pemanfaatan
obyek wisata dapat berkelanjutan.
Salah satu prasarana/utilitas yang dibutuhkan adalah jaringan
perangkutan. Keandalan sistem perangkutan secara langsung akan
berpengaruh terhadap pola distribusi arus wisatawan menuju destinasi wisata
dan selanjutnya menuju obyek wisata. Tanpa pelayanan jasa perangkutan maka
kepariwisataan akan lumpuh (Warpani dan Warpani 2007). Keandalan layanan
sistem perangkutan termasuk pengaturan moda angkutan menjadi hal yang vital
bagi berlangsungnya aktivitas wisata, bukan saja penting bagi wisatawan untuk
melakukan perjalanan tetapi juga bagi arus pasokan pangan, dan kelengkapan
wisata lainnya seperti kebutuhan akan produk cinderamata, atraksi kesenian,
277
jasa boga dan sebagainya. Akomodasi dan daya tarik wisata di Kawasan
Puncak sebaik dan semenarik apapun tidak akan banyak maknanya tanpa
dukungan sistem perangkutan yang handal dari segi ketersediaan dan pelayanan
angkutan.
Saat ini angkutan umum yang dapat digunakan oleh masyarakat
setempat maupun wisatawan di Kawasan Puncak adalah kendaraan bis,
kendaraan pribadi, motor dan angkutan perkotaan sebanyak empat trayek
dengan kode trayek nomor 20, 02 A, T 02 A dan T 02. Berdasarkan hasil survey
lalu lintas tahun 2001, jenis kendaraan yang paling banyak melintas di Kawasan
Puncak adalah kendaraan ringan (kendaraan penumpang pribadi dan angkutan
kota) rata-rata setiap harinya adalah 21.531 kendaraaan per hari atau 897
kendaraan per jam, sedangkan bus atau truk besar jumlahnya tidak terlalu besar
atau relatif kecil yaitu 2.094 kendaraan per hari atau sekitar 87 kendaraan per
jam. Berdasarkan data tersebut maka perbandingan antara kendaraan pribadi
dengan angkutan masal adalah 10 : 1 atau jumlah kendaraan pribadi dan
angkutan kota jumlahnya sepuluh kali dari kendaraan bis/truk. Alternatif
kebijakan transportasi atau perangkutan di masa yang akan datang adalah
dengan melakukan pembatasan kendaraan khususnya kendaraan pribadi yang
digantikan dengan angkutan wisata bagi masyarakat yang datang ke Kawasan
Puncak untuk tujuan berwisata.
Selain perangkutan, aksesibilitas juga berperan penting dalam
meningkatkan kinerja pariwisata di suatu destinasi. Aksesibilitas adalah daya
hubung antarzone yakni jaringan jalan, ketersediaan dan kapasitas terminal,
serta ketersediaan moda angkutan. Saat ini di Kawasan Puncak belum memiliki
terminal, sehingga penggantian moda angkutan dilaksanakan dengan
menggunakan badan jalan yang ada. Dimasa yang akan datang perlu dibangun
sebuah terminal. Terminal menyandang fungsi pokok yakni, menyediakan 1)
akses ke kendaraan yang bergerak pada jalur khusus, 2) tempat dan kemudahan
perpidahan/pergantian moda angkutan dari kendaraan yang bergerak pada jalur
khusus ke kendaraan lain, 3) sarana simpul lalu lintas, tempat konsolidasi lalu
lintas, 4). Tempat untuk menyimpan kendaraan, 5) memiliki fungsi penunjang
sebaga tempat perbelanjaan.
278
Gambar 70. Dimensi Sosial Budaya Hasil Simulasi
Pada dimensi sosial dan budaya, atribut yang diperbaiki karena pendekatan
program adalah : 1) Jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata, 2) Laju
pertumbuhan penduduk dan 3) Lama masa tinggal wisatawan. Kualitas
sumberdaya manusia di suatu destinasi wisata sangat penting untuk menunjang
pertumbuhan kegiatan pariwisata. Berbagai ragam kegiatan kepariwisataan
mengandung makna terbukanya kesempatan kerja di berbagai bidang yang perlu
diisi oleh tenaga kerja yang terampil. Dampak positif pengembangan pariwisata
dapat dirasakan jika tenaga kerja setempat yang tersedia sesuai dengan
kesempatan kerja, namun sebaliknya jika bila tenaga kerja yang ada tidak
terampil dan terdidik maka kesempatan kerja yang ada akan diisi oleh tenaga
kerja pendatang. Pengangguran yang tinggi di suatu wilayah memiliki
kecenderungan tingginya kejadian gangguan keamanan dan ketertiban sehingga
pada akhirnya akan menurunkan kenyamanan berwisata di suatu destinasi.
Kualitas SDM perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan formal maupun
informal, kegiatan magang dan sebagainya.
Lama tinggal wisatawan di suatu obyek wisata memilik makna ganda, yaitu
sebagai tolok ukur pesona daya tarik wisata daerah yang bersangkutan juga
sebagai indikator adanya kesan yang mendalam bagi wisatawan sehingga ingin
tinggal lebih lama lagi. Tolok ukur lain keberhasilan pembangunan
279
kepariwisataan adalah besarnya uang yang dibelanjakan oleh wisatawan
(peneluaran). Besarnya belanja berbanding lurus dengan lama tinggal di suatu
obyek tempat wisata (Warpani dan Warpani 2007). Berkenaan dengan hal
tersebut pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak harus mampu
meningkatkan rata-rata lama tinggal dua hari menjadi tiga hari atau lebih. Hal
yang harus dilakukan adalah dengan 1) menciptakan sistem layanan yang prima
untuk memberikan kesan mendalam bagi wisatawan, 2) menawarkan aneka
ragam daya tarik dan atraksi wisata, 3) menyediakan outlet-outlet produk
kerajinan/kriya, 4) meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban, 5)
menyediakan sarana dan prasarana pariwisata yang optimal, 6) menciptakan
kondisi lingkungan yang asri, aman dan nyaman.
Gambar 71. Analisis Monte Carlo Dimensi Sosial Budaya Hasil Simulasi
280
Tabel 91 Diagram layang-layang hasil simulasi kawasan pariwisata puncak
No DIMENSI NILAI
INDIKATOR INDEKS
1 HUKUM DAN KELEMBAGAAN 64.54 BERKELANJUTAN
2 EKOLOGI 52.97 BERKELANJUTAN
3 EKONOMI 67.87 BERKELANJUTAN
4 SOSIAL BUDAYA 51.47 BERKELANJUTAN
6 SARANA PRASARANA 58.64 BERKELANJUTAN
Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks
keberlanjutan kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor pada taraf
kepercayaan 95%, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami
perbedaan dengan hasil analisis rap-tourism (multy dimensional scaling =
MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil
baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian scoring
karena perbedaan opini relatif kecil (dibawah 2,5 poin) dan proses
analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil serta kesalahan
dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai
indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada tabel
92.
Tabel 92. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Tourism Kawasan Puncak
Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%)
Perbedaan MDS Monte Carlo
HUKUM DAN KELEMBAGAAN 64,54 62,94 1,60
EKOLOGI 52,97 52,31 0,66
EKONOMI 67,87 65,90 1,93
SOSIAL BUDAYA 51,47 51,47 0
SARANA PRASARANA 58,64 57,73 0,91
Adapun gambar diagram layang-layang hasil analisis keberlanjutan
setelah dilakukan perbaikan pada beberapa atribut adalah seperti pada
gambar 71.
top related