islam substantif vs islam simbolik

Post on 10-Jul-2015

356 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

ISLAM SUBSTANTIF VS ISLAM SIMBOLIKIlham Maulana* Kata dien berasal dari kata dana-yadinu yang secara bahasa digunakan dalam berbagai konteks atau uslub dengan banyak makna, seperti ketundukan, ketaatan, kehinaan, menguasai, balasan, agama dan jalan hidup. Secara semantic kata dien mempunyai hubungan korelatif antara dua pihak, jika salah satunya menyerahkan ketundukan dan ketaatan, maka pihak lainnya adalah pemegang otoritas dan kekuasaan. Hubungan yang terjadi antara dua pihak ini diatur dalam prinsipprinsip berbentuk sekumpulan tataaturan atau system yang mengikat. Dari beberapa literature juga keterangan sebagian besar mufassir, makna dien ini jika dihubungkan dengan berbagai konteks penggunaannya dalam Al-quran maka memiliki dua makna pokok yaitu syariat (syariah) dan ketaatan (thoah). Syariat berhubungan dengan makna dien sebagai agama yang berisi aturan-aturan tuhan, sedangkan ketaatan berarti ketundukan personal seorang manusia kepada Tuhannya. Allah SWT menjelaskan dalam ayat berikut ;

Sesungguhnya dien (yang diterima) disisi Allah adalah Al-Islam (Q.S. Ali Imran [3] : 19) Imam Qatadah dalam tafsirnya ia berkomentar , Islam adalah kesaksian tentang keesaan Allah sambil berikrar akan kebenaran apa yang dibawa Muhammad SAW dari Allah Ia juga menyebut makna dien dalam ayat ini adalah Syariat Allah yang menjadi misi para Rasul, sedangkan syariat itu sendiri adalah apa yang dibawa Nabi Muhammad SAW dari Allah. Sementara itu Ibnu Katsir menerangkan ayat diatas, (Ini adalah) berita dari Allah Taala bahwa tiada dien yang diterima selain Islam. Sedang Islam adalah ittiba pada utusan Allah disetiap masa hingga ditutup oleh Nabi Muhammad SAW. Syariat berasal dari kata Syaraah, artinya jalan, peraturan atau undang-undang. Kemudian kata ini menjadi istilah baku untuk hukum Islam (Seperangkat sistem peraturan yang ditetapkan Allah sebagai pegangan bagi manusia) yang terbagi menjadi 2 kategori yaitu a. Peraturan yang berhubungan langsung dengan Tuhan, (qaidah ubudiyyah). Peraturan ini berisi bentuk materi hukum yang sudah baku untuk dilaksanakan. Ayat-ayat Al-quran dan Hadist Nabi menjadi rujukan untuk kategori ini, untuk memberikan keterangan yang terperinci dan berkekuatan tetap. Artinya, peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang menyangkut tatacara ibadah ini tidak dapat diubah atau tidak dapat diganggu-gugat lagi, melainkan harus dilaksanakan tepat sebagaimana cara yang telah diperintahkannya. b. Peraturan yang berhubungan dengan kehidupan sesama manusia (Qaidah Muamalah), yang berisi bentuk materi hukum yang bersifat umum dan fleksibel, yakni yang berupa norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan yang berhubungan dengan kehidupan social manusia. Sementara itu Makna kedua dari dien adalah ketaatan personal seperti dalam Q.S Al-Araaf ayat 29. Allah berfirman : Katakanlah, Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil dan (mengatakan) hadapkanlah wajahmu dengan lurus di tiap masjid dan berdoalah dengan mengikhlaskan dien bagi-Nya. Imam Ath-Thabari, menjelaskan Beribadahlah untuk Tuhanmu dengan mengikhlaskan dien dan ketaatan serta jangan mencampurinya dengan syirik. Sedangkan Al-Baghawi menyatakan makna dien di ayat ini sebagai ketaatan dan ibadah. Dari berbagai penjelasan mengenai klasifikasi makna dien sangat berguna untuk menganalisa hubungan antara agama dan perilaku penganutnya terhadap keyakinannya dan keberagamaannya. Berhubungan dengan Q.S Ali Imran ayat 19 diatas, dimana Allah menjelaskan bahwa Tidak ada agama yang diridhai (diterima) disisi Allah kecuali agama Islam. Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islam, artinya menyelamatkan, masuk dalam keselamatan, menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Adapun menurut istilah, Islam adalah agama yang diwahyukan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar menjadi pedoman hidup bagi manusia, yang akan mendatangkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kemudian ketika berbicara dien sebagai syariat dan ketaatan, maka Islam lah jawabannya. Dimana Islam telah mengatur dengan sangat sempurna seluruh hal dan perkara yang berhubungan dengan aspek kehidupan manusia, mulai dari kita bangun tidur sampai tidur kembali, Islam telah mengatur semuanya. Sehingga Allah SWT memerintahkan manusia untuk masuk kedalam agama Islam secara kaffah ;

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S Al-Baqarah [2] : 208) Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia harus masuk kedalam agama Islam secara keseluruhan dalam arti melaksanakan seluruh peraturan, undang-undang atau syariat yang ada dalam agama Islam dengan penuh ketaatan tidak menambah dan mengurangi syariat yang telah sempurna, bukan dengan memilah dan memilih salah satu syariat yang menguntungkan saja atau sesuai dengan hawa nafsunya dengan meninggalkan syariat yang kelihatannya tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Padahal Allah SWT tidak menurunkan syariat kecuali di dalam syariat itu terkandung kebaikan untuk seluruh umat manusia. Namun semua itu tidak terlepas dari sikap, perilaku dan ketaatan seseorang terhadap ajaran agamanya. Sikap dan perilaku manusia terhadap ajaran agamanya berbeda-beda. Banyak orang yang meninggalkan syariat islam yang sesungguhnya dengan melaksanakan segala bentuk peribadatan yang tidak disyariatkan. Sehingga kualitas keislaman mereka hanya sebatas dalam bentuk pengakuan saja (identits diri), saya ingin diakui sebagai seorang muslim, seorang haji, seorang yang taat beragama padahal aspek pelaksanaan syariat yang sebenarnya sering ditinggalkan tidak ada ketaatan (thoah), Mereka menggunakan berbagai macam simbol-simbol keislaman hanya untuk pengakuan diri saja. Bulan Ramadhan dapat menjadi salah satu gambaran bagaimana simbol-simbol keislaman itu hanya dijadikan sarana untuk pengakuan diri seorang muslim. Banyak orang yang melaksanakan shaum hanya didasarkan kepada musiman atau karena sudah kebiasaan masyarakat melaksanakan shaum, masjid-masjid penuh dengan kegiatan keagamaan, thalabul ilmi ditingkatkan, tadarus Alquran dihatamkan bahkan sampai beberapa kali khatam, infaq dan shadaqah digiatkan, bahkan para artis yang kebiasaan sehari-harinya membuka aurat khusus pada bulan ramadhan kebiasaan itu sedikit dikurangi. Sehingga seolah-olah syariat dan ketaatan itu sifatnya musiman atau hanya sebatas tradisi saja. Namun ketika bulan Ramadhan berakhir, berakhir juga semua aktivitas itu tanpa ada follow up, ruh, jiwa atau atsar dari apa yang telah dilakukan selama satu bulan penuh tersebut, oleh karena itu walaupun ramadhan dari tahun ke tahun telah kita melewati, tetapi tidak ada peningkatan sedikitpun dalam kualitas kehidupan keberagamaan kita. Begitu juga ketika menyambut datanganya hari raya iedul fitri, semua umat islam bergembira, bersuka cita menyambut kedatangan hari yang katanya disebut dengan hari kemenangan. Berbagai upaya dilakukan mulai dari membeli pakaian baru, sampai menyiapkan berbagai macam hidangan hari raya dan berbagai tradisi serta kebiasaan masyarakat lainnya hanya untuk menyambut hari kemenangan tersebut, dengan melupakan substansi dari pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadhan yaitu terbentuknya manusia yang bertaqwa. Pertanyaannya merayakan kemenangan dari apa? Jangan-jangan kita bergembira dan besukacita karena kemenangan dari lepasnya atau bebasnya kita dari berbagai kewajiban yang mengikat selama bulan ramadhan. Atau jangan-jangan kita merayakan kemenangan dari berakhirnya bulan yang penuh dengan rahmat, dan maghfirah Allah SWT. Inilah yang disebut dengan Islam simbolik yaitu yang hanya menggunakan simbol-simbol keislaman untuk pengakuan diri sebagai seorang muslim dengan mengabaikan aturan dan undang-undang agama yang sesuai dengan syariat, kenapa hal ini dapat terjadi? karena lemahnya kekuatan akidah dan tauhid umat sehingga Islam hanya dipandang sebagai hal yang biasa tanpa ada substansi yang jelas didalamnya, Islam hanya dipandang sebagai tradisi, Semua pelaksanaan ibadah hanya dipandang sebagai ritual keagamaan saja tanpa menyadari bahwa di dalam setiap pelaksanaan ibadah ada ruh, jiwa atau atsar yang merupakan bagian terpokok dari terlaksananya ibadah seorang muslim. Hal yang mesti dilakukan oleh seluruh umat Islam adalah memperdalam pemahamannya terhadap ilmu-ilmu agama Islam yang sesuai dengan syariat. Disamping itu umat Islam harus memperteguh keyakinan akidah dan memperkuat tauhid serta memperbaiki ibadahnya. Jika akidah, tauhid dan ibadah kuat, niscaya akhlak pun akan baik dan benar. Dakwah yang dilakukan tidak hanya menyentuh masalah moral dan akhlak saja tetapi juga harus memperhatikan aspek yang menjadi dasar dari ajaran Islam yaitu memperkuat akidah dan tauhid. Karena dakwah tanpa memperkuat akidah dan tauhid ibarat upaya menyuburkan daun dan ranting sebuah pohon tanpa mempedulikan kondisi akarnya. Hanya pohon yang memiliki akar kuat akan memiliki batang, ranting, dan dedaunan yang kokoh. Jika hal ini dilakukan, maka yang akan muncul adalah bukan Islam Simbolik tetapi Islam substantif yaitu tegaknya dan terlaksananya syariat islam dalam seluruh aspek kehidupan, Islam Substantif adalah Islam Kaffah, Islam dengan dasar syariat dan ketaatan kepada segala hukum dan undang-undang Allah SWT. Jadi manakah yang akan kita pilih ISLAM SUBSTANTIF atau ISLAM SIMBOLIK. Wallahualam bishawab.

*) Penulis adalah Ketua PD HIMA PERSIS CIANJUR masa jihad 2008 2011 dan staf pengajar di MTs Persis 04 Cianjur

top related