infertilitas yang ada di benua afrika
Post on 14-Jun-2015
1.416 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memperkirakan metode
infertilitas dari data sekunder yang dikumpulkan dan mewakili beberapa data
demografis negara-negara seperti data dari WFS (World Fertility Survey) dan
DHS (Demographic and Health Surveys). Infertilitas primer bisa dihitung
dengan ketiadaan anak selama kurang lebih tujuh tahun setelah pernikahan.
Infertilitas sekunder diukur dengan kemandulan berkelanjutan diantara
wanita.
Wanita yang dianggap sebagai wanita mandul berkelanjutan apabila
dia tidak pernah hamil selama lima tahun sebelum dilaksanakan pendataan,
namun oleh budaya wanita tersebut masih dianggap fertil. Wanita yang tidak
pernah hamil pada saat usia a1 atau yang nantinya didefinisikan sebagai
kemandulan yang terjadi pada usia a.
index dari proporsi kemandulan pada usia a, dibagi oleh jumlah total
wanita yang diteliti pada usia tersebut. Kemerataan, trend, dan diferensial
dari infertilitas di 29 negara sub sahara Afrika dengan satu atau lebih
penelitian yang diadakan di periode 1977 sampai 2000 telah dikalkulasikan
1 Usia subur
By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos.
Infertilitas yang Ada di Benua Afrika
2
berdasarkan metode yang dibuat. Infertilitas primer ada antara 1 sampai 6 %
dan infertilitas sekunder ada antara 5 sampai 25 %. Infertilitas mengalami
penurunan yang signifikan dari tahun 1970 sampai 1990 di negara tertentu
seperti Kamerun dan Nigeria dimana tidak terdapat perubahan di banyak
negara dan mungkin ada kenaikan di Zimbabwe.
Infertilitas secara umum lebih tinggi dialami oleh para wanita yang
melakukan hubungan seks pada awal masa remaja mereka., wanita menikah
lebih dari satu kali dan untuk penduduk kota dimana mereka, sementara itu
tidak terdapat suatu pola yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
masyarakat. Khitan pada perempuan tidak mempengaruhi infertilitas. Di
beberapa kasus infertilitas, penjagaan dan program kesehatan reproduksi
termasuk perlawanan terhadap HIV AIDS dan penyakit menular seksual
lainnya, dan mampu menambah pelayanan kehamilan yang mungkin akan
menekan jumlah tingkat infertilitas
1.2. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang di atas, penelitian ini membahas
tentang infertilitas yang ada di negara Afrika, yaitu yang dinamakan dengan
infertility belt. Dalam penelitian ini masalah yang dirumuskan adalah
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi infertility belt ?
3
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah Untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi adanya Fenomena infertility belt.
1.4. Kerangka Pemikiran
1.4.1. Sebuah Pendekatan Antropologis
Fertilitas dalam antropologi diekankan pada pengaruh lingkungan dan
struktur sosial budaya pada kemungkinan terjadinya hubungan kelamin
(Davis & Blake). Dalam suatu struktur budaya masyarakat yang kompleks
terdapat suatu kebudayaan yang khas pada masyarakat tersebut, begitu juga
dengan masyarakat di negara Afrika yang mempunyai suatu kebudayaan
tertentu. Kebudayaan yang seimbang dan selaras akan mencerminkan
masyarakat yang sehat, modern, dan beradab, begitu juga sebaliknya.
Kebudayaan yang tidak seimbang aka mencerminkan masyarakatnya tidak
tertata rapi, masyarakat yang ”sakit”, dan terjadinya dampak lingkungan dan
sosial yang negatif, dalam hal ini adalah infetility belt.
Untuk mengetahui faktor apa yang terjadi dalam fenomena infertility
belt,ada baiknya kami mengulas tentang kebudayaan, karena kebudayaan
secara tidak langsung berhubungan erat dengan masyarakat yang
4
bersangkutan. Kebudayaan didefinisikan oleh koentjaraningrat (1981)
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Selain itu E.B Tylor (1871, dalam Soekanto, 2003)
mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu yang komplek mencakup ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa setiap tindakan manusia
merupakan suatu kebudayaan, karena manusia dalam kehidupan
kesehariannya menggunakan pengetahuan untuk memproses setiap apa
yang akan dipelajarinya. Setelah manusia tersebut memproses suatu
kebudayaan, maka akan menghasilkan suatu wujud kebudayaan. Wujud
kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000) yaitu
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu perilaku atau tindakan berpola dari
seorang manusia.
3. Wujud kebudayaan sebagai hasil yang berbentuk benda-benda hasil
karya manusia.
5
Selain dari wujud kebudayaan juga terdapat unsur-unsur pokok
budaya sebagaimana yang dikatakan oleh Soekanto (2003), yaitu (1) alat-alat
teknologi (2) sistem ekonomi (3) keluarga dan (4) kekuasaan politik. Artinya
adalah bahwa alat-alat teknologi merupakan unsur pokok yang dapat
mendorong suatu kebudayaan, begitu pula dengan unsur-unsur yang lainnya.
Secara umum suatu kebudayaan dapat berubah dan menjadi dinamik
mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam unsur-unsur lingkungan
disekitarnya, lingkungan tersebut dapat berupa fisik, sosial dan budaya.
Disamping itu perubahan kebudayaan dapat juga terjadi pada bentuk, fungsi
dan nilai-nilai dari unsur terkecil. Perubahan kebudayaan tersebut dapat
terjadi melalui subtitusi2, akulturasi3, inovasi, dan difusi4.
Fungsi dari kebudayaan diantaranya adalah memberi arah dan pola
bagi manusia dalam kehidupannya sehari-harinya, contohnya pada bidang
kependudukan. Selain dari memberi arah dan pola bagi manusia,
kebudayaan juga berfungsi sebagai (1) menetukan tujuan kultural tindakan
manusia, (2) sebagai pengintergrasi manusia kedalam kelompok, (3)
menentukan batasan tentang apa yang baik dan harus dilkukan, serta yang
jelek yang harus ditinggalkan, dan (4) sebgai jalan untuk mengatasi
2 Penggantian unsur yang lama oleh unsur yang baru3 Kebudayaan lama bercampur dengan kebudayaan baru tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan
lama (Koentjaraningrat, 2003)4 Sebuah kebudayaan juga dapat berubah karena adanya unsur-unsur kebudayaan dari luar yang
diterima
6
persoalan hidup. Dengan melihat fungsi kebudayaan tersebut, terjadinya
fenomena infertility belt yang ada di negara Afrika berkaitan erat dengan
lingkungan dan struktur budaya.
Kebudayaan juga membentuk perilaku manusia dalam bermasyarakat.
Perilaku-perilaku tersebut secra tidak lansung erat hubungannya dengan
masalah tigginya angka fertilitas. Selain itu dengan adanya norma-norma dan
kaidah budaya yang berlaku dalam masyarakat tertentu juga memiliki andil
yang cukup besar dalam pengaruhnya tingginya fertilitas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas adalah (1) biaya hidup tinggi, (2) perbaikan status
dan kedudukan perempuan, (3) norma, adat-istiadat, mitos, dan tabu, (4)
tingkat mortalitas menurun, dan (5) sikap sekuler dan rasional. Dari semua
fakor-faktor tersebut adalah merupakan blue print dari kebudayaan yang
mengacu pada satu pokok pikiran yaitu perilaku..
Dalam kaitannya dengan perilaku Keesing (1989, dalam Raharjana,
2003) membedakan antara ”pola bagi” (pattern for) dengan ”pola dari”
(pattern of). Pengertian dari pola bagi dapat dikatakan sebagai aturan-aturan,
strategi-strategi, ide-ide, dan lain sebagainya yang dikenal dengan sistem
budaya, sedangkan ”pola dari” adalah pola-pola berupa hasil perilaku atas
berbagai macam kegiatan yang selalu berulang kembali dalam bentuk yang
hampir sama dalam jangka waktu tertentu dan dapat diwujudkan dalam
7
bentuk penjelasan yang sistematis atau gambar, seperti kegiatan
perkawinan, fertilitas, dan lain sebagainya.. Pola yang akan dicari dalam
penelitian ini adalah ”pola dari” kegiatan perilaku masyarakat yang
berhubungan dengan kebudayaan yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi adanya infertility belt. Dengan begitu nantinya akan
ditemukan apa yan menjadi faktor-faktor penyebab adanya invertility belt.
1.4.2. Teori Fertilitas:
- 11 variabel antara Davis dan Blake
1. Usia pada waktu kawin
2. Proporsi anggota masyarakat yang tidak kawin seumur hidup
3. Lama tidak hidup bersama setelah kawin karena perpisahan,
peceraian, menjanda
4. Abstinasi/brpantang karena kehendak sendiri
5. Abstinensi karena terpaksa
6. Frekuensi hubungan kelamin
7. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang tidak sengaja
8. Penggunaan kontrasepsi
9. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi faktor sengaja
8
10. Keguguran yang tidak disengaja
11. Keguguran yang disengaja
- John Bongarts (1978), menyedehanakan 11 variael antara
Davis & Blake menjadi 4 variabel antra terpenting, yaitu
1. Perkawinan
2. Penggunaan alat kontrasepsi
3. Laktasi, dan
4. Penguguran yang disengaja.
9
Diagram 1
Kerangka Konsep Tentang infertility belt
Infertilitas tinggi
Masalah Yang Di Hadapi
Perilaku
Pola hidup
Budaya/kebudayaan
11 variabel antara Davis & Blake
4 variabel John Bongartas
Keterangan
Masyarakat
= Hubungan Langsung
= Hubungan tak Langsung
Infertilitas rendah
Stuktur sosial
10
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Teknik Pengumpulan Data
Agar memperoleh informasi yang akurat mengenai infetility belt,
maka penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka. Data diambil
dengan cara membuka website, buku-buku bacaan, jurnal, dan sumber-
sumber inforamasi lainnya yang relevan dengan judul penelitian ini. Dengan
teknik tersebut dapat menghasilkan data ilmiah yang autentik dan dapat
dipertanggung jawabkan.
1.5.2. Pengolahan Data
Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul, dta-data tersebut diolah
dan disusun secara sistematis. Dalam pengolahan data akan dikelompok
data-data yang mempunyai sub bahasan yang sama, sehingga nantinya
laporan dari penelitian ini terdiri dari sub-sub pokok bahasan.
1.5.3. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan proses mengatur urutan data,
mengelompokkannya ke dalam sub bahasan. Analisis data ini dilakukan
dalam suatu proses, dimana proses tersebut dilaksanakan sejak
pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah
mendapatkan data (Moleong, 1988).
11
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kategorisasi. Dalam analisis ini akan digunakan kategori-kategori
tertentu untuk mengelompokkan data dan menganalisisnya dengan teori
untuk mempermudah penjelasan dari fenomena tersebut. Kategori adalah
salah satu pengelompokan dari kumpulan yang disusun atas dasar pikiran,
pendapat, atau kriteria tertentu. Lincoln dan Guba (1985:347-351, dalam
moleong 2006) mengatakan bahwa tugas pokok kategorisasi, (1)
mengelompokkan data-data yang dibuat kedalam sub bahasan yang
berkaitan, (2) untuk pemeriksaan keabsahan data, dan (3) menjaga agar
setiap kategorisasi yang disusun diatas mengikuti prinsip di atas.
Analisis data kategorisai yang digunakan oleh peneliti bertujuan untuk
mendeskripsikan data yang terkumpul kedalam kelompok-kelompok sub
bahasan tertentu kemudian dianalisis dengan menggunakan teori untuk
menjelaskan data secara terperinci tentang faktor-faktor penyebab infertility
belt.
12
BAB 2
NEGARA-NEGARA SUB SAHARA AFRIKA
Pantai Gading
Nama resmi republik pantai Gading adalah negara di Afrika barat.
Pantai gading berbatasan dengan liberia dan guinea barat, mali dan burkina
faso di utara, ghana di barat, dan teluk guienea selatan. Pantai gading adalah
sebuah republik dengan kekuasaan eksklusif yang kuat dan dipimpin oleh
presiden. Ibukota de jure adalah yomoukossuro dan bahasa resminya adalah
perancis. Negara ini terbagi dalam 19 daerah dan 58 deartemen.
Perekonomia pantai gading terutama didasarkan pada perdagangan dan
mengandalkan pertanian dengan dominasi produksi dan lahan milik para tuan
tanah. Untuk ukuran negara berkembang, pantai gading memiliki infrastruktur
yang cukup canggih.
Demografi
77% populasi adalh orang-orang ivorian. Populasi ini
mempresentasikan beberapa masyarakat dan kelompok bahasa yang
berbeda. Diperkirakan ada 65 bahsa yang dipakai di pantai gading. Salah
satu yang paling umum adalah bahsa djoula, yang berfungsi sebagai bahsa
perdagngan dan bahsa umum orang-orang muslim. Bahsa perancis , sebagai
13
bahsa resmi, diajarkan di sekolah-sekolah dan berfungsi sebagai lingua
franca di daerah-daerah perkotaan (khususnya abidjan). Sejak pantai gading
menetpkan diri sebagai salah satu negara asia barat yang paling sukses,
sekitar 20% populasi poantai gading terdiri atas para pekerja yang datang
dari negara-negara tetangga seperti liberia, burkania faso, dan guinea.
Ghana
Nama resminya Republi Ghana adalah sebuah negara Afrika di
sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Gading, di sebelah utara
berbatasan dengan Bulkina Faso, disebelah Timur berbatasan dengan Togo
dan lautan Atlantik disebelah Selatan. Ibokotanya adalah Aga. Populasi
Ghana pada tahun 1995 adalah 21.029.853 jiwa. Suku-suku besar di Ghana
adalah Akan 44%, Moshi/Dagomba 16%, Ewe 13%, Gha 8%, orang-orang
Eropa dan lain-lain 0,25%. Agama Kristen 63%, kepercayaan Asli 21%, Islam
16%. Bahasa resmi Inggris dan bahasa-bahasa Afrika lain.
Republik kenya
Adalah sebuah negara di Afrika Utara Republik kenya dibatasi oleh
Etiopia di sebelah Utara, Somalia di timur, Tanzania di Selatan, Uganda di
Barat, Sudan di barat laut, samudrahindia disebelah timur laut. Kenya adalah
negara dengan keragaman etnik yang sangat besar. Ketegangan antara
kelompok etnik ini menjadi masalah utama di Kena. Selama awal tahun 90an
perseteruan etnik yang berlatar belakag politik telah membunuh ribuan jiwa.
14
Lesotho
Adalah sebuah negara daratan selruhnya dikelilingi oleh republi Afrika
Selatan. Pada awalnya brnama Basutho land, anggotapersemakmuran.
Nama lesotho terjemahan kasar dari ”daratan dimana orang-orangnya
berbicara dengan bahasa sotho”.
Mauritania
Nama resminya adalah republik Islam Mauretania, adalah sebuah
negara di Afrika Barat Laut yang dibatasi dengan Lautan Atlantik di sebelah
Barat, Senegal disebelah Barat Daya, Mali di Timur, Aljeria di Timur Laut,
Maroko di Barat Laut. Nama Mauretania diberikan setelah kerajaan Berber.
Ibukotanya adalah Nouakchott. Populasi pada perkiraan juli 2006 sebanyak
3.177.388 jiwa. Angka harapan hidaup setelah kelahiran adalah 5312
pertahun. Agama 100% Islam.
Nigeria
Nama resmi republik federal Nigeria, adalah negara disebelah Barat di
Afrika dan negara paling padat di Afrika. Nigeria berpopulasi 140.000.542
jiwa dengan jumlah pria lebih banyak.
Rwanda
Adalah sebuah negara kecil di daerah Afrika Tengah dengan populasi
kira-kira 8 juta jiwa. Berbatasan dengan Uganda, Gurundi, Kongo, Tanzania.
Daerah rwanda cukup subur dan dijuluki tanah seribu bukit.
15
BAB 3
ANALISA DATA
Pandemik HIV AIDS adalah salah satu problem ksehatan dan populasi
yang sangat berat dihadapi oleh negara-negara sub-Sahara Afrika. UNAIDS
memperkirakan bahwa 25 dari 28 juta orang hidup dengan virus HIV AIDS
pada tahun 2003 dan dari 2,2 sampai 2,4 juta orang telah mati karena
terjangkit AIDS (UNAIDS/WHO, 2003). Walaupun baru-baru ini penurunan
dalam harapan hidup lebih besar dalam menghadapi AIDS di negara-negara
sub sahara Afrika memiliki pertumbuhan populasi berkala rata-rata 2,5 sampa
i 3,0 % sejak 1975 diesbabkan ketakutan akan ledaka populasi dan
kekuarangan sumber daya alam (World Development Indication, 2002).
Pembuat kebijakan kependudukan dan para peneliti terfokus pada
pemahaman pondasi keinginan sebagian besar keluarga di sub sahara Afrika
dan mempromosikan program untuk meningkatkan pengetahuan dan akses
tehadap metode keluaraga berencana dan pelayanan dalam rangka
menggalakkan penggunaan alat kontrasepsi untuk meningkatkan
menekankan kesuburan.
Konsep dari ”sabuk infertilitas Afrika Tengah” sudah ada sejak tahun
1960 dan pada awal 1970 dengan baik didokumentasikan bahwa fertilitas
relatif sangat rendah di Afrika Tengah, walaupun penyebaran dari infertilitas
16
keluar dari sub-sahara Africa tidk diketahui ( Brass et al. 1968 ; Page and
Coale 1972; Adadevoh 1974 ). WHO ( World Health Organization )
menerbitkan review yang komperhensif mengenai bukti-bukti infertilitas dan
menyimpulkan bahwa infertilitas yang berasal dari infeksi sudah merata pada
beberapa populasi di selatan Sahel ( WHO 1975 ; Belsey 1976 ). Dari 1979
sampai 1984 WHO mengatur penelitian di seluruh dunia untuk
mendokumentasikan bahwa etiologi infertilitas di Africa sangat berbeda
dengan yang ada di Amerika Selatan, Timur tengah, dan Asia ( Cates, Farley
dan Rowe 1985 ). Penelitian terbaru dari WHO mengembangkan suatu
protokol untuk uji klinis dari pasangan infertil dan mendapatkan perhatian dari
seluruh dunia ( Cates, Farley and Rowe 1985 ; WHO 1987 ; Rowe, Comhaire,
Hargreave and Mellows 1993 ).
Untuk contohnya pada tahun 1988 the XXII Conference of the Council
for International Organizations of Medical Sciences di Bangkok mengeluarkan
beberapa pernyataan ( Sciarra 1994, p. 155 ) :
”infertilitas adalah problem kesehatan yang dipastikan sebagai implikasi dari
fisiologik, psikologik dan sosial stigma dari infertilitas biasanya sring berperan
pada ketidakharmonisan keluarga, perceraian dan ostracisme.”
pada tahun 1992, konferensi populasi Afrika digelar di Senegal
merupakan bagian dari persiapan untuk konferensi PBB tentang
17
pembangunan dan populasi yang diselenggarakan di Kairo. Berdasarkan
pertemuan ini, pernyataan mengenai fertilitas dan keluarga berencana
termasuk isu dari infertilitas (Population and Development review,
1993,p.211)sebagai berikut:
”untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi yang kondusif dan kestabilan politik
, pembuatan kebijakan mengenai fertilitas digunakan untuk: (i) setting fertility
dan keluarga berencana , ditujukan untuk semua orang pada usia produktif dan
penekanan pada infertilitas sangatlah penting”
Penelitian WHO berdasarkan pencarian pasangan yang peduli pada fasilitas
kesehatan dan tidak tersedianya segala informasi mengenai kemerataan
infertilitas (Cates, Farley dan Rowe 1985). Untuk menentukan pemerataan
dari infertilitas dan mengidentifikasi daerah lokal dan golongan khusus
dengan resiko yang relatif tinggi dari penelitian infertilitas sekarang sudah
berpindah dari penelitian klinis menjadi pendekatan komunitas. Lagipula,
definisi kesehatan butuh untuk dimodifikasi dalam rangka mendapat
perhitungan yang spesifik tentang infertilitas yang di dapat dari data
komunitas.
Standart definisi klinik dari infertilitas merujuk pada tulisan Sciarra (
1994: 155 ), sebagai berikut :
18
” untuk pasangan yang pada masa reproduksi yang melakukan hubungan
seksual tanpa alat kontrasepsi, infertilitas didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk menjadikan hamil dalam periode waktu tertentu,
biasanya satu tahun.”
infertilitas primer menunjukkan infertilitas pada wanita yang tidak
pernah mengandung dan fertlitas sekunder adalah menunjukkan infertilitas
dari wanita pernah mengandung walaupun hanya sekali. WHO
merekomendasikan definisi klinis yang telah dimodifikasi untuk digunakan
pada penelitian epidemiologi, sebagai berikut: ”absennya konspsi dalam 24
bulan tidak terlindungi”. WHO mengusulkan untuk menambah periode
percobaan untuk mendapatkan kehamilan dari 12 sampai 24 bulan karena
telah ditemukan bahwa banyak pasangan tidak hamil dalam periode dalam
12 bulan (Collins, Wrixon James and Wilson 1983)
Para Ahli demografi mendefinisikan sebagai ketidakmampuan wanita
yang aktif melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi untuk hamil (Presat
and Wilson 1985). Para ahli demografi telah mengganti tujuan dari konsepsi
ke kelahiran sangat sulit menemukan dan mengumpulkan data mengenai
konsepsi dalam penelitian berdasarkan populasi. Misalnya, Casterline and
Ashurst (1984) sejarah analisa kehamilan dikumpulkan di WFS (World
Fertility Surveys ) dan mereka menyimpulkan 50-80 % pengguguran
kandungan lewat aborsi tidak dilaporkan. Lagipula, analisis demografi tentang
19
infertilitas biasanya berdasarkan dari data sekunder yang didapat dari survei
demografi yang mengandung sejarah kelahiran yang lengkap, tapi tidak ada
informasi tentang aborsi, keguguran, kelahiran mati.
Etiologi5
Evers (2002) mencatat bahwa komposisi pasangan infertilitas
tergantung seberapa lama mereka mencoba untuk mebuahkan kehamilan,
dan distribusi faktor wanita, faktor dari pria dan infertilitas yang tidak dapat
dijelaskan tergantung dari apakah pembelajaran populasi adalah yang utama,
pengaturan kepedulian kedua atau ketiga. Menurut Evers, tinjauan tentang
50% dari infertilitas adalah hak dari wanita, sedangkan 20-26% adalah laki-
laki dan 26-30% tidak dijelaskan, tapi temuan ini berasal dari populasi non-
Africa. Penelitian WHO melporkan bahwa faktor perempuan dalam infertilitas
berkisar antara 37% dari sub-Sahara Africa sampai 25-34% sampai Asia,
Mediterania Timur dan Amerika Selatan, faktor laki-laki dalam infertilitas
berkisar antara 35-38% dan yang tidak dapat dijelaskan berkisar dari 5-13%.
Mayaud (2001) menekankan bahwa didaerah sub-Sahara Africa beberapa
penelitian telah menyelidiki bahwa pasangan infertil memfokuskan
permasalahan pada pihak perempuan. Faktor Tubal infertilitas memainkan
peranan pre dominan dalam faktor wanita di sub-Sahara Africa
(Mayaud,2001). Penyebab terbesar dari faktor Tubal infertilitas adalah Pelvic
Inflammatory Disease (PID) hasil dari sebuah infeksi baik dari penyakit 5 etiologi adalah ilmu tentang asal usul suau penyakit
20
menular seksual seperti contohnya, gonorrhea dan chlamydia, atau
komplikasi dari beberapa aborsi atau prosedur medis yang salah gangguan
rahim juga banyak dialami di Afrika namun pemerataann variasinya sangat
luas antara 21-48% pasangan Afrika yang infertil merupakan penuluran
infertilitas yang diderita oleh pria berdasarkan beberpa penelitian yang
diungkapkan Mayaud (2001), dan lebih dari 50% laki-laki memiliki sedikit atau
tidak memiliki sama sekali sel sperma. Rusaknya kualitas sperma
berhubungan dengan penyakit menular seksual seperti gonorrhea dan
clamydia. Sejauh ini idak ada studi yang menyelidiki tentang faktor infertilitas
dari sisi kedua pasangan (antibodi wanita menghalangi sperma untuk
bergerak dalam cervix) dalam populasi Africa.
Metode dan materi
Pengukuran infertilitas non-klinis biasanya berdasrkan atas data yang
dikumpulkan dari wanita, dan infertilitas pasangan diduga berasal dari
reproduksi wanita. Pengukuran demografi yang bernama ” subsequently
infertile estimator” atau estimasi berdasarkan infertilitas berkelanjutan yang
berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari sejarah wanita yang
melahirkan dan survey demografi standart ( Larsen and Menken 1989, 1991).
Metode ini digunakan untuk semua informasi yang terseia bagi wanita dari
usia pada saat dia menikah atau tinggal bersama sampai pada usia saat dia
diwawancarai oleh peneliti dikurangi lima tahun.
21
lima tahun diantara ini digunakan oleh mereka untuk mempertahankan
status sebagai seorang yang mandul atau subur saat lima tahun sesudah
interview. Dia memutuskan untuk tidak menyuburkan dirinya jika dia
mempunyai anak lagi selama lima tahun terakhir, disamping itu dia
sebenarnya masih subur. Perempuan yang tidak melahirkan pada usia a,
atau yang nantinya didefinisikan sebagai ketidaksuburan lanjutan pada usia
a. Index dari proporsi ketidaksuburan yang berkelanjutan dalam usia a,
dihitung dengan cara jumlah semua wanita yang mengalami ketidaksuburan
berkelanjutan dibagi dengan jumlah total wanita yang diteliti dalam umur
tersebut.
Sample wanita yang dipilih untuk penelitian tersebut termasuk wanita
yang pernah menikah pada usia ke 20 atau lebih. Tidaklah valid
menggunakan sample para wanita yang telah menikah, karena wanita yang
tidak subur kebanyakan ditemukan pada saat mereka terpisah dari pasangan
atau sudah bercerai (Menken dan Larsen, 1994).
Pengukuran kedua ketidaksuburan adalah childlessness estimator
atau estimasi ketidakpunyaan anak dalam rentang waktu tertentu. Cara
pengukurannya adalah dengan melihat proporsi ketidakpunyaan anak setelah
tujuh tahun setelah perkawinan pertama. Namun, beberapa ilmuwan
berpendapat bahwa estimasi ketidakpunyaan anak ini harus diukur lima
tahun setelah pernikahan pertama wanita untuk menyamakannya dengan
metode estimasi ketidaksuburan berkelanjutan. Pertimbangan ini relevan
22
dengan populasi di Afrika dimana para wanitanya menikah pada awal masa
remaja mereka, beberapa pasangan tidak tinggal bersama pada masa awal
pernikahan mereka dan anehnya tanggal tepatnya pernikahan mereka tidalah
diketahui secara pasti, karena pada beberapa kasus, para responden tidak
mengetahui masa sebuah pernikahan sebab tidak ada upacara pernikahan
dan tanda-tanda transisi dari single ke marital status.
Estimasi ketidakpunyaan anak biasa digunakan sebagai wakil untuk
infertilitas primer dan estimator infertilitas lanjutan merupakan wakil dari
infertilitas sekunder. Estimasi ketidakpunyaan anak dan infertilitas lanjutan
telah disesuaikan sebagai analisa simulasi mikro (Larsen dan Menken
1989,1991).
. Analisis ini menunjukkan bahwa dari kedua metode pengukuran
infertilitas ini tidak sensitif tehadap variasi dalam karakteristik reproduksi,
seperti pada durasi postpartum amenorrhea, fekunditas dan umur yang
berefek pada infertilitas pada 500 sample wanita. Mengestimasi infertilitas
bisa saja menjadi bias karena sangatlah sulit untuk dilakukan, khususnya
dalam menganalisis data-data sekunder, seperti survey WFS (World Fertility
Survey) dan DHS untuk membedakan wanita yang infertil secara patologis
atau wanita yang sengaja menjaga tubuhnya agar tidak hamil selama lima
tahun atau lebih.
Untuk menghilangkan bias ini, hanya wanita yang melaporkan bahwa
mereka ingin memiliki anak lagi harus dipertimbangkan untuk masuk kategori
23
infertil, lalu batas bawah dari infertilitas akan didapatkan karena beberapa
pengguna alat kontrasepsi mungkin menjaga diriya untuk tidak melahirkan
pada periode waktu lima tahun atau lebih. Jarak antara batas bawah dan
batas atas infertilitas menampakkan dampak dari penggunaan kontrasesi
dalam suatu pengukuran tentang infertilitas.
Data
Infertilitas dapat diestimasi menggunakan survey demografi seperti
survei wanita WFS dan DHS, termasuk survei tentang kehamilan, survey
tentang sejarah kelahiran, informasi mengenai umur pada saat melahirkan,
penggunaan alat kontrasepsi, metode pemakaian alat kontrasepsi, tahun
pernikahan pertama dan kohabitasi6 dan keinginan wanita untuk memiliki
anak satu dan seterusnya dan ditambah lagi survei WFS dan DHS
menyangkut masalah sosial ekonomi sebagai salah satu variabel pengukur.
Survei dari WFS mengemukakan bahwa sudah ada penelitian di 11
negara sub sahara (Benin, Cameroon, Cote d’Ivoire, Ghana, Kenya, Lesotho,
Mauretania, Nigeria, Rwanda, Senegal, Sudan) pada periode 1977 sampai
1983. Penelitian WFS selanjutnya pada rentang waktu 1986 sampai 2000
diadakan di Benin, Botswana, Burkina Faso, Burundi, Cameroon, Central
African Republic, Chad, Comoros, Cote d’Ivoire, Gabon, Ghana, Kenya,
Liberia, Madagascar, Malawi, Mali, Mozambique, Namibia, Niger, Nigeria,
6 Tinggal dalam satu rumah
24
Rwanda, Senegal, Sudan, Tanzania, Togo, Uganda, Zambia,
Zimbabwe (lihat http://www.measuredhs.com). Jadi bila ditotal, infertilitas
sudah menjangkiti 29 negara di Afrika saat ini.
Infertilitas primer yang diukur dari estimasi ketidakpunyaan anak, relatif
rendah dalam di negara-negara sub sahara Afrika (lihat tabel 1).
Table 1. Primary infertility based on the percentage childless after at leastseven years since first marriage in selected sub-Saharan African countries_______________________________________________________Country & survey date Percentage Sample
childless size1___________________________________________________________________________________
Benin 1982 3 1,264Benin 1996 1 3,083Botswana 1988 2 984Burkina Faso 1993 3 3,574Burundi 1987 2 1,436Cameroon 1978 11 4,513Cameroon 1991 6 2,037Cameroon 1998 5 3,091Central African Republic 1994/95 6 3,338Chad 1996/97 5 4,445Comoros 1996 4 1,346Cote d'Ivoire 1980 4 3,069Cote d'Ivoire 1994 3 4,081Gabon 2000 4 3,205Ghana 1979 2 3,324Ghana 1988 1 1,656Ghana 1993 2 2,610Kenya 1977 3 4,292Kenya 1989 2 2,558Kenya 1993 2 3,597Lesotho 1977 4 2,317Liberia 1986 3 2,363Madagascar 1992 4 3,010Malawi 1992 2 2,759Mali 1987 4 1,655Mali 1995/96 3 6,226Mauretania 1982 5 2,509Mozambique 1997 4 4,873Namibia 1992 3 1,727Niger 1992 4 4,231Nigeria 1981 6 5,834Nigeria 1990 4 5,127Rwanda 1983 1 2,753Rwanda 1992 1 3,037 Senegal 1978 4 2,403Senegal 1986 4 2,536Senegal 1992/93 3 3,508
25
Sudan 1978 5 2,365 Sudan 1989/90 3 3,262Tanzania 1991/92 2 4,624Tanzania 1996 2 3,888Togo 1988 2 1,229Uganda 1988/89 3 1,728Uganda 1995 3 3,182Zambia 1992 2 3,489Zimbabwe 1988 1 1,691Zimbabwe 1994 2 2,974_________________________________________________________________________________1
Unweighted sample size2
Incomplete data set3
Based on at least five years since first marriageSumber: Larsen, U. and H. Raggers. 2001. Levels and Trends in infertility in sub-Sahara Africa. In Boerma, J.T. and Z. Mgalla (eds.) Women and infertility insub-Sahara Africa: a Multi-disciplinary Perspective. KIT Publishers, RoyalTropical Institute: Amsterdam. Pp. 37-39.Larsen, U. 2003a. Infertility in Central Africa. Tropical Medicine andInternational Health 8:354-367.P. 359.
Pemerataan terjadi di Benin yang tercatat hanya 1 % pada tahun 1996
dan Rwanda pada tahun 1981 dan 1996 lalu Republik Afrika tengah pada
tahun 1995. estimasi independen tentang ketidakpunyaan anak di Benin dan
Rwanda dari data yang telah dikoleksi tidaklah tersedia, jadi tidaklah terlalu
mutahil untuk membuktikan validitas tentang rendahnya data tersebut,
walaupun estimasi DHS di Benin pada tahun 1981 memperkirakan bahwa 3
% wanita tidak mempunyai anak dan 3 % wanita yang pernah menikah dan
berusia 40-44 tahun juga tidak mempunyai anak (WHO 1991).
Sangat memungkinkan bahwa rendahnya estimasi ketidakpunyaan
anak dari Benin dan Rwanda sangatlah rendah karena banyak kasus yang
tidak terlaporkan, tapi presentase infertilitas lanjutan pada usia 20-24 juga
26
rendah (2-3%), diperkirakan bahwa infertilitas sangat jarang ditemukan di
daerah tersebut (lihat tabel 2).
Table 2. Secondary infertility by age based on the percentage subsequently infertile among parous women inselected sub-Saharan African countries: modified estimates not accounting for current use contraception are shown in parentheses
________________________________________________________________________________________Country & survey date Age ______
20-24 5-29 30-34 35-39 40-44 20-44 Sample size1_____________________________________________________________________________________________________________________________________
Benin 1982 4 ( 4) 11 (11) 24 (25) 42 (42) 70 (70) 15 (15) 1,138Benin 1996 3 ( 3) 7 ( 7) 17 (17) 38 (39) 63 (65) 12 (12) 3,056Burkina Faso 1993 3 ( 3) 7 ( 7) 13 (14) 32 (33) 65 (66) 10 (10) 3,329Burundi 1987 3 ( 3) 4 ( 5) 9 ( 9) 22 (23) 40 (40) 6 ( 6) 1,471Cameroon 1978 10 (10) 20 (20) 34 (34) 47 (47) 63 (63) 22 (22) 3,749Cameroon 1991 9 (10) 17 (18) 28 (30) 46 (49) 69 (72) 19 (20) 1,803Cameroon 1998 10 (11) 17 (19) 32 (33) 50 (51) 73 (74) 23 (24) 2,927Comoros 1996 7 ( 8) 13 (14) 22 (26) 38 (43) 62 (68) 16 (18) 1,305Cote d'Ivoire 1980 6 ( 6) 12 (12) 21 (21) 37 (37) 59 (59) 15 (15) 2,661Cote d'Ivoire 1994 6 ( 7) 13 (13) 23 (23) 39 (41) 63 (65) 16 (16) 3,848Gabon 2000 14 (17) 20 (25) 33 (39) 51 (60) 73 (83) 24 (29) 3,134Ghana 1979 5 ( 5) 9 (10) 18 (19) 35 (36) 61 (63) 13 (14) 3,142Ghana 1988 4 ( 4) 7 ( 7) 13 (15) 27 (31) 45 (51) 9 (10) 1,612Ghana 1993 5 ( 5) 10 (10) 18 (20) 36 (39) 58 (61) 13 (14) 2,594Kenya 1977/78 4 ( 4) 8 ( 8) 14 (15) 27 (28) 52 (54) 11 (11) 4,040Kenya 1989 4 ( 4) 7 ( 9) 12 (17) 23 (32) 54 (68) 8 (10) 2,459Kenya 1993 4 ( 5) 8 (11) 15 (23) 31 (44) 51 (65) 11(15) 3,565Lesotho 1977 9 ( 9) 19 (19) 32 (32) 50 (51) 74 (75) 23 (23) 2,046Liberia 1986 7 ( 8) 13 (14) 23 (24) 33 (37) 47 (52) 15 (16) 2,154Madagascar 1992 8 ( 8) 13 (15) 23 (25) 41 (44) 72 (75) 16 (17) 2,870Malawi 1992 6 ( 7) 11 (12) 22 (23) 36 (39) 58 (60) 16 (16) 2,571Mali 1987 5 ( 5) 11 (11) 17 (17) 32 (33) 52 (52) 11 (12)1,382Mali 1995/96 4 ( 4) 9 ( 9) 17 (18) 35 (37) 68 (69) 12 (12) 5,712Mauretania 1982 7 ( 7) 16 (16) 31 (31) 51 (51) 67 (67) 19 (19) 2,027Mozambique 1997 8 ( 8) 16 (17) 27 (30) 44 (48) 68 (72) 19 (20) 4,422Namibia 1992 5 ( 6) 10 (14) 17 (25) 29 (42) 51 (67) 14 (20) 1,795Niger 1992 5 ( 5) 12 (12) 22 (22) 40 (41) 62 (63) 14 (14) 3,540Nigeria 1981 7 ( 7) 15 (16) 29 (29) 45 (45) 66 (67) 17 (17) 4,952Nigeria 1990 5 ( 5) 10 (10) 22 (23) 38 (40) 61 (63) 13 (14) 4,688Rwanda 1983 1 ( 1) 4 ( 4) 11 (11) 25 (25) 49 (49) 8 ( 8) 2,813Rwanda 1992 2 ( 2) 4 ( 4) 8 ( 9) 20 (21) 46 (49) 6 ( 6) 3,178Senegal 1978 7 (7) 12 (12) 23 (23) 39 (39) 64 (64) 16 (16) 2,076Senegal 1986 5 ( 6) 10 (11) 19 (19) 35 (35) 61 (63) 13 (14) 2,297Senegal 1992/93 4 ( 5) 9 (10) 18 (19) 35 (37) 61 (64) 12 (13) 3,224Sudan 1978 6 ( 6) 14 (14) 28 (29) 48 (49) 70 (71) 16 (17) 2,089Sudan 1989/90 5 ( 5) 12 (12) 24 (26) 46 (48) 73 (75) 15 (16) 2,988Tanzania 1991/92 7 ( 7) 12 (13) 21 (22) 40 (43) 62 (66) 16 (17) 4,489Tanzania 1996 6 ( 7) 11 (12) 19 (21) 34 (40) 60 (65) 14 (16) 3,808Togo 1988 2 ( 2) 4 ( 4) 6 ( 7) 17 (18) 45 (46) 5 ( 5) 1,164Uganda 1988/89 7 ( 7) 11 (12) 17 (19) 36 (37) 64 (66) 13 (13) 1,550Uganda 1995 6 ( 6) 10 (11) 19 (21) 36 (39) 60 (64) 13 (14) 2,996Zambia 1992 6 ( 6) 11 (12) 17 (20) 33 (36) 59 (63) 13 (15) 3,293
27
Zimbabwe 1988 5 ( 5) 8 (10) 16 (21) 30 (39) 53 (66) 11 (14) 1,653Zimbabwe 1994 6 ( 8) 10 (14) 19 (25) 35 (46) 61 (72) 14 (18) 2,954
________________________________________________________________________________________1
Unweighted sample size2
Incomplete data setSumber: Larsen, U. and H. Raggers. 2001. Levels and Trends in infertility in sub-Sahara Africa.In Boerma, J.T. and Z. Mgalla (eds.) Women and infertility in sub-Sahara Africa: a Multi-disciplinary Perspective. KIT Publishers, Royal Tropical Institute: Amsterdam. Pp. 41-44.Larsen, U. 2003a. Infertility in Central Africa. Tropical Medicine and International Health 8:354-367. P. 361.
Data yang kontras ditunjukkan oleh republik Afrika Tengah dimana
ditemukan tingkat ketidakpunyaan anak yang sangat tinggi, yaitu mencapai
30-40 % pada tahun 1950 sampai 1960-an dan dikomparasikan dengan data
nasional Afrika Tengah yang menyatakan bahwa pada tahun 1994
mengalami penurunan hanya 6 % (WHO 1991).
Infertilitas primer menjangkiti 3 % atau lebih populasi di hampir dua per
tiga negara-negara yang kami sebutkan tadi, yang mengindikasikan bahwa
infertilitas primer tidaklah terlalu tinggi di area sub sahara Afrika bila
dibandingkan dengan jumlah penduduk mereka. Contohnya, Bongaarts dan
Potter (1983) menemukan bahwa sejara populasi tidak mempunyai saksi,
pengontrolan fertilitas yang 2 atau 3 % menyebakan tidak mempunyai anak
disebabkan oleh penyakit bawaan (genetik). Akhirnya, pengukuran dari
infertilitas primer tidak dipengaruhi oleh kontrasepsi karena menurut
pengamatan WHO hampir semua wanita yang tidak mempunyai anak setelah
tujuh tahun setelah pernikahan pertama meggunakan kontrasepsi
28
Infetilitas sekunder diukur dari proporsi infertil berkelanjutan dari
wanita berumur 20-44 tahun, dimana ditemukan terendah sebanyak 5% di
Togo dan tinggi sebanyak 24 di Gabon (lihat tabel 2). Sebagian besar
negara-negara tersebut meliki 15% atau lebih ifertilitas sekunder. Untuk
mengurangi bias dari penggunakan kontrasepsi, semua pengguna metode
modern kontrasepsi dianggap subur pada saat wawancara dengan peneliti
(pengguna kontrasepsi yang efektif kemungkinan menjaga agar tidak hamil
paling tidak selama 5 tahun dan karena itu mereka dianggap infertil). Di
kawasan Afrika Tengah, negara-negara seperti Gaboon, kamerun, nigeria
dan lainnya relatif memilki level yang tinggi dalam infrtilitas primer dan
sekunder dibandingkan dengan negara-negara lain hal ini, membuktikan
bahwa daerah Afrika Tengah infertility belt atau sabuk infertilitas masih
sangat merata.
Dua atau lebih survei yang dikumpulkan dibeberapa negara
menyimpulkan suatu analisa tentang infertility di Zimbabwe infertilitas primer
naik 1 sampai 2% dan infertilitas sekunder naik 12-14% dari data yang
dioleksi pada tahun 1988/89 dan 1994 (lihat tabel 1 dan 2). Sebalknya
terdapat bukti penurunan baik dari infertilitas primer atau sekunder di Benin,
Sudan, Kamerun. Pada tahun 1980 sampai awal tahun 1990. disebagian
besar negara-negara tersebut kenaikan infetilitas baik primer maupun
sekunder sedang terjadi pada sia 20-24 dan 30-34 dan cukup tinggi untuk
ukuran 40-44 tahun.
29
Table 3. Observed total fertility rates ages 20-44, and simulated total fertility rates under the Burundi age-schedule of infertility for selected African countries_____________________________________________________________
TFR.Country & survey date Observed Burundi___________________________________________________________________________________________
Benin 1996 5.5 6.5Burkina Faso 1993 5.9 6.6Burundi 1987 6.3 6.3Cameroon 1991 4.9 6.5Central African 4.2 5.9Republic 1994/95Comoros 1996 4.6 5.5Cote d’Ivoire 1994 4.8 5.8Ghana 1993 4.8 5.4Kenya 1993 4.6 4.9Liberia 1986 5.4 6.0Madagascar 1992 5.2 6.8Malawi 1992 6.2 7.1Mali 1995/96 5.7 6.6Mozambique 1997 4.1 6.0Namibia 1992 4.6 5.1Niger 1992 6.0 7.1Nigeria 1990 5.0 5.9Rwanda 1992 5.7 5.6Senegal 1992/93 5.2 5.9Sudan 1989/90 4.5 5.8Tanzania 1996 4.9 5.6Togo 1988 5.6 5.5Uganda 1995 5.7 6.5Zambia 1992 5.2 5.8Zimbabwe 1994 3.7 4.2___________________________________________________________________________________________
Sumber: Larsen, U. and H. Raggers. 2001. Levels and Trends in infertility in sub-Sahara Africa.In Boerma, J.T. and Z. Mgalla (eds.) Women and Infertility in sub-Sahara Africa: a Multi-disciplinary Perspective. KIT Publishers, Royal Tropical Institute: Amsterdam. Pp. 45.
top related