hukum mengkonsumsi daging hewan yang diburu …repository.uinsu.ac.id/2801/1/skripsi siti...
Post on 02-Aug-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG DIBURU DENGAN
MENGGUNKAN SENJATA API BERDASARKAN FATWA MPU ACEH NO 06
TAHUN 2013
(Studi Kasus Di Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten
Aceh Timur)
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SITI HAZIZAH
Nim : 24133082
Program Studi
MUAMALAH
PROGRAM SARJANA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG DIBURU DENGAN
MENGGUNKAN SENJATA API BERDASARKAN FATWA MPU ACEH NO 06
TAHUN 2013
(Studi Kasus Di Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten
Aceh Timur)
Oleh:
SITI HAZIZAH
Nim : 24133082
Program Studi
MUAMALAH
PROGRAM SARJANA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Siti Hazizah
Nim : 24.13.3.082
Jur/Fak : Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) / Syari’ah dan Hukum
Judul Skripsi : HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG DIBURU
DENGAN MENGGUNAKAN SENJATA API BERDASARKAN FATWA
MPU ACEH NO 06 TAHUN 2013 (STUDI KASUS DESA SIMPANG
JERNIH KECAMATAN SIMPANG JERNIH KABUPATEN ACEH
TIMUR)
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul diatas adalah hasil
karya saya kecuali kutipan-kutipan didalamnya disebutkan sumbernya. Saya bersedia
menerima segala konsekuensi apabila pernyataan saya ini tidak benar.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, 24 Oktober 2017
Yang membuat pernyataan
Nur Siti Hazizah
Nim 24.13.3.082
IKHTISAR
Dalam memenuhi kebutuhan manusia banyak cara dilakukan untuk mendaptkannya, salah
satunya mengkosumsi hasil hewan yang diburu. Dalam Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun
2013 kita harus memahami secara mendalam bagaimana hukum mengkosumsi daging
hewan buruan tersebut yang dilakukan sesuai dengan syari’at Islam agar tidak terjerumus
kedalam perkara yang diharamkan. Dalam pembahasan skripsi ini penulis membahas
tentang hukum mengkonsumsi daging hewan yang diburu dengan menggunakan senjata
api berdasarkan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013 tentang Stunning, Meracuni,
Menembak hewan dengan senjata api Dan Kaitannya Dengan Halal Dan Hegienis.
Penelitian ini dilatarbelakangin oleh permasalah pokok yang mendasar, yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat desa simpang jernih kecamatan simpang jernih kabupaten aceh
timur yang mengkosumsi hasil daging hewan yang diburu dengan senjata api sehingga
mereka sangat bertolak belakang dengan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013 yang
menyatakan bahwa hukumnya haram mengkosumsi daging hewan yang ditembak dengan
dengan peluru. Berburu mempunyai tata cara dan syarat-syarat tertentu maka dari itu tidak
boleh sembarangan dalam melakukan pemburuan terhadap hewan karna harus sesuai
dengan syari’at Islam. Dengan adanyan pendapat Fatwa Mpu Aceh tersebut kita dapat
mengetahui dan bisa menjadikan pedoman.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan kesehatan,kejernihan pikiran, dan waktu lepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri dauladan ummat yang
telah melakukan refomasi-refomasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, semoga kita
selalu dapat meneladaninya dan memperoleh syfaaNya di yaumil mahsyar,Amiin..
Syukur Alhamdulillah, dengan taufiq dan hidayahNya,penulis dapat menyelesaikan
tugas yang penting ini sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan yang ada pada
penulis, untuk melengkapi syarat dalam penyelesai progam kuliah dengan mangajukan
skripsi dan mengangkat judul :‛ HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG
DIBURU DENGAN MENGGUNAKAN SENJATA API BERDASARKAN FATWA MPU
ACEH NO 06 TAHUN 2013 (Studi Kasus Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih
Kabupaten Aceh Timur)
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari tidak terlepas dari berbagai
kendala. Namun karena dukungan dan kesungguhan, kamauan, doa serta bantuan dari
berbagai pihak yang bersifat materi maupun inmateri, hingga penulisan ini dapat juga
dirampungkan. Oleh karena itu, sangat layak dan patut sekali apabila penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus ikhlas kepada semua pihak yang telah
membantu menulis. Untuk penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya.
1. Kepada ibu (Halimah) dan ayah (Azhar) orang tua saya yang sangat sanyangin yang
telah banyak memberikan dukungan penuh dan kasih sayang yang tak terhingga atas
semua pengorbanan kepada penulis, mendidik, menuntun, menyayangi serta
menyekolahkan penulis sampai kepada penguruan tinggi.
2. Kepada saudara-saudara saya terkhususnya adek-adek saya Santriani, Anwar Ariga,
Puteri Diana dan Aan Shori Ariga yang selama itu telah menjadi keluarga yang terbaik
3. Ibu Fatimah Zahara, MA sebagai Ketua Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah, UIN SU,
yang telah menyetujui dan memberikan kemudahan kemudahan dalam pelaksanaan
penelitaian, juga mendidik menulis di Fakultas Syari’ah UIN SU, sehingga dapat
menyelesaikan studi pada progam Sarjana(S.1).
4. Bapak Dr. Mustafa Kamal Rokan, S. HI, MH dan bapak Zaid Alfauza Marpaung. MH
yang telah memberikan saran saran dan ilmu untuk penulis.
5. Dan tidak lupa kepada para sahabat-sahabat penulis khususnya pada Rika Isnaini,
Nurlela Sihaan, Fauza Qadriah, Mehmed Affandi, Nuyanti Sirait, Kak jannah dan teman
teman seperjuangan lainnya yang telah memberikan doa, dukungan yang sangat berarti
bagi penulis. Penulis ucapan ribuan terima kasih telah menjadi sahabat yang telah
banyak memberikan pelajaran dan kenangan selama perkuliahan ini.
Untuk semua itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat memuaskan
semua pihak. Karenanya apabila terdapat kesalahan atau kekurangan dalam susunan
kata kata ataupun lainya, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para dosen pembimbing yang nantinya ini dapat memcapai
kesempurnaan.
Akhirnya atas segala dan motivasi yang telah diberikan dari semua pihak, dengan
segala kekurangan penulis, penulis tidak dapat memblasnya, hanya penulis memohon
kepada Allah Swt, semoga Bapak dan Ibu serta saudara saudaraku semua selalu
diberikan keberkahan dan pentunjuk dalam menjalani aktivitasnya, selanjutnya penulis
berserah diri, semoga skripsi ini akan ada manfaatnya, terutama bagi penulis sendiri dan
para pembaca seluruhnya.
Wassalam
Medan, 25 Oktober 2017.
Penulis
SITI HAZIZZAH
NIM : 24133082
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan ................................................................................................................ i
Pengesahan ............................................................................................................... ii
Ikhtisar ....................................................................................................................... iii
Kata Pengantar .......................................................................................................... iv
Daftar Isi .................................................................................................................... vii
Daftar Tabel ............................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 11
D. Batasan Istilah .............................................................................................. 12
E. Kerangaka Pikiran ........................................................................................ 13
F. Hipotesis ....................................................................................................... 16
G. Metode Penelitian ......................................................................................... 17
H. Sistematika Penelitian ................................................................................... 21
BAB II HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG DIBURU DENGAN
SENJATA API BERDASARKAN FATWA MPU ACEH NO 06 TAHUN 2016
TENTANG STUNNING, MERACUNI, MENEMBAK HEWAN DENGAN
SENJATA API DAN KAITANNYA DENGAN HALAL HEGIENIS
A. Hukum mengkonsumsi hewan buruan ................................................. 23
B. Mengkonsumsi hewan buruan menurut Fatwa MPU Aceh
No 06 Tahun 2013 ............................................................................... 34
BAB III PELAKSANAAN BERBURU DENGAN SENJATA API DAN LETAK
GEOGRAFIS DESA SIMPANG JERNIH KECAMATAN SIMPANG
JERNIH KABUPATEN ACEH TIMUR
A. Kondisi desa simpang jernih ................................................................. 39
1. Sejarah desa simpang jernih ........................................................... 39
2. Demografi ....................................................................................... 39
3. Keadaaan sosial .............................................................................. 40
4. Pendidikan ...................................................................................... 41
5. Keagamaan ..................................................................................... 43
6. Kesehatan ...................................................................................... 44
7. Keadaan ekonomi ........................................................................... 44
8. Keadaan hutan desa simpang ......................................................... 44
9. Budaya ........................................................................................... 45
B. Pelaksanaan berburu dengan senjata api ............................................. 46
BAB IV HUKUM DAGING HEWAN YANG DIBURU DAN FAKTOR- FAKTOR
PENYEBAB TIDAK TERLAKSANANYA FATWA MPU ACEH NO 06 TAHUN 2013
A. Syarat-Syarat Orang Yang Berburu ....................................................... 52
B. Penyebab Tidak Terlaksananya Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013 .. 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 61
B. Saran-Saran ........................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAT HIDUP
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengkonsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga
memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang
melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional
adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus
memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.1
Berburu disebutkan dalam bahasa Arab bahwa berburu itu adalah as-sad,
bentuk masdarnya ‚sada‛ yang berarti mengambil atau Menangkap hewan yang
halal yang masih liar secara alami yang sulit ditangkap kecuali dengan cara tertentu.
Hewan buruan terdiri dari dua macam, yaitu: pertama, buruan hewan air yaitu,
1
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi, (Jakarta: Khalifa: Pustaka Al-Kautsar Group, 2006),
h. 132.
hewan yang hidup di dalam air, seperti ikan dan lain lain dari jenis hewan air
lainnya. Kedua, buruan hewan darat, yaitu hewan yang hidup didarat bermacam-
macam jenisnya2
. Berburu itu boleh apabila tidak membuat mudharat orang lain,
misal-misalnya menyebabkan rusaknya tanaman mereka atau menyebabkan mereka
menjadi gelisah dirumah atau tujuannya hanya untuk main-main, dan apabila tidak
demikian maka hukumnya haram. Surat Al-maidah ayat 2:
دي ول ٱللل ر ٱلرام ول ٱل ول ٱلشذ ا شعئر ٱللذ ا ل تل يو ءاني ا ٱلذ حأ ج ٱلرام ي ئد ول ءانن ٱ
إوذا خللتم ىاا م ورضو ب نو رذ ول يرنيذكم شن يبتغن فضلا ومم نو فٱصطادوا ن صد
أ ن ان ك
ثم وٱل ٱل لع ا ول تعاوى ى وٱتلذل ب
لع ٱل ا وتعاوى ن تعتدوا ٱلهسجد ٱلرام ن إنذ ٱللذ ا ٱللذ ل عدون وٱتذ
٢ٱلعلاب شديد
Artinya : ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
2
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam,
(Jakarta: Ummul Qura, 2014), h. 938.
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah: 2)3
.
Surat Al-Maidah ayat 2 menerangkan secara umum mencakup buruan laut
dan buruan darat, dalam ayat ini diterangkan secara terperinci bahwa berburu di
laut dan di darat dibolehkan dan halal memakan hasil buruan itu dengan ketentuan
bahwa hewan buruan yang halal adalah yang telah dihalalkan syari’at, sedangkan
yang dilarang, maka hukumnya haram pula. Hukum berburu dalam islam adalah
mubah, Allah berfirman.
إرا دههحى فاصطادا
Apabila kalian telah bertahallul (selesai dari ihram), silahkan berburu (QS. Al-
Maidah : 2)4
.
Menjelaskan bahwa seseorang yang telah selesai menunaikan ibadah haji
atau umrah boleh berburu, berburu semua hewan adalah mubah dan dapat di
lalukan oleh setiap orang, kecuali hewan yang diharamkan. Demikian pula berburu
hewan laut dan hewan darat, kecuali dalam keadaan ihram. Berburu yang
dibolehkan adalah berburu yang diniatkan sebagai penyembelihan. Jika tidak
3
Departeman Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahannya (Bandang: Dipenogoro, 2005), h.
106.
4
Ibid. h. 102
demikian, maka berburu menjadi diharamkan karena mengandung niat merusak
dan membunuh hewan tanpa alasan manfaat. Rasulullah telah melarang
membunuh hewan kecuali untuk dimakan, diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Ibnu
Hibban bahwa Rasulullah pernah bersabda:
عثثا نى قحه قحه ي قحم عصف س ا عثثا عج إ ن ا هلل عز جم و ا نقا ية ق ل ا سب إ فال ا
عة.نف
‚barang siapa membunuh burung pipit dengan maksud main-main, niscahaya burung
itu akan mengadu kepada Allah pada hari kiamat sembari berkata;’fulan telah
membunuhku tanpa alasan (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Hibban)‛.5
Orang yang berburu hewan disyaratkan memenuhi persyaratan yang berlaku
bagi orang yang akan menyembelih, yaitu harus muslim atau dari ahli kitab,atau
termasuk orang yang dihukumi seperti ahli kitab, seperti orang majusi dan shani’in.
Diantara pengarahan yang diajarkan islam kepada pemburu ialah agar tidak
bermain-main dalam berburu, dengan melenyapkan nyawa hewan buruan tersebut
tanpa bermaksud untuk memakan atau memanfaatkanya.
Tetapi ada tambahan, yaitu tidak boleh orang berburu itu yang sedang
melakukan ihram haji ataupun umroh, karena pada saat ihram seseorang muslim
5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), h.854
sedang berada dalam kondisi damai sepenuhnya dan aman seutuhnya yang
berpengaruh sangat luas terhadap alam sekeliling, baik terhadap hewan di darat
ataupun burung diangkasa, sekalipun hewan buruan ada didepannya dan dapat
dijankau dengan tangan atau lembingnya (ia tidak boleh menangkapnya). Ia
merupakan ujian dan pendidikan dari Allah untuk membentuk pribadi muslim itu
agar menjadi orang yang tabah dan sabar.
Seseorang pemburu boleh menggunakan alat berupa senjata dan semua
hewan yang dilatih baik itu binatang buas maupun burung-burung pemburu, kedua
macam alat ini disebut dalam hadist :
كهثك ا صثث تق سك فسى هللاا ثى كم، يا صذت ت ع إت ثعهثث انخث قا ل : قال سس ل هللاا ملسو هيلع هللا ىلص : يا
انعهى فا ركش اسى هللاا كم، يا صذت تكهثك ا نز نس فكم. سفعه
Artinya: ‚Dari Abu Tsa’labah Al Khasyani, berkata: Berkata Rasulullah
saw:‛Apa yang engkau kenai dengan panahmu maka sebutlah nama Allah dan
makanlah. Dan apa yang engkau tangkap dengan anjingmu yang terdidik maka
sebutlah nama Allah dan makanlah. Apa yang tertangkap oleh anjingmu yang tidak
terdidik dan sempat menyembelih maka makanlah‛.
Alat berburu berupa senjata, seperti panah, pisau dan sebagainya.
Perangkap tidak termasuk alat berburu, karena perangkap itu tidak berupa senjata
yang dapat membunuh hewan buruan dan makruh hukumnya berburu tujuan untuk
kemewahaan dan permainan belaka, syarat-syarat berburu dengan senjata ialah:
1. Hendaklah senjata yang digunakan untuk berburu itu menembus atau melukai
tubuh binatang buruan, berdasarkan hadist :
ع عذ ات دا جى قال: اسسل هللاا ا قو جش فا ذم ن ؟ قال :
جذم نكى كم يا ركحى. يا ركش جى ا سى هللاا فذز قحى فكه ا. سف عم
Artinya : Dari ‘Adi bin Hatim, berkata : Ya Rasullah sesungguhnya kami telah
memanah (binatang buruan), apakah halal bagi kami? Berkata
Rasulullah:‛Dihalalkan bagimu semua binatang yang kamu sembelih dan yang
telah kamu sebut nama Allah lalu kamu tusuk (dengan senjata) maka makanlah‛
Dilarang menggunakan senjata berat yang dapat merusak dan menghancurkan
tubuh hewan buruan, seperti melontar dengan batu besar, menembak dengan
senjata api atau meriam dan sebagainya, Sehingga hewan buruan tersebut mati
karena luka-luka yang ditimbulkan dan bukan mati karena menembak dengan
senjata api atau alat keras lainya.
2. Hendaklah pemburu membaca ‚bismillah‛ diwaktu melampar atau melepas atau
menikamkan senjata kepada binatang buruan, sesuai dengan hadist ‘Adi bin Hatim
diatas. Menurut mazhab Hanafi : membaca‛basmallah‛ itu merupakan syarat
halalnya hewan buruan untuk dimakan, kecuali jika lupa membacanya. Jika sengaja
tidak membacanya, maka hewan buruan yang didapat itu tidak halal dimakan,
kecuali jika dia masi hidup dan sempat menyembelihnya. Sedang menurut Mahzab
syafi’i hukum menyembelih membaca ‚basmallah‛ itu adalah sunat.6
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka tidak halal hewan yang
ditangkapnya.7
Apabila hewan buruan didapat masih hidup maka binatang itu wajib
disembelih lebih dahulu seperti menyembelih hewan sembelihan biasa. Jika hewan
buruan itu terdapat dalam keadaan sakaratul maut, kemudian mati sebelum sempat
menyembelihnya, maka hewan itu tetap halal dimakan.8
Meurut Hanafiyyah, boleh hukumnya berburu hewan yang ada di darat
maupun yang ada di laut, baik yang boleh dimakan maupun yang tidak boleh
dimakan. Untuk hewan yang boleh dimakan, yang manfaatnya adalah daging dan
segala anggota tubuhnya. Namun untuk yang tidak boleh dimakan, perburuannya
dilakukan untuk memanfaatkan kulit, bulu, dan tulangnya, atau untuk mencengah
bahaya yang ditimbulkan dari hewan tersebut.9
6
Proyek Pembinaa Penguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat, Ilmu Fiqh, h. 520-521
7
Ibid, h. 856
8
Ibid, h. 523.
9
Zuhaili Wabbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 4, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 353.
Hewan yang dilempar dengan bunduk( anak panah yang terbuat dari tanah
yang keras, seperti tembikar) tidak halal, hukumnya sama dengan di pukul, yang
jelas telah dilarang oleh Al-Qur’an. Adapun yang ditembak dengan peluru yang
terbuat dari besi, timah dan lain-lainya, sebagaimana yang biasa dipakai sekarang,
sebagian ulama berpendapat bahwa menembak dengan peluru tersebut
diperbolehkan dan sebagian ulama tidak memperbolehkannya.10
Ulama mazhab syafi’i menyatakan masalah-masalah yang berkaitan dengan
hewan buruan. Barang siapa yang membunuh hewan buruan, maka dendanya
adalah hewan ternak yang seimbang dengan hewan yang telah dibunuh. Setiap kali
hewan buruan terbunuh, maka hendaknya diperhatikan mana di antara hewan
ternak yang besarnya seimbang dengan hewan buruan tersebut, lalu dijadikan
sebagai tebusan. Begitulah seterusnya, hewan yang besar ditebus dengan hewan
ternak yang besar, dan binatang yang kecil ditebus dengan hewan ternak yang kecil
pula. membunuh hewan peliharaan dengan cara membunuh hewan buruan ada
dua kemungkinan yang terjadi: pertama, kondisinya memungkinkan untuk dibunuh
10
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), h. 473.
secara biasa. Kedua, kondisinya tidak memungkinkan sehingga harus dengan cara
seperti membunuh hewan buruan, yaitu bila hewan itu menjadi liar. Menurut imam
syafi’i setiap orang yang membunuh hewan buruan dengan sengaja harus
membayar denda yang sesuai.11
Di Indonesia sekarang terkhusunya di Desa Simpang Jernih Kecamatan
Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur ini terdapat banyak sekali melakukan
kegiatan berburu hewan dengan menggunakan alat senjata api atau senjatan berat
lainnya yang dilakukan oleh pemburu dan menjual hasil buruan tersebut kepada
masyarakat. Sadar mengenai apa sebenarnya hukum melakukan kegiatan seperti
itu, maka muncul berbagai pertanyaan yang akhirnya ditujukan kepada MPU ACEH
(Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh) selaku Majelis Fatwa yang berkompeten
dalam menanggapi persoalan-persoalan hukum di masyarakat.
Maka Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No 06 tahun 2013
Tentang Stunning, Meracunin, Menembak Hewan Dengan Senjata Api Dan
Kaitannya dengan Halal, Sehat Dan Higienis memutuskan pada poin ke empat
bahwa: Mengkonsumsi daging hewan yang ditembak peluru hukumnya haram.
Hewan buruan termasuk daging yang tidak boleh dikonsumsi karena ditembak oleh
11
Imam Syafi’i, Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), h. 386.
senjata api, dan keputusan ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dilakukan
oleh masyarakat di Desa Simpang Kec. Simpang Jernih Kab. Aceh Timur yang
membeli hasil buruan tersebut dan mengkonsumsinya.12
Dari alasan tersebut ada masalah yang menarik untuk dikaji dan di teliti oleh
penulis, yang ingin menulis tuangkan kedalam sebuah proposal skripsi yang berjudul
‚HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG DIBURU
DENGAN MENGGUNKAN SENJATA API BERDASARKAN FATWA MPU
ACEH NO 06 TAHUN 2013 STUDI KASUS DI DESA SIMPANG JERNIH
KECAMATAN SIMPANG JERNIH KABUPATEN ACEH TIMUR.
B. Perumusan Masalahan
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini nantinya
adalah:
1. Bagaimana hukum mengkonsumsi daging hewan yang diburu dengan
menggunakan senjata api menurut Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013 tentang
Stunning, Meracuni, Menembak Hewan Dengan Senjata Api Dan Kaitannya
Dengan Halal, Sehat Dan Hegienis?
12
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 06 Tahun 2013 Tentang Stunning,
Meracunin, Menembak Hewan Dengan Senjata Api Dan Kaitannya dengan Halal, Sehat Dan
Higienis
2. Bagaimana pelaksanaan berburu dengan senjata api dan letak georafis Simpang
Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur?
3. Hukum Mengkonsumsi Daging Hewan Yang Diburu dengan senjata api Dan
Faktor-faktor yang tidak terlaksananya fatwa MPU Aceh No Tahun 2013 tentang
Stunning, Meracuni, Menembak Hewan Dengan Senjata Api Dan Kaitannya
Dengan Halal, Sehat Dan Hegienis?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan
Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur melalukan kegiatan berburu hewan .
2. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan
Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur tentang hukum mengkonsumsi daging
hewan yang diburu dengan senjata api berdasarkan MPU Aceh No 06 Tahun
2013 Tentang Stunning, Meracunin, Menembak Hewan Dengan Senjata Api
Dan Kaitannya dengan Halal, Sehat Dan Higienis
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat Desa
Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur tidak
Melaksankan fatwa MPU Aceh N0 06 Tahun 2013 Tentang Stunning,
Meracunin, Menembak Hewan Dengan Senjata Api Dan Kaitannya dengan
Halal, Sehat Dan Higienis.
Sejalan dengan tujuan tersebut, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat
memberi kegunaan, antara lain: Sebagai upaya untuk menambah dan memperluas
wawasan dan pengetahuan tentang hukum mengkonsumsi daging hewan yang
diburu dengan senjata api dan menambah ilmu pengetahuan khususnya yang
berkaitan dengan hukum fatwa MPU Aceh No 06 Tahun 2013.
D. Batasan Istilah
Terdapat satu istilah kata yang perlu dijelasankan untuk menghidari kesalah
pahaman tentang judul peneletian ini, yaitu:
Hewan yang diburu ialah hewan-hewan yang menjadi objek buruan; hewan
buas, daratan atau hewan air yang hidup di air. berburu adalah praktik
mengejar,menangkap, atau membunuh hewan liar untuk dimakan, rekreasi,
perdagangan, atau memanfaatkan hasil produknya (seperti kulit, susu, gading dan
lain-lain). Dalam penggunaannya, kata ini merujuk pada pemburuan yang sah dan
sesuai dengan hukum, sedangkan yang bertentangan dengan hukum disebut
dengan perburuan liar. Hewan yang disebut sebagai hewan buruan biasanya
berupa mamalia berukuran sedang atau besar, atau burung.13
Fatwa MPU Aceh itu ialah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dibentuk
di Aceh/kabupaten/kota. Adapun organisasi MPU terdiri dari Pemimpin, Sekretariat,
Dewan Paripurna Ulama dan komisi-komisi. Fungsi MPU Aceh ada dua yaitu
sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan
daerah (eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan
kebijakan daerah, baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan
kemasyarakatan serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang islami.14
E. Kerangka Pemikiran
Hewan yang diperkenankan diburu itu adakalanya berupa hewan yang halal
dimakan dagingnya, dan adakalanya yang berupa hewan yang tidak halal dimakan
dagingnya. Apabila hewan yang diburu itu berupa hewan yang tidak halal dimakan
dagingnya, maka ia boleh diburu sebagaimana ia boleh dibunuh agar terhindar dari
perbuatan jeleknya (amukkannya). Begitu pula hewan tersebut boleh diburu untuk
diambil manfaatnya, misalnya diambil gigi dan bulunya.
13
Syaikh Abu Bakar, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian Seseorang Muslim (Jakarta:
Ummul Qura, 2016), h.938.
14
Ibid, h. 63.
Dan apabila hewan yang diburu itu berupa hewan yang halal dimakan
dagingnya, maka ia boleh diburu dengan beberapa syarat, antara lain:
1. Hewan yang menurut tabiatnya liar (tidak jinak) yang tidak seorangpun sanggup
menangkapnya di waktu malam maupun siang, ia halal diburu, misalnya : kijang
liar, keledai liar, lembu liar, benteng, kelinci liar dan sesamanya, meskipun
pernah jinak tetapi kemudian menjadi liar lagi. Kalau hewan tersebut terus
menerus jinak maka tidak halal dagingnya kecuali di sembelih biasa. Adapun
hewan yang jinak menurut tabiatnya, seperti unta, lembu, kambing dan
sesamanya, maka tidak boleh dimakan dengan berburu (dibunuh seperti hewan
buruan), tetapi harus disembelih menurut syara’(sembelihan nahr/biasa).
Dan apabila dari hewan-hewan jinak tersebut kemudian menjadi liar,
misalnya unta, lembu atau kambing yang lepas, dan tidak dapat ditangkap dan
disembelih, maka ia boleh (halal) dimakan dengan disembelih ‘aqr’ yakni
disembelih dengan cara melukai bagian tubuhnya dengan anak panah, dengan
syara :
a. Dapat mengalirkan darahnya.
b. Seseorang dapat membunuhnya dengan melukainya.
c. Dia bermaksud menyembelihnya.
d. Dia sudah patut melakukan penyembelihan.
Seperti halnya hewan tersebut di atas, hewan yang jatuh ke dalam sumur dan
dapat disembelih pada bagian penyembelihannya boleh dan halal di makan dengan
melukai dengan anak panah di bagian manapun dari badan hewan tersebut.
Sembelihan inilah yang di sebut sembelihan darurat.
a. Hewan itu berupa hewan kuat yang tidak dapat dikuasai. Hewan yang dapat
dikuasai (jinakkan) tidak boleh dibunuh (sembelih) seperti hewan yang diburu,
sebab dia adalah hewan jinak misalnya ayam, itik, angsa dan merpati jinak.
Kalau merpati dari gunung maka ia boleh dibunuh (disembelih) seperti hewan
buruan, karena dia termasuk hewan liar.
b. Hewan tersebut tidak milik orang lain.
c. Tidak berkuatan dengan gigi taringnya atau kukunya (cakarnya) seperti anjing
hutan, singa, burung nasar dan lainya sebagaimana dari beberapa hewan yang
tidak halal dimakan
d. Hewan itu ditemukan dalam keadaan sudah mati.
Apabila ia ditemukan masih dalam keadaan hidup, maka tidak boleh
dimakan kecuali dengan di sembelih, seperti yang telah dijelaskan dalam madzhab
masing-masing. Mengenai alat berburu yang berupa senjata (benda mati) ditetapkan
beberapa syarat, diantaranya ialah :
2. Ia mengenai (melukai hewan buruan dengan bagiannya yang tajam atau bagian
matanya). Apabila seseorang pemburu melepaskan pisau, pedang, bayonet atau
anak panah kemudian mengenai hewan buruan dengan bagian yang tajam atau
bagian matanya hingga mati, maka hewan itu halal.
Adapun apabila mangenai dengan bagian tengahnya ( yang tidak tajam atau
bagian belakang) sehingga hewan buruan mati karena beratnya hantaman dan tidak
sempat disembelih, maka hewan buruan tersebut tidak halal. Misalnya seseorang
pemburu melemparkan sebuah tongkat kayu, atau batu yang tiada tajam padanya
ke arah hewan buruan hingga mati maka hewan tersebut tidak halal. Begitu pula jika
si pemburu memasang perangkap atau jaring kemudian alat tersebut mampu
mencekiknya hingga mati sebelum disembelih maka hewan tersebut tidak halal.
Juga apabila seseorang pemburu menembak hewan buruan dengan peluru timah
atau mimis burburu hingga hewan itu mati maka hewan tersebut tidak halal.15
15
Abdulrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, (Semarang: Asy Syifa,1994), h.27-30.
F. Hipotesis
Setelah mencermati pembahsan yang ada, penulis dapat mengambil atau
kesimpulan yang bersifat sementara Hukum Mengkonsumsi Daging Hewan Yang
Diburu Dengan Senjata apai Berdasarkan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013
yang terdapat Di Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabubaten Aceh
Timur jika masyarakat berburu hewan dengan alat senjata api itu tidak boleh
dimakan ataupun diperjual belikan.
Namun hal ini masih merupakan anggapan sementara yang memerlukan
pembahasan dan penelitian lebih lanjut untuk dapat diketahui secara pasti.
G. Metode Penelitian
Yang dimaksud dengan metode penelitian adalah strategi umum yang dianut
dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan. Dari segi hukum dapat
diartikan suatu gejala masyarakat(social feit) yang mempunyai segi ganda, yakni
kaidah/norma dan perilaku (yang ajeg atau unik/khas). Namun dari sisi keilmuan,
hukum merupakan objek penyelidikan dan penelitian sebagai disiplin keilmuan
sehingga dikatakan bahwa hukum adalah ilmu bersama.Pembagian jenis peneletian
hukum berdasarkan fokus penelitian dibagi menjadi beberapa jenis yaitu, penelitian
hukum normatif, dan hukum normatif-empiris, penelitian hukum emperis yang
dibagi berdasarkan fokus penelitiannya. 16
Guna menjawab persoalan yang dihadapi,
dan ajaran mengenai metode-metode yang digunakan dalam proses penelitian.
Penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan melakukan
verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau suatu pengetahuan dengan
memakai metode-metode ilmiah.17
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan penulis dalam skripsi ini adalah
penelitian yuridis. Dimana data yang ditemukan dan disimpulkan dari sebuah
eksperimen atau penelitian lapangan. Penelitian lapangan ini dilalukan dengan
mengobservasi dan melaukan wawancara kepada narasumber dan bersangkutan
untuk mendapat data-data yang benar.
2. Pendekatan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah atau tujuan penelitian, penelitian ini
menggunakan pendekatan kuatitatif, kuantitatif adalah jenis penelitian dengan
data-data yang tidak diperoleh dan dibuat melalui prosedur kuantifikasi,
perhitungan statistik atau bentuk cara-cara lainya yang mengunnakan ukuran dan
16
Sunaryati Hartono, penelitian Hukum Di Indonesia, Cet.1 (Bandung: Penerbit Alumni,
19940, h. 74
17
Syahrum, Metodologi penelitian,(Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 113
bertujuan untuk memahami objek yang diteliti secara mendalam. Alasan lain
menggunakan pendekatan ini adalah karena dengan pendekatan ini maka penulis
dapat menemukan dan memahami apa yang sebenarnya terjadi yang kadangkala
merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan sebagai skripsi penalitian lapangan (kuantitetif)
mengenai hukum mengkonsumsi daging hewan buruan di Desa Simpang Jernih
Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur. Penulis mengadakan
penelitian disini dengan pertimbangan bahasa belum pernah dilakukan penelitian
di Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur
dengan permasalahan yang sama.
4. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dari penelitian ini tidaklah ditemukan berapa jumlah
keseluruhannya. Adapun yang termasuk dalam populasi ini adalah pihak-pihak yang
terkait dengan pelaksanaan hukum mengkonsumsi daging hewan buruan.
Dikarenakan banyaknya jumlah populasi dalam penelitian ini, maka semua populasi
tersebut tidak dikaji secara keseluruhannya.
b. Sampel
Penulis menggunakan metode purposive dalam penelitian ini. Metode ini
merupakan pengambilan data berdasarkan tujuan dan pertimbangan tertentu, yaitu
merupakan ciri-ciri utama dari objek yang akan diteliti dan penentuan karakteristik
dari populasi yang akan diteliti.
5. Instrumen Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu data yang dikumpulkan
berdasarkan interaksi langsung antara pengumpul data yaitu penulis dan sumber
data yaitu pihak-pihak yang terkait dengan objek yang akan diuji. Dan juga dari
beberapa dokumen-dokumen lain yang terkait dengan pembahasan yang akan
diteliti
6. Teknis Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini penulis
menggunakan beberapa metode, yakni:
a. Interview, yakni pengumpulan data dengan cara bertanya langsung(tanya jawab)
baik secara lisan maupun tulisan kepada pihak-pihak yang terkait.
b. Dokumentasi, yakni pengumpulan data dengan cara menghimpun data yang
berasal dari dokumen-dokumen pihak-pihak terkait dan sumber lainya yang
berkaitan dengan masalah hukum mengkonsumsi daging hewan buruan yang akan
dibahas.
7. Analisis Data
Setelah data terkumpul maka dilaksanakan sebuah analisis penelitian ini
menggunakan dua metode analisis. Adapun dua metode tersebut adalah:
a. Deduktif, yaitu mengumpulan data yang diambil dari teori yang bersifat umum,
selanjutnya dikemukakan kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus. Metode ini
dugunakan untuk memberi bukti-bukti khusus sesuai dengan pengertian umum
sebelumnya. Sehinngga penulis dapat mengkaji, menganalisis dan menjeskan
tentang hukum mengkonsumsi daging hewan buruan.
b. Deskriptif analisis, yaitu mengambarkan atau melukiskan secara sistematis,
faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dari objek yang sedang diteliti,
kemudian diuji bagaimana hukum mengkonsumsi daging hewab buruan ditinjau
dari Fatwa Mpu Aceh.
H. Sistematika Pembahasan
Agar dalam pembuatan skripsi ini bisa terarah dan sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh penulis, maka di susunlah sistematika pembahasan yang terbagi
dalam satu bab yang terdiri atas sub sebagai berikut:
Bab Pertama : Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan istilah, kerangka pikiran, hipotesis, metode
penelitian.
Bab Kedua : Gambaran umum keadaan di Desa Simpang Jernih Kecamatan
Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur dengan pembahasan yaitu keadaan
geografis, keadaan demografis.
Bab Ketiga : Landasan umum tentang Mengkonsumsi dan Hewan Buruan.
Bab Keempat : Membahas tentang hukum mengkonsumsi daging hewan
buruan di Desa Simpang Jernih Kecamtan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur
yang terdiri dari pelaksanaa kegiatan berburu hewan yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh
Timur dan faktort-faktor apa yang menyebabkan tidak terlaksananya Fatwa MPU
Aceh No 06 Tahun 2013 yang di tinjau dari Fiqih, dan analisis data.
Bab Kelima : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
HUKUM MENGKONSUMSI DAGING HEWAN YANG DIBURU
DENGAN MENGGUNAKAN SENJATA API BERDASARKAN FATWA MPU
ACEH N0 06 TAHUN 2013 TENTANG STUNNING, MERACUNI,
MENEMBAK HEWAN DENGAN SENJATA API DAN KAITANNYA
DENGAN HALAL DAN HEGIENIS
A. Hukum mengkomsumsi hewan buruan
Secara syar’i hewan buruan adalah hewan yang halal diburu, bertabiat liar,
tidak dimiliki dan diluar kekuasaan. Hewan buruan itu disyariatkan dan
mubah(halal), berdasarkan Firman Allah:
ش ى غ ك ه ع ه ح ا لا ي او إ ع ة ال ى ت ك ا ث ن ه د أ د ق ع ان ا ت ف ا أ آي ز ا ا ان ا أ
ذ ش ا ى ي ك ذ ا للاا و إ ش ى د ح أ ذ انصا ه ذ ي
Artinya: Dihalalkan bagi kalian hewan ternak, kecuali (hewan hewan yang
diharamkan) yang akan dibacakan kepada kalian (didalam Al-Qur’an)
yang demikian itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian
sedang mengerjakan haji.(Al-Maidah:1).18
18
Ali Bin Muhammad Nashir Al-Faqiha, Fikih Muyassar Panduan Praktis Fikih Dan Hukum
Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2015), h. 652.
Mengkonsumsi daging hewan yang diburu itu pada dasaranya halal, kecuali
hewan yang tidak boleh dimakan seperti hewan buas. Hewan buruan yang
diperbolehkan untuk dikomsumsi dagingnya oleh masyarakat, khususnya bagi
orang-orang yang berimam. Jenis hewan yang dinyatakan tegas halal dalam Al-
Quran adalah hewan ternak, hewan buruan dan hewan yang berasal dari laut.
1. Tujuan mengkonsumsi
Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan
terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusian didalamnya, baik
kegiatan ekonomi maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam
ekonomi apa yang disebut dengan teori : Konsumen adalan raja‛. Di mana teori ini
mengatakan bahwa segala keinginan mereka sesuai kadar relatifitas perekonomian
untuk memenuhi keinginan mereka sesuai kadar relatifitas tersebut. Bahkan teori
tersebut berpendapat bahwa kebahagian manusia tercermin dalam kemampuannya
mengkonsumsi apa yang diinginkan. Sedangkan dalam ekonomi islam , konsumsi
dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam
merealisasikan tujuan yang di kehendaki Allah Ta’ala dalam penciptaan manusia,
yaitu merealisasikan pengabdia sepenuhnya hanya kepada-Nya. Tujuan konsumsi
seorang muslim yaitu sebagai sarana penolong dalam beribadah kepada Allah.
Dalam hal ini Umar Radhiyallahu Anhu berkata : ‚ Hendaklah kamu sederhana
dalam makanan kamu karena sesungguhnya kesederhanaan lebih dekat kepada
kebaikan lebih jauh dari pemborosan dan lebih menguatkan dalam beribadah.
Sebagaimana Umar juga memberikan pentunjuk kepada sebaagian sahabat agar
memperlonggar terhadap dirinya dalam mengkonsumsi hal-hal yang baik, dan
berpendapat bahwa demikian itu akan lebih menguatkan dalam melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam kehidupan.
Pada sisi lain, bahwa jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan
Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah
memberikan nikmat kepada hamba-hambaNya, maka Dia senang bila tanda nikmat-
Nya terlihat kepada hamba-hambaNya. Sesungguhnya mengkonsumsi seusatu
dengan niat untuk menambah stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah
adalah yang menjadikan pengkosumsian itu sendiri sebagai ibadah, yang seorang
muslim akan mendapatkan pahala padanya. Sebab hal-hal yang mubah bisa
menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri kepada Allah, seperti makan, tidur
dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdian kapada
Ilahi.
Para Fuqaha juga berpendapat bahwa hukum berburu adalah mubah, jadi
hewan ditangkap oleh pemburu tentu saja boleh dikonsumsi. Memburu hewan atau
membunuh hewan yang tujuannya bukan untuk dikonsumsi dilarang oleh syara,
karena perbuatan itu merusak lingkungan hidup dan suatu perbuatan yang tidak
bermanfaat, berdasarkan Hadits:
هىع ات عثسا ا انث ملسو هيلع هللا ىلص قم : ل جحخز ا شا ء ف انش دز. سا س
Dari Ibnu Abbas Bahwasanya nabi Saw bersabda‛janganlah kamu mencabut
roh pada seekor hewan tanpa tujuan yang sesuai dengan ketentuan syara‛.
Fuqaha juga berpendapat cara penyembelihan yang di khususkan bagi
hewan buruan adalah pelukaan (al-aqr). Kemudian terjadi silang pendapat yang
banyak tentang syarat-syarat penyembelihan tersebut. Dan jika kita perhatikan
pokok-pokok silang pendapat, selain syarat-syarat yang di persyaratan pada alat
berburu dan orang yang berburu, maka akan kita dapatkan delapan syarat. Dua
syarat terdapat pada kedua macam penyembelihan, yakni pemyembelihan terhadap
hewan buruan dan terhadap hewan bukan buruan, yakni syarat niat dan
penyebutan nama Allah, sedangkan enam syarat khusus berkenaan dengan masalah
penyembelihan( yakni penyembelihan hewan buruan)
1. Bahwa apabila alat berburu atau hewan pemburu yang mengenai hewan buruan
tidak menembus organ vitalnya. Maka dalam hal ini hewan tersebut harus
disembelih sebagaimana penyembelihan terhadap hewan jinak, apanila ia dapat
dikuasai sebelum mati yang disebabkan oleh luka-luka yang ditimbulkan oleh
hewan pemburu atau karena pukulan. Sedang apabila dapat menembusnya,
maka penyembelihan tidak diwajibkan, meski dalam hal in dianjurkan.
2. Perbuatan yang dikenakan terhadapt hewan buruan harus dimulai dari organ
yang berburu, bukan dari lainnya, yakni bukan dari alat, seperti yang dilakukan
dengan perangkap(jerat), dam bukan pula dari hewan pemburu sebagaimana
halnya hewan buruan yang di tangkap oleh anjing yang pergi atas kehendak
sendiri.
3. Dalam hal melukai hendaknya hewan pemburu itu tidak dibantu oleh pihak-
pihak yang pelukaan tidak dianggap sebagai penyembelihan.
4. Bahwa orang yang berburu tidak boleh ragu-ragu tentang macam hewan yang
dikenainya, yakni pada saat hewan tersebut hilang dari pandangannya.
5. Hendaklah hewan buruan tersebut dalam keadaan tidak dapat ditangkap pada
saat melepaskan( hewan pemburu atau alat berburu).
6. Hendaklah kematian hewan buruan itu bukan karena takut terhadap hewan
pemburu dan bukan pula lantaran sangat terkejut terhadap hewan buruan.19
Hewan buruan yang mubah dan yang tidak mubah. Hewan buruan itu
seluruhnya mubah, baik hewan darat maupun laut, kecuali dalam beberapa
keadaan: pertama, hewan buruan yang ada ditanah haram, bagi muhrim dan
selain muhrim adalah haram dan ini adalah ijma’,berdasarkan sabda Rasulullah
saat Fathu Makkah. Sesungguhnya negeri ini telah Allah haramkan pada hari
ketika dia menciptakan langit dan bumi.durinya tidak boleh dipangkas dan hewan
buruannya tidak boleh diusir. Kedua, seorang yang muhrim diharamkan untuk
memburu hewan buruan darat atau membantu perburuannya dengan
menunjukkan atau mengisyaratkan atau yang sepertinya, berdasarkan Firman
Allah.
19
Muhammad Bin Shalih Al-Utsalmin, Halal Dan Haram Dalam Islam,(Jakarta Timur:
Ummul Qura, 2014), h. 857.
ىعم إلذ نا حتل هث ٱل خلذج لكم ة
ن ةٱلعلد ا وف
ن ا يو ءاني ا ٱلذ ح
أ كم ي د غي نل مل ٱلصذ
يكم نا يريد إنذ ٱللذ ىتم خرم ١ون
Dan diharamkan atas kalian (menangkap) hewan buruan darat, selama kalian
sedang ihram.‛Al-Maidah: 96.20
Hewan buruan yang haram, Firman Allah:
ها خرذم إ فهو ٱضطرذ جذ لذ ةۦ لغي ٱللذم ولم ٱلزنير ونا ن تث وٱدلذ كم ٱله ةاغ ول عد فل غي نل
غفر رذخم إنذ ٱللذ ١٧٣إثم نل
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi,dan hewan yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Namun ,
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Seseungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Al-Baqarah [2];
173).21
20
Ali Bin Muhammad Nashir Al-Faqihi, Fikih Muyassar Panduan Praktis Fikih Dan Hukum
Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2015), h. 652-65.
21
Hasaan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi Dan Diqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers,
2008), h. 265.
Haram daging hewan yang mati tidak disembelih. Firman Allah:
ةۦ لذ لغي ٱللذ ن م ٱلزنير ونا م ول تث وٱدلذ كم ٱله كذة وٱله خرنج نل تديث وٱلهيخيلث وٱله
زل ا ةٱل ن تستلسه
تم ونا ذةح لع ٱنلصب ون تع إلذ نا ذكذ كل ٱلسذ
م وٱنلذطدث ونا ن ٱل لكم فسق م ذ
ك م ن ن ٱل م وٱخش يو كفروا نو دييكم فل تش كم يئس ٱلذ تههج نل
هلج لكم دييكم وأ
غ ثم فإنذ ٱللذ ا فهو ٱضطرذ ف مهصثأ غي نتجاىف ل كم ٱلسلم دييا ٣فر رذخم ىعهت ورضج ل
Diharamkan bagimu(memakan) bangkai, darah, daging babi(daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk dan terkam hewan buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (QS Al-Maidah [5:3]}
Syarat dihalalkannnya hewan buruan. Agar hewan buruan menjadi halal,
maka ia menembuskan keberapa syarat, dan syarat ini berlaku untuk pemburu dan
alat berburunya. Pertama: Syarat pemburu. Disyaratkan pada pemburu yang
dihalalkan memakan hasil buruannya segala sesuatu yang disyaratkan pada
penyembelihan, yaitu; muslim atau ahli kitab dan berakal, maka hasil buruan orang
gila atau pemabuk tidak halal, karena keduanya tidak kapabel, dan tidk halal juga
hasil buruan orang Majusi, penyembelihan berhala, atau orang murtad, karena
status pemburu itu berkedudukan sama dengan penyembelihan.
Adapun hewan yang tidak memerlukan sembelihan, seperti ikan dan
belalang, maka ia tetap halal sekalipun yang menangkapnya bukan orang yang halal
sembelihannya. Hendaknnya pemburu sengaja berburu, karena melepaskan alat
berburu dan melespakan hewan pemburu disamakan kedudukannya dengan
sembelihan, maka harus ada niat dan maksud. Kedua: syarat orang berburu.22
Hukum mendapatkan hewan buruan dalam keadaan hidup. Imam Malik
memakruhkan berburu yang dimaksudkan sebagai suatu kemewahan. Mengenai
masalah ini, di kalangan pengikut Imam Malik yang terkemudian (al-muta’akhkhirin)
terdapat rincian pembicaraan yang dapat diringkaskan sebagai; bahwa bagi
sementara orang berburu itu wajib, bagi lainnya haram, bagi lainnya lagi sunnat,
dan bagi sebagian lainnya makruh. Mengenai hewan yang diburu, fuqaha telah
sependapat bahwa dari hewan laut adalah ikan daan segala jenisnya, sedang dari
hewan darat adalah hewan yang halal dimakan dan tidak jinak (yakni hewan liar).
kemudian mereka berselisih pendapat tentang hewan jinak yang kemudian menjadi
liar, sehingga tidak seorang pun sanggup menangkap dan menyembelihan. Imam
22
Ibid, h. 83.
Malik berpendapat bahwasanya tidak boleh dimakan kecuali hewan yang tidak
dapat disembelih nahr, bagi hewan yang harus disembelih nahr, atau dapat
disembelih biasa, bagi hewan yang harus disembelihnya biasa; atau dapat
disembelihnya dengan salah sau dari dua macam cara penyembelihan tersebut.
Bila pemburu mendapatkan hewan buruan dalam keadaan hidup,maka ia
wajib disembelih, tanpanya ia tidak halal. Adapun bila hewan buruan didapatkan
dalam keadaan sudah mati maka ia boleh dimakan tanpa disembelih.23
Hewan mati
setelah terkena sasaran, misalnya: seorang pemburu membidik hewan buruan dan
kena, setelah itu hewan tersebut masih bisa berlari kemudian ditemukan dalam
kondisi sudah mati, hukumnya halal dengan tiga syarat dibawah ini; pertama, tidak
jatuh dari gunung atau ditemukan di air karena kemungkinan hewan tersebut mati
karena jatuh dari ketinggian atau tengelam. Kedua, si pemburu tahu bidikannya
itulah yang membunuh hewan tersebut; tidak ada bekas bidikan orang lain atau
hewan lain. Ketiga: hewan buruan tidak rusak sampai pada tingkat membusuk,
sebab saat itu sudah termasuk dalam katagori kotoran membayakan yang nilai jijik
oleh fitrah. Cara dan syarat dalam penyembelihan hewan buruan.
23
Muhammad Bin Shalih Al-Utsalmin, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Jakarta Timur:
Ummul Qura, 2014), h. 857.
Fuqaha telah berpendapat bahwa cara penyembelihan yang di khususkan
bagi hewan buruan adalah pelukaan (al-aqr). Kemudian terjadi silang pendapat
yang banyak tentang syarat-syarat penyembelihan tersebut. Dan jika kita perhatikan
pokok-pokok silang pendapat, salian syarat-syarat yang dipersyaratkan pada alat
berburu dan orang yang berburu, maka akan kita dapatkan delapan syarat. Dua
syarat terdapat pada kedua macam penyembelihan, yakni pemyembelihan terhadap
hewan buruan dan terhadap binatang bukan buruan, yaitu syarat niat dan
penyebutan nama Allah, sedangkan enam syarat lainnya khusu berkenaan dengan
masalah penyembelihan ini (yakni penyembelihan hewan buruan)
1. Bahwa apabila alat berburu atau hewan pemburu yang mengenai hewan buruan
tidak menembus organ vitalnya, maka dalam hal ini hewan tersebut harus
disembelih sebagaimana penyembelihan terhadap hewan jinak, apabila ia dapat
dikuasai sebelum mati yang disebabkan oleh luka-luka yang ditimbulkan oleh
hewan pemburu atau karena pukulan. Sedang apabila dapat menembusnya,
maka penyembelihan tidak diwajibkan, meski dalam hal ini diajurkan.
2. Perbuatan yang dikenakan terhadap hewan buruan harus dimulai dari organ
yang berburu, bukan dari lainya, yakni bukan dari alat, seperti yang dilaukan
dengan perangkap(jerat), dan bukan pula dari hewan pemburu sebagaimana
halnya hewan buruan yang ditangkap oleh anjing yang pergi atas kehendak
sendiri
3. Dalam hal melukai hendaknya hewan pemburu itu tidak dibantu oleh pihak-
pihak yang pelukaanya tidak dianggap sebagai penyembelihan.
4. Bahwa orang yang berburu tidak boleh ragu-ragu tentang macam hewan yang
dikenainya, yakni pada saat hewan tersebut hilang dari pandagannya
5. Hendaklah hewan buruan tersebut dalam keadaan tidak dapat ditangkap pada
saat melepakan (hewan pemburu atau alat berburu).
6. Hendaklah kematian hewan buruan itu bukan karena takut terhadap hewan
pemburu dan bukan pula lantaran sngat terkejut terhadap hewan pemburu itu.
B. Mengkonsumsi hewan menurut Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013.
Definisi mengkonsumsi yaitu penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia sedangkan menurut para penelitian ekonomi islam tidak
berbeda dengan definisi tersebut. Akan tetapi kesamaan definisi tidak berati
kesamaan dalam setiap meliputi kebutuhan seseorang muslim dan keinginannya
berbeda harus halal sebagaimana kebutuhan dan keiginannya tersebut juga harus
benar sesuai syariah. Begitu juga mengkonsumsi hewan harus sesuai dengan
syariah.
Agama Islam membimbing umatnya untuk menyayangi hewan sembelihan,
penyembelihan hewan adalah memutuskan hulqum( tempat berjalan nafas), mari (
tempat berjalan makanan), dan wadajaain (dua urat nadi) dari hewan yang halal
dimakan. Rasulullah bersabda :
إاهلل كحة اإل دسا عه كم شء . فإ را قحهحى فأدسا انقحهة. إرا رتذحى فأدسا انز تخ.
نذذ ادذ كى شفشج. فهشح رتذح
Artinya : sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu.
Apabila engkau membunuh, maka hendaklah membunuh, maka hendaklah
membunuh dengan cara yang baik, dan jika engkau menyembelih, maka
sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah seseorang menajamkan hewan
sembelihannya itu.24
Dalam ekonomi islam, mengkonsumsi dinilai sarana wajib bagi seorang
muslim, salah satu syarat penting ialah makanan yang dimakan halal. penduduk
Republik indonesia termasuk Provinsi Aceh Mayoritas Muslim. Oleh karena itu
24
Hadits Shahih: (irwaa-ul Ghaliil( no. 2540) Dari Risalah Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun
2013.
makanan yang dikonsumsi harus halal dan hal ini tidak menjamin konsumsi pengan
terjamin halal. Seperti mengkonsumsi hewan dengan cara pemingsangan tanpa
disembelih terlebih dahulu. Sejak November 2011, seiring dengan perkembangan
tenoklogi, muncullah beragam model penyembelihan. Metode Stunning atau
penyembelihan dengan cara melemahkan hewan sebelum disembelih atau metode
pemingsangan yang sering dilakukan untuk berbagai jenis hewan yang biasanya
digunakan metode penembakan atau pemukulan pada bagian kepalanya. Dengan
pistol dan peluru khusus proses penembakan ini dilakukan pada ukuran kaliber yang
berbeda-beda sesuai dengan besar kecilnya ukuran hewan, metode ini dikenal
dengan capvital bolt pistol. Macam-macam metode ini sama sekali tidak sesuai
penyembelihannya dengan ketentuan hukum islam atau standar penyembelihan
syar’i. Smith Rebecca dari Vegetarians Internasional Voice For Animals‛VIVA‛
menyatakan bahwa penyembelihan islami lebih baik dari cara penyembelihan non
islami termasuk stunning,meracuni dan menembak hewan dengan dengan peluru.
Hewan penyembelihan stunning ini lebih merasa sakit dan dagingnya lebih banyak
mengandung darah, dan adapun meracunin hewan sehingga mati terdapat virus
dan bakteri sedangkan penembakan hewan dengan peluru tajam diperselisihkan
ulama tentang hukumnya. Sebagian ulama tidak membolehkannya karena peluru
tajam terbuat dari timah. Sementara ulama yang lain seperti imam Malik
membolekkannya. Fatwa Mpu Aceh juga tidak membolehkan sebab tidak
diperbolehkan membunuh hewan buruan dengan peluru, karena alat tersebut bisa
membakar hewan yang diburu. Diperbolehkan menggunakkan senjata api, jika
hewan yang diburu masih bisa hidup seperti : menembak burung yang besar dan
mengenai sayapnya dan menembak kijang yang mengenai kakinya.
Maka itu proses penyembelihan itu sangat penting dalam mengkonsumsi hewan
ternak ataupun hewan buruan. penyembelihan itu terjadi bila ada:
1. Binatang sembelihan, Hewan yang halal dimakan.
2. Juru sembelih, Orang muslim mumayyiz atau kitaby, dan berakal. Hendaklah
menyembelih dengan cepat agar hewan tidak menderita Termasuk
memperlambat proses penyembelihan bila juru sembelih mengikat hewan
sembelihan kemudian dia mengasah pisau.
3. Alat penyembelihan. Pisau yang tajam. Rasulullah SAW. Bersabda:
‚sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan(ihsan) pada segala sesuatu Maka
jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam Membunuh, dan
apabila kalian menyembelih, maka hendaklah berbuat ihsan dalam
menyembelih, (yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya
agar meringankan hewan yang di sembelihnya‛ (HR. Muslim).
4. Pelaksanaan penyembelihan dengan membaca nama Allah Membaca nama
Allah penting dalam penyembelihan syar‟i dan orang yang memakan daging
tersebut disunatkan untuk membaca nama Allah sekali lagi agar dia terhindar
dari bahaya syaitan dan mendapat berkat dari Allah. Bila seorang muslim
diberikan makanan berupa daging dan tidak diketahui apakah disembelih atas
nama Allah hendaklah dia membaca bismillah sebelum memakannya.
Sembelihan atas nama Allah bukan atas nama makhluk. 25
25
Sumber Data Risalah Dari Kantor Mpu Banda Aceh
BAB III
PELAKSANAAN BERBURU DENGAN SENJATA API DAN LETAK
GEOGRAFIS DESA SIMPANG JERNIH KECAMANTAN SIMPANG
JERNIH KABUPATEN ACEH TIMUR
A. Kondisi Desa Simpang Jernih
1. Sejarah Desa
Pada awal berdirinya Desa Simpang Jernih dahulu bernama Desa Rutih yang
terdiri dari Desa Simpang Jernih, Baru Sumbang dan Pante Kera setelah pemekeran
Desa Simpang Jernih terdiri dari 4 Dusun yaitu Jati, Dusun Pante, Dusun Kekening
dan Dusun Alur Semurut dengan wilayah 25.000 Ha.
2. Demografi
Desa Simpang Jernih merupakan salah satu Desa yang terdiri dari beberapa
Desa lainnya yaitu Desa Batu Sumbang, Pante Kera, Melidi, Tampor Paloh, Tampor
Boor, HTI Ranto Naro dan Rantau Panjang. Desa simpang Jernih dalam
kemukiman Simpang Jernih, Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur.
Desa Simpang Jernih sebagai pusat Kecamatan. Jumlah penduduk Desa Simpang
Jernih Saat ini mencapai 586 jiwa dari sawah 50 Ha. Dan Kebun 181 Ha.
3. Keadaan Sosial
Kondisi sosial masyarakat Desa Simpang Jernih masih kental dengan adat
istiadat dan hukum agama. Norma adat masih berpengaruh dalam tatanan sosial
kemasyarakat. Ini dapat dilihat dari kedudukan Tuha Peut Desa Simpang Jernih
yang sangat berperan dalam setiap pengambilang kebijakan-kebijakan Desa dalam
hal penyelesaian masalah gesekan-gesekan antar warga desa dalam meredam
masalah. Kehidupan keagamaan yang sangat berperan banyak memberi
pencerahan dan arahan warga desa dalam setiap kegiatannya. Ini dapat kita
raasakan dari kesadaran masyarakat dala, membayar zakat mal dari setiap hasil
panennya dan menghadiri pengajian dan takziah pada warga yang melakukan
hajatan dan lainnya, dan peta sosial Desa Simpang Jernih. Adapun batasan-batasan
desa tersebut adalah
Sebelah timur dengan : Kabupaten Aceh Tamiang
Sebelah barat dengan : Batu Sumbang/Pante Kera
Sebelah selatan : Melidi
Sebelah utara : Kecamatan Bireum Bayen
3. Pendidikan
Dari segi fasilitas , jika melihat jumlah bangunan sekolah tidak ada
perubahan jumlah sekolah di Kecamtan Simpang Jernih, dimana untuk jenjang
pendidikan dasar ada sebanyak 9 unit SD. 3 unit bagunan SMP dan 1 unit bagunan
SMK yang berada di Desa Simpang Jernih. Sedaangkan bagunan SMA belum ada
Kecamtan Simpang Jernih, sehingga siswa yang hendak melanjutkan SMA harus
pergi ke Kabupaten Aceh Tamiang.
Hal ini berpengaruh terhadap orang tua yang ada di Desa simpang jernih
Kecamatan simpang jernih Kabupaten Aceh Timur, bahwa kelihatannya melihat
orang tua untuk menyekolahkan anaknya kurang mendukung, sehingga tidak
mengherankan bila kebanyakan anak di Desa simpang jernih Kecamatan simpang
jernih Kabupaten Aceh Timur, tersebut putus sekolah dan mereka lebih memilih
untuk bekerja demi mendapatkan sesuap nasi dan sebatang rokok dari pada
memikirkan pendidikan dan pergaulan yang cukup bebas juga memberikan dampak
yang negative bagi perkembangan anak-anak putus sekolah tersebut. Namun,
kurangnya sarana pendidikan bukan hal yang utama sebagai penyebab banyaknya
anak-anak putus sekolah tetapi di sebabkan kurangnya kesadaran untuk belajar dan
melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada hal
sebenarnya dari sini anak sudah di berikan bentuk-bentuk pendidikan baik formal
maupun internal seperti BLK dan kursus-kursus lainnya.
Dari ungkapan di atas dapat dilihat bahwa pengaruh lingkungan terutama
lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap pembentukan pemikiran
seseorang sekaligus menentukan bagaimana budaya orang tersebut dalam
kehidupannya. Kenyataan inilah yang penulis temukan di Desa Simpang Jernih
Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur, yang masyarakatnya pada
umumnya adalah masyarakat yang berpola hidup sederhana secara turun temurun
sebagai pedagang/Wiraswasta dan sudah berakar sejak zaman dahulu kala dan
seolah-olah bagi mereka kehidupan sebagai pedagang/Wiraswasta itu tidak dapat di
pisahkan lagi, sehingga apabila ada anak mereka yang sudah beranjak dewasa
dengan tidak segan-segan menerjunkannya pula sebagai pedagang/berwirausaha
untuk mengikuti pola hidup orang tuanya. Pendidikan bagi mereka soal belakangan,
karena menurut filsafat masyarakat disana hidup sebagai pedagang/berwirausaha
sudah mencukupi, buat apa harus bersusah payah menuntut ilmu sampai ke
perguruan tinggi. Bagi mereka jika sudah menamatkan sekolah SMA saja itu sudah
di katakan berhasil.
Di tinjau dari segi perekonomiannya, melalui data yang dapat penulis
himpun, di ketahui bahwa kehidupan sebagai pedagang/berwirausaha adalah
kehidupan yang masih sangat kemiskinan dan kalau boleh penulis katakan bahwa
masih tergolong dalam ekonomi lemah dan sedang. Hal ini penulis katakan bahwa
karena apabila di tinjau dari penghasilan mereka setiap hari dengan jam kerja dan
biaya hidup yang harus mereka keluarkan setiap hari tidak seimbang sama sekali.
Dengan demikian untuk mencukupi kekurangan, banyak di antara para anak
desa sebagai kariyawan saja atau pembantu pada tempat-tempat usaha orang
dengan cara yang ada sekedar mencari tambahan penghasilan orang tuanya. Akibat
dari rendahnya penghasilan mereka mengakibatkan anak-anak yang seharusnya
bersekolah terpaksa ikut berkerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka,
artinya kebanyakan anak-anak mereka hanya sampai tamat SD (Sekolah Dasar) dan
sangat sulit untuk melanjutkan pendidikan berikutnya apalagi ke perguruan tinggi.
4. Keagamaan
Masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten
Aceh timur mayoritas beragama Islam kecuali hanya sebagian kecil dari mereka
yang beragama Kristen, dan Budha. Meskipun penduduk Desa Simpang Jernih
memiliki ragam kepercayaan tetapi mereka hidup sangat rukun. Adapun sarana
keagamaan yang terdapat di Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih
Kabupate Aceh timur adalah Masjid, Musalla, dan suarau
5. Kesehatan
Adapun sarana kesehatan yang ada di Desa Simpang Jernih Kecamatan
Simpang Jernih Kabupaten Aceh timur tidak memadai, karena rumah sakit dan
pukesmas masih belum ada sedangkan jumlah penduduk kurang lebih 3.543
Orang. Di Desa Simpang Jernih sarana kesehatan ada tiga yaitu posyandu,
Apotek, dan Depot-Depot.
6. Keadaan Ekonomi
Kondisi Ekonomi masyarakat Desa Simpang Jernih berproduksi dibidang
pertanian, pertenakan dan perkebunan. Hanya segelintir penduduk yang mencari
nafkah secara berdagang dan pekerjaan swasta dan PNS.
7. Keadaan Hutan Desa Simpang Jernih
Secara umum kabupatan Aceh Timur merupakan daratan rendah
perbukitan, sebagian berawa-rawa dan hutang mangrove, dengan kentiang berada
0-308 m diatas permukaan lauk.Masyarakat Desa Simpang jernih masih sangat
bergantung pada hasil hutan. karna banyak kekayaan hutan yang bisa dimanfaatkan
warga. Keadaan hutan disana cukup baik karena berada di daerah penggunan
tinggi. Jarak menuju ke hutang pun tidak terlalu jauh dari pemukiman masyarakat.
8. Budaya
Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses
interaksi antar individu. Nilai-nilai ini diakui. Baik secara langsung maupun tidak
seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang
sebuah nilai tersebut berlangsung didalam alam bawah sadar individu dan
diwariskan pada generasi berikutnya.
Merujuk pada arti budaya dalam kamus Besar Basasa Indonesia, budaya
diartikan sebagai 1) pikiran, akal budi 2) adat istiadat 3) sesuatu mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju) 4) sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalah satu adat istiadat atau budaya di
masyarakat desa simpang jernih kecamatan simpang jernih kabupaten aceh timur
dapat dilihat pada kebiasan yang dilakukan pada saat berlangsung pernikahan atau
acara-acara lainya, yaitu biasanya para pemuda adakan saman gayo dan
prempuannya adakan nari bines. Kebudayan saman gayo sudah sangat terkenal
bahkan sampai keluar negeri dan kebudayaan ini sangat dijaga oleh masyarakat
tersebut.
B. Pelaksanaan berburu dengan senjata api
Kegiatan berburu memang dibolehkan apabila tidak membuat mudharat
orang lain, misalnya menyebabkan rusaknya tanamanya orang lain atau
menyebabkan mereka menjadi gelisah dirumah atau tujuan hanya untuk main dan
apabila demikian maka hukumnya haram, setiap orang yang mau melakukan
kegiatatan berburu harus Islam atau ahli kitab, orang murtad dan setiap orang yang
tidak beragama tidak halal dikonsumsi, dan orang yang sedang ihram haji ataupun
umroh tidak boleh berburu kecuali sudah menyelesaikan ibadah tersebut. Seorang
pemburu boleh menggunkan alat berupa sejata seperti panah, pisau, dan semua
hewan yang dilatih baik itu hewan yang dilatih baik itu hewan buas.
Berdasarkan kenyataan yang terdapat di Desa Simpang Jernih
Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur melakukan Pelaksanaa tidak
dilakukan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh fuqaha atau fatwa Mpu
Aceh mereka yang bertolak belakang dengan ketentuan tersebut. Masyarakat Desa
simpang Jernih menggunaka alat-alat yang dilarang seperti, senapan peluru,
perangkap atau jaring.26
Hewan yang sering mereka buru dengan peluru iyalah
hewan seperti rusa/kijang,burung. Saat berburu Mereka tidak sendiri minimal 2
orang dan mereka melakukannya pada siang hari agar lebih mudah mendapatkan
hewan yang diburu tersebut. Jarang diantara mereka mengucapkan Basmallah
sebelum berburu padahal ini menjadi hal yang sangat penting dalam proses
penyembelihan. Dan hasil buruan tersebut dijual atau dikomsumsi sendiri oleh
masyarakat Desa Simpang Jernih. Sementara perangkap atau jaring yang digunakan
masyarakat Desa Simpang jernih juga termasuk hal yang dilarang oleh fuqaha karna
alat tersebut mampu mencengkik sehingga mati sebelum disembelih maka hewan
tersebut tidak halal dikonsumsi dan apabila seseorang pemburu menembak hewan
buruan itu dengan peluru ata mimis hingga hewan itu mati maka hewan tersebut
tidak halal.27
Dari pernyataan diatas dikatakan boleh berburu dengan hewan yang
telah dilatih tetapi Masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih
Kabupaten Aceh Timur tidak pernah mengunakan hewan pemburu untuk berburu
karna kurang mengetahui fungsi hewan pemburu itu, menurut mereka hewan itu
26
Burhan, wawancara pribadi, Simpang Jernih, Tahun 23 April 2017.
27
Keluarga Idan Syahputra, wawancara pribadi, Simpang Jernih, Tahun 25 April 2017
tidak boleh untuk berburu,walaupun hewan itu sudah dilatih,padahal sudah jelas
bahwa hewan yang sudah terlatih boleh untuk berburu. 28
Dari penyelasan diatas, kita dapat memahami dengan jelas tentang masalah
pelaksanaa berburu yang sebenarmya. Akan tetapi masyarakat Desa Simpang
Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur sangat mengherankanya
dan bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya.
Melalui metode wawancara dan metode angket akhirnya penulis dapat
mengumpulkan data-data dan keterangan yang cukup akurat sehingga dapat
menggungkapnya semua keraguan dan pernyataan yang cukup mengganggu rasa
penasaran di dalam diri penulis maupun masyarakat umumnya.
28
Syafaruddin, wawancara pribadi, Simpang Jernih, 20 April 2017
BAB IV
HUKUM DAGING HEWAN YANG DIBURU DAN FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TIDAK TERLAKSANANYA FATWA MPU ACEH NO 06
TAHUN 2013
Kagiatan yang dilakukan untuk berburu ada 3 macam. Mengenai alat alat berburu,
maka diantaranya ada yang secara garis besar telah disepakati dan ada pula yang masi
diperselihsikan tentang macam dan sipatnya, jumlahnya ada tiga, yaitu hewan pemburu,
senjata tajam dan senjata berat.29
Senjata tajam: mengenai senjata tajam, maka yang telah
disepakati oleh fuqaha antara lain seperti tombak, pedang dan anak panah, karena telah
ada nashnya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Begitu pula halnya senjata-senjata yang
sejenisnya yakni pada prinsipnya dapat melukai, selain benda-benda(alat-alat) yang
diperlisihkan pemakainnya untuk penyembelihan hewan jinak, seperti gigi, kuku, dan
tulang. Dari Rafi’ bin Khadij RA, berkata:
29
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990),h. 296-300.
س خم تسى فذثس افش ي’ ش ا نذ و ر كش ا سى هلل, فكم نس انس انطفش , سا دذ ثك , ايا ا نس فعظى
ا غهثكى يا شء فا صع ل ا هلل عه سهى : ا نز ال تم ا ا تذ كا ا تذ ان دش , فا ر, فقا ل س س
Artinya: saya bertanya, ya ا ت كز ا
Rasulullah, besok kami akan bertempur dengan musuh, sementara kami tidak mempunyai
senjata tajam? Maka Rasulullah Saw berkata.‛ Segerakan atau sembelihlah dengan apa saja
yang dapat menumpuhkan darah dan sebutlah nama Allah, maka kamu boleh
memakannya, asalkan benda tajam itu bukan gigi ataupun kuku, akan aku beritahukan
kepadamu bahwasanya gigi itu adalah tulang, sedangkan kuku itu adalah senjata tajamnya
orang Habasyah(ethiopia)30
Senjata berat: fuqaha berselisih pendapat tentang berburu
dengan menggunakan senjata berat, seperti mi’radh dan batu. Segolongan fuqaha ada
yang melarang memakan hewan yang ditangkap dengan mi’radh atau batu kecuali apabila
sempat menyembelihnya. Dan ada fuqaha yang membolehkannya. Segolongan fuqaha ada
yang memisahkan antara hwea yang terbunuh oleh mi’radh atau batu, apakah terbunuh
dengan beratnta atau ketajamnya, jika ia menembus badannya. Menurut mereka,jika
badannya terhembus, maka boleh dimakan jika tidak terhembus, maka tidak boleh
dimakan. Pendapat ini dekemukakan oleh ulama negeri besar yang terkenal, seperti imam
Malik, Syafi’i, Abu Hanafiah, Ahmad, Ata-Tsauri dan lai-lain, landasan bagi pendapat ini
ialah, bahwa penyembelih hanya biasa dilakukan dengan senjata tajam.31
30
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shalil Muslim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.
47.
31
Ibid, h. 60.
Hewan hasil yang diburu yang didapat dengan menggunakan senapan peluru yang
ujungnya tumpul juga tidak boleh dimakan, kecuali jika buruan yang diburu itu masi hidup
dan sempat disembelih. Alat berburu berupa hewan: boleh hukumnya berburu
menggunakan hewan yang sudah terdidik untuk berburu, dan tidak memakan hasil buruan.
Menurut ulama selain Malikiyah, hewan buas seperti anjing, macan, harimau, kucing, dan
sejenisnya yang memang bisa dididik untuk diburu, hukumnya boleh berdasarkan firman
Allah :
ث اسح يكه انج حى ي يا عها ثات ى قم أدما نكى انطا اا سأنك يارا أدما ن كى هللاا فكها ي ا عها ا ا ي جعه
ا هللاا سشع انذساب اجاقا هللاا إ اركشا اسى هللاا عه كى عه أيسك
Artinya: Mereka bertanya kepadamu ( Muhammad) apakah yang dihalalkan bagi mereka?
Katakanlah : yang dihalalkan bagimu(adalah makanan) yang baik-baik dan(buruan yang
ditangkap) oleh hewan pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih
menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa saja yang
ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah(waktu melepaskannya). Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Alaah sangat cepat perhintungan-Nya.‛(Al-Maidah:4).
Ibnu Abbas berkata‛yang dimaksud dalam ayat ini adalah anjing yang terdidik
untuk berburu. Selain ayat di atas, ada juga hadits Nabi SAW. Yang menyatakan bolehnya
berburu menggunakan hewan terlatih. Diriwatkan dari Adi bin Hatim, ia berkata‛Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai berburu menggunakan elang dan
beliau menjawab, jika elang itu menangkapkan buruan untukmu,maka makanlah hasil
tangkapannya.
A. Syarat-syarat orang yang berburu
Syarat-syarat bagi seorang pemburu ada lima menurut Hanafiyyah, dan enam atau
tujuh menurut Malikiyyah. Syarat-syarat itu sebagai berikut:
1. Seseorang pemburu itu syaratnya harus mampu menyembelih atau orang yang
sembelihan sah secara syariat. Dan sebagaimana telah dijelskan, bahwa seorang
Muslim boleh atau diperkenankan untuk berburu. Namun orang atheis, murtad, majusi,
dan kebatinan tidak diperkenakan berburu. Alasannya, karena berburu itu posisinya
sama dengan menyembelih, sedangkan luka adalah alatnya yang diibaratkan sebagai
pisau, dan gerakan memanah atau membidik hewan itu ibarat memotong urat leher.
Sehingga, orang gila tidak boleh berburu menurut mayoritas ulama selain Syafi’iyyah
kerena pemberu itu ibarat yang menyembelih. Jadi disyaratkan harus kompeten.
Seseorang pemburu itu syaratnya harus mampu menyembelih atau orang yang
sembelihan sah secara syariat. Dan sebagaimana telah dijelskan, bahwa seorang
Muslim boleh atau diperkenankan untuk berburu. Namun orang atheis, murtad, majusi,
dan kebatinan tidak diperkenakan berburu. Alasannya, karena berburu itu posisinya
sama dengan menyembelih, sedangkan luka adalah alatnya yang diibaratkan sebagai
pisau, dan gerakan memanah atau membidik hewan itu ibarat memotong urat leher.
Sehingga, orang gila tidak boleh berburu menurut mayoritas ulama selain Syafi’iyyah
kerena pemberu itu ibarat yang menyembelih. Jadi disyaratkan harus kompeten.
Seseorang pemburu itu syaratnya harus mampu menyembelih atau orang yang
sembelihan sah secara syariat. Dan sebagaimana telah dijelskan, bahwa seorang
Muslim boleh atau diperkenankan untuk berburu. Namun orang atheis, murtad, majusi,
dan kebatinan tidak diperkenakan berburu. Alasannya, karena berburu itu posisinya
sama dengan menyembelih, sedangkan luka adalah alatnya yang diibaratkan sebagai
pisau, dan gerakan memanah atau membidik hewan itu ibarat memotong urat leher.
Sehingga, orang gila tidak boleh berburu menurut mayoritas ulama selain Syafi’iyyah
kerena pemberu itu ibarat yang menyembelih. Jadi disyaratkan harus kompeten.
2. Syarat yang kedua, ketika melepas anjing untuk berburu, tidak bersama dengan orang
yang hewan buruannya tidak halal. Syarat ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.
Boleh juga syarat ini jadikan satu dengan syarat yang pertama, sehingga dihitung ssatu
syarat. Dalil syarat ini adalah hadits Adi bin Hatim yang intinya ketika melepas anjing
untuk berburu itu tidak bersamaan dengan anjing lain milik orang yang tidak halal hasil
buruannya. Jika seorang majusi berbarengan dengan seorang Muslim dalam berburu
dan menyembelihan atau bersamaan melepaskan anjing atau anak panah milik Muslim
melucur belakang, lantas ternyata mendapat hewan buruan tanpa diketahui anjing
siapa atau anak panah siapa yang melukainya, maka hewan buruan tidak boleh
dimakan. Karena, disitu terdapat syubhat atau berkumpul dua hal yang berbeda, yaitu
halal dan haram.
3. Syarat ketiga adalah adanya niat berburu atau niat melepaskan anjing untuk berburu.
Syarat ini juga disepakati ulama. Kemudian jika anjing tersebut mengejar hewan
buruan dengan menghendaki dirinya sendiri dam berhasil, maka hasil buruan itu tidak
boleh dimakan.
4. Syarat keempat, tidak meninggalkan membaca basmalah secara sengaja, syarat ini
diusung oleh mayoritas ulama, namun menurut syafi’fiyyah hal ini bukanlah termasuk
syarat. Sunnahnya adalah membaca ketika melempar atau melepaskan anjing berburu,
sebagai mana sunnnahnya membaca basmalah bagi penyembelih, atau bisa juga
menambahkan takbir karena memang ada hadits yang menganjurkannya.
5. Syarat kelima, seorang pemburu tidak boleh disibukkan oleh pekerjaan lain ketika
sedang melepaskan anjing dan mengambil hasil tangkapan.
6. Syarat selanjutnya adalah seorang pemburu di darat tidak sedang berihram, baik ihram
haji maupun umrah.
Seorang pemburu harus dilihat dan memperhatikan hewan buruannya, lantas
melepaskan anjing untuk memburu atau menangkapnya. Jika seorang telah mengetahui
adanya hewan buruan, meski ia buta, lantas ia melepaskannya anjing untuk berburu dan
berhasil menangkap, maka tangkapan itu boleh dimakan. Karena, sah hukumnya hasil
buruan orang bua menurut Malikiyyah dan Hanabilah. Demikian juga hukumnya anak
panah yang dilepaskan tanpa ada sasaran yang jelas, namun akhirnya mengenai hewan
buruan hingga mati, maka hukumnya tidak boleh dimakan32
.
B. Penyebab Tidak Terlaksananya Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013
Menurut data yang penulis dapatkan dilapangan, ada beberapa hal yang
menyebabkan tidak terlaksanya Fatwa Mpu Aceh No Tahun 2013 antara lain:
1. Ternyata penegetahuan masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih
Kabupaten Aceh Timur pengetahuan masih sangat awan mengenai keberadaan Fatwa
MPU Aceh. Terbukti dengan adanya kejadian yang telah dilakukan beberapa warga
masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh
Timur.yaitu hukum mengkonsumsi hewan yang diburu dengan menggunakan senjata
api berdasarkan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013. Hal menunjukkan bahwa
kebaradaan Fatwa Mpu Aceh belum ditegakkan dan diharapkan hal ini tidak akan ada
lagi.
32
Ibid, h. 143.
Dibawah ini penulis akan lampikan tabel-tabel yang dapat menunjukan tentang
sejauh mana pengetahuan masyarakat Desaa Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur
tentang keberadaan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013.
Tabel X
Pertanyaan : apakah Bapak/Ibu pernah mendengar tentang adanya Fatwa Mpu
Aceh No 06 Tahun 2013
No Keterangan Jumlah Prensentasi (%)
1
2
Ya
Tidak
5
25
16.7
83.3
Jumlah 30 100
Sumber : angket penelitian tentang pengetahuan masyarakat tentang adanya
Fatwa Mpu Aceh No Tahun 2013.
Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui tentang sejauh mana pengetahuan
masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur
tentang keberadaan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013, karena dari reponden yang
tidak mengetahui tantang fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013.
2. Karna kebutuhan ekonomi.
Selain bermata pencarian dibidang pertenakan,perkebunan dan pertanian
meraka juga berburu. Karna hasil buruan itu menguntunkan bisa dikosumsi bisa juga
dijual dengan harga yang mahal. Alasan mereka melakukan ini sebab banyak
masyarakat Desa Simpag jernih yang kurang mampu dalam kebutuhan ekonomi.
3. Pendidikan
Pendidikan mereka dalam ilmu pengetahuan masi sangat awam karena
mereka hanya memiliki jenjang pendidikan sampai pada taraf sekolah dasar, bakhan
ada yang tidak berpendidikan sama sekali. Mengenai ketentuan-ketentuan hukum islam
yang telah berlaku di negara kita.
4. Sosialisasi
Keberadaan Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013 tentang stunning, meracuni,
menembak hewan dengan senjata api dan kaitan dengan halal dan hegienis kurang di
sosialisasikan di masyarakat, hanya sendikit yang mengetahui tentang adanya Fatwa
tersebut, Bahkan ada sebagian masyarakat disana yang tidak mengetahui adanya
Fatwa Mpu Aceh tersebut, sebab mereka beranggapan sah-sah saja berburu dengan
senjata asalkan hewan itu halal dimakan. Dan ada sebagian masyarakat mengabaikan
Fatwa tersebut walaupun mengetahuinya Sedangkan menurut fatwa Mpu Aceh No 06
Tahun 2013 yang pada poin ke empat bahwa mengkonsumsi daging hewan yang
ditembak dengan peluru hukumnya haram. Dan sangat jelas baik itu hewan ternak
atau hewan buruan yang di tembak dengan senjata api hukumnya haram jika
dikonsumsi. Tetapi masyarakat Desa Simpang Jernih Kecamatan Simpang Kabupaten
Aceh Timur tidak menerapkan hukum itu. Oleh karena itu, yang dilakukan mereka
bukanlah hal yang baik tapi malah merupakan suatu perbuatan yang salah, tanpa
mereka mengetahui kalau hal itu merupakan perbuatan yang sudah menlanggar
ketentuan hukum. Pada hakikatnya, berdasarkan hasil wawancara mengenai hukum
yang diburu dengan menggunakan senjata api mengkonsumsi hewan berdasarkan
Fatwa Mpu Aceh Nomor 06 Tahun 2013 bahwa masyarakat Desa Simpang Jernih
Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur. Disebakan masih sangat minim
pengetahuan tentang isi Fatwa Mpu Aceh. Kebutuhan ekonomi, pendidikan dan
kurangya sosialisasi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum mengkonsumsi daging hewan buruan yang ditembak dengan sejata
menurut Fatwa Mpu Aceh No 06 Tahun 2013 tentang stunning, meracuni,
menembak hewan dengan senjata api dan kaitannya dengan halal dan
hegienis menyatakan bahwa hukumya haram ini terdapat pada poin
keempat yaitu mengkonsumsi daging hewan yang ditembak dengan peluru
hukumnya haram.
2. Masyarakat Desa Simpang Jernih melakukan pemburuan tidak sesuai
dengan fatwa MPU Aceh karna mereka menggunakan alat-alat seperti
senjata api, perangkap, dan benda tajam(pisau)
3. Hukum berburu mubah asal sesuai dengan syar’i dan faktor-faktor tidak
terlaksananya Fatwa Mpu Aceh disebabkan karna faktor kurangnya
memahamam pengetahuan mereka, faktor kebutuhan ekonomi, faktor
pendidikan dan faktor kurang mensosialisasikan Fatwa Mpu Aceh N0 Tahun
2013 tentang stunning, meracuni, menembak hewan dengan senjata api dan
kaitannya dengan halal dan hegienis.
B. Saran-Saran
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membagun dari pihak yang membaca karya tulis ilmiah saya ini, karena ini tidak
lepas dari kekurangan dan kesalahan.
1. Disarankan kepada para Majelis Permusyarawaran Ulama atau penegak
hukum lainnya agar dapat mensosialisikan fatwa MPU Aceh No 06 Tahun
2013 tentang Stunning, Meracuni, Menembak Hewan Dengan Senjata Api
dan Kaitan Dengan Halal, Sehat Dan Hegienis.
2. Disarankan kepada MPU Aceh dan penegak hukum setempat untuk labih
memperhatikan masyarakat awam yang kurang memahami ilmu hukum,
kaena apa yang telah terjadi di suatu tempat tersebut, benar-benar telah
menyimpang tidak sesuai dengan Fatwa MPU Aceh No 06 Tahun 2013.
3. Disarankan kepada masyrakat untuk lebih memahami arti penting dari
hukum mengkonsumsi daging hewan buruan dengan mengunakan senjata
api karena seseorang yang melakukan berburu itu ada peraturannya dan
tata caranya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, Bakar Syaikh. 2016. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian Seseorang Muslim,
Jakarta : Ummul Qura
Al-Albani Nashruddin, Muhammad. 2008, Ringkasan Shalil Muslim, Jakarta Azzam
Al-Faqiha Nashir, Muhammad Bin Ali. 2015. Fikih Muyassar Panduan Praktis Dan Hukum
Islam, Jakarta : Darul Haq
Al-Haritsi Jabariah. 2006. Fikih Ekonomi, Jakarta : Khalifa : Pustaka Al-Kautsar Group.
Al-Jazairi, Abu Bakar jabir syaikh. 2014. Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam,
Jakarta : Ummul Qura
Al-Jaziri, Abdurahman. 1994. Fikih Empat Mazhab, Semarang : Asy Syifa
Departemen Agama RI. 2015. Al-Qur’an Dan Terjemahan, Bandung : Diponogoro
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 06 Tahun 2013. Tentang Stunning,
Meracuni, Menemak Hewan Dengan Senjata Api Dan Kaitannya Dengan Halal Dan
Hegienis
Hadits Shahih : (Irwaa-Ul Ghalili( No. 2540) Dari Risalah Fatwa
Hartono, Sunaryati. 1994. Penelitian Hukum Di Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni
Proyek Pembinaan Pengguruan tinggi Agama/IAIN Dipusat Ilmu Hukum
Rusyd, Ibnu. 1990. Bidayatul’i Mujtahid, Semarang : CV. Asy-Syifa
Sabiq, Sayyid. 2013. Fiqh Sunnah, Jakarta Al-Kautsar
Saleh, Hasaan. 2008. Kajian Fiqih Nabawi Dan Kontemporer, Jakarta : Rajawali Pers
Shalil Al-Utsalmin, Bin Muhammad. 2014. Halal Dan Haram Dalam Islam, Jakarta Timur :
Ummul Qura
Sulaiman, Rasjid. 2015. Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo
Sumber Data Dari Kantor Desa Simpang Jernih
Sumber Data Risalah Dari Kantor Mpu Banda Aceh
Syafi’i, Imam. 2013. Kitab Al-Umm, Jakarta : Pustaka Azzam
Syahrum. 2007. Metode Penelitian, Bandung : Citapustaka Media
Wabbah, Zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu 4, Jakarta : Gema Isani
top related