hemoragik post oartum
Post on 06-Aug-2015
70 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang1
Tiga penyebab kematian ibu yang paling lazim adalah perdarahan,
infeksi, dan penyakit hipertensi. Perdarahan yang terjadi saat persalinan
merupakan akibat banyaknya darah yang keluar dari tempat perlekatan
plasenta, trauma traktus genitalia dan abnormalitas struktur. Meskipun
demikian, perdarahan postpartum merupakan suatu gambaran suatu
kejadian, dan bukan suatu diagnosis. Setengah dari kematian ibu yang
diakibatkan perdarahan dikarenakan perdarahan postpartum (Bonnar, 2000).
Ketika perdarahan yang banyak terjadi, penyebab yang spesifik harus
ditemukan. Atonia uteri, sisa plasenta, dan laserasi traktus genitalis
merupakan penyebab dari sebagian besar kasus perdarahan postpartum.
Dalam 20 tahun terakhir ini, plasenta akreta menggantikan atoni uteri sebagai
penyebab tersering dari perdarahan postpartum yang membutuhkan
histerektomi (Chesnut and colleagues, 1985; Zelop and coworkers, 1993).
Refrat ini memuat hal-hal yang perlu diketahui mengenai perdarahan
postpartum, dari pengertian, etiologi, diagnosa dan terpenting
penatalaksanaan guna menurunkan angka mortalitas ibu.
Semoga referat ini dapat membantu dalam melakukan pencegahan
timbulnya perdarahan postpartum dan komplikasinya sehingga menurunkan
angka mortalitas ibu dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di
Indonesia.
1
II. Sejarah Perdarahan Postpartum2
Frekuensi kejadian pasti dari perdarahan postpartum sulit ditentukan.
Suatu konsensus mengatakan 1-10% dari kehamilan dengan komplikasi
perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum memiliki angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi.
Berdasarkan data CDC, 17% kematian maternal karena perdarahan,
sepertiga hingga setengahnya merupakan perdarahan postpartum. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa insiden perdarahan postpartum tinggi pada
wanita ras Asia dan Hispanik.
2
BAB II
ISI
I. DEFINISI
Secara tradisional perdarahan postpartum didefinisikan sebagai
kehilangan darah sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala III.
Tidak jarang, hampir sebagian wanita yang melahirkan secara pervaginam
mengeluarkan darah sebanyak itu atau lebih, ketika diukur secara kuantitatif.
Hal ini dibandingkan dengan kehilangan darah sebanyak 1000 mL pada
section cesaria, 1400 mL pada histerektomi cesaria elektif, dan 3000 sampai
3500 mL untuk histerektomi sesaria emergensi (Chestnut dkk, 1985; Clark
and colleagues, 1984). 1,2,3
Perdarahan postpartum merupakan suatu komplikasi potensial yang
mengancam jiwa pada persalinan pervaginam dan sectio cesaria. Meskipun
beberapa penelitian mengatakan persalinan normal seringkali menyebabkan
perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya suatu gangguan pada kondisi
ibu. Hal ini mengakibatkan penerapan definisi yang lebih luas untuk
perdarahan postpartum yang didefinisikan sebagai perdarahan yang
mengakibatkan tanda-tanda dan gejala-gejala dari ketidakstabilan
hemodinamik, atau perdarahan yang mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik jika tidak diterapi. Kehilangan darah lebih dari 1000 mL dengan
persalinan pervaginam atau penurunan kadar hematokrit lebih dari 10% dari
sebelum melahirkan juga dapat dianggap sebagai perdarahan post partum.2
Wanita dengan kehamilan normal yang mengakibatkan hipervolemia
yang biasanya meningkatkan volume darah 30 – 60 %, dimana pada rata-rata
wanita sebesar 1-2 Liter (Pitchard, 1965). Wanita tersebut akan mentoleransi
kehilangan darah, tanpa ada perubahan kadar hematokrit postpartum, karena
kehilangan darah pada saat melahirkan mendekati banyaknya volume darah
yang ditambahkan saat kehamilan.1
Saat ini perdarahan postpartum dibagi dalam :2
3
Perdarahan post partum primer, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam
pertama
Perdarahan post partum sekunder, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam
pertama hingga 6 minggu setelah persalinan
II. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi kejadian pasti dari perdarahan postpartum sulit ditentukan.
Suatu konsensus mengatakan 1-10% dari kehamilan dengan komplikasi
perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum memiliki angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Berdasarkan data CDC, 17% kematian maternal
karena perdarahan, sepertiga hingga setengahnya merupakan perdarahan
postpartum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden perdarahan
postpartum tinggi pada wanita ras Asia dan Hispanik.2
III. ETIOLOGI
Kebanyakan penyebab perdarahan postpartum adalah atonia uteri,
suatu kondisi dimana korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik,
mengakibatkan perdarahan yang terus menerus dari tempat perlekatan
plasenta.
Penyebab perdarahan postpartum disebabkan 4 T yaitu: 2,3
Tone - atonia uteri
Atonia uteri, kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat
mengakibatkan perdarahan yang cepat dan masif yang dapat berlanjut
pada hipovolemik syok.
Uterus yang terlalu meregang baik absolut maupun relatif, adalah
faktor resiko mayor untuk atonia uteri. Hal ini dapat diakibatkan oleh
gestasi multifetal, makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin
( misalnya hidrosefalus berat), struktur uteri yang abnormal, gangguan
4
pengeluaran plasenta dan distensi uterus dengan perdarahan sebelum
plasenta dilahirkan.
Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan hal-hal sebagai
berikut :
Kelelahan akibat persalinan yang lama atau induksi persalinan
Hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat,
AINS, MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin
Penyebab lain, seperti plasenta letak rendah, toksin bakteri, hipoksia,
dan hipotermia
Tissue – plasenta arrest atau bekuan darah
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan terlepasnya plasenta.
Pelepasan plasenta yang lengkap mengakibatkan retraksi yang
berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah yang optimal.
Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus
aksesoris. Setelah plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal,
plasenta harus diperiksa apakah plasenta lengkap dan tidak ada bagian
yang terlepas.
Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi
kehamilan preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan
perdarahan yang hebat dapat terjadi. Ini harus dijadikan pertimbangan
pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka spontan ataupun
diinduksi.
Penelitian terakhir menganjurkan penggunaan misoprostol pada
terminasi kehamilan trimester kedua mengurangi risiko terjadinya retensio
plasenta dibandingkan dengan penggunaan prostaglandin intrauterine
atau saline hipertonik (Marquette, 2005).
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta
akreta dan variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih
lengket. Perdarahan signifikan yang terjadi dari tempat perlekatan dan
pelepasan yang normal menandakan adanya akreta sebagian. Akreta
lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal, atau
masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), mungkin tidak
5
menyebabkan perdarahan masif secara langsung, tapi dapat
mengakibatkan adanya usaha yang lebih agresif untuk melepaskan
plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika plasenta
terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika
dihubungkan dengan plasenta previa.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko
terjadinya perdarahan post partum yang berat, termasuk kemungkinan
dibutuhkannya transfusi dan histerektomi.
Trauma - trauma uteri, servik, atau vagina
Kerusakan traktus genitalis dapat terjadi spontan atau karena
manipulasi yang digunakan pada saat persalinan.
Persalinan secara sectio caesaria mengakibatkan kehilangan darah
dua kali lebih banyak dari pada persalinan per vaginam. Pada Sectio
caesaria, insisi pada segmen bawah yang memiliki kontraksi buruk
sembuh dengan baik tergantung jahitan, vasospasme, dan pembekuan
untuk hemostasis.
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya
jika pasien memiliki CPD dan uterus yang telah distimulasi dengan
oksitosin atau prostaglandin. Trauma selama persalinan dapat
mengakibatkan hematom pada perineum atau pelvis. Hematom ini dapat
diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital pasien tidak stabil dan
sedikit atau tidak ada perdarahan luar.
Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra
uterin. Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi
internal dan ekstraksi pada kembar kedua, dimana ruptur uteri dapat
terjadi sebagai akibat versi eksternal. Selain itu, trauma dapat juga
disebabkan adanya usaha untuk mengeluarkan plasenta secara manual
atau dengan menggunakan instrumen.
6
Pada pengeluaran plasenta secara manual, uterus harus selalu berada
dalam kendali dengan cara meletakkan tangan di atas abdomen selama
prosedur tersebut. Penggunaan injeksi salin/oksitosin intravena umbilical
dapat mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang lebih invasif.
Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan
forceps dan serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan
per vaginam dengan bantuan (forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan
tanpa adanya pembukaan lengkap. Laserasi servikal dapat terjadi secara
spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan untuk tidak
mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang
eksplorasi manual atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan
kerusakan serviks. Sangat jarang, serviks sengaja diinsisi pada posisi jam
2 dan/atau jam 10 untuk mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada
persalinan sungsang (insisi Dührssen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam
operatif, tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin
bersamaan dengan kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi
pada distosia bahu. Trauma vagina letak rendah terjadi baik secara
spontan maupun karena episiotomi.
Ruptur uteri lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat sectio
sesarea sebelumnya. Uterus yang pernah menjalani sectio caesaria
memiliki risiko terjadinya ruptur pada kehamilan berikutnya.
Trombin - Koagulopati
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau
pada saat kala II atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif.
Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya
tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang masif, hal ini dikarenakan
adanya kontraksi uterus yang mencegah terjadinya perdarahan
(Baskett,1999).
7
Faktor pembekuan darah pada pembuluh darah berperan pada saat
postpartum. Bila ada gangguan pada faktor pembekuan darah dapat
menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat.
Abnormalitas faktor pembekuan darah dapat terjadi sebelumnya atau
didapat. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit lain yang
menyertai, seperti ITP atau HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan enzim
hati, dan penurunan platelet), solutio plasenta, DIC, atau sepsis.
Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosa
sebelumnya.
IV. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko perdarahan postpartum terdiri dari fator antepartum, intrapartum
dan postpartum, sebagai berikut :4
Faktor resiko antepartum
Solutio plasenta
Placenta previa
Hipertensi gestasional dengan proteinuria
Overdistensi uterus (contoh : kembar, makrosomia, polihisramnion,
abnormalitas uterus)
Riwayat perdarahan postpartum
Riwayat kelainan hemostasis ibu (contoh : ITP)
Faktor resiko Intrapartum
Kelahiran traumatik (contoh sectio sesarea atau persalinan pervaginal
dengan alat)
Persalinan lama
Persalinan yang cepat
Induksi persalinan
Chorioamnionitis
Distosia bahu
8
Versi internal podalic dan ekstraksi bokong bayi ke dua pada persalinan
kembar breech
Kelainan hemostasis maternal didapat (contoh : HELLP, DIC)
Faktor resiko postpartum
Laserasi obstetric/episiotomi
Sisa plasenta
Ruptur uteri
Inversi uteri
Kelainan hemostasis maternal didapat (contoh : HELLP, DIC)
V. PATOFISIOLOGI
Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50%
(dari 4 Liter menjadi 6 Liter). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total
sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan konsentrasi hemoglobin
dan hematokrit. Peningkatan volume darah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan terhadap hilangnya darah
saat persalinan (Cunningham, 2001). 2,3
Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang
berarti 10-15% dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati
plasenta yang memiliki resistensi yang rendah. Pembuluh darah uterus
menyuplai sisi plasenta melewati serat miometrium. Ketika serat ini
berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi miometrium. Retraksi
merupakan karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal
tersebut serat memendek mengikuti tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit
pada proses kontraksi ini, dan normalnya perdarahan akan terhenti. Hal ini
merupakan ’ligasi hidup’ atau ’jahitan fisiologis’ dari uterus (Baskett,1999). 2,3
Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk
berkontraksi dan beretraksi. Hal ini merupakan penyebab penting dari
9
Perdarahan post partum dan biasanya terjadi segera setelah bayi dilahirkan
hingga 4 jam setelah persalinan.
Trauma traktus genitalia (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada
persalinan mengakibatkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil karena adanya peningkatan suplai darah terhadap
jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan persalinan, baik
persalinan pervaginam maupun persalinan sesar. 2,3
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis perdarahan postpartum didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis biasanya tidak sulit,
terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi, bila
perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah banyak
kehilangan darah sebelum ia tampak pucat.
A. Anamnesis
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan
tentang episode perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio
sesaria, paritas, dan riwayat fetus ganda atau polihidramnion. 2,3,5
B. Pemeriksaan Fisik
Pada seorang wanita dengan perdarahan masif, secara simultan
memerlukan pemeriksaan fisik dan resusitasi. Fokuskan pemeriksaan
pada pencarian penyebab perdarahan. Pasien dapat tidak memiliki
perubahan hemodinamik tertentu pada awal syok akibat perdarahan
fisiologik maternal hipervolemia. Perdarahan postpartum selalu perlu
disadari saat gangguan hemodinamik terjadi tanpa adanya perdarahan
masif. 2,3,5
Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan
koagulasi atau perdarahan masif dengan prosedur operasi atau
menstruasi.
10
Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan
hipertensi (calcium-channel blocker) atau penyakit jantung ( missal
digoxin, warfarin). Informasi ini penting jika koagulopati dan pasien
memerlukan transfusi.
Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan. Apabila terjadi perdarahan
postpartum dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk
melahirkan plasenta dengan segera.
Palpasi bimanual uterus terasa lunak, atonia, atau pembesaran
uterus, dengan suatu akumulasi darah yang banyak. Palpasi juga
dapat merasakan adanya hematom dalam perineum atau pelvis
Inspeksi servik dan vagina dalam penerangan yang cukup dapat
melihat adanya robekan jaringan
Periksa adanya jaringan plasenta yang hilang
Kehilangan
Darah
Tekanan Darah
(Sistolik)
Tanda dan Gejala Derajat Syok
500-1000 mL
(10-15%)
Normal Palpitasi, Takikardi,
Gelisah
Terkompensas
i
1000-1500 mL
(15-25%)
Menurun ringan
(80-100 mm Hg)
Lemah, Takikardi,
Berkeringat
Ringan
1500-2000 mL
(25-35%)
menurun
sedang (70-80
mm Hg)
Sangat lemah, Pucat,
oliguria
Sedang
2000-3000 mL
(35-50%)
Sangat turun
(50-70 mm Hg)
Kolaps, Sesak nafas,
Anuria
Berat
Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan
postpartum sangat penting untuk keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi
dan pencarian penyebab harus dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi
sekuele dari hipovolemia yang berat. 2,3
11
Diagnosis Perdarahan Setelah Bayi Lahir 7
Presenting Symptom and Other
Symptoms and Signs Typically
Present
Symptoms and Signs
Sometimes Present
Probable
Diagnosis
• Immediate PPHa
• Uterus soft and not contracted
• Shock
Atonic uterus
• Immediate PPHa
• Complete placenta
• Uterus contracted Tears of cervix,
vagina or
perineum
• Portion of maternal surface of
placenta missing or torn
membranes with vessels
• Immediate PPHa
• Uterus contracted Retained
placental
fragments
• Uterine fundus not felt on
abdominal palpation
• Slight or intense pain
• Inverted uterus apparent at
vulva
• Immediate PPHb
Inverted uterus
• Bleeding occurs more than 24
hours after delivery
• Uterus softer and larger than
expected for elapsed time since
delivery
• Bleeding is variable (light or
heavy, continuous or irregular)
and foul-smelling
• Anaemia
Delayed PPH
• Immediate PPHa (bleeding is
intra-abdominal and/or vaginal)
• Severe abdominal pain (may
decrease after rupture)
• Shock
• Tender abdomen
• Rapid maternal pulse
Ruptured uterus
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG2
Laboratorium
Darah Lengkap
o Untuk memeriksa kadar Hb dan hematokrit
o Perhatikan adanya trombositopenia
12
PT dan aPTT diperiksa untuk menentukan adanya gangguan koagulasi.
Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati.
Kadarnya secara normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada
kadar yang terlalu rendah atau dibawah normal mengindikasikan adanya
konsumtif koagulopati.
Pemeriksaan Radiologi
USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan
adanya hematom.
Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh
darah.
Pemeriksaan Lain
Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum
produk degradasi fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan
gangguan koagulasi.
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia dalam kehamilan harus
diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan
penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita
sudah pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus
berlangsung di rumah sakit. 4
Managemen perdarahan postpartum :4,5
1. Perhatikan ABC
Monitor tanda-tanda vital
13
‘Guyur’ Infus NaCl
Periksa darah lengkap dan faktor pembekuan darah
Persiapkan transfusi darah
2. Periksa fundus
Bila kontraksi baik, lakukan eksporasi traktur genitalis bagian
bawah. Sebelumnya berikan analgetik yang sesuai, persiapkan
penerangan, kemudian lakukan reparasi laserasi vagina dan serviks.
Bila kontraksi tidak ada, lakukan massage bimanual. Pada
prosedur ini, dapat dilakukan ekslorasi uterus untuk memastikan tanda-
tanda adanya sisa plasenta, inversi uterus atau ruptur uteri.
Kompresi bimanual dilakukan dengan cara tangan kiri penolong
dimasukkan ke dalam vagina dan sambil mebuat kepalan diletakkan
pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut
penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan
dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain di belakang uterus. Sekarang
korpus uteri terpegang antara 2 tangan; tangan kanan melaksanakan
massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri. 4,5
14
Kompresi Bimanual
Kompresi Bimanual melelahkan penolong sehingga dapat
diganti dengan Perasat Dickinson. Perasat ini dilakukan dengan cara :
tangan kanan diletakkan melintang pada bagian-bagian uterus, dengan
jari kelingking sedikit diatas simfisis melingkari bagian tersebut
sebanyak mungkin, dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri
memegang korpus uteri dan sambil melakukan massage, menekannya
kebawah ke arah tangan kanan dan ke belakang ke arah
promontorium.
Perasat dickinson 5
3. Bila perdarahan masih ada, lakukan tamponade uterovaginal
Tamponade uterovaginal sekarang tidak dilakukan lagi karena
umumnya dengan usaha-usaha tersebut diatas perdarahan yang
disebabkan oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula
dikhawatirkan bahwa tamponade yang dilakukan dengan tehnik yang
tidak sempurna tidak menghindarkan perdarahan dalam uterus di
belakang tampon4,5. Dengan seorang pembantu memegang dan
menahan fundus uteri, tangan kiri penolong diletakkan di vagina
dengan ujung-ujung jari untuk sebagian masuk ke serviks uteri.
Tangan kanan dengan penunjuk tangan kiri memasukkan tampon kasa
15
panjang ke dalam uterus sampai kavum uteri terisi penuh. Untuk
menjamin bahwa tampon benar-benar mengisi kavum uteri dengan
padat. Kadang-kadang usaha memasukkan tampon dihentikan
sebentar untuk memberikan kesempatan pada tangan dalam uterus
untuk menekan tampon pada dinding kavum uteri. Dengan mengisi
kavum uteri secara padat, dapat dihindarkan terjadinya perdarahan di
belakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi
pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan
tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk
berkontraksi. Sesudah uterus diisi, tampon dimasukkan juga ke dalam
vagina. Tampon diangkat 24 jam kemudian.
4. Kosongkan kandung kemih
5. Bila uterus masih tidak berkontraksi, lakukan intervensi farmakologik :
5 unit oksitosin IV bolus
Oksitosin 20 unit/L dalam NaCl atau RL ‘diguyur’
10 unit oksitosin langsung ke uterus bila tidak ada akses IV
Penggunaan Obat Oksitosik7
Oxytocin Ergometrine/ Methyl-
ergometrine
15-methyl
Prostaglandin
F2α
Dose and
route
IV: Infuse 20 units in 1
L IV fluids at 60 drops
per minute
IM: 10 units
IM or IV (slowly): 0.2 mg IM: 0.25 mg
Continuing
dose
IV: Infuse 20 units in 1
L IV fluids at 40 drops
per minute
Repeat 0.2 mg IM after
15 minutes
If required, give 0.2 mg
IM or IV (slowly) every 4
hours
0.25 mg every 15
minutes
Maximum
dose
Not more than 3 L of IV
fluids containing
oxytocin
5 doses (Total 1.0 mg) 8 doses (Total 2
mg)
16
Precautions/
Contrain-
dications
Do not give as an IV
bolus
Pre-eclampsia,
hypertension, heart
disease
Asthma
6. Bila uterus masih tidak berkontraksi atau perdarahan tetap
berlangsung, berikan :
a) Ergot 0.25 mg IM atau 0.125 mg IV (setiap 5 menit)
Dosis kumulatif maksimal adalah 1.25 mg
Dapat menghambat eksporasi uterus karena ergot
menyebabkan kontraksi yang tetanik
Kontraindikasi relatif dari pemberian ergot adalah hipertensi
b) Misoprostol (Cytotec) sebagai terapi dan profilaksis
Misoprostol diserap secara efektif melalui rektal, oral atau
mukosa vagina
Sangat efektif dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum
yang tidak respon terhadap oksitosin dan ergometrin
Dosis pemberian misoprostol yaitu 800 to 1000 micrograms (4-5
tablet ) per rektal
c) Hemabate (Carboprost/15-Methyl Prostaglandin F2)
250ug IM atau intramyometrium
Dosis kumulatif maksimum 2 mg (8 dosis)
Dapat menghambat eksporasi uterus karena ergot
menyebabkan kontraksi yang tetanik
Kontraindikasi relatif peberian hemabate adalah asma
7. Bila perdarahan tetap ada dan uterus masih tidak berkontraksi,
evaluasi ada tidaknya koagulopati.
a) Bila faktor pembekuan darah abnormal, koreksi dengan
FFP/kriopresipitat/trombosit
b) Bila faktor pembekuan darah normal, lakukan persiapan untuk
operasi
Ligasi arteri uterina/hipogatrika/uterina
Histerektomi
17
VIII. PROGNOSIS2
Perdarahan psotpartum adalah komplikasi yang sering pada persalinan
yang dapat menyebabkan peningkatan morbibitas dan mortalitas maternal.
Kita harus dapat mengidentifikasi faktor resiko yang ada sebelum dan selama
persalinan sehingga penatalaksanaan terhadap ibu dengan resiko tinggi jelas.
Prognosis tergantung penyebab perdarahan postpartum, durasinya,
jumlah darah yang hilang dan efektivitas pengobatan. Sehingga diagnosis
dan penatalaksanaan yang tepat sangatlah penting
18
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan postpartum adalah kehilangan darah sebanyak lebih dari
500 ml setelah kelahiran spontan atau kehilangan darah sebanyak lebih dari
1000 ml setelah kelahiran dengan seksio sesaria. Namun dalam praktek kita
dapat mendefinisikan perdarahan postpartum adalah setiap perdarahan
pervaginam setelah melahirkan yang menyebabkan gangguan hemodinamik
sehingga membahayakan nyawa ibu.
Perdarahan postpartum merupakan penyebab kehilangan darah serius
yang paling sering dijumpai di bagian obstetrik. Merupakan faktor penyebab
langsung kematian ibu. Perdarahan post partum selain disebabkan oleh
atonia uteri (paling sering) juga dapat disebabkan oleh sisa plasenta. Untuk
itu perlu diperhatikan lebih serius mengenai penanganan perdarahan post
partum secara tepat agar dapat ibu bersalin selamat melewati proses bersalin
dan mencegah kematian maternal khususnya di Indonesia.
Pengenalan adanya perdarahan postpartum merupakan faktor yang
paling penting dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum. Oleh karena
itu perlu adanya observasi rutin pada seorang wanita yang baru melahirkan
untuk mengenali tanda adanya perdarahan postpartum.
Karena itu diharapkan kepada para penolong persalinan agar memiliki
pengetahuan serta kemampuan yang baik tentang perdarahan post partum
dan penatalaksanaannya agar tujuan kita tercapai.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics
international edition. 21 st edition. Page 619-663.
2. Wainscott, Michael P. Pregnancy, Postpartum Hemorrhage.
http://www.eMedicine.com. May 30, 2006
3. Smith, John R , Barbara G. Brennan. Postpartum Hemorrhage.
http://www.eMedicine.com. June 13, 2006
4. ALARM International. Hemorrhage in Pregnancy. 2nd edition. Page 49-53.
5. Wiknjosastro, Hanifa, Abdul Bari Saifudin, Triatmojo Rachimhadhi. Ilmu
Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo.Jakarta. 2002
6. Http://www.GeneralJavaOnline.com . Maternal & Neonatal Health.
OBSTETRIC & NEONATAL EMERGENCY. 2003
7. http://www.pregnancyinfo.net .PostPartum Hemorrhage.
8. htpp://www.WHO.int . Managing Complication in Pregnancy and Childbirth
20
top related