hematiskezia
Post on 06-Aug-2015
208 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jangan menganggap sepele penyakit diare yang disertai darah.
Tidak menutup kemungkinan itu gejala hematochezia atau pendarahan saluran
cema. Dalam stadium lanjut, hematochezia bisa menyebabkan kematian.
Penyebab utama hematochezia adalah kelainan bawaan pada lambung
(garter). Hematochezia juga bisa disebabkan karena diverticle meckel, polyp
pada usus besar, dan juga karma adanya puntiran (volvulus) pada usus.
"Penyakit ini banyak dialami anak-anak dan juga BBL. Dan tidak jarang
menjadi penyebab kematian. Karena penderita kehabisan darah,".
Meskipun tidak bisa dipastikan berapa lama waktu penderita
hematochezia mampu bertahan, karma pendarahan yang terjadi pada penderita
adalah pendarahan hebat sebaiknya orang tua segera membawa penderita ke
R.S. "Yang harus diketahui bahwa hematochezia biasanya, pendarahannya
terjadi lewat anus,".
Diperlukan alat khusus endoscopy dan scan nuklir untuk mendeteksi
sumber pendarahan pada hematochezia.
Karena itu setiap kali ada pasien hematochezia harus segera merujuk
pasien. Jika ada tanda-tanda hematochezia pada anak anda sebaiknya segera
dibawa ke RS. Karena harus dapat penanganan segera. Jika, tidak, akibatnya
bisa fatal karena bisa menyebabkan kematian,".
B. Tujuan Penulisan
Dari uraian latar belakang tersebut di atas maka penulis menerangkan
bagaimana konsep dasar permasalahan penyakit hematokezia.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 67 tahun
Alamat : Klaten
No RM : 197xxx
Jenis kel : Perempuan
MRS : 08 November 2012
Bangsal : Cempaka 1
Tanggal Pemeriksaan : 09 November 2012
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Buang air besar cair lebih dari 1 bulan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang RSUD Sukoharjo dengan keluhan buang air besar cair lebih
dari 1 bulan, darah (-), lendir (-), BAK normal, dalam sehari pasien buang
air besar cair sebanyak kurang lebih dari 4 kali, bau (-), kemudian 3 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien merasa lemas dan pucat. Nafsu makan
berkurang, berat badan menurun demam (+), mual (+), muntah (-), lemas
(+), pusing (-), batuk (-), sesak (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes melitus (-), riwayat asma (-),
riwayat sakit tifoid (-), riwayat alergi obat atau makanan (-), riwayat
mondok RS (+).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa (-), riwayat diabetes melitus (-), riwayat atopi
dalam keluarga (-)
2
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak kedua dari 6 bersaudara. Pasien seorang janda,
Pasien sudah menikah dan kadang-kadang mengkonsumsi obat obatan.
C. Anamnesis Sistem
1. Sistem Cerebrospinal : Pusing (-)
2. Sistem Cardiovascular : Akral dingin (-), sianosis (-)
3. Sistem Respiratorius : Batuk (-), sesak (-), nafas cuping hidung (-)
4. Sistem Genitourinat : BAK (+), normal
5. Sistem Gastrointestinal : makan menurun, minum (+), BAB (+) cair, darah
(-), lendir (-), mual (-), muntah (+), nyeri ulu hati (-)
6. Sistem Musculoskletal : badan terasa lemas (+)
7. Sistem integumentum : perdarahan spontan (-)
Kesan : Terdapat masalah pada system gastrointestinal dan musculoskletal
D. Pemeriksaan Fisik
1. KU : CM, lemas
2. Vital sign : TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit
Nadi : 88 x/menit Suhu : 37,3°C
3. Kepala : CA (+/+), SI (-/-).
4. Leher: dalam batas normal
5. Thorak :
3
Pulmo Depan BelakangInspeksi Simetris,
Ketinggalan gerak (-)Retraksi intercostae (-)
Simetris, Ketinggalan gerak (-)Retraksi intercostae (-)
Palpasi Gerak dada simetrisFremitus normal
Gerak dada simetrisFremitus normal
Perkusi Sonor Sonor Auskultasi SDV (+/+)
Wh (-/-), Rh (-/-)SDV (+/+)Wh (-/-), Rh (-/-)
6. Abdomen :
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi simetris, supel, tidak ada sikatrik.
Auskultasi Peristaltik (+)
Perkusi Timpani
Palpasi supel, peristaltik (+), tidak terdapat pembesaran
organ, nyeri tekan (-)
7. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 08 November 2012
4
Cor Hasil PemeriksaanInspeksi Ictus cordis tidak tampakPalpasi Ictus cordis pada SIC VI linea midclavicularis
sinistra tidak kuat angkat Perkusi Batas kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dextraBatas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistraBatas kiri bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi Bunyi jantung I-II intensitas regular, bising (-)
B. Diagnosis
Diare cair kronis dengan anemia et causa suspec ancilostomiosis
C. Terapi
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxime 1 g vial/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg amp/12 jam
Inj. Antalgin 500 mg amp/8 jam
Inj. Ondancetron 8 mg amp/8 jam
Inj. Vit K amp/8 jam
Inj. Asam tranexamat 500 mg amp/8 jam
Paracetamol 3x500mg
Diagit 3x1
Oralit 3x1
Transfusi 2 colf PRC
Follow Up
Jumat 9 November 2012 (Hari I).
5
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalLeukosit 10,8 µL 5,0-10,0 µLEritrosit 1,0 µL 4,5-5,5 µLHb 3,1 gr/dL 13,0-16,0 µLHct 11,0% 40-48%Trombosit 261 µL 150-450 µLIndeks eritrositMCVMCHMCHC
49 fL13 pg28 gr/dL
82-92 fL27-31 pg33-36 gr/dL
Kreatinin 0,5-0,9 mg/dLSGOT 35,67 µL 0-21 µLSGPT 18,94 µL 0-22 µLUreum 10-50 mg/dLHbsAg (-)
S : pusing (-), mual (+), lemas (+) muntah (-), demam (-), buang air besar
cair bercampur darah 2 kali, warna merah segar, nafsu makan berkurang,
buang air kecil seperti biasa.
O : Tekanan darah : 100/70
Suhu : 36,5 C⁰
Nadi : 84x/menit
RR : 20 x/m
Keadaan Umum : Compos Mentis, lemas
Kepala : Conjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-)
Leher : tidak ada pembesaran Kelenjar Getah bening
Thorax : Pulmo SDV (+/+), ST (-/-)
Cor Suara Jantung 1-2 intensitas regular, bising jantung (-)
Abdomen : supel, peristaltik (+), tidak terdapat pembesaran, nyeri
tekan (-), pembesaran lien (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Hematochezia et causa suspec hemorroid d.d suspec Ca. recti
P :
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxime 1 g vial/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg amp/12 jam
Inj. Antalgin 500 mg amp/8 jam
Inj. Ondancetron 8 mg amp/8 jam
Inj. Vit K amp/8 jam
Inj. Asam tranexamat 500 mg amp/8 jam
Parcetamol 3x500mg kalau perlu
Konsultasi dengan spesialis Bedah:
Rectal toucer:
- Tonus spincter ani baik
- Mukosa recti licin
- Ampula recti kosong
- Teraba keras, berbenjol-benjol
6
- Sarung tangan: lendir (-), darah (+), faeces (+).
Diagnosa: suspec Ca recti
Terapi: Biopsi (menunggu hasil PA 1 minggu)
Sabtu 10 November 2012 (Hari II).
S : pusing (-), mual (-), lemas (+) muntah (-), demam (-), buang air besa
sedikit campur darah (+) 1x, nafsu makan berkurang, buang air kecil
seperti biasa.
O : Tekanan darah : 130/80
Suhu : 36,2 C⁰
Nadi : 88x/menit
RR : 22 x/m
Keadaan Umum : Compos Mentis, lemas
Kepala : Conjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-)
Leher : tidak ada pembesaran Kelenjar Getah bening
Thorax : Pulmo SDV (+/+), ST (-/-)
Cor Suara Jantung 1-2 intensitas regular, bising jantung (-)
Abdomen : supel, peristaltik (+), tidak terdapat pembesaran, nyeri
tekan (-), pembesaran lien (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Hematochezia et causa suspec ca. recti
P :
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxime 1 g vial/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg amp/12 jam
Inj. Antalgin 500 mg amp/8 jam
Inj. Ondancetron 8 mg amp/8 jam (k/p)
Inj. Vit K amp/8 jam
Inj. Asam tranexamat 500 mg amp/8 jam
Minggu 11 November 2012 (Hari III).
7
S : pusing (+), mual (-), lemas (+) muntah (-), demam (-), buang air besa
sedikit, darah (-), sesak(-), nafsu makan berkurang, buang air kecil seperti
biasa.
O : Tekanan darah : 120/70
Suhu : 36,2 C⁰
Nadi : 88x/menit
RR : 20 x/m
Keadaan Umum : Compos Mentis, lemas
Kepala : Conjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-)
Leher : tidak ada pembesaran Kelenjar Getah bening
Thorax : Pulmo SDV (+/+), ST (-/-)
Cor Suara Jantung 1-2 intensitas regular, bising jantung (-)
Abdomen : supel, peristaltik (+), tidak terdapat pembesaran, nyeri
tekan (-), pembesaran lien (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 11 November 2012
A : Hematochezia et causa suspec ca. recti
8
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalLeukosit 10,2 µL 5,0-10,0 µLEritrosit 4,09 µL 4,5-5,5 µLHb 7,7 gr/dL 13,0-16,0 µLHct 25,3% 40-48%Trombosit 195 µL 150-450 µLIndeks eritrositMCVMCHMCHC
61 fL18,8 pg30,4 gr/dL
82-92 fL27-31 pg33-36 gr/dL
Kreatinin 0,5-0,9 mg/dLSGOT 0-21 µLSGPT 0-22 µLUreum 10-50 mg/dLHbsAg (-)
P :
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxime 1 g vial/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg amp/12 jam
Inj. Antalgin 500 mg amp/8 jam
Inj. Ondancetron 8 mg amp/8 jam (k/p)
Inj. Vit K amp/8 jam
Inj. Asam tranexamat 500 mg amp/8 jam
Transfusi PRC 2 colf
Senin tanggal 12 November 2012 sampai tanggal 15 November 2012
keluhan dan terapi sama dengan pada hari minggu tanggal 11 November
2012. Kecuali tanpa transfusi darah.
Jumat 16 November 2012 (Hari VIII).
S : pusing (-), mual (-), lemas (-) muntah (-), demam (-), buang air besa
sedikit, darah (-), sesak(-), buang air kecil seperti biasa.
O : Tekanan darah : 130/80
Suhu : 36,2 C⁰
Nadi : 88x/menit
RR : 20 x/m
Keadaan Umum : Compos Mentis, sedang
Kepala : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Leher : tidak ada pembesaran Kelenjar Getah bening
Thorax : Pulmo SDV (+/+), ST (-/-)
Cor Suara Jantung 1-2 intensitas regular, bising jantung (-)
Abdomen : supel, peristaltik (+), tidak terdapat pembesaran, nyeri
tekan (-), pembesaran lien (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
9
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 16 November 2012
A : Hematochezia et causa suspec ca. recti
P :
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxime 1 g vial/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg amp/12 jam
Inj. Antalgin 500 mg amp/8 jam
Inj. Ondancetron 8 mg amp/8 jam (k/p)
Inj. Vit K amp/8 jam
Inj. Asam tranexamat 500 mg amp/8 jam
Sabtu 17 November 2012 (Hari IX).
S : pusing (-), mual (-), lemas (-) muntah (-), demam (-), buang air besar
sedikit, darah (-), sesak(-), buang air kecil seperti biasa.
O : Tekanan darah : 120/70
Suhu : 36,4 C⁰
10
Pemeriksaan Hasil Nilai NormalLeukosit 19,2 µL 5,0-10,0 µLEritrosit 5,04 µL 4,5-5,5 µLHb 10,9 gr/dL 13,0-16,0 µLHct 34,6% 40-48%Trombosit 147 µL 150-450 µLIndeks eritrositMCVMCHMCHC
68 fL21,6 pg31,5 gr/dL
82-92 fL27-31 pg33-36 gr/dL
Kreatinin 0,5-0,9 mg/dLSGOT 0-21 µLSGPT 0-22 µLUreum 10-50 mg/dLHbsAg (-)
Nadi : 84x/menit
RR : 20 x/m
Keadaan Umum : Compos Mentis, sedang
Kepala : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Leher : tidak ada pembesaran Kelenjar Getah bening
Thorax : Pulmo SDV (+/+), ST (-/-)
Cor Suara Jantung 1-2 intensitas regular, bising jantung (-)
Abdomen : supel, peristaltik (+), tidak terdapat pembesaran, nyeri
tekan (-), pembesaran lien (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Hematochezia et causa suspec ca. recti
P : pasien boleh pulang
Cefadroxil 3 x 500mg
Asam tranexamat 3 x 500mg
Vit B1, B6, B12 3x1
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hematokezia
Hematochezia adalah bagian dari kotoran merah cerah, darah dari
rektum, juga disebut thusly (darah merah per rektum). Hal ini dibedakan dari
melena, yang kotoran dengan darah yang telah diubah oleh flora usus dan
muncul hitam / "tinggal". Hematochezia umumnya dikaitkan dengan
perdarahan gastrointestinal yang lebih rendah.
Hematochezia adalah buang air besar darah merah segar dari saluran
cerna bagian bawah (SCBB). Pseudomelena adalah buang air besar berwarna
hitam, tapi penyebab perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah
disebabkan darah terlalu lama di usus. Pseudohematokezia adalah buang air
besar merah segar tapi disebabkan oleh perdarahan masif dari SCBA, dimana
darah yang keluar tidak sempat bercampur dengan asam lambung. Saluran
11
cerna bagian bawah (SCBB) meliputi jejunum distal dibawah ligamenturn
TReitz, ileum, kolon, rektum dan anus.
B. Gambaran Klinis
Perdarahan SCBB dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia,
maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.
Hematoskezia adalah: darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal
ini merupakan manifestasi klinis perdarahan SCBB yang paling sering.
Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau kolon
bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat berasal dari
usus kecil atau saluran cerna bagian atas (SCBA) bila perdarahan tersebut
berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak
dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat.
Maroon stool: darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur
dengan melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan
(ileo-caecal) atau jugs dapat dari SCBA/usus kecil bila waktu transit usus
cepat.
Melena adalah buang air besar atau feses yang berwarna hitam seperti
kopi (bubuk kopi) atau seperti ter (aspal), berbau busuk dan hat ini disebabkan
perubahan hemoglobin menjadi hematin.
Perubahan ini dapat terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam
lambung (khas pada perdarahan SCBA) atau akibat degradasi darah oleh
bakteri usus. Misalnya pada perdarahan yang bersumber di kolon bagian
kanan yang disertai waktu transit usus yang lambat. Perdarahan SCBB akan
tersamar bila jumlah darah sedikit sehingga tidak mengubah warns feses yang
keluar.
Gambaran klinis lainnya akan sesuai dengan penyebab perdarahan
(misalnya pada tumor rektum, teraba masse pada pemeriksaan colok dubur)
dan dampak hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan tersebut (misalnya
anemia atau adanya renjatan). Sebagian besar perdarahan SCBB (lebih kurang
85%) berlangsung akut, berhenti spontan, dan tidak menimbulkan gangguan
12
hemodinamik.
Perdarahan SCBB diklasifikasikan sebagai perdarahan akut dan berat
bila:
Telah menimbulkan keadaan hipotensi ortostatik atau renjatan.
Terdapat penurunan hematokrit minimal 8-10% setelah resusitasi volume
intravaskular dengan cairan kristaloid atau plasma expander, dan
Terdapat faktor risiko seperti pada usia lanjut atau terdapat penyulit
lainnya yang bermakna.
C. Penyebab
Lokasi lesi sumber perdarahan pada kasus dengan hematoskezia
(sebagai tanda yang paling umum untuk SCBB): 74% berada di kolon, 11%
berasal dari SCBA, 9% usus kecil, dan 6% tidak diketahui sumbernya
Perdarahan akut dan hebat pada umumnya disebabkan oleh
angiodisplasia dan divertikulosis. Sedangkan yang kronik intermiten
disebabkan oleh hemoroid dan keganasan kolon. Etiologi perdarahan SCBB
yang harus dipertimbangkan dan cukup sering dihadapi di Indonesia adalah
perdarahan di usus kecil pada demam tifoid.
D. Tata Laksana
Penatalaksanaan perdarahan SCBB tentunya akan bervariasi tergantung
pada penyebab atau lesi sumber perdarahan, dampak hemodinamik yang telah
terjadi pada waktu masuk rumah sakit, pola perdarahan yang bersifat akut atau
telah berlangsung lama/kronik. Algoritme tata laksana perdarahan SCBB
dalam makalah ini, merupakan hasil konsensus dalam beberapa tahapan
pertemuan sidang organisasi profesi Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
E. Initial Assessment
Tiap kasus perdarahan saluran cerna, walaupun tampaknya darah yang
keluar berdasarkan anamnesis sedikit, harus diperhatikan diperlakukan secara
cermat, cepat, dan tepat pada waktu awal pemeriksaan. Sebab rongga/lumen
13
saluran cerna dapat menampung darah cukup banyak sebelum bermanifestasi
sebagai hematoskezia, sehingga dapat mengecohkan kita sehingga pasien
dapat segera masuk ke dalam keadaan gangguan hemodinamik. Pada initial
assessment ini (sesuai dengan Airway Breathing Circulation-nya bidang
emergensi) kita sudah harus segera mendapatkan gambaran apakah kasus
perdarahan ini sudah terdapat atau potensial terjadi gangguan hemodinamik,
perlu tidaknya tatas laksana emergensi atau dapat ditangani secara efektif
(terencana). Dan akurasi penilaian ini sangat mempengaruhi prognosis kasus
perdarahan pada umumnya dan khususnya perdarahan saluran cerna (atas atau
bawah).
14
F. Riwayat Penyakit
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur
dengan feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau
terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat
gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi),
menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola defekasi (kanker), tanpa
rasa sakit (hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi,
iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini
bersifat akut, pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah
dugaan penyebab atau sumber perdarahan.
G. Pemeriksaan Fisik
Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi
postural (Tilt test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang
keluar dan ada tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interns, tumor rekturn).
Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri tekan
(iskemia mesenterial), rangsang peritoneal (divertikulitis), massa
intraabdomen (tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn). Pemeriksaan
sistemik lainnya: adanya artritis (inflammatory bowel disease), demam (kolitis
infeksi), gizi buruk (kanker), penyakit jantung koroner (kolitis iskemia).
H. Laboratorium
Segera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
dan kalau sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai
indikasi. Penilaian hasil laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan klinis
yang ada. Penilaian kadar hemoglobin dan hematokrit, misalnya pada
perdarahan akut dan masif, akan berdampak pada kebijakan pilihan jenis darah
yang akan diberikan pada proses resusitasi.
I. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
15
Pemeriksaan ini sangat tergantung pada keadaan klinis pasien waktu
masuk rumah sakit, penyebab atau lesi sumber perdarahan, perjalanan
penyakit pasien dan tidak kalah pentingnya adalah sarana diagnostik
penunjang yang tersedia. Secara teori, modalitas sarana pemeriksaan anoskopi,
sigmoidoskopi, kolonoskopi, enteroskopi, barium enema (colon in loop),
angiografi/artereriografi, blood flow scintigraphy, dan operasi laparatomi
eksplorasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi lesi sumber perdarahan
dan diagnosis penyakitnya. Tidak jarang modalitas diagnostik ini dapat
dipakai sekaligus untuk terapi (endoskopi terapeutik, embolisasi pada waktu
arteriografi).
Masing-masing modalitas diagnostik ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan dibandingkan modalitas lainnya. Misalnya pada perdarahan yang
berlangsung masif, peran kolonoskopi akan terhambat oleh sulitnya
memperoleh lapang pandang yang akurat untuk menilai di mana dan apa
sumber perdarahannya. Sedangkan arteriografi lebih mudah untuk
mendapatkan lokasi sumber perdarahan (kalau perlu sekaligus terapinya).
Mulai dari diagnostik (terlebih lagi pada waktu terapi) sudah diperlukan kerja
sama tim (internis, internis konsultan gastroenterologi, ahli bedah, radiologis,
radiologis interventional, dan anestesi) yang optimal sehingga langkah
diagnostik (dan terapi) dapat selaras untuk kepentingan pengobatan pasien
seutuhnya. Pada keadaan tidak adanya gangguan hemodinamik atau keadaan
yang masih memungkinkan kits merencanakan langkah diagnostik yang
berencana (elektif), eksplorasi diagnostik sumber perdarahan relatif tidak
menimbulkan permasalahan. Tetapi bila keadaan pasien tidak stabil, adanya
gangguan hemodinamik, diperlukannya segera pilihan terapi, permasalahan
algoritme diagnostik (jugs berdampak pada algoritme terapi tidak jarang
muncul dan terjadi perbedaan persepsi antara disiplin terkait.
Pemeriksaan penunjang ini akan berbeda pelaksanaannya dan akan
berbeda hasil yang diharapkan dicapai bila menghadapi kasus akutlemergensi
atau kasus kronik/elektif Pada makalah ini akan lebih ditekankan pada,
prosedur diagnostik dan terapi pada kasus yang akut dan bersifat emergensi.
16
Anoskopi/Rektoskopi
Pada umumnya dapat segera, mengetahui sumber perdarahan tersebut
bila berasal dari perdarahan hemoroid interns atau adanya tumor rektum.
Dapat dikerjakan tanpa persiapan yang optimal.
Sigmoidoskopi
Perdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih mungkin
dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya persiapan laksan
enema (YAL) atau klisma, mengingat darah dalam lumen usus itu sendiri
sudah bersifat laksan.
Kolonoskopi
Pada, keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang optimal,
pemeriksaan ini dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi sumber
perdarahan di seluruh bagian kolon sampai ileum terminal. Tetapi pada,
keadaan perdarahan aktif, lumen usus penuh darah (terutama bekuan darah),
maka lapang pandang kolonoskop akan terhambat. Diperlukan usaha yang
berat untuk membersihkan lumen kolon secara, kolonoskopi. Sering sekali
lumen skop tersumbat total sehingga pemeriksaan harus dihentikan. Tidak
jarang hanya dapat menyumbangkan informasi adanya demarkasi atau batas
antara lumen kolon yang bersih dari darah dan diambil kesimpulan bahwa
letak sumber perdarahan di distal demarkasi tersebut.
Push Enteroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati ligamentum
Treitz serta dapat mengidentifikasi perdarahan pada usus kecil. Sarana ini
masih sangat jarang di Indonesia.
Barium Enema (colon in loop)
Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini tidak
mempunyai peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat rencana
pemeriksaan kolonoskopi (kontras barium potensial dapat menyumbat saluran
pada skop) atau skintigrafi (kontras barium akan mengacaukan interpretasi)
bila diperlukan. Serta tidak ada tambahan manfaat terapeutik. Tetapi pada
17
keadaan yang efektif, pemeriksaan ini mampu mengidentifikasi berbagai lesi
yang dapat diprakirakan sebagai sumber perdarahan (tidak dapat menentukan
sumber perdarahan).
Angiografi/Arteriografi 6
Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkad melalui arteri femoralis
dan arteri mesenterika superior atau inferior, memungkinkan visualisasi lokasi
sumber perdarahan. Dengan teknik ini biasanya, perdarahan arterial dapat
terdeteksi bila lebih dari 0,5 ml per menit. Arteriografi dapat dilanjutkan
dengan embolisasi terapeutik pada, pembuluh darah yang menjadi sumber
perdarahan.
Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy)
Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif
(99m.technitium), kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Darah yang
berlabel tersebut akan bersirkulasi dan keluar pada daerah/lokasi lesi. Teknik
ini dilaporkan dapat mendeteksi perdarahan yang relatif sedikit (0,1 ml per
menit). Scanning diambil pada jam 1 dan 4 setelah injeksi darah berlabel Berta
24 jam setelah itu atau sesuai dengan prakiraan terjadinya perdarahan.
Sehingga dapat mendeteksi perdarahan yang bersifat intermiten dengan cara
mengambil scanning pada jam-jam tertentu.
Operasi Laparatomi Eksplorasi
Tentunya proses operasi secara langsung dapat mengidentifikasi sumber
perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan tindakan ini akan dilakukan
sebagai modalitas diagnostik sekaligus terapeutik, bagaimana pertimbangan
toleransi operasi bagi pasien dan sejauh mana kemudahan untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan durante operasi. Secara nyata dalam
praktek penatalaksanaannya di rumah sakit, hal ini sering menimbulkan
kontroversi. Keadaan ini membutuhkan koordinasi multidisiplin yang terkait.
Pada dasarnya laparatomi eksplorasi diindikasikan bila perdarahan hebat yang
tidak dapat diatasi secara konservatif. Perdarahan berulang pada keadaan yang
sudah teridentifikasi sumber perdarahan pada pemeriksaan kolonoskopi,
arteriografi, atau scanning, juga tidak memerlukan intervensi operasi. Risiko
18
operasi akan menurun bila pada operasi tersebut dapat dilakukan identifikasi
sumber perdarahan per kolonoskopik, baik sebelum maupun durante operasi.
J. Terapi pada Keadaan Akut
Resusitasi
Pada prinsipnya proses resusitasi sama dengan perdarahan SCBA atau
perdarahan akut lainnya, yaitu koreksi defisit volume intravaskular dan
stabilisasi hemodinamik. Pemasangan jalur intravena pada pembuluh besar
harus dikerjakan (bukan pada pembuluh versa kecil walaupun diduga
perdarahan sedikit). Pada awalnya larutan fisiologis NaCI dapat dipakai
untuk mencukupi defisit volume intravaskular.
Bila jelas hemodinamik terganggu dan belum ada darah, plasma
ekspander dapat dipakai untuk keperluan ini. Kadar Hb dan Ht dapat dipakai
untuk parameter kebutuhan transfuse darah dan biasanya,transfusi dengan
target Hb 10-11 g/dl atau sesuai dengan kondisi sistemik pasien (umur,
toleransi kardiovaskular, dan lain-lain). Dapat dipakai whole blood bila masih
diperhitungkan perlunya resusitasi volume intravaskular atau red packed cell
bila hanya tinggal perlu menaikkan kadar hemoglobin. Bila terdapat defisiensi
faktor pembekuan. Kombinasi red packed cell dan fresh frozen plasma dapat
menjadi pilihan pertama pada proses resusitasi. Bila terdapat proses
gangguan faktor koagulasi lainnya, tentunya harus dikoreksi sesuai kebutuhan.
Bila masih diduga adanya perdarahan yang masif berasal dari SCBA,
maka pemasangan NGT untuk proses diagnostik harus dipertimbangkan.
Aspirat NGT yang jernih, belum menyingkirkan perdarahan bukan berasal
dari SCBA.
Medikamentosa
Pada keadaan perdarahan akut, adanya gangguan hemodinamik, belum
diketahui sumber perdarahan, tidak ada studi yang dapat memperlihatkan
manfaat yang bermakna dari obat-obatan untuk keadaan ini. Kecuali telah
diketahui, misalnya perdarahan akibat pemberian antikoagulan atau pada
kasus yang telah diketahui adanya koagulopati. Obat-obat hemostatika yang
19
banyak dikenal dan beredar luas, dapat disepakati saja dipakai (bila jelas tidak
ada kontra indikasi pada tahap ini dengan mempertimbangkan cost-effective).
Demikian pula obat yang tergolong vasoaktif seperti vasopresin, somatostatin,
dan okreotid.
Endoskopi Terapeutik
Pada keadaan di mana endoskopi mendapat peluang (keadaan dalam
lumen kolon cukup bersih) dalam segi identifikasi lesi sumber perdarahan,
teknik ini sekaligus dapat dipakai sebagai modalitas terapeutik (bila fasilitas
tersedia). Kauterisasi Pada lesi angiodisplasia atau tumor kolon, akan
mengurangi derajat atau menghentikan proses perdarahan. Polipektomi pada
polip kolon yang berdarah dapat bersifat kuratif.
Radiologi Intervensional
Dengan teridentifikasinya lokasi perdarahan, durante tindakan dapat
diberikan injeksi intraarterial vasopresin yang dilaporkan dapat mengontrol
perdarahan pada sebagian besar kasus perdarahan divertikel dan
angiodisplasia. Hanya harus diwaspadai efek vasokonstriksi obat tersebut pada
sirkulasi tubuh yang lain, terutama sirkulasi koroner jantung. Alternatif lain
dari prosedur ini adalah tindakan embolisasi pada pembuluh darah yang
menjadi sumber perdarahan teridentifikasi tersebut. Harus diwaspadai
kemungkinan terjadinya infark segmen usus terkait akibat prosedur embolisasi
tersebut.
Surgikal
Pada prinsipnya operasi dapat bersifat emergensi tanpa didahului
identifikasi sumber perdarahan atau elektif setelah sumber perdarahan
teridentifikasi. Tentunya hal ini mempunyai dampak risiko yang berbeda.
Operasi emergensi mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi bila
dilakukan pada keadaan yang tidak stabil. Kombinasi antara kolonoskopi pre
dan durante operasi diharapkan dapat mengurangi waktu operasi yang
dibutuhkan.
20
K. Terapi Pilihan
Hemoroid Interns
Penyebab tersering perdarahan SCBB, biasanya ringan, tidak
mempengaruhi hemodinamik dan dapat berhenti spontan. Perdarahan biasanya
terjadi setelah defekasi, menetes, darah terpisah dari feses. Harus dibedakan
dengan tumor atau polip rekturn karena tata laksananya sangat berbeda. Terapi
konservatif, terapi sklerosing/ligasi, atau surgikal dapat dikerjakan sesuai
indikasi yang dikaitkan dengan derajat hemoroidnya. Derajat IV atau adanya
trombus memerlukan peran surgikal.
Angioma/Angiodisplasia kolon
Lokasi terutama di daerah kolon kanan atau sekum, biasanya bersifat
multipel. Bila dapat diidentifikasi pada waktu perdarahan, tindakan kauterisasi
perendoskopik dapat menghentikan perdarahan pada sebagian kasus. Di
samping itu alternatif lain berupa embolisasi selektif waktu dilakukan
angiografi. Vasopresin intraarterial dilaporkan cukup bermanfaat dalam
menghentikan perdarahan.
Divertikulosis Kolon
Biasanya perdarahan tanpa rasa nyeri, merah segar atau maroon stool,
sering bersumber dari kolon bagian kanan. Pada umumnya spontan berhenti
dan tidak ada terapi medikamentosa yang spesifik pada sebagian besar kasus.
Kekerapan semakin meningkat sesuai umur.
Divertikulum Meckel
Biasanya teridentifikasi dengan teknik pemeriksaan skintigrafi. Terapi
surgikal merupakan pilihan pertama.
Tumor Kolon
Perdarahan biasanya sedikit, bercampur feses, bersifat kronik. Jarang
menimbulkan permasalahan diagnostik dan terapeutik emergensi.
Kolitis Iskemik
Harus dipertimbangkan sebagai penyebab hematoskezia, terutama pada
usia lanjut atau terdapat gangguan koagulasi atau trombosis. Pada umumnya
21
bermanifestasi bersamaan dengan nyeri perut, terutama setelah makan. Terapi
pilihan sesuai dengan penyakit dasarnya.
Kolitis Radiasi
Adanya riwayat radiasi (terutama radiasi internal pada karsinoma
serviks), harus dipertimbangkan adanya perdarahan SCBB akibat proktitis
radiasi. Pengobatannya masih mengecewakan. Steroid dan sukralfat enema
dapat dipakai dengan hasil yang bervariasi.
Inflammatory Bowel Disease
Secara medikal diusahakan dengan 5-ASA dan steroid. Bila perdarahan
hebat dapat dilakukan operasi kolektomi.
Kolitis Infeksi
Hematoskezia terjadi bersamaan dengan klinis tanda infeksi SCBB,
seperti diare dan nyeri perut. Pengobatannya, baku sesuai dengan penyebab
dasar. Jarang perdarahan ini menimbulkan gangguan hemodinamik.
L. Penatalaksanaan Umum atau Suportif
Penatalaksanaan ini memperbaiki keadaan umum dan tanda vital. Yang
paling penting pada pasien perdarahan SCBB atau hematokezia adalah
memberikan resusitasi pada waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Kita
harus secepatnya memasang infus untuk pemberian cairan kristaloid (seperti
NaCL 0.9% dan lainnya) ataupun koloid (plasma expander) sambil menunggu
darah dengan/tanpa komponen darah lainnya bila diperlukan. Selang
nasogastrik perlu dipasang untuk memonitor apakah perdarahan memang
berasal dari SCBB dan apakah masih aktif berdarah atau tidak dengan
melakukan bilasan lambung tiap 6 jam sampai jernih.
Pasien harus diperiksa darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit
dan trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas perdarahan. Sebaiknya
bila dicurigai adanya kelainan pembekuan darah seperti Disseminated
Intravascular Coagullation (DIC) dan lainnya, harus dilakukan pemeriksaan
pembekuan darah seperti masa perdarahan, masa pembekuan, masa
protrombin, APTT, masa trombin, Burr Cell, D dimmer dan lainnya. Bila
22
terdapat kelainan pembekuan darah harus diobati sesuai kelainannya. Pada
penderita dengan hipertensi portal dimana perdarahan disebabkan pecahnya
varises esofagus dapat diberikan obat somatostatin atau oktreotide. Pada
perdarahan non varises yang masif, dapat juga diberikan somatostatin atau
oktroetide tetapi jangka pendek 1-2 hari saja. Pada prinsipnya, urutan
penatalaksanaan perdarahan SCBB dapat mengikuti anjuran algoritme
penatalaksanaan dari Konsensus Nasional Indonesia atau Palmer atau
Triadapafilopoulos.
Selain pengobatan pada pasien perdarahan perlu diperhatikan pemberian
nutrisi yang optimal sesegera mungkin bila pasien sudah tidak perlu
dipuasakan lagi, dan mengobati kelainan kejiwaan/psikis bila ada dan
memberikan edukasi mengenai penyakit pada pasien dan keluarga misal
memberi tahu mengenai penyebab perdarahan dan bagaimana cara-cara
pencegahaan agar tidak mengalami perdarahan lagi.
A.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian Bab Pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan
bahwa hematokezia adalah buang air besar darah merah segar dari saluran
cema bagian bawah (SCBB). Pseudomelena adalah buang air besar berwarna
hitam, tapi penyebab perdarahan berasal dari saluran cema bagian bawah
disebabkan darah terlalu lama di usus. Pseudohematokezia adalah buang air
besar merah segar tapi disebabkan oleh perdarahan masif dari SCBA, dimana
darah yang keluar tidak sempat bercampur dengan asam lambung. Saluran
cema bagian bawah (SCBB) meliputi jejunum distal di bawah ligamentum
TReitz, ileum, kolon, rektum dan anus.
B. Saran
Bagi yang mengalami pendarahan terutama bila buang air besar disertai
dengan darah harus segera dibawa ke RS karena apabila dibiarkan dapat
mengakibatkan kematian.
Menyediakan peralatan untuk mendeteksi dari penyebab dan kandungan
dari pendarahan hematokezia.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy H. Surakarta. : Keluarga
Besar Asisten Anatomi FKUNS.
2. Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2.
Jakarta EGC.
3. http://dokmud.wordpress.com/1-0I0/06/03/Perdarahan-saluran=cema-
bagian-bawah/
4. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=62913
5. http://drlizakedokteran.blogspot.com/2008-01-01-archive.html
6. Hadi, Sujono. 1997. Hematokezia. Dalam: Gastroenterologi Hepatologi.
Jakarta: CV Sagung Seto.
7. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna. Bagian
Bawah Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (belum dipublikasi).
8. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru W dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep. IPD. FKUI.
9. Mansjoer A, Kuspunji T, Rakhmi S, Wahyu IW. Limfoma Non Hodgkin
dalam Kapita Selekta. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2007.
10. Reksodiputro AH, Limfoma Non Hodgkin. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
25
top related