guru yang ideal dalam prespektif islam
Post on 18-Dec-2014
11.379 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
Guru Yang Ideal Dalam Perspektif Islam Oleh : Irvanuddin Disampaikan dalam kegiatan perkuliahan
Mata Kuliah “Profil Tenaga Pendidik”
Tanggal 21 Oktober 2011, Universitas Al-Washliyah (UNIVA) Medan
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan di desain sedemikian rupa untuk
memudahkan peserta didik memahami pelajaran. Hampir semua dari faktor pendidikan
operasionalnya dilaksanakan oleh guru.Sebagai elemen penting dalam lingkup
pendidikan, keberhasilan pendidikan tergantung ditangan guru. Di tangan pendidik
kurikulum akan hidup dan bermakna sehingga menjadi “makanan” yang mendatangkan
selera untuk disantap menjadi peserta didik.
Menurut DN. Madley (1979) “Salah satu proses Asumsi yang melandasi
keberhasilan guru dan pendidikan guru adalah penelitian berfokus pada sifat-sifat
kepribadian guru.Kepribadian guru yang dapat menjadi suri teladanlah yang menjamin
keberhasilannya mendidik anak”.Utamanya dalam pendidikan Islam seorang guru yang
memiliki kepribadian baik, patut untuk ditiru peserta didik khususnya dalam
menanamkan nilai-nilai Agamis.
2. Rumusan Dan Batasan Masalah
Pelajaran agama islam diberikan kepada peserta didik untuk dapat
menghantarkannya mempunyai sikap akhlakul karimah mampu membedakan benar dan
salah, memilih sesuatu yang bermanfaat atau sebaliknya merugikan. Menurut Ajang
Lesmana tentang pendidikan dalam islam mengemukakan bahwa : Pendidikan dalam
islam berusaha menumbuhkan kembangkan potensi peserta didik agar dalam sikap
hidup, tindakan dan pendekatannya terhadap ilmu pengetahuan diwarnai oleh nilai etik
religius.
Dalam penulisan makalah ini, kami memberikan batasan antara lain:
1. Bagaimana kriteria guru dalam islam?
2. Bagaimana sifat guru yang baik menurut islam?
3. Tujuan Penulisan
1. Pemakalah ingin mengetahui kriteria guru yang baik menurut islam.
2
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Profil Tenaga Kependidikan”
B. Pembahasan
1. Kriteria Guru Yang Baik Dalam Islam
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul
tanggung jawab untuk membimbing”.(Ramayulis,1982:42) Pendidik tidak sama dengan
pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada
murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia
berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan
kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan
materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak
didik bernilai tinggi. (Ramayulis, 1998:36)
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa
kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Tulisan berikut ini merupakan kutipan
yang diambil oleh penulis dari buku Abuddin Nata (2000:95-99) ketika menjelaskan
kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan karya monumental
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Sengaja kutipan di bawah ini
diberi sedikit komentar untuk lebih memperjelas maksud yang hendak disampaikan.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru
yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat
fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
2. Sifat-Sifat Guru Yang Baik Dalam Islam
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas,
seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai
berikut :
Pertama, Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru,
maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai
penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri
murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang
mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
3
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang
alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya
mengajarnya itu.Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW.yang mengajar ilmu
hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah.
Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya,
melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan
kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi
peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT.Namun hal ini bisa terjadi jika antara
guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu
yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun
jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang
mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya
harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan
pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan
penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya.Ia tidak boleh membiarkan
muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang
sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada
muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah
SWT,.Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat
keduniaan.Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan
pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara
yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya.
Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau
menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat
menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang
dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang
tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang
baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap
toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak
mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya.Kebiasaan seorang
guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir,
adalah guru yang tidak baik. (Al-Ghazali, t.th:50)
4
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya
perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai
dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali
menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas
kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran
yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa
antipati atau merusak akal muridnya. (Al-Ghazali, t.th:51)
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping
memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami
bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan
usianya.Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan
mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya.Jika hal ini tidak
dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah
dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada
prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian
rupa.Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-
kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya.
Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan
wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan
menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak
akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa
sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru
yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian
berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia,
kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan
cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang
tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
C. Kesimpulan
Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar
menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat
dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan
menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan
5
hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi
juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru
yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat
fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
D. Daftar Pustaka
1. Al-Ghazali, Ihyaa Ulumuddin, Beirut : Daar al-Fikr, Juz I, t. th.
2. Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2000.
3. Ramayulis, Didaktik Metodik, Padang : Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol,
1982 dan Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, Cet. II, 1998.
top related