gunung tambora
Post on 19-Jan-2016
23 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Gunung Tambora, Pulau Sumbawa Indonesia
Letusan Terakhir : Start, 10 April 1815 – Erupt, 17 April
1815.
Muntahkan Magma : 100 km³.
Lepasan abu (kubik) : 400 km³ debu ke angkasa.
Tinggi abu : 44 km dari permukaan tanah.
Lontaran abu : 1300km.
Radius suara letusan : 2600 km
Endapan aliran piroklastik : 7-20m
Tsunami sepanjang pantai : sejauh 1200km, tinggi 1-4m,
Korban letusan langsung : 117.000 korban jiwa.
Kerajaan yang lenyap akibat letusan: Kerajaan Tambora, Kerajaan
Pekat dan Kerajaan Sanggar.
TRAGEDI ERUPSI GUNUNG TAMBORA, TAHUN 1816
A Year Without Summer…
10 April pada tahun 1815. Gunung Tambora meletus dengan begitu
dahsyat, bahkan jauh lebih dahsyat dari Gunung Krakatau. Suara guruh
ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11 April 1815
(lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap
sebagai suara tembakan senapan. Pada pukul 7:00 malam tanggal 10
April, letusan gunung ini semakin kuat.
Tiga lajur api terpancar dan bergabung. Seluruh pegunungan berubah
menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai
menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-
10:00 malam.
Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi
semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar
sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Bau “nitrat” tercium di Batavia dan hujan besar yang
disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya letusan Tambora kembali mulai
mereda antara tangal 11 dan 17 April 1815 dan sekaligus melenyapkan
tiga kerajaan pada masa itu….
Debu vulkanik menyebar setinggi puluhan kilometer mempengaruhi iklim
seantero Bumi, menutup sinar matahari selama berbulan-bulan
lamanya… Bumi bagian utara dan selatan tetap menjadi dingin… Di
Eropa dan Amerika Utara pun matahari tetap tertutup debu vulkanik dan
membuat daerah tersebut tetap dingin walau dimusim panas. Jutaan
orang kelaparan, mayat terkapar bergelimpangan, semua akibat
tumbuhan layu dan mati tanpa adanya matahari sepanjang tahun. Salju
tak kunjung cair, mengerikan…. masa itu dikenal dunia sebagai “Tahun
yang tak melalui musim panas” atau“A year without summer”….
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang
terletak di pulau Sumbawa, Indonesia.
Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian
kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng
sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga
utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sejarah Letusan
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan
bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun
1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.
Perkiraan ketiga letusannya pada tahun:
- Letusan pertama: 39910 sebelum masehi ± 200 tahun
- Letusan kedua: 3050 sebelum masehi
- Letusan ketiga: 740 ± 150 tahun.
Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama.
Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat
pengecualian untuk letusan ketiga.
Jumlah konsentrasi sulfat di inti es dari Tanah Hijau tengah, tarikh tahun dihitung dengan variasi isotop
oksigen musiman. Terdapat letusan yang tidak diketahui pada tahun 1810-an. Sumber: Dai
(1991 /wikimedia.org)
Namun pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak
letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815.
Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index
(VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran
piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan
runtuhnya kaldera.
Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim global dalam waktu yang lama.
Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal
15 Juli 1815.
Pada saat letusan terjadi, beberapa orang Belanda yang berada di
Surabaya mencatat dalam buku hariannya mengaku mendengar letusan
tersebut, juga beberapa orang di benua Australia bagian Barat Laut.
Mereka mengira itu hanyalah suara gemuruh guntur karena tiba-tiba
muncul awan mendung yang membuat redupnya sinar matahari.
Tambora caldera (indonesiaarchipelago.com)
Namun mereka tidak yakin karena yang mereka yakini awan, ternyata
adalah asap dan debu vulkanis.
Dan yang turun ke bumi bukanlah air melainkan debu dan kerikil kecil!
Letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung terdahsyat
sepanjang masa yang pernah tercatat pada era modern.
Pada saat gunung Tambora meletus, daerah radius kurang lebih 600 km
dari gunung Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir seminggu
lamanya.
Letusan yang terdengar, melebihi jarak 2000 km dan suhu Bumi
menurun hingga beberapa derajat yg mengakibatkan bumi menjadi
dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa
bulan.
Letusan Tambora (ilustrasi lukisan kuno)
Sehingga berdampak juga ke daerah Eropa & Amerika Utara mengalami
musim dingin yg panjang.
Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim
panas.
Peristiwa ini dikenal dengan “The year without summer” atau tahun
tanpa musim panas.
Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun 1819
dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh
disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun
1815.
Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI.
Sekitar tahun 1880 (± 30 tahun), Tambora kembali meletus, tetapi hanya
di dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi
kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api
Toi di dalam kaldera.
letusan Tambora dalam lukisan (meteoweb.eu)
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava
masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20.
Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa
dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi tanpa disertai
dengan ledakan.
Total volume yang dikeluarkan Gunung Tambora saat meletus hebat
hampir 200 tahun silam mencapai 150 kilometer kubik atau 150 miliar
meter kubik. Deposit jatuhan abu yang terekam hingga sejauh 1.300
kilometer dari sumbernya.
Peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan
Supriatman Sutawidjaja, dalam tulisannya, ”Characterization of Volcanic
Deposits and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of
Tambora Volcano”, menyebutkan, distribusi awan panas diperkirakan
mencapai area 820 kilometer persegi.
Kaldera gunung Tambora (indonesiaarchipelago.com)
Jumlah total gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan totalnya 874
kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada
yang mencapai 20 meter.
Ahli botani Belanda, Junghuhn, dalam ”The Eruption of G Tambora in
1815”, menulis, empat tahun setelah letusan, sejauh mata memandang
adalah batu apung.
Pelayaran terhambat oleh batuan apung berukuran besar yang
memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah. Bumi begitu
mengerikan dan kosong.
Junghuhn membuat deskripsi itu berdasarkan laporan Disterdijk yang
datang ke Tambora pada 16 agustus 1819 bersama The Dutch Residence
of Bima. Letusan Tambora memang dahsyat, bahkan terkuat yang pernah
tercatat dalam sejarah manusia modern.
Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index
(VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba
(Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.
Artifak peninggalan penduduk asli kerajaan Tambora yang ikut terkubur abu vulkanik (newswise.com)
Letusan gunung Tambora juga tercatat sebagai letusan gunung yang
paling mematikan.
Jumlah korban tewas akibat gunung ini sedikitnya mencapai 71.000 jiwa
tapi sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa.
Sebanyak 10.000 orang tewas secara langsung akibat letusan dan
sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.
Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain,
termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bencana kelaparan
akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim
panas di dua benua itu.
Bahkan di Eropa, Napoleon Bonaparte kalah perang karena efek dari
gunung Tambora ini.
Berikut ringkasan laporan kesaksian saat letusan Gunung Tambora
terjadi, yang disarikan dari ”Transactions of the Batavian Society” Vol
VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816.
Selama enam minggu arkeolog menggali telah menemukan sisa dua mangkok untuk orang dewasa
berbahan perunggu, pot keramik, peralatan dari besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi dari artefak
menunjukkan bahwa budaya Tamboran (orang Tambora) terkait dengan budaya orang Vietnam dan orang
Kamboja. (Image: URI News Bureau)
Sumanap (Sumenep), 10 April 1815
Sore hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan
bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam.
Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus
menggunakan lilin pada pukul 16.00.
Pada pukul 19.00 tanggal 11, arus air surut, disusul air deras dari teluk,
menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali
dalam waktu empat menit.
Baniowangie (Banyuwangi), 10 April 1815
Pada tanggal 10 April malam, ledakan semakin sering mengguncang
bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang
dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar
berhenti pada tanggal 14.
Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815
Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi
hari tanggal 11 April 1815.
Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-
menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan,
tetapi tidak menemukan apa pun.
Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna,
Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing yang tinggal di
Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar
tembakan meriam sepanjang hari.
Tambora explosion 1815
Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11 April 1815
Kami terbungkus kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai
pukul 14.00 pada 12 April. Tanah tertutup debu setebal 2 inci.
Kejadian yang sama juga terjadi di Probolinggo dan Panarukan, terus
sampai di Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup debu setebal 10-12 inci.
Lautan bahkan lebih parah akibat dari letusan tersebut. Suara letusan
terdengar sampai sejauh 600-700 mil.
Grissie (Gresik, Jawa Timur), 12 April 1815
Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi
pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya
lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari.
Dua ilmuwan sedang menyelidiki bekas-bekas peradaban yang telah lenyap di dekat gunung Tambora.
Jam 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal.
Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau
menulis tanpa cahaya lilin.
Tidak ada seorang yang ingat ataupun tercatat dalam tradisi erupsi yang
sedemikian besar.
Ada yang melihat kejadian itu sebagai transisi kembalinya pemerintahan
yang lama.
Lainnya melihat kejadian itu dari sisi takhayul dan legenda bahwa
sedang ada perayaan pernikahan Nyai Loro Kidul (Ratu Kidul) yang
tengah mengawini salah satu anaknya.
Maka dia tengah menembakkan artileri supernaturalnya sebagai
penghormatan. Warga menyebut abu yang jatuh berasal dari amunisi
Nyai Loro Kidul.
Situs peradaban Tambora
Makasar, 12-15 April 1815
Tanggal 12-15 April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun
masih terhalang.
Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari
tanggal 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit angin.
Di atas laut terapung batu-batu apung, dan air pun tertutup debu. Di
sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna
hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima
karena laut benar-benar tertutup.
Heinrich Zollinger, Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora
1847
Heinrich Zollinger merupakan peneliti yang berjejak pertama kalinya di
Tambora usai gunung itu menunjukkan amarahnya. Zollinger
menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat
yang berdampak pada perubahan iklim dunia.
Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih
hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.
Patung dada Heinrich Zollinger yang dikenang di Botanischer Garten Zürich (Roland zh/Wikimedia
Commons)
Zollinger merupakan ahli botani asal Swiss yang ditunjuk Kerajaan
Belanda sebagai kolektor tanaman resmi di negeri kepulauan Hindia
Belanda pada 1842.
Tugasnya melakukan ekspedisi ilmu pengetahuan yang dibiayai oleh
pemerintah. Kediamannya di sebuah vila pedesaan Tjikoja—kini Cikuya—
Karesidenan Banten.
Awalnya dia mengumpulkan data tetumbuhan di lingkungan wilayah
Banten dan Buitenzorg—kini Bogor. Dia merambahi dari kawasan Pantai
Anyer, Kota Tangerang, sampai lembah dan gunung, termasuk Gede-
Pangrango, Salak, dan Tangkubanperahu.
Tahun berikutnya dia merambahi kediaman dewa gunung di
Penanggungan, Semeru, Arjuna dan gunung-gunung di Jawa Timur
lainnya.
Pada 1844 Zollinger mencatat keberhasilan berada di puncak Gunung
Welirang, salah satu menara kembar di Jawa.
Koleksi prospektus tumbuhan yang dikumpulkan Zollinger, salah
satunya, dikirim ke Profesor Alexander Moritzi, naturalis asal Swis yang
bekerja di Solothurn, Swis. Moritzi kelak membantunya dalam hal
penamaan, penomoran, dan distribusi.
Tambora dalam lukisan tua (wellhome.com)
Pada 1847, petualangannya sampai ke Sumbawa. Tujuan Zollinger
adalah mempelajari letusan masa silam Tambora yang berdampak pada
keseimbangan alam setempat dan pemulihannya.
Zollinger merayapi lereng hingga mencapai bibir kalderanya di
ketinggian sekitar 2.851 meter.
Menurutnya, sebelum letusan mahadahsyat pada 1815, tinggi Tambora
mencapai hampir 4.000 meter!
Zollinger pulang ke Swiss pada 1847, kemudian dia menjabat direktur
sekolah seminari di Kussnacht, Swis. Baru pada 1855 dia kembali ke
Jawa sebagai seorang ahli botani independen dan kolektor tanaman.
Ekspedisi kedua di Hindia Belanda pun dimulai.
Biaya perjalanan ke pelosok Hindia diperolehnya lewat kiriman
prospektus herbarium kepada para ilmuwan di Eropa. Selain
mendapatkan uang jasa atas kirimannya, Zollinger juga mendapat
perlindungan selama perjalanannya berupa asuransi jiwa.
Kawah Tambora saat ini, diameter 6,5 – 7 km, dalam 1-1,2 km
Zollinger dikenal sebagai penulis berbagai jurnal dan publikasi ilmiah.
Dia banyak menemukan spesies tanaman langka, yang sebagian
merupakan spesies baru. Banyak pemikirannya telah mengalir dari ujung
tinta, antara lain bidang geologi, meteorologi, moluska di Pulau Rakata,
taksonomi tumbuhan, dan beberapa hal yang terkait tentang vegetasi di
Hindia Belanda.
Koleksi herbariumnya telah tersebar di berbagai herbarium di Swiss dan
Prancis. Namun, koleksi utamanya kini disimpan di Nationaal Herbarium
Nederland di Universiteit Leiden dan Utrecht.
Zollinger demam hebat saat melakukan ekspedisi di Kandangan, sebuah
desa di lereng tenggara Gunung Tengger, Jawa Timur. Dia tarjangkit
malaria —salah satu ancaman terbesar penjelajah abad ke-19—kemudian
tewas di desa tersebut pada 19 Mei 1859. Ketika itu usianya 41 tahun.
Perbandingan letusan gunung Tambora dengan gunung Toba supervolcano
Kini, namanya dikenang dalam sebuah plakat di Botanischer Garten
Zürich (Kebun Botani Zurich), Swis. Beberapa nama tumbuhan di
Indonesia mengabadikan namanya.
Sebagai contoh, dua dari seratusan tanaman obat yang digunakan
penduduk sekitar kawasan Halimun-Salak adalah Flacourtia rukam
Zollinger & Moritzi danSchismatoglottis rupstris Zollinger & Moritzi.
Dalam penjelajahannya sekitar sepuluh tahun di Hindia Belanda,
Zollinger telah memberikan lebih dari 270 spesimen.
Lebih dari 20 spesies tanaman, rumput laut dan jamur menggunakan
nama “zollingerii” sebagai bagian penamaan Latin. Sebuah sumbangan
besar dan bermanfaat kepada ilmu pengetahuan. (Mahandis Y.
Thamrin/NGI)
top related