gede warsika (0713011053)
Post on 03-Jan-2016
48 Views
Preview:
TRANSCRIPT
A. JUDUL PENELITIAN
“Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan
Strategi Scaffolding terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Singaraja”
B. IDENTITAS PENELITI
Nama : Gede Warsika
NIM : 0713011053
Jurusan : Pendidikan Matematika
C. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat
dewasa ini tidak lepas dari kemajuan matematika sebagai ilmu dasar. Hal ini
karena matematika memiliki konsep pemikiran dan pemahaman yang terintegrasi
dalam perkembangan ilmu, teknologi maupun pendidikan. Dengan demikian,
lembaga pendidikan dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama
dalam hal ini adalah peningkatan kualitas pendidikan dibidang matematika. Salah
satu indikator kualitas pendidikan dapat dilihat dari hasil belajar siswa di sekolah.
Salah satu bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika di
Indonesia adalah pemecahan masalah matematika. Seiring dengan perkembangan
kurikulum pendidikan nasional, tujuan pembelajaran matematika di sekolah juga
mengalami perubahan. Pada awalnya pembelajaran matematika sekolah bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan berhitung dan sebagai dasar untuk mempelajari
ilmu yang lain, namun dewasa ini tujuan pembelajaran matematika sekolah telah
bergeser pada empat tujuan utama yaitu: (1) Melatih cara berpikir dan bernalar
dalam menarik kesimpulan, (2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang
melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran
divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-
coba, (3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan (3)
Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan
gagasan. Sesuai dengan tujuan tersebut di atas selanjutnya diberikan lima
kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian yaitu: pemahaman konsep,
pemahaman prosedur, komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah, memilih strategi penyelesaian,
1
menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali. Dalam hal ini pemecahan
masalah kembali ditampilkan sebagai bagian yang penting dalam pembelajaran
matematika.
Meskipun kemampuan pemecahan masalah memiliki kedudukan yang
sangat penting seperti paparan di atas, namun apa yang terjadi di sekolah selama
ini jauh dari harapan. Pembelajaran matematika sekolah, terutama di SMP saat ini
belum mampu mengembangkan keterampilan pemecahan masalah siswa.
Kelemahan siswa SMP dalam pemecahan masalah juga ditunjukkan dengan
belum mampunya siswa dalam menyelesaikan soal cerita dengan baik. Secara
umum, siswa SMP masih menganggap bahwa pemecahan masalah (terutama
masalah soal cerita) sulit untuk diselesaikan.
Dari observasi awal berupa wawancara yang dilakukan dengan guru
matematika di sana, dikatehui bahwa siswa kelas VIII diperoleh informasi bahwa
siswa mengalami kesulitan dalam proses pemecahan masalah matematika. Hal ini
tercermin dari data nilai ulangan matematika semester ganjil tahun ajaran
2009/2010 sebagai berikut :
Kelas Rata-rata nilai
Kelas VIIIA 55,25
Kelas VIIIB 57,9
Kelas VIIIC 60,35
Kelas VIIID 59,47
Kelas VIIIE 55,4
Kelas VIIIF 60,35
Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, hendaknya
siswa senantiasa dilatih untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika, tidak
hanya terkait dengan solusi akhir melainkan juga proses dalam penemuan solusi
tersebut. Memang penting dapat menemukan jawaban akhir suatu pemecahan
masalah, tetapi yang lebih penting adalah cara (proses) dalam memecahkan
masalah untuk memperoleh jawaban tersebut. Siswa sesering mungkin
2
(arsip SMP Negeri 3 Singaraja)
dihadapkan pada masalah-masalah yang nonrutin sehingga terbiasa menggunakan
langkah-langkah pemecahan masalah yang diberikan oleh Polya.
Melalui obsevasi awal dan wawancara dengan guru matematika di SMP
Negeri 3 Singaraja yang telah dilakukan peneliti diperoleh informasi bahwa
pertama, kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP
Negeri 3 Singaraja masih tergolong rendah. Dari informasi yang diberikan guru
bersangkutan bahwa pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas
memang masih didominasi oleh guru. Kegiatan pembelajaran selalu diawali
dengan menjelaskan materi, dilanjutkan dengan memberikan contoh soal, dan
diakhiri dengan latihan soal yang biasanya bersesuaian dengan contoh soal
sehingga pembelajaran belum mengarah pada proses belajar mengajar student-
center. Guru sendiri mengakui bahwa dalam proses belajar mengajar sangat sulit
melibatkan siswa secara aktif, dalam pembelajaran siswa hanya duduk,
mendengarkan penjelasan guru baik itu berupa konsep-konsep maupun
pemecahan soal-soal. Hal ini berakibat interaksi antar siswa maupun antara siswa
dengan guru belum terjalin dengan maksimal. Jika permasalahan yang diberikan
kepada siswa dimodifikasi dari contoh soal sebelumnya maka siswa sulit
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya tersebut. Guru telah berusaha
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Usaha yang
dilakukan guru antara lain mendorong siswa untuk mengidentifikasi masalah
secara teliti sebelum menjawab soal dan mengarahkan siswa agar menjawab
secara bertahap. Usaha tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang optimal.
Ketika siswa dihadapkan pada sebuah masalah terkadang mereka kesulitan
memahami permasalahan tersebut. Hal ini disertai dengan perencanaan
penyelesaian masalah yang kurang terstruktur dan kemampuan menerapkan
rencana penyelesaian yang kurang memadai. Selain itu tidak ada upaya untuk
melihat kembali pekerjaan yang telah dilakukan. Kenyataan ini menyebabkan
rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang akhirnya
berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematika siswa.
Pembelajaran yang dilaksanakan memang belum sepenuhnya mengaitkan
materi pelajaran dengan kehidupan siswa sehari-hari serta pengetahuan awal
siswa. Guru menyadari sesungguhnya siswa telah membawa pemahaman sendiri
3
sebagai pengetahuan awal yang telah mereka miliki sebelumnya. Namun,
kurangnya respon siswa menyebabkan guru kesulitan mengetahui penguasaan
siswa terhadap materi prasyarat, apakah konsep yang dimiliki siswa sudah benar
atau masih menyimpang, serta seberapa dalam pengetahuan awal yang dimiliki
siswa, padahal hal-hal tersebut merupakan pijakan untuk melaksanakan proses
pembelajaran selanjutnya.
Masalah di atas merupakan masalah nyata sehingga penanganan
mendesak, sebab jika kedua masalah tersebut dibiarkan maka akan berdampak
pada prestasi belajar siswa secara keseluruhan. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan sebagai upaya perbaikan adalah menerapkan model pembelajaran
creative problem solving disertai strategi scaffolding.
Creative Problem Solving adalah suatu proses, metode, atau sistem untuk
mendekati suatu masalah di dalam suatu jalan imajinatif dan menghasilkan suatu
tindakan yang sangat efektif untuk menyelesaikannya. Ketika dihadapkan dengan
suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah
untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Creative problem solving
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menemukan masalah dari situasi-situasi yang akan menimbulkan masalah
yaitu suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang menghadirkan
suatu masalah. Ketika mendapatkan suatu situasi yang akan menghadirkan
masalah, siswa menulis dalam ringkasan kecil yang dapat menangkap inti
sari dari apa yang terjadi. Gagasan-gagasan siswa dibiarkan mengalir.
2. Menemukan data yaitu siswa mengidentifikasi semua fakta yang
berhubungan dengan situasi yang dihadapi, untuk mencari dan
mengidentifikasi situasi yang tidak diketahui tetapi penting situasi tersebut
untuk diketahui dan dicari. Siswa mendaftar semua fakta yang
berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan sasaran yang diinginkan.
Tujuannya adalah untuk mempunyai semua pengetahuan yang
bersangkutan dengan masalah sehingga siswa dapat mengidentifikasi dan
menggambarkan kunci permasalahan. Kemudian, menggunakan divergent
thinking untuk mengenal fakta. Kemudian daftar fakta-fakta yang didapat
yang akan digunakan pada langkah berikutnya.
4
3. Menemukan kunci permasalahan yaitu siswa mengidentifikasi semua
statemen-statemen masalah dan kemudian yang terpenting adalah
mengisolasinya dan mencari dasar dari masalah tersebut. Kemudian siswa
memilih statemen masalah yang paling utama, meninjau ulang semua
statemen permasalahan tersebut dan kemudian memilih satu kombinasi
atau statemen-statemen yang terbaik untuk menguraikan permasalahan
lebih lanjut yaitu yang dapat memberikan manfaat ketika permasalahan itu
akan dipecahkan.
4. Pengungkapan gagasan (ide) atau pendapat yaitu pada tahap ini siswa
dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam
strategi penyelesaian masalah. Siswa mengidentifikasi solusi sebanyak-
banyaknya dari statemen-statemen masalah yang memungkinkan.
5. Evaluasi dan Pemilihan yaitu pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap
kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana
yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Menggunakan sebuah daftar
untuk memilih solusi yang terbaik untuk ditindaklanjuti.
6. Implementasi yaitu pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang
dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya
sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Menentukan
rencana suatu kegiatan dan menerapkan solusi yang telah ditentukan
(Mitchell, 1999).
Model pembelajaran creative problem solving dengan disertai strategi
scaffolding akan mendorong terciptanya suatu lingkungan belajar yang
menyenangkan. Model pembelajaran creative problem solving dirancang untuk
melakukan pemusatan pembelajaran keterampilan pemecahan masalah baru secara
inovatif, memiliki pola pikir dan prilaku yang divergen, membantu siswa untuk
memiliki sifat positif dalam belajar, dan memiliki kemampuan kerja sama baik
dengan sesama teman maupun dengan guru selaku fasilitator, motivator dalam
belajar. Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dan diasah melalui
langkah-langkah creative problem solving. Dengan strategi scaffolding akan
menjadikan peran seorang guru sebagai pembimbing di dalam proses
penyelesaian soal yang berupa masalah yaitu peran guru hanya sebagai penyedia
5
bantuan yang berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan dapat lebih dimengerti oleh siswa dan
pemberian itu tidak senantiasa dilakukan terus-menerus dalam setiap proses
pembelajaran, bantuan itu akan dikurangi dikit demi sedikit dan sampai pada batas
siswa diyakini oleh guru mempunyai kemampuan yang cukup untuk lebih mandiri
di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan maka bantuan itu akan
ditiadakan.
Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian berjudul “Pengaruh
Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP
Negeri 3 Singaraja”
D. RUMUSAN PENELITIAN
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dalam penelitian ini dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Adakah Pengaruh model pembelajaran creative
problem solving dengan strategi scaffolding terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja?
2. Bagaimana tanggapan siswa kelas VII SMP Negeri
3 Singaraja terhadap penerapan model pembelajaran creative problem
solving dengan strategi scaffolding?
E. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1. Mengetahui Pengaruh model pembelajaran creative
problem solving dengan strategi scaffolding terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja.
2. Mengetahui tanggapan tanggapan siswa kelas VII
SMP Negeri 3 Singaraja terhadap penerapan model pembelajaran creative
problem solving dengan strategi scaffolding.
6
F. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
positif terhadap pengembangan pembelajaran matematika. Manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat bagi siswa
Penerapan model pembelajaran creative problem solving dengan
strategi scaffolding dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
maslah matematika siswa karena siswa terlibat aktif dalam
pembelajaran dengan mengajukan masalah-masalah. Siswa juga akan
termotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas karena setiap individu
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kelompoknya.
Pembentukan kelompok yang heterogen akan membuat siswa dapat
berdiskusi dengan anggota kelompoknya.
2. Manfaat bagi guru
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan alternative pembelajaran matematika untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dalam suatu unit
pelajaran.
3. Manfaat bagi sekolah
Pembelajaran yang dirancang dapat dijadikan bahan masukan bagi
sekolah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa secara keseluruhan.
G. TINJAUAN PUSTAKA
G.1 Pembelajaran Matematika Menurut Teori Konstruktivis
Terdapat 3 penekanan dalam teori pembelajaran krontruktivis seperti
yang dikemukakan Tasker (dalam Hamzah, 2002) sebagai berikut. Pertama
adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
pengetahuan secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima. Menurut pandangan konstruktivis belajar pada
hakikatnya merupakan modifikasi gagasan-gagasan yang telah ada pada diri
7
siswa. Proses belajar siswa melalui konstruksi dan elaborasi skema-skema atas
dasar pengalaman dan melibatkan interaksi antara penetahuan baru dengan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam teori belajar konstruktivis,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja secara utuh dari pikiran guru ke
pikiran siswa. Artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Bodner (1986) mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun
dalam pikiran pebelajar berdasarkan pengetahuan awalnya. Karena itu
pengetahuan awal siswa merupakan hal yang penting dalam suatu pembelajaran.
Siswa harus aktif membangun pengetahuannya berdasarkan struktur kognitifnya,
sedangkan guru membantu agar proses konstruksi itu berjalan sehingga siswa
dapat membentuk pengetahuannya. Peran siswa dalam pembelajaran dengan
filosofi konstruktivisme sangat diutamakan. Siswa diberikan kesempatan untuk
mengungkapkan pemikirannya/idenya sendiri. Guru membantu agar informasi
lebih bermakna dan relevan bagi siswa dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide dan menyadarkan siswa untuk
menggunakan strategi-strategi yang dimiliki untuk belajar. Von Glasersfeld
(dalam Sadia, 1998) menyatakan bahwa dalam interaksi belajar mengajar di kelas,
guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat individu antar siswa dan
memberikan penghargaan terhadap setiap gagasan siswa. Sebagai implikasi dari
konseptualisasi ini, maka pikiran siswa harus dipandang sebagai jaringan ide-ide
yang kaya dan bervariasi.
Nickson (dalam Ardana, 2000 : 11) menyatakan bahwa
pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu
pebelajar untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip itu terbangun
kembali melalui transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep atau
prinsip baru. Dalam pembelajaran konstruktivis siswa dituntut aktif dalam
pembentukan struktur kognitifnya dengan guru bertindak sebagai
pengarah/penuntun agar proses pembentukan struktur kognitifnya itu berjalan
dengan lancar.
Suparno (1997) menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan
bercirikan antara lain sebagai berikut.
8
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa
dari apa yang telah mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi
arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah siswa miliki.
2) Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus menerus.
Setiap berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan
rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih
dari suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.
Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan
perkembangan itu sendiri (fosnot, 1996), suatu perkembangan yang
menurut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema
seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.
Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik
untuk memacu belajar.
Ciri-ciri di atas memberikan acuan bahwa dalam penbelajaran
matematika, setiap siswa harus mengkonstruksi pengetahuanya sendiri dan
mempunyai cara sendiri untuk mengerti serta mengetahui kekhasan dalam dirinya
termasuk keunggulan dan kelemahannya dalam memahami sesuatu. Ini berarti
siswa yang aktif berpikir, merumuskan konsep dan mengambil makna. Peran guru
disini adalah membantu supaya proses konstruksi itu berjalan agar siswa
membentuk pengetahuannya (Parwati dkk, 2000).
Sedangkan agar lebih spesifik, Hudoyo (1998) mengatakan
pembelajaran matematika menurut pandangan konstrukstivis antara lain dicirikan
sebagai berikut.
1) Siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi
matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Siswa belajar
bagaimana belajar itu.
2) Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga
menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap
informasi (materi) komplek terjadi.
9
3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang ada
pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu
diperhatikan dalam teori belajar konstruktivis, Hanbury (dalam Hamzah : 2002)
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran
matematika yaitu : (1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan
cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) Matematika menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) Strategi siswa lebih bernilai, dan (4) Siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat dikatakan bahwa
pembelajaran matematika adalah membangun/pembentukan pengetahuan.
Pembentukan pengetahuan inilah ytang harus dibuat sendiri oleh siswa. Siswa
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka berdasarkan
pengetahuan awalnya
G.2 Model Pembelajaran Creative Problem Solving
Model “Creative Problem Solving” (CPS) adalah suatu model
pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan
pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Creative
problem solving dapat dipecah menurut masing-masing pengertian setiap katanya
yaitu: Creative adalah suatu gagasan yang mempunyai suatu unsur corak atau ciri
baru atau keunikan, siapa yang menciptakan solusi dan juga mempunyai kaitan
dan nilai. Problem adalah situasi yang menghadirkan suatu tantangan, suatu
kesempatan, atau suatu perhatian atau suatu dituasi yang tak jelas jalan
pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk
menemukan jawabannya. Solving adalah jalan pemikiran untuk menjawabnya,
titik temu untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, Creative Problem
Solving adalah suatu proses, metode, atau system untuk mendekati suatu masalah
di dalam suatu jalan imajinatif dan menghasilkan suatu tindakan yang sangat
efektif untuk menyelesaikannya. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan,
siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan
mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa
10
dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas prosesberpikir
(Mitchell,1999).
Suatu soal yang dianggap sebagai “masalah” adalah soal yang
memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya.
Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui
cara menyelesaikannya, karena telah jelas antara hubungan antara yang diketahui
dengan yang ditanyakan, dan biasanya telah ada contoh soal. Pada masalah siswa
tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang
untuk menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih
strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari
suatu_masalah_(Suyitno,2000:33).
Creative problem solving menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menemukan masalah dari situasi-situasi yang akan menimbulkan masalah
yaitu suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang menghadirkan
suatu masalah. Ketika mendapatkan suatu situasi yang akan menghadirkan
masalah, siswa menulis dalam ringkasan kecil yang dapat menangkap inti
sari dari apa yang terjadi. Biarkan gagasan-gagasan dan pendapat siswa
mengalir sehingga menemukan inti sari dari masalah itu.
2. Menemukan data yaitu siswa mengidentifikasi semua fakta yang
berhubungan dengan situasi yang dihadapi, untuk mencari dan
mengidentifikasi situasi yang tidak diketahui tetapi penting situasi tersebut
untuk diketahui dan dicari. Siswa mendaftar semua fakta yang
berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan sasaran yang diinginkan.
Tujuannya adalah untuk mempunyai semua pengetahuan yang
bersangkutan dengan masalah sehingga siswa dapat mengidentifikasi dan
menggambarkan kunci permasalahan. Kemudian, menggunakan divergent
thinking untuk mengenal fakta. Kemudian daftar fakta-fakta yang didapat
yang akan digunakan pada langkah berikutnya.
3. Menemukan kunci permasalahan yaitu siswa mengidentifikasi semua
statemen-statemen masalah dan kemudian yang terpenting adalah
mengisolasinya dan mencari dasar dari masalah tersebut. Kemudian siswa
memilih statemen masalah yang paling utama, meninjau ulang semua
11
statemen permasalahan tersebut dan kemudian memilih satu kombinasi
atau statemen-statemen yang terbaik untuk menguraikan permasalahan
lebih lanjut yaitu yang dapat memberikan manfaat ketika permasalahan itu
akan dipecahkan.
4. Pengungkapan gagasan (ide) atau pendapat yaitu pada tahap ini siswa
dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam
strategi penyelesaian masalah. Siswa mengidentifikasi solusi sebanyak-
banyaknya dari statemen-statemen masalah yang memungkinkan.
Sehingga siswa tidak merasa tertekan saat pembelajaran berlangsung,
pendapat siswa dihargai.
5. Evaluasi dan Pemilihan yaitu pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap
kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana
yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Menggunakan sebuah daftar
untuk memilih solusi yang terbaik untuk ditindaklanjuti.
6. Implementasi yaitu pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang
dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya
sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Menentukan
rencana suatu kegiatan dan menerapkan solusi yang telah ditentukan.
(Mitchell, 1999).
Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif
dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengatasi
kesulitan dalam mempelajari matematika. Siswa akan terbiasa jika menghadapi
permasalahan-permasalahan matematika dan dengan creative problem solving ini,
siswa akan lebih mudah di dalam mengidentifikasikan masalah dan
menyelesaikannya. Dengan langkah-langkah creative problem solving (CPS) yang
dipaparkan di atas, kebingungan siswa saat menghadapi masalah matematika
setidaknya akan dapat dikurangi dan pada akhirnya siswa terbiasa untuk
menghadapi masalah matematika kemudian menyelesaikannya dengan suatu
urutan penyelesaian yang terstruktur.
12
Bagan dari creative problem solving
secara keseluruhan dapatdiperlihatkan sebagai berikut :
(William E. Mitchell : 1999)
Dari uraian sintaks di atas nampak bahwa siswa akan berposisi sebagai
pencari pengetahuan, dalam artian mereka secara aktif dilibatkan dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi dengan melaksanakan proses
pembelajaran berdasarkan sintaks di atas, dapat dilihat bahwa melalui proses
pembelajaran tersebut siswa akan terlatih untuk bernalar, memecahkan masalah
dengan menggunakan konsep-konsep yang telah dikuasainya untuk memecakan
masalah yang diberikan. Proses pembelajaran ini sangat relevan dengan tuntutan
KTSP yang menekankan pengembangan, kompetensi dasar dan pemahaman
konsep. Disamping sintaks di atas, model creative problem solving juga memiliki
13
Situasi yang menghadirkan masalah
Situasi yang menghadirkan masalah
Menemukan dataMenemukan data
Menemukan kunci masalah
Menemukan kunci masalah
Menemukan ide (gagasan)Menemukan ide (gagasan)
Evaluasi dan Pemilihan solusi
Evaluasi dan Pemilihan solusi
Rencana kegiatan selanjutnya
(implementasi)
Rencana kegiatan selanjutnya
(implementasi)
DivergentThinking
Konvergen
Thinking
komponen yang lain diantaranya sistem sosial, prinsip reaksi, dampak
instruksional dan dampak pengiring.
Dalam sistem sosial model ini, pola hubungan guru dan siswa tergolong
tinggi. Perilaku guru dan siswa adalah guru bertindak sebagai fasilitator,
pemberian informasi, teman berpikir dan pembimbing. Minimnya peran guru
sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang
sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Komponen selanjutnya adalah prinsip reaksi guru terhadap siswa, dimana
prilaku guru sebagai berikut :
a. Pembuka prilaku belajar pemecahan masalah
b. Konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir
tingkat tinggi. Peran ini ditampilkan utamanya dalam proses siswa
melakukan aktivitas pemecahan masalah.
Selain itu, model creative problem solving ini memiliki dampak
instruksional yaitu siswa memiliki pemahaman, keterampilan, berpikir kritis dan
kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan
menggunakan pengetahuan secara bermakna. Dampak pengiringnya adalah
hakekat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan
siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
Peraturan-peraturan dasar dari creative problem solving
a. Untuk mengefektifkan pengungkapan pendapat:
1. Kwantitas adalah diperlukannya suatu originalitas untuk
kelancaran datangnya suatu gagasan
2. Keadaan bebas yang tak terhambat membangkitkan datangnya
suatu gagasan
3. Semua gagasan (ide) dapat diterima
4. Kombinasi dan improvement
5. Untuk merangsang datangnya gagasan : penggantian, kombinasi,
penyesuaian, modifikasi, memperbesar, memperkecil, letakkan
pada penggunaan uang lain, menghapus, membalikkan.
b. Untuk mengefektifkan pemikiran yang divergen :
1. Menunda keputusan
14
2. Mencari banyak ide
3. Menerima semua gagasan (ide)
4. Membuat diri siswa regang dari gagasan-gagasan yang didapat
5. Memberikan beberapa saat agar ide menjadi cemerlang
6. Mencari kombinasinya
c. Untuk mengefektifkan pemikiran yang konvergen :
1. Tidak tergesa-gesa
2. Tegas
3. Jangan cepat menyimpulkan jika masih terlalu prematur
4. Mencari yang disukai
5. Kembangkan keputusan yang dipilih
6. Jangan menyimpang dari tujuan
(William E. Mitchell : 1999)
Jika dilihat dari komponen-komponen model di atas dapat dikatakan setiap
komponen sangat mendukung pelaksanaan KTSP, karena dari uraian di atas
tampak bahwa siswa yang aktif di dalam proses belajar. Siswa dibuat untuk
berperan aktif dan tanpa dipaksakan untuk mengikuti cara yang dimiliki guru
sehingga akan tumbuh kemampuan bernalar sesuai dengan potensinya sendiri,
serta guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi atau pengetahuan
melainkan lebih cenderung sebagai fasilitator yang berupa mendorong siswa
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan berupa permasalahan matematika
sesuai dengan cara atau potensinya sendiri.
G.3 Strategi Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika
Salah satu dari teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding berarti
memberikan kepada sekolompok siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri (Slavin, 1993). Bantuan yang
diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky dalam Scaffolding mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa
dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai
15
keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3)
siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk
membimbing siswa dalam upaya mencapai suatu keberhasilan. Dorongan guru
sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi
optimum (Vygotsky,1978 :5).
Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe &
Jones, 1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran
kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas
yang sulit dan saling memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang
efektif. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding,
dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran
sendiri. Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja
secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan
bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran agar segala kesulitan-
kesulitan siswa dapat diatasi (pemberian bantuan ini disesuaikan dengan
pengertian dari Scaffolding di atas yaitu guru memberikan bantuan hanya sebatas
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk
lain dan semakin lama guru mengharapkan siswa dapat mengerjakan secara
mandiri sehingga pemberian bantuan dapat dikurangi dan terlebih ditiadakan).
Dalam memecahkan masalah matematika, posisi guru adalah sebagai
penawar bantuan berupa keterampilan jika diperlukan oleh siswa yang
bermasalah. Guru memberi bantuan hanya sebatas berupa petunjuk, peringatan,
dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain dan penting sekali
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah yang
diberikan secara mandiri sehingga pembelajaran ini dapat membuat siswa aktif.
Harus diingat bahwa peran guru di sini juga adalah memelihara kondisi siswa
dalam mengerjakan masalah-masalah yang diberikan tanpa tekanan, menghindari
rasa frustasi siswa dan menghindari kebosanan siswa.
Lange (2002) berpendapat, ada dua langkah utama yang terlibat di dalam
strategi scaffolding yaitu : (1) pengembangan rencana instruksional untuk
memimpin siswa dari apa yang telah mereka ketahui ke suatu pemahaman lebih
dalam terhadap materi baru. (2) pelaksanaan rencana, guru menyediakan
16
pendukung kepada siswa pada setiap langkah untuk memecahkan masalah dalam
proses pembelajaran.
Dalam proses scaffolding , terdapat lima ciri yang dapat
diidentifikasikan secara spesifik yang akan membantu siswa untuk menyerap
pengetahuan sampai terjadinya suatu penguasaan (Applebee dan Langer ; 1983).
Seperti yang dikutip oleh Zhao dan Orey (1999), identifikasi kelima ciri itu adalah
sebagai:
1. Intentionality
Suatu tugas mempunyai tujuan yang jelas yang akan mengendalikan
segala aktivitas yang terpisah dan berperan untuk pencapaian secara
keseluruhan.
2. Appropriateness (kepantasan)
Suatu tugas yang bersifat masalah yang dapat dipecahkan dengan bantuan
guru tetapi siswa tidak dapat menyelesaikannya dengan sukses tanpa
bantuan guru. Sampai siswa mempunyai kemampuan yang cukup dan
dapat mengerjakannya secara mandiri.
3. Struktur
Aktivitas peragaan dan tanya jawab merupakan bagian dari suatu model
pendekatan, dimana model yang digunakan disesuaikan dengan tugas yang
diberikan dan diharapkan dengan tugas ini dapat mendorong siswa ke arah
suatu urutan bahasa dan pemikiran yang alami dan terstruktur.
4. Kerja sama (collaboration)
Guru memberikan tanggapan terhadap tugas yang telah dibuat oleh siswa
dimana guru tidak bersifat evaluatif namun guru hanya bersifat kolaboratif
dengan jalan memperluas kembali pengetahuan siswa berdasarkan tugas
yang telah dikerjakannya dan menghargai apa yang siswa sudah kerjakan.
5. Internalization
Pada eksternal scaffolding, guru secara perlahan-lahan mengurangi
pemberian bantuan kepada siswa sampai siswa mempunyai pola teladan di
dalam dirinya sehingga siswa dapat mandiri.
17
Zhao dan Orey (1999) mengidentidikasi enam unsur-unsur umum proses
scaffolding : sharing a specific goal, whole task approach, immediate availability
of help, intention-assisting, optimal level of help, conveying an expert model.
1. Sharing A Specific Goal
Tanggung jawab seorang guru untuk menetapkan target yang ingin dicapai.
Minat siswa harus ditumbuhkan sehingga guru dapat berkomunikasi dengan
siswa dan mencapai intersubjektivas (berbagi niat, persepsi, konsepsi dan
perasaan) (Zhao dan Orey, 1999). Guru harus melakukan beberapa pre-
assessment menyangkut siswa dan kurikulum. Prestasi hasil sasaran kurikulum
yang direncanakan oleh guru dengan mempertimbangkan kebutuhan dari setiap
siswa. Guru hendaknya mempertimbangkan siswa yang memiliki keunikan
dalam artian siswa yang memiliki kelemahan
2. Who Task Approach
Dalam pemberian tugas yang harus diperhatikan adalah focus dari tujuan
pemberian tugas yaitu penekanan suatu proses dalam penyelesaian tugas.
Pemberian tugas (masalah) akan lebih efektif jika siswa tidak mengalami
kesulitan ekstrim dalam mengerjakan tugas tersebut (menekankan keterampilan
yang dilakukan di dalam menyelesaikan tugas) sehingga tujuan dari pemberian
tugas kepada siswa dapat dicapai secara maksimum.
3. Immediate Availability Of Help
Pemberian bantuan kepada siswa sangatlah penting, ini berguna untuk
membantu mengendalikan rasa prustasi siswa di dalam mengerjakan tugas
yang diberikan. Lebih efektif jika guru memberikan bantuan sesegera mungkin
dan tepat waktu sehingga siswa dapat meneruskan tugasnya ke langkah
selanjutnya.
3. Intention-Assisting
Inti dari proses scaffolding adalah untuk menyediakan bantuan kepada siswa,
yaitu membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa dalam
mengerjakan tugas yang diberikan. Bagaimanapun sangatlah penting untuk
memberikan bantuan secara optimal kepada siswa yang mengalami kesulitan di
dalam mengambil strategi yang harus diambil untuk menyelesaikan tugasnya.
18
Tugas guru yang lainnya adalah memelihara minat siswa dalam mengerjakan
tugas yang diberikan sehingga dapat mendorong keterampilan siswa ke tingkat
pemikiran yang lebih tinggi.
5. Optimal Level Of Help
Apa yang dapat dilakukan siswa harus disesuaikan dengan tingkat penyajian
bantuan. Siswa diberikan bantuan secara efektif untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam mengerjakan tugas. Dengan kata lain,
bantuan hanya diperlukan dalam mengerjakan tugas yang tidak dapat
diselesaikan siswa. Tidak ada intervensi yang mengharuskan siswa untuk
menyelesaikan tugas secepatnya jika siswa mengalami kesulitan dalam
pengerjaannya. Bagaimanapun, jika siswa kurang memiliki keterampilan atau
siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas maka guru perlu
mendemonstrasikan materi itu kembali.
6. Conveying An Expert Model
Seorang guru dapat memberikan contoh yang tegas/eksplisit pemaparan tugas
yang jelas sehingga tidak ada kerancuan dalam instruksi-instruksi yang
diberikan oleh guru.
Poin-poin yang harus diperhatikan pada saat menerapkan strategi
scaffolding, Larking (2002) mengatakan bahwa para guru dapat mengikuti
beberapa teknik scaffolding yang sangat efektif yaitu dengan mendorong
kepercayaan siswa. Pertama, perkenalkan para siswa dengan masalah yang tidak
dapat dikerjakannya dan berikan sedikit bantuan. Hal ini akan meningkatkan rasa
percaya diri dari siswa. Berikan bantuan yang cukup untuk memberikan
kesempatan kepada para siswa dalam mencapai penguasaan materi. Hal ini akan
dapat menghindarkan rasa prustasi siswa, mengukur dan memastikan bahwa
siswa mampu mengikuti langkah berikutnya. Scaffolding harus dipindahkan
secara berangsur-angsur dan kemudian memindahkan sepenuhnya kepada siswa
dalam menyelesaikan suatu masalah ketika siswa dirasa sudah memperlihatkan
penguasaan suatu masalah.
G.4 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah jika seseorang tidak
mempunyai aturan atau hukum tertentu yang dapat digunakan untuk menemukan
19
jawaban pertanyaan tersebut (Suherman, dkk, 2003). Suatu pertanyaan merupakan
suatu masalah bagi siswa, tetapi belum tentu pertanyaan tersebut merupakan
masalah bagi siswa yang lain. Jadi pertanyaan merupakan suatu masalah
tergantung kepada individunya.
Adanya masalah menuntut seseorang memiliki kemampuan
pemecahan masalah. Pemecahan masalah matemtika adalah keterampilan siswa
dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah (umumnya berbentuk essay).
Kemampuan anak dalam memecahkan masalah sangat terkait dengan tingkat
perkembangan mereka sehingga masalah-masalah yang diberikan kepada siswa
haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut. Jadi pertanyaan itu harus sesuai
dengan struktur kognitif siswa. Dipertegas kembali oleh Polya (Suherman,2003)
mendefinisikan kemampuan pemecahan masalah matematika sebagai kemampuan
memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan melalui empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami
masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan
memeriksa kembali.
Perry dan Controy (dalam Sutawidjaja, 1998:9) mengemukakan
beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah yaitu:
a. siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktauan dan
merasa senang untuk mencari tahu;
b. setiap siswa dalam kelompok harus diberanikan untuk
membuat soal atau pertanyaan;
c. siswa diperbolehkan memilih masalah-masalah dari sejumlah
masalah yang diberikan; dan
d. siswa harus diberikan untuk mengambil resiko dan mencari
alternative
Lebih jauh, Perry dan Controy (dalam Sutawidjaja), 1998 :9) juga
mengemukakan beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah yakni :
(a) guru harus sadar akan sikap positif dan cara-cara yang
mengembangkan hal itu;
20
(b) guru harus berani mencari dan mengembangkan keterampilan
siswa dalam memecahkan masalah;
(c) guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul
secara spontan;
(d) guru perlu memperjelas situasi belajar dengan bertanya untuk
menggalakkan jawaban dari penyajian siswa;
(e) guru harus mau membiarkan pemecahan suatu masalah
menurut persepsi siswa walaupun mempunyai arah yang
berbeda dengan yang direncanakan; dan
(f) masalah tidak harus selalu diselesaikan oleh siswa. Masalah
dapat dilontarkan sebagai awal penyajian materi baru.
Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang paling penting
dalam pengajaran matematika, sebab kemampuan pemecahan masalah yang
diperoleh dalam suatu pelajaran matematika pada umumnya dapat di transfer
untuk digunakan dalam memecahkan masalah lain (Bell dalam Eka Mahendra
2005). Sukasno (2002 dalam Aryana 2006) menyatakan masalah merupakan suatu
tugas bagi siswa untuk memecahkan soal-soal ataupun tugas-tugas yang diberikan
kepadanya dengan melibatkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses penerimaan masalah
sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa,
kemampuan tersebut akan terwujud jika guru mengajarkan bagaimana
memecahkan masalah yang efektif. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa
diharapkan memahami proses penyelesaian masalah yang diberikan dan menjadi
terampil di dalam memilih dan mengidentifikasikan kondisi dan konsep yang
relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan
mengorganisasikan keterampilan yang telah dimilikinya. Menurut Polya (dalam
Suherman 2003), dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah penting
yang harus dilakukan yaitu:
1. Memahami masalah yaitu apa yang dicari, apa yang diketahui, apa
syarat-syarat bias dipenuhi dan cukup untuk mencari yang tidak
diketahui, membuat gambar atau grafik.
21
2. Merencanakan pemecahannya yaitu apakah soal tersebut sudah pernah
dilihat sebelumnya, apakah masalah yang sama pernah dilihat dalam
bentuk yang berbeda, apakah tahu teorema yang mungkin berguna,
memperhatikan unsur yang tidak diketahui dan memikirkan soal yang
sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama.
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua yaitu
merencanakan penyelesaiannya, mengecek setiap langkah, apakah
langkah sudah benar.
4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh yaitu mengecek hasilnya,
dapatkah hasil itu didapat dengan cara yang lain.
Keempat tahap pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan
kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan
Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan utama
yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan
melakukan aktivitas di dunia nyata. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
H. Kerangka Berpikir
Kemampuan pemecahan masalah menyangkut kemampuan
individu atau kelompok menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah dalam
upaya menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan
yang telah dimiliki sebelumnya untuk memenuhi tuntunan situasi yang tak jelas
jalan pemecahannya. Suatu kondisi yang mendukung terlaksananya kegiatan
pemecahan masalah adalah keinginan atau ketertarikan siswa terhasap masalah
yang dihadapinya. Jacobson, Lester, dan Stengel (dalam Sukasno,2002 :25),
mengajukan tiga prinsip dasar agar siswa tertarik untuk menyelesaikan masalah
yaitu:
1. Berikan kepada siswa pengalaman langsung, aktif, dan
berkesinambungan dalam menyelesaikan soal-soal beragam.
2. Ciptakan hubungan yang positif antara minat siswa dalam
menyelesaikan soal dengan keberhasilan mereka; dan
22
3. Ciptakan hubungan yang akrab antara siswa, permasalahan,
perilaku pemecahan masalah, dan suasana kelas
Model pembelajaran creative problem solving dengan disertai
strategi scaffolding telah memuat ketiga prinsip tersebut sehingga akan
mendorong terciptanya suatu lingkungan belajar yang menyenangkan. Model
pembelajaran creative problem solving dirancang untuk melakukan pemusatan
pembelajaran keterampilan pemecahan masalah baru secara inovatif, memiliki
pola pikir dan prilaku yang divergen, membantu siswa untuk memiliki sifat positif
dalam belajar, dan memiliki kemampuan kerja sama baik dengan sesama teman
maupun dengan guru selaku fasilitator, motivator dalam belajar. Seperti diketahui
bersama-sama yaitu dalam proses pembelajaran, terlebih pembelajaran yang
memusatkan kepada penguatan keterampilan pemecahan masalah, seorang guru di
sini bertindak sebagai fasilitator dan moderator. Dalam pembelajaran ini siswa
memiliki lebih banyak kesempatan melatih keterampilannya dalam langkah-
langkah pemecahan masalah, siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang dekat
dengan kehidupannya, siswa diberikan kesempatan mengkomunikasikan dan
mendiskusikan hasil pekerjaannya dengan teman, dengan demikian keterampilan
pemecahan masalah siswa akan semakin terasah dan pada akhirnya diharapkan
mampu mencapai keterampilan pemecahan masalah yang diinginkan.
Pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran
creative problem solving disertai strategi scaffolding akan menciptakan
lingkungan belajar yang bebas dari tekanan dan ancaman. Kemampuan
pemecahan masalah dapat dikembangkan dan diasah melalui langkah-langkah
creative problem solving. Namun suatu pembelajaran terlebih yang menitik
beratkan pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah tidak akan dapat
berjalan dengan lancar jika membiarkan siswa hanya bekerja sendirian dalam
menyelesaikan soal-soal matematika yang berupa masalah sehingga sangat
diperlukan peran seorang guru sebagai pembimbing di dalam proses penyelesaian
soal yang berupa masalah namun perlu digaris bawahi yaitu peran guru hanya
sebagai penyedia bantuan yang berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan dapat lebih
dimengerti oleh siswa dan pemberian itu tidak senantiasa dilakukan terus-menerus
23
Situasi yang menghadirkan masalah
Situasi yang menghadirkan masalah
Menemukan dataMenemukan data
Menemukan kunci masalah
Menemukan kunci masalah
Menemukan ide (gagasan)
Menemukan ide (gagasan)
Evaluasi dan Pemilihan solusi
Evaluasi dan Pemilihan solusi
Rencana kegiatan selanjutnya
(implementasi)
Rencana kegiatan selanjutnya
(implementasi)
DivergentThinking
Konvergen
Thinking
Strategi scaffoding
Semakin lama semakin
berkurang dan akhinya menghilang
dalam setiap proses pembelajaran, bantuan itu akan dikurangi dikit demi sedikit
dan sampai pada batas siswa diyakini oleh guru mempunyai kemampuan yang
cukup untuk lebih mandiri di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
diberikan maka bantuan itu akan ditiadakan. Jadi, model pembelajaran creative
problem solving akan dapat berjalan dengan lancar dan mencapai hasil yang
optimal jika disertai dengan strategi pembelajaran scaffolding yaitu memberikan
kepada sekelompok siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal
pembelajaran yaitu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah
ke dalam bentuk lain yang lebih mudah dipahami oleh siswa dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut sehingga memberikan kesempatan kepada siswa
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah siswa diyakini
mampu mengerjakannya sendiri (Slavin, 1993).
Proses itu dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut :
24
Dapat dilihat bagan di atas bahwa model creative problem solving
disertai strategi scaffolding sangat cocok diterapkan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan uraian di atas
dapat dilihat betapa pentingnya ”Implementasi Model Pembelajaran Creative
Problem Solving disertai strategi Scaffolding untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja”
I. Hipotesis
Dari kajian teoritis di atas maka dapat dirumuskan suatu hipotesis tindakan
sebagai berikut:
“Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi
Scaffolding Berpengaruh positif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja”
J. METODE PENELITIAN
J.1. Populasi Penelitian
"Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian" (Arikunto, 2002: 108).
Sehingga yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII
SMP Negeri 3 Singaraja Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010. Banyaknya
anggota populasi dalam penelitian ini adalah 240 siswa yang tersebar ke dalam 6
kelas dan sebaran siswa untuk masing-masing kelas adalah seperti tabel berikut.
Tabel Sebaran Anggota Populasi Penelitian
No Sumber Populasi Jumlah Siswa
1 Kelas VIIIA 38
2 Kelas VIIIB 41
3 Kelas VIIIC 39
4 Kelas VIIID 39
5 Kelas VIIIE 42
6 Kelas VIIIF 41
(Sumber: TU SMP Negeri 3 Singaraja)
J.2. Sampel Penelitian
25
"Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti" (Arikunto,
2002:109). Dalam penelitian ini sampel ditetapkan dari populasi dengan teknik
purposive random sampling artinya sampel ditarik secara acak namun
sebelumnya melalui pertimbangan tertentu dengan maksud agar bisa melakukan
pengecekan terhadap kelas. Pertimbangan yang dimaksud yaitu kelas VIII A yang
merupakan kelas unggulan dimana siswanya yang berkemampuan terbaik tidak
ikut dirandom dalam penentuan sampel sedangkan siswa lainnya tersebar ke
dalam 4 kelas secara merata sehingga keenam kelas lainnya dianggap setara. Bila
dikaji secara lebih akurat berdasarkan kemampuan matematika yang ditunjukkan
oleh nilai pada raport kelas VIII semester satu ternyata rata-rata kemampuan
matematika siswa secara klasikalnya relatif setara.
Selanjutnya sampel diambil dua kelas dari banyak kelas yang ada secara
random melalui pengundian. Dari kedua kelas yang terpilih akan dirandom lagi
dengan pengundian untuk menentukan kelompok eksperimen dan yang lainnya
ditetapkan sebagai kelompok kontrol.
Untuk memperoleh sampel yang lebih mendekati setara maka dari dua
kelompok yang telah diperoleh diadakan proses mathcing atau tandingan. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Sutrisno Hadi (dalam Mahendra, 2005) bahwa cara yang
terbaik untuk menyeragamkan kedua kelompok adalah dengan memasang-
masangkan individu dalam salah satu karakteristik atau kelompok sifat sebagai
suatu keseluruhan, kemudian memilih dan menugaskan masing-masing dalam
pasangan itu ke kelompok eksperimen dan ke kelompok kontrol.
Adapun cara memasangkannya adalah sebagai berikut :
1. Nilai raport matematika siswa pada kelas VIII semester satu tiap siswa
pada masing-masing kelompok diurut dari tinggi ke rendah, dengan tujuan
mempermudah pemasangan antara dua kelompok dari populasi penelitian.
2. Pasangan individu dari satu kelompok pada kelompok yang lain diambil
dengan cara sebagai berikut.
Jika pada nilai tertentu pada setiap kelompok diisi oleh hanya seorang
siswa, maka siswa tersebut langsung dipasangkan.
26
Jika pada suatu nilai tertentu masing-masing kelompok diisi oleh orang
yang sama banyak, maka penentuan pasangan dari satu kelompok
langsung dipasangkan dengan kelompok lain.
Jika dari nilai tertentu salah satu kelompok mempunyai anggota yang
lebih banyak dari kelompok yang lain, maka penentuan dari jumlah
pasangan didasarkan pada banyaknya siswa dari kelompok yang lebih
sedikit dan pasanganya sesuai dengan butir 2 diatas.
3. Siswa yang tidak memperoleh pasangan datanya tidak diikutkan dalam
analisis.
J.3. Variabel Penelitian
” Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian” (Arikunto, 2002 :96). Secara garis besar ada dua jenis variabel
dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Yang menjadi
variabel bebas adalah pembelajaran pembelajaran dengan model creative problem
solving dalam pembelajaran matematika, sedangkan variabel terikatnya adalah
hasil kemamuan pemecahan masalah matematika siswa.
J.4. Rancangan Penelitian
J.4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2010/2011 di
SMP Negeri 3 Singaraja. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan strategi pengajuan
masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Dalam penelitian ini unit eksperimennya berupa kelas sehingga
digunakan desain eksperimen semu. Dalam desain eksperimen semu penempatan
subjek ke dalam kelompok yang dibandingkan tidak dilakukan secara acak.
Individu subjek sudah ada dalam kelompok yang dibandingkan sebelum
diadakannya penelitian.
Desain eksperimen semu yang digunakan dalam penelitian ini adalah
disain perbandingan kelompok statis. Desain ini diawali dengan pemilihan
kelompok subjek atau kelas yang sudah terbentuk tanpa campur tangan peneliti.
Kedua kelompok diberikan pre-test untuk mengetahui tingkat kemampuan dan
penguasaan siswa terhadap materi yang akan diajarkan. Langkah selanjutnya
27
peneliti memberikan perlakuan eksperimental kepada salah satu kelompok subjek
atau kelas (kelas eksperimen) berupa penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe CIRC dengan strategi pengajuan masalah kepada kelas kontrol. Kemudian
peneliti memberikan post test kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil
post test dari kedua kelas kemudian dibandingkan.
Dalam penelitian ini desain eksperimen semu yang digunakan adalah
kelompok kontrol tidak sepadan (Selvila dkk, 1993:112). Langkah-langkah
tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.
E O1 X O2
K O1 O2
Keterangan
E : Kelas eksperimen
K : Kelas kontrol
X : Perlakuan berupa penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe CIRC
dengan strategi pengajuan masalah
O1 : Pre-test
O2 : Post-test
Dari gambar di atas terlihat semua kelompok yaitu kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol yang yang diberi post test. Kelompok dipilih sebagaimana
telah terbentuk dan tidak dilakukan pengacakan individu. Karena kelompok
dipilih sebagaimana adanya, kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan
subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat dikurangi sehingga
penelitian ini dapat digambarkan perlakuan yang diberikan secara benar (Sevila
dalam Wiguna, 2005)
J.5. Prosedur Penelitian
Untuk mengungkapkan secara tuntas mengenai permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
28
a. Menentukan sampel penelitian yang berupa kelas dari populasi yang
tersedia dengan cara melakukan pengundian. Sampel diambil empat kelas
dari enam kelas yang ada.
b. Dari empat kelas sampel yang sudah diperoleh akan diundi kembali untuk
menentukan kelas yang diberikan perlakuan seting kelas kooperatif dengan
strategi pengajuan masalah, kooperatif dengan teknik pertanyaan lisan,
konvensional dengan strategi pengajuan masalah, dan konvensional
dengan teknik pertanyaan lisan.
c. Menyusun instrumen penelitian yang berupa tes essay untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
d. Mengonsultasikan instrumen penelitian dengan beberapa guru matematika
dan dosen pendidikan matematika dan selanjutnya dilakukan uji coba tes
kemampuan pemecahan masalah matematika.
e. Menyiapkan rencana pembelajaran serta lembar kegiatan siswa.
f. Memberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran dan teknik
penyampaian pesan pembelajaran pada masing-masing kelas.
g. Memberikan posttest kepada kelas-kelas sampel secara bersamaan.
h. Menganalisis hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan.
J.6. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat satu jenis data yang diperlukan yaitu data
tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan jenis
data tersebut, maka instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data tentang
kemampuan pemecahan masalah matematika ini disusun sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan materi yang dituntut dalam kurikulum yang dijabarkan kedalam
kisi-kisi dan instrument (butir soal). Tes kemampuan pemecahan masalah yang
digunakan adalah bentuk essay (uraian) atau tes tertulis yang berjumlah 10 butir.
Tes yang digunakan adalah dalam bentuk essay karena dalam menjawab soal
essay siswa dituntut mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki. Dari tes ini dikumpulkan data tentang kemampuan pemecahan
masalah dengan menggunakan teknik penskoran yang dimodifikasi dari Suma
(dalam Suarsa, 2005). Teknik pensekoran yang dimaksud disajikan dalam tabel
berikut.
29
Tabel Teknik pemberian skor tahap-tahap pemecahan masalah
Level Karakteristik
Memahami masalah 0 - 3
Membuat rencana 0 – 2
Melaksanakan rencana 0 – 3
Melihat kembali 0 - 2
Dari teknik penskoran di atas, secara rinci dapat dibuat rubric penskoran tes
kemampuan pemecahan masalah seperti tertera pada tabel berikut
Tahap Skor Karakteristik
Memahami
masalah
3 Membuat apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan dengan benar
2 Membuat apa yang diketahui dengan benar tetapi
membuat yang ditanyakan salah/ menyimpang, dan
sebaliknya
1 Membuat apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan tetapi salah
0 Tidak membuat apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan
Membuat
rencana
2 Menuliskan rencana penyelesaian dengan benar
1 Menuliskan rencana penyelesaian tetapi
menyimpang (salah)
0 Tidak membuat / menuliskan rencana penyelesaian
Melaksanakan
rencana
3 Melaksanakan penyelesaian sesuai dengan rencana
dengan benar
2 Melaksanakan penyelesaian sesuai dengan rencana
tetapi salah
1 Melaksanakan penyelesaian masalah tetapi tidak
sesuai dengan rencana dan salah
0 Tidak melaksanakan rencana
Melihat 2 Meneliti kembali hasil yang sudah diperoleh dan
30
Kembali mengecek hasilnya *), penarikan kesimpulan
dengan baik dan benar
1 Meneliti kembali hasil yang sudah diperoleh dan
mengecek hasilnya*), penarikan kesimpulan tetapi
salah (dan tidak membuat kesimpulan)
0 Tidak melakukan pengecekan kembali (tidak
membuat kesimpulan)
*) Dilihat dari penulisan langkah-langkah penyelesaian masalah yang sudah benar
(perhitungannya) dan menunjukkan hasil yang tepat sesuai dengan keinginan soal.
Setelah ditemukan hasil, siswa harus mampu menuliskan suatu kesimpulan
dengan baik dan benar.
Mengingat “suatu instrumen penelitian akan dikatakan baik jika sudah
memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel” (Arikunto, 1998:160).
Uji coba instrumen penelitian dilakukan untuk mendapat gambaran secara
empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen
penelitian. Untuk tujuan data yang diperoleh terlebih dahulu dianalisis dengan
menggunakan uji: validitas tes, reabilitas tes, daya beda tes, dan tingkat kesukaran
tes.
J.6.1 Uji Validitas Tes
” Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau
kesahihansuatu instrumen”(Arikunto,2002:144). MenurutErman Suherman(1993),
validitas suatu alat evaluasi adalah ketepatan alat evaluasi tersebut mengukur apa
yang seharusnya dievaluasi. Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut
mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Salah satu cara yang
digunakan untuk mencari koefisien validitas alat evaluasi adalah dengan
menggunakan rumus korelasi product-momen sebagai berikut.
(Arikunto, 2002)
31
dengan :
X = skor butir tes
Y = skor total keseluruhan item
N= banyak responden
Kriterianya adalah dengan membandingkan harga ke tabel harga kritis
product momen, dengan taraf signifikansi 5 %. Jika , maka butir tes
dikatakan valid.
J.6.2 Uji Reliabilitas Tes
”Reliabilitas tes mengacu pada tingkat keterandalan tes tersebut sebagai
intrumen penelitian”(Arikunto, 2002 : 154). Menurut Erman Suherman (1993),
reliabilitas suatu alat evaluasi berkaitan dengan ketepatan hasil evaluasi untuk
subjek yang sama. Reliabilitas suatu alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat
yang memberikan hasil yang relatif sama dengan pengukurannya jika diberikan
pada subjek yang sama meskipun dilakukan pada tempat dan waktu yang
berbeda.” Tes yang reliabilitasnya tinggi disebut tes yang reliabel” (Erman
Suherman, 1993). Untuk menentukan reliabilitas tes dalam hal ini digunakan
rumus alpha, karena tes prestasi belajar ini berbentuk uraian.
Rumus Alpha : (Arikunto, 2002)
Dengan
Varian tiap butir tes :
Varian total : (dimodifikasi dari
Arikunto,2002)
Keterangan :
= reliabilitas tes
n = banyaknya butir pertanyaan
= jumlah varian skor item
32
= varian total
N = jumlah responden
Y = skor total item
X = skot tiap item.
Dalam menentukan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan
kriteria sebagai berikut :
0,80 < r11 ≤ 1,00 Reliabilitas sangat tinggi(sangat baik)
0,60 < r11 ≤ 0,80 Reliabilitas tinggi(baik)
0,40 < r11 ≤ 0,60 Reliabilitas sedang(cukup)
0,20 < r11 ≤ 0,40 Reliabilitas rendah(kurang)
r11 ≤ 0,20 Reliabilitas sangat rendah
(Erman Suherman, 1993)
Soal yang digunakan jika minimal reliabilitasnya sedang atau r11 pada interval
0,40 < r11 ≤ 0,60
J.6.3 Daya Beda Tes
Daya beda tes adalah kemampuan suatu tes tersebut dalam memisahkan
antara subyek yang pandai dengan subyek yang kurang pandai dalam suatu
kelompok (Arikunto, 2003: 231).
Sebelum menentukan daya beda tes, terlebih dahulu ditentukan kelompok
atas dan kelompok bawah. Penentuan masing-masing kelompok dilakukan dengan
mengurut skor siswa dari skor tertinggi sampai skor terendah, kemudian diambil
27% skor tertinggi dan 27% skor terendah. Disini, 27% skor tertinggi ini disebut
dengan kelompok atas dan 27% skor terendah disebut kelompok bawah. Untuk
mengetahui daya pembeda item tes hasil belajar, maka digunakan formulasi
berikut (Nurkancana dan Sunartana, 1990: 159).
Keterangan:
DB = daya beda tes
WL = jumlah kelompok bawah yang menjawab salah
WH = jumlah kelompok atas yang menjawab salah
33
n = jumlah kelompok atas atau bawah
Kriteria pengujian suatu tes dapat digunakan jika DP 0,20. Klasifikasi
daya pembeda yang digunakan (Subana dan Sudrajat, 2001) adalah
DP = 0 berarti sangat jelek;
0,00 DP 0,20 berarti jelek;
0,20 DP 0,40 berarti cukup;
0,40 DP 0,70 berarti baik;
0,70 DP 1,00 berarti sangat baik.
J.6.4 Tingkat kesukaran tes
Derajat kesukaran adalah kemampuan tes tersebut dalam menjaring
banyaknya subyek peserta tes yang dapat menjawab dengan betul (Arikunto,
2002: 230). Untuk mengukur tingkat kesukaran tes hasil belajar digunakan rumus
(Nurkancana, 1990: 157) berikut.
Keterangan:
DK = derajat kesukaran
nH = jumlah kelompok atas (27% dari atas)
nL = jumlah kelompok bawah (27% dari bawah)
WH = jumlah kelompok atas yang menjawab salah
WL = jumlah kelompok bawah yang menjawab salah
Kriteria pengujian: suatu tes berkategori baik dan dapat digunakan jika
derajat kesukaran bergerak antara 25% sampai dengan 75% (25% DK 75%).
Klasifikasi derajat kesukaran yang umum dipakai (Subana dan Sudrajat, 2001)
adalah:
DK = 0,00 berarti terlalu sukar;
0,00 DK 0,30; berarti sukar;
0,30 DK 0,70 berarti sedang;
0,70 DK 1,00 berarti mudah,
DK = 1 berarti terlalu mudah.
J.7. Teknik Analisis data
J.7.1.Uji Prasayarat Hipotesis
34
Sebelum melakukan uji hipotesis maka harus dilakukan beberapa uji
prasyarat diantaranya :.
(1) Uji Normalitas
Uji normalitas untuk skor penalaran dan komunikasi digunakan analisis
Chi-Square dengan rumus :
(Sudjana, 1996)
keterangan :
Oi = frekuensi observasi
Ei = frekuensi harapan
k = banyak kelas
Kriteria pengujian tolak H0 jika , dengan taraf
signifikasi 5% dan dk = (k - 3).
(2) Uji Homogenitas
Untuk menguji homogenitas varians kedua kelompok digunakan uji
Bartlett dengan menggunakan statistik Chi-Square dimana dirumuskan sebagai
berikut:
2 = (ln 10) {B- log Si2}
Dengan S2 =
B = (log S2)
S2 adalah varians gabungan
Untuk memudahkan perhitungan, satuan-satuan yang diperlukan untuk
uji Bartlett disusun dalam sebuah tabel.
Tabel data-data yang diperlukan dalam perhitungan uji homogenitas
Sumber Variasi Db Si2 Log Si
2 db log Si2 db Si
2
Kelas
Eksperimen (1)
n-1 S12 log S1
2 db log S12 db S1
2
Kelas
Kontrol (2)
n-1 S22 log S2
2 db log S22 db S2
2
35
J.7.2 Uji Hipotesis
Sesuai dengan hipotesis penelitian (Ha) yang telah diajukan pada kajian
teori maka dapat dirumuskan hipotesis nol (H0) yang berbunyi “kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat Model Pembelajaran
Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding lebih jelek atau sama
dengan siswa yang tidak model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan
strategi pemecahan masalah. Secara statistik hipotesis tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut :
melawan
µ1 : rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving
dengan Strategi Scaffolding
µ2 : rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
tidak memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving
dengan Strategi Scaffolding.
Untuk menguji hipoitesis digunakan Manova (Multivariate Analysis of
Variance) melalui statistic F varians. Kriteria pengujian adalah: tolak H0 jika
angka signifikansi lebih kecil dari 0,05. Sebagai tindak lanjut dari Manova, adalah
uji signifikansi perbedaan nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah
matematika antara siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Creative
Problem Solving dengan Strategi Scaffolding dengan yang tidak memperoleh
Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding. Uji
perbedaan nilai rata-rata antar kelas menggunakan Least Significant Difference
(LSD) (Montgomery dalam Wartawan, 2005). Oleh karena jumlah sample pada
masing-masing kelas sama, maka digunakan formula Montgomery (Wartawan,
2005)
LSD =
Dengan α : taraf signifikansi
N : Jumlah sample total
n : Jumlah sample dalam kelas
36
a : Jumlah kelompok/ kelas
MSε : Mean Square Error
Kriteria yang digunakan adalah tolak H0 artinya nilai rata rata kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat Model Pembelajaran
Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding lebih jelek atau sama
dengan siswa yang tidak Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan
Strategi Scaffolding, jika > LSD dan µ1 > µ2
DAFTAR PUSTAKA
37
Adi Putra, I Komang. 2005. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran
Heuristk “V” Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII
SMP Negeri 2 Selat Karangasem.(Skripsi). Tidak diterbitkan. IKIP
Negeri Singaraja
Applebee, A.N., & Langer, J. (1983). Instructional scaffolding: Reading and
writing as natural language activities. Language Arts
(http://www.google.com)
Arikunto Suharsimi.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara
Hamalik, Oemar. 1975. Metode Belajar Dan Kesulitan-Kesulitan Belajar.
Bandung : Tarsito
Herman Hudoyo.1988. Mengajar Belajar Matematika.Jakarta :Depdikbud.
Ichrom, Moch. Sholeh Y.A. 1988. Perpektif Pendidikan Anak Gifted.
Jakarta : Depdikbud.
Kendali, Ni M K. Artawan. 1999. Penggunaan metode pemberian tugas
sengan pendekatan CBSM dalam pembelajaran biologi sebagai
upaya untuk meningakatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas
III SLTP 1 Sukasada tahun ajaran 1999/2000. Laporan penelitian.
IKIP Negeri Singaraja.
Lie, A. 2002. Cooperative learning. Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Indonesia.
Lipscomb, Lindsay dkk. (2003). Instructional scaffolding (E-BOOK):
Emerging perspectives on learning, teaching, and technology.
Language Arts, 60, 2, 168-175 (www.google.com)
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Munandar, Utami. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta :
Gramedia
Mitchell, William E. 1999. “Creative Problem Solving” .New York:
Genigraphics Inc. (www.google.com)
38
Munandar, Utami. 2004. Pengembangan Kreativitas anak Berbakat. Jakarta :
Rineka Cipta
Munandar, S.C. Utami. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak
Sekolah. Jakarta : Grasindo.
Pusat Kurikulum.2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta.
Depdiknas.
Pusat Kurikulum.2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika.
Jakarta: . Depdiknas.
Ruseffendi, ET.1988.Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua
Murid dan Guru.Bandung.Penerbit Tarsito.
Suherman, Erman.2003. Strategi Pembelajran Matematika Kontemporer.
Bandung : JICA-IMSTEP
Slameto.2003. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta :
Rineka Cipta
Semiawan, C.1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta :
Grasindo.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
SMP Negeri 6 Singaraja. 2007. Dokumen rekapitulasi nilai SMP Saraswati
Singaraja: SMP Saraswati Singaraja
Udani, Sri Naya. 2006. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered-Head-together (NHT) untuk meningkatkan kretivitas
dan pemahaman konsep matematika siswa kelas VIIC SMP Negeri
2 Singaraja. Laporan penelitian. IKIP Negeri Singaraja
39
top related