gangguan pendengaran
Post on 10-Aug-2015
276 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Embriologi, anatomi dan fisiologi adalah modal untuk memahami fungsinya.
Sehingga tentunya dengan memahami dasar-dasar diharapkan dapat memahami patologi serta
dapat memberikan pengobatan yang tepat pada telinga. Dengan mengaitkan ilmu dasar dan
disiplin, pada akhirnya untuk lebih memahami penatalaksanaan penyakit-penyakit telinga
dan juga keseimbangan. Karena pada telinga, selain fungsi pendengaran, yang lebih penting
adalah fungsi keseimbangan. Maka dari itu makhluk hidup masih dapat tetap bertahan tanpa
pendengaran, tetapi makhluk hidup tidak dapat bertahan bila terjadi gangguan pada
keseimbangannya. Karena itu, secara filogenetik, mekanisme keseimbangan sebagai bagian
dari orientasi organisme terhadap lingkungan berkembang lebih dulu dari pendengaran.
Telinga mengandung bagian vestibulum dari keseimbangan, namun orientasi kita
terhadap lingkungan juga ditentukan oleh kedua mata kita dan alat perasa pada tendon dalam.
Jadi telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan. Dengan fungsinya sebagai organ
pendengaran dan keseimbangan, kerja telinga cukup rumit dan berpangaruh terhadap
kehidupan sehari-hari.1
Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototoksik atau alkohol.
Dapat juga disebabkan tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik, dan pemaparan bising.5
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuroma akustik, tumor sudut pons-
serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, atau kelainan otak lainnya.5
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan audiologi
khusus yang terdiri dari audiometri khusus (seperti tes Tone decay, tes Short Increment
Sensitivity Index {SISI}, tes Alternate Binaural Loudness Balance {ABLB}, audiometri
tutur, audiometri Bekessy), audiometri objektif (audiometri impedans, elektrokokleografi,
Brain Evoked Reponse Audiometry {BERA}, pemeriksaan tuli anorganik (tes Stenger,
audiometri nada murni secara berulang, impedans) dan pemeriksaan audiometri anak.
1
BAB II
PEMBAHASAN
I. ANATOMI
Untuk mengetahui tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui terlebih dahulu
tentang anatomi telinga itu sendiri. Sehingga dapat memudahkan dalam menentukan bagian
mana yang mangalami gangguan dan dapat memberikan penanganan yang tepat. Pada
dasarnya, anatomi telinga terbagi atas tiga bagian. Yaitu :
A. Telinga Luar
Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan
yang diliputi kulit. Telinga luar itu sendiri terdiri dari daun telinga dan liang telinga samapai
membrane timpani.1
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf
S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm.
Pada asepertida bagian luar kulit liang teling terdapat banyak kelenjar serumen
(modifikasi kelenjar keringat =kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada
seluruh kulit liang telinga. Dan pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen. Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang
di sebelah medial. Kulit liang telinga langsung terletak diatas tulang. Seringkali ada
penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan ini sehingga radang yang
ringanpun dapat terasa sangat nyeri karena tidak ada ruang untuk ekspansi.5
Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju
prosesus stiloideus posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang
telinga untuk memasuki kelenjar parotis. Rawan liang telinga merupakan salah satu patokan
2
Gambar 1. Telinga Luar
pembedahan yang digunakan mencari saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura
timpanomastoideus.
1. Membrane Timpani
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan peuncaknya,
umbo, mengarah ke medial. Membrana timfani umumnya bulat. Penting untuk disadari
bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus
maleus dan inkus, meluas melampauibatas atas membrana timfani, dan bahwa ada bagian
hipo timpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani
tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana
tangkai maleus dilekatkan dan lapisan mukosa bagian dalam lapisan fibrosa tidak terdapat
diatas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timfani yang disebut
membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).5
Terdapat bayangan yang menonjol di bagian bawah maleus pada membran timpani
yang disebut dengan umbo. Dari umbo inilah bermula suatu reflek cahaya (cone of light).
Dimana jika ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Reflek cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membran timpani. Yang menyebabkan adanya reflek cahaya adalah adanya serabut sirkuler
dan radier.5
Membrane timpani dibagi menjadi 4 kuadran, dengan
menarik garis searah prosesus longus maleus dan garis tegak lurus
pada garis umbo. Sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas
belakang, bawah-depan dan bawah-belakang untuk menyatakan
letak perforasi membrane timpani.
3
Gambar 2. Membran timpani 1
Gambar 3. Membran timpani 2
B. Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu bangunan berbentuk
kotak dengan enam sisi atau seperti bentuk kubus. Dinding posteriornya lebih luas daripada
dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial
meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit
pada bagian tengah.1
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media. Pada
bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan dibawahnya
adalah saraf facialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf facialis dan tendonnya
menembus, melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani timbul
dari saraf fasialis dibawah stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di
medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani
kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-seabut
sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga
anterior lidah.1
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang disebelah seperolateral
menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah
aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah
dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Diatas kanalis ini,
muara tuba eustachius dan otot tensor timpani yang menempati daerah seperior tuba
kemudian membalik, melingkari prosesus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus.
4
Gambar 4. Telinga Tengah 1
Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian atas
membran timpani dan dinding tulang hipotimpanum dibagian bawah. Bangunan yang paling
menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran koklea yang
pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium ini. Fenestrarotundum terletak di
posteroinferior dari promontorium, sednagkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada
batas posterosuperior promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis
terletak diatas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid
stapedius di pasterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti piramid berisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa
kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak dibawah dura mater pada daerah ini. Pada dinding
anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semisirkularis lateralis menonjol
ke dalam antrum. Di bawah kedua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya
untuk keluar dari tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior krista
yang dibentuk oleh insersio otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan
yang dengan mudah dapat di palpasi di posterior aurikula.1
1. Tuba Eustachius
Tuba ustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Pada saat
lahir, tuba eustachius berjalan secara horisontal pada saat lahir dan mulai membelok ke
medial sebesar 45o pada orang dewasa. Bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang,
sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak
di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya.
Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring diatas otot
5
Gambar 5. Telingah Tengah 2
konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup, tetapi dapat terbuka melalui kontraksi otot
levatorpalatinum dan tensor palatinum yang masing-masing dipersarafi pleksus faringealis
dan saraf mandibularis. Tuba eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara
pada kedua sisi membrana timpani.5
C. Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam yang sedemikian kompleksnya sehingga terkadang disebut
sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran
yang terisi endolimfe. Satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan
rendah natrium. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe yang terdapat dalam
kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian
koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara
bagian kaklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita.
Koklea melingkar seperti rumah siput yang berupa dua setengah lingkaran. Aksis pada
spiral koklea dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri vertebralis.
Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suaru lamina spralis oseus untuk mencapai sel-
sel organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis
yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli bawah
berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis.
Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus
koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala
berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui
suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya
(nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).1
6
Gambar 6. Telinga dalam
Terletak diatas membrana basilaris dari basis ke paeks adalah organ Corti, yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ
Corti sendiri terdiri dari serl rambut dalam (±3000) dan tiga baris sel rambut luar (±12.000).
ujung-ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Di permukaan
sel rambut menempel stereosilia yang bersifat gelatinosa dan aseluler, dan dikenal sebagai
membrana tektoria. Membrana tektoria disokong oleh suatu bangunan yang terletak di medial
yang disebut dengan limbus.
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang
tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis bermuara pada utrikulus. Masing-masing
kanalis mempunyai suatu ujungyang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel
rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe
dalam kanalis semisirkularis akan menggerakan kupula yang selanjutnya akan
membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor.1
D. Innervasi Telinga
Telinga dipersarafi oleh nervus kranial ke delapan yaitu nervus vestibulokoklearis.
Nervus vestibulokoklearis terdiri dari dua bagian : salah satu daripadanya pengumpulan
sensibilitas dari bagian vestibuler rongga telinga dalam yang mempunyai hubungan dengan
keseimbangan, serabut-serabut saraf ini bergerak menuju nukleus vestibularis yang berada
pada titik pertemuan antara pons dan medula oblongata, lantas kemudian bergerak terus
menuju serebelum. Bagian koklearis pada nervus vestibulokoklearis adalah saraf pendengar
yang sebenarnya. Serabut-serabut sarafnya mula-mula dipancarkan kepada sebuah nukleus
khusus yang berada tepat dibelakang talamus, lantas dari sana dipancarkan lagi menuju pusat
penerima akhir dalam korteks pendengaran (area 39-40) yang terletak pada bagian bawah
lobus temporalis.5
E. Vaskularisasi telinga
Telinga diperdarahi oleh pembuluh-pembuluh darah kecil diantaranya adalah ramus
cochleae a. Labyrinthi yang memperdarahi bagian koklea, ramus vestibulares a.labyrinthi
yang memperdarahi vestibulum. V. Spiralis anterior, v. Spiralis posterior, V. Laminae
spiralis, Vv. Vestibulares, dan V. Canaliculi cochleae.
II. FISIOLOGI
A. Fisiologi Pendengaran
7
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara kemudian masuk ke liang telinga. Pada liang
telinga, suara dapat sangat membesar suara dalam rentang 2-4 kHz. Setelah itu gelombang
suara dapat pula menggetarkan tulang hingga ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan
membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. 2
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran
diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pengelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks serebri / korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.2
1. Gangguan Fisiologi telinga
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli kondiktif,
sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli
koklea dan tuli retrokoklea. Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah
dan akan terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan
menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.5
Antara inkus dan maleus berjalan cabang n. Fasialis yang disebut korda timpani. Bila
terdapat radang di telinga tengah dan atau trauma mungkin korda timpani terjepit, sehingga
timbul gangguan pengecap.
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness) serta tuli
campur (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan
oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural
(perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat
pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural.
8
Suara yang didengar dapat dibagi dalam bunyi,nada murni dan bising. Bunyi
(frekuensi 20 Hz-18.000 Hz) merupakan frekuensi nada murni yang dapat didengar oleh
telinga normal. Nada murni (pure tone), hanya satu frekuensi, misal dari garputala atau piano.
Bising (noise) dibedakan antara : NB (narrow band), terdiri atas beberapa frekuensi,
spektrumnya terbatas dan WN (white noise), yang terdiri dari banyak frekuensi.3
B. Fisiologi Keseimbangan
Keseimbangan dan orientasi tubuh seorang terhadap lingkungan di sekitarnya
tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler labirin, organ visual dan proprioseptif.
Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga
menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.2
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang merupakan pelebaran
labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin tulang. Pada tiap pelebarannnya
terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis semisirkularis
dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang berhubungan dengan utrikulus, yang
disebut dengan ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang terdiri dari sel-sel
reseptor keseimbangan dan seluruhnya tertutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut
kupula.2
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan
endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan silia
menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke
dalam sel yang menyebabkan terjadinya
proses depolarisasi dan akan merangsang
pelepasan neurotransmiter eksitator yang
selanjutnya akan meneruskan impuls sensorik
melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan
otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah
berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi.
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi mekanik akibat
rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis semisirkularis menjadi energi
biolistrik, sehingga dapat memberi informasi mengenai perubahan posisi tubuh akibat
percepatan linier atau percepatan sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi
mengenai semua gerak tubuh yang sedang berlangsung. Sistem vestibuler berhubungan
9
Gambar 7. Vestibulokoklear
dengan sistem tubuh lain, sehingga kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh
bersangkutan. Gejala yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah. Pada jantung
berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat dingin.2
III. PEMERIKSAAN
A. Anamnesis
Anamnesis sedikitnya harus menanyakan tentang gangguan pendengaran, kebisingan
dalam kepala (tinitus),pusing (vertigo) atau ketidakseimbangan,sekret telinga,dan nyeri
telinga.1
1. Kerusakan Pendegaran1
Pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat diajukan :
1. Apakah awitannya,mendadak atau perlahan-lahan? Lamanya ?
2. Telinga mana yang terkena , atau apakah menyerang keduanya ?
3. Apakah pendengaran membaik dan bemburuk bergantian?
4. Apakah hanya yang terdengar menjadi sunyi atau adakah juga gangguan dalam
pemahaman dan pada keadaan apa?
5. Apakah awitannya berhubungan dengan penyakit lain, trauma, paparan suara ribut,
atau penggunaan obat-obatan termasuk aspirin?
6. Apakah ada riwayat kerusakan pendengaran dalam keluarga?
7. Adakah penyakit atau pembedahan pada telinga sebelumnya?
8. Apakah ada paparan dalam pekerjaan, militer,rekreasi atau paparan bising lainnya?
9. Adakah riwayat campak,mumps,influenza,meningitis,sifilis,penyakit virus yang
berat,atau penggunaan obat-obat ototksik seperti
kanamicin,streptomicin,gentamisin/diuretik tertentu?
2. Kebisingan Kepala1
1. Bagaimana sifat-sifat bising? Dapatkah dijelaskan seperti berdering,bernada
tinggi,mengaum,menggumam,mendesis (suara uap yang terlepas)atau berdenyut
(sinkron dengan denyut)?
10
2. Apakah kebisingan terdengar sepanjang waktu/hanya pada ruangan yang sangat
sunyi
3. Apakah terdengarnya setelah suatu paparan bising di tempat kerja atau ditempat
lain?
3. Pusing1
1. Apakah pasien menjelaskan gejala-gejala sebagai kepala terasa
ringan,ketidakseimbangan,rasa berputar,atau cenderung untuk jatuh? Ke arah
mana? Apakah rasa pusing dipengaruhi oleh posisi kepala?apakah pusing pada saat
berbaring?apakah awitannya berkaitan dengan bangun yang terlalu cepat dari
berbaring?
2. Bagaimana frekuensi dan lamanya serangan?
3. Apakah pusing bersifat terus-menerus/episodik?
4. Berapa lama selang waktu serangan?
5. Gejala lainnya : mual,muntah,tinitus,rasa penuh dalam telinga,kelemahan,fluktuasi
pendengaran,atau kehilangan kesadraan?
6. Adakah riwayat penyakit umum : DM, gangguan neurologik,
arteriosklerosis,hipertensi,gangguan tiroid,sifilis anemia,keganasan,penyakit
jantung atau paru-paru?
7. Adakah riwayat alergik?
4. Sekret Telinga
1. Apakah diserrai gatal atau nyeri?1
2. Apakah sekret berdarah atau purulen? Apakah berbau?
3. Sudah berapa lama? Apakah sekret pernah keluar sebelumnya?
4. Apakah didahului oleh suatu infeksi saluran napas bagian atas / suatu keadaan
dimana telinga menjadi basah?
5. Nyeri Telinga
1. Tentukan sifat-sifat nyeri
11
2. Apakah merupakan masalah berulang? Jika demikian,berapa sering terjadi?
3. Apakah nyeri hanya pada telinga atau menyebar atau berasal dari tempat lain?
4. Adakah yang mencetuskan nyeri, misalnya mengunyah,menggigit,batuk atau menelan.
5. Adakah gejala-gejala kepala dan leher lainnya?
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, harus dimulai dari inspeksi dan palpasi aurikula (pinna) dan
jaringan di sekitar telinga. Kemudian liang telinga juga harus diperiksa. Alat yang diperlukan
untuk pemeriksaaan telinga adalah lampu kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas,
pengait serumen, pinset telinga dan garputala.5
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit kedepan dan kepala lebih tinggi
sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran timpani.
Dimulai dengan melihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang daun
telinga (retro-aurikuler) apakah terdapat tanda peradangan atau sikatriks bekas operasi.
Dengan menarik daun telinga keatas dan kebelakang, liang telinga akan menjadi lebih lurus
dan akan lebih mempermudah melihat keadaan liang telinga dan membran timpani. Pakailah
otoskop untuk melihat lebih jelas bagian-bagian membran timpani. Otoskop dipegang dengan
tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa
telinga kiri. Supaya otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop
ditekankan pada pipi pasien.5
Bila terdapat serumen didalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini
harus dikeluarkan. Jika kondisinya cair dapat dengan kapas yang dililitkan, bila
konsistensinya padat atau liat dapat dikeluarkan dengan pengait dan bila berbentuk
lempengan dapat di pegang dan dikeluarkan dengan pinset. Jika serumen ini sangat keras dan
menyumbat seluruh liang telinga maka lebih baik dilunakan dulu dengan minyak atau
karbogliserin. Bila sudah lunak atau cair dapat dilakukan irigasi dengan air supaya liang
telinga bersih.
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil
pemeriksaannya dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli perseptif
(sensorineural). Uji penala yang dilakukan sehari-hari adalah uji pendengaran Rinne dan
Weber.5
12
1. Pemeriksaan telinga
Inspeksi telinga luar merupakan prosedur yang paling sederhana tapi sering terlewat.
Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya deformitas, lesi cairan begitu pula
ukuran simetris dan sudut penempelan ke kepala.
Gerakan aurikulus normalnya tak menimbulkan nyeri. Bila manuver ini terasa nyeri,
harus dicurigai adanya otitis eksterna akut. Nyeri tekan pada saat palpasi di daerah mastoid
dapat menunjukkan mastoiditis akut atau inflamasi nodus auri-kula posterior. Terkadang,
kista sebaseus dan tofus (deposit mineral subkutan) terdapat pada pinna. Kulit bersisik pada
atau di belakang aurikulus biasanya menunjukkan adanya dermatitis seboroik dan dapat
terdapat pula di kulit kepala dan struktur wajah.1
Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membrana timpani, kepala pasien
sedikit dijauhkan dari pemeriksa. Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus
dipegang, dengan tangan lainnya dengan mantap dan ditarik ke atas, ke belakang dan sedikit
ke luar, cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa, sehingga memungkinkan
pemeriksa melihat lebih jelas membrana timpani. Spekulum dimasukkan dengan lembut dan
perlahan ke kanalis telinga,dan mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat
kanalis dan membrana timpani. Spekulum terbesar yang dapat dimasukkan ke telinga
(biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke kanal dan agak ke
depan. Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan ditutupi selapis epitel yang sensitif,
maka tekanan harus benar-benar ringan agar tidak menimbulkan nyeri. Setiap adanya cairan,
inflamasi, atau benda asing; dalam kanalis auditorius eksternus dicatat.1
Membrana timpani sehat berwarna mutiara keabuan pada dasar kanalis. Penanda
harus dttihat mungkin pars tensa dan kerucut cahaya, umbo, manubrium mallei, dan prosesus
brevis. Gerakan memutar lambat spekulum memungkinkan penglihat lebih jauh pada lipatan
malleus dan daerah perifer, dan warna membran begitu juga tanda yang tak biasa atau deviasi
kerucut cahaya dicatat. Adanya cairan, gelembung udara, atau massa di telinga tengah harus
dicatat. Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus membrana timpani yang baik
hanya dapat dilakukan bi kanalis tidak terisi serumen yang besar. Serumennya terdapat di
kanalis eksternus, dan bila jumla sedikit tidak akan mengganggu pemeriksaan otoskop. Bila
serumen sangat lengket maka sedikit minyak mineral atau pelunak serumen dapat diteteskan
dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan kembali lagi.
13
a. Uji Ketajaman Auditorius
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan mengkaji
kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau detakan jam tangan. Bisikan lembut
dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah melakukan ekshalasi penuh.1
Masing-masing telinga diperiksa bergantian. Agar telinga yang satunya tak
mendengar, pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak tangan. Dari jarak
1 sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar batas penglihatan, pasien dengan
ketajaman normal dapat menirukan dengan tepat apa yang dibisikkan. Bila yang digunakan
detak jam tangan, pemeriksa memegang jam tangan sejauh 3 inci dari telinganya sendiri
(dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran normal) dan kemudian memegang jam
tangan pada jarak yang sama dari aurikulus pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara
dengan nada yang lebih tinggi daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak
dapat dipakai sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius.1
b. Tes Penala
Penggunaan uji Weber dan Rinne
Memungkinkan kita membedakan kehilangan
akibat konduktif dengan kehilangan sensorineural.
1). Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
1. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak
lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah
pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus
akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya.
Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
2. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara
tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus
akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan
meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus
eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus
14
Gambar 8. Garpu Tala
akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar
didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Tabel 1. Interpretasi tes Rinne
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne
Normal :
tes rinne positif
Tuli konduksi :
tes rine negatif (getaran dapat
didengar melalui tulang lebih lama)
Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
- Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.- Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
- Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa
maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus,
tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien.
Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.1
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah
tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien.
Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala
kedepan meatus akustukus eksternus.
2). Test Weber
Tujuan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga
pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya
kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang
mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih
keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama
tidak mendengar atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.1
15
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan
terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau cavum timpani
misal : otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam
cavum timpani ini akan bergetar, bila ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah
kanan.
Tabel 2. Interpretasi tes Weber
Interpretasi
16
Gambar 9. Tes Rinne dan Weber
a.Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
b.Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
- Tuli konduksi sebelah kanan, misal adanya ototis media disebelah kanan.
- Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapigangguannya pada telinga kanan lebih hebat.
- Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
- Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan.
- Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kanan jarang terdapat.
3). Test Swabach
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal)
dengan pasien. Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh getaran
yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo
temporal.1
Cara pemeriksaan :
Pemeriksa meletakkan pangkal garputala yang
sudah digetarkan pada puncak kepala pasien.
Pasien akan mendengar suara garputala itu
makin lama makin melemah dan akhirnya
tidak mendengar suara garputala lagi. Pada
saat garputala tidak mendengar suara
garputala, maka pemeriksai akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang
yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua
kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara.
17
Gambar 10. Tes Schwabach
Contoh : Seorang dengan kurang pendengaran pada telinga kanan:
Hasil tes penala :
Telinga kanan Telinga kiri
Rinne Negative Positif
Weber Lateralisasi kekanan
Schwabach Memanjang Sesuai dengan pemeriksa
Kesimpulan : tuli konduktif pada telinga kanan
Table 3. Kesimpulan hasil tes penala
TES RINNE TES WEBER TES SCHWABACH DIAGNOSIS
Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa Normal
Negative Lateralisasi ke telinga yang
sakit
Memanjang Tuli konduktif
Positif Lateralisasi ke telinga yang
sehat
Memendek Tuli sensorineural
Catatan Pada tuli konduktif < 30 dB,
Rinne bisa masih positif
4). Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara kasar.
Hal ini yang diperlukan adalah ruangan yang cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter.
Pada nilai normal tes berbisik : 5/6-6/6.1
5). Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat
menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-
8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan
melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Masing-masing untuk menukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran
tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang
dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis dan derajat
kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang
18
berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku
pendengaran untuk nada murni.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekuensi 20-20.000
Hz. Frekuensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan sehari-
hari. Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran
Tabel 4. Klasifikasi kehilangan pendengaran
Kehilangan
(Desibel)
Klasifikasi
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus
nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa
pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara
dipresentasikan dengan aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang
pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila seseorang masih
memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing AID)
19
Gambar 11. Pemeriksaan audiometri
suara yang ada diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya
semua tes pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara minimal
sunyi. Karena kita memberikan tes pada frekuensi tertentu dengan intensitas lemah, kalau ada
gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri tutur, memng kata-kata
tertentu dengan vocal dan konsonan tertentu yang dipaparkan ke penderita. Intensitas pad
pemeriksaan audiometri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40 dB dan seterusnya,
bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran baik. Tes sebelum
dilakukan audiometri tentu saja perlu pemeriksaan telinga : apakah congek atau tidak (ada
cairan dalam telinga), apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang
telinga, untuk menentukan penyebab kurang pendengaran.3
IV. TULI KOKLEA DAN TULI RETROKOKLEA
Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototoksik atau alkohol.
Dapat juga disebabkan tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik, dan pemaparan bising.5
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuroma akustik, tumor sudut pons-
serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, atau kelainan otak lainnya.
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan audiologi
khusus yang terdiri dari audiometri khusus (seperti tes Tone decay, tes Short Increment
Sensitivity Index {SISI}, tes Alternate Binaural Loudness Balance {ABLB}, audiometri
tutur, audiometri Bekessy), audiometri objektif (audiometri impedans, elektrokokleografi,
Brain Evoked Reponse Audiometry {BERA}, pemeriksaan tuli anorganik (tes Stenger,
audiometri nada murni secara berulang, impedans) dan pemeriksaan audiometri anak.5
A. Audiometri khusus
Untuk mempelajari audiometri khusus diperlukan pemahaman istilah rekrutmen
(recruitment) dan kelelahan (decay/fatigue). Rekrutmen adalah suatu fenomena, terjadi
peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebihan diatas ambang dengar. Keadaan ini
khas pada tuli koklea. Pada tuli koklea pasien dapat membedakan bunyi 1 dB , sedangkan
orang normal dapat membedakan bunyi 5 dB. Misalnya pada orang yang tuli 30 dB,ia dapat
membedakan bunyi 31 dB. Pada orang tua bila mendengar suara perlahan, ia tidak dapat
mendengar, sedangkan bila mendengar suara keras dirasakan nyeri di telinga.
Kelelahan (decay/fatigue) merupakan adaptasi abnormal, merupakan tanda khas dari
tuli retrokoklea.saraf pendengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus. Bila diberi
istirahat maka akan pulih kembali.
20
Fenomena tersebut dapat dilavak pada pasien tuli saraf dengan melakukan pemeriksaan
khusus, yaitu :5
Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index)
Tes ABLB (Alternate Binaural Loudness Balans Test)
Tes kelelahan ( Tone Decay)
Audiometri tutur (Speech Audiometri)
Audiometri Bekesey
1. Tes SISI
Tes ini khas untuk mengetahui adanya kelainan koklea, dengan memakai fenomena
rekrutmen, yaitu keadaan koklea yang dapat mengadaptasi secara berlebihan peninggian
intensitas yang kecil, sehingg apasien dapat membedakan selisih intensitas yang kecil itu
(sampai 1 dB).1
Cara pemeriksaan itu, ialah dengan menentukan ambang dengar pasien terlebih
dahulu, misalnya 30 dB. Kemudian diberikan rangsangan 20 dBdiatas ambang rangsang, jaid
50 dB. Setelah itu ditambahkan rangsangan 5 dB, lalu diturunkan 4 dB, lalu 3, dB, 2 dB, dan
terakhir 1 dB. Bila pasien dapat membedakan berarti tes SISI positif.
Cara lain ialah tiap 5 detik dinaikkan 1 dB sampai 20 kali. Kemudian dihitung berapa
kali pasien dapat membedakan perbedaan itu. Bila 20 kali benar, berarti 100 %, jadi khas.
Bila yang benar sebanyak 10 kali, 50 % benar. Dikatakan rekrutmen positif, bila skor 70-100
%. Bila terdapat skor antara 0-70 %, berarti tidak khas. Mungkin pendengaran normal atau
tuli perseptif lain.
2. Tes ABLB
Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada
kedua telinga, sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama, yang disebut balans
negatif. Bila balans tyercapai terdapat rekrutmen positif. Catatan: pada rekrutmen fungsi
koklea lebih sensitif.
Pada MLB (Monoaural Loudness Balans Test). Prinsipnya sama dengan ABLB.
Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat tuli perseptif bilateral. Tes ini lebih sulit, karena yang
dibandingkan adalah 2 frekuensi yang berbeda pada 1 telinga (dianggap telinga yang sakit
frekuensi naik, sedangkan frekuensi turun yang normal)
3. Tone Decay
21
Terjadinya kelelahan saraf oleh karena perangsangan terus menerus. Jadi, kalau
telinga yang dirangsang terus menerus, maka terjadi kelelahan. Tandanya ialah pasien tidak
dapat mendengar pada telinga yang diperiksa itu. Ada 2 cara :5
TTD : threshold tone decay
STAT : supra threshold adaptation test
a. TTD
Pemeriksaan ini ditemukan oleh Garhart dan Rosenberg memodifikasinya. Cara
Garhart ialah dengan melakukan rangsangan terus menerus pada telinga yang diperiksa
dengan intensitas yang sesuai dengan ambang dengar, misalnya 40 dB. Bila setelah 60 detik
masih dapat mendengar, berarti tidak terdapat kelelahan (decay), jadi hasil tes negatif.
Sebaliknya, bila setelah 60 detik tidak mendengar, berarti terdapat kelelahan, hasilnya positif.
Kemudian intensitas bunyi ditambah 5 dB (jadi 45 dB), maka pasien dapat mendengar lagi.
Rangsangan dapat diteruskan dengan 45 dB dan seterusnya, dalam 60 detik dihitung berapa
penambahan intensitasnya.
Penambahan 0-5 dB : normal, 10-15 dB : ringan (tidak khas), 20-25 dB : sedang (tidak khas),
> 30 dB : berat (khas terdapat kelelahan).
Pada rosenberg : bila penambahan kurang dari 15 dB dinyatakan normal, sedangkan lebih
dari 30 dB : sedang.
b. STAT
Prinsipnya ialah pemeriksaan pada 3 frekuensi : 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz pada 110
dB SPL. SPL adalah intensitas yang ada secara fisika sesungguhya. 110 dB SPL = 100 dB SL
(pada frekuensi 500 dan 2000 Hz).1
Artinya nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 Hz pada 110 dB SPL, diberikan terus
menerus selama 60 detik dan dapat mendengar, berarti tidak terdapat kelelahan. Bila kurang
dari 60 detik maka terdapat kelelahan (decay)
4. Audiometri Tutur (Speech Audiometry)
Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata).
Monosilabus = satu suku kata, bisilabus = dua suku kata. Kata-kata ini disusun dalam daftar
yang disebut : phonetically balance word LBT (PB, LIST).5
22
Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape recorder.
Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit membedakan bunyi S, R, N,C H, CH, sedangkan pada
tuli retrokoklea lebih sulit lagi.
Misalnya pada tuli perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan
kata “pasar” didengarnya “padar”.
Apabila kata yang betul : speech discrimination score:
90-100 % : pendengaran normal
75-90 % : tuli ringan
60-75 % : tuli sedang
50-60 % : kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari
< 50 % : tuli berat
Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan
sehari-hari, dan untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid)
Istilah :
SRT : (speech reception test) : kemampuan untuk mengulangi kata-kata yang benar
sebanyak 50 %, biasanya 20-30 dB diatas ambang pendengaran
SDS (speech discrimination score) : skor tertinggi yang dapat dicapai oleh seseorang
pada intensitas tertentu.
5. Audiometri Bakessy
Macam audiometri ini otomatis dapat menilai ambang pendengaran seseorang. Prinsip
pemeriksaan ini ialah dengan nada yang terputus (intrupted sound) dan nada yang terus
menerus (continues sound). Bila da suara masuk, maka pasien memencet tombol. Akan
didaptkan grafik seperti gigi gergaji, garis yang menarik adalah periode suara yang dapat
didengar, sedangkan garis yang turun ialah suara yang tidak di dengar. Pada telinga normal ,
amplitudo 10 dB. Pada rekrutmen amplitudo lebih kecil.
B. Audiometri Objektif
Pada pemeriksaan ini pasien tidak harus bereaksi. Terdapat 4 cara pemeriksaan, yaitu
audiometri impedans, elektrokokleografi (E.Coch), evoked response audiometry. Oto
accoustic emmision (emisi otoakustik).5
1. Audiometri Impedans
Pada pemeriksaan ini diperiksa kelenturan membran timpani dengan tekanan tertentu
pada meatus akustikus eksterna.
23
Didapatkan istilah :
Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya, ada
cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain), kekakuan membran
timpani dan membran timpani yang sangat lentur
Fungsi tuba Eustachius, untuk mengetahui tuba Eustachius terbuka atau tertutup
Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada rangsangan 70-
80 dB diatas ambang dengar.
Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks sapedius menurun, sedangkan pada lesi
retrokoklea, ambang itu naik.
2. Elektrokokleografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam gelombang-gelombang yang khas dari
evoke electropotential cochlea. Caranya ialah dengan elektroda jarum, membran timpani
ditusuk sampai promontorium, kemudian dilihat grafiknya. Pemeriksaan ini cukup infasuf
sehingga saat ini sudah jarang dilakukan. Pengembangan pemeriksaan ini yang lebih lanjut
dengan elektrode permukaan (surface elekctrode), disebut BERA (brain evoked response
audiometry).5
3. Evoked response audiometry
Dikenal juga sebagai Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA), Evoked
Response Audiometry (ERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR) yaitu suatu
pemeriksaan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII. Caranya dengan merekam
potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea selama menempuh perjalanan mulai telinga
dalam hingga inti-inti tertentu di batang otak. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
elektroda permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau
lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat objektif.
Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsang bunyi yang diberikan melalui head
phone akan menempuh perjalanan melalui saraf VIII di koklea (gelombang I), nukleus
koklearis (gelombang II), nukleus olvarius superior (gelombang III), lemnikus lateralis
(gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V), kemudian menuju ke kortex auditorius di
lobulus temporal otak. Perubahan potensial listrik di otak akan di terima oleh ketiga elektroda
di kulit kepala, dari gelombang yang timbul di setiap nukleus saraf sepanjang jalur saraf
pendengaran tersebut dapat dinilai bentuk gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat
24
pemberian rangsang suara sampai mencapai nukleus-nukleus saraf tersebut. Dengan demikian
setiap keterlambatan waktu untuk mencapai masing-masing nukleus saraf dapat memberi arti
klinis keadaan saraf pendengaran, maupun jaringan otak sekitarnya. BERA dapat
memberikan informasi mengenai keadaan neurofisiologi, neuroanatomi dan saraf-saraf
tersebut hingg apusat-pusat yang lebih tinggi dengan menilai gelombang yang timbul lebih
akhir atau latensi yang memanjang.
Pemeriksaan BERA sangat bermanfaat terutama pada keadaan tidak memungkinkan
dilakukan pemeriksaan pendengaran biasa, misalnya pada bayi, anak dengan gangguan sifat
dan tingkah laku, intelegensia rendah, cacat ganda, kesadaran menurun. pada orang dewasa
dapat untuk memeriksa orang yang berpura-pura tuli (malingering) atau ada kecurigaan tuli
saraf retrokoklea.
Cara melakukan pemeriksaan BERA, menggunakan 3 buah elektroda yang diletakkan
di verteks atau dahi dan dibelakang kedua telinga (pada prosesus mastoideus), atau pada
kedua lobulus preaurikuler yang dihumbungkan dengan preamplifier. Untuk menilai fungsi
batang otak umumnya digunakan bunyi rangsang click, karena dapat mengurangi artefak.
Rangsang ini diberikan melalui head phone secara unilateral dan rekaman dilakukan pada
masing-masing telinga. Reaksi yang timbul akibat rangsang suara sepanjang jalur saraf
pendengaran dapat dibedakan menjadi beberapa bagian. Pembagian ini berdasarkan waktu
yang diperlukan mulai dari saat pemberian rangsang suara sampai menimbulkan reaksi
berbentuk gelombang, yaitu : early response timbul dalam waktu kurang dari 10 mili detik,
merupakan reaksi dari batang otak. Midle response antara 10-50 mili detik, merupakan reaksu
dari talamus dan korteks auditorius primer, late response antara 50-500 mili detik, merupakan
reaksi dari area auditorius primer dan sekitarnya5.
Penilaian BERA :
Masa laten absolut gelombang I,II,V
Beda masing-masing masa laten absolut (interwave latency I-V, I-III, III-V)
Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)
Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity function)
Rasio amplitudo gelombang V/I, yaitu rasio antara nilai puncak gelombang V
kepuncak gelombang I, yang akan meningkat dengan menurunnya intensitas.
4. Otoaccoustic Emmision/ OAE
Emsis otoakustik merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel-sel rambut luar
yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersrafi oleh serabut
25
saraf eferen dan memiliki elektromotilitas. Sehingg apergerakan rambut akan menginduksi
depolarisasi sel. Pergerakan mekanik yang kecil diinduksi menjadi besar, akibatnya suara
yang kecil diubah menjadi lebih besar. Hal inilah yang menunjukan bahwa emisi otoakustik
adalah gerakan sel rambut luar dan merefleksikan fungsi koklea. Dedangkan sel rambut
dalam dipersarafi serabut aferen yang berfungsi mengubah suara menjadi bangkitan listrik
dan tidak ada gerakan dari sel rambut sendiri.5
Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan sumbat telinga (probe) ke
dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara
(loudspeaker) yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi menangkap
suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Sumbat telinga dihubungkan
dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya
dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara, hal ini untuk mengurangi bising
lingkungan.
Emsisi otoakustik terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Emisi otoakustik spontan
(Spontaneus Otoaccoustic Emmision/ SOAE) dan Evoked Otoaccoustic Emmision/EOAE.
SOAE merupakan emisi otoakustik yang dihasilkan koklea tanpa stimulus dari luar,
didapatkan 60 % pada telinga sehat, bernada rendah dan mempunyai nilai klinis yang rendah.
EOAEmerupakan respon koklea yang timbul dengan adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis
EOAE yang dikenal, yaitu :
1. Stimulus frequency otoaccoustic emmision (SFOAE), adalah respon yang dibangkitkan
oleh nada murni yang terus menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis dan jarang
digunakan
2. Transiently evoked otoaccoustic emmision (TEOAE), merupakan respon stimulus klik
dengan waktu cepat yang timbul 2-2,5 ms setelah pemberian stimulus, TEOAE tidak
dapat dideteksi pada telinga dengan ambang dengar lebih dari 40 dB
3. Distortion product otoaccoustic emmision (DPOAE). Terjadi karena stimulus dua nada
murni (F1, F2) dengan frekuensi tertentu. Nada murni yang diberikan akan merangsang
daerah koklea secara terus menerus.
C. Pemeriksaan Tuli Anorganik
Pemeriksaan ini diperlukan untuk memeriksa seseorang yang pura-pura tuli, misalnya
untuk mengklaim asuransi, terdapat beberapa cara pemeriksaan antara lain :5
Cara strenger : memberikan 2 nada suara yang bersamaan pada kedua telinga,
kemudian pada sisi yang sehat nada dijauhkan
26
Dengan audiometri nada murni secara berulang dalam satu minggu, hasil
audiogramnya berbeda
Dengan impedans
Dengan BERA
D. Audiologi Anak
Untuk memeriksa mabang dengar anak dilakukan di dalam ruangan khusus (free
field). Cara memeriksa ialah dengan beberapa cara :
Free field test : menilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap
rangsang bunyi yang diberikan. Anak diberi rangsang bunyi sambil bermain,
kemudian dievaluasi reaksi pendengarannya. Alat yang digunakan dapat berupa
neometer atau viena tone
Audiometrri bermain. Pemeriksaan audiometri nada murni pada anak yang dilakukan
sambil bermain. Dapat dimulai pada usia 3-4 tahun bila anak cukup kooperatif
BERA, menilai fungsi pendengaran secara objektif, dapat dilakukan pada anak yang
tidak kooperatif yang sulit diperiksa dengan konvensional
Echocheck dan emisi otoakustik. Menilai fungsi koklea secara objektif dan dapat
dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Sangat bermanfaat untuk program
skrining pendengaran pada bayi dan anak.
V. GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
Proses belajar mendengar pada bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi
dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi gangguan
pendengaran pada usia sedini mungkin.1
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang disertai keterbelakangan
mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya sorang bayi atau anak
yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien
terlambat bicara (delayed speech).
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli
total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat
dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan
27
tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak
dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi).
A. Perkembangan Auditorik
Perkembangan auditorik manusia sangat erat hubungannya dengan perkembangan
otak. Neuron dibagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama
kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat
cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, upaya untuk melakukan deteksi gangguan
pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar habilitasi pendengaran sudah dapat
dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung.
B. Perkembangan Auditorik Pranatal
Telah terbukti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah
usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat memberikan
respon terhadap suara yang ada disekitarnya, namun reaksi janin masigh bersifat refleks
seperti refleks moro, terhentinya aktifitas (cessaciattion reflex) dan auro palpebral.
C. Perkembangan Wicara
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula perkembangan
kemampuan bicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada sesorang hanya dapat tercapai bila
input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan normal.
Awal dari proses belajar bicara terjadi saat lahir. Sulit dipastikan usia absolut tahapan
perkembangan bicara, namun pada umumnya akan mengikuti tahapan sebagai berikut.
Tabel 5. Tahapan Perkembangan Bicara
Usia Kemampuan
Neonatus Menangis (reflex vocalization).
Mengeluarkan suara mendengkur seperti
suara burung (cooing).
Suara seperti berkumur (gurgles).
2 – 3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling).
4 – 6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan
kombinasi huruf hidup (vowel) dan huruf
mati (konsonan).
28
Suara berupa ocehan yang bermakna, seperti
“pa..pa, da..da”.
7 – 11 bulan Dapat menggabung kata atau suku kata yang
tidak mengandung arti, terdengar seperti
bahsanasing (jargon).
Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri
(echolallia).
Memahami arti tidak, mengucapkan salam.
Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian
atau musik.
12 – 18 bulan Mampu menggabungkan kata atu kalimat
pendek.
Mulai mengucapkan kata pertama yang
mempunyai arti (true speech).
Usia 12 – 14 bulan mengerti instruksi
sederhana, menunjukkan bagian tubuh dan
nama mainannya.
Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6 –
1kata.
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar, oleh
karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya
gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut ini perlu
medapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Tabel 6.
Tabel 6. Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak
Usia Kemampuan bicara
12 bulan Belum dapat mengoceh (babling) atau meniru
bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang
mempunyai arti
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belum dapat merangkai kata
29
D. Penyebab Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak
1. Masa Prenatal
a. Genetik herediter
b. Non genetik seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan, kelainan struktur
anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi jodium)
Selama masa kehamilan, periode paling penting adalah trimester pertama, sehingga
setiap gangguan atau kelianan yang terjadi pada masa tersebut dapat mengakibatkan ketulian
pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti toksoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes dan sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada perkembangan
bayi yang akan dilahirkan.5
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses
organogenesis dan merusak se-selrambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro
steptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomide, dll.
Selain itu, malformasi anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga
akan menyebabkan ketulian.
2. Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pendengaran/ ketulian seperti prematur, berat badan lahir rendah (<2500
gr, hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis).
Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal adalah tuli snsorineural
bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat.
3. Masa Postnatal
Adanya infeksi virus atau bakteri seperti rubela, campak, parotis, meningitis,
ensefalitis, perdarahan pada liang telinga tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan
tuli saraf atau tuli konduktif.5
E. Pemeriksaan Pada Bayi dan Anak
Beberapa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak :
Behavioral observation audiometry
Timpanometri
Audiometri bermain
Otoacoustic emission
Brainstem evoked rensponse audiometry
30
1. Behavioral observation audiometry
Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respon yang disadari. Metoda ini dapat mengetahui seluruh sistem auditorik termasuk pusat
kognitif yang lebih tinggi. Behavioral audiometry penting untuk mengetahui respons
subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak, dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi
pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing aid fitting). Pemeriksaan ini
dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus
disesuaikan dengan sia bayi.
Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak
lebih dari 60 dB), idealnya pada ruangan kedap suara (sound proof room). Sebagai sumber
bunyi sederhana dapat digunakan tepuk tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasan
kerta minyak, bel, terompet karet, mainan yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi (squaker
toy) dll.
Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa
dipakai alat bantuan pabrik seperti baby reactometer, neometer, viena tone (frekuensi 3000
Hz dengan pilihan intensitas 70,80,90 dan 100 dB).
Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut.
Pemeriksaan behavioral observation audiometry dibedakan menjadi behavioral refleks
audiometry dan behavioral response audiometry.
a. Behavioral Reflex Audiometry
Dilakukan pengamatan respon behavioral yang bersifa6 refleks sebagai reaksi
terhadap stimulus bunyi.
Respons behevioral yang dapat diamati antara lain : mengejapkan mata (auropaprebral
reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu
cessation reflex), denyut jantung meningkat, refleks moro (paling konsisten). Refleks
auropalpebral dan moro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan
berulang-ulang bayi jadi bosan sehingga tidak memberi respon walaupun dapat mendengar.
Stimulus dengan intensitas sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi
merupakan metode sound field atau dikenal juga sebagai free field test. Stimulus juga dapat
diberikan melalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidak dapat
menentukan ambang dengar.1
31
Bila kita mengharapkan terjadinya refleks moro dengan stimulus bunyi yang keras,
sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis,
sehingga menyulitkan observasi selanjutnya.
b. Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola
respon khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi diluar lapang
pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal, dan dengan bertambahnya
usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari
sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir sumber bunyi dari
segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan.
Teknik behavioral response audiometry yang sering kali digunakan adalah tes
distraksi dan tes visual reinforcement audiometry (VRA).
1) Tes Distraksi
Tes ini dilakukan dalam ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi
dipangku oleh ibu atau pengasuh . diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama bertugas
untuk menjaga konsentrasi bayi , misalnya memperlihatkan mainan yang tidak terlalu
menarik perhatian, selain memperhatikan respon bayi. Pemeriksa kedua memberikan
stimulus bunyi, misalnya audiomeer yang terhubung dengan pengeras suara.
Respon terhadap stimulus bunyi adalah dengan menggerakkan bola mata atau
menoleh ke arah sumber bunyi. Bila tidak ada respon terhadap stimulus bunyi, pemeriksaan
diulang sekali lagi. Kalau teteap tidak ada hasil, pemeriksaan ke tiga dilakukan lagi 1 minggu
kemudian. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologik
lanjutan yang lebih lengkap.
2) Visual reiforcement Audiometry (VRA)
Mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana kontrol neuromotor berupa
kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini respon unconditioned
berubah menjadi respon conditioned. Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respon
conditioned yang diperkuat dengan stimulus visual dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi
diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan memberi respon orientasi atau
melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama
diberikan stimulus bunyi saja (tanpa stimulus visual), bila bayi memberi respon diberi hadiah
berupa respon visual. Pad ates VRA juga diperlukan 2 orang pemeriksa. Pemeriksaan VRA
32
dapat menentukan ambang pendengara, namun karena stimulus diberikan dengan pengeras
suara, maka respon yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.1
3) Play Audiometry
Pemeriksaan play audiometry (conditioned play audiometry) meliputi teknik melatih
anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respons motorik spesifik dalam
suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih (conditioned) untuk
memasukkan benda tertentu ke dalam kotak segera setelah mendengar bunyi. Diperlukan 2
orang pemeriksa, yang satu bertugas memberikan stimulus melalui audiometer, dan
pemeriksa kedua bertugas melatih anak dan mengamati respons. Stimulus biasanya diberikan
melalui headphone. Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi
terkecil yang dapat menimbulkan respons dapat ditentukan ambang pendengaran pada
frekuensi tertentu (spesifik).5
2. Timpanoetri
3. Audiometri Nada Murni
4. Otoacoustic Emission
5. Brainstem Evoked Response Audiometry
VI. GANGGUAN PENDENGARAN PADA GERIATRI
Perubahan patologik pada organ auditorik akibat proses degenerasi pada usia lanjut
dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada kelompok
geriatri umumnya tuli sensorineural, namun dapat juga tuli konduktif atau tuli campuran.
Organ-organ pendengaran akan mengalami proses degeneratif. Pada telinga luar
terjadi perubahan pada berkurangnya elastisitas jaringan daun telinga dan liang telinga.
Kelenjar-kelenjar sebasea dan seruminosa mengalami gangguan fungsi sehingga produksinya
berkurang, juga terjadi penyusutan jaringan lemak sebagai bantalan di sekitar liang telinga.
Hal ini menyebabkan kulit daun telinga maupun liang telinga menjadi kering dan mudah
mengalami trauma. Serumen cenderung mengumpul, mengeras, dan menempel dengan
jaringan kulit liang telinga.1
Bagian liang telinga 2/3 dalam mudah luka saat mengeluarkan kotoran karena kulit
yang melapisinya lebih tipis.
Serumen cenderung menumpuk karena terjadi peningkatan produksi serumen dari
bagian 1/3 liang telinga, bertambah banyaknya rambut liang telinga, yang tampak lebih tebal
dan panjang.
33
Bagian telinga lain seperti membran timpani, tulang-tulang pendengaran, otot-otot di
telinga tengah juga mengalami perubahan walaupun tidak terlalu bermakna.
Perubahan mikroskopis struktur telinga tengah menurut Etholm dan Belai (1974)
didapatkan:
1. Membran timpani menipis dan lebih kaku
2. Arthritis sendi sering terjadi pada antar tulang-tulang pendengaran
3. Atrofi dan degenerasi serabut-serabut otot pendengaran di telinga tengah
4. Proses penulangan dan perkapuran pada tulang rawan di sekitar Tuba Eustachius.
Struktur telinga bagian dalam yaitu sensorik, saraf, pembuluh darah, jaringan
penunjang, maupun sinaps saraf, rentan terhadapat proses degeneratif. Organ corti paling
rentan terhadap proses degeneratif. Perubahan pada sel-sel rambut luar di bagian basal koklea
sangat besar pengaruhnya dalam penurunan ambang pendengaran pada usia lanjut.
A. Tuli Konduktif Pada Geriatri
Pada telinga luar dan telinga tengah proses degeneratif dapat menyababkan kelainan
berupa;
1. Berkurangnya elastisitas dan bertambah besarnya ukuran pinna daun telinga
2. Atrofi dan bertambah kakunya liang telinga
3. Penumpukan serumen
4. Membran timpani bertambah tebal dan kaku
5. Kekauan sendi tulang-tulang pendengaran
Kelenjar-kelenjar serumen mengalami atrofi, sehingga produksi kelenjar serumen
berkurang dan menyebabkan serumen menjadi lebih kering, sehingga terjadi serumen prop,
membran timapani bertambah kaku dan tebal , kekakuan pada persendian tulang-tulang
pendengaran menyebabkan tuli konduksi.
B. Tuli Saraf pada Geriatri
Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya pada usia 65 tahun,
simetris pada telinga kiri dan kanan, terjadi pada frekuensi 1000 Hz atau lebih.5
1. Etiologi
Presbikusis merupakan akibat proses degenerasi yang memiliki hubungan dengan
faktor-faktor herediter, pola makanan, arterioskerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat
34
multifaktor. Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin,
laki-laki lebih cepat dibandingkan perempuan.
2. Patologi
Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan N.VIII. Pada koklea
perubahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ
Corti. Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis.
Ukuran sel-sel ganglion, saraf, dan myelin akson saraf juga mengalami penurunan jumlah.
3. Klasifikasi
Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi, Schuknecht dkk menggolongkan
presbikusis menjadi 4 jenis yaitu
Tabel 7. Klasifikasi Presbikusis
No. Jenis Patologi
1 Sensorik Lesi terbatas pada koklea. Atrofi organ Corti, jumlah
sel-sel rambut dan sel-sel penunjang berkurang.
2 Neural Sel-sel neuron pada koklea dan jaras auditorik
berurang.
3 Metabolik
(Strial presbycusis)
Atrofi stria vaskularis. Potensial mikrofonik menurun.
Fungsi sel dan keseimbangan bio-kimia/bioelektrik
koklea berkurang.
4 Mekanik
(Cochlear presbycusis)
Terjadi perubahan gerakan mekanik duktus koklearis.
Atrofi ligamentum spiralis.
Membran basilaris lebih kaku.
4. Gejala Klinik
Keluhan utama presbukusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan-lahan
dan progresif, simetris pada kedua telinag. Kapan berkurangnya pendenngan tidak diketahui
pasti.5
Keluhan lainnya adalah telinga berdenging (tinitus nada tinggi). Pasien dapat
mendengar suara percakapan, tapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan
cepat di tempat dengan latar belakang bising (cocktail party deafness). Bila intensitas suara
35
ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga, hal ini disebabkan oleh faktor kelelahan saraf
(recruitment).
5. Diagnosis
Dengan pemeriksaan otoskopik, tampak membran timpani suram, mobilitasnya
berkurang. Pada tes penala didapatkan tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometrik nada
murni menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral, dan simetris.
Pada tahap awal terdapat penurunan tajam (sloping) setelah frekuensi 2000 Hz. Ini
khas pada presbikusis jenis sensorik dan neural.
Garis ambang dengar pada audiogram jenis metabolik dan mekanik lebih mendatar,
kemudian pada tahap berikutnya berangsur-angsur terjadi penurunan. Pada tahap lanjut
terjadi penurunan pada frekuensi yang lebih rendah.
Pemeriksaan audiometrik tutur menunjukkan adanya gangguan diskriminasi wicara
(speech discrimination). Tampak pada presbikusis neural dan koklear.
6. Penatalaksanaan
Rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan
alat bantu dengar (hearing aid). Perlu dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran
(speech reading) dan latihan mendengar (audiotory training).1
VII. TULI MENDADAK
A. Definisi
Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis
ketuliannya ialah sensorineural, penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, biasanya terjadi
pada satu telinga. Beberapa ahli mendefinisikan tuli mendadak sebagai penurunan
pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada
pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.5
Kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat permanen, kelainan ini
dimasukkan ke dalam darurat neurotologi.
Tuli mendadak dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain iskemia koklea, infeksi
virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat
ototoksik, penyakit meniere dan neuroma akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai
etiologi dan sesuai dengan definisi diatas adalah iskemia koklea dan infeksi virus.
36
B. Etiologi
1. Iskemia koklea
Dapat disebabakan oleh spasme, thrombosis atau perdarahan arteri auditiva interna.
Iskemia mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligaen
spiralis pembentukan jaringan ikat dan penulangan.
2. Infeksi virus
Ex: virus parotis, virus campak, virus influenza B, dan mononucleosis menyebabakn
kerusakan pada organ corti, membrane tektoria, dan selubung myelin saraf akustikus.
3. Trauma kepala
4. Trauma bising yang keras
5. Perubahan tekanan atmosfer
6. Autoimun
7. Obat ototoksin
8. Penyakit Meniere
9. Neuroma akustik
C. Gejala
1. Timbul mendadak atau menahun secara tidak jelas
2. Terkadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, namun biasanya menetap
3. Dapat unilateral atau bilateral
4. Disertai tinitus dan vertigo
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Bagaimana proses terjadinya tuli, gejala yang menyertai serta faktor predisposisi.
2. Pemeriksaan fisik dan THT
Tekanan darah, pada pemeriksaan otoskop tidak ditemukan kelainan
3. Audiologi
a. Tes penala: rinne positif, weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach
memendek. (tuli sensorineural).
b. Audiometri nada murni : tuli sensorineural ringan sampai berat.
1). Tes SISI, skor 100% atau kurang dari 70% (kesan : dapat ditemukan rekrutmen)
2). Tes Tone decay, kesan : bukan tuli retrokoklea.
37
c. Audiometri tutur, speech discrimination score < 100% (kesan : tuli sensorineural)
d. Audiometri Impedans : timpanogram tipe A (normal) refleks stapedius ipsilateral
negati atau positif. Kesan : tuli sensorineural koklea
4. Laboratorium
Untuk memeriksa kemungkinana infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen,
hipotiroid, penyakit autoimun, faal hemostatis.
5. Pemeriksaan penunjang lainnya.
E. Penatalaksanaan3
1. Total bed rest selama dua minggu
2. Vasodialtasi complamin injeksi
3 x 1200 mg (4 ampul) selama 3 hari
3 x 900 mg (3 ampul) selama 3 hari
3 x 600 mg (2 ampul) selama 3 hari
3 x 300 mg (1 ampul) selama 3 hari
Disertai tablet vasodilator oral tiap hari
3. Prednisone (kortikosteroid) 4 x 10 mg (2 tablet) tapering off tiap 3 hari (hati-hati pada
pasien diabetes)
4. Vitamin C 500 mg 1 x 1 tablet/hari
5. Neurobion (neurotonik) 3 x 1 tablet/hari
6. Diet rendah garam dan rendah kolesterol
7. Inhalasi oksigen 4 x 15 menit (2liter/menit)
8. Obat anti virus sesuai penyebabnya
9. Hipertonik oksigen terapi (HB)
10. Pemasangan alat bantu dengar
11. Psikoterapi
Evaluasi pendengaran dilakukan setiap minggu dalam satu bulan (kallinen et al,1997):5
Sangat baik perbaikan lebih dari 30dB pada 5 frekuensi
Sembuh perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30dB pada frekuensi 250Hz,
500Hz, 1000Hz, 2000Hz, dan di bawah 25dB pada frekuensi 4000Hz
Baik bila rerata perbaiakn 10-30 dB pada 5 frekuensi
Tidak ada perbaikan terdapat perbaikan kurang dari 10 dB pada 5 frekuensi.
38
39
VIII. NOISE INDUCED HEARING LOSS (NIHL)
Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4
negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya
yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6%
tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta
penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat
di Asia Tenggara.
Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan
mesin-mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya. Akibatnya kebisingan makin
dirasakan mengganggu dan dapat memberikan dampak pada kesehatan. Biaya yang harus
ditanggung akibat kebisingan ini sangat besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis
dan pendidikan, maka bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya
kualitas bisnis dan pendidikan. Sama halnya dengan akibat yang ditimbulkan pada
masyarakat yang lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan sumber bising. Trauma akustik
ataupun gangguan pendengaran lain yang timbul akibat bising, gangguan sistemik yang
timbul akibat kebisingan, penurunan kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya secara
nominal dapat mencapai milyaran rupiah.
Industri yang terutama membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain
pertambangan, pembuatan terowongan, penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin
berat ( pencetakan besi, proses penempaan, dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan
mesin pembakaran yang kuat (pesawat terbang, truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll),
pekerjaan mesin tekstil dan uji coba mesin-mesin jet. Pada umumnya gangguan pendengaran
yang disebabkan bising timbul setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran
tergantung pada tingkat bising, komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga pada
kepekaan individual yang sifat-sifatnya tetap tidak diketahui.5
Salah satu bising industri yang dianggap perlu untuk diteliti adalah bising pesawat
terbang. Penelitian mengenai pengaruh bising pesawat terbang terhadap kemampuan
pendengaran pekerja telah banyak dilakukan. Diantarannya yaitu penelitian yang dilakukan
di London Inggris dimana peneliti membandingkan antara subjek dengan tingkat kebisingan
pesawat terbang yang tinggi dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang rendah.
Hasilnya adalah didapat kejadian gangguan pendengaran lebih tinggi pada subjek dengan
tingkat kebisingan pesawat terbang yang tinggi. Penelitian lainnya juga menunjukkan hal
40
yang sama, dimana pada pekerja bandara laki-laki di Korea menunjukkan perbedaan yang
significant pada kejadian hilangnya pendengaran (lebih dari 25 dB) antara subjek yang
terpapar bising dengan yang tidak terpapar bising pesawat terbang (p< 0.5). Hampir 60,8 %
dari pekerja yang terpapar bising tersebut tercatat sebagai pengguna HPDs (Hearing
Protective Devices).
Mengingat besarnya masalah tersebut dan pentingnya kesehatan indera pendengaran
sebagai salah satu faktor penting dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia, maka
diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap masalah kesehatan indera pendengaran
khususnya tuli akibat pemajanan bising (TAB/NIHL).
A. BISING
1. Definisi
Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi
terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang
menghalangi gaya hidup. Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan atau semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran.1
2. Baku Tingkat Kebisingan
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan
gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat kebisingan (Nilai
Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 8. Baku tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan
kawasan/lingkungan
Peruntukan kawasan / lingkungan
kegiatan
Tingkat kebisingan
(dB)
Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan jasa 70
3. Perkantoran dan perdagangan 65
41
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus :- Bandar udara- Stasiun
Kereta Api - Pelabuhan Laut- Cagar
Budaya
70
Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah dan sejenisnya 55
3. Tempat ibadah dan sejenisnya 55
B. Tuli Akibat Bising
1. Definisi
Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli sensorineural yang terjadi akibat terpapar oleh
bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama.5
2. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas kebisingan,
frekwensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan individu, jenis kelamin,
usia dan kelainan di telinga tengah. Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti
arsen dan quinine) dan antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea.
3. Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut.
Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya
degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-
sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan
bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti
hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan
hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi
intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan
semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga
dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.1
42
4. Gambaran Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech
discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan
kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi,
seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian
biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya
dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi.5
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss )
adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat ( profound hearing loss ).
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi
adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan
ambang dengar menetap ( permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons
kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan
ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan
ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar
akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang
dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap
akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti,
sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.(7,8)
Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan,
tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga dalam mula-
mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat
terjadi pada frekwensi 4000 Hz, dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada
frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15
tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.
5. Diagnosis
43
Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan
biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami
kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga
ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa
keberatan jika orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses
yang berlangsung perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja
bersangkutan; untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada
pekerja lain atau pada pihak keluarga.5
Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang
telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan
seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan
pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan
telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan
untuk menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu
pendengaran
6. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet).
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemAsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan
anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena
pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar
dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah
mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea
(cochlear implant).
44
7. Pemeriksaan5
a. Sound Level Meter ( SLM )
SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan, yang
terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan beberapa alat lainnya. Alat ini
mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 20 – 20.000 Hz. SLM dibuat
berdasarkan standar ANSI ( American National Standard Institute ) tahun 1977 dan
dilengkapi dengan alat pengukur 3 macam frekwensi yaitu A, B dan C yang menentukan
secara kasar frekwensi bising tersebut.
Jaringan frekwensi A mendekati frekwensi karakteristik respon telinga untuk suara
rendah yang kira-kira dibawah 55 dB . Jaringan frekwensi B dimaksudkan mendekati reaksi
telinga untuk batas antara 55 – 85 dB. Sedangkan jaringan frekwensi C berhubungan dengan
reaksi telinga untuk batas diatas 85 dB.
b. Audiometri
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat
ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai.
Alat yang dikenal sebagai audiometer, dikembangkan pada awal 1920-an, mencontoh
rangkaian oktaf dari skala C seperti pada garputala. Intensitas nada dapat dipertahankan pada
tingkat tertentu, tidak seperti garputala dimana intensitas nada segera berkurang setelah
dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan
pada interval tertentu dengan hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat
dihitung. Hanya tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi decibel dan kontunuitas
intensitas, dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus
nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa
pendengaran yang normal grafik berada di atas. Grafiknya terdiri atas skala desibel. Suara
dipresentasikan dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (Bone conduction). Bila
terjadi air bone gap maka diindikasikan adanya CHL (Conduction hearing Loss). Turunnya
nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Sensorineural
Hearing Loss).
Pada pemeriksaan audiometri, pasien menggunakan headphone sesuai dengan telinga
yang diperiksa (warna merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga kiri). Pemeriksaan
dimulai pada frekwensi 1000 Hz, selanjutnya 2000 Hz, 4000 Hz & 8000 Hz. Kemudian
dilanjutkan pemeriksaan pada 1000Hz dan menurun (500 Hz, 250 Hz, 125 Hz). Pada masing-
45
masing frekuensi pemeriksaan ambang dengar dimulai dengan intensitas diatas perkiraan
ambang dengarnya, selanjutnya diturunkan sampai pasien tidak mendengar stimulus
bunyinya (tidak menunjuk jari). Ambang dengar pasien adalah intensitas terkecil yang dapat
didengar oleh pasien. Pemeriksaan audiometri dilakukan pada ruangan kedap suara atau jika
tidak ada dapat digunakan ruangan yang sunyi.
8. Prognosis
Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap,
dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan. Penggunaan alat bantu dengar
hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut hanya memberikan rangsangan
vibrotaktil dan bukannya perbaikan diskriminasi bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian
pasien dianjurkan pemakaian implan koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-
pasien dengan tuli sensorineural.1
IX. GANGGUAN TELINGA AKIBAT OBAT OTOTOKSIK
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan
dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten, daftar obat-obatan ototoksik semakin
bertambah.5
46
A. Definisi
kerusakan karena efek toksik obat di telinga dalam, kokleal, dan atau vestibuler.
B. Gejala
Tinitus, gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.
Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun, dan sering kali
mendahului serta lebih mengganggu dari pada tulinya sendiri.
Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yang menetap, tinitus lama kelamaan tidak
begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.
Loop diuretic dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit setelah
penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli
sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinitus yang ringan.
Tinitus ddan kurang pendengaran yang reversible dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan
kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretics dapat pulih dengan menghentikan
pengobatan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat antibiotik
aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih kembali. Kurang
pendengaran yang disebabkan antibiotika biasanya terjadi setelah 3-4 hari, tetapi mungkin
akan lebih jelas setelah dosis pertama.
Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi berhari-hari, berminggu-
minggu, atau berbulan-bulan, setelah selesai pengobatan. Biasanya tuli bersifat bilateral,
tetapi tidak jarang yang unilateral.
Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural.
Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi
tinggi pada audiogram., sedangkan diuretik yang dapat menimbulkan ototoksisitas biasanya
menghasilkan audiogram yang mendatar atau sedikit menurun.
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat sering
ditemukan, oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin. Terjadinya secara perlahan-
lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan
fungsi ginjalnya.
Terdapat juga gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasikan pandangan,
terutama setelah perubahan posisi.
Antibiotika aminoglikosida dan loop diuretic adalah dua dari obat-obat ototoksik yang
potensial berbahaya yang biasa ditemukan.
47
C. Mekanisme Ototoksik
Akibat penggunaan obat obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan
angguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadinya struktur anatomi
pada organ telinga dalam. Kerusakan yang timbul oleh preparat ototoksik tersebut antara
lain :5
1. Degenerasi striae vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua
jenis obat ototoksik.
2. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin
vertibularis, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar lebih
terpengaruh dari pada sel rambut dalam , dan perubahan degeneratif ini terjadi
dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks.
3. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari
sel epitel sensori.
a. Aminoglikosida
Tuli yang diakibatkan bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan kehilangan
sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan dapat disertai
gangguan vestibular.3
Obat-obat tersebut adalah : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin,
tobramisin, amikasin dan yang terbaru adalah netilmisin dan sisomisin. Netilmisin
mempunyai efek seperti gentamisin tetapi sifat ototoksisitasnya jauh lebih kecil. Sisomisin
juga mempunyai efek ototoksisitas yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
aminoglikosida lain.3
Khusus untuk pemakaian streptomisin memerlukan perhatian yang lebih. Hal ini
harus dilakukan oleh karena streptomisin merupakan salah satu obat golongan
aminoglikosida, yang sampai saat ini masih digunakan sebagai terapi anti-tuberkulosis
kategori II. Penggunaan obat ini masih dilema, karena efek samping streptomisin yang
menyebabkan tuli sensorineural dengan gejala tersering tinitus atau rasa penuh pada telinga
dna gangguan keseimbanga, sedangkan obat ini perludiberikan pada jangka waktu tertentu
yang tidak boleh terputus.
b. Eritromisin
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang pendengaran
subjektif tinitus yang meniup dan kadang-kadang disertai vertigo. Pernah dilaporkan bahwa
48
terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian intravena dosis
tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulihsetelah pengobatan dihentikan.
Antibiotika lain seperti vankomisin, viomisin, capreomisin, minosiklin dapat
mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi ginjalnya.
c. Loop diuretics
Ethycrynic acid, furosemide dan bumetadine adalah diuretik yang kuat yang disebut
loop diuretics karena dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-elektrolit dan air pada cabang
naik dari lengkung henle. Walaupun diuretik tersebut hanya memberikan sedikit efek
samping tapi menunjukkan derajat potensi ototoksisitas, terutama bila diberikan kepada
pasien dengan insufisiensi ginjal secara intravena. Biasanya gangguan pendengaran yang
terjadi ringan, tetapi pada kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan tuli permanen.
d. Obat anti inflamasi
Salisilat termasuk aspirin dpaat mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi tinggi
dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih dan tinitus akan
hilang.
e. Obat antimalaria
Kina dan klorokuin adalah obat antimalaria yang biasa digunakan. Efek
ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan
biasanya pendengaran akan pulih dan tinitusnya hilang. Perlu dicatat bahwa kina dan
klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada laporan kasus tentang tuli kongenital dan
hipoplasia koklea karena pengobatan malaria pada ibu hamil.
f. Obat anti tumor
Gejala yang ditimbulkan CIS palatinum, sebagai ototoksisitas adalh tuli subjektif,
tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli biasanya
bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz dan 8 KHz, kemudian terkena ke frekuensi
yang lebih rendah. Kurang pendengaran biasanya mengakibatkan menurunnya hasil speech
discrimination score. Tinitus biasanya samar-samar. Bila tuli ringan pada penghentian
pengobatan pendengaran akan pulih, tetapi bila tulinya berat, biasanya bersifat menetap.
g. Obat tetes telinga
Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti
neomisin dan polimiksin B. Terjadinya ketulian tersebut dapat menembus membran tingkap
bundar (round window membrane. Walaupun membran tersebut pada manusia 3x lebih tebal
dibandingkan pada baboon (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus
49
obat-obat itu. Sebetulnya obat tetes telinga yang mengandung antibiotika aminoglikosida
diperlukan untuk infeksi telinga luar.
D. Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu
pemberian obat-obat ototoksik terjadi pada gangguan telinga dalam (dapat diketahui secara
audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat
ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat itu
sendiri.5
Apabila ketulian sudah terjadi dapat divoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan
alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory trainining, termasuk cara menggunakan sisa
pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca
bahasa isyarat. Pada tuli total biilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan
koklea (Cochlear implant).
E. Prognosis
Sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan, kerentanan
pasien. Pada umumnya prognois tidak begitu baik malah mungkin buruk.
X. OTITIS EKSTERNA
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh
bakteri dapat terlogalisir atau difus, telinga rasa sakit. Faktor ini penyebab timbulnya otitis
eksterna ini, kelembaban, penyumbatan liang telinga, trauma local dan alergi. Faktor ini
menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel
skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma local yang mengakibatkan bakteri masuk
50
melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat. Bakteri patogen pada otitis eksterna akut
adalah pseudomonas (41 %), strepokokus (22%), stafilokokus aureus (15%) dan bakteroides
(11%). Istilah otitis eksterna akut meliputi adanya kondisi inflasi kulit dari liang telinga
bagian luar.5
Otitis eksterna ini merupakan suatu infeksi liang telinga bagian luar yang dapat
menyebar ke pina, periaurikular, atau ke tulang temporal. Biasanya seluruh liang telinga
terlibat, tetapi pada furunkel liang telinga luar dapat dianggap pembentukan lokal otitis
eksterna. Otitis eksterna difusa merupakan tipe infeksi bakteri patogen yang paling umum
disebabkan oleh pseudomonas, stafilokokus dan proteus, atau jamur.
Penyakit ini sering diumpai pada daerah-daerah yang panas dan lembab dan jarang
pada iklim-iklim sejuk dan kering. Patogenesis dari otitis eksterna sangat komplek dan sejak
tahun 1844 banyak peneliti mengemukakan faktor pencetus dari penyakit ini seperti Branca
(1953) mengatakan bahwa berenang merupakan penyebab dan menimbulkan kekambuhan.
Senturia dkk (1984) menganggap bahwa keadaan panas, lembab dan trauma terhadap epitel
dari liang telinga luar merupakan faktor penting untuk terjadinya otitis eksterna. Howke dkk
(1984) mengemukakan pemaparan terhadap air dan penggunaan lidi kapas dapat
menyebabkan terjadi otitis eksterna baik yang akut maupun kronik.
A. Definisi
Otitis eksterna adalah radang merata kulit liang telinga yang disebabkan oleh kuman
maupun jamur (otomikosis) dengan tanda-tanda khas yaitu rasa tidak enak di liang telinga,
deskuamasi, sekret di liang telinga dan kecenderungan untuk kambuhan. Pengobatan amat
sederhana tetapi membutuhkan kepatuhan penderita terutama dalam menjaga kebersihan
liang telinga.
B. Etiologi
Swimmer’s ear (otitis eksterna) sering dijumpai, didapati 4 dari 1000 orang,
kebanyakan pada usia remaja dan dewasa muda. Terdiri dari inflamasi, iritasi atau infeksi
pada telinga bagian luar. Dijumpai riwayat pemaparan terhadap air, trauma mekanik dan
goresan atau benda asing dalam liang telinga. Berenang dalam air yang tercemar merupakan
salah satu cara terjadinya otitis eksterna (swimmer’s ear). Bentuk yang paling umum adalah
bentuk boil (Furunkulosis) salah satu dari satu kelenjar sebasea 1/3 liang telinga luar.
Pada otitis eksterna difusa disini proses patologis membatasi kulit sebagian kartilago
dari otitis liang telinga luar, konka daun telinga penyebabnya idiopatik, trauma, iritan, bakteri
51
atau fungal, alergi dan lingkungan. Kebanyakan disebabkan alergi pemakaian topikal obat
tetes telinga. Alergen yang paling sering adalah antibiotik, contohnya: neomycin, framycetyn,
gentamicin, polimixin, anti bakteri (Holmes et al, 1982) dan anti histamin. Sensitifitas poten
lainnya adalah metal dan khususnya nikel yang sering muncul pada kertas dan klip rambut
yang mungkin digunakan untuk mengorek telinga. Infeksi merupakan penyakit yang paling
umum dari liang telinga luar seperti otitis eksterna difusa akut pada lingkungan yang lembab.
C. Patofisiologi
Saluran telinga bisa membersihkan dirinya sendiri dengan cara membuang sel-sel
kulit yang mati dari gendang telinga melalui saluran telinga. Membersihkan saluran telinga
dengan cotton bud (kapas pembersih) bisa mengganggu mekanisme pembersihan ini dan bisa
mendorong sel-sel kulit yang mati ke arah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk
disana.4
Penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen akan menyebabkan penimbunan air
yang masuk ke dalam saluran ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah dan lembut pada
saluran telinga lebih mudah terinfeksi oleh bakteri atau jamur.
D. Klasifikasi Otitis Eksterna
1. Penyebab tidak diketahui :
Malfungsi kulit : dermatitis seboroita, hiperseruminosis, asteotosis
Eksema infantil : intertigo, dermatitis infantil.
Otitis eksterna membranosa.
Meningitis kronik idiopatik.
Lupus erimatosus, psoriasis.
2. Penyebab infeksi
Bakteri gram (+) : furunkulosis, impetigo, pioderma, ektima, sellulitis,
erisipelas.
Bakteri gram (-) : Otitis eksterna diffusa, otitis eksterna bullosa, otitis eksterna
granulosa, perikondritis.
Bakteri tahan asam : mikrobakterium TBC.
Jamur dan ragi (otomikosis) : saprofit atau patogen.
Meningitis bullosa, herpes simplek, herpes zoster, moluskum kontangiosum,
variola dan varicella.
Protozoa
52
Parasit
3. Erupsi neurogenik : proritus simpek, neurodermatitis lokalisata/desiminata,
ekskoriasi, neurogenik.
4. Dermatitis alergika, dermatitis kontakta (venenat), dermatis atopik, erupsi karena
obat, dermatitis eksamatoid infeksiosa, alergi fisik.
5. Lesi traumatika : kontusio dan laserasi, insisi bedah, hemorhagi (hematom vesikel
dan bulla), trauma (terbakar, frosbite, radiasi dan kimiawi).
6. Perubahan senilitas.
7. Deskrasia vitamin.
8. Diskrasia endokrin.
E. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel/ bisul)
Otitis eksterna sirkumskripta adalah infeksi bermula dari folikel rambut di liang
telinga yang disebabkan oleh bakteri stafilokokus dan menimbulkan furunkel di liang telinga
di 1/3 luar. Sering timbul pada seseorang yang menderita diabetes.
Gejala klinis otitis eksterna sirkumskripta berupa rasa sakit (biasanya dari ringan
sampai berat, dapat sangat mengganggu, rasa nyeri makin hebat bila mengunyah makanan).
Keluhan kurang pendengaran, bila furunkel menutup liang telinga. Rasa sakit bila daun
telinga ketarik atau ditekan. Terdapat tanda infiltrat atau abses pada 1/3 luar liang telinga.
Penatalaksanaan otitis eksterna sirkumskripta :5
1. Lokal : pada stadium infiltrat diberikan tampon yang dibasahi dengan 10%
ichthamol dalam glycerine, diganti setiap hari. Pada stadium abses dilakukan
insisi pada abses dan tampon larutan rivanol 0,1%.
2. Sistemik : Antibiotika diberikan dengan pertimbangan infeksi yang cukup
berat. Diberikan pada orang dewasa ampisillin 250 mg qid, eritromisin 250
qid. Anak-anak diberikan dosis 40-50 mg per kg BB.
3. Analgetik : Parasetamol 500 mg qid (dewasa). Antalgin 500 mg qid (dewasa).
Pada kasus-kasus berulang tidak lupa untuk mencari faktor sistemik yaitu adanya
penyakit diabetes mellitus.
F. Otitis Eksterna Difus
Otitis eksterna difus adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri.
Umumnya bakteri penyebab yaitu Pseudomonas. Bakteri penyebab lainnya yaitu
Staphylococcus albus, Escheria coli, dan sebagainya. Kulit liang telinga terlihat hiperemis
53
dan udem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul). Gejalanya sama dengan
gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kandang-kadang kita temukan sekret
yang berbau namun tidak bercampur lendir (musin). Lendir (musin) merupakan sekret yang
berasal dari kavum timpani dan kita temukan pada kasus otitis media.5
Pengobatan otitis eksterna difus ialah dengan memasukkan tampon yang mengandung
antibiotik ke liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat dengan kulit yang
meradang. Kadang-kadang diperlukan obat antibiotika sistemik.
G. Otomikosis
Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh kelembaban yang tinggi di daerah
tersebut. Yang tersering ialah jamur aspergilus. Kadang-kadang ditemukan juga kandida
albikans atau jamur lain.5
Gejalanya biasanya berupa rasa gatal dan rasa penuh di liang telinga, tetapi sering
pula tanpa keluhan. Pengobatannya ialah dengan membersihkan liang telinga. Larutan asam
asetat 2-5% dalam alkohol yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat menyembuhkan.
Kadang-kadang diperlukan juga obat anti-jamur (sebagai salep) yang diberikan secara
topikal.
H. Gejala Klinis
Rasa sakit di dalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak enak
sedikit, perasaan penuh didalam telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa sakit yang
hebat, serta berdenyut. Meskipun rasa sakit sering merupakan gejala yang dominan, keluhan
ini juga sering merupakan gejala sering mengelirukan. Kehebatan rasa sakit bisa agaknya
tidak sebanding dengan derajat peradangan yang ada. Ini diterangkan dengan kenyataan
bahwa kulit dari liang telinga luar langsung berhubungan dengan periosteum dan
perikondrium, sehingga edema dermis menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit
yang hebat. Lagi pula, kulit dan tulang rawan 1/3 luar liang telinga bersambung dengan kulit
dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan yang sedikit saja dari daun telinga akan
dihantarkan kekulit dan tulang rawan dari liang telinga luar dan mengkibatkan rasa sakit yang
hebat dirasakan oleh penderita otitis eksterna.5
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis
eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.
Gatal merupakan gejala klinik yang sangat sering dan merupakan pendahulu rasa
sakit yang berkaitan dengan otitis eksterna akut. Pada kebanyakan penderita rasa gatal
54
disertai rasa penuh dan rasa tidak enak merupakan tanda permulaan peradangan suatu otitis
eksterna akuta. Pada otitis eksterna kronik merupakan keluhan utama.
Kurang pendengaran mungkin terjadi pada akut dan kronik dari otitis eksterna akut.
Edema kulit liang telinga, sekret yang sorous atau purulen, penebalan kulit yang progresif
pada otitis eksterna yang lama, sering menyumbat lumen kanalis dan menyebabkan
timbulnya tuli konduktif. Keratin yang deskuamasi, rambut, serumen, debris, dan obat-obatan
yang digunakan kedalam telinga bisa menutup lumen yang mengakibatkan peredaman
hantaran suara.
Menurut MM. Carr secara klinik otitis eksterna terbagi :
1. Otitis Eksterna Ringan : kulit liang telinga hiperemis dan eksudat, liang telinga
menyempit.
2. Otitis Eksterna Sedang : liang telinga sempit, bengkak, kulit hiperemis dan eksudat
positif
3. Otitis Eksterna Komplikas : Pina/Periaurikuler eritema dan bengkak
4. Otitis Eksterna Kronik : kulit liang telinga/pina menebal, keriput, eritema positif.
Menurut Senturia HB (1980) :
Eritema kulit, sekret yang kehijau-hijauan dan edema kulit liang telinga merupakan
tanda-tanda klasik dari otitis diffusa akuta. Bau busuk dari sekret tidak terjadi. Otitis eksterna
diffusa dapat dibagi atas 3 stadium yaitu :
1. “Pre Inflammatory“
2. Peradangan akut (ringan/ sedang/ berat)
3. Radang kronik
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari keadaan yang serupa dengan otitis eksterna antara lain
meliputi :
1. Otitis eksterna nekrotik
2. Otitis eksterna bullosa4
3. Otitis eksterna granulose
4. Perikondritis yang berulang
5. Kondritis
55
6. Furunkulosis dan karbunkulosis
7. Dermatitis, seperti psoriasis dan dermatitis seboroika.
Karsinoma liang telinga luar yang mungkin tampak seperti infeksi stadium dini
diragukan dengan proses infeksi, sering diobati kurang sempurna. Tumor ganas yang paling
sering adalah squamous sel karsinoma, walaupun tumor primer seperti seruminoma, kista
adenoid, metastase karsinoma mamma, karsinoma prostat, small (oat) cell“ dan karsinoma sel
renal. Adanya rasa sakit pada daerah mastoid terutama dari tumor ganas dan dapat
disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan biopsi.
XI. OTITIS MEDIA
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media
supuratif dan otitis media nonsupuratif (otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis
media musinosa, otitis media efusi/OME).1
“Skema pembagian otitis media”
56
Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media
supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK/ OMP).
Begitu pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut (barotrauma =
aerotitis) dan media serosa kronis. Selain itu terdapat pula otitis media spesifik, seperti otitis
media tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis media
adhesiva.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut Otitis Media Perforata (OMP)
atau dalam sebutan sehari-hari adalah congek. Otitis Media Supuratif Kronik ialah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening
atau berupa nanah.
A. Otitis media supuratif akut
Telinga tengah biasanya steril, meskipuun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknnya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.5
Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi
tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman kedalam telinga tengah dan terjadi
peradangan. Selain itu pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernapasan atas.
Pada anak, makin sering anak terserang ISPA maka makin besar kemungkinan
terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachius yang
pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
1. Patologi
57
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik seperti Sreptokokus
Hemolitikus, S. Aureus, Pnemokokus, selain itu kadang-kadang ditemukan juga H.Influenza,
E.Coli, streptokokus anhemolitikus, Proteus Vulgaris, dan Pseudomonas Aurugenosa.
H.infuenza sering ditemukan pada anak dibawah usia 5 tahun.4
2. Stadium OMA
Perubahan mukosa telinga tengah, akibat infeksi dapat dibagi dalam 5 stadium.
1.Stadium oklusi Eustachius, 2. Stad.hiperemis, 3.Stad.Supurasi, 4.perforasi, 5.Resolusi.
keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran timpani.5
a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius.
Tanda adanya oklusi Tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membran timpani akibat
terjadinya tekanan negatif dalam telinga tengah, akibat absorbsi udara. Kadang-kadang
membran timpani (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi
tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus atau alergi.
b. Stadium Hiperemis (pre supurasi).
Pada stadium hiperemis tampak pembuluh darah yang melebar dimembran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemisatau edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin
bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.
c. Stadium supurasi.
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta
terbentuknya eksudat yang purulen ducavum timpani, menyebabkan membran timpani
menonjol (bulging) kearah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit,
nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri ditelinga bertambah berat.
Apabila tekanan pus dicavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia akibat tekanan
pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa
dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lembek dan
berwarna kekuningan. Ditempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka
kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar. Dengan miringotomi,
luka insisi akan menutup kembali, sedangkan bila ruptur maka perforasi tidak mudah
menutup kembali.
d. Stadium perforasi.
58
Karena beberapa sebab sseperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman
yang tinggi maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar dari telinga
tengahke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah menjadi tenang dan suhu badan turun.
Keadaan ini disebut dengan otitis media akut stadium perforasi.
e. Stadium resolusi.
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan akan
normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan kering. Bila
daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi akan terjadi meskipun
tanpa pengobatan. OMA berubak menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang
keluar terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa atau sequele
berupa otitis media serosa jika sekret menetap dicavum timpani tanpa terjadinya perforasi.
3. Gejala klinik OMA
Bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat
berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang
tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau
orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh
ditelinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA adalah suhu
tubuh tinggi dapat sampai 39,5 C ( pasa stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba
tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang kejang dan kadang kadang anak memegang
telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang
telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur tenang.5
4. Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi,
pengobatan terutama untuk membuka kembali tuba eustachius, sehingga tekanan negatif
ditelinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes hidung. HCL efedrin 0,5% dalam
larutan fisiologik (anak < 12 tahun) atau HCL efedrin 1 % dalam larutan fisiologik untuk
yang berumur diatas 12 tahun dan pada orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati.
Antibiotikka diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau
alergi.1
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika.
Antibiotika yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau ampisilim. Terapi awal
diberikan penisilin intamuskular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat didalam darah,
59
sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, ganggguan pendengaran sebagai gejala
sisa, dan kekambuhan. Antibiotik dianjurkan diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien
alergi penisilin maka diberikan eritromisin.
Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB per hari, dibagi dalam
4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari.4
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan
miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala klinis lebih cepat
hilang dan ruptur dapat dihindari.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang sekret keluar secara
berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah oabt cuci telinga H2O2 adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalamwaktu 7-10 hari.
Pada stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir diliang telinga luar
melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya
edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah
terjadi mastoiditis.Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih 3
minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.
Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulanatau dua
bulan,maka keadaan ini otitis media supuratif kronis (OMSK).
5. Komplikasi
Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abses sub-
periosteal sampai komplikasi yang berat (meningitits dan abses otak). Sekarang dengan
antibiotika, komplikasi jenis itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK.
B. Otitis media supuratif kronis
Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP)
atau dalam sebutan sehari-hari congek.5
1. Definisi
60
Yang disebut OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin ecer atau kental, bening atau berupa nanah.
2. Perjalanan penyakit
Otitis media kaut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif
kronis apabila prosesnya sudah lebih dari dua bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan,
disebut otitis media supuratif subakut.
Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah erapi yang
terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh
pasien rendah (gizi buruk) atau higiene yang buruk.
3. Letak Perforasi
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe/jenis OMSK.
Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal atau atik. Pada
perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih
ada sisa membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung
berhubungan dengan anulus atau sakulus timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang
terletak di pars flaksida.Jenis-Jenis Perforasi dapat dibagi menjadi:5
a. Perforasi Sentral kecil b. Perforasi Sentral (Sub Total)
c. Perforasi Atik d. Perforasi Postero Superior/ Marginal
61
4. Klasifikasi OMSK
Jenis OMSK terbagi atas 2 jenis :4
a. OMSK tipe Benigna
Proses peradangannya terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai
tulang.Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan
komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat kolesteatoma.
b. OMSK tipe Maligna
Merupakan OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu
kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Kolesteatom
dapat dibagi atas 2 tipe yaitu kongenital dan didapat. OMSK tipe maligna dikenal
juga dengan OMSK tipe berbahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe
maligna letaknya di atik atau marginal, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada
OMSK dengan perforasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna.
5. Epidemiologi
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain dipengaruhi kondisi sosial,
ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, higienis dan nutrisi yang jelek. Kebanyakan
prevalensi OMSK dilaporkan pada anak termasuk anak yang mempunyai kolesteatom, tetapi
tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia.
6. Etiologi
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis,
tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius.
7. Patogenesis dan Patologi
62
Karena OMSK didahului OMA, maka penjelasan tentang patofisiologi OMSK, akan
dijelaskan dengan patofisiologi terjadinya OMA. OMA biasanya disebabkan oleh Infeksi di
Saluran Nafas Atas (ISPA), umumnya terjadi pada anak karena keadaan tuba eustakius , yang
sangat berperan penting dalam patofisiologi OMA pada anak berbeda dengan orang dewasa.
Tuba eustakius pada anak lebih pendek, lebih horizontal dan relatif lebih lebar daripada
dewasa.5
8. Gejala Klinis
a. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe
jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret
biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga.
Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.
b. Gangguan Pendengaran
63
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan
mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya
didapat tuli konduktif berat.
c. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat
berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri
merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau
trombosis sinus lateralis.
d. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan
keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna yang perlu diperhatikan mengingat OMSK
tipe ini seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan
diagnosis dini yang menjadi pedoman yaitu adanya perforasi pada marginal atau pada atik.
Sedangkan pada kasus yang lanjut dapat terlihat adanya Abses atau fistel retroaurikular,
jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani, pus yang selalu
aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom) dan foto rontgen mastoid adanya gambaran
kolesteatom.1
9. Diagnosis OMSK
a. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan diantaranya adalah otorrhoe dan supurasi kronik telinga
tengah yang umumnya bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer).
Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasinya. Bakteri penginfasi sekunder, seperti stafilokokus, Proteus vulgaris,
dan Pseudomonas aeruginosa, serta sejumlah bakteri anaerob yang merupakan bagian dari
flora campuran, selalu ditemukan dalam sekret telinga kronik. Jika sekret encer berbau busuk
dan bercampur darah, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan keganasan.
64
Gejala penting lainnya adalah gangguan pendengaran, yang biasanya konduktif
namun dapat pula bersifat campuran. Nyeri tidak lazim dikeluhkan, namun jika ada mungkin
akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya duramater, atau dinding sinus lateralis atau
adanya pembentukan abses otak.
Vertigo juga merupakan gejala serius pada OMSK. Memberi kesan adanya fistula,
akibat erosi pada labirin tulang paling sering pada kanalis semisirkularis horizontal.
Pedoman klinik OMSK tipe bahaya adalah perforasi pada marginal atau pada atik.
Sedangkan pada kasus lanjut dapat terlihat, abses atau fistel retroaurikuler, polip atau jaringan
granulasi diliang telinga luar yang berasal dari dalam serta terlihat kolesteatoma pada telinga
tengah.1
b. Pemeriksaan otoskopi
Ototskopi dilakukan untuk melihat perforasi, letaknya dan jenisnya, sekret yang
keluar, serta ada tidaknya komplikasi kolesteatoma.
c. Pemeriksaan audiologi
Untuk memeriksa fungsi pendengaran yakni dengan : (1) tes penala, (2) tes berbisik,
(3) Audiometri nada murni.
d. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schüller berguna untuk melihat
struktur-struktur telinga tengah. Dan pemeriksaan CT scan dapat lebih efektif menunjukkan
anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.
65
10. Penatalaksanaan
a. Terapi OMSK
Terapi OMSK sering memerlukan waktu yang lama serta harus berulang-ulang,
karena sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu:
a. Adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah
berhubungan dengan dunia luar.
b. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal.
c. Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
d. Gizi dan higiene yang kurang.
1). Tipe Benigna
Prinsip terapinya ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang
keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3 % selama
3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memeberikan obat tetes
telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Karena semua obat tetes yang
mengandung antibiotik bersifat ototoksik. Sehingga dianjurkan penggunaan obat tetes telinga
jangan diberikan terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah
tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin (bila
pasien alergi terhadap penisilin). Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah
resistensi terhadap ampisilin, dapat diberikan ampisilin asam klavulat.5
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah observasi selama 2 bulan,
maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi,
mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran.
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya
infeksi berulang, maka sumber infeksi harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga perlu
melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.
2). Tipe Maligna
66
Prinsip terapi ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa
timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi
sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler,
maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan
mastoidektomi.5
c. Jenis Pembedahan pada OMSK5
Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada
OMSK dengan mastoiditis kronik, baik tipe benigna atau maligna, antara lain:
1) Mastoidektomi sederhana
Indikasi : Dilakukan pada OMSK tipe benigna yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan
patologik. Tujuan : Agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi
pendengaran tidak diperbaiki.
2) Mastoidektomi radikal
Dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas.
Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan
patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.
Tujuan operasi ini ialah membuang semua jaringan patologik dan mencegah
komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
Kerugian operasi ini ialah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya.
Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol, supaya tidak terjadi infeksi kembali.
3) Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum merusak
kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior liang telinga
direndahkan. Tujuan operasi ialah membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid,
dan mempertahankan pendengaranyang masih ada.
4) Miringoplasti
Merupakan jenis operasi timpanoplasti paling ringan, dikenal juga dengan nama
timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran timpani. Tujuannya
67
adalah mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe benigna dengan
perforasi menetap. Dilakukan pada OMSK benigna yang sudah tenang dengan ketulian
ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani.
Komplikasi : Infeksi, Kegagalan graft, Kondroitis, Trauma nervus korda timpani,
Tuli sensorineural dan vertigo, Peningkatan tuli konduksi, Stenosis kanal auditori eksternal.
5) Timpanoplasti
Indikasi : Dilakukan pada OMSK benigna dengan kerusakan lebih berat atau OMSK
benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medikamentosa.
Tujuan : Untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada
operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus dilakukan juga rekonstruksi
tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan
maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, V.1
Sebelum rekonstruksi dikerjakan, lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani
dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang pula
operasi ini terpaksa dilakukan dua tahap dengan jarak waktu 6 sampai dengan 12 bulan.
6) Timpanoplasti dengan Pendekatan ganda (Combined approach tympanoplasty)
Merupakan teknik operasi yang dilakukan pada kasus Maligna dan Benigna dengan
jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga).
Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi di kavum timpani, dikerjakan
melalui dua jalan (cobined approach), yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan
melakukan timpanotomi posterior. Teknik operasi ini dilakukan pada OMSK maligna belum
disepakati oleh para ahli, karena sering terjadi kekambuhan kolesteatoma.
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan
komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis,
kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus
sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan
sebagai komplikasi segera.5
68
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur,
stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang
dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu operasi.
Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis waktu
melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di
dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah
kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tpografi daerah sekitarnya sudah
tidakdikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena
operasisebelumnya, destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi House-
Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan
padasaraf dan menentukan prognosis penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo
pascaoperasidapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu karena cedera
operasi.Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah
aditus adantrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringa
kolesteatoma danmatriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk sistem
konduksitelinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding
sinus danduramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas
dapatditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran
berhenti.Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari
dapatmenyebabkan perdarahan besar.
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar darah pertahanan telinga tengah yang
normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke seluruh struktus disekitarnya.
Pertahanan pertama ini ialah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa seperti
mukosa saluran napas, mampu menglokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar
kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bilasawar ini runtuh, maka
struktur lunakdisekitarnya akan terkena. Runtuhnya periostium akan menyebabkan terjadinya
abses periosteal, suatu komplkasi yang relatif tidak berbahaya. Apabila infeksi mengarah
kedalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan parese n.fasialis atau labirinitis. Bila
kearah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis
dan abses otak.
69
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu terbentuknya
jaringan granulasi. Pada otitis media supuratif akut atau eksaserbasi akut penyebaran
biasanya melalui osteotromboflebitis (hematogen). Sedangkan pada kasus yang kronis,
penyabaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lalainnya ialah toksi masuk melalui
jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus, duktus
perilimfatik dan duktus endolimfatik.Dari gejala dan tanda yang ditemukan, dapat
diperkirakan jalan penyebaran suatu infeksi telinga tengah ke intrakranial.
11. Komplikasi
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya
yang dapat mengancam kesehatan dan menyebabkan kematian. Tendensi otitis media
mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore.
Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan
menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna,
tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada
OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.1
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari
OMSK berhubungan dengan kolesteatom.Adams dkk (1989) mengemukakan klasifikasi
sebagai berikut :
a. Komplikasi telinga tengah
1) Perforasi persisten membrane timpani
2) Erosi tulang pendengaran
3) Paralisis nervus fasial
b. Komplikasi telinga dalam
1) Fistel labirin
2) Labirinitis supuratif
3) Tuli saraf ( sensorineural)
c. Komplikasi ekstradural
1) Abses ekstradural
2) Trombosis sinus lateralis
3) Petrositis
d. Komplikasi ke susunan saraf pusat
1) Meningitis
70
2) Abses otak
3) Hindrosefalus otitis
C. Otitis media serosa
1. Definisi
Otitis media serosa adalah keradangan non bakterial mukosa kavum timpani yang
ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen (serous atau mukous). Sinonim :
otitis media efusa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, glue ear.4
2. Patofisiologi
Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan penyebab utama. Gangguan tersebut
dapat terjadi pada :4
Keradangan kronik rongga hidung, nasofaring, faring misalnya oleh alergi
Pembesaran adenoid dan tonsil
Tumor nasofaring
Celah langit-langit
3. Diagnosis
a. Anamnesis
Tekinga terasa penuh, terasa ada cairan (grabeg-grebeg)
Pendengaran menurun
Terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan atau menguap
b. Pemeriksaan
Pada otoskopi membran timpani berubah warna kekuning-kuningan,
refleks cahaya berubah atau menghilang
Dapat terlihat air fluid level atau air bubles
c. Pemeriksaan penunjang
Audiogram : tuli konduktif
Timpanogram : tipe B atau tipe C
4. Diagnosis banding
Otitis media supuratif akut tipe kataral
5. Penyulit
Otitis media kronis
71
Mastoiditis kronis
Timpanosklerosis
6. Terapi
a. Tahap I :
Miringotomi dan pasang ventilating tube (gromet)
Obat-obat gangguan fungsi tuba : dekongestan oral atau lokal (lihat terapi
otitis media supuratif akut)
b. Tahap II :
Bila ada pembesaran tonsil dan atau adenoid, dilakukan adenotonsilektomi
Bila ada faktor alergi dilakukan perawatan alergi.
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli kondiktif,
sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli
koklea dan tuli retrokoklea. Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah
72
dan akan terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan
menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.
Antara inkus dan maleus berjalan cabang n. Fasialis yang disebut korda timpani. Bila
terdapat radang di telinga tengah dan atau trauma mungkin korda timpani terjepit, sehingga
timbul gangguan pengecap.
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness) serta tuli
campur (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan
oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural
(perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat
pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural.
Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototoksik atau alkohol.
Dapat juga disebabkan tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik, dan pemaparan bising.
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuroma akustik, tumor sudut pons-
serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, atau kelainan otak lainnya.
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan audiologi
khusus yang terdiri dari audiometri khusus (seperti tes Tone decay, tes Short Increment
Sensitivity Index {SISI}, tes Alternate Binaural Loudness Balance {ABLB}, audiometri
tutur, audiometri Bekessy), audiometri objektif (audiometri impedans, elektrokokleografi,
Brain Evoked Reponse Audiometry {BERA}, pemeriksaan tuli anorganik (tes Stenger,
audiometri nada murni secara berulang, impedans) dan pemeriksaan audiometri anak.
73
top related