fungsi dan wewenang dewan keamanan pbb
Post on 26-Dec-2015
468 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN KEAMANAN PBB (PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA) DALAM MENJAGA PERDAMAIAN DAN KEAMANAN
INTERNASIONAL
Makalah ini Disusun untuk Tugas Mata Kuliah Hukum Organisasi Internasional dan Regional
Disusun oleh:
1. Fadel Muhammad (1206250866)
2. Fitra Wicaksana (1206248640)
3. Ricky Pratomo (1206247291)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2014
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji bagi Tuhan pencipta alam semesta atas segala rahmat dan
hidayah yang telah dilimpahkan olehNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dalam rangka mengumpulkan tugas mata kuliah Hukum Organisasi
Internasional dan Regional. Makalah ini berisi tentang fungsi dan wewenang Dewan
Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Makalah ini
membahas sejarah pembentukan, fungsi, wewenang, kekuatan memaksa dari mandat,
keanggotaan, serta posisi Dewan Keamanan PBB.
Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Adijaya Yusuf S.H., LL.M, selaku dosen pengajar mata kuliah Hukum
Organisasi Internasional dan Regional Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2. Bapak Arie Afriansyah S.H., M.I.L., Ph.D., selaku dosen pengajar mata kuliah
Hukum Organisasi Internasional dan Regional Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
3. Bapak Hadi Rahmat Purnama S.H., LL.M., selaku dosen pengajar mata kuliah
Hukum Organisasi Internasional dan Regional Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
4. Semua pihak yang telah dengan sukarela membantu dalam pengerjaan makalah
ini.
Namun demikian, walaupun sudah berupaya dan bekerja keras, penulis merasa
masih banyak memiliki kekurangan. Ada pepatah yang berbunyi “Tiada gading yang
tak retak,” begitu pula dengan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat terbuka dan
mengharapkan kritikan untuk meningkatkan kualitas dari makalah ini, dan demi
perbaikan penulisan-penulisan selanjutnya.
Depok, November 2014
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................3
1.4 Limitasi..............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................4
2.1 Pembentukan dan Fungsi Dewan Keamanan.................................................4
2.2.1 Sejarah Pembentukan PBB dan Dewan Keamanan PBB serta
Organisasi Terdahulu..........................................................................4
2.2.2 Filosofi Perlindungan Perdamaian dan Keamanan Internasional
dalam Dewan Keamanan PBB............................................................7
2.2.3 Fungsi Dewan Keamanan PBB sebagai Lembaga Legislatif
dan Eksekutif dari PBB.....................................................................10
2.2 Kewenangan Dewan Keamanan PBB..........................................................14
2.2.1 Resolusi Dewan Keamanan PBB, Sanksi, dan Prinsip-Prinsip
dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB...........................................14
2.2.2 Badan Pendukung Pelaksanaan Kewenangan Dewan Keamanan
PBB...................................................................................................16
2.2.3 Resolusi Majelis Umum PBB: Sebuah Perbandingan......................20
2.3 Kedudukan dan Keanggotaan Dewan Keamanan PBB di dalam PBB............21
2.3.1 Susunan Keanggotaan.......................................................................23
2.3.2 Prosedur Pemungutan Suara.............................................................27
BAB III SIMPULAN...........................................................................................30
Daftar Pustaka
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, masyarakat internasional sudah ingin untuk mendirikan sebuah
organisasi internasional yang bersifat universal dengan tujuan utama untuk
memelihara perdamaian dan keamanan dunia.1 Keinginan ini didorong dengan adanya
perkembangan teknologi senjata yang semakin maju dan menyebabkan adanya
sengketa-sengketa bersenjata antar negara. Selain itu, terdapat juga kemajuan
teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi2, serta kemajuan ekonomi yang
menyebabkan negara-negara di dunia menjadi “borderless”, sehingga diperlukan
adanya sebuah organisasi yang dapat mengatur hubungan antar masyarakat
internasional.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Reinhold Niebuhr, bahwa kita kekurangan
pemerintahan internasional hanya karena tidak ada yang menyusun sebuah blueprint
dari pemerintahan tersebut.3 Setelah terbentuknya blueprint, maka dibentuklah
gagasan yang berdasar dari keinginan masyarakat internasional untuk membentuk
sebuah organisasi internasional yang utama dari segi manusia adalah rasa solidaritas
sebagai makhluk sosial yang peduli atas penderitaan masyarakat di negara lain,
bahwa tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain.4
Permulaan dari tujuan pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia
disebabkan oleh munculnya Perang Dunia I yang melahirkan Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) sebagai hasil Peace Conference of Paris.5 LBB diharapkan dapat membawa
stabilitas perdamaian di dunia sebagai keinginan masyarakat internasional pasca
Perang Dunia I. Sayangnya, karena kegagalan politik yang dialami oleh LBB yang
1 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global), ed. 2, (Bandung : P.T. Alumni, 2010), hlm.458.
2 Sri Setianungsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, cet. 1, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2004), hlm. 1.
3 David Mitrany, A Working Peace System, (Chicago : Quadrangle Books, 1966), page 29.4 Suwardi, op. cit., hlm. 2.5 http://www.historylearningsite.co.uk/leagueofnations.htm, diakses pada 3 November 2014,
pukul 22:46 WIB.
1
berujung pada dimulainya Perang Dunia II, maka LBB akhirnya dibubarkan pada
tahun 1946.6
Setelah LBB dibubarkan, maka Pemimpin-Pemimpin Dunia mengadakan
pertemuan yang menghasilkan Atlantic Charter yang pada akhirnya ditandatangani
oleh Rosevelt, Churcill, Litvinov, serta Soong.7 Dengan diadakannya “Declaration of
the United Nations” pada tanggal 1 Januari 1942, maka resmi dibentuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri hingga saat ini.
Sebagai bentuk modifikasi dari kegagalan LBB dalam menjaga perdamaian dan
keamanan dunia, maka PBB mempunyai organ Dewan Keamanan/Security Council,
di mana wewenang Dewan Kemanan PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan
keamanan internasional sesuai dengan tujuan utama PBB pada pasal 1 Piagam
PBB/United Nations Charter (UN Charter).8 Dewan Keamanan adalah organ PBB
dengan tanggung jawab utama utama untuk menerima dan melaksanakan keputusan-
keputusan Dewan.9
Di dalam makalah ini akan dibahas bagaimana fungsi Dewan Keamanan PBB
dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia, di mana Dewan Keamanan PBB
memiliki sanksi yang memaksa kepada anggota-anggota PBB melalui tindakan-
tindakan yang diambil melalui voting, sehingga perdamaian dan keamanan dunia
dapat dijaga.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana pembentukan dan fungsi Dewan Keamanan PBB?
2. Bagaimana kekuatan pemaksa dari Mandat Dewan Keamanan PBB?
3. Bagaimana kedudukan dan keanggotaan Dewan Keamanan PBB di dalam PBB?
6 http://geography.about.com/od/politicalgeography/a/The-League-Of-Nations.htm, diakses pada 3 November 2014, pukul 22:48 WIB.
7 Suwardi, op. cit., hlm. 250.8 Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB.9 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pengetahuan Dasar Tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa,
(s.l. : Perserikatan Bangsa-bangsa, s.a.), hlm. 75.
2
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui pembentukan dan fungsi dari Dewan Keamanan PBB;
2. Mengetahui kekuatan pemaksa dari Resolusi Dewan Keamanan PBB;
3. Mengetahui kedudukan dan keanggotaan Dewan Keamanan PBB di dalam PBB.
1.4. Limitasi
Dalam makalah ini tidak akan dibahas organisasi internasional selain Dewan
Keamanan PBB yang memiliki kekuatan pemberi sanksi lainnya, seperti World Trade
Organization atau International Court of Justice.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pembentukan dan Fungsi Dewan Keamanan PBB
2.1.1 Sejarah Pembentukan PBB dan Dewan Keamanan PBB serta Organisasi
Terdahulu
Sebelum membahas mengenai pembentukan PBB, kita harus mengetahui
terlebih dahulu organisasi internasional yang terbentuk sebelum PBB, yaitu LBB.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa LBB dibentuk batas dasar berakhirnya
Perang Dunia I yang menghasilkan Peace Conference of Paris yang berisi draft
perjanjian dari LBB. Dengan disetujuinya Peace Conference of Paris untuk
membentuk LBB, ada beberapa yang setuju dengan ‘gebrakan’ baru untuk menjaga
perdamaian dan keamanan dunia, tetapi ada juga yang meragukan kualitas dari LBB
ini dengan perkembangan politik Eropa di masa itu.10
Seiring dengan banyaknya korban perang, kerugian dari perang, maka
masyarakat dunia mulai mendambakan sebuah kebebasan dan kemerdekaan dari
perang. Sebagai sebuah instrumen untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibentuklah
LBB pada 28 Juni 1919.11 Dengan adanya pembentukan LBB, diharapkan dapat
mengurangi anarki yang disebabkan oleh konflik yang timbul selama Perang Dunia I
berlangsung. Filosofi yang mendasari dari LBB ini sebenarnya sudah berada sejak
lama, di mana hukum internasional memang pada ujungnya menginginkan adanya
perdamaian dunia., bahkan sudah 400 tahun sejak dimunculkannya Perjanjian
Westphalia pada tahun 1648.12
Selanjutnya, Oppenheim dalam kuliahnya juga menyampaikan bahwa ada 3
tujuan yang ingin dicapai oleh LBB, yaitu :13
10 Geoffrey Butler, A Handbook to the League of Nations, (London : Longmans, Green And Co., n.a.), page 2-3.
11 Ibid.12 Lassa Oppenheim, The League of Nations and its Problems (Three Lectures), (London :
Longmans, Green and Co., 1919), page 4. 13 Ibid. Page 23.
4
1. Mencegah pecahnya perang akibat adanya sengketa yudisial, yaitu sengketa
yang dapat diselesaikan cukup dengan hukum. Dengan ini, seharusnya semua
sengketa diajukan ke International Court of Justice (ICJ);
2. Mencegah pecahnya perang secara mendadak akibat sengketa politik dan
memaksa para pihak untuk mediasi. Untuk tujuan ini, LBB harus menuntut
negara-negara untuk mengajukan sengketa politik ke International Council of
Conciliation dan mendapatkan nasihat dari Council;
3. Menyediakan sanksi dengan penegakanannya dari 2 aturan yang sudah
disebutkan di atas. Untuk alasan ini, LBB harus menuntut semua negara
anggota untuk menyatukan ekonomi, militer dan kekuatan maritim melawan
anggota yang ingin perang akibat sengketa yudisial maupun politik.
Keseluruhan tujuan di atas dibebankan kepada Executive Council, sebagaimana
diatur dalam pasal 4 ayat (1) Kovenan LBB yang telah diamandemen. Sebelum
diamandemen, terdapat perwakilan dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia dan
Jepang, serta 4 anggota lain yang ditunjuk oleh kelima negara yang telah dipilih.
Sayangnya, Amerika Serikat tidak pernah masuk ke dalam LBB. Jerman kemudian
masuk ke dalam anggota permanen dan kapasitas anggota non-permanen ditambah
menjadi 6 di tahun 1922, 9 di tahun 1926 dan 11 di tahun 1936.14
Pada akhirnya, LBB tetap tidak dapat mempertahankan perdamaian dan
keamanan dunia sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Kovenan LBB. Alasan
utamanya jelas karena meletusnya Perang Dunia II, selain itu, tidak pernah masuknya
Amerika Serikat menyebabkan LBB tidak bersifat universal dan juga ketentuan
withdrawal yang diperbolehkan dalam Kovenan LBB menyebabkan semua anggota
menjadi keluar dari LBB.15 Dengan tidak adanya kemauan politik dari negara-negara
anggota yang akhirnya menggagalkan tujuan dari LBB sendiri.16
14 Philippe Sands and Pierre Klein, Bowett’s Law of International Instituions, (London : Sweet & Maxwell, 2002), page 11.
15 Ibid. page 13.16 Ibid.
5
Setelah LBB gagal menjaga perdamaian dan keamanan dunia, maka
dibentuklah PBB dengan dasar Atlantic Charter yang melahirkan “Declaration of the
United Nations”. Setelah itu, diadakan pertemuan antara Amerika Serikat, Inggris,
Rusia dan Cina di Dumbarton Oaks yang menghasilkan kesepakatan adanya badan
utama yang diserahi tugas khusus dalam bidang perdamaian dan keamanan
internasional, di mana lima negara yang memegang peranan dalam peperangan
melawan fasisme, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Uni Soviet dan Cina
sebagai anggota tetap dari badan utama tersebut, yang kemudian disebut Dewan
Keamanan.17
Tugas utama dari Dewan Keamanan adalah untuk mencapai perdamaian dan
keamanan internasional, sebagaimana termaktub di dalam pasal 24 ayat (1) Piagam
PBB yang disahkan pada 24 Oktober 1945. Untuk itu, maka negara anggota
permanen dibekali dengan hak veto yang dimiliki oleh masing-masing negara
anggota permanen. Kelima negara anggota permanen ini kemudian didampingi oleh
10 anggota non permanen yang dipilih oleh Majelis Umum PBB dengan jangka
waktu 2 tahun.18
Masalah pemungutan suara (voting) menjadi masalah yang cukup sulit untuk
ditentukan. Baru pada Yalta Conference dibuatlah ketentuan mengenai voting, di
mana setiap negara anggota Dewan Keamanan mempunyai 1 hak suara sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Piagam PBB. Mengenai masalah prosedural, maka
cukup dengan 9 suara setuju dari negara anggota (Pasal 27 ayat (2) Piagam PBB).
Keputusan dari Dewan Keamanan mengenai masalah lain harus dengan 9 suara setuju
yang mencakup seluruh anggota permanen (Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB).
Dengan ini, sudah lengkaplah ketentuan mengenai Dewan Keamanan di dalam
Piagam PBB dan sudah dapat berfungsi untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional sebagai pengganti dari Executive Council di dalam LBB.
17 Suwardi, op.cit., hlm. 252.18 Piagam PBB, ps. 24 ayat (1).
6
2.2.2 Filosofi Perlindungan Perdamaian dan Keamanan Internasional dalam
Dewan Keamanan PBB
Sifat alami dari manusia adalah Homo Homini Lupus, di mana manusia menjadi
serigala bagi sesamanya sebagaimana dikenalkan oleh Thomas Hobbes, di mana
hidup manusia digambarkan sebagai sesuatu yang menjjikan, brutal dan pendek.19
Sebuah anasir yang hendak dijaga dalam tingkat yang kecil dengan membentuk
sebuah negara dengan adanya kontrak sosial antara masyarakat dengan penguasa
negara untuk menunjuk orang yang akan mengatur diri mereka. Hal ini sama dengan
keadaan masyarakat internasional pasca Perang Dunia I yang kemudian membentuk
LBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia yang sayangnya berujung pada
kegagalan.
Kegagalan LBB di atas diakibatkan oleh lemahnya kekuatan dari keamanan
bersama yang berada di bawah kepentingan nasional masing-masing negara.20 Bahwa
hal ini yang dicoba diubah di dalam PBB, di mana dibutuhkan sebuah sistem
keamanan yang dipusatkan pada paksaan masyarakat21, yang dalam hal ini adalah
masyarakat internasional. Kekuatan pemaksa dari LBB masih bersifat sukarela, dan
inilah yang menyebabkan sanksi dari LBB tidak dipatuhi oleh negara-negara.
Dewan Keamanan mengedepankan sistem keamanan secara kolektif, di mana
semua negara dapat memberikan sumbangsihnya dalam menjaga perdamaian dan
keamanan dunia yang diajukan oleh Sekretaris Negara Roosevelt, Hull.22 Sistem
keamanan kolektif ini kemudian ditambah dengan adanya kekuatan memaksa yang
terpusat di dalam Dewan Keamanan yang dapat menjatuhkan paksaan ekonomi
maupun militer untuk menghadapi situasi yang mengancam perdamaian dan
keamanan internasional.23
Dewan Keamanan dapat menindak sengketa yang dapat mengancam
perdamaian dan keamanan internasional. Dalam pasal 39 Piagam PBB, kita dapat 19 Samuel S. Kim, The Quest for a Just World Order, (Colorado : Westview Press, 1984), page
10.20 N. D. White, Keeping the Peace (The United Nations and the maintenance of international
peace and security), (Manchester : Manchester University Press, 1993), page 3.21 Ibid., page 6.22 Ibid.23 Ibid., page 7.
7
menemukan adanya 2 kondisi, yaitu “threat of the peace” dan “breach of the peace”.
Perbedaan antara keduanya sangatlah tipis dan praktis. Secara konsep, terdapat
perbedaan hukum antara “danger” dengan “threat”, di mana “threat” sering
duginakan sebagai alat hukum untuk memfasilitasi penerapan dari tindakan wajib
dalam Bab VII Piagam PBB, di mana fungsi tersebut tidak dapat dilakukan dengan
label “danger”.24 Bahwa perubahan dari “danger” menjadi “threat” bukanlah
disebabkan oleh perubahan konflik, tetapi dari kegagalan Dewan Keamanan untuk
menyelesaikan masalah tersebut dalam Bab VI Piagam PBB.25
Yurisprudensi yang terkenal mengenai perbedaan “danger” dengan “threat”
adalah pertanyaan dari negara Spanyol mengenai eksistensi dan aktivitas rezim
Franco apakah membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Franco
adalah seorang jenderal diktator yang membawa pemerintahan militer yang
ditakutkan dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional, sehingga
Dewan Keamanan akhirnya mengeluarkan Resolusi mengenai Franco.26 Namun,
Dewan Keamanan hanya mengklasfikasikan kejadian ini sebagai “international
concern” dan belum pada tahap “threat to the peace”.
Jadi, sebenarnya “threat to the peace” sendiri dapat terbagi menjadi dua, yaitu
“potential threat to the peace” dengan “actual/real threat”. Perbedaannya jelas dari
kemungkinan terjadinya perang atau konflik. Apabila belum ada kemungkinan
perang, maka hanya “potential”, tetapi jika sudah ada kemungkinan adanya perang
maka bersifat “actual/real” di mana Dewan Keamanan dapat melaksanakan perang
jika dibutuhkan berdasarkan Bab VII, pasal 39 Piagam PBB.27
Contoh dari pembahasan “potential” dan “actual” ini dapat dicerminkan dalam
embargo persenjataan Afrika Selatan dengan Resolusi No. 418 pada tahun 1977.28
Alasan dari embargo ini adalah adanya okupasi ilegal dari Afrika Selatan terhadap
24 Ibid., page 38.25 Ibid., page 39.26 http://www.britannica.com/EBchecked/topic/557573/Spain/70445/Francos-Spain-1939-75,
diakses pada 5 November 2014, 00:58.27 White, loc. cit.28 http://www.sipri.org/databases/embargoes/un_arms_embargoes/south_africa, diakses pada 5
November 2014, pukul 14:32 WIB.
8
Namibia dan adanya serangan militer ke Angola29 dan yang terutama adalah adanya
promosi anti apartheid yang sangat kental di daerah Afrika pada saat itu dan dianggap
kejahatan terhadap umat manusia. Pada awalnya, tahun 1970, Dewan Keamanan
menganggap bahwa tindakan Afrika Selatan hanya potential threat”, tetapi pada saat
penetapan embargo, sudah naik menjadi “actual threat”. Bahwa perbedaan adari
“potential threat” dan actual threat bukan dari meningkatnya kekerasan dari
sengketa atau konflik, tetapi lebih kepada motif dan kepentingan dari anggota Dewan
Keamanan yang bersifat sebentar saja dengan kepentingan ekonomi di Afrika Selatan.
Sampai akhirnya ada proses perdamaian yang dimulai pada tahun 1988 yang
menghapuskan embargo persenjataan pada tahun 1994.30
Atau pada kasus lainnya yaitu pada Resolusi No. 216 yang diadopsi pada tahun
1965 mengenai Rhodesia31 di mana pada saat itu, draft resolusi yang diajukan oleh
Inggris tidak ada “danger” ataupun “threat” terhadap perdamaian dan keamanan
internasional, tetapi Pantai Gading mengusulkan draft resolusi yang sudah menjurus
pada “threat on international peace and security”. Hal ini sangat ditentukan oleh
kepentingan politik dari Inggris pada saat itu, yang seharusnya dalam menentukan
“danger” atau threat tidak boleh didasarkan pada kepentingan politik, tetapi harus
murni kepentingan hukum. Dengan desakan dari Majelis Umum PBB yang
menyatakan bahwa statusnya sudah “threat to the peace”, akhirnya pada 20
November 1965 dikeluarkan Resolusi No. 217 yang menaikkan status menjadi
“threat to international security” dengan tingkat “threat” adalah “potential threat”.
Jadi, perbedaan dari “danger” dan “threat” adalah pada luas cakupan sengketa
atau konflik, di mana apabila sengketa baru di dalam 1 negara, maka dapat
disimpulkan bahwa hanya danger, tetapi jika sudah meluas ke beberapa negara, maka
dapat dikategorikan sebagai threat.
Kemudian kita dapat membahas mengenai “breach of the peace”, di mana
hanya terdapat 4 kasus yang terjadi selama ini, yaitu konflik di Korea pada tahun
29 http://richardknight.homestead.com/files/armsembargo.htm, diakses pada 5 November 2014, pukul 14:36 WIB.
30 White, op. cit., page 40.31 Ibid., page 41-42.
9
1950, agresi Argentina terhadap Falkland pada tahun 1982, Perang Teluk antara Iran
dan Irak pada tahun 1987 dan terakhir adalah ketika Irak menginvasi Kuwait pada
tahun 1990. “Breach of the peace” adalah cerminan dari pasal 1 ayat (1) Piagam
PBB, di mana tujuan dari PBB adalah menyelesaikan kasus “breach of the peace”.
Definisi dari “breach of the peace” dapat dilihat dari pendapat Australia terhadap
pertanyaan Indonesia, di mana “breach of international peace” adalah keadaan
peperangan kecil atau pertempuran terjadi yang diakibatkan oleh pihak yang
mengagresi telah mengakui adanya agresi, tetapi pihak Belanda menyatakan bahwa
tindakan Indonesia bukanlah sebuah “breach of international peace”, tetapi hanyalah
pelanggaran pada pedamaian internal.32
Yang terakhir adalah “act of aggression”, di mana tindakan agresi merupakan
salah satu bagian dari “breach of the peace” yang menghukum suatu negara atas
konflik yang dihasilkan.33 Contohnya adalah pada invasi Israel terhadap Palestina
yang mengebom markas utama PLO pada tahun 1985, di mana Israel dihukum atas
invasi tersebut dan diperintahkan untuk segera mengeluarkan tentaranya dari daerah
Arab.
2.2.3 Fungsi Dewan Keamanan PBB sebagai Lembaga Legislatif dan
Eksekutif dari PBB
Semua anggota PBB telah membebankan tanggung jawab yang utama kepada
Dewan Keamanan, yaitu memelihara perdamaian dan keamanan internasional.34
Dewan Keamanan adalah satu-satunya organ PBB yang keputusannya dapat mengikat
seluruh negara anggota, karena keputusan Dewan Keamanan memiliki otoritas
hukum.35
Fungsi dari Dewan Keamanan dapat dilihat dalam bagian fungsi dan kekuatan
dari Dewan Keamanan dari pasal 24 hingga 26 Piagam PBB. Dalam pasal 24 ayat (1),
32 Ibid., page 50. 33 Ibid., page 52.34 Syahmin A.K., Pokok-Pokok Hukum Organisasi Internasional, cet. 1, (Bandung : Binacipta,
1986), hlm. 27-28.35 Richard Butler, “Reform of the United Nations Security Council” Penn State Journal of Law
& International Affairs Vol. 1, page 27.
10
disebutkan tugas utama dari Dewan Keamanan, yaitu menjaga perdamaian dan
keamanan internasional yang diberikan kekuatan sebagaimana diatur dalam Bab VI,
VII, VIII dan XII. Dalam melakukan fungsinya, Dewan Keamanan harus membuat
laporan tahunan atau laporan khusus jika dibutuhkan oleh Majelis Umum PBB.36
Kekuatan eksekutif dari Dewan Keamanan tercermin dari Pasal 25 Piagam
PBB, di mana semua negara anggota PBB harus mematuhi keputusan dari Dewan
Keamanan, sehingga perdamaian dan keamanan internasional dapat terjaga. Jadi,
Dewan keamanan dapat bertindak atas nama PBB untuk 2 macam sengketa, yaitu :37
1. Persengketaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional; dan
2. Peristiwa yang mengancam perdamaian dan/atau agresi.
Dalam Bab VI Piagam PBB, wewenang Dewan Keamanan adalah usaha
penyelesaian sengketa secara damai dan dalam Bab VII Piagam PBB, ada metode
penyelesaian sengketa secara paksa berupa tindakan terhadap adanya ancaman
perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi38 sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Dalam upaya perdamaian, dapat dilakukan negosiasi, penyelidikan, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, penyelesaian yudisial atau tindakan damai lainnya sesuai
keinginan.39 Dewan Keamanan dapat melakukan investigasi terhadap semua sengketa
atau situasi yang mungkin akan berujung pada pergesekan internasional yang
menimbulkan sengketa yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional.40 Dengan upaya damai ini, inisiatif diserahkan kepada para pihak yang
bersengketa.41
Dalam upaya paksa, Dewan Keamanan yang akan menentukan tingkat
gangguan terhadap perdamaian dan keamanan internasional, di mana dapat dilakukan
36 Piagam PBB, ps. 24 ayat (3).37 Syahmin, op. cit., hlm. 28.38 Danial, “Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses
Penyelesaian Konflik Internasional” (Banten: Fakutas Ilmu dan Budaya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, s.a.), hlm. 2332.
39 Piagam PBB, ps. 33 ayat (1).40 Ibid., ps. 34.41 Syahmin, loc. cit.
11
tindakan tanpa melibatkan militer42 atau juga dapat melakukan intervensi militer.43
Jadi, fungsi eksekutif yang dimiliki oleh Dewan Keamanan adalah menjaga
perdamaian dan keamanan internasional dengan memberikan tindakan yang dapat
bersifat menghukum kepada negara untuk tetap menjaga perdamaian dan keamanan
internasional.
Selain fungsi eksekutif dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional,
Dewan Keamanan juga memiliki fungsi legislatif, yaitu dalam membuat Resolusi
sebagai “International Legislation”.44 Bahwa resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan
Keamanan bersifat pembuatan hukum baru, di mana misalnya penentuan perbatasan,
memberikan sanksi ekonomi, memberlakukan embargo terhadap negara-negara
anggota dan lain-lain. Tanda dari sebuah legislasi internasional adalah sifat dari hal
yang diatur adalah umum dan abstrak, bukanlah dari harus adanya kegiatan legislasi
yang dilakukan oleh negara anggota PBB.45 Legislasi ini dapat dibuat dengan adanya
situasi tertentu, konflik atau peristiwa, di mana hal tersebut tidak dibatasi.
Contoh dari produk legislatif Dewan Keamanan adalah : 46
1. Resolusi No. 1373 tentang memerangi terorisme. Dalam Resolusi tersebut tidak
disebutkan negara mana saja yang harus memerangi terorisme, sehingga
sifatnya umum. Dan hal yang diatur pun sifatnya abstrak, di mana memerangi
tidak dapat dikonkritkan dengan sebuah tindakan pasti, apakah harus
mengirimkan tentara untuk membunuh para teroris atau cukup melakukan
pengetatan penjagaan dalam negeri saja;
2. Resolusi No. 1422 dan 1487 tentang International Criminal Court (ICC) di
mana resolusinya ditujukkan kepada permintaan ICC untuk menangguhkan
investigasi atau penuntutan dari semua kasus yang melibatkan pejabat yang
sedang atau bekas menjabat dari negara yang bukan Statuta Roma dari ICC
selama 12 bulan.
42 Piagam PBB, ps. 41.43 Ibid., ps. 42.44 Stefan Talmon, “The Security Council as World Legislative” The American Journal of
International Law Vol. 99.1, (Jan 2005), page 176.45 Ibid. page 177.46 Ibid., page 178-180.
12
3. Resolusi No. 1540, mengenai kewajiban umum bagi semua negara untuk
menjaga senjata pemusnah massal agar tidak berpindah ke tangan nonstate
actors.
Bahwa terdapat keberatan terhadap produk legislatif yang dihasilkan oleh
Dewan Keamanan, di mana Dewan Keamanan bukanlah badan legislatif dari anggota
PBB, sehingga bukan wewenangnya untuk membuat produk legislatif. Namun,
mengingat bahwa tugas dari Dewan Keamanan adalah menjaga perdamaian dan
keamanan internasional, maka memang dibutuhkan Resolusi yang bercorak
legislatif.47 Bahwa kewajiban yang bersifat umum dan abstrak ini dapat dianggap
sebagai tindakan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan berdasarkan pasal 39
Piagam PBB.
Batasan terhadap fungsi legislatif dari Dewan Keamanan adalah pada kasus-
kasus yang berhubungan dengan menjaga perdamaian dan keamanan internasional
yang ada di dalam Piagam PBB, sehingga Dewan Keamanan tidak boleh membuat
Resolusi yang bersifat umum dan abstrak jika tidak menyangkut perdamian dan
keamanan internasional sebagaimana diatur dalam pasal 39 Piagam PBB.48 Batasan
yang lain ada di dalam pasal 26 Piagam PBB, di mana Dewan Keamanan PBB dapat
membuat Resolusi yang berkaitan dengan kontrol senjata dengan tidak melanggar
keamanan nasional dan hak untuk membela diri.49 Selain itu, terdapat pasal 36
Piagam PBB di
mana Dewan Keamanan dapat memberikan rekomendasi kepada para pihak
untuk ke ICJ dan hanya kepada sengketa yang mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.50
Terdapat beberapa prinsip yang mengikat Dewan Keamanan, yaitu :51
1. Prinsip Proporsionalitas, di mana tindakan Dewan Keamanan harus didasarkan
pada kepentingan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan
47 Ibid., page 181.48 Ibid., page 183.49 Ibid.50 Ibid.51 Ibid., hlm. 186-188.
13
produk legislatif yang dikeluarkan harus sebanding dengan tujuan yang ingin
dicapai;
2. Dewan Keamanan tidak dapat membuat Perjanjian Internasional yang dapat
dimasukkan ke dalam kedaulatan sebuah negara.
2.2 Kewenangan Dewan Keamanan PBB
Berdasarkan Pasal 23 UN Charter, Dewan Keamanan (DK) PBB mempunyai
wewenang dan tanggung jawab dalam bidang pemeliharaan dalam bidang keamanan
dan perdamaian di dunia. Lebih lanjut lagi, Resolusi DK PBB ini mengikat secara
hukum bagi setiap Negara anggota PBB. Secara khusus, pada Pasal 27 UN Charter,
kewenangan DK PBB pada bidang pemeliharaan perdamaian dunia juga diwujudkan
dengan kewenangan untuk membuat regulasi dalam bidang pengendalian
persenjataan di dunia.52
2.2.1 Resolusi Dewan Keamanan PBB, Sanksi, dan Prinsip-Prinsip dalam
Resolusi Dewan Keamanan PBB
Resolusi Dewan Keamanan PBB adalah hasil keputusan resmi yang dibentuk
oleh Dewan Keamanan. Semua anggota PBB, sesuai dengan UN Charter, "setuju
untuk melaksanakan dan menerima keputusan Dewan Keamanan".53
Dewan Keamanan dapat mengambil langkah-langkah untuk memelihara atau
memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan tersebut dapat berupa
sanksi ekonomi dan/atau sanksi lain yang tidak melibatkan penggunaan kekuatan
bersenjata untuk aksi militer internasional. Namun, jika Dewan Keamanan
menganggap bahwa langkah-langkah itu tidak memadai atau telah terbukti tidak
memadai, Dewan Keamanan akan mengambil tindakan lain yang lebih tegas yang
dapat dilaksanakan oleh angkatan udara, angkatan laut, atau angkatan darat yang
52 Jan Klabbers, Research Handbook on the Law of International Organizations (Helsinki : Centre of Excellence in Global Governance Research, University of Helsinki, 2011), hlm.130.
53 Ibid, hlm.150
14
mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional. 54
Menurut UN Charter dalam Pasal 1 kewenangan utama PBB adalah
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB juga mendorong agar
sengketa-sengketa diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Dalam
kaitannya dengan usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional,
PBB telah meletakkan 5 prinsip dalam UN Charter, antara lain Pertama
menyelesaikan perselisihan internasional secara damai (Pasal 2 ayat 3 jo Bab VI dan
Bab VIII) yaitu negara yang merupakan anggota maupun bukan anggota PBB apabila
terlibat di dalam perselisihan, negara tersebut mempunyai kewajiban untuk
menyelesaikan setiap perselisihan yang timbul di antara negara tersebut secara damai
baik melalui negosiasi, mediasi, pemeriksaan,55
Kedua, Tidak menggunakan ancaman atau kekerasan Pasal 2 ayat 4 UN
Charter) yaitu pasal 2 ayat 4 yang meletakkan salah satu prinsip dasar PBB yang
intinya melarang seluruh anggota PBB, dan menghimbau agar menjauhkan diri dari
tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan dalam integritas wilayah atau
kemerdekaan suatu negara, karena keberhasilan PBB sangat tergantung dari sejauh
para anggotanya menjunjung tinggi prinsip dasar tersebut. 56
Ketiga, Tanggungjawab untuk menentukan adanya ancaman (Pasal 39 UN
Charter) adalah sebelum Dewan Keamanan PBB menentukan ada atau tidaknya
ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan PBB dapat
menentukan langkah-langkah yang dapat diambilnya. Kebebasan Dewan Keamanan
PBB untuk mengambil keputusan itu pada hakikatnya hanya dibatasi oleh pasal 24
UN Charter PBB, di mana tindakan yang harus diambil haruslah sesuai dengan
prinsip dan tujuan PBB.57
54 J. Farrall, United Nations Sanctions and the Rule of Law, (Cambridge: Cambridge Studies in International and Comparative Law, 2009), hlm. 98
55 United Nations, United Nations Charter, Bab V56 J.G.Merrills, International Dispute Settlement, (Cambridge : Cambridge University
Press,1995), hlm. 10557 Ibid., Bab VI
15
Keempat, Prinsip pengaturan persenjataan (Pasal 26 UN Charter) yaitu untuk
meningkatkan usaha-usaha, guna memajukan perdamaian dan keamanan
internasional dengan sesedikit mungkin mengalihkan penggunaan sumber daya
manusia dan ekonomi dunia untuk persenjataan. Dewan Keamanan PBB dengan
bantuan Komite Staf Militer sebagaimana yang dimaksud pasal 47, diberi
tanggungjawab untuk merumuskan rencana yang akan disampaikan anggota PBB
untuk pembentukan suatu sistem pengaturan persenjataan.58
Kelima, Kerja sama di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional (Pasal 11 ayat 1 UN Charter) yaitu kegiatan keseluruhan PBB di bidang
perdamaian dan keamanan telah menimbulkan pengembangan terhadap prinsip
umum, aturan dan tatat cara. Kegiatan tersebut merupakan tanggungjawab dan
sumbangan Majelis Umum PBB, yang menurut ketentuan UN Charter merupakan
badan yang diberikan tanggung jawab untuk menangani prinsip-prinsip umum
mengenai kerjasama di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional,
meningkatkan kerjasama dibidang politik dan mendorong kemajuan hukum
internasional beserta kodifikasinya. Dilihat dari permasalahan yang tengah dihadapi
dunia khususnya kawasan timur tengah, Dewan Keamanan PBB tidak boleh ikut
campur dalam proses penyelesaian sengketa antar negara ataupun konflik internal
negara, kecuali sudah di luar dari konteks prinsip PBB, yaitu dengan melakukan
tindakan kekerasan, sehingga dapat mengancam perdamaian suatu Negara yang juga
merupakan anggota PBB.59
2.2.2 Badan Pendukung Pelaksanaan Kewenangan Dewan Keamanan PBB
Untuk membantu dalam menjalankan kewenangan , Dewan Keamanan
memiliki kekuasaan untuk membentuk badan pendukung. Badan-badan pendukung
Dewan Keamanan yaitu:60
58 David L. Bosco , Five to Rule Them All: The UN Security Council and the Making of the Modern World (Stanford : Stanford University Press, 2001), hlm. 21
59 Ibid., Bab IV60 Justin Gruenberg, ‘’An Analysis of United Nations Security Council Resolutions: Are All
Countries Treated Equally?’’Case Western Reserve Journal of International Law, Vol. 41, No. 2-3, (Spring-Fall 2009): 23-28
16
a. Komite Kontra-terorisme dan Non-proliferasi
Komite Kontra-Terorisme (CTC) didirikan berdasarkan Resolusi Dewan
Keamanan 1373 (2001), yang diadopsi dengan suara bulat pada tanggal 28
September 2001 setelah terjadinya serangan teroris 11 September di Amerika
Serikat. Kewenangan komite ini adalah untuk membantu negara anggota PBB
untuk mencegah tindakan teroris baik di dalam wilayah mereka dan antar
wilayah. Komite Non-Proliferasi, seperti yang dikenal sebagai Komite 1540,
adalah badan tambahan dari Dewan Keamanan yang memiliki tugas utama
yaitu non-proliferasi senjata nuklir, kimia dan biologi dan cara pengirimannya
yang merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.61
b. Komite Staf Militer
Komite Staf Militer adalah Dewan Keamanan PBB badan pendukung yang
perannya, seperti yang didefinisikan dalam UN Charter, adalah untuk
merencanakan operasi militer PBB dan membantu dalam pengaturan
persenjataan. Tujuan dari Komite Staf Militer dimaksudkan untuk memberikan
staf komando untuk satu set angkatan udara kontingen. Kontingen ini
disediakan oleh anggota tetap Dewan Keamanan (Republik Rakyat Tiongkok,
Perancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat) yang disiapkan untuk
penggunaan atas kebijaksanaan PBB.62
c. Komite Sanksi
Komite Sanksi dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang
memiliki sanksi terhadap keputusannya. Tugas Komite Sanksi adalah untuk
memantau pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertentu, misalnya
Komite Dewan Keamanan dibentuk berdasarkan Resolusi 1970 (2011) tentang
Libya. Komite Sanksi untuk Libya, menurut Resolusi 1970 (2011), harus
memantau pelaksanaan sanksi, melaporkan kepada Dewan Keamanan pada
pekerjaan, dan memeriksa dan mengambil tindakan yang tepat terhadap
61 Bertrand G. Ramcharan, ‘’The Security Council, Human Rights and Humanitarian Issues. (Thinking Aloud)’’, UN Chronicle, Vol. 38, No. 4, December 2001: 88-110.
62 Ian Hurd, ‘’Legitimacy, Power, and the Symbolic Life of the UN Security Council (Global Governance, Vol. 8, No. 1, January-March 2002), page 94-98.
17
informasi mengenai dugaan pelanggaran atau ketidakpatuhan dengan langkah-
langkah yang diambil dalam resolusi ini.63
d. Komite Tetap dan Komite Ad Hoc
Komite Tetap dan Komite Ad Hoc yang dibentuk sesuai kebutuhan pada isu
tertentu, misalnya Komite Dewan Keamanan tentang Penerimaan Anggota Baru
dan Kelompok Kerja Ad Hoc tentang Pencegahan dan Resolusi Konflik di
Afrika. Komite Dewan Keamanan tentang Penerimaan Anggota Baru
memberikan rekomendasi kepada Majelis Umum dalam hal pendaftaran
anggota baru PBB. Kelompok Kerja Ad Hoc tentang Pencegahan dan
Penyelesaian Konflik di Afrika memberikan rekomendasi mengenai
peningkatan kerjasama antara Dewan Keamanan dan Dewan Ekonomi dan
Sosial serta dengan badan-badan PBB berurusan dengan Afrika, serta
memantau pelaksanaan rekomendasi tersebut.64
e. Operasi Perdamaian
Operasi Perdamaian PBB membantu negara yang sedang berada dalam konflik
untuk menciptakan kondisi perdamaian. Pasukan penjaga perdamaian PBB
memberikan keamanan dan dukungan pembangunan politik, serta membantu
negara-negara untuk mencapai perdamaian dalam masa-masa transisi yang
sulit. Saat ini ada 15 operasi penjaga perdamaian, di antaranya The United
Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali
(MINUSMA), United Nations Mission in the Republic of South Sudan
(UNMISS), United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL), dan United
Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the
Congo (MONUSCO).
f. Pengadilan Ad-Hoc Internasional
Dewan Keamanan PBB membentuk dua pengadilan internasional untuk
mengadili kejahatan berat yang dilakukan selama perang, yaitu Pengadilan
63 Michael Byers, ‘’Agreeing to Disagree: Security Council Resolution 1441 and Intentional Ambiguity’’, Global Governance, Vol. 10, No. 2, April-June 2004, hlm. 33-22.
64 David P. Forsythe; Roger A. Coate. ‘’The United Nations and Changing World Politics Thomas G. Weiss’’, Westview Press, 2001 (3rd edition), hlm. 89.
18
Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Pengadilan
Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR).
Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) adalah
pengadilan PBB yang mengadili kejahatan perang yang terjadi selama konflik
di Balkan pada tahun 1990. Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda
(ICTR) didirikan untuk penuntutan orang-orang yang bertanggung jawab atas
genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional yang
dilakukan di wilayah Rwanda antara 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994.
Pengadilan ini juga dapat menangani penuntutan warga Rwanda yang
bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran hukum internasional lainnya
yang dilakukan di wilayah Rwanda dan negara-negara di sekitar Rwanda
selama periode yang sama.
g. Komisi Pembagunan Perdamaian
Komisi Pembangunan Perdamaian adalah satu-satunya badan penasehat Dewan
Keamanan PBB. Komisi ini adalah sebuah badan penasehat antar pemerintah
yang mendukung upaya perdamaian di negara-negara berkembang yang
berdada dalam konflik, dan merupakan tambahan kunci untuk kapasitas
Masyarakat Internasional dalam agenda perdamaian yang luas. Komisi
Pembangunan Perdamaian berperan dalam (1) menyatukan semua aktor yang
relevan, termasuk lembaga donor internasional, lembaga keuangan
internasional, pemerintah nasional, dan negara yang menyumbang pasukan, (2)
sumber daya militer dan (3) memberi saran dan mengusulkan strategi terpadu
untuk pembangunan perdamaian pasca-konflik dan pemulihan dan jika perlu,
menyoroti setiap celah yang mengancam untuk merusak perdamaian. Burundi,
Sierra Leone, Guinea, Guinea-Bissau, Liberia, dan Republik Afrika Tengah
adalah negara-negara yang saat ini dalam agenda Komisi Pembangunan
Perdamaian.65
65 Olara A Otunnu,. ‘’The Security Council: A Need for Change’’ The Ecumenical Review, Vol. 47, No. 3, (July 1995), hlm. 177.
19
2.2.3 Resolusi Majelis Umum PBB: Sebuah Perbandingan
Seiring perkembangan kedinamisan hukum internasional melahirkan suatu
tatanan sumber hukum baru yaitu resolusi atau keputusan suatu organisasi
internasional yang menurut kebiasaan internasional diakui oleh negara-negara di
dunia saat ini. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan dapat berasal dari organ
eksekutif, legislatif maupun yudikatif suatu organisasi internasional.66
Terhadap keseluruhan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis
Umum PBB atau dalam hal ini disebut resolusi, haruslah diuji sifat, ruang lingkup
serta efek hukumnya. Resolusi- resolusi dalam hal- hal yang berhubungan dengan
lingkungan internal organisasi atau dikategorikan bersifat non- rekomendatory
memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali resolusi tersebut dinyatakan secara
eksplisit dikategorikan sebagai rekomendasi. 67
Yang termasuk ke dalam ruang lingkup resolusi Majelis Umum PBB yakni
resolusi yang berkaitan dengan agenda Majelis Umum, pelaksanaan fungsi-fungsi
konstituante, elektif, dan fungsi finansial dan aministasi serta hal yang berkaitan
dengan pengakuan anggota baru, penunjukan Sekretaris Jenderal, pemilihan berbagai
dewan PBB serta ketua Majelis dan wakilnya maupun hakim-hakim Mahkamah
Internasional. Dengan demikian Resolusi Majelis Umum untuk memilih negara-
negara tertentu sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan juga mengikat anggota-
anggota yang bersuara tidak setuju. Anggota-anggota yang tidak setuju tersebut dapat
melakukan pemboikotan kerja atau menarik diri dari struktur keanggotaan organisasi.
Hal ini pernah terjadi ketika Indonesia melakukan penarikan diri dari keanggotaan
PBB karena tidak setuju dengan pengangkatan Malaysia sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan pada tahun 1960. Penolakan terhadap pembayaran anggaran
belanja organisasi baik seluruhnya maupun sebagian akan dikenakan sanksi akan
kehilangan hak suara dalam pemungutan suara. 68
66 Ian Hurd , After Anarchy: Legitimacy and Power in the United Nations Security Council (Princeton: Princeton University Press, 2007), hlm. 77.
67 James Barros, United Nation, Past,Present and Future (New York: Free Press,1972), hlm. 64.
68 Ibid., hlm. 82
20
Resolusi-resolusi Majelis Umum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang
bersifat eksternal pada pokoknya adalah dalam bentuk rekomendasi. Isi daripada
rekomendasi ini dapat berbentuk prosedural ataupun subtantif bahkan dapat
berbentuk kedua- duanya. Berbentuk procedural jika memintaperanan mediator dari
Majelis Umum dan berbentuk substantif jika rekomendasi ini meminta pelayanan
perdamaian dari Majelis Umum. Rekomendasi ini merupakan suatu nasihat atau
pendapat dari konsesnsus diplomatik, baik berasal dari dua pertiga suara anggota
yang hadir maupun berasal dari suara bulat dari seluruh anggota PBB. Efek dari
rekomendasi ini lebih cenderung bersifat moril bagi pelakunya.69
2.3 Kedudukan dan Keanggotaan Dewan Keamanan PBB di dalam PBB
Sesaat setelah Indonesia selesai mengemban tugas sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB periode 1995 dan 1996, Presiden Soeharto70 memberikan
pernyataan bahwa Dewan Keamanan haruslah memegang teguh prinsip-prinsip dan
tujuan-tujuan Piagam PBB, mengembangkan hubungan dan kerjasama yang
bersahabat dengan semua negara serta mendukung PBB sebagai wahana kolektif
yang utama bagi negara-negara anggota untuk dapat menyelesaikan sengketa secara
damai.71 Dewan Keamanan PBB pun harus bisa memosisikan diri saat di mana
sedang terjadi masa perang, masa transisi, hingga masa damai.
Pertanyaan utama yang timbul ketika membahas mengenai kedudukan dan
keanggotaan Dewan Keamanan PBB adalah: Apakah tiap negara dapat melakukan
hal yang sama semata-mata demi menjaga perdamaian dunia? Nyatanya, tidak
sepenuhnya seperti itu. Dewan Keamanan PBB adalah sebuah Dewan Khusus dan
memiliki tugas khusus pula. Di sini tidak ada jaminan bahwa tiap negara akan
dijamin persamaan haknya. Berbeda dengan Majelis Umum PBB yang memiliki
prinsip one state one vote.72 Tidak ada ukuran yang jelas pula dalam keanggotaan di
69 Ibid., hlm. 8370 Diberikan untuk pengantar buku “Indonesia and the United Nations Security Council”71 Nugroho Wisnumurti, et al., ed., Indonesia and the United Nations Security Council, (New
York: The Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations, 1997)72 Barry O’Neill, “Power and Satisfaction in the United Nations Security Council,” The Journal
of Conflict Resolution, Vol. 40, No. 2 (Juni 1996), hlm. 219-237
21
Dewan Keamanan PBB. Tidak diukur dengan luas wilayah, banyaknya penduduk,
ataupun banyaknya suku bangsa. Namun yang harus disadari adalah bahwa Dewan
Keamanan PBB merupakan salah satu organ penting yang memainkan peranan besar
dalam tercapainya perdamaian di dunia.
Negara anggota dalam Dewan Keamanan PBB adalah hal yang sangat penting
keberadaannya. Negara anggota yang jumlahnya terbatas ini mengemban kewajiban
utama memelihara perdamaian dan keamanan internasional.73 Dapat dikatakan pula
bahwa pada anggota-anggota inilah dibebankan tanggungjawab terberat untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional karena mereka diberikan hak
suara final dan menentukan dalam memutuskan tentang bagaimana tanggung jawab
itu harus dilaksanakan. Organ eksekutif kecil ini yang berisi dari negara-negara
anggota haruslah berfungsi secara kontinyu dan dapat mengambil keputusan secara
cepat dan efektif agar dapat melaksanakan perangkat pemaksaan (enforcement
machinery) dari Bab II Piagam PBB manakala perdamaian dan keamanan
internasional terancam. Dapat dilihat kenyataannya bahwa Dewan Keamanan tidak
sepenuhnya menjalankan fungsi pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional dikarenakan terdapat perbedaan sikap dari para anggotanya dan bukan
dikarenakan kelemahan konstitusional dalam Piagam.74 Beberapa hal yang krusial
mengenai ekualitas dari para anggota PBB juga akan menjadi hal yang akan dibahas
dalam poin ini, bahwa terdapat paradigma bahwa tidak terdapat kesamaan hak dan
kewajiban antara anggota tetap “The Permanent Five” dengan anggota lainnya dalam
PBB. Permasalahan ekualitas tersebut pun membawa kita kepada permasalahan inti
dari perbedaan posisi antara anggota tetap dengan anggota tidak tetap, yaitu mengenai
prosedur pemungutan suara dalam Dewan Keamanan yang utamanya merujuk pada
Pasal 27 Piagam PBB.
2.3.1 Susunan Keanggotaan
73 D.W. Bowett, The Law of International Institutional, (Stevenson and Son Limited, 1982)74 Ibid.
22
Mengenai susunan keanggotaan dalam Dewan Keamanan diatur dalam Pasal 23
Piagam PBB. 75 Pada awalnya jumlah anggota Dewan Keamanan PBB adalah sebelas
negara. Sebelas negara tersebut adalah lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB
ditambah enam anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang dipilih selama dua
tahun sekali. Namun dalam perkembangannya disadari bahwa negara anggota Dewan
Keamanan PBB tidak mampu mengakomodasi kepentingan dari seluruh pelosok
dunia. Oleh karena itu muncul wacana untuk segera mengamandemen Piagam PBB
dan menambah jumlah anggota tidak tetap untuk menjamin bahwa kepentingan
negara di seluruh dunia dapat terakomodasi dengan baik. Pada satu sidang Majelis
Umum PBB tahun 1956, mulai disampaikan wacana mengenai amandemen Piagam
PBB oleh sekelompok negara Amerika Latin. Negara-negara tersebut menghendaki
adanya perubahan dari enam anggota tidak tetap menjadi delapan anggota tidak tetap.
Wacana ini pun menambah tekanan dari belahan dunia lain agar sidang segera
mengamandemen Piagam PBB dengan alasan terakomodasinya seluruh wilayah di
dunia secara geografis. Amandemen ini hampir terlaksana karena sebagian besar
negara dalam sidang tidak menentang adanya perubahan dalam Piagam. Namun saat
itu terdapat masalah dalam keterwakilan Tiongkok sebagai anggota tetap. Soviet saat
itu hanya ingin amandemen dilaksanakan apabila Tiongkok diwakili oleh rezim
Peking.76 Namun seiring berjalannya waktu, pada tahun 1963 tercapai kesepakatan
bahwa peningkatan jumlah anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB diubah dari
enam anggota menjadi sepuluh anggota. Dengan demikian anggota Dewan Keamanan
PBB menjadi lima belas anggota, dengan komposisi lima anggota tetap ditambah
sepuluh anggota tidak tetap. Amandemen tersebut mulai berlaku pada bulan
September 1965. Kesepuluh anggota tidak tetap Dewan Keamanan dipilih untuk masa
jabatan dua tahun melalui Majelis Umum dan tidak dapat langsung dipilih kembali
pada pemilihan periode berikutnya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka pemilihan
kesepuluh anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB digilir menjadi dua tahun
75 Lihat amandemen terhadap Pasal 23, 27 dan 61 yang mulai berlaku 31 Agustus 1965; UNJY (1965), 159.
76 James Barros, PBB: Dulu, Kini dan Esok [UN: Past, Present, and Future], diterjemahkan oleh D.H. Gulo, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 24.
23
pemilihan. Yang dimaksud dua tahun pemilihan adalah lima anggota tidak tetap
dipilih oleh 2/3 suara mayoritas pemilih pada tahun pertama, dan lima anggota tidak
tetap berikutnya dipilih dengan mekanisme yang sama. Terdapat kriteria tersendiri
mengenai pemilihan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang diatur dalam
Pasal 23 Piagam PBB, yang menyebutkan bahwa negara anggota wajib
memperhatikan sumbangan terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional dan kepada tujuan-tujuan lain dari organisasi serta distribusi geografis
yang adil. Frasa “distribusi geografis yang adil” diartikan dengan keluarnya Resolusi
no. 1991 A Majelis Umum PBB. Resolusi ini berisi tentang alokasi wilayah negara
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yaitu:
1. Afro-Asia : 5 kursi;
2. Eropa Timur : 1 kursi;
3. Amerika Latin : 2 kursi;
4. Eropa Barat dan lainnya : 2 kursi.
Mengenai jumlah-jumlah yang tertera dalam resolusi PBB diatas pun dapat
timbul sebuah permasalahan ketika terdapat daerah yang mengajukan calon lebih dari
kuota yang telah ditentukan. Misalnya region Afro-Asia mengajukan tujuh negara
untuk memperebutkan lima kursi. Hal yang dilakukan adalah sidang harus
menentukan lima anggota teratas dan disepakati pula oleh persyaratan yang tertera
dalam Piagam. Namun pada kenyataannya hal ini jarang ditemukan karena electoral
groups bekerja untuk menentukan calon negara-negara anggota sesuai dengan kuota
yang ada.77
Hal menarik yang perlu untuk dibahas lebih lanjut adalah mengenai anggota
tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam amandemen yang dilakukan tahun 1965 pun
tidak ada perubahan mengenai lima anggota-anggota tetap PBB yaitu Tiongkok,
77 Richard Butler AC, Reform of the United Nations Security Council, 1 Penn. St.J.L & Int’l Aff. 23 (2012), hlm. 33.
24
Perancis, Uni Soviet,78 Inggris, dan Amerika Serikat. Perwakilan Amerika Serikat di
PBB pernah mengeluarkan pendapat sebagai berikut:
“the great powers could preserve the peace of the world if united….they could not do so if dissention were sowed among them. The great powers had every reason to exercise the requirement of unanimity for high and noble purposes, because they would not want again to expend millions in wealth and lives in another war.”79
Amerika Serikat pada intinya berpendapat bahwa konsep unity in diversity harus
digalakan demi pencapaian perdamaian dunia yang hakiki. Bahkan perwakilan
Amerika Serikat memberikan catatan bahwa meniadakan veto maka sama saja
dengan meniadakan PBB. Selain Amerika Serikat, negara anggota tetap Dewan
Keamanan PBB yang lain pun berpendapat bahwa kebersatuan adalah kunci dari
perdamaian. Bahkan perwakilan Soviet berpendapat bahwa dengan hadirnya veto
maka pencapaian akan perdamaian dunia akan dapat terlaksana, yang dikatakannya
sebagai salah satu pencapaian efektif. Perwakilan dari Inggris pun menyatakan bahwa
perdamaian yang akan dicapai bukanlah hanya apa yang diinginkan oleh anggota
tetap saja, namun juga atas keinginan dari seluruh anggota. Di sini Inggris pun
menekankan bahwa konsep kebulatan suara mutlak diperlukan untuk mencapai
perdamaian.
Kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan ditetapkan dengan asumsi
bahwa pada saat Piagam disahkan, negara-negara tersebut adalah “negara-negara
terbesar”. Asumsi ini adalah hal yang sangat politis menilai dari kedudukan mereka
pada saat Perang Dunia II. Tentunya asumsi ini sangat bisa diperdebatkan dengan
alasan bahwa tidak selamanya kelima negara tersebut menjadi “negara-negara
terbesar”, pun dapat menjadi permasalahan besar ketika muncul kekuatan-kekuatan
baru yang bisa menyaingi “kebesaran” kelima negara tersebut. Selain itu
permasalahan yang sudah terlihat adalah ketika terdapat persaingan antara satu
78 Pada mulanya Uni Soviet adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Namun seiring sejalan dengan runtuhnya Uni Soviet, maka Boris Yeltsin melalui surat yang tertanggal 24 Desember 1991 memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal bahwa keanggotaan Uni Soviet di Dewan Keamanan dan semua badan PBB yang lain akan dilanjutkan oleh Federasi Rusia dengan dukungan dari kesebelas negara Persemakmuran Negara-Negara Merdeka.
79Butler, Op. Cit, hlm. 28.
25
anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan anggota tetap yang lain. Yang paling
jelas terlihat adalah persaingan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat saat perang
dingin. Telah diketahui bahwa perang dingin adalah perang antara dua kutub besar
dunia yaitu kutub barat dan timur. Merujuk kepada data antara tahun 1945-1966, veto
telah digunakan sebanyak 109 kali, di mana 104 diantaranya digunakan oleh Uni
Soviet. Sebanyak ¾ dari total veto ini diberikan selama decade pertama dan
kebanyakan dari ini adalah mengenai permintaan keanggotaan. Dekade ini adalah
dekade permulaan di mana sidang-sidang biasanya mengikuti kehendak dari Amerika
Serikat. Oleh karena itu Uni Soviet aktif dalam memberikan veto dengan tujuan
mencegah pengambilan keputusan yang dianggapnya bertentangan dengan
kepentingan-kepentingannya. Menurut James Barros, penggunaan veto yang berulang
kali oleh wakil Soviet menjurus kepada klaim Uni Soviet merintangi pekerjaan
organisasi dengan cara mencegah Dewan Keamanan dari pembuatan-pembuatan
keputusan yang didukung oleh mayoritas anggota yang disyaratkan dan sebagai
akibat, dianggap bersalah karena mencegah Dewan Keamanan dari pelaksanaan
tanggung jawab-tanggung jawabnya.80 Hal tersebut pun menjadi salah satu bukti yang
sangat kuat bahwa ekualitas antara anggota tetap dan anggota tidak tetap tidak
berimbang. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB bisa saja menolak sebuah
keputusan sidang apabila keputusan tersebut dianggap telah merintangi kepentingan
pribadi mereka sendiri. Konsep unanimity dapat pula dilihat sebagai pembenar bahwa
mereka harus menyepakati dalam metode kebulatan suara untuk melaksanakan
sebuah keputusan.
Permasalahan baru yang muncul adalah anggota tetap PBB tidak akan bisa
ditambah ataupun dikurangi tanpa dilakukannya amandemen terhadap Piagam PBB.
Banyak pemikiran yang berkembang bahwa negara seperti Jepang dan Jerman cukup
layak untuk disandingkan dengan kelima anggota tetap tersebut dengan alasan bahwa
kedua negara tersebut memiliki pembangunan ekonomi yang mengagumkan
semenjak perang berakhir. Konsep unanimity anggota tetap Dewan Keamanan PBB
menjadi halangan yang paling nyata atas cita-cita bertambahnya ataupun dihapusnya
80 Barros, Op. Cit, hlm. 28.
26
keberadaan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.81 Mengenai bertambah atau
berkurangnya anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta merta menyinggung
kepentingan pribadi para anggota tetap, dan sebagaimana contoh diatas, bisa saja
anggota tetap Dewan Keamanan PBB tidak setuju (Pasal 107 dan 108 Piagam PBB)
dan cita-cita tersebut tidak akan terlaksana hingga kapanpun, Selain itu, masalah
dapat timbul apabila terdapat dua pemerintah yang menyatakan sah memimpin atas
satu negara. Masalah tersebut dapat dilihat pada permasalahan pengakuan
pemerintahan negara Tiongkok yang sudah disebutkan diatas.
2.3.2 Prosedur Pemungutan Suara
Piagam PBB mengatur tentang prosedur pemungutan suara pada pasal 27
yang menyebutkan bahwa:
1. Each Member of the Security Council shall have one vote.
2. Decisions of the Security Council on procedural matters shall be made by an
affirmative vote of nine members.
3. Decisions of the Security Council on all other matters shall be made by an
affirmative vote of nine members including the concurring votes of the permanent
members; provided that, in decisions under Chapter VI, and under paragraph 3
of article 52, a party of a dispute shall abstain from voting.82
Permasalahan klasik yang timbul dalam penafsiran pasal diatas adalah mengenai frasa
“procedural matters” dan “all other matters.” Permasalahan timbul dikarenakan
tidak adanya batasan yang jelas mengenai masalah mana saja yang masuk kedalam
“procedural matters” dan masalah mana saja yang masuk kedalam “all other
matters.” Dalam praktik beberapa masalah tertentu ditetapkan sebagai masalah
procedural akan tetapi jika timbul perselisihan pendapat, para anggota tetap
menyandarkan kepada pernyataan empat negara sponsor di San Fransisco.
81 Klaus Schlichtmann, “An Enduring Concept for Security Council Reform,” Beijing Law Review, (2011), hlm. 97-110.
82 Lihat amandemen terhadap Pasal 23, 27 dan 61 yang mulai berlaku 31 Agustus 1965; UNJY (1965), 159.
27
Dengan berbagai permasalahan yang timbul, maka berkembang sebuah
praktik baru akan veto yaitu apa yang lazim disebut dengan “double veto”. Hal ini
berkembang seiring sejalan dengan proses penentuan akan suatu masalah apakah
masuk kedalam ranah procedural atau masalah lainnya. Uni Soviet adalah negara
yang memerjuangkan sistem bahwa untuk menentukan sebuah masalah atau bukan
tidaklah bisa dipakai prosedur yang terdapat pada ayat 2 Pasal 27 Piagam PBB.
Melainkan dapat dipakai prosedur lain yang memungkinkan veto merubah keputusan.
Menurut Bowett, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak akan ada
permasalahan yang akan masuk ke ranah procedural apabila masalah tersebut
merintangi kepentingan salah satu anggota tetap. Anggota tetap dengan veto-nya
dapat memveto ketika sedang mengklasifikasikan masalah, dan veto kedua dijatuhkan
ketika prosedur utama yang tertuang dalam ayat 3 Pasal 27 Piagam PBB. Pada proses
ini terdapat proses politik yang memerlukan kecerdikan dan kejujuran Pimpinan
Dewan Keamanan. Pimpinan Dewan Keamanan dapat merujuk kepada 30 Rules of
Procedures untuk menentukan permasalahan masuk ke dalam ranah procedural atau
bukan.
Permasalahan dalam prosedur ini tidak akan menjauh dari keberadaan anggota
tetap Dewan Keamanan PBB. Permasalahan dapat timbul ketika kekuatan satu veto
dapat membatalkan keputusan yang sudah dibuat, terutama pada ketentuan yang
terdapat pada ayat 3 Pasal 27 Piagam PBB. Richard Butler berpendapat bahwa kerap
kali hak veto justru menyimpangi hukum internasional itu sendiri.83 Kerap kali
terdapat negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memveto penegakan
hukum terhadap negara yang melakukan pelanggaran84 ataupun kekerasan
dikarenakan negara tersebut adalah negara sahabat dekat dari negara anggota Dewan
Keamanan PBB tersebut. Keadaan seperti ini tidak pernah dicita-citakan saat
dibentuknya PBB di San Fransisco pada tahun 1945. Butler pun menyatakan bahwa
pelampauan kewenangan sangat mungkin terjadi akibat adanya veto. Oleh karena itu,
sebagaimana hukum yang bersifat dinamis, Butler menyarankan bahwa penggunaan
83 Butler, Op. Cit, hlm. 34.84 Joanna Weschler, “The Evolution of Security Council Innovations in Sanctions,”
International Journal, (Winter 2009), hlm. 31-45.
28
veto haruslah ditinjau ulang dan demi menjaga perdamaian dunia, maka seyogyanya
veto hanya bisa dipergunakan pada hal-hal tertentu saja.
Selain itu, dikenal abstain dalam penyampaian suara didalam Dewan
Keamanan. Kadang sistem seperti ini jauh lebih baik dibandingkan serta merta
memveto sebuah keputusan. Abstain di dalam pengambilan keputusan Dewan
Keamanan PBB tidak diartikan sebagai penolakan atas suatu keputusan namun lebih
kepada pernyataan tidak bersikap. Pada masa sekarang bahkan dengan abstainnya
sebuah negara dalam pengambilan keputusan Dewan Keamanan PBB dapat juga
dikatakan bahwa ia memenuhi syarat persetujuan, apabila dalam sebuah kasus
diperlukan mekanisme yang terdapat pada ayat 3 Pasal 27 Piagam PBB. Bahkan
Stravpoulos berpendapat bahwa apabila semua anggota tetap Dewan Keamanan PBB
abstain dalam pengambilan keputusan, maka keputusan dapat tetap dilaksanakan. Pun
telah diajukan kepada ICJ tentang advisory opinion mengenai tafsiran dari sikap
abstain dan ICJ berpendapat bahwa sikap abstain dari negara anggota Dewan
Keamanan PBB bukanlah sebuah kendala dan keputusan tetap dapat dilaksanakan.
Permasalahan selanjutnya yang timbul adalah ketika dalam pengambilan keputusan
yang mekanismenya tertuang dalam ayat 3 Pasal 27 Piagam PBB namun anggota
tetap tidak hadir dalam pengambilan keputusan. Mengenai hal ini terdapat dua
tafsiran besar. Yang pertama adalah sah karena anggota tetap tersebut dinyatakan
abstain dan menurut advisory opinion ICJ maka keputusan tetap dapat dilaksanakan.
Yang kedua adalah ketidakhadiran tersebut sebagai bentuk dari pelanggaran atas ayat
3 Pasal 27 Piagam PBB—meskipun dalam Pasal 28 Piagam PBB terdapat larangan
anggota untuk tidak hadir dalam rapat Dewan Keamanan. Dalam kasus yang pernah
muncul adalah tentang pelanggaran perdamaian yang terjadi di Semenanjung Korea.
Keputusan yang muncul adalah negara anggota mengangkat senjata dan membantu
Korea Selatan. Namun saat pengambilan keputusan Uni Soviet tidak hadir sehingga
keputusan tersebut dinyatakan batal. Kesimpulan yang dapat diambil adalah: tidak
dapat disamakan konsepsi abstain saat sebuah negara anggota hadir dalam rapat dan
abstain dalam keadaan negara anggota tidak hadir dalam rapat.
29
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:
1. Pembentukan Dewan Keamanan PBB adalah bentuk dari keinginan manusia
untuk mengatur dirinya sendiri agar mendapatkan perdamaian dan keamanan
internasional dan sebagai wujud dari perbaikan kegagalan LBB dalam
menjalankan fungsi ini. Bahwa dengan adanya Dewan Keamanan, ada sebuah
organ yang dapat mencegah masyarakat internasional untuk memulai perang.
Dewan Keamanan memiliki fungsi eksekutif, yaitu mengeluarkan tindakan
yang bersifat menghukum suatu negara untuk menjalankan sesuatu, atau bisa
juga fungsi legislatif dalam membuat resolusi yang bersifat umum dan abstrak.
2. Dari sudut kewenangannya sendiri, nampaklah bahwasanya DK PBB
merupakan organ dalam PBB yang paling kuat, namun demikian ternyata
kekuatan ini diimbangi dengan kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB, yang
ditinjau dari kekuatannya dapat mengatur mengenai urusan-urusan internal
organ-organ dalam PBB, bahkan termasuk DK PBB sendiri. Kemudian dari
segi enforseabilitasnya, Resolusi DK PBB ini memang sangat banyak memicu
permasalahan, bahkan seringkali dipandang skeptis oleh Negara-negara anggota
PBB yang bukan merupakan anggota dari DK PBB, misalnya pada kasus
intervensi militer atas nama PBB di Korea pada tahun 1950di mana ternyata
untuk menjamin enforseabilitas dari Resolusi DK PBB tersebut ditempuh jalan
kekerasan.
3. Kedudukan dan keanggotaan Dewan Keamanan PBB telah tertera dengan jelas
dalam Piagam PBB, khusunya pada Pasal 23 hingga 32 Piagam PBB.
Keanggotaan dalam Dewan Keamanan PBB terdiri dari dua jenis, yaitu anggota
tetap dan tidak tetap. Anggota tetap terdiri dari lima negara yaitu Tiongkok,
Perancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Hal ini berdasarkan Piagam PBB
yang disahkan pada tahun 1945. Anggota tidak tetap PBB terdiri dari sepuluh
30
negara yang berasal dari region berbeda, dan keanggotaannya ditetapkan oleh
Majelis Umum PBB. Berbeda dengan anggota tetap yang bersifat anggota
permanen, anggota tidak dipilih dua tahun sekali. Prosedur pengambilan
keputusan pada Dewan Keamanan PBB juga berbeda dengan organ lainnya di
PBB. Apabila di Majelis Umum PBB dikenal dengan konsep simple majority,
maka pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB diatur tersendiri dalam
Pasal 27 Piagam PBB. Hak veto para anggota tetap Dewan Keamanan PBB pun
menjadi salah satu keistimewaan dan permasalahan didalam Dewan Keamanan
itu sendiri. Diluar segala kebesarannya, Dewan Keamanan PBB kerap
mendapat permasalahan, antara lain mengenai klasifikasi masalah antara
“procedural matters” dan “all other matters”. Hal ini pun menimbulkan
fenomena baru yang bernama “double veto”. Selain itu, terdapat sikap abstain
dalam pengambilan keputusan yang kerap menimbulkan kerancuan. Namun
diluar hal tersebut, Dewan Keamanan PBB beserta anggotanya adalah ujung
tombak untuk melaksanakan perdamaian dunia yang hakiki.
31
DAFTAR PUSTAKA
About Education, “The League of Nations.” http://geography.about.com/od/politicalgeography/a/The-League-Of-Nations.htm. Diunduh pada 3 November 2014, pukul 22:48 WIB.
Barros, James. United Nations, Past, Present, and Future. New York: Free Press, 1972.
────────. PBB: Dulu, Kini dan Esok [UN: Past, Present, and Future], diterjemahkan oleh D.H. Gulo, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
Bosco, David, et. al. Five to Rule Them All: The UNSC and the Making of the Modern World. Stanford: Stanford University, 2001.
Bowett, D.W. The Law of International Institutional. (Stevenson and Son Limited, 1982).
Butler, Geoffrey. A Handbook to the League of Nations. London : Longmans, Green And Co., n.a.
Butler, Richard. “Reform of the United Nations Security Council.” Penn State Journal of Law & International Affairs Vol. 1.
Byers, Michael. "Agreeing to Disagree: Security Council Resolution 1441 and Intentional Ambiguity." Global Governance Vol. 10 No. 2, 2004: 88-110.
Danial. “Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses Penyelesaian Konflik Internasional.” Banten: Fakutas Ilmu dan Budaya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, s.a. Hlm. 2328-2341.
Encyclopaedia Britannica, “Spain.” http://www.britannica.com/EBchecked/topic/557573/Spain/70445/Francos-Spain-1939-75. Diunduh pada 5 November 2014, 00:58.
Farall, Jeremy. United Nations Sanctions and the Rule of Law. Cambridge: Cambridge Studies in International and Comparative Law, 2009.
Forsythe, David P., Roger A. Coate. The United Nations and Changing World Politics. Boulder: Westview Press, 2001.
Gruenberg, Justin. "An Analysis of UN Security Council Resolutions: Are All Countries Treated Equally?" Case Western Reserve Journal of International Law, Vol. 41, No. 2-3. , 2009: 178-183.
History Learning Site, “League of Nations.” http://www.historylearningsite.co.uk/leagueofnations.htm. Diunduh pada 3 November 2014, pukul 22:46 WIB.
Hurd, Ian. After Anarchy: Legitimacy and Power in the United Nations Security Council. Princeton: Princeton University Press, 2007.
──────. "Legitimacy, Power, and the Symbolic Life of United Nations Security Council." Global Governance, 2009.
K., Syahmin A. Pokok-Pokok Hukum Organisasi Internasional. Cet. 1. Bandung : Binacipta, 1986.
Kim, Samuel S. The Quest for a Just World Order. Colorado : Westview Press, 1984.
Klabbers, Jan. Research Handbook on the Law of International Organizations. Helsinki: Centre of Excellence in Global Governance Research of University of Helsinki, 2011.
Mauna, Boer. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global). Ed. 2. Bandung : P.T. Alumni, 2010.
Merrils, J.G. International Dispute Settlement. Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
Mitrany, David. A Working Peace System. Chicago : Quadrangle Books, 1966.Nations, United. "United Nations Charter." New York City: United Nations
Secretariat, 1945.O’Neill, Barry. “Power and Satisfaction in the United Nations Security Council.” The
Journal of Conflict Resolution, Vol. 40, No. 2 (Juni 1996).Oppenheim, Lassa. The League of Nations and its Problems (Three Lectures).
London : Longmans, Green and Co., 1919.Otunnu, Olara A. "The Security Council: A Need for Change." The Ecumenical
Review, Vol. 47, No. 3, 1995: 177-181.Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pengetahuan Dasar Tentang Perserikatan Bangsa-
Bangsa. S.l. : Perserikatan Bangsa-bangsa, s.a.Ramcharan, Bertrand. "The Security Council: Human Rights and Humanitarian
Issues." United Nations Chronicle, Vol. 38, No. 4. , 2001: 88-110.Richardknight.com. Arms Embargo against Apartheid South Africa.
http://richardknight.homestead.com/files/armsembargo.htm. Diunduh pada 5 November 2014, pukul 14:36 WIB.
Sands, Philippe and Pierre Klein. Bowett’s Law of International Instituions. London : Sweet & Maxwell, 2002.
Schlichtmann, Klaus. “An Enduring Concept for Security Council Reform,” Beijing Law Review. (2011).
Sipri. “UN arms embargo on South Africa.” http://www.sipri.org/databases/embargoes/un_arms_embargoes/south_africa. Diunduh pada 5 November 2014, pukul 14:32 WIB.
Stefan Talmon, “The Security Council as World Legislative” The American Journal of International Law Vol. 99.1, (Jan 2005). Page 175-193.
Suwardi, Sri Setianungsih. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Cet. 1. Jakarta : Universitas Indonesia, 2004.
Weschler, Joanna. “The Evolution of Security Council Innovations in Sanctions.” International Journal. (Winter 2009).
White, N. D. Keeping the Peace (The United Nations and the maintenance of international peace and security). Manchester : Manchester University Press, 1993.
Wisnumurti, Nugroho et al. Ed., Indonesia and the United Nations Security Council. New York: The Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations, 1997.
top related