fomo - tugas kep jiwa
Post on 30-Dec-2015
107 Views
Preview:
TRANSCRIPT
http://www.eduqo.com/2013/12/fomo-ancaman-gangguan-kejiwaan-di.html
FOMO: Ancaman Gangguan Kejiwaan di Kalangan Digital Native (Bagian 1 dari 3)
Thursday, December 19, 2013 Opini No comments
EDUQO.com: Luangkanlah waktu Anda untuk memperhatikan kehidupan digital buah hati
atau peserta didik di sekolah Anda, apakah mereka memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama: Kebergantungan terhadap media sosial seperti Facebook maupun Twitter untuk
berinteraksi sosial daripada bertemu langsung secara fisik.
Kedua: Mudah teralihkan perhatiannya oleh media sosial saat mendengarkan kuliah atau
belajar di kelas.
Ketiga: Lebih menaruh perhatian terhadap penggunaan media sosial daripada aktivitas
lainnya.
Keempat: Selalu mengecek akun media sosial; hanya untuk mengikuti perkembangan
kehidupan teman-temannya, hingga rela mengabaikan aktivitas pribadinya sendiri.
Kelima: Ingin selalu tetap terhubung dengan media sosial secara terus menerus, terutama
sekedar untuk mengetahui apa yang orang lain lakukan di dunia maya!
Jika Anda mendapati lebih dari satu ciri-ciri tersebut dari buah hati atau peserta didik Anda,
dapat dipastikan dia tengah terjangkit gangguan kejiwaan digital terbaru, yaitu:FOMO.
###
Digital Native = Generasi FOMO?
Sebuah data menarik saya dapatkan dari presentasi “Transformasi Peran Guru di Era
Pendidikan Digital” yang ditampilkan Bukik Setiawan (CEO Teman Takita) pada Sabtu
(23/11/2013); dalam ajang “Kopi Darat dan Penganugerahan Acer Guraru Award 2013” di
kantor Acer Indonesia, Jakarta.
Anda bisa membaca sekilas liputannya disini.
Data itu menyebutkan jumlah Digital Native di Indonesia sebesar 29,2% (sekitar 21,2 juta
orang) dengan komposisi usia sebagai berikut:
Usia 0 – 3 Tahun sebanyak 1%.
Usia 4 – 7 Tahun sebanyak 3%.
Usia 8 – 11 Tahun sebanyak 10%.
Usia 12 – 15 Tahun sebanyak 38%.
Usia 16 – 19 Tahun sebanyak 48%.
Generasi Digital Native ini pun memiliki karakteristiknya tersendiri yang perlu dipahami
Digital Immigrant, yaitu sebagai berikut:
1-Bebas, menolak terkekang.
2-Bermain, bukan hanya bekerja.
3-Ekspresif, tidak hanya reseptif.
4-Cepat, enggan menunggu.
5-Mencari, bukan menunggu instruksi.
6-Unggah, bukan hanya mengunduh.
7-Interaktif, bukan komunikasi searah.
8-Berkolaborasi, tak hanya berkompetisi.
Tidak mengherankan jika komposisi usia 16 – 19 tahun sebagai fase remaja mendominasi
pada data ini, mengingat bahwa kriteria Digital Native sendiri memang generasi manusia
yang lahir diatas tahun 1990-an.
Namun, justru yang menjadi pusat perhatian antara fase remaja kaitannya dengan
pembahasan FOMO, karena masa remaja menurut teori Perkembangan Identitas yang
diungkapkan Erik Erikson tergolong pada tahap kelima dalam delapan siklus kehidupan
manusia yang dinamai: “Identitas versus Kebingungan” (Identity versus Identity Confusion).
Teori paling komprehensif dan provokatif itu menyebutkan bahwa tahap siklus kehidupan
kelima ini terjadi bersamaan dengan masa remaja, dimana fase ini para remaja mulai tertarik
untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan kemana ia menuju dalam
kehidupannya.
Melihat komposisi Digital Native di Indonesia yang terbanyak adalah kaum remaja berusia
16 – 19 tahun (48%), maka tulisan edisi kali ini pun dibatasi seputar FOMO di kalangan
remaja (sekitar usia siswa SMA) saja.
Ikuti terus tulisan saya ini untuk memahami kaitan antara gangguan kejiwaan FOMO, masa
remaja, serta hubungannya dengan teori Perkembangan Identitas-nya Erik Erikson.
###
http://www.eduqo.com/2013/12/fomo-ancaman-gangguan-kejiwaan-di_19.html
FOMO: Ancaman Gangguan Kejiwaan di Kalangan Digital Native (Bagian 2 dari 3)
Thursday, December 19, 2013 Opini No comments
EDUQO.com: Berikut ini merupakan lanjutan dari bagian pertama mengenai fenomena
FOMO yang rentan mengancam jiwa para Digital Native.
###
FOMO: Diantara “Kepo” dan Stalking
Dari beberapa tulisan EDUQO, tentu Anda sudah membaca mengenai beberapa fenomena
gangguan kejiwaan di kalangan Digital Native yang kini mulai bermunculan.
Diantaranya tentu Anda sudah membaca istilah “Internet Addiction Disorder” sebagai jenis
“Gangguan Kecanduan Internet” yang ditemukan Ahli Jiwa bernama Ivan Goldberg. Hal
yang mengejutkan bahwa gejala yang ditunjukkan oleh “pengidap”-nya ini sama persis
seperti gejala pada kecanduan merokok, alkohol, bahkan obat (baca: narkoba).
Ada juga jenis gangguan kejiwaan bernama “Facebook Addiction Disorder” (Gangguan
Kecanduan Facebook) atau “Facebook Syndrome”. Bahkan riset ini sudah diaplikasikan oleh
para Psikolog University of Bergen di Norwegia, dengan menggunakan alat ukur “Bergen
Facebook Addiction Scale”. Satu hal mengkhawatirkan bahwa gejala yang ditunjukkan lagi-
lagi tidak jauh berbeda dengan “Internet Addiction Disorder”.
Selanjutnya yaitu “Professional Complainer” sebagai gangguan kejiwaan bagi siapapun yang
suka mengeluhkan kehidupannya atau bernada mengasihani diri sendiri disocial media.
Fenomena ini sudah diteliti oleh Amanda Forest dari Universitas Waterloo-Kanada bahkan
dilansir jurnal Psychological Science.
Kemudian “Nomophobia” (No Mobile Phone Phobia) sebagai phobia bagi seseorang yang
merasa ketakutan berlebih saat tidak membawa atau menggunakan ponsel, bahkan sekalipun
hanya berjauhan dengan ponsel tersebut dalam hitungan menit. Phobia ini dirilis perusahaan
IT SecurEnvoy dari Inggris pada Februari 2012 silam.
Medio 2013, muncul lagi gangguan jiwa yang rentan menjangkiti Digital Native
yaituFOMO. Satu hal menarik bahwa jika ditelisik secara sistematis, FOMO merupakan
salah satu pemicu gangguan kejiwaan “Nomophobia”.
Sekalipun hasil riset mengenai FOMO baru dipublikasikan dalam jurnal Computers in
Human Behaviour pada bulan Juli 2013 silam, yang tentu saja sudah jauh lebih didahului
oleh riset mengenai “Nomophobia”, namun fenomena FOMO menurut analisis saya
merupakan salah satu trigger gangguan kejiwaan tersebut.
FOMO sendiri merupakan akronim dari “Fear of Missing Out”, sebuah fenomena mengenai
seseorang yang merasa sedih karena tertinggal tidak dapat mengikuti obrolan di media sosial.
Bahkan, merasa sedih ketika dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan teman-teman
virtualnya tersebut.
Bukan hanya itu saja, konsep FOMO juga merujuk kepada orang-orang yang merasa
khawatir, jika melihat teman-teman virtualnya terlihat lebih bahagia dan lebih puas dengan
kehidupannya; dilihat dari apa yang ditampilkan di media sosial.
“Ketakutan” khas era digital ini mendorong Tim Peneliti dari University of Essex, Inggris,
untuk melakukan studi pertama mengenai fenomena yang baru muncul kira-kira tahun 2010
itu atau saat popularitas media sosial mulai mewabah.
Tetapi, menurut Ketua Tim Peneliti yaitu Psikolog Dr. Andy Przybylski, sebenarnya
fenomena FOMO bukanlah hal baru. Faktor yang membuat FOMO menjadi fenomenal yaitu
tingkatan penggunaan media sosial yang tinggi akhir-akhir ini di kalangan masyarakat dunia.
Selama proses penelitian ini berlangsung dilaporkan juga beberapa perkembangan.
Diantaranya Tim Peneliti berhasil menciptakan metode untuk mengukur tinggi-rendahnya
kadar FOMO seseorang.
Salah satu ciri seseorang yang berkadar FOMO tinggi lebih cenderung mudah tergoda untuk
berkirim SMS atau e-mail, bahkan ketika sedang mengemudikan kendaraan.
Selain itu yang mirip dengan hasil penelitian “Nomophobia” bahwa sample objek yang
berusia di bawah 30 tahun terbukti mempunyai kecenderungan paling tinggi “mengidap”
FOMO dibanding kelompok usia lainnya.
Fakta ini sungguh beralasan, karena hasil laporan sementara penelitian FOMO itu
mengungkap bahwa kelompok usia dibawah 30 tahun tersebut, menganggap media sosial
sebagai salah satu hal terpenting dalam kehidupan mereka.
Bahkan salah satu fakta mengejutkan yang diungkap dalam hasil penelitian sementara ini
bahwa fenomena FOMO dilatarbelakangi oleh faktor sosial.
Menurut Dokter Przybylski bahwa ketika “kebutuhan psikologis” seseorang tidak terpenuhi,
maka dia akan cenderung melampiaskannya melalui media sosial.
Kesenjangan idealita dengan realita tersebut, seakan dijembatani oleh FOMO. Inilah yang
menjawab alasan mengapa sebagian orang cenderung lebih banyak menggunakan media
sosial daripada yang lainnya.
Dari kajian FOMO terungkap bahwa pengidap “Nomophobia” yang ketakutan berjauhan
dengan mobile phone mereka, salah satunya disebabkan ketakutan karena ketinggalan
informasi mengenai perkembangan teman-temannya di media sosial.
Sungguh menarik jika terdapat penelitian khusus di Indonesia, mengenai berapakah jumlah
pengidap FOMO dari total penduduk negeri ini yang tahun 2012 lalu saja berjumlah
sebanyak 251 juta orang.
Apalagi data terakhir yang saya dapatkan dalam ajang Google Search Summit 2013 di
Yogyakarta, 19-22 Juni 2013 silam, mengungkap data bahwa pengguna mobile phonedi
Indonesia sebanyak 249.800.000 unit!
Fenomena FOMO, mengutip istilah anak gaul zaman sekarang, memang beda tipis antara
“Kepo” (sebagian mengartikan “Kepo” dengan akronim dari “Knowing every particular
object” alias “sangat ingin tahu apa yang dilakukan orang secara terperinci”) dan kebiasaan
“Stalking” (menguntit kehidupan virtual seseorang di dunia maya dengan mengawasi satu per
satu update status akun media sosialnya)….
http://www.eduqo.com/2013/12/fomo-ancaman-gangguan-kejiwaan-di_7282.html
FOMO: Ancaman Gangguan Kejiwaan di Kalangan Digital Native (Bagian 3 – Selesai)
Thursday, December 19, 2013 Opini No comments
EDUQO.com: Ini merupakan bagian terakhir sebagai lanjutan dari tulisan kedua, mengenai
kaitan antara FOMO dengan proses “pencarian identitas diri” yang dialami pada fase
remaja.
Selamat melanjutkan membaca!
###
FOMO dan Pencarian Identitas Diri
Tentu Anda sudah terlalu sering mendengar bahwa fase remaja merupakan masa “pencarian
identitas diri”.
Anda juga tentu sudah begitu memahami bahwa dalam masa-masa “pencarian identitas diri”
tersebut, pandangan-pandangan dunia (baca: trend yang tengah mengglobal) menjadi penting
bagi individu remaja tersebut.
Walau tentu saja, pemaknaan “pencarian identitas diri” pada pembahasan kali ini, bukan
semata hal-hal yang bersifat fisik mengenai: Siapa nama saya? Tempat tanggal lahir
dimana? Tinggi badan dan berat badan berapa? Alamat rumah… dan seterusnya.
Arti “pencarian identitas diri” disini lebih “dalam”, sebagaimana yang sudah saya singgung
di awal tulisan, bahwa para remaja mulai tertarik untuk mengetahui siapa
dirinya, bagaimana dirinya, dan kemana ia menuju dalam kehidupannya.
Jika disandingkan dengan teori “Spiritual Quotient: Spiritual Intelligence – The Ultimate
Intelligence” yang dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall (Bloomsbury, Great
Britain, 2000), pertanyaan yang konon digerakkan “God Spot” yang terletak di dalam otak itu
kurang lebih juga bernada sama: Dari manakah saya berasal? Untuk apa saya hidup? Mau
kemana saya setelah kehidupan berakhir?
Inilah alasan di balik gejolak-gejolak yang diekspresikan kaum remaja pada masa kapanpun
baik dahulu maupun mendatang, dimana fase ini memang kilimaks-nya periode umat
manusia mulai bereksperimen kehidupan dengan mencoba berbagai hal; yang dianggap bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan internal untuk “pencarian identitas diri“ tadi.
Fenomena FOMO merupakan salah satu gejala yang ditunjukkan kaum remaja dalam masa
“pencarian identitas diri”, terkait tuntutannya karena lebih mendengar pandangan dunia yang
barangkali baginya menjawab pertanyaan tentang “pencarian identitas diri” tersebut.
Apalagi jika sang remaja yang FOMO tadi, terbentur dengan faktor realitas sosial yang tidak
seberuntung teman-temannya di media sosial yang dianggap membahagiakan (versi
pandangan dunia tentu saja).
Inilah status identitas yang dianalisis pakar Psikologi berkebangsaan Kanada, James Marcia,
dari teori perkembangan identitas Erikson dengan istilah “Identity Moratorium” (Penundaan
Identitas).
Klasifikasi individu remaja yang tergolong pada status “Identity Moratorium” itu sendiri,
merujuk kepada sosok remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis (kebanyakan
peneliti sekarang lebih menggunakan istilah “penjajakan” [exploration] daripada “krisis”
[crisis]), tetapi komitmen mereka (baca: sikap bertanggung jawab atas pilihan keputusan
eksplorasinya tadi) tidak ada atau hanya didefinisikan secara samar.
Dalam konteks fenomena FOMO, remaja yang ketakutan ketinggalan informasi mengenai
perkembangan kehidupan sosial teman-temannya di media sosial, sebagai pelampiasan ke-
tidak-mampu-an dirinya secara faktor sosial di dunia nyata; hinggamengabaikan pengalaman
yang dirasakannya sendiri, karena terlanjur terobsesi pada pengalaman mereka yang tidak
dialaminya; dianggap tergolong sebagai remaja berstatus klasifikasi “Identitty Moratorium”.
Padahal menurut pernyataan Psikolog Arnie Kozak, Ph.D., bahwa para remaja yang sedang
melakukan eksplorasi (James Marcia mengistilahkannya dengan “krisis”) dengan “pencarian
identitas diri” tadi; untuk tidak pernah menganggap kehidupan mereka sendiri membosankan,
apalagi jika dibandingkan dengan pengalaman hidup orang lain di media sosial.
Maka dari itu, agar tidak terjebak pada kondisi FOMO, Kozak yang juga Penulis buku “Wild
Chickens and Petty Tyrants: 108 Metaphors for Mindfulness” mengingatkan agar setiap
orang hanya melihat bagian terbaik dari pengalaman orang lain yang mereka bagikan melalui
media sosial.
Inilah status “Identity Achievement” (Pencapaian Identitas) yang dimaksud Marcia untuk
menggambarkan remaja yang telah mengalami suatu eksplorasi “pencarian identitas diri” dan
sudah bertanggung jawab dengan menerima apapun yang sudah terjadi dalam hidupnya.
Dimana remaja yang terklasifikasi dengan status “Identity Achievement” ini memang sedang
dalam tahap “pencarian identitas diri” serta memiliki kehidupan virtual di media sosial,
namun dia tidak terjebak untuk terobsesi pada pengalaman hidup orang lain yang ditampilkan
di dunia maya.
Apalagi remaja berstatus type ini sangat menyadari bahwa apa yang ditampilkan oleh teman-
teman-nya di media sosial secara maya, bisa jadi hanya fiktif belaka atau bahkan jangan-
jangan hanya “hoax”!
Remaja yang berstatus “Identity Achievement” hanya memanfaatkan media sosial sebagai
media sekunder untuk bersosialisasi dan tetap mengutamakan komunikasi primer baik itu
bertemu langsung secara fisik atau minimal bertelepon.
Jikapun remaja tersebut mencari tahu apa yang sedang dilakukan teman-temannya di media
sosial, sekedar sebagai katalis untuk menciptakan target yang realistis atau memanfaatkan
pengalaman orang lain sebagai pencarian inspirasi kehidupan yang lebih baik (baca: self
motivation).
Remaja yang berhasil mencapai status “Identity Achievement” ini, muncul dengan suatu
kepribadian baru yang menarik dan dapat diterima. Sementara remaja yang tidak berhasil
mengatasi krisis identitas ini, diantaranya ditandai dengan kondisi FOMO karena terobsesi
kehidupan virtual orang lain, akan terus dalam kondisi kebingungan psikologis, sehingga
menderita apa yang oleh Erikson disebut: “Kebingungan Identitas” (Identity Confusion).
Itu sebab, mengapa fase remaja yang tergolong pada tahap kelima dalam delapan siklus
kehidupan manusia, menurut teori Perkembangan Identitas yang diungkapkan Erik Erikson,
dinamai dengan: “Identitas versus Kebingungan” (Identity versus Identity Confusion).
Akankah Anda rela, Digital Native di lingkungan Anda terjebak pada kondisi kejiwaan
“Identity Confusion”, yang semula dipicu oleh FOMO?
http://log.viva.co.id/news/read/430604-fomo---penyakit--para-penggila-jejaring-sosial
FOMO Penyakit Para Penggila Jejaring Sosial
Posted by Kang Didno Jumat, 19 Juli 2013 0 comments
Sekarang ini rasanya sulit untuk melepaskan yang namanya gadget dan media sosial. Kini
saat kita bangun tidur yang dicari adalah gadget untuk melihat media sosial seperti facebook,
twitter, BBM, dan lain-lain. Lama kelamaan ini bisa berdampak psikologis yang kurang baik.
Saat ini ada semacam sindrom yang menghinggapi para penggila media sosial yang disebut
dengan FOMO.
FOMO singkatan dari Fear of Missing Out yang artinya adalah rasa risau yang timbul
karena kita belum membuka media sosial seperti twitter, facebook, BBM, Line, email atau
yang lainnya, dan anda merasa ketakutan ketika belum membuka inbox atau pesan dan
deretan status yang terlewat.
Teknologi yang ada saat ini, memudahkan pengguna jejaring sosial di gadget seperti ponsel,
smartphone atau tablet untuk selalu update atau terhubung. Hali ini pula yag menjadi salah
satu faktor pendorong FOMO. Berdasarkan survey yang dilakukan mylife.com menunjukan
bahwa 56 % orang mengalami Fomo alias ketakutan ketinggalan event, berita, dan update
status di media sosial.
Selain itu 26 % orang rela mengganti hobinya seperti merokok, menonton tv, dan
menggantinya dengan mengakses media sosial. Menurut penelitian itu juga sekarang 51 %
responden semakin sering mengunjungi atau login ke akun media sosial mereka
dibandingkan dengan 2 tahun yang lalu. Coba saja lihat sekarang, saat kita bangun tidurpun
sekarang tidak langsung berbenah, beribadah atau mandi seperti dahulu, tetapi langsung
mencari gadget untuk membuka jejaring sosial. Tidak hanya itu selain setelah bangun tidur,
saat di kerjaan, di jalan bahkan di kamar mandi pun tidak ketinggalan menggunakan jejaring
sosial. Bagaimana dengan anda? Apakah anda juga sudah terkena penyakit FOMO?
http://www.merdeka.com/teknologi/56-persen-pengguna-jejaring-sosial-terkena-fomo.html
56 Persen pengguna jejaring sosial terkena FOMO
Merdeka.com - Tidak dapat dipungkiri bahwa jejaring sosial dapat menyebabkan kecanduan.
Dilansir dari Mashable (10/9), sindrom yang paling sering hinggap pada pengguna jejaring
sosial adalah FOMO.
FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out yang dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai 'takut telat informasi'.
Berdasarkan survei terbaru yang dilakukan oleh situs MyLife.com mengungkapkan bahwa 56
persen orang takut kehilangan informasi,berita dan update status penting jika mereka berada
jauh dari jejaring sosial.
26 persen di antaranya mengakui rela menukar adiksi lain seperti kebiasaan merokok dan
menonton serial TV favorit untuk mendapatkan akses ke jejaring sosial.
Untuk memperoleh gambaran penuh mengenai bagaimana orang menggunakan jejaring sosial
melalui info grafik berikut ini.
http://www.komputekno.com/2013/07/fomo-penyakit-pencandu-jejaring-sosial.html
31 July 2013
You are Here : Home > Info Teknologi , Social Network > Hati-hati FOMO, Penyakit Para
Pencandu Jejaring Sosial
Hati-hati FOMO, Penyakit Para Pencandu Jejaring SosialKita semua memahami bahwa jejaring sosial telah menjadi tren baru pola komunikasi masyarakat sekarang ini. Tidak terbatas pada orang dewasa, anak-anak pun sudah banyak yang manjadi penggila situs yang satu ini. Bahkan satu orang bisa memiliki akun ganda untuk media saya sama ataupun berlainan. Seorang blogger misalnya, selain memiliki akun Facebook aktif, kebanyakan juga memiliki akun Twitter dan Google+.
Apakah fenomena semacam itu merupakan hal yang normal? Selama aktivitas dalam jejaring sosial dilakukan secara wajar, tidak menjadi masalah. Tapi ketika dilakukan secara berlebihan dan menyebabkan kecanduan, bisa menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik. Baru-baru ini hasil survey mylife.com menunjukkan bahwa 56% pengguna jejaring sosial mengalami sindrom FOMO (Fear of Missing Out).
FOMO, Penyakit Para Pencandu Jejaring Sosial (Sumber: Google Image)
Secara sederhana FOMO adalah perasaan kecewa, risau atau bahkan ketakutan ketika tidak membuka inbox email atau timeline jejaring sosial sehingga banyak pesan menumpuk dan ada deretan status yang terlewat. Salah satu faktor penyebab FOMO adalah kemajuan teknologi yang salah satunya membuat penggunaan jejaring sosial menjadi sangat mudah, dimana saja dan kapan saja. Lalu apa ciri-cri umum penderita sindrom FOMO?
Bangun pagi langsung ke jejaring sosialIdelanya, ketika bangun pagi setelah membuka mata selanjutnya adalah berbenah, beribadah atau mandi. Tapi hal ini tidak berlaku bagi para pengidap FOMO. Ketika terbangun, mereka akan langsung login ke jejaring sosial sebelum melakukan aktivitas yang lain. “Met pagi all”, mungkin itu update statusnya.
Berjalan sambil mengetik statusMungkin Anda pernah melihat seorang wanita menabrak kaca mall atau seorang pria terpeleset ke selokan gara-gara berjalan tidak melihat jalan tapi melihat layar ponsel sambil mengetik status di jejaring sosial. Jika pernah, berarti orang itu mungkin sudah mengidap sindrom FOMO.
Mencuri waktu saat bekerjaPernahkah Anda berusaha mencuri waktu untuk mengakses jejaring sosial di sela-sela pekerjaan Anda? Jika sering dilakukan bahkan setiap hari, Anda perlu berhati-hati karena mungkin Anda sudah terserang penyakit yang satu ini.
Jejaring sosial tak kenal waktu dan tempatMereka yang sudah mengalami FOMO, tidak mengenal waktu dan tempat untuk mengakses
jejaring sosial. Misalnya saat makan, menonton televisi, di kamar mandi, dalam bus, sebelum tidur, saat belajar, bekerja, atau bahkan dalam rapat kerja dan diskusi penting. Seberapa sering Anda melihat atau bahkan melakukannya?
Rela begadang demi jejaring sosialPara penderita sindrom FOMO rela begadang tiap malam demi jejaring sosial. Mereka lebih memilih tidak tidur daripada melewatkan pemberitahuan pesan atau status dari sesama pengguna jejaring sosial.
Boros tidak menjadi masalahMeskipun sekarang ini sudah banyak hotspot area gratis di berbagai tempat tapi tidak sedikit yang mengakses jejaring sosial menggunakan pulsa internet atau di warnet. Untuk membeli pulsa atau menyewa internet di warnet tentu saja membutuhkan biaya. Dan ketika Anda sudah berpikir pemborosan biaya tidak menjadi persoalan daripada tidak membuka jejaring sosial, maka bisa jadi Anda sudah menderita FOMO. Permasalahan akan menjadi lebih rumit ketika hal itu dialami oleh seorang siswa/pelajar yang belum bekerja sementara jatah dari orang tua sudah habis sebelum waktunya.
Berkendara sambil akses jejaring sosialIni yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Karena takut kudet (kurang update) maka ketika berkendara dengan mobil atau sepeda motor tangan yang kanan memegang setir/stang, tangan kiri memegang ponsel sambil update ststus. Gejala ini juga ciri-ciri sindrom FOMO.
Seperti yang Lucy Jo Palladino jelaskan dalam bukunya Find Your Focus Zone, bahwa
melakukan kegiatan rekreasional seperti nonton TV, main game, akan membuat otak kita
bekerja dan mengeluarkan zat dopamin yang memberikan efek kesenangan kepada kita. Dan
apabila level dopamin terhadap kegiatan tersebut telah berkurang maka kita akan mencari
kegiatan lain yang dapat mengeluarkan zat dopamin yang setara seperti sebelumnya.
Hal tersebut cocok dengan analisa perilaku kerja kita, awal kita mengerjakan akan terasa
lebih menyenangkan. Namun lambat laun seiring berjalannya waktu kita tanpa sadar ingin
menjaga level dopamin kita dengan membuka website yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan.
Bagaimana mengatasinya? Menurut Jeff Stibel ada beberapa cara dalam mengatasinya
1. Cukup Tidur : Otak yang cukup istirahat lebih susah teralihkan fokusnya
2. Makan Bergizi : Otak yang cukup nutrisi akan berfungsi lebih baik
3. Meminimalisasi Stress dan Amarah : Hal tersebut menyebabkan otak memproduksi zat
kimia berupa norepinephrine dan cortisol, yang dapat menyebabkan masalah.
4. Hati-hati terhadap Situs Penghabis Waktu : Sangat mudah kita terjebak dalam waktu
yang lama saat membaca forum atau baca blog (seperti blog ini). Tetap fokus dan batasi
aktivitas online.
5. Kerja Pintar, Bukan Lebih Lama : Jika anda bekerja terlalu lama, maka otak akan
mencari pengalihan baik disadari maupun tidak. Coba jadwalkan beberapa kali istirahat, 6
jam yang produktif lebih baik daripada 10 jam terbuang percuma karena berkutat dengan
Google atau Sosial Media.
Demikian, semoga kita dapat lebih fokus terhadap pekerjaan kita ke depannya.
Terima Kasih Banyak
sumber:http://blogs.hbr.org/cs/2009/10/why_the_internet_is_so_distrac.html
BOOK REVIEW
Find Your Focus Zone: An Effective New Plan to Defeat
Distraction and Overload [Kindle Edition]Lucy Jo Palladino (Author)
5.0 out of 5 stars See all reviews (18 customer reviews)
Pricing information not available.
Length: 308 pages (Contains Real Page Numbers) Don't have a Kindle? Get your Kindle here.
Formats Amazon Price
New from
Used from
Hardcover, Bargain Price
-- $14.33 $8.57
Paperback $16.67 $13.74 $8.54
Kindle DeliversSubscribe to the Kindle Delivers monthly e-mail to find out about each month's Kindle book deals, new releases, editors' picks and more. Learn more (U.S. customers only)
› See more product promotions
Book DescriptionWhere did my day go? How did it get so late?
I feel like I'm being pulled in too many directions at once.
If only there were two of me, I could get it all done.
If this is you at the end of the day, you are not alone. Millions of people deal with these same frustrations in today's world of endless distraction.
Let's face it: We all live on the edge of being overwhelmed, and old ways of paying attention just don't work anymore. When you get more than three thousand advertising messages and hundreds of emails every day, it's no wonder you feel like you're constantly fighting distraction. What is the secret -- known to a select group of high achievers, including Olympic athletes -- to finding your focus zone? The key is managing adrenaline. Too much and you're overstimulated; too little and you're not stimulated enough. Now you, too, can learn the same methods that high performers use.
In Find Your Focus Zone, psychologist Lucy Jo Palladino, PhD, gives you eight sets of keys to unlock your best attention so that you can concentrate in every situation -- even when you're under pressure or facing dull tasks that must be done. You'll choose which key solutions and strategies work best for you and use them to create your own personal keychain for daily achievement and success. The skills you learn in Find Your Focus Zone will help you to
Beat procrastination and face boring jobs
Overcome obstacles and finish what you start
Prevent yourself from getting overwhelmed and burned out
Build balance and trust in your work and family relationships
Enhance your self-confidence
Use interruptions to your advantage
Tune out distractions to increase your efficiency and effectiveness
Dr. Palladino is the first to explain the science of attention in plain language. As she teaches you cutting-edge concepts and methods to win the fight against distraction and overload, she highlights them with engaging stories, easy exercises, and useful tips.
With the individualized program that Dr. Palladino prescribes for your particular needs, you'll learn not only how to find your focus zone, but also how to boost your personal productivity by applying these attention skills, self-encouragement practices, and strengths. And by learning to flex your attention
muscle, you'll avoid the dangers of distraction and boredom, like missing deadlines, disappointing your family, and feeling scattered and ineffective.
A book for anyone who struggles to cut through the noise of everyday life, Find Your Focus Zone gives you the tools you need to succeed in today's digital world of distraction. Warm, practical, and user-friendly, with innovative techniques and a powerful message, it's just what the doctor ordered.Show more
Editorial Reviews
Review"Coaching people to optimize their brain's functioning is a new and much-needed field in our overloaded world. Civilization and our cyber world have clearly outstripped our brain's ability to deal with all that information, so we need all the help we can get. Lucy Jo gives practical tools to help all of us deal with the constant overloaded state in which we find ourselves immersed."
-- John Ratey, MD, author of A User's Guide to the Brain and co-author of Driven to Distraction
Palladino, Lucy Jo.2007. Find Your Focus Zone. England. Atria Books
About the AuthorLucy Jo Palladino, PhD, is the author of Dreamers, Discoverers, and Dynamos: How to Help the Child Who Is Bright, Bored, and Having Problems in School (formerly titled The Edison Trait). She is an award-winning psychologist and attention expert with thirty years of professional experience. Dr. Palladino, who lectures nationwide, has received several federal research grants, published
numerous articles in professional journals, and presented papers at national conferences. She has also taken advanced training in sports psychology and served on the clinical faculty of the University of Arizona Medical School. Her research findings have been featured in Family Circle, Men's Health, Los Angeles Times, The Washington Post, The Boston Globe, and Web MD. In recent years, she has appeared as the resident psychologist for the The Morning Show on KFMB-TV, the CBS affiliate in San Diego, California. You can learn more about her work at www.YourFocusZone.com.
Product Details
File Size: 638 KB Print Length: 308 pages Page Numbers Source ISBN: 1847371612 Publisher: Atria Books (June 26, 2007) Language: English ASIN: B000RWC6OY
top related