faktor-faktor penyebab rendahnya penyerapan belanja kementerian / lembaga 2010
Post on 24-May-2015
922 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian/Lembaga TA 2010
Oleh: Adrianus Dwi Siswanto dan Sri Lestari Rahayu1
Abstraksi
Sebagai negara yang sedang giat membangun, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan dorongan yang lebih kuat dan cepat bagi pergerakan roda perekonomian. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya dan tindakan strategis melalui berbagai instrumen kebijakan. Salah satunya melalui kebijakan belanja yang dituangkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal merupakan bentuk intervensi pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, APBN memiliki beberapa fungsi, seperti fungsi alokasi, fungsi distribusi yang terutama distribusi pendapatan dan fungsi stabilisasi. Dengan fungsi-fungsi tersebut maka sangat diharapkan kebijakan fiskal yang dikeluarkan, khususnya kebijakan belanja negara, bekerja secara tepat, efisien dan berkelanjutan.
Berdasarkan kajian singkat (quick research) yang telah dilakukan oleh Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN), atas 7 Kementerian/Lembaga (K/L) terbesar pengelola belanja, diperoleh informasi dan permasalahan terkait dengan penyebab rendahnya penyerapan belanja. Kajian ini menggunakan metodologi statistik deskriptif yang sumber data diperoleh dari hasil wawancara, diskusi dan survei lapangan. Dari hasil kajian diketahui setidaknya terdapat 4 permasalahan utama dalam proses penyerapan belanja K/L.
Keempat permasalahan tersebut adalah terkait dengan persoalan internal K/L, persoalan mekanisme pengadaan barang dan jasa, dokumen pelaksanaan anggaran dan mekanisme revisi, dan persoalan lain-lain. Dari hasil analisis yang dilakukan, tim merekomendasikan beberapa langkah perbaikan termasuk merevisi beberapa peraturan agar permasalahan yang ada dapat diatasi, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka menengah.
I. Pendahuluan
Sebagai kementerian yang mengeluarkan kebijakan fiskal, khususnya yang
terkait dengan belanja kementerian/lembaga, Kementerian Keuangan telah
berupaya untuk meningkatkan kinerja, baik kinerja dari sisi pendapatan maupun
kinerja dari sisi belanja. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan kinerja penyerapan
belanja K/L, Kementerian Keuangan tidak saja menjalankan fungsinya sebagai
Bendahara Umum Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kementerian Keuangan berupaya agar
instrumen kebijakan fiskal, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
1 Penulis pertama adalah peneliti Pertama dan penulis kedua adalah peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – Badan Kebijakan Fiskal – Kementerian Keuangan; Ucapan terima kasih disampaikan kepada Amnu Fuadiy dan Wahyu Utomo yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan data atas penerbitan policy paper ini.
1
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan
menciptakan lapangan kerja.
Dengan UU tersebut, Kementerian Keuangan maupun K/L teknis lainnya
memiliki fungsi yang berbeda satu dengan lainnya. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan tersebut, Menteri Keuangan memiliki kekuasaan atas
pengelolaan keuangan Negara (pasal 6 ayat 2 huruf a) selaku pengelola fiskal.
Sedangkan Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pengguna anggaran/pengguna
barang kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Selaku pengelola keuangan
negara, Menteri Keuangan memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 8.
Sedangkan Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran memiliki tugas
sebagaimana diatur dalam Pasal 9.
Selanjutnya dalam rangka penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga
tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Sedangkan untuk pemeriksaan dan pengelolaan serta tanggungjawab
keuangan negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam postur APBN, belanja pemerintah pusat memainkan peranan yang
sangat penting dalam pencapaian tujuan nasional, terutama dalam meningkatkan
dan memelihara kesejahteraan rakyat. Hal ini terutama karena besaran dan
komposisi anggaran belanja pemerintah pusat dalam operasi fiskal pemerintah
mempunyai dampak yang signifikan pada permintaan agregat dan output nasional,
serta mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam perekonomian. Selain itu, peranan
penting anggaran belanja pemerintah pusat dalam perekonomian, sebagai salah
satu perangkat kebijakan fiskal, juga berkaitan dengan ketiga fungsi utama
anggaran belanja pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi
stabilisasi.
Pada sisi lain penganggaran berbasis kinerja berorientasi pada sistem
pengganggaran yang menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran (output
based) dari program dan kegiatan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan
sumber daya yang terbatas dan efektif dalam pencapaian output dan outcome-nya.
Kinerja hasil dan keluaran tersebut merupakan kinerja yang melekat pada K/L
teknis terkait. Dengan kata lain perlu upaya untuk terus melakukan koordinasi yang
lebih intensif guna mensinergikan kinerja yang hendak dicapai oleh Kementerian
Keuangan dan K/L teknis terkait.
2
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belanja K/L telah menghasilkan
pola belanja dengan karakteristik penyerapan yang rendah di semester pertama
dan menumpuk pada akhir tahun anggaran berjalan. Pola demikian terjadi di
tingkat pemerintah pusat dan daerah, sehingga akan mengganggu rencana kinerja
kebijakan APBN terhadap perekonomian secara umum. Di sisi lain, akan berdampak
pula pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pengentasan
kemiskinan yang menjadi sasaran kebijakan fiskal secara khusus.
Dari hasil kajian, diperoleh informasi awal bahwa pola belanja K/L yang
menjadi sampel analisis, belum mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang
diharapkan adalah terjadinya sebaran yang lebih merata, baik di semester pertama
maupun di semester kedua, dengan kata lain diharapkan realisasi belanja tidak
mengalami penumpukan pada akhir tahun.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disampaikan permasalahan sebagai
berikut : (i) Faktor-faktor apa saja yang berpotensi menghambat proses penyerapan
APBN; dan (ii) Adanya berbagai kebijakan/peraturan perundangan yang kebijakan
adanya pemahaman yang sama dalam proses mekanisme penyusunan/revisi DIPA;
II. Gambaran Umum Penyerapan Belanja K/L Semester I 2010
Dalam Tahun Anggaran 2010, terdapat beberapa K/L yang memperoleh alokasi
anggaran relatif besar dibandingkan K/L lainnya. K/L tersebut adalah (1).
Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp63,4 triliun; (2). Kementerian
Pertahanan sebesar Rp42,9 triliun; (3). Kementerian Pekerjaan Umum sebesar
Rp36,1 triliun; (4). Kepolisian sebesar Rp27,8 triliun; (5). Kementerian Kesehatan
sebesar Rp23,8 triliun; (6). Kementerian Perhubungan sebesar Rp17,6 triliun; dan
(7). Kementerian Keuangan sebesar Rp15,4 triliun.
Secara keseluruhan, total alokasi anggaran yang disediakan untuk 7 K/L
tersebut adalah sebesar Rp227 triliun. Dengan jumlah tersebut maka porsi yang
dimiliki 7 K/L mencapai kurang lebih 70 persen dari total alokasi belanja yang
disalurkan untuk K/L sebagai instansi pusat. Dengan porsi belanja yang relatif
besar tersebut, maka kedudukan ketujuh K/L tersebut sangat signifikan sebagai
indikator mengukur kinerja dari sisi penyerapan.
Gambar-1Realisasi Belanja K/L Semester-1 Tahun 2006-2010
3
56,569,9
82,7104,7 104,5
26,2 25,728,5
33,3
28,5
0
5
10
15
20
25
30
35
0
20
40
60
80
100
120
2006 2007 2008 2009 2010
Real Semester %
Sumber : DJPB – diolah. Gambar di atas menunjukkan bahwa sekalipun secara nominal tingkat
penyerapan belanja relatif terus meningkat namun secara prosentase terjadi
fluktuasi. Untuk penyerapan Semester I 2006, realisasi baru mencapai Rp56,5
triliun atau sebesar 26,2 persen. Terus meningkat di tahun berikutnya hingga tahun
2009 sebesar Rp104,7 triliun atau sebesar 33,3 persen. Kembali turun daya
serapnya di 2010 menjadi Rp104,5 triliun atau 28,5 persen. Dengan demikian daya
serap Semester I 2010 relatif lebih rendah dari Semester I 2009.
Gambar -2Perkembangan Realisasi Belanja K/L Semester I 2008-2010
Apabila tahun pengamatan dimulau di Semester I 2006, terutama untuk dua
jenis belanja, yaitu belanja barang dan modal, kinerja penyerapan di Semester I
4
-10,0
10,0
30,0
50,0
70,0
90,0
110,0
130,0
150,0
2008 2009 2010
107,7136,1
147,1
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli
2008
2009
2010
2010 relatif lebih baik. Namun hal tersebut hanya untuk belanja barang bukan
belanja modal. Dalam 5 tahun terakhir, belanja barang Semester I 2010 relatif lebih
tinggi hanya dengan Semester I 2007. Selanjutnya untuk lebih rinci, tabel di bawah
ini memperlihatkan perkembangan realisasi belanja barang dan modal untuk
Semester I Tahun 2006 – 2010 sebagai berikut.
Tabel -1Perkembangan Realisasi Belanja Barang dan Modal Semester-1 2006-2010
(dalam persen)
TahunRealisasi Jenis Belanja
Realisasi Belanja K/LBarang Modal
Semester -1 2006 24,1 19,3 26,3Semester -1 2007 21,9 14,8 28,6Semester -1 2008 23,6 19,8 28,5Semester -1 2009 28,2 26,5 33,3Semester -1 2010 25,3 15,8 28,5
Sumber : DJPB
Dari Tabel 1, nampak bahwa dalam kurun waktu 5 tahun sejak 2006, realisasi
belanja barang relatif menunjukkan pergerakan yang stabil. Belanja barang
mengalami naik – turun pada kisaran 3 – 4 persen. Kondisi yang berbeda terjadi
untuk belanja modal yang memiliki kecenderungan berfluktuasi dengan variasi yang
lebih tajam. Prosentase naik – turun dapat terjadi pada kisaran 5 – 7 persen. Saat
ini porsi terbesar belanja modal dikelola oleh 2 kementerian, yaitu Kementerian
Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan.
Gambar-3Perbandingan Belanja Kementerian/Lembaga Berdasarkan Jenis
Belanja Tahun Anggaran 2005 dan 2010
Belanja barang dan belanja modal mengalami peningkatan dari semula Rp29,3
triliun dan Rp31,5 triliun di tahun 2005 menjadi Rp111,6 triliun dan Rp101,9 triliun
di tahun 2010. Peningkatan yang cukup signifikan tersebut belum diikuti dengan
peningkatan kemampuan penyerapan yang lebih baik. Di sisi lain pemerintah
5
dituntut untuk lebih mengalokasikan dana bagi belanja-belanja yang diperkirakan
memberikan efek ganda (multiplier) lebih besar. Dengan demikian kecenderungan
pemerintah untuk terus menambah porsi belanja barang dan modal nampaknya
akan terus dipertahankan di masa-masa yang akan datang.
Pada sisi lain, secara akumulasi, dari ketujuh K/L yang diamati, capaian
realisasi belanja masih relatif rendah di tahun 2010 (Gambar-4). Bahkan dalam
kurun waktu triwulan pertama sampai dengan ketiga tahun 2010, secara
persentase terjadi penurunan realisasi belanja K/L apabila dibandingkan dengan
realisasi pada periode yang sama di tahun 2008 dan 2009. Fakta ini cukup
mengkhawatirkan mengingat fungsi belanja pemerintah sebagai stimulus roda
perekonomian.
Gambar-4Realisasi Belanja K/L Per Triwulan (2008 - 2010)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Q1 Q2 Q3 Q4
9.8
18.7
23.9
37.1
11.6
21.7 22.2
43.6
10.1
18.4
11.7
2008 2009 2010
0
20
40
60
80
100
120
140
Q1 Q2 Q3 Q4
28.6
54.1
69.4
107.6
36.4
68.3 69.8
137.3
37.0
67.5
42.6
2008 2009 2010
% thd Pagu
Rp Triliun
6 Agust
6 Agust
Realisasi Nominal
Realisasi Persentase
Berdasarkan kondisi saat ini yang ditandai dengan rendahnya penyerapan
pada Triwulan I dan Triwulan II akan berpotensi mendorong terjadi lonjakan
penyerapan pada Triwulan III dan Triwulan IV. Apabila laju penyerapan tersebut
kurang dari 60 persen maka besar kemungkinan penyerapan belanja K/L di 2010
dapat lebih rendah dari penyerapan 2009 yang sebesar 97 persen.
Gambar-5Tingkat Penyerapan 7 K/L Tahun 2009-2010 Semester I
6
Dengan memperhatikan Gambar-5 di atas, Kepolisian Negara merupakan
institusi yang penyerapan belanja barangnya relatif lebih baik dibanding institusi
lainnya. Realisasi penyerapan pada Kepolisian mencapai 20,4 persen. Sedangkan
realisasi belanja barang terendah terjadi pada Kementerian Perhubungan yang
hanya sebesar 4,7 persen. Sementara itu, dari sisi realisasi penyerapan belanja
modal, Kementerian Pekerjaan Umum relatif lebih baik dibandingkan kementerian
lainnya. Dari data yang tersedia, realisasi Kementerian Pekerjaan Umum mencapai
18,7 persen yang diikuti dengan Kementerian Perhubungan sebesar 17,7 persen.
Dengan demikian, baik ditinjau dari sisi belanja barang maupun belanja modal,
penyerapan anggaran K/L relatif rendah pada Semester I.
Selanjutnya, berdasarkan ranking K/L yang telah melakukan penyerapan
anggaran adalah sebagai berikut : untuk penyerapan belanja K/L 2010 di atas rata-
rata 40,2 persen , yaitu Polri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan dan
Kementerian Pendidikan Nasional. Sedangkan untuk kementerian/lembaga lainnya
secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar-6 dibawah berikut ini.
Gambar-6
7
Penyerapan Belanja 10 K/L Terbesar Pada Semester I 2008 - 2010
Berdasarkan data pada gambar 6, dipetakan realisasi anggaran menurut
bidang untuk Tahun Anggaran 2010 yang dibandingkan dengan Tahun Anggaran
2009 sebagai berikut :
a) Pembangunan infrastruktur masih relatif rendah (Kementerian PU & Kementan);
b) Bidang pendidikan lebih rendah (Kemendiknas & Kemenag);
c) Bidang Hankam lebih rendah (Polri & Kemenhan);
d) Bidang Kesehatan lebih rendah (Kemenkes).
Sedangkan dari sisi wilayah diperoleh informasi bahwa kontribusi terbesar
penyerapan belanja K/L di dominasi oleh wilayah Indonesia Barat yang mencapai
80,4 persen. Sedangkan yang mengalami perlambatan penyerapan terbanyak
berada di wilayah Indonesia Timur. Sebagaimana gambar 7. Untuk wilayah
Indonesia Tengah relatif lebih baik namun masih perlu diupayakan percepatannya.
Adapun penyerapan berdasarkan wilayah secara lebih visual adalah sebagai berikut
:
Gambar-7Kontribusi Penyerapan Berdasarkan Wilayah
8
0 10 20 30 40 50 60 70
Kemenhan
Kemendiknas
Polri
Kemenag
Kemen. PU
Kemenkeu
Kemenkes
Kemenhub
Kementan
Kemendagri
% Realisasi 10 K/L Terbesar2010 2009 2008
Semester I 2010 Sedangkan untuk realisasi dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan relatif
masih relatif kecil, namun secara prosentase penyerapan dana Dekonsentrasi lebih
tinggi, baik dibandingkan Kantor Pusat (KP) maupun Kantor Vertikal di Daerah
(KD). Hal ini dijelaskan dalam Gambar-8 berikut :
Gambar-8
Komposisi Realisasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Semester I 2010
Triliun Rp
Penyerapan (%)
UB : Urusan Bersama, TP: Tugas Pembantuan,KP: Kantor Pusat, KD : Kantor Daerah, DK: Dekonsentrasi
Keterangan:
16.2
54.1
71.3
2.3 3.3
147.1
-
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
160.0
2010
UB TP KP KD DK
0 10 20 30 40 50 60
DK
KD
KP
TP
UB
52.6
46.7
35.4
26.1
35.5 2010
Penyerapan (Nominal)
Secara nominal realisasi belanja K/L dari anggaran yang merupakan
kewenangan Kantor Pusat (KP) & Kantor Vertikal di Daerah (KD) yang berasal dari
belanja Dekonsentrasi mencapai Rp71,3 triliun dari total Rp147,1 triliun. Dengan
demikian realisasi dana dekonsentrasi telah mencapai 52,6 persen. Realisasi
terendah bersumber dari dana Tugas Pembantuan 26,1 persen atau sebesar
Rp2,3 triliun. Dengan realisasi yang telah dicapai maka potensi penyerapan
anggaran di akhir tahun diperkirakan akan relatif lebih baik dibandingkan belanja
K/L.
III. Hasil dan Analisis Pembahasan
Permasalahan Penyerapan Anggaran Belanja K/L 2010
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil diskusi (focus group discussion)
dan survei lapangan maka diperoleh informasi mengenai permasalahan-
permasalahan yang mengakibatkan rendahnya penyerapan. Adapun permasalahan-
permasalahan tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu permasalahan yang
bersumber dari : (1) internal K/L, (2) proses pelaksanaan pengadaan barang dan
9
jasa, (3) dokumen pelaksanaan anggaran dan proses revisi, dan (4) permasalahan
lainnya, seperti adanya peningkatan alokasi belanja K/L pada saat terjadi
perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam APBN – P.
Sedangkan dari hasil survei lapang ke dua Propinsi, yaitu Propinsi Sulawesi
Selatan dan DI Jogyakarta, ditemukan permasalahan seperti; keterlambatan dalam
penetapan KPA dan Pejabat Pengelola Kegiatan. Keterlambatan tersebut terjadi
hampir di setiap satuan kerja (Satker), baik pusat maupun daerah. Sebagai contoh,
untuk Surat Keputusan Pejabat KPA dan Pejabat Pengelola Kegiatan di
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pekerjaan Umum, diterbitkan pada bulan
Pebruari 2010. Bahkan di Kepolisian, penetapan surat keputusan tersebut
diterbitkan pada bulan Maret 2010. Akibat surat tersebut tidak segera diterbitkan
berdampak terhadap proses kegiatan yang selanjutnya akan mempengaruhi
penyerapan anggaran pada instansi yang bersangkutan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi di lapangan juga menemukan fakta bahwa
akibat lemahnya koordinasi antara perencanaan dan pelaksanaan anggaran akan
menciptakan potensi angka penyerapan menjadi lebih rendah. Terutama untuk
kegiatan-kegiatan, seperti pembangunan gedung baru, di mana pada tahap
perencanaan ternyata tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan lahan.
Sedangkan untuk kegiatan seperti pelatihan dan pendidikan ternyata tidak
dialokasikan anggaran untuk perjalanan dinas bagi peserta pelatihan. Anggaran
yang tersedia hanya untuk pengeluaran konsumsi, honor pengajar dan lump-sum
peserta.
Untuk instansi Kementerian Pertahanan dan Kepolisian rendahnya penyerapan
juga disebabkan kurang terpadunya mekanisme kerja pada unit-unit tertentu.
Beberapa Satuan Kerja di bawah kedua instansi tersebut tengah melaksanakan
proses mutasi dan serah terima jabatan. Proses tersebut tidak disertai dengan
serah terima berkas/dokumen sehingga kerapkali menyebabkan keterlambatan
dalam penyerapan belanja yang terkait dengan kegiatan tersebut.
Adapun beberapa masalah internal yang sebagian besar terjadi pada 7 K/L
yang menjadi sampel, sebagai berikut : (i) kurang memahami mekanisme pencairan
BOS; (ii) faktor kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran; (iii) satuan harga yang
ditetapkan sering tidak sesuai kebutuhan riil, K/L terlambat mengusulkan Standar
Biaya Khusus (SBK); (iv) kegiatan prioritas menggunakan sumber dana pinjaman
hibah luar negeri (PHLN); (v) kegiatan Pilkada di beberapa Daerah yang didanai
dari APBD menyebabkan anggaran Pilkada untuk APBN Polri ditunda
10
penggunaannya; (vi) K/L belum menyiapkan peraturan perundangan (PP) untuk
pengadaan pakaian dinas, converter kit, alat penguji kendaraan bermotor.
Disamping itu faktor penyebab juga ditemukan pada tahapan pengadaan
barang dan jasa. Dari hasil diskusi dan survei diketahui bahwa masih adanya
perencanaan kegiatan/proyek yang kurang baik yang ditandai dengan tidak ada
kerangka acuan kerja (TOR) dan rincian anggaran biaya (RAB) yang mengakibatkan
terjadinya ketidaksesuaian antara kebutuhan dan alokasi anggaran pada kegiatan
tersebut. Permasalahan lainnya yang timbul pada tahap pengadaan sebagai
berikut : (i) spesifikasi teknis barang/jasa tidak ada/tidak jelas; (ii) perencanaan
pemilihan sumber dana yang tidak tepat (antara PHLN dengan Rupiah murni); (iii)
biaya di lapangan tidak sesuai dengan Standar Biaya Umum dan Standar Biaya
Khusus (mengakibatkan terbatasnya peserta lelang, pelelangan ulang, menjadi
temuan auditor); (iv) banyaknya sanggahan dalam proses lelang; (v) banyaknya
pengaduan LSM ke Polri dan Kejaksaan; (vi) kurangnya sosialisasi mekanisme
pengadaan barang dan jasa; (vii) kurangnya panitia pengadaan yang bersertifikat;
(viii) ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan terkait perencanaan,
pelaksanaan dan pencairan anggaran antara APBN dan APBD; (ix) masalah
pengadaan/pembebasan lahan/tanah; (xi) tidak seimbangnya risiko pekerjaan
dengan imbalan yang diterima oleh pejabat pelaksana pengadaan; (xii) dan kehati-
hatian pejabat pengadaan barang dan jasa mengambil tindakan.
Pada aspek dokumen pelaksanaan anggaran dan mekanisme revisi, hasil kajian
menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul bersifat legal administratif.
Seperti, rencana kegiatan yang belum dilengkapi dengan TOR, RAB, data
pendukung, usulan kegiatan yang dibatasi (antara lain pengadaan kendaraan dan
pembangunan gedung), penggunaan PHLN yang belum efektif (loan agreement
belum ditandatangani atau belum ada nomor register), pemanfaatan PNBP yang
tidak sesuai dengan dasar hukum penggunaan PNBP, kegiatan yang memerlukan
ijin kontrak tahun jamak dari Menteri Keuangan belum dilengkapi dokumen
pendukung.
Sementara itu, ada faktor-faktor lain yang ditemukan sebagai penyebab
pemblokiran anggaran K/L yang berpotensi memperlambat proses penyerapan.
Adapun faktor tersebut antara lain adalah: (i) pembangunan gedung/jalan/jembatan,
dan pembangunan lainnya yang belum dilengkapi detail design; (ii) kegiatan yang
memerlukan dasar hukum pelaksanaannya; (iii) kegiatan yang duplikasi dengan
kegiatan instansi lain; (iv) pembayaran eskalasi yang belum ada audit dari BPKP; (v)
11
bantuan tanggap darurat yang belum ada peruntukannya; (vi) Penyediaan alokasi
anggaran untuk selisih kurs pada atase perdagangan di luar negeri.
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa ada kemungkinan keterkaitan
antara dokumen anggaran dan revisi anggaran dan penyerapan. Faktor yang
menciptakan keterlambatan tersebut diantaranya: (i) tambahan anggaran belanja
K/L dalam APBN-P 2010 ditetapkan untuk program/kegiatan baru, sementara itu
dokumen pendukung (TOR dan RAB) belum disiapkan secara lengkap; (ii)
banyaknya revisi dokumen anggaran (DIPA dan SRAA) yang mencapai 2.047 per
Juni 2010, yang disebabkan antara lain : (a) perencanaan anggaran yang kurang
baik di K/L; (b) tambahan pagu karena ABT, kelebihan realisasi PNBP,
tambahan/luncuran PHLN/PHDN, penerimaan hibah; (c) pergeseran antar bagian
anggaran, antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar prop/kab/kota, dengan
alasan diperlukan K/L karena lebih prioritas; (d) Pembukaan blokir, perubahan
nomenklatur satker, dan perubahan parameter dalam penghitungan subsidi; (e)
kesalahan bagan akun standar (BAS); (f) persyaratan revisi DIPA Dekonsentrasi dan
Tugas Perbantuan memerlukan persetujuan dari Pejabat Eselon I yang
bersangkutan; (g) kelengkapan dokumen anggaran dalam revisi anggaran.
Di samping persoalan-persoalan sebagaimana dikemukakan di atas,
sekurang-kurangnya terdapat 5 masalah lain yang ditemukan yaitu : (1) tambahan
pagu K/L dalam APBN-P 2010 sebesar Rp26 triliun, yang mengakibatkan persentase
penyerapan belanja K/L Semester-I 2010 terhadap APBN-P hanya sebesar 28,5
persen bila dibandingkan dengan penyerapan terhadap pagu APBN sebesar 30,0
persen, (2) keterlambatan pejabat daerah dalam menetapkan pengelola anggaran
pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD), (3) faktor geografis dan iklim yang
juga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan, (4) penundaan penagihan barang dan
jasa dari pihak ketiga.
IV. Usulan Penyelesaian Masalah
Terhadap permasalahan penyerapan anggaran belanja K/L yang terjadi dalam
Semester I 2010, serta dari hasil diskusi dan kajian, maka diusulkan beberapa
langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk dapat mempercepat penyerapan
belanja K/L ke depan.
Dalam jangka pendek terdapat beberapa langkah yang perlu diambil sebagai
berikut :
a. Menghimbau K/L untuk segera menyelesaikan masalah internal dalam
pelaksanaan anggaran.
12
b. Kementerian Keuangan melakukan komunikasi aktif dengan K/L untuk membantu
proses penyelesaian pelaksanaan anggaran, terutama dalam hal :
- Melengkapi dokumen anggaran untuk menghapus tanda bintang.
- Melengkapi dokumen untuk revisi anggaran.
- Monitoring seluruh proses pelaksanaan kegiatan terkait dengan penyerapan
belanja K/L .
- Memberikan ijin bagi kontrak kegiatan tahun jamak yang menjadi prioritas
sejalan dengan prinsip kehati-hatian.
- Melakukan revisi PMK Nomor 69/PMK.02/2010 untuk lebih mempermudah
proses revisi anggaran K/L.
Sedangkan untuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (LKPP), didorong untuk meningkatkan sosialisasi kepada seluruh K/L
dan Pemda mengenai mekanisme pengadaan barang dan jasa yang selama ini
menjadi kendala bagi para pengelola anggaran. Sedangkan yang terkait dengan SK
KPA, PPK, pejabat penerbit SPM, dan Bendahara Pengeluaran, diusulkan untuk
diberlakukan lebih dari 1 tahun, sehingga pada tahun anggaran berjalan sudah
dapat melakukan proses perencanaan dan pelelangan.
Dalam jangka menengah perlu dilakukan perbaikan-perbaikan yang
komprehensif, diantaranya :
1. Penetapan KPA, PPK, pejabat penerbit SPM dan Bendahara Pengeluaran
bersamaan dengan penerbitan DIPA (awal Januari).
2. Meningkatkan kapasitas SDM terkait pengelolaan anggaran serta pengadaan
barang dan jasa.
3. Penyusunan perencanaan anggaran yang lebih baik.
4. Meminimalkan pemblokiran anggaran.
5. Mempercepat proses revisi anggaran.
6. Penyempurnaan Keppres No.80/2003 dan revisinya, guna mempermudah dan
mempercepat proses pengadaan barang dan jasa, termasuk menghilangkan
persyaratan sertifikasi bagi pejabat pengadaan barang dan jasa (LKPP).
7. Penyusunan regulasi mengenai mekanisme revisi dokumen anggaran agar lebih
diarahkan dalam perspektif jangka panjang, tidak bersifat Ad Hoq untuk satu
tahun anggaran
8. Mempercepat penyusunan RKA-KL secara on-line
9. Pada tahun berjalan, perlu dialokasikan anggaran untuk proses pengadaan
barang dan jasa tahun anggaran berikutnya
13
10. Mengarahkan K/L untuk tidak menggunakan dana PHLN untuk kegiatan-
kegiatan prioritas
11. Harmonisasi regulasi penyusunan dokumen perencanaan dan pelaksanaan
anggaran, serta pengadaan barang dan jasa, agar dapat sejalan dan konsisten.
12. Penyusunan regulasi perencanaan dan pelaksanaan anggaran harus dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan
selama ini.
13. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terpadu dalam K/L
yang sama.
14. Upaya peningkatan daya serap anggaran harus tetap menjaga aspek kualitas
dan akuntabilitas dari belanja, termasuk pencapaian LKPP yang wajar tanpa
pengecualian (WTP).
V.Kesimpulan dan Rekomendasi :
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data realisasi
APBN sampai dengan Semester I tahun 2010, persentase penyerapan belanja K/L
sebesar 28,5 persen (Rp104,5 triliun), relatif lebih rendah dibandingkan
penyerapan periode yang sama tahun 2009 sebesar 33,3 persen (Rp104,7 triliun).
Oleh karena itu, perlu mempercepat proses penetapan pengelolaan anggaran, baik
itu KPA, PPK, Bendahara Pengeluaran, dan Pejabat Penandatangan SPM.
Terkait dengan permasalahan internal, sebaiknya dilakukan langkah-langkah
strategis dan cepat sesuai dengan kebutuhan, guna mempercepat proses
pelaksanaan kegiatan, termasuk proses administrasinya.
Di sisi lain, untuk mekanisme pengadaan barang dan jasa, diharapkan dapat
menunda persyaratan sertifikasi bagi panitia pengadaan dan dilakukan sosialisasi
oleh LKPP, baik di pusat maupun di daerah.
Untuk jangka menengah, perlu meningkatkan kapasitas SDM terkait
pengelolaan anggaran, memperkuat perencanaan agar dapat meminimalisir revisi
dalam pelaksanaan. Penyederhanaan mekanisme pengadaan dengan
penyempurnaan Keppres No.80/2003 termasuk meningkatkan kapasitas SDM
terkait pengadaan barang dan jasa melalui pendidikan dan pelatihan, dan
diselenggarakannya sosialisasi kepada seluruh pengguna anggaran (K/L);
Sedangkan dari aspek regulasi, perlu adanya penyempurnaan regulasi agar
lebih diarahkan dalam prespektif jangka menengah dan tidak bersifat ad hoq
(hanya mengikat dalam satu tahun anggaran), sepanjang tidak ada perubahan
mendasar. Dengan demikian, maka perlu dilakukan pemberian kewenangan kepada
14
K/L secara lebih luas (pergeseran antar sub-kegiatan dalam kegiatan yang sama)
sehingga mengurangi frekuensi revisi anggaran.
Penyederhanaan format DIPA agar lebih fleksibel dan dapat meminimalisir
revisi yang berupa pergeseran dalam jenis belanja yang sama. Pada tahun berjalan,
perlu dialokasikan anggaran untuk proses pengadaan barang dan jasa tahun
berikutnya. Di samping itu, waktu penelaahan RKA KL di Direktorat Jenderal
Anggaran perlu diperpanjang agar memberi ruang yang cukup bagi K/L untuk
memenuhi data pendukung, sehingga dapat meminimalisir tanda bintang.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Setia, Drs. MA. 2010. Identifikasi Penyebab dan Solusi Untuk Mengatasi Keterlambatan Penyerapan APBN, Focus Group Discussion, Jakarta 20 Juli 2010
Hutahaean, Parluhutan Drs. 2010. Penganggaran, Pemblokiran dan Realisasi Belanja K/L TA 2005 s.d 2010, Focus Group Discussion, Jakarta, 20 Juli 2010.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Nicodemus. 2010. Pelaksanaan Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010, Focus Group Discussion, Jakarta, 2 Juli 2010.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.02/2010 Tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2010.
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER – 66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Priyantono, Rudy B. 2010. Laporan Realisasi Anggaran Polri sd Bulan Juni 2010, Jakarta, 6 Juli 2010.
Rakhmat MA, Drs. 2010. Mekanisme Penyaluran APBN 2010. Focus Group Discussion, Jakarta 20 Juli 2010.
Samidjan. 2010. Laporan Realisasi Anggaran Kesehatan, Jakarta, 5 Juli 2010.
Sarwono, Martha Hardi. 2010. Pelaksanaan Anggaran Kementerian Perhubungan Tahun 2010, Focus Group Discussion, Jakarta, 2 Juli 2010.
Subagyo. 2010. Penyerapan Anggaran Semester I Thn. 2010pada Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, 5 Juli 2010.
Sugiyanto. 2010. Perkembangan Daya Serap anggaran di lingkungan Kemhan, Focus Group Discussion, Jakarta, 6 Juli 2010.
15
Tunggal, Tribuwono, Drs. 2010. Mekanisme Revisi DIPA: Berdasarkan PMK 69/PMK.02/2010 – Nomor S 5114/PB/2009, Focus Group Discussion, Jakarta 20 Juli 2010.
16
top related