elly 3 edit ( siap prin )
Post on 02-Aug-2015
54 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu alat untuk mewujudkan masyarakat yang
berkualitas. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia selalu terus menerus berusaha
meningkatkan kualitas pendidikan, walaupun hasilnya belum memenuhi harapan.
Hal itu lebih terfokus lagi setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang
pendidikan. Adanya berbagai pembaharuan dalam pengembangan kurikulum
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. , Hal tersebut
bisa kita jumpai dalam pembentukan Undang-undang yang mengatur tentang
pendidikan, yang tertuang dalam UU No.20 SISDIKNAS 2003, dimana 22 BAB, dengan
77 pasal yang kesemuanya mengatur tentang pendidikan, meskipun pada
kenyataannya usaha bangsa kita selama ini belum terealisasi dengan baik, atau
secara maksimal.
Sumiyati. (2007:73) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan
paradigma baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Ide KTSP ini diharapkan akan
membawa perbaikan di dunia pendidikan. Namun demikian harapan KTSP tidak akan
membuahkan hasil yang optimal tanpa dukungan dan kerjasama antar semua unsur
1
1
2
pemangku pendidikan. Salah satu cerminan kualitas pendidikan di sekolah adalah
hasil belajar siswa yang dicapai oleh siswa di sekolah tersebut. Dengan demikian
hasil belajar siswa pada suatu mata pelajaran tertentu merupakan salah satu
indikator kualitas pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Peningkatan kualitas
ilmu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan pada
semua kelompok mata pelajaran yang tertuang dalam Standar Isi. Salah satunya
adalah mata pelajaran sosiologi
Sosiologi merupakan studi yang membutuhkan kreativitas berpikir. Artinya
dalam mempelajari sosiologi diperlukan kemampuan melaksanakan kegiatan dan
proses atau tugas sosiologi, sehingga sosiologi mudah dicerna oleh siswa dengan
baik dan lebih berati serta bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Perilaku menyimpang dalam hal ini perkelahian pelajar terjadi disebabkan
beberapa faktor yaitu: Lemahnya pertahanan diri siswa, kurangnya kemampuan
dalam menyesuaikan diri, kurangnya dasar-dasar keimanan di dalam diri pelajar,
faktor keluarga , faktor lingkungan yang tidak kondusif , faktor lingkungan sekolah,
faktor guru.
Perkalahian pelajar yang sering terjadi merupakan suatu tindakan yang jauh
dari norma- norma yang diajarkan di sekolah dan berakibat buruk pada keluarga,
sekolah dan masyarakat.
3
Perilaku menyimpang yaitu perkelahian pelajar yang dijelaskan di atas,
merupakan salah satu pokok bahasan yang diajarkan di kelas X SMA Negeri I Bajeng.
Ada beberapa kendala yang dihadapai dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar
pada pokok bahasan ini. Berberapa diantaranya adalah siswa kurang memahami
konsep-konsep pemecahan masalah dengan pokok bahasan perkelahian pelajar
dan suasana pembelajaran yang cenderung kaku karena komunikasi lebih banyak
didominasi oleh guru. Adanya kendala tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi
hasil belajar siswa pada mata pelajaran sosiologi
Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan untuk memperbaiki proses
pembelajaran dan diharapkan terjadinya peningkatan hasil belajar. Salah satu model
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2006 yang dikembangkan sekarang
adalah Pembelajaran Berbasis Masalah. Pengajaran ini menggunakan masalah dunia
nyata sebagai suatu konteks belajar bagi siswa tentang cara berpikir kritis dan
ketrampilan pemecahan masalah.
Untuk maksud tersebut, maka di kelas X SMA Negeri I Bajeng kabupaten Gowa
akan diaplikasikan pembelajaran berbasis masalah pada pokok bahasan perilaku
menyimpang dalam hal ini perkalahian pelajar. Dengan pembelajaran berbasis
masalah diharapkan siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir dalam
memecahkan masalah dan menjadi pembelajar yang mandiri sehingga hasil belajar
4
siswa meningkat. Disamping itu juga dapat membantu siswa belajar keterampilan
pemecahan masalah dengan melibatkan mereka pada situasi nyata. Dipertegas oleh
Ibrahim (2002:5) pembelajaran berbasis masalah bertujuan membantu siswa
mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya pada
perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural.
Bedasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian
tindakan kelas dengan judul : Peningkatan Hasil Belajar Sosiologi Melalui
Pendekatan Berbasis Masalah dalam Pokok Bahasan Perilaku Menyimpang pada
Siswa Kelas X SMA I Bajeng
B. Rumusan Masalah
Untuk menfokuskan pembahasan masalah dalam penelitian ini, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana menerapkan pendekatan berbasis masalah dalam pembelajaran
sosiologi dengan pokok bahasan perilaku menyimpang agar dapat meningkatkan
hasil belajar pada siswa kelas X SMA Negeri I Bajeng ?
5
C. Tujuan Penelitian
Untuk meningkatkan hasil belajar sosiologi pada siswa kelas X SMA I Negeri
Bajeng.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a)Bagi perguruan tinggi UNISMUH sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa
tentang peningkatan hasil belajar sosiologi melalui pendekatan berbasis
masalah dalam pokok bahasan perilaku menyimpang pada siswa kelas X
SMA Negeri I Bajeng.
b)Bagi lembaga pendidikan sekolah, sebagai bahan informasi yang dapat
dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran khususnya
pelajaran sosiologi.
2. Manfaat praktis
a) Bagi siswa
Penelitian ini daharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa,
memberikan wawasan dan menumbuhkan kesadaran tentang
pentingnya aktivitas pembelajaran.
b) Bagi guru
6
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan strategi pembelajaran
baru bagi guru, menjadi alternative dalam meningkatkan hasil
pembelajaran sosiologi .
c) Bagi peneliti
Penelitian ini merupakan pengalaman baru dan berharga yang dapat
menjadi bekal utama ketika menjadi pendidik, dan menjadi bahan
referensi di masa yang akan datang.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Peningkatan Hasil Belajar
W.J.S Poerwadarminta, (1984:1077) Meningkatkan berasal dari kata tingkat
yang berarti lapis dari sesuatu yang bersusun Meningkatkan adalah usaha
menaikkan derajat,taraf,mempertinggi,memperhebat (produksi),mengangkat diri,
memegahkan diri . Maksud meningkatkan dalam penelitian ini adalah usaha
memperbaiki hasil belajar sosiologi siswa kelas X SMA Negeri I Bajeng.
Ditunjukkan adanya peningkatan nilai dari evaluasi yang diberikan pada akhir
pembelajaran. Peningkatan nilai tersebut sebagai indikator ketuntasan belajar siswa.
W.J.S Poerwadarminta (2001:197) hasil diartikan sebagai akibat, kesudahan
(dari pertandingan, ujian, dan sebagainya). Sedang pengertian belajar menurut
Winkel ( 2004: 56 ) adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap. Dari definisi tersebut,
maka yang dimaksud dengan hasil belajar adalah akibat yang diperoleh setelah
melakukan aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungannya, sehingga ada perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,
7
8
keterampilan, dan nilai-sikap. Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah nilai yang diperoleh siswa setelah mengikuti evaluasi sampai dimana tingkat
pemahaman siswa tentang perkehian pelajar dan pemecahan masalahnya.
Oemar Hamalik. (2001:45) Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang
diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek
perubahan perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar.
Oleh karena itu jika pembelajar mempelajari pengetahuan tentang konsep, maka
perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep. Dalam
pembelajaran, perubahan perilaku yang harus dicapai oleh pembelajar setelah
melaksanakan aktivitas belajar dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran merupakan deskripsi tentang perubahan perilaku yang
diinginkan atau deskripsi produk yang menunjukkan bahwa belajar telah terjadi.
Chatarina. (2004: 5). Perumusan tujuan pembelajaran itu adalah hasil belajar yang
diinginkan pada diri siswa, agak lebih rumit untuk diamati dibandingkan dengan
tujuan lainnya, karena tujuan pembelajaran tidak dapat diukur secara langsung.
Tujuan pembelajaran merupakan bentuk harapan yang dikomunikasikan
melalui pernyataan dengan cara menggambarkan perubahan yang diinginkan pada
diri siswa, yakni pernyataan tentang apa yang diinginkan pada diri siswa setelah
menyelesaikan pengalaman belajar.
9
Mulyasa (2003:32) Pentingnya perumusan tujuan pembelajaran di dalam
kegiatan pembelajaran adalah karena adanya beberapa alasan sebagai berikut :
1. Memberikan arah kegiatan pembelajaran. Bagi guru, tujuan pembelajaran
akan mengarahkan pemilihan strategi dan jenis kegiatan yang tepat.
Sedangkan bagi siswa, tujuan itu mengarahkan pembelajar untuk melakukan
kegiatan belajar yang diharapkan dan mampu menggunakan waktu seefisien
mungkin. Untuk mengetahui kemajuan belajar dan perlu tidaknya pemberian
pembelajaran pembinaan bagi pembelajar (remidial teaching). Dengan
tujuan pembelajaran itu guru akan mengetahui seberapa jauh pembelajar
telah menguasai tujuan pembelajaran tertentu dan tujuan pembelajaran
mana yang belum dikuasai.
2. Sebagai bahan komunikasi. Dengan tujuan pembelajaran guru dapat
mengkomunikasikan tujuan pembelajarannya kepada pembelajar sehingga
pembelajar dapat mempersiapkan diri dalam mengikuti proses
pembelajaran.
2. Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah meliputi pengajuan pertanyaan atau masalah,
memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan
menghasilkan karya serta peragaan.
10
Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru
memberikan informasi sebanyak- banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berbasis
masalah antara lain bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan
berpikir dan ketrampilan pemecahan masalah
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya
pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan
prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak hanya cukup hanya dengan tes. Penilaian
dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajarn berbasis masalah adalah
menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil penyelidikan mereka.
Penialaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut,
Penilaian proses bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan
pemecahan masalah, melihat bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan
ketrampilannya. Airasian dalam Diah eko Nuryenti (2002:22) menyatakan bahwa
penilaian performens (penilaian kinerja) memungkinkan siswa menunjukkan apa
yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang sebenarnya. Sebagian besar
problema dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
zaman dan konteks atau lingkungannya, maka di samping pengembangan kurikulum
juga perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai tujuan kurikulum yang
memungkinkan siswa dapat secara aktif mengembangkan keterampilan berpikir
dalam memecahkan masalah serta kemampuannya untuk bagaimana belajar.
11
Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan siswa akan mudah
beradaptasi.
Menurut Winkel (2004:22) strategi pembelajaran yang berorientasi pada
learning-to-learn dibandingkan dengan strategi yang sering dipraktekkan dalam
pendidikan tradisional ( konvensional)
Dasar pemikiran pengembangan strategi pembelajaran berbasis masalah
tersebut sesuai dengan pandangan kontruktivis yang menekankan kebutuhan siswa
untuk menyelidiki lingkungannya dan membangun pengetahuan secara pribadi
pengetahuan bermakna ( Ibrahim, 2000:19).
Dengan demikian ketika siswa masuk kelas mereka tidak dalam keadaan
kosong, melainkan mereka sudah memiliki pengetahuan awal. Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka pembelajaran berbasis masalah perlu diawali dengan
mengangkat permasalahan yang sesuai dengan lingkungannya (permasalahan
kontekstual). Jadi konsep dibentuk atau ditanamkan melalui pembahasan masalah
nyata.
Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran dengan
pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat
menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan ketrampilan yang lebih
tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri
( Abbas, 2000:12)
12
Hamzah Uno (2007:34) Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan
nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan
ketrampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, serta mendapatkan
pengetahuan konsep-konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri
untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran
berbasis masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam
situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar.
Dalam model pembelajaran berbasis masalah, guru berperan sebagai penyaji
masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah dan
pemberi fasilitas penelitian. Selain itu guru menyiapkan dukungan dan dorongan
yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual siswa. Pembelajaran
berbasis masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas
yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. Pembelajaran berbasis masalah
juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan akivitas siswa, baik
secara individual maupun secara kelompok. Pada model pembelajaran berbasis
masalah guru berperan pemberi rangsangan, pembimbing kegiatan siswa dan
penentu arah belajar siswa.
1. Karakteristik pembelajaran berbasis masalah
Wina Sanjaya (2003:214-215).Terdapat tiga ciri utama pembelajaran
berbasis masalah adalah sebagai berikut :
13
a) Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran, artinya dalam implementasi Pembelajaran Berbasis
Masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa.
Pembelajaran Berbasis Masalah tidak mengharapkan siswa hanya
sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi
pelajaran, akan ntetapi siswa aktif berpikir, berkomunikasi mencari dan
mengolah data.
b) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, artinya
tanpa masalah maka tidak ada proses pembalajaran.
c) Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
berpikir secara ilmiah
Tiga ciri di atas, menunjukkah bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah
proses berpikir siswa secara sistematis dan ilmiah dalam melakukan aktivitas
pembalajaran. Siswa diarahkan untuk dapat menyelesaikan berbagai macam
masalah di dunia nyata mereka.
Ditambahkan oleh Abbas, (2000:13), Pembelajaran berbasis masalah telah
menunjukkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut :
1) Pengajuan masalah atau pertanyaan Pengajaran berbasis masalah bukan
hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik
tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan
14
pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara
sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka
dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik , menghindari jawaban
sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi
itu. Menurut Arends pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah
memenuhi criteria sebagai berikut :
a) Autentik. yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata
siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
b) Jelas. yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menimbulkan
masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian
siswa.
c) Mudah dipahami. Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa.
d) Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Yaitu masalah yang
disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah
tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai
dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang
15
telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan.
e) Bermanfaat. yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah
bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai
pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir memecahkan masalah siswa, serta
membangkitkan motivasi belajar siswa.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pengajaran berbasis
masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran (sosiologi) masalah yang
akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya
siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3) Penyelidikan autentik. Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah
nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan
menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat
inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang
digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
4) Menghasilkan karya dan memamerkannya. Pengajaran berbasis masalah
menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya
16
nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa
transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer
(Nurhadi, 2003 : 56)
Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu
sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil).
Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi
inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan berpikir.
2. Tahapan Pengajaran Berbasis Masalah
Wina Sanjaya (2003:217). Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima
tahapan utama . Tahapan pengajaran berbasis masalah antara lain sebagaia
berikut :
a) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah
yang akan dipecahkan.
b) Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang.
c) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa marumuskan berbagai
kemungkinan pemecahan sesuai pengetahuan yang dimilikinya.
17
d) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan
menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemacahan
masalah.
e) Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil dan
merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan
hipotesis yang diajukan.
f) Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa
menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan
hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Ditambahkan oleh David Johson dalam Wina Sanjaya ( 2003 :217)
Mengemukakan ada lima langkah strategi pembelajaran berbasis masalah adalah :
a) Mendefinisikan masalah yaitu merumuskan masalah dari peristiwa
tertentu.
b) Mendiagnosis masalah yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya
masalah.
c) Merumuskan alternative strategi pemecahan masalah.,
d) Menentukan dan menerapkan strategi pemecahan masalah.
e) Mengevaluasi proses kegiatan pemecahan masalah.
Wina Sanjaya (2003:221) Strategi pembelajaran mempunyai beberapa
keunggulan dan kelemahan yaitu :
18
a. Keunggulan
1. Merupakan teknik yang bagus dalam memberi pemahaman
kepada siswa.
2. Dapat menantang kemampuan siswa serta memberi kepuasan
dalam mmenemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3. Dapat meningkatkan aktivitas siswa.
4. Membantu siswa dalam mentrasnfer pengetahuan mereka dalam
kehidupan nyata.
5. Dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya.
6. Model pembalajaran seperti ini dianggap lebi8h menyenangkan
siswa, serta menambah minat siswa mengaplikasikan pengetahuan
Dalam kehidupan sehari-hari mereka.
b. Kelemahan
Disamping keunggulan, strtategi pembalajaran berbasis masalah memiliki
kelamahan yaitu :
1. Siswa enggang untuk mencoba , karena menganggap susah.
2. Membutuhkan waktu yang cukup lama merumuskan masalah yang
akan dikaji.
3. Mereka biasanya tidak ingin mempelajari materi yang akan
disajikan.
19
3. Teori belajar yang mendukung pembelajaran berbasis masalah
Ada berbagai definisi tentang belajar. Dari berbagai definisi yang
dikemukakan oleh Syaiful Bahri. (2002 : 44 ) ” apa bila seseorang pada kurun waktu
tertentu telah terjadi perubahan tingkah laku dan memiliki nilai tambah, dari yang
tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak terampil menjadi terampil, maka dia
telah belajar sesuatu”.
Belajar dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia. Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses
komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa, dalam
rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebaiasaan bagi siswa
yang bersangkutan. Dalam pembelajaran komunikasi yang diharapkan adalah
komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan siswa dan sebaliknya, serta antara
siswa denagn siswa. Ada banyak teori belajar yang dikemukakan para ahli, berikut
disajikan beberapa teori belajar yang mendukung pembelajaran berbasis masalah
dan pada umumnya dijadikan landasan metode pembelajaran dalam sistem
pendidikan.
a. Teori Belajar
Menurut Syah (2005:40) belajar bermakna timbul jika siswa mencoba
menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Hal itu terjadi, jika siswa belajar konsep yang ada. Akibatnya, struktur
20
konsep/pengetahuan yang telah dimiliki siswa mengalami perubahan.
Namun demikian, jika pengetahuan baru tidak berhubungan dengan
pengetahuan yang ada, maka pengetahuan baru itu akan dipelajari siswa
melalui belajar hafalan. Artinya, siswa hanya menerima selanjutnya
menghafalkan materi yang sudah diperolehnya. Hal ini disebabkan
pengetahuan yang baru tidak dikembangkan dengan keadaan lain atau
pengetahuan yang ada. Tetapi pada belajar bermakna materi yang telah
diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
b. Teori Belajar yang dikemukakan oleh Winkel
Menurut Winkel, perkembangan kognitif seseorang melalui beberapa
tahapan, yaitu sensorimotor Concreteoperations (usia 2-11 tahun), dan
formal–operations (setelah usia 11 tahun). Pada tahap sensorimotor
pengetahuan yang diperoleh masih sangat terbatas sejalan dengan
perkembangan fisik dari anak yang bersangkutan. Pada tahap Concrete-
operations anak sudah mulai belajar simbol yang merupakan representasi
dari obyek tertentu. Anak mulai belajar menghubungkan suatu obyek dengan
simbol tertentu. Sedangkan pada tahap formal–operations pengetahuan
yang diperoleh anak semakin kompleks. Karena anak telah banyak
perbendaharaan kata dan memahami arti serta dapat mengasosiasikan
21
dengan kata-kata lainnya. Dalam tahap ini anak sudah dapat merangkum
atau mengkombinasikan dua konsep atau lebih untuk membentuk suatu
aturan. Kombinasi dari dua aturan atau lebih itu sudah dapat mereka
gunakan untuk memecahkan suatu masalah. Contoh, untuk menghitung luas
sisi kubus berbeda caranya dengan menghitung luas sisi balok, meskipun
prinsip dasar aturannya sama.
Winkel (2000:17) mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia
secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun
pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi secara terus
menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman
baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan
awal mereka. Pemanfaatan teori Winkel dalam pembelajaran adalah sebagai
berikut.
a) Memusatkan pada proses berpikir dan bukan pada sekedar hasilnya.
Disamping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang
digunakan anak sehingga sampai pada jawaban itu.
b) Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan
aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas, pemberian
pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong
menemukan sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungannya.
22
c) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa
tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun
pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda.
3. Perilaku Menyimpang
a. Pengertian perilaku menyimpang
James Vander Zander dalam Indianto Mu’in (2004:147) memberikan
pengertian bahwa perilaku menyimpang adalah perilaku yang dianggap sebagai hal
tercela dan di luar batas toleransi oleh sejumlah besar orang .
Robert dalam Idianto Mu’in (2004:148) (mengatakan bahwa perilaku
menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku
dalam suatu system sosial.
Paul B. dalam Idianto Mu’in (2004:147) menambahkan bahawa perilaku
menyimpang adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap
norma kelompok masyarakat.
Dari pengertian di atas, pengertian perilaku menyimpang dapat dimengerti
bahwa setiap perilaku yang tidak sesuai dengan aturan norma yang berlaku dalam
masyarakat.. perilaku yang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku
dalam masyarakat.
b . Ciri- ciri perilaku menyimpang
23
Paul B dalah Mu’in (2004:148) memberikan enam cirri perilaku menyimpang
yaitu sebagai berikut :
a) Penyimpangan yang bisa diterima dan bisa ditolak
b) Penyimpangan relative dan penyimpangan mutlak
c) Penyimpangan terhadap budaya
d) Menghindar dari norma- norma
e) Penyimpangan yang menyesuaikan
f) Penyimpangan harud dapat didefinisikan
Dari ke enam ciri – ciri di atas , dapat disimpulkan bahwa perilaku
menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai dengan aturan dalam masyarakat.
c. Bentuk- bentuk perilaku menyimpang
Mu’in (2004:159-160) menyebutkan beberapa perilaku menyimpang sebagai
berikut :
a) Penyalaguhgunaan narkoba
b) Perkalahian pelajar
c) Perilaku seks di luar nikah
d. Konsep sosiologi tentang perilaku menyimpang
Dari sudut pandang sosiologi perilaku menyimpang dikaitak dengan penyakit
mentak, gangguan kepribadian seseorang. Sehingga Freud dalam Idianto Mui’n
(2004: 156) menjelaskan bahwa perilaku menyimpang terjadi apabila seseorang
24
tidak sadar, berbuat secara berlebihan. Pada sudut pandang yang lain perilaku
menyimpang terdapat dua teori yaitu : 1. Teori komplik. 2. Teori pengendalian.
1) Teori komplik terjadi apabila dalam susatu masyarakat terdapat sejumlah
kebudayaan cenderung tertutup sehingga mengurangi timbulnya
kesepakatan nilai. Terjadi komplik apabila sebuah kelompok membuat
peraturan sendiri.
2) Teori pengendalian
Teori pengendalian ini menjalaskan bahwa apabila kesadaran seseorang
tinggi maka semakin kecil kemungkinan baginya untuk melakukan
penyimpangan. Idianto Mui’in (2004:155)
4. Perkelahian Pelajar
a. Pengertian Perkelahian Pelajar
Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji perkelahian pelajar yang termaksud
pada poin yaitu Perkelahian . Pengertian perkelhian merupakan suatu tindakan dari
kedua belah pihak yang secara bersamaan melakukan penyerangan. Sedangkan
penyerangang merupakan suatu tindakan yang mana dilakukan oleh satu pihak saja.
Pengertian antara perkelahian dan penyerangan dapat diadakan Perbedaan
yaitu dalam perkelhian serangan dari para pihak dilakukan secara bersamaan,
sedangkan pihak yang lainnya tidak.perkelahian juga dapat dilakukan dengan
penyerangan diantara pihak yang memulai terjadinya perkelahian tersebut. Baik
25
dalam perkelahian maupun dalam penyerangan terlibat beberapa orang yang ikut
serta, demikian juga halnya dengan perkelahian antar pelajar yang melibatkan dari
kedua belah pihak. Dilihat dari jumlah orang atau pelajar yang ikut perkelahian
massal atau ramai-ramai, dimana para pelakunya remaja-remaja berseragam
sekolah menengah ke atas. Dalam hal ini perkelahian antar pelajar selain dilakukan
secara bersamaan dari kedua belah pihak juga dilakukan penyerangan oleh salah
satu pihak kepada pihak yang lainnya.
Yang dimaksud dengan perkelahian menurut pasal 358 KUHP merupakan
suatu penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang turut serta
dalam perkelahian tersebut, dengan demikian tidak disebutkan secara jelas apa
yang dmaksud dengan perkelahian
Perkelahian adalah merupakan suatu perbuatan yang mengganggu
keamanan dan ketertiban umum, dimana perkelahian menunujukkan tindakan dari
kedua belah pihak secara bersamaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa perkelahian
antar pelajar melibatkan beberapa orang pelajar yang turut serta baik dalam pelajar
maupun dalam penyerangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut pasal 358 KUHP
menyatakan : ” Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau
perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain dari tanggungannya
masing-masing atas perbuatan yang istimewa dilakukannya :
26
Dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, jika
penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat ada orang yang luka berat.
Dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun jika penyerangan atau
perkelahian itu berakibat ada orang yang mati. Sugandhi, ( 1980: 88 )
Ikut serta dalam penyerangan atau perkelahian berdasarkan pasal 358 KUHP
ini berarti perbuatan itu harus merupakan suatu tindakan secara nyata dalam
penyerangan atau perkelahian bukan karena terpaksa turut serta dalam
penyerangan atau perkelahian dengan maksud memisahkan kedua belah pihak yang
berkelahi.
Apabila sebelum ada akibat luka berat atau matinya orang timbul beberapa
peserta menghentikan perbuatannya maka peserta tersebut tetap harus
mempertanggungjawabkan atas perbuatan turut serta tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan tindakan pidana
penyerangan atau perkelahian oleh pasal 358 KUHP ini semata-mata ikut serta
dalam penyerangan atau perkelahian yang menimbulkan luka berat atau matinya
orang lain. Maka peran peserta tidak dapat dikenakan pasal 358 KUHP ini. Akan
tetapi sebaliknya apabila dalam penyerangan atau perkelahian itu dapat dibuktikan
atau diketahui siapa diantara peserta itu menyebabkan luka berat atau matinya
orang lain dalam perkelahian, maka mereka itu selain dituntut menurut pasal 358
KUHP dikenakan pula ketentuan-ketentuan penganiayaan dan pembunuhan yang ia
27
lakukan dan peserta yang lainnya yang turut serta hanya dipersalahkan terhadap
penyerangan atau perkelahian yang mengakibatkan luka berat atau matinya orang
lain.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dikatakan perkelahian pelajar
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang pelajar yang dilakukan
secara beramai-ramai (massal ), baik perbuatan tersebut dilakukan secara memukul,
menendang, menusuk dengan pisau tumpul dan benda tajam yang mana semua itu
dapat mengakibatkan rasa derita pada orang lain yang menjadi korban.
b. Akibat yang ditimbulkan dari perkelahian pelajar
Perkelahian adalah merupakan suatu penyakit dalam masyarakat dan
mengenai perkelahian antar pelajar tingkat SMA yang mana akibatnya tidak hanya
mengganggu bagi keamanan dan ketertiban umum melainkan juga membahayakan
bagi pelajar itu sendiri. Apabila tidak segera mendapatkan perhatian dan
penanggulangannya maka dampaknya akan lebih buruk lagi. Ada akibat-akibat yang
ditimbulkan dari Perkelahian antar pelajar itu antara lain :
1) Akibat Bagi Pelajar
Tongat,(2003:33) Perkelahian dikalangan pelajar merupakan suatu tingkah
laku yang tidak pantas bagi seorang pelajar dan tingkah laku itu merupakan
penyimpangan dari tingkah laku seorang pelajar.
28
Perkelahian yang dilakukan secara massal dari kedua belah pihak yang
berlainan sekolah atau kelas dan dalam perkelahian itu tidak hanya menggunakan
tangan kosong tetapi juga menggunakan senjata tajam dan benda keras.
Melihat dari benda atau alat yang digunakan dalam perkelahian itu maka
sudah dapat diduga akibat yang ditimbulkan dari perkelahian itu antara lain luka
yang dialami salah satu pelajar yang ikut serta dalam perkelahian pelajar tersebut.
Sugandhi (1980:5) Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dari
perkelahian antar pelajar menurut pasal 351 KUHP :
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana ”
2) Akibat bagi keluarga
Dengan turut serta anak-anak terlibat langsung dalam perkelahian pelajar
yang kemudian ternyata mendapatkan tindakan dari pihak kepolisian, pimpinan
29
sekolah atau dari masyarakat sekitarnya, maka akibatnya akan menimbulkan
problema bagi keluarga atau orang tuanay berupa : teguran dari pihak pimpinan
sekolah dan warga masyarakat sekitarnya serta peringatan dari pihak kepolisian.
3) Akibat bagi sekolah
Jika perkelahian pelajar itu ternyata akan membawa nama sekolah bahkan
terjadi di lingkungan sekolah maka akan membawa dampak negatif bagi sekolah
tersebut berupa :
1. Kerugian materiil yang mungkin timbul seperti rusaknya gedung sekolah
maupun peralatan lain akibat dari pelemparan benda dari pihak lain.
2. Kerugian yang menyangkut nama baik sekolah dalam masyarakat maupun
aparat keamanan, yakni timbulnya kesan sekolah urakan dan menjadi
pengawasan dari pihak yang berwajib.
4) Akibat bagi masyarakat
Akibat yang langsung dialami oleh masyarakat dari perkelahian pelajaritu
adalah terganggunya ketertiban dan keamanan di lingkungan sekitarnya. Kemudian
apabila frekuensi kenakalan remaja dan perkelahian antar pelajar demikian tinggi
maka tidak mustahil kindisi dan situasi lingkungan masyarakat yang rawan yang
memungkinkan timbulnya bibit baru remaja yang nakal.
30
Setelah diketahui akibat yang ditimbulkan dari perkelahian antar pelajar.
maka perlu segera ditanggulangi perkelahian itu oleh pihak sekolah, masyarakat
maupun aparat keamanan sebelum menimbulkan akibat yang lebih parah lagi.
c. Faktor-Faktor terjadinya Perkelahian Pelajar
1. Lemahnya pertahanan diri
Adalah faktor yang ada dalam diri untuk mengontrol dan mempertahankan
diri terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. Jika ada pengaruh negatif
berupa tontonan negatif, bujukan negatif seperti pecandu dan pengedar narkoba,
ajakan-ajakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif, sering tidak bisa
menghindar dan mudah terpengaruh. Akibatnya pelajar itu terlibat ke dalam
kegiatan-kegiatan negatif yang membahayakan dirinya dan masyarakat.
2. Kurangnya Kemampuan Dalam Menyesuaikan Diri
Keadaan ini amat terasa di dunia pelajar Banyak ditemukan pelajar yang
kurang pergaulan. Inti persoalannya adalah ketidak mampuan penyesuaian diri
terhadap lingkungan sosial,dengan mempunyai daya pilih teman bergaul yang
membantu pembentukan perilaku positif. Anak-anak yang terbiasa dengan
pendidikan kaku dan dengan disiplin ketat di keluarga menyebabkan masa
remajanya juga kaku dalam bergaul, dan tidak pandai memilih teman yang bisa
membuat dia berkelakuan baik. Yang terjadi adalah sebaliknya yaitu, para pelajar
salah bergaul. Hal ini bisa terjadi karena teman-temannya menghargainya. Karena
mendapat penghargaan di kelompok geng nakal, pelajar itupun akan ikut nakal.
31
3. Kurangnya Dasar-dasar Keimanan di Dalam Diri pelajar
Masalah agama merupakan suatu yang sangat krusial bagi seorang pelajar.
Karena agama merupakan benteng diri pelajar dalam menghadapi berbagai cobaan
yang datang padanya sekarang dan masa yang akan datang.
Sekolah dan orang tua harus bekerja sama bagaimana memberikan
pendidikan agama secara baik, mantap, dan sesuai dengan kondiri pelajar saat ini.
4. Faktor Keluarga
Keluarga merupakan sumber utama atau lingkungan yang utama penyebab
kenakalan remaja salah satunya yaitu perkelahian pelajar ini. Hal ini disebabkan
karena anak itu hidup dan berkembang permulaan sekali dari pergaulan keluarga
yaitu hubungan antara orang tua dengan anak, ayah dengan ibu dan hubungan anak
dengan anggota keluarga lai yang tinggal bersama-sama. Keadaan keluarga yang
besar jumlah anggotanya berbeda dengan keluarga kecil. Bagi keluarga besar
pengawasan agak sukar dilaksanakan dengan baik, demikian juga menanamkan
disiplin terhadap masing-masing anak. Berlainan dengan keluarga kecil, pengawasan
dan disiplin dapat dengan mudah dilaksanakan. Di samping itu perhatian orang tua
terhadap masing-masing anak lebih mudah diberikan, baik mengenai akhlak,
pendidikan di sekolah, pergaulan dan sebagainya. Kalau kita berbicara keadaan
ekonomi, tentu bagi keluarga besar dengan penghasilan yang sedikit akan repot,
karena membiayai kehidupan yang pokok-pokok saja agak sulit apalagi untuk biaya
32
sekolah dan berbagai kebutuhan lain. Karena itu, sering terjadi pertengkaran di
antara istri dan suami karena masalah ekonomi keluarga, yang menyebabkan
kehidupan keluarga menjadi tidak harmonis lagi dan pada gilirannya mempengaruhi
tingkah laku anak ke arah negatif.
Willis, Sofyan S. (2005 99), dalam bukunya Remaja dan masalahnya
mengemukakan beberapa faktor keluarga yang sangat mempengaruhi terhadap
kenakalan remaja yaitu : ” a. Anak kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian
orang tua ; b. Lemahnya keadaan ekonomi orang tua ; c. Kehidupan keluarga yang
tidak harmonis
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, bahwa keadaan keluarga sangatlah
memegang peranan penting dalam pembantukan kepribadian si anak dalam
bertingkah laku.
Menurut Ruth S. ( 1977 : 68 ). Ada tiga alasan timbulnya kejahatan atau
kenakalan remaja yang diarahkan kepada lingkungan keluarga yaitu
a. Bahwa lingkungan keluarga adalah suatu kelompok masyarkat yang
pertama-tama dihadapi oleh setiap anak-anak, oleh karena itu maka
lingkungan tersebut memegang peranan utama sebagai permulaan
pengalaman untuk menghadapi masyarakat yang lebih luas lagi.
33
b. Bahwa lingkungan keluarga merupakan suatu lembaga yang bertugas
menyiapkan kepentingan sehari-hari lagipula melakukan pengawasan
terhadap anak-anak,
c. Bahwa lingkungan pertama merupakan kelompok pertama yang dihadapi
oelh anak, karena itu ia menerima pengaruh emosional dari lingkungan itu.
Kepuasan atau kekecewaan, rasa cinta dan benci akan mempengaruhi
watak anak, mulai dibina dalam lingkungan itu dan akan bersifat
menentukan untuk masa-masa mendatang ”
5. Faktor Lingkungan yang Tidak Kondusif
Pengaruh sosial dan kultur memegang peranan yang besar dalam
menentukan perkembangan seorang anak dalam bertingkah laku. Kenakalan pada
remaja dimana dalam hal ini mereka sangat terpengaruh oleh keadaan sosial yang
buruk sehingga anak menjadi nakal. Pengaruh lingkungan pergaulan yan buruk
ditambah kontrol sosial dan kontrol diri yang semakin lemah maka dapat
mempercepat pertumbuhan kelompok-kelompok anak nakal yang suka melakukan
kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan hukum sepert beramai-ramai atau
secara massal.
Milieau atau lingkungan sekitar tidak selalu baik, dan menguntungkan bagi
pendidikan dan perkembangan anak, lingkungan yang ada kalanya dihuni oleh orang
dewasa serta anak-anak muda kriminil dan anti sosial yang bisa merangsang
34
timbulnya reaksi emosional buruk bagi anak-anak remaja atau pelajar yang masih
labil jiwanya. Dengan begitu anak-anak remaja ini mudah terjangkit oleh pola
tingkah laku kriminal, a susila dan anti sosial.
Kelompok orang dewasa yang kriminil dan a susila tersebut itu sangat
berpengaruh terhadap anak remaja khususnya pelajar yang berada di lingkungan
tersebut untuk berbuat dan bertingkah laku seperti meniru apa yang dilakukan oleh
orang-orang dewasa yang anti soial dan kriminal, seperti sering membuat keributan
dan senang berkelahi.
6. Faktor Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan kedua setelah rumah tangga. Karena
itu ia cukup berperan dalam membina anak untuk menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab. Khusus mengenai tugar kurikuler, maka sekolah berusaha
memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didiknya sebagai bekal untuk
kelak jika anak telah dewasa dan terjun ke masyarakat. Akan tetapi tugas kurikuler
saja tidaklah cukup untuk membina anak menjadi orang dewasa yang bertanggung
jawab. Karena itu sekolah bertanggung jawab pula dalam kepribadian anak didik.
Dalam hal ini peranan guru sangat diperlukan sekali. Jika kepribadian guru buruk,
dapat dipastikan akan menular kepada anak didik.
Hal ini dikatakan oleh ahli psiko higenis yaitu Singgih ( 1983 : 113 ) sebagai
berikut : ” Teacher personality is contagious, if he is tense, irritable, dominating or
35
careless, the pupil will show the evidence of tension, crossness, and lack of social
grace and will produce slovenly work “. Jelas sekali bahwa perilaku guru yang buruk
seperti tegang, marah, mudah tersinggung, menguasai murid, maka para murid akan
tertular oleh sifat dan perilaku guru tersebut.
Mengenai hal ini, Bawengan (1977:109) mengemukakan sebagai berikut : “
Sekolah adalah lingkungan yang khusus untuk mengubah tingkah laku secara
menetap dalam hubungannya dengan seluruh perkembangan pribadinya sebagai
anggota masyarakat “
Dalam rangka pembinaan anak didik kearah kedewasaan itu, kadang-kadang
seklah juga penyebab dari timbulnya kenalan remaja . Hal ini mungkin bersumber
dari guru, fasilitas pendidikan, norma-norma tingkah laku, kekompakan guru dan
suasana interaksi antara guru dan murid perlu menjadin perhatian serius. Ada
bebapa factor yang berhubungan dengan lingkungan sekolah yang tidak
menyenangkan seorang anak pelajar
7. Faktor Guru
Dedikasi guru merupakan pokok terpenting dalam tugas mengajar. Guru yang
penuh dedikasi berarti guru yang ikhlas dalam mengerjakan tugasnya. Bila terjadi
kesulitasn di dalam tugasnya, ia tidak mudah mengeluh dan mengalah. Melainkan
dengan penuh keyakinan diatasinya semua kesulitan tersebut. Berlainan dengan
guru yang tanpa dedikasi. Ia bertugas karena terpaksa, sebab tidak ada lagi
36
pekerjaan lain yang mampu dikerjakannya. Akibatnya ia mengajar adalah karena
terpaksa dengan motif mencari uang. Guru yang seperti ini mengajarnya asal saja,
sering bolos, tidak berminat meningkatkan pengetahuan keguruannya. Akibatnya
murid-murid yang menjadi korban, kelas menjadi kacau, murid-murd berbuat
seenaknya saja di dalam kelas dan hal seperti inilah yang merupakan sumber
kenakalan, sebab guru tidak memberikan perhatian yang penuh kepada tugasnya.
Kehidupan sekolah telah pula direkayasa untuk mengejar ketinggalannya
dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Pertama, kurikulum dirombak sedemikian
rupa dengan tujuan agar tercapai para lulusan sekolah yang berkualitas.
Kenyataannya, pengertian kualitas itu adalah tingginya tingkat intelektual atau
kecerdasan yang diukur dengan hasil belajar dalam bidang seni. Para siswa
direkayasa agar belajar keras untuk mengejar target kurikulum. Suasana belajar
menjadi sangat intelektualistis yaitu lebih menghargai anak yang pandai. Guru
terperangkap dalam sistem birokrasi sekolah sehingga mengajarnya cenderung
mekanistik yang mementingkan tercapainya target kurikulum. Untuk mencapai
tujuan itu, siswa perlu dikontrol dengan memperketat terlaksananya aturan sekolah,
bahkan meningkatkan sistem keamanan sekolah dengan adanya Satpam, bagian
keamanan dan piket guru, dan dibantu oleh bagian keamanan dari siswa.
37
B. Kerangka Berpikir
Penggunaan strategi pembelajaran yang sesuai merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Model pembelajaran berbasis masalah
adalah salah satu strategi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2006.
Dengan strategi pembelajaran ini penguasaan konsep yang diajarkan akan mudah
ditangkap oleh siswa karena dalam pembelajaran ini siswa akan mengalami dan
melakukan berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki dalam kehidupan nyata.
Pembelajaran berbasis masalah yang peneliti gunakan terdiri dari lima tahapan
utama yang yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi
masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Dalam
pembelajaran ini perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan
deklaratif tetapi perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu, untuk
mengetahui hasil belajar siswa tidak cukup hanya dilakukan dengan tes.
Siswa akan dibiasakan berinteraksi dengan siswa lain melalui belajar
kelompok. Siswa belajar bersama-sama dalam kelompoknya yang terdiri dari
berbagai macam tipe, artinya kelompok tersebut bersifat heterogen dan didalamnya
terdiri dari siswa yang tergolong pandai, sedang dan lemah. Jika ada anggota
kelompok yang tidak jelas maka anggota kelompok yang merasa mampu akan
menjelaskan pada siswa tersebut.
38
Kerangka pikir
Situasi awal kelas
Siklus I :
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
3. Pengamatan
4. Refleksi
Pendekatan berbasis masalah
Hasil belajar sosiologi dengan pokok dengan bahasan perilaku
menyimpang meningkat
Siklus II:
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
3. Pengamatan
4. Refleksi
1. Siswa cenderung malas, tidak termotivasi belajar
2. Guru menggunakan matode monoton
3. Hasi belajar menurun
Analisis
evaluasi
39
C. Hipotesis Tindakan
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ” Jika diterapkan model
pembelajaran berbasis masalah hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri I Bajeng
Kabupaten Gowa meningkat ”.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dala bahasa
Inggris dikenal dengan istilah Classroom Action Researc
B. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri I Bajeng dengan subjek penelitian
siswa kelas X yang berjumlah 23 orang siswa/siswi yang terdiri dari 5 orang laki-laki
dan 18 orang perempuan. orang dengan latar belakang sosial ekonomi yang
heterogen.penelitian ini dilakukan pada semester II tahun ajaran 2011/2012
C. Faktor- faktor yang diteliti dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :
a. Faktor proses pembalajaran, yaitu penerapan proses pembelajaran dengan
pengajaran pendekatan berbasis masalah.
b. Faktor hasil, yaitu hasil belajar siswa yang diperoleh dari pemberian
evaluasi setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar sosiologi yang terukur
berdasarkan tujuan pembalajaran.
D. Prosedur Penelitian
Rancangan penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan terdiri atas dua
siklus, yakni siklus pertama dan siklus kedua. Dan jika belum berhasil maka akan
40
Perencanaan
tindakan
Pengamatan
Perencanaan
Tindakan Lanjutan
Pelaksanaan
Refleksi SIKLUS I
41
dilanjutkan ke siklus berikutnya, namun penelitian ini hanya sampai pada siklus ke
dua. Gambaran umum yang dilakukan pada setiap siklus adalah : perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.
Pelaksanaan Refleksi
Pengamatan
Hasil
SIKLUS II
42
1. Silkus I dilaksanakan selama 4 x pertemuan sebanyak 8 jam pelajaran . 3x
pertemuan untuk proses belajar mengajar sebanyak 3x jam pelajaran ( 3x45
menit ) dan 1 x pertemuan untuk tes terakhir siklus I sebanyak dua jam
pelajaran ( 2x45 menit )
2. Siklus II dilaksanakan selama 4 x pertemuan, sebaanyak 4 jam pelajaran ( 4x45
menit ). 3x pertemuan untuk proses belajara mengajar selama dua jam
pelajaran ( 3x45 menit ) dan satu kali pertemuan untuk tes terakhir siklus I
sebanyak dua jam pelajaran ( 1x45 menit )
SIKLUS I
Siklus 1 dilaksanakan selama 4 x 45 menit secara rinci prosedur pelaksanaan
tindakan pada siklus ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan
a. Menelaah kurikulum SMA Negeri I Bajeng kelas X untuk mata pelajaran
sosiologi.
b. Mengembangkan silabusyang sesuai dengan materi
c. Menyusun dan mengembangkan rencana pembalajaran.
d. Pengajar membuat instrument pedoman observasi untuk mengamati
kondisi pemablajaran di kelas pada saat proses pembalajaran
berlangsung.
43
e. Membuat instrument tes akhir siklus I untuk mengetahui hasil
perkembangan.
2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pertemuan pertama
a. Menuliskan topik yang akan dipelajari yaitu : pengertian perilaku
menyimpang “
b. Menyebutkan tujuan pembalajaran
c. Membagi siswa dalam 3 kelompok yang beranggotakan 8 orang
d. Membagikan materi untuk bahan diskusi.
e. Mengecek hasil pekerjaan siswa dengan memberikan pertanyaan
secara lisan kepada siswa, kemudian guru mencatat iswa yang
menjawab.
f. Meminta siswa secara acak untuk berperan sebagai guru dan
menjelaskan materi yang telah dirangkum dalam diskusi.
g. Guru menjadi vasilitator dan moderator selama pembalajaran dengan
pendekatan kontekstual berlangsung
h. Membarikan penguatan pada hasil didskusi.
Pertemua ke dua
a. Menuliskan topik yang akan dipelajari yaitu : pengertian perilaku
menyimpang “
44
b. Menyebutkan tujuan pembalajaran
c. Membagi siswa dalam 3 kelompok yang beranggotakan 8 orang
d. Membagikan materi untuk bahan diskusi.
e. Mengecek hasil pekerjaan siswa dengan memberikan pertanyaan
secara lisan kepada siswa, kemudian guru mencatat iswa yang
menjawab.
f. Meminta siswa secara acak untuk berperan sebagai guru dan
menjelaskan materi yang telah dirangkum dalam diskusi.
g. Guru menjadi vasilitator dan moderator selama pembalajaran dengan
pendekatan kontekstual berlangsung
h. Membarikan penguatan pada hasil diskusi.
i. Guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran.
Pertemuan ke III
a. Menuliskan topik yang akan dipelajari yaitu : pengertian perilaku
menyimpang “
b. Menyebutkan tujuan pembalajaran
c. Membagi siswa dalam 3 kelompok yang beranggotakan 8 orang
d. Membagikan materi untuk bahan diskusi.
45
e. Mengecek hasil pekerjaan siswa dengan memberikan pertanyaan
secara lisan kepada siswa, kemudian guru mencatat iswa yang
menjawab.
f. Meminta siswa secara acak untuk berperan sebagai guru dan
menjelaskan materi yang telah dirangkum dalam diskusi.
g. Guru menjadi vasilitator dan moderator selama pembalajaran dengan
pendekatan kontekstual berlangsung
h. Membarikan penguatan pada hasil didskusi.
i. Guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran.
3. Tahap Pengamatan
Pada tahap ini ada dua perlakuan yaitu observasi dan evaluasi. Pelaksanaan
tahap observasi terhadap aktivitas siswa selama berlangsung proses
pembalajaran yang menggunakan lembar observasi memberikantes hasil
belajar yang dilakukan pada akhir tindakan siklus pertama dengan tujuan
untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa.
4. Tahap Refleksi
Hasil yang didapat dalam tahap observasi dan evaluasi dikumpul kemudian
dilakukan analisis dan refleksi. Refleksi dimaksudkan untuk melihat apakah
rencana telah terlaksana secara optimal atau perlu dilakukan perbaikan. Hasi
analisis siklus I ininlah yang dijadikan acuan untuk merencanakan perbaikan
46
siklus II dimana aspek-aspek yang diaggap bagus tetap dipertahankan,
sedangkan kekurangannya menjadi pertimbangan dan revisi siklus berikutnya.
Siklus II
Pelaksanaan silkus II ini relative sama dengan pelaksanaan pada siklus I.
namun dalam pelaksanaan ini dilakukan perbaikan- perbaikan dari siklus I
sehingga hasil belajar meningkat. Siklus ini dilakukan selama 4x 45 menit.
Secara rinci prosedur pada siklus ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Tahap Pertama
a. Mempersiapkan perangkat pembelajaran
b. Membuat RPP
c. Membuat lembar observasi untuk melihat keaktifan siswa selama
tindakan berlangsung.
d. Membuat tes prestasi belajar siswa siklus II sebagai alat evaluasi untuk
melihat kemampuan dalam menyelesaikan soal-soal berdasarkan
materi yang diajarkan pada siklus II
2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pertemuan pertama
a. Menuliskan topik yang akan dipelajari yaitu : sifat-sifat perilaku menyimpang
“
b. Menyebutkan tujuan pembalajaran
47
c. Membagi siswa dalam 3 kelompok yang beranggotakan 8 orang
d. Membagikan materi untuk bahan diskusi.
e. Mengecek hasil pekerjaan siswa dengan memberikan pertanyaan secara lisan
kepada siswa, kemudian guru mencatat iswa yang menjawab.
f. Meminta siswa secara acak untuk berperan sebagai guru dan menjelaskan
materi yang telah dirangkum dalam diskusi.
g. Guru menjadi vasilitator dan moderator selama pembalajaran dengan
pendekatan kontekstual berlangsung
h. Membarikan penguatan pada hasil didskusi.
i. Guru bersamasama siswa menyimpulkan pelajaran.
Pertemua ke II
a. Menuliskan topik yang akan dipelajari yaitu : realitas perilaku menyimpang “
b. Menyebutkan tujuan pembalajaran
c. Membagi siswa dalam 3 kelompok yang beranggotakan 8 orang
d. Membagikan materi bacaaan yang berbeda dan menjelaskan petunjuk yang
harus dilakukan oleh siswa yaitu merangkum tes bacaan dan membuat
pertanyaan dengan kelompok masing-masing .
e. Mengecek hasil pekerjaan siswa dengan memberikan pertanyaan secara lisan
kepada siswa, kemudian guru mencatat iswa yang menjawab.
48
f. Meminta masing-masing perwakilan kelompok untuk berperan sebagai guru
dan menjelaskan materi yang telah dirangkum dalam diskusi.
g. Guru menjadi vasilitator dan moderator selama pembalajaran dengan
pendekatan kontekstual berlangsung
h. Membarikan penguatan pada hasil didskusi.
i. Guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran.
Pertemuan ke III
a. Menuliskan topik yang akan dipelajari yaitu : dimensi perilaku menyimpang “
b. Menyebutkan tujuan pembalajaran
c. Membagi siswa dalam 3 kelompok yang beranggotakan 8 orang
d. Membagikan materi untuk bahan diskusi.
e. Mengecek hasil pekerjaan siswa dengan memberikan pertanyaan secara lisan
kepada siswa, kemudian guru mencatat iswa yang menjawab.
f. Meminta siswa secara acak untuk berperan sebagai guru dan menjelaskan
materi yang telah dirangkum dalam diskusi.
g. Guru menjadi vasilitator dan moderator selama pembalajaran dengan
pendekatan kontekstual berlangsung
h. Membarikan penguatan pada hasil didskusi.
i. Guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran.
49
3. Tahap Pengamatan
Melakukan observasi dan evaluasi. Pelaksanaan tahap observasi terhadap
aktivitas siswa selama berlangsung proses pembalajaran yang menggunakan lembar
observasi memberikantes hasil belajar yang dilakukan pada akhir tindakan siklus
kedua dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa.
Hasil yang dicapai dalam tahap obeservasi dan evaluasi akan dianalisis dan
merupakan hasil akhir pelaksanaan penelitian tindakan siklus II yang telah dilakukan
. kemudian melakukan refleksi dengnan maksud untuk melihat apakah rencana telah
terlaksana secara optimal tau perlu diadakan perbaikan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai
Berikut :
1. Data tentang kondisi proses belajar mengajar salaam tindakan dilakukan
diambil dengan menggunakan lembar observasi dengan beberapa indicator
yang diamati.
2. Data mengenai hasil belajar diambil dari tes tiap siklus.
50
F. Teknik Analisis Data
Data hasil belajar siswa berupa tes akan dianalisis dengan menggunakan skor
yang berdasarkan penilaian penelitian acuan patokan, dihitung berdasarkan skor
maksimal yang mungkin dicapai oleh siswa. Nilai yang diperoleh dikelompokkan
menjadi empat kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah.
kriteria yang digunakan untuk menentukan kategoti hasil belajar sosiologi adalah
berdasarkan teknik kategorisasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional ( Mardia,2004:20) yang menyatakan sebagai berikut :
Tabel I . tingkat penguasaan dan ketegori hasil belajar siswa.
No Nilai Kategorisasi
1 0-64 Sangat rendah
2 65-84 Rendah
3 85-95 Sedang
4 96-100 Tinggi
(sumber KTSP SMA Negeri I Bajeng )
Adapun rumus untuk menghitung nilai rata-rata yaitu :
X=
51
Dan untuk menghitung standar deviasi maka menggunakan rumus sebagai
berikut :
X=
Sumber : Tiro. Dasar-dasar Statistika. 1999 : 131.
G. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan dari penilaian ini adalah dengan peningkatan hasil
belajar sosiologi dengan pokok bahasan perilaku menyimpang peningkatan dari
siklus pertama sampai siklus ke dua.
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilihat dari hasil analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil analisis
kuantitatif adalah gambaran tingkat penguasaan melalui materi perilaku
menyimpang dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hasil
analisis kualitatif adalah rumusan penelitian dan bentuk observasi yang didasarkan
pada data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama kegiatan pembelajaran
berlangsung seperti keaktifan siswa dalam proses belajar, psikomotorik, serta
kognitif siswa dalam meningkatkat hasil pembelajaran sosiologi pokok bahasan
perilaku menyimpang.
1. Hasil Penelitian Siklus I
a. Pertemuan ke I
a) Tahap Perencanaan
53
1. Setelah menelaah kurikulum kemudian mengembangkan silabus
yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan diajarkan.
2. Menyusun dan mengembangkan rencana pembelajaran
berdasarkan kondisi dan situasi (kebutuhan peserta didik di kelas).
3. Pada tahap ini pengajar membuat instrumen pedoman observasi
untuk mengamati kondisi pembelajaran di kelas pada saat proses
pelaksanaan tindakan berlangsung.
4. Membuat lembar observasi sebagai pegangan siswa untuk
mengukur kemampuan siswa selama Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) berlansung.
5. Membuat instrumen tes atau alat evaluasi siklus I untuk mengetahui
hasil perkembangan siswa setelah pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah secara langsung.
b) Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini, tindakan dilaksanakan pada setiap tatap muka, adapun
langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan tersebut
adalah :
1. Untuk melaksanakan tindakan guru membuat persetujuan yang
disetujui oleh kedua belah pihak terkhususnya pada siswa seperti
berikut :
52
54
1) Selalu membawa perlengkapan yang dibutuhkan dalam KBM,
baik berupa buku revernsi atau yang berkaitan dengan materi
pembelajaran.
2) Selalu tanggap dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas
yang diberikan guru
3) Tidak melakukan kegiatan yang menghambat jalanya proses
belajar mengajar berlasung seperti, mengobrol dengan teman,
dan membuat keonaran dan lain sebagainya.
2. Menjelaskan maksud pembelajaran yang harus dicapai dalam
belajar.
3. Menjelaskan materi perilaku menyimpang.
4. Membagi siswa dalam beberapa kelompok heterogen. Masing-
masing kelompok yang terdiri dari 4– 5 orang untuk membahas
materi yang sudah ada secara inkuiry yang bersifat penemuan.
Selanjutnya setelah selesai diskusi juru bicara kelompok
menyampaikan hasil pembahasan kelompok.
5. Dalam guru menjadi fasilitator selama pembelajaran dengan Model
Pembelajaran berbasis masalah. berlangsung.
6. Guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran
7. Memberikan tugas kepada siswa sebagai pekerjaan rumah (PR).
55
c) Tahap observasi dan evaluasi
Pada pertemuan pertama tercatat aktifitas siswa yang terjadi selama
proses belajar mengajar berlangsung. Aktifitas tersebut diperoleh dari lembar
observasi yang tercatat pada pertemuan I yakni:
1. Frekuensi kehadiran siswa pada pertemuan pertama sebanyak 18
orang dari 23 siswa.
2. Siswa yang melakukan aktifitas negatif selama proses belajar
berlangsung (ribut, main-main, dll) sebanyak 9 orang.
3. Siswa yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan tentang
materi yang dijelaskan pada pertemuan pertama sebanyak 2 orang
siswa.
4. Siswa yang memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru pada
pertemuan pertama sebanyak 5 orang siswa.
5. Siswa yang mengerjakan tugas pada pertemuan pertama sebanyak
16 orang.
d) Tahap Refleksi
Proses pembelajaran diawali dengan pengenalan pembelajaran yang
digunakan yaitu melalui model pembelajaran berbasis masalah. Awalnya,
penggunaann model ini tidak disukai oleh siswa dan ditandai dengan
banyaknya siswa yang melakukan aktifitas negatif selama kegiatan belajar
56
mengajar berlangsung. Sebagai kegiatan akhir guru memberikan soal latihan
sebanyak 4 soal yang di bawah pengawasan guru dan peneliti. Setelah itu,
peneliti mengumpulkan dan memeriksa jawaban dari masing-masing siswa
yang kemudian dikembalikan pada siswa agar siswa mengetahui letak
kesalahan pada jawaban mereka masing-masing, serta diberikannya
penjelasan terhadap soal-soal yang dianggap sulit oleh siswa.
b. Pertemuan ke II
1. Tahap perencanaan
Pada pertemuan ke II ini relatif sama pada pertemuan ke I, yaitu
membuat scenario pembahasan dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah. Merancang dan membuat soal-soal yang akan diberikan
pada siswa, baik dalam kelompok maupun individu, dan membuat lembar
observasi.
2. Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan pada pertemuan ke II diawali dengan mengecek
kehadiran siswa dan menyampaikan materi yang akan diajarkan.Pada
dasarnya langkah-langkah yang dilakukan pada pertemuan ke II hampir sama
dengan pertemuan ke I membahas materi secara kelompok dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. dan memberikan
kesempatan bertanya kepada setiap siswa, memberikan soal.
57
3. Tahap observasi dan evaluasi
Pada pertemuan ke II tercatat aktifitas siswa yang terjadi selama proses
belajar mengajar berlangsung. Aktifitas tersebut diperoleh dari lembar
observasi yang tercatat pada pertemuan II yakni:
1. Frekuensi kehadiran siswa pada pertemuan ke II sebanyak 20 orang
dari 23 siswa.
2. Siswa yang melakukan aktifitas negatif selama proses belajar
berlangsung (ribut, main-main, dll) sebanyak 7 orang.
3. Siswa yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan tentang
materi yang dijelaskan pada pertemuan kedua sebanyak 5 orang
siswa.
4. Siswa yang memperhatikan materi yang dijelaskan oleh kelompok
lain pada pertemuan kedua sebanyak 18 orang siswa.
5. Siswa yang mengerjakan tugas pada pertemuan kedua sebanyak 21
orang.
4. Tahap Refleksi
Pada pertemuan ke II siswa sudah mengetahui proses pembelajaran
yang akan digunakan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah. Pendekatan model ini mulai memikat siswa, hal ini dilihat
dari perubahan sikap siswa yang sudah mulai tenang dan tidak terlalu ribut
58
lagi, dalam proses belajar mengajar siswa juga terlihat sangat antusias. Selain
itu, siswa juga sudah mampu bekerja sama dengan teman sekelompoknya dan
saling menghargai.
Sebagai kegiatan akhir guru memberikan soal latihan sebanyak 3 poin
yang di bawah pengawasan guru dan peneliti. Setelah itu, peneliti
mengumpulkan dan memeriksa jawaban dari masing-masing siswa yang
kemudian dikembalikan pada siswa agar siswa mengetahui letak kesalahan
pada jawaban mereka masing-masing, serta diberikannya penjelasan terhadap
soal-soal yang dianggap sulit oleh siswa.
c. Pertemuan ke III
1. Tahap perencanaan
Pada pertemuan ke III ini relatif sama pada pertemuan ke II, yaitu
membuat skenario pembahasan dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah. Merancang dan membuat soal-soal yang akan diberikan
pada siswa, baik dalam kelompok maupun individu, dan membuat lembar
observasi.
2. Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan pada pertemuan ke III pada dasarnya sama dengan
pertemuan sebelumnya, yaitu diawali dengan mengecek kehadiran siswa dan
menyampaikan materi yang akan diajarkan. Pada dasarnya langkah-langkah
59
yang dilakukan pada pertemuan ke III hampir sama dengan pertemuan ke I
dan ke II membahas materi selanjutnya dengan menggunakan penerapan
model pembelajaran berbasis masalah. secara kelompok dan memeberikan
kesempatan bertanya kepada setiap siswa, memberikan soal.
3. Tahap observasi dan evaluasi
Pada pertemuan ke III tercatat aktifitas siswa yang terjadi selama proses
belajar mengajar berlangsung. Aktifitas tersebut diperoleh dari lembar
observasi yang tercatat pada pertemuan III yakni:
1. Frekuensi kehadiran siswa pada pertemuan ke III sebanyak 19
orang dari 23 siswa.
2. Siswa yang melakukan aktifitas negativ selama proses belajar
berlangsung (ribut, main-main, dll) sebanyak 5 orang.
3. Siswa yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan tentang
materi yang dijelaskan pada pertemuan ketiga sebanyak 4 orang
siswa.
4. Siswa yang memperhatikan materi yang dijelaskan oleh kelompok
lain pada pertemuan ketiga sebanyak 14 orang siswa.
5. Siswa yang mengerjakan tugas pada pertemuan ketiga sebanyak
20 orang siswa.
2. Tahap Refleksi
60
Pada pertemuan ke III siswa sudah mengetahui proses pembelajaran
yang akan digunakan yaitu penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
Melalui model pembelajaran ini mulai memikat siswa, hal ini dilihat dari
perubahan sikap siswa yang sudah mulai tenang dan tidak terlalu ribut lagi,
namun masih terdapat beberapa siswa yang masih melakukan hal-hal yang
sifat mengganggu jalanya KBM. Dalam proses belajar mengajar siswa juga
terlihat sangat antusias. Selain itu, siswa juga sudah mampu bekerja sama
dengan teman sekelompoknya dan saling menghargai. Sebagai kegiatan akhir
guru memberikan soal latihan sebanyak 3 poin yang di bawah pengawasan
peneliti. Setelah itu, peneliti mengumpulkan dan memeriksa jawaban dari
masing-masing siswa yang kemudian dikembalikan pada siswa agar siswa
mengetahui letak kesalahan pada jawaban mereka masing-masing, serta
diberikannya penjelasan terhadap soal-soal yang dianggap sulit oleh siswa.
a. Pertemuan ke IV
1. Tahap perencanaan
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan pembelajaran
ini adalah menentukan soal-soal yang akan diberikan pada akhir siklus I.
2. Tahap pelaksanaan
61
Pada tahap ini memberikan tes tentang materi sosialisasi dan
pembentukan kepribadian melalui model pembelajaran berbasis masalah. 3.
Tahap observasi dan evaluasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa data diperoleh dari hasil
evaluasi dan observasi dianalisis kuantitatif dan kualitatif. Nilai siswa pada
siklus I berdasarkan evaluasi pada materi perilaku menyimpang mata pelajaran
sosiologi siswa kelas X SMA 1 Bajeng setelah menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah. yaitu siswa yang mendapat nilai 50 adalah 4
orang atau sekitar 17,39%. sedangkan yang mendapat nilai 55 adalah 1 orang
atau 4,34%, yang mendapat nilai 60 adalah 10 orang siswa atau 43,47%,
sedangkan yang mendapat nilai 65 adalah 2 orang siswa atau 8,69% sedangkan
yang mendapat nilai 70 adalah 2 orang soswa atau 8,69%, dan yang mendapat
nilai 73 adalah 2 orang siswa atau 8,69%, serta yang mendapat nilai 74 adalah
1 orang atau 4,34%,, juga yang mendapat nilai 76 adalah 1 orang atau 4,34%,
siswa. Sedangkan nilai rata-ratanya adalah 61,78 serta standar deviasi 7,95 Ini
menunjukkan bahwa pembelajaran sosiologi melalui pendekatan
pembelajaran berbasis masalah belum berjalan efektif. Hal tersebut
dikarenakan kehadiran Peneliti pada saat siklus I berlangsung masih terasa
asin bagi siswa sehingga dalam proses belajar mengajar terdapat beberapa
62
siswa yang masih membuat hal-hal negatif yang menghambat proses
berlangsungnya pembelajaran di kelas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa :
1. Siswa dalam mengikuti proses pembelajaran masih terkesan terpaksa,
sehingga hasil pembelajaran pada siklus I ini belum cukup memuaskan.
2. Tidak terbangunnya interaksi yang baik antara peneliti dengan siswa,
antara siswa dengan siswa.
3. Masih ada sebagian siswa yang belum menyadari pentingnya bekerja
sama dalam kelompok walaupun bukan teman akrabnya.
4. Situasi kelas yang gaduh membuat proses pembelajaran terganggu dan
masih banyaknya siswa yang melakukan kegiatan-kegiatan negatif selama
proses belajar mengajar berlangsung.
Pembelajaran yang telah dilakukan selama berlangsungnya siklus I dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. setelah melakukan
refleksi terhadap beberapa pertemuan kerap kali siswa masih kurang berperan
terhadap proses belajar mengajar, hal dikarenakan masih terdapat beberapa
siswa yang melakukan kegiatan-kegiatan negatif, kurang keseriusan KBM, dan
masih terdapat pula siswa yang meminta guru untuk menjelaskan kembali
materi yang baru saja dijelaskan guru, serta pada saat guru memberikan
kesempatan untuk menanyakan materi yang baru dijelaskan, siswa secara
serentak mengajukan pertanyaan.
63
Situasi kelas yang belum terkontrol seperti ini, sehingga pada siklus II
dirancang sedemikian rupa sehingga menimbulkan suasana yang lebih kondusif
dan nyaman. Selain itu peneliti juga diharapkan untuk memantau dan
memberikan bimbingan kepada siswa apabila mengalami kesulitan atau
hambatan. Untuk membangkitkan minat dan motivasi siswa, peneliti perlu
menyediakan sumber, media dan bahan ajar yang dapat membangkitkan
motivasi siswa dalam proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya siswa berani
dan mampu membangkitkan minat mereka. Siswa termotivasi untuk
membelajarkan dirinya menjawab dan menyelesaikan masalah melalui berbagai
pemikiran kritis dengan bertukar ide dan gagasan, sehingga pengetahuan itu
tidak saja hanya bermakna melainkan menjadi sebuah informasi yang dimiliki
untuk diri sendiri maupun orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian dengan interval nilai yang ditetapkan,
terdapat 4 orang siswa yang mendapat nilai di atas 50, sementara 1 orang siswa
mendapat nilai 55, sedangkan 10 orang siswa mendapakan nilai 60, 2 orang
siswa mendapat nilai 65, 2 orang siswa mendapat nilai 70, 2 rang siswa
mendapat nilai 73, serta 1 orang siswa mendapat nilai 74 serta 1 orang siswa
mendapat nilai 76. Dengan data tersebut menggambarkan bahwa pembelajaran
sosiologi siswa kelas X SMA 1 Bajeng melalui model pembelajaran berbasis
64
masala pada siklus I belum berhasil dan akan diperbaiki pada siklus II. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat skor analisis data pada lampirannya.
2. Hasil Penelitian Siklus II
a. Pertemuan ke I
a) Tahap perencanaan
Perencanaan pelaksanaanm siklus II ini terutama pada pertemuan ke 1
perencanaan relatif sama dengan pertemuan siklus I, yaitu mendesain pembelajaran
melalui model pembelajaran berbasis masalah. Merancang dan membuat soal-soal
yang akan diberikan pada siswa, baik dalam kelompok maupun individu, dan
membuat lembar observasi. Mengembangkan teknik pembelajaran guna
memperbaiki pelajaran pada pertemuan sebelumnya.
b) Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan pada pertemuan pertama pada dasarnya sama dengan
pertemuan siklus sebelumnya, yaitu diawali dengan mengecek kehadiran siswa dan
menyampaikan materi yang akan diajarkan. Pada dasarnya langkah-langkah yang
dilakukan pada pertemuan pertama yakni membahas materi selanjutnya dengan
melalui model pembelajaran berbasis masalah. secara kelompok dan memeberikan
kesempatan kepada siswa secara individu dan berkelompok untuk menemukan
masalah terkait pembelajaran sosiologi pokok bahasab perilaku menyimpang yang
dalam masyarakat dimana kita berada kemudian didiskusikan secara kelompok
65
sesuai dengan hasil temuanya kemudian guru dan siswa merumuskan kesimpulan,
dan kemudian guru memberikan beberapa pertanyaan sesuai dengan hasil
pembahasan demi untuk siswa mengingatkan kembali materi yang baru saja
dijelaskan.
c) Tahap observasi dan evaluasi
Pada pertemuan pertama tercatat aktifitas siswa mengalami peningkatan
selama proses belajar mengajar berlangsung. Aktifitas tersebut diperoleh dari
lembar observasi yang tercatat pada pertemuan pertama yakni:
1. Frekuensi kehadiran siswa pada pertemuan pertama sebanyak 21 orang
dari 23 siswa.
2. Siswa yang melakukan aktifitas negatif selama proses belajar
berlangsung (ribut, main-main, dll) sebanyak 2 orang.
3. Siswa yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan tentang materi
yang dijelaskan pada pertemuan pertama sebanyak 7 orang siswa.
4. Siswa yang memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru pada
pertemuan pertama sebanyak 19 orang siswa.
5. Siswa yang mengerjakan tugas pada pertemuan pertama sebanyak 23
orang.
d) Tahap refleksi
66
Pada pertemuan pertama siklus II, perhatian, motivasi, serta keaktifan siswa
memiliki kemajuan. Hal ini terjadi karena siswa mulai tertarik dengan model
pembelajaran berbasis masalah. Peneliti selalu memberi motivasi kepada siswa agar
semangat mengikuti pelajaran dengan cara mendorong untuk saling membantu bila
ada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, mau bekerja sama untuk
membantu siswa agar tidak takut dalam bertanya dan mengerjkaan soal. Serta
percaya diri dalam menyampaikan materi kadang diselingi dengan canda agar siswa
tidak ngantuk dan merasa bosan mengikuti pelajaran.
Sebagai kegiatan akhir, peneliti memberikan kuis kepada siswa secara
kelompok untuk mengukur tingkat pemahaman siswa dalam mempelajari materi.
b. Pertemuan ke II
a) Tahap perencanaan
Pada siklus II, tahap perencanaan ini relatif sama pada pertemuan ke I siklus I,
yaitu membuat skenario pembahasan dengan melalui model pembelajaran berbasis
masalah. Merancang dan membuat soal-soal yang akan diberikan pada siswa, baik
dalam kelompok maupun individu, dan membuat lembar observasi.
b) Tahap pelaksanaan
Pada pertemuan kedua relatif sama dengan pertemuan pertama, yakni
mengecek kehadiran siswa, guru menjelaskan materi kemudian menyajikan
67
beberapa contoh yang berkaitan dengan materi, dan memberikan soal pada setiap
kelompok.
c) Tahap observasi dan evaluasi
Pada pertemuan kedua tercatat aktifitas siswa yang terjadi selama proses
belajar mengajar berlangsung, aktifitas tersebut diperoleh dari lembar observasi
yang tercatat pada pertemuan kedua yakni:
1. Frekuensi kehadiran siswa pada pertemuan ke II sebanyak 20 orang dari
23 siswa
2. Siswa yang melakukan aktifitas negatif selama proses belajar berlangsung
(ribut, main-main, dll) 1 orang siswa.
3. Siswa yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan tentang materi
yang dijelaskan pada pertemuan kedua sebanyak 19 orang siswa.
4. Siswa yang memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru pada
pertemuan kedua sebanyak 19 orang siswa.
5. Siswa yang mengerjakan tugas Lembaran Kerja Siswa (LKS) dengan baik
dan benar pada pertemuan kedua sebanyak 20 orang.
d) Tahap refleksi
Pada pertemuan kedua, perhatian, motivasi, serta keaktifan siswa memiliki
kemajuan. Hal ini terjadi karena siswa mulai tertarik dengan model pembelajaran
berbasis masalah. Peneliti selalu memberi motivasi kepada siswa agar semangat
68
mengikuti pelajaran dengan cara mendorong untuk saling membantu bila ada siswa
yang mengalami kesulitan dalam belajar, mau bekerja sama untuk membantu siswa
agar tidak takut dalam bertanya dan mengerjakan soal. Serta percaya diri dalam
menyampaikan materi kadang diselingi dengan canda agar siswa tidak ngantuk dan
merasa bosan mengikuti pelajaran. Sebagai kegiatan akhir, peneliti memberikan kuis
kepada siswa secara kelompok untuk mengukur tingkat pemahaman siswa dalam
mempelajari materi.
c. Pertemuan ke III
a) Tahap perencanaan
Pada petemuan ketiga, tahap perencanaan relatif sama dengan pertemuan I
dan II yaitu membuat skenario pembahasan dengan melalui model pembelajaran
berbasis masalah. Merancang dan membuat soal-soal yang akan diberikan pada
siswa, baik dalam kelompok maupun individu, dan membuat lembar observasi.
b) Tahap pelaksanaan
Pada pertemuan ketiga relatif sama dengan pertemuan pertama dan kedua,
yakni mengecek kehadiran siswa, guru menjelaskan materi kemudian menyajikan
beberapa contoh yang berkaitan dengan materi, dan memberikan soal pada setiap
kelompok.
c) Tahap observasi dan evaluasi
69
Pada pertemuan pertama tercatat aktifitas siswa yang terjadi selama proses
belajar mengajar berlangsung. Aktifitas tersebut diperoleh dari lembar observasi
yang tercatat pada pertemuan pertama yakni:
1. Frekuensi kehadiran siswa pada pertemuan ketiga sebanyak 22 orang dari
23 siswa
2. Siswa yang melakukan aktifitas negatif selama proses belajar berlangsung
(ribut, main-main, dll) sebanyak 1 orang siswa.
3. Siswa yang aktif bertanya dan memberikan tanggapan tentang materi yang
dijelaskan pada pertemuan ketiga sebanyak 9 orang siswa.
4. Siswa yang memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru pada
pertemuan kedua sebanyak 21 orang siswa.
5. Siswa yang mengerjakan tugas pada pertemuan kedua sebanyak 23
orang.
d) Tahap refleksi
Pada pertemuan ketiga hampir sama dengan pertemuan kedua, yakni
perhatian, motivasi, serta keaktifan siswa memiliki kemajuan. Hal ini terjadi karena
siswa mulai tertarik dengan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation
(GI). Peneliti selalu memberi motivasi kepada siswa agar semangat mengikuti
pelajaran dengan cara mendorong untuk saling membantu bila ada siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar, mau bekerja sama untuk membantu siswa agar
70
tidak takut dalam bertanya dann mengerjaan soal. Serta percaya diri dalam
menyampaikan materi kadang diselingi dengan canda agar siswa tidak ngantuk dan
merasa bosan mengikuti pelajaran. Peneliti juga memberikan nilai plus pada siswa
yang aktif dalam proses belajar mengajar. Sebagai kegiatan akhir, peneliti
memberikan kuis kepada siswa secara kelompok untuk mengukur tingkat
pemahaman siswa dalam mempelajari materi.
d. Pertemuan ke IV
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan pembelajaran ini
adalah menentukan soal-soal yang akan diberikan pada akhir siklus II.
a) Tahap pelaksanaan
Memberikan tes tentang materi sosialisasi dan pembentukan kepribadian
melalui model pembelajaran berbasis masalah.
b) Tahap observasi dan evaluasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa data diperoleh dari hasil
evaluasi dan observasi dianalisis kuantitatif dan kualitatif. Nilai siswa pada siklus II
berdasarkan evaluasi pada materi sosialisasi dan pembentukan kepribadian mata
pelajaran sosiologi siswa kelas X SMA 1 Bajeng setelah menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah yaitu siswa yang mendapat nilai 60 adalah 1 orang
siswa, sedang yang mendapat nilai 64 adalah 2 orang siswa, sedangkan yang
71
mendapat nilai 65 adalah 1 orang siswa, yang mendapat nilai 70 adalah 7 orang
siswa, sedangkan yang mendapat nilai 75 adalah 4 orang siswa dan yang mendapat
nilai 80 adalah 7 orang siswa serta yang mendapatkan nilai 85 adalah 1 orang siswa.
Berdasarkan hasil penelitian berdasarkan interval nilai yang ditentukan setelah
melakukan evaluasi pada siklus II ini maka , terdapat 1 orang siswa yang mendapat
nilai terendah yaitu 60 atau 4,34. Sedangkan 2 orang siswa mendapat nilai 64 atau
8,69%, untuk mendapatkan nilai 65 hanya 1 atau 4,34 sedangkan terdapat 7 orang
soswa yang mendapat nilai 70 atau 30,43%, sedangkan 4 orang yang mendapat nilai
75 atau 17,39 dan terdapat juga 7 orang siswa yang mendapat nilai 80 atau 30,43
serta 1 orang yang mendapat 85 atau 4,34% nilai dari skor maksimalnya adalah 100.
Dari hasil analisis inilah sehingga pada siklus II ini terlihat bahwa terjadi peningkatan
hasil belajar dimana pada siklus I hanya terdapat 8 orang siswa atau sekitar 34,78%
yang mengalami peningkatan, sedangkat pada siklus II terdapat 20 siswa yang atau
sekitar 86,95 yang mengalami peningkatan dari skor maksimalnya yaitu 100.
Pada siklus II semangat dan keaktifan siswa semakin memperlihatkan
kemajuan. Hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah siswa yang mampu dan
berani mengajukan pertanyaan kepada peneliti, bertanya tentang materi dan
mengajukan diri mengerjakan soal dipapan tulis. Berdasarkan uraian diatas dapat
dikatakan bahwa seluruh kegiatan pada siklus II ini mengalami peningkatan.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
72
1. Pembahasan Siklus I
a. Tindakan
Peneliti membuat desain pembelajaran sosiologi melalui penerapan
pembelajaran berbasis masalah. Peneliti mendeskripsikan hal-hal yang dipelajari di
kelas X SMA 1 Bajeng semester ganjil. setelah itu peneliti meminta saran dan
masukan kepada guru mata pelajaran sosiologi baik yang berkaitan dengan sumber
belajar, waktu, media pembelajaran, evaluasi maupun cara memanfaatkan
pembelajaran berbasis masalah di kelas.
Setelah membuka pelajaran, peneliti mambangkitkan motivasi siswa untuk
mengikuti proses pembelajaran, kemudian peneliti mengemukakan tujuan
pembelajaran berbasis masalah. Kegiatan pembelajaran ini berlangsung selama
empat kali pertemuan, secara umum pada siklus I ada beberapa hal yang sangat
perlu untuk diperbaiki pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, antar lain tingkat
kehadiran siswa yang masih rendah, banyaknya siswa yang melakukan aktifitas-
aktifitas lain di luar dari proses belajar mengajar serta kurang aktifnya siswa dalam
proses pembelajaran. Peristiwa yang terjadi pada awal pertemuan inilah yang
menjadikan peneliti berusaha untuk membangkitkan semangat dan minat belajar
siswa dengan mengajukan pertanyaan tentang pelajaran sosiologi penerapan
pembelajaran berbasis masalah. beberapa orang siswa memberikan respon namun
sebagian besar hanya diam. Siswa diam diakibatkan oleh rasa malu, kurang percaya
73
diri, dan takut untuk mengemukakan pendapatnya. Siswa terkesan takut melakukan
kesalahan, dan sebagainya, ditambah lagi memang karena tidak memahami hal yang
ditanyakan, hal itu diamati oleh peneliti sebagai laporan proses pengajaran sosiologi
dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah.
Kegiatan pembelajaran yang berlangsung selama silkus II ini, sebagian siswa
menunjukkan keinginan mereka untuk mengikuti proses pembelajaran sosiologi
berdasarkan rasa percaya diri mereka dalam menghadai faktas serta realitas terakit
dengan stratifikasi sosial, namun semuanya berjalan tidak sepenuhnya efektif
dikarenakan masih ada sebagian siswa yang tergolong nilainya masih kurang dan
termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran, akibatnya siswa jadi acuh tak
acuh dan tidak berminat mengikuti proses pembelajaran secara seksama.
b. Refleksi
Kegiatan refleksi dimaksudkan agar peneliti membahas hasil temuan dan hasil
pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung, kegiatan pembelajaran
sosiologi dengan melalui model pembelajaran berbasis masalah. menerangkan
akan pentingnya kerja sama dengan pasangan ataupun kelompok meskipun bukan
teman akrab, hal ini jika tidak terlaksana maka dapat mengakibatkan siswa tidak
aktif dalam proses pembelajaran.
Selain itu siswa belum sepenuhnya memahami materi serta penggunaan
bahasa yang kurang baik, ini terjadi dikarenakan peneliti tidak mengontrol secara
74
maksimal, siswa malas bertanya dan kurang percaya diri terhadap kemampuan yang
mereka miliki, ada pula siswa atau kelompok yang tidak tahu harus memulai
pembicaraan dari mana pada saat berdiskusi. Di samping itu, peneliti masih belum
optimal mengarahkan dan mengontrol siswa secara keseluruhan untuk fokus pada
proses pembelajaran sehingga mengakibatkan sikap siswa yang kurang respon,
dengan demikian pembelajaran sosiologi melalui model pembelajaran berbasis
masalah belum diterapkan dengan baik. Namun demikian secara keseluruhan
penerapan model pembelajaran berbasis masalah. pada siklus I mulai dari
pertemuan I sampai pertemuan ke IV sudah menunjukkan adanya perubahan
meskipun belum maksimal.
Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, baik secara individu maupun secara
kelompok, pada dasarnya ada yang sudah mencapai target yang ditentukan, akan
tetapi masih ada yang belum paham sepenuhnya materi pembelajaran sosiologi
melalui model pembelajaran berbasis masalah. baik secara individu maupun secara
kelompok masih ada sebagian siswa yang belum memenuhi syarat penilaian. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penilaian pada siklus I, oleh karena sangat perlu kiranya
untuk lebih mendidik dan melatih siswa melalui penerapan model pembelajaran
berbasis masalah. demi peningkatan hasil belajar siswa pada siklus II.
2. Pembahasan Siklus II
a. Tindakan
75
Pembelajaran berbasis masalah. merupakan teknik yang dilakukan oleh
peneliti agar dapat mengarahkan siswa untuk belajar sosiologi secara efektif,
disamping itu mereka juga belajar bekerja sama secara menyenangkan kepada
sesama siswa, mereka dilatih untuk membangun interaksi dan bisa menciptakan
persahabatan, kepekaan sosial dan toleransi baik kepada sesama siswa maupun
kepada guru. Melalui kegiatan ini siswa terlatih untuk terus memacu diri dan
mengembangkan potensi yang terpendam dalam dirinya baik secara individu
maupun secara kelompok.
Pembelajaran sosilogi pada pokok bahasan “perilaku menyimpang ” peneliti
membuat skenario pembelajaran mengenai materi yang akan diajarkan. Materi
tersebut diharapkan mampu membuka tingkat kogniti serta karangka pikir siswa
terhapap perilaku menyimpang yang kerap kali terjadi dalam struktur masyarakat
feodalisme dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah. dalam pelajaran sosiologi, tujuan dari pengajaran
tersebut memprioritaskan terbangunnya ide dan gagasan baru melalui pengalaman
nyata yang dipersentasikan serta mengaktualisasikan dalam masyarakkat. Adapun
tindakan yang dilakukan pada siklus II tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan
pada siklus I, hanya saja pada siklus II memperbaiki dan menyempurnakan apa yang
menjadi kekurangan pada siklus I, antara lain mengoptimalkan dan lebih mengontrol
siswa secara keseluruhan terutama pada saat diskusi sehingga siswa secara
76
keseluruhan aktif dalam proses belajar mengajar. Secara umum pada siklus II minat
dan hasil belajar siswa sudah mengalami peningkatan dari siklus I, hal ini ditandai
oleh beberapa hal antara lain kehadiran siswa mengikuti pembelajaran mengalami
peningkatan, perhatian dan minat siswa mengikuti pelajaran mengalami
peningkatan dan keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran pun meningkat. Hal lain
yang membuktikan bahwa minat dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan
adalah hasil belajar siswa melalui tes akhir siklus yang hasilnya menunjukkan lebih
banyaknya siswa yang telah mencapai target sesuai dengan yang ditentukan.
Proses pembelajaran tersebut, dapat disimpulkan oleh bahwa siswa kelas X
SMA 1 Bajeng mulai menunjukkan peningkatan dalam pembelajaran sosiologi
melalui model pembelajaran berbasis masalah.
b. Refleksi
Pada dasarnya di tahap awal, siswa telah mampu membangkitkan minat dan
kreativitasnya dalam pembelajaran sosiologi. Tahap awal ini adalah proses
pembelajaran untuk siswa agar mereka merasa senang dengan pembelajaran
sosiologi, selain itu di tahap ini pula siswa yang masih kurang aktif akan di bimbing
agar bisa aktif.
Tahap ini tampak siswa yang belum terlalu maksimal dalam proses
pembelajaran sosiologi baik secara individu maupun secara kelompok. Keberhasilan
pada siklus II ini merupakan refleksi pada siklus I dengan melakukan berbagai usaha
77
untuk merenovasi pembelajaran pada siklus II. Usaha yang dilakukan dalam
meningkatkan hasil belajar sosiologi pada siswa hasilnya sudah terlihat. Pada siklus II
peneliti memotivasi siswa untuk mengulang kembali materi pelajaran yang telah
diajarkan, tujuannya untuk menggugah siswa agar siap untuk mengikuti proses
pembelajaran. Berbeda pada siklus I peneliti hanya memotivasi siswa untuk rajin
belajar di rumah dan menginstruksikan kepada siswa baik secara individu maupun
kelompok untuk fokus pada pelajaran sosiologi. Dalam pembelajaran ini indikator
yang disusun oleh peneliti adalah melatih siswa untuk memahami dan
mengidentifikasi masalah secara terperinci/detil. Tahap pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dipilah dalam beberapa tahap sesuai dengan skenario pembelajaraan.
1) Seperti biasanya ketika memasuki kelas mengucapkan salam dan membaca
do’a bersama siswa.
2) Peneliti menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai siswa
diminta untuk berpikir tentang permasalahan yang disampaikan guru secara
kelompok.
3) Setelah masing-masing kelompok membahas materi atau permasalahan
dikelompoknya maka harus dipertanggung jawabkan di depan kelas untuk
mengemukakan hasil diskusinya.
4) Berawal dari kegiatan tersebut, peneliti mengarahkan pembicaraan pada
pokok permsalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan siswa.
78
5) Peneliti bersama siswa menyimpulkan pelajaran.
Prosedur evaluasi yang dilakukan dalam pembelajaran sosiologi berupa
refleksi dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi proses pemelajaran berupa partisipasi
dan kontribusi siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan evaluasi hasil
pembelajaran berupa hasil evaluasi setelah tindakan pembelajaran dilakukan.
Kegiatan refleksi dimaksudkan agar peneliti membahas temuan dan hasil
pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Kegiatan pembelajaran
sosiologi melalui model pembelajaran berbasis masalah. yang sudah efektif
didukung oleh keadaan siswa yang sudah aktif dalam menentukan topik
permaslahan kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut secara detail.
Selain itu, peneliti sudah maksimal mengarahkan dan mengontrol siswa dalam
menjawab dan menyelesaikan masalah yang diberikan. Bila demikian penerapan
pembelajaran sosiologi melalui model pembelajaran berbasis masalah sudah
diterapkan dengan efektif dan sudah mendapat respon yang baik dari siswa, hal ini
ditandai dengan keaktifan dan minat belajar siswa yang meningkat.
Dari hasil observasi yang dilakukan pada siklus II dengan aspek yang dinilai
ternyata siklus II telah mencapai hasil masksimal berkat refleksi yang dilakukan pada
siklus I. Sehingga secara umum dengan melihat hasil evaluasi siklus I dan siklus II
dapat katakan bahwa hasil pembelajaran sosiologi siswa kelas Kelas X SMA 1 Bajeng
terjadi peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada siklus I yang mencapai keberhasilan
79
dengan melihat pencapaian nilai yaitu hanya 8 orang siswa yang memperoleh nilai di
atas 70, kemudian pada siklus II meningkat menjadi 20 orang siswa. Sehingga dapat
dikatakan bahwa dengan melalui model pembelajaran berbasis masalah. dapat
meningkatkan hasil pembelajaran sosiologi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian maka, dapat
ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar sosiologi siswa kelas X SMA Negeri I Bajeng
mengalami peningkatan setelah diadakan pembelajaran dengan pendekatan
berbasis masalah adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan kasil blajar sosiologi siswa, yang ditunjukan oleh skor rata-rata
hasil belajar sosiologi pada setiap siklus I yaitu 61,78 dan siklus II meingkat
menjadi 73,40 dari skor maksilnya 100.
2. Tingkat pencepaian ketuntasan belajar secara individu, ditandai dengan
persentase ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus. Pada siklus I
persentase yang tuntas hasil belajar adalah 34,78 % dan pada siklus II siswa
yang tuntas belajar adalah 86,95 %.
80
3. Pendekatan berbasis masalah dalam pembelajaran sosiologi dapat diberikan
perubahan terhadap aktifitas siswa, keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran, semakin banyaknya siswa yang mampu merumuskan
masalah, semakin banyak siswa yang bertanya, dan menjawab soal-soal
dengan baik dan benar.
4. Karena terjadi penngkatan kualkitas hasil dan kualitas proses maka,
pendekatan berbasis masalah dalam pembelajaran sosiologi pada siswa
kelas X SMA Negeri I Bajeng cukup efektif untuk meningkatkan kualitas
belajar sosiologi.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang mengindikasikan adanya peningkatan hasil
belajar dan terjadinya perubahan aktifitas belajar siswa terhadap pembelajaran
sosiologi maka diajukan saran sebagai berikut :
1. Siswa yang hasil belajarnya tergolong rendah hendaknya diberikan perlakuan
khusus berupa bimbingan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi yang ia ketahu baik secara
perorangan maupun dengan kinerja kelompok. Melakukan penugasan
kepada siswa sesuai dengan bahan yang telah dikembangkan baik secara
individual maupun kelompok.
79
81
2. Guru hendaknya memberikan motifasi dan menciptakan interaksi yang
harmonis antara guru dan siswa, memberikan umpan balik positif terhadap
anggapan siswa dan menekankan konsep dari materi yang diberikan. Siswa
diarahkan untuk menyelesaikan soal.
3. Sekolah hendaknya mengumpulkan bahan informasi tentang proses
pembelajaran melalui pendekatan Berbasis masalah
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Beroriantasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Instruction). Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana. UNESA.
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Bawengan, 1977. Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya, Pradnya Paramita,
Catharina. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK UNNES.
Darsono, Max, dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hadi Sutrisno .1989. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah , Jakarta . Gramedia Pustaka
Ibrahim, Muslimin dan Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muin,Indianto,2004.Sosiologi. Bandung. Rineka Cipta.
82
UU No.20 SISDIKNAS 2003, 22 BAB,
Uno. Hamzah . 2007. Model Pembalajaran yang Efektif Dan Kreatif. Jakarta : Bumi Aksara
Nurhadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Berbasis masalah/CTL) Dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Nuryenti, Diah Eko. 2005. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk mengembangkan kecakapan Matematika Siswa Sekolah Dasar (SD) Kelas III Sebagai Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Sugandhi, 1980 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Surabaya
Singgih D. Gunarsa, 1983. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT
Sumiyati. 2007. Kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Syaiful Bahri. 2002. Srategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rhineka Ilmu. 80
Soren A. Kiekegaard . 1834. Rollo May Victor E. Frankl
Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta : Raja Grapindo
Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil, Djambatan, Jakarta,
W.J.S Poerwadarminto, 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Willis, Sofyan S., 2005 , Remaja dan Permasalahannya, , Bandung,
Winkel , W.S. 2004. Psikologi Pengajaran . Edisi Revisi. Yogyakarta : Media Abadi
83
84
top related