ekstraksi karaginan_michael heryanto_13.70.0004_d1_unika soegijapranata
Post on 04-Jan-2016
7 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Acara V
EKSTRAKSI KARAGINAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Michael Heryanto
NIM : 13.70.0004
Kelompok : D1
`
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
I. PRESENTASE PLAGIASI VIPER
1
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, panci, kompor, pengaduk,
hot plate, glass beker, termometer, oven, pH meter, timbangan digital.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut (Eucheuma cottonii),
isopropil alkohol (IPA), NaOH 0,1N, NaCl 10%, HCl 0,1 N serta aquades
1.2. Metode
2
Rumput laut basah ditimbang sebanyak 40
gram
Rumput laut dipotong kecil-kecil dan diblender dengan diberi air sedikit
Rumput laut direbus di dalam 1L air selama 1 jam dengan suhu 80-90oC
Rumput laut yang sudah halus dimasukkan kedalam panci
Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kain saring bersih dan
cairan filtrat ditampung dalam wadah.
pH diukur hingga netral yaitu pH 8 dengan ditambahkan
larutan HCL 0,1 N atau NaOH 0,1N
3
Ditambahkan NaCl 10% sebanyak 5% dari volume
larutan.
Volume larutan diukur dengan menggunakan gelas ukur.
Filtrat dituang ke wadah berisi cairan IPA (2x volume filtrat). dan diaduk dan
diendapkan selama 10-15 menitDirebus hingga suhu mencapai 60oC
Endapan karaginan ditiriskan dan direndam dalam caira IPA hingga
jadi kaku
Serat karaginan dibentuk tipis-tipis dan diletakan dalam wadah
Serat karaginan kering ditimbang. Setelah itu
diblender hingga jadi tepung karaginan
Dimasukan dalam oven dengan suhu 50-60oC
2. HASIL PENGAMATAN
Berikut merupakan hasil % rendemen ekstraksi karaginan dari seaweed Eucheuma cottonii,
dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Pengamatan ekstraksi karaginan
Kelompok Berat Awal (g) Berat Kering (g) Rendemen (%)
D1 2,74 40 6,85
D2 2,68 40 6,70
D3 3,20 40 8,00
D4 3,02 40 7,55
D5 3,46 40 8,65
Pada Tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa hasil ekstraksi karaginan dari Euchema
cottonii menunjukan hasil yang fluktuatif antara satu kelompok dengan kelompok yang
lainnya. Diketahui bahwa nilai berat kering yang diperoleh akan berbanding lurus dengan
hasil % rendemen. Hasil % rendemen terendah ditunjukan oleh kelompok D2 dengan
jumlah sebesar 6,70%, sedangkan hasil % rendemen tertinggi ditunjukkan oleh kelompok
D5 dengan jumlah sebesar 8,65%.
4
3. PEMBAHASAN
Rumput laut merupakan sebagai salah satu sumber devisa negara yang mampu
meningkatkan tingkat pendapatan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir (Bono et
al, 2014). Hingga saat ini pembudidayaan rumput laut di Indonesia merupakan suatu hal
yang populer dan telah menjadi suatu budaya (Mahmood et al, 2014). Peningkatan
popularitas dari rumput laut disebabkan karena tingginya nilai pemanfaatan yang dimiliki
dari rumput laut. Selain berperan sebagai makanan, minuman, dan obat-obatan. Olahan
lainnya dari rumput laut yang dimanfaatkan lebih jauh dan berperan cukup penting bagi
suatu industri merupakan pemanfaatan alginat, karaginan, dan agar-agar (Istini, 1998). Hal
ini dibuktikan dengan peningkatan permintaan sebesar 5-7% setiap tahunnya baik dalam
industri pangan, tekstil, kosmetik, hingga industri farmasi (Istiani et al, 1986)
Karaginan adalah golongan kelompok polisakarida galaktosa yang bersumber dari rumput
laut. Salah satu contoh spesies rumput laut merah (Rhodophyta) yang banyak ditemukan
dan digunakan sebagai sumber utama karaginan adalah Chondrus crispus (Tuvikene et al,
2006). Karaginan mengandung sejumlah mineral yang terdiri atas natrium, magnesium, dan
kalsium yang dapat terikat dalam gugus sulfat ester yang berasal dari galaktosa, serta
kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa (Usov A.l, 1998). Sedangan pendapat menurut Zhou et al
(2008) mengenai struktur secara kimia dari karaginan adalah berupa senyawa polianion
dengan berat molekul sebesar 100.000 – 1000.000 dalton yang tersusun oleh ikatan
glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian yang terhubung oleh ikatan 3,6-anhydro-
galaktosa sebagai rantai utamanya bersamaan dengan gugus sulfat.
Karaginan kompleks memiliki karateristik larut dalam air, berantai linear, dan sulfat
galaktan (Mahmood et al, 2014). Karaginan dibagi berdasarkan pemabagian substituen
sulfat (jumlah dan posisi dari gugus sulfat) pada monomernya terdiri atas beberapa tipe
yaitu kappa, iota, lambda, mu, nu, dan xi-karaginan (Mochtar et al, 2013). Akan tetapi jenis
karaginan yang umum digunakan secara komersial adalah karaginan berjenis kappa, iota,
dan lambda. Secara alami, karaginan berjenis kappa dan iota tidak dapat langsung
5
6
diekstraksi dari rumput laut, akan tetapi dihasilkan secara enzimatis dengan mereaksikan
precursor karaginan jenis tertentu dengan sejumlah enzim sulfohidrolase yang ditambahkan
(Wong & Craigie, 1978). Akan tetapi menurut Bono et al (2014) karaginan berjenis
tersebut dapat diproduksi secara alkalis apabila ingin diproduksi secara komersial.
Dalam industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan dan tekstil, karaginan banyak
dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, thickening agent, serta stabilizing agent (Webber et
al, 2012). Hal ini dapat dijumpai dalam karaginan karena kemampuannya yang dimiliki
dalam pembentukan gel secara thermoreversible dan kemampuan pembentukan larutan
kental apabila ditambahkan dalam larutan garam (Bajpai et al, 2013). Kemampuan
pembentukan gel menurut Winarno (1990) dalam karaginan disebabkan oleh adanya gugus
3,6-anhydro-galaktosa yang akan memiliki bentuk ikatan heliks pada saat peningkatan
terjadi. Karateristik pembentukan gel dan sebagai thickening agent yang berasal dari
karaginan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung diantaranya adalah (1) waktu,
suhu, dan pH ekstraksi yang diberikan, (2) keberadaan senyawa kation dalam larutan, serta
(3) dari jenis karaginannya itu sendiri (Mochtar et al, 2013). Hal ini dijelaskan menurut
Velde & Ruiter (2002) bahwa karaginan berjenis kappa memiliki efektifitas yang tinggi
sebagai gelling agent, sedangkan karaginan berjenis lambda dan iota hanya dapat
digunakan sebagai bahan pengental dan stabilizing agent.
Oleh karena itu percobaan ini dilakukan bertujuan untuk mengekstraksi karaginan dari
rumput laut berjenis Euchema cottonii. Menurut Diharmi et al (2011) rumput laut dengan
jenis Kappaphycus alvarezii atau yang biasa dikenal dalam dunia perdagangan sebagai
Eucheuma cottonii merupakan jenis rumput laut penghasil karaginan berjenis kappa,
sehingga dalam praktikum ini karaginan yang diekstrak tergolong atas jenis karaginan
kappa. Hal ini ditambah dengan teori yang berasal dari Shamsabadi et al (2013) Eucheuma
cottonii merupakan karaginan berjenis kappa yang bersifat sebagai edible red seaweed yang
kaya akan kandungan nutrien serta manfaat pharmaceutical yang disebabkan akibat
kandungan fenolik yang mampu menghambat pertumbuhan senyawa kanker melalui
mekanisme antioksidatif dan antipolorative yang dimilikinya. Proses isolasi terhadap
7
karaginan telah banyak terjadinya perkembangan, akan tetapi hingga saat ini metode yang
umum dilakukan melalui ekstraksi alkali.
Tahapan isolasi menurut Bawa et al (2007) terdiri atas tahap ekstraksi, penyaringan,
presipitasi, dan pengendapan. Hal ini sesuai dengan tahapan dalam percobaan yang
dilakukan pada saat ini yang diawali dengan melakukan ekstraksi dengan penggunaan suhu
tinggi. Tahapan ekstraksi dilakukan dengan cara melarutkan potongan kecil dari Eucheuma
cottonii basah sebanyak 40 gram ke dalam air sebanyak 1 liter dan dipanaskan pada suhu
80o-90o C selama 1 jam. Ekstraksi menurut Petrucci (1989) merupakan suatu langkah yang
bertujuan untuk memisahkan antara komponen (solute) terhadap campurannya yang
dilakukan dengan menggunakan solven sebagai tenaga pemisah. Pada umumnya dalam
proses ekstraksi dapat digunakan pelarut selain aquades yaitu penggunaan larutan basa
kuat. Menurut Bajpai et al (2013) menunjukan bahwa proses ekstraksi yang dilakukan
dengan menggunakan pelarut basa NaOH akan menghasilkan % rendemen yang semakin
tinggi. Hal ini disebabkan karena pada larutan alkali akan dengan mudah memecah
komponen dinding yang terdapat dalam rumput laut sehingga berakibat pada terekstraknya
karaginan dalam jumlah yang maksimum. Akan tetapi dalam praktikum ini hanya
digunakan aquades disebabkan karena dalam percobaan ini bertujuan untuk mengetahui %
rendemen yang dihasilkan dan tidak untuk mengetahui kualitas dari karaginan mana yang
lebih baik.
Menurut pendapat Bajpai et al (2013) bahwa penggunaan NaOH sebagai pelarut akan
menghasilkan karaginan dengan kenampakan fisik akhir yang buruk, serta adanya batasan
tertentu dimana penggunaan NaOH sebagai pelarut karaginan lebih baik dibandingkan
dengan penggunaan aquades yaitu pada konsentrasi >0,7 N. Hal ini disebabkan karena
penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang rendah (<0,7 N) justru akan mengakibatkan
pada pemecahan polimer dari karaginan yang akan menghasilkan produk dengan berat
molekul yang rendah, sehingga karaginan yang dihasilkan justru tidak dapat diendapkan
dalam tahap presipitasi dengan alkohol (Wiratni et al¸ 2010). Dengan kata lain menunjukan
bahwa penggunaan aquades akan tetap lebih efektif dalam menghasilkan % rendemen
8
karaginan dalam jumlah yang lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan penggunaan
NaOH dengan konsentrasi < 0,7 (Distantia et al¸ 2009).
Suhu dan waktu pemanasan selama proses ekstraksi merupakan faktor yang penting dalam
proses ekstraksi berlangsung (Bajpai et al, 2013). Adapun suhu yang digunakan dalam
percobaan ini sebesar 80o-90oC dengan waktu selama 1 jam. Penggunaan suhu yang
samapun dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yasita et al (2010) terhadap spesies
Eucheuma cottonii sebesar 90o-95oC ataupun yang dilakukan oleh Diharmi et al (2011)
pada ekstraksi karaginan dari Eucheuma spinosum sebesar 60oC. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hudha et al (2012) menunjukan bahwa penggunaan suhu 90°C selama 1 jam
dalam ekstraksi karaginan yang berasal dari Eucheuma cottonii merupakan langkah yang
tepat dalam menghasilkan % rendemen teroptimal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin
lama dan tinggi suhu ekstraksi yang diberikan hingga batas tertentu akan meningkatkan dari
% rendemen yang dihasilkan selama proses ekstraksi berlangsung. Akan tetapi apabila
melewati dari batas suhu yang telah ditentukan (di luar suhu optimal) maka akan
mengakibatkan terjadinya degradasi biopolimer dalam karaginan yang akan berakibat pada
penurunan viskositas serta kekuatan pembentukan gel yang dimiliki oleh karaginan
(Webber et al, 2012). Oleh karena itu menjadi titik perhatian dan krusial pada saat proses
pemanasan dalam percobaan berlangsung, apabila pemanasan terjadi hingga mencapai suhu
90oC akan mengakibatkan dari menurunnya kemampuan pembentukan gel yang dimiliki
dan % rendemen yang dihasilkan (Bajpai et al, 2013).
Karaginan merupakan senyawa polisakarida galaktosa yang akan terhidrolisis apabila
berada dalam kondisi yang terlalu asam dan bersifat stabil terhadap kondisi basa (Bawa et
al, 2007). Dengan hal ini dilakukannya tahapan netralisasi setelah proses ekstraksi
berlangsung dengan menambahkan larutan HCl 0,1 N ataupun NaOH 0,1 untuk mencegah
kondisi yang terlalu asam pada ekstrak karaginan yang didapatkan. Pentingnya menjaga
kestabilan pH selama proses ekstraksi berlangsung disebabkan karena ketidakstabilan pada
pH akan mendorong dari terjadinya penurunan % rendemen yang dihasilkan, serta mampu
menurunkan nilai dari kekuatan gel serta nilai viskositas yang dimiliki (Mahmood et al,
9
2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bawa et al (2007) menunjukan bahwa
pH optimum yang dimiliki oleh Eucheuma cottonii berkisar pada nilai 8-8,5 sehingga teori
yang didapatkan sesuai dengan metode yang dilakukan pada saat percobaan berlangsung.
Proses selanjutnya yang dilakukan adalah dilakukan penyaringan dengan menggunakan
kain saring yang bertujuan untuk memisahkan senyawa pengotor yang terdapat dalam
ekstrak karaginan. Kemudian filtrat yang dihasilkan ditambahkan dengan larutan NaCl 10%
dan dipanaskan hingga mencapai suhu 60oC. Penambahan senyawa NaCl menurut
Anggadiredja (2006) adalah memperhatikan dari kebutuhan garam dari ekstrak karaginan
yang berasal dari Eucheuma cottonii. Diketahui bahwa pada dasarnya setiap jenis dari
rumput laut yang merupakan golongan dari stenohaline memerlukan kondisi salinitas yang
mampu mempengaruhi dari kualitas akhir ekstrak karaginan yang dihasilkan. Akan tetapi
kebutuhan garam yang dibutuhkan oleh Eucheuma cottonii menurut Luning (1990) tidaklah
berada dalam konsentrasi garam yang tinggi, sehingga dalam praktikum ini digunakan
penambahan garam NaCl sebesar 10%. Penambahan konsentrasi garam yang berlebihan
menurut Bawa et al (2007) mampu berakibat pada penurunan kapasitas pembentukan gel
dan tingkat kelarutan yang dimiliki oleh karaginan. Menurut Luning (1990) kandungan
garam yang teroptimum dalam proses ekstraksi karaginan untuk menghasilkan karaginan
dengan kemampuan pembentukan gel serta pengikatan air dengan baik dapat ditambahkan
dengan NaCl ±12%. Sedangkan perlakuan pemanasan yang diberikan menurut Distantina et
al, 2011) bertujuan untuk memaksimalkan proses pelarutan dari NaCl yang ditambahkan,
serta untuk pelunakan dinding sel karaginan sehingga lebih mudah untuk terpresipitasi.
Tahapan akhir merupakan tahapan pengendapan/presipitasi dari ekstrak karaginan yang
diperoleh dengan mereaksikan filtrat yang diperoleh dengan cairan isopropil alkohol (IPA)
dan dibantu dengan pengadukan selama 10-15 menit hingga terbentuknya senyawa
karaginan. Pengendapan/presipitasi merupakan suatu kondisi dimana terbentuknya endapan
dari suatu senyawa yang dibantu oleh reaksi kimia yang mampu mengendapkan senyawa
tersebut. Pada umumnya presipitasi yang dilakukan dalam karaginan merupakan presipitasi
dengan menggunakan alkohol (isopropil alkohol ataupun etanol) yang memiliki kelebihan
dibandingkan dengan metode lainnya yaitu biaya produksi yang murah serta waktu yang
10
cepat (FDC, 1981). Metode lainnya yang mampu digunakan dalam proses isolasi karaginan
adalah dengan menggunakan metode pembekuan umum. Pemilihan jenis alkohol berupa
isopropil alkohol didasarkan pada karateristiknya yang lebih aman dibandingkan
penggunaan jenis lainnya (Mahmood et al, 2014). Akan tetapi menurut Yasita et al (2010)
penggunaan etanol dibandingkan dengan isopropil alkohol akan menghasilkan % rendemen
yang lebih tinggi yang dikarenakan panjang rantai karbon etanol yang lebih pendek.
Sedangkan perlakuan pengadukan bertujuan untuk memaksimalkan peristiwa pengendapan
yang terjadi setelah direaksikan dengan larutan isopropil alkohol.
Endapan karaginan yang telah terbentuk dalam tahapan presipitasi, kemudian ditiriskan dan
direndam kembali dalam larutan IPA yang bertujuan untuk mengoptimalkan peristiwa
pengendapan senyawa karaginan. Proses pengendapan yang telah berlangsung secara
optimal ditandai dengan terbentuknya serat-serat kaku setelah proses perendaman dalam
isopropil alkohol berlangsung. Selanjutnya serat karaginan dibentuk tipis-tipis dan siap
untuk dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 50o-60oC. Pengecilan ukuran serat
karaginan bertujuan untuk memperluas surface area dari karaginan sehingga akan
dihasilkan peristiwa penurunan kadar air dalam karaginan yang bersifat optimum. Akan
tetapi munculnya kendala pada saat proses pengurangan kadar air serat karaginan dengan
menggunakan oven yaitu akan didapatkan produk akhir yang cenderung berwarna
kecoklatan. Menurut Djaeni et al (2012) proses pengeringan yang dilakukan dengan
menggunakan oven merupakan bukan suatu langkah yang efektif dalam proses pengeringan
serat karaginan. Hal ini dikarenakan selama proses pengeringan dengan oven akan
menghasilkan pemanasan yang tidak merata yang mendukung dari terjadinya degradasi
polisakarida dalam karaginan. Menurut Djaeni et al (2012) metode pengeringan yang
efektif dalam menghasilkan karateristik karaginan yang optimal adalah dengan
menggunakan spray dryer. Hal ini karena pada proses spray drying dilakukan pemanasan
secara cepat sehingga mampu menghasilkan serbuk karaginan secara langsung tanpa
diberikan perlakuan pemblenderan untuk menghasilkan tepung karaginan sehingga resiko
kerusakan struktur pada polisakarida karaginan dapat terhindarkan selama proses
pemanasan berlangsung.
11
Kualitas yang baik dari karaginan dalam percobaan ini ditandai dengan tingginya nilai %
rendemen karaginan tersebut. Pada umumnya menurut Webber et al (2012) kualitas
karaginan yang baik ditandai dengan kemampuannya dalam pembenrukan gel dan sebagai
agen pengental. Berdasarkan hasil percobaan bahwa didapatkan % rendemen karaginan
dengan rentang yang cukup besar dari 6,70% hingga 8,65%. Rendemen karaginan menurut
Hapsari (2013) merupakan suatu rasio antara berat kering dari karaginan terhadap berat
rumput laut basah. Menurut Departemen Dinas Perikanan (2009) mengatakan bahwa batas
standart minimal rendemen yang diperoleh dalam proses isolasi karaginan adalah 25%.
Oleh karena itu jika membandingkan nilai % rendemen yang diperoleh terhadap standart
minimal yang ada dapat dikatakan bahwa proses isolasi karaginan yang dilakukan dalam
percobaan ini berjalan secara tidak optimal sehingga tidak dihasilkannya % rendemen
karaginan dalam jumlah yang optimal. % Rendemen yang tidak optimal diperoleh dari
proses isolasi karaginan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
A. Suhu dan lama pemanasan dalam proses ekstraksi yang tidak optimal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hudha et al (2012) suhu dan lama pemanasan
yang tepat dalam menghasilkan % rendemen karaginan yang paling optimal berada pada
nilai 90oC salama 2,5 jam. Adapun berdasarkan hasil penelitian dari (Webber et al, 2012)
menunjukan bahwa kondisi optimal dalam proses ekstraksi berada pada kisaran suhu
sebesar 74oC selama 4 jam untuk menghasilkan karaginan dengan % rendemen yang tinggi,
kekuatan gel yang baik, dan tinggi nilai viskositasnya. Apabila suhu dan lama pemanasan
berada di bawah nilai tersebut maka proses ekstraksi dari karaginan berjalan tidak optimal,
sedangkan apabila nilai berada di atas dari batas yang telah ditentukan akan mengakibatkan
terdegradasinya molekul polisakarida karaginan yang berpengaruh terhadap penurunan %
rendemen yang dimiliki (Webber et al, 2012). Ataupun berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bono et al (2014) yang menunjukuan bahwa kondisi optimum proses
ekstraksi dicapai pada saat penggunaan suhu 80oC selama 30 menit. Suhu dan lama
pemanasan merupakan hal yang relatif antar masing-masing pengujiannya dan sangat
dipengaruhi oleh karateristik dari rumput laut yang digunakan, jumlah, dan penggunaan
jenis pelarut yang digunakan (Bono et al, 2014).
12
B. Proses netralisasi yang tidak tepat.
Karaginan yang masih bersifat asam atau terlalu basa (ketidakstabilan pH) akan mendorong
dari terjadinya penurunan % rendemen yang dihasilkan, serta mampu menurunkan nilai dari
kekuatan gel serta nilai viskositas yang dimiliki (Bawa et al, 2007).
C. Pemilihan penggunaan pelarut.
Penggunaan pelarut basa NaOH (> 0,7 N) dibandingkan aquades akan menghasilkan %
rendemen yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena pada larutan alkali akan dengan
mudah memecah komponen dinding yang terdapat dalam rumput laut sehingga berakibat
pada terekstraknya karaginan dalam jumlah yang maksimum. Ditambah dengan kestabilan
yang tinggi apabila karaginan berada dalam larutan basa dibandingkan pada kondisi netral
aquades. Penggunaan NaOH pun memiliki kelemahan dimana akan menghasilkan
karaginan dengan kenampakan fisik akhir yang buruk (Tuvikene et al, 2006). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Bono et al (2014) mengungkapkan bahwa % KOH optimum
yang digunakan dalam proses ekstraksi untuk menghasilkan rendemen yang optimum
berada pada konsentrasi 10%.
D. Penggunaan jenis alkohol yang digunakan dalam tahapan presipitasi.
Penggunaan alkohol jenis isopropil alkohol (IPA) menurut dari Yasita et al (2010)
bukanlah suatu langkah yang efektif apabila dibandingkan dengan penggunaan etanol
sebagai larutan pengendap. Tidak efektinya penggunaan isopropil alkohol disebabkan
akibat lebih panjangnya rantai karbon yang dimiliki dibandingkan pada etanol.
E. Metode pengeringan yang dilakukan
Metode pengeringan dengan menggunakan oven biasa menurut Djaeni et al (2012) akan
mengakibatkan paparan panas yang berlebihan yang diterima oleh karaginan sehingga akan
berakibat pada terdegradasinya karaginan yang berakibat pada penurunan % rendemen
yang diperoleh melalui proses isolasi karaginan.
F. Kondisi pengkulturan Eucheuma cottonii dan usia panen yang diberlakukan.
13
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mochtar et al (2013) mengungkapkan
bahwa pemanenan Eucheuma cottonii yang dilakukan pada saat umur tua memberikan
rumput laut yang kaya akan kandungan jaringan tua yang mengandung karaginan dalam
jumlah yang tinggi dibandingkan pada rumput laut yang masih berusia muda.
Salah satu metode pengoptimalan dalam metode ekstraksi karaginan yang dapat dilakukan
tanpa melakukan perlakuan presipitasi dengan menggunakan alkali dan etanol adalah
dengan menggunakan response surface methodology (RSM) (Webber et al¸ 2012). Adapun
dalam proses RSM ini digunakan metode pengeringan secara atomisasi yang memiliki
kelebihan dalam penghematan waktu untuk mendapatkan dry powder dari karaginan.
Sedangkan pendapat menurut Mahmood et al (2014) dalam menghasilkan karaginan yang
lebih stabil pada produk akhirnya diperlukan suatu teknik lebih jauh mengenai perubahan
senyawa kappa karaginan menjadi karaginan ester yang diketahui memiliki ketahanan yang
lebih terhadap panas dan kemampuan gel yang lebih baik melalui pereaksian secara
kimiawi.
4. KESIMPULAN
Karaginan adalah golongan kelompok polisakarida galaktosa yang bersumber dari
rumput laut merah (Rhodophyta).
Karaginan tersusun atas 3,6-anhidrogalaktosa sebagai rantai utama yang berikatan
dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian.
Jenis dari karaginan yang digunakan industri komersial adalah kappa karaginan,
lambda karaginan dan iota karaginan.
Karaginan dimanfaatkan sebagai stabilizer, agen pengemulsi, serta thickening agent.
Karaginan berjenis kappa dan iota dapat dihasilkan melalui dua langkah yaitu secara
enzimatis maupun secara alkalis, pada percobaan kali ini digunakan secara alkalis.
Karateristik pembentukan gel karaginan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mendukung diantaranya adalah (1) waktu, suhu, dan pH ekstraksi yang diberikan, (2)
keberadaan senyawa kation dalam larutan, serta (3) dari jenis karaginannya itu sendiri.
Eucheuma cottonii merupakan bagian dari kappa karaginan yang dikenal akan sifat
gelling agent yang sangat baik dibandingkan jenis karaginan lain.
Tahapan isolasi karaginan dibagi menjadi 4 tahap utama yang terdiri dari
pengekstraksian, penyaringan, presipitasi dan pengendapan.
Ekstraksi karaginan dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut basa kuat NaOH
(>0,7 N) ataupun dengan menggunaan aquades.
Suhu dan lama pemanasan dalam ekstraksi yang berlebihan akan mengakibatkan
terjadinya degradasi biopolimer dalam karaginan yang akan berakibat pada penurunan
viskositas serta kekuatan pembentukan gel yang dimiliki oleh karaginan.
Penetralan merupakan salah satu tahap yang krusial untuk mencegah terjadinya
kerusakan pada karaginan akibat kondisi yang terlalu asam maupun basa.
Penambahan garam bertujuan untuk memberikan kondisi salinitas yang dibutuhkan
oleh karaginan dalam jumlah yang tertentu.
Penggunaan larutan isopropil alkohol (IPA) bertujuan untuk mengendapkan serat
karaginan yang didapatkan melalui proses ekstraksi.
14
15
Penggunaan larutan etanol dibandingkan dengan larutan isopropil alkohol (IPA) akan
memiliki efektifitas proses pengendapan yang lebih baik.
Proses pengeringan dengan menggunakan oven akan mengakibatkan pemanasan yang
tidak merata yang mendukung dari terjadinya degradasi polisakarida dalam karaginan.
Salah satu alternatif dalam metode pengeringan yang mampu mempertahankan
karateristik karaginan dengan baik adalah dengan menggunakan spray dryer
(pengeringan secara atomisasi).
Proses isolasi terhadap karaginan dalam percobaan ini belum optimal karena
didapatkan % rendemen karaginan yang rendah apabila dibandingkan dengan standar.
Kualitas karaginan utama yang dihasilkan dapat dilihat dari nilai tingkat viskositas
yang dihasilkan, serta kekuatan gelnya serta % rendemen yang dihasilkan.
Faktor yang mempengaruhi % rendemen karaginan adalah suhu dan waktu ekstraksi,
proses netralisasi, solven yang digunakan dalam ekstraksi, presipitan yang digunakan,
metode pengeringan yang digunakan, serta jenis dan kondisi lingkungan
pembudidayaan karaginan.
Semarang, 30 Oktober 2015 Praktikan Asisten Dosen :
Michael Heryanto Ignatius Dicky A.W (13.70.0004)
5. DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja, T. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Bajpai, S.K, and Pradeep, T. 2013. Studies on equilibrium moisture absorption of kappa carrageenan. International Food Research Journal. ISSN 2183-2191.
Bawa, I.G.A.G, Puta, A.B, Laila, I.R. 2007. Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia Vol 1(1):15-20
Bono, A., S.M. Anisuzzaman, and Ong W.D., 2014. Effect of process conditions on the gel viscosity and gel strength of semi-refinedcarragenan (SRC) produces from seaweed (Kappaphycus alvarezii). Journal of Engineering Sciences. Vol 26 : 3-9.
Departemen Dinas Perikanan. 2009. Karaginan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Selawesi Tengah. Indonesia.
Diharmi .A; Dedi .F; Nuri .A; dan Endang S.H. 2011. Karateristik karaginan hasil isolasi Eucheuma spinosum (alga merah) dari perairan semenep Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol 16, 1: 117-124.
Distantina, S, Wiratni, Fahrurrozi, M, & Rochmadi. 2011. Carrageenan Properties Extracted From Eucheuma cottonii, Indonesia. World Academy of Science, Engineering and Technology Vol 54:738-742.
Djaeni, M, Prasetyaningrum, Mahayana, A. 2012. Pengeringan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Pada Spray Dryer Menggunakan Udara yang di Dehumidifikasi dengan Menggunakan Zeolit Alat Tinjauan : Kualitas Produk dan Efisiensi Energi. Momentum Vol 8(2):28-34
Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. National Academy Press Washington.
Hapsari, S.S.M. 2013. Ekstraksi Karaginan. Universitas Jendral Sudirman. Purwokerto.
Hudha, H.I, Sepdwiyanti, R, Sari, S.D. 2012. Ekstraksi Karaginan dari Ekstraksi Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dengan Variasi Suhu Pelarut dan Waktu Operasi. Berkala Ilmiah Teknik Kimia Vol 1(1):17-20
16
17
Istiani, S, Zatnika, A, Anggadireja, J.T. 1986. Manfaat Pengolahan Rumput Laut. Majalah BPPT. Jakarta.
Istini, S. dan Suhaimi., 1998, Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut, Lembaga Oseanologi Nasional, Jakarta.
Luning, K. 1990. Seaweeds, Their Environment, Biogeography and Ecophysiology. John Wiley and Sons.
Mahmood, W.A.K, Mohammad, M.R.K, and Teow, C.Y. 2014. Effect of reaction temperature on the synthesis and thermal properties of carrageenan ester. Journal of physical sciences. Vol 25(1) : 123-138.
Mochtar, A.H, Ismaya, P., M. Saleh S.A., et al. 2013. Effect of harvest age on carragenan yield and gel strength. World Applied Sciences Journal. ISSN 1818-4952.
Perreira, L & F.V, Velde. 2011. Portugesse Carrageenophythes : Carrageenan Composition and Geographic Distribution of Eight Species (Gigartinales rhodophyta). Carbohydrate Polymer Vol 84(1):614-623.
Petrucci, R. 1989. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.
Shamsabadi, F.T, Khoddami, A, Fard, S.G, Abdullah, R, Othman, H.H & S, Mohamed. 2013. Comparison of Tamoxifen with Edible Seaweed (Eucheuma cottonii L) Extract in Suppresing Breast Tumer. Institute of Bioscience Universitas Putra Malaysia. Malaysia.
Tuvikene, R, Truus, K, Vaher, M, Kailas, T, Martin, G & P, Kersen. 2006. Extraction and Quantification of Hybrid Carrageenans from the Biomass of Red Algae Furcellaria lumbricalis and Coccotylus truncatus. Proc.Estonian.Acad.Sci.Chem Vol 55(1):40-53.
Usov, A. I. 1998. Structural analysis of red seaweed galactans of agar and carrageenan groups. Food Hydrocolloids, 1998, 12, 301–308.
Velde, F.V & Ruiter, G.A. 2002. Carrageenan in Biopolymers. Wiley-VCH. Germany.
Webber, V, Carvalho, S.B, Ogliari, P.J, Hayashi, L & P.L.M, Barreto. 2012. Optimization of Extraction of Carrageenan from Kappaphycus alvarezii Using Response Surface Methodology. Cienc.Technol.Aliment.Campinas Vol 32(4):812-818.
18
Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wiratni, S., Distantina, Fadilah, Rochamandi, Moh. Fahturozzi. 2010. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses: Proses Ekstraksi Karaginan dari Eucheuma cottonii. ISSN : 1411-4216.
Wong, K.F & J.S, Craigie. 1978. Sulfohydrolase Activity and Carrageenan Biosynthesis in Chondrus crispus (Rhodopyceae). Plant Physiology Vol 61:663-666.
Yasita, D & I.D, Rachmawati. 2010. Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang.
Zhou, M.H, Ma, J.S, Li, J, Ye, H.R, Huang, K.X & X.W, Zhao. 2008. A k-carrageenase from Newly Isolated Pseudoalteromonas-like Bacterium WZUC 10. Biotechnology and Bioprocess Engineering Vol 13:545-551.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
% rendemen=berat keringberat basah
×100 %
Kelompok D 1:
% rendemen=2,7440
×100 % = 6,85%
Kelompok D2
% rendemen=2,6840
×100 % = 6,7%
Kelompok D3
% rendemen=3,2040
×100 % = 8 %
Kelompok D4
% rendemen=3,0240
× 100 % = 7,55%
Kelompok D5
% rendemen=3,4640
×100 % = 8,65%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
19
top related