discernment dalam penyelesaian konflik pada tiga … · discernment dalam penyelesaian konflik pada...
Post on 26-Oct-2019
23 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA
DALAM HIDUP MEMBIARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Regina Ema Pratiwiningrum
NIM: 051114003
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
i
DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA
DALAM HIDUP MEMBIARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Regina Ema Pratiwiningrum
NIM: 051114003
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia
yang memberi kekuatan kepadaku.”
(Flp 4: 13)
“Orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru:
mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya;
mereka berlari dan tidak menjadi lesu,
mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
(Yes 40: 31)
“Bila kamu tidak mengolah hidup batinmu,
kamu tidak dapat berbuat sesuatu yang sungguh-sungguh berharga.”
(St. Jullie Billiart)
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
♥ Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria tercinta yang dengan setia mendampingi
dan menemaniku dalam suka dan duka.
♥ Para Suster Kongregasi Santa Perawan Maria yang mendukung dalam
panggilan dan studiku.
♥ Bapak, ibu, kakak-kakak, dan sahabatku yang selalu mendukung dan setia
mendoakanku.
♥ Almamaterku tercinta: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas
Sanata Dharma yang telah mendidik dan mendewasakan aku.
v
vi
vii
ABSTRAK
DISCERNMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PADA TIGA SUSTER SANTA PERAWAN MARIA
DALAM HIDUP MEMBIARA
Regina Ema Pratiwiningrum Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2010
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara dan untuk menemukan program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment.
Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga suster SPM yang tinggal di tiga komunitas yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam. Instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan dengan pembimbing. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan subjek penelitian direkam dengan menggunakan tape recorder dan disusun dalam bentuk transkrip.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga subjek penelitian mampu melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik, hanya saja masih kurang mendalam dan perlu ketekunan untuk terus dilatih, karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam dan masih menyulitkan mereka dalam mengambil keputusan dengan tepat. Meskipun demikian, pergulatan dan hambatan selama ber-discernment, membuat mereka mampu memaknai dan menemukan manfaat positif dari discernment bagi perkembangan kepribadian dan kedewasaan iman mereka. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment adalah iman yang kuat, kasih, kesetiaan, keberanian menanggung resiko, kerendahan hati, penghargaan diri, dan pengampunan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti mengusulkan beberapa program pembinaan untuk meningkatkan kemampuan melakukan discernment. Usulan kegiatan meliputi: Pengolahan Hidup, pelatihan khusus discernment, Correctio Fraterna, dan mengagendakan discernment sebagai habitus berupa: refleksi, retret, dan rekoleksi. Topik-topik kegiatan antara lain: Peta Perjalanan Batin, Eneagram, Genogram, penerimaan diri, kepercayaan diri, penghargaan terhadap diri sendiri, pengampunan, persaudaraan sejati, Correctio Fraterna, dan ekaristi. Program ini dimaksudkan agar para suster SPM mampu mengolah batin/emosi, menerima diri, mengenal gerakan batin, lebih peka mendengarkan suara hati, dapat membedakan roh baik atau jahat, mampu menimbang-nimbang, berani mengambil keputusan, dan bertindak sesuai keputusan itu.
viii
ABSTRACT
DISCERNMENT IN RESOLVING CONFLICT OF THREE SISTERS OF OUR LADY
IN CONVENT LIFE
Regina Ema Pratiwiningrum Sanata Dharma University
Yogyakarta 2010
This research was aimed to describe discernment in resolving conflict done by three sisters of Our Lady in convent life and to discover the best development program employed by sisters of Our Lady to be able to boost the skill of discernment.
This type of research was qualitative. The research subjects were three sisters of Our Lady living in a community that is Central Java and East Java. The data collecting method employed was a profound interview. The instrument of research was several interview questions for guidance which were compiled by researcher and consulted to the supervisor. The data taken from the subject’s interview result was recorded by a tape recorder and arranged in transcript form.
The result showed that the three research subjects were able to employ discernment in resolving conflict, only it was not too profound yet and there was a need of persistence to develop it more, because the appeared emotion was not yet cultivated profoundly and makes them difficult to take a decision appropriately. Nevertheless, the struggle and obstacle during discerning make them able to value and discover benefit o the discernment itself for personality development and the maturity of their faith. The values which grow stronger in the process of discernment were commanding faith, affection, loyalty, brave to carry a risk, modesty, self-esteem, and forgiveness.
Based on the research, the researcher suggested several guidance programs to increase the ability of discernment. The offered activities comprise: Life Cultivation, discernment distinctive training, Correction Fraterna, and slating discernment as a habitus namely: reflection, retreat, and recollection. The activity topics were: Maps of The Inner Journey, Eneagram, Genogram, self-acceptance, self confidence, self-esteem, forgiveness, truly friendship, Correction Fraterna, and eucharist. These programs were meant to train sisters of Our Lady to be able to cultivate emotion, accept themselves, know the inner movement, be sensitive to listen to their own heart, differentiate the good and the bad, consider, be brave in taking a decision, and act according to the decision.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Mahabaik atas rahmat dan kesetiaan-
Nya sehingga penulis memperoleh kekuatan dan semangat untuk tetap setia
menyusun skripsi. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling di Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini
dapat terselesaikan berkat bantuan, perhatian, dukungan, dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.
2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Drs. Y.B. Adimassana, M.A., selaku pembimbing pertama yang telah setia
dan sabar membimbing, mendukung, dan memberi banyak masukan kepada
penulis.
4. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A., selaku pembimbing kedua yang telah
memberi inspirasi/masukan dan memberi semangat kepada penulis.
5. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma yang telah berjerih payah memberikan seluruh tenaga, ilmu, dan
perhatian kepada penulis.
x
6. Para karyawan perpustakaan, sekretariat BK, rumah tangga Universitas
Sanata Dharma yang dengan sabar, ramah, setia membantu penulis dalam
peminjaman buku, pengurusan administrasi, dan menciptakan suasana
nyaman dalam belajar.
7. Kongregasi Santa Perawan Maria yang telah memberikan kepercayaan dan
kesempatan untuk studi lanjut, mendoakan, dan memberi dukungan selama
penulis menjalankan tugas belajar.
8. Para suster SPM tiga komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah
mengijinkan penulis mengadakan penelitian.
9. Sr. X, Sr. Y, Sr. Z (nama samaran) yang rela membagikan pengalamannya
selama penelitian.
10. Para suster SPM komunitas Mliwis yang telah memberikan perhatian dan
dukungan kepada penulis selama belajar sampai pada penyusunan skripsi ini.
11. Rm. Agustinus Riyanto, SCJ, Rm. Eltus Mali, Pr, dan Fr. Siprianus, OFM
yang telah membantu dalam proses penyusunan proposal skripsi, memberi
masukan, mengoreksi, dan mengkritisi skripsi ini.
12. Kedua orangtua, kakak-kakak, dan keponakan-keponakan yang setia
mendoakan, perhatian, dan memberi dukungan kepada penulis.
13. Sahabat-sahabat yang selalu mencintai, memotivasi, menyemangati,
mendoakan, dan mendukung penulis
14. Teman-teman angkatan 2005 dan kakak-kakak angkatan yang setia dalam
kerja sama, saling berbagi pengalaman, dan saling mendukung.
xi
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis terbuka terhadap sumbangan pemikiran, kritik, dan saran agar skripsi ini
menjadi lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.
Yogyakarta, 11 Maret 2010
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN......................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................. vii
ABSTRACT .................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 6
E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian ........................ 7
1. Definisi Operasional ........................................................ 7
2. Variabel Penelitian .......................................................... 8
xiii
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Hidup Membiara ..................................................................... 9
1. Pengertian Hidup Membiara .............................................. 9
2. Gaya Hidup Membiara ...................................................... 11
3. Dimensi Hidup Eskatologis ............................................... 14
B. Para Suster SPM ..................................................................... 16
1. Identitas SPM .................................................................... 16
2. Spiritualitas SPM ............................................................... 17
C. Penyelesaian Konflik .............................................................. 20
1. Pengertian Konflik ............................................................. 20
2. Penyebab Konflik .............................................................. 23
3. Akibat Konflik ................................................................... 27
4. Cara Mengatasi Konflik ..................................................... 31
D. Discernment dalam Pengolahan Batin ................................... 38
1. Pengertian Discernment ..................................................... 38
2. Cara-cara Discernment dalam Pengolahan Batin .............. 39
a. Pengenalan Diri Sebagai Landasan/Dasar .................... 40
b. Discernment Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi
Konflik .......................................................................... 47
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ....................................................................... 56
B. Subjek Penelitian .................................................................... 58
C. Metode Pengumpulan Data .................................................... 59
xiv
D. Tahap-tahap Penelitian ........................................................... 64
E. Tehnik Analisis Data .............................................................. 66
F. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................. 68
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ....................................................................... 70
B. Pembahasan ............................................................................ 78
1. Discernment dalam Penyelesaian Konflik ......................... 79
2. Program Pembinaan Untuk Meningkatkan Kemampuan
Melakukan Discernment .................................................... 85
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 89
B. Keterbatasan Penelitian .......................................................... 90
C. Saran....................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 92
LAMPIRAN ............................................................................................... 95
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................... 58
Tabel 2 Kisi-kisi Panduan Wawancara ....................................................... 60
Tabel 3 Hasil Penelitian dari Subjek Penelitian dan Sumber Lain ............. 71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Hasil Wawancara ......................................................................................... 95
Surat Ijin Penelitian ..................................................................................... 117
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional dan variabel penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan untuk mengolah batin dan meneliti struktur dinamis
pengalaman iman pribadi merupakan unsur dasariah dalam tiap usaha untuk
mengadakan peresapan spiritualitas, karena pengolahan batin yang benar
mampu membawa tiap pribadi pada pengakaran iman dalam hidup sebagai titik
tolak pembaharuan dan perjalanan batin terus-menerus. Pengolahan batin yang
benar menjadi suatu proses discernment apabila seseorang menempatkannya
dalam konteks mencari kehendak Allah secara terus-menerus (Prasetya,
1992:35). Pengolahan batin ini dapat dilakukan oleh seseorang setiap saat dan
dalam situasi apapun. Namun, lebih tepat dilakukan apabila seseorang sedang
menghadapi konflik. Konflik yang dialami tiap pribadi dan cara mengolah
batin berbeda satu dengan yang lain. Salah satu cara untuk mengolah batin
adalah dengan discernment. Melalui discernment, orang melihat gerakan roh
yang ada dalam batinnya, apakah tindakannya mengikuti roh baik atau roh
jahat. Dalam proses discernment ini dibutuhkan waktu, energi, dan keterbukaan
hati.
2
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti dalam hidup bersama
dengan para suster Santa Perawan Maria (SPM), didapatkan adanya para suster
yang ketika mengalami konflik kurang dapat mengolahnya dengan baik. Hal
ini tampak dari perilaku, cara bicara, dan cara pandang yang tidak seperti
biasanya dan kurang terkontrol. Dari antara para suster ada yang mudah marah,
menjadi pendiam, dan bahkan gembira yang berlebihan sebagai pelampiasan
konflik yang dialami. Bentuk konflik yang dialami adalah konflik pribadi
(intrapersonal) dan konflik dengan sesama suster atau orang lain
(interpersonal). Konflik ini dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain
pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan dan belum dapat mengampuni,
pengalaman ditolak, tidak dihargai, luka-luka batin yang membelenggu hingga
sekarang, tugas perutusan yang tidak sesuai dengan minat, minder karena
keterbatasan diri, dan kebutuhan yang kurang terpenuhi. Hal ini mempengaruhi
munculnya pikiran negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain, selalu
menyalahkan diri sendiri atau orang lain, mudah berprasangka, dan
berpandangan sempit. Konflik juga mempengaruhi perasaan, misalnya mudah
kecil hati, cemas, gelisah, tertekan, merasa tidak berarti, frustrasi, stres, dan
tidak bergairah dalam tugas. Situasi hati yang demikian memunculkan perilaku
yang dapat mengganggu orang lain atau sesama suster se-komunitas. Hal itu
juga memunculkan gangguan fisik antara lain, psikosomatis, batuk, pusing, dan
penyakit lain yang tidak sembuh-sembuh. Yang lebih memprihatinkan lagi,
karena tidak mampu mengolah konfliknya, pribadi itu cepat memutuskan untuk
keluar dari biara.
3
Kenyataan ini menunjukkan bahwa para suster tampaknya belum
sepenuhnya mampu menyelesaikan konflik dengan pengolahan batin yang baik
dan tepat. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan sehingga
berusaha untuk menghindari, menyingkirkan, bahkan menguburkan. Mereka
kurang siap menghadapi konflik dan kurang menerima konflik itu sebagai
peluang yang dapat memperkembangkan diri dan mendewasakan iman.
Konflik tidak pernah terselesaikan apabila pribadi kurang berani untuk masuk
sampai pada akar masalah. Apabila suatu saat terjadi konflik lagi dia akan
merasa kesakitan lagi dan mencari cara untuk lari dari konflik dengan
melakukan pelampiasan. Pribadi ini hidup dalam tekanan dan tidak menjadi
manusia yang lepas bebas. Pengolahan konflik yang demikian sangatlah
dangkal dan kurang tepat. Oleh karena itu dibutuhkan cara-cara tertentu dalam
mengolah konflik, antara lain dengan discernment. Discernment ini dilakukan
dengan tujuan untuk melihat permasalahan itu dengan pikiran jernih dan hati
yang tenang sehingga memungkinkan Allah tinggal, bersemayam, dan berkarya
dalam diri seseorang khususnya yang sedang mengalami konflik. Kehadiran
Allah akan mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik.
Menurut William Hendricks (2006:43-44) ada dua tipe konflik. Tipe
konflik yang pertama adalah konflik intrapersonal yaitu proses perubahan dan
timbulnya konflik yang terjadi di dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal
dirasakan atau dialami baik secara fisik, mental maupun emosional. Konflik ini
sering disebut konflik diri. Tipe konflik yang kedua adalah konflik
4
interpersonal yaitu konflik terjadi antara individu yang satu dengan individu
yang lain maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Berdasarkan pengalaman konflik para suster SPM, peneliti akan
memfokuskan pada konflik interpersonal. Peneliti melihat bahwa para suster
sering mengalami konflik karena perbedaan-perbedaan tertentu dengan orang
lain, ketidakcocokan dengan tugas perutusan, dan berbagai hal yang terjadi
munculnya konflik. Melihat keprihatinan yang dihadapi oleh para suster,
peneliti berharap agar para suster SPM tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan
konfliknya. Mereka perlu terbuka dan mempunyai kesadaran diri dalam
mengolah batin secara benar. Salah satu cara untuk mengolah batin adalah
dengan melakukan discernment. Melalui discernment, para suster akan dapat
merasakan gerakan Roh yang hadir dan berkarya dalam dirinya. Allah juga ikut
campur tangan dalam setiap permasalahan sejauh para suster yakin bahwa
segala masalah akan dapat terselesaikan. Apabila pengolahan batin dilakukan
dengan benar maka para suster akan mengalami kedamaian, kebebasan, dan
kebahagiaan dalam hidup khususnya dalam menghayati hidup sebagai seorang
biarawati.
Berkaitan dengan judul penelitian ini, penelitian tentang discernment
dalam penyelesaian konflik pada tiga suster SPM dalam hidup membiara
belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa
penelitian ini sungguh relevan dan merupakan hal baru untuk diteliti pada saat
ini. Semoga penelitian ini dapat membantu siapa saja khususnya para suster
5
SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment
dalam menyelesaikan konflik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, disusunlah rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh
tiga suster SPM dalam hidup membiara?
2. Bagaimanakah program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster
SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan
discernment?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan
oleh tiga suster SPM dalam hidup membiara.
2. Menemukan program pembinaan yang sebaiknya dilakukan para suster
SPM untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan
discernment.
6
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Bagi program studi Bimbingan dan Konseling
Supaya dapat menambah khasanah tentang ilmu Bimbingan dan Konseling
terutama dalam bimbingan pribadi dan membantu klien menyelesaikan
konflik.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti sendiri
Menambah wawasan untuk dapat mengolah konflik demi kematangan
dan pengembangan diri.
b. Bagi para suster SPM
Memberikan wawasan yang dapat membantu para suster SPM untuk
melihat secara jernih akar konflik yang dialami, sehingga mereka dapat
menyelesaikan konflik dengan tepat.
c. Bagi para pembina Kongregasi SPM
Memberikan masukan bagi para pembina (magistra, pimpinan komunitas,
pimpinan) untuk dapat dengan jernih melihat konflik orang-orang yang
dibina dan dapat membantu memberikan penyelesaian yang tepat.
7
E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian
1. Definisi Operasional
a. Discernment atau pembedaan roh adalah sebuah aktivitas untuk melihat
hidup, cara mengambil keputusan secara jernih dan obyektif dan tidak
dikuasai atau dikendalikan melulu oleh emosi, keinginan dan perasaan
sesaat belaka. Pembedaan roh mengajak untuk melihat arah panggilan
hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri (Admin, 2007).
b. Konflik adalah perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau
tuntutan yang bertentangan. Pada dasarnya konflik terjadi bila dalam satu
peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang
dipertimbangkan. Konflik tidak lebih dari adanya beberapa pilihan yang
saling bersaing atau tidak selaras (Pickering, 2001:1).
c. Suster dalam arti sempit adalah saudari. Dalam arti luas berarti semua
anggota lembaga hidup bakti wanita (Heuken, 1994:305). Suster SPM
adalah wanita yang menggabungkan diri dalam suatu lembaga hidup
bakti dan menamakan diri suster Santa Perawan Maria (Kapitel Umum
Kongregasi, 1984:15).
d. Hidup membiara sering disebut hidup bakti atau hidup religius, artinya
hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili dan
merupakan bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang tata
dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat,
dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai agar
mereka, demi kehormatan bagi-Nya dan juga demi pembangunan Gereja
8
serta keselamatan dunia, dilengkapi dengan alasan baru dan khusus,
mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan,
sebagai tanda unggul dalam Gereja, mewartakan kemuliaan surgawi
(KWI, 2006:177).
2. Variabel Penelitian
Variabel utama dalam penelitian ini adalah discernment dalam
penyelesaian konflik pada tiga suster Santa Perawan Maria dalam hidup
membiara. Untuk memperoleh data tentang discernment yang dilakukan
oleh tiga suster SPM dalam penyelesaian konflik, peneliti menggunakan
instrumen berupa wawancara mendalam (depth interviews) kepada para
suster secara pribadi dengan menggunakan panduan wawancara berupa
pertanyaan-pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tersebut
tidak terstruktur secara ketat sesuai dengan judul penelitian yaitu
Discernment dalam Penyelesaian Konflik Pada Tiga Suster Santa Perawan
Maria dalam Hidup Membiara. Wawancara dengan pertanyaan tidak
terstruktur adalah suatu wawancara di mana pertanyaan-pertanyaan yang
disediakan memberi kebebasan kepada yang diwawancarai untuk
menjawabnya atau mengungkapkan pendapatnya (Masidjo, 1995:75).
Penggunaan instrumen wawancara ini bertujuan untuk mengetahui tinggi
rendahnya tingkat kemampuan para suster SPM dalam melakukan
discernment untuk menghadapi persoalan atau menyelesaikan konflik yang
dialami dalam hidup membiara.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini disajikan uraian tentang hidup membiara, para suster
SPM, penyelesaian konflik, dan discernment dalam pengolahan batin.
A. Hidup Membiara
1. Pengertian Hidup Membiara
Allah memanggil manusia dalam berbagai cara, manusia pun
menjawabnya, antara lain dengan cara yang khusus, yakni memasuki cara
hidup membiara. Hidup membiara merupakan salah satu cara menanggapi
panggilan Allah. Allah memanggil manusia agar bahagia, dan manusia
menjawabnya dengan penuh kasih, dengan cara meninggalkan segalanya,
dan memulai hidup dalam pertobatan, hidup dalam biara. Hidup membiara
dapat disebut hidup bakti atau sering pula disebut hidup religius. Kekhasan
hidup bakti dapat ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 573 § 1
yang menyatakan:
Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang tata dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai agar mereka, demi kehormatan bagi-Nya dan juga demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia, dilengkapi dengan alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan, sebagai tanda unggul dalam Gereja, mewartakan kemuliaan surgawi (KWI, 2006:177).
10
Hidup bakti ini dapat diartikan sebagai hidup yang dibaktikan kepada Allah,
dan Allah menerimanya dengan penyertaan dan bimbingan kasih-Nya, serta
Allah sendiri yang menyucikannya. Hidup yang disucikan ini merupakan
suatu hidup yang berjuang untuk mencari kesempurnaan dalam Allah.
Tentang hidup religius ditulis dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 607 § 1
sebagai berikut:
Hidup religius, sebagai pembaktian seluruh pribadi, menampakkan di dalam Gereja pernikahan yang mengagumkan yang diadakan oleh Allah, pertanda dari zaman yang akan datang. Demikianlah hendaknya religius menyempurnakan penyerahan diri seutuhnya bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat yang terus-menerus kepada Allah dalam cintakasih (KWI, 2006:183).
Jadi, hidup religius merupakan hidup yang dibaktikan dan dipersembahkan
hanya pada Allah. Allah sebagai pusat seluruh hidup. Hidup religius ini
diharapkan merupakan bentuk tetap untuk mengikuti Kristus sebagai yang
dicintai lebih dari segala sesuatu. Cinta kepada Allah dapat diwujudkan
antara lain dalam doa, ibadat, samadi, dan melayani sesama dalam hidup
sehari-hari. Jadi, dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hidup
membiara adalah suatu cara hidup tertentu yang dibaktikan dan
dipersembahkan kepada Allah untuk mengejar kesempurnaan cinta kasih.
Mereka yang menghayati hidup membiara disebut biarawan/biarawati.
Dalam bukunya, Tom Jacobs (1987:130) mengatakan, “Menurut hukum
Gereja biarawan/biarawati adalah orang yang (1) mengikatkan diri dengan
ketiga kaul: selibat, kemiskinan, dan ketaatan, dan (2) hidup dalam suatu
tarekat yang diakui oleh Gereja.”
11
Dalam gereja Katolik, untuk mengatur tugas kepemimpinan jemaat
dibentuk struktur hierarkhi sesuai dengan fungsi dan peran. Struktur
hierarkhi itu terdiri dari paus, uskup, imam, dan diakon. Dalam buku Iman
Katolik (KWI, 1996:375-377) dikatakan bahwa biarawan/biarawati tidak
termasuk hierarkhi, hanya saja ada biarawan yang ditahbiskan imam
(klerus). Mereka sekaligus anggota kelompok kebiaraan dan pembantu
uskup, tetapi hidup membiara sendiri bukan fungsi gerejawi tetapi corak
kehidupan. Biarawan/biarawati kecuali imam termasuk golongan awam.
Istilah awam ada dua arti, secara teologis dan secara tipologis. Secara
teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan, meliputi
biarawan yang tidak ditahbiskan. Secara tipologis, awam adalah warga
Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan. Jadi, posisi
biarawan/biarawati dalam Gereja adalah awam yang mempunyai corak
kehidupan tertentu yang berbeda dengan awam yang bukan
biarawan/biarawati. Pembedaan dilihat dari kondisi dan tata kehidupan
status kebiaraan yang dengan cara khusus menuju kekudusan dan
kesempurnaan yang khas. Itulah kekhasan dari gaya hidup membiara para
biarawan/biarawati.
2. Gaya Hidup Membiara
Pokok hidup membiara ialah mengikuti Kristus. Mengikuti Kristus
berarti “hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yoh 2:6). Hal ini berarti
juga saling mengasihi. Oleh karena itu yang paling pertama dan yang paling
12
pokok dalam hidup membiara adalah kebersamaan hidup dalam iman dan
kasih Kristus. Bentuk hidup bersama dengan saling meneguhkan dan
menguatkan dalam iman merupakan bentuk kehidupan khusus.
Kekhususannya adalah bahwa ada kebersamaan yang menjadi komitmen
setiap anggota. Bentuk kebersamaan itu antara lain, adanya aturan dalam
komunitas yang harus ditaati semua anggota dan komunikasi iman yang
saling meneguhkan dalam iman.
Pada abad ke-4, ketika seluruh masyarakat lama-kelamaan menjadi
Kristen, kekhasan kristiani mulai meluntur. Pada saat itu, ada orang-orang
yang mengundurkan diri dari masyarakat ramai untuk mencari bentuk
kehidupan yang lebih khas kristiani. Pengunduran diri ini adalah titik
pangkal dan dasar untuk selibat. Jadi, selibat sebagai gaya hidup untuk
orang yang dengan jelas mau hidup untuk Tuhan (Jacobs, 1987:117). Hidup
untuk Tuhan berarti hidup yang dipersembahkan hanya untuk Tuhan dengan
rela meninggalkan harta, benda, dan kuasa. Mereka dalam tugas perutusan
akan berhubungan dengan semuanya itu, namun sekaligus mengambil jarak.
Hal-hal duniawi bukan satu-satunya tujuan tetapi sarana untuk kelancaran
perutusan. Menurut Tom Jacobs (1987:119), “Selibat berarti jarak, bukan
ketertutupan. Selibat bukan untuk mau mematikan aktivitas manusia, tetapi
mau menampilkan Allah di tengah-tengah pergaulan manusia.”
Gaya hidup biarawan/biarawati (religius) meneladan Yesus sendiri,
yang mampu menyatukan diri-Nya dengan Bapa dan hidup sebagai
manusia. Menurut Mardi Prasetya (2005:16-18) ada empat unsur pokok
13
gaya hidup religius, yakni hidup inkarnatoris, tinggal bersama Yesus,
bekerja bersama Yesus, dan bekerja seperti Yesus. Pertama, hidup
inkarnatoris artinya menjadikan seluruh pergumulan manusiawi kita ini
sebagai sarana untuk mengungkapkan hidup Allah. Meskipun dalam hidup
mengalami kesulitan, ketegangan antara usaha untuk hidup dalam Roh dan
realita kelemahan diri, namun tetap diusahakan keseimbangan batin dan
usaha mengolah hidup terus-menerus. Kedua, tinggal bersama Yesus adalah
usaha untuk membangun relasi personal sampai terbentuk cinta bakti
(devosi) yang mendalam pada Kristus sehingga Kristus menjadi dasar
panggilan. Caranya dengan kontemplasi untuk senantiasa hadir, mengalami,
mengerti, dan memilih Yesus. Ketiga, bekerja bersama Yesus artinya ikut
serta dalam tugas perutusan Yesus. Hal ini dapat diartikan pula,
menyerahkan diri secara total dalam tugas perutusan Yesus, dengan
konsekuensi harus berani hidup melawan arus dunia yang menghambat
keselamatan dengan bertolak dari iman. Keempat, bekerja seperti Yesus
artinya menghayati cara hidup Yesus yakni hidup diskretif maksudnya
kerelaan untuk menguji setiap gerak batin dan motivasi apakah berasal dari
Allah atau sekadar ikut arus zaman. Diskresi ini melibatkan kemampuan
hati dan citarasa rohani melihat kehadiran Tuhan, kemampuan berefleksi,
dan kemampuan kehendak untuk melaksanakan rencana Allah.
Gaya hidup religius yang demikian itu merupakan inti hidup religius
yang terus-menerus selalu diusahakan dan dihayati oleh biarawan/biarawati
agar semakin bertumbuh dewasa dalam iman kepada Kristus, memiliki
14
citarasa Kristus, ikut terlibat dalam karya Kristus, memeluk cara hidup
Kristus, dan mampu melihat kehadiran Kristus dalam situasi apapun. Orang
yang mampu menghayati ini akan mengalami kebahagiaan karena seluruh
hidupnya hanya untuk Tuhan dan mempunyai tujuan untuk memperoleh
hidup yang baru, kekal, dan yang akan datang. Hal inilah yang disebut
dimensi hidup eskatologis.
3. Dimensi Hidup Eskatologis
Menurut pendapat Tom Jacobs (1987:178), dimensi hidup eskatologis
artinya dimensi surgawi, kekal, baru, dan yang akan datang. Dimensi hidup
itu sudah ada tetapi berbeda dari kehidupan sekarang. Dimensi hidup ini
baru akan menjadi jelas kalau Kristus akan menampakkan diri dalam
kemuliaan surgawi-Nya. Dalam Lumen Gentium dikatakan:
Umat Allah tidak mempunyai kediaman tetap di sini, melainkan mencari kediaman yang akan datang. Maka status religius, yang lebih membebaskan para anggotanya dari keprihatinan-keprihatinan duniawi, juga lebih jelas memperlihatkan kepada semua orang beriman harta sorgawi yang sudah hadir di dunia ini, memberi kesaksian akan hidup baru dan kekal yang diperoleh berkat penebusan Kristus, dan mewartakan kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan Kerajaan sorgawi (KWI, 1990:67). Iman akan hidup eskatologis itu tidak merupakan kekhususan para
biarawan/biarawati. Semua orang kristiani percaya akan “kebangkitan orang
mati dan hidup di akhirat” (= eskaton). Tetapi tidak semua orang kristiani
mengungkapkan atau melahirkan iman itu secara radikal dan menyeluruh.
Itulah kekhususan hidup membiara: tidak hanya percaya, bahwa “hidup itu
15
Kristus dan mati keuntungan” (Flp 1:21), tetapi juga mengekspresikan iman
itu dalam hidup yang bagi dunia tidak mempunyai arti lagi. Hidup
eskatologis yang diimani dan dirindukan oleh semua orang kristiani,
dinyatakan dalam keperawanan: atau sebetulnya bukan hidup eskalotogis
sendirilah yang dinyatakan, melainkan iman dan kerinduan akan hidup
Kristus itu (Jacobs, 1987:31). Jadi, keperawanan adalah sebagai ungkapan
harapan eskatologis.
Mereka yang telah membaktikan hidupnya demi Kristus seharusnya
selalu hidup dalam kerinduan akan kebersatuannya dengan Kristus
selamanya. Kehidupannya dipenuhi dengan perkara-perkara Tuhan, mencari
Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan selalu memohon akan kedatangan
Tuhan. Kerinduan akan Tuhan dihayati dalam pengikraran nasihat-nasihat
Injil yakni ketiga kaul, keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan yang secara
konkrit diwujudkan dalam kesaksian hidup sehari-hari dan dalam tugas
perutusan. Tom Jacobs mengatakan, bahwa ketiga kaul ini tidak berdiri
sendiri tetapi merupakan kesatuan dalam membentuk sikap yang sama,
yakni kerinduan akan hidup eskatologis. Sikap itu langsung diungkapkan
dalam keperawanan, dinyatakan diri dalam kemiskinan yang diatur dalam
ketaatan (1987:33). Kebersatuan dengan Kristus karena iman, berarti kita
sudah bersatu dengan Allah. Namun, kebersatuan karena iman masih harus
dipenuhi “pada akhir zaman”. Inilah yang disebut eskatologis.
Secara nyata dalam kehidupan ini, orang-orang yang hidup bagi
Tuhan secara radikal adalah para biarawan/biarawati. Pada saat ini ada
16
berbagai macam kongregasi biarawan/biarawati dengan spiritualitasnya
masing-masing yang ingin mengabdikan hidup seutuhnya kepada Tuhan,
salah satunya adalah kongregasi suster-suster Santa Perawan Maria (SPM).
B. Para Suster SPM
1. Identitas SPM
Suster-suster SPM ingin mengidentifikasikan diri dengan Maria yang
memiliki sikap iman yang mendalam. Seperti tertulis dalam Konstitusi SPM
berikut:
Kita menamakan diri Suster-Suster Santa Perawan Maria. Dalam Maria kita mau mengenal diri kita. Dalam dia nampaklah sikap iman, sehingga Allah menjadi kekuatan dalam manusia. Maria mempercayakan diri kepada-Nya, tanpa menduga ke mana ia akan dibawa oleh fiatnya. Penuh rasa kagum ia bersuka ria, bagaimana Tuhan memperhatikan hamba-Nya yang hina. Apa yang dinantikan angkatan demi angkatan sekarang telah terlaksana padanya. Allah telah menyelamatkan umat-Nya dalam buah tubuhnya, Yesus dan mengikat perjanjian baru dengan kita (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:15 al 1-2).
Sikap iman Maria hendaknya menjiwai sikap hidup dan menjadi teladan
hidup para suster SPM. Maria sebagai Hawa baru dan sebagai ibu pembawa
kehidupan baru telah melahirkan Yesus sebagai manusia baru. Demikian
juga para suster SPM diharapkan dapat melahirkan kehidupan baru dalam
kehadiran karya pelayanan yang dilakukannya. Para suster SPM hidup
memenuhi panggilan Yesus yang dalam hidupnya memperhatikan dan
mencintai setiap pribadi bukan hanya diri sendiri. Dalam Konstitusi SPM
Yesus sendiri menyatakan diri satu khususnya dengan mereka yang paling
hina dina dan Dia menempatkan sesama sebagai sahabat-sahabat-Nya
17
(Kapitel Umum Kongregasi, 1984:17). Sikap iman Maria yang mendalam
inilah yang menjadi kekhasan dari para suster SPM.
Kongregasi SPM memberikan sumbangan khas dalam karya di bidang
pembinaan dan pendidikan. Dalam menghayati hidup membiara dan dalam
karya-karyanya para suster SPM disemangati oleh semboyan Tota Christi
Per Mariam yang berarti segalanya milik Kristus melalui Maria. Yesus
menjadi pusat hidup para suster SPM. Melalui Maria, para suster SPM
sampai kepada Kristus. Maria sebagai pengantara dalam penyerahan hidup
para suster SPM kepada Yesus. Semboyan Tota Christi Per Mariam
merupakan salah satu usaha dari para suster SPM untuk menyadari,
menghayati, dan menghidupkan serta mewujudkan semangat dan
spiritualitas Kongregasi SPM.
2. Spiritualitas SPM
Spiritualitas berasal dari kata latin Spiritus artinya Roh. Spiritualitas
pada umumnya diartikan sebagai ‘kehidupan rohani’. Spiritualitas
merupakan hubungan pribadi seorang beriman dengan Allah yang terungkap
dalam sikap dan perbuatan yang berupa ungkapan pengalaman hidup dalam
situasi yang konkret. Spiritualitas adalah seluruh kenyataan hidup yang
mencerminkan nilai-nilai hidup berdasarkan iman yang dihayati, sikap-sikap
ataupun keutamaan hidup yang mendukung untuk mewujudkan nilai-nilai
hidup tersebut dan pilihan-pilihan tingkah laku konkret beserta tindakan-
tindakan untuk mewujudkan nilai-nilai hidup tersebut. Singkatnya, yang
18
dimaksudkan spiritualitas ialah kenyataan-kenyataan konkret hidup yang
mencakup keyakinan, keutamaan, dan perwujudannya (Darminta, 1987 via
Widyastuti, 2001:46).
Pengalaman akan kebaikan Allah yang dialami oleh Santa Julie
Billiart (ibu rohani kongregasi SPM) dan kharisma pribadinya telah
menggerakkan hati dan hidupnya untuk memperjuangkan dan mengangkat
generasi muda yang terlantar, miskin spiritual dan material. Pengalaman
iman akan Allah dalam hidupnya memberikan inspirasi dalam menjawab
jeritan sesamanya dalam situasi jamannya. Dalam Konstitusi SPM
dikatakan:
Ia memperlihatkan kepada kita apa arti manusia di mata Tuhan. Setiap orang ada artinya tidak seorangpun hina. Ia mengatakan diri satu, khususnya dengan mereka yang paling hina. Ia malahan menyebut kita sahabat-sahabat-Nya. Demikian bagi kita Ia menjadi jalan kebenaran dan hidup (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:17).
Isi Konstitusi tersebut merupakan suatu warta gembira-Nya yang
diwartakan bagi para suster SPM dalam usaha menghayati spiritualitasnya.
Perwujudan spiritualitas SPM bersumber pada Kitab Suci dan
Konstitusi SPM. Oleh karena itu diilhami oleh belas kasih dan keadilan
Allah kita bergaul dengan sesama sedemikian rupa sehingga kesamaan
martabat semua orang diakui. Pengakuan akan kesamaan martabat manusia
itu merupakan inti spiritualitas SPM.
Menurut Mardi Prasetya, dalam perjalanan hidup setiap pribadi pasti
menghadapi berbagai kesulitan (konflik) dan hambatan baik dalam level
intelektual, afeksi, maupun keinginan karena pengaruh dari lingkungan
19
sekitar (1992:35-36). Sebagai manusia yang menghayati spiritualitas tak
jarang para suster SPM mengalami berbagai masalah, kesulitan, atau konflik
dalam hidupnya. Konflik dapat terjadi karena tidak terpenuhinya apa yang
menjadi harapan. Dalam menghadapi konflik, para suster kadang-kadang
tidak bisa menghindari, mau tidak mau harus menghadapinya dengan jatuh
bangun. Konflik yang dialami oleh para suster itu berasal dari dalam dirinya
maupun dari luar dirinya. Dalam Konstitusi SPM dikatakan pula bagaimana
harus bergumul dengan konflik baik dengan diri sendiri maupun dengan
orang lain, dan bagaimana harus menyikapi konflik itu. Berikut isi
Konstitusi SPM:
Mengasihi musuhmu, berbuat baik kepada yang membencimu, memberkati yang mengutukmu dan berdoa bagi mereka yang mau menghancurkan kamu. Hidup dalam semangat ini berarti mempertaruhkan segala sesuatu, penuh perhatian dan terbuka, mendengarkan dengan setulus hati tidak takut akan kesunyian, bergumul dengan dirimu sendiri dan sadar akan sentuhan Allah. Bersama hidup dalam semangat itu berarti berani saling menghadapi, percaya dan berani mengambil risiko, berani mendekati dan melepaskan, tertawa, menangis, menghibur, saling membesarkan hati (Kapitel Umum Kongregasi, 1984:37 al 1.2).
Aturan ini jika dilakukan dengan kesungguhan hati dan dengan sikap iman,
maka para suster SPM akan mendapat kesegaran dan kebahagiaan dalam
hidup.
Dalam penelitian ini, peneliti mau menyoroti dan mengkhususkan
pada konflik interpersonal/antar pribadi yang dialami oleh para suster SPM
dalam hidup membiara.
20
C. Penyelesaian Konflik
1. Pengertian Konflik
Setiap pribadi dalam hidup sehari-hari baik dalam hidup pribadi,
hidup doa, maupun hidup dengan teman dan masyarakat, sering menemukan
halangan atau ketidakselarasan. Ketidakselarasan ini menimbulkan
ketegangan atau konflik. Seakan-akan ada perang dalam diri pribadi.
Konflik juga sering terjadi dalam hidup membiara. Meskipun dalam suatu
komunitas sudah terbangun secara mendalam dasar spiritualitas dan
semangat yang sama bagaimanapun juga tidak lepas dari konflik. Konflik
yang para suster alami dapat bersifat intrapersonal (konflik pribadi) tetapi
dapat juga bersifat interpersonal (konflik dengan orang lain). Konflik
intrapersonal dan konflik interpersonal ini saling berkaitan satu sama lain
dan saling mempengaruhi. Konflik intrapersonal muncul karena pengaruh
dari konflik interpersonal/hubungan tidak baik dengan orang lain.
Sebaliknya, jika seseorang sedang mengalami konflik intrapersonal maka
akan mempengaruhi relasi dengan orang lain menjadi tidak baik, akhirnya
terjadi konflik interpersonal. Konflik intrapersonal merupakan bias dari
konflik interpersonal.
Menurut pendapat Daniel Webster (Pickering, 2005:1), konflik adalah
perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang
bertentangan. Pada dasarnya konflik terjadi bila dalam satu peristiwa
terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan.
21
Konflik tidak lebih dari adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau
tidak selaras.
Hardjana (2006:9) mengatakan, konflik terjadi manakala dalam
hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu
berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya
saling terganggu. Perbuatan dapat mengganggu karena tidak mendukung,
memudahkan, membantu kegiatan dan situasi hidup yang sedang
berlangsung, atau malah merugikan, merusak dan melumpuhkannya. Mary
Rebecca (2000:152) mengemukakan, “Konflik adalah bila dua atau lebih
kecenderungan untuk bertindak yang tidak sejalan menjadi aktif dan si
organisme ingin melakukan dua tindakan atau dua cara bertindak, namun
hanya satu yang mungkin.”
Yustinus Semiun (2009:400) berpendapat, konflik adalah tegangan
dalam diri kita apabila kita berusaha mencapai keputusan yang memuaskan
terhadap situasi-situasi yang sama menariknya atau juga situasi-situasi yang
sama tidak menariknya. Atau dapat juga dikatakan keadaan jiwa yang
tegang sebagai akibat dari bentrokan antara motivasi-motivasi yang
bertentangan. Konflik sama seperti frustasi merupakan pengalaman individu
dan selalu menimbulkan tegangan emosi. Menurut Luthans (1981), “Konflik
adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling
bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia”
(Arianto, 2008).
22
Menurut Paul Suparno (2002:33), konflik yang terjadi dalam hidup
membiara dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni konflik besar dan
konflik kecil. Konflik besar adalah konflik yang prinsipial, yang
menyangkut hal-hal pokok dalam hidup bertarekat seperti visi dan misi serta
pilihan karya yang besar, tentang cara hidup apakah hidup miskin atau tidak.
Konflik kecil adalah konflik dalam hal hidup sehari-hari tentang hal-hal
kecil yang didasarkan pada rasa, kesenangan, kebiasaan, budaya yang
berbeda seperti soal makan, kebersihan, sopan santun, atau tata busana.
Dalam praktik kehidupan justru konflik ini yang sering terjadi karena
memang dialami sehari-hari baik secara langsung pada diri pribadi maupun
dengan orang lain.
Keenam pengertian itu dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
ketegangan atau gangguan emosi yang dialami seseorang dipengaruhi oleh
tuntutan dari luar baik berupa tugas/tanggung jawab yang tidak sesuai
kemampuan diri, tidak terpenuhinya kebutuhan dan harapan, dan perbedaan
kebiasaan/gaya hidup/budaya, yang dirasakan seseorang sebagai beban
hidup. Konflik ini juga dialami oleh para suster SPM dalam menghayati
hidup membiara. Para suster sering dihadapkan pada suatu masalah yang
mungkin sulit dihindari bahkan sulit juga dipecahkan. Masalah-masalah
yang sering terjadi antara lain berkaitan dengan hidup berkomunitas, tugas
perutusan yang kurang sesuai dengan minat dan kemampuan, pengambilan
keputusan, keterbatasan diri/kurang bisa menyesuaikan diri, sakit, pergaulan
dengan lawan jenis, ketidaksetiaan menghayati kaul, dan berbagai masalah
23
yang dirasakan sebagai hambatan yang mengganggu dalam perjalanan
panggilan. Dalam menghadapi konflik itu, para suster sudah berusaha
mencari cara yang tepat sesuai dengan kemampuannya untuk dapat keluar
dari masalah itu. Tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama dan
keseriusan dalam mengolah konflik. Langkah awal untuk dapat menemukan
akar masalah yaitu dengan mencari penyebab konflik.
2. Penyebab Konflik
Menurut Alan A. Caviola dan Neil J. Lavender (2000), ada empat
penyebab terjadinya konflik. Empat penyebab konflik itu adalah perbedaan
kepribadian, perbedaan cara pandang, perbedaan tujuan, dan perbedaan
pemahaman. Pertama, perbedaan kepribadian menyebabkan orang sulit
menghadapi orang lain yang memiliki kepribadian yang berbeda. Orang
tersebut juga cenderung mencari-cari kesalahan dan memaksakan
kehendaknya pada orang lain. Selain itu menganggap bahwa dialah yang
paling baik. Kedua, perbedaan cara pandang bisa terjadi ketika seseorang
hanya mau menekankan salah satu aspek saja dalam kehidupannya misalnya
lebih mementingkan kesuksesan (hasil) daripada proses. Adapula yang lebih
mementingkan jabatan atau gengsinya daripada nilai kemanusiaan dalam
suatu relasi ataupun pekerjaan. Ketiga, perbedaan tujuan menyebabkan
seseorang cenderung melakukan berbagai cara untuk mencapainya.
Keempat, perbedaan pemahaman sering menyebabkan miscommunication
satu sama lain. Hal itu disebabkan oleh penjelasan yang kurang jelas dan
24
kurang akurat dari masing-masing pribadi. Di samping itu perbedaan
pemahaman ini juga sering disertai dengan pikiran negatif terhadap
perilaku, kata-kata, atau tindakan seseorang. Akibatnya menimbulkan rasa
benci dan timbullah konflik (Sembel, 2003). Penyebab konflik ini yang
sering dialami seseorang dan di kalangan para suster SPM yang dirasa berat,
menjadi tidak bebas, dan menghambat dalam perjalanan hidupnya.
Menurut Paul Suparno (2002:33-34), ada lima penyebab terjadinya
konflik khususnya dalam hidup membiara. Kelima penyebab itu adalah
perbedaan budaya, perbedaan karakter atau sifat atau watak pribadi,
perbedaan ide dan pemikiran, perbedaan generasi, dan konflik karena tidak
oke. Pertama, perbedaan budaya mudah menimbulkan salah mengerti.
Misalnya yang satu dari budaya yang tertutup dan suka tidak terus terang,
sedangkan yang lain berasal dari budaya yang terus terang. Yang satu dari
budaya yang relasi keluarganya akrab dan mengikat, yang lain dari budaya
yang relasi keluarga tidak begitu kuat. Kedua, perbedaan karakter, sifat,
watak pribadi yang sering membuat frustasi. Misalnya yang satu suka
marah, dan yang lain pendiam. Yang satu tegas, cekatan dalam bekerja,
tetapi yang lain lamban dan mengulur waktu. Jika orang itu disatukan
akhirnya menimbulkan konflik. Ketiga, perbedaan ide dan pemikiran karena
memang pemikiran sungguh lain atau sebenarnya sama tetapi modelnya
lain. Misalnya pemahaman isi ketiga kaul yang berbeda atau gagasan
tentang gereja yang berbeda. Keempat, perbedaan generasi yang masing-
masing mempunyai gagasan dan praktik hidup sendiri berdasarkan
25
keyakinan dan aturan main. Kelima, konflik karena tidak oke terjadi di saat
tidak tenang dalam hidup membiara, ragu-ragu dalam panggilan, sedang
mempunyai masalah pribadi, dan pada saat hidup rohani kering. Di situlah
perlunya sikap hati-hati dalam berkomunikasi dan berkomentar.
Mary Rebecca (2000:153-154) mengatakan, penyebab konflik ada tiga
yakni konflik intraindividual, konflik antar nilai, dan konflik peran.
Pertama, konflik intraindividual berasal dari dalam diri orang yang
bersangkutan sendiri, mungkin karena tidak ada kesesuaian antara yang
diinginkan dan yang sesungguhnya. Kedua, konflik antar nilai artinya ada
tuntutan mempelajari nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang
dipandang benar atau sesuai dengan para sesepuh. Ketiga, konflik peran
artinya terjadi konflik dalam melakukan peran yang sudah menjadi bagian
hidupnya, misalnya sebagai konselor yang harus memberikan konseling dan
sekaligus menertibkannya.
Menurut Carl Rogers (Hall & Lindzey, 2009:139), konflik akan terjadi
antara nilai-nilai sadar yang diintroyeksikan dan palsu, dengan nilai-nilai tak
sadar yang ‘sebenarnya’. Apabila makin banyak nilai-nilai yang
‘sebenarnya’ dari seseorang digantikan dengan nilai-nilai yang diambil atau
dipinjam dari orang-orang lain, kendati begitu dipersepsikan sebagai
miliknya sendiri, maka diri akan menjadi sebuah rumah yang terbagi
melawan dirinya sendiri. Pribadi ini akan merasa tegang, tidak enak, dan
merasa seolah-olah benar-benar tidak tahu siapa dirinya dan yang
diinginkannya.
26
Rogers (Naisaban, 2004:346) juga berpendapat, sering ada
ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Bila
pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri,
maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri,
seperti pemutarbalikkan dan pengingkaran. Pemutarbalikkan ini akan
membuahkan konflik, perasaan kecemasan, dan terjadi konflik atau
dualisme dalam kepribadiannya. Pengalaman inilah yang menjadikan
pribadi berhenti berkembang sampai konflik teratasi.
Pendapat Mary Rebecca dan Carl Rogers hampir sama, bahwa konflik
dapat terjadi jika tidak ada kesesuaian antara nilai-nilai yang diinginkan
dengan nilai-nilai sesungguhnya, atau nilai-nilai yang dimiliki seseorang
dengan nilai-nilai yang diadopsi dari orang lain. Pengalaman ini menjadikan
seseorang kurang mengenal dan menerima dirinya, bingung menemukan
kekhasan nilai diri sesungguhnya, nilai itu sudah campur aduk.
Dari pendapat-pendapat mengenai penyebab konflik di atas menjadi
jelas bagi peneliti bahwa konflik dapat terjadi karena perbedaan dari
beberapa faktor baik dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang.
Apabila relasi seseorang dengan orang lain tidak baik maka akan mengalami
konflik diri (intrapersonal). Sebaliknya, apabila seseorang sedang berkonflik
dengan dirinya sendiri, akan berpengaruh pada relasinya dengan orang lain
menjadi tidak baik dan tidak harmonis (konflik interpersonal).
Berdasarkan pengamatan peneliti dalam hidup bersama dengan para
suster SPM, penyebab konflik yang mereka alami antara lain, perbedaan
27
kepribadian, perbedaan pemahaman, perbedaan minat/kemampuan,
perbedaan pemikiran/pendapat, dan perbedaan prinsip hidup. Perbedaan-
perbedaan ini terjadi baik dalam relasi para suster dengan sesama suster di
komunitas maupun relasi dengan orang lain di luar komunitas. Para suster
yang sedang berkonflik akan kelihatan dari raut wajah, tingkah laku,
maupun dari cara bicara. Maka perlu memberi kesempatan bagi para suster
yang berkonflik ini untuk berproses agar dia dapat menemukan dirinya,
berkembang maju, mempunyai cara yang tepat untuk menyesuaikan diri,
dan menghargai dirinya secara positif. Caranya dengan introspeksi diri,
mengolah batin, menata hati, dan mengelola emosi.
3. Akibat Konflik
Setiap orang mempunyai empat kebutuhan dasar psikologis yang
mana dapat menjadi pencetus konflik. Keempat kebutuhan dasar psikologis
ini adalah keinginan untuk dihargai dan diperlakukan sebagai manusia,
keinginan memegang kendali, keinginan memiliki harga diri yang tinggi,
dan keinginan untuk konsisten (Pickering, 2005:14). Bila kebutuhan itu
tidak terpenuhi akibatnya seseorang mengalami konflik. Konflik akan
menghambat kehidupan sehari-hari, misalnya dalam pekerjaan, relasi
dengan orang lain, hidup rohani, maupun penghayatan panggilan. Konflik
juga dapat mengakibatkan orang kehilangan akal tidak tahu harus berbuat
apa dan tidak tahu arah yang dituju.
28
Menurut Hardjana (2006:31-32), ada tiga akibat konflik, yaitu
pengaruhnya pada diri sendiri, pada orang lain, dan pada pelaksanaan kerja.
Pertama, pengaruhnya pada diri sendiri yaitu, orang mudah tersinggung dan
panas hati, mudah marah, menjadi penuntut dan tidak mau bekerjasama,
terlalu terpusat pada diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain, mudah
bermusuhan dengan menyerang orang lain. Kedua, pengaruhnya pada orang
lain adalah antara orang-orang yang terlibat konflik pada umumnya
hubungan renggang, komunikasi terputus, dingin/seperlunya saja, saling
tidak percaya, saling curiga, tidak bersedia, dan tidak mau bekerjasama.
Ketiga, pengaruhnya pada pelaksanaan kerja antara lain, hati tidak tenang,
pikiran tidak jernih, kehendak melemah, semangat kerja menurun, kerja
malas, asal jalan, tanpa tekad, tak terkobarkan oleh visi, idealisme, tidak
berminat mencapai apa-apa, dan prestasi kerja tidak prima.
Pada tahap paling ringan, konflik menimbulkan pusing kepala, nyeri
punggung. Pada tahap kedua ditandai dengan stres yang parah. Kalau orang
sudah mempunyai pikiran lebih baik mati/bunuh diri, dia sudah berada di
tahap ketiga (Pickering, 2005:12-13). Maka seseorang perlu mengontrol diri
dan menilai situasi hati yang sedang dialami jika mengalami konflik agar
tidak menimbulkan bahaya baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain.
Sifat khas manusia ideal menurut Rogers (1987:37) adalah pribadi
yang berfungsi sepenuhnya. Pribadi yang ideal ini merupakan gambaran
ideal yang utopis, yang harus diusahakan untuk mencapainya walaupun
ideal itu tidak pernah akan dicapai sepenuhnya. Pribadi ini telah mengalami
29
penghargaan positif tanpa syarat. Berarti, dia dicintai dan dihormati karena
nilai adanya sendiri sebagai person. Sebab itu, orang ini tidak perlu defensif,
tetapi dapat menerima diri dengan penuh kepercayaan dan dapat
menyerahkan diri kepada proses vital dari perasaan dan pengalaman yang
mengalir terus.
Berdasarkan teori itu dapat disimpulkan bahwa orang yang mengalami
konflik, dia merasa kurang adaptif dalam menerima penghargaan positif
maka perasaan harga diri sangat dipengaruhi oleh dan bergantung pada
harapan orang lain. Harapan-harapan ini mengasingkan bagi dia dan
mengakibatkan rasa takut terhadap pengalaman batin. Pikiran, perasaan, dan
tingkah lakunya menjadi defensif dan kaku. Dia merasa tidak bebas dan
otonom karena dipengaruhi oleh kekuatan luar dan tergantung dari orang
lain.
Salah satu hakekat pribadi yang dikemukakan Rogers sebagai berikut:
Setiap pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur self akan diamati sebagai ancaman (threat). Semakin kuat struktur selfnya, semakin banyak pengalaman yang dianggap ancaman karena tidak sesuai dengannya, sehingga semakin kuat pula sikap mempertahankan diri dari ancaman. Self kemudian menciptakan pertahanan diri dengan menolak pengalaman masuk ke kesadaran. Semakin sering ini dipakai, self menjadi tidak saling suai (incongruence): kehilangan hubungan dengan pengalaman nyata. Pertentangan antara self dengan realita semakin meningkatkan ketegangan psikologik yang menimbulkan salah suai (Alwisol, 2004:336).
Ketegangan-ketegangan yang dialami sangat mengganggu dalam
perkembangan dirinya dan dalam relasi dengan orang lain. Ketegangan itu
30
juga mengganggu keadaan psikis dalam bentuk misalnya, ketakutan, rasa
kurang puas, depresi, cemas, gangguan bicara, dan sakit fisik.
Menurut Mardi Prasetya (2001:192-193) ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan berkenaan dengan berat ringannya gangguan dan macam-
macam gejala orang yang mengalami konflik. Pertama, berat ringannya
gangguan itu antara lain gangguan mempengaruhi seluruh hidup pribadi tapi
terselubung; disertai tanda yang jelas atau tidak; gangguan itu terus-
menerus, periodik atau hanya kadang-kadang terjadi; ada atau tidak ada
penyebab yang mempercepat munculnya gangguan; dan gangguan
seluruhnya bawah sadar atau kadang-kadang disadari akibatnya. Kedua,
macam-macam gejala terdiri dari tanda-tanda gangguan ringan dan tanda-
tanda patologi berat. Tanda-tanda gangguan ringan antara lain menghindari
tanggung jawab, ekstrem/tidak wajar, menangis berlarut-larut, histeris,
marah besar, frustrasi, menarik diri, depresi, gelisah, agresif, dan tidak dapat
mempunyai sublimasi yang membangun. Sedangkan tanda-tanda patologi
berat misalnya penggunaan mekanisme pertahanan diri, ingin menguasai,
menganggap orang lain musuh, tidak punya gairah, pandangannya campur
aduk, berkhayal, dan tidak dapat berbicara logis.
Dalam hidup membiara pun khususnya para suster SPM banyak
ditemukan akibat-akibat dari konflik, misalnya menjadi pendiam,
pemurung, mudah marah, malas mengikuti kegiatan bersama di komunitas,
curiga, tidak nafsu makan, tidak bergairah dalam kerja, dendam, selalu
menyalahkan orang lain, kecil hati, dan mudah sakit. Agar tidak terlalu
31
terbebani oleh banyaknya persoalan dirinya, para suster SPM perlu cara-
cara untuk mengatasinya dan mengolah konflik dengan tepat. Hal ini
bertujuan agar dia semakin menerima dan menghargai diri secara positif,
menjadi pribadi yang bebas, dan menerima konflik sebagai bagian dari
hidupnya. Apabila konflik diatasi dan diolah dengan baik maka jika suatu
saat ada persoalan/kesulitan lagi dia akan lebih tenang menghadapinya.
4. Cara Mengatasi Konflik
Ada lima hal yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi
konflik dalam hidupnya. Kelima hal itu adalah berusaha bergaul dengan
konflik, bersikap netral atau wajar, mengubah sikap, blending, dan
understanding. Pertama, berkaitan dengan aspek bergaul dengan konflik,
Daniel Robin mengatakan bahwa perlunya usaha untuk bersikap wajar
terhadap orang yang sedang berkonflik. Maksudnya, tidak perlu menguras
tenaga, pikiran, dan waktu untuk mengubah mereka ataupun mengubah diri
sendiri. Dengan kebebasan yang bertanggung jawab melakukan pekerjaan
masing-masing tanpa harus dipusingkan untuk menghadapi
ketidakcocokkan atau perbedaan-perbedaan lainnya yang dapat
menyebabkan konflik. Kedua, Robin juga berpendapat, bersikap netral
artinya menetralisir sikap terhadap orang-orang yang berpotensi menjadi
sumber konflik. Misalnya, dapat mengabaikan kebiasaan-kebiasaan buruk
mereka yang menyebalkan dan perlu memfokuskan perhatian pada
kelebihan dan kekuatan orang-orang tersebut dan mencari strategi yang
32
tepat untuk memanfaatkan kekuatan mereka untuk mendukung kehidupan
pribadi. Ketiga, berkaitan dengan aspek mengubah sikap, Brinkman dan
Kirschner (1994) berpendapat bahwa tidak perlu mengubah orang-orang
yang menyebabkan konflik secara seratus persen tetapi justru mengubah
sikap diri sendiri pada pengaruh negatif yang mereka timbulkan. Misalnya,
apabila mereka berubah tidak perlu merasa terusik tapi menghadapi mereka
dengan tenang dan menghargai serta menghormati mereka sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang bermartabat tinggi. Keempat, blending yaitu cara yang
dilaksanakan oleh seseorang untuk mengurangi perbedaan yang ada,
mencari persamaan dan berangkat dari persamaan tersebut. Kelima,
understanding adalah mencari sumber masalahnya untuk kemudian
memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian konflik yang dihadapi
akan segera teratasi dengan baik (Sembel, 2003).
Menurut Erwin Arianto (2008), untuk menangani atau mengatasi
konflik secara efektif, harus mengetahui kemampuan diri sendiri dan juga
pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada empat cara mengatasi konflik
yakni, introspeksi diri, mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat, identifikasi
sumber konflik, dan mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan
konflik yang ada dan memilih yang tepat. Pertama, introspeksi diri yaitu
dengan bertanya pada diri sendiri. Bagaimana biasanya menghadapi
konflik? Gaya apa yang biasa digunakan? Apa saja yang menjadi dasar dan
persepsi? Hal ini penting dilakukan untuk mengukur kekuatan diri sendiri.
Kedua, mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat yaitu dengan
33
mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai
dan sikap mereka atas konflik itu dan apa perasaan mereka atas terjadinya
konflik. Ketiga, identifikasi sumber konflik yaitu sumber konflik sebaiknya
dapat diidentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada
sebab konflik. Keempat, mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan
konflik yang ada dan memilih yang tepat.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan untuk mengatasi
konflik yakni:
a. Berkompetisi
Jika pribadi mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas
kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan bisa berhasil jika situasi saat itu
membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih
utama dan pilihan pribadi sangat vital.
b. Menghindari konflik
Jika salah satu pihak menghindari dari situasi itu secara fisik ataupun
psikologis. Sifatnya hanya menunda konflik yang terjadi.
c. Akomodasi
Jika pribadi mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri
agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu.
d. Kompromi
Jika kedua pihak merasa bahwa kedua hal itu sama-sama penting dan
hubungan baik menjadi yang utama.
34
e. Berkolaborasi
Pilihan tindakan ada pada diri sendiri dengan konsekuensi dari masing-
masing tindakan (Arianto, 2008).
Winardi (1994:17) berpendapat, ada tiga cara untuk mengatasi konflik
yakni sikap tidak acuh, menekan, dan menyelesaikan. Pertama, sikap tidak
acuh artinya tidak adanya upaya langsung untuk menghadapi sebuah konflik
yang telah termanifestasi. Dalam keadaan demikian, konflik dibiarkan
berkembang menjadi sebuah kekuatan konstruktif atau sebuah kekuatan
destruktif. Kedua, menekan (suppression) artinya menyebabkan
menyusutnya dampak konflik yang negatif, tetapi tidak mengatasi ataupun
meniadakan pokok-pokok penyebab timbulnya konflik itu. Ia hanya
merupakan pemecahan semu yang merupakan penyebab orisinal terjadinya
konflik tetap ada. Ketiga, penyelesaian konflik hanya terjadi apabila alasan
latar belakang terjadinya konflik ditiadakan dan tidak disisakan kondisi
yang menggantung untuk penyebab timbulnya lagi konflik pada masa
mendatang.
Menurut Paul Suparno (2002:35) agar usaha memecahkan konflik
dapat berjalan dengan baik dan lancar, perlu memperhatikan beberapa
unsur. Pertama, perlunya pemecahan win-win artinya kedua belah pihak
harus menang, bukannya salah satu dikalahkan. Dengan cara ini keduanya
akan senang dan tidak sakit hati. Kedua, perlunya keterbukaan dan rela
berkomunikasi satu dengan yang lain. Keterbukaan perlu dilatih agar dapat
melihat persoalan secara objektif dan dari segala macam sudut pandang.
35
Ketiga, pendalaman kasih dan pengampunan akan memudahkan usaha
penyatuan jika terjadi persoalan dan jika ada yang berbuat salah tidak
disingkirkan, tetapi diterima kembali. Sikap lain yang tak kalah penting
ialah kerelaan menerima yang lain dalam perbedaan. Maka dituntut sikap
tenggang rasa dan menerima keberbedaan sebagai kenyataan hidup bersama.
Keempat, bahasa badan, isyarat, hati, wajah untuk mengembangkan
kepekaan terhadap apa yang dilakukan, sehingga semakin mudah mengerti
orang lain. Dengan lebih mengenal keadaannya maka dapat lebih bersikap
secara tepat terhadap orang itu.
Mary Rebecca (1996:154-155) mengemukakan bahwa konflik sering
mengakibatkan orang frustrasi dan cemas. Untuk mengatasi itu dengan
menggunakan bentuk-bentuk pertahanan yang disebut mekanisme
pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri adalah penggeseran fokus
perhatian, fantasi, atau cara-cara lain untuk menetralisirkan daya dorongan
yang membahayakan. Ada beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri,
antara lain:
a. Rasionalisasi
Proses menemukan alasan yang baik untuk menutupi alasan
sesungguhnya.
b. Represi
Reaksi di mana seseorang melenyapkan dari kesadarannya dorongan atau
pikiran yang menimbulkan kecemasan.
36
c. Menyangkal
Tidak mau mengakui adanya kenyataan yang menyakitkan, atau tidak
mau mengakui kebenaran.
d. Isolasi
Berusaha menghalangi agar efek dari suatu gagasan tertentu jangan
sampai terungkap keluar.
e. Supresi
Tidak membiarkan suatu gagasan yang muncul terus berkembang dan
terungkap dalam tingkah laku.
f. Pemindahan
Tidak secara langsung mengatasi penyebab konflik, melainkan
melampiaskan amarahnya pada orang lain atau pada aneka objek yang
kurang mengandung risiko yang terdapat di sekitarnya.
g. Proyeksi
Secara tidak sadar orang takut memiliki sejumlah motif tertentu, lalu
melihat semuanya itu dalam diri orang lain.
h. Introyeksi
Mengatribusikan diri sendiri apa yang dilihatnya di dalam diri orang lain.
i. Regresi
Melakukan bentuk tingkah laku yang lebih lazim dilakukan oleh anak-
anak daripada orang seusianya.
37
j. Identifikasi
Jika mengalami frustrasi, maka mungkin ia akan bereaksi dengan cara
menyamai individu lain.
k. Fantasi
Melarikan diri dari dunia nyata dan masuk dalam dunia fantasi.
l. Kompensasi
Memusatkan diri pada salah satu jenis tingkah laku, untuk menutupi
kekurangan yang dirasakannya pada bidang lain.
m. Intelektualisasi
Menyembunyikan perasaan dengan menganalisa situasi yang dihadapi
secara serba intelektual.
Pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi
konflik, seseorang diharapkan mempunyai kerelaan untuk mengubah diri,
bersikap netral/tidak mudah terpengaruh oleh situasi atau emosi orang lain,
dapat mengendalikan diri, terbuka, positive thinking, berani menghadapi
risiko, mampu berefleksi, dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Cara-
cara ini berlaku bagi setiap pribadi termasuk para suster SPM. Dari bentuk-
bentuk mekanisme pertahanan diri yang sering peneliti amati dari para
suster antara lain, rasionalisasi, menyangkal, isolasi, pemindahan, proyeksi,
introyeksi, kompensasi, dan intelektualisasi. Dari berbagai konflik yang
dialami oleh para suster SPM itu dibutuhkan suatu cara penyelesaian yang
tepat. Salah satu cara itu adalah dengan melakukan discernment.
Discernment sangat membantu selain untuk menyelesaikan konflik juga
38
untuk mengolah batin. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana pengolahan
batin para suster SPM dalam hidup membiara.
D. Discernment dalam Pengolahan Batin
1. Pengertian Discernment
Ciri khas spiritualitas Ignasian adalah Discernment atau Pembedaan
Roh yang diajarkan oleh Santo Ignatius Loyola di dalam Latihan Rohani.
Menurut Admin (2007), pembedaan roh adalah sebuah aktivitas untuk
melihat hidup, cara mengambil keputusan secara jernih dan obyektif dan
tidak dikuasai atau dikendalikan melulu oleh emosi, keinginan dan perasaan
sesaat belaka. Pembedaan roh mengajak untuk melihat arah panggilan hidup
sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Tomi Hariono (2009) juga
berpendapat bahwa pembedaan roh berarti tindakan memilah-milah,
membedakan aneka gerakan dalam batin. Pembedaan roh membantu untuk
meneliti dengan jelas aneka dorongan batin untuk asal-usulnya, menemukan
mana yang berasal dari Roh Kudus dan mana yang bertentangan dengan-
Nya.”
Darminta mengatakan bahwa pembedaan roh untuk penegasan rohani
berarti proses kegiatan meneliti, dalam terang iman dan gerak perjumpaan
cinta, keadaan rohani dalam pengalaman pribadi dan dalam pengalaman
orang lain. Tujuannya adalah untuk memutuskan, sejauh itu mungkin, mana
gerakan-gerakan yang dirasakan dan alami itu membimbing diri sendiri atau
orang lain kepada Tuhan Allah dan ke pelayanan yang lebih baik kepada
39
Tuhan dan sesama dan mana yang menjauhkan diri dari tujuan itu
(2009:34).
Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembedaan roh adalah
suatu tindakan untuk meneliti dan membedakan gerakan batin, mengenali
roh apa yang sedang bekerja apakah roh baik atau roh jahat, dilakukan
dalam terang iman. Tindakan ini dilakukan dengan melibatkan Tuhan di
dalamnya agar menemukan pencerahan dari Roh Kudus sendiri sehingga
memampukan untuk mengambil keputusan yang benar.
Tak jarang para suster SPM dihadapkan pada suatu masalah,
kesulitan, dan tantangan yang sangat bertentangan dengan keinginan dan
suara hatinya. Para suster mengalami dilema harus berbuat apa, memilih
mana yang baik dan benar, bagaimana harus mengambil keputusan.
Pengalaman para suster dalam melakukan discernment ternyata sangat
membantu dalam mengolah hidup. Hal ini tampak dari sikap yang dewasa,
bijaksana, dan mantap dalam menghayati hidup membiara. Mereka tidak
mudah emosi, patah semangat, dan pesimis tetapi mempunyai semangat dan
gembira dalam hidupnya.
2. Cara-cara Discernment dalam Pengolahan Batin
Salah satu bentuk proses pengolahan batin adalah discernment.
Kemampuan untuk mengolah batin dan meneliti struktur dinamis
pengalaman pribadi seseorang merupakan unsur dasariah dalam tiap usaha
untuk mengadakan peresapan spiritualitas yang membawa tiap pribadi pada
40
pengakaran iman dalam hidup sebagai titik tolak pembaharuan dan
perjalanan batin terus-menerus (Prasetya, 1992:35). Menurut Darminta,
Peresapan spiritualitas merupakan proses mendarahdagingkan hidup Illahi, yang ditawarkan oleh Tuhan kepada kita. Allah sendiri lewat sabda-sabda, peristiwa hidup, dan semua ciptaan-Nya melibatkan Diri di dalam hidup manusia. Rasanya manusia menemukan dan semakin sadar bahwa menghadapi arus hidup yang semakin menawarkan nilai-nilai duniawi tidak ada jalan lain kecuali orang harus memiliki pijakan kuat dalam dunia sekular, yaitu pengalaman akan Allah. Tidak mengherankan jika Latihan Rohani semakin menuju ke kedalaman hidup batin manusia. Untuk sampai ke kedalaman hidup batin manusia itu, orang memperkembangkan metode pengolahan hidup untuk mencoba memahami batin manusia yang terbuka dan bahkan dalam relasinya dengan hidup ilahi. Pengolahan hidup ini mengajak orang untuk mengolah hidupnya khususnya mengolah batin yang sedang hidup berdasarkan pengalaman hidupnya dalam perspektif hidup di dalam Tuhan (1997:11-14).
Ada dua unsur untuk mengolah batin dalam membantu mengatasi
konflik batin seseorang yaitu:
a. Pengenalan Diri Sebagai Landasan/Dasar
Menurut Mardi Prasetya (1992:81-83), masalah dasariah
dalam pengolahan batin pada langkah awal adalah menjawab secara
mendetail pertanyaan dasar: “Siapakah saya ini?” Langkah awal dalam
pengolahan batin adalah mengenal secara mendalam diri sendiri. Ada dua
arah untuk mengenali diri, yaitu:
1) Bagaimana saya secara nyata menjadi pribadi yang bebas yang
mampu mencapai tujuan tertinggi hidup rohani dan hidup panggilan?
2) Bagaimana taraf kedewasaan saya dilihat dari tiga dimensi?
a) Dimensi I: adalah bidang sadar dan bebas dalam pribadi seseorang,
maka sarana-sarana dalam hidup rohani seperti doa, penghayatan
41
sakramen dan cara mengatasi kesulitan hidupnya, dapat menjadi
petunjuk kedewasaan. Keutamaan hidup dapat diamati dari
kesesuaian antara nilai-nilai yang diidealkan dan yang nyata
dihayati dalam hidup tiap hari.
b) Dimensi II: adalah bidang hidup di mana dialektika dan pergulatan
hidup paling terasa, karena dimensi ini menjadi medan tarikan
antara unsur sadar dan unsur bawah sadar. Perilaku baik yang
dilakukan dengan sadar demi kebaikan itu sendiri akan menjadi
kebaikan sejati, sedangkan perilaku yang dari luar tampak baik,
tetapi karena dipakai sebagai defence dan dimotivasi oleh unsur
bawah sadar yang bertentangan dengan cita-cita dan nilai yang
diwartakan, akan menjadi kebaikan palsu.
c) Dimensi III: adalah bidang normalitas dan patologi. Normal
dipahami sebagai tidak ada keretakan pribadi, karena fungsi-fungsi
kodratinya berjalan normal. Ini berarti bahwa meskipun orang
mengalami pergulatan hidup, masih dapat mengintegrasikan rasa,
budi, hati, naluri dan kehendak untuk hidup. Sedangkan patologi
berupa taraf-taraf disorganisasi dari level yang paling ringan
sampai yang paling berat (seperti gangguan ringan, neurosi),
biasanya mempengaruhi cara penyesuaian diri, adaptasi dan
komunikasi dalam hidup bersama.
Dua arah dalam mengenali diri beserta refleksi di atas dalam kenyataan
agak sulit diwujudkan karena sungguh-sungguh membutuhkan
42
keterbukaan, kerelaan hati untuk dibentuk oleh Allah, berani sakit dalam
mengolah konflik, sikap lepas bebas dari emosional yang cenderung
egosentris, dan memahami nilai luhur yang ingin dicapai.
Ignasius (Barry & Doherty, 2009:21) mengungkapkan, “Latihan
Rohani juga dapat membantu segala macam orang untuk menemukan
Allah dan menata hidup mereka selaras dengan Allah yang mereka
temukan itu. Allah dapat ditemukan dalam setiap peristiwa hidup sehari-
hari, di sana Allah bertindak dalam kehidupan pribadi seseorang.” Allah
mengajak setiap orang mengenal dirinya melalui pengalaman hidup dan
melalui permenungan pribadi. Dalam buku Tahan Uji, dikemukakan
sebagai berikut:
Latihan Rohani membantu untuk memperdalam kerohanian, sebab Latihan Rohani dapat melatih orang untuk makin mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menjalankan hidup. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Latihan Rohani pun melatih orang beriman untuk hidup tahan uji. Orang akan semakin tahan uji jika dia mampu menerima dan mengolah segala permasalahan atau konflik yang dialami bukannya lari dari konflik (Komunitas Kolsani SJ, 2006:5).
Maka tepatlah jika para suster SPM juga dapat menggunakan metode
Latihan Rohani sebagai salah satu cara untuk mengolah batin dalam
menyelesaikan konflik batinnya agar dapat mencapai pengalaman iman
bahwa bukan dirinya sendiri, melainkan Tuhanlah yang menyelesaikan
masalah-masalah hidupnya. Kerjasama dengan rahmat Allah dapat
menjadi jalan untuk mengubah konflik yang semata-mata psikologis
menjadi pergulatan religius, mengubah ketegangan yang gelap menjadi
arena ketegangan yang lebih terang, bertanggung jawab dan bebas, yang
43
membuka dan mengarah ke penerimaan dan penyerahan diri. Rahmat ini
akhirnya dapat membina relasi dengan sesama, dengan diri sendiri, dan
dengan Allah.
Menurut Ki Ageng Suryomentaram (Adimassana, 1986:41-56),
manusia terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa adalah bagian dari manusia yang
tidak dapat dilihat dan raga adalah bagian dari manusia yang kelihatan,.
Namun jiwa itu ada karena adanya “rasa”. Yang dimaksudkan “rasa”
adalah segala gerak batin, meliputi perasaan, gagasan/pikiran, dan
keinginan. Dari “rasa” ditemukan macam-macam rasa dengan sifat dan
tabiat seseorang. Ki Ageng akhirnya dapat menamakan penemuannya
dengan struktur kejiwaan manusia atau “pengetahuan diri sendiri”.
Pengetahuan diri sendiri diarahkan untuk memecahkan kesulitan
(konflik) kejiwaan atau batin, sehingga jiwa menjadi “bebas”, artinya
terlepas dari segala macam rasa yang menyebabkan timbulnya kesulitan
atau konflik. Jiwa yang bebas menjadi dasar bagi hidup bahagia, damai,
tentram dan menjadi pangkal kerukunan di dalam masyarakat.
Pengetahuan diri sendiri juga dimaksudkan sebagai jalan
mengembangkan “akal budi” yang sehat, yang reaslitis dan yang rasional,
artinya yang berpedoman pada apa yang kini dan di sini dihadapi dan
diperlukan.
Ada dua unsur pokok dalam struktur jiwa manusia, yakni ”rasa
keakuan Kramadangsa” dan “rasa aku” yang sejati atau “manusia baru”
atau “manusia tanpa ciri”. “Rasa keakuan Kramadangsa” menunjuk pada
44
rasa yang sifatnya individual, yakni yang tidak bisa diwakili oleh orang
lain. “Rasa aku sejati” atau “manusia baru” adalah inti pribadi manusia,
yang mengatasi Kramadangsa. Di sana terdapat “kesadaran” yang
mengawasi gerak rasa keakuan Kramadangsa dengan segala rasa
tanggapan, gagasan dan keinginannya. “Manusia baru” menentukan
kebahagiaan seseorang dan selalu dalam keadaan bahagia dan senang
abadi. Oleh sebab itu kebahagiaan seseorang itu tidak ditentukan oleh
dinamika kehidupan pengalaman, melainkan oleh kebebasan dan peranan
“manusia baru” dalam dirinya. Bila manusia baru dengan bebas bisa
tampil dan berperanan dalam hidupnya, maka di mana saja, kapan saja, ia
bisa hidup dengan bahagia.
Menurut pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang dikutip oleh
Adimassana (dalam Cahya, dkk, 2001:95):
Kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika orang memiliki jiwa yang bebas merdeka. Jiwa yang bebas harus diusahakan melalui self-analysis secara terus-menerus, guna memahami keadaan diri dan membebaskan dari cengkeraman “keakuan” yang semu, tempelan (palsu), dan temporal (yang oleh Ki Ageng diberi nama Kramadangsa) yang cenderung bersifat sewenang-wenang, bengis, keras, dan egoistis.
Adimassana (dalam Cahya, dkk, 2001:103) berpendapat, bahwa proses
self-analysis dapat ditunjang dengan proses pemurnian, penyucian,
pembersihan, dan pertobatan agar mencapai pembebasan jiwa. Proses ini
diarahkan untuk menyiapkan disposisi jiwa/hati agar mempunyai niat
kuat, rasa percaya/terarah penuh pada kehendak Illahi, terbuka, bebas
dari segala hawa nafsu atau kelekatan tak teratur, jujur, tanggung jawab,
45
tulus, sederhana, rendah hati, taat, kuat, tegar, dan berani menanggung
risiko.
Menurut Freud (Taniputera, 2005:44-46), unsur pembentuk sang
“aku” merupakan fungsi kepribadian secara keseluruhan dan tidak bisa
dipisahkan. Unsur itu adalah id, ego, dan superego. Id, ada sejak lahir
(bawaan). Unsur kepribadiannya merupakan tempat bersemayamnya
naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali. Asas yang mengatur
bekerjanya id adalah asas kesenangan yang diarahkan bagi pengurangan
ketegangan atau ketidaknyamanan untuk mencapai kepuasan atau
kebahagiaan naluriah. Id bersifat tidak sadar. Ego, berfungsi untuk
mengendalikan dan mengatur tindakan yang dilakukan dengan
berlandaskan asas kenyataan. Maka akan berlaku realistis, berpikir logis,
dan merumuskan rencana tindakan bagi pemuasan kebutuhan. Ego dapat
mengendalikan kesadaran. Superego, merupakan aspek moral seseorang
yang menentukan benar dan salahnya perbuatan yang dilakukan. Ia
menampilkan hal-hal ideal dan bukan riil, digerakkan oleh asas
kesempurnaan. Superego dapat menghambat dorongan pemuasan dari id.
Menurut Rogers (Alwisol, 2004:346-347), ada lima ciri
kepribadian orang yang berfungsi sepenuhnya. Lima ciri ini untuk
membantu orang mengenal diri sendiri, meliputi terbuka untuk
mengalami, hidup menjadi, keyakinan organismik, pengalaman
kebebasan, dan kreativitas. Pertama, terbuka untuk mengalami yaitu
mampu mendengar dirinya sendiri, merasakan secara mendalam
46
pengalaman visceral, sensori, emosional, dan kognitif dalam dirinya
tanpa merasa terancam. Mereka sadar dengan pikiran dan perasaannya
semua disimbolisasi dalam kesadaran tanpa distorsi atau denial. Kedua,
hidup menjadi artinya setiap pengalaman dipandang baru dan unik –
berbeda dengan yang pernah terjadi; berkembang tanpa diawali
prasangka dari harapan sebelumnya. Ketiga, keyakinan organismik
artinya orang mengambil keputusan berdasarkan pengalaman
organismiknya sendiri, mengerjakan apa yang dirasanya benar sebagai
bukti kompetensi dan keyakinannya untuk mengarahkan tingkah laku
yang memuaskan. Keempat, pengalaman kebebasan artinya pengalaman
hidup bebas dengan cara yang diinginkan/dipilih sendiri, tanpa perasaan
tertekan atau terhambat. Kelima, kreativitas artinya orang dengan hidup
baik kemungkinan besar dapat memunculkan produk kreatif dan hidup
kreatif.
Peneliti menyimpulkan bahwa pengenalan diri mengarahkan
seseorang pada penerimaan diri yang sebenarnya dan bukan diri yang
seharusnya. Semakin mengenal diri orang akan semakin mengenal jati
dirinya, semakin nyaman dengan dirinya sendiri, dan mencapai
otonominya. Dia tidak mudah terpengaruh atau dipengaruhi situasi dari
luar dirinya. Dia pun memiliki kehendak bebas di mana dapat
mengungkapkan gagasan, pemikiran, dan rasa yang mendorongnya.
47
b. Discernment Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Konflik
Selain pengenalan diri, salah satu cara untuk mengolah batin dalam
mengatasi konflik adalah dengan melakukan discernment. Menurut
Ignasius Loyola, dalam discernment dibutuhkan keterbukaan hati,
kemampuan budi untuk berpikir dan mengerti, merasakan, rela
mempersembahkan kehendak kepada Tuhan, dan berlatih membedakan
roh baik dan roh jahat sehingga mampu untuk mengambil keputusan
dengan tepat. Proses discernment tidak sekali jadi tetapi membutuhkan
waktu dan energi, namun hasilnya akan menggembirakan bagi yang
melakukannya.
Menurut Ki Priyo Dwiarso (2008) ada beberapa cara untuk
mengatasai masalah yakni dengan melakukan “neng”, “ning”, “nung”,
“nang”. “Neng” artinya meneng/diam, tercapainya ketentraman fisik,
dengan menyadari diri apa yang menjadi beban hidup atau ada kelekatan-
kelekatan tak teratur entah dengan kelemahan diri, dengan barang,
dengan orang, atau peristiwa tertentu. Setelah disadari, perlu melepaskan
dan membebaskan diri dari kelekatan tak teratur itu dan mengarahkan
diri untuk mencari dan menemukan kehendak Tuhan. “Ning” artinya
wening, hening, tercapainya ketentraman batin sehingga nurani menjadi
tenang untuk berpikir dan berefleksi. Diri sendiri perlu tenang tanpa
tergesa-gesa mempertimbangkan apa yang ingin dipilihnya. Di saat jiwa
diganggu dengan macam-macam roh, maka dapat menggunakan daya
kodrati seperti pikiran, budi, dan kehendak yang bebas. Di sini akan
48
dihadapkan pada pro dan kontra atas pilihan itu, hasilnya dibawa kepada
Tuhan dan mohon petunjuk pada-Nya apakah hasil ini sesuai dengan
kehendak-Nya. “Nung” artinya dunung/hanung yaitu dengan kebesaran
jiwa, dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan jernih, dan
mementingkan masa depan. Apabila batin merasa tenang, damai, dan
mendapatkan pencerahan/kejelasan maka kiranya pilihan itu tepat
sehingga dapat memutuskan dengan bijaksana. “Nang” artinya menang
yaitu berhasil menguasai dan mengendalikan diri dari kelekatan tak
teratur yang merintangi hidup sehingga dapat melaksanakan
kebaikan/kehendak Tuhan. Di sinilah orang akan mengalami hati yang
bebas dan menjadi manusia yang baru.
Berikut ini akan dipaparkan proses pembedaan roh menurut
Ignasius Loyola (Darminta, 2002:57-183) berdasarkan pedoman
pembedaan roh I dan II yang dapat digunakan sebagai latihan rohani:
Minggu I (untuk tahap pemula):
Tujuannya agar dapat merasa dan mengenal berbagai gerak yang
timbul dalam jiwa: yang baik untuk diterima, yang buruk dibuang dan
agar mampu mengambil sikap yang benar terhadap dosa dan terhadap
kerahiman kasih Allah.
Pada orang yang jatuh beruntun dari dosa besar ke dosa besar, musuh
biasanya menyodorkan kesenangan semu, membuat mereka
membayangkan kenikmatan dan kesenangan inderawi, supaya mereka
tetap pada keadaan berdosa. Cara roh baik adalah menghantami dan
49
menyesakkan hati nurani dengan teguran pada budi. Sebaliknya pada
orang tekun yang terus membersihkan dosanya dan dalam pengabdian
kepada Allah meningkat dari taraf baik ke taraf lebih baik. Ciri roh
buruk ialah menyesakkan, menyedihkan dan menghalangi dengan
alasan palsu, supaya orang tidak maju. Ciri roh baik ialah memberi
semangat dan kekuatan, hiburan, airmata, inspirasi, ketenangan, dan
membuat semuanya menjadi mudah.
Dalam waktu kesepian, jangan sekali-kali membuat perubahan, tetapi
teguh dan tetap dalam niat dan keputusan yang dipegang pada hari
sebelumnya selama hiburan sebelumnya itu, karena dalam kesepian
roh buruk menyapa dan menasihati ke arah yang tidak benar. Dalam
hiburan perlu waspada dan memikirkan bagaimana akan bersikap
dalam kesepian yang akan datang kemudian, dan mencari kekuatan
baru untuk menghadapi waktu itu.
Latihan pembedaan roh I sebagai berikut:
1. Doa persiapan: mohon rahmat kepada Tuhan supaya semua
maksud, perbuatan, dan pekerjaan diarahkan hanya untuk
pengabdian kepada Tuhan.
2. Pendahuluan: membayangkan tempat dalam angan-angan batin
dengan kontemplasi/meditasi. Bayangan tempat dibentuk dengan:
melihat dalam angan-angan jiwa seakan-akan terpenjara dalam
badan yang fana dan seluruh diri dan adaku seakan-akan dibuang di
lembah kedukaan. Selanjutnya mohon kepada Tuhan apa yang
50
dikehendaki/diinginkan. Mohon rasa malu dan aib atas diri sendiri,
sebab melihat betapa banyak orang yang terkutuk hanya karena
satu dosa berat saja, dan telah berapa kali aku berbuat dosa.
3. Pokok: menimbang-nimbang dosa yang banyak dibanding dengan
dosa malaikat yang hanya berdosa satu kali sudah masuk neraka.
4. Percakapan: membayangkan Kristus hadir di hadapanmu,
tergantung di salib, dan bertanya kepada-Nya dalam percakapan
bagaimana Dia telah berkenan menjadi manusia; dan bagaimana
dari hidup abadi Dia sampai kepada kematian bahkan wafat demi
dosa-dosa manusia termasuk diri sendiri. Perlu juga bertanya pada
diri sendiri, “Apa yang telah kuperbuat bagi Kristus, apa yang
sedang kuperbuat bagi Kristus, dan apa yang harus kuperbuat bagi
Kristus?” Dilanjutkan wawancara sewajarnya seperti seorang
sahabat dengan sahabatnya. Mohon rahmat dan nasihat dari Tuhan.
Diakhiri dengan doa Bapa Kami satu kali.
Minggu II (tahap lanjutan):
Tujuannya agar memahami gerak batin yang timbul dalam jiwa dan
dapat lebih jauh membedakan roh.
Ciri khas Allah adalah memberi sukacita dan kegembiraan sejati
dengan menyingkirkan segala kesedihan dan kekacauan, yang
dimasukkan oleh musuh. Ciri khas musuh adalah berjuang melawan
sukacita dan hiburan rohani dengan menyodorkan alasan-alasan semu,
pandangan sesat, dan tipuan licin terus-menerus.
51
Allah memberi hiburan kepada jiwa tanpa sebab sebelumnya, artinya
tanpa ada perasaan atau pengertian apa-apa yang dapat mendatangkan
hiburan karena kerja budi atau kehendaknya sendiri. Bila ada sebab,
maka hiburan datang dari malaikat baik maupun malaikat jahat tetapi
tujuan berlawanan. Malaikat baik menghibur bertujuan demi
kemajuan jiwa agar berkembang menjadi lebih baik, sedangkan
malaikat jahat menghibur bertujuan menyeret jiwa ke arah
kedurhakaan. Ciri khas malaikat jahat yang berganti rupa menjadi
malaikat terang, ialah memulai dengan mengikuti suasana jiwa yang
saleh, akhirnya menggiring ke arah maksud jahat.
Perlu diperhatikan jalan pikiran: bila awal, tengah, dan akhir
seluruhnya baik, mengarah kepada yang serba baik, berarti berasal
dari malaikat baik. Bila jalan pikiran berakhir buruk, pertanda asalnya
dari roh jahat yang menyebabkan jiwa lemah, resah, tidak damai, dan
bingung.
Walaupun hiburan tanpa sebab datangnya dari Tuhan, harus hati-hati
membedakan saat berlangsungnya hiburan itu sendiri dan saat
berikutnya, yang mungkin dipengaruhi oleh roh jahat.
Latihan pembedaan roh II sebagai berikut:
1. Doa persiapan: mohon rahmat kepada Tuhan supaya semua
maksud, perbuatan dan pekerjaan diarahkan hanya untuk
pengabdian kepada Tuhan.
52
2. Pendahuluan: membayangkan tempat dalam angan-angan, yakni
melihat sinagoga, desa-desa dan kota-kota di mana Kristus
berkhotbah. Mohon rahmat yang dikehendaki dan mohon supaya
tidak tuli terhadap panggilan-Nya, tetapi siap-siaga dan penuh
minat untuk melaksanakan kehendak-Nya.
3. Pokok: membayangkan di depan mata seorang raja pilihan Tuhan
sendiri. Semua pembesar Kristiani bersama rakyat menaruh hormat
dan taat padanya. Setelah itu dilanjutkan dengan menimbang-
nimbang bagaimana raja berpidato kepada bawahannya agar taat
pada kehendaknya sehingga kelak akan mendapat bagian
kemenangan bersamanya. Akhirnya menimbang-nimbang kembali
ketaatan bawahan kepada rajanya yang rela berkorban demi cinta
kepada sesama.
4. Percakapan: wawancara dengan Tuhan sambil mohon rahmat agar
setia mengikuti dan meneladan Tuhan. Diakhiri dengan doa Bapa
Kami satu kali.
Cara konkrit lain dalam mengatasi konflik adalah discernment
menurut Ki Ageng Suryomentaram (Adimassana, 1986:83) yakni dengan
mawas diri. Caranya sebagai berikut:
1. Mengamati dan meneliti rasa batin yang muncul serta bertanya dari
mana dan ke mana rasa batin itu mengarah, apakah dari rasa “aku”
yang sejati atau dari rasa “aku” individual.
53
2. Membangkitkan kesadaran akan “aku” sejati yang seharusnya menjadi
subjek yang menghayati hidup ini dengan disertai keberanian dan
ketabahan untuk menghadapi kenyataan hidup yang dialaminya di sini
pada saat ini, apapun wujudnya.
3. Mengambil keputusan atau menentukan sikap berdasarkan
pemahaman terhadap situasi yang sedang dihadapi, dengan
memperhatikan nilai-nilai yang diyakininya.
Menurut Paul Suparno (2009:58-62), terdapat model discernment
pribadi yang dapat dilakukan pula untuk memilih atau menentukan
keputusan. Yang diperlukan dalam model ini adalah pribadi tersebut
menyediakan waktu cukup untuk tenang, berpikir, dan berdoa. Langkah-
langkahnya seperti berikut:
1. Duduk tenang, entah di kamar, kapel, atau ruangan yang tenang.
2. Mengingat kembali dalam batin, tujuan hidup atau nilai yang menjadi
pegangan hidup.
3. Bahan pemilihan atau yang mau dijadikan keputusan diungkapkan,
diekspresikan, dilihat, dihadapi.
4. Mohon terang dari Tuhan agar dapat melakukan pemilihan dengan
baik sesuai kehendak-Nya dan menyerahkan semua hasil pemilihan
kepada-Nya.
5. Unsur objektivitas. Dengan pikiran mengolah bahan pemilihan,
mengumpulkan informasi, keterangan, keunggulan, kelemahan, dan
semua yang terkait dengan pilihan itu. Perlu melihat pribadi yang
54
terlibat, unsur yang mendukung, dan unsur yang tidak mendukung.
Semuanya dicatat dengan lengkap sehingga dapat menjadi
pertimbangan.
6. Melihat alternatif terbaik atau kecenderungan.
7. Membawa dalam doa (unsur hati, afeksi). Dengan tenang, pilihan
diserahkan kepada Tuhan dan mohon agar Tuhan memberikan tanda
apakah pilihan itu yang terbaik bagi kemuliaan-Nya dan bagi hidup
pribadi itu sendiri. Hening di hadapan-Nya, mendengarkan yang
disampaikan-Nya. Bila dalam keheningan, hati merasa damai,
gembira, semangat, dan semakin mencintai Tuhan; maka keputusan
itu tepat. Jika sebaliknya, hati menjadi gundah, bingung, sedih, tidak
damai; maka keputusan itu tidak tepat.
8. Sebaiknya membawa keputusan dalam doa tidak hanya sekali tetapi
berkali-kali. Bila setiap kali membawa dalam doa hati menjadi damai,
bahagia, maka pasti itulah yang dikehendaki Tuhan. Lalu dapat
menjadikan pilihan itu keputusan hidup.
9. Bila Tuhan menunjukkan pilihan itu tidak tepat, maka dapat
mengadakan pilihan ulang.
Berdasarkan cara-cara discernment dalam pengolahan batin di atas
disimpulkan bahwa discernment sangat membantu seseorang dalam
mengatasi konfliknya. Discernment tidak hanya dilakukan pada saat terjadi
konflik tetapi berlaku terus-menerus sampai akhir hidup karena sebagai
manusia masalah itu pasti selalu ada dalam hidup. Tujuan discernment
55
dalam pengolahan batin adalah agar orang dapat memilah-
milah/membedakan gerakan roh dalam batin, menerima diri dan kenyataan
hidup dengan tenang, dapat mengambil keputusan dengan tepat, dan
mengubah diri selama masih dapat diubah. Orang yang berhasil melakukan
pengolahan batin seperti ini dapat disebut orang yang proaktif.
Menurut Stephen Covey (1997:61-62), orang yang proaktif tidak
menyalahkan keadaan, kondisi, atau pengkondisian untuk perilaku mereka.
Perilakunya berdasarkan pilihan sadar, nilai, dan bukan dari perasaan.
Mereka mempunyai kemampuan untuk menomorduakan impuls sesudah
nilai. Maka orang yang proaktif mampu mengadakan perubahan positif,
menjadi lebih banyak akal, lebih rajin, lebih kreatif, dan lebih mau bekerja
sama. Sebaliknya orang yang reaktif seringkali dipengaruhi oleh lingkungan
fisik, lingkungan sosial, dan membangun kehidupan emosional di sekitar
perilaku orang lain. Mereka digerakkan oleh perasaan, keadaan, kondisi, dan
oleh lingkungan.
Discernment merupakan satu cara pemecahan konflik yang perlu
dilatihkan dengan memperhatikan langkah-langkah dengan seksama.
Latihan tidak hanya sekali tetapi berulang kali, bila gagal perlu mengulang
kembali. Bagi suster-suster SPM perlu mencoba dan melakukan model-
model yang dapat membantu dalam proses ber-discernment. Untuk saat
sekarang diperlukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana mereka telah
mampu melakukan hal itu. Selanjutnya dari hasil penelitian akan
ditindaklanjuti dengan pembinaan.
56
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini membahas jenis penelitian, subjek penelitian, metode
pengumpulan data, tahap-tahap penelitian, teknik analisis data, dan pemeriksaan
keabsahan data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Moleong menjelaskan
bahwa penelitian kualitatif adalah
Penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (2006:6).
Menurut Arikunto (2002:12), salah satu dasar filosofis dari penelitian kualitatif
adalah “fenomenologis”, artinya bahwa kebenarannya diperoleh dengan cara
menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari subjek yang diteliti.
Fenomena yang ditemukan adalah di antara para suster SPM jika
mengalami konflik kurang dapat mengolah dan menyelesaikan dengan baik.
Hal ini tampak dari perilaku, cara bicara, cara pandang negatif, emosi tidak
terkontrol, dan sikap yang berlebihan. Konflik yang kurang terolah dengan baik
mempengaruhi fisik dan psikis, misalnya psikosomatis, batuk, pusing, dan
penyakit lain yang tidak sembuh-sembuh, kecil hati, cemas, gelisah, tertekan,
merasa tidak berarti, frustrasi, stres, dan tidak bergairah dalam tugas. Yang
57
lebih memprihatinkan lagi, karena tidak mampu mengolah konfliknya cepat
memutuskan untuk keluar dari biara. Berdasarkan fenomena itu peneliti
memilih penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengetahui discernment
yang dilakukan oleh tiga suster SPM dalam menyelesaikan konflik dalam
hidup membiara dan menemukan program pembinaan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan discernment.
Menurut Moleong (2006:8-13) ada beberapa karakteristik yang dapat
digunakan dalam penelitian kualitatif. Pertama, penelitian ini menggunakan
metode kualitatif yaitu metode dengan menggunakan pengamatan, wawancara,
atau penelaahan dokumen. Kedua, analisis data yang digunakan adalah analisis
data induktif, di mana tidak hanya membatasi penelitian pada upaya menerima
atau menolak dugaan melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan
bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Alasan menggunakan analisis
data induktif adalah lebih dapat menemukan kenyataan jamak yang terdapat
dalam data; hubungan peneliti-responden lebih eksplisit, dikenal, dan
akuntabel; menguraikan latar secara penuh; menemukan pengaruh bersama
yang mempertajam hubungan; dan memperhitungkan nilai-nilai secara
eksplisit. Ketiga, teori yang digunakan adalah teori dari dasar (grounded
theory), artinya penyusunan teori substantif berasal dari data atau dari bawah
ke atas. Hal ini dimaksudkan dari sejumlah data yang saling berhubungan
dikumpulkan dan setelah itu baru disusun teori yang akhirnya menghasilkan
teori baru.
58
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah tiga suster SPM yang tinggal di tiga
komunitas yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketiga suster tersebut
merupakan sampel dari seluruh populasi para suster SPM. Keterangan
mengenai karakteristik subjek penelitian dipaparkan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian
No Nama Umur (th)
Tahap Biara Komunitas
1
2
3
X
Y
Z
27
37
74
Yunior
Medior
Senior
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Tengah
Ada empat alasan peneliti memilih tiga suster SPM sebagai subjek
penelitian. Keempat alasan itu adalah: 1) tiga suster yunior, medior, dan senior
tersebut pasti pernah mengalami konflik dalam penghayatan hidup membiara
atau dalam tugasnya; 2) mereka berpengalaman dalam mengatasi konflik
dalam hidup membiara dengan cara discernment/pengolahan batin, sehingga
tetap setia dalam menghayati panggilannya; 3) hasil penelitian dengan tiga
suster SPM ini dapat ditindaklanjuti bagi peneliti kelak sebagai acuan dalam
mengolah konflik demi kematangan dan pengembangan diri; 4) pengalaman
ketiga suster ini menjadi inspirasi bagi peneliti sebagai anggota Kongregasi
Suster SPM untuk ikut terlibat meningkatkan mutu pembinaan para suster
SPM, dapat melihat dengan jernih masalah orang yang dibina, dan dapat
membantu memberikan penyelesaian masalah dengan tepat.
59
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu bentuk penerimaan data yang dilakukan
dengan cara merekam kejadian, menghitungnya, mengukurnya, dan
mencatatnya (Arikunto, 2002:197). Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara berdasarkan pedoman
wawancara tidak terstruktur. Pedoman wawancara tidak terstruktur adalah
pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar hal-hal yang akan
ditanyakan. Tentu saja kreativitas pewawancara sangat diperlukan.
Pewawancara harus menjadi pengemudi jawaban responden. Oleh karena itu,
pewawancara perlu menciptakan suasana rileks agar data yang diperoleh
objektif dan dapat dipercaya. Wawancara dapat dilaksanakan dengan efektif,
jika dalam kurun waktu yang singkat dapat diperoleh data sebanyak-banyaknya
(Arikunto, 2002:202-203). Pewawancara yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah peneliti sendiri. Keberhasilan dalam mendapatkan data atau informasi
dari subjek yang diteliti sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam
mewawancarai. Untuk memperlancar tugas ini, peneliti menggunakan sarana
berupa tape recorder untuk merekam semua pembicaraan dalam wawancara
dan alat tulis untuk mencatat jawaban/informasi dari subjek yang
diwawancarai.
Berkaitan dengan pedoman wawancara, peneliti membuat kerangka dasar
atau bagan yang memuat secara rinci pertanyaan-pertanyaan yang sesuai
dengan jenis data yang dibutuhkan. Dari pertanyaan-pertanyaan yang disusun
dalam kerangka dasar, peneliti akan memilihnya secara sungguh-sungguh agar
60
sesuai atau relevan dengan jenis data yang dibutuhkan. Menurut Masidjo
(2005:73), pertanyaan-pertanyaan dalam kerangka dasar dianggap memenuhi
syarat apabila:
1. Setiap pertanyaan dirumuskan secara singkat, padat, tegas, dan hanya
memuat 1 hasil.
2. Setiap pertanyaan dirumuskan secara netral sehingga tidak mengundang
reaksi-reaksi tertentu terhadap pihak yang diwawancarai, misalnya sikap
tidak senang.
3. Hindari pertanyaan yang bersifat mengejek ataupun yang bernada
menakut-nakuti.
Wawancara dalam penelitian ini diarahkan untuk menggali informasi dari
subjek penelitian tentang hal-hal yang tercantum dalam kisi-kisi panduan
wawancara pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2 Kisi-kisi Panduan Wawancara
Kode Aspek Wawancara Pertanyaan Panduan
A Pengalaman konflik
1. Apakah Anda pernah mengalami konflik dalam hidup membiara?
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
3. Apa yang menyebabkan konflik itu? 4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda
baik secara fisik maupun psikis? 5. Apakah manfaat konflik bagi Anda? 6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang
membisiki Anda ketika mengalami konflik? B Reaksi spontan
ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat
61
mengatasi konflik itu? C Sikap/tanggapan
terhadap konflik 1. Apakah yang Anda inginkan ketika
mengalami konflik? 2. Bagaimana tanggapan Anda tentang
konflik? D Cara mengatasi
konflik 1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik
itu? 2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau
cara yang tepat untuk mengatasi konflik? 3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam
proses penyelesaian konflik itu? 4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda
percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan pertolongan?
6. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan konflik Anda?
E Frekuensi konflik 1. Kapan konflik itu terjadi? 2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan
konflik itu? Apakah persoalannya sama? F Proses
discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
3. Sejauh mana Anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan?
62
Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
10. Apakah gerakan roh dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (suster SPM)? Jelaskan!
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
Menurut Sarwono (2006:225), cara melaksanakan wawancara dimulai
dengan mengemukakan topik yang umum untuk membantu peneliti memahami
perspektif subjek yang diwawancarai. Hal ini sesuai dengan asumsi dasar
penelitian kualitatif bahwa jawaban yang diberikan harus dapat membeberkan
perspektif yang diteliti bukan sebaliknya, dari peneliti sendiri. Dalam
wawancara ini, peneliti akan mengajak subjek yang diwawancarai untuk
terbuka dan jujur dalam menjawab pertanyaan, sabar mendengarkan, dan
mengemas jawaban dengan baik.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan juga oleh peneliti adalah mengetahui
sifat-sifat pribadi peneliti sendiri. Menurut Masidjo (2005:74-75), sifat-sifat
pribadi yang harus ada dan dimiliki oleh peneliti sendiri adalah sebagai berikut:
63
1. Sifat jujur
Sifat jujur peneliti sangat penting demi hasil wawancara yang sesuai
dengan kenyataan. Misalnya, peneliti tidak memanipulasikan jawaban
subjek yang diwawancarai apalagi membuat jawaban sendiri tanpa
wawancara, ataupun membuat suatu kesimpulan hasil wawancara
berdasarkan cara pandang peneliti sendiri.
2. Sifat akurat
Sifat ini sangat penting terutama dalam mencatat keterangan dari yang
diwawancarai secara teliti, sehingga diperoleh hasil wawancara yang
akurat.
3. Sifat penuh minat
Sifat yang dibutuhkan adalah sikap ramah, adil, dan netral. Sikap-sikap
semacam ini tidak mudah direalisasikan apabila peneliti tidak penuh minat
dalam melaksanakan tugasnya.
4. Sifat adaptif
Diharapkan memiliki sifat mudah menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi wawancara, seperti keadaan yang diwawancarai, lingkungannya
dan sebagainya dengan tetap menyadari fungsinya sebagai pewawancara
yang memiliki integritas pribadi.
Sifat-sifat tersebut perlu ditanamkan dan dikembangkan oleh peneliti jika
berhadapan dengan yang diwawancarai sehingga hasil penelitian objektif.
Usaha yang dapat dilakukan antara lain gembira, bertutur kata yang menarik
dan mudah dimengerti, antusias mendengarkan, sopan, dan sabar.
64
D. Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pra-
lapangan dan tahap pekerjaan lapangan (Moleong, 2006:127-148).
1. Tahap Pra-Lapangan
Tahap pra-lapangan meliputi:
a. Menyusun rancangan penelitian
Peneliti mengajukan rancangan penelitian dengan melakukan
pendekatan dengan subjek penelitian maupun sumber lain,
menginformasikan topik penelitian, menyiapkan daftar pertanyaan, dan
menentukan waktu penelitian, dan wawancara.
b. Memilih lapangan penelitian
Peneliti memilih tiga komunitas yang berada di Tumpang, Malang, dan
Magelang sebagai lapangan penelitian agar mudah dijangkau.
c. Mengurus perizinan
Peneliti meminta izin untuk mengadakan wawancara kepada para
pimpinan komunitas, teman dekat subjek, dan subjek penelitian baik
secara langsung maupun melalui telepon.
d. Menjajaki dan menilai lapangan
Peneliti tinggal bersama di komunitas-komunitas tempat penelitian,
menyesuaikan diri dengan kegiatan komunitas dan tugas subjek
penelitian.
65
e. Memilih dan memanfaatkan informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi latar penelitian. Informan dapat disebut juga sumber
lain selain subjek penelitian. Mereka adalah para suster yang pernah
tinggal se-komunitas dan para pimpinan komunitas di mana subjek
penelitian tinggal.
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian
Peneliti menyiapkan berbagai perlengkapan yang akan digunakan
dalam penelitian, antara lain tape recorder, alat tulis, dan rencana biaya
penelitian.
g. Persoalan etika penelitian
Peneliti memperhatikan dan menjaga etika dengan menghormati,
menghargai, membina relasi yang baik, dan memegang kerahasiaan
berkenaan dengan informasi dari subjek.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap ini dilakukan ketika peneliti melakukan pengumpulan data
penelitian. Peneliti mewawancarai tiga suster SPM sebagai subjek
penelitian dan beberapa sumber lain, mereka tinggal di tiga komunitas yaitu
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan tiga tahap. Tahap I
di Jawa Tengah pada tanggal 27 sampai dengan 28 Desember 2009. Tahap
II di Jawa Tengah pada tanggal 7 sampai dengan 8 Januari 2010. Tahap III
di Jawa Timur pada tanggal 10 sampai dengan 11 Januari 2010.
66
E. Tehnik Analisis Data
Menurut Jonathan Sarwono (2006:239), analisis kualitatif merupakan
analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antar variabel yang
sedang diteliti. Tujuannya ialah agar peneliti mendapatkan makna hubungan
variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang
dirumuskan dalam penelitian. Hubungan antar semantis sangat penting karena
dalam analisis kualitatif, peneliti tidak menggunakan angka-angka seperti pada
analisis kuantitatif.
Sarwono (2006:239-240) mengemukakan, prinsip pokok teknik analisis
kualitatif ialah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi
data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna. Ada lima
langkah prosedur analisis data kualitatif. Kelima langkah itu adalah: 1)
mengorganisir data yakni dengan membaca berulang kali data yang ada
sehingga peneliti menemukan data sesuai dengan penelitiannya dan membuang
data yang tidak sesuai; 2) membuat kategori, menentukan tema, dan pola; 3)
menguji hipotesis yang muncul dengan menggunakan data yang ada; 4)
mencari eksplanasi alternatif data yakni peneliti memberikan keterangan yang
masuk akal terhadap data yang ada dan menerangkan data itu berdasarkan
makna yang terkandung dalam data; dan 5) menulis laporan yakni peneliti
harus mampu menuliskan kata, frasa dan kalimat serta pengertian secara tepat
yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan data dan hasil analisisnya.
Menurut Poerwandari (2005:150-151) langkah penting pertama dalam
proses analisis adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh.
67
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan
data secara lengkap dan detil sehingga data dapat memunculkan gambaran
tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan menemukan
makna dari data yang dikumpulkan. Secara praktis dan efektif, langkah awal
koding dapat dilakukan dengan cara: 1) menyusun transkripsi verbatim (kata
demi kata) atau catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong
yang cukup besar di sebelah kiri dan kanan transkrip; 2) secara urut dan
kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip dan atau catatan
lapangan itu; 3) memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode
tertentu.
Analisis data kualitatif ini menggunakan model Analisis Komparasi
Konstan (Grounded Theory Research). Menurut Sarwono (2006:244) ada tiga
cara melakukan Analisis Komparasi Konstan yaitu, mengumpulkan data untuk
menyusun/menemukan suatu teori baru, berkonsentrasi pada deskripsi yang
rinci mengenai sifat atau ciri dari data yang dikumpulkan untuk menghasilkan
pernyataan teoritis secara umum, dan mengembangkan suatu teori baru. Di
samping cara melakukan analisis, ada lima jenis kegiatan yang terdapat pada
Analisis Komparasi Konstan. Kelima jenis kegiatan itu adalah: 1) menulis
catatan: menulis hal-hal yang pokok, dan kemudian mendiskripsikan atau
merinci lebih detil dengan cara memberi penjelasan secara lengkap, misalnya
mengungkapkan data faktual dan penilaian peneliti; 2) memulai dari data ke
konsep; 3) memodifikasi konsep dengan cara membuat hal-hal yang spesifik
68
menjadi abstrak; 4) melakukan analisis bergelombang, dari yang sempit
menjadi meluas; dan 5) pengembangan tema inheren menjadi suatu teori.
F. Pemeriksaan Keabsahan Data
Berkaitan dengan keabsahan data, peneliti berusaha untuk mencatat,
mendokumentasikan, dan akhirnya menafsirkan setiap jawaban dari yang
diwawancarai. Di luar data itu, untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data, menggunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong
(2006:330), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak
digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Menurut Burhan Bungin
(2007:152), untuk menguji keakuratan data digunakan triangulasi metode
pengumpulan data seperti: observasi, wawancara tak berstruktur, dokumentasi,
interpretasi dokumen sejarah oral dan pribadi, introspeksi dan refleksi diri.
Dengan demikian, triangulasi akan diperlakukan sebagai suatu alternatif bagi
validasi, bukan sekadar alat atau strategi validasi. Informasi yang terkumpul
memiliki variasi yang lengkap apabila melibatkan pihak luar yang dianggap
memahami fenomena yang ada. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti
memilih beberapa suster yang dapat dijadikan sumber informasi.
Istilah lain untuk mengukur kualitas penelitian kualitatif yaitu
kredibilitas. Menurut Poerwandari (2005:181), kredibilitas penelitian terletak
pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang
69
kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan
(kompleksitas) aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi
salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Poerwandari (2005:194-195)
juga berpendapat, agar deskripsi lebih akurat peneliti perlu memperhatikan
langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut:
1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan
pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang
terkait. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul,
proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya.
2. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti
sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan
terhadap subjek, dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk
penelitiannya sendiri.
3. Menyertakan partner atau orang yang dapat berperan sebagai pengritik
untuk memberikan saran, pembelaan, dari pertanyaan kritis terhadap
analisis yang dilakukan peneliti.
4. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus negatif.
5. Melakukan pengecekan kembali data, dengan menguji kemungkinan
dugaan yang berbeda dengan cara mengecek analisis, mengaplikasikan
pada data, dan mengajukan pertanyaan tentang data.
Partner yang akan membantu peneliti dalam memberikan saran,
pembelaan, dan kritikan terhadap analisis penelitian ini adalah AR (nama
samaran).
70
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat tentang hasil penelitian dan pembahasan.
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tiga subjek penelitian
dan beberapa sumber lain, diperoleh temuan-temuan yang disajikan dalam
Tabel 3. Temuan-temuan tersebut dapat peneliti rumuskan secara ringkas
sebagai jawaban atas masalah pertama penelitian ini, “Bagaimanakah
discernment dalam penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tiga suster SPM
dalam hidup membiara?” sebagai berikut: ketiga suster cukup mampu
melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik namun masih perlu
latihan terus menerus. Kecenderungan mereka yang merupakan penghambat
dalam proses discernment adalah munculnya emosi yang kurang terkontrol.
Emosi yang tidak stabil dapat menyulitkan dalam pengambilan keputusan.
Meskipun ada hambatan dalam ber-discernment namun mereka tetap
melakukan juga berkat relasi personal/kedekatan dengan Tuhan. Melalui
discernment mereka mampu mengenal gerakan roh, mampu menimbang-
nimbang, lebih peka dengan suara hati, dan dapat mengambil keputusan. Jadi,
meskipun emosi masih belum stabil ketiga suster tersebut tetap setia
melakukan discernment khususnya dalam menyelesaikan konflik.
71
Tabel 3 Hasil Penelitian dari Subjek Penelitian dan Sumber Lain
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Kode Aspek Wawancara X Sumber Lain Y Sumber Lain Z Sumber Lain
A 1-6
Pengalaman konflik
• Konflik yang dialami disebabkan: perbedaan latar belakang, budaya, ideal diri, pemahaman, kebiasaan.
• Bentuk konflik:kurang minat dengan masakan Jawa, membatasi sikap karena menyesuaikan budaya orang Jawa, harapan tidak sesuai dengan kenyataan, pendapat berbeda akhirnya sulit mencapai kesepakatan, tidak sabar dengan cara kerja.
• Pengaruh fisik: sering batuk, selera makan berkurang, lelah. Psikis: tidak bersemangat hidup,
• Pernah mengalami konflik, dengan diri sendiri dan orang lain.
• Manfaat konflik: mendewasakan dirinya.
• Penyebab konflik: kesalahpahaman, kurang PD, kurang komunikasi, latar belakang, budaya, usia, pendidikan
• Bentuk konflik: kekeliruan menangkap maksud, takut salah, menganggap orang lain mengerti, selisih usia jauh sehingga sulit menerima pribadinya, tidak terpenuhinya harapan dan tidak bisa memenuhi harapan orang lain, pendidikan lama dengan sekarang menimbulkan beda pemahaman.
• Pengaruh fisik: pusing, sakit kepala. Psikis: bingung, tidak krasan,
• Pernah mengalami konflik, dengan diri sendiri maupun orang lain.
• Penyebab: kekerasan sifat, beda pendapat, beda generasi, pemahaman/pemikiran.
• Bentuk konflik: cuek/tidak mau tahu, sulit menerima pendapat orang lain, kaku dalam sikap/bertutur kata.
• Pengaruh fisik: sakit karena kurang mengatur diri. Psikis: emosi, cuek.
• Manfaat konflik: mendewasakan diri, terbuka, mau berubah.
• Penyebab konflik: perbedaan pendapat, ide, kebiasaan.
• Bentuk konflik: kesepakatan bersama yang tidak direalisasikan bersama, harapan tidak sesuai kenyataan, tidak nyaman dengan cara/sikap orang lain.
• Pengaruh fisik: lelah, sakit. Psikis: emosi bertambah, tidak sabar.
• Manfaat konflik: semakin bersemangat hidup, berjuang mencari penyebab, semangat mengolah batin.
• Mendengarkan suara hati meskipun tidak langsung, namun setelah merenungkannya baru ada pencerahan untuk berani hadapi /selesaikan konflik dan mendekati orang yang berkonflik.
• Pernah alami konflik, dengan diri sendiri dan sesama.
• Penyebab: perbedaan latar belakang, budaya, kebiasaan, pendidikan, generasi, pemahaman, ideal diri.
• Bentuk konflik: sikap orang lain yang sulit diingatkan, kurangnya pengetahuan, keinginan yang tidak terwujud.
• Pengaruh fisik: sulit tidur, tidak selera makan. Psikis: marah, bicara ketus, tidak bisa konsentrasi.
• Manfaat konflik: ‐ mengembangkan diri ‐ mau berubah ‐ memahami orang lain ‐ rendah hati ‐ matang dalam olah
rasa. • Mampu mendengarkan
suara hati yang
72
berat menghayati panggilan.
• Manfaat konflik: mendewasakan diri, mengenal diri, sadar akan kelemahan diri, semakin dekat Tuhan, nyaman dengan panggilan, tahu cara berelasi yang baik.
• Sadar bisikan suara hati yang mengajak berbicara dengan Tuhan
diam(berpikir), ambil jarak.
• Manfaat konflik: kesempatan bertumbuh- kembang, atau menjadi mandeg.
• Saat konflik: mendengarkan suara hati yang membuat dia bertanya, lalu dibawa doa.
membisiki ketika konflik terjadi.
B 1-3
Reaksi spontan ketika mengalami konflik
• Perasaan saat konflik: ingin menangis, sedih, berat hati.
• Reaksi spontan: bicara seperlunya, emosi, berani terbuka, berani mengakui kesalahan, mau menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Perasaan setelah dapat mengatasi konflik: bahagia, bersemangat, mengalami Paskah, merasa lahir kembali
• Perasaan ketika berkonflik: sedih.
• Reaksi spontan: diam, terbuka pada saat yang tepat.
• Setelah dapat mengatasi konflik merasa gembira.
• Perasaan ketika konflik: susah, terbelenggu, tidak bebas, berpikir negatif terhadap orang lain.
• Reaksi spontan: diam (bertanya/berpikir), ambil jarak, tanpa senyum, emosi, menyibukkan diri di kamar, betah melek, doa minta peneguhan.
• Perasaan setelah bisa atasi konflik: bebas, senang, syukur, bangga
• Perasaan ketika konflik: jengkel, marah.
• Reaksi spontan: diam dulu, jujur mau terbuka setelah beberapa waktu kemudian, berani ambil risiko.
• Perasaan saat konflik: ingin menghindari, sedih, bingung, jengkel, refleksi diri.
• Reaksi spontan: emosi, mengomel jika tidak ada orang yang berkonflik.
• Perasaan setelah bisa atasi: senang, bahagia, syukur.
• Perasaan ketika konflik: sedih, tidak damai.
• Reaksi spontan: awalnya diam, tapi akhirnya bisa menegur, emosi, ngomel di depan/belakang, ingin marah.
• Perasaan setelah bisa atasi konflik: lega, damai, bahagia.
73
C 1-2
Sikap/tanggapan terhadap konflik
• Ingin cepat menyelesaikan konflik dan ingin cepat mengalami Paskah/kebangkitan, tidak menghindari konflik, mensyukuri dan mempersembahkan konflik pada Tuhan, dan dapat memaknai denyutan konflik yang terjadi pada dirinya.
• Konflik merupakan makanan jiwa yang menumbuhkan pribadi dan hidup. Konflik artinya masalah yang ditimbulkan dari dalam/batin atas situasi yang berasal dari luar.
• Ingin segera menyelesaikan konflik.
• Konflik adalah relasi yang terhambat/tidak lancar.
• Ingin segera menyelesaikan konflik
• Ingin konflik cepat selesai dan berjuang untuk membuktikan kebenaran masalah itu. Misal: ajak bicara dan katakan kebenaran pada orang itu.
• Konflik adalah masalah yang ditimbulkan karena ketidakcocokkan satu dengan yang lain. Konflik bisa terselesaikan jika kedua pihak mengakui kesalahan.
• Ingin bisa selesaikan konflik dan tidak ada dendam tetapi damai/rekonsiliasi.
• Konflik merupakan cara Tuhan mendidik agar mengenal kehendakNya dan menerima keterbatasan. Konflik itu rahmat Allah yang harus disyukuri dan konflik itu baik sejauh pribadi bisa menerima, melihat, dan mengatasi dengan baik.
D 1-6
Cara mengatasi konflik
• Cara mengatasi konflik: ‐ diam dahulu sambil
melibatkan Tuhan dalam doa
‐ setelah itu sharing dengan orang yang dipercayai yang tepat bagi dirinya sesuai dengan masalah yang
• Cara mengatasi konflik: tidak lari/menghindari, doa, tanggung jawab, tenang. Selalu melibatkan Tuhan dalam menyelesaikannya.
• Mempunyai orang yang dipercayai yang bisa mendengarkan.
• Cara mengatasi konflik yaitu: ‐ melihat dalam diri
ttg relasi dengan orang yang berkonflik, mempelajari orang itu
‐ konsultasi ‐ doa, refleksi ‐ mengubah diri
• Cara mengatasi konflik: berani bicara/terbuka, rendah hati.
• Ada orang lain yang mau mendengarkan masalahnya.
• Cara mengatasi konflik: doa, refleksi diri, visualisasi, ajak bicara, memaafkan.
• Ada orang yang dipercaya untuk mau mendengarkan masalahnya, yang bisa pegang rahasia, memberi jalan keluar.
• Cara lain adalah
• Cara mengatasi konflik: doa, bicara dengan sumber konflik(diri maupun orang lain), diam, menata hati, mempelajari orang itu/mencari waktu untuk bicara, kadang harus pasrah/diam selama orang itu tidak bisa ditegur/diajak berbaikan.
74
dihadapi sambil melihat situasi orang itu entah pada teman se-kom/pada pembimbing/piko
‐ memaafkan orang yang berkonflik
‐ mau mengubah diri • Cara lain yang
dilakukan: menulis di buku harian dan menimbang2 dalam batin/discernment
• Cara lain mengatasi konflik: mengolah batin/discernment
• Cara yang tepat atasi konflik: langsung bertanya pd orang itu minta ditunjukkan kesalahannya, dan dibawa dalam doa.
• Butuh orang yang mau mendengarkan, kadang hanya ingin didengarkan, butuh orang yang menentang dengan kata2 sehingga membuatnya refleksi.
• Cara lain dengan discernment
discernment. • Ada orang yang bisa diajak bicara/mendengarkan masalahnya.
• Cara lain adalah discernment dan konfrontasi dengan diri sendiri.
E 1-2
Frekuensi konflik
• Konflik terjadi tidak kenal waktu dan dapat bersamaan. Misal: harapan tidak terpenuhi, sibuk.
• Konflik sering dapat terselesaikan baik konflik kecil maupun besar. Persoalan berbeda, misalnya masalah keuangan sekolah, masalah guru, hidup bersama.
• Konflik terjadi saat banyak pekerjaan di sekolah.
• Cepat menyelesaikan konflik
• Konflik terjadi saat malas doa, capek.
• Kadang dapat menyelesaikan konflik. Persoalan: kesalahpahaman dalam pemberian tugas.
• Konflik terjadi di saat sibuk, capek
• Konflik terjadi di saat sibuk, banyak tamu, pekerjaan belum selesai, bicara salah/tidak teratur.
• Sering bisa selesaikan konflik. Persoalan: hidup bersama, tidak bisa memenuhi harapan orang lain/para Sr
• Konflik terjadi di saat salah paham, ideal diri tidak sesuai kenyataan.
• Sering bisa selesaikan konflik, persoalannya tidak sama tapi tipenya mirip
F 1-10
Proses discernment dalam mengatasi konflik
• Kadang melakukan pertimbangan batin melihat konteks masalahnya.
• Biasa melakukan pertimbangan batin ketika terjadi konflik, yaitu dengan doa ,
• Biasa melakukan discernment: dengan doa, menimbang2 baik-buruknya, apa
• Melakukan discernment dalam konflik dan pengambilan keputusan.
• Biasa ber-discernment. • Biasanya keputusan
yang menyangkut kepentingan
• Biasa ber-discernment. • Prosesnya: diam sambil
merenung dan mencari solusi,
75
• Melalui discernment merasakan dan mengenal gerakan roh
• Membedakan roh baik dan roh jahat, dapat dilihat dari kepekaan mendengarkan suara hati. Hal ini memampukan untuk mengambil keputusan.
• Hasil tidak selalu baik/benar, harus membutuhkan waktu yang kadang lama, mengalami jatuh-bangun.
• Faktor penghambat pengambilan keputusan: risiko, perasaan, situasi, dan jenis masalah.
• Yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan: dampak keputusan terhadap orang lain.
• Langkah2 pengambilan keputusan: ‐ melihat pedoman
tenang, refleksi diri. • Gerakan roh
menentukan dalam pengambilan keputusannya, namun tak luput dari kesulitan.
• Faktor yang menghambat dalam mengambil keputusan: perbedaan pemahaman
yang Tuhan kehendaki atas dirinya. Cara ini mendayai dalam relasi dengan orang lain dan lebih sabar.
• Mengenal gerakan batin melalui sikap dan kata2.
• Bisa membedakan roh baik dan roh jahat. Roh baik: membuat tenang, terselesaikan dengan baik, win2 solution, sama2 berkembang. Roh jahat: prasangka, keinginan untuk menang/harus bisa.
• Yang lebih mudah diikuti adalah roh baik karena ada kepercayaan bahwa Allah membimbing.
• Kedekatan dengan Allah/gerakan roh menyadarkannya dan memberi jalan untuk bisa ambil keputusan yang terbaik.
• Butuh waktu untuk ambil keputusan, kadang gagal, tetapi
pribadi/umum. Tidak cukup hanya meditasi tetapi ada usaha dengan mempertimbangkan baik-buruknya, akibat/kemungkinan yang akan terjadi, baru dicari solusi yang membawa kebahagiaan/kedamaian bagi pribadi maupun sesama.
• Prosesnya: refleksi/doa lebih lama/mendalam, perlu kesiapan hati dalam ambil keputusan (sakit,diomeli).
• Dengan membiasakan tenang, hening, doa, akan merasakan gerakan roh yang bekerja. Suara hati mengajak untuk mempertimbangkan dulu sebelum memutuskan. Roh baik mengajak pada perbuatan baik, tenang, damai. Roh jahat menghasilkan hati tidak damai, kecewa.
• Kenyataan: lebih mudah mengikuti roh jahat.
• Dalam pengambilan keputusan: melihat, merasakan, mengalami, mantap/yakin bahwa itu
mempertimbangkan baik-buruknya keputusan yang akan diambil, melihat buah dari keputusan
• Dapat mengenal gerakan batin sejauh hati tenang/damai, membiarkan diri tanpa harus menekan.
• Roh baik: membawa damai, membimbing, bisa atasi masalah. Roh jahat: membawa ketidaktenangan, ketegangan, kekeruhan batin/perpecahan.
• Yang mudah diikuti adalah roh jahat karena malas untuk tenang, ingin cepat selesai, menjanjikan yang nampaknya instan/mudah.
• Untuk menentukan keputusan/pilihan yang benar, perlu yakin bhw keputusan benar dan buah dari keputusan itu membawa damai dan kebaikan bagi yang lain atau diri sendiri.
• Faktor penghambat: perasaan, kepribadian,
76
tertulis/bukti fisik dan menguasai dahulu
‐ konsultasi pada orang yang mahir
‐ melakukan, mempersiapkan risiko, dan memberi jalan terbaik untuk orang lain
‐ memutuskan
mau mencoba lagi. Akhirnya bisa baikan dengan orang itu dan menjadi lebih dekat.
• Hambatan:dari faktor ego, cuek, dan situasi lingkungan kurang kondusif.
• Yang menjadi pertimbangan dalam ambil keputusan: hasil akhir menjadi lebih baik, sama2 memperkembangkan diri menjadi baik.
• Langkah ambil keputusan: mengajak bicara orang yang berkonflik, tenang, sabar, sehingga mampu memahami dan mengampuni orang itu.
benar meskipun ada godaan. Kadang gagal setelah memutuskan karena tidak ada perubahan pada orang lain malah menerima perlakuan di luar dugaan. Lalu mencoba tenang kembali dan mengambil keputusan lain lagi. Jika tetap gagal, akhirnya pasrah pada Tuhan, percaya Tuhan pasti beri jalan terbaik bagi kedua pihak
• Hambatan: dari diri sendiri: kurang luas pengetahuan.
• Yang jadi pertimbangan ambil keputusan: ‐ kepentingan bersama:
menampung pendapat dari orang lain, ketegasan, menentukan tujuan hidup bersama
‐ motivasi ‐ situasi/kondisi Sr yang
mendesak (sakit) yang perlu diselamatkan.
• Langkah pengambilan keputusan: renungkan baik-buruk masalah
sifat, kurangnya pemahaman diri/orang lain,stempel dari orang lain, egoisme.
• Yang dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan: kepentingan bersama, kondisi komunitas
• Langkah dalam pengambilan keputusan: diam, refleksi, menerima konflik yang ada, sadar bahwa sedang berkonflik, melihat konflik dengan tenang kalau perlu minta bantuan orang lain, menimbang2 alternatif solusi, baru memutuskan
G Kesadaran • Manfaat discernment: • Manfaat discernment: • Manfaat discernment: • Manfaat discernment: • Manfaat discernment: • Manfaat discernment:
77
1-2 tentang manfaat discernment
‐ mampu menempatkan posisi batin
‐ mengenal pribadi ‐ mendewasakan diri ‐ menjiwai
spiritualitas SPM ‐ meneladan Maria
dan Julia Billiart
‐ tumbuh kepercayaan diri
‐ mendewasakan diri ‐ mematangkan
pribadi ‐ mampu terbuka ‐ percaya pada
Tuhan ‐ mantap dalam
tugas ‐ dapat mewujudkan
spiritualitas SPM dalam tugas dan hidup bersama
‐ membantu membedakan baik/tidak, apakah hanya mengikuti ego, apakah ini jalan yang diberikan Tuhan
‐ menerima orang lain
‐ semakin tekun doa ‐ meneguhkan
panggilan
‐ membantu menentukan pilihan/keputusan
‐ sadar diri/mau berubah lebih baik
‐ kreatif ‐ tanggung jawab ‐ berani ambil risiko ‐ bisa menggerakkan
orang lain
‐ membantu dalam pengambilan keputusan
‐ memurnikan motivasi ‐ semakin tegas/mantap ‐ tidak takut risiko ‐ semangat dalam
latihan rohani ‐ memahami/mengenal
diri sendiri dan orang lain
‐ tenang, damai, bahagia, dapat mengontrol emosi
‐ membantu menyelesaikan masalah dengan bijak, tidak ada yang terluka
‐ memberikan spirit ‐ iman semakin kuat ‐ tidak merasa sendiri
H 1-2
Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
• Nilai2 yang semakin tumbuh kuat: ‐ kesetiaan
meneladan Yesus dan Maria
‐ kepercayaan dan pasrah pada Tuhan
‐ penghargaan diri ‐ percaya diri
• Nilai2 ini dihayati dengan mensyukuri setiap pemberian Tuhan (termasuk konflik), mau bekerja sama dengan orang lain, dan mencintai mereka
• Nilai2 yang semakin tumbuh kuat: ‐ kesetiaan ‐ keterbukaan ‐ berani ambil risiko ‐ jujur
• Nilai2 ini dihidupi dengan berbagi pengalaman dan mewujudkan persaudaraan kepada siapapun
• Nilai2 yang semakin tumbuh kuat: ‐ Iman ‐ sadar
diri/penghargaan diri
‐ ketulusan ‐ sabar ‐ kasih ‐ kesetiaan ‐ berani ambil risiko
• Nilai2 dihidupi dengan menerima orang lain, menciptakan suasana krasan, mendengarkan dengan hati, berpikir positif, pengertian, mengubah diri
• Nilai2 yang semakin tumbuh kuat: ‐ tanggung jawab ‐ kasih ‐ kerukunan/persaudar
aan ‐ pengampunan
• Nilai2 dihidupi dalam kerjasama dengan guru, dekat dengan anak2, terbuka dan mendengarkan dengan para Sr, mengubah diri
• Nilai2 yang semakin tumbuh kuat: ‐ ketekunan ‐ kerja keras ‐ setia ‐ iman yang kuat ‐ penerimaan diri ‐ kerendahan hati
• Nilai2 dihidupi dengan mendekatkan diri pada Tuhan (doa/refleksi/meditasi), merawat, mengembangkan, tidak emosi, sadar keterbatasan diri.
• Nilai2 yang semakin tumbuh kuat: ‐ iman, harap, kasih
yang kuat ‐ penghargaan diri ‐ kesetiaan ‐ kesabaran ‐ disiplin diri ‐ berani ambil risiko ‐ penyerahan diri ‐ optimis/tidak sendiri
• Nilai2 dihidupi dengan menjaga kesehatan, tidak putus asa, mencintai panggilan
78
B. Pembahasan
Dalam proses penelitian dengan ketiga subjek, peneliti mengalami
beberapa kesulitan atau hambatan. Pertama, di luar rencana, salah satu subjek
tidak sanggup untuk diwawancarai dengan alasan pribadi, akhirnya peneliti
mencari subjek lain di luar Jawa Tengah. Begitu pula sumber lain, mendadak
tidak siap diwawancarai pada hari yang sudah disepakati karena alasan
tertentu. Akhirnya wawancara tetap berjalan dengan waktu dan informasi yang
sangat terbatas dan kurang mendalam. Kedua, dua subjek agak kesulitan
memahami pertanyaan dan merasa berat dan sulit menceritakan pengalaman
khususnya pengalaman konflik, pergulatan ber-discernment, dan pengambilan
keputusan. Peneliti juga agak kesulitan mengajak mereka untuk lebih
mendalam menceritakan pergulatan hidup mereka, sehingga peneliti berusaha
mencari kata-kata yang sederhana agar dapat dipahami dan menciptakan
suasana rileks agar mereka merasa nyaman. Akhirnya mereka dapat terbuka
meskipun tidak mendetil dan kurang mendalam menceritakan pengalamannya.
Ketiga, menurut rencana, peneliti akan memfokuskan pada konflik diri
(intrapersonal) dan sasarannya adalah para suster SPM secara keseluruhan
yang diwakili oleh tiga suster sebagai sampel. Namun, berhubung data yang
diperoleh dari subjek lebih mengarah kepada konflik interpersonal maka
penelitian berubah fokus pada konflik interpersonal. Hasil dari data yang
diperoleh juga tidak dapat sepenuhnya mewakili keseluruhan para suster SPM
karena menurut pengamatan peneliti dalam hidup bersama tidak semua suster
kurang mendalam mengolah batin atau kurang dewasa emosinya.
79
1. Discernment dalam Penyelesaian Konflik
Berdasarkan hasil penelitian kepada tiga subjek, berikut ini
dipaparkan pembahasan pengalaman mereka secara umum berdasarkan
pedoman wawancara ditinjau dari delapan aspek:
a. Pengalaman konflik
Konflik yang sering dialami ketiga subjek adalah konflik dengan
orang lain. Penyebab konflik pun hampir sama satu dengan yang lain
yakni perbedaan pemahaman, perbedaan latar belakang, perbedaan
budaya, perbedaan kebiasaan, perbedaan pendidikan, perbedaan usia, dan
ideal diri tidak sesuai kenyataan. Bentuk konflik antara lain, ketegangan
karena beda pendapat, tidak biasa dengan cara/sikap dari orang lain,
penyesuaian dengan makanan khas daerah, kesepakatan yang tidak
terealisasi, pengetahuan kurang, dan keterbatasan diri karena usia.
Pengaruh konflik bagi fisik dan psikis antara lain, sakit, pusing, tidak
selera makan, tidak bersemangat hidup, batuk, bingung, emosi, tidak
sabar, dan berat menghayati panggilan. Manfaat konflik pun bagi
masing-masing sangat positif dan mengembangkan pribadi mereka.
Hanya yang perlu mendapat perhatian di sini adalah pengaruh psikis
yang dominan adalah emosi yang kuat. Hal ini tampak dari sikap dan
tutur kata yang menunjukkan ketegangan dalam dirinya. Kecenderungan
itu kemungkinan disebabkan oleh nilai kodrati sebagai manusia.
80
b. Reaksi spontan ketika mengalami konflik
Perasaan yang dialami subjek ketika mengalami konflik yakni
sedih, ingin menangis, terbelenggu/tidak bebas, marah, jengkel, bingung,
dan tidak damai. Setelah dapat mengatasi konflik mereka merasa
bahagia, damai, bangga, syukur, dan bebas. Reaksi spontan menunjukkan
luapan emosi yang tidak terkontrol yakni diam, ambil jarak, bicara
ketus/kasar, dan mengomel. Perasaan dan reaksi yang muncul ini menjadi
kekhasan setiap subjek. Mereka mempunyai keterbatasan yang perlu
diakui, disadari, dan diterima. Namun perlu mengupayakan cara yang
terbaik untuk dapat mengolah rasa/batin/emosi sehingga semakin lama
emosi semakin dapat tertata dengan baik. Emosi yang diolah dengan baik
dapat membentuk subjek ini menjadi lebih tenang menghadapi segala
masalah hidupnya.
c. Sikap/tanggapan terhadap konflik
Dalam menanggapi konflik ketiga subjek bersikap sangat positif.
Mereka selalu mengandalkan/melibatkan Tuhan dalam setiap masalah,
terbuka, mau mengubah diri menjadi lebih baik, dan dapat memaknai
konflik itu sebagai suatu rahmat dari Tuhan yang perlu disyukuri.
Konflik merupakan makanan jiwa yang memberi hidup dan sebagai cara
Tuhan mendidik agar mengenal kehendak-Nya dan menerima
keterbatasan diri. Pengalaman konflik membawa kepada kesadaran dan
pemaknaan yang mendalam sehingga memungkinkan mereka untuk tidak
menghindarinya.
81
d. Cara mengatasi konflik
Cara mengatasi konflik ketiga subjek sangat sederhana dan sering
berhasil dengan baik. Cara yang sudah dilakukan adalah dengan doa,
tenang/hening, refleksi, mempelajari sumber konflik, mencari informasi
pada orang lain, membaca, mengajak bicara dengan yang berkonflik, dan
akhirnya berani mengambil keputusan yang terbaik yang dapat
mengembangkan pribadi maupun orang lain. Tak jarang mereka
menemukan hambatan atau kesulitan karena keterbatasan diri maupun
keterbatasan orang lain atau situasi yang tidak memungkinkan
terselesaikannya masalah. Usaha itu diperjuangkan sungguh-sungguh
yang akhirnya mereka mengalami damai dan dapat saling
memaafkan/rekonsiliasi meskipun prosesnya tidak cepat dan mengalami
jatuh bangun. Orientasi mereka bukan untuk kepentingan diri sendiri
tetapi memikirkan kepentingan orang lain juga. Di sanalah tampak
perjuangan mereka mempertahankan kesamaan martabat manusia.
e. Frekuensi konflik
Konflik terjadi tidak kenal waktu dan dapat bersamaan. Ketiga
subjek mengakui bahwa konflik muncul di saat sibuk, harapan tidak
terpenuhi, capek, malas doa. Namun yang paling dominan adalah di saat
emosi tidak terkontrol. Di saat diri sendiri sedang mengalamai masalah,
mudah sekali melampiaskan emosi kepada orang lain. Kecenderungan ini
kemungkinan disebabkan kurangnya latihan mengolah rasa/batin
sehingga di saat situasi tidak menentu, mendesak, atau kesulitan, muncul
82
emosi yang tidak terkontrol. Pengolahan batin tidak hanya pada saat
berdoa atau waktu khusus tetapi setiap waktu dalam situasi dan kondisi
apapun. Faktor penyebab lain adalah banyaknya kegiatan atau pekerjaan
yang memungkinkan kurangnya waktu untuk hening, menjalin relasi
personal dengan Tuhan dan menimba kekuatan dari-Nya.
e. Proses discernment dalam mengatasi konflik
Discernment yang mereka lakukan sesuai konteks masalahnya.
Kemampuan ber-discernment yang sudah dilakukan sangat sederhana
sekali. Discernment dilakukan tidak hanya pada saat terjadinya konflik,
tetapi terus-menerus, karena setiap saat dihadapkan pada suatu pilihan
dan keputusan. Selain membantu dalam perkembangan diri dan
kedewasaan iman, mereka menjadi mampu mengenal dan membedakan
gerakan batin/roh yang sedang bekerja, menjadi peka dengan suara hati
yang membisikinya, mendayai dalam relasi dengan orang lain,
menyadarkan, mampu mempertimbangkan baik-buruk akibat yang akan
terjadi, akhirnya mendorong untuk berani mengambil keputusan. Berkat
relasi personal dan keyakinan penuh kepada Tuhan, jika godaan datang
maka mereka cepat sadar diri untuk tidak mengikutinya.
Mereka mengakui bahwa tim pembina SPM dalam program
pembinaan sudah mengadakan kegiatan pengolahan hidup dan
melatihkan discernment di awal pembinaan, namun dalam praktek
selanjutnya mereka masih mengalami hambatan. Hambatan ditemukan
karena faktor pribadi yaitu: rasa ego dan kekerasan sifat, kurang luas
83
pengetahuan karena usia, kurang dapat menyesuaikan diri dengan
komunitas, kecil hati ketika mendapat stempel dari orang lain, dan
kurang memahami orang lain. Dalam proses ber-discernment tak jarang
mengalami jatuh bangun meskipun sudah mengambil keputusan namun
dapat terjadi konflik lagi. Mereka berusaha untuk memperbaiki diri
terhadap relasi dengan orang lain dan berusaha bangkit dengan
merefleksi diri/discernment kembali apa yang menyebabkan kegagalan
itu. Lambat laun konflik dapat teratasi meskipun membutuhkan waktu
yang lama.
f. Kesadaran tentang manfaat discernment
Secara umum mereka mengalami perkembangan diri berkat
discernment, membantu dalam mengolah batin, mendewasakan diri,
memberi semangat dalam menghayati panggilan sebagai suster SPM dan
dalam tugas perutusan masing-masing. Discernment juga memantapkan
dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan, tidak hanya bila
terjadi konflik tetapi dilakukan dalam situasi apa saja.
g. Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
Nilai-nilai yang ditemukan yang semakin tumbuh kuat dalam
proses discernment dihayati dalam hidup sehari-hari baik di komunitas,
sekolah, lingkungan, dan di manapun. Nilai-nilai tersebut adalah iman
yang kuat, keterbukaan, kasih, kesetiaan, pengampunan, kerendahan hati,
dan keberanian ambil risiko. Nilai ini menjadi kekhasan setiap pribadi
dan selalu diperjuangkan.
84
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa ketiga suster sudah cukup
mampu melakukan discernment dalam menyelesaikan konflik, namun masih
perlu ketekunan untuk terus dilatih. Kecenderungan mereka adalah sering
emosi kurang terkontrol, tampak dari sikap dan tutur kata. Mereka dapat
dikatakan belum matang dan belum dewasa dalam emosi. Kecenderungan
itu dapat diatasi dengan latihan mengolah rasa/batin dan melakukan
discernment terus menerus agar dapat menata hati dan dapat menghadapi
situasi apapun dengan baik khususnya dalam mengatasi konflik. Jika latihan
discernment dilakukan dengan baik lambat laun mereka akan dapat
menyelesaikan konflik dengan baik pula. Mereka yang melakukan
discernment hidupnya akan tahan uji, damai, bahagia, bebas, penuh
reflektif, kreatif, dan dapat mengambil keputusan. Sebaliknya yang tidak
melakukan discernment mengalami ketegangan, tidak bahagia, tertekan, dan
sulit mengambil keputusan.
Tepatlah seperti yang ditulis oleh komunitas Kolsani dalam buku
Tahan Uji (2006:5) bahwa Latihan Rohani dapat melatih orang untuk makin
mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menjalankan hidup dan
melatih orang beriman untuk hidup tahan uji. Orang akan semakin tahan uji
jika dia mampu menerima dan mengolah segala permasalahan atau konflik
yang dialami bukannya lari dari konflik. Ki Ageng Suryomentaram
(Adimassana, 2001:95) juga berpendapat bahwa kesempurnaan hidup dan
kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika orang memiliki jiwa yang bebas
85
merdeka. Jiwa yang bebas harus diusahakan melalui self-analysis secara
terus-menerus.
Perjuangan para suster untuk melakukan discernment sesuai dengan
harapan kongregasi SPM dan inti spiritualitas SPM. Mereka menjiwai isi
konstitusi SPM halaman 37 al 1.2, yang mengajak untuk bergaul dengan
konflik. Mereka juga konsisten menghayati inti hidup religius. Berkat
kesetiaan ber-discernment mereka menikmati buah-buah yang dapat
dirasakan dalam hidup seperti yang disebutkan dalam Gal 5:22-23a. Buah-
buah roh itulah yang membuat mereka tetap krasan di biara.
Pengalaman ketiga subjek penelitian tidak dapat sepenuhnya mewakili
para suster SPM melakukan discernment dalam penyelesaian konflik dalam
hidup membiara karena tidak semua suster SPM mengalami hal yang sama
seperti pengalaman ketiga subjek ini.
2. Program Pembinaan Untuk Meningkatkan Kemampuan Melakukan
Discernment
Berdasarkan hasil penelitian dengan ketiga suster SPM tersebut,
ditemukan bahwa mereka mampu melakukan discernment dalam
penyelesaian konflik hanya kurang mendalam dalam mengolah batin, masih
perlu ketekunan untuk dilatih terus menerus. Kecenderungan yang tampak
adalah emosi tidak terkontrol ketika terjadi konflik. Emosi yang belum
diolah secara mendalam masih menyulitkan mereka dalam mengambil
keputusan dengan tepat. Maka dapat disimpulkan bahwa ketiga suster
86
tersebut belum matang atau belum dewasa emosinya. Emosi yang belum
matang ini dapat menjadi stabil dan baik apabila ditunjang dengan latihan
discernment. Tim pembina kongregasi SPM sudah mengusahakan untuk
memperkenalkan dan melatih para postulan, novis, dan yunior dalam
pengolahan hidup misalnya, pembuatan peta perjalanan batin dan
discernment. Namun, dalam perjalanan selanjutnya setelah berkarya mereka
kadang-kadang mengalami kesulitan ber-discernment karena faktor pribadi,
antara lain: nilai kodrati manusia, kebutuhan bawah sadar, kelekatan tidak
teratur, dan tidak adanya kesesuaian antara diri ideal dan diri aktual.
Oleh karena itu, peneliti mengusulkan beberapa program pembinaan
yang dapat dilakukan oleh para suster SPM untuk meningkatkan
kemampuan melakukan discernment. Beberapa program sudah pernah
diberikan secara khusus oleh tim pembina SPM, namun ada beberapa
program yang belum diberikan. Usulan program pembinaan sebagai berikut:
a. Pengolahan Hidup yang pernah dilakukan di postulat, novisiat, dan
yuniorat bukan hanya disadari tetapi diolah secara serius. Pengolahan
dilakukan sampai pribadi tersebut menemukan diri sesungguhnya dan
mengenal masa lalu termasuk sejarah biologisnya. Apabila suatu ketika
mengalami konflik diharapkan mampu menemukan akar konflik
kemudian diolah lebih mendalam. Topik kegiatan ini meliputi:
pembuatan Peta Perjalanan Batin, Eneagram, Genogram, penerimaan
diri, kepercayaan diri (self confidence), dan penghargaan terhadap diri
sendiri (self esteem). Maksud kegiatan ini adalah agar pribadi semakin
87
mengenal dan menerima diri, lebih dewasa, dan dapat menyelesaikan
masalahnya sendiri dengan bijak. Pengolahan ini membutuhkan
keberanian untuk masuk lebih dalam apa yang menjadi keterbatasan diri
dan berani menghadapi sakit saat mengolah. Pengolahan tidak sekali
jadi, membutuhkan waktu untuk berproses dan perlu evaluasi untuk
melihat perkembangan pribadi dan rohani.
b. Pelatihan khusus tentang discernment. Pelatihan ini dimaksudkan agar
para suster mampu mengenal gerakan batin dan membedakan roh yang
bekerja, mempunyai kepekaan hati, menentukan pilihan yang tepat,
mempunyai keberanian mengambil keputusan, akhirnya berani
menghadapi konsekuensi/risiko dari keputusan itu. Setiap pribadi perlu
memiliki disposisi/kesiapan batin agar mampu membuat pembedaan
roh. Disposisi ini akan mempengaruhi cara pribadi dalam melihat
pengalaman, memahami pengalaman, menilai pengalaman, menimbang,
memutuskan, dan bertindak dalam hidup. Pelatihan dilakukan secara
bertahap dan perlu ada evaluasi kegiatan baik secara pribadi dalam
bimbingan rohani maupun bersama.
c. “Correctio Fraterna”, yaitu panggilan untuk saling mengingatkan,
menegur, dan mengoreksi dalam suasana kasih persaudaraan. Hal ini
dibutuhkan keterbukaan, keberanian, motivasi yang baik, dan
pengampunan agar hubungan antar sesama menjadi harmonis. Kegiatan
ini dilakukan bersama di komunitas atau di lingkup karya pada waktu
tertentu atau setiap saat sesuai kesepakatan bersama.
88
d. Mengagendakan discernment sebagai suatu habitus (kebiasaan). Bentuk
kegiatan antara lain, memaksimalkan kegiatan meditasi/refleksi harian
dan mingguan; retret tahunan; memanfaatkan rekoleksi bulanan sebagai
kesempatan untuk discernment. Retret dan rekoleksi dapat mengambil
topik khusus yang berkaitan dengan discernment antara lain:
pengampunan, persaudaraan sejati, correctio fraterna, dan ekaristi.
Kegiatan rohani ini dilakukan bukan sebagai kewajiban tetapi menjadi
suatu kebutuhan dan kebiasaan baik yang memberi makna mendalam
bagi hidup.
89
BAB V
PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
tiga subjek penelitian mampu dalam melakukan discernment dalam
menyelesaikan konflik hanya saja masih kurang mendalam dan perlu dilatih,
karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam dan masih
menyulitkan mereka dalam mengambil keputusan dengan tepat. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga suster tersebut belum matang atau belum dewasa
emosinya sehingga kurang mampu pula menyelesaikan konflik dengan
baik/tepat. Emosi tersebut kemungkinan disebabkan oleh nilai kodrati manusia,
kebutuhan bawah sadar, kelekatan tidak teratur, dan tidak adanya kesesuaian
antara diri ideal dan diri aktual. Meskipun demikian, pergulatan dan hambatan
selama ber-discernment, membuat mereka mampu memaknai dan menemukan
manfaat positif dari discernment bagi perkembangan kepribadian dan
kedewasaan iman mereka. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam
proses discernment adalah iman yang kuat, keterbukaan, kasih, kesetiaan,
berani ambil resiko, kerendahan hati, penghargaan diri, dan pengampunan.
Dari hasil penelitian itu peneliti mengusulkan beberapa program
pembinaan untuk meningkatkan kemampuan melakukan discernment yang
90
berbentuk kegiatan. Kegiatan tersebut meliputi: Pengolahan Hidup, pelatihan
khusus discernment, Correctio Fraterna, dan mengagendakan discernment
sebagai habitus (kebiasaan) berupa meditasi/refleksi, retret, dan rekoleksi.
Topik-topik pembinaan antara lain: Peta Perjalanan Batin, Eneagram,
Genogram, penerimaan diri, kepercayaan diri (self confidence), penghargaan
terhadap diri sendiri (self esteem), pengampunan, persaudaraan sejati, correctio
fraterna, dan ekaristi. Kegiatan-kegiatan ini dimaksudkan agar para suster
SPM mampu mengolah batin/emosi, menerima dirinya, mampu mengenal
gerakan batin, dapat membedakan roh yang bekerja dalam dirinya, mampu
menimbang-nimbang terhadap masalah yang dihadapi, mempunyai kepekaan
mendengarkan suara hati, dapat menentukan pilihan yang tepat, mempunyai
keberanian mengambil keputusan, dan bertindak sesuai keputusan itu.
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah kurang memaparkan pergulatan subjek
penelitian dalam proses discernment secara mendetil/lebih mendalam
khususnya pergulatan ketika harus mengambil keputusan dan kurang menggali
akar konflik. Untuk mencapai hasil yang maksimal dibutuhkan waktu yang
cukup lama dan pendekatan kepada masing-masing subjek sehingga mereka
lebih bebas mengungkapkan pengalaman pribadi dan dapat menaruh
kepercayaan kepada peneliti.
91
C. Saran
Saran-saran yang dapat peneliti berikan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagi para pembina kongregasi SPM
a. Suster pendamping para postulan, novis, dan yunior SPM agar
meningkatkan bimbingan pribadi secara intensif dan memotivasi mereka
untuk setia melatih diri ber-discernment sehingga mereka semakin
menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mengambil keputusan dengan
tepat.
b. Suster pendamping On Going Formation (Tim Bina Lanjut) baik medior
maupun senior SPM agar meningkatkan perhatian dan pendampingan
bagi para suster SPM terutama dalam ber-discernment dalam mengatasi
masalah hidup dalam biara maupun dalam tugas perutusan.
2. Bagi para suster SPM
Agar meningkatkan pengolahan batin/discernment dan menata hati/emosi.
Dengan discernment, para suster SPM diharapkan mampu menentukan
pilihan/keputusan, menyelesaikan konflik dengan tepat, dan dapat melihat
dengan jernih akar dari konflik.
3. Bagi para pembaca dan peneliti lain
Peneliti sadar bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Maka
peneliti menyarankan bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan topik
ini, agar lebih jeli melihat pergulatan subjek penelitian sampai menemukan
akar masalah dari konflik yang dialami.
92
DAFTAR PUSTAKA
Adimassana. 1986. Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Admin. 2007. “Pembedaan Roh.” Dipungut 20 September, 2009, dari
http://ignatiusofloyola.wordpress.com. Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: Universitas Muhammadiyah. Arianto, Erwin. 2008. “Memanajemeni Konflik dalam Suatu Organisasi.”
Dipungut 20 September, 2009, dari http://www.malinghistarchive.com. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta. Barry, William A. & Doherty, Robert G. 2009. The Jesuit Way: Kontemplasi
dalam Aksi. Yogyakarta: Kanisius. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group. Cahya, dkk. (Ed). 2001. Bunga Rampai Psikologi 2. Yogyakarta: USD. Covey, Stephen. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Jakarta: Binarupa
Aksara. Darminta. 1997. Doa dan Pengolahan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.
_________ 2002. Latihan Rohani St. Ignasius Loyola (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.
_________ 2009. Penegasan Panggilan. Yogyakarta: Kanisius.
Dwiarso, Ki Priyo. 2008. “Problem Solving ala Ki Hadjar Dewantara.” Dipungut 13 Maret, 2008, dari http://tamansiswa.org.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardener. 2009. Teori-teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis). Yogyakarta: Kanisius. Hardjana, Agus. 2006. Konflik di Tempat Kerja. Yogyakarta: Kanisius. Hardawiryana (Penterjemah). 1990. Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa).
Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
93
Hendricks, William. 2008. Bagaimana Mengelola Konflik: Petunjuk Praktis untuk
Manajemen Konflik yang Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Heuken, A. 1994. Ensklopedi Gereja Jilid IV:Ph-To. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Jacobs, Tom. 1987. Hidup Membiara: Makna dan Tantangannya. Yogyakarta:
Kanisius. Kapitel Umum Kongregasi. 1984. Konstitusi Kongregasi Suster-suster Santa
Perawan Maria Amersfoort. Amersfoort. Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Iman Katolik: Buku Informasi dan
Referensi. Yogyakarta: Kanisius. _________ 2006. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor. Komunitas SJ Kolsani. 2006. Tahan Uji: 9 Latihan Ignasian. Semarang: Serikat
Yesus Provinsi Indonesia. Lembaga Alkitab Indonesia. 1985. Alkitab. Bogor: Lembaga Alkitab Indonesia. Masidjo. 2005. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Naisaban, Ladislaus. 2004. Para Psikolog Terkemuka Dunia. Jakarta: Gramedia. Pickering, Peg. 2005. How to Manage Conflict. Jakarta: Erlangga. Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta: LPSP3 UI. Prasetya, Mardi. 2001. Psikologi Hidup Rohani 1. Yogyakarta: Kanisius. _________ 1992. Psikologi Hidup Rohani 2. Yogyakarta: Kanisius. _________ 2005. Tugas Pembinaan demi Mutu Hidup Bakti 1. Yogyakarta:
Kanisius. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
94
Rebecca, Mary. 2000. Tumbuh Bersama Sahabat 1: Konseling Sebaya Sebuah Gaya Hidup. Yogyakarta: Kanisius.
Rogers, Carl Ransom. 1987. Antara Engkau dan Aku. Jakarta: Gramedia. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Sembel, Roy. & Sembel, Sandra. 2003. “Mengubah Konflik Menjadi Kerja
Sama.” Dipungut 25 September, 2008, dari http://www.sinarharapan.co.id. Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius. Suparno, Paul. 1998. Roh Baik dan Roh Jahat. Yogyakarta: Kanisius. _________ 2002. “Konflik Dalam Hidup Membiara”. Majalah Rohani. Nomor
05, bulan Mei. h. 31 – 35. _________ 2009. Discernment: Panduan Mengambil Keputusan. Yogyakarta:
Kanisius. Taniputera, Ivan. 2005. Psikologi Kepribadian: Psikologi Barat Versus
Buddhisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hariono, Tomi. 2009. “Menjadi Rasul Sejati Menurut Paulus.” Dipungut 2
September, 2009. dari http://jurnalstudi.blogspot.com. Widyastuti, Theresia. 2001. Sumbangan Ilmu Kateketik Dalam Proses
Penanaman Nilai Spiritualitas Kongregasi Suster Santa Perawan Maria Dalam Masa Pembinaan di Novisiat. Yogyakarta: Skripsi S1, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma.
Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan).
Bandung: Mandar Maju.
95
Kode Aspek Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara
A Pengalaman konflik
1. Apakah Anda pernah mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
1. Kepribadian yang berbenturan, kebiasaan, latar belakang, budaya
2. Ideal dengan realita yang ada 3. Karya. Bagaimana membawakan sosok seorang
Sr, sebagai umat Allah, sebagai teman. 3. Apa yang menyebabkan
konflik itu? Secara umum lebih pada ideal, keinginan yang tidak sepaham dengan kenyataan
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
Fisik: sering batuk, selera makan kurang, merasa lelah Psikis: selera hidup hilang, mempertanyakan panggilan (berat)
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Sadar dimana letak kelemahan, mengenal bagaimana berelasi, kedewasaan, mengenal diri, mengenal dekat dengan Tuhan, sehingga panggilan hidup religius mendarat, semakin enak
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Kadangkala. Diam, pasrah, menjadi inspirasi saya harus bagaimana. Butuh fase harus berhenti, hanya bisa bicara dengan Tuhan/pasrah. Bisikan suara hati pasti baik.
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Ingin menangis kalau sudah berat masalah itu, sedih, berat hati.
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
Bicara seperlunya, berani terbuka untuk menyelesaikan, berani mengakui salah jika salah, meng-orangkan, mau belajar dari orang lain, menyesuaikan diri dengan lingkungan/budaya/kebiasaan setempat
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Bahagia luar biasa karena sudah berhasil melewati sesuatu yang sulit, ada sesuatu yang menyemangati, mengalami Paskah, merasa lahir kembali.
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik?
Ingin cepat selesai/ingin cepat mengalami Paskah/kebangkitan, semakin krasan dengan konflik, tidak keluar dari konflik tetapi dinikmati, mensyukuri konflik, dipersembahkan pada Tuhan. Shg merasa tidak sendiri dalam memaknai denyutan/tusukan konflik
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
Konflik seperti makanan jiwa. Bisa menumbuhkan pribadi dan semakin hidup. Dengan merasa2kan makanan. Arti konflik: masalah yang berasal dari dalam/batin, tanggapan akan sesuatu, reaksi batin atas situasi dari luar.
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
Dengan banyak doa mendekatkan diri dengan Tuhan, banyak membaca, belajar dari orang lain, cerita/sharing pada orang lain/kakak, mau memaafkan orang lain, mau mengubah diri. Dengan cara ini hati jadi longgar, tenang, terinspirasi dengan masukan dari orang lain, dan
96
dapat menyampaikan pesan ke orang lain dengan benar.
2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
Diam dulu, melihat masalahnya dulu, melihat gerakan Roh dalam doa, baru cerita pada orang sesuai konteks/masalahnya.
3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Ya, menangis di hadapan Tuhan, pasrah, meneladan Maria yang pasrah, cerita dengan hati, percaya pada Tuhan.
4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
Dengan teman Sr se komunitas yang dipercaya namun tidak utuh karena Sr itu juga punya masalah dan keterbatasan juga. Biasa terbuka dengan Sr C (yang sama2 muda). Sosok-sosok tertentu bisa dijadikan tempat untuk mengeluh, marah tetapi dengan bicara dulu maksudnya. Berusaha mandiri, tidak tergantung pada Sr lain, lebih bisa memutuskan sendiri. Bicara dengan orang lain sudah jadi, jadi orang lain hanya sebagai tempat curhat.
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan pertolongan?
Datang pada Tuhan, lalu bertanya pada orang lebih dipercaya. Bisa membedakan masalah, masalah sekolah bertanya pada Sr yang tahu tentang sekolah, masalah panggilan lebih pd pembimbing yunior, masalah komunitas pada Sr di komunitas, masalah pribadi pada kakak. Jika masalah itu sudah sangat berat dan sulit diselesaikan hanya lari ke Tuhan
6. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan konflik Anda?
Ya, dengan discernment saat berdoa dan saat mengalami konflik dan dengan cara menulis di buku harian.
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi? Tidak kenal waktu. Saat emosi tidak terkendali, kurang sabar, harapan tidak terpenuhi, saat sibuk. Bisa datang bersamaan.
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik itu? Apakah persoalannya sama?
Konflik kecil sering terjadi. Persoalan: masalah guru, hidup bersama. Konflik besar jarang terjadi. Persoalan: keuangan sekolah
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
Tidak sering melakukan, tetapi bisa mengenal roh jahat dan roh baik.
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
Proses tidak selalu berhasil tetapi tetap jeli dan sadar. Roh jahat bisa masuk pada dirinya diakui/ditanggapi sebagai roh baik. Tapi setelah direnungkan ternyata roh jahat telah menguasai. Diri sendiri perlu peka dengan gerakan roh. Pengalaman orang lain tidak selalu harus diikuti, keputusan akhir pada diri sendiri.
3. Sejauh mana anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri
Dengan selalu kontak personal dengan Tuhan akan mudah mengetahui hati nurani/suara Tuhan sehingga bisa mengambil keputusan/tindakan
97
Anda saat itu? yang dilakukan. Jika mengikuti hati nurani maka dapat mengenal roh yang bekerja
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
Membedakannya dilihat dari hati seperti apa, maka gerakan roh akan nampak. Maka butuh kepekaan, keheningan, doa. Gerakan roh akan terasa. Terdorong untuk meminta maaf kalau memang salah, kalau diam saja akan dilema. Semakin tahu dan kenal diriku dan gejolak batin.
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
Roh jahat. Karena asyik, menyemarakkan suasana, wah/paling hebat, tapi suatu saat akan mengalami akibat luar biasa. Menolak yang disukai itu susah. Contoh: tugas bendahara itu enak/menarik karena bergumul dengan uang, hanya makan yang disukai saja. menentukan pilihan antara mengikuti keinginan guru dan harus melihat keuangan sekolah.
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
Setelah beberapa kali refleksi, memikirkan yang terburuk dan terbaik dan memikirkan bagaimana akan terjadi, menimbang2 pilihan. Baik buruknya dapat dilihat hasilnya. Belajar dari pengalaman lalu berhasil/tidak. Hasil tidak selalu baik/benar, harus membutuhkan waktu yang kadang lama, mengalami jatuh-bangun.
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
Ya. Faktor: masalah, risiko, perasaan takut, situasi
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
Dampak, pengaruh terhadap orang lain, manfaat, risiko
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
1. Melihat pedoman yang tertulis dahulu, menguasai dahulu
2. Bertanya pada orang yang mahir/tahu 3. Memutuskan 4. Melakukan, mempersiapkan risiko, dan memberi
jalan terbaik untuk orang lain 10. Apakah gerakan roh
dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
Ya. Harus dilakukan, tanpa discernment keputusan menjadi tidak baik dan tidak siap menghadapi risiko karena lebih pada emosi.
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
Discernment harus dipahami dengan tepat, digunakan sesuai dengan porsi. Yang sering digunakan adalah penyadaran indra (sederhana). Ini juga menentukan discernment
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)?
Ya. Dari segi kepribadian/kemanusiaan, dapat: mengenal posisi batin, mengenal pribadi, menempatkan hati/posisi di mana (mis: sedih), mendewasakan diri, menjiwai spiritualitas SPM, meneladani Maria dan Ibu Julia Billiart.
98
Jelaskan! H Nilai yang
semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
1. Kesetiaan: meneladan kesetiaan Yesus dan Maria
2. Percaya dan pasrah pada Tuhan 3. Penerimaan diri dan menerima orang lain 4. Percaya diri
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
1. Mensyukuri 2. Mau kerja sama dengan orang lain 3. Mencintai orang lain
99
Subjek X (sumber lain) Kode Aspek
Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara A Pengalaman
konflik 1. Apakah Anda pernah
mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
Konflik dengan diri, urusan sekolah, hidup bersama
3. Apa yang menyebabkan konflik itu?
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Mendewasakan pribadi
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Ya
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Sedih
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
Diam, bisa terbuka
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Gembira
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik batin?
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
Doa, tenang, terbuka apa adanya, mau minta maaf jika salah dan mau memaafkan, mau bertanya dan mendekati orang yang berkonflik dengan dia, tidak lari dari konflik, tanggung jawab
2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Pasti
4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
Ya
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan pertolongan?
Ya
100
6. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan konflik Anda?
Discernment/mengolah batin
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi? Banyak pekerjaan di sekolah
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik itu? Apakah persoalannya sama?
Cepat bisa menyelesaikan konflik
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
Ya
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
Doa, tenang
3. Sejauh mana anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
Ada. Faktor: perbedaan pemahaman
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
Refleksi diri
10. Apakah gerakan roh dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
Ya
G Kesadaran 1. Sejauh mana pertimbangan- Menumbuhkan kepercayaan diri, mendewasakan
101
tentang manfaat discernment
pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
diri, pribadi matang, tegas, mampu terbuka
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)? Jelaskan!
Ya. Semakin percaya pada Tuhan dan dekat dengan Tuhan, mantap dalam tugas, dapat mewujudkan spiritualitas SPM dalam tugas dan hidup bersama.
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
Kesetiaan, keterbukaan, berani risiko, jujur
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
Mau berbagi pengalaman, persaudaraan
102
Subjek Y Kode Aspek
Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara A Pengalaman
konflik 1. Apakah Anda pernah
mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
Relasi antar para Sr dan konflik diri sendiri, takut gagal
3. Apa yang menyebabkan konflik itu?
Kurang PD, kesalahpahaman, salah pengertian, kurang komunikasi, latar belakang, budaya, usia, pendidikan, tidak terpenuhinya harapan dan tidak bisa memenuhi harapan orang lain
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
Fisik: pusing, bingung, sakit kepala Psikis: tidak krasan, diam (berpikir), seperti mengambil jarak
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Kesempatan untuk tumbuh, berkembang, atau mandeg
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Ya, sambil bertanya: ada apa ini? Lalu dibawa dalam doa, kadang protes pada Tuhan
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Susah, merasa terbelenggu, tidak bebas, berpikir negatif terhadap orang lain
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
Diam (yang dimaui orang itu apa?), ambil jarak, tanpa senyum, menyibukkan diri di kamar (baca dll), kuat melek, doa minta peneguhan
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Bebas, senang, syukur yang mendalam, bangga tidak bisa diungkapkan hanya bisa dirasakan
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik?
Segera terselesaikan karena tidak enak memendam masalah terlalu lama
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
Relasi yang terhambat/tidak lancar
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
1. Melihat dalam diri ttg relasi dengan orang yang berkonflik, mempelajari orang itu
2. Bertanya pada orang lain atau orang yang berkonflik
3. Doa, refleksi 4. Mengubah diri
2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
Menghadapi orang tsb dulu/bertanya, minta ditunjukkan kesalahannya di mana, doa
3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Ya
4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
Ada, tetapi tidak hanya 1 orang. Melihat konteks masalah, melihat situasi orang yang diajak bicara, kadang hanya ingin didengarkan, kadang butuh orang yang menentang dengan kata2 sehingga membuatnya berpikir/semangat/terinspirasi
103
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan pertolongan?
Ya.
6. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan konflik Anda?
Doa, refleksi, menimbang2 baik-buruknya, akibatnya
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi? Doa kurang, malas, emosi, capek
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik itu? Apakah persoalannya sama?
Kadang. Persoalan: kesalahpahaman, salah pengertian dalam pemberian tugas
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik batin?
Ya
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
Melalui doa, menimbang2 baik-buruknya, apa yang Tuhan kehendaki atas dirinya. Hal ini mendayai dalam relasi dengan orang lain, lebih sabar
3. Sejauh mana anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
Lewat sikap dan kata2
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
Roh baik: membuat hati tenang, terselesaikan dengan baik, win2 solution, sama2 berkembang Roh jahat: prasangka, keinginan harus menang, keinginan harus bisa
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
Roh baik. Karena ada kepercayaan Allah membimbing, kedekatan dengan Tuhan menyadarkannya, selalu bermohon menjadi seperti hatiNya
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
Keyakinan pada Tuhan pasti membantu, pasrah atas kehendak Tuhan, percaya Tuhan memberi jalan terbaik meskipun harus berkonflik. Kalau tidak prinsip maka lebih banyak mengalah/menyerahkan pada orang yang berkonflik selama itu baik. Butuh waktu untuk ambil keputusan, kadang gagal, tetapi mau mencoba lagi. Akhirnya bisa baikan dengan orang itu dan menjadi lebih dekat.
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
Ya. Faktor: rasa ego (pergulatan dengan diri sendiri mana yang lebih baik), kurang perhatian pada orang lain (khususnya yang pinter bicara saja), situasi lingkungan
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
Hasil akhir menjadi lebih baik, sama2 memperkembangkan diri menjadi baik
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
Mengajak orang yang berkonflik untuk bicara/bertanya, tenang, sabar sehingga mampu mengerti/memahami/mengalah, mengampuni.
104
10. Apakah gerakan roh dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
Ya
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
Membantu membedakan mana yang baik dan tidak baik, apakah hanya mengikuti ego sendiri, apakah ini jalan yang diberikan Tuhan agar bisa mengatasi konflik dengan orang itu
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)? Jelaskan!
Ya. Pengaruhnya dalam menghadapi orang lain, dalam bersikap dan bertutur kata, menerima orang lain. Semakin tekun dalam doa, meneguhkan panggilan sebagai Sr SPM
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
Iman, kesadaran akan pribadi seseorang/penghargaan diri, ketulusan, sabar, kasih, kesetiaan, berani menghadapi risiko
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
Menerima orang lain, menciptakan suasana krasan, mencintai orang lain, mau mendengarkan dengan hati, berpikir positif, pengertian/mau memahami orang lain, mengubah diri menjadi lebih baik
105
Subjek Y (sumber lain) Kode Aspek
Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara A Pengalaman
konflik 1. Apakah Anda pernah
mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
Konflik dengan diri sendiri dan dengan orang lain
3. Apa yang menyebabkan konflik itu?
Kekerasan sifat, cuek, beda pendapat, beda generasi, beda pemahaman/pemikiran
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
Fisik: sakit, karena kurang mengatur diri Psikis: emosi, cuek
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Mengembangkan diri menjadi lebih dewasa, mau berubah, terbuka
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Ya
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Jengkel, marah
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
Diam, jujur, bisa terbuka, berani bicara setelah beberapa waktu, berani ambil risiko,
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Gembira, lega
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik?
Ingin segera selesai
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
Tenang, banyak doa, refleksi diri, mau menyelesaikan dengan berani bicara/terbuka dan mau rendah hati pada yang berkonflik, mengubah diri yang dipraktekkan dalam sikap/tutur kata kepada orang lain yang berkonflik
2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Ya
4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
Ada
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan
Ya
106
pertolongan? 6. Apakah ada cara lain untuk
menyelesaikan konflik Anda?
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi? Sibuk, capek
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik itu? Apakah persoalannya sama?
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
Ya
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
3. Sejauh mana anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
10. Apakah gerakan roh dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
Ya
107
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
Discernment membantu dalam menentukan pilihan dan keputusan, mengajak untuk sadar diri dan berubah menjadi lebih baik
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)? Jelaskan!
Kreatif, tanggung jawab, berani ambil risiko, bisa menggerakkan orang lain
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
Tanggung jawab, kasih, kerukunan/persaudaraan, pengampunan
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
Kerjasama dengan guru, dekat dengan anak2, terbuka dan mendengarkan dengan para Sr, mengubah diri
108
Subjek Z No Aspek
Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara A Pengalaman
konflik 1. Apakah Anda pernah
mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
Konflik di luar diri: dengan orang, barang, peristiwa
3. Apa yang menyebabkan konflik itu?
Perbedaan pendapat, kesepakatan yang tidak terealisasi, perbedaan ide, perbedaan kebiasaan
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
Fisik: lelah, sakit Psikis: emosi bertambah, tidak sabar
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Semakin bersemangat dalam hidup, berjuang untuk mencari penyebab, semangat dalam mengolah
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Ya, tetapi tidak secara langsung. Setelah merasakan/merenungkan, baru ada titik terang untuk tidak menghindari konflik dan mendekati/mengajak bicara dengan yang berkonflik. Tuhan membisikkan: untuk berjuang dan mencari penyelesaian
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Ingin menghindari, sedih, bingung, jengkel, mau refleksi diri
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
Emosi: mengomel jika tidak ada orang yang berkonflik
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Senang, bahagia, syukur bisa menyelesaikan meskipun tidak mudah
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik?
Cepat terselesaikan dan berjuang untuk membuktikan kebenaran masalah itu. Misal: mengajak bicara orang itu dan mengatakan kebenaran.
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
Suatu masalah yang ditimbulkan karena ketidakcocokan satu dengan yang lain meskipun sulit menyatukan. Konflik bisa terselesaikan jika kedua pihak mengakui kesalahan
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
Mendoakan, memaafkan, menyebut nama orang itu dalam doa, menghadirkan orang itu melalui visualisasi dalam renungan
2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
Ketika konflik datang, yang muncul emosi spontan. Maka perlu refleksi diri/bertanya pada diri sendiri kira2 Yesus mau apa ?
3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Pasti
4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
Ya
109
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan pertolongan?
Yang bisa dipercaya, tidak harus orang hebat, yang bisa pegang rahasia, bisa bantu memberi jalan keluar, mau mendengarkan dengan penuh kepercayaan
6. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan konflik Anda?
Discernment.
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi? Saat sibuk, banyak tamu, pekerjaan belum selesai, emosi tidak terkontrol, bicara keliru/tidak teratur
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik itu? Apakah persoalannya sama?
Ya, sering bisa menyelesaikan konflik itu. Persoalan: hidup bersama, tidak bisa memenuhi semua harapan orang lain/para Sr.
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
Ya. Biasanya keputusan yang menyangkut kepentingan pribadi/umum. Secara mendalamnya tidak cukup hanya meditasi. Masalah dibawa secara khusus, dipertimbangkan baik-buruknya, akibat/kemungkinan yang akan terjadi. Baru dicari solusi yang bisa membawa kebahagiaan/kedamaian/membuahkan hasil yang baik bagi pribadi maupun sesama. Keputusan tidak bisa cepat.
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
Dengan refleksi/doa lebih lama/dalam. Perlu kesiapan hati dalam mengambil keputusan. Misal: diomeli, sakit.
3. Sejauh mana anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
Dengan membiasakan tenang, hening, doa pada Tuhan akan semakin merasakan gerakan roh yang bekerja. Suara hati akan mengajak untuk mengikuti atau tidak. Dengan sendirinya harus mempertimbangkan dulu sebelum memutuskan.
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
Roh baik mengajak pada perbuatan yang baik, situasi hati tenang, buah dapat dirasakan baik pada diri sendiri maupun sesama. Kalau motivasi baik, hati damai meskipun orang tidak senang tapi ada keyakinan baik. Roh jahat hasilnya: hati tidak damai, mengecewakan.
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
Roh jahat.
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
Melihat, merasakan, mengalami itu benar kalau mantap meskipun ada godaan yang merintangi keputusan. Kadang gagal setelah memutuskan karena tidak ada perubahan pada orang lain malah menerima perlakuan di luar dugaan. Lalu mencoba tenang kembali dan mengambil keputusan lain lagi. Jika tetap gagal, akhirnya pasrah pada Tuhan, percaya Tuhan pasti beri jalan terbaik bagi kedua pihak
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
Ya, dari diri sendiri: kurang luas pengetahuan tapi banyak pengalaman bergaul dengan para Sr. Meskipun ada hambatan tapi tidak ingin ketinggalan, tetap mengikuti perkembangan/situasi lingkungan/komunitas, ingin belajar.
110
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
1. Jika keputusan menyangkut bersama, harus menampung pendapat dari orang lain dulu, perlu ketegasan, menentukan tujuan hidup persekutuan supaya semakin mengarah hidup baru
2. Motivasi 3. Situasi Sr. lain yang mendesak (sakit), perlu
diselamatkan 4. Bagaimana langkah-langkah
Anda dalam pengambilan keputusan?
Renungkan baik-buruknya masalah, kalau baik dilakukan dan kalau akhirnya membuahkan konflik ya tidak dilakukan
5. Apakah gerakan roh dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
Ya
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
Membantu dalam pengambilan keputusan meskipun orang lain menolah, memurnikan motivasi, semakin tegas, mantap, tidak takut resiko
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)? Jelaskan!
Tertolong untuk lebih kuat melaksanakan latihan rohani, mencari motivasi yang baik, buahnya pun baik daripada sebelumnya, memahami/mengenal diri sendiri dan orang lain.
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
Ketekunan, kerja keras, setia, iman yang kuat, penerimaan diri, kerendahan hati
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
Mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa/refleksi/renungan, usaha untuk merawat, mengembangkan, tidak mengikuti emosi sesaat, sadar akan keterbatasan diri
111
Subjek Z (sumber lain 1)
Kode Aspek Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara
A Pengalaman konflik
1. Apakah Anda pernah mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
Konflik kesalah pahaman, konflik dengan diri karena ada ketegangan antara ideal dan kenyataan
3. Apa yang menyebabkan konflik itu?
Latar belakang budaya (pendidikan dalam keluarga, nilai, suku,
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
Pengaruh secara fisik: sulit tidur, kurus, nafsu makan hilang Pengaruh secara psikis:
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Menjadikan aku mengenal sesama suster, makin matang dalam olah rasa
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Ya. Yang diimani sebagai suara hati/Tuhan. Bila hati tidak damai/
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Tidak damai
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
tidak bisa konsentrasi, ingin marah
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Lega, damai diperbaharui
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik?
Dapat menyelesaikan dengan baik dan damai
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
Konflik baik sejauh pribadi bisa menerima, melihat dan mengatasi dengan baik pula. Konflik sebagai salah satu cara Tuhan mendidik agar mengenal kehendakNya dan kelemahan serta keterbatasan.
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
Berdoa, dan berbicara dengan sumber konflik (baik diri maupun dengan orang lain)
2. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
Pertama berdoa untuk berbicara apapun yang kita rasakan dan mempengaruhi seluruh warna hidup kita selama berkonflik
3. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Ya. Pasti
4. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
Ya, punya
5. Apakah Anda tahu kepada siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan
Ya, tahu
112
pertolongan? 6. Apakah ada cara lain untuk
menyelesaikan konflik Anda? Ada, konfrontasi dengan diri sendiri
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi? Salah paham, ideal diri tidak sesuai dengan real diri
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik batin itu? Apakah persoalannya sama?
Sering saja, persoalannya tidak sama tapi tipenya mirip
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
Ya
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
Melihat, memahami dan menimbang-nimbang untuk dan rugi. Melihat buah dari keputusan yang telah diambil
3. Sejauh mana anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
Sejauh hati saya tenang dan damai. Membiarkan diri tanpa harus menekan
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
Roh Jahat akan membawa pada kekeruhan batin/perpecahan. Roh baik akan membawa kedamaian
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
Biasanya roh jahat karena roh jahat menjanjikan yang nampaknya instan dan cepat serta mudah.
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
Keputusan saya bai/benar dan tepat bila buah dari keputusan itu akan membawa kedamaian dan juga kebaikan bagi yang lain ataupun diri sendiri
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
Kadang-kadang. Factor yang menyulitkan adalah kurangnya pemahaman akan diri sendir atau orang lain, stempel yang telah ditandakan pada orang itu sehingga kurang percaya, egoisme,
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
Diri, orang lain, lingkungan, Tuhan
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
Menerima konflik yang ada dan menyadari saya sedang berkonflik, melihat konflik secara tenang kalau perlu dengan bantuan orang lain, menimbang-nimbang alternative solusi, mengambil keputusan
10. Apakah gerakan roh Ya
113
dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
Pertimbangan batin sangat membantu dalam menyelesaikan konflik terutama memberikan spirit dalam menerima dan berusaha menyelesaikan dalam terang iman
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)? Jelaskan!
Sangat mempengengaruhi, iman saya dikembangkan akan penyelenggaraan Tuhan yang baik, saya tidak merasa sendiri ada daya yang sangat besar membantu saya (kekuatan Allah)
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
Nilai iman, penyerahan, optimis karena saya tidak sendiri,
2. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
Nilai saya hidupi dalam menjawab panggilan saya setiap hari karena setiap hari pasti ada konflik dalam arti mengambil keputusan mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi.
114
Subjek Z (sumber lain 2) Kode Aspek
Wawancara Pertanyaan Panduan Hasil Wawancara A Pengalaman
konflik 1. Apakah Anda pernah
mengalami konflik dalam hidup membiara?
Pernah
2. Konflik-konflik apa sajakah yang pernah Anda alami dalam hidup membiara?
Konflik diri dan sesama
3. Apa yang menyebabkan konflik itu?
Perbedaan latar belakang, budaya, kebiasaan, pendidikan, generasi, pemahaman
4. Apa pengaruh konflik itu terhadap diri Anda baik secara fisik maupun psikis?
Psikis: marah, bicara ketus
5. Apakah manfaat konflik bagi Anda?
Mengembangkan dirinya, mau berubah, bisa memahami orang lain, rendah hati
6. Apakah Anda mendengarkan kata hati yang membisiki Anda ketika mengalami konflik?
Ya
B Reaksi spontan ketika mengalami konflik
1. Bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi konflik?
Sedih
2. Bagaimana reaksi Anda ketika konflik itu muncul?
Awalnya diam, tapi akhirnya bisa menegur. Secara spontan ngomel di depan/di belakang
3. Bagaimana perasaan Anda setelah dapat mengatasi konflik itu?
Lega, damai, bahagia
C Sikap/tanggapan terhadap konflik
1. Apakah yang Anda inginkan ketika mengalami konflik?
Bisa menyelesaikan konflik dan tidak ada dendam tapi dengan damai. Ada usaha untuk rekonsiliasi
2. Bagaimana tanggapan Anda tentang konflik?
Konflik mengembangkan pribadi, tampak dari doa2. Konflik mendewasakan diri. Konflik merupakan rahmat Allah yang perlu disyukuri
D Cara mengatasi konflik
1. Bagaimana cara Anda mengatasi konflik itu?
1. Diam, menata hati, refleksi/banyak discernment mempelajari orang itu dan mencari waktu untuk ketemu
2. Baru mengajak bicara orang itu 3. Kadang mendiamkan selama tidak bisa diajak
bicara/tidak bisa ditegur baik2 4. Rendah hati untuk minta maaf, mau terbuka
5. Apakah Anda mempunyai tips khusus atau cara yang tepat untuk mengatasi konflik?
Selalu menyertakan Tuhan dalam mengatasi masalah, discernment dalam mengolah batin, harapan akan keterlibatan roh Allah
6. Apakah Anda melibatkan Tuhan dalam proses penyelesaian konflik itu?
Ya
7. Apakah Anda mempunyai orang yang Anda percaya yang akan mendengarkan penuh perhatian apa yang Anda bicarakan?
8. Apakah Anda tahu kepada
115
siapa Anda pergi ketika merasa berbeban berat dan ketika Anda membutuhkan pertolongan?
9. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan konflik Anda?
Discernment
E Frekuensi konflik
1. Kapan konflik itu terjadi?
2. Seberapa sering Anda dapat menyelesaikan konflik itu? Apakah persoalannya sama?
F Proses discernment dalam mengatasi konflik
1. Apakah Anda terbiasa melakukan permenungan/pertimbangan batin yang serius/mendalam atau tindakan meneliti atau membedakan gerakan batin yang sedang Anda alami ketika terjadi konflik?
Ya
2. Bagaimana proses pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan selama ini?
Ketika masalah terjadi, dia diam sambil merenung dan mencari jalan keluar, mempertimbangkan baik-buruknya keputusan yang akan diambil
3. Sejauh mana Anda mengenal gerakan batin dan gerakan roh yang hidup dalam diri Anda saat itu?
Jika dirasa perlu, maka baru ambil sikap, bicara dengan yang berkonflik
4. Bagaimana Anda dapat membedakan adanya dua gerakan yaitu, roh jahat dan roh baik?
Roh baik membawa pada kedamaian, membimbing, bisa atasi masalah Roh jahat membawa pada ketidaktenangan, ketegangan
5. Mana yang lebih mudah bagi Anda, mengikuti gerakan roh baik atau roh jahat? Mengapa?
Roh jahat, karena malas untuk tenang, ingin cepat selesai
6. Selama meneliti gerakan batin/roh, Anda harus menentukan pilihan dan keputusan. Bagaimana Anda melakukan itu? Atau bagaimana Anda yakin bahwa keputusan Anda tersebut tepat/benar/baik?
Selama dia yakin bahwa keputusan benar dan orang yang bersangkutan tidak bisa diberitahu lagi maka dibiarkan meskipun bertentangan dengan suara hati
7. Apakah Anda mengalami kesulitan atau hambatan dalam pengambilan keputusan? Faktor-faktor apa saja yang menyulitkan Anda?
Ya. Faktor: perasaan (tidak ingin orang lain terluka), kepribadian, sifat
8. Apa yang Anda jadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan itu?
Untuk kepentingan bersama dan kondisi komunitas
9. Bagaimana langkah-langkah Anda dalam pengambilan keputusan?
Diam, refleksi, mempelajari. Setelah dia mengerti/mengenal gerakan hati baru diputuskan dan dipraktekkan dengan mengajak bicara orang yang berkonflik
116
10. Apakah gerakan roh dan pembedaan roh ikut menentukan keputusan Anda?
Ya
G Kesadaran tentang manfaat discernment
1. Sejauh mana pertimbangan-pertimbangan batin yang Anda lakukan membantu menyelesaikan konflik Anda?
1. Mengalami ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, dapat mengontrol emosi
2. Membantu menyelesaikan masalah dengan bijak, tidak ada yang terluka
2. Apakah proses pertimbangan/pengolahan batin atau meneliti gerakan batin/membedakan roh juga mempengaruhi perkembangan pribadi dan kedewasaan iman Anda, khususnya sebagai seorang biarawati (Suster SPM)? Jelaskan!
Ya
H Nilai yang semakin bertumbuh kuat dalam proses discernment
1. Nilai-nilai apa saja yang semakin bertumbuh kuat dalam proses pertimbangan/pengolahan batin?
1. Iman, harap, dan kasih yang kuat berkat relasi personal dengan Tuhan
2. Penghargaan terhadap diri sendiri/orang lain 3. Kesetiaan 4. Kesabaran 5. Disiplin diri 6. Keberanian menghadapi risiko
1. Bagaimana Anda menghidupi nilai-nilai itu dalam hidup membiara?
1. Tidak mudah putus asa/inner power 2. Menjaga kesehatan
117
118
119
120
121
top related