diabetes mellitus
Post on 10-Dec-2015
222 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Diabetes Melitus Tipe 2
Giovanni Reynaldo
10.2011.139
Kelompok E8
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6
Email: gioreynaldo@yahoo.com
Pendahuluan
Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang saat ini banyak diderita di kalangan
masyarakat merupakan suatu penyakit dengan gangguan metabolisme yang bermanifestasi
berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Biasanya diabetes melitus terjadi pada orang yang
berusia lebih dari 45 tahun, jarang berolahraga, dan memiliki tubuh yang gemuk (obesitas) yang
mayoritas menandakan pola makan dan hidup yang tidak sehat. Namun, diabetes melitus juga
dapet terjadi pada anak-anak, remaja, bahkan dewasa muda. Penyebab diabetes melitus
bermacam-macam: autoimun, defek genetik, resistensi insulin, berkurangnya produksi insulin
oleh pankreas, infeksi pankreas, dan lain sebagainya. Peran genetik sangat berpengaruh pada
insidens terjadinya insulin.
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara terhadap pasien. Teknik anamnesis yang baik disertai
dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara
keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien.
Anamnesis dapat dilakukan dengan cara langsung pada pasien (auto anamnesis) atau pada orang
tua atau sumber lain (allo anamnesis). Tujuan anamnesis yaitu: untuk mendapatkan keterangan
sebanyak-banyaknya mengenai kondisi pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara. Hal
pertama yang perlu ditanyakan kepada pasien adalah mengenai identitas pasien (tanyakan nama
lengkap dan cocokkan dengan tabel nama, tanyakan tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, nama
orang tua atau suami atau istri atau penanggung jawab, pendidikan, pekerjaan, alamat, suku
bangsa dan agama) dan pastikan bahwa setiap rekam medis, catatan, hasil tes, dan sebagainya
memang milik pasien tersebut.1
Setelah menanyakan identitas pasien, langkah berikutnya adalah menanyakan keluhan
utama pasien. Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang dirasakan oleh pasien sehingga
membawa pasien mencari pertolongan dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama
biasanya dituliskan secara singkat disertai berapa lama pasien merasakan keluhannya.1
Pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan kepada pasien yang diduga menderita diabetes
melitus yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan keluhan khas DM dan keluhan tidak khas DM.
Keluhan khas DM meliputi poliuria, polidipsi, polifagia, penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Sedangkan keluhan tidak khas DM meliputi lemah, kesemutan, gatal, mata
kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita.2
Diabetes melitus ditandai oleh kenaikan kadar gula darah dan disebabkan oleh
berkurangnya sekresi atau efektivitas kerja insulin. Keadaan ini sering ditemukan dan prevalensi
diabetes melitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes melitus, IDDM) adalah sebesar
0,5%, sedangkan prevalensi diabetes yang tidak tergantung insulin (non-insulin dependent
diabetes melitus, NIDDM) mendekati 2%. Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis
diabetik, koma hiperglikemik, disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria,
polidipsia, nokturia), efek samping diabetes pada organ akhir (retinopati, penyakit vaskular
perifer, neuropati perifer), atau komplikasi akibat meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
(misalnya ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat
melakukan pemeriksaan darah atau rutin.1
2
Setelah menanyakan keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, kita tanyakan juga
riwayat penyakit dahulu, obat-obatan yang telah dikonsumsi dan alergi obat, riwayat keluarga,
dan riwayat sosial. Untuk riwayat penyakit dahulu, hal-hal yang harus ditanyakan terhadap
pasien adalah apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya
dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan urin,
tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan juga hal-hal seperti: 1)
Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia; 2) Penyakit vaskular: iskemia,
jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus,
perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis-muntah,
kembung, diare). 3) Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser; 4) Hiperkolesterolemia,
hipertrigliserida; 5) Disfungsi ginjal (proteinuria mikroalbuminuria); 5) Hipertensi-terapi; dan 6)
Diet/berat badan/olahraga. Untuk obat-obatan, hal yang perlu ditanyakan yaitu apakah pasien
sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan hipoglikemia oral, atau insulin?
Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya kortikosteroid, siklosporin)?
Tanyakan juga riwayat merokok atau penggunaan alkohol dan alergi pada pasien. Untuk riwayat
keluarga dan sosial, tanyakan pada pasien adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan? Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula
darah, dan sebagainya (pasangan/pasien/perawat)? Setelah semua anamnesis itu kita lakukan,
maka kita dapat melaksanakan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang terhadap pasien.1
Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik, hal-hal yang harus kita perhatikan yaitu apakah pasien sakit
berat akut? Bagaimana kadar gula darahnya? Apakah tercium bau keton? Adakah tanda-tanda
takipnea atau pernapasan Kussmaul (cepat dan dalam)? Adakah tanda-tanda dehidrasi akibat
hiperglikemia (takikardia, hipotensi, hipotensi postural, membran mukosa kering, turgor kulit
menurun, dan sebagainya)? Apakah pasien mengantuk, bingung, atau koma? Bagaimana suhu
tubuh pasien? Periksa sistem kardiovaskuler: TD? Adakah tanda-tanda gagal jantung? Periksa
vaskularisasi perifer untuk: nadi, teraba, bruit? Periksa kaki untuk: ulkus selulitis, neuropati
(sensasi raba halus), tusuk jarum, monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan
neuropati otonom (TD postural, respons Valsalva). Periksa mata untuk ketajaman penglihatan
dan respons pupil. Lakukan funduskopi untuk: perdarahan bintik + bercak, retinopati proliferatif,
3
makulopati. Periksa setiap perubahan hipertensif. Periksa urin untuk: proteinuria, glukosa, keton.
Cari dan obati komplikasi akut berbahaya dari diabetes melitus (misalnya hipoglikemia,
ketoasidosis diabetik). Pertimbangkan infeksi atau pemicu kemunduran lain serta periksa
kerusakan organ-akhir akibat diabetes.1
Pemeriksaan fisik yang penting untuk dilakukan bagi pasien yang diduga menderita
diabetes melitus yaitu: 1
Inspeksi kaki
a) Atrofi/hipotofi otot.
b) Kontraktur/ sikatrik.
c) Gerakan-gerakan terbatas.
d) Lesi kulit (infiltrat, abses, ulkus, gangrene).1
Palpasi kaki
a) Kulit dingin (vaskularisasi berkurang), hangat/panas (akibat adanya ulkus).
b) Pulsasi arteri dorsalis pedis.
c) Pulsasi arteri tibialis posterior.1
Refleks
a) Sensibilitas : monofilament (sensorik)
b) APR +menurun/+menurun (motorik)
c) KPR +menurun/ +menurun (motorik)
d) Babinsky : gerakan dorsofleksi ibu jari kaki yang sering disertai dengan pemekaran jari-
jari menunjukan refleks babinsky.3
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan adalah :2
Pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena
Sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena
maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO
Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Adapun kriteria diagnosis DM dapat kita lihat pada Tabel no.1.
4
Tabel no.1 Kriteria Diagnosis DM2
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM.
Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnostik definitif.
Kadar glukosa darah utuh (whole blood) :2
Dipengaruhi nilai hematokrit
Kadar glukosa pada Ht tinggi lebih tinggi dari pada Ht rendah
Kadar glukosa akan berkurang sesuai dengan berjalannya waktu
Penurunan kadar glukosa darah
7 mg/dL/jam pada suhu kamar
2 mg/dL/jam pada 40C
Perlu pengawet NaF 2 mg/mL.2
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai
berikut :
a. Usia >45 tahun
b. Berat badan lebih : >110% berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2.
c. Hipertensi (TD ≥140/90 mmHg)
d. Riwayat DM dalam garis keturunan
e. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi >4 kg
f. Riwayat DM gestasional
g. Riwayat toleransi gula terganggu (GTT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
h. Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis, hipertiroidisme.
i. Kolesterol HDL ≤35 mg/dL dan atau trigliserida ≥250 mg/dL
5
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaring negatif, pemeriksaan penyaring
ulangnya dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko, pemeriksaan penyaringnya dapat dilakukan setiap 3 tahun.2
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang
tepat bagi mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM.
setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM. 1/3 tetap TGT
dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pda
kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal.
TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa
darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar glukosa
darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM dapat kita lihat pada
Tabel no.2.2
Tabel no.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dL).2
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥126 mg/dL juga
digunakan untk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok dengan keluhan tidak khas, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakan diagnosis DM, diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL pada hari yang lain, atau hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) di dapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dL.3
6
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):3
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari ( dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa konsetrasi glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah unutk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa glukosa darah dua jam sudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah dalam 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
< 140 mg/dL → normal
140-< 200 mg/dL → toleransi glukosa terganggu
≥ 200 mg/dL → diabetes
HbA1c
Pengukuran HbA1c adalah standar kriteria untuk pemantauan jangka panjang kontrol
glukosa darah dan mencerminkan glikemia selama 3 bulan sebelumnya.Pengukuran HbA1c yang
sebelumnya tidak dianggap berguna untuk diagnosis diabetes mellitus karena kurangnya
standarisasi internasional dan ketidakpekaan untuk mendeteksi bentuk-bentuk intoleransi glukosa
ringan. 4
Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta
Hal ini dapat dinilai dengan dengan pemeriksaan konsentrasi insulin, pro-insulin, dan
sekresi peptide penghubung (C-peptide) Nilai glyclated hemoglobin, nilai derajat glikosilasi dari
protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan
ini.3,4
7
Indeks Proses diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetognik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe
dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer antibody dalam sirkulasiyang ditujukan pada pulau-
pulau langerhands, anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya
cell-mediated immunity terhadap pancreas; ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma
manusia dan ditemukannya penyakit lain pad apankreas dan penyakit endokrin lainnya.3
Working Diagnosis
Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM).
Penyakit ini sering ditemukan (prevalensi saat ini adalah 2 % di Inggris dan 6,6% di AS, dan
meningkat dengan pesat akibat faktor gaya hidup/diet) pada usia menengah dan manula,
diakibatkan terutama oleh resistensi terhadap kerja insulin di jaringan perifer. Walaupun pada
tahap lanjut defisiensi insulin dapat terjadi, namun tidak ditemukan defisiensi absolut insulin.
Penyakit ini juga dipengaruhi faktor genetik. Pada kembar identik tingkat kesamaannya adalah
90%, namun tidak ada kaitannya dengan antigen leukosit manusia (human leukocyte antigen
[HLA]). NIDDM biasanya terjadi pada pasien usia pertengahan atau usia lanjut yang sering kali
memiliki berat badan yang berlebih. NIDDM biasanya tidak mempunyai gejala atau tanda yang
timbulnya cepat kecuali jika dicetuskan oleh stres infeksi atau trauma. Retinopati diabetik dan
perubahan neurologis kronik seperti neuropati perifer lebih sering terjadi pada diabetes
NIDDM.5-7
Differential Diagnosis
Ada beberapa jenis penyakit yang mempunyai gejala mirip dengan diabetes melitus tipe 2
dan dapat dijadikan diagnosis banding. Diagnosis banding dari diabetes melitus tipe 2, yaitu:
1. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-
sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan
respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan
memproduksi auto-antibodi terhadap sel-sel beta, yang akan berakibat berkurangnya sekresi
8
insulin yang dirangsang oleh glukosa.manifestasi klinis diabetes mellitus terjadi jika lebih
dari 90% sel-sel beta pankreas menjadi rusak. Terjadi defisiensi insulin absolute setelah sel
β pankreas dihancurkan oleh proses autoimum pada orang-orang yang memiliki predisposisi
secara genetis. Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
aksplosif dengan polidipsia, poliuria, polifagia, turunnya berat badan, lemah, somnolen yang
terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu, dan terdapat infeksi (abses, infeksi
jamur, misalnya kandidiasis). Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis,
disertai dengan gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea, serta dapat meninggal kalau
tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya dibutuhkan untuk
mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.2
2. Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)
Maturity Onset Diabetes of the Young atau yang biasa disebut MODY merupakan
bentuk diabetes yang disebabkan dari mutasi beberapa gen yang berbeda. MODY
merupakan suatu bentuk monogenic diabetes. Perubahan genetik yang berbeda dapat
mengakibatkan perubahan bentuk diabetes. MODY biasa didiagnosa di masa akhir dari
anak-anak , remaja dan awal dewasa. Dari beberapa penelitian dalam beberapa tahun
terakhir, MODY jg ditemukan pada orang dewasa sekitar umur 50 tahun. Banyak orang
yang menderita MODY sering salah didiagnosa dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2. Dengan
pengobatan yang baik dan pola hidup yang teratur MODY dapat diatasi tentu nya dengan
tidak melupakan anggota keluarga yang lain , karena MODY merupakan kelainan genetik
dan ada kemungkinan anggota keluarga yang lain juga terkena penyakit ini.2
3. Latent Autoimun Diabetes of Adult (LADA)
Latent Autoimun Diabetes of Adult pertama kali di identifikasikan pada tahun 1993
untuk menggambarkan onset yang lambat dari diabetes autoimun tipe 1 pada orang dewasa.
Dewasa yang terkena LADA sering disalah diagnose terkena diabetes mellitus tipe 2
dikarenakan faktor usia. Lada merupakan penghancuran cellular-mediated autoimmune dari
sel beta pancreas. Penghancuran ini memiliki berbagai variasi dengan beberapa individu
terkena serangan yang tergolong cepat dan beberapa ada yang lambat. The National
Institutes of Health (NIDDK) mendefinisikan LADA adalah diabetes tipe 1 yang
berkembang pada orang dewasa. Pasien dengan LADA umumnya memiliki kadar sekresi
insulin yang rendah atau C-peptide yang semakin rendah seiring dengan perjalanan penyakit
9
ke tingkat yang lebih parah. Penderita LADA juga seringkali memiliki hasil yang positif
terhadap Islet Cell Antibodies (ICA) dimana, pada penderita diabetes tipe 2 jarang skali
mendapatkan hasil yang positif.2
Epidemiologi
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di
Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini
agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado,
Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari
orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Penelitian antara tahun 2001
dan 2005 di daerah depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7% suatu angka yang
sangat mengejutkan. Demikian juga di Makassar prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang
mencapai 12,5%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global, terutama
disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat
dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan
datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Ini sesuai dengan perkiraan
yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan
jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding
tahun 1995.2
Insidens diabetes melitus terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun
2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM
terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang.
Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan
perubahan gaya hidup, seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Ada juga perkiraan
bahwa dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh
karena:3
a) faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2). Penduduk usia lanjut bertambah
banyak; 3). Urbanisasi makin tak terkendali
10
b) gaya hidup yang ke barat-baratan: 1) Penghasilan per capita tinggi; 2). Restoran siap santap;
3). Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan
c) berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d) meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.2
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar
glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak
1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus
yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita
dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial
rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku
Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu
13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral),
hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.2
Etiologi
Meskipun diabetes tipe 2 sepuluh kali lebih sering ditemukan ketimbang diabetes tipe 1
dan memiliki predisposisi genetik yang jauh lebih kuat (35% anggota keluarga generasi pertama
mengidap diabetes atau gangguan toleransi glukosa), defek molekular spesifik atau defek yang
menyebabkan diabetes tipe 2 sebagian besar masih belum diketahui, sebagian karena sifat
penyakit yang heterogen serta kemungkinan kausa poligenik. Meskipun diabetes tipe 1
disebabkan oleh defisiensi insulin, baik gangguan sekresi insulin maupun adanya resistensi
insulin dijumpai pada diabetes tipe 2 dan keduanya harus ada pada kebanyakan kasus agar
penyakit ini bermanifestasi secara klinis. Individu dengan diabetes tipe 2 mengeluarkan lebih
sedikit insulin sebagai respons terhadap glukosa dan memperlihatkan penurunan yang khas pada
pelepasan awal insulin (pelepasan insulin fase-pertama). Selain itu, pasien dengan diabetes tipe 2
resisten terhadap efek insulin. Tidak diketahui apakah resistensi insulin atau gangguan sekresi
insulin sel B merupakan lesi primer pada diabetes tipe 2. Namun beberapa dekade sebelum
munculnya diabetes klinis, terjadi resistensi insulin dan peningkatan kadar insulin. Hal ini
mendorong para peneliti berhipotesis bahwa resistensi insulin mungkin merupakan kelainan
primer, yang menyebabkan peningkatan kompensatorik sekresi insulin yang akhirnya tidak dapat
11
dipertahankan oleh pankreas. Ketika pankreas telah “kelelahan” dan tidak dapat mengimbangi
kebutuhan insulin, mungkin akibat efek toksik dari tumpukan protein-protein di retikulum
endoplasma sel B, timbullah diabetes klinis. Peneliti-peneliti lain menduga bahwa proses awal
dipicu oleh hiperinsulinemia, suatu defek primer sel B. Peningkatan kadar insulin menekan
jumlah reseptor insulin, yang menyebabkan resistensi insulin dan akhirnya menyebabkan
kelelahan sel B. Dalam skenario ini, hiperinsulinemia diperkirakan sebagai ekspresi “genotipe
hemat” yang memberikan keunggulan selektif bagi populasi dengan pasokan makanan yang
inkonsisten tetapi menyebabkan obesitas dan peningkatan resistensi insulin jika pasokan
makanan berlimpah. Sebagian peneliti lainnya menduga bahwa defek primernya dapat berupa
gangguan sekresi awal insulin oleh sel-sel pulau sebagai respons terhadap glukosa (pelepasan
insulin fase-pertama), yang kemudian menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia dan
hiperinsulinemia kompensatorik kemudian menyebabkan terjadinya resistensi insulin.8
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak penelitian telah dilakukan untuk
mengidentifikasi gen-gen yang berperan dalam diabetes tipe 2. Contohnya gen-gen kandidat
dengan produk gen detektif yang dapat menjelaskan resistensi terhadap efek insulin, mungkin
mencakup gen insulin itu sendiri, reseptor insulin, atau produk gen lain yang bertanggung jawab
dalam efek insulin pascareseptor, sedangkan gen-gen yang mengatur pelepasan insulin
merupakan kandidat untuk kelainan sel B. Namun, meskipun hasil berbagai penelitian tersebut
telah membantu mengungkapkan berbagai gen dan jalur yang terlibat dalam patogenesis diabetes
tipe 2 yang dapat dijadikan target untuk intervensi medis, penelitian-penelitian tersebut hanya
mengidentifikasi dasar genetik penyakit bagi hanya sebagian kecil pasien. Contohnya, defek di
enam gen yang penting untuk fungsi sel B (misalnya glukokinase, faktor nukleus hati) terbukti
menjadi penyebab diabetes pada orang dengan maturity-onset diabetes of the young (MODY),
suatu penyakit autosomal dominan yang hanya menimbulkan 2-5% kasus diabetes tipe 2 yang
ditandai oleh diabetes ringan pada individu kurus yang jauh lebih muda ketimbang pada
kebanyakan pasien diabetes tipe 2 dewasa. Demikian juga, resistensi insulin akibat defek pada
insulin, seperti mutasi yang menyebabkan hilangnya pemrosesan proinsulin menjadi insulin,
jarang ditemukan, seperti halnya sindrom-sindrom resistensi insulin berat akibat defek reseptor
insulin. Karena itu, resistensi insulin diperkirakan timbul akibat defek pascareseptor pada zat-zat
antara penyalur sinyal yang berada di sebelah distal dari kinase reseptor insulin, misalnya insulin
receptor substrate (misalnya IRS-1), atau pada produk gen yang diatur oleh insulin, misalnya
12
pengangkut glukosa di jaringan lemak dan otot (GLUT-4). Upaya-upaya untuk mengidentifikasi
gen-gen kandidat pascareseptor pada manusia dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian pada mencit
transgenik yang membuktikan pentingnya efek delesi elemen-elemen penting dalam jalur sinyal
insulin (termasuk reseptor insulin, IRS, dan GLUT-4) di jaringan tertentu (misalnya hati, otot,
lemak, otak). Contohnya penurunan ekspresi GLUT-4 di jaringan lemak, yang juga terjadi pada
individu dengan diabetes, menyebabkan (melalui mekanisme yang belum jelas) gangguan kerja
insulin di otot dan hati, sementara mutasi di protein IRS dapat menyebabkan resistensi insulin
dan defek sekresi insulin sel B. Karena penelitian terhadap berbagai gen kandidat spesifik untuk
mutasi genetik belum berhasil mengidentifikasi kausa utama diabetes tipe 2, studi-studi linkage-
analysis kini juga dilakukan pada populasi atau keluarga tertentu untuk mengidentifikasi lokasi
kromosomal defek genetik yang mendasari diabetes tipe 2. Dengan menggunakan pendekatan
ini, gen untuk calpain 10, suatu sistein protease yang fungsinya dalam pelepasan atau kerja
insulin baru kini ditelaah, berkaitan dengan diabetes tipe 2 pada orang Amerika-Meksiko dan
populasi tertentu lainnya.8
Sebagian besar (80%) pengidap diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas, terutama
obesitas abdomen sentral, berkaitan dengen peningkatan resisten insulin. Orang dengan obesitas
yang tidak mengidap diabetes memperlihatkan peningkatan kadar insulin dan penurunan reseptor
insulin. Pengidap diabetes tipe 2 dengan obesitas sering memperlihatkan peningkatan kadar
insulin relatif terhadap kontrol non obesitas. Namun, untuk kadar glukosa tertentu, kadar insulin
pada pengidap diabetes tipe 2 dengan obesitas lebih rendah daripada kadar yang dijumpai pada
kontrol dengan obesitas. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengidap diabetes tipe 2 mengalami
defisiensi relatif insulin dan tidak dapat mengompensasi peningkatan resistensi insulin yang
disebabkan oleh obesitas. Karena itu, obesitas berperan dalam timbulnya diabetes tipe 2. Peran
obesitas pada diabetes tipe 2 juga ditekankan oleh kenyataan bahwa penurunan berat badan pada
pengidap diabetes tipe 2 dengan obesitas dapat meringankan atau bahkan menghilangkan
penyakit. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa jaringan adiposa, dengan
menghasilkan hormon dan bahan bakar, merupakan suatu organ penting dalam patogenesis
resistensi insulin pada diabetes tipe 2. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh lemak (adipokin),
misalnya resistin, suatu protein yang banyak diproduksi oleh jaringan lemak pada mencit dengan
obesitas dan menyebabkan resistensi insulin di lemak dan otot, atau adiponektin, suatu protein
yang mungkin meningkatkan sensitivitas terhadap insulin (produksi protein ini menurun pada
13
mencit dengan obesitas), mungkin merupakan penghubung antara obesitas dan diabetes pada
manusia. Selain itu, produksi faktor nekrosis tumor (TNF) oleh jaringan lemak juga dapat
mengakibatkan resistensi insulin dengan merangsang dan menginaktifkan fosforilasi protein
penambat reseptor insulin, misalnya IRB-1. Bukti-bukti juga mengisyaratkan bahwa peningkatan
pengalihan glukosa ke jalur heksosamin, suatu proses yang digerakkan oleh glukosa atau asam
lemak dalam kadar tinggi, menurunkan kepekaan sel terhadap insulin. Karena itu, kelebihan
nutrien itu sendiri tampaknya juga dapat berperan meningkatkan prevalensi resistensi insulin
pada masyarakat kaya.8
Patofisiologi
Kasus diabetes terbanyak yang dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya
mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya
resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta
pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan
glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi
ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes
melitus. Kelainan dasar yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2:9
1. Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
2. Kenaikan produksi glukosa oleh hati
3. Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.2
Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang
kuat. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya
tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat
dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel-sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular
yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa
menembus membrane sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor pada membrane sel yang sel nya responsif terhadap insulin atau akibat ketidak
normalan responsif insulin yang intrinsik. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat
14
menggangu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah
insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%
pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin,
maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2.
Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan
pemulihan toleransi glukosa.9
Manifestasi Klinis
Manifestasi diabetes melitus bervariasi dari pasien ke pasien. Pertolongan medis paling
sering dicari karena gejala yang berkaitan dengan hiperglikemia (poliuria, polidipsia, polifagia),
tetapi kejadian pertama mungkin berupa dekompensasi metabolik akut yang menyebabkan koma
diabetik. Kadang-kadang penampakan awal berupa penyulit degeneratif seperti neuropati tanpa
hiperglikemia bergejala. Kekacauan metabolik pada diabetes disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif dan kelebihan glukagon absolut atau relatif. Normalnya terdapat peningkatan
rasio molar glukagon terhadap insulin yang menyebabkan dekompensasi metabolik. Perubahan
rasio ini dapat disebabkan oleh penurunan insulin atau kenaikan konsentrasi glukagon, sendiri-
sendiri atau bersama-sama. Secara konseptual, perubahan respons biologik terhadap salah satu
hormon dapat menyebabkan efek serupa. Karena itu resistensi insulin dapat menyebabkan efek
metabolik seperti peningkatan rasio glukagon/insulin meskipun rasio kedua hormon dalam
plasma yang dinilai dengan imunoassay tidak jelas abnormal atau bahkan menurun (glukagon
aktif secara biologik, insulin relatif inaktif).5
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisisensi
insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal; atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria akan mengakibatkan dieresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria)
dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami
keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar
(polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan
mengantuk.2,7,9
15
Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan didiagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes
toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya tidak mengalami ketoasidosis karena pasien
ini tidak defisiensi insulin secara absolute namun hanya relative. Sejumlah insulin tetap
disekresikan dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan
pasien tidak berespon terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obatan hipoglikemik oral,
mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya.2,9
Pencegahan
Pencegahan dibedakan menjadi pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier. Pencegahan primer merupakan semua aktivitas yang ditunjukan untuk
pencegahan timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada
populasi umum. Pencegahan sekunder yaitu menemukan pengidap DM sedini mungkin,
misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien
diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat
dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih
reversible. Pencegahan tersier merupakan semua upaya untuk mencegah komplikasi atau
kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi mencegah timbulnya komplikasi, mencegah
progesi dari pada komplikasi itu supaya tidak mejadi kegagalan organ dan mencegah kecacatan
tubuh.2,7
Beberapa tindakan yang harus dilakukan dalam rangka mencegah diabetes melitus tipe 2
adalah sebagai berikut:
1. Program penurunan berat badan
Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih,
penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM tipe-
2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penilitian menunjukkan penurunan berat badan 5-
10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe-2.2,7
2. Diet sehat
16
Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko. Jumlah asupan kalori
ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan
dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak)
glukosa darah yang tinggi setelah makan. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi
serat larut.2,7
3. Latihan jasmani
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau
menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol-HDL. Latihan
jasmani yang dianjurkan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan
aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal, atau 90 menit/minggu
dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal). Latihan
jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.2,7
4. Menghentikan merokok
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meski merokok
tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat
memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe-2.2,7
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor, yaitu:
(1) komplikasi metabolik akut, (2) komplikasi-komplikasi vaskuler jangka panjang. Komplikasi
diabetes terjadi akibat gangguan metabolik akut (hipo- atau hiperglikemia) atau, pada tahap
lanjut, akibat kerusakan mikro- dan makrovaskular, dimana risikonya tergantung pada kontrol
terhadap kadar glukosa dan faktor risiko vaskular konvensional. Komplikasi-komplikasi DM
akut meliputi:2,7
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD ditandai d engan kadar insulin menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan benda keton
(aseton, hidoksibutirat, asetoasetat). Peningkatan benda keton dalam plasma mengakibatkan
ketosis. Keadaan ketosis meningkatkan ion hidrogen dan asidosis metabolik. KAD ditangani
dengan perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, pemulihan keseimbangan
17
air dan elektronik, serta pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat keadaan
ketoasidosis.2,7
2. HONK (Hiperosmolar Non Ketotik)
HONK adalah komplikasi metabolik akut dari DM tipe 2 yang lebih tua. Keadaan
kekurangan insulin relatif, hiperglikema muncul tanpa ketosis. Kadar insulin yang tidak
cukup untuk mencegah hiperglikemia tetapi cukup untuk mencegah terjadinya ketosis.
Hiperglikemia yang berat (> 600 mg/dl) menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik
dan dehirasi berat.2,7
3. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Keadaan ini bisa terjadi bila pasien menerima/ menggunakan insulin terlalu banyak. Gejala
hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan hormon epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit
kepala, dan palpitasi). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya,
bila sering terjadi atau terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan otak
yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera
diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-kadang glukagon
(intramuskular) diberikan untuk meningkatkan kadar glukosa darah.2,7
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes mellitus akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati (pembuluh darah kapiler retina mata, ginjal)
maupun makroangiopati (pembuluh darah jantung, darah tepi, dan otak). Adanya pertumbuhan
sel dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes
mellitus. Perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel
otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan
pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya
komplikasi vaskular diabetes.2
Penatalaksanaan Non Medikamentosa
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari; pertama terapi
non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus,
kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
18
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang
telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan.
Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah
diterapkan sebelumnya. Penatalaksanaan non medikamentosa diabetes melitus tipe 2 yaitu:
1. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual. Beberapa manfaat dari terapi gizi medis yaitu menurunkan berat badan,
menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah,
memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, dan memperbaiki
sistem koagulasi darah. Tujuan terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:2,3
a. Kadar glukosa darah mendekati normal :
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dL
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dL
Kadar A1C <7%
b. Tekanan darah <130/80 mmHg
c. Profil lipid :
Kolesterol LDL <100 mg/dL
Kolesterol HDL >40 mg/dL
Trigliserida <150 mg/dL
d. Berat badan senormal mungkin
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik
dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor fisiologis seperti masa kehamilan,
masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lain-lain. Pada infeksi berat
dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi
khusus.2
2. Asupan jenis bahan makanan
a. Karbohidrat
19
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetesi tidak boleh lebih dari
55-65% total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika
dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA).
Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.2
b. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per
hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan
protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam
amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.2
c. Lemak
Mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini
sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin
A,D,E,dan K. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi
diabetesi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering
dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal dapat menurunkan kadar
trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL, dan meningkatkan kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang, dapat melinduni jantung, menurunkan
kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit.2
3. Latihan jasmani
Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satunya. Aktivitas
minimal dari otot skelet lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru,
dibutuhkan oleh semua orang yang termasuk diabetesi sebagai kegiatan sehari-hari, misalnya
bangun tidur, memasak, bekerja, berbicara, berfikir,. Jenis latihan jasmani bagi diabetesi
diantaranya jalan, jogging, berenang dan bersepeda, dengan durasi 30-60 menit. Kegiatan fisik
diabetisi (tipe 1 maupun 2), akan mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan
meningkatkan angka harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan ras nyaman, baik
secara psikis, fisik maupun sosial dan tampak sehat.2
20
Penatalaksanaan Medika Mentosa
Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid. Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin
menurunkan kadar glukosa darah melalu pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,
distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin tidak memiliki efek
stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan
berat badan. Merupakan obat pilihan utama pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Bila dengan monoterapi tidak berhasil, maka
dapat dilakukan kombinasi dengan SU.3
Glitazone merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposity, dan kerja insulin.
Sama seperti metformin, glitazone tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas
bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Pemakaian obat ini
dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan metformin. Pemakaian dengan insulin
tidak disarankan karena dapat mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan retensi
cairan.3
Golongan Sekretagok Insulin. Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi Sulfonil urea dan glinid.
Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atu mempertahankan sekresi insulin.3
Glinid juga bekerja melalui reseptor sulfonylurea dan mempunyai struktur yang mirip
dengan sulfonylurea, perbedaannya ialah masa kerja glinid yang pendek, oleh sebab itu diberikan
sebagai obat prandial.3
Penghambat Alfa Glukosidase. Obat ini memperlambat pemecahan dan penyerapan
karbohidrat kompleks dedngan menghambat enzim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding
enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Obat ini digunakan sebagai monoterapi
atau kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonylurea.3
Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (DDP-IV). Terdapat dua macam penghambat DPP-IV
yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin. DDP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia
maupun kenaikan berat badan.
21
Terapi Insulin. Pada penderita DM tipe 1 harus diberikan terapi insulin. Insulin diberikan secara
subkutan untuk memperpanjang masa kerja insulin.3
Golongan Incretin
1. Penghambat dipeptidyl peptidase IV (Penghambat DPP-IV)
Dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin.
Penggunaan sitagliptin 100 mg sekali sehari. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat
menurunkan HbA1c sebesar 0,79%-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post
prandial. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek
samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran
kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.2
2. GLP-1 Mimetik dan Analog
GLP-1 mimetik diberikan dalam bentuk injeksi subkutan satu atau dua kali sehari. Obat
golongan ini masih belum beredar di Indonesia. Contoh GLP-1 mimetik yaitu Contoh,
exenatide synthetic, yang penggunaannya 5 mcg per dosis subkutan menggunakan pena
prefilled 1,2 ml (60 dosis).2
Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes melitus tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diabetes
melitus tipe 2 prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi (meminimalkan) risiko
timbulnya komplikasi dengan baik. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan
risiko komplikasi, yaitu:
a. Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah gula), perbanyak
konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong, salak, tomat, semangka, dianjurkan
pisang ambon namun dalam jumlah terbatas)
b. Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)
c. Hindari konsumsi alkohol dan olahraga yang berlebihan
d. Pertahankan berat badan ideal
e. Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid.2
22
Kesimpulan
Diabetes melitus tipe 2 dapat diakibatkan oleh resistensi terhadap kerja insulin di jaringan
perifer maupun defisiensi relatif terhadap insulin. Diagnosis banding dari diabetes melitus tipe 2
yaitu diabetes melitus tipe 1, Latent Autoimun disease of Adult, dan diabetes melitus tipe lain
seperti Maturity Onset Diabetes of the Young. Untuk diagnosis diabetes melitus tipe 2, harus
dilakukan pemeriksaan penyaring bila dianggap perlu. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian
dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2
dapat dilakukan dengan pemberian obat golongan insulin sensitizing, sekretagok insulin,
incretin, dan insulin. Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan diabetes melitus tipe 2 yaitu
komplikasi DM akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia) dan
komplikasi DM kronik (retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung koroner, penyakit
pembuluh darah perifer). Prognosis dari diabetes melitus tipe 2 baik bila pasien bisa
meminimalkan risiko timbulnya komplikasi dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2007.h.11-177.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing;2010.h.1873-2052.
3. Brickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2009.h.508-60.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, Reksodiputro AH, et al. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:InternaPublishing; 2009.h.1880-95.
5. Sutedjo AY. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Yogyakarta:
Amara books, 2009.h. 116.
6. Welsby. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2010.h.116.
7. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h. 266-70.
8. Ganong WF, McPhee SI, Pendit BU, Dany F. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju
kedokteran klinis. Jakarta: EGC, 2010.h. 570-2.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC, 2005.h. 1260-9.
23
top related