demam tifoid case
Post on 06-Aug-2015
81 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu infeksi demam sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi melalui asupan makanan atau minuman yang
terkontaminasi.1-3 Sampai saat ini demam tifoid masih merupakan masalah
kesehatan, hal ini disebabkan antara lain oleh pertumbuhan penduduk yang cepat,
meningkatnya arus urbanisasi, kesehatan lingkungan yang kurang memadai,
penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, tingkat sosial ekonomi rendah
dan masalah pada pelayanan kesehatan meliputi keterlambatan diagnosis.4-6
Diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.2
Demam tifoid endemik di negara berkembang seperti di subkontinen India,
Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Amerika Tengah serta Afrika. Di India,
memberikan insiden tahunan lebih dari 900 per 100.000 populasi.4 Surveilans
Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
menunjukkan angka yang terus meningkat, pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan tahun
1994 menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Insiden demam tifoid bervariasi di setiap
daerah, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan
di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.7 Di Samarinda, selama
tahun 2007 terdapat lebih dari 3000 kasus demam tifoid, persentasinya sebesar
24,23% dibandingkan dengan penyakit infeksi pada usus, data ini berdasarkan
laporan bulanan 14 Puskesmas kota Samarinda.8
Kemampuan mengenali manifestasi klinis demam tifoid sangat penting
untuk membantu menegakkan diagnosis secara dini,7 tetapi ditemukannya gejala
klinis yang sama pada beberapa penyakit infeksi lainnya membuat diagnosis
klinik demam tifoid menjadi cukup sulit.2 Diagnosis pasti demam tifoid adalah
dengan isolasi atau kultur Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang, atau lesi
anatomis yang spesifik,2 dengan waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi
biasanya sekurang-kurangnya tiga hari, sedangkan keputusan untuk memberikan
1
2
terapi harus dilakukan segera. Serologi dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis.9 Uji Widal merupakan uji serologi yang paling banyak dipakai untuk
menunjang diagnosis termasuk di Indonesia, tetapi uji ini memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifisitas sedang dan seringkali menghasilkan positif atau
negatif palsu.2,6,10
1.2 Tujuan
Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang
di dapat.
Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan
kenyataan yang terdapat langsung pada kasus.
Mendiagnosa dengan cepat dan menyusun rencana tatalaksana yang
tepat kepada pasien.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : An. CF
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 5 tahun
Alamat : Sungai Keledang
MRS : 28 Oktober 2010
ANAMNESA
Alloanamnesa (oleh ibu kandung pasien), pada tanggal 28 Oktober 2010.
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam dialami pasien sejak 11 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
naik turun, mulai naik saat menjelang malam hari, dan turun pada saat pagi hari.
Pasien telah minum obat penurun panas tetapi tidak ada perubahan, bahkan
demam terasa semakin tinggi dalam 3 hari terakhir. Dua hari sebelum masuk
rumah sakit pasien mengigau bersamaan dengan kondisi tubuh pasien yang panas
sekali. Tidak ada menggigil. Pasien juga mengalami sakit kepala dan batuk yang
timbul bersamaan dengan demam hari pertama. Mual dan muntah dialami sejak 7
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien tampak sangat lemah, sulit makan dan
minum. Tidak ada bintik merah dan mimisan dan tidak ada nyeri pada anggota
4
badan. Pasien tidak bisa buang air besar 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak
ada mencret. Buang air kecil normal.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, pasien hanya
pernah menderita batuk, pilek dan diare yang sembuh dengan rawat jalan.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Puskesmas
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obatan yang diminum : Tablet penambah darah
Riwayat Kelahiran
Lahir di : Rumah, di tolong oleh : bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 8 bulan 2 minggu
Jenis partus : Spontan
Pemeliharaan Postnatal
Periksa di : Puskesmas
Keadaan anak : Sehat
Keluarga Berencana
Ya/Tidak : Ya
Memakai sistem : Pil
Sikap dan kepercayaan : Percaya
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 3.200 gr
Panjang badan lahir : 49 cm
Berat badan sekarang : 14 kg
5
Tinggi badan sekarang : 106 cm
Gigi keluar : 7 bulan
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 4 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 10 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berbicara 2 suku kata : 1 tahun
Masuk TK : 5 tahun
Makan Minum Anak
ASI : 0 bulan
Dihentikan : 2 tahun
Buah : 12 bulan
Bubur susu : 4 bulan
Tim saring : 8 bulan
Makanan padat dan lauknya : 12 bulan
Imunisasi
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV
BCG + //////// ///////// //////////
Polio + + + +
Campak + - //////////// //////////
DPT + + + //////////
Hepatitis B + + + //////////
6
Tifoid - - - -
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2010
Kesan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Nadi : 72 kali/menit
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Suhu badan : 36,9oC
Frekuensi nafas : 24 kali/menit
Berat badan : 14 kg
Panjang Badan : 106 cm
Status Gizi : Kurang
Kepala
Rambut merah : (-)
Ubun-ubun cekung : (-)
Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor dekstra = sinistra
(3 mm/3mm)
Hidung : Sumbat (-), sekret (-)
Telinga : Bersih, sekret (-)
Mulut :Bibir kering, lidah kotor dan tremor, faring
hiperemis (-), pembesaran tonsil (-/-)
Leher
7
Kaku kuduk : (-)
Pembesaran Kelenjar : (-)
Dada
Inspeksi : Gerakan simetris, bintik merah (-)
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
S1/S2 tunggal reguler
Bising : (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat
Palpasi : Nyeri tekan (+), hepar/lien tidak teraba, turgor baik
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia
Dalam batas normal.
Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), tes tourniquet (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 28 Oktober 2010)
Leukosit : 4.900 /mm3
Hb : 12,3 g/dl
Ht : 37,9 %
Trombosit : 189.000 /mm3
8
1/80 1/160 1/320
- Salmonela typhi - O (+) (+) (+)
- Salmonela typhi - H Negatif
- Salmonela paratyphi A - O Negatif
- Salmonela paratyphi A - H Negatif
- Salmonela paratyphi B - O (+) Negatif
- Salmonela paratyphi B – H Negatif
- Salmonela paratyphi C - O Negatif
- Salmonela paratyphi C - H Negatif
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 29 Oktober 2010)
Leukosit : 3.310 /mm3
Hb : 12,8 g/dl
Ht : 40,5 %
Trombosit : 93.000 /mm3
LED : 10
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 30 Oktober 2010)
Leukosit : 6.000 /mm3
Hb : 14,0 g/dl
Ht : 45,1 %
Trombosit : 54.000 /mm3
LED : 2
DDR : (-)
9
Dengue Ig G : (-)
Dengue Ig M : (+)
1/80 1/160 1/320
- Salmonela typhi - O (+) (+) (+)
- Salmonela typhi - H Negatif
- Salmonela paratyphi A - O Negatif
- Salmonela paratyphi A - H Negatif
- Salmonela paratyphi B - O (+) Negatif
- Salmonela paratyphi B – H Negatif
- Salmonela paratyphi C - O Negatif
- Salmonela paratyphi C - H Negatif
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 31 Oktober 2010)
Leukosit : 10.300 /mm3
Hb : 13,4 g/dl
Ht : 42,4 %
Trombosit : 59.000 /mm3
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 1 November 2010)
Leukosit : 8.710 /mm3
Hb : 11,9 g/dl
Ht : 39,6 %
Trombosit : 71.000 /mm3
10
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 2 November 2010)
Leukosit : 7.210 /mm3
Hb : 12,2 g/dl
Ht : 39,5 %
Trombosit : 172.000 /mm3
LED : 9
DIAGNOSIS KERJA SEMENTARA
Demam tifoid
PENATALAKSANAAN :
IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin 3 x 500 mg (iv)
Paracetamol syr 3 x 1½ cth
PROGNOSIS
Bonam.
11
FOLLOW UP
12
Pera
WatanS O A P
Hari I
Tgl
28/10/1
0
Batuk (+),
badan lemes
(+)
CM
TD: 100/60
mmHg
N: 72x/’
RR: 24x/’
T: 36,90C
Demam tifoid IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin 3 x 500 mg
(iv)
Paracetamol syr 3 x 1½
cth
Hari II
Tgl
29/10/1
0
Demam (-),
batuk (+) ,
mual (-),
muntah (-)
CM
TD: 100/60
mmHg
N: 76x/’
RR: 24x/’
T: 37,30C
Demam tifoid IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin 3 x 500 mg
(iv)
Paracetamol syr 3 x 1½
cth
Hari III
Tgl
30/10/1
0
Nyeri perut (+),
demam (-),
batuk (+) ,
mual (-),
muntah (-)
CM
TD: 100/70
mmHg
N: 80x/’
RR: 20x/’
T: 36,60C
Demam tifoid IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin 3 x 500 mg
(iv)
Paracetamol syr 3 x 1½
cth
13
Hari V
Tgl
1/11/10
Nyeri perut
(+) , demam
(-),
batuk (+) ,
mual (-),
muntah (-)
CM
TD: 90/70 mmHg
N: 72x/’
RR: 24x/’
T: 36,50C
Demam tifoid
+ Demam
dengue
IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin 3 x 500 mg
(iv)
Paracetamol syr 3 x 1½
cth
Antasida syr 3 x ¾ cth
Dehaf 1 x 1 sachet
Hari VI
Tgl
2/11/10
Nyeri perut
(+) , demam
(-),
batuk (-), mual
(-), muntah (-)
CM
TD: 100/80
mmHg
N: 84x/’
RR: 24x/’
T: 37,10C
Demam tifoid
+ Demam
dengue
IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin 3 x 500 mg
(iv)
Paracetamol syr 3 x 1½
cth
Antasida syr 3 x ¾ cth
Dehaf 1 x 1 sachet
Hari VII
Tgl
3/11/10
Nyeri perut
(+) , demam
(-),
batuk (-), mual
(-), muntah (-)
CM
TD: 100/80
mmHg
N: 80x/’
RR: 24x/’
T: 36,50C
Demam tifoid
+ Demam
dengue
Cefixime syr 3 x ¼ cth
KRS
14
15
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien dengan nama An.CF usia 5 tahun datang dengan keluhan demam.
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosa demam tifoid.
Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah Salmonella typhi,
kontak langsung atau tidak langsung dengan orang yang terinfeksi diperlukan
untuk infeksi.9 Terdapat dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu pasien
dengan demam tifoid akut dan yang lebih sering, karier kronik.11,12 Sekitar 3%
penderita demam tifoid menjadi pembawa bakteri yang tetap, menyimpan bakteri
dalam kandung empedu, saluran empedu, atau kadang-kadang dalam usus atau
saluran kemih.13 Kasus demam tifoid karier merupakan faktor resiko terjadinya
outbreak demam tifoid, seperti pada kasus Mary Mallon yaitu seorang wanita
karier demam tifoid yang bekerja menangani makanan telah menginfeksi
sedikitnya 78 orang dan 5 orang meninggal di USA.7,14 Oleh sebab itu, dalam
kasus ini telah ditanyakan dalam anamnesis apakah sebelumnya pasien perrnah
mengalami keluhan serupa untuk mencari kemungkinan pasien mengalami relaps
serta juga ditanyakan apakah pada keluarga ada yang mengalami keluhan serupa
untuk mencari sumber penularan.
Resiko penularan demam tifoid terjadi melalui rute fekal oral.10 Transmisi
terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan feses atau
urin dari pasien atau karier demam tifoid.15 Transmisi secara langsung dari tangan
ke mulut yang sebelumnya kontak dengan feses, urin, sekret pernapasan,
muntahan, atau pus dari individu yang terinfeksi dapat pula terjadi namun
jarang.16
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata
antara 10-14 hari. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia
16
melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminsai.
Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non
spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan
enzim yang dihasilkannya. Faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung adalah jumlah kuman yang masuk dan kondisi
asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi
sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman.17
Anamnesis:
Fakta Teori
• Demam 11 hari sebelum
MRS.
• Mengigau 2 hari sebelum
MRS.
• Sakit kepala 11 hari
sebelum MRS.
• Mual 7 hari sebelum MRS.
• Muntah 7 hari sebelum
MRS.
• Sulit buang air besar 2 hari
sebelum MRS.
• Tampak sangat lemah
Demam tifoid:
Demam naik secara bertahap tiap hari,
mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus
tinggi. Anak sering mengigau (derilium),
malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare atau konstipasi, muntah, perut kembung.
Pada demam tifoid berat dapat dijumpai
penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi dari yang ringan bahkan
asimtomatik sampai dengan berat. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi
namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam satu
minggu atau lebih, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran.17
17
Dalam kasus ini timbul gejala klinis berupa demam, sakit kepala, mual, dan
muntah yang timbul mulai dari hari pertama sakit. Berdasarkan literatur, pada
minggu pertama gejala klinis penyakit demam tifoid ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.7
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi dan tifoid kongenital.5 Demam naik secara bertahap tiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu keempat demam turun perlahan
secara lisis.15 Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam
lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya,18dalam
anamnesis kasus ini didapatkan data bahwa demam naik turun, mulai naik saat
menjelang malam hari, dan turun pada saat pagi hari.
Dalam minggu kedua pasien terlihat toksik dan lemah, gejala-gejala menjadi
lebih jelas berupa demam, pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala
sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau derilium atau obtundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.7 Pada kasus diketahui bahwa
pasien mulai mengigau dua hari sebelum masuk rumah sakit bersamaan dengan
kondisi tubuh pasien yang panas sekali dan pasien tampak sangat lemah.
Pada minggu ketiga gejala akan kelihatan lebih jelas lagi yaitu perut terasa
sakit sekali, tidak buang air besar, denyut nadi cepat dan lemah, kesadaran
menurun dan kadang-kadang sampai tidak sadar. Pada stadium ini dapat terjadi
perdarahan usus, lalu disusul kematian.19 Pada pasien yang bertahan sampai
minggu keempat, demam, status mental, dan distensi abdomen secara perlahan
mulai membaik tetapi komplikasi saluran cerna masih terjadi. Pemulihan biasanya
berlangsung lambat.15
18
Pemeriksaan fisik:
Fakta Teori
Compos mentis
TD = 100/60 mmHg
Nadi = 72x/menit
Suhu = 36,90C
Kepala: bibir kering, lidah kotor
dan tremor
Dada: bintik merah (-), ronki (-/-)
Abdomen: hepar dan lien tidak
teraba, tympani, BU (+) normal
Kesadaran menurun, derilium
Suhu badan meningkat
Bradikardi relatif jarang dijumpai pada
anak
Bibir kering dan pecah-pecah
Lidah tampak kotor dengan putih di
tengah sedangkan tepi dan ujungnya
kemerahan.
Rose spot
Ronki dapat terdengar
Hepatomegali, splenomegali,
meteorismus
Pada pemeriksaan fisik seharusnya didapatkan suhu badan meningkat,
karena selama minggu kedua penyakit, demam tinggi bertahan. Tetapi, dalam
kasus ini suhu badan pasien dalam batas normal. Hal ini dapat disebabkan karena
pasien telah minum obat penurun panas sebelum dilakukannya pemeriksaan. Pada
pasien perlu dilakukan pemeriksaan suhu pada sore atau malam hari sebelum
diberikannya antipiretik untuk menacri bukti kebenaran laporan orangtua pasien
bahwa suhu lebih meningkat menjelang malam hari.
Bradikardi relatif dibandingkan dengan tingginya suhu tubuh dapat
menjadi petunjuk klinis pada tifoid, tetapi hanya ditemukan pada sebagian kecil
pasien. Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit) jarang dijumpai pada anak.1,18
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-
pecah. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah nampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila
19
penyakit makin progresif akan terjadi desquamasi epitel, sehingga papilla lebih
prominen.5
Bintik merah muda (rose spot), lebih sering terjadi pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan
selama 2-3 hari. Rose spots yang disebabkan oleh embolisasi bakteri di mana
didalamnya mengandung kuman Salmonella merupakan suatu ruam
makulopapular yang berwarna merah pucat dengan ukuran 2-4 mm, yang dapat
menghilang jika ditekan, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, torak,
ekstremitas, dan punggung orang kulit putih. Bintik merah muda juga dapat
berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat
pada pasien berkulit gelap. Tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
Indonesia.5,18
Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama
bahkan menganggap bronkitis sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Limpa
umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria, pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.18
Pemeriksaan penunjang:
Fakta Teori
28 Oktober 2010
Leukosit : 4.900 /mm3
Hb : 12,3 g/dl
Ht : 37,9 %
Trombosit : 189.000 /mm3
Salmonela typhi O (+ 1/320)
29 Oktober 2010
Anemia
Leukopenia
Limfositosis relatif
Trombositopenia
Serologi Widal: kenaikan titer
Salmonella typhi O
Biakan darah terutama pada minggu 1-
2 dari perjalanan penyakit.
Biakan feses dan urin positif biasanya
20
Leukosit : 3.310 /mm3
Hb : 12,8 g/dl
Ht : 40,5 %
Trombosit : 93.000 /mm3
LED : 10
30 Oktober 2010
Leukosit : 6.000 /mm3
Hb : 14,0 g/dl
Ht : 45,1 %
Trombosit : 54.000 /mm3
LED : 2
DDR : (-)
Dengue Ig G : (-)
Dengue Ig M : (+)
Salmonela typhi O (+ 1/320)
31 Oktober 2010
Leukosit : 10.300 /mm3
Hb : 13,4 g/dl
Ht : 42,4 %
Trombosit : 59.000 /mm3
1 November 2010
Leukosit : 8.710 /mm3
Hb : 11,9 g/dl
Ht : 39,6 %
pada minggu kedua, ketiga.
Biakan sumsum tulang masih positif
sampai minggu ke-4.
21
Trombosit : 71.000 /mm3
2 November 2010
Leukosit : 7.210 /mm3
Hb : 12,2 g/dl
Ht : 39,5 %
Trombosit : 172.000 /mm3
LED : 9
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopeni. Laju endap
darah pada demam tifoid dapat meningkat.7 Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid. Uji serologi Widal merupakan suatu metode serelogik untuk mendeteksi
antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O (pada hari ke 6-8), kemudian diikuti dengan aglutinin H (pada hari 10-
12). Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Antibodi Vi
secara khas meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang
berguna pada diagnosis dini infeksi. Peran widal dalam diagnosis demam tifoid
sampai saat ini masih kontroversi dan uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.1,2,5,7
22
Ada 2 metode yang sampai saat ini dikenal yaitu Widal cara tabung
(konvensional) dan cara slide. Tidak ada kepustakaan yang menyebutkan nilai
titer Widal yang absolut untuk memastikan diagnosis demam tifoid. Hasil negatif
palsu pemeriksaan Widal disebabkan karena pengaruh antibiotik sebelumnya.
Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan Enterobacteriaceae lain
sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu juga dapat terjadi
pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria dan sirosis. Spesifisitas
pemeriksaan widal kurang begitu baik karena Salmonella yang lain juga memiliki
antigen O dan H.2 Sensitivitas pemeriksaan widal kurang begitu baik karena
adanya sejumlah penderita dengan hasil biakan positif tetapi tidak pernah
dideteksi adanya antibodi dengan tes ini.5
Pada kasus ini sampel darah diambil pada minggu kedua sakit, dan
dilakukan sebanyak 2 kali, dengan waktu perbedaan pengambilan sampel hanya 1
hari, didapatkan hasil uji Widal yang sama untuk pemeriksaan pertama ataupun
yang kedua yaitu titer O 1/320 dan titer H negatif. Tes Widal tidak dapat dipakai
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid bila hanya dilakukan satu
kali saja.5 Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh
dengan selang waktu 7-10 hari. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut, titer O yang
tinggi atau kenaikan titer O ( 1:160) menunjukkan adanya infeksi aktif, titer H
yang tinggi ( 1:160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah divaksinasi atau
pernah terkena infeksi, titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa
bakteri (karier).13 Jadi dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa pasien mengalami
infeksi pertama kali dan infeksi sedang aktif.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu pengobatan dini
dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid,
waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non-endemik, riwayat vaksinasi,
reaksi anamnestik yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, dan faktor teknik
pemeriksaan antar laboratorium.7
23
Diagnosis pasti dengan ditemukan kuman Salmonella typhi pada salah satu
biakan darah, feses, urin, sumsum tulang, cairan duodenum, atau dari rose spots.
Kultur darah adalah metode diagnosis standar (golden standard) tetapi pada kasus
ini kultur darah ataupun pemeriksaan bakteriologis lainnya tidak dilakukan, hal ini
dapat dikarenakan karena pada saat masuk rumah sakit pasien memberikan respon
yang baik terhadap pemberian terapi antibiotik dan pasien sudah tidak mengalami
demam. Waktu pengambilan darah yang paling baik adalah pada saat demam
tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik. Karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik
kuman sudah sukar ditemukan dalam darah. Metode biakan darah mempunyai
spesifisitas tinggi (95%) akan tetapi sensitivitasnya rendah (± 40%) terutama pada
anak dan pada pasien yang sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.10,17
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid.7 Hasil negatif mungkin
disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik yang menyebabkan pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat.7 Hal ini dapat diminimalisasi dengan
menggunakan sistem kultur darah otomatis dengan media kultur yang
dilengkapi dengan resin untuk mengikat antibiotik.20
2. Volume darah yang kurang. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan
bisa negatif. 2
3. Riwayat vaksinasi.7
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.7
Jadi, pada kasus ini hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
menunjang sangat mendukung diagnosis demam tifoid, walaupun pemeriksaan
golden standard tidak dilakukan.
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
24
bronkitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan.18
Pada perawatan hari kelima pasien didiagnosis demam dengue, jika dilihat
dari follow up diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil Dengue blot IgG dan
IgM. Pada demam dengue masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8
hari). Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri
kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil dan malaise.
Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan
timbulnya ruam. Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan
mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola
mata, punggung otot, sendi dan disertai rasa mengigil. Pada beberapa penderita
dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi
pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien
sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.18 Dimana, dalam kasus ini demam
selama 11 hari terjadi secara terus-menerus, tidak ditemukan adanya periode
bebas demam, serta tidak ditemukan adanya ruam, artinya dari anamnesis kurang
mendukung diagnosis demam dengue, hal ini dapat dikarenakan adanya
kemungkinan pada seorang pasien terjadi dua infeksi bersamaan.
Hasil pemeriksaan laboratorium demam dengue yaitu leukopeni selama
periode para demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia yang disusul
oleh neutropenia dan limfositosis. Sel plasma meningkat pada masa
memuncaknya penyakit dan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi
normal kembali dalam waktu 1 minggu.18 Jika dilihat hasil pemeriksaan
laboratorium darah tepi maka sangat sukar dibedakan apakah seorang pasien
sedang menderita demam tifoid dan atau demam dengue.
Dengue blot merupakan teknik yang baru dikembangkan dan merupakan
uji serologis dengue yang banyak dipakai saat ini. Uji ini dipakai untuk
mendeteksi adanya antibodi yang reaktif terhadap virus dengue serotipe 1, 2, 3
dan 4 dalam plasma atau serum penderita yang dicurigai menderita demam
25
dengue/demam berdarah dengue. Infeksi primer dan sekunder dibedakan melalui
respon imum yang tampak dari titer IgM dan IgG, yang kinetiknya mengalami
perubahan menyolok pada 3 fase yakni fase akut (sakit hari ke 2-4), fase
konvalesen dini (sakit hari ke 8-11) dan fase konvalesen (setelah hari ke 15). IgM
terdeteksi sejak hari ke 4-5 pada infeksi sekunder, dan sejak hari ke 5-10 pada
infeksi primer, meningkat sampai 3 minggu, menghilang setelah 60-90 hari. IgG
pada infeksi primer terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder terdeteksi
pada hari ke 2.
Gambar 3.1 Immune response to dengue infection.
Tabel 3.1 Interpretasi dari pemeriksaan IgM dan IgG
IgM IgG Interpretations
(+) (-) Primary infection
(+) (+) Secondary infection
(-) (+) Suspected secondary infection
(-) (-) Not DV infection
26
Penatalaksanaan:
Fakta Teori
IVFD D5 ½ NS 14 tpm
Amoxicillin syr 3 x 500 mg (iv)
Paracetamol syr 3 x 1½ cth
Antasida syr 3 x ¾ cth
Dehaf 1 x 1 sachet
Medikamentosa
Antibiotik: kloramfenikol (drug of
choice), amoksisilin, kotrimoksazol,
seftriakson, sefiksim
Kortikosteroid diberikan pada kasus
berat dengan gangguan kesadaran
Bedah
Pada penyulit perforasi usus.
Suportif
Tirah baring
Isolasi memadai
Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid
harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis
besar ada 3 bagian yaitu perawatan, diet, dan obat,5 yang masing-masing bertujuan
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan, mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian antimikroba dengan
tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.7
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi serta pengobatan. Pasien tetap berbaring sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari, keadaan ini sangat diperlukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Pemberian
cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita demam tifoid sering
27
menderita demam tinggi, anoreksia, dan diare sehingga keseimbangan cairan
sangat penting diperhatikan. Antipiretik diberikan bila suhu diatas 38,5o C. Terapi
dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan
bebas serat dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat
diberikan makanan lebih padat dengan kalori yang adekuat.17
Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Salmonella dapat
dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut:17
1. Spektrum sempit
2. Penetrasi ke jaringan cukup baik
3. Cara pemberian mudah untuk anak
4. Tidak mudah resisten
5. Efek samping minimal
6. Adanya bukti efikasi klinis
Tabel 3.2 Penggunaan antibiotik yang dianjurkan
Antibiotik Dosis
Lini pertama
Kloramfenikol 50-100 mg/kgbb/hari secara intravena
dalam 4 dosis selama 10-14 hari (tidak
dianjurkan pada leukosit < 2000/ul)
Ampisilin
Amoksisilin
100-200 mg/kgBB/hari
100 mg/kgBB/hari
Kotrimoksazol 10 mg/kgbb/hari trimetoprim, dibagi 2
dosis, selama 14 hari.
Lini kedua
(demam tifoid
yang resisten
terhadap obat)
Seftriakson 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal
selama 10 hari.
Sefiksim 10-12 mg/kgbb/hari peroral, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari.
Fluorokuinolon:
28
Siprofloksasin
Ofloksasin
10 mg/kg/bb/hari dalam 2 dosis
10-15 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis
Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan
data adanya angka kejadian dema tifoid yang bersifat multidrug resistant. Saat
redanya demam merupakan parameter keberhasilan pengobatan. Bila suhu turun,
berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau
kuman penyebab multidrug resistant Salmonella typhi. Pemberian kortikosteroid
juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status
kesadaran derilium, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan dengan
dosis awal 3 mg/kgbb, diikuti dengan 1 mg/kgbb setiap 6 jam selama 2 hari.17
Pada laporan kasus ini pasien mendapat terapi antibiotik amoxicillin 3 x
500 mg melalui intravena, menunjukkan respon pengobatan yang baik.
Amoksisilin memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun
penurunan demam lebih lama dan lebih efektif untuk mengobati karier serta
kurang toksisitas. Seharusnya pemberian amoksisilin dilanjutkan selama 14 hari
tetapi pada kasus ini hanya diberikan selama 7 hari perawatan. Untuk obat pulang,
pasien diberi cefixime syr 3 x ¼ cth, sebenarnya sefiksim merupakan obat lini ke
dua yang diberikan hanya pada kasus resisten. Pengguanaan antibiotik yang tidak
sesuai dapat meningkatkan terjadinya resistensi.17
Dari table follow up tampak bahwa pasien mendapat terapi antasida syr 3 x
¾ cth, ini merupakan terapi simtomatis untuk keluhan nyeri perut pasien. Pasien
juga mendapat Dehaf yang mengandung Psidium guajava extr 0.78 g, Phyllanthus
urinaria extr 0.78 g, Carica papaya extr 2.1 g, Curcuma aeruginosa extr 0.96 g,
Curcuma domestica rhizoma extr 1.38 g, yang diindikasikan sebagai suplemen
pada pasien dengan demam dengue hemorrhagic fever. Pasien tidak didiagnosis
sebagai penderita dengue hemorrhagic fever tetapi kandungan Dehaf yang
dipercaya dapat mempercepat terjadinya peningkatan trombosit agar tidak terjadi
manifestasi perdarahan. Jadi dalam kasus ini, pemberian Dehaf bersifat supportif.
Monitoring perlu dilakukan yaitu evaluasi demam. Apabila pada 4-5 hari
setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi
29
adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap
antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat
dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan
membaik, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Relaps dapat timbul
beberapa kali. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia.18
Komplikasi demam tifoid pada anak saat ini semakin jarang dijumpai oleh
karena sejak awal penyakit pada umumnya telah mendapat terapi antibiotik.
Komplikasi dapat terjadi di dalam saluran cerna maupun di luar saluran cerna.
Komplikasi di dalam saluran cerna berupa peritonitis, perdarahan, dan perforasi,
sedangkan komplikasi di luar saluran cerna adalah pneumonia, meningitis,
osteomielitis, hepatitis, dan ensefalopati.10
Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki
sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan
vaksin terhadap demam tifoid.17
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Keusch GT. Salmonelosis. Dalam: Asdie A (Ed.), Harisson Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 E/13. Jakarta: EGC; 1999. Hal. 755-758.
2. World Health Organization. Background Document: The diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Initiative for Vaccine Research of the Department of Vaccines and Biologicals in collaboration with Epidemic Disease of the Control Department of Communicable Disease Surveillance and Response. (online); 2003. (http://www.who.int/vaccines-documents/, diakses 4 Desember 2008).
3. Davey P. Tifoid. Dalam: Safitri A (Ed.), At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2005. Hal. 298.
4. Pegues DA, Ohl ME, Miller SI. Salmonella Species, Including Salmonella Typhi. Dalam: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease Edisi 6 Volume 2. United States of America: Elsevier Churchill Livingstone; 2005. Hal. 2638.
5. Rampengan TH, Laurents IR. Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC; 1993. Hal. 53-71.
6. Muliawan SY, Surjadwijaja JE. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Tifoid di Rumah Sakit. Cermin Dunia Kedokteran. (online); 1999. No. 124,(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08.html, diakses 4 Desember 2008).
7. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW dkk (Eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. Hal. 1774-1779.
8. Laporan Bulanan Data Kesakitan Tahun 2007. 2008. Dinas Kesehatan Kota Samarinda bagian Pelayanan Kesehatan.
9. Cleary TG, Ashkeazi S. Infeksi Salmonella. Dalam: Behrman RE, KliegmanRM, Jenson HB (Eds.), Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC; 1999. Hal. 970-973.
10. Hadinegoro SR. Demam Tifoid pada Anak. Makalah disajikan dalam simposium Masalah Alergi dan Penyakit Infeksi pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur Komisariat Kalimantan Timur: IDAI Wilayah Propinsi Kalimantan Timur; 2004. Hal. 1-8.
31
11. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. Dalam: Kasper DL (Ed.), Harrison’s Principles of Internal Medicine Edisi 15 Volume 1. New York: McGraw-Hill; 2004. Hal. 970-973.
12. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. (Eds.). Demam Tifoid. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000. Hal. 421-423.
13. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Batang Gram Negatif Enterik. Dalam: Irawati S (Ed.), Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996. Hal. 243-245.
14. Pollack DV. Salmonella Enterica Typhi. (online); 2003. (http://web.uconn.edu/mcbstaff/graf/Student%20presentations/studentpresentations.html, diakses 19 Januari 2009).
15. Gillespie S. Salmonella Infections. Dalam: Cook G, Zumla A (Eds.), Manson’s Tropical Disease. London : ELST; 2003. Hal : 937-943.
16. Lee TP, Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam: Strickland GT. Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease. United States of America: W.B. Saunders Company; 2000. Hal. 471-483.
17. Tumbelaka AR. Tata Laksana Demam Tifoid pada Anak. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDAI Jaya. Malang: IDAI Cabang Jawa Timur; 2005. Hal. 37-43.
18. Soedarmo SP. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung Seto; 2002. Hal. 338-345.
19. Rasmillah. Thypus. (online); 2001. (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rasmillah5.pdf, diakses 4 Desember 2008).
20. Novianti T. Pemeriksaan Anti Salmonella Typhi IgM untuk Diagnosis Demam Tifoid. Informasi Laboratorium Klinik Prodia. (online); 2006. (http://www.prodia.co.id, diakses 4 Desember 2008).
top related