definisi lansia 2.doc
Post on 10-Dec-2015
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
1. Lansia
1.1. Pengertian Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009).
Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia (lansia)
dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas
minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia yang masih menganggap
dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak
memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang
menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya.
Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan
yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Potter & Perry, 2009).
1.2. Batasan Umur Lanjut Usia
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2
yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama
(fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun,
ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65
hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age):
> 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi
menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun),
dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
1.3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan
Depkes RI (2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri dari : pralansia
(prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang
yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa,
lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
1.4. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun
(sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan
masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan
biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi
maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam dkk, 2008).
1.5. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000 dalam
Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Tipe arif bijaksana. Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
Tipe mandiri. Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan
banyak menuntut.
Tipe pasrah. Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
Tipe bingung. Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe
putus asa (benci pada diri sendiri).
1.6. Proses Penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang
dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang sampai pada keseluruhan sistem. (Stanley, 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah
sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami
penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan
(Maryam dkk, 2008).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang
tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi
secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi. Proses
penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang
tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan seseorang mulai menurun. Setiap orang
memiliki fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal
pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya fungsi
fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun. Setelah mencapai
puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat,
kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan bertambahnya usia
(Mubarak, 2009).
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara
biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka
kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan
kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher, 2009). Oleh karena itu, perlu
perlu membantu individu lansia untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal
meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer, 2001).
1.7. Teori-Teori Proses Penuaan
Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan
proses penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori
spiritual.
1.7.1. Teori biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow
theory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
Teori genetik dan mutasi. Menurut teori genetik dan mutasi, semua
terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai
akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan
setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
Immunology slow theory. Menurut immunology slow theory, sistem imun
menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh
yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Teori stres. Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya
sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
Teori radikal bebas. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak
stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-
bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel
tidak dapat melakukan regenerasi.
Teori rantai silang. Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi
kimia sel-sel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan, dan hilangnya
fungsi sel.
1.7.2. Teori psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar
pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya
penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan
untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan
muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
1.7.3. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement
theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory),
teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age
stratification theory).
a. Teori interaksi sosial. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia
bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga
menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah
harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
b. Teori penarikan diri. Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita
lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara
perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
c. Teori aktivitas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas
serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas
dan aktivitas yang dilakukan.
d. Teori kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam
siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat
terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak
berubah meskipun ia telah menjadi lansia.
e. Teori perkembangan. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses
menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia
terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun
negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua
yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
f. Teori stratifikasi usia. Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa
pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan
untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap
kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya
dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat
dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa
stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas
dan kelompok etnik.
1.7.4. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan.
1.8. Tugas Perkembangan Lansia
Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi
seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu,
namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh
akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan
perubahan normal. Adanya penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya
perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi
terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa
pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan,
menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang
memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa,
menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).
2. Kebutuhan
2.1. Defenisi Kebutuhan
Menurut Maslow (2008) kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan oleh
manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, sehingga bila ada di antara
kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia akan merasa tidak
sejahtera atau kurang sejahtera. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan adalah suatu
hal yang harus ada, karena tanpa itu hidup kita menjadi tidak sejahtera atau
setidaknya kurang sejahtera ( Safrila, 2008).
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis,
yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan.
Kebutuhan dasar manusia adalah seperti makanan, air, keamanan, dan cinta yang
merupakan hal yang paling penting untuk bertahan hidup dan kesehatan.
Walaupun setiap orang mempunyai sifat tambahan, kebutuhan yang unik, setiap
orang mempunyai kebutuhan dasar manusia yang sama. Besarnya kebutuhan
dasar yang terpenuhi menentukan tingkat kesehatan dan posisi pada rentang sehat-
sakit (Potter & Perry, 2005).
2.2. Ciri-Ciri Kebutuhan
Manusia memiliki kebutuhan dasar bersifat heterogen. Setiap orang pada
dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena terdapat perbedaan
budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam memenuhi
kebutuhannya, manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika
gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berpikir lebih keras dan bergerak
untuk berusaha mendapatnya (Hidayat, 2009).
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan
Menurut Hidayat (2009) Kebutuhan dasar manusia dipengaruhi oleh
berbagai faktor berikut:
a. Penyakit. Adanya penyakit dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan
pemenuhan kebutuhan, baik secara fisiologis maupun psikologis, karena
beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar
dari biasanya.
b. Hubungan keluarga. Hubungan keluarga yang baik dapat meningkatkan
pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya, merasakan
kesenangan hidup, tidak ada rasa curiga, dan lain-lain.
c. Konsep diri. Konsep diri manusia memiliki peran dalam pemenuhan
kebutuhan dasar. Konsep diri yang positif memberikan makna dan keutuhan
(wholeness) bagi seseorang. Konsep diri yang sehat menghasilkan perasaan
positif terhadap diri. Orang yang merasakan positif tentang dirinya akan
mudah berubah, mudah mengenali kebutuhan dan mengembangkan cara hidup
yang sehat, sehingga mudah memenuhi kebutuhan dasarnya.
d. Tahap perkembangan. Sejalan dengan meningkatnya usia, manusia mengalami
perkembangan. Setiap tahap perkembangan tersebut memilki kebutuhan yang
berbeda, baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual,
mengingat berbagai fungsi organ tubuh juga mengalami proses kematangan
dengan aktivitas yang berbeda.
3. Istirahat Tidur
3.1. Pengertian Istirahat Tidur
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi
oleh semua orang. Dengan istirahat dan tidur yang cukup, tubuh baru dapat
berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur sendiri memiliki makna yang berbeda
pada setiap individu (Mubarak, 2007).
Istirahat tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh
ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang
dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda.
Tidur merupakan kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh
stimulus atau sensori yang sesuai (Guyton, 1986), atau juga dapat dikatakan
sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh
ketenangan tanpa kegiatan, tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang
berulang, dengan ciri adanya aktivitas yang minim, memiliki kesadaran yang
bervariasi, terdapat perubahan proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons
terhadap rangsangan dari luar (Hidayat, 2006).
3.2. Karakteristik Istirahat
Terdapat beberapa karakteristik dari istirahat. Misalnya, Narrow (1967)
yang dikutip oleh Perry dan Potter 1993 mengemukakan enam karakteristik yang
berhubungan dengan istirahat, di antaranya: merasakan bahwa segala sesuatu
dapat diatasi, merasa diterima, mengetahui apa yang sedang terjadi, bebas dari
gangguan ketidaknyamanan, mempunyai sejumlah kepuasan terhadap aktivitas
yang mempunyai tujuan, mengetahui adanya bantuan sewaktu memerlukan
(Hidayat, 2006).
Kebutuhan istirahat dapat dirasakan apabila karakteristik tersebut di atas
dapat terpenuhi. Hal ini dapat dijumpai apabila pasien merasakan segala
kebutuhannya dapat diatasi dan adanya pengawasan maupun penerimaan dari
asuhan keperawatan yang diberikan sehingga dapat memberikan kedamaian.
Apabila pasien tidak merasakan enam kriteria tersebut di atas, maka kebutuhan
istirahatnya masih belum terpenuhi sehingga diperlukan tindakan keperawatan
yang dapat meningkatkan terpenuhinya kebutuhan istirahat dan tidur, misalnya
mendengarkan secara hati-hati tentang kekhawatiran personal pasien dan mencoba
meringankannya jika memungkinkan (Hidayat, 2006).
Pasien yang mempunyai perasaan tidak diterima tidak mungkin dapat
beristirahat dengan tenang. Oleh sebab itu, perawat harus sensitif terhadap
kekhawatiran atau masalah yang dialami pasien. Pengenalan pasien terhadap apa
yang akan terjadi adalah keadaan lain yang penting agar dapat beristirahat.
Adanya ketidaktahuan akan menimbulkan kecemasan dengan tingkat yang
berbeda-beda dan dapat menimbulkan gangguan pada istirahat pasien sehingga
perawat harus membantu memberikan penjelasan kepada pasiennya. Agar pasien
merasa diterima dan mendapatkan kepuasan, maka pasien harus dilibatkan dalam
melaksanakan berbagai aktivitas yang mempunyai tujuan sehingga pasien merasa
dihargai tentang kompetensi yang ada pada dirinya. Pasien akan merasa aman jika
mengetahui bahwa ia akan mendapat bantuan yang sesuai dengan yang
diperlukannya. Pasien yang merasa terisolasi dan kurang mendapat bantuan tidak
akan dapat istirahat, sehingga perawat harus dapat menciptakan suasana agar
pasien tidak merasa terisolasi dengan cara melibatkan keluarga dan teman-teman
pasien. Keluarga dan teman-teman pasien dapat meningkatkan kebutuhan istirahat
pasien dengan cara membantu pasien dalam tugas sehari-hari dan dalam
mengambil keputusan yang sulit (Hidayat, 2006).
3.3. Kondisi Untuk Istirahat yang Cukup
Dalam memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur dibutuhkan kondisi yang
yang cukup agar kebutuhan istirahat dan tidur tersebut dapat dipenuhi. Adapun
kondisi untuk istirahat yang cukup menurut Potter & Perry (2006) adalah sebagai
berikut:
a. Kenyaman fisik antara lain : eliminasi sumber-sumber yang mengiritasi kulit,
kontrol sumber nyeri, kontrol suhu ruangan, pertahankan kesejajaran anatomis
yang tepat atau posisi yang sesuai, pindahkan distraksi lingkungan, sediakan
ventilasi yang cukup.
b. Bebas dari kecemasan dengan cara buat keputusan sendiri, berpartisipasi di
dalam pelayanan kesehatan, praktikkan aktivitas yang mengistirahatkan secara
teratur, mengetahui bahwa lingkungan aman.
c. Tidur yang cukup sehingga memperoleh jumlah jam tidur yang dibutuhkan
untuk merasa segar kembali dengan mengikuti kebiasaan hygiene yang baik
sebelum tidur.
3.4. Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan
menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktivitas tidur ini
diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur
seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan
dan tidur. Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mensensefalon dan bagian atas pons. Selain itu, reticular activating system (RAS)
dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan juga
dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangasangan emosi dan
proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan
katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, kemungkinan
disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons
dan batang otak tengah, yaitu bulbar synchoronizing regional (BSR), sedangkan
bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima dipusat otak dan
sistem limbik. Dengan demikian, sistem pada batang otak yang mengatur siklus
atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2006).
3.5. Fungsi Dan Tujuan Tidur
Tidur diyakini bahwa dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan
mental, emosional, kesehatan, mengurangi stres pada paru, kardiovaskular,
endokrin, dan lain-lain. Energi disimpan selama tidur, sehingga dapat diarahkan
kembali pada fungsi seluler yang penting. Secara umum terdapat dua efek
fisiologis dan tidur; pertama, efek pada sistem saraf yang diperkirakan dapat
memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf;
dan kedua, efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi
dalam organ tubuh karena selama tidur terjadi penurunan (Hidayat, 2006).
3.6. Kebutuhan Tidur
Kebutuhan tidur pada manusia bergantung pada tingkat perkembangan.
Berikut ini tabel merangkum kebutuhan tidur manusia berdasarkan usia (Hidayat,
2006).
Table 1. Kebutuhan tidur manusia berdasarkan usia
Usia Tingkat Perkembangan Jumlah Kebutuhan Tidur
0-1 bulan Masa neonates 14-18 jam/hari
1 bulan-18 bulan Masa bayi 12-14 jam/hari
18 bulan-3 tahun Masa anak 11-12 jam/hari
3 tahun-6 tahun Masa prasekolah 11 jam/hari
6 tahun-12 tahun Masa sekolah 10 jam/hari
12 tahun-18 tahun Masa remaja 8,5 jam/hari
18 tahun-40 tahun Masa dewasa muda 7-8 jam/hari
40 tahun-60 tahun Masa paruh baya 7 jam/hari
60 tahun ke atas Masa dewasa tua 6 jam/hari
3.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Istirahat Tidur
Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setiap orang berbeda-beda. Ada yang
kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Ada pula yang mengalami gangguan
kualitas dan kuantitas istirahat dan tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur
sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Asmadi (2008) di antara faktor yang dapat
mempengaruhinya adalah:
a. Status kesehatan. Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia
dapat tidur dengan nyenyak. Tetapi pada orang yang sakit dan rasa nyeri,
maka kebutuhan istirahat tidurnya tidak dapat dipenuhi dengan baik sehingga
ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Misalnya, pada klien yang menderita
gangguan pada sistem pernapasan. Dalam kondisinya yang sesak napas, maka
seseorang tidak mungkin dapat istirahat dan tidur.
b. Lingkungan. Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang
untuk istirahat dan tidur. Pada lingkungan yang tenang memungkinkan
seseorang akan istirahat dan tidur dengan tenang. Sebaliknya lingkungan yang
ribut, bising dan gaduh akan menghambat seseorang untuk istirahat dan tidur.
c. Stres psikologis. Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada
frekuensi istirahat dan tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas
akan meningkatkan norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis. Zat ini
akan mengurangi tahap IV NREM dan REM.
d. Diet. Makanan yang banyak mengandung L-Triptofan seperti keju, susu,
daging, dan ikan tuna dapat menyebabkan seseorang mudah tidur. Sebaliknya,
minuman yang mengandung kafein maupun alkohol akan mengganggu tidur.
e. Gaya hidup. Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Kelelahan
tingkat menengah orang dapat tidur dengan nyenyak. Sedangkan pada
kelelahan yang berlebihan akan menyebabkan periode tidur REM lebih
pendek.
f. Obat-obatan. Obat-obatan yang dikonsumsi seseorang ada yang berefek
menyebabkan tidur, ada pula yang sebaliknya mengganggu tidur.
Selain faktor-faktor di atas, motivasi juga dapat mempengaruhi kebutuhan
istirahat dan tidur. Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang
untuk tidur, yang dapat memengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan
untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur (Hidayat,
2006).
3.8. Tahapan Tidur
Normal tidur dibagi menjadi dua yaitu nonrapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Selama masa NREM seseorang terbagi menjadi
empat tahapan dan memerlukan kira-kira 90 menit sebelum tidur berakhir.
Tahapan-tahapan tidur tersebut menurut Tarwoto dan Wartonah (2006) adalah
sebagai berikut:
a. Tahapan tidur NREM terdiri dari :
1) NREM tahap 1 ditandai dengan tingkat transisi, merespon cahaya,
berlangsung beberapa menit, mudah terbangun dengan rangsangan,
aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun, bila
terbangun terasa sedang bermimpi.
2) NREM tahap II ditandai dengan periode suara tidur, mulai relaksasi otot,
berlangsung 10-20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat
dibangunkan dengan mudah.
3) NREM tahap III ditandai dengan awal tahap dari keadaan tidur nyenyak,
sulit dibagunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun,
berlangsung 15-30 menit.
4) NREM tahap IV ditandai dengan tidur nyenyak, sulit untuk dibangunkan,
butuh stimulus intensif, untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun,
sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat.
b. Tahapan tidur REM
1) Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM.
2) Pada orang dewasa normal REM yaitu 20-25% dari tidur malamnya.
3) Jika individu terbangun pada tidur REM maka biasanya terjadi mimpi.
4) Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan
dalam belajar, memori, dan adaptasi.
Pola tidur normal pada usia tua adalah tidur ± 6 jam/hari, tahap REM 20-
25%, tahap NREM menurun dan kadang-kadang absen, sering terbangun pada
malam hari (Tarwoto & Wartonah, 2006).
Selama penuaan, pola tidur mengalami perubahan-perubahan yang khas
yang membedakannya dari orang-orang yang lebih muda. Perubahan-perubahan
tersebut mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan
tidur siang. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur yang lebih dalam juga
menurun. Terdapat suatu hubungan antara peningkatan terbangun selama tidur
dengan jumlah total waktu yang dihabiskan untuk terjaga di malam hari (Stanley,
2006).
3.9. Gangguan Tidur
Ada beberapa gangguan yang terjadi pada saat tidur. Menurut Tarwoto &
Wartonah (2006) gangguan yang terjadi saat tidur adalah sebagai berikut:
a. Insomnia. Insomnia adalah ketidakmampuan memperoleh secara cukup
kualitas dan kuantitas tidur. Ada 3 macam insomnia yaitu Intial Insomnia
adalah ketidakmampuan untuk tidur tidak ada, Intermittent Insomnia
merupakan ketidakmampuan untuk tetap mempertahankan tidur sebab sering
terbangun, dan Terminal Insomnia adalah bangun lebih awal tetapi tidak
pernah tertidur kembali. Penyebab insomnia adalah ketidakmampuan fisik,
kecemasan, dan kebiasaan minum alkohol dalam jumlah banyak.
b. Hipersomnia. Berlebihan jam tidur pada malam hari, lebih dari 9 jam,
biasanya disebabkan oleh depresi, kerusakan saraf tepi, beberapa penyakit
ginjal, liver, dan metabolisme.
c. Parasomnia. Parasomnia merupakan sekumpulan penyakit yang mengganggu
tidur anak seperti samnohebalisme (tidur sambil berjalan).
d. Narcolepsi. Suatu keadaan/kondisi yang di tandai oleh keinginan yang tidak
terkendali untuk tidur. Gelombang otak penderita pada saat tidur sama dengan
orang yang sedang tidur normal, juga tidak terdapat gas darah atau endoktrin.
e. Apnoe tidur dan mendengkur. Mendengkur tidak dianggap sebagai gangguan
tidur, namun bila disertai apnoe maka bisa menjadi masalah. Mendengkur
disebabkan oleh adanya rintangan pengeluaran udara di hidung dan mulut,
misalnya amandel, adenoid, otot-otot di belakang mulut mengendor dan
bergetar. Periode apnoe berlangsung selama 10 detik sampai 3 menit.
f. Mengigau. Hampir semua orang pernah mengigau, hal itu terjadi sebelum
tidur REM.
Gangguan pola tidur secara umum merupakan suatu keadaan di mana
individu mengalami atau mempunyai risiko perubahan dalam jumlah dan kualitas
pola istirahat yang menyebabkan ketidaknyaman atau mengganggu gaya hidup
yang diinginkan (Carpenito, LJ 1995). Penyebab dari gangguan pola tidur ini
antara lain kerusakan transport oksigen, gangguan metabolisme, kerusakan
eliminasi, pengaruh obat, immobilitas, nyeri pada kaki, takut operasi, faktor
lingkungan yang menggangu dan lain-lain. (Hidayat, 2006).
top related