dampak kegiatan pertambangan terhadap wilayah … · 4 perkembangan jumlah penduduk kota bontang...
Post on 09-Mar-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP
PENGEMBANGAN WILAYAH Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
Provinsi Kalimantan Timur
HASNAWATI HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah : Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2005
Hasnawati Hamzah NRP A253040094
ABSTRAK
HASNAWATI HAMZAH. Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Di bimbing oleh BUDI MULYANTO, FREDIAN TONNY NASDIAN, dan MOENTOHA SELARI.
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah otonom yang terbentuk pada tahun 2001 dengan potensi sumberdaya alam tambang yang besar antara lain batubara, minyak, dan gas. Bahan galian tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui yang dalam pengelolaannya dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Oleh karena itu, pengelolaan bahan galian tambang harus dilakukan secara bijaksana agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan daerah dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah antara lain pertumbuhan ekonomi, pengembangan masyarakat, dan kesesuaian pemanfaatan ruang.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan daerah yang tercermin dalam struktur perekonomian daerah. Sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang yang memberikan distribusi sebesar 86.46% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2003. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur dan memberikan distribusi sebesar 64.31% terhadap PDRB tahun 2003.
Namun dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan belum menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini tercermin dari rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, pertumbuhan usaha-usaha kecil, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, serta minimnya pembangunan sarana jalan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan umumnya hanya menyentuh masyarakat yang berada pada lapisan atas.
Disamping itu, pola perijinan lokasi pertambangan masih lemah dalam koordinasi baik antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pemanfaatan ruang yang tidak mempertimbangkan RTRW, keberadaan pemegang hak sebelumnya, dan tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Kegiatan pertambangan juga menimbulkan konflik baik antar masyarakat dengan perusahaan pertambangan maupun antar sektor yaitu sektor pertambangan dan sektor kehutanan. Penyebab konflik tersebut antara lain tumpang tindih lokasi pertambangan dengan lahan masyarakat, minimnya kontribusi perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi pertambangan, serta tumpang tindih lokasi pertambangan dengan kawasan hutan.
ABSTRACT
HASNAWATI HAMZAH. Impacts of Mining Activities to Regional Development: Case Study in Bontang City and East Kutai Regency, East Kalimantan Province. Supervised by: BUDI MULYANTO, FREDIAN TONNY NASDIAN, and MOENTOHA SELARI.
Bontang City and East Kutai Regency are situated in East Kalimantan Province based on UU No 22 1999 on Regional Autonomy, these two areas became autonomous government bodies since 2001. According to the natural characteristics, these areas include great mining resources, such as coal, oil and gas. These natural resources are non-renewable resources beneath soil resources, while the soils are one of some important life support system, hence mining of these resources should be carried out in wise and proper manners. Mining activities are aimed to get revenues for people prosperity, however mining activities in some area produce some negative impacts, both in physical and social-economical impacts, especially to the environment and people in surrounding mining area. Related to these background the objectives of this study are to analyze local development impacts, especially on economic growth, community development, and suitability of spatial planning in these two areas.
The results of this study indicates that mining activities in both areas have provided great contribution to development programs, as indicated by economical structure of both areas. Furthermore, if be analyzed into detail, processing industry of mining is one of the basic economic sector in Bontang City which contributed 86.46% of the Gross Domestic Regional Product (GDRP) in 2003. Meanwhile mining is the basic sector of the East Kutai Regency, that contributes 64.31% to the GDRP in 2003.
However benefits of mining activities to the people communities are still less significant. This is indicated by the community welfare of the people surrounding the mining areas are low. Dealing with this issue some indicators could be seen such as the low absorption of local employment, small businesses growth, low increase of local human resources, lack of road building, lack of education and health facilities. These phenomena due to some causes, one of them is that the community development programs of the mining companies are mostly touched higher-level society.
Related to the legal institution, the mining license procedures is still less synchronic in the coordination between sectors, or between central government and local government. Therefore some licenses of the mining location do not considered actual spatial planning (Rencana Tata Ruang Wilayah), existence of land tenure, and lack of socialization to the community of surrounding the mining areas. In addition the mining activities create some conflicts between people and the companies and between forestry sector and mining sector. These conflicts are caused by some reasons, among others: land-use overlapping between people’s land and mining land, low absorption local human resources in mining activities, and low contribution in community welfare development in surrounding the mining areas and misuse forestry area for mining.
Keywords: regional development, mining activities, community development
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP
PENGEMBANGAN WILAYAH Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
Provinsi Kalimantan Timur
HASNAWATI HAMZAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2005
Judul Tesis : Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan
Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur
Nama : Hasnawati Hamzah NRP : A253040094
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc
Ketua
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
Ir. Moentoha Selari, MS
Anggota Anggota
Diketahui
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian: 6 Oktober 2005 Tanggal Lulus: 31 Oktober 2005 Tanggal Lulus
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Kupersembahkan untuk:
Almarhumah Ibunda Nirwana Kadir yang telah berpulang di saat penulis sedang
menyelesaikan pendidikan: doa dan kasih Mama adalah sumber semangat dan
kekuatan
Suami dan anak-anakku terkasih, Panji Wicaksono dan Gama Pradipta:
pengorbanan, inspirasi, dan kehangatan keluarga adalah cahaya panutan langkah
PRAKATA
Puji syukur kekhadirat Allah SWT karena atas segala izin dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2005 ini menitikberatkan pada tema Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur.
Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr.Ir. Budi Mulyanto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian MS dan Bapak Ir. Moentoha Selari, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing atas segala motivasi, semangat, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang tulus kami haturkan pula kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku penguji luar komisi atas segala sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Kepada teman-teman mahasiswa PWL angkatan 2004, terima kasih atas segala kebersamaan, keceriaan, dan ketulusan persahabatan yang mewarnai derap langkah melintasi 13 bulan masa pendidikan. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak dan Adik-adik tercinta serta Bapak dan Ibu Mertua atas segala dukungan dan doanya.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan dapat menjadi setitik bakti bagi kemajuan bangsa dan negara . Amin.
Bogor, Oktober 2005
Hasnawati Hamzah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Juni 1968 sebagai putri pertama dari empat bersaudara pasangan Muhammad Hamzah Shaleh dan Nirwana Kadir (alm.). Pendidikan SD-SMA diselesaikan di kota kelahiran penulis, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004 dan diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Penulis menikah dengan Suwindo pada tahun 1995 dan dikarunia dua orang putra yaitu Panji Wicaksono (9 tahun) dan Gama Pradipta (7 tahun).
Penulis pernah bekerja pada Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Keang Nama Development Indonesia di Sibolga Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1991-1993. Selanjutnya penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Kehutanan dan bertugas pada:
Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Gorontalo tahun 1993-1995
Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Manado tahun 1995-1997
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara tahun 1997-1999
Pusat Pemolaan Areal Hutan dan Kebun, Badan Planologi Kehutanan tahun 1999-2000
Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan tahun 2000- 2005
Saat ini penulis bertugas pada Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………….…………………..……….. xi
DAFTAR GAMBAR ………………………….………………….……….. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………. 1 Perumusan Masalah …………………….…………………………… 4 Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 6 Kegunaan Penelitian ……………………………………………… 7
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pengembangan Wilayah ……..……………………………… 8 Pengembangan Masyarakat ………….………………………………. 12 Perencanaan Pembangunan Daerah ………….………………………. 16 Perencanaan Wilayah ……………………….……….……………… 18 Perencanaan Partisipatif ....................................................................... 20 Kegiatan Pertambangan ……………………………………………. 21 Hutan dan Kehutanan ……………………………………………….. 25 Kerangka Pemikiran ………………………………………………… 27
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………….. 33 Pengumpulan Data …………………………………………………… 33 Penentuan Responden ………..………………………………………. 35 Pengolahan Data ……………………………………………………… 38
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kota Bontang ……………………………………….………………… 45 Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ……………………. 45 Kependudukan dan Tenaga Kerja …………………………….. 46 Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi ………………………. 48 Sarana Prasarana Fisik dan Sosial …………………………….. 49 Pertumbuhan Ekonomi ………………………………………… 51
Kabupaten Kutai Timur ……………………………………………… 52 Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ……………………. 52 Kependudukan dan Tenaga Kerja …………………………….. 53 Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi ………………………. 55
Sarana Prasarana Fisik dan Sosial …………………………….. 56 Pertumbuhan Ekonomi ………………………………………… 58
PT Badak Natural Gas Liquefaction ………………………………….. 61
PT Indominco Mandiri ……………………………………………… 62
Ikhtisar ………………………………………………………………. 64
KONTRIBUSI KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……………………………. 66 Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah ……………………………… 70 Ikhtisar ………………………………………………………………. 73
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Kondisi Fisik dan Sosial Lokasi Studi…………………………………. 76 Program Community Development Perusahaan Pertambangan ……… 80 Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Masyarakat Lokal .………. 90 Konflik ……………………………………………………………….. 110 Ikhtisar ……………………………………………………………… 112
KESESUAIAN PERUNTUKAN DAN PEMANFAATAN RUANG
Kesesuaian Pemanfaatan Ruang antara Wilayah Penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ……………………………… 115 Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan antara Wilayah Penelitian dengan Kawasan Hutan ……………………………………………… 120 Ikhtisar ………………………………………………………………. 123
POLA PERIJINAN KEGIATAN PERTAMBANGAN
Kuasa Pertambangan .……………………………………………….. 127 Pinjam Pakai Kawasan Hutan ………………………………………… 129 Ikhtisar ……………………………………..………………………. 131
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH ................................................................. 133
SIMPULAN ………………………………………………………………… 144
REKOMENDASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH …… 146
DAFTAR PUSTAKA …………..………………….…….……………… 147
LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 152
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tiga model community development …………………………………. 16
2 Luas kawasan hutan berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi………………. 26
3 Jumlah responden menurut kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan sampel berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ….……. 36
4 Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang menurut kecamatan tahun 1999- 2003 ………………………………………………………. 46
5 Jumlah dan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan kerja tahun 2002 ………………………………….. 47
6 Luas dan persentase penggunaan tanah Kota Bontang tahun 2001 menurut jenis penggunaan tanah …………………………………….. 48
7 Jumlah sekolah menurut kecamatan ………………………………….. 50
8 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan …………….. 50
9 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002 - 2003 ……………………………………………………………………. 51
10 Distribusi persentase Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003 ……………………………………………………………….…… 52
11 Banyaknya desa dan luas wilayah menurut kecamatan ……………….. 53
12 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan menurut kecamatan …. 54
13 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur menurut kecamatan tahun 1999-2003 …………………………………………. 54
14 Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut kecamatan dan lapangan usaha tahun 2002 (%) ………………..………………………………… 55
15 Jumlah sekolah menurut kecamatan ………………………………….. 57
16 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan …………….. 58
17 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003 …………………………………………………………….. 59
18 Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003 ……..……………………………………………………………... 60
19 Hasil analisis shift share PDRB Kota Bontang tahun 1993-2003 …….. 67
20 Hasil analisis shift share PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 1993 –
2003 …………………………………………………………………… 69
21 Hasil analisis LQ sektoral berdasarkan PDRB tahun 2002-2003 Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur ..................................................... 71
22 Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur …………………………………. 74
23 Sarana prasarana desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak …….. 89
24 Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ……………………………………………………………….. 97
25 Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat … 113
26 Fungsi pemanfaatan ruang wilayah penelitian sesuai dengan Peta RTRW 116
27 Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian berdasarkan TGHK dan Paduserasi TGHK-RTRWP ……………………………………………. 121
28 Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman …………………………………………………………… 124
29 Persyaratan permohonan izin usaha pertambangan …………………… 127
30 Dampak pola perijinan kegiatan pertambangan ………………………. 132
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hubungan antara pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi ..…………………………………. 9
2 Bagan alir kerangka penelitian ………………….……….……………. 32
3 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Indominco Mandiri …. 34
4 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Badak NGL ………… 34
5 Peta wilayah penelitian ………………………………………………. 37
6 Bagan prosedur tumpang tindih Peta Administrasi, Peta Wilayah Pertambangan, Peta RTRW, Peta TGHK, dan Peta Kawasan Hutan …. 43
7 Pemukiman kelompok masyarakat Desa Suka Damai Kabupaten Kutai Timur …………………………………………………………… 77
8 Pemukiman masyarakat Kelurahan Kanaan Kota Bontang …..……….. 78
9 Pemukiman masyarakat Desa Kandolo Kabupaten Kutai Timur …….. 79
10 Mata pencaharian utama responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak …………………………………………………….. 84
11 Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak …………………………………………………………… 86
12 Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak ……………………………………………………………. 87
13 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan ……….………………………….. 91
14 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan ……. 91
15 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan …….. 93
16 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi ………………………………………………………………. 93
17 Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan desa/kelurahan ………………………………………… 95
18 Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan pelapisan sosial ekonomi …………………………… 96
19 Pola asosiasi antara sumber perubahan pendapatan responden dengan pelapisan sosial ekonomi ………………………………………………. 97
20 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak
perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga …………… 99
21 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ………………………………………………………………... 99
22 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan …..……………………………. 101
23 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi ……………………… 102
24 Keikutsertaan responden dalam kegiatan community development perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ……. 102
25 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat …….…. 104
26 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat …………………………………………………………….. 105
27 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak kehadiran perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil ……………..…. 106
28 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak kehadiran perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil ……………………………………………………………. 107
29 Rumah masyarakat yang berbatasan langsung dengan lahan milik PT Badak NGL di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari ………... 109
30 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan konflik masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL ……… 111
31 Perkembangan PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ..................................................... 136
32 Distribusi PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ................................................................ 136
33 Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas/tanpa migas/tanpa migas dan batubara atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ……………………………………………………………… 138
34 Distribusi PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 …………………………… 148
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuesioner ………………………………………………………………. 153
2 Daftar desa/kelurahan dalam ruang lingkup community development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL ………………………….. 159
3 Pengalaman wawancara dengan responden …………………………… 160
4 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004 …….. 165
5 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri tahun 2004-2005……………………………………………………………….. 167
6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) ………………………………………………………….. 169
7 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) …………………………………………………………………. 170
8 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah …………………………………………………………….. 171
9 Mata pencaharian utama responden …………………………………… 172
10 Tingkat pendidikan responden ………………………………………… 173
11 Tingkat pendapatan responden ………………………………………… 174
12 Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja ………………………………………………. 175
13 Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan tambang …… 176
14 Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir ……………. 177
15 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ………………………………………………………………. 178
16 Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan pertambangan 179
17 Responden yang ikutserta dalam program community development perusahaan pertambangan ……………………………………………. 180
18 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat ……………………………………………… 181
19 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil ……………………………………………………… 182
20 Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat ……….. 183
21 Kasus Desa Suka Damai ……………………………………………… 184
22 Data koordinat hasil analisis korenpondensi berganda (correspondence analysis) …………………………………………….. 193
23 Peta kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) …………………………………………. 201
24 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur ….…………………………………………. 202
25 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur …………………………………… 203
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sumberdaya alam
tersebut terdiri atas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable
resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non – renewable
resources). Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui mempunyai sifat terus
menerus ada dan dapat diperbaharui baik oleh alam sendiri maupun dengan
bantuan manusia seperti sumberdaya hutan, air, dan lainnya. Sedangkan
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui mempunyai sifat fisik yang
tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali dan terjadinya
diperlukan waktu ribuan tahun seperti mineral, batubara, minyak bumi, dan
lainnya.
Dalam pengelolaan dan penentuan peruntukan sumberdaya alam ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu efesiensi dan efektifitas pemanfaatan
yang optimal sesuai daya dukung lingkungan, tidak mengurangi potensi dan
kelestarian sumberdaya lain yang berkaitan dengan suatu ekosistem, memberikan
kemungkinan alternatif pemanfaatan di masa depan sehingga ekosistem tidak
dirombak secara drastis. Hal ini penting, sebab sumberdaya alam memiliki
kemampuan untuk dipergunakan sesuai kapasitas daya dukungnya sehingga dalam
pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijaksana untuk mewujudkan manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan guna
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Minyak bumi dan bahan tambang lainnya sebagai sumberdaya alam yang
tidak dapat diperbaharui dalam pengelolaan dan pemanfaatannya termasuk dalam
sektor pertambangan. Sektor pertambangan sendiri terbagi atas sub sektor minyak
bumi dan gas (migas), sub sektor pertambangan umum, dan galian C. Menurut
Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 bahan galian atau
bahan tambang dibagi atas tiga golongan, yaitu: a) bahan galian strategis; b) bahan
galian vital; dan c) bahan galian yang tidak termasuk golongan a dan b. Minyak
2
bumi, gas alam, dan batubara termasuk ke dalam golongan bahan galian a atau
strategis (Deptamben 1982).
Sejak tahun 1967 terjadi perubahan kebijakan terhadap investasi asing.
Pemerintah orde baru melihat bahwa investasi asing sebagai jalan keluar untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini ditandai dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967
yang diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pertambangan
Nomor 11 Tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing
untuk kegiatan pertambangan. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah pemberian
wilayah kontrak karya atau kuasa pertambangan dalam skala yang cukup luas
tanpa memperhitungkan keberadaan penduduk yang ada di wilayah tersebut atau
hak-hak lainnya yang melekat pada lokasi tersebut. Tidak jarang wilayah konsesi
pertambangan tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya akan
keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat.
Sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor penting
dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam perannya sebagai penghasil
devisa. Pada tahun 2000, sektor pertambangan dan penggalian yang terdiri atas
subsektor minyak dan gas bumi, subsektor pertambangan bukan migas, dan
subsektor penggalian, memberikan sumbangan sebesar 38 896.4 milyar rupiah
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan ini mengalami peningkatan
sehingga pada tahun 2003 sektor pertambangan dan penggalian memberikan
sumbangan sebesar 40 590.8 milyar rupiah (BPS 2004).
Salah satu provinsi yang memiliki sumberdaya alam tambang dan minyak
bumi terbesar serta memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
pendapatan negara adalah Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan daerah yang
menjadi andalan produksi batubara dan migas antara lain Kabupaten Kutai Timur
dan Kota Bontang. Kedua daerah tersebut merupakan wilayah pemekaran dari
Kabupaten Kutai Kertanegara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten
Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. Kedua daerah tersebut
merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru yang cikal bakal kelahirannya
karena keberadaan pengusahaan tambang di wilayah tersebut yaitu PT Kaltim
3
Prima Coal di Sangatta dan PT Badak Natural Gas Liquefaction Co (PT Badak
NGL) di Bontang. Saat ini, sumbangan sektor pertambangan (batubara dan
migas) terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada kedua daerah
tersebut menempati urutan yang paling atas dari sektor-sektor lain.
Keberadaan perusahaan pertambangan di daerah tersebut tidak hanya
memberikan dampak yang positif, tetapi juga dampak negatif. Dampak positif
antara lain peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), peningkatan penyerapan
tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan dampak negatif
terjadi akibat sifat kegiatan penambangan khususnya pola penambangan terbuka.
Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak atau
menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing maupun batuan limbah,
serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan
bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah
gersang yang bersifat masam. Disamping itu, kegiatan pertambangan dapat
memberikan perubahan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat lokal.
Dampak kegiatan pertambangan terhadap masyarakat terbagi atas dampak
langsung dan dampak tidak langsung. Dampak positif langsung umumnya
dinikmati oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan, namun
masyarakat tersebut juga menerima dampak negatif yang akan timbul dari
kegiatan pertambangan tersebut. Dampak positif langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat melalui program community development yang dilakukan oleh
perusahaan pertambangan. Dampak tidak langsung diperoleh melalui penerimaan
negara dari sektor pertambangan baik berupa pajak, iuran, maupun pungutan
lainnya yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan.
Melihat besarnya potensi dan cadangan minyak bumi dan gas serta bahan
mineral yang belum dieksploitasi, maka sektor pertambangan memiliki prospek
untuk berkembang di masa yang akan datang. Menurut Salim (2005), bahan
tambang merupakan sumberdaya yang "tidak dapat diperbarui", sehingga
keberlanjutan pembangunan akan terhambat oleh susutnya sumberdaya tersebut.
Oleh karena itu, hasil pendapatan pertambangan harus digunakan untuk
diversifikasi kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam yang
diperbarui. Kalau bahan tambang habis tersusut, sudah tersedia "mesin-mesin
4
penggerak pembangunan" lain berbasis "sumberdaya alam yang diperbarui",
seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan pengembangan sumber
daya manusia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengelolaan bahan galian tambang
sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus dilakukan secara terarah,
terpadu dan terkoordinasi antara semua stakeholder sehingga dapat
mengakomodir semua kepentingan baik masyarakat, swasta, dan pemerintah
untuk dapat mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkesinambungan
Oleh karena itu, sektor pertambangan seharusnya ditempatkan sejajar dengan
sektor-sektor ekonomi lainnya dalam perencanaan tata ruang, agar dicapai
keberlanjutan fungsi dan komponen ekosistem. Fungsi hutan lindung, daerah
aliran sungai, kondisi morfologi tanah, potensi pemanfaatan lahan, kondisi iklim
serta lingkungan sosial budaya masyarakat setempat harus dipertimbangkan dalam
pengembangan pertambangan. Untuk itu perlu diketahui bagaimana kebijakan
perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan yang ada saat
ini sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan wilayah di
Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang.
Perumusan Masalah
Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi
yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan
pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komunitas baru dan
pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah
kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan
membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari
kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru.
Keberadaan perusahaan tambang di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur baik dari subsektor pertambangan umum antara lain PT Kaltim Prima Coal,
PT Indominco Mandiri, PT Kitadin maupun subsektor migas antara lain
Pertamina OPS Sangatta, PT Virginia Indonesioa Company (VICO), dan
PT.Badak NGL, merupakan salah satu faktor berkembangnya daerah tersebut dari
sebuah desa kecil hingga menjadi kabupaten/kota dengan nama ibukota yaitu
5
Bontang di Kota Bontang dan Sangatta di Kabupaten Kutai Timur.
Pengembangan kedua kota tersebut diikuti dengan pembukaan kawasan hutan
untuk memenuhi kebutuhan akan lahan bagi pemukiman dan pembangunan
infrastruktur sebagai pendukung mobilitas pembangunan kota dan penduduk.
Sumbangan sektor pertambangan terhadap PDRB di Kota Bontang dan
Kabupaten Kutai Timur menempati urutan teratas. Namun menurut Pemda dan
KKPPSDA Bontang (2003), lapangan pekerjaan utama penduduk Kota Bontang
bukan pada sektor pertambangan melainkan pada sektor konstruksi bangunan
(23.12 %), kemudian disusul perdagangan besar dan eceran (16.02%) dan industri
pengolahan (14.21%). Sedangkan lapangan pekerjaan utama penduduk
Kabupaten Kutai Timur menurut BPS Kutai Timur (2003) terbanyak pada sektor
pertanian (69.50%), kemudian disusul sektor pertambangan dan galian (9.54%),
dan perdagangan (6.72%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan
tidak banyak menyerap tenaga kerja khususnya tenaga kerja lokal. Menurut Salim
(2004), kegiatan pertambangan acap kali mengabaikan masyarakat adat dan tidak
melibatkannya ikut bekerja karena mereka dianggap tidak punya keterampilan,
keahlian, dan kemampuan kerja tambang.
Kehadiran suatu perusahaan pertambangan diharapkan dapat memberikan
manfaat tidak hanya terhadap pembangunan daerah tapi juga terhadap masyarakat
yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Namun sumberdaya alam yang
melimpah tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga
masyarakatnya, jika sumberdaya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan
dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan sumber alamnya. Menurut
BPS, Bappenas, dan UNDP (2004), Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1999 adalah 67.8 (peringkat 3) dan pada
tahun 2000 meningkat menjadi 70.0 (peringkat 4), sedangkan Indeks Kemiskinan
Manusia (IKM) masing-masing tahun 1999 20.6 (peringkat 4) dan tahun 2000
19.1 (peringkat 5). Pada tahun 2000, Kota Bontang memiliki IPM 72.6 (peringkat
33), sedangkan Kabupaten Kutai Timur memiliki IPM 66.1 (peringkat 164). IKM
Kota Bontang tahun 2001 adalah 17.6 (peringkat 62), sedangkan IKM Kabupaten
Kutai Timur adalah 24.1 (peringkat 168). Hal ini menimbulkan ketidakpuasan
masyarakat yang dicerminkan dalam bentuk maraknya aksi protes masyarakat
6
setempat terhadap kehadiran kegiatan pertambangan serta munculnya berbagai
konflik lahan.
Sektor pertambangan memang memberikan kontribusi yang besar terhadap
penerimaan negara, namun kegiatan pertambangan tersebut belum berpihak pada
masyarakat. Pengerukan hasil tambang dari bumi Kalimantan Timur belum
banyak memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Akibat kurang berpihak pada
masyarakat, sering kali muncul kecemburuan dari masyarakat di sekitar lokasi
pertambangan yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik antara
masyarakat dengan perusahaan pertambangan.
Selain itu, wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih
dengan wilayah hutan dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah
menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat.
Pemberian wilayah konsesi oleh pemerintah kepada pengusaha pertambangan
dilakukan tanpa sosialisasi ataupun persetujuan masyarakat. Hal ini
mengakibatkan kelompok masyarakat akan terusir dan kehilangan sumber-sumber
kehidupannya baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar oleh
rusaknya lingkungan atau limbah operasi penambangan.
Melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, maka
dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan
dalam pengusahaan pertambangan, yaitu :
1. Bagaimana kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah?
2. Bagaimana dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan?
3. Bagaimana kesesuaian peruntukan ruang antara areal pertambangan dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)?
4. Bagaimana dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan
penggunaan lahan?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan
perencanaan dan pemanfaatan ruang bagi pengusahaan pertambangan serta
7
dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah di Kota Bontang
dan Kabupaten Kutai Timur.
Adapun tujuan khusus penelitian adalah:
1. menganalisis kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan
daerah;
2. menganalisis dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan;
3. menganalisis kesesuaian peruntukan ruang antara areal pertambangan dengan
RTRW;
4. menganalisis dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap
perubahan penggunaan lahan.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan
daerah khususnya dalam penataan ruang dan perencanaan tata guna lahan untuk
pengembangan wilayah. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan pemberian
ijin kegiatan pertambangan sehingga benturan kepentingan antar sektor dapat
dihindari dan potensi sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara optimal dan
lestari.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pengembangan Wilayah
Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan
wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah
yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan
wilayah harus di dasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Menurut
Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi,
potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi,
budaya, dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat
berbeda.
Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu, perlu diketahui penggerak utama (prime
mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang
dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutuhkan front-end
invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun (Freeport,
Inco, perkebunan kelapa sawit seluas 50 000 ha, prasarana untuk jasa yang besar
seperti pelabuhan, samudra, dan lain-lain). Prime mover dapat berupa (1)
Tambang mineral (Freeport); (2) Tambang minyak (Caltex); (3) Tambang gas
(Arun, Bontang, Bunyu); (4) Hutan industri; (5) Industri perikanan dengan
kegiatan penunjangnya; (6) Industri pertanian (kelapa sawit, tembakau, karet, dan
lain-lain); (7) Pusat industri jasa; (8) Pusat pendidikan; (9) Pusat penelitian dan
pengembangan (R&D Centers, seperti di Serpong). Bila suatu wilayah telah
memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas
yang berputar di sekitar prime mover tersebut (Zen 2001).
Dengan demikian perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung
melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik
wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengembangan wilayah
(regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi
pada kepentingan daerah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang
berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan daerah.
9
Ada beberapa pendapat mengenai pengembangan wilayah (regional
development). Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah
merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi
kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu
wilayah. Sedangkan menurut Zen (2001), pengembangan wilayah merupakan
usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk
memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan
menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi, pengembangan
wilayah tidak lain dari usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam,
manusianya, dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan
itu sendiri . Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (Gambar 1).
Gambar 1 Hubungan antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, dan Teknologi (Zen 2001).
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suhandoyo (2002) bahwa
dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan,
yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Pilar sumberdaya
manusia (SDM) memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda
dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan SDM
merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, SDM berperan
sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu
Sumberdaya Manusia
Sumberdaya Alam
Teknologi
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Pengembangan Wilayah
Lingkungan Hidup
10
wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada
manusia (people centre development), dimana SDM dipandang sebagai sasaran
sekaligus sebagai pelaku pembangunan.
Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua
sisi yang saling berkaitan. Di sisi sosial ekonomis, pengembangan wilayah adalah
upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya
menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan
pelayanan logistik dan sebagainya. Di sisi lain, secara ekologis pengembangan
wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat
campur tangan manusia terhadap lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam
pengembangan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan yakni
pendekatan sektoral atau fungsional (yang dilaksanakan melalui departemen atau
instansi sektoral), dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh
daerah atau masyarakat setempat.
Adapun tujuan utama pengembangan pengembangan wilayah menurut
Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor
dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya
dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan
dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat
dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial-budaya
dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan.
Ary (2001), mengatakan bahwa tujuan pengembangan wilayah adalah untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya yang tersebar di wilayah
Indonesia guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk itu, arah dan
kebijaksanaan pengembangan wilayah adalah:
1. Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan tetap memperkukuh kesatuan dan ketahanan nasional serta
mewujudkan Wawasan Nusantara.
2. Pembangunan sektoral dilakukan secara saling memperkuat untuk
meningkatkan pertumbuhan, pemerataan, dan kesatuan wilayah nasional serta
pembangunan yang berkelanjutan.
3. Perkembangan wilayah diupayakan saling terkait dan menguatkan sesuai
dengan potensi wilayah.
11
Dengan demikian, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada
prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan daerah yang merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional.
Sedangkan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan
pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi
pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau
menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan
agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri
dan Djajadinigrat 2002).
Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan
sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue
(permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan
sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu
tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lain. Namun dalam
orientasinya kedua konsep tersebut saling melengkapi, dimana pengembangan
wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral.
Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan
wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan hal ini
dapat menciptakan konflik kepentingan antarsektor, yang pada gilirannya akan
terjadi kontra produktif dengan pengembangan wilayah (Riyadi 2002).
Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan
wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah
muncul pada tahap desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan.
Selanjutnya Zen (2001) menyatakan bahwa dalam kegiatannya pengembangan
wilayah harus disertai oleh community development. Selain memanfaatkan
sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya harus dikembangkan.
Pengembangan wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Menurut MacAndrews et al. (1982) terdapat empat faktor utama yang
berpengaruh kuat terhadap kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia, yaitu:
1. Alam kepulauan, sebagai Negara kepulauan Indonesia terdiri atas 13 667
pulau. Pembangunan di Indonesia sebagian besar dipusatkan di Pulau Jawa,
diikuti oleh tiga pulau utama lainnya yaitu pulau Sumatera, Sulawesi dan
12
Kalimantan. Konsentrasi pengembangan yang dipusatkan di Jawa dan ke tiga
pulau yang utama lain telah mengakibatkan munculnya daerah yang semakin
terisolasi dan terabaikan akibat perbedaan jarak, daerah dan komunikasi antar
pulau. Sebagai negara kepulauan, terjadinya migrasi antar pulau juga harus
dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan wilayah.
2. Keanekaragaman budaya, dimana Indonesia memiliki budaya yang sangat
beragam, terdiri atas kultur dan kelompok kesukuan yang berbeda. Keaneka
ragaman tersebut juga menjadi suatu sumber kekuatan yang berpengaruh
dalam kebijakan dan politik.
3. Sifat alami dari perkembangan politis, yaitu Indonesia beberapa kali
mengalami perubahan dimana pengaruh kekuatan wilayah lebih kuat
dibanding dengan pemerintah pusat. Disamping itu, Indonesia dulunya terdiri
dari kerajaan-kerajaan yang kecil yang terbentuk pada waktu yang berbeda
dan pengaruh yang berbeda-beda pula.
4. Sifat alami sistem politik. Pemerintah Indonesia berada dalam tangan
birokrasi militer sipil dengan peranan partai politik yang sangat terbatas. Pada
waktu yang sama, kekuasaan politik sangat terpusat yang mencerminkan
kekuasaan Pulau Jawa dan kultur Jawa. Pemerintah pusat sangat kuat dalam
memegang kendali dan arah sehingga menghasilkan sistem politik yang
mempengaruhi pembangunan ekonomi negeri.
Pengembangan Masyarakat
Community development dapat didefinisikan sebagai kegiatan
pengembangan masyarakat/komuniti yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai
kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan
sebelum adanya kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat di tempat tersebut
diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan
yang lebih baik (Budimanta 2005).
Menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk
membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang
saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling
13
ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki
keteraturan menyangkut kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi, dan
kemampuan untuk memilih, dan sebagainya.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada enam dimensi penting dari community
development, yaitu: (1) Pengembangan sosial; (2) Pengembangan ekonomi; (3)
Pengembangan politik; (4) Pengembangan budaya; (5) Pengembangan
lingkungan; dan (6) Pengembangan pribadi/keagamaan.
Zen (2001) mengatakan bahwa tujuan community development ialah
memberdayakan keluarga seterusnya rukun tetangga dan rukun keluarga. Dalam
community development, pada tahap awal harus disebarkan benih-benih keinginan
untuk mengubah nasib mereka; meningkatkan kualitas hidup. Sesudah itu baru
langkah-langkah menuju tindakan-tindakan konkrit:
1. Perencanaan keluarga.
2. Kebersihan lingkungan yang dikaitkan dengan masalah hygenik yang menuju
kesehatan.
3. Jangan mengotori sumberdaya air (sungai, danau, pantai). Dus pembuatan dan
pemanfaatan MCK.
4. Memanfaatkan se-optimum mungkin setiap jengkal tanah/pekarangan dengan
tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat (bergizi) seperti kecipir, daun ketela,
waluh, dan lain-lain; untuk obat-obatan (temulawak, kumis kucing, dan lain-
lain).
5. Beternak (ayam, kelinci, kambing, ikan mas, mujair, nila, gurame, lele, lebah
madu, dan lain-lain).
Tahap 1 sampai dengan 5 merupakan basic essentials yang menyertai usaha
pengembangan wilayah. Community development harus merupakan kegiatan
paralel yang tidak boleh ditinggalkan.
Tujuan community development pada industri pertambangan dan migas
menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut:
1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh PEMDA terutama pada tingkat
desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya
yang lebih baik di sekitar wilayah kegiatan perusahaan.
2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.
14
3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan
pengembangan ekonomi wilayah.
4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komuniti di
sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after
mining/oil).
Selanjutnya dikatakan bahwa terhadap komuniti yang berada pada lingkar
tambang setidaknya program comdev dapat dikategorikan di dalam tiga aspek
yaitu yang berkaitan dengan community relation, community empowering, dan
community services. Kemudian kategori-kategori tersebut dapat dilihat dari empat
aspek yang biasanya dikembangkan, yaitu:
1. Fisik; seperti pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan ataupun
peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan,
sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, dan lain
sebagainya.
2. Sosial; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan
masyarakat seperti pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan
guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga paramedis, obat-obatan,
penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan permukiman),
keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun ceramah-ceramah keagamaan),
dan lain sebagainya.
3. Ekonomi; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan usaha
masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based) seperti
pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manajemen, teknik
kewirausahaan, inkubator bisnis, program kemitraan, bantuan permodalan,
pemasaran, dan promosi.
4. Kelembagaan; pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok
swadaya masyarakat, organisasi profesi lewat kegiatan-kegiatan lokakarya,
seminar, pertukaran pengalaman dengan lembaga sejenis dan lain sebagainya.
Budimanta (2005) menyatakan pula bahwa peserta program community
development seyogyanya difokuskan kepada masyarakat lingkar tambang dan
diutamakan kepada masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan
perusahaan. Masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan
15
pada dasarnya merupakan gabungan komuniti-komuniti lokal yang bisa terdiri
dari penduduk asli dan juga pendatang yang menetap di lokasi yang bersangkutan.
Namun menurut Saleng (2004), program community development yang
dilancarkan oleh perusahaan pertambangan pada hakekatnya adalah
tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap
masyarakat sekitar usaha pertambangan dan secara yuridis merupakan pengakuan
(recognition) dari perusahaan pertambangan bahwa ia telah mengambil alih hak
penguasaan atas sumberdaya milik penduduk setempat. Wujud dari jawab sosial
dan recognisi tersebut adalah pemberian sejumlah bantuan, baik berupa uang
maupun sarana dan fasilitas-fasilitas umum dari perusahaan pertambangan kepada
masyarakat setempat.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kegiatan community development yang
dilakukan oleh setiap perusahaan terhadap masyarakat setempat berbeda-beda,
demikian pula penerimaan masyarakat terhadap kegiatan tersebut berbeda-beda.
Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh sosial budaya dan kelompok etnis dominan
dari masyarakat setempat.
Menurut Primahendra (2004), berdasarkan aspek peran masyarakat, praktek
community development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Development for community, dimana masyarakat menjadi obyek
pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan
kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar.
2. Development with community, dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor
luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan
keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai berasal dari kedua belah
pihak.
3. Development of community, dimana proses pembangunan yang baik inisiatif,
perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.
16
Tabel 1 Tiga model community development
Development for Community
Development with Community
Development of Community
Aktor utama Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal
Masyarakat lokal
Bentuk hubungan
Sosialisasi konsultasi
Kolaborasi Self-Mobilization Empowerment
Pengambil keputusan
Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal
Masyarakat lokal
Pelaksana Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal
Masyarakat lokal
Bentuk kegiatan Proyek Proyek dan Program
Pengembangan sistem dan penguatan kelembagaan
Sumber: Primahendra 2004
Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan
tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam
jangka waktu tertentu (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Selanjutnya dikatakan
bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah ada beberapa aspek yang perlu
mendapatkan perhatian agar perencanaan pembangunan dapat menghasilkan
rencana pembangunan yang baik serta dapat diimplementasikan di lapangan,
antara lain : lingkungan, potensi dan masalah, institusi perencana, ruang dan
waktu, serta legalisasi kebijakan.
Perencanaan pembangunan daerah yang dikembangkan harus memiliki
prinsip-prinsip ke-Indonesia-an dengan tetap memperhatikan perkembangan
tersebut. Prinsip-prinsip tersebut menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004)
antara lain:
17
1. Perencanaan pembangunan daerah harus memiliki landasan filosofis yang kuat
dan mengakar dalam kultur/budaya masyarakat yang ada di daerah.
2. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat komprehensif, holistic atau
menyeluruh, sehingga mampu membangun aspek-aspek yang ada menjadi
satu kesatuan dalam pembangunan.
3. Perencanaan pembangunan daerah harus mengakomodasikan keadaan struktur
ruang (spatial) dari wilayah perencanaannya, seperti pusat perkotaan,
pedesaan, daerah terisolir (hinterland), pusat-pusat pertumbuhan (growth
poles), distribusi air, listrik, dan sebagainya.
4. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat menyokong/memperkuat
perencanaan pembangunan nasional. Pembangunan daerah harus dilaksanakan
secara harmonis dan mendukung proses pembangunan nasional dengan tetap
berlandaskan pada kekuatan, potensi, dan kebutuhan daerah itu sendiri.
5. Perencanaan pembangunan daerah harus menggambarkan arah kebijaksanaan
ke mana daerah akan dibawa, apa yang akan dilakukan, dan bagaimana
tahapannya. Dengan kata lain, perencanaan pembangunan daerah harus
mencerminkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin diwujudkan di daerah
tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya sering dihadapkan pada berbagai kendala.
Hal-hal yang menjadi kendala dalam dalam proses pembangunan daerah secara
umum terbagi atas tiga, yaitu:
1. Kendala politis.
Merupakan kendala yang disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan
politik yang mendompleng pada substansi perencanaan pembangunan. Ini
merupakan kendala yang cukup sulit dihindari, karena biasanya datang dari
adanya tarik menarik kepentingan di antara elite politik dan elit penguasa
(birokrasi) yang memiliki kekuatan (power) dalam mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah.
2. Kondisi sosio-ekonomi masyarakat.
Kondisi sosio-ekonomi biasanya mencerminkan kemampuan finasial daerah,
padahal kemampuan finansial memiliki peran penting untuk merumuskan
perencanaan yang baik. Hasil perencanaan harus dilaksanakan/
18
diimplementasikan dan pada tahap pelaksanaan inilah dukungan dana yang
memadai sangat dibutuhkan.
3. Budaya/kultur yang dianut oleh masyarakat
Apabila kultur tidak diberdayakan dan diarahkan ke arah yang positif secara
optimal akan sangat mempengaruhi hasil-hasil perencanaan, bahkan bisa
sampai pada tahap implementasinya. Nilai-nilai budaya primordialisme,
parokhialisme, etnosentrisme, patron-client yang cenderung masih melekat
dalam kehidupan bangsa Indonesia, harus dikendalikan dengan baik dan
diarahkan menjadi faktor pendukung pembangunan, sehingga pembangunan
dilaksanakan dengan nilai-nilai positif relegius, tenggang rasa, gotong royong,
dan sebagainya.
Perencanaan tata guna lahan (land use planning) dan perencanaan
pembangunan daerah memiliki keterkaitan yang erat. Riyadi dan Bratakusumah
(2004) menyebutkan keterkaitan tersebut sebagai berikut:
1. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah sangat terkait dengan perencanaan
Tata Ruang dan Tata Guna Lahan.
2. Perencanaan tata guna lahan merupakan jembatan antara perencanaan daerah
dan pengembangan wilayah.
3. Perumusan perencanaan tata guna lahan merupakan kerangka acuan
pembangunan dan pengembangan prasarana fisik yang sejalan dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya yang terkait dengan penggunaan
lahan.
4. Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan informasi untuk menentukan
pilihan-pilihan mengenai penggunaan/pemanfaatan lahan yang layak guna
dikembangkan atau dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu
mempertimbangkan efek-efek yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas
lingkungan/ekosistem.
Perencanaan Wilayah
Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah perencanaan
penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam ruang
wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan
19
penggunaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam bentuk perencanaan tata
ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah biasanya tertuang
dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah,
maupun jangka pendek. Perencanaan wilayah sebaiknya dimulai dengan
penetapan visi dan misi wilayah. Ada lima alasan pentingnya perencanaan
wilayah, yaitu:
1. Banyak diantara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi
diperbanyak atau diperbaharui.
2. Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia.
3. Kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat
diubah atau diperbaiki lagi.
4. Lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk menopang kehidupannya.
5. Tatanan wilayah sekaligus menggambarkan kepribadian dari masyarakat yang
berdomisili di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut saling
mempengaruhi.
Glasson (1978) menyatakan bahwa perencanaan wilayah umumnya
merupakan perencanaan yang melibatkan unsur fisik dan ekonomi. Perencanaan
wilayah dipandang sebagai suatu usaha untuk memandu pengembangan dari suatu
daerah.
Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah
sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan
pendekatan regional. Pendekatan sektoral biasanya less-spatial (kurang
memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan), sedangkan pendekatan regional
lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan
pembangunan dengan rencana tata ruang.
Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan struktur ruang/penggunaan lahan
dapat terjadi karena investasi pemerintah maupun investasi pihak swasta. Investasi
pihak swasta perlu mendapat izin atau persetujuan pemerintah baik
keberadaannya maupun lokasinya, sehingga pemerintah dapat
mengendalikan/mengarahkan struktur tata ruang/ penggunaan lahan tersebut ke
arah yang dianggap paling menguntungkan/mempercepat tercapainya sasaran
pembangunan. Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan
masyarakat, menambah lapangan kerja, pemerataan pembangunan di dalam
20
wilayah, terciptanya struktur perekonomian yang lebih kokoh, tetap terjaganya
kelestarian lingkungan, memperlancar arus pergerakan orang dan barang ke
seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga, dan lain sebagainya.
Perencanaan Partisipatif
Pergeseran pembangunan dari pembangunan yang berorientasi produksi
menuju pembangunan yang berorientasi publik memerlukan peran serta
masyarakat dalam pelaksanaannya. Menurut Conyers (1994), ada tiga alasan
utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting,
yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi
mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa
kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika
merasa ikut dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena
mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan
mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.
3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Selanjutnya Conyers (1994) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat
digunakan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, yaitu:
1. Survey dan konsultasi lokal.
Metode ini ditempuh dengan cara langsung mendekati obyek yang menjadi
sasaran rencana kegiatan atau proyek melalui bentuk kegiatan survei lapangan,
wawancara dengan penduduk, menyelenggarakan pertemuan, dan lainnya.
Melalui metode ini dapat diketahui informasi mengenai kondisi lapang yang
sebenarnya dari tangan pertama atau masyarakat secara langsung.
2. Penggunaan staf yang terampil.
Metode ini dilakukan dengan media petugas lapangan dari instansi tertentu
yang berkompeten dalam suatu proyek. Melalui petugas lapangan, informasi
mengenasi rencana proyek dan dampaknya bagi masyarakat akan dijelaskan
oleh petugas lapangan kepada masyarakat.
21
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi.
Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu organisasi perencanaan di
tingkat lokal dan adanya proses desentralisasi implementasi rencana kegiatan.
4. Pemerintah daerah.
Perencanaan dilakukan oleh pemerintah daerah yang jangkauannya lebih luas
dari perencanaan desentralisasi.
5. Pembangunan masyarakat (community development).
Pembangunan masyarakat merupakan suatu pendekatan terpadu untuk
pengembangan masyarakat dalam rangka menaikkan standar hidup serta
mengembangkan taraf hidup masyarakat melalui berbagai kegiatan.
Penekanan dari kegiatan ini adalah penyatuan masyarakat sebagai suatu
kesatuan.
Menurut Abe (2005), ada dua bentuk perencanaan partisipatif. Pertama,
perencanaan yang langsung disusun bersama rakyat. Perencanaan ini bisa
merupakan perencanaan lokasi setempat yakni perencanaan yang menyangkut
daerah dimana masyarakat berada dan perencanaan wilayah yang disusun dengan
melibatkan masyarakat secara perwakilan. Kedua, perencanaan yang disusun
melalui mekanisme perwakilan, sesuai dengan institusi yang sah (legal-formal)
seperti parlemen.
Kegiatan Pertambangan
Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya alam tambang (bahan galian) yang terdapat di dalam
bumi Indonesia. Usaha pertambangan meliputi pertambangan umum dan
pertambangan minyak dan gas bumi. Kegiatan minyak dan gas bumi sendiri
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi dibedakan atas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha
hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha
eksplorasi dan usaha ekploitasi. Kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang
berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga.
22
Pelaksana kegiatan usaha pertambangan memiliki kewajiban pengembangan
masyarakat. Kewajiban pengembangan masyarakat bagi pertambangan minyak
dan gas bumi tercantum dalam pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 yaitu kewajiban pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-
hak masyarakat adat. Kewajiban pengembangan masyarakat bagi pelaksana
kegiatan usaha pertambangan umum tercantum dalam pasal 6-7 Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang
Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan
Umum yang didalamnya antara lain mengatur tentang pengembangan wilayah,
pengembangan kemasyarakatan dan kemitrausahaan. Program pengembangan
masyarakat yang harus dilakukan meliputi sumberdaya manusia, kesehatan,
pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan kemitraan.
Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi
yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan
pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komunitas baru dan
pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah
kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan
membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari
kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru
(Saleng 2004).
Namun setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti
menimbulkan dampak positif maupun negatif. Menurut Muhammad (2000),
dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional;
2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD);
3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;
4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan
7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
23
Sedangkan dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah :
1. Kehancuran lingkungan hidup;
2. Penderitaan masyarakat adat;
3. Menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal;
4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;
5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan
6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.
Saleng (2004) menyatakan bahwa pada setiap pengusahaan pertambangan
yang lokasinya relatif terpencil atau wilayah/daerah yang baru dibuka, masyarakat
pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta mampu/memiliki semangat bersaing
(competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Contoh
kasus: masyarakat Kamoro dan Amungme di sekitar Freeport Indonesia,
masyarakat Kutai di sekitar PT Kaltim Prima Coal, dan masyarakat Luwu di
sekitar INCO. Hal ini disebabkan oleh kebijakan dan penanganan yang keliru
oleh Pemerintah Daerah dan perusahaan pertambangan sendiri dengan
memberikan atau memenuhi segala klaim-klaim dari masyarakat asli. Pemenuhan
klaim-klaim itu, tidak diikuti dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai
akan cara pemanfaatan dan penggunaan dana atau barang yang diberikan,
sehingga pemberian itu hanya habis dikomsumsi dalam waktu relatif singkat
artinya tidak produktif.
Selanjutnya Saleng (2004) menyatakan bahwa kontribusi pengusahaan
pertambangan terhadap pembangunan secara nasional melalui penerimaan negara
sangat besar, namun terhadap pembangunan daerah atau wilayah dan masyarakat
sekitar usaha pertambangan baik melalui program local and community
development maupun program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan,
tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar
dengan usaha pertambangan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lima perusahaan pertambangan
(PT Freeport Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Caltex Pasific Indonesia,
PT.International Nickel Indonesia, dan PT Aneka Tambang Tbk), Saleng (2004)
menyatakan bahwa secara umum terdapat tiga hal yang masih menjadi masalah
dalam pengusahaan pertambangan saat ini dan dimasa yang akan datang, yaitu:
24
1. Tumpang tindih hak atas wilayah operasi Kontrak Karya, Kontrak Production
Sharing, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dan Kuasa
Pertambangan di satu pihak dengan hak-hak: kehutanan, perkebunan, ulayat
masyarakat adat, transmigrasi dan tanah penduuduk setempat di pihak lain.
2. Pengelolaan, perlindungan, dan pemulihan lingkungan hidup dalam usaha
pertambangan.
3. Pengembangan wilayah dan masyarakat (local and community development)
sekitar wilayah usaha pertambangan.
Sedangkan menurut Bappenas (2004), konflik sektor pertambangan dengan
sektor lainnya antara lain konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang,
pelestarian lingkungan, serta konflik pertambangan dengan sektor kehutanan
dalam penggunaan lahan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Adapun
penyebabnya antara lain:
1. Sulitnya mengakomodasi kegiatan pertambangan ke dalam penataan ruang.
2. Sering dituduh sebagai biang keladi kerusakan lingkungan.
3. Tumpang tindih pemanfaatan ruang dengan lahan kehutanan.
Pengelolaan usaha pertambangan umum juga tidak luput dari permasalahan
keagrarian/pertanahan. Menurut Soenarto (2004), konflik masalah
pertanahan/kewilayahan yang sering terjadi di subsektor pertambangan antara
lain:
1. Tumpang tindih pemanfaatan lahan dengan sektor lain seperti kehutanan,
perkebunan, kelautan, pertanian, dll;
2. Permasalahan ganti rugi lahan dengan pemegang hak atas tanah; dan
3. Hak ulayat.
Berkaitan dengan masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan
pertambangan selama ini, pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah harus
lebih tegas karena masih banyak kekurangan dalam masalah pengelolaan
perbaikan lingkungan (Suryanto 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa Kalimantan
Timur dengan wilayah pertambangan yang luas sampai saat ini masih dihadapkan
pada permasalahan kerusakan (degradasi) lingkungan karena diperkirakan banyak
perusahaan yang belum memperbaiki kerusakan lingkungan yang ditimbulkan
dari kegiatan pertambangan. Upaya yang dapat ditempuh saat ini adalah
mengevaluasi kemungkinan diperpanjangnya kegiatan pertambangan jika
25
terdapat perusahaan pertambangan yang belum memperbaiki kerusakan
lingkungan. Lebih daripada itu pemerintah daerah dapat menyusun peraturan
daerah mengenai pengelolaan pertambangan dan lingkungan berdasarkan potensi
daerah, yang dapat dijadikan pedoman bagi calon investor dan masyarakat.
Hutan dan Kehutanan
Hutan dan kehutanan merupakan salah satu pemanfaatan ruang yang sangat
penting karena hampir 70% dari ruang daratan Indonesia ditetapkan sebagai
kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap. Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dinyatakan bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat maka luas kawasan
hutan dan penutupan lahan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau yang
harus dipertahankan adalah minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau
pulau tersebut (Dephut 2003).
Salah satu bentuk penataan ruang dalam bidang kehutanan adalah Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dilakukan pada setiap provinsi dan
merupakan hasil kesepakatan tujuh instansi sektoral di tingkat provinsi pada tahun
1985. TGHK merupakan rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang
dilakukan melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah
Pusat. Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK adalah seluas 147.027.680 hektar
yang terdiri atas hutan tetap seluas 110.990.858 hektar dan hutan yang dapat
dikonversi untuk kegiatan pembangunan lainnya seluas 36 036 822 hektar.
Dalam perkembangannya, TGHK mengalami penyesuaian sesuai dengan
tuntutan pembangunan dan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman penduduk,
pembangunan infrastruktur, dan lainnya. Untuk itu, dilakukan penyesuaian
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang selanjutnya
dikenal sebagai Paduserasi TGHK-RTRWP. Melalui paduserasi ini, sebagian
kawasan hutan berubah menjadi non kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan
setempat akan lahan. Pada tahun 1999, kawasan hutan Indonesia kembali
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan
26
Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi yang disusun berdasarkan hasil
pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK. Penunjukan kawasan hutan
provinsi sampai dengan bulan Desember 2003 telah diterbitkan sebanyak 24
provinsi, sedangkan tiga provinsi lain (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan
Tengah) masih dalam proses penyelesaian.
Tabel 2 Luas kawasan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi
No. Fungsi Luas (ha)
TGHK Penunjukan 1 Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam 19 229 498
23 239 815.57
2 Hutan Lindung 29 326 072
29 100 016.20
3 Hutan Produksi Terbatas 29 437 587
16 212 527.26
4 Hutan Produksi Tetap 32 997 701
27 738 950.20
Hutan tetap 110 990 858
5 Hutan Produksi Yang Dapat di Konversi
36 036 822
13 670 535.00
Jumlah 147 027 680
109 961 844.05
Sumber: Dephut 2003
Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, kawasan hutan
Indonesia adalah seluas 109.961.844.05 hektar (Tabel 2). Sedangkan kawasan
hutan Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah berdasarkan
pemetaan paduserasi TGHK dan RTRWP tahun 1999 seluas 18.490.626 hektar
(Dephut 2004).
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk kegiatan
kehutanan maupun pembangunan di luar kehutanan sering muncul adanya konflik.
Menurut Wulan et al. (2004) pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi
di sekitar kawasan hutan dikarenakan adanya tumpang tindih sebagian areal
konsesi atau kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat dan karena
terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan,
baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal. Selain konflik-konflik yang
terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang hak pengelola kawasan
hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan. Dalam era desentralisasi,
27
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah seringkali bertentangan dengan
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka sehingga akses
masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut
memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan. Menurut Riyanto (2004),
permasalahan yang menonjol terkait dengan pengelolaan kawasan hutan antara
lain penebangan liar, perambahan hutan, perburuan satwa liar tanpa izin,
kebakaran hutan, dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan.
Perambahan kawasan hutan terjadi di beberapa daerah bahkan terjadi di
Taman Nasional antara lain Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Kerinci
Seblat, Taman Nasional Merubetiri, dan sebagainya. Disamping itu, permasalahan
klasik yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah
masalah kemiskinan. Kondisi masyarakat sekitar hutan di Indonesia rata-rata
miskin yang terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang
berdampak pada tingkat pendapatan yang juga rendah. Disamping itu,
kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan mereka memasuki kawasan hutan
untuk mencari tambahan penghasilan atau membuka lahan untuk pertanian.
Kerangka Pemikiran
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memiliki sumberdaya alam yang
berlimpah, khususnya bahan tambang. Disamping itu, Kabupaten Kutai Timur
memiliki kawasan hutan yang cukup luas yaitu 2.784.024 hektar. Menurut Zen
(2001), pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu, pengembangan wilayah Kota
Bontang dan Kabupaten Kutai Timur didasarkan pada potensi sumberdaya alam
yang dimiliki sebagai penggerak utama (prime mover) yaitu bahan tambang
mineral dan migas.
Dalam rangka mengeksploitasi bahan tambang sebagai salah satu upaya
dalam pengembangan wilayah, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai wujud perencanaan pemanfaatan
sumberdaya tersebut. Sampai saat ini tidak kurang dari 30% wilayah daratan
28
Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik
pertambangan mineral, batubara, migas maupun pertambangan galian C. Tidak
jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan
wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah
hidup masyarakat adat.
Namun di sisi lain, bahan galian tambang juga merupakan salah satu sumber
kekayaan alam yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Menurut
Saleng (2004), perolehan nasional dari sektor pertambangan dapat dikatakan
multidimensional, antara lain mampu menopang program industrialisasi melalui
penyediaan bahan baku induistri dalam negeri, menyediakan sumber energi seperi
minyak bumi, gas, batubara, meningkatkan penerimaan negara dan devisa,
membantu peningkatan dan pemeraan pembangunan ke berbagai wilayah,
membuka kesempatan bekerja, serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan
penduduk sekitar lokasi pertambangan.
Keberadaan tambang disuatu daerah, secara langsung maupun tidak
langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi
tersebut. Dibeberapa daerah, sumbangan sektor pertambangan terhadap PDRB
menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja sangat besar.
Namun pengembangan wilayah tidak hanya berupa peningkatan status
administrasi wilayah, peningkatan PDRB, penyediaan lapangan kerja, atau
pembangunan infrastruktur tapi juga berbicara mengenai pemberdayaan rakyat
setempat. Dalam kegiatannya, pengembangan wilayah tidak hanya memanfaatkan
sumberdaya alam tetapi juga harus membangun manusianya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukan oleh Misra (1982), bahwa pengembangan wilayah
merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah
secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek
fisik ekonomi, sosial, dan budaya.
Disamping itu, kehadiran suatu pertambangan diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi
pertambangan tersebut. Kesejahteraan disini tidak hanya dilihat dari kebutuhan
hidup secara ekonomi, tapi juga pengakuan atas hak-hak, perlindungan dan
keamanan, serta keiikutsertaan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut
kepentingannya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut
29
salah satu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan adalah
program pengembangan masyarakat (community development). Kesejahteraan
masyarakat dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada peningkatan taraf
hidup masyarakat yang parameternya diukur dari tingkat pendapatan, pendidikan
dan kesehatan.
Menurut Saleng (2004), program community development yang dilancarkan
oleh perusahaan pertambangan pada hakekatnya adalah tanggungjawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar usaha
pertambangan dan secara yuridis merupakan pengakuan (recognition) dari
perusahaan pertambangan bahwa ia telah mengambil alih hak penguasaan atas
sumberdaya milik penduduk setempat. Wujud dari jawab sosial dan recognisi
tersebut adalah pemberian sejumlah bantuan, baik berupa uang maupun sarana
dan fasilitras-fasilitas umum dari perusahaan pertambangan kepada masyarakat
setempat.
Sumberdaya alam telah berperan dalam pembangunan daerah. Sumberdaya
alam tidak saja dapat meningkatkan PDRB, menyerap tenaga kerja, melainkan
juga telah memberikan berbagai jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia, misalnya sebagai daerah pariwisata. Namun dibalik peran yang
besar tersebut, akibat faktor alam dan ulah (prilaku) manusia baik secara individu,
kelompok maupun kelembagaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
untuk pembangunan telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan (Ismail
2001). Seperti halnya yang dinyatakan oleh Zen (2001), bahwa suatu aspek yang
tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek
lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah muncul pada tahap
desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan.
Dilain pihak, cebakan bahan galian umumnya berada dalam kawasan hutan.
Hal ini menyebakan terjadinya pembukaan kawasan hutan yang cukup besar
dalam eksploitasi bahan tambang tersebut. Peningkatan aktivitas eksploitasi bahan
tambang tersebut diperkirakan akan berbanding lurus dengan pengurangan luas
kawasan hutan khususnya bagi pertambangan yang menggunakan metode
penambangan terbuka. Menurut Tukiyat (2001), isu pembangunan yang dihadapi
bangsa Indonesia saat ini adalah pertumbuhan penduduk yang cepat, kemiskinan,
pembangunan sistem pertanian yang tidak berkelanjutan dan kerusakan
30
lingkungan. Selanjutnya dinyatakan bahwa setiap aktivitas pembangunan yang
dilakukan oleh penduduk akan mempunyai dampak baik langsung maupun tidak
langsung terhadap lingkungan. Dengan demikian, maka perlu adanya suatu upaya
yang dilakukan agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung tanpa
mengganggu keseimbangan lingkungan.
Pengelolaan bahan galian tambang sebagai sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui seharusnya dapat memberikan nilai tambah bagi daerah
penghasil maupun masyarakat setempat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zen
(2001) bahwa pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu
masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya
alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang
relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yang bersangkutan.
Bahan tambang merupakan sumberdaya alam yang banyak memberikan
sumbangan bagi devisa negara. Sayangnya, pengelolaan dan pemanfaatannya
tidak hanya memberikan dampak yang positif tapi juga memberikan dampak yang
negatif. Hal ini dikarenakan perencanaan pengelolaan yang tidak matang dan
tidak mempertimbangkan berbagai aspek. Pemberian wilayah kerja atau konsesi
pertambangan tanpa memperhatikan kondisi fisik permukaan bumi, hanya
mempertimbangkan potensi bahan tambang yang terkandung di dalam bumi.
Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih
dengan wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-
wilayah hidup masyarakat adat. Hal ini menyebabkan sering terjadinya konflik
antara antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan, maupun antar sektor
antara lain sektor kehutanan dengan sektor pertambangan.
Padahal tujuan utama pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai
kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan
sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan
masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang
diharapkan (Riyadi 2002).
Untuk mewujudkan hal tersebut maka dalam pengembangan wilayah
diperlukan perencanaan sehingga dampak lingkungan dapat diminimalisasi dan
terjadi pemerataan dan keseimbangan pembangunan. Menurut Glasson (1978),
31
perencanaan wilayah umumnya merupakan perencanaan yang melibatkan unsur
fisik dan ekonomi. Perencanaan wilayah dipandang sebagai suatu usaha untuk
memandu pengembangan dari suatu daerah.
Dalam rangka pengembangan suatu wilayah maka harus didahului dengan
perencanaan pembangunan daerah guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-
sumber daya yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu
lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
Adapun tahapan atau alur kerangka pemikiran yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 2).
32
Gambar 2 Bagan alir kerangka penelitian.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dampak kegiatan pertambangan
terhadap pengembangan wilayah dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2005.
Pengumpulan Data
Metode dan pendekatan studi yang digunakan adalah telaah pustaka dan
survei lapangan. Telaah pustaka dilakukan untuk mengumpulkan berbagai
informasi yang terkait dengan penelitian. Sumber data sekunder untuk telaah
pustaka dalam penelitian ini adalah dari berbagai buku, makalah, dan laporan
terkait.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei lapangan dan
wawancara yang dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang
telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 1).
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka maupun data-data yang diperoleh
dari instansi-instansi terkait antara lain Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, Departemen Kehutanan, Pemda Kabupaten Kutai Timur , Pemda Kota
Bontang serta perusahaan pertambangan.
Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
masyarakat maka penentuan perusahaan pertambangan sampel dilakukan dengan
pertimbangan perusahaan tersebut telah beroperasi minimal lima tahun dan
lokasinya berdekatan dengan pemukiman masyarakat. Perusahaan pertambangan
yang dipilih adalah PT Indominco Mandiri sebagai wakil dari pertambangan
umum dan PT Badak NGL sebagai wakil dari pertambangan migas.
Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
masyarakat, pemilihan desa/kelurahan sampel dilakukan terhadap dua lokasi yang
berbeda, yaitu:
34
1. Desa/kelurahan yang berdekatan atau berada di sekitar lokasi pertambangan
dan mendapatkan kegiatan community development dari perusahaan
pertambangan (desa dampak);
2. Desa/kelurahan yang tidak berdekatan dengan lokasi pertambangan dan tidak
mendapatkan kegiatan community development dari perusahaan pertambangan
(desa non-dampak).
Gambar 3 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Indominco Mandiri.
Gambar 4 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Badak NGL.
Without
Kab. Kutai Timur
PT Badak NGL
with
Bontang
14 kelurahan
Without
Kab. Kutai Timur
PT Indominco
Mandiri
with
Kutai Timur Kutai Kertangera
Bontang
6 desa
4 desa
with
35
Penentuan Responden
Teknik sampling atau penarikan contoh dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan kombinasi antara metode pengambilan sampel bertahap
(multistage proporsional random sampling) dengan metode pengambilan sampel
acak terstratifikasi (stratified random sampling).
Langkah-langkah penarikan contoh dilakukan dengan cara :
1. Pada kabupaten dan kota dibuat kerangka sampling jumlah desa/kelurahan
yang diperkirakan terkena dampak kegiatan pertambangan secara langsung
dan mendapatkan program community development dari PT Indominco
Mandiri dan PT Badak NGL. Kerangka sampling berupa daftar desa/kelurahan
berdasarkan aktivitas PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL (Lampiran
2);
2. Berdasarkan kerangka sampling di atas, dipilih secara random sebanyak empat
desa sampel masing-masing dua desa untuk PT Indominco Mandiri yaitu Desa
Suka Damai dan Desa Suka Rahmat dan dua kelurahan untuk PT Badak NGL
yaitu Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan. Penyebaran desa
sampel menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
3. Dari setiap desa/kelurahan sampel dibuat kerangka sampling rumahtangga
menurut pelapisan sosial ekonomi (lapisan atas, menengah, dan bawah). Unsur
pelapisan sosial dalam masyarakat cenderung merupakan gabungan dari
beberapa unsur yaitu penguasaan lahan, kekayaan yang dimiliki, lamanya
menetap, dimensi pendidikan dan pengalaman yang dimiliki, serta dimensi
kekuasaan khususnya pada pemimpin formal;
4. Kemudian secara random-proporsional dipilih sampel rumahtangga dari setiap
desa/kelurahan sebanyak 20 rumahtangga sampel. Dari proses sampling di
lapangan diperoleh total sampel rumahtangga dampak sebanyak 80
rumahtangga.
5. Untuk sampel desa non-dampak, dipilih desa yang tidak mendapatkan
kegiatan community development baik dari PT Indominco Mandiri, PT Badak
NGL maupun dari perusahaan lainnya, yaitu Desa Kandolo. Kemudian dengan
teknik yang sama dipilih secara random-proporsional 20 rumahtangga sampel
dari desa sampel non-dampak.
36
6. Selanjutnya setiap kepala rumahtangga ditetapkan sebagai responden sasaran
wawancara dengan menggunakan kuesioner (metode survei). Dengan
demikian secara keseluruhan jumlah responden dalam studi ini sebanyak 100
responden (Tabel 3).
Tabel 3 Jumlah responden menurut kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/ kelurahan sampel berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Pelapisan Sosek Responden No
Kabupaten/Kota & Kecamatan
Desa/Kelurahan Sampel Atas Mgh Bawah
Total
1 Kota Bontang (dampak)
1. Bontang Selatan 1. Bontang Lestari 2 5 13 20 2. Bontang Barat 2. Kanaan 4 5 11 20
2 Kabupaten Kutai Timur (dampak) 3. Sangatta 3. Suka Damai 5 6 9 20
4. Suka Rahmat 3 8 9 20
Total Dampak 14 24 42 80 3 Kabupaten Kutai Timur (non-dampak)
4. Sangatta 5. Kandolo 5 7 8 20
Total Non-Dampak 5 7 8 20 Total Sampel 19 31 50 100
Selain responden, data dan informasi kualitatif diperoleh dari sejumlah
informan. Untuk kepentingan studi ini maka informan ditetapkan dari tingkat
desa/kelurahan. Dari setiap desa/kelurahan sampel dipilih sejumlah informan,
yaitu Kepala Desa/Lurah, aparat desa/kelurahan, atau tokoh masyarakat.
Penerimaan responden cukup beragam, ada yang menerima dengan baik,
penuh kecurigaan, bahkan menolak untuk diwawancarai. Hal ini disebabkan
antara lain oleh adanya konflik wilayah pada perbatasan Kota Bontang dan
Kabupaten Kutai Timur yaitu Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat.
Pengalaman observasi lapangan dan wawancara dengan responden dituangkan
dalam catatan harian survei lapang (Lampiran 3).
Adapun penyebaran desa dampak, desa non dampak dan lokasi
pertambangan di sajikan pada Peta Wilayah Penelitian (Gambar 5)
Gambar 5 Peta Wilayah Penelitian
38
Pengolahan Data
Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap Pembangunan Daerah
Untuk mengetahui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap
pembangunan daerah dilihat melalui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap
PDRB. Data PDRB tersebut digunakan untuk menganalisis pertumbuhan dan
pemusatan ekonomi wilayah pada Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Analisis pertumbuhan ekonomi wilayah menggunakan data PDRB atas dasar
harga konstan tahun 1993 pada dua titik tahun yaitu tahun 1993 dan 2003. Teknik
analisis yang digunakan adalah shift-share analysis. Hasil analisis shift-share
menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan
membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis shift-
share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu
aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian
yaitu. : sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika
aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum
(Johnson dan Wichern 1998).
Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis,
yaitu:
1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share). Komponen ini
menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang
menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah.
3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini
menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut
dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
39
(keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah
tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Adapun persamaan analisis shift-share sebagai berikut :
XX
XX
XX
XX
XX
SSAti
ti
tij
tij
t
t
ti
ti
t
t
)0(
)1(
)0(
)1(
)0(
)1(
)0(
)1(
)0(
)1(
..
......
1
a b c
dimana : a = komponen share
b = komponen proportional shift
c = komponen differential shift
X.. = Nilai total aktifitas dalam total wilayah
X.i = Nilai total aktifitas tertentu dalam total wilayah
Xij = Nilai aktifitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
t1 = titik tahun akhir
t0 = titik tahun awal
Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah
Untuk melengkapi hasil analisis shift share digunakan metode analisis
Location Quotient (LQ) untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas).
Data yang digunakan adalah data PDRB atas dasar harga kontasn 1993 pada tahun
2002 dan 2003. Menurut Blakely (1994), analisis LQ merupakan suatu analisis
yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu shift-share analysis. Secara
lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas
pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang
diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi
geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap
aktifitas menghasilkan produk yang sama. Persamaan dari LQ ini adalah:
IJ
IJ I
J
LQ X XX X
/
/.
. ..
40
dimana:
Xij : derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i
Xi. : total aktifitas di wilayah ke-I
X.j : total aktifitas ke-j di semua wilayah
X.. : derajat aktifitas total wilayah
Untuk dapat menginterprestasikan hasil analisis LQ, adalah sebagai berikut:
Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu
aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah
atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i.
Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa
aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-I
sama dengan rata-rata total wilayah.
Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif
lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan
diseluruh wilayah.
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Masyarakat
Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
masyarakat dilakukan melalui penelusuran data community development yang
telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Berdasarkan informasi kegiatan
yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat, dilakukan pengecekan
kepada masyarakat sekitar lokasi tambang melalui wawancara atau pengisian
kuesioner yang telah diisi dengan pertanyaan terstruktur.
Aspek yang dilihat pada responden adalah peningkatan taraf hidup
masyarakat melalui pendidikan, kesempatan bekerja, dan kesehatan. Sedangkan
untuk tingkat desa akan dilihat keberadaan infrastruktur sebagai sarana aktifitas
masyarakat, pertumbuhan usaha-usaha kecil, serta konflik yang timbul sebagai
dampak kehadiran perusahaan pertambangan.
Untuk mengetahui pola asosiasi antara karakteristik responden berdasarkan
desa/kelurahan dan pelapisan sosial ekonomi terhadap tingkat pendidikan, jenis
mata pencaharian utama, serta persepsi mengenai kontribusi perusahaan terhadap
41
kesejahteraan keluarga, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja,
pertumbuhan usaha-usaha kecil, dan konflik, digunakan analisis koresponden
berganda ( multiple correspondence analysis).
Analisis Koresponden Berganda (Multiple Correspondence Analysis)
Correspondence analysis merupakan sebuah teknik deskriptif yang didesain
untuk menganalisa tabel sederhana dua arah (simple two-way) atau multi arah
(multi-way) yang berisi beberapa ukuran korespondensi antara data baris dan
kolom. Dalam correspondence analysis, sebuah tabel crosstab dari data frekuensi
mula-mula distandarisasi sedemikian rupa sehingga frekuensi relatif dari semua
sel apabila dijumlah sama dengan 1.0. Salah satu cara untuk menyatakan hasil dari
analisis ini adalah dengan menampilkan tabel frekuensi tersebut dalam bentuk
jarak antara individual data berdasarkan data baris dan kolom dalam satu ruang
dua dimensi.
Perhitungan dalam teknik analisis ini dapat diuraikan seperti yang telah
disampaikan dalam Blakely (1994). Perhitungan detail dari teknik ini adalah
didasarkan pada matrik berikut :
P : merupakan matrik dari frekuensi relatif, dimana masing-masing
eleman dari P dihitung berdasarkan nilai frekunesi dari tabel input
dibagi dengan jumlah total dari semua nilai
r : merupakan nilai vektor dari total baris matrik P
c : merupakan nilai vektor dari total kolom matrik P
Dr : merupakan matrik diagonal, dimana elemen diagonal dari Dr sama
dengan total baris dari P
Dc : merupakan matrik diagonal, dimana elemn diagonal dari Dc sama
dengan total kolom P
Komputasi terhadap koordinat baris dan koordinat kolom didasarkan pada
nilai singular dari matrik P, dimana :
P = A DuB’
Sehingga :
A inverse (Dr) A = B inverse (Dc) = I
42
Dimana :
A : matrik vektor singular sisi kiri (left side generalized vectors);
B : matrik vektor singular sisi kanan (right side generalised vectors);
Du : matrik diagonal dengan elemen diagonal sama dengan nilai singular
(generalized singular values); dan
I : matrik identitas (sebuah matrik diagonal dengan nilai 1 sebagai nilai
diagonal).
Kemudian koordinat baris dihitung berdasarkan matrik baris R =
inverse(Dr)P, dan koordinat kolom dihitung berdasarkan matrik kolom seperti
halnya koordinat baris. Secara spesifik, koordinat baris dihitung sebagai F =
inverse(DR)ADu, dan koordinat kolom sebagai G = inverse(Dc)BDu. Pilihan ini
sangat sesuai apabila kita ingin menginterpretasi variabel berdasarkan jarak baris
dan jarak kolom (jarak antara dua koordinat yaitu dari sisi baris dan kolom adalah
jarak chi-square).
Kesesuaian Peruntukan Ruang
Untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan
lokasi desa dampak/non-dampak dilakukan melalui teknik overlay atau tumpang
tindih antara Peta Administrasi dan Peta Wilayah Pertambangan dengan Peta
Rencana Tata Ruang Wilayah. Melalui overlay ini diperoleh informasi mengenai
kesesuaian pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan dan lokasi desa
dampak/non-dampak dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Gambar 6).
Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan (land use) khususnya
fungsi kawasan hutan pada lokasi pertambangan dan lokasi desa dampak/non-
dampak dilakukan melalui teknik overlay antara Peta Administrasi dan Peta
Wilayah Pertambangan dengan Peta TGHK dan Peta Paduserasi TGHK-RTRW
yang dikenal sebagai Peta Kawasan Hutan Provinsi (Gambar 6). Peta Kawasan
Hutan Provinsi menggambarkan kondisi kawasan hutan yang ada pada saat ini,
sedangkan peta TGHK menggambarkan kondisi kawasan hutan sebelum adanya
kegiatan pertambangan atau awal pembukaan lahan untuk pertambangan di Kota
Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
43
Peta Administrasi Kota Bontang
Peta Adminitsrasi Kabupaten Kutai
Timur
Peta wilayah PT Indominco
Mandiri
OVERLAY
Peta RTRW Kota Bontang
Peta RTRW Kabupaten Kutai
Timur
Peta wilayah PT Badak NGL
Peta Kesesuaian
Pemanfaatan Ruang
Wilayah Penelitian
Gambar 6 Bagan prosedur tumpang tindih Peta Administrasi, Peta Wilayah Pertambangan, Peta RTRW, Peta TGHK, dan Peta Kawasan Hutan.
Peta TGHK Kalimantan Timur
Peta Kawasan Hutan Kalimantan Timur
OVERLAY
Peta Fungsi
Kawasan Wilayah
Penelitian
44
Dampak Pola Perijinan
Untuk mengetahui dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap
perubahan penggunaan lahan dan konflik penggunaan lahan, dilakukan melalui
kajian peraturan perundangan terkait dengan perijinan kegiatan pertambangan
baik yang ditebitkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Aspek
yang dikaji meliputi mekanisme dan prosedur pemberian ijin penggunaan lokasi
untuk kegiatan pertambangan serta pola koordinasi antar instansi. Metode yang
digunakan untuk hasil pengakajian tersebut adalah deskriptif kualitatif. Peraturan
perundangan yang dikaji adalah:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok
Pertambangan
3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7
Pebruari 1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kota Bontang
Letak Geografi dan Administrasi Wilayah
Kota Bontang terletak antara 117 23’ BT - 117 38’ BT dan 0 01’ LU -
0 12’ LU atau berada pada belahan bumi bagian utara khatulistiwa. Kota Bontang
memiliki luas wilayah 497.57 km2 yang terdiri atas daratan 147.80 km2 (29.70%)
dan lautan 349.77 km2 (70.30%).
Secara geografis Kota Bontang di sebelah Barat dan Utara berbatasan
dengan Kabupaten Kutai Timur, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Kutai Kertanegara dan di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar. Kota
Bontang memiliki letak yang cukup strategis yaitu terletak pada jalan trans Kaltim
dan berbatasan langsung dengan Selat Makassar sehingga menguntungkan dalam
mendukung interaksi wilayah Kota Bontang dengan wilayah lain di luar Kota
Bontang.
Kota Bontang awalnya merupakan sebuah desa kecil yaitu Desa Bontang
Kuala. Kehadiran PT Badak NGL pada tahun 1974 sebagai industri gas alam dan
PT Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT) tahun 1977 sebagai industri pupuk dan
amoniak di Kota Bontang merupakan titik awal terbukanya daerah tersebut
sehingga berkembang menjadi Kecamatan Bontang. Seiring dengan semakin
berkembangnya kota tersebut maka pada tahun 1989 statusnya meningkat menjadi
kota administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1989 dan
pada tahun 1999 meningkat menjadi kota otonom sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi dan Kabupaten bersama-sama
dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Kertanegara. Desa Bontang
Koala sebagai cikal bakal kota tersebut sampai sekarang tetap menjadi
perkampungan nelayan. Namun pemukiman tersebut semakin padat dan menjorok
ke laut serta bentuk rumah panggung dari kayu relatif tidak berubah banyak.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 17 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Organisasi Kecamatan Bontang Barat pada tanggal 16 Agustus
46
2002, maka Kota Bontang menjadi tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan
Bontang Selatan, Kecamatan Bontang Utara, dan Kecamatan Bontang Barat serta
14 kelurahan dan satu desa.
Kota Bontang dilalui oleh beberapa sungai yang berhulu di bagian Barat
(Kabupaten Kutai) dan bermuara di Selat Makassar. Sungai-sungai tersebut adalah
Sungai Guntung, Sungai Bontang, Sungai Busuh, Sungai Nyerakat Kanan dan
Sungai Nyerakat Kiri yang aliran permukaannya membentuk Daerah Aliran
Sungai (DAS) Santan.
Kependudukan dan Tenaga Kerja
Penduduk Kota Bontang berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2003 sebanyak
117 082 jiwa yang tersebar merata di tiga kecamatan yakni Kecamatan Bontang
Selatan 48.378 jiwa, Kecamatan Bontang Utara 47.357 jiwa, dan Kecamatan
Bontang Barat 21.347 jiwa. Perkembangan jumlah penduduk di Kota Bontang
mengalami peningkatan secara periodik, yakni dari 94.698 jiwa tahun 1999
menjadi 117.082 jiwa pada tahun 2003. Pertumbuhan penduduk Kota Bontang
pada tahun 2003 sebesar 5.53%. Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang
selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang menurut kecamatan tahun 1999-2003
Tahun Kecamatan 1999 2000 2001 2002 2003
Bontang Selatan 40 577
44 636
46 084
42 685
48 378
Bontang Utara 54 121
54 981
56 769
43 253
47 357
Bontang Barat - - - 19 758
21 347
Jumlah 94 698
99 617
102 853
105 696
117 082
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Pesatnya pertumbuhan penduduk disebabkan oleh besarnya faktor migrasi
disamping faktor kelahiran dan kematian.
Penduduk Kota Bontang sebagian besar bekerja pada lapangan usaha
konstruksi bangunan (23.12%), perdagangan besar dan eceran (16.02%) dan
47
industri pengolahan (14.21%). Secara rinci persentase jumlah penduduk yang
bekerja di Kota Bontang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan kerja tahun 2002
No. Lapangan usaha Jumlah Persentase (%)
1 Pertanian, berburuan dan kehutanan 1 448
3.94
2 Perikanan 610
1.66
3 Pertambangan dan penggalian 2 551
6.95
4 Industri pengolahan 5 217
14.21
5 Listrik, gas dan air minum 74
0.20
6 Konstruksi bangunan 8 491
23.12
7 Perdagangan besar dan eceran 5 882
16.02
8 Akomodasi 1 184
3.22
9 Transportasi, pergudangan dan komunikasi 2 016
5.49
10 Perantara keuangan dan real estate 259
0.71
11 Jasa perusahaan dan usaha persewaan 2 183
5.94
12 Administrasi pemerintahan, pertanahan dan jaminan sosial wajib
1 572
4.28
13 Jasa pendidikan 1 904
5.19
14 Jasa kesehatan dan kegiatan sosial 629
1.71
15 Jasa kemasyarakatan 1 998
5.44
16 Jasa perorangan yang melayani rumah tangga 703
1.91
Jumlah 36 721
100
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Masyarakat Kota Bontang sangat heterogen yang terbentuk secara
geneakologis (perkawinan) dan teritorial (sama-sama menempati suatu wilayah
dalam mencari penghidupan) dari berbagai etnis Nusantara mulai dari Sumatera,
Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Maluku dan Papua serta etnis lokal
Kalimantan seperti Banjar, Kutai, Melayu, dan Dayak. Di Kota Bontang terdapat
berbagai paguyuban etnis, antara lain Sulawesi (Luwu Banggai, Mamuju, Mandar,
Barru, Polmas, Sidrap, Mandar-Majene, Makassar, Toraja, Bone, Sulawesi
Tengah, Pinrang, Kawanua, dan Sangihe Talaud), Kalimantan (Banjar, asli
Bontang, Dayak, Kutai Hulu Hilir, asli Kutai), Jawa (Madiun dan sekitarnya,
Malang, Bojonegoro, Kediri, Madura, Banyuwangi, Sunda), Nusa Tenggara dan
Bali (Manggarai, NTT, Bali), Sumatera (Batak, Aceh, Padang, Sumatera Selatan),
Ambon, dan etnis Cina.
48
Penduduk Kota Bontang mayoritas beragama Islam yaitu sebanyak
sebanyak 103.024 orang (88%) sedangkan penganut agama lain sebanyak 12%
terdiri Protestan 11.559 orang, Katolik 2.085 orang, Hindu 237 orang, Budha 74
orang, dan lainnya 100 orang.
Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi
Penggunaan lahan Kota Bontang pada tahun 2001 didominasi oleh hutan
belukar, hutan mangrove seluas 6.596 hektar atau 44.2% dari luas wilayah Kota
Bontang. Umumnya kawasan ini merupakan kawasan lindung dengan luas 3.512
hektar atau 23.76%, lokasi kegiatan dua buah industri yaitu PT Pupuk Kaltim dan
PT Badak NGL beserta fasilitas penunjangnya seluas 3.512 hektar atau 23.75%.
Luas potensial lahan untuk pembangunan lainnya hanya seluas 4.672 hektar atau
31.6% termasuk di dalamnya areal yang sudah terbangun seluas 922 hektar (Tabel
6).
Tabel 6 Luas dan persentase penggunaan tanah Kota Bontang tahun 2001 menurut jenis penggunaan tanah
No.
Jenis penggunaan tanah Luas (ha) Persentase (%) 1 Perumahan 922
6.24
2 Kebun campuran 1 301
8.80
3 Tambak 136
0.92
4 Tegalan 84
0.57
5 Land clearing 48
0.32
6 Sarana prasarana PT PKT dan PT Badak NGL
3 512
23.76
7 Mangrove 1 023
6.92
8 Semak 2 140
14.48
9 Hutan belukar 5 523
37.37
10 Lain-lain (jalan, sungai) 91
0.62
Jumlah 14 780
100.00
Sumber: Pemda Bontang KKPSDA 2003
Komoditi utama yang menopang perekonomian Kota Bontang adalah gas
alam cair dan produksi urea curah. Sedangkan potensi pertanian tanaman pangan
dan perkebunan di Kota Bontang tidak terlalu menonjol mengingat Bontang
adalah daerah perkotaan. Sebagian besar bahan makanan yang dikomsumsi
49
masyarakat Bontang masih mengandalkan suplai dari daerah lain. Hal ini
dikarenakan kurangnya ketersediaan dan kemampuan lahan pertanian. Faktor lain
yang mempengaruhi adalah kepadatan penduduk sehingga sebagian besar lahan
dijadikan pemukiman. Disamping itu, persentase penduduk yang menekuni sektor
pertanian sangat rendah yaitu 3.94%.
Potensi lain yang dimiliki oleh Kota Bontang adalah potensi kelautan
mengingat wilayah Kota Bontang sebagian besar merupakan perairan. Total
produksi hasil laut Kota Bontang pada tahun 2003 adalah 946.07 ton dengan
produksi tertinggi yaitu ikan tongkol (294.38 ton). Sedangkan hasil laut yang
paling banyak diekspor adalah rumput laut (5.28 ton) dan teripang (5.08 ton).
Kota Bontang memiliki potensi pariwisata yang potensial untuk
dikembangkan maupun sudah dikembangkan namun belum ditangani secara
profesional. Menurut Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kota Bontang
terdapat 14 obyek pariwisata antara lain Pulau Beras Basah, Pulau Gusung,
Terumbu Karang Gosong Segajah, Teluk Sekangat, pemukiman nelayan Bontang
Kualadan Tihik-Tihik, dan lainnya. Obyek-obyek pariwisata tersebut dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat bila berlokasi di darat dan
dapat ditempuh dengan perahu motor atau speedboat untuk obyek pariwisata yang
berlokasi di pesisir atau laut.
Sarana Prasarana Fisik dan Sosial
Panjang jalan di Kota Bontang adalah 155.791 km yang berdasarkan
konstruksi jalan terdiri atas aspal 32.923 km atau 21%, beton (rigid) 24.398 km
atau 16%, kayu 9.071 km atau 6%, tanah 72.397 km atau 46% dan lapen 17.001
km atau 11%. Berdasarkan kondisi jalan terdiri atas baik 54.986 km atau 35%,
sedang 13.987 km atau 9%, rusak 14.969 km atau 10%, dan rusak berat 71.849
km atau 46%.
Sarana pendidikan di Kota Bontang cukup lengkap mulai dari tingkatan
Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi dan tersebar di semua kecamatan.
Jumlah Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 36 buah, Sekolah Dasar (SD)
sebanyak 53 buah, Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) sebanyak 30
buah, Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) sebanyak 16 buah. Sedangkan
50
Perguruan Tinggi yang ada di Kota Bontang adalah Universitas Trunojoyo.
Adapun jumlah sarana pendidikan tingkat dasar sampai menengah serta
penyebaran menurut kecamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah sekolah menurut kecamatan
SD SMTP SMTA Kecamatan TK
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta Bontang Selatan
15
14
13
2
9
1
3
Bontang Utara 15
10
9
1
11
3
7
Bontang Barat 6
3
4
2
5
-
2
Jumlah 36
27
26
5
25
4
12
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Sarana kesehatan di Kota Bontang terdiri atas rumah sakit milik pemerintah
dan swasta, puskesmas, puskesmas pembantu, balai pengobatan, dan dokter
praktek. Adapun jumlah dan penyebaran fasilitas kesehatan menurut kecamatan
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan
Kecamatan Rumah Sakit
Puskesmas
Puskesmas pembantu
Balai pengobatan
Dokter praktek
Bontang Selatan 1
1
2
-
22
Bontang Utara 3
2
1
2
6
Bontang Barat 1
-
-
-
-
Jumlah 5
3
3
2
28
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Fasilitas tempat ibadah di Kota Bontang tersedia dalam jumlah yang
memadai untuk semua pemeluk agama berupa mesjid sebanyak 60 buah, gereja
katolik sebanyak 4 buah, gereja protestan sebanyak 30 buah, dan pura sebanyak 1
buah.
Pertumbuhan Ekonomi
Keadaan perekonomian Kota Bontang tahun 2002-2003 dapat dilihat
melalui gambaran PDRB dengan harga konstan yang menunjukkan bahwa laju
51
pertumbuhan PDRB tahun 2003 dengan migas naik sebesar 2.08% sedangkan
laku pertumbuhan PDRB tanpa migas mengalami pertumbuhan sebesar 8.84%.
Sektor-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan di atas agregat antara lain
sektor bangunan/konstruksi sebesar 18.01%, listrik, gas dan air minum sebesar
9.58%, serta pertambangan dan penggalian sebesar 8.01% (Tabel 9).
Tabel 9 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003
Dengan Migas Tanpa Migas No. Sektor Ekonomi 2002 2003 2002 2003
1 Pertanian -1.17
5.37
-1.17
5.37
2 Pertambangan dan penggalian 3.59
8.01
3.59
8.01
3 Industri pengolahan -4.58
0.92
1.84
7.49
4 Listrik, gas dan air minum 9.24
9.58
9.24
9.58
5 Bangunan dan konstruksi 12.04
18.01
12.04
18.01
6 Perdagangan, restoran, dan hotel 3.08
7.32
3.08
7.32
7 Pengangkutan dan komunikasi 2.85
2.76
2.85
2.76
8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
3.48
0.94
3.48
0.94
9 Jasa-jasa 5.61
6.52
5.61
6.52
PDRB -3.33
2.08
4.16
8.84
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004b
Salah satu indikator untuk melihat perkembangan struktur ekonomi daerah
adalah melalui komposisi struktur PDRB. Dari komposisi struktur PDRB suatu
wilayah dapat diketahui peranan masing-masing sektor, sehingga sektor yang
dominan peranannya dapat diperkirakan akan membentuk struktur ekonomi
wilayah tersebut. Sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 sektor industri
pengolahan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya dan mendominasi
dalam struktur perekonomian Kota Bontang dengan sumbangan pada tahun 2003
sebesar 86.45%. Sektor ekonomi lain juga mengalami peningkatan meskipun
relatif kecil (Tabel 10).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Kota
Bontang relatif bercorak industrialisasi. Indikasi didasarkan karena sektor industri
pengolahan mendominasi struktur perekonomian. Apabila unsur migas yaitu sub
sektor industri pengolahan gas alam cair /LNG dikeluarkan, maka sektor industri
pengolahan tetap memperlihatkan pengaruhnya terhadap PDRB Kota Bontang.
52
Hal ini disebabkan oleh adanya industri pupuk berskala nasional, yaitu PT Pupuk
Kalimantan Timur Tbk.
Tabel 10 Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2000-2003
No.
Sektor Ekonomi
1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian 1.83
0.37
0.34
0.34
0.34
0.35
0.36
2 Pertambangan dan penggalian
1.42
0.51
0.47
0.47
0.48
0.51
0.54
3 Industri pengolahan
59.54
88.43
88.88
88.88
88.58
87.43
86.45
4 Listrik, gas dan air minum
0.26
0.11
0.12
0.12
0.12
0.14
0.15
5 Bangunan dan konstruksi
12.23
3.85
3.7
3.70
4.00
4.63
5.36
6 Perdagangan, restoran, dan hotel
12.92
3.37
3.22
3.22
3.22
3.43
3.61
7 Pengangkutan dan komunikasi
3.97
1.15
1.09
1.09
1.07
1.14
1.15
8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
4.95
1.35
1.27
1.27
1.27
1.36
1.35
9 Jasa-jasa 2.88
0.86
0.91
0.91
0.92
1.00
1.04
Jumlah 100.00
100.00
100.00 100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : Bappeda dan BPS Bontang 2004a, 2004b
Kabupaten Kutai Timur
Letak Geografi dan Administrasi Wilayah
Kabupaten Kutai Timur dengan ibukota Sangatta terletak pada posisi
115 56’26” BB - 118 58’19” BT dan 0 02’10” LS - 1 52’39” LU dengan luas
wilayah 35 747.50 km2 atau 17% dari total luas Provinsi Kalimantan Timur.
Secara geografis Kabupaten Kutai Timur di sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Berau, di sebelah Timur berbatasan dengan
Selat Makassar, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai
Kertanegara dan kota Bontang, dan di sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Kutai Kertanegara.
53
Kabupaten Kutai Timur merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari
Kabupaten Kutai berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang
Pemekaran Wilayah Provinsi dan Kabupaten yang diresmikan Menteri Dalam
Negeri pada tanggal 28 Oktober 1999. Pada awal terbentuknya, Kabupaten Kutai
Timur terdiri atas 11 wilayah kecamatan dan 100 desa, namun dalam
perkembangannya terjadi pemekaran beberapa desa sehingga pada tahun 2003
terdiri atas 11 wilayah kecamatan dan 116 desa dan terdapat 6 desa dalam tahap
persiapan sehingga pada tahun 2004 menjadi 122 desa (Tabel 11).
Tabel 11 Banyaknya desa dan luas wilayah menurut kecamatan
Banyaknya desa Luas wilayah No. Kecamatan 2001
2002 2003
2004
Km2 % 1 Muara Ancalong 12
12
12
12
3 241.28
9.07
2 Busang 4
6
6
6
3 721.62
10.41
3 Muara Wahau 9
9
9
9
5 724.32
16.01
4 Telen 5
5
5
7
3 129.61
8.75
5 Kombeng 7
7
7
7
581.27
1.63
6 Muara Bengkal 12
13
13
13
1 562.30
4.37
7 Sangatta 12
18
18
18
3 898.26
10.98
8 Bengalon 5
8
8
8
3 396.26
9.50
9 Kaliorang 14
15
15
15
699.01
1.96
10 Sangkulirang 14
15
17
17
6 020.05
16.84
11 Sandaran 6
6
6
6
3 773.54
10.56
Jumlah 100
114
116
122
35 747.50
100.00
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Kependudukan dan Tenaga Kerja
Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur sebanyak 165.461 jiwa yang
tesebar pada sebelas kecamatan dengan kepadatan rata-rata 4.63 /km2. Namun
penyebaran penduduk belum merata. Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa
kepadatan penduduk paling tinggi terjadi di Kecamatan Kombeng, Sangatta, dan
Kaliorang, sedangkan kecamatan lainnya cenderung jarang.
54
Tabel 12 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut kecamatan
No. Kecamatan Luas wilayah (km2)
Jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan penduduk/km2
1 Muara Ancalong 3 241.28
13 050
4.03
2 Busang 3 721.62
4 027
1.08
3 Muara Wahau 5 724.32
10 476
1.87
4 Telen 3 129.61
4 178
1.33
5 Kombeng 581.27
13 128
22.59
6 Muara Bengkal 1 562.30
14 041
8.99
7 Sangatta 3 898.20
61 384
15.75
8 Bengalon 3 396.24
10 792
3.18
9 Kaliorang 699.01
11 809
16.89
10 Sangkulirang 6 020.05
16 805
2.79
11 Sandaran 3 773.54
5 571
1.48
Jumlah 35 747.50
165 461
4.63
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Kutai Timur selama tiga tahun terakhir
rata-rata 4.14% setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13 yang
menunjukkan bahwa perkembangan jumlah penduduk cukup besar. Pertumbuhan
yang cukup tinggi ini disebabkan oleh faktor imigrasi disamping faktor kelahiran.
Tabel 13 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur menurut kecamatan tahun 1999-2003
Tahun Kecamatan 1999 2000 2001 2002 2003
Muara Ancalong 14 057
13 755
15 509
15 043
13 050
Busang * 3 914
6 689
6 481
4 027
Muara Wahau 230 196
11 523
11 454
11 214
10 676
Telen * 4 362
4 332
4 249
4 178
Kombeng * 11 497
11 975
11 802
13 128
Muara Bengkal 10 901
18 230
17 615
15 891
14 041
Sangatta 21 453
44 843
46 676
54 850
61 384
Bengalon * 6 029
8 667
8 860
10 792
Kaliorang 28 415
11 210
12 152
12 027
11 809
Sangkulirang * 16 599
17 464
17 023
16 805
Sandaran * 4 548
4 630
4 506
5 571
Jumlah 98 022
146 510
157 163
161 946
165 461
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a Keterangan: * = Termasuk dalam kecamatan induknya
55
Penduduk Kabupaten Kutai Timur sebagian besar bekerja pada lapangan
usaha pertanian (69%), pertambangan dan galian (9.54%), dan perdagangan
(6.72%). Secara rinci persentase jumlah penduduk yang bekerja disajikan pada
Tabel 14.
Penduduk Kabupaten Kutai Timur menganut berbagai agama yaitu Islam
sebanyak 136.421 orang, Protestan 16.810 orang, Katolik 10.169 orang, Hindu 1
913 orang, Budha 40 orang, dan lainnya 108 orang.
Tabel 14 Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut kecamatan dan lapangan usaha tahun 2002 (%)
Kecamatan
Pert
ania
n
Pert
amba
ngan
&
pen
ggal
ain
Indu
stri
Perd
agan
gan
Tra
nspo
rt &
K
omun
ikas
i
Jasa
Lai
nnya
Jum
lah
Muara Ancalong 86.83
0.83
0.58
6.31
3086
1.33
0.28
100.00
Busang 80.12
1.20
5.44
7.79
0.78
2.76
1.90
100.00
Muara Wahau 79.00
0.00
1.73
8.24
2.53
6.39
2.11
100.00
Telen 66.78
0.00
4.28
10.72
4.22
12.72
1028
100.00
Kombeng 88.18
0.00
3.83
2.27
0.77
4.57
0.39
100.00
Muara Bengkal 78.80
0.00
3.16
8.19
3.35
6.25
0.26
100.00
Sangatta 44.37
35.00
0.75
5.80
0.37
2.54
11.16
100.00
Bengalon 51.52
0.00
36.36
6.06
0.95
3.03
2.08
100.00
Kaliorang 87.81
0.00
0.74
4.48
0.36
6.25
0.36
100.00
Sangkulirang 65.05
0.00
12.08
11.25
3.84
6.13
1.65
100.00
Sandaran 88.61
0.00
0.85
6.89
0.74
2.23
0.69
100.00
Kutai Timur 69.50
9.54
4.41
6.72
1.88
4.27
3.68
100.00
Sumber: BPS Kutai Timur 2003
Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi
Pola penggunaan lahan kabupaten Kutai Timur terbagi atas pemukiman
9.534 hektar, industri 262 hektar, sawah 14 526 hektar, perkebunan 11.896 hektar,
pertanian lahan kering 23.838 hektar, hutan lebat 1.003.526 hektar, hutan belukar
1.531.169 hektar, hutan sejenis 90.170 hektar, hutan rawa 381.138 hektar,
semak/alang-alang 310.854 hektar, kolam/tambak 664 hektar, dan lain-lain 51.693
hektar (Priyatna 2003).
56
Potensi sumberdaya yang dimiliki Kabupaten Kutai Timur sangat besar yang
terdiri atas hutan yang luas, cadangan batubara, migas, dan bahan tambang
lainnya seperti emas, pasir kuarsa, lempung, dan batu gamping. Investasi
didominasi oleh sektor pertambangan migas dan batubara yaitu sebesar 82%,
sedangkan sektor lainnya masing-masing pertanian 9.8%, dan bangunan sebesar
3%.
Kabupaten Kutai Timur memiliki cadangan batubara sebesar 5.35 milyar ton
dengan 26 perusahaan pemegang perizinan yaitu Pemegang Kuasa Pertambangan
Batubara (PKP2B), Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK). Dari
jumlah tersebut perusahaan yang telah melakukan eksploitasi adalah PT Kaltim
Prima Coal (KPC) , PT Indominco Mandiri, PT Kitadin, sedangkan yang lainnya
masih dalam tahap ekplorasi dan penyelidikan umum. Potensi minyak dan gas
terdapat di Sangkima Field dengan cadangan sebesar 243.4 juta barrel MMBO
dan Sangatta Field dengan cadangan sebesar 459.8 BCFG yang saat ini dikelola
Pertamina OPS Sangatta.
Potensi di bidang kehutanan meliputi pemanfaatan hasil hutan kayu dan non
kayu serta industri pengolahan hasil hutan antara lain industri plywood, moulding,
dan kayu olahan.
Potensi lain yang dimiliki oleh Kabupaten Kutai Timur adalah pertanian,
perkebunan, dan pariwisata. Komoditi utama tanaman pertanian antara lain padi,
jagung, kacang-kacangan, pisang, serta tanaman palawijaya, sayur-sayuran, dan
buah-buahan. Sedangkan komoditi utama tanaman perkebunan meliputi karet,
kopi, cengkeh, lada, coklat, kelapa sawit, serta tanaman perkebunan lainnya.
Sarana Prasarana Fisik dan Sosial
Panjang jalan di Kabupaten Kutai Timur adalah 1 504 km terdiri atas jenis
permukaan aspal 341 km atau 23%, kerikil 659.5 km atau 44%, dan tanah 503.50
km atau 33%. Sedangkan berdasarkan kondisi jalan terdiri atas baik 566.31 km
atau 38%, sedang 193.96 km atau 13%, rusak 308.83 km atau 21%, rusak berat
295.9 km atau 20%, dan lainnya 139 km atau 9%.
Sarana pendidikan di Kabupaten Kutai Timur cukup lengkap mulai dari
tingkatan Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Namun terdapat tiga
57
kecamatan yang belum memiliki sekolah Taman Kanak-Kanak yaitu Kecamatan
Muara Ancalong, Kecamatan Telen, dan Kecamatan Sandaran. Sedangkan
kecamatan yang belum memiliki SMA terdiri atas tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Busang, Kecamatan Telen, dan Kecamatan Sandaran. Adapun sarana
pendidikan tingkat dasar sampai menengah disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Jumlah sekolah menurut kecamatan
SD SMTP SMTA Kecamatan TK
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta Muara Ancalong
3
17
-
3
2
1
-
Busang -
6
-
1
-
-
-
Muara Wahau 3
11
-
1
-
-
1
Telen -
6
-
1
1
-
-
Kombeng 5
9
1
3
-
-
2
Muara Bengkal 4
16
-
2
1
1
1
Sangatta 16
24
8
4
9
1
1
Bengalon 3
8
1
1
2
-
1
Kaliorang 5
16
-
3
-
-
1
Sangkulirang 4
20
1
1
-
1
-
Sandaran -
9
-
2
-
-
-
Jumlah 43
142
11
22
15
4
7
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Sarana kesehatan di Kabupaten Kutai Timur terdiri atas rumah sakit,
puskesmas, puskesmas pembantu, balai pengobatan, dan dokter praktek. Adapun
jumlah dan penyebaran fasilitas kesehatan menurut kecamatan disajikan pada
Tabel 16.
Sedangkan fasilitas tempat ibadah tersedia dalam jumlah yang memadai
untuk semua pemeluk agama berupa mesjid sebanyak 209 buah, gereja katolik
sebanyak 44 buah, gereja protestan sebanyak 98 buah, dan pura sebanyak 9 buah.
58
Tabel 16 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan
Dokter praktek Kecamatan Rumah Sakit
Puskesmas Puskesmas pembantu
Balai pengobatan
/ klinik Umum Gigi
Muara Ancalong -
1
11
-
-
-
Busang -
1
3
-
-
-
Muara Wahau -
2
9
-
2
2
Telen -
1
4
-
1
-
Kombeng -
1
4
-
1
-
Muara Bengkal -
1
5
-
1
1
Sangatta 1
3
11
-
-
-
Bengalon -
1
2
4
-
-
Kaliorang -
1
11
-
-
-
Sangkulirang -
1
5
-
-
-
Sandaran -
1
2
-
-
-
Jumlah 1
14
67
4
5
3
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Pertumbuhan Ekonomi
Keadaan perekonomian Kabupaten Kutai Timur tahun 2002-2003 dapat
dilihat melalui gambaran PDRB dengan harga konstan yang menunjukkan bahwa
laju pertumbuhan PDRB tahun 2003 dengan migas mengalami pertumbuhan
negatif sebesar -3.45% sedangkan laju pertumbuhan PDRB tanpa migas
mengalami pertumbuhan negatif sebesar -2.37% (Tabel 17). Angka pertumbuhan
yang negatif menggambarkan bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur
tahun 2003 agak tersendat bila dibandingkan dengan tahun 2002. Hal ini
disebabkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kutai Timur sangat dipengaruhi
oleh kegiatan dan komoditi pertambangan khususnya batubara. Kabupaten Kutai
Timur merupakan salah satu andalan penghasil batubara Provinsi Kalimantan
Timur dalam mengekspor komoditi non migas khususnya batubara.
59
Tabel 17 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003
Dengan Migas Tanpa Migas No. Sektor Ekonomi 2002 2003 2002 2003
1 Pertanian 91.89
-13.95
91.89
-13.95
2 Pertambangan dan penggalian 12.92
-3.55
27.86
20.79
3 Industri pengolahan -6.60
2.56
-6.60
2.56
4 Listrik, gas dan air minum 26.36
26.30
26.36
26.30
5 Bangunan dan konstruksi 43.37
-17.42
43.37
-17.42
6 Perdagangan, restoran, dan hotel 49.87
29.75
49.87
29.75
7 Pengangkutan dan komunikasi 2.13
0.10
2.13
0.10
8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
38.87
21.48
38.87
21.48
9 Jasa-jasa 58.55
21.45
58.55
21.45
PDRB 22.93.
-3.45
47.26
-2.37
Sumber: BPS Kutai Timur 2004b
Pada tahun 2003, salah satu dari tiga perusahaan besar pertambangan
batubara yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur ( PT Kaltim Prima Coal,
PT.Indominco Mandiri, dan PT Kitadin) mengalami penurunan produksi yang
cukup signifikan. PT Kaltim Prima Coal mengalami penurunan produksi akibat
untjuk rasa buruh dan karyawan sehingga mempengaruhi output dan kinerja
perusahaan. Penurunan produksi subsektor ini mencapai -4.44% atau dengan kata
lain produksi batubara pada tahun 2003 mengalami penurunan 4.44%.
Salah satu indikator untuk melihat perkembangan struktur ekonomi daerah
adalah melalui komposisi struktur PDRB. Dari komposisi struktur PDRB suatu
wilayah dapat diketahui peranan masing-masing sektor, sehingga sektor yang
dominan peranannya dapat diperkirakan akan membentuk struktur ekonomi
wilayah tersebut. Sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 sektor yang paling
paling besar pengaruhnya dan mendominasi dalam struktur perekonomian
Kabupaten Kutai Timur adalah sektor pertambangan dan penggalian. Pada tahun
2003, sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar
64.31%. Sektor ekonomi lain yang memberikan sumbangan relatif cukup besar
60
adalah sektor pertanian sebesar 10.33%, dan sektor bangunan dan kostruksi
sebesar 11.29% (Tabel 18).
Tabel 18 Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2000-2003
No.
Sektor Ekonomi
1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian 16.94 9.12 9.54 9.71 8.26 12.89
11.49 2 Pertambangan
dan penggalian 66.74 75.86
72.90 72.10 71.56 65.73 65.66
3 Industri pengolahan
0.74 1.14 1.24 1.32 1.19 0.91 0.92
4 Listrik, gas, dan air minum
0.06 0.15 0.21 0.23 0.29 0.30 0.39
5 Bangunan dan konstruksi
2.79 2.75 2.92 3.71 5.31 6.19 5.29
6 Perdagangan, restoran, dan hotel
2.24 3.16 3.17 3.27 3.07 3.74 4.33
7 Pengangkutan dan komunikasi
5.07 3.43 5.55 4.75 5.30 4.41 4.57
8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
4.54 3.69 3.70 3.88 3.94 4.45 5.60
9 Jasa-jasa 0.88 0.70 0.77 1.03 1.07 1.38 1.74 Jumlah 100.00
100.00
100.00 100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: BPS Kutai Timur 2004b
Kekayaan sumberdaya alam Kabupaten Kutai Timur terutama batubara,
migas, dan bahan tambang lainnya merupakan komoditi yang bersifat tidak dapat
diperbahauru (unrenewable). Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian
sejak tahun 2001 menunjukkan kecenderungan menurun, sedangkan sektor
pertanian serta bangunan dan konstruksi cenderung mengalami peningkatan.
Meskipun demikian, kenaikan yang terjadi pada komoditi tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap sektor-sektor lainnya antara lain pertanian dan
bangunan. Apabila unsur migas dan batubara dikeluarkan dari PDRB maka sektor
pertanian dan bangunan merupakan sektor yang paling dominan pengaruhnya
terhadap struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur.
61
PT Badak Natural Gas Liquefaction
Keberadaan PT Badak NGL diawali dengan ditemukannya cadangan gas
alam di Muara Badak, Kalimantan Timur pada bulan Pebruari 1972 oleh
perusahaan minyak Huffco dari Amerika Serikat. Nama Badak berasal dari sumur
gas pertama yang ditemukan. Huffco bekerja sebagai production sharing
contracts dengan Perusahaan Tambang Minyak Negara (Pertamina) dengan
operator PT Badak NGL yang bertugas mengelola dan mengoperasikan kilang.
PT Badak NGL didirikan pada tanggal 26 Nopember 1974 dengan susunan
kepemilikan saham adalah Pertamina (55%), Huffco (30%), dan JILCO (15%).
Pada tahun 1990, Total Indonesia sebagai salah satu produsen gas menjadi
anggota dan terjadi restrukturisasi Huffco menjadi VICO sehingga susunan
kepemilikan saham menjadi Pertamina (55%), VICO (20%), Total Indonesia,
sekarang menjadi TotalFinaElf (10%), dan JILCO (15%). Produsen gas lain yang
ikut mensuplai gas ke kilang PT Badak NGL adalah Unocoal Indonesia.
Konstruksi pembangunan kilang dimulai pada pertengahan tahun 1974.
Produksi dimulai pada tanggal 5 Juli 1977 dari Train A, sedangkan kilang
diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1977. Pengiriman LNG pertama
diberangkatkan dari Bontang pada tanggal 9 Agustus 1977 ke Semboku Jepang.
Produsen gas PT Badak NGL adalah Pertamina, Vico Indonesia, Total E&P
Indonesia, dan Unocoal Indonesia. Seluruh produksi yang terdiri atas LNG dan
LPG dijual ke luar negeri (ekspor). Ada sebelas perusahaan pembeli LNG yang
berasal dari Jepang, China, dan Korea sedangkan pembeli LPG ada tujuh
perusahaan dari Jepang dan Amerika Serikat.
Kilang LNG Badak yang mulanya didesain untuk dua kilang telah
mengalami perluasan menjadi delapan train dan dilengkapi dengan penambahan
fasilitas produksi LPG. Hal ini menjadikan kapasitas produksi LNG meningkat
dari 3,3 juta ton per tahun pada tahun 1977 menjadi 22 juta ton LNG dan 1.2 juta
ton LPG pertahun.
Komunitas kilang LNG Badak memiliki 1.232 unit rumah perusahaan yang
dilengkapi dengan berbagai fasilitas antara lain fasilitas olahraga dan rekreasi,
wisma tamu, gedung serbaguna, rumah sakit, mesjid, gereja, gedung utama
62
PT.Badak NGL, empat sekolah dari tingkat SD, SMP, sampai SMU. Jumlah
pekerja saat ini sekitar 1.800 orang (7.500 anggota keluarga).
Program-program pengembangan lingkungan yang telah dilakukan disekitar
lokasi perusahaan meliputi bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan,
keagamaam, kepemudaan, olahraga, bantuan untuk penyandang cacat,
pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat dan kesempatan berusaha.
Masyarakat sekitar juga dapat menikmati fasilitas infrastruktur yang telah
dibangun antara lain jalan, pasar, semenisasi gang-gang, serta pembangunan
jembatan dan dermaga nelayan.
Kegiatan community development yang telah dilaksanakan oleh PT Badak
NGL pada tahun 2004 meliputi bidang infrastruktur, pendidikan, keagamaan,
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, olah raga dan kesenian. Disamping bidang
program yang telah direncanakan, PT Badak NGL juga memberikan bantuan
kepada pemerintah dan masyarakat yang dikelompokkan dalam bidang lain-lain
(Lampiran 4). Total nilai anggaran untuk kegiatan community development tahun
2004 sebesar Rp.6.863.936.090.00.
Lokasi wilayah community development PT Badak NGL meliputi seluruh
wilayah Kota Bontang. Meskipun demikian PT Badak NGL tetap memberikan
dukungan dan bantuan dana kepada instansi pemerintah, organisasi kepemudaan,
dan lembaga pendidikan di luar Kota Bontang.
PT Indominco Mandiri
PT Indominco Mandiri merupakan salah satu perusahaan pertambangan
batubara di bawah manajemen BANPU Public Company Limited. Lokasi
pertambangan berada pada tiga wilayah yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara,
Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang Provinsi Kalimantan Timur.
Penandatanganan Kontrak Karya pertama kalinya dilakukan pada tanggal 5
Oktober 1990, sedangkan penandatanganan kontrak penambangan dilakukan pada
tanggal 30 Mei 1990. Penambangan pertama (pengupasan tanah penutup)
dilakukan pada tanggal 15 Juli 1996 dan pengapalan batubara pertama pada
tanggal 18 April 1997. Proses penambangan batubara dilakukan dengan tambang
terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali (back filling method).
63
Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
PT Indominco Mandiri berada pada wilayah KW 01PB0435 yang secara geografis
terletak pada koordinat 117º12’50” - 117º23’30’’BT dan 00º02’20” - 00º13’00”
LU. Sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 015.K/20.01/DJG/2001 tanggal 2 Mei 2001 tentang peningkatan
tahap kegiatan operasi produksi dan penetapan wilayah pertambangan (mining
area) perjanjian kerjasama PT Indominco Mandiri, lokasi pertambangan
PT.Indominco Mandiri seluas ± 25.121 hektar yang terdiri atas Blok I (Blok
Barat) seluas ± 18.100 hektar dan Blok II (Blok Timur) seluas ± 7.021 hektar.
Lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dapat dicapai melalui jalan darat
Balikpapan-Samarinda-Bontang sepanjang 230 km. Dari jalan poros Samarinda-
Bontang menuju lokasi pertambangan sejauh ± 30 km.
Kegiatan community development yang telah dilakukan oleh PT Indominco
Mandiri tahun 2004 dan 2005 meliputi bidang infrastruktur, kesehatan,
keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan kesenian, serta lain-lain
(Lampiran 5).
Adapun ruang lingkup wilayah community development PT Indominco
Mandiri terbagi atas tiga kategori yaitu the main area of community development
meliputi tujuh desa, regional area (opponent area) meliputi tiga kelurahan, dan
national area (support area) meliputi tiga kota yaitu Bontang, Sangatta, dan
Tenggarong. Secara adminitsrasi pemerintahan, wilayah community development
PT Indominco Mandiri terbagi atas :
1. Kabupaten Kutai Timur, merupakan lokasi daerah tambang, meliputi Desa
Teluk Pandan, Desa Suka Damai, dan Desa Suka Rahmat.
2. Kota Bontang, merupakan lokasi fasilitas shiploader, meliputi Desa
Sekambing, Kelurahan Loktuan, Kelurahan Kanaan, Kelurahan Guntung, dan
desa lain di sektiar wilayah Kota Bontang.
3. Kabupaten Kutai Kertanegara, merupakan lokasi fasilitas port stockyard,
meliputi Desa Santan Tengah, Desa Santan Ilir, dan Desa Santan Ulu.
64
Ikhtisar
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah otonom
hasil pemekaran Kabupaten Kutai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47
Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi dan Kabupaten bersama-sama dengan
Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Kertanegara. Cikal bakal
terbentuknya kedua daerah tersebut adalah kehadiran perusahaan pertambangan
batubara PT Kaltim Prima Coal di Sangatta dan industri pengolahan gas cair
PT.Badak NGL di Bontang.
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memiliki pertumbuhan penduduk
yang cukup tinggi masing-masing sebesar 5.53% dan 4.14% setiap tahun.
Pertumbuhan pertumbuhan yang tinggi disebabkan oleh faktor migrasi disamping
faktor kelahiran. Sebagian besar penduduk Kota Bontang bekerja pada lapangan
usaha konstruksi bangunan (23.12%), perdagangan besar dan eceran (16.02%),
dan industri pengolahan (14.21%). Sedangkan penduduk Kabupaten Kutai Timur
sebagian besar bekerja pada lapangan usaha pertanian (69%), pertambangan dan
galian (9.54%), dan perdagangan (6.72%).
Pertumbuhan perekonomian Kota Bontang dipengaruhi oleh sektor industri
pengolahan khususnya industri pengolahan gas cair. Pertumbuhan perekonomian
Kabupaten Kutai Timur dipengaruhi oleh kegiatan dan komoditi pertambangan
khususnya batubara. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota
Bontang tahun 2003 sebesar 86.45%, sedangkan kontribusi sektor pertambangan
dan penggalian terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 2003 sebesar
64.31%. Hal ini dukung oleh keberadaan industri pengolahan gas cair PT Badak
NGL di Kota Bontang dan perusahaan batubara PT Kaltim Prima Coal,
PT.Indominco Mandiri, dan PT Kitadin di Kabupaten Kutai Timur.
PT Indominco Mandiri merupakan perusahaan pertambangan batubara yang
wilayah pertambangannya meliputi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kutai
Kertanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. PT Indominco Mandiri
mulai melakukan penambangan pada tahun 1996 dengan menggunakan
penambangan terbuka (open pit mining). Sedangkan PT Badak NGL merupakan
perusahaan pertambangan migas yang bergerak pada kegiatan usaha hilir yaitu
65
usaha pengolahan. Industri pengolahan gas cair PT Badak NGL mulai beroperasi
pada tahun 1977.
PT Badak NGL dan PT Indominco Mandiri memiliki program community
development yang terbagi atas beberapa bidang yaitu infrastruktur, kesehatan,
keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan kesenian, serta lain-lain.
Program community development yang dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri
dan PT Badak NGL tersebut terdiri atas dua bentuk yaitu fisik dan non fisik.
KONTRIBUSI KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH
Salah satu sektor pembangunan yang memberikan sumbangan devisa bagi
negara adalah sektor pertambangan dan penggalian. Keberadaan sektor
pertambangan dan penggalian memberikan andil yang cukup besar terhadap
struktur ekonomi beberapa daerah khususnya yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam tambang. Hal ini memicu munculnya daerah otonom baru
sebagai hasil pemekaran dari wilayah induk. Keinginan melepaskan diri dari
wilayah induk umumnya didasarkan pada keinginan untuk lebih memajukan
daerahnya dengan modal potensi sumberdaya alam yang ada. Hal ini dapat dilihat
pada Kabupaten Kutai Timur dengan potensi batubara dan minyak, Kota Bontang
dengan potensi gas cair, dan beberapa daerah lainnya.
Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi
yang besar terhadap pembangunan di daerah (Saleng 2004). Salah cara yang
dilakukan untuk mengetahui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap
pembangunan daerah adalah mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam
pertumbuhan ekonomi daerah dan sektor basis yang ada di daerah tersebut.
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Hasil analisis pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggunakan metode
SSA menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berbagai ekonomi di Kota Bontang
dan Kabupaten Kutai Timur adalah positif yaitu sebesar 0.6059. Hal ini berarti
bahwa laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 1993
sampai tahun 2003 mengalami peningkatan. Hasil analisis SSA PDRB Kota
Bontang dan Kabupaten Kutai Timur selengkapnya disajikan pada Tabel 19 dan
20.
Tabel 19 menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran,
serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mempunyai laju
pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di
Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan,
67
kehutanan, dan perikanan lebih rendah 0.1102 dibandingkan dengan laju
pertumbuhan total pertumbuhan Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan
sektor industri pengolahan lebih rendah 0.18525, sektor perdagangan, hotel, dan
restoran lebih rendah 0.0528 dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan lebih rendah 0.2837 dari laju pertumbuhan total Provinsi Kalimantan
Timur.
Sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih,
sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa
mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan
total Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor pertambangan dan
penggalian lebih besar 0.1266, sektor listrik, gas, dan air bersih lebih besar
0.8749, sektor bangunan lebih besar 0.2360, sektor pengangkutan dan komunikasi
lebih besar 0.3988 dan sektor jasa-jasa lebih besar 0.2129 dari total pertumbuhan
Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 19 Hasil analisis shift share PDRB Kota Bontang tahun 1993-2003
No
Sektor Pertumbuhan Ekonomi
Pergeseran Proporsional
Pergeseran Differensial
Total
1 Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
0.6059 -0.1102 -0.1387 0.3570
2 Pertambangan dan penggalian
0.6059 0.1266 0.9214 1.6539
3 Industri pengolahan
0.6059 -0.1825 0.2037 0.6271
4 Listrik, gas. dan air bersih
0.6059 0.8749 1.4047 2.8855
5 Bangunan 0.6059 0.2360 1.2059 2.0478
6 Perdagangan, hotel , dan restoran
0.6059 -0.0528 0.3925 0.9456
7 Pengangkutan dan komunikasi
0.6059 0.3988 0.0101 1.0148
8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
0.6059 -0.2837 0.5747 0.8969
9 Jasa-jasa 0.6059 0.2129 0.7037 1.5224
68
Hasil analisis SSA Kota Bontang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai tingkat
competitiveness lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh
karena itu pengembangan sektor tersebut di Kota Bontang akan tidak
menguntungkan. Dalam hal ini tingkat pertumbuhan sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan 0.1387 lebih kecil dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan secara
umum di Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan sektor-sektor lainnya
mempunyai tingkat keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar sehingga dapat
dikembangkan menjadi sektor penggerak perekonomian di Kota Bontang.
Sektor pertambangan dan penggalian memiliki tingkat pertumbuhan 0.9214
lebih tinggi dari sektor lainnya, sedangkan tingkat pertumbuhan sektor-sektor
lainnya masing-masing sektor industri pengolahan lebih tinggi 0.2037, sektor
listrik, gas, dan air bersih lebih tinggi 1.4047, sektor bangunan lebih tinggi
1.2059, sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih tinggi 0.3925, sektor
pengangkutan dan komunikasi lebih tinggi 0.0101, sektor keuangan, persewaan,
dan jasa perusahaan lebih tinggi 0.5747, dan sektor jasa-jasa lebih tinggi 0.7037.
Tabel 20 menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran
serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mempunyai laju
pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di
Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan lebih rendah 0.1102 dibandingkan dengan laju
pertumbuhan total pertumbuhan Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan
sektor industri pengolahan lebih rendah 0.1825, sektor perdagangan, hotel, dan
restoran lebih rendah 0.0528 dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan lebih rendah 0.2837 dari laju pertumbuhan total Provinsi Kalimantan
Timur.
Sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih,
sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa
mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan
total Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor pertambangan dan
penggalian lebih besar 0.1266, sektor listrik, gas, dan air bersih lebih besar
69
0.8749, sektor bangunan lebih besar 0.2360, sektor pengangkutan dan komunikasi
lebih besar 0.3988, dan sektor jasa-jasa lebih besar 0.2129 dari total pertumbuhan
Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 20 Hasil analisis shift share PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 1993-2003
No
Sektor Pertumbuhan Ekonomi
Pergeseran Proporsional
Pergeseran Differensial
Total
1 Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
0.6059 -0.1102 0.6477 1.1434
2 Pertambangan dan penggalian
0.6059 0.1266 1.3768 2.1093
3 Industri pengolahan
0.6059 -0.1825 2.4733 2.8967
4 Listrik, gas, dan air bersih
0.6059 0.8749 17.8217 19.3025
5 Bangunan 0.6059 0.2360 4.1613 5.0032
6 Perdagangan, hotel, dan restoran
0.6059 -0.0528 4.5557 5.1088
7 Pengangkutan dan komunikasi
0.6059 0.3988 0.8426 1.8473
8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
0.6059 -0.2837 2.5768 2.8990
9 Jasa-jasa 0.6059 0.2129 4.4654 5.2842
Hasil analisis SSA Kabupaten Kutai Timur menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan semua sektor pembangunan di Kabupaten Kutai Timur memiliki
nilai yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan secara umum sektor-sektor
pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur. Tingkat pertumbuhan sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan lebih tinggi 1.1434, sektor
pertambangan dan penggalian lebih tinggi 2.1093, sektor industri pengolahan
lebih tinggi 2.8967, sektor listrik, gas ,dan air bersih lebih tinggi 19.3025, sektor
70
bangunan lebih tinggi 5.0032, sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih tinggi
5.1088, sektor pengangkutan dan komunikasi lebih tinggi 1.8473, sektor
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan lebih tinggi 2.8990, dan sektor jasa-
jasa lebih tinggi 5.2842.
Hal ini berarti sektor pembangunan yang ada di Kabupaten Kutai Timur
mempunyai tingkat keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar sehingga dapat
dikembangkan menjadi sektor penggerak perekonomian di Kabupaten Kutai
Timur.
Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah
Dalam lingkup daerah pada suatu negara, suatu komoditi dikatakan
mempunyai daya saing apabila komoditi tersebut tidak hanya laku dijual di pasar
lokal di daerahnya sendiri, melainkan juga dapat bersaing di luar daerahnya.
Suatu sektor atau subsektor dari suatu daerah dapat dikatakan mempunyai daya
saing apabila sektor atau subsektor tersebut mampu memenuhi kebutuhan di
daerahnya dan juga di luar daerahnya. Sektor atau subsektor dengan karakteristik
tersebut dikatakan sebagai sektor atau subsektor basis. Menurut Glasson (1978),
bertambah banyaknya basis di dalam suatu daerah akan menambah arus
pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan terhadap
barang-barang dan jasa-jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume
kegiatan bukan basis. Sebaliknya, semakin berkurangnya kegiatan non basis akan
mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah
yang bersangkutan, dan turunnya permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan
basis.
Untuk menentukan sektor atau subsektor basis maka dapat ditentukan
melalui nilai koefisen LQ. Analisis LQ dimaksudkan untuk mengetahui
gambaran umum mengenai kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu
wilayah untuk mendukung proses pembangunan di daerah tersebut. LQ
merupakan metode yang menggambarkan kemampuan sektor-sektor
pembangunan dalam suatu daerah dengan kondisi sektor-sektor pembangunan
yang ada di daerah yang lebih luas. Misalnya membandingkan sektor-sektor
71
pembangunan yang ada di tingkat kota/kabupaten dengan sektor-sektor
pembangunan yang ada ditingkat provinsi.
Hasil analisis pemusatan ekonomi dengan menggunakan metode LQ dalam
dua periode waktu di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan pada
Tabel 21. Berdasarkan Tabel 21 tersebut, dapat diketahui sektor yang memberikan
sumbangan keunggulan komparatif terhadap masing-masing daerah. Sektor yang
memberikan keunggulan komparatif terhadap suatu daerah adalah sektor yang
mempunyai koefiesn LQ > 1.
Tabel 21 Hasil analisis LQ sektoral berdasarkan PDRB tahun 2002-2003 Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
Kota Bontang Kab. Kutai Timur No.
Sektor 2002 2003 2002 2003
1 Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
0.0425 0.0442 1.5809 1.4200
2 Pertambangan dan penggalian
0.0157 0.0164 2.0142 1.9921
3 Industri pengolahan 2.7747 2.8372 0.0288 0.0300 4 Listrik, gas, dan air
bersih 0.3226 0.3266 0.7167 0.8841
5 Bangunan 1.5684 1.6947 2.0937 1.6738 6 Perdagangan, hotel, dan
restoran 0.4005 0.1067 0.4362 0.4920
7 Pengangkutan dan komunikasi
0.1074 0.1067 0.4148 0.4243
8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
0.5004 0.4812 1.6351 2.0002
9 Jasa-jasa 0.4162 0.4190 0.5759 0.6988
Sektor yang memiliki keunggulan komparatif atau menjadi basis di wilayah
Kota Bontang adalah sektor industri pengolahan dan sektor bangunan, sedangkan
di wilayah Kabupaten Kutai Timur adalah sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan,
dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan.
Pemusatan sektor industri pengolahan di Kota Bontang dimungkinkan
dengan adanya industri pengolahan gas cair PT Badak NGL dan industri pupuk
PT PKT yang memberikan sumbangan cukup besar dalam pembentukan PDRB
72
Kota Bontang. Sedangkan pemusatan sektor bangunan dimungkinkan karena
pesatnya pembangunan yang mengiringi perkembangan Kota Bontang.
Disamping itu, pekerjaan utama penduduk Kota Bontang sebagian besar pada
sektor lapangan usaha konstruksi bangunan (23.12%) dan industri pengolahan
(14.21%).
Sebagai sektor basis di Kota Bontang, sektor industri pengolahan
memberikan distribusi yang besar dalam struktur perekonomian Kota Bontang.
Pada tahun 2003 sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar
86.46% dengan laju pertumbuhan 7.49%, sedangkan sektor bangunan
memberikan kontribusi sebesar 5.36% dengan laju pertumbuhan 18.01%.
Sektor pertambangan dan penggalian tidak memusat di Kota Bontang,
karena sumberdaya alam berupa gas cair diekspor setelah diolah sehingga masuk
dalam sektor industri pengolahan. Sedangkan hasil pertambangan umum yaitu
batubara dan bahan mineral lainnya tidak memberikan sumbangan yang berarti
dalam PDRB Kota Bontang. Distribusi sektor pertambangan dan penggalian
terhadap PDRB Kota Bontang tahun 2003 hanya sebesar 0.54%, namun memiliki
laju pertumbuhan sebesar 8.01%.
Pemusatan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan di
Kabupaten Kutai Timur sangat dimungkinkan karena Kabupaten Kutai Timur
memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan mata pencaharian utama penduduk
saat ini pada lapangan usaha pertanian (69.50%). Pemusatan sektor pertambangan
dan penggalian dimungkinkan dengan kehadiran perusahaan pertambangan
batubara terbesar di Indonesia yaitu PT Kaltim Prima Coal serta perusahaan
batubara lainnya yang sudah dalam tahap produksi yaitu PT Indominco Mandiri
dan PT Kitadin serta perusahaan migas yaitu Pertamina OPS Sangatta dan
PT.Virginia Indonesioa Company (VICO).
Pemusatan sektor bangunan dimungkinkan dengan perkembangan
Kabupaten Kutai Timur sebagai daerah otonom baru yang sedang giat
membangun. Sedangkan pemusatan sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan dimungkinkan dengan banyaknya jumlah perusahaan yang
beroperasional dari berbagai sektor antara lain pertambangan, kehutanan,
perkebunan, dan lainnya. Hal disebabkan Kabupaten Kutai Timur memiliki
potensi sumberdaya alam yang cukup melimpah.
73
Sebagai salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur, sektor
pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan yang cukup besar dalam
struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur. Pada tahun 2003, sektor
pertambangan dan penggalian memberikan distribusi sebesar 64.31% terhadap
PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan laju pertumbuhan 20.79%. Penyerapan
tenaga kerja oleh sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2003
menempati urutan kedua yaitu sebesar 9.54%
Ikhtisar
Hasil analisis SSA menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan
penggalian memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan daerah
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Sektor pertambangan dan penggalian
dan sektor industri pengolahan khususnya pengolahan gas alam cair merupakan
sektor yang menunjang pertumbuhan perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini
didukung oleh hasil analisis LQ yang menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut
menjadi sektor basis di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
Peranan sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri
pengolahan terhadap pembangunan daerah dapat dilihat dari kontribusi yang
disumbangkan pada PDRB. Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi
sebesar 86.46% dengan laju pertumbuhan 7.49% sedangkan sektor
pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi sebesar 5.36% dengan laju
pertumbuhan 18.01% terhadap PDRB Kota Bontang tahun 2003. Di Kabupaten
Kutai Timur, sektor pertambangan dan penggalian memberikan distribusi sebesar
64.31% dengan laju pertumbuhan 20.79%.
Dengan demikian, kegiatan pertambangan memberikan dampak yang positif
terhadap pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan asli daerah
yang tercermin dalam PDRB. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Muhammad (2000) bahwa dampak positif kegiatan pembangunan di bidang
pertambangan antara lain adalah memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan pendapatan asli daerah.
Pertumbuhan perekonomian Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur sebagian
74
besar didukung oleh sektor pertambangan dan memberikan sumbangan yang besar
terhadap PDRB. Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan
daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
No. Kontribusi terhadap pembangunan daerah
Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur
1 Pertumbuhan ekonomi wilayah Keunggulan kompetitif
Keunggulan kompetitif
2 Pemusatan ekonomi wilayah Sektor basis Sektor basis
3 Kontribusi terhadap PDRB tahun 2003
86.46% 64.31%
4 Penyerapan tenaga kerja tahun 2003
14.21% 9.54%
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Program pengembangan masyarakat pada sektor pertambangan dapat
diartikan sebagai wujud dari internalisasi dari biaya eksternal yang timbul sebagai
akibat dari pemanfaatan sumberdaya yang tidak terbarukan (unrenewable
resources). Bahan tambang merupakan sumberdaya yang tidak terbarukan
sehingga perlu dipikirkan dampak-dampak yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya tersebut. Oleh sebab itu harus dicari beberapa alternatif agar
masyarakat yang terkena dampak tersebut dapat berusaha secara berkelanjutan,
dan mampu terus mandiri tanpa bertopang lagi pada sumberdaya tersebut.
Sejalan dengan otonomi daerah, operasionalisasi tambang tidak bisa
dipisahkan dari lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi tambang. Kegiatan
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan
dimaksudkan agar masyarakat setempat atau sekitarnya merasakan memperoleh
manfaat dari adanya suatu kegiatan pertambangan baik migas maupun umum
antara lain batubara, emas, dan lainnya.
Kegiatan pengembangan masyarakat yang telah dilakukan oleh
PT.Indominco Mandiri dan PT Badak NGL dapat dikelompokkan dalam bentuk
kegiatan fisik dan non fisik. Bentuk kegiatan fisik berupa pembangunan
infrastruktur, sarana pendidikan dan sarana ibadah, sedangkan kegiatan non fisik
berupa bantuan dana dalam bentuk pemberian beasiswa, dukungan pelaksanaan
kegiatan sosial, kepemudaan, olah raga, kesehatan , dan bantuan kegiatan lainnya
yang bersifat insedentil.
Kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT Indominco
Mandiri dan PT Badak NGL tidak hanya ditujukan pada masyarakat, tapi juga
instansi pemerintah. Ruang lingkup wilayah kegiatan pengembangan masyarakat
PT Indominco Mandiri meliputi sepuluh desa/kelurahan pada tiga kabupaten
yaitu Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kertangera, dan Kota Bontang,
sedangkan PT Badak NGL meliputi seluruh wilayah Kota Bontang.
76
Kondisi Fisik dan Sosial Lokasi Studi
Desa Suka Damai terletak pada jalan poros Samarinda – Bontang dengan
jarak ± 15 km dari Kota Bontang dan ± 75 km dari Sangatta, ibukota Kabupaten
Kutai Timur. Desa Suka Damai terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Damai Bersatu
dan Dusun Danau Redan.
Desa Suka Rahmat terletak pada jalan poros Sangatta – Bontang dengan
jarak ± 10 km dari Kota Bontang dan ± 60 km dari Sangatta. Desa Suka Rahmat
terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Gunung Bina Ria dan Dusun Sungai Api-Api.
Desa Sekambing telah berubah status menjadi kelurahan dengan nama
Bontang Lestari sejak bulan Juni 2005. Kelurahan Bontang Lestari terdiri dari
sebelas RT dengan wilayah yang cukup luas terdiri atas daratan dan pulau-pulau
kecil. Kelurahan Bontang Lestari sedang dipersiapkan sebagai lokasi pusat
pemerintahan Kota Bontang yang ditandai dengan pembangunan perumahan
pegawai pemerintah daerah dan gedung perkantoran lainnya. Untuk mencapai
Kelurahan Bontang Lestari, dapat ditempuh dengan jalan tanah yang diperkeras
sejauh ± 15 km dari jalan poros Bontang-Samarinda. Namun belum ada kendaraan
umum yang masuk ke desa tersebut. Transportasi yang umum dipakai adalah ojek
atau melalui jalur laut dengan menggunakan perahu.
Masyarakat pada ketiga lokasi tersebut memiliki karakteristik yang relatif
sama karena umumnya berasal dari daerah yang sama dengan latar belakang adat
istiadat dan budaya yang sama. Masyarakat yang mendiami ketiga lokasi tersebut
umumnya merupakan pendatang dari Provinsi Sulawesi Selatan dan sebagian
kecil dari Pulau Jawa. Umumnya mereka merantau dan bertempat tinggal di
daerah tersebut dengan alasan mencari pekerjaan karena terbatasnya lahan
pertanian di daerah asal dan pendapatan yang relatif rendah.
Mereka umumnya tinggal berkelompok sesuai dengan daerah asal masing-
masing misalnya Bone, Barru, Jeneponto, dan lainnya. Jenis rumah msyarakat
adalah rumah panggung yang terbuat dari papan (Gambar 7). Jarak antar
kelompok maupun rumah saling berjauhan. Jarak antar kelompok umumnya 0.5-
1.km sedangkan jarak antar rumah 100-300 m. Jumlah rumah dalam satu
kelompok berkisar antara 10-20 rumah, kecuali di pusat kegiatan desa relatif
jumlah rumah lebih banyak dengan daerah asal yang heterogen.
77
Gambar 7 Pemukiman kelompok masyarakat Desa Suka Damai Kabupaten Kutai Timur.
Sumber air bersih untuk minum dan masak umumnya dari air hujan dan
sumur, sedangkan untuk keperluan lain seperti mandi dan mencuci bersumber dari
sumur atau sungai. Namun ada beberapa lokasi yang air sumurnya tidak layak
untuk dikomsumsi karena rasanya masam terutama di Desa Suka Damai. Bahkan
masyarakat di Desa Suka Rahmat banyak yang harus membeli air tangki yang
didatangkan dari Kota Bontang khususnya untuk minum dan masak. Penerangan
yang digunakan umumnya petromak. Beberapa rumah menggunakan listrik yang
berasal dari genset bantuan Pemda Kutai Timur dan ada yang milik sendiri untuk
digunakan oleh beberapa keluarga. Namun saat ini genset bantuan pemda ada
yang tidak berfungsi karena rusak. Fasilitas kesehatan yang tersedia adalah
puskesmas pembantu, sehingga untuk penyakit yang lebih serius masyarakat
cenderung memilih berobat ke rumah sakit Kota Bontang.
Kelurahan Kanaan merupakan salah satu kelurahan yang letaknya
berbatasan dengan perumahan PT Badak NGL. Masyarakat umumnya pendatang,
khususnya dari Toraja Provinsi Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa. Kepindahan
mereka ke lokasi tersebut umumnya karena mencari pekerjaan, tidak memiliki
lahan pertanian, dan pendapatan yang relatif rendah di daerah asal.
78
Pemukiman di Kelurahan Kanaan sudah tertata rapi dengan kondisi jalan
umumnya cor beton dan aspal (Gambar 8). Sumber air bersih untuk keperluan
sehari-hari umumnya bersumber dari sumur dan PAM. Penerangan yang
digunakan umumnya listrik dari PLN. Fasilitas kesehatan yang tersedia adalah
puskesmas pembantu, namun untuk penyakit yang lebih serius responden
umumnya berobat ke Rumah Sakit yang ada di Kota Bontang.
Gambar 8 Pemukiman masyarakat Kelurahan Kanaan Kota Bontang.
Desa Kandolo secara administrasi termasuk dalam Kecamatan Sangatta
Kabupaten Kutai Timur dan merupakan hasil pemekaran dari Desa Teluk Pandan
pada tahun 2001. Desa Kandolo terletak ± 50 km dari Kota Bontang dan ± 30 km
dari Sangatta dan berada pada jalan poros Bontang-Sangatta. Desa Kandolo
dipilih sebagai desa pembanding atau desa yang tidak mendapatkan kegiatan
community development dari perusahaan pertambangan.
Desa Kandolo terdiri atas tiga dusun yaitu Dusun Kandolo, Dusun Salimpus,
dan Dusun Kandukung. Dusun Salimpus dan Dusun Kandukung berada pada jalan
poros Bontang-Sangatta, sedangkan Dusun Kandolo terletak ± 5 km dari jalan
poros ke arah Timur melewati jalan tanah yang belum diperkeras sehingga pada
musim hujan sulit dilalui kendaraan.
79
Masyarakat Desa Kandolo mayoritas pendatang dari Provinsi Sulawesi
Selatan dan sebagian kecil dari Pulau Jawa. Ada beberapa alasan yang
menyebabkan mereka bermukim dilokasi tersebut antara lain mencari pekerjaan,
tidak mempunyai lahan pertanian, dan pendapatan yang relatif rendah di daerah
asal. Pemukiman cenderung berkelompok dan jarak antar kelompok cukup
berjauhan. Jenis rumah umumnya adalah rumah panggung yang terbuat dari
papan (Gambar 9).
Mata pencaharian utama masyarakat umumnya adalah petani dengan jenis
komoditas utama pisang dan coklat, sedangkan masyarakat yang bertempat
tinggal di dekat pantai umumnya memiliki mata pencaharian utama sebagai
nelayan. Sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari umumnya dari sumur, air
hujan, dan sungai. Penerangan yang digunakan umumnya petromak dan listrik
dari genset bantuan Pemda Kutai Timur. Desa Kandolo tidak memiliki fasilitas
kesehatan, hanya ada puskesmas keliling dari Pemda Kutai Timur yang datang
sekali dalam sebulan. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih cenderung memilih
berobat ke Kota Bontang.
Gambar 9 Pemukiman masyarakat Desa Kandolo Kabupaten Kutai Timur.
Pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat pada wilayah penelitian tidak
tidak terlalu mencolok, karena pada umumnya taraf kehidupan masyarakat hampir
80
merata. Unsur utama yang menentukan pelapisan sosial pada masyarakat bukan
luas tanah, etnis, dan pekerjaan. Hal ini karena pemilikan dan penguasaan lahan
antar penduduk tidak terlalu mencolok, demikian juga dengan pekerjaan karena
hampir semua masyarakat bekerja sebagai petani disamping pekerjaan sampingan
lainnya. Kepemilikan dan penguasaan lahan pada lokasi studi, kecuali Kelurahan
Kanaan, belum memiliki dokumen legal dari pemerintah. Untuk dapat menguasai
lahan, dilakukan dengan cara membuka kawasan hutan dan menanani tanaman
pisang sebagai komoditas utama dan sebagai tanaman penciri atau batas lahan,
maka dengan sendirinya lahan tersebut sudah dalam penguasaan yang
bersangkutan.
Program Community Development Perusahaan Pertambangan
Dampak positif dari pembangunan di bidang pertambangan yang dapat
langsung dinikmati oleh masyarakat antara lain menampung tenaga kerja terutama
masyarakat lingkar tambang, meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar
tambang, meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang, meningkatkan
kualitas SDM masyarakat lingkar tambang, meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat lingkar tambang, dan sebagainya (Salim 2005). Dampak positif
tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi
pertambangan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL melalui berbagai
program community development yang telah dilaksanakan oleh perusahaan.
Program community development PT Indominco Mandiri secara garis besar
terbagi atas tujuh bidang, yaitu infrastruktur, kesehatan, keagamaan, pendidikan,
ekonomi, sosial budaya, dan kesenian, serta bidang lain-lain untuk menampung
pemberian bantuan kepada masyarakat yang sifatnya insidentil. Sedangkan
program community development PT Badak NGL secara garis besar terbagi atas
tujuh bidang, yaitu bidang infrastruktur, pendidikan, keagamaan, kesehatan,
pemberdayaan masyarakat, olah raga dan kesenian, dan lain-lain. Bidang lain-lain
yang memiliki proporsi dana paling besar menampung kegiatan dalam bentuk
bantuan akomodasi dan transportasi khususnya bagi instansi pemerintah.
Jenis dan bentuk program community development ditentukan oleh
perusahaan sehingga masyarakat bersifat sebagai subyek dari pembangunan.
81
Bentuk kegiatan community development seperti itu dikenal dengan nama
development for community karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan
pelaksanaan kegiatan pembangunannya dilaksanakan oleh aktor dari luar
(Primahendra 2004). Meskipun PT Indominco Mandiri telah membentuk suatu
organisasi yang diharapkan dapat menjembatani perusahaan dan masyarakat yang
disebut sebagai Community Consultative Committee (CCC) namun organisasi
tersebut berjalan dengan baik. Keanggotaan CCC terdiri dari unsur pemerintahan
(camat, lurah atau kepala desa), perusahaan, LSM, wartawan, dan wakil dari
masyarakat. Melalui CCC diharapkan program community develoment akan
bersifat bottom up atau berasal dari masyarakat bawah.
Disamping itu, perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat,
organisasi, dan instansi pemerintah yang sifatnya insidentil setelah pemohon
mengajukan proposal kepada perusahaan. Namun banyaknya permohonan
bantuan yang bersifat insindentil mengakibatkan perusahaan merasa kesulitan
dalam menjalankan program community development yang telah diprogramkan.
Secara umum, program community development PT Indominco Mandiri dan
PT Badak NGL sebagai wujud dari upaya pengembangan masyarakat di sekitar
lokasi pertambangan terbagi dalam dua bentuk yaitu bentuk fisik dan non fisik.
Fisik
Bentuk kegiatan fisik yang telah dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri
dan PT Badak NGL meliputi pembangunan fasilitas umum antara lain
pembangunan ataupun peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan,
sarana kesehatan, sarana peribadatan, dan lain sebagainya.
Namun kegiatan tersebut belum tepat sasaran karena umumnya fasilitas
umum yang dibangun lebih banyak berada di ibukota kota/kabupaten, bukan pada
desa yang berada paling dekat dengan lokasi pertambangan. Pembangunan jalan
yang telah dilakukan oleh PT Indominco Mandiri di desa dampak antara lain
pembangunan jalan dan jembatan di Desa Suka Damai dalam bentuk jalan tanah
dan jembatan kayu, sedangkan pembangunan jalan yang telah dilakukan oleh
PT Badak NGL berupa bantuan seminisasi jalan-jalan di beberapa kelurahan di
Kota Bontang.
82
Pembangunan fisik untuk sarana pendidikan umumnya diberikan dalam
bentuk renovasi beberapa gedung SD. Sedangkan bantuan pembangunan gedung
sekolah yang secara murni dilakukan oleh perusahaan belum ada. Sedangkan
pembangunan fisik berupa sarana kesehatan belum dilakukan oleh PT Indominco
Mandiri dan PT Badak NGL. Sarana kesehatan yang ada di desa/kelurahan
dampak berupa puskesmas pembantu, belum ditemukan adanya klinik kesehatan
atau pengobatan yang dibangun oleh perusahaan untuk kepentingan masyarakat.
Meskipun demikian, PT Badak NGL memiliki rumah sakit sendiri yang
memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat tidak mampu.
Bantuan fisik terhadap pembangunan tempat peribadatan lebih
memperlihatkan hasil dibandingkan dengan pembangunan jalan, sarana
pendidikan, ataupun sarana kesehatan. Namun salah satu desa/kelurahan dampak,
yaitu Kelurahan Bontang Lestari, belum menerima bantuan pembangunan sarana
ibadah meskipun letaknya berbatasan langsung dengan lokasi industri PT Badak
NGL. Sebagai salah satu contoh adalah pembangunan mesjid yang sedang
berjalan di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari yang merupakan mesjid
pertama di lokasi tersebut. Sumber dana pembangunan mesjid tersebut berasal
dari Pemerintah Daerah Kota Bontang dan swadaya masyarakat.
Pembangunan fisik lainnya antara lain berupa bantuan pembangunan kantor
desa dan renovasi beberapa gedung instansi pemerintah lainnya. Data community
development PT Badak NGL menunjukkan bahwa bantuan pembangunan fisik
lebih banyak ditujukan kepada sarana prasarana milik instansi pemerintah
dibandingkan dengan masyarakat.
Non fisik
Program community development non fisik terbagi atas kegiatan sosial,
ekonomi dan kelembagaan. Bentuk kegiatan sosial antara lain pengembangan
kualitas pendidikan (pemberian dana pendidikan/beasiswa, operasional sekolah),
kesehatan (bantuan pengobatan, penyuluhan kesehatan), serta berbagai kegiatan
keagamaan, olahraga, kesenian, dan kepemudaan.
Program sosial yang cukup menonjol dari PT Indominco Mandiri dan
PT.Badak NGL adalah dukungan dana terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan
83
kesehatan, khitanan massal, bhakti sosial, maupun kegiatan keagamaan, olah
raga, kesenian, dan kepemudaan. Namun untuk bantuan pengobatan kepada
masyarakat tidak mampu, PT Badak NGL lebih dominan dibandingkan dengan
PT Indominco Mandiri.
Bentuk kegiatan dalam bidang ekonomi yang telah dilakukan oleh
PT.Indominco Mandiri dan PT Badak NGL menyangkut pengembangan usaha
masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based) seperti
pelatihan budidaya pertanian secara umum (kebun percontohan sayurmayur,
jagung, kedele, budidaya ikan air tawar, budidaya rumput laut) dan pemberdayaan
masyarakat nelayan.
Program community development yang menyangkut kelembagaan dari
PT.Indominco Mandiri dan PT.Badak NGL umumnya berupa dukungan dana dan
akomodasi terhadap berbagai bentuk kegiatan lokakarya, seminar, perlombaan,
dan sebagainya, yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, organisasi profesi,
LSM, maupun organisasi pelajar. Disamping itu, PT.Indominco Mandiri
menyelenggarakan studi banding ke lokasi-lokasi pertanian yang telah maju di
Pulau Jawa. Namun peserta studi banding tersebut umumnya adalah kepala desa
atau tokoh masyarakat tertentu.
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Desa Sekitar Lokasi Pertambangan
Untuk mengetahui adanya dampak kegiatan pertambangan terhadap
masyarakat khususnya dampak dari program community development, maka
dilakukan perbandingan antara responden yang berada pada desa dampak dan
desa/kelurahan non-dampak. Adapun parameter yang digunakan dalam
melakukan perbandingan tersebut yaitu jenis mata pencaharian utama, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, dan sarana prasarana desa/kelurahan.
Mata Pencaharian Utama
Mata pencaharian utama responden pada desa/kelurahan dampak adalah
petani (50%) yang meliputi petani dengan lahan sendiri, petani yang menggarap
lahan orang lain dengan sistem bagi hasil, dan nelayan. Mata pencaharian utama
84
lainnya adalah karyawan swasta (3.75%) meliputi karyawan perusahaan swasta,
sopir, buruh bangunan, dan buruh pabrik, wiraswasta (30%) meliputi pedagang,
tukang meubel, dan usaha milik sendiri, guru/PNS/ABRI (12.5%) termasuk yang
masih honorer pada instansi pemerintah, dan lainnya (3.75%) meliputi pemulung
dan responden yang sedang tidak bekerja karena kontrak kerja pada perusahaan
telah habis dan dapat melamar bekerja kembali setelah enam bulan sejak masa
kontrak berakhir. Mata pencaharian utama responden pada desa non-dampak
sebagian besar adalah petani (90%), guru/PNS/ABRI (5%), dan wiraswasta (5%).
Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang berada pada strata atas
dan menengah sebagian besar memiliki mata pencaharian utama sebagai petani
dan karyawan swasta, sedangkan responden pada strata bawah sebagian besar
memiliki mata pencaharian utama sebagai petani (Lampiran 9).
Mata pencaharian utama responden pada desa dampak lebih variatif
dibandingkan dengan mata pencaharian utama responden pada desa non-dampak.
Hal ini mencerminkan bahwa lapangan pekerjaan yang ada pada desa non-dampak
masih terbatas pada sektor pertanian dan wiraswasta, sedangkan masyarakat desa
non-dampak yang bekerja pada perusahaan swasta atau di luar sektor pertanian
sangat jarang (Gambar 10).
Mata pencaharian utama responden desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Petani Guru/PNS/ABRI
Karyawan Swasta
Wiraswasta Lainnya
Jum
lah
(%)
Dampak
Non dampak
Gambar 10 Mata pencaharian utama responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak.
85
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak adalah SD
sebanyak 25%, SLTA sebanyak 25%, tidak tamat SD sebanyak 18.75%, SLTP
sebanyak 16.25%, tidak pernah sekolah sebanyak 12.5%, Diploma sebanyak
1.25%, dan Sarjana sebanyak 1.25%. Sedangkan tingkat pendidikan responden
pada desa non-dampak adalah SD sebanyak 55%, SLTP sebanyak 15%, tidak
pernah sekolah sebanyak 10%, tidak tamat SD sebanyak 10%, dan SLTA
sebanyak 10%. Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang yang
berada pada strata atas umumnya memiliki tingkat pendidikan SLTA (42%),
responden yang berada pada strata menengah umumnya memiliki tingkat
pendidikan SLTA (35%), sedangkan responden yang berada pada strata bawah
umumnya memiliki tingkat pendidikan SD (44%). Responden yang memiliki
tingkat pendidikan Diploma atau Sarjana jarang ditemui dan hanya terdapat pada
responden strata atas (Lampiran 10).
Tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa responden yang
memiliki tingkat pendidikan SLTP ke atas lebih banyak terdapat pada
desa/kelurahan dampak dibandingkan dengan responden pada desa non-dampak.
Namun persentase responden yang memiliki pendidikan setingkat SD lebih
banyak terdapat pada desa non-dampak, sedangkan responden yang tidak pernah
sekolah dan tidak tamat SD lebih banyak terdapat pada desa/kelurahan dampak
(Gambar 11).
Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-
dampak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Responden pada
desa/kelurahan dampak umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih
beragam yaitu dari tidak tamat SD sampai dengan setingkat SLTA. Sedangkan
responden pada desa non-dampak umumnya berpendidikan setingkat SD. Hal ini
disebabkan oleh tidak tersedianya sarana pendidikan yang lebih tinggi dan
minimnya trasnportasi ke kota terdekat karena lokasinya yang relatif lebih jauh
dibandingkan dengan desa/kelurahan dampak.
86
Tingkat pendidikan responden
desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak
0
10
20
30
40
50
60
Tdkpernahsekolah
Tidaktamat
SD
SD SLTP SLTA Diploma S1
Jum
lah
(%)
Desa dampak
Desa non-dampak
Gambar 11 Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak.
Tingkat Pendapatan
Responden desa/kelurahan dampak yang memiliki tingkat pendapatan antara
500 ribu rupiah sampai dengan satu juta rupiah memiliki persentase yang paling
besar yaitu 35%. Tingkat pendapatan responden lainnya pada desa/kelurahan
dampak masing-masing 28.75% memiliki pendapatan kurang dari 500 ribu rupiah,
di atas 2.5 juta rupiah sebanyak 11.5%, 1.5 juta rupiah sampai dengan 2 juta
rupiah sebanyak 10%, satu juta rupiah sampai dengan 1.5 juta rupiah sebanyak
7.5%, dan 2 juta rupiah sampai dengan 2.5 juta rupiah sebanyak 7.5%. Sedangkan
tingkat pendapatan responden pada desa non-dampak umumnya di bawah 500
ribu rupiah yaitu sebanyak 60%, sedangkan tingkat pendapatan antara 500 ribu
rupiah sampai dengan satu juta rupiah sebanyak 30% . Responden yang memiliki
pendapatan di bawah 500 ribu rupiah umumnya dari strata bawah, sedangkan
responden yang memiliki pendapatan di atas dua juta rupiah umumnya dari strata
atas (Lampiran 11).
Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non
dampak menunjukkan perbedaan yang cukup menyolok. Responden yang
memiliki pendapatan di bawah 500 ribu rupiah lebih banyak berada pada desa
87
non-dampak, sedangkan responden yang memiliki pendapatan di atas dua juta
rupiah hanya terdapat pada desa/kelurahan dampak. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendapatan responden yang berada pada desa/kelurahan dampak relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berada pada desa non-dampak.
Hal ini berarti bahwa tingkat pendapatan responden desa/kelurahan dampak
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan responden desa non-
dampak (Gambar 12).
Tingkat pendapatan responden desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak
0
10
20
30
40
50
60
70
= 500.000 500.000 -1.000.000
1.000.000 -1.500.000
1.500.000 -2.000.000
2.000.000 -2.500.000
=2.500.000
Jum
lah
(%)
Desa dampak
Desa non-dampak
Gambar 12 Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak.
Sarana Prasarana
Sarana prasarana yang dijadikan perbandingan antara desa/kelurahan
dampak dan desa non-dampak meliputi jalan, transportasi, ekonomi, pendidikan,
kesehatan, ibadah, sumber penerangan, dan sumber air bersih.
Sarana prasarana yang dimiliki oleh desa/kelurahan dampak tidak jauh
berbeda dengan desa non-dampak. Kondisi jalan yang dimiliki oleh ketiga
desa/kelurahan dampak yaitu Desa Suka Rahmat, Desa Suka Damai, dan
Kelurahan Bontang Lestari umumnya adalah jalan tanah yang sulit dilewati pada
waktu hujan. Jalan aspal hanya terdapat pada jalan provinsi yaitu jalan poros
88
Samarinda-Bontang dan Bontang-Sangatta. Namun jalan poros Bontang-Sangatta
saat ini dalam keadaan rusak parah.
Sumber penerangan responden umumnya menggunakan petromak atau
genset baik dari bantuan pemerintah daerah Kutai Timur ataupun milik sendiri
yang digunakan bersama untuk beberapa keluarga. Namun genset bantuan
pemerintah daerah Kutai Timur hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil
masyarakat saja, bahkan sebagian genset tersebut dalam keadaan rusak sehingga
tidak dapat digunakan lagi. Sedangkan sumber air bersih umumnya berasal dari
sumur dan air hujan, bahkan sebagian besar responden di Desa Suka Rahmat
harus membeli air dari Kota Bontang. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh air
bersih khususnya untuk minum/makan. Bahkan beberapa sumur airnya tidak dapat
dikomsumsi karena rasanya masam khususnya di Desa Suka Damai.
Sarana pendidikan yang ada pada desa/kelurahan dampak masing-masing
Desa Suka Damai dan Kelurahan Bontang Lestari hanya sampai tingkat SD,
sedangkan Desa Suka Rahmat dan Kelurahan Kanaan masing-masing memiliki
satu buah gedung SMP. Sedangkan sarana pendidikan yang terdapat pada desa
non-dampak hanya setingkat SD. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, masyarakat harus ke Kota Bontang atau Sangatta. Namun hal ini
memiliki kendala sendiri sebab sarana transportasi umum sangat kurang
khususnya yang menuju ke Sangatta.
Sarana kesehatan yang ada pada desa/kelurahan dampak masih minim,
masing-masing hanya memiliki puskesmas pembantu tanpa tenaga dokter. Untuk
memperoleh pengobatan yang memadai, masyarakat lebih banyak berobat ke
rumah sakit yang berada di Kota Bontang. Meskipun PT Badak NGL memiliki
rumah sakit sendiri dan memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat tidak
mampu, namun tidak semua lapisan masyarakat desa/kelurahan dampak dapat
mengakses fasilitas tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi baik
dari perusahaan sendiri maupun dari pemerintah daerah. Demikian pula dengan
masyarakat yang berada di Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat yang
berdekatan langsung dengan lokasi pertambangan PT.Indominco Mandiri,
umumnya mereka lebih cenderung berobat ke Kota Bontang dan tidak pernah
mendapatkan pelayanan kesehatan dari perusahaan pertambangan.
89
Sarana kesehatan yang ada pada desa non-dampak yaitu Desa Kandolo
hanya puskesmas keliling yang mengunjungi desa tersebut sekali dalam sebulan.
Untuk mendapatkan pengobatan yang lebih memadai masyarakat lebih cenderung
berobah ke rumah sakit yang berada di Kota Bontang dengan pertimbangan
safilitas lebih lengkai dan sarana transportasi lebih mudah.
Kelurahan dampak yang memiliki sarana prasarana yang cukup memadai
hanya satu yaitu Kelurahan Kanaan. Hal ini didukung oleh letak dan posisi
Kelurahan Kanaan yang berada di tengah Kota Bontang. Sarana prasarana yang
dimiliki oleh desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak disajikan pada Tabel
23.
Tabel 23 Sarana prasarama desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak
Desa/kelurahan dampak Desa non-dampak Jenis sarana
prasarana Suka Damai
Suka Rahmat
Bontang Lestari
Kanaan Kandolo
Jalan Tanah Tanah Tanah Cor beton Tanah
Transportasi umum
Kurang Kurang Kurang Cukup Kurang
Pasar Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pendidikan SD SD, SMP SD SD, SMP SD
Kesehatan Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu
Puskesmas keliling
Ibadah Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup
Sumber penerangan
Petromak, listrik non PLN
Petromak, listrik non PLN
Petromak, listrik non PLN
Listrik PLN
Petromak, listrik non PLN
Sumber air bersih
Sumur/ air hujan
Sumur/ air hujan
Sumur/ air hujan
PAM/ sumur
Sumur/ air hujan
90
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Masyarakat Lokal
Dampak kegiatan pertambangan terhadap masyarakat lokal khususnya
masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan dikelompokan menjadi
dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung yang
dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar tambang antara lain berupa kesempatan
kerja, pemberian beasiswa, pelatihan dan penyuluhan, bantuan keuangan untuk
kegiatan sosial, keagamaan, kepemudaan, dan kesehatan, pemberian sumbangan
kepada masyarakat yang bersifat insidentil, serta bantuan sarana prasarana desa
antara lain kantor desa dan sarana ibadah. Dampak tidak langsung yang dapat
dirasakan oleh masyarakat adalah pembangunan infrastruktur antara lain jalan dan
jembatan.
Dampak Langsung
Penyerapan Tenaga Kerja Lokal
Penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan pertambangan dirasakan
masih sangat minim. Responden yang memiliki persepsi bahwa dampak kehadiran
perusahaan pertambangan menyebabkan penyerapan tenaga kerja menjadi
membaik hanya sebesar 5%, sedangkan responden yang menyatakan penyerapan
tenaga kerja menjadi agak membaik sebesar 22.5%. Sebagian besar responden
yang berasal dari ketiga strata yaitu sebesar 72.5% menyatakan bahwa kehadiran
perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan
tenaga lokal (Lampiran 12).
Pola asosiasi persepsi responden terhadap penyerapan tenaga kerja lokal
oleh perusahaan pertambangan menunjukkan pola yang menarik. Responden
yang berada pada Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Kelurahan Bontang
Lestari memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan tidak memberikan
perubahan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal. Responden yang berada pada
Kelurahaan Kanaan memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan
menyebabkan penyerapan tenaga kerja agak membaik (Gambar 13). Hal ini
disebabkan oleh mata pencaharian utama responden di Kelurahan Kanaan adalah
karyawan swasta dan Guru/PNS/ABRI yang didukung oleh tingkat pendidikan
responden yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
91
Gambar 13 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan.
Gambar 14 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamai
SukaRahmat
BontangLestari
Kanaan
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2
Dimension 1; Eigenvalue: .35426 (91.71% of Inertia)
-0.9
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.032
04 (
8.29
4% o
f Ine
rtia
)
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
-0.8 -0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4
Dimension 1; Eigenvalue: .03953 (92.16% of Inertia)
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.003
36 (
7.83
6% o
f Ine
rtia
)
92
Persepsi responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi memberikan
beberapa pola asosiasi. Responden yang berada pada strata bawah berasosiasi
dengan persepsi bahwa penyerapan tenaga kerja agak membaik, sedangkan
responden yang berada pada strata atas dan menengah berasosiasi dengan persepsi
bahwa kegiatan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan
tenaga kerja lokal (Gambar 14).
Persepsi responden yang umumnya menyatakan bahwa kehadiran
perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan
tenaga kerja lokal didukung oleh minimnya responden yang bekerja pada
perusahaan pertambangan tersebut.
Responden yang bekerja pada perusahaan pertambangan sebanyak 8.75%,
sedangkan yang pernah bekerja pada perusahaan sebanyak 8.75%. Responden
yang tidak bekerja atau tidak pernah bekerja pada perusahaan pertambangan
sebanyak 82.5%. Responden yang bekerja atau pernah bekerja pada perusahaan
pertambangan umumnya berasal dari responden yang berada pada strata
menengah yaitu masing-masing sebesar 17%. (Lampiran 13).
Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang bekerja pada perusahaan
pertambangan berasosiasi dengan Kelurahan Bontang Lestari, sedangkan
responden yang pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan
Kelurahan Kanaan. Responden yang tidak pernah bekerja pada perusahaan
pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat
(Gambar 15).
Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang bekerja dan pernah
bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada
pada strata menengah, sedangkan responden yang tidak bekerja pada perusahaan
pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada strata atas dan
bawah (Gambar 16). Hal ini menujukkan bahwa responden yang bekerja sebagai
karyawan swasta adalah responden yang berada pada strata menengah sedangkan
responden yang berada pada strata atas umumnya bekerja sebagai petani,
wiraswasta, guru/PNS/ABRI dan responden yang berada pada strata bawah
umumnya bekerja sebagai petani.
93
Gambar 15 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan.
Gambar 16 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamai
SukaRahmat
BontangLestari
Kanaan
Bekerja
Pernah bekerja
Tidak bekerja
-1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6
Dimension 1; Eigenvalue: .06871 (77.24% of Inertia)
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.020
25 (
22.7
6% o
f Ine
rtia
)
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Bekerja
Pernah bekerja
Tidak bekerja
-0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Dimension 1; Eigenvalue: .09498 (92.91% of Inertia)
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.007
25 (
7.09
3% o
f Ine
rtia
)
94
Minimnya penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan tambang
disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang tidak memenuhi kriteria
yang dipersyaratkan oleh perusahaan. Salah satu persyaratan untuk bekerja pada
perusahaan pertambangan adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan
minimum yang dibutuhkan oleh perusahaan adalah SLTA, sedangkan responden
umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Responden yang
berpendidikan setingkat SLTA hanya sebesar 22% dan sebagian besar berada di
Kelurahan Kanaan.
Kesejahteraan Keluarga
Tingkat kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
keluarga tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik untuk
sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan diperlukan pendapatan yang cukup.
Perubahan tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir cukup
beragam. Responden yang menyatakan mengalami perubahan tingkat pendapatan
menjadi membaik sebanyak 25%, sedangkan yang tidak mengalami perubahan
pendapatan sebanyak 33%. Sebagian besar responden, yaitu 42% mengalami
penurunan pendapatan atau kondisi yang memburuk. Tingkat pendapatan yang
membaik umumnya dirasakan oleh responden yang berada pada strata atas
sebesar 47%, sedangkan tingkat pendapatan yang tidak mengalami perubahan atau
memburuk umumnya terjadi pada responden yang berada pada strata bawah
sebesar 46% (Lampiran 14).
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden dalam
lima tahun terakhir menunjukkan pola asosiasi yang menarik. Responden yang
berada pada Desa Suka Damai dan Kelurahaan Kanaan berasosiasi dengan
pendapatan yang agak membaik, sedangkan responden yang berada pada Desa
Suka Rahmat dan Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan tidak ada
perubahan terhadap pendapatan. Sebaliknya responden yang berada pada Desa
Kandolo sebagai desa-non dampak berasosiasi dengan pendapatan yang
memburuk (Gambar 17).
Hasil wawancara dan observasi lapangan menunjukkan bahwa penurunan
pendapatan dari responden pada umumnya disebabkan oleh tanaman yang rusak
95
atau gagal panen. Jenis komoditas yang ditanam oleh petani umumnya adalah
pisang. Dua tahun belakangan ini, tanaman pisang diserang oleh sejenis virus
sehingga daun dan pohon pisang kering, kalaupun dapat berbuah isi buahnya
berwarna hitam. Serangan penyakit ini sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi
perekonomian beberapa desa yang menjadi pemasok tanaman pisang antara lain
Desa Suka Rahmat, Desa Suka Damai, Desa Martadinata, Desa Teluk Pandan,
dan Desa Kandolo.
Gambar 17 Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan desa/kelurahan.
Disamping gagal panen atau tanaman rusak, pendapatan responden Desa
Kandolo yang memburuk juga disebabkan oleh tidak tersedianya lapangan kerja
selain sebagai petani. Sebaliknya perubahan pendapatan responden kearah yang
membaik yang terjadi di Desa Suka Damai dan Kelurahan Kanaan tidak
disebabkan oleh kehadiran perusahaan pertambangan. Hal ini dukung oleh
pendapatan responden di Desa Suka Rahmat dan Bontang Lestari yang tidak
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 5 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamai
SukaRahmatBontangLestari
Kanaan
Kandolo
Membaik
Tidak berubah
Memburuk
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
Dimension 1; Eigenvalue: .14260 (85.76% of Inertia)
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.023
67 (
14.2
4% o
f Ine
rtia
)
96
mengalami perubahan walaupun termasuk desa binaan dari perusahaan
pertambangan.
Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi masyarakat, pendapatan yang
mengalami kondisi memburuk berasosiasi dengan responden yang berada pada
strata menengah, sedangkan pendapatan yang membaik berasosiasi dengan
responden pada strata atas. Sebaliknya responden yang berada pada strata bawah
berasosiasi dengan pendapatan yang tidak berubah (Gambar 18).
Gambar 18 Pola assosiasi tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan pelapisan sosial ekonomi.
Adapun sumber perubahan tingkat pendapatan responden kearah yang lebih
baik khususnya responden yang berada pada strata atas dan menengah sebagian
besar berasal dari usaha sendiri, sedangkan sumber perubahan pendapatan pada
strata bawah umumnya berasal dari program pemerintah dan usaha sendiri (Tabel
24). Peningkatan pendapatan dari usaha sendiri dimungkinkan karena responden
yang berada pada strata atas memiliki modal untuk melakukan usaha sendiri
antara lain membuka warung, rumah makan, menambah jenis komoditas, dan
melakukan pemupukan pada komoditas yang ditanam.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Membaik
Tidak berubah
Memburuk
-0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Dimension 1; Eigenvalue: .10149 (98.08% of Inertia)
-0.08
-0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.001
99 (
1.92
0% o
f Ine
rtia
)
97
Tabel 24 Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial
ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi Perusahaan
Program Pemerintah
Perusahaan lain
Usaha sendiri
Atas 14
14
14
57
Menengah 13
38
0
50
Bawah 20
40
0
40
Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang berada pada strata bawah
berasosiasi dengan sumber perubahan pendapatan yang berasal dari perusahaan
pertambangan dan program pemerintah, sedangkan responden yang berada pada
strata menengah berasosiasi dengan sumber perubahan pendapatan yang berasal
dari program pemerintah dan usaha sendiri. Responden yang berada strata atas
berasosiasi dengan sumber perubahan pendapatan yang berasal dari usaha sendiri
(Gambar 19).
Gambar 19 Pola asosiasi antara sumber perubahan pendapatan responden dengan pelapisan sosial ekonomi.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 4Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Perusahaan
Program Pemerintah
Perusahaan Lain
Usaha Sendiri
-0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8
Dimension 1; Eigenvalue: .14752 (94.83% of Inertia)
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.008
04 (
5.17
0% o
f Ine
rtia
)
98
Persepsi masyarakat terhadap dampak kegiatan pertambangan terhadap
kesejahteraan keluarga sangat beragam. Sebanyak 50% responden memiliki
persepsi bahwa perusahaan pertambangan tidak memberikan dampak terhadap
kesejahteraan keluarga. Responden yang memiliki persepsi bahwa perusahaan
pertambangan memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga sebanyak
35%, sedang 8.75%, dan besar 6.25%. Responden yang menyatakan bahwa
perusahaan pertambangan memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga
umumnya berasal dari strata atas, sedangkan 50% dari responden yang berasal
dari strata menengah dan bawah menyatakan bahwa perusahaan pertambangan
tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga (Lampiran 15).
Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang berada pada Desa Suka
Damai dan Desa Suka Rahmat berasosiasi dengan persepsi bahwa perusahaan
pertambangan tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga.
Responden yang berada pada Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan
persepsi bahwa dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan
keluarga adalah sedang, sedangkan responden yang berada pada Kelurahan
Kanaan berasosiasi dengan dua macam persepsi yaitu persepsi yang menyatakan
bahwa perusahaan pertambangan memberikan dampak yang besar terhadap
kesejahteraan keluarga dan persepsi yang menyatakan bahwa dampak perusahaan
pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga adalah kecil (Gambar 20).
Adanya dua macam persepsi yang berbeda pada Kelurahan Kanaan
disebabkan oleh adanya pelapisan sosial pada masyarakat. Responden yang
memiliki persepsi bahwa perusahaan memberikan dampak yang besar terhadap
kesejahteraan keluaraga adalah responden yang berada pada strata atas.
Sebaliknya responden yang berada pada strata bawah memiliki persepsi bahwa
dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga adalah kecil
dan tidak ada. Hal ini mencerminkan bahwa program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan sebagian besar hanya menyentuh
masyarakat pada strata atas. Persepsi responden yang berada pada strata
menengah mengenai dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan
keluarga berasosiasi dengan sedang (Gambar 21).
99
Gambar 20 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga
Gambar 21 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 4 x 4Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamai
SukaRahmat
BontangLestari
Kanaan
Besar
Sedang
KecilTidak Ada
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2
Dimension 1; Eigenvalue: .35558 (83.18% of Inertia)
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.071
88 (
16.8
1% o
f Ine
rtia
)
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 4Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Besar
Sedang
Kecil
Tidak ada
-0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2
Dimension 1; Eigenvalue: .08963 (52.47% of Inertia)
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.081
21 (
47.5
3% o
f Ine
rtia
)
100
Salah satu hal yang dianggap berperan dalam meningkatkan kesejahteraan
keluarga adalah kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak
melalui pemberian dana pendidikan berupa beasiswa dan keikutsertaan dalam
program community development yang dilaksanakan oleh perusahaan.
Salah satu faktor yang menunjang kelangsungan pendidikan anak-anak
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dipengaruhi adalah
penerimaan beasiswa baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak swasta
yaitu perusahaan pertambangan yang beroperasional di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil survei lapang, responden yang anak-anaknya memperoleh
beasiswa dari perusahaan pertambangan sebanyak 6%, yang pernah memperoleh
beasiswa 9%, dan yang tidak mendapatkan beasiswa 85% (Lampiran 16).
Berhentinya penerimaan beasiswa oleh anak-anak responden disebabkan oleh
jangka waktu yang telah habis dan tidak diperpanjang lagi oleh perusahaan atau
harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beasiswa umumnya
diberikan kepada jenjang pendidikan tertentu, sehingga pada saat melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi beasiswa dihentikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang anak-anaknya menerima
beasiswa dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Damai.
Responden yang pernah menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan
berasosiasi dengan Desa Suka Damai, sedangkan responden yang tidak menerima
beasiswa dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Rahmat,
Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan (Gambar 22).
Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang menerima beasiswa
dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada
strata atas, sedangkan responden yang tidak mendapatkan beasiswa dari
perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada strata
menengah dan bawah. Responden yang pernah dapat beasiswa jumlahnya jarang
sehingga tidak memiliki asosiasi dengan salah satu strata (Gambar 23).
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian beasiswa dari perusahaan
pertambangan belum merata dan hanya menyentuh pada masyarakat yang berada
pada strata atas. Disamping itu, pemberian beasiswa diberikan hanya untuk jangka
waktu dan jenjang pendidikan tertentu saja sehingga beberapa anak yang biaya
101
pendidikannya tergantung dari pemberian besiswa tidak dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Gambar 22 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan.
Kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan
pertambangan diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan
keluarga khususnya bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi tambang. Hal
ini dapat ditempuh melalui keikutsertaan responden dalam program community
development yang dilaksanakan oleh perusahaan khususnya dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat dan pertumbuhan usaha-usaha kecil. Namun responden
yang pernah terlibat dalam kegiatan community development perusahaan hanya
sebanyak 15%, sedangkan sebanyak 85% responden tidak pernah ikutserta dalam
program community develolpment perusahaan pertambangan (Lampiran 17).
Disamping itu, responden yang ikutserta dalam program community
develolpment perusahaan pertambangan lebih banyak yang berasal dari strata atas
(Gambar 24).
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamai SukaRahmatBontangLestari
Kanaan
Menerima
Pernah menerima
Tidak menerima
-0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
Dimension 1; Eigenvalue: .03016 (95.59% of Inertia)
-0.10
-0.08
-0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
0.16
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.001
39 (
4.41
5% o
f Ine
rtia
)
102
Gambar 23 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi.
Keikutsertaan responden dalam program community development perusahaan pertambangan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Atas Menengah Bawah
Jum
lah
(%)
Ya
Tidak
Gambar 24 Keikutsertaan responden dalam kegiatan community development perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Menerima
Pernah menerima
Tidak menerima
-0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Dimension 1; Eigenvalue: .03538 (81.80% of Inertia)
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.007
87 (
18.2
0% o
f Ine
rtia
)
103
Keterlibatan masyarakat pada program community development yang
dilaksanakan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL sangatlah rendah. Hal
ini disebabkan oleh sifat program kegiatan community development yang
dilaksanakan oleh perusahaan masih merupakan proyek dan masyarakat sebagai
obyek. Hal ini tercermin dari program kegiatan yang belum sesuai dengan
keinginan masyarakat dan kebutuhan masyarakat, serta tidak menyentuh semua
lapisan masyarakat. Program yang dilaksanakan oleh perusahaan sebagian besar
hanya dinikmati oleh masyarakat pada lapisan atas.
Kesejahteraan Masyarakat
Selain memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga, kehadiran
perusahaan tambang diharapkan pula dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya khususnya masyarakat yang berada pada desa-desa di
sekitar lokasi tambang. Namun sebagian besar responden (62.75%) memiliki
persespi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan
terhadap kesejahteraan masyarakat. Jumlah responden yang memiliki persepsi
kesejahteraan masyarakat agak membaik sebanyak 26.25%, sedangkan yang
menyatakan membaik sebanyak 8.75%. Namun responden yang memiliki persepsi
bahwa kehadiran perusahaan pertambangan memberikan dampak terhadap
kesejahteraan masyarakat umumnya berasal dari strata atas dan menengah
(Lampiran 18).
Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap dampak
perusahaan pertambangan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat
menghasilkan pola asosiasi yang menarik (Gambar 25). Responden yang berada
pada Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat berasosiasi dengan persepsi bahwa
kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap
kesejahteraan masyarakat. Hal ini didukung oleh kondisi lapangan yang
menunjukkan bahwa kondisi kesejahteraan masyarakat yang berada pada Desa
Suka Damai dan Desa Suka Rahmat tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang
berada pada desa non-dampak yaitu Desa Kandolo.
Responden yang berada Kelurahan Kanaan berasosiasi dengan persepsi yang
menyatakan bahwa kehadiran perusahaan memberikan perubahan yang agak
104
membaik terhadap kesejahteraan masyarakat pada kelurahan tersebut. Responden
yang berada pada Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan persepsi yang
menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat membaik setelah adanya perusahaan
pertambangan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya sentuhan program
community development pada Kelurahan Kanaan dan meningkatnya jumlah
responden yang bekerja pada sub kontraktor perusahaan pertambangan di
Kelurahan Bontang Lestari.
Gambar 25 Pola assosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Namun peningkatan kesejahteraan sebagai dampak dari kehadiran
perusahaan pertambangan yang agak membaik atau membaik belum dinikmati
oleh semua lapisan masyarakat. Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi,
masyarakat yang memiliki persepsi bahwa kesejahteraan masyarakat menjadi
membaik setelah adanya perusahaan pertambangan adalah responden yang berada
pada strata atas. Sebaliknya responden pada strata menengah memiliki persepsi
bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan
terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun responden pada strata bawah
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamaiSukaRahmat
BontangLestari
Kanaan
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Dimension 1; Eigenvalue: .62882 (93.36% of Inertia)
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.044
69 (
6.63
5% o
f Ine
rtia
)
105
berasosiasi dengan persepsi bahwa kesejahteraan masyarakat agak membaik
setelah adanya perusahaan pertambangan (Gambar 26). Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan kesejahteraan belum dirasakan secara merata oleh semua
lapisan masyarakat.
Gambar 26 Pola assosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu aspek yang dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat
adalah tumbuhnya usaha kecil (warung, koperasi, dan lainya) sebagai salah satu
indikasi pertumbuhan perekonomian di desa tersebut. Persepsi responden yang
menyatakan bahwa kehadiran perusahaan pertambangan memberikan dampak
positif terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil sehingga kondisinya menjadi
lebih membaik hanya 3.75%. Responden yang memiliki persepsi bahwa usaha-
usaha kecil agak membaik sebanyak 55%, sedangkan responden yang memiliki
persepsi tidak ada perubahan sebanyak 41.25% (Lampiran 19).
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pola asosiasi yang menarik
antara persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha kecil dengan
desa/kelurahan (Gambar 27).
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
Menengah
Bawah
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3
Dimension 1; Eigenvalue: .01789 (98.47% of Inertia)
-0.03
-0.02
-0.01
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.000
28 (
1.53
0% o
f Ine
rtia
)
106
Responden yang berada pada Desa Suka Damai dan Kelurahan Kanaan
berasosiasi dengan persepsi bahwa kehadiran perusahaan menyebabkan
pertumbuhan dan kondisi usaha-usaha kecil agak membaik. Hal ini didukung oleh
kenyataan di lapangan bahwa usaha-usaha kecil pada kedua lokasi tersebut cukup
berkembang. Sepanjang jalan poros Samarinda-Bontang yang merupakan wilayah
Desa Suka Damai bermunculan warung makan baik yang dibuka oleh masyarakat
setempat maupun pendatang yang tujuan utamanya datang ke lokasi tersebut
adalah untuk membuka usaha warung.
Gambar 27 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha –usaha kecil.
Usaha warung yang bermunculan di sepanjang jalan poros Samarinda-
Bontang lebih disebabkan oleh semakin ramainya jalur tersebut dilalui oleh
kendaraan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pemilik warung,
diketahui bahwa kepindahan mereka ke lokasi tersebut bukan karena adanya
perusahaan pertambangan. Mereka pindah ke lokasi tersebut karena belum
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
SukaDamai
SukaRahmat
BontangLestari
Kanaan
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Dimension 1; Eigenvalue: .66948 (88.46% of Inertia)
-1.8
-1.6
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.087
34 (
11.5
4% o
f Ine
rtia
)
107
memiliki mata pencaharian yang tetap atau pendapatan mereka tidak mencukupi
di tempat yang lama.
Namun responden Desa Suka Rahmat dan Kelurahan Bontang Lestari
berasosiasi dengan persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak
memberikan perubahan terhadap usaha kecil pada desa/kelurahan tersebut.
Perubahan kondisi usaha kecil sebagai dampak dari kehadiran perusahaan
pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi masyarakat memberikan
pola asosiasi yang menarik. Responden yang memiliki persepsi bahwa kehadiran
perusahaan pertambangan memberikan kontribusi terhadap usaha kecil sehingga
menjadi membaik berasosiasi dengan strata bawah. Namun responden pada strata
menengah dan atas memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan tidak
memberikan perubahan terhadap usaha kecil (Gambar 28).
Gambar 28 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas Menengah
Bawah
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
-0.9-0.8
-0.7-0.6
-0.5-0.4
-0.3-0.2
-0.10.0
0.10.2
0.30.4
Dimension 1; Eigenvalue: .03027 (92.32% of Inertia)
-0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
0.16
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.002
52 (
7.68
3% o
f Ine
rtia
)
108
Pemberian Bantuan yang Bersifat Insidentil
Pemberian bantuan yang bersifat insidentil diberikan kepada anggota
masyarakat, organisasi kepemudaan, LSM, maupun instansi pemerintah setelah
mengajukan proposal kepada perusahaan. Proposal tersebut biasanya berisi
permohonan bantuan untuk biaya pengobatan, kegiatan dalam rangka peringatan
hari-hari besar agama dan nasional, berbagai kegiatan seminar, kegiatan bidang
pendidikan, olahraga dan seni, maupun akomodasi dan transportasi khususnya
dari instansi pemerintah.
Namun banyaknya permintaan bantuan insidentil tersebut mengakibatkan
perusahaan mengalami kesulitan dalam menjalankan program kegiatan yang telah
dibuat terutama dalam pengalokasian dana.
Dampak Tidak Langsung
Dampak tidak langsung yang diberikan oleh perusahaan terhadap
masyarakat di sekitar lokasi pertambangan umumnya dalam bentuk pembangunan
infrastruktur atau bentuk fisik.
Bantuan pembangunan infrastruktur desa yang telah diberikan oleh
PT.Indominco Mandiri antara lain pembangunan kantor desa, jalan, dan jembatan.
Namun persentase jumlah jalan yang dibangun oleh perusahaan sangat kecil.
Berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara dengan tokoh masyarakat dan
anggota masyarakat, jalan dan jembatan yang telah dibangun oleh PT Indominco
Mandiri berupa jalan tanah dan jembatan kayu menuju Dusun Danau Redan.
Namun pada musim hujan jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan karena
kondisi tanahnya yang liat.
Kondisi jalan pada kedua desa binaan PT Indominco Mandiri, yaitu Desa
Suka Damai dan Desa Suka Rahmat, lebih dominan jalan tanah. Jalan aspal hanya
ditemui pada pemukiman yang berada pada jalan poros Samarinda-Bontang,
selebihnya merupakan jalan tanah. Untuk mencapai dusun atau pemukiman
penduduk yang berada di pedalaman, harus menggunakan jalan tanah yang tidak
dapat dilalui kendaraan pada waktu hujan.
Kondisi jalan pada Kelurahan Bontang Lestari tidak jauh berbeda dengan
kedua desa tersebut di atas. Untuk mencapai kelurahan tersebut melewati jalan
109
tanah yang diperkeras sepanjang ± 15 km, namun pada musim hujan sulit untuk
dilewati kendaraan. Keberadaan jalan inipun dalam rangka menunjang persiapan
pemindahan pemerintahan Kota Bontang ke Kelurahan Bontang Lestari dan
merupakan program dari pemerintah daerah setempat. Menurut hasil wawancara
dengan tokoh masyarakat setempat maupun warga masyarakat, PT Badak NGL
belum pernah memberikan bantuan dalam bentuk pembangunan infrastruktur di
kelurahan tersebut. Padahal salah satu dusun di kelurahan tersebut, yaitu Dusun
Baltim yang termasuk dalam RT 01 dan 02, berbatasan langsung dengan tanah
milik PT Badak NGL (Gambar 29).
Gambar 29 Rumah masyarakat yang berbatasan langsung dengan lahan milik PT Badak NGL di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari
Bantuan pembangunan fisik yang umumnya diberikan oleh PT Badak NGL
antara lain dalam bentuk renovasi atau perbaikan gedung instansi pemerintah dan
semenisasi jalan-jalan pada beberapa kelurahan.
110
Konflik
Kehadiran perusahaan pertambangan pada suatu lokasi tidak terlepas dari
konflik, baik antar masyarakat dengan masyarakat lain khususnya pendatang
maupun antara masyarakat dengan perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara
dengan responden, tokoh masyarakat, dan aparat desa, tidak ada konflik antara
masyarakat dengan pendatang. Hal ini disebabkan pendatang yang ada umumnya
merupakan anggota keluarga dari masyarakat sendiri atau berasal dari daerah asal
yang sama.
Hasil wawancara dengan responden dan tokoh masyarakat menunjukkan
bahwa terdapat konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan, baik
PT Indominco Mandiri maupun PT Badak NGL. Responden yang menyatakan
adanya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan sebanyak
17.5%, sedangkan yang menyatakan tidak ada konflik dengan perusahaan
pertambangan sebanyak 82.5% (Lampiran 20).
Konflik yang terjadi antara masyarakat yang berada pada Desa Suka Damai
dan Desa Suka Rahmat dengan PT Indominco Mandiri menyangkut ganti rugi
akibat tumpang tindih lahan garapan masyarakat dengan wilayah kerja
pertambangan dan penyerapan tenaga kerja yang dianggap sangat minim oleh
masyarakat. Sedangkan konflik antara masyarakat Kelurahan Bontang Lestari dan
Kelurahaan Kanaan dengan PT Badak NGL menyangkut kurangnya kontribusi
dan perhatian perusahaan terhadap masyarakat baik dalam bentuk fisik maupun
non fisik.
Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan
berdasarkan pelapisan sosial ekonomi memberikan pola asosiasi tertentu.
Responden yang berada pada strata atas dan strata bawah berasosiasi dengan tidak
ada konflik. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada strata atas dan bawah
cenderung tidak bermasalah dengan kehadiran perusahaan pertambangan.
Responden yang berada pada strata atas cenderung memiliki usaha sendiri dan
tidak terpengaruh dengan kehadiran perusahaan pertambangan. Sebaliknya
responden yang berada pada strata bawah lebih memilih sikap diam dan
cenderung tidak peduli dengan kehadiran perusahaan pertambangan. Hasil
wawancara dengan responden yang berada pada strata bawah mengungkapkan
111
bahwa kehadiran perusahaan pertambangan di daerah mereka tidak akan
memberikan perubahan yang berarti bagi kesejahteraan hidup mereka. Oleh
karena itu, mereka lebih memilih sikap diam dan menekuni pekerjaan mereka.
Namun responden yang berada pada strata menengah berasosiasi dengan adanya
konflik terhadap PT Indominco Mandiri (Gambar 30).
Keterangan : PTIM : PT Indominco Mandiri PTB : PT Badak NGL
Gambar 30 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan konflik masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL
Disamping konflik dengan perusahaan, permasalahan lain yang sedang
dihadapi oleh masyarakat adalah konflik wilayah sebagai dampak dari pemekaran
wilayah. Konflik yang terjadi sebagai dampak dari pemekaran wilayah tersebut
ditemui pada wilayah perbatasan Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang yaitu
Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat. Desa Suka Damai dan Desa Suka
Rahmat secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Kutai Timur.
Namun sebelum kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom, masyarakat yang
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3Standardization: Row and column profiles
Row.Coords Col.Coords
Atas
MenengahBawah
PTIM
PTB
Tidak ada konflik
-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Dimension 1; Eigenvalue: .04283 (99.38% of Inertia)
-0.08
-0.07
-0.06
-0.05
-0.04
-0.03
-0.02
-0.01
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
Dim
ensi
on 2
; Eig
enva
lue:
.000
27 (
.623
6% o
f Ine
rtia
)
112
menempati kedua desa tersebut lebih banyak berinteraksi dengan Kota Bontang,
mulai dari kartu identitas, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Hal ini dikarenakan kedekatan jarak dan kemudahan sarana transportasi.
Masyarakat Desa Suka Damai yang memilih bergabung dengan Kota
Bontang membentuk desa baru yaitu Desa Persiapan Kali Gowa sebagai bentuk
protes dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah daerah (Lampiran 21),
sedangkan masyarakat desa Suka Rahmat yang memilih bergabung dengan Kota
Bontang membentuk desa baru dengan nama Desa Persiapan Sungai Bontang.
Ikhtisar
Program community development yang dilaksanakan oleh PT Indominco
Mandiri dan PT Badak NGL tidak memberikan dampak terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Program kegiatan
community development yang dilaksanakan oleh perusahaan sifatnya merupakan
proyek dan masyarakat sebagai obyek. Hal ini tercermin dari program kegiatan
yang belum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat, serta belum
menyentuh semua lapisan masyarakat. Program yang dilaksanakan oleh
perusahaan sebagian besar hanya dinikmati oleh masyarakat pada lapisan atas.
Sarana prasarana fisik atau infrastruktur pada desa dampak dan desa non-
dampak tidak banyak menunjukkan perbedaan. Sumber penerangan, sumber air
bersih, sarana jalan, sarana pendidikan, sarana ibadah, dan sarana transportasi
adalah seragam pada ketiga desa dampak yaitu Desa Suka Damai, Desa Suka
Rahmat, dan Kelurahan Bontang Lestari dengan desa non-dampak yaitu Desa
Kandolo. Desa dampak yang memiliki fasilitas yang lebih baik adalah Kelurahan
Kanaan karena didukung oleh posisi kelurahan tersebut yang berada di tengah
Kota Bontang sehingga terjangkau oleh fasilitas listrik (PLN) dan air bersih
(PAM).
Dengan demikian, program community development PT Indominco Mandiri
dan PT Badak NGL belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat di sekitar
lokasi pertambangan antara lain dalam bentuk kesempatan kerja, pertumbuhan
ekonomi mikro antara lain usaha-usaha kecil, peningkatan kualitas SDM melalui
peningkatan tingkat pendidikan, dan lainnya.
113
Adapun dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan disajikan pada
Tabel 25.
Tabel 25 Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat
No. Dampak terhadap pengembangan masyarakat
Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur
1 Penyerapan tenaga kerja lokal Agak membaik Tidak berubah
2 Tingkat kesejahteraan keluarga Sedang Kurang
3 Tingkat pendidikan Kurang Sedang
4 Tingkat pendapatan Tidak berubah Tidak berubah
5 Tingkat kesejahteraan masyarakat
Agak membaik Tidak berubah
6 Pertumbuhan usaha-usaha kecil
Tidak berubah Tidak berubah
7 Konflik Tidak ada Ada
KESESUAIAN PERUNTUKAN DAN PEMANFAATAN RUANG
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
memberikan sebuah nuansa baru dalam kegiatan penataan ruang di daerah.
Undang-undang tersebut telah memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah
untuk mengelola penataan ruang wilayahnya sehingga produk penataan ruang
diharapkan lebih luwes dan fleksibel untuk mengantisipasi perkembangan dan
dinamika masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian di ganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan dalam mengatur,
membagi dan memanfaatkan sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Kewenangan yang diberikan memberikan
keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam melakukan pengaturan dan
perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya.
Tata Ruang dalam pandangan pemerintah merupakan pengaturan ruang
berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu atau pengaturan tempat bagi
berbagai aktivitas manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak dengan adil,
menghindari persengketaan serta untuk menjamin kelestarian lingkungan maka
dibutuhkan suatu proses yaitu penataan ruang. Dalam penataan ruang, berbagai
sumberdaya alam ditata dari segi letak dan luas sebagai suatu kesatuan dengan
memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan antara lain kawasan
pertambangan dengan kawasan hutan lindung. Hasil dari penataan ruang ini
kemudian disebut sebagai Rencana Tata Ruang.
Dalam melaksanakan perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam
perencanaan pengelolaan sumberdaya alam, pemerintah Kota Bontang dan
Kabupaten Kutai Timur masing-masing telah menyusun Rencana Tata Ruang
sebagai dasar dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan kepentingan dan potensi
yang dimiliki.
115
Kesesuaian Pemanfaatan Ruang antara Wilayah Penelitian dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kota Bontang diatur dalam Peraturan
Daerah Kota Bontang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Bontang. Pola pemanfaatan ruang Kota Bontang tahun 2001-2010 terdiri
dari kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pola pemanfaatan ruang kawasan
budidaya meliputi kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan
pemerintahan dan bangunan umum, kawasan industri, kawasan militer, kawasan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta jaringan jalan dan sarana transportasi. Pola
pemanfaatan ruang kawasan lindung meliputi Taman Nasional Kutai, kawasan
hutan lindung dan resapan air, kawasan sempadan pantai, sungai, dan
kawasan/ruang terbuka hijau kota, serta kawasan pantai berhutan bakau, laut, dan
perairan.
Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kutai Timur diatur dalam
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Kutai Timur. Pola pemanfaatan ruang Kabupaten Kutai Timur tahun
2001-2005 terdiri atas kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman
Nasional, kawasan kehutanan, kawasan budidaya perkebunan/pertambangan/
pemukiman, dan areal yang diperuntukkan untuk pencadangan tanah/lokasi
transmigrasi.
Hasil overlay lokasi pertambangan dengan Peta Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) menunjukkan bahwa lokasi pertambangan PT Indominco
Mandiri memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai kawasan kehutanan dan
kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional, sedangkan
lokasi industri PT Badak NGL memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai
kawasan industri.
Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat serta desa non-dampak yaitu
Desa Kandolo berdasarkan Peta RTRW Kabupaten Kutai Timur memiliki fungsi
pemanfaatan ruang sebagai kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan
Wisata/Taman Nasional. Sedangkan berdasarkan Peta RTRW Kota Bontang,
Kelurahan Bontang Lestari memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai Hutan
Lindung, RTH, kawasan pemerintahan dan bangunan umum, hutan bakau,
116
kawasan perikanan, pemukiman dan kawasan militer, sedangkan Kelurahan
Kanaan memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai hutan lindung, pemukiman,
dan RTH.
Adapun kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Peta
RTRW Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan selengkapnya pada
Tabel 26 dan digambarkan dalam Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Wilayah
Penelitian dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (Lampiran 23).
Tabel 26 Fungsi pemanfaatan ruang wilayah penelitian sesuai dengan Peta RTRW
No. Lokasi Pemanfaatan sekarang
Rencana pemanfaatan sesuai RTRW
1 PT Indominco Mandiri
Kawasan pertambangan
Kawasan kehutanan
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
2 PT Badak NGL Kawasan industri Kawasan Industri
3 Desa Suka Damai
Pemukiman, Hutan Lindung
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
4 Desa Suka Rahmat
Pemukiman, Hutan Lindung
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
5 Kelurahan Bontang Lestari
Pemukiman, Hutan Lindung
Hutan Lindung
Ruang Terbuka Hijau
Kawasan pemerintahan dan bangunan umum
Hutan bakau
Kawasan perikanan
Pemukiman
Kawasan militer
6 Kelurahan Kanaan
Pemukiman
Hutan lindung
Pemukiman
Ruang Terbuka Hijau
7 Desa Kandolo Pemukiman, Taman Nasional
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
117
Lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri belum diakomodir dalam
RTRW Kabupaten Kutai Timur sebagai kawasan pertambangan meskipun
keberadaan PT Indominco Mandiri di lokasi tersebut jauh sebelum penetapan
RTRW Kabupaten Kutai Timur. PT Indominco Mandiri mulai melakukan
penambangan pada tahun 1996, sedangkan RTRW Kabupaten Kutai Timur
ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur. Lokasi pertambangan lain yang
belum terakomodir dalam RTRW namun telah operasional dan berproduksi di
wilayah Kabupaten Kutai Timur adalah PT Kitadin. Dilain pihak, lokasi
pertambangan PT Kaltim Prima Coal yang lebih dulu eksis dalam pertambangan
telah terakomodir dalam RTRW. Bahkan atas usulan pemerintah daerah
setempat, lokasi pertambangan PT Kaltim Prima Coal yang tadinya memiliki
fungsi sebagai kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi APL.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur untuk tidak
memasukkan wilayah kerja pertambangan PT Indominco Mandiri sebagai
kawasan pertambangan dapat dipandang dari berbagai sisi. Apabila dipandang
dari sisi lingkungan, hal ini akan sangat berarti dalam upaya mempertahankan
fungsi ekologis dan hidroologis dari areal tersebut sebagai kawasan hutan
khususnya areal yang berada pada Hutan Lindung dan Taman Nasional Kutai.
Proses penambangan batubara yang dilakukan oleh PT Indominco Mandiri adalah
tambang terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali (back filling
method). Hal ini menyebabkan terjadinya pembukaan kawasan hutan secara luas
dan pengupasan permukaan tanah yang menyebabkan terjadinya kubangan-
kubangan raksasa.
Sesuai dengan pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di
luar kehutanan yang mengakibatkan kerusakan hutan wajib melakukan reklamasi
dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah. Oleh karena
itu, reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilaksanakan
oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Dengan demikian, setelah kegiatan penambangan selesai maka kawasan tersebut
dapat dikembalikan kepada peruntukannya semula. Namun hal ini memerlukan
pengawasan yang intensif dan koordinasi antar instansi terkait agar perusahaan
118
pertambangan melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Lemahnya
pengawasan dan koordinasi antar instansi terkait akan menyebabkan kerusakan
hutan melalui pengurasan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Dipandang dari sisi lain, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang lokasi
pertambangan PT Indominco Mandiri merupakan suatu pelanggaran terhadap
produk hukum yang telah dibuat oleh Pemerintah. Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang bahwa pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diberikan pengenaan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun belum ada
peraturan yang secara tegas dan jelas merumuskan bentuk pengenaan sanksi
tersebut.
Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan juga dapat
menimbulkan konflik antar sektor. Salah satu bentuk konflik sektor pertambangan
dengan sektor lainnya antara lain adalah konflik dalam penataan dan pemanfaatan
ruang dan penggunaan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Menurut
Bappenas (2004) penyebab konflik tersebut antara lain adalah sulitnya
mengakomodasi kegiatan pertambangan ke dalam penataan ruang serta tumpang
tindih pemanfaatan ruang dengan lahan kehutanan. Namun hal tersebut
sebenarnya dapat diselesaikan apabila ada koordinasi antar instansi terkait
khususnya dalam pemberian ijin lokasi untuk kegiatan pertambangan.
Kuasa pertambangan eksploitasi umumnya memiliki izin operasional selama
tiga puluh tahun. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam penyusunan RTRW
seharusnya pemerintah daerah mempertimbangkan keberadaan kegiatan
pertambangan di wilayahnya khususnya yang sudah dalam tahap eksploitasi atau
produksi. Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan melakukan pembukaan
lahan yang cukup besar baik untuk penambangan bahan galian maupun untuk
pembangunan sarana pendukung yang sifatnnya permanen antara lain
perkantoran, perumahan, jalan, unit pengolahan, dan lainnya.
Apabila kegiatan pertambangan telah berakhir dan perusahaan
pertambangan telah menyelesaikan kewajibannya termasuk reklamasi dan
rehabilitasi lahan, maka lokasi tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam
rencana pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan semula atau peruntukan
yang baru sesuai dengan rencana pemanfaatan yang baru. Sesuai dengan Undang-
119
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, jangka waktu RTRW
Kabupaten adalah sepuluh tahun sehingga setelah jangka waktu berakhir maka
dapat dilakukan review RTRW.
Salah satu contoh penetapan pemanfaatan lokasi pertambangan dalam
RTRW sebagai kawasan pertambangan meskipun memiliki fungsi sebagai
kawasan hutan adalah lokasi pertambangan PT Semen Cibinong di Propinsi Jawa
Barat. Hal ini ditempuh sebagai salah satu kebijakan pemerintah daerah untuk
menghindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW.
Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo merupakan desa
definitif, namun dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur merupakan kawasan hutan
lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional. Ketidaksesuaian rencana
pemanfaatan ruang dengan kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa
penyusunan RTRW belum mempertimbangkan keadaan eksisting di lapangan.
Ketiga desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Teluk Pandan yang
keberadaannya jauh sebelum terbentuknya Kabupaten Kutai Timur. Bahkan
ketiga desa tersebut lepas dari desa induknya setelah Kabupaten Kutai Timur
menjadi daerah otonom. Sebagai dampak belum terakomodirnya pemukiman
dalam RTRW, masyarakat pada ketiga desa tersebut belum bisa memiliki
dokumen legal sebagai bukti kepemilikan lahan secara sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pemanfaatan ruang untuk lokasi industri PT Badak NGL telah sesuai dengan
rencana pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Bontang sebagai kawasan
industri. Demikian pula dengan pemukiman masyarakat yang berada pada
Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan telah sesuai dengan
pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Bontang. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah Kota Bontang telah mengakomodir penggunaan ruang riil di lapangan
ke dalam RTRW dan pemanfaatan ruang telah dilakukan sesuai dengan RTRW.
120
Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan antara Wilayah Penelitian
dengan Kawasan Hutan
Pemberian wilayah konsesi pertambangan seringkali tidak
mempertimbangkan status tanah maupun kepemilikan tanah tersebut. Hal ini
menyebabkan timbulnya tumpang tindih antara lokasi pertambangan dengan
kawasan hutan dan lahan milik masyarakat. Tumpang tindih penggunaan lahan
merupakan salah satu pemicu timbulnya konflik baik antara perusahaan
pertambangan dengan masyarakat, perusahaan pertambangan dengan pemegang
ijin pemanfaatan kawasan hutan, maupun antar instansi sektoral terkait.
Hasil overlay antara lokasi pertambangan, desa/kelurahan dampak dan desa
non-dampak dengan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa
seluruh wilayah tersebut pada awalnya merupakan kawasan hutan (Lampiran 24).
Seiring dengan terjadinya pengembangan wilayah dan perkembangan
pembangunan daerah maka kebutuhan akan lahanpun semakin meningkat
sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Hal ini tercermin dalam Peta
Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan hasil paduserasi
TGHK dan RTRWP yang menunjukkan bahwa terjadi pengurangan luas kawasan
hutan. Pengurangan luas kawasan hutan ini terjadi dalam rangka mengakomodir
kebutuhan akan lahan baik untuk pemukiman, kawasan industri, pembangunan
infrastruktur, dan lainnya sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah.
Hasil overlay lokasi pertambangan, desa/kelurahan dampak dan desa non-
dampak dengan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan
bahwa kawasan industri PT Badak NGL yang semula memiliki fungsi sebagai HP
telah berubah fungsi menjadi APL. Sebagian wilayah Kelurahan Bontang Lestari
dan Kelurahan Kanaan berubah fungsi mejadi APL khususnya yang menjadi
pemukiman masyarakat. Sebaliknya sebagian lokasi pertambangan PT Indominco
Mandiri, Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan
Kelurahan Kanaan yang wilayahnya merupakan kawasan HP, HPK, dan APL
berubah fungsi menjadi HL, sedangkan wilayah Desa Kandolo sebagai desa non-
dampak fungsinya tetap merupakan TN baik pada TGHK maupun Paduserasi
TGHK-RTRW (Lampiran 25).
121
Hasil overlay antara wilayah penelitian dengan Peta TGHK Kalimantan
Timur dan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan
bahwa terjadi perubahan fungsi kawasan hutan pada sebagian besar wilayah
penelitian baik pada lokasi pertambangan maupun desa/kelurahan sebagai lokasi
pemukiman masyarakat (Tabel 27).
Tabel 27 Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian berdasarkan TGHK dan Paduserasi TGHK-RTRWP
Fungsi No.
Lokasi TGHK Paduserasi
TGHK-RTRW
1 PT Indominco Mandiri TN, HP, HPK HL, HP, TN
2 PT Badak NGL HP APL
3 Desa Suka Damai HP, HPK HL
4 Desa Suka Rahmat TN, HP, HPK, APL HL, TN
5 Kelurahan Bontang Lestari HP, HPK HL, APL
6 Kelurahan Kanaan HPK HL, APL
7 Desa Kandolo TN TN Keterangan : TN : Taman Nasional HL : Hutan Lindung HP : Hutan Produksi tetap HPK : Hutan produksi yang dapat dikonversi APL : Areal Penggunaan lain
Keberadaan lokasi pertambangan di dalam kawasan hutan dimungkinkan
melalui pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan
dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan. Namun di dalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Jadi, apabila PT Indominco
Mandiri melakukan penambangan di dalam hutan lindung berarti melakukan suatu
pelanggaran hukum.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan pertambangan melalui
Departemen Energi dan sumber Daya Mineral telah melakukan berbagai upaya
122
sehingga pemerintah memberikan kesempatan kepada tigabelas lokasi
pertambangan untuk melakukan penambangan terbuka di dalam hutan lindung
dengan cara melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Meskipun mendapat protes dari berbagai pihak, namun
Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan persetujuan sehingga Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tanggal 13 Agustus 2004.
Menindaklanjuti undang-undang tersebut Menteri Kehutanan menerbitkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tanggal 29 September
2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan
Pertambangan. PT Indominco Mandiri merupakan salah satu dari ketiga belas
lokasi pertambangan yang mendapatkan peluang melakukan penambangan
dengan pola pertambangan terbuka dalam kawasan hutan lindung.
Keberadaan pemukiman dalam kawasan konservasi merupakan salah satu
permasalahan yang dialami oleh hampir semua kawasan TN di Indonesia. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan adanya pemukiman dalam TN antara lain
pemukiman tersebut telah ada sebelum areal tersebut ditetapkan sebagai TN dan
muncul akibat perambahan hutan.
Taman Nasional Kutai (TNK) ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 736/Mentan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982 dan dideklarasikan
sebagai Taman Nasional pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali. TNK
awalnya merupakan hutan persediaan sesuai dengan Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda (GB) Nomor 3843/AZ tanggal 7 Mei 1934. Pada tahun 1936,
Kerajaan Kutai kemudian menetapkan kawasan hutan tersebut sebagai Suaka
Margasatwa Kutai melalui Keputusan Pemerintah Kerajaan Kutai (ZB) Nomor
80/22.ZB/1936. Sebelum berubah fungsi menjadi TN, didalamnya sudah terdapat
pemukiman masyarakat berupa kampung-kampung yang letaknya terpisah yang
saat ini telah menjadi desa definitif antara lain Desa Sangatta Selatan, Desa
Singah Geweh, Desa Sangkima, dan Desa Teluk Pandan.
Dalam era otonomi daerah, Kabupaten Kutai Timur memisahkan diri dari
kabupaten induknya menjadi daerah otonom. Hal ini diikuti dengan pemekaran
Desa Teluk Pandan menjadi beberapa desa antara lain Desa Suka Damai, Desa
Suka Rahmat, dan Desa Kandolo. Namun pemerintah Kabupaten Kutai Timur
123
telah mengajukan permohonan enclave terhadap desa-desa yang berada dalam
TNK.
Perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi menjadi hutan lindung
seperti yang terjadi pada lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri, Desa Suka
Damai, Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan
merupakan usulan dari pemerintah daerah setempat. Penunjukkan areal tersebut
menjadi hutan lindung merupakan penunjukan parsial kawasan hutan Bontang
sebagai Hutan Lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
230/KPTS-VII/1987 tanggal 27 Juli 1987. Namun sampai sekarang status
kawasan Hutan Lindung Bontang masih sebagai penunjukan kawasan hutan
lindung meskipun telah dilakukan penataan batas pada tahun 1992. Penetapan
kawasan Hutan Lindung Bontang baru dapat dilakukan apabila segala
permasalahan yang ada di lapangan baik menyangkut batas maupun hak-hak
masyarakat telah diselesaikan.
Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan atau APL pada
kawasan industri PT Badak NGL, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan
Kanaan merupakan usulan pemerintah daerah yang tertuang dalam RTRWP.
Perubahan fungsi tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk mengakomodir
kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Seiring dengan perkembangan
kota dan pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahanpun semakin
meningkat untuk pembangunan infrastruktur dan pemukiman penduduk.
Ikhtisar
Pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan
pemukiman masyarakat Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa
Kandolo belum sesuai dengan rencana peruntukan ruang yang tertuang dalam
RTRW Kabupaten Kutai Timur.
Pemanfaatan ruang untuk lokasi industri PT Badak NGL dan pemukiman
masyarakat Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan telah sesuai
dengan rencana peruntukan yang tertuang dalam RTRW Kota Bontang.
Berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur, pada awalnya seluruh
wilayah penelitian merupakan kawasan hutan. Namun seiring dengan
124
perkembangan pembangunan daerah, kebutuhan akan lahan pun semakin
meningkat untuk kebutuhan pemukiman masyarakat dan pembangunan
infrastruktur. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan
dan pengurangan luas kawasan hutan yang tercermin dalam Peta Kawasan Hutan
Provinsi Kalimanatan Timur.
Adapun kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan
dan pemukiman masyarakat disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28 Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman
Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang No
Peruntukan/pemanfaatan ruang
Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur
1 Peta RTRW
Lokasi pertambangan Sesuai Tidak sesuai
Pemukiman Sesuai Tidak sesuai
2 Peta TGHK
Lokasi pertambangan Hutan Hutan
Pemukiman Hutan Hutan
3 Peta Kawasan Hutan
Lokasi pertambangan Non hutan Hutan
Pemukiman Non hutan Hutan
POLA PERIJINAN KEGIATAN PERTAMBANGAN
Kekayaan bahan galian tambang Indonesia meliputi emas, perak, batubara,
minyak dan gas bumi, dan lain-lainnya harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-
nesarnya untuk kemakmuran rakyat. Kegiatan yang dilakukan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang berada dalam
bumi Indonesia disebut usaha pertambangan. Usaha pertambangan dibedakan atas
penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan, dan penjualan.
Pengusahaan bahan galian tambang dapat dilaksanakan sendiri oleh
pemerintah dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh
pemerintah. Apabila dikerjakan oleh kontraktor, maka kedudukan pemerintah
adalah pihak yang memberikan izin kepada kontraktor. Izin yang diberikan oleh
pemerintah kepada kontraktor untuk melakukan pengusahaan bahan galian
tambang dapat berupa kuasa pertambangan (KP), kontrak karya (KK), perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), dan kontrak production
sharing (KPS).
Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan kepada
badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Tanpa adanya kuasa
pertambangan, perusahaan pertambangan belum dapat melaksanakan kegiatannya.
Berdasarkan aspek usahanya kuasa pertambangan dibedakan atas kuasa
pertambangan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Sedangkan KK, PKP2B, dan KPS
merupakan suatu bentuk perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan
kontraktor asing atau patungan antara badan hukum hukum asing dengan badan
hukum domestik masing-masing dalam pengusahaan pertambangan umum,
batubara, serta minyak dan gas bumi.
Pejabat yang berwenang mengeluarkan izin pengusahaan bahan galian
tambang tersebut sebelum otonomi daerah adalah pemerintah pusat yang diwakili
oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sampai dengan tahun 1999,
pemerintah Indonesia telah memberikan 908 izin pertambangan yang terdiri dari
126
KK, KKB dan KP dengan total luas konsesi 84 152 875.92 hektar atau hampir
separuh dari luas total daratan Indonesia (Salim 2005). Jumlah tersebut belum
termasuk bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah
berupa surat izin penambangan daerah (SIPD).
Namun sejak berlakunya otonomi daerah, kewenangan tersebut tidak hanya
menjadi kewenangan pemerintah pusat tapi juga juga menjadi kewenangan
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan yaitu bupati/walikota, gubernur, dan menteri sesuai dengan wilayah
kekuasaan pertambangannya.
Bupati/walikota berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan terletak dalam wilayah
kabupaten/kota. Gubernur berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila
kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah kabupaten/kota dan
tidak dilakukan kerjasama antar kabupaten/kota maupun antar kabupaten/kota
dengan provinsi. Untuk wilayah kuasa pertambangan yang terletak dalam
beberapa wilayah provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar provinsi maka
kewenangan penerbitan kuasa pertambangan berada pada menteri berwenang.
Namun izin pengusahaan bahan galian tambang yang telah dimiliki oleh
kontraktor tersebut bukan berarti telah membebaskan kontraktor untuk langsung
melakukan kegiatan. Usaha pertambangan merupakan usaha yang berkaitan
dengan tanah, baik tanah yang berstatus tanah hak maupun tanah negara.
Pemberian izin pengusahaan bahan galian tambang umumnya tidak
mempertimbangkan keberadaan hak dan status tanah sehingga seringkali terjadi
tumpang tindih dengan tanah/lahan garapan masyarakat dan kawasan hutan.
Untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan atau menggunakan
kawasan hutan setiap orang harus memiliki izin. Sesuai dengan pasal 50 ayat 3
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan setiap
orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi bahan
tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Untuk itu, sebelum memulai
127
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan, kontraktor tersebut harus
memiliki izin dari Menteri Kehutanan. Izin penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan khususnya dalam tahap eksploitasi diberikan dalam
bentuk pinjam pakai kawasan hutan.
Kuasa Pertambangan
Untuk melakukan kegiatan pertambangan, setiap perusahaan pertambangan
harus memiliki kuasa pertambangan. Adapun persyaratan untuk memperoleh izin
pengusahaan pertambangan tersebut disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Persyaratan permohonan izin usaha pertambangan
Kuasa Pertambangan (KP)*
Kontrak Karya (KK)
Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B)
Surat permohonan Surat permohonan Surat permohonan
Peta wilayah Peta lampiran dari Unit Pelayanan Wilayah pertambangan (UPIWP)
Peta pencadangan wilayah dari Unit Pelayanan Wilayah pertambangan (UPIWP)
Laporan lengkap eksplorasi Tanda bukti penyetoran jaminan kesungguhan dari bank yang ditunjuk
Tanda bukti penyetoran jaminan kesungguhan dari bank yang ditunjuk
Laporan studi kelayakan Tanda terima SPT tahun terakhir
Tanda terima SPT tahun terakhir
Dokumen AMDAL atau UKL-UPL
Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik
Laporan keuangan PMA dan PMDN tiga tahun terakhir yang telah diaudit
Tanda bukti pembayaran iuran tetap
Kesepakatan pemohon (bila pemohon lebih dari dari satu orang)
Kesepakatan bersama (MOU) antara PMA dan PMDN
Akta pendirian perusahaan Laporan tahunan perusahaan
Laporan tahunan perusahaan PMA dan PMDN
Sumber: Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia Keterangan: * tahap eksploitasi
128
Tabel 29 menunjukkan bahwa dalam proses pemberian izin usaha
pertambangan tidak ada koordinasi dengan instansi terkait. Salah satu persyaratan
yang mengandung koordinasi antar beberapa instansi adalah dokumen AMDAL
atau UKL-UPL. Namun dokumen tersebut tidak memberikan informasi mengenai
keberadaan pihak lain pada lokasi yang dimohon. Hal ini menyebabkan seringnya
muncul permasalahan antara perusahaan pertambangan dengan pemegang hak lain
yang telah terlebih dahulu mengelola atau memanfaatkan lokasi tersebut. Selain
itu, pemberian lokasi pertambangan diberikan tanpa mempertimbangkan fungsi
dan peruntukan kawasan serta status tanah di atasnya. Hal ini menyebabkan
timbulnya tumpang tindih penggunaan lahan kawasan hutan dengan lokasi
pertambangan atau tanah milik masyarakat dengan lokasi pertambangan.
Sebelum melaksanakan kegiatan pertambangan, tidak ada sosialisasi
terhadap masyarakat mengenai rencana pembukaan lahan untuk pertambangan
khususnya masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan pertambangan. Hal ini memicu
timbulnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan yang
disebabkan antara lain oleh tumpang tindih lahan garapan masyarakat dengan
lokasi pertambangan. Disamping itu, muncul persepsi dari masyarakat yang
menyatakan bahwa sumberdaya alam merupakan kekuasaan atau milik
perusahaan dan pemerintah.
Setiap pemegang izin kuasa pertambangan memiliki kewajiban. Adapun
kewajiban pemegang izin kuasa pertambangan sesuai dengan pasal 27 dan pasal
25 Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 meliputi :
1. Membayar iuran tetap dan iuran eksploitasi;
2. Melaporkan rencana usaha penggalian serta target produksinya kepada
menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya;
3. Menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai perkembangan
kegiatan yang telah dilakukan kepada menteri, gubernur, bupati/walikota
sesuai kewenangannya.
Jangka waktu kuasa pertambangan eksploitasi diberikan paling lama tiga
puluh tahun dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali yang untuk setiap kalinya
sebanyak sepuluh tahun. Total jangka waktu pemberian izin kuasa pertambangan
eksploitasi selama lima puluh tahun.
129
Salah satu tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan
adalah menyusun dan melaksanakan program community development. Namun
kewajiban tersebut belum tercantum secara jelas sebagai kewajiban perusahaan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001. Hal ini menyebabkan
perusahaan belum sepenuh hati dalam melaksanakan program community
development sehingga sasaran dan hasil yang dicapai belum merupakan prioritas
utama bagi perusahaan pertambangan.
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan
dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Sesuai dengan
pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pejabat yang
berwenang untuk meberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah menteri
terkait. Adapun tata cara perizinan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7 Pebruari
1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Sebelum era otonomi daerah, permohonan pinjam pakai kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan diajukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral untuk bahan galian A dan B, sedangkan bahan galian C diajukan oleh
Gubernur kepada Menteri Kehutanan. Namun sejak otonomi daerah, permohonan
pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dapat diajukan
langsung oleh bupati/walikota atau oleh perusahaan dengan rekomendasi bupati.
Pinjam pakai kawasan hutan terdiri atas pinjam pakai tanpa kompensasi dan
pinjam pakai dengan kompensasi. Pinjam pakai dengan kompensasi berlaku bagi
provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% luas daratan provinsi
tersebut. Adapun persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan, yaitu:
1. Peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon;
2. Rencana penggunaan dan rencana kerja;
3. Rekomendasi Gubernur/Bupati; dan
4. Pernyataan kesanggupan untuk menanggung seluruh biaya sehubungan
dengan permohonan tersebut.
130
Dalam proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan, lokasi yang
dimohon akan ditelaah khususnya untuk melihat keberadaan pemegang hak atau
izin pemanfaatan kawasan hutan pada lokasi yang sama. Apabila di dalam areal
yang dimohon terdapat pemegang hak lain seperti Hak Pengusahaan Hutan
(HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), atau hak ulayat/adat masyarakat lokal,
maka pemegang izin berkewajiban menyelesaikan sendiri permasalahan tersebut
dengan pihak pemegang hak.
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dibebani kewajiban sesuai
dengan Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai berikut:
1. Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa
IHH dan DR atas tegakan hutan alam;
2. Menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas atas
kawasan hutan yang dipinjam;
3. Menanggung biaya reboisasi dan reklamasi atas kawasan hutan yang
dipinjam;
4. Membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai;
5. Membantu menjaga keamanan di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang
dipinjam; dan
6. Memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah
sewaktu melakukan pengawasan di lapangan.
Untuk pinjam pakai dengan kompensasi ditambahkan kewajiban menyediakan
dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan yang ”clear and
clean” sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam serta menanggung
biaya penataan batas dan biaya reboisasi atas lahan kompensasi.
Dalam proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan, apabila dianggap
perlu maka Departemen Kehutanan akan melakukan penelitian terpadu pada
lokasi yang dimohon dengan melibatkan instansi terkait lain. Tim terpadu terdiri
dari unsur Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Perguruan Tinggi, dan Pemerintah Daerah yang dalam hal ini diwakili oleh Dinas
Kehutanan atau instansi lainnya yang menangani bidang Kehutanan.
Pembentukan tim terpadu tersebut umumnya dilakukan apabila pada lokasi yang
131
dimohon terdapat permasalahan atau berada dalam kawasan hutan lindung dalam
areal yang cukup luas.
Jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan diberikan selama lima tahun dan
dapat diperpanjang setelah diadakan evaluasi atas penerapan kewajiban yang telah
dipersyaratkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa dalam pemberian ijin
pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan
khususnya untuk kegiatan pertambangan belum dilakukan koordinasi antar
instansi terkait baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Koordinasi yang dilakukan terbatas untuk kasus tertentu yang memerlukan
penanganan lebih serius atau berada dalam kawasan hutan lindung. Seharusnya
prosedur yang sama dilakukan untuk semua permohonan pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan mengingat dampak kegiatan pertambangan
terhadap kawasan hutan secara umum adalah sama.
Salah satu unsur yang harus dipertimbangkan oleh Departemen Kehutanan
dalam memberikan ijin pinjam pakai kawasan hutan adalah persyaratan
kesesuaian rencana pemanfaatan ruang areal yang dimohon dengan RTRW.
Persyaratan ini lebih khusus lagi bagi areal yang akan dijadikan lokasi
pembangunan sarana penunjang seperti perkantoran, perumahan, dan industri
pengolahan. Disamping itu, pemegang ijin pinjam pakai belum diberikan
kewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap desa-desa yang berada di sekitar
lokasi pertambangan.
Ikhtisar
Pola perijinan lokasi pertambangan yaitu kuasa pertambangan dan ijin
pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mencerminkan
lemahnya koordinasi antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan dan
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Disamping itu,
penggunaan lahan untuk kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya
perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan.
Pemberian ijin lokasi pertambangan tidak melalui kegiatan sosialisasi terhadap
132
masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan sehingga
menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.
Adapun dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan
penggunaan lahan disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30 Dampak pola perijinan kegiatan pertambangan
No Dampak pola perijinan Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur
1 Tumpang tindih lahan masyarakat dengan lokasi pertambangan
Tidak ada Ada
2 Tumpang tindih kawasan hutan dengan lokasi pertambangan
Tidak ada Ada
3 Perubahan kawasan hutan menjadi non hutan
Ada Tidak ada
4 Konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan
Tidak ada Ada
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui
(unrenewable resources). Namun untuk mengelola dan memanfaatkan bahan
tambang diperlukan penanaman modal yang cukup besar baik yang bersumber
dari investor asing maupun investor dalam negeri. Penanaman modal merupakan
salah satu upaya yang harus dilakukan dalam pengembangan wilayah. Disamping
itu, penanaman modal harus ditempatkan pada wilayah-wilayah yang strategis dan
memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial untuk dikembangkan serta harus
dilakukan melalui jalinan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Daerah yang memiliki bahan tambang yang potensial dan telah mendapatkan
penanaman modal dalam rangka eksploitasi bahan tambang tersebut antara lain
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur merupakan daerah yang memiliki prime mover pada sektor pertambangan
yaitu pengolahan gas cair di Kota Bontang dan tambang batubara di Kabupaten
Kutai Timur. Menurut Priyatna (2003), Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur termasuk dalam Sistem Kesatuan Wilayah (SKW) Bontang yang
pemanfaatan ruangnya di dominasi oleh hutan lebat, hutan belukar, hutan lindung,
pertambangan, kawasan industri, perkebunan, sawah, dan pertanian lahan kering.
Salah satu karakteristik dari sumberdaya alam tambang adalah
penyebarannya yang tidak merata untuk semua daerah dan keberadaannya yang
selalu tumpang tindih dengan kawasan hutan dan pemukiman/lahan garapan
masyarakat. Hal ini mengakibatkan kegiatan pertambangan memberikan dua
dampak sekaligus yaitu dampak positif dan dampak negatif yang dapat dirasakan
oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
wilayah tidak hanya dipandang dari satu aspek. Dampak kegiatan pertambangan
dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain pembangunan daerah, pembangunan
manusia, serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan kegiatan
pertambangan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Suhandoyo (2002) bahwa dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga
134
pilar yang perlu diperhatikan, yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
teknologi. Pilar sumberdaya manusia (SDM) memegang peranan sentral karena
mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai
obyek pembangunan SDM merupakan sasaran pembangunan untuk
disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan.
Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah sesungguhnya merupakan
pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development),
dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan.
Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah dapat
dikaji dari berbagai aspek antara lain pertumbuhan perekonomian daerah,
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan masyarakat, dan
kebijakan yang mendukung pengelolaan sumberdaya alam tambang tersebut. Hal
ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Nelson (1993) bahwa
pengembangan wilayah akan selalu mengarah pada langkah atau tindakan yang
dapat merubah produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat
pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh dari industri. Perubahan tersebut juga
terjadi pada pengembangan dari aspek sosial, seperti peningkatan kualitas
prasarana sarana dan prasarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan.
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah
pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Pertumbuhan perekonomian Kota
Bontang dipengaruhi oleh sektor industri pengolahan khususnya pengolahan gas
alam cair, sedangkan pertumbuhan perekonomian Kabupaten Kutai Timur
dipengaruhi oleh sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini dukung oleh hasil
analisis yang menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan merupakan salah
satu sektor basis di Kota Bontang, sedangkan sektor pertambangan dan
penggalian merupakan salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur.
Sebagai sektor basis, sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan
dan penggalian memiliki keunggulan komparatif yang menjadikan sektor tersebut
dapat memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya sekaligus kebutuhan di luar
daerahnya. Hal ini tercermin dari sumbangan yang diberikan oleh sektor industri
pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB dan
penyerapan tenaga kerja. Hasil analisis LQ PDRB Kota Bontang dan Kabupaten
Kutai Timur tahun 2002-2003 mendukung hasil penelitian terdahulu yang
135
dilakukan oleh Priyatna (2003) yang menyatakan bahwa struktur perekonomian
kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki PDRB total dan
pendapatan per kapita paling tinggi ternyata merupakan sumbangan dari hasil
pengolahan sumberdaya alam seperti kehutanan, migas, dan pertambangan
sehingga pembangunan ekonominya sangat dominan jika dibandingkan dengan
kabupaten/kota yang hanya mengandalkan sektor pertanian, seperti tanaman
pangan, perkebunan dan perikanan.
Kota Bontang merupakan satu-satunya daerah yang mampu masuk wilayah
satu (W1) baik dengan migas maupun tanpa migas dan bahan galian. Kota
Bontang merupakan kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB
dengan/tanpa migas yang relatif lebih besar dari pertumbuhan PDRB provinsi
dan memiliki nilai rata-rata PDRB perkapita dengan/tanpa migas yang juga lebih
besar dibandingkan dengan provinsi (Priyatna 2003). Hal ini mencerminkan
bahwa Kota Bontang tidak tergantung hanya dari satu sektor ekonomi saja.
PDRB Kota Bontang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Namun PDRB dengan migas menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan PDRB tanpa migas yang cenderung tidak mengalami
banyak peningkatan. PDRB Kota Bontang dengan atau tanpa migas menunjukkan
perbedaan nilai yang cukup jauh dimana nilai PDRB migas jauh lebih besar
dibandingkan nilai PDRB tanpa migas. Hal ini menunjukkan bahwa sektor
perekonomian Kota Bontang sangat dipengaruhi oleh keberadaan migas di daerah
tersebut (Gambar 33).
Peranan sub sektor migas yang terdapat dalam sektor industri pengolahan
terhadap pembangunan daerah Kota Bontang terlihat dari kontribusi yang
disumbangkan pada PDRB. Sektor industri pengolahan, termasuk di dalamnya
industri pengolahan gas cair, sejak tahun 1993 memberikan kontribusi yang paling
besar terhadap PDRB Kota Bontang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Pada tahun 1993 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar
59.54% terhadap PDRB Kota Bontang. Sumbangan sektor pengolahan tersebut
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2003 sektor
industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 86.46% terhadap PDRB
Kota Bontang.
136
Perkembangan PDRB Kota Bontang
atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
-
1,000,000.00
2,000,000.00
3,000,000.00
4,000,000.00
5,000,000.00
6,000,000.00
1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Jum
lah
(juta
rup
iah)
Dengan Migas
Tanpa Migas
Gambar 33 Perkembangan PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
Distribusi persentase PDRB Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (% ) tahun 1993-2003
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Jum
lah
(%
)
Pertanian Pertambangan dan penggalianIndustri pengolahan Listrik, gas dan air minumBangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel
Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaanJasa-jasa
Gambar 34 Distribusi PDRB Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
137
Gambar 34 menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan memiliki
peranan yang sangat dominan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam
pembentukan struktur perekonomian Kota Bontang sejak tahun 1993 sampai
dengan tahun 2003.
Sedangkan Kabupaten Kutai Timur merupakan kabupaten/kota yang
memiliki tingkat pertumbuhan PDRB dengan/tanpa migas yang relatif lebih besar
dari pertumbuhan PDRB provinsi namun memiliki nilai rata-rata PDRB perkapita
dengan migas yang lebih rendah dari provinsi dan nilai rata-rata PDRB perkapita
tanpa migas yang lebih tinggi dari provinsi (Priyatna 2003). Hal ini
mencerminkan bahwa Kabupaten Kutai Timur tidak bergantung dari migas, tetapi
dari bahan galian. Pertambangan batubara yang dimiliki daerah ini memegang
peranan yang sangat penting terhadap pembentukan PDRB-nya.
PDRB Kabupaten Kutai Timur mulai mengalami peningkatan yang cukup
tinggi pada tahun 2001, sedangkan peningkatan PDRB Kabupaten Kutai Timur
tahun 1993-2000 tidak terlalu mencolok. Pertumbuhan PDRB dengan migas dan
tanpa migas tidak menunjukkan perbedaan yang tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur tidak tergantung pada subsektor
migas. Namun PDRB dengan/tanpa migas dan PDRB tanpa migas dan batubara
menunjukkan perbedaan jarak yang cukup jauh. Hal ini menunjukkan bahwa
perekonomian Kabupaten Kutai Timur dipengaruhi oleh bahan galian batubara
(Gambar 35).
Peranan bahan galian batubara yang termasuk dalam sektor pertambangan
dan penggalian dalam PDRB Kabupaten Kutai Timur Bontang terlihat dari
kontribusi yang disumbangkan pada PDRB. Sektor pertambangan dan penggalian
sejak tahun 1993 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota
Bontang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1993 sektor
pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 66.74% terhadap
PDRB Kabupaten Kutai Timur. Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian
tersebut mengalami peningkatan pada tahun 1998 dengan sumbangan sebesar
75.86% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur. Namun pada tahun-tahun
berikutnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan
hingga pada tahun 2003 hanya dapat memberikan sumbangan sebesar 65.66%
terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur.
138
Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur
atas dasar dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
-
200,000.00
400,000.00
600,000.00
800,000.00
1,000,000.00
1,200,000.00
1,400,000.00
1,600,000.00
1,800,000.00
1993 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Jum
lah
( ju
ta r
upia
h)
Dengan Migas
Tanpa Migas
Tanpa migasdan batubara
Gambar 35 Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas/tanpa migas/tanpa migas dan batubara atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
Distribusi persentase PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993(% ) tahun 1993-2003
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Jum
lah
(%)
Pertanian Pertambangan dan penggalian
Industri pengolahan Listrik, gas dan air minumBangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel
Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaanJasa-jasa
Gambar 36 Distribusi PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
139
Gambar 36 menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian
memiliki peranan yang sangat dominan dibandingkan dengan sektor-sektor
lainnya dalam pembentukan struktur perekonomian Kota Bontang sejak tahun
1993 sampai dengan tahun 2003.
Namun sejak tahun 2002, terdapat kecenderungan penurunan sumbangan
sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kabuoaten Kutai Timur. Hal
ini mencerminkan bahwa produksi eksploitasi bahan tambang tambang sebagai
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) akan
suatu saat akan mengalami penurunan karena cadangan semakin berkurang hingga
akhirnya terkuras habis. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan pengelolaan
dan pemanfaatan bahan tambang agar keberlangsungan pembangunan pasca
tambang tetap berjalan.
Meskipun sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan
penggalian memberikan konstribusi yang besar terhadap PDRB, namun
penyerapan tenaga kerja relatif lebih kecil. Sektor industri pengolahan di Kota
Bontang hanya menyerap tenaga kerja sebesar 14.21%, sedangkan sektor
pertambangan dan penggalian di Kabupaten Kutai Timur sebesar 9.54%. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun kehadiran perusahaan pertambangan di Kota
Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memberikan kesempatan kerja kepada
masyarakat setempat namun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Hal
disebabkan sebagian besar karyawan perusahaan pertambangan berasal dari luar
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
Disamping itu, kehadiran perusahaan pertambangan di Kota Bontang dan
Kabupaten Kutai Timur tidak banyak memberikan perubahan terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar tambang. Hal ini disebabkan
hasil pengelolaan sumberdaya alam lebih banyak ditujukan kepada pembangunan
fisik dan perekonomian secara makro, sedangkan sumberdaya manusia sebagai
bagian penting dari kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang
memadai. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang
tidak memperhatikan aspek pembangunan manusia dan lebih menitikberatkan
kepada pembangunan fisik daerah.
Meskipun perusahaan pertambangan telah menjalankan berbagai bentuk
program community development sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan
140
(corporate social responsibility), namun tidak memberikan perubahan terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi
pertambangan. Hal ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Saleng (2004) yang menyatakan bahwa kontribusi pengusahaan pertambangan
terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan baik melalui program local and
community development maupun program pembangunan lainnya belum
merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama
pasca pertambangan, tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara
masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan.
Adapun penyebab rendahnya pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan
terhadap kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan
antara lain adalah program community development yang dilakukan oleh
perusahaan pertambangan masih bersifat top-down. Hal ini tercermin dari bentuk
program community development yang umumnya bersifat proyek dan masyarakat
sebagai obyek atau penerima. Disamping itu, program community development
yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan belum sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan hanya menyentuh sebagian masyarakat saja, yaitu masyarakat
yang berada pada lapisan atas. Hal ini disebabkan perencanaan program tidak
melibatkan masyarakat sehingga aspirasi masyarakat tidak tertampung dalam
program-program tersebut. Padahal menurut Conyers (1994), partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak kegiatan
pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja setempat dan pengembangan
masyarakat masih rendah. Hal ini disebabkan oleh program community
develolopment perusahaan pertambangan yang belum sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena
itu, perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam pengelolaan sumberdaya
alam harus mempertimbangkan kepentingan pembangunan sumberdaya manusia
sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan fisik dan perekonomian daerah.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan pembangunan suatu daerah. Pengelolaan sumberdaya alam
yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif yang jauh lebih besar
141
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dan hanya dapat dinikmati
secara sesaat. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan
secara tepat dan bijaksana untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development).
Salah satu media perencanaan pengelolaan sumberdaya alam adalah melalui
perencanaan tata guna lahan (land use planning). Perencanaan tata guna lahan
dapat memberikan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai
penggunaan/pemanfaatan lahan yang layak guna dikembangkan atau
dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu mempertimbangkan efek-efek
yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas lingkungan/ekosistem (Riyadi dan
Bratakusumah 2004). Hal ini disebabkan struktur ruang atau penggunaan lahan
dapat mengalami perubahan seiring perkembangan pembangunan dan
meningkatnya kebutuhan akan lahan.
Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam seyogyanya telah diatur dalam
Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota sebagai bentuk tata ruang yang detil.
Pembagian pemanfaatan ruang didasarkan atas potensi dan masalah yang dimiliki
masing-masing kawasan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan penyelesaian
permasalahannya. Misalnya, lokasi-lokasi yang memiliki potensi atau cadangan
mineral dan gas bumi jenis pemanfaatan ruangnya sudah ditetapkan sedemikian
rupa dalam RTRW sehingga memudahkan dalam pengembangan wilayah. Namun
kenyataan yang ada sekarang menunjukkan bahwa masih banyak lokasi
pertambangan dan pemukiman masyarakat yang belum terakomodir di dalam
RTRW antara lain lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan pemukiman
masyarakat Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo di
Kabupaten Kutai Timur.
Pada dasarnya, penataan ruang dilakukan untuk mengelola konflik dalam
alokasi dan/atau distribusi pemanfaatan berbagai sumberdaya secara efesien, adil
dan berkelanjutan. Konflik yang dimaksud baik konflik terpendam maupun yang
terbuka karena salah satu pihak telah bertindak untuk melaksanakan tujuannya
yang berbenturan dengan tujuan dan kepentingan pihak lainnya. Untuk
menghindari ataupun mengatasi konflik demikian diperlukan peran serta semua
pihak. Namun dalam pemberian ijin lokasi pertambangan baik dalam bentuk
kuasa pertambangan maupun pinjam pakai kawasan hutan belum melibatkan
142
peranserta masyarakat baik secara langsung masupun dalam bentuk perwakilan.
Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih lahan masyarakat sehingga
menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.
Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan daerah dan pemanfaatan
ruang kepentingan semua pihak termasuk kepentingan masyarakat harus dapat
diakomodir untuk menghindari terjadinya konflik dan benturan kepentingan.
Untuk dapat mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut
maka masyarakat harus diikutsertakan dalam penyusunan rencana tata ruang
termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini
sudah saatnya meninggalkan cara pandang bahwa pengelolaan sumberdaya alam
merupakan wewenang ekslusif dari pemerintah. Pengelolaan sumberdaya alam
harus dipandang sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang berprinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwasasan lingkungan serta berbasis
kerakyatan.
Partisipasi masyarakat dan transparansi perencanaan pembangunan daerah
diharapkan mulai mewarnai kehidupan bernegara khususnya dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat diikutsertakan
dalam perumusan kebijakan dan penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya
alam sehingga pembangunan yang dilakukan benar-benar merupakan kebutuhan
dan keinginan masyarakat. Ada kalanya pembangunan yang dilaksanakan pada
suatu wilayah, lebih berpihak dan mengakomodir kepentingan suatu kelompok
tertentu sehingga masyarakat yang berada di sekitar lokasi tersebut tidak
menikmati hasilnya. Misalnya, pembukaan tambang disuatu wilayah biasanya
bersifat enclave sehingga masyarakat yang berada disekitar lokasi tambang tidak
mengalami perubahan berarti dalam peningkatan kesejahteraan. Namun setelah
kegiatan tambang tutup, maka yang harus menerima dampak yang ditimbulkan
pasca tambang tersebut adalah masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa dampak kegiatan pertambangan
terhadap pengembangan wilayah relatif masih rendah. Menurut Zen (2001),
pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang
berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat
disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan
kebutuhan dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang
143
bersangkutan. Namun pengelolaan sumberdaya alam berupa bahan tambang di
Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur belum memberikan dampak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi
pertambangan. Hal ini tercermin dari rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal,
program community development yang belum menyentuh semua lapisan
masyarakat, serta ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.
SIMPULAN
Simpulan Umum
Kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
pertambangan di Kota Bontang telah berjalan dengan baik yang tercermin dari
kesesuaian rencana pemanfaatan ruang dengan pemanfaatan ruang eksisting.
Namun kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
pertambangan di Kabupaten Kutai Timur belum berjalan dengan baik yang
tercermin dari ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang dengan pemanfaatan
ruang eksisting yang menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap RTRW.
Hal ini disebabkan oleh pendekatan perencanaan pembangunan wilayah lebih
bersifat sektoral sehingga terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan.
Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah relatif
masih rendah khususnya dalam pengembangan masyarakat dan penyerapan tenaga
kerja. Namun kegiatan pertambangan memberikan kontribusi yang besar terhadap
pembangunan daerah khususnya dalam struktur perekonomian daerah.
Simpulan Khusus
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka simpulan khusus dalam penelitian ini
adalah :
1. Kegiatan pertambangan memiliki kontribusi yang cukup besar dalam
pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
Pertumbuhan ekonomi wilayah Kota Bontang didukung oleh sektor industri
pengolahan yang memberikan kontribusi sebesar 86.46% dengan laju
pertumbuhan 7.49% pada PDRB tahun 2003. Pertumbuhan ekonomi wilayah
Kabupaten Kutai Timur didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian
yang memberikan kontribusi sebesar 64.31% dengan laju pertumbuhan
20.79% pada PDRB tahun 2003. Sektor industri pengolahan dan sektor
pertambangan dan penggalian memiliki keunggukan kompetitif serta
merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur.
145
2. Kegiatan pertambangan relatif belum memberikan kontribusi terhadap
pengembangan masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi
pertambangan. Kontribusi langsung perusahaan terhadap masyarakat antara
lain kesempatan kerja, pertumbuhan usaha kecil, pelayanan pendidikan dan
kesehatan, umumnya hanya menyentuh masyarakat lapisan atas, sedangkan
kontribusi terhadap masyarakat lapisan menengah dan bawah relatif masih
kurang. Hal ini disebabkan kegiatan community development yang
dilaksanakan oleh perusahaan bersifat top-down sehingga tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kontribusi tidak langsung berupa pembangunan
infrastruktur lebih banyak dilakukan di pusat pemerintahan daripada
desa/kelurahan yang berada di sekitar lokasi tambang.
3. Pemanfaatan ruang pada wilayah Kabupaten Kutai Timur belum sesuai
dengan peruntukan ruang dalam RTRW. Lokasi pertambangan PT Indominco
Mandiri dan pemukiman masyarakat berdasarkan pola pemanfaatan ruang
berada pada kawasan kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan
Wisata/Taman Nasional. Berdasarkan pola pemanfaatan ruang pada RTRW
Kota Bontang, lokasi industri PT Badak NGL dan pemukiman masyarakat
pemanfaatan ruangnya sudah sesuai dengan RTRW. Industri PT Badak NGL
berada pada kawasan industri sedangkan pemukiman masyarakat berada pada
kawasan budidaya untuk pemukiman.
4. Pola perijinan kegiatan pertambangan dan penggunaan kawasan hutan
mencerminkan lemahnya koordinasi antar instansi maupun antar pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih
penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
peruntukannya. Tumpang tindih penggunaan kawasan hutan dengan kegiatan
pertambangan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari
kawasan hutan menjadi non kawasan hutan.
REKOMENDASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam perencanaan
pembangunan daerah khususnya perencanaan pembangunan Kota Bontang dan
Kabupaten Kutai Timur perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Sumberdaya alam tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat
diperbaharui (unrenewable resources) sehingga pengelolaannya harus
dilakukan melalui prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Oleh karena itu, hasil sumberdaya alam tambang harus dapat
digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekonomi lainnya yang tidak bertumpu
pada sumberdaya alam tambang antara lain sektor pertanian, sektor perikanan,
dan lainnya, sehingga pada saat pasca tambang pembangunan daerah dapat
terus berjalan tanpa ketergantungan pada bahan galian tambang.
2. Pemberian ijin lokasi pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan harus mempertimbangkan tata guna lahan,
Rencana Tata Ruang Wilayah, dan tata guna hutan untuk menghindari
timbulnya konflik dan benturan kepentingan antar sektor.
3. Setiap pemegang ijin kuasa pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan diberikan kewajiban pengembangan
masyarakat (community development). Penyusunan program dan implementasi
kegiatan community development dilakukan secara sinergi antara instansi
terkait, perusahaan pertambangan, dan masyarakat agar program yang dibuat
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
4. Evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan kewajiban pemegang ijin kuasa
pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan dilakukan secara berkala disertai pengenaan sanksi terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abe A. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarya : Pembaruan.
Alkadri, Djayadinigrat HM. 2002. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah? Konsep dan Contoh Aplikasi. Di dalam : Ambardi UM, Prihawantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 96-120.
Ary S. 2001. Peranan Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Wilayah di Indonesia. Di dalam : Alkadri, Muchdie, Suhandoyo, penyunting. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed rev. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 171-183.
BANPU. 2005. Karya dan Perhatian Kepada Masyarakat 2004. BANPU COMDEV, Edisi 01 Mei 2005.
[Bappeda, BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bontang. 2004a. Bontang Dalam Angka 2003. Bontang: Bappeda, BPS Kota Bontang.
[Bappeda, BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bontang. 2004b. PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Bontang 1993-2003. Bontang: Bappeda, BPS Kota Bontang.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Direktrorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan. 2004. Mengatasi Tumpang Tindih antara Lahan Pertambangan dan Kehutanan. Info Kajian Bappenas, Vo. 1 No. 2: 43-52.
BIKAL. 2001. Potret Taman Nasional Kutai. Draft#0. Samarinda: Yayasan BIKAL.
Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development. Ed ke-2. London: Sage Publications.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Pendapatan Nasional Indonesia 2000-2003. Jakarta: BPS Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2003. Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Kutai Timur Tahun 2002. Sangatta: BPS Kabupaten Kutai Timur
[BPS] Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2004a. Kabupaten Kutai Timur dalam Angka 2003. Sangatta: BPS Kabupaten Kutai Timur.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2004b. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur Menurut Lapangan Usaha 1993, 1997-2003. Sangatta: BPS Kabupaten Kutai Timur.
[BPS, Bappenas, UNDP] Badan Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, United Nations Development Programme. 2004. Indonesia: Laporan Pembangunan Manusia 2004, Ekonomi dan Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta: BPS, Bappenas, UNDP.
148
Budimanta A. 2005. Evolusi Community Development di Industri Energi dan
Sumber Daya Mineral. Di dalam : Kusairi dkk. Editor. Sustainable Future, Menggagas Warisan Peradaban Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran Surna Tjahja Djajadininghrat. Jakarta: ICSD. Hlm 191 – 197.
[Dephut] Departemen Kehutanan 2003. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Planologi Kehutanan. Jakarta: Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia 2003. Jakarta: Departemen Kehutanan.
[Deptamben] Departemen Pertambangan dan Energi. 1982. Kumpulan Peraturan-Peraturan tentang Pertambangan dan Energi. Jakarta: Proyek Pembinaan Hukum Bidang Pertambangan dan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi.
Conyers D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Glasson J. 1978. An Introduction to Regional Planning. London: Hutchinson.
Ife J. 2002. Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Ed-2. Malaysia: Cath Godfrey.
Ismail Z. 2001. Pembangunan Daerah dan Masalah Lingkungan. Di dalam: Ismail Z, penyunting. Pembangunan Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan. Jakarta: P2E – LIPI.
Johnson RA, Wichern DW. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis. Ed ke-4. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.
MacAndrews C, Sibero A, Fisher HB. 1982. Regional Development Planning and Implementation in Indonesia: The Evolution of a National Policy. Di dalam: Misra RP, editor. Regional Development. Singapore: Maruzen Asia. Hlm. 43-74.
Misra RP. 1982. Regional Development Planning: Search for Bearings. Di dalam: Misra RP, editor. Regional Development. Singapore: Maruzen Asia. Hlm. 1-27.
Muhammad C. 2000. Studi Agenda Tersembunyi di Balik Kontrak Karya dan Operasi Tambang INCO. Disampaikan Temu Profesi Tahunan (TPT) IX dan Kongres IV Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), 14 September 2000.
Nelson AC. 1993. Theories of Regional Development, Theories of Local Economic Development : Perpectives Across the Disciplines. London: Sage Publications.
[Pemda Bontang, KKPSDA] Pemerintah Kota Bontang dan Kelompok Kerja Program Pengelolaan Sumberdaya Alam. 2003. Potret Lingkungan Hidup Kota Bontang. Ed. Ke-1. Bontang: Pemda Bontang, KKPSDA
Primahendra R. 2004. Menggagas Ulang Community Development. Buletin Bina Swadaya No. 47/Tahun X/Mei-Juni 2004. Hal 2-3.
149
Priyatna BI. 2003. Tinjau Faktor-Faktor Disparitas Ekonomi Antar
Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur [Tesis]. Bandung: Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.
[PT Badak NGL] PT Badak Natural Gas Liquefaction. 2005. Laporan Community Development PT Badak NGL 2004. Bontang: PT Badak NGL.
Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Di dalam: Ambardi UM, Priwantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 48-65.
Riyadi BDS. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah, Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Ed. Ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Riyanto B. 2004. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia. Jakarta: LPHKL.
Saleng A. 2004. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press.
Salim E. 4 Maret 2005. Pertambangan dalam Keberlanjutan Pembangunan. Kompas. Http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0503/04/opini/ 1565605. htm [4 Maret 2005].
Salim HS. 2005. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sugiarto, Siagiaan D, Sunaryanto LT, Oetomo, SS. 2003. Teknik Sampling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suhandoyo. 2002. Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Di dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 96-120.
Suryanto J. 2001. Sistem Pungutan Sumberdaya Pertambangan Daerah, Kasus Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur. Di dalam: Ismail Z, penyunting. Pembangunan Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan. Jakarta: P2E – LIPI.
Soenarto. 2004. Peluang Bagi Penyelesaian Konflik Agraria di Sub Sektor Pertambangan Umum. Jurnal Analisis Sosial. Vol 9 No.1 April 2004: 29-35.
Tarigan R. 2004. Perencanan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Triutomo S. 2001. Pengembangan Wilayah melalui Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Di dalam: Alkadri, Muchdie, Suhandoyo, penyunting. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed rev. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 49-61.
150
Tukiyat. 2001. Ekonomi dan Lingkungan dalam Perspektif Pembangunan
Berkelanjutan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia . Vol 3 No. 4: 1-7.
Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor: CIFOR
Zen MT. 2001. Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah: Memberdayakan Manusia. Di dalam: Alkadri, Muchdie, Suhandoyo, editor. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed rev. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 3-20.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di ganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bontang
Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7 Pebruari 1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum.
151
Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 12/Menhut-II/2004 tanggal 29 September
2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan
PETA
Peta Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Timur Skala 1 : 250.000
Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Kalimantan Timur skala 1 : 500.000
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur skala 1 : 500..000
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bontang Sakal 1 : 78.000
Peta Admnitsrasi Kota Bontang Skala 1 : 25.000
Peta Admnistrasi Kabupaten Kutai Timur skala 1 : 500.000
Peta Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk kegiatan Eksploitasi Bahan Galian Batubara PT Indominco Mandiri Skala 1 : 50.000
LAMPIRAN
153
Lampiran 1 Kuesioner
1. Kota / Kabupaten :
2. Kecamatan :
3. Kelurahan / Desa :
4. RW / RT :
5. Kampung / Dusun :
6. Nama responden :
7. Nomor urut rumah tangga sampel :
8. Hari / tanggal wawancara :
1. Status perkawinan : 1. Belum Kawin 2. Kawin 3. Cerai Hidup 4. Cerai Mati
2. Umur : ………………… tahun
3. Agama : 1. Islam 2. Protestan 3. Katolik 4. Hindu 5. Budha
6. Lainnya : ………………………………
4. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan :
1. Tidak/belum pernah sekolah 5. SLTA/sederajat
2. Tidak/belum tamat SD 6. Diploma I/II
3. SD/Sederajat 7. Diploma III/akademi
4. SLTP/sederajat 8. Sarjana/S1 ke atas
5. Jika tidak sekolah/tidak tamat SD apakah dapat membaca dan menulis :
1. Huruf latin 2. Huruf Lainnya 3. Tidak dapat membaca dan menulis
6. Pekerjaan utama saat ini :
1. Petani 2. Buruh tani 3. Buruh pabrik 4. Buruh bangunan
5. Pedagang 6. Makelar 7. Sopir 8. Ibu Rumah Tangga
9. Pensiunan PNS 10. Penjahit 11. Pedagang 12. Guru/PNS/ABRI
13. Karyawan swasta 14. Lainnya ………………………………………
7. Pendapatan bersih dalam sebulan :
1. ? 500.000 2. 500.000 - 1.000.000 3. 1.000.000 - 1.500.000
4. 1.500.000 - 2.000.000 3. 2.000.000 - 2.500.000 4. ? 2.500.000
A. KETERANGAN TEMPAT
B. IDENTITAS RESPONDEN
154
8.Jika jawaban pertanyaan 6 "petani", berapa luas lahan yang anda miliki :
Sawah : ………………… ha Kebun : ………………… ha
Lainnya : ………………… ha
9. Pekerjaan utama sebelumnya:
1. Petani 2. Buruh tani 3. Buruh pabrik 4. Buruh bangunan
5. Pedagang 6. Makelar 7. Sopir 8. Ibu Rumah Tangga
9. Pensiunan PNS 10. Penjahit 11. Pedagang 12. Guru/PNS/ABRI
13. Karyawan swasta 14. Lainnya ………………………………………
10.Jika jawaban pertanyaan 9 "petani", berapa luas lahan yang anda miliki :
Sawah : ………………… ha Kebun : ………………… ha
Lainnya : ………………… ha
11. Pendapatan bersih dalam sebulan :
1. ? 500.000 2. 500.000 - 1.000.000 3. 1.000.000 - 1.500.0004. 1.500.000 - 2.000.000 3. 2.000.000 - 2.500.000 4. ? 2.500.000
12. Apakah anda penduduk asli desa ini : 1. Ya 2. Tidak
13. Jika jawaban pertanyaan 12 Tidak, sejak kapan anda pindah ke desa ini:
Tahun : ………………………………………
Daerah Asal : ……………………………..
14. Alasan utama pindah ke desa ini :1. Pekerjaan 2. Mencari pekerjaan3. Ikut suami/isteri/keluarga 4. Lainnya (…………………………………………..)
15. Jika alasannya karena pekerjaan atau mencari pekerjaan, apa alasannya tidak bekerja/mencari kerja di daerah asal ?1. Sulit mendapatkan pekerjaan 2. Pendapatan rendah 3. Tidak mempunyai lahan pertanian
16. Apakah pekerjaan sekarang ini mencukupi kebutuhan saudara? Ya 1 Tidak 2
17. Siapa yang mengajak pindah ke desa ini?
1. Inisiatif sendiri 4. Kantor/perusahaan tempat kerja2. Keluarga 5. Lainnya3. Teman
(7)1
2
3
4
5
Kode kolom (3) Hubungan dengan Kepala Rumahtangga :
1. Kepala Ruamh Tangga (KRT) 5. Cucu2. Isteri/Suami 6. Orang tua/Mertua3. Anak 7. Saudara/Famili4. Menantu 8. Lainnya
Pekerjaan
(5) (6)(1)
(tahun)KRT
Jenis
(3) (4)
Hubungandengan
Pendidikan
C. KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA
IDENTITAS RESPONDEN (Lanjutan)
No.
(kode)
Nama Anggota Rumah tangga UmurKelamin
(2)
155
Adakah anggota rumah tangga yang :1. Bekerja pada perusahaan tambang PT ………………………………………………………..
1. Ada 2. Tidak ada
2. Mantan bekerja pada perusahaan tambang PT ……………………………………………………1. Ada 2. Tidak ada
3. Bila pernah bekerja pada PT …………………………………………………. mengapa berhenti ?1. Habis kontrak 2. Diberhentikan 3. Mengundurkan diri
4. Memperoleh beasiswa pendidikan dari PT ……………………………………1. Ada 2. Tidak ada
5. Pernah memperoleh beasiswa pendidikan dari PT ……………………………………1. Ada 2. Tidak ada
6. Bila pernah mendapat beasiswa dari PT …………………………………….. mengapa tidak diteruskan?1. Habis jangka waktunya 2. Berhenti sekolah 3. Program dari perusahaan berakhir
1. Bagaimana tingkat pendapatan dalam 5 (lima) tahun terakhir?1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk
2. Dalam 5 (lima) tahun terakhir adakah perubahan sumber pendapatan keluarga?1. Ada 2. Tidak ada
3. Jika ada perubahan, apakah sumber perubahannya?1. PT ………………………….. 3. Proses alami 3. Program Pemerintah4. Perusahaan lain 5. Peran LSM 6. Usaha sendiri
4. Bagaimanakah kontribusi penghasilan dari PT ………………………………………. terhadap kesejahteraan keluarga?
1. Sangat besar 2. Besar 3. Sedang 4. Kecil 5. Sangat kecil 6. Tidak ada
5. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan masyarakat disini setelah adanya PT ………………………………?1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk
6. Dibandingkan dengan desa lainnya yang tidak termasuk wilayah kerja PT ……………………………….. bagaimana kondisi usaha-usaha kecil (mis : warung) di desa Saudara ?
1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk
7. Dibandingkan dengan desa lainnya yang tidak termasuk wilayah kerja PT ……………………………….. bagaimana kondisi penyerapan tenaga kerja di desa Saudara ?
1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk
E.1. PEMILIKAN DAN KUALITAS BANGUNAN RUMAH
1. Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati :
1. Milik Sendiri 2. Sewa/kontrak 3. Rumah Keluarga 4. Bebas sewa 5. Lainnya
2. Status penguasaan tanah tempat tinggal :
1. Hak Milik 2. HGB 3. Tanah Negara 4. Milik orang/badan 5. Lainnya
3. Luas lantai tempat tinggal : ………………..………… m2
4. Luas pekarangan : ………………..…………m2
5. Jenis lantai terluas :
1. Keramik/ubin 2. Semen 3. Papan 4. Teraso 5. Tanah/lainnya
E. KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA
KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA (Lanjutan)
D. KESEJAHTERAAN KELUARGA
156
6. Jenis dinding terluas :
1. Tembok 2. Setengah tembok 3. Papan/triplek 4. Bilik/lainnya
7. Sumber air bersih untuk minum :
1. Ledeng (PDAM) 2. Air pompa 3. Mata air 4. Air sungai/hujan
8. Sumber air bersih untuk mandi/cuci dll :
1. Ledeng (PDAM) 2. Air pompa 3. Mata air 4. Air sungai/hujan
9. Penggunaan jamban/WC : 1. Sendiri 2. Bersama 3. Umum 4. Lainnya/tidak ada
10. Sumber penerangan : 1. Listrik PLN 2. Listrik non PLN/Swasta 3. Petromak 4. Lainnya
11. Bahan bakar untuk masak :
1. Gas/listrik 2. Minyak tanah 3. Kayu bakar
E.2. PEMILIKAN BARANG BERHARGA
Mobil ……………………. ………………………………..Sepeda motor ……………………. ………………………………..
Sepeda ……………………. ………………………………..
Traktor tangan ……………………. ………………………………..Televisi berwarna ……………………. ………………………………..Televisi B/W ……………………. ………………………………..Parabola ……………………. ………………………………..
Video cecorder/VCD/DVD ……………………. ………………………………..Tape recorder/Radio ……………………. ………………………………..Lemari es ……………………. ………………………………..
Sofa ……………………. ………………………………..Kamera ……………………. ………………………………..
…………………………….. ……………………. ………………………………..
…………………………….. ……………………. ………………………………..
1. Apakah dalam 1 tahun terakhir ini ada anggota keluarga anda yang sakit ?
1. Ya 2. Tidak ada
2. Jika ada, jenis penyakit apa yang diderita?
1. Typus 2. Malaria 3. Cacar 4. TBC
5. Infeksi saluran pernapasan 6. Lainnya (sebutkan) ………………………………………….
3. Jika ada anggota keluarga yang sakit, berobat kemana?
1. Puskesmas 2. Dokter 3. Rumah sakit 4. Klinik
5. Lainnya (sebutkan) …………………………………………………..
G.1. KERJA SAMA
1. Kerjasama untuk kepentingan pribadi (arisan, dll)
1. Ada, berjalan dengan baik 2. Ada, tidak berjalan 3. Tidak ada
2. Kerjabakti / gotong royong untuk kepentingan umum
1. Ada, berjalan dengan baik 2. Ada, tidak berjalan 3. Tidak ada
KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA (Lanjutan)
14
KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA (Lanjutan)
12
567
8910
11
13
12
F. KESEHATAN
G. KERJASAMA DAN KONFLIK
Jenis Barang Jumlah (bh) Harga Taksiran (Rp.)
3
4
No.
157
3. Kerjasama penyelenggaraan upacara adat / keagamaan
1. Ada, berjalan dengan baik 2. Ada, tidak berjalan 3. Tidak ada
4. Bagaimana kesediaan anggota masyarakat, secara umum, dalam menyediakan waktu dan tenaga
untuk bergotong royong dalam rangka kegiatan kemasyarakatan?
1. Sangat baik 2. Baik 3. sedang 4. Buruk 5. Sangat buruk
5. Bagaimana bentuk sanksi terhadap anggota masyarakat yang enggan melakukan kerjasama?
1. Dikenkan denda 2. Ditegur 3. Dikucilkan 4. Tidak ada sanksi
6. Apakah kelembagaan desa membangun kerjasama dengan kelembagaan lain?
1. Ada, berjalan dengan baik 2. Ada, tidak berjalan 3. Tidak ada
7. Adakah kerjasama kelembagaan antara desa Saudara dengan PT ………………………………….?
1. Ada, berjalan dengan baik 2. Ada, tidak berjalan 3. Tidak ada
G.2. KONFLIK SOSIAL
1. Menurut pendapat Saudara apakah pengaruh PT ……………………………………….
terhadap konflik di masyarakat?
1. Meningkatkan konflik antar anggota masyarakat
2. Meningkatkan konflik antara masyarakat dengan pendatang
3. Meningkatkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan
4. Tidak ada konflik dengan PT …………………………………
5. Lainnya ………………………………………………………………………………………………
2. Adakah sengketa antara warga desa dengan PT ……………………………………………………
1. Ada 2. Tidak ada
3. Jika ada, apakah yang menjadi sumber konflik?
1. Kehilangan kesempatan bekerja 2. Kehilangan kesempatan berusaha
3. Perbedaan adat istiadat pembangunan desa 4. Berkuranganya akses ke PT …………………….
5. Lainnya ……………………………………………………………
4. Adakah sengketa dengan kaum pendatang?
1. Ada 2. Tidak ada
5. Jika sengketa dengan kaum pendatang, apakah penyebab utamanya?
1. Kehilangan kesempatan bekerja 2. Kehilangan kesempatan berusaha
3. Perbedaan adat istiadat pembangunan desa 4. Berkuranganya akses ke PT …………………….
5. Lainnya ……………………………………………………………
6. Jika terjadi konflik dan sengketa, bagaimana mekanisme penyelesaiannya?
1. Diselesaikan secara pribadi 2. Diselesaikan oleh Pemerintah Desa
3. Diselesaikan dengan musyawarah desa 4. Penyelesaian dengan melibatkan aparat hukum
7. Fungsli lembaga adat dalam membantu penyelesaian konflik?
1. Ada dan berfungsi dengan baik 2. Ada tetapi tidak berfungsi 3. Tidak ada
1. Setelah adanya PT …………………………………. Apakah harga jual tanah menjadi lebih tinggi?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu2. Apakah luas tanah mencerminkan jumlah kekayaan yang dimiliki seseorang?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
3. Apakah orang yang memiliki tanah lebih dihormati?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
4. Apakah rela menjual tanah untuk membeli barang-barang mewah?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu5. apakah rela menjual tanah untuk biaya pendidikan?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
6. Apakah bekerja dipertanian masih merupakah pilihan utama?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
H. NORMA DI MASYARAKAT
KERJASAMA DAN KONFLIK (Lanjutan)
158
7. Apakah ada alternatif bekerja di sektor lain? (Jika ya sebutkan) ………………………………………………..
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu8. Apakah bekerja diindustri lebih bergengsi?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu9. Apakah semua pekerjaan di pertanian di upah dengan uang?
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
10. Apakah bersekolah sampai pendidikan tinggi penting?1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
11. Apakah pengetahuan dan ketrampilan tentang budidaya pertanian penting?
(Jika ya, sebutkan jenis komoditasnya) …………………………………………………….
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
12. Apakah pengetahuan dan ketrampilan dibidang pengolahan hasil pertanian penting?
(Jika ya, sebutkan jenis pengolahan apa) ………………………………………………………
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
13. Apakah ada pengetahuan dan ketrampilan lain yang dianggap penting?
(Jika ya, sebutkan) …………………………………………………………
1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu
1. Apakah Anda setuju dengan adanya kegiatan pertambangan di desa Anda?
1. Ya 2. Tidak
2. Apakah kehadiran PT …………………………... membawa dampak positif terhadap kehidupan sehari-hari Saudara, keluarga dan masyarakat?
1. Ya 2. Tidak3. Apakah Saudara ikut dalam kegiatan yang diprogramkan PT …………………………………………
1. Ya 2. Tidak4. Jika "ya" apa kesan saudara ?
1. Bermanfaat 2. Cukup bermanfaat 3. Kurang bermanfaat 4. Tidak bermanfaat
5. Apakah ada kemajuan dalam bidang di bawah ini, setelah ikut terlibat dalam kegiatan yang
yang diselenggarakan oleh PT ……………………………………………….
I. Bidang usaha yang digeluti 1. Ya 2. Tidak
II. Kualitas perumahan 1. Ya 2. Tidak
III. Kemampuan dalam membayar biaya pendidikan dan kesehatan1. Ya 2. Tidak
6. Apakah jumlah anggota masyarakat yang terlibat dengan aktifitas bisnis PT………………………………..
meningkat dari tahun ke tahun?
1. Ya 2. Tidak
7. Adakah kader pemuda yang mendapatkan posisi-posisi baru pada salah satu atau lebih sektor
kegiatan dalam komunitas setelah terlibat kegiatan PT ………………………………………….?
1. Ya 2. Tidak
…………………., …………..Juli 2005
Mengetahui, Kepala Kampung/Dusun
NORMA DI MASYARAKAT (lanjutan)
J. CATATAN
I. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PT ………………………………………………….
159
Lampiran 2 Daftar desa/kelurahan dalam ruang lingkup community
development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL
Perusahaan Kabupaten/Kota, & Kecamatan
Desa/Kelurahan
Kutai Timur Sangatta 1. Desa Suka Damai
2. Desa Suka Rahmat
PT Indominco Mandiri
3. Desa Teluk Pandan
4. Desa Santan Ulu 5. Desa Santan Tengah
Kutai Kertanegera Kecamatan Marangkayu
6. Desa Santan Hilir Bontang Bontang Selatan 7. Kelurahan Bontang Lestari Bontang Barat 8. Kelurahan Kanaan Bontang Utara 9. Kelurahan Guntung
10. Kelurahan Loktuan
PT Badak Natural Gas Liquefaction
Bontang Seluruh Kelurahan di Kota Bontang
160
Lampiran 3
Pengalaman Wawancara dengan Responden
Sebelum berangkat ke lapangan, penulis sudah mengumpulkan berbagai
informasi mengenai desa-desa yang akan dikunjungi. Informasi yang
dikumpulkan menyangkut mata pencaharian utama masyarakat, kebiasaan-
kebiasaan atau adat istiadat, daerah asal, serta sarana prasarana desa. Hal ini akan
sangat membantu kelancaran kegiatan di lapangan. Informasi tersebut diperoleh
dari berbagai sumber termasuk laporan-laporan, koran dan buku.
Pengumpulan data primer khususnya wawancara dengan responden
membutuhkan teknik wawancara dan kesabaran tersendiri. Untuk mendapatkan
informasi yang detil dan akurat dari seorang responden, penulis harus
menempatkan diri dalam berbagai posisi. Pada waktu tertentu penulis
memposisikan diri sebagai seorang mahasiswa, pada kesempatan lain sebagai
seorang PNS, dan di tempat tertentu memposisikan diir sebagai salah satu suku
bangsa. Selama melakukan survei lapang penulis menggunakan dua jenis suku
yaitu Bugis dan Jawa. Penempatan diri pada posisi yang berbeda-beda tersebut
sangat bermanfaat untuk mendekatkan diri pada kehidupan dan emosi responden.
Penerimaan seseorang terhadap kehadiran orang asing pada umumnya akan
memberikan kesan curiga dan menjaga jarak. Demikian pula dengan sambutan
awal Bapak Syamsuddin, Kepala Desa Suka Damai. Namun satelah mendengar
maksud kedatangan ke desa tersebut dan tujuan dari penelitian yang akan
dilakukan, beliau sangat bersemangat dan antusias. Cerita kehidupan masyarakat
sehari-hari, terbentuknya desa baru yang pro Kota Bontang, wacana pemekaran
desa, dan informasi seputar kegiatan community development perusahaan
batubara PT Indominco Mandiri mengalir dengan lancar. Dari hasil pembicaraan
selama kurang lebih tiga jam, terkesan bahwa beliau menyimpan harapan yang
besar terhadap bantuan PT Indominco Mandiri untuk kemajuan desa dan
masyarakat Desa Suka Damai. Pada kesempatan tersebut penulis menempatkan
diri sebagai seorang mahasiswa. Suatu pemahaman umum yang masih berlaku
161
pada masyarakat pedesaan adalah anggapan bahwa seorang yang memiliki
pendidikan tinggi akan mendapatkan tempat yang lebih tinggi juga.
Sambutan masyarakat Desa Suka Damai sendiri tidak jauh berbeda. Sifat
suku Bugis yang ramah dan terbuka tetap tercermin dalam sikap mereka meskipun
pada awal pertemuan agak menjaga jarak. Untuk mengatasi hal tersebut, setelah
berbasa-basi menanyakan daerah asal, penulis mengakui berasal dari suku yang
sama. Selanjutnya penulis menggunakan dua macam bahasa dalam wawancara
yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Bugis. Hal ini disebabkan bahasa pengantar
sehari-hari yang digunakan dikalangan orangtua adalah Bahasa Bugis, bahkan
masyarakat yang berumur di atas 60 tahun jarang yang bisa berbahasa Indonesia.
Namun di kalangan anak-anak umumnya menggunakan Bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa setempat dan asal suku yang sama memberikan
kemudahan dalam melakukan pendekatan dengan responden. Hal ini dibuktikan
pula sewaktu melakukan wawancara dengan salah seorang tokoh yang pro Kota
Bontang yaitu Ibu Yuliana yang dikenal dengan sebutan Bude. Pada awalnya
Bude yang berasal dari Banyuwangi Jawa Timur tersebut sedikit galak dan tidak
bersahabat. Namun satelah penulis mencoba menyapa dengan Bahasa Jawa,
sikapnya langsung berubah jadi hangat dan bersahabat. Bahkan cerita seputar
unjuk rasa, pembakaran kantor desa, dan penolakan sebagian masyarakat menjadi
warga Kabupaten Kutai Timur menjadi lebih komplit melengkapi informasi dari
kepala desa.
Hal yang sama juga ditemui pada beberapa responden yang berasal dari
Pulau Jawa yang berdomisili di Desa Suka Rahmat. Setelah disapa menggunakan
bahasa Jawa, sambutan mereka menjadi lebih ramah dan lebih terbuka dalam
mencerirakan sesuatu. Meskipun penguasaan Bahasa Bugis dan Bahasa Jawa
Jawa penulis tidak begitu baik, namun pengetahuan akan bahasa setempat ternyata
sangat membantu dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Namun saat melapor dan melakukan pembicaraan dengan Kepala Desa Suka
Rahmat, penulis mengaku memposisikan diri sebagai seorang PNS yang sedang
tugas belajar untuk mengimbangi ketidakyakinan beliau terhadap mahasiswa.
Disamping itu, di desa tersebut sedang berjalan proses penyelesaian
sengketa/konflik antara PT Indominco Mandiri dengan masyarakat menyangkut
162
tumpang tindih lahan. Mengetahui status penuslis sebagai PNS Departemen
Kehutanan, beliau lebih terbuka menceritakan permasalahan tersebut karena
lokasi yang dipersengketakan berada dalam kawasan Hutan Lindung. Bahkan
beberapa keluhan dan protes terhadap kebijakan Departemen Kehutanan juga
diangkat dalam pembicaraan selama lebih dari 2 jam tersebut.
Namun respon masyarakat terhadap kehadiran penulis tidaklah semuanya
baik. Memasuki pemukiman masyarakat pendatang dari Madura di Desa Suka
Rahmat penolakan untuk diajak berbincang diterima dari sebagian besar pemilik
rumah. Penolakan tersebut disertai berbagai alasan. Mulai dari alasan hanya
sebagai pekerja, bukan pemilik rumah, sedang istirahat, atau yang langsung
menutup pintu rumah tanpa sepatah katapun sebagai jawaban atas salam yang
diberikan. Hal ini justru menjadi menarik untuk mengetahui latar belakang
kehidupan mereka yang umumnya bekeja sebagai pembuat batu bata.
Masyarakat asal Madura tersebut sebagian besar bekerja sebagai pembuat
batu bata dalam bentuk usaha keluarga. Setiap tempat dikerjakan oleh beberapa
orang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Informasi yang diperoleh dari
penduduk lain disekitarnya menyatakan bahwa mereka cenderung tertutup
terhadap orang luar. Oleh karena itu, untuk melakukan wawancara dengan salah
seorang pembuat batubata penulis mencoba mendekati anak-anak yang sedang
bermain. Awalnya anak-anak tersebut sedikit ketakutan, namun ketika penulis
memberikan obat merah terhadap luka seorang anak yang terjatuh, mereka
berbalik berkerumun dengan sikap malu-malu. Kesempatan tersebut penulis
manfaatkan dengan menyodorkan makanan kecil dan permen yang sudah
disiapkan dalam tas ransel. Anak-anak dengan gembira dan berebutan menerima
makanan kecil dan permen tersebut. Akhirnya orang tua anak yang terjatuh
tersebut ikut bergabung dan secara tidak sadar membuka diri menjawab semua
pertanyaan yang disodorkan.
Nuansa adat istiadat Bugis paling menonjol di Desa Kandolo. Penghormatan
terhadap orang yang memiliki darah bangsawan masih berlangsung. Hal ini
terlihat dari kepala desa terpilih dan tokoh-tokoh masyarakat ataupun tokoh
pemuda yang disegani masih menggunakan gelar bangsawan Bugis. Hal ini
disebabkan sebagian besar penduduk masih memiliki kekerabatan karena
163
kedatangan di lokasi tersebut dengan sistim eksodus puluhan keluarga dari Bone
menuju desa tersebut. Cara yang paling aman untuk menempatkan diri adalah
status sebagai mahasiswa dan daerah asal yang sama yaitu Bugis. Status sebagai
PNS penulis tutup rapat-rapat karena sebelumnya mendapatkan informasi bahwa
di desa tersebut sering terjadi bentrok antara masyarakat dengan petugas lapangan
TN Kutai.
Pengalaman wawancara di Kelurahan Bontang Lestari tidak jauh berbeda
dengan ketiga desa lainnya karena latar belakang kebiasaan dan daerah asal yang
sama. Yang sedikit berbeda adalah pengalaman wawancara responden di
Kelurahan Kanaan. Hal ini disebabkan kebiasaan adat istiadat responden yang
umumnya berasal dari Toraja. Meskipun penulis sudah mengetahui kebiasaan
suku Toraja memelihara anjing dan babi, namun hal yang ditemui sangat diluar
dugaan. Ketakutan akan sambutan berupa gonggongan anjing yang ramai dan
galak serta adanya babi sebagai peliharaan responden membuat penulis harus
meminta bantuan pendamping selama melakukan wawancara di kelurahan
tersebut. Meskipun sedikit ragu dan was-was penulis tetap melakukan wawancara
dan menikmati suguhan minum yang ditawarkan pemilik rumah. Di luar itu
semua, penerimaan responden cukup terbuka dan bersahabat.
Dalam melakukan wawancara dengan responden, informasi yang paling sulit
didapatkan adalah tingkat pendapatan. Ada kecenderungan responden tidak ingin
diketahui pendapatannya yang real. Disamping itu, responden belum memiliki
sistim pencatatan mengenai penghasilan yang didapatkan. Umumnya mereka
hanya menghitung penghasilan yang diperoleh dari hasil penjualan panen dalam
jumlah besar, sedangkan penghasilan yang diterima yang jumlahnya kecil dan
sewaktu-waktu tidak ikut diperhitungkan.
Hal lain yang yang dapat penulis catat dalam melakukan pengumpulan data
primer adalah sebelum mengajuklan pertanyaan sesuai dengan tujuan penelitian
harus dilakukan pendekatan dengan responden. Pendekatan tersebut penulis
lakukan dengan cara melakukan pembicaraan awal tentang kehidupan sehari-hari
responden antara lain pekerjaan, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, sampai pada
cerita kepindahan mereka ke desa tersebut. Sebab responden ternyata lebih
terbuka menceritakan kehidupan sehari-hari mereka. Untuk itu, penulis berusaha
164
menempatkan diri sebagai bagian dari mereka dan harus bisa menanggapi cerita
yang disampaikan baik berupa saran, informasi, atapun hanya sekedar
membenarkan. Setelah suasana menjadi lebih rileks, barulah menyelipkan
pertanyaan menyangkut tujuan penelitian.
165
Lampiran 4 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004
Jenis Kegiatan No. Bidang/Program Fisik/Sarana prasarana Non Fisik
1 Infrastruktur
Renovasi gedung instansi pemerintah
Pembangunan mesjid
2 Pendidikan Bantuan sarana belajar (buku, komputer, bahan laboratorium) untuk sekolah dan yayasan pendidikan
Bantuan biaya pelaksanaan perayaan hari-hari besar nasional dan organisasi
Bantuan dana pendidikan dan SPP tingkat SD, SLTP, SMA, S1 dan S2
Bantuan biaya perjalanan mengikuti studi banding, pelaksanaan seminar, dll.
Bantuan komsumsi untuk berbagai kegiatan di bidang pendidikan
3 Keagamaan
Bantuan komputer untuk mesjid, gereja, dan lembaga agama lainnya
Bantuan komsumsi dan dana untuk kegiatan keagamaan
Bantuan akomodasi dan transportasi untuk peserta acara keagamaan
4 Kesehatan
Bantuan satu unit mobil ambulance untuk Polres Bontang
Bantuan keringanan biaya pengobatan di RS PTB untuk pihak ke III/masyarakat tidak mampu dan staf instansi pemerintah dan anggota ABRI
166
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004 (lanjutan)
Jenis Kegiatan No. Bidang/Program Fisik/Sarana prasarana Non Fisik
Bantuan 1 unit Blood Bank Refrigerator dan 1 unit Bench-Top Refrigerator Centrifuge untuk PMI Kota Bontang
Khitanan massal
Bantuan dana dan komsumsi untuk kegiatan seminar, penyuluhan, dan kegiatan lainnya dibidang kesehatan
5 Pemberdayaan Masyarakat
Bantuan komsumsi, seragam, spanduk, dll untuk berbagai kegiatan pelatihan, seminar, dll
Bantuan dana kepada kelompok nelayan
6 Olah Raga dan kesenian
Bantuan dana, peralatan olah raga, akomodasi dan komsumsi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan olahraga
Bantuan dana, akomodasi dan komsumsi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan kesenian
7 Lain-lain Bantuan komputer untuk berbagai kegiatan instansi Pemerintah/ ABRI
Bantuan komsumsi, dan akomodasi untuk berbagai kegiatan instansi pemerintah/ABRI
Bantuan transportasi kepada instansi pemerintah dan ABRI
Sumber: Laporan Community Development PT Badak NGL 2004
167
Lampiran 5 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri tahun
2004-2005
Jenis Kegiatan No. Bidang/Program Fisik/Sarana prasarana Non Fisik
1 Infrastruktur
Pembangunan jalan dan jembatan desa
Pusat Pelatihan
Pos Polisi
Pembangunan Sekolah Taman Kanak-Kanak
Pembangunan Kantor Desa
Pembangunan kanal
Semenisasi SDN 020
Pembangunan mesjid
2 Kesehatan
Khitanan massal 3 Keagamaan
Perayaan hari-hari besar agama
Pelatihan Dai
4 Pendidikan
Peralatan sekolah
GNOTA dan beasiswa
Tranportasi/Bis sekolah
5 Ekonomi
Pelatihan untuk masyarakat dan plot percontohan budidaya kedelai, jagung, dan rumput laut
Pelatihan menjahit tingkat mahir dan bordir
Demplot sistem insemninasi buatan untuk pembenihan ikan mas
Dana bergulir kelompok Tani Pemuda Santan Tengah Budaya Holtikultura
168
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri Tahun 2004-2005 (lanjutan)
Jenis Kegiatan No. Bidang/Program Fisik/Sarana Prasarana Non Fisik
6 Sosial, Budaya, dan Kesenian
Bantuan dana untuk berbagai kegiatan seni dan budaya
7 Lain-Lain Bantuan dana untuk kegiatan pendidikan, sosial , olag raga dan kepemudaan yang sifatnya insidentil Studi Banding ke pertanian kedelai di Berau
Sumber: Laporan Kegiatan Community Development PT Indominco Mandiri Tahun 2004 dan Tahun 2005 periode Januari – Juni 2005
169
Lampiran 6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha
tahun 1993-2003 (juta rupiah)
TAHUN Sektor 1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
1 364 606.00
1 533 919.00
1 745 202.00
1 789 307.00
1 886 857.00
2 005 397.00
2 041 083.00
Pertambangan dan penggalian
4 799 550.00
6 413 052.00
6 776 631.00
6 964 590.00
7 351 810.00
8 025 055.00
8 314 944.00
Industri pengolahan 5 399 868.00
6 683 649.00
7 031 143.00
7 467 478.00
7 821 633.00
7 749 345.00
7 685 916.00
Listrik, gas & air bersih
45 184.00
68 980.00
75 642.00
84 247.00
97 991.00
103 046.00
112 094.00
Bangunan 433 008.00
558 811.00
567 193.00
594 929.00
667 498.00
726 742.00
797 551.00
Perdagangan, hotel & restaurant
1 430 950.00
1 901 068.00
1 960 528.00
1 989 468.00
2 031 563.00
2 109 079.00
2 222 429.00
Pengangkutan dan komunikasi
1 355 092.00
2 181 588.00
2 257 788.00
2 348 509.00
2 455 700.00
2 612 788.00
2 716 576.00
Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan
534 480.00
669 998.00
578 835.00
599 743.00
635 978.00
669 847.00
706 695.00
Jasa-jasa 345 681.00
503 558.00
526 657.00
545 698.00
564 516.00
591 238.00
628 711.00
TOTAL 15 708 419.00
20 514 623.00
21 519 619.00
22 383 969.00
23 513 546.00
24 592 537.00
25 225 999.00
PDRB tanpa migas 7 939 660.00
11 090 269.00
11 548 182.00
11 966 068.00
12 857 127.00
13 793 840.00
14 447 511.00
Sumber : BPS, PDRB Kalimantan Timur Menurut Lapangan Usaha 1993-2003
170
Lampiran 7 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-
2003 (juta rupiah)
TAHUN Sektor 1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
12 492.68
14 011.45
15 209.08
15 512.31
16 279.29
16 089.44
16 953.01
Pertambangan dan penggalian
9 686.00
19 230.45
20 876.08
21 834.29
22 973.20
23 798.70
25 705.33
Industri pengolahan 2 520 672.75
3 346 911.84
3 701 535.95
4 103 566.36
4 258 925.30
4 063 762.89
4 101 307.17
Listrik, gas & air bersih
1 772.00
4 039.13
4 374.92
5 626.57
5 751.84
6 283.35
6 885.09
Bangunan 83 409.00
145 550.68
158 398.39
170 927.70
192 263.82
215 419.26
254 210.91
Perdagangan, hotel & restauran
88 059.00
127 644.07
139 084.36
148 591.38
154 873.02
159 638.09
171 325.31
Pengangkutan dan komunikasi
27 050.61
43 646.56
47 476.13
50 155.38
51 570.14
53 039.92
54 501.86
Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan
33 715.00
51 207.39
54 561.87
58 529.26
61 224.99
63 354.82
63 952.87
Jasa-jasa 19 641.00
32 563.62
35 524.19
41 997.42
44 041.09
46 512.37
49 542.77
TOTAL 2 796 498.04
3 784 805.19
4 177 040.97
4 616 740.67
4 807 902.69
4 647 898.84
4 744 384.32
PDRB tanpa migas 681 740.29
878 959.91
959 539.48
1 028 002.32
1 082 156.54
1 127 130.57
1 226 728.43
Sumber : 1. Bappeda dan BPS, PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Bontang 1993-2003
2. Bappeda dan BPS, Bontang Dalam Angka 2001
171
Lampiran 8 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha
tahun 1993-2003 (juta rupiah)
TAHUN Sektor 1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
87 562.42
101 424.73
93 655.69
102 664.59
110 326.38
113 664.48
218 112.97
Pertambangan dan penggalian
344 967.16
622 677.51
779 094.71
784 678.19
818 954.28
984 858.59
1 112 067.06
Industri pengolahan 3 836.38
10 544.91
11 697.25
13 333.37
14 946.80
16 427.09
15 342.57
Listrik, gas & air bersih
316.09
1 395.16
1 565.66
2 249.35
2 602.56
4 021.34
5 081.28
Bangunan 14 399.54
26 959.20
28 205.47
31 434.16
42 121.77
73 015.98
104 680.25
Perdagangan, hotel & restauran
11 590.02
36 541.02
32 425.12
34 082.13
37 164.37
42 277.15
63 287.92
Pengangkutan dan komunikasi
26 214.34
34 185.64
35 219.53
59 716.16
53 971.37
73 006.59
74 562.21
Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan
23 476.78
34 107.33
37 850.60
39 872.34
44 112.46
54 262.49
75 352.91
Jasa-jasa 4 527.54
6 797.84
7 239.93
8 281.36
11 690.30
14 776.03
23 426.87
TOTAL 516 890.27
874 633.34
1 026 953.96
1 076 311.65
1 135 890.29
1 376 309.74
1 691 914.04
PDRB tanpa migas 460 714.49
805 479.72
961 364.15
1 008 767.91
1 053 931.53
1 296 195.06
1 608 175.64
PDRB Tanpa migas dan batubara
176 566.14
260 972.29
259 349.29
305 478.91
332 183.35
408 964.22
602 239.56
Sumber : BPS, PDRB Kutai Timur Menurut Lapangan Usaha 1993-2003
172
Lampiran 9 Mata pencaharian utama responden
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Petani Guru/PNS/
ABRI Karyawan
Swasta Wiraswasta Lainnya
Suka Damai 18
0
2
0
0
Suka Rahmat 9
0
4
7
0
Bontang Lestari 9
1
7
2
1
Kanaan 4
2
11
1
2
Jumlah desa dampak 40
3
24
10
3
Persentase (%) 50
3.75
30
12.5
3.75
Kandolo 18
1
0
1
0
Jumlah desa non-dampak 18
1
0
1
0
Persentase (%) 90
5
0
5
0
Mata pencaharian utama responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Pelapisan sosial ekonomi Jumlah responden (%)
Petani Guru/PNS/
ABRI Karyawan
Swasta Wiraswasta Lainnya
Atas 53
11
21
16
0
Menengah 48
6
35
6
3
Bawah 66
0
18
12
4
Keterangan : Petani : Petani dengan lahan sendiri, petani bukan lahan sendiri dengan sistem
bagi hasil , nelayan Guru/PNS/ABRI : Guru, pegawai negeri, ABRI, honorer pada instansi pemerintah Karyawan swasta : Karyawan perusahaan swasta, sopir, buruh bangunan, buruh pabrik Wiraswasta : Pedagang, usaha meubel, warung/rumah makan, usaha sendiri Lainnya : Pemulung, karyawan swasta yang habis masa kontrak dan menunggu
masa 6 bulan untuk dapat melamar bekerja kembali pada perusahaan yang sama
173
Lampiran 10 Tingkat pendidikan responden
Jumlah responden (org)
Desa/Kelurahan Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Diploma
S1
Suka Damai 2
6
5
5
2
0
0
Suka Rahmat 3
4
6
1
6
0
0
Bontang Lestari 3
5
4
3
5
0
0
Kanaan 2
0
5
4
7
1
1
Jumlah desa dampak 10
15
20
13
20
1
1
Persentase (%) 12.5
18.75
25
16.25
25
1.25
1.25
Kandolo 2
2
11
3
2
0
0
Jumlah desa non-dampak 2
2
11
3
2
0
0
Persentase (%) 10
10
55
15
10
0
0
Tingkat pendidikan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%)
Pelapisan sosial ekonomi
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Diploma
S1
Atas 5
5
16
21
42
5
5
Menengah 10
16
19
19
35
0
0
Bawah 16
22
44
12
6
0
0
174
Lampiran 11 Tingkat pendapatan responden
Jumlah pendapatan per bulan (Rp.)
= 500.000 500.000 - 1.000.000 - 1.500.000 - 2.000.000 - = 2.500.000 Desa/Kelurahan
1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 Suka Damai 5
7
0
3
3
2
Suka Rahmat 6
6
2
2
2
2
Bontang Lestari 3
10
2
2
1
2
Kanaan 9
5
2
1
0
3
Jumlah desa dampak 23
28
6
8
6
9
Persentase (%) 28.75
35
7.5
10
7.5
11.25
Desa Kandolo 12
6
1
1
0
0
Jumlah desa non-dampak 12
6
1
1
0
0
Persentase (%) 60
30
5
5
0
0
Tingkat pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah pendapatan per bulan (Rp.)
= 500.000 500.000 - 1.000.000 - 1.500.000 - 2.000.000 - = 2.500.000 Pelapisan sosial ekonomi
1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000
Atas 3
2
2
0
4
8
Menengah 8
8
4
8
2
1
Bawah 24
24
1
1
0
0
175
Lampiran 12 Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja
Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan tambang terhadap penyerapan tenaga kerja berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
Suka Damai 0 1 19Suka Rahmat 1 0 19Bontang Lestari 0 6 14Kanaan 3 11 6
Jumlah 4 18 58Persentase (%) 5 22.5 72.5
Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan tambang terhadap penyerapan tenaga kerja berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
Atas 7 14 79Menengah 0 29 71Bawah 7 21 71
176
Lampiran 13 Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan pertambangan
Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Bekerja
Pernah bekerja Tidak bekerja
Suka Damai 1
0
19
Suka Rahmat 2
2
16
Bontang Lestari 3
1
16
Kanaan 1
4
15
Jumlah 7
7
66
Persentase (%) 8.75
8.75
82.5
Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi
Bekerja
Pernah bekerja
Tidak bekerja
Atas 7
0
93
Menengah 17
17
67
Bawah 5
7
88
177
Lampiran 14 Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Membaik
Tidak berubah
Memburuk
Suka Damai 7
6
7
Suka Rahmat 3
8
9
Bontang Lestari 6
9
5
Kanaan 8
6
6
Kandolo 1
4
15
Jumlah 25
33
42
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi Membaik
Tidak berubah
Memburuk
Atas 47
21
32
Menengah 32
26
42
Bawah 12
42
46
178
Lampiran 15 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Besar
Sedang
Kecil
Tidak ada
Suka Damai 1
0
4
15
Suka Rahmat 0
2
2
16
Bontang Lestari 1
4
8
7
Kanaan 3
1
14
2
Jumlah 5
7
28
40
Persentase 6.25
8.75
35
50
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi Besar
Sedang
Kecil
Tidak ada
Atas 21
7
29
43
Menengah 4
21
25
50
Bawah 2
2
45
50
179
Lampiran 16 Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan pertambangan
Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan tambang berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Dapat
Pernah dapat
Tidak dapat
Suka Damai 2
3
15
Suka Rahmat 1
1
18
Bontang Lestari 1
1
18
Kanaan 1
2
17
Jumlah 5
7
68
Persentase (%) 6
9
85
Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan tambang berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi
Dapat
Pernah dapat
Tidak dapat
Atas 14
7
79
Menengah 8
4
88
Bawah 2
12
86
180
Lampiran 17 Responden yang ikutserta dalam program community development perusahaan pertambangan
Responden yang ikutserta dalam program kegiatan perusahaan berdasarkan desa/kelurahan
Desa/Kelurahan Jumlah responden (org)
Ya Tidak
Suka Damai 5
15
Suka Rahmat 1
19
Bontang Lestari 0
20
Kanaan 6
14
Jumlah 12
68
Persentase (%) 15
85
Responden yang ikutserta dalam program kegiatan perusahaan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi
Ya Tidak
Atas 21
79
Menengah 8
92
Bawah 17
83
181
Lampiran 18 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
Suka Damai 0
1
19
Suka Rahmat 0
0
20
Bontang Lestari 4
5
11
Kanaan 3
15
1
Jumlah 7
21
51
Persentase (%) 8.75
26.25
63.75
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%)
Pelapisan sosial ekonomi Membaik Agak membaik Tidak berubah
Atas 14
21
64
Menengah 13
21
67
Bawah 7
31
62
182
Lampiran 19 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Membaik
Agak membaik Tidak berubah
Suka Damai 0
20
0
Suka Rahmat 0
1
19
Bontang Lestari 0
7
13
Kanaan 3
16
1
Jumlah 3
44
33
Persentase (%) 3.75
55
41.25
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi Membaik
Agak membaik
Tidak berubah
Atas 7
21
71
Menengah 0
33
67
Bawah 5
31
64
183
Lampiran 20 Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat
Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan
Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Ada konflik Tidak ada konflik
Suka Damai 4
16
Suka Rahmat 5
15
Bontang Lestari 3
17
Kanaan 2
18
Jumlah 14
66
Persentase (%) 17.5
82.5
Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Pelapisan sosek Jumlah responden (%)
Ada konflik Tidak ada konflik
Atas 16
84
Menengah 25
75
Bawah 12
88
184
Lampiran 21
Kasus Desa Suka Damai
Salah satu desa yang letaknya relatif dekat dengan lokasi pertambangan
adalah Desa Suka Damai. Di sebelah Barat Desa Suka Damai terdapat konsesi
pertambangan batubara milik PT Indominco Mandiri yang beroperasi sejak tahun
1995. Secara administratif, Desa Suka Damai termasuk dalam wilayah Kecamatan
Sangatta Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Desa Suka Damai
terletak pada jalan poros Samarinda-Bontang dengan jarak ± 15 km dari Kota
Bontang dan ± 75 km dari Sangatta ibukota Kabupaten Kutai Timur.
Mata pencaharian utama masyarakat Desa Suka Damai umumnya adalah
petani dengan komoditas utama pisang dan coklat. Umumnya masyarakat
memiliki lahan yang cukup luas yaitu berkisar antara 2–10 hektar, bahkan ada
yang memiliki lahan garapan lebih dari 10 hektar. Pemilikan lahan garapan yang
cukup luas tersebut disebabkan penguasaan lahan dilakukan dengan cara
membuka kawasan hutan dan ditanami dengan tanaman pisang sebagai tanda
kepemilikan lahan. Oleh karena itu, penguasaan lahan belum memiliki dokumen
kepemilikan yang legal dari pemerintah.
Masyarakat yang bekerja pada sektor swasta sangat sedikit. Hal ini
disebabkan oleh tingkat pendidikan yang tidak memadai. Persyaratan tingkatan
pendidikan yang diminta oleh perusahaan tidak sesuai dengan tingkat pendidikan
yang dimiliki masyarakat. Penduduk yang bekerja pada perusahaan swasta
umumnya pendatang dengan sistim kontrak sehingga apabila kontrak kerja habis
maka mereka akan meninggalkan desa tersebut.
Desa Suka Damai terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Damai Bersatu dan
Dusun Danau Redan. Dusun Damai Bersatu merupakan salah satu dusun yang
sebagian warganya bertempat tinggal di dekat jalan tambang PT Indominco
Mandiri. Untuk mencapai pemukiman masyarakat yang berada dekat jalan
tambang, dapat ditempuh dengan jalan kaki atau kendaraan roda dua melewati
jalan kecil yang dikenal dengan nama Jalan Marante dari jalan poros Samarinda-
Bontang. Jalan Marante merupakan jalan tanah selebar ± 1,3 meter yang hanya
185
dapat dilewati oleh kendaraan roda dua. Namun pada musim hujan, jalan tersebut
tidak dapat dilewati karena kondisi jalan yang licin dan liat. Sepanjang jalan
menuju Dusun Damai Bersatu merupakan kebun pisang milik masyarakat.
Penduduk Dusun Damai Bersatu umumnya berasal dari Tana Toraja Provinsi
Sulawesi Selatan. Hal ini terlihat dari suasana perkampungan dengan ciri khas
Toraja baik dari bentuk rumah maupun gereja.
Namun bentuk rumah tinggal sebagian besar masyarakat Desa Suka Damai
tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah adat Bugis/Makassar yaitu rumah
panggung dengan bahan dasar kayu. Hal ini disebabkan penduduk Desa Suka
Damai sebagian besar merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan yaitu Jeneponto, Bone, Barru, Bantaeng, Bulukumba, Maros,
dan lainnya. Umumnya mereka tinggal berkelompok sesuai dengan daerah asal.
Hal ini menyebabkan pemukiman penduduk mengelompok dengan jarak antar
kelompok sekitar 0.5- 1 km.
Dusun Danau Redan berbatasan dengan Desa Santan Tengah Kabupaten
Kutai Kertanegara. Kedua kabupaten tersebut dibatasi oleh aliran air Sungai
Santan. Belakangan ini, sungai tersebut sering mengalami banjir sehingga
merusak rumah dan tanah pertanian masyarakat. Saat ini Dusun Danau Redan
sedang dalam persiapan menjadi desa otonom dengan nama Desa Danau Redan.
Salah satu rumah dalam kelompok pemukiman penduduk asal Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan di Dusun Danau Redan Desa Suka Damai
186
Bahkan di depan salah satu rumah penduduk telah dipasang nama Desa Persiapan
Danau Redan.
Pemekaran desa merupakan salah satu implikasi dari otonomi daerah,
dimana Desa Suka Damai sendiri merupakan salah satu desa dari hasil pemekaran
Desa Teluk Pandan. Meskipun Desa Suka Damai memiliki wilayah yang cukup
luas, namun belum didukung oleh sarana prasarana dan sumberdaya manusia
yang memadai. Hal ini ditandai dengan minimnya sarana transportasi, pendidikan,
dan kesehatan.
Salah satu dampak dari pemekaran wilayah di Desa Suka Damai adalah
terpecahnya masyarakat ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yang menjadi
penduduk Kabupaten Kutai Timur dan kelompok yang ingin bergabung dengan
Kota Bontang. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah masyarakat yang masih
memiliki KTP Bontang. Mereka merasa keberatan apabila harus bergabung
dengan Kabupaten Kutai Timur dengan pertimbangan akses ke Kota Bontang
lebih mudah dibandingkan dengan akses ke Sangatta. Sebelum terbentuknya
Papan nama Desa Persiapan Danau Redan
187
Kabupaten Kutai Timur, masyarakat Desa Suka Damai lebih banyak berinteraksi
dengan Kota Bontang karena kemudahan transportasi dan kedekatan jarak.
Salah satu bentuk dari penolakan tersebut adalah munculnya aksi unjuk rasa
dan pembakaran kantor desa oleh kelompok yang berkeinginan menjadi penduduk
Kota Bontang. Disamping itu, kelompok tersebut telah membentuk desa baru
dengan nama Desa Kali Gowa. Salah satu tokoh terbentuknya desa tersebut
mengakui bahwa pembentukan desa baru tersebut merupakan salah satu bentuk
protes masyarakat akan ketidakpedulian Pemerintah Daerah Kutai Timur terhadap
warga Desa Suka Damai. Meskipun telah menjadi penduduk Kabupaten Kutai
Timur, namun perhatian dan bantuan pemda belum banyak dirasakan oleh
masyarakat tersebut.
Permasalahan lain yang sedang dihadapi oleh masyarakat Desa Suka Damai
khususnya yang memiliki mata pencaharian utama sebagai petani adalah gagal
panen atau tanaman rusak. Pisang sebagai komoditas utama telah mengalami
gagal panen dan kerusakan tanaman sejak dua tahun lalu yang diperkirakan akibat
serangan virus. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan secara
drastis. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari pemerintah dalam
penagangan masalah tersebut sehingga kehidupan para petani semakin terpuruk.
Sebagai salah satu desa binaan dari PT Indominco Mandiri, Desa Suka
Damai sudah mendapatkan berbagai macam bantuan baik dalam bentuk fisik
maupun non fisik. Program community development yang telah dilaksanakan oleh
PT Indominco Mandiri di Desa Suka Damai secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok kegiatan yaitu:
1. Fisik
Dalam rangka pembangunan kantor desa yang telah dibakar oleh massa pada
saat berunjuk rasa, PT Indominco Mandiri memberikan bantuan senilai 100 juta
rupiah disamping biaya dari APBD Kutai Timur. Pembangunan kantor desa
tersebut dilakasanakan secara swadaya oleh masyarakat.
Bantuan fisik lainnya adalah pembangunan jalan dan jembatan kayu di
Dusun Danau Redan. Pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan tersebut
dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan. Di sisi lain masyarakat menginginkan
188
pembangunan jalan tersebut dilaksanakan secara swadaya sehingga kelebihan
dana dapat digunakan untuk meningkatkan kondisi jalan dari jalan tanah menjadi
jalan aspal. Namun sampai saat ini, jalan tersebut masih merupakan jalan tanah
sehingga sulit pada musim hujan.
2. Sosial
Kegiatan community development PT Indominco Mandiri dalam bidang
sosial antara lain pemberian bantuan biaya pendidikan dalam bentuk Anak Asuh.
Namun biaya pendidikan tersebut hanya diberikan pada tingkat pendidikan
Sekolah Dasar, sehingga banyak anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, biaya pendidikan hanya diberikan dalam
jangka waktu tertentu (setahun). Pemberian biaya pendidikan inipun terbatas
pada kelompok masyarakat tertentu dan umumnya hanya menyentuh masyarakat
yang berada pada lapisan atas.
Hal ini menyebabkan tingkat pendidikan dan kualitas SDM di desa tersebut
tidak mengalami peningkatan. Apabila perusahaan memiliki kesungguhan untuk
meningkatkan kualitas SDM di desa tersebut, anak-anak yang berprestasi
diberikan biaya pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
Kantor Desa Suka Damai
189
sehingga dapat ditampung bekerja di perusahaan sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya.
Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM menyebabkan penyerapan
tenaga kerja penduduk setempat sangat rendah. Meskipun demikian, seharusnya
perusahaan pertambangan dapat memberikan peluang kerja untuk jenis pekerjaan
yang tidak memerlukan skill dan pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat ditempuh
dengan memberikan pelatihan keterampilan tertentu sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
Kegiatan sosial lainnya adalah bantuan perayaan hari-hari besar nasional
dan keagamaan. Namun pelayanan sosial di bidang kesehatan belum ada.
Penduduk yang memerlukan pengobatan yang lebih serius harus menuju Kota
Bontang untuk mendapatkan pelayanan dokter.
3. Ekonomi
Salah satu bentuk kegiatan community development PT Indominco Mandiri
dalam bidang ekonomi di Desa Suka Damai adalah pelatihan menjahit dan
pembentukan kelompok tani binaan. Namun pelajaran yang diterima sulit
dimanfaatkan karena tidak ada modal. Disamping itu, kelompok tani dengan
komoditas jagung dan kedelai tidak dapat berjalan karena tanaman yang sudah
hampir panen selalu rusak akibat banjir.
Sejak tahun 1998 musibah banjir mulai sering terjadi. Hal ini disebabkan
semakin dangkalnya sungai yang melewati desa tersebut. Masyarakat
memperkirakan penyebab mendangkalnya sungai tersebut akibat erosi atau
sedimen yang terbawa dari hulu dimana PT Indominco Mandiri melakukan
penambangan. Pemerintah desa telah mengajukan permohonan bantuan alat berat
kepada PT Indominco Mandiri untuk melakukan pengerukan sungai namun
sampai saat ini pihak perusahaan belum memberikan tanggapan.
Salah satu kelompok tani yang dibentuk dan dibina oleh PT Indominco
Mandiri adalah kelompok Tani Mekar Indah. Namun kegiatan kelompok tani
tersebut tidak banyak membantu peningkatan taraf hidup anggotanya. Hal ini
disebabkan pihak perusahaan kurang membantu pemasaran hasil pertanian
kelompok tani tersebut. Disamping itu, kendala utama yang di hadapi oleh
190
anggota kelompok tani maupun petani secara umum di Desa Suka Damai adalah
modal. Meskipun diberikan pengetahuan budidaya tanaman namun tidak dapat
diterapkan karena kekurangan modal.
Satu hal yang dapat disimpulkan disini adalah PT Indominco Mandiri hanya
sebatas membentuk kelompok tani dan memberikan pelatihan dalam waktu yang
singkat namun tidak memantau perkembangan selanjutnya. Hal ini menyebabkan
pembentukan kelompok tani tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi
anggotanya. Hal ini terlihat di lapangan dimana lokasi budidaya tanaman sayur
tersebut dalam kondisi tidak terawat.
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan community development yang
dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri belum disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat. Hal ini tercermin dari masih banyaknya kebutuhan dasar masyarakat
yang belum terpenuhi antara lain sumber penerangan dan air bersih. Penerangan
yang digunakan umumnya adalah petromak. Beberapa rumah menggunakan listrik
yang berasal dari genset bantuan Pemda Kutai Timur dan ada yang milik sendiri
dan digunakan oleh beberapa keluarga. Namun saat ini genset bantuan pemda
Lokasi budidaya tanaman sayur Kelompok Tani Mekar Indah binaan PT Indominco Mandiri yang nampak tidak terawat.
191
tidak berfungsi lagi karena rusak. Sumber air bersih untuk minum dan masak
umumnya dari air hujan dan sumur, sedangkan untuk keperluan lain seperti mandi
dan mencuci dari sungai. Namun ada beberapa lokasi yang air sumurnya tidak
layak untuk dikomsumsi karena rasanya masam. Beberapa responden bahkan
mengakui bahwa air hujan pun terkadang tidak dapat dikomsumsi karena
warnanya hitam.
Kegiatan community development yang tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan hanya menyentuh kelompok masyarakat pada lapisan atas
disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi program. Untuk itu, dalam upaya menjaling komunikasi dengan
masyarakat khususnya desa-desa yang menjadi binaan PT Indominco Mandiri
telah dibentuk Community Consultative Committee (CCC) yang beranggotakan
kepala desa, aparat desa, tokoh masyarakat serta pihak perusahaan. Organisasi
tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga
program yang dijalankan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat.
Namun organisasi yang dibentuk dua tahun lalu tersebut belum ada tindak
lanjutnya.
Minimnya peranan PT Indominco Mandiri dalam pembangunan desa
menyebabkan masyarakat memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan
pertambangan tersebut tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan
Papan sekretariat Community Consultative Committee (CCC) yang dipasang pada bagian depan rumah Kepala Desa Suka Damai
192
masyarakat. Disamping itu, sebagian besar masyarakat cenderung tidak peduli
terhadap keberadaan perusahaan pertambangan sepanjang tidak mengganggu
aktivitas mereka sebagai petani. Hal ini didukung oleh masih banyaknya
masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan perusahaan pertambangan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
community development PT Indominco Mandiri belum sesuai dengan kebutuhan
masyarakat karena program yang dilaksanakan masih merupakan proyek dari
perusahaan sehingga masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun
implementasi program. Disamping itu, sosialisasi dan pendekatan PT Indominco
Mandiri hanya dilakukan pada masyarakat lapisan atas, sedangkan pendekatan
dan sosialisasi terhadap masyarakat lapisan menengah dan bawah masih sangat
rendah.
193
Lampiran 22 Data koordinat hasil analisis korespondensi berganda (correspondence analysis )
Persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 0.989879 -0.721207 0.050000 1.000000 0.194148 0.138296 0.653240 0.811704 0.346760Agak membaik 2 0.961149 0.163736 0.225000 1.000000 0.553682 0.586731 0.971798 0.188269 0.028202Tidak berubah 3 -0.366555 -0.001076 0.725000 1.000000 0.252170 0.274974 0.999991 0.000026 0.000009
Persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 -0.688824 0.167548 0.046823 1.000000 0.548652 0.562044 0.944140 0.391133 0.055860Agak membaik 2 0.276245 0.076497 0.214047 1.000000 0.410057 0.413232 0.928778 0.372721 0.071222Tidak berubah 3 -0.036363 -0.032767 0.739130 1.000000 0.041291 0.024724 0.551873 0.236145 0.448127
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3
194
Responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Bekerja 1 0.137309 -0.453471 0.087500 1.000000 0.220803 0.024010 0.083985 0.888490 0.916015Pernah bekerja 2 -0.844596 -0.030718 0.087500 1.000000 0.702555 0.908423 0.998679 0.004077 0.001321Tidak bekerja 3 0.075015 0.051353 0.825000 1.000000 0.076642 0.067567 0.680903 0.107433 0.319097
Responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Bekerja 1 0.491114 -0.224664 0.095238 1.000000 0.271723 0.241856 0.826947 0.662906 0.173053Pernah bekerja 2 0.842674 0.172919 0.079365 1.000000 0.574500 0.593377 0.959593 0.327258 0.040407Tidak bekerja 3 -0.137693 0.009296 0.825397 1.000000 0.153777 0.164767 0.995463 0.009836 0.004537
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3
195
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 -0.490911 0.176086 0.250000 1.000000 0.408977 0.422501 0.886007 0.327499 0.113993Tidak berubah 2 -0.161428 -0.209117 0.330000 1.000000 0.138513 0.060305 0.373397 0.609695 0.626603Memburuk 3 0.419045 0.059493 0.420000 1.000000 0.452510 0.517194 0.980242 0.062806 0.019758
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 -0.472451 -0.013905 0.303333 1.000000 0.654908 0.667154 0.999135 0.029513 0.000865Tidak berubah 2 0.296926 -0.054634 0.296667 1.000000 0.261335 0.257727 0.967254 0.445607 0.032746Memburuk 3 0.138055 0.051064 0.400000 1.000000 0.083757 0.075120 0.879651 0.524880 0.120349
Input Table (Rows x Columns): 5 x 3
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3
196
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Besar 1 0.807412 -0.328054 0.062500 0.999387 0.111111 0.114587 0.857782 0.093574 0.141605Sedang 2 0.093443 0.839959 0.087500 0.999967 0.146199 0.002149 0.012224 0.858831 0.987743Kecil 3 0.652850 -0.048302 0.350000 0.999942 0.350877 0.419526 0.994498 0.011360 0.005444Tidak Ada 4 -0.574274 -0.072174 0.500000 1.000000 0.391813 0.463738 0.984450 0.036234 0.015550
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Besar 1 0.907466 -0.259744 0.090301 1.000000 0.470922 0.829622 0.924276 0.075018 0.075724Sedang 2 -0.351797 -0.719410 0.100334 1.000000 0.376632 0.138536 0.192981 0.639422 0.807019Kecil 3 -0.040440 0.263832 0.331104 1.000000 0.138071 0.006041 0.022956 0.283794 0.977044Tidak ada 4 -0.069539 0.017315 0.478261 1.000000 0.014376 0.025802 0.941620 0.001766 0.058380
Input Table (Rows x Columns): 4 x 4
Input Table (Rows x Columns): 3 x 5
197
Responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Menerima 1 -0.322340 0.126874 0.062500 1.000000 0.237683 0.215305 0.865859 0.722195 0.134141Pernah menerima 2 -0.469179 -0.066035 0.087500 1.000000 0.622503 0.638604 0.980576 0.273896 0.019424Tidak menerima 3 0.071999 -0.002531 0.850000 1.000000 0.139814 0.146091 0.998766 0.003909 0.001234
Responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Dapat 1 -0.571071 0.118380 0.083333 1.000000 0.655467 0.768247 0.958800 0.148419 0.041200Pernah dapat 2 0.312244 0.268569 0.077381 1.000000 0.303532 0.213267 0.574773 0.709352 0.425227Tidak dapat 3 0.027914 -0.036516 0.839286 1.000000 0.041002 0.018486 0.368828 0.142228 0.631172
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3
198
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 0.799539 -0.643606 0.088608 1.000000 0.138599 0.090079 0.606804 0.821313 0.393196Agak membaik 2 1.151083 0.171061 0.265823 1.000000 0.534503 0.560119 0.978393 0.174058 0.021607Tidak berubah 3 -0.583716 0.017901 0.645570 1.000000 0.326898 0.349801 0.999060 0.004629 0.000940
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 -0.272338 0.031966 0.113333 1.000000 0.469165 0.469981 0.986410 0.416686 0.013590Agak membaik 2 0.193120 0.016873 0.243333 1.000000 0.503464 0.507414 0.992425 0.249253 0.007575Tidak berubah 3 -0.025069 -0.012013 0.643333 1.000000 0.027371 0.022605 0.813248 0.334061 0.186752
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3
199
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan desa/kelurahan
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 0.933860 -1.45873 0.037500 1.000000 0.148649 0.048849 0.290698 0.913651 0.709302Agak membaik 2 0.667318 0.11560 0.550000 1.000000 0.333333 0.365840 0.970863 0.084160 0.029137Tidak berubah 3 -0.974654 -0.02153 0.412500 1.000000 0.518018 0.585311 0.999512 0.002189 0.000488
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Membaik 1 -0.737793 0.125145 0.039683 1.000000 0.677741 0.713613 0.972033 0.246704 0.027967Agak membaik 2 0.168760 0.062671 0.285714 1.000000 0.282392 0.268821 0.878804 0.445465 0.121196Tidak berubah 3 -0.028075 -0.033904 0.674603 1.000000 0.039867 0.017566 0.406771 0.307830 0.593229
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3
200
Konflik antara masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
PT IM 1 0.552083 -0.007120 0.120405 1.000000 0.851678 0.856879 0.999834 0.022715 0.000166PTB 2 -0.212556 -0.065669 0.055242 1.000000 0.063439 0.058275 0.912867 0.886483 0.087133Tidak ada konflik 3 -0.066393 0.005441 0.824353 1.000000 0.084883 0.084846 0.993330 0.090802 0.006670Keterangan :
PT IM : PT Indominco Mandiri
PTB : PT Badak NGL
Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Column Coordinates and Contributions to Inertia
Standardization: Row and column profilesColum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2
Perusahaan 1 -0.082124 0.180565 0.156667 1.000000 0.039628 0.007163 0.171402 0.635117 0.828598Program Pemerintah 2 -0.379496 0.003210 0.306667 1.000000 0.283930 0.299388 0.999928 0.000393 0.000072Perusahaan Lain 3 1.420860 0.107052 0.046667 1.000000 0.609069 0.638649 0.994355 0.066498 0.005645Usaha Sendiri 4 0.128445 -0.069936 0.490000 1.000000 0.067373 0.054800 0.771332 0.297992 0.228668
Input Table (Rows x Columns): 3 x 4
Input Table (Rows x Columns): 3 x 7
201
Lampiran 23 Peta kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
202
Lampiran 24 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur
203
Lampiran 25 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur
top related