cpc megaria
Post on 15-Apr-2016
54 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
COR PULMONALE CHRONICUM
Cor Pulmonale Chronicum (CPC) adalah perubahan struktur dan fungsi dari ventrikel kanan jantung sebagai akibat dari gangguan paru kronis. Perubahan yang terjadi berupa hipertrofi ventrikel kanan atau dilatasi atau keduanya sebagai akibat dari adanya hipertensi pulmoner.
Dilatasi adalah peregangan dari ventrikel, sebagai hasil cepat dari peningkatan tekanan pada tempat yang elastis. Hipertrofi ventrikel adalah respon adaptif dari peningkatan tekanan dalam jangka waktu lama. Setiap sel otot berkembang membesar dan mengalami perubahan morfologis yang khas agar dapat mencukupi peningkatan kekuatan kontraksi yang diperlukan untuk menggerakkan darah melawan tahanan yang lebih besar.
Untuk dapat diklasifikasikan sebagai CPC penyebab utama harus berasal dari system pernafasan. Dua penyebab utama terjadinya perubahan vaskuler adalah adanya kerusakan jaringan (misalnya penyakit, jejas hipoksia, bahan kimia dan lain-lain), dan vasokonstriksi paru hipoksia kronis. RVH yang disebabkan karena kelainan sistemik tidak bisa diklasifikasikan sebagai CPC.
Dilatasi ventrikel kanan atau hipertrofi dalam CPC adalah efek kompensasi langsung dari vasokonstriksi pulmoner kronis dan hipertensi arteri pulmoner yang menyebabkan peningkatan kerja dan beban ventrikel kanan. Saat ventrikel kanan tidak dapat mengkompensasi dilatasi dan hipertrofi yang terjadi, maka terjadilah gagal jantung kanan.
Patofisiologi hipertensi arteri pulmonal
Hipertensi pulmoner didefinisikan sebagai rata-rata tekanan arteri pulmoner yang > 20 mmHg saat istirahant, atau 30 mmHg dengan latihan. Peningkatan tekanan arteri pulmoner dan resistensi pembuluh darah pulmoner dapat berkembang pada kelainan parenkim, jalan nafas atau pembuluh darah pulmoner dan hasilnya adalah control yang abnormal dari ventilasi.
Ada beberapa mekanisme penyebab terjadinya hipertensi pulmonal dan CPC
1. Vasokonstriksi pulmonal:
Vasokonstriksi pulmonal pada saat terjadinya hipoksia pada arteri kecil dan arteriol merupakan mekanisme pertahanan diri yang muncul secara akut untuk mempertahankan perfusi-ventilasi local. Vasokonstriksi pulmoner local muncul pada daerah yang mengalami hipoksia dan menyebabkan penghentian aliran darah ke area hipoksik dan mengarahkannya ke daerah yang mempunyai ventilasi yang adekuat, sehingga meningkatkan fungsi perfusi-ventilasi dari paru secara keseluruhan. Meskipun berguna namun pada vasokonstriksi kronis dapat menyebabkan penyempitan arteri pulmoner. Hipoksia kronis menginduksi “muskularisasi” dari arteri pulmoner, dengan otot polos berproliferasi secara longitudinal diantara tunika intima dari arteri
pulmoner kecil. Sehingga menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler pulmoner dan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner.
1. Perubahan anatomis dari vaskularisasi
Oklusi atau penyempitan arteri pulmoner yang berukuran sedang sampai besar adalah dasar dari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler pulmoner pada beberapa gangguan misalnya penekanan mediastinum atau hilus oleh tumor metastatik atau fibrosis, arteritis nonspesifik, tumor paru primer, penyakit tromboemboli kronis dari pembuluh utama, dan infeksi (tuberkulosis atau histoplasmosis)
1. Peningkatan viskositas darah2. Idiopatik atau hipertensi pulmonal primer
Etiologi
1. Penyakit parenkim paru
- PPOK
- Kistik fibrosis
- Kehilangan jaringan paru akibat trauma atau pembedahan
- Pneumoconiasis stadium akhir
- Sarcoidosis
1. Gangguan vaskuler paru
- Hipertensi pulmonal primer
- Anemia sel sabit
- Skistosomiasis
- Oklusi vena pulmoner
- Tromboemboli pulmoner kronis
1. Kelainan dinding dada dan neuromuskuler
- kifoskoliosis
- Muscular dystrophy
- Myasthenia gravis
- Poliomyelitis
- Gullain-Barre syndrome
1. Gangguan control ventilasi
- Sindrom sleep apnea
- Hipoventilasi primer sentral
Gejala dan tanda
Gejala CPC muncul secara bertahap dalam jangka waktu lama. Pada pasien dengan PPOK gejala dapat tertutupi oleh adanya hiperinflasi dari paru. Kebanyakan pasien awalnya memiliki gejala sesak nafas, yang semakin memberat ketika terjadi gagal jantung kanan. Nyeri dada mungkin muncul dan sulit dibedakan dengan angina pectoris. Pada pasien dengan PPOK berat sering terjadi orthopneu ynag berhubungan dengan efek dari hiperinflasi paru pada venous return jantung kanan. Semakin memburuknya kerja ventrikel kanan mengakibatkan pembengkakan dan rasa penuh karena kongesti vena hepar dan oedem pada extremitas bawah. Oedem perifer dapat juga disebabkan oleh penyebab lain misalnya hipoalbuminemia dan tidak selalu muncul pada pasien dengan hipertensi pulmoner. Oedem jarang muncul jika pCO2 normal dan tidak selalu muncul pada peningkatan pCO2. Gelombang sistolik pada parasternal kiri dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kanan, dan bising regurgutasi tricuspid dapat menunjukkkan adanya dilatasi ventrikel kanan.terdapat abnormalitas dinding dada, misalnya barrelchest. Terdapat ronkhi dan wheezing pada paru.
Gambaran EKG :
- Hipertrofi ventrikel kanan (HV kanan)
- Abnormalitas atrium kanan
- “Slow progession of R” pada lead prekordial (terutama pada PPOK)
- Kadang aritmia ventrikuler / supraventrikuler
Foto thoraks :
- Kelainan pada paru, pleura, atau dinding dada
- Pembesaran ventrikel kanan
- Pelebaran vena cava superior
- Pelebaran trunkus pulmonalis pada daerah hilus
Pemeriksaan laboratorium :
1. Analisa gas darah
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Asidosis respiratorik
1. Polisitemia2. Faal paru
- Kelainan restriktif
- Obstruktif berat
Terapi
Terapi penyakit paru
1. Bronkodilator2. Mukolitik & ekspektoran3. Anti Biotik (AB) bila ada infeksi4. O2 dosis rendah (1-2 L/menit)5. Koreksi asidosis
Terapi gagal jantung
1. Diuretik
- Efektif bila CPC yang disebabkan PPOK
- Bila >> metabolik alkalosis
1. Digitalis
- Hati-hati mudah intoksikasi
- Terutama pada gagal jantung kongestif
Rabu, 04 Juni 2014
Kor Pulmonale Kronik (CPC/ Cor Pulmonale Chronic)
waktu mengajukan judul refrat, dengan pedenya menyebutkan cpc (kor pulmonale kronik)
dan yakin bakalan banyak bahan yang didapat. setelah mendapat judul tersebut dan
mengumumkan di kelompok, hanya bisa cengengesan sedangkan yang lain menatap nanar. Saat
mencari bahan jurnal dan guideline mengenai cpc dan ternyata..sangat sedikit.. dan masih tahun
yang lama..sangat menyesal. tapi apa mau dikata, berusaha mentranslate bahan tersebut dengan
kemampuan toefl 100 (lebay) dan sisa tenaga setelah postdinas. dan alhasil memang lumayan
banyak terkumpul tapi belum bisa memahami dengan baik. siplah, ini nih bahan cpc yang penuh
tenaga dan keringat bercucuran membuatnya.(lebay)
Clinical Science Session
KOR PULMONALE KRONIK
Oleh :
Mangaraja Victor 0810311014
Eza Indahsari 0810312078
Stevani Irwan 0810131386
Mohaymin Mohaidin 0810314277
Preseptor :
Dr. Arnelis, Sp.PD-KGEH
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga dada
dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Ukuran jantung lebih kurang
sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram. Jantung mempunyai
empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan,dan ventrikel kiri.
Kor pulmonal menurut WHO adalah perubahan pada struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Terdapatnya edema dan gagal napas juga diajukan untuk menetapkan adanya kor pulmonal
secara klinis. Walaupun prevalensi PPOK di Amerika Serikat adalah kira-kira 15 juta, prevalensi
pasti dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan, karena ia tidak muncul pada semua kasus PPOK,
serta karena kurang sensitifnya pemeriksaan fisik dan uji rutin untuk deteksi hipertensi pulmonal.
Kor pulmonal diperkirakan terdapat sebanyak 6-7 % dari semua jenis penyakit jantung dewasa di
AS, dengan PPOK akibat bronkhitis kronik atau emfisema sebagai faktor kausatif pada lebih dari
50% kasus. Secara global, insiden kor pulmonal bervariasi antar negara, tergantung pada
prevalensi merokok, polusi udara, dan faktor risiko lain terkait penyakit paru-paru.
Kor pulmonal dapat disebabkan adanya hipertensi pulmonal yang diakibatkan oleh penyakit
yang menyerang paru atau vaskularisasinya. Hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran
ventrikel kanan (hipetrofi atau dilatasi) dan berlanjut menjadi gagal jantung kanan. Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik, kira-kira 80-
90% kasus. .
Sebagian besar kondisi yang menyebabkan kor pulmonal bersifal kronik dan progresif
lambat, namun pasien bisa datang dengan gejala akut dan membahayakan jiwa. Dekompensasi
mendadak tersebut muncul ketika ventrikel kanan tidak mampu mengkompensasi pada
pemaksaan kebutuhan tambahan yang tiba-tiba, yang diakibatkan oleh progresifitas dari penyakit
dasar atau proses akut yang makin berat. Tingginya angka kematian yang dapat terjadi akibat
penyakit ini maka penegakkan diagnosis haruslah dengan tepat dan segera. Adanya penegakkan
diagnosis yang tepat dapat mengurangi angka kematian oleh karena penyakit ini. Oleh karena
pentingya menegakkan diagnosis yang tepat dan segera maka oleh sebab itu kami membuat
refrat dengan judul Kor Pulmonale Kronik ini.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai Kor Pulmonale Kronik, penyebab tersering, diagnosis dan
tatalaksana.
1.3 Tujuan Penelitian
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya mengenai penatalaksanaan Kor Pulmonale Kronik.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur.
1.5 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang Kor Pulmonale Kronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga dada
dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Ukuran jantung lebih kurang
sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram. Jantung mempunyai
empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan,dan ventrikel kiri. Atrium adalah
ruangan sebelah atas jantung dan berdinding tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah
bawah jantung. dan mempunyai dindinglebih tebal karena harus memompa darah ke seluruh
tubuh. Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh tubuh.
Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan darah
tersebut ke paru-paru.1
Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-
paru. Ventrikel kiri berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh.
Jantung juga terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan
selaput pembungkus disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari jantung
terdiri dari otot-otot jantung disebut miokardium dan lapisan terluar yang terdiri dari jaringan
endotel disebut endokardium.1
Siklus jantung merupakan kejadian yang terjadi dalam jantung selama peredaran darah.
Gerakan jantung terdiri dari 2 jenis yaitu kontraksi (sistolik) dan relaksasi (diastolik). Sistolik
merupakan sepertiga dari siklus jantung. Kontraksi dari ke-2 atrium terjadi secara serentak yang
disebut sistolik atrial dan relaksasinya disebut diastolik atrial. Lama kontraksi ventrikel ±0,3
detik dan tahap relaksasinya selama 0,5 detik. Kontraksi kedua atrium pendek, sedangkan
kontraksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Daya dorong ventrikel kiri harus lebih kuat karena
harus mendorong darah ke seluruh tubuh untuk mempertahankan tekanan darah sistemik.
Meskipun ventrikel kanan juga memompakan darah yang sama tapi tugasnya hanya mengalirkan
darah ke sekitar paru- paru ketika tekanannya lebih rendah.1
Gambar 1. Anatomi jantung a. Sisi anterior, b. Potongan Frontal1
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa tiap ventrikel per menit. Pada
keadaan normal (fisiologis) jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel kanandan ventrikel
kiri sama besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi penimbunan darah ditempat tertentu. Jumlah
darah yang dipompakan pada setiap kali sistolik disebut volume sekuncup. Dengan demikian
curah jantung = volume sekuncup x frekuensi denyut jantung per menit. Umumnya pada
tiap sistolik ventrikel tidak terjadi pengosongan total ventrikel , hanya sebagian dari isi
ventrikel yang dikeluarkan. Jumlah darah yang tertinggal ini dinamakan volume residu. Besar
curah jantung seseorang tidak selalusama, bergantung pada keaktifan tubuhnya. Curah jantung
orang dewasa pada keadaan istirahat lebih kurang
5 liter dan dapat meningkat atau menurun dalam berbagai keadaan.1
Pada saat jantung normal dalam keadaan istirahat, maka pengaruh sistem parasimpatis
dominan dalam mempertahankan kecepatan denyut jantung sekitr 60 hingga 80 denyut per
menit. Kecepatan denyut jantung dalam keadaan sehat dipengaruhi oleh pekerjaan, tekanan
darah, emosi, cara hidup, dan umur. Pada keadaan normal jumlah darah yang dipompakanoleh
ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama sehingga tidak terjadi penimbunan.1
2.2 Definisi
Istilah kor pulmonal masih sangat populer dalam literatur medis, namun definisinya masih
bervariasi. Kira-kira empat puluh tahun yang lalu WHO mendefinisikan kor pulmonal sebagai
“hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh penyakit yang mempengaruhi fungsi dan/ atau
struktur paru-paru”. Definisi ini nyatanya memiliki nilai terbatas dalam klinis praktis. Sehingga
diajukan untuk mengganti istilah “hipertrofi” dengan “perubahan pada struktur dan fungsi
ventrikel kanan”. Terdapatnya edema dan gagal napas juga diajukan untuk menetapkan adanya
kor pulmonal secara klinis.2
Kor pulmonal disebabkan oleh hipertensi pulmonal yang diakibatkan oleh penyakit yang
menyerang paru atau vaskularisasinya. Hipertensi pulmonal menghasilkan pembesara
pembesaran ventrikel kanan (hipetrofi atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu
menjadi gagal jantung kanan. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab
utama insufisiensi respirasi kronik, kira-kira 80-90% kasus. Penyakit jantung kanan yang
disebabkan oleh penyakit primer pada jantung kiri atau penyakit jantung kongenital tidak
diperhitungkan. 3
Sebagian besar kondisi yang menyebabkan kor pulmonal bersifal kronik dan progresif
lambat, namun pasien bisa datang dengan gejala akut dan membahayakan jiwa. Dekompensasi
mendadak tersebut muncul ketika ventrikel kanan tidak mampu mengkompensasi pada
pemaksaan kebutuhan tambahan yang tiba-tiba, yang diakibatkan oleh progresifitas dari penyakit
dasar atau proses akut yang makin berat.3
2.3 Epidemiologi
Walaupun prevalensi PPOK di Amerika Serikat adalah kira-kira 15 juta, prevalensi pasti
dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan, karena ia tidak muncul pada semua kasus PPOK, serta
karena kurang sensitifnya pemeriksaan fisik dan uji rutin untuk deteksi hipertensi pulmonal. Kor
pulmonal diperkirakan terdapat sebanyak 6-7 % dari semua jenis penyakit jantung dewasa di AS,
dengan PPOK akibat bronkhitis kronik atau emfisema sebagai faktor kausatif pada lebih dari
50% kasus. Secara global, insiden kor pulmonal bervariasi antar negara, tergantung pada
prevalensi merokok, polusi udara, dan faktor risiko lain terkait penyakit paru-paru.4
2.4 Etiologi
Kor pulmonal kronik adalah keadaan disfungsi yang diakibatkan oleh berbagai etiologi dan
mekanisme patofisiologi (tabel 1) :
a. Vasokonstriksi paru ( sekunder dari hipoxia alveolar atau asidosis)
b. Reduksi anatomi dari dasar pembuluh darah paru (emfisema, emboli paru, dll)
c. Peningkatan viskositas darah (polisitemia, sickle-cell disease, dll)
d. Peningkatan aliran darah paru
Penyebab paling banyak pada kor pulmonale kronik adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) meliputi bronkitis kronik atau emfisema. Pada pasien PPOK tejadi peningkatan insidensi
dari kelainan ventrikel kanan yang berhubungan dengan peningkatan keparahan dari disfungsi
paru. Contohnya hipertropi ventrikel kanan yang terjadi sebanyak 40% pada pasien dengan FEV
< 1.0 L dan pada 70% dengan FEV1<0.6 L.
Etiologi dari kor pulmonal kronik
a. Hipertensi arteri pulmonal
a. Hipertensi pulmonal primer
a. Sporadik
b. Familial
b. Berhubungan dengan :
a. Penyakit kolagen vaskular
b. Kelainan kongenital pada pulmonary shunts
c. Hipertensi portal
d. Infeksi HIV
e. Obat-obatan / racun
f. Hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir
g. Dan lain-lain
b. Hipertensi vena pulmonal
a. Penyakit jantung ventrikular atau atrium kiri
b. Penykait katup jantung bagian kiri
c. Kompresi ekstrinsik dari vena sentral pulmonal (fibrosis mediastinitis, tumor atau
adenopati)
d. Penyakit sumbatan vena pulmonal
e. Dan lain-lain
c. Hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan kelainan sistem respirasi dan atau
hipoksemia
a. PPOK
b. Penyakit paru intersisial
c. Gangguan bernafas saat tidur
d. Kelainan hipoventilasi alveolar
e. Penyakit paru pada neonatus
f. Displasis pembuluh darah kapiler alveolar
g. Dan lain-lain
d. Hipertensi pulmonal karena trombosis kronik dan atau penyakit emboli
a. Obstruksi tromboemboli pada arteri pulmonal proksimal
b. Obstruksi pada arteri pulmonal distal
i. Emboli paru (trombus, tumor dan benda asing)
ii. Trombosis in situ
iii. Sickle cell disease
e. Hipertensi pulmonal
a. Inflamasi
b. Skistosomiasis
c. Sarkoidosis
d. Dan lain-lain
2.5 Patofisiologi
Kelainan fisiologis pada kelompok penyakit ini berhubungan dengan fungsi respirasi dan
dapat juga berhubungan dengan hemodinamik pada sirkulasi pulmonal yang dapat
diklasifikasikan sebagi berikut :
A. Gangguan fungsi respirasi
Penurunan fungsi respirasi yang berhubungan dengan 4 bagian :
a. Kelainan ventilasi obstruksi
Kelainan seperti obstruksi aliran udara pada trakeobronkhial.
b. Kelainan ventilasi penyempitan
Kelainan reduksi dari kapasitas ventilator tanpa obstruksi dari aliran udara
c. Kelainan pada difusi udara pulmonal
Kelainan pertukaran udara antara alveoli dan kapiler darah pulmonal yang berhubungan
dengan kelainan anatomi atau fungsional.
d. Reduksi pada rasio ventilasi dan perfusi
Hasil akhir dari kelainan fungsional jantung dan paru terlihat dari tekanan oksigen dan
karbondioksida darah arteri. Interaksi beberapa gangguan pada fungsi terlihat pada beberapa
penyakit, contohnya pada bronkitis kronik dengan emfisema pada gangguan obstruksi ventilasi
udara tapi ini berhubungan dengan tingkat kerusakan pada difusi udara pada pulmonal dan
reduksi pada rasio ventilasi dan perfusi. Pada fibrosis pulmonal yang berat kelainan yang terjadi
berupa restriksi pada ventilasi udara tapi bisa juga berhubungan dengan reduksi pada difusi udara
dan rasio perfusi ventilasi.
B. Kelainan hemodinamik pda sirkulasi
pulmonal
Resistensi pembuluh darah pulmonal pada tekanan darah dan aliran darah dapat
berhubungan dengan kerja pada ventikel kanan. Hipertopi ventrikel kanan pada kor pulmonale
kronik berasal dari peningkatan kerja yang behubungan dengan berubahnya hemodinamik pada
sirkulasi paru. Seperti mekanisme yang trjadi pada orang normal saat berolahraga. Dimana
terjadi perubahan aliran dan tekanan untuk mengkompensasi kebutuhan tubuh. Peningkatan
resistensi pembuluh darah paru dapat berhubungan dengan :
a. Obstruksi pada pembuluh darah pulmonal
Seperti pada trombosis, emboli mengakibatkan perubahan yang terjadi pada dinding
pembuluh darah yang akhirnya terjadi tekanan dari luar ke dinding pembuluh darah.
b. Reduksi ukuran dari dasar pembuluh kapiler pulmonal yang terjadi pada reseksi paru
atau emfisema.
c. Perubahan fungsional dimana terjadi perubahan pada kemampuan pembuluh darah
pulmonal dan efeknya yang berhubungan antara kapasitas pada dasar pembuluh darah dan aliran
darah atau volume.
Faktor penyebab yang bervariasi akan menghasilkan peningkatan resistensi pembuluh darah
pulmonal yang berhubungan dengan bervariasinya derajat penyakit yang terjadi berdasarkan
penyakit primer yang mendasari tersebut. Perubahan “Fungsional” tampak pada seringnya terjadi
hipoksemi yang berhubungan dengan kelainan pada fungsi respirasi. Faktor-faktor penting
lainnya bisa terjadi pda tekanan karbondioksida adanya shunts dan faktor darah itu sendiri yang
membuat terjadinya perubahan pada jantung dan paru.
Pada banyak kasus, mekanisme terjadinya kor pulmonal kronik berhubungan juga dengan
hipertensi pulmonal. Pada emfisema, contohnya, banyak kombinasi dari penyebab penyakit ini
yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit kor pulmonale kronik. Yaitu seperti terjadinya
kompresi pembuluh darah kapiler dengan peningkatan tekanan intraalveolar, vasokonstriksi
sekunder hingga terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia, hipervolemia dan polisitemia dan
peningkatan output jantung.
Pada bronkitis akan menyebabkan terjadinya hipoventilasi alveolar, peningkatan efek dari
hipoksemia dan hiperkapnia. Kelainan ini dapat terlihat pada fungsi respirasi dan resistensi
pembuluh darah pulmonal yang sering terjadi pada penyakit yang sama. Penyakit yang
mendasari ini yang dapat saling berkorelasi sehingga menjadi penyakit kor pulmonal kronik.
Curah jantung dari ventrikel kanan dann kiri disesuaikan dengan preload, kontraktilitas dan
afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat
terjadi aliran balik vena yang meningkat mendadak ( seperti saat menarik napas).6
Peningkatan afterload akan menyebabkan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan. Hal
ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan pembuluh darah itu
sendiri maupun akibat kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat
terjadi karena hiperinflasi paru akibat PPOK dimana terjadi kompresi kapiler alveolar dan
perubahan ukuran pembuluh darah paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika volume paru
turun mendadak akibat reseksi paru. Pada retriksi paru ketika pembuluh darah mengalami
kompresi dan berubah bentuk maka dapat juga terjadi peningkatan afterload ventrikel kanan.
Dapat juga terjadi peningkatan afterload ventrikel kanan pada vasokonstriksi paru dengan
hipoksia atau asidosis.6
Perubahan hemodinamik kor pulmonal paru pada PPOK dari normal menjadi hipertensi
pulmonal, kor pulmonal dan akhirnya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal jantung. 6
Teori yang lain dapat diterima yaitu terjadinya kor pulmonale kronik adalah karena
terjadinya hipoksia alveolar yang mendasari terjadinya remodeling pada dasar pembuluh darah
paru ( hipertropi pada otot pada pembuluh darah kapiler paru, pembentukan otot pada pembuluh
darah arteriol pada paru dan fibrosis pada tunika intima) bergabung dengan kelainan lainnya.
Remodelling ini akan membuat peningkatan resistensi pembuluh darah paru dan akhirnya
menjadi hipertensi pulmonal. Seringnya remodelling pada pembuluh darah paru dapat dilihat
pada pasien PPOK non hipoksemia dengan derajat penyakit sedang hingga berat. Faktor
fungsional lainnya akan saling berhubungan. Seperti terjadinya asidosis hiperkapnia dan
hiperviskositas yang disebabkan oleh polisitemia.7
Pada idiopatik fibrosis pulmonal peningkatan resistensi pembuluh darah paru dikarenakan
faktor anatomis seperti terjadinya kerusakan dasar pembuluh darah paru atau kompresi arteriol
dan kapiler oleh karena proses fibrosis. Hipertensi pulmonal meningkatkan kerja ventrikel kanan
dimana akan menyebabkan terjadinya pembesaran ventrikel kanan (hipertropi dan dilatasi) yang
akhirnya akan terjadi disfungsi ventrikular (sistolik dan diastolik). Yang akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan. Dapat terlihat pada terjadinya udem perifer.
Interval onset antara hipertensi pulmonal dan terjadinya gagal jantung kanan dapat bervariasi
pada tiap pasien.7
2.6 Diagnosis7
A. Anamnesis
Tidak ada gejala klinis yang khas yang terjadi berhubungan dengan hipertropi ventrikel
kanan. Gejala klinis yang terlihat adalah berupa hipertensi pulmonal, termasuk adanya dispnu
saat beraktivitas, fatig, letargi, nyeri dada dan sinkope.
Fatig, letargi dan sinkope saat beraktivitas merupakan pengaruh dari peningkatan
output jantung selama tekanan saat beraktivitas tersebut karena obstruksi pembuluh darah pada
arteriol paru. Angina tipikal akan dapat terlihat. Mekanisme terjadinya angina belum terlalu
jelas, sesuai dengan tekanan pada arteri dan iskemik ventrikel kanan yang dapat terlihat. Iskemik
ventrikel kanan dapat diakibatkan oleh hipoksemia selama beraktivitas sehingga dapat terjadinya
angina
Diagnosis kor pulmonal ditegakkan dengan menemukan tanda PPOK; asidosis dan
hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah, hipertensi pulmonal (diketahui
dengan adanya gambaran EKG P pulmonale dengan deviasi aksis ke kanan. Pada foto Thoraks
terdapat pelebaran cabang paru di hilus), hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung
kanan (ditegakkan dengan adanya peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites
maupun edema tungkai). 2
Anamnesis mungkin ditemukan adanya sesak nafas, riwayat batuk yang sudah lama,
batuk berdarah dan nyeri dada.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada Kor Pulmonale Kronik dapat dideteksi dari hipertensi pulmonal dan hipertropi
ventrikel kanan, terkadang dapat berhubungan dengan kegagalan fungsi ventrikel kanan.
Peningkatan intensitas dari komponen pulmonal pada suara jantung, akan dapat dipalpasi. Pada
auskultasi jantung dapat terdengar adanya murmur sistolik ejeksi, pada derajat penyakit yang
lebih parah dapat terdengar adanya murmur regurgitasi diastolik pumonal. Hipertropi ventrikel
kanan terlihat pada prominent gelombang A pada pulsasi vena jugular. Kegagalan ventrikel
kanan akan menyebabkan terjadinya hipertensi vena sistemik. Sehingga dapat terjadi
peningkatan tekanan vena jugular dengan prominen gelombang V, suara ketiga ventrikel kanan
dan high-pitched tricuspid regurgitant murmur. Murmur pada ventrikel kanan dan galop
terdengar pada saat inspirasi. Pada emfisema yang berat, peningkatan diameter AP
(anteroposterior) dada sehingga membuat auskultasi akan susah didengar dan perubahan posisi
impulse ventrikel kanan.
A. Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan.
Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut
300. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya 5-2 cm) dengan
memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini,
tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara
abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif).
Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
B. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Jika ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama
systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi
peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada CPC, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti
hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
C. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada gagal jantung kanan, namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer
biasanya sistemik dan dependen pada CPC dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan
pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema
dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan
dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
Udem pada pasien Kor Pumonale Kronik pada PPOK yang berat berhubungan dengan gagal
jantung kanan, pada pasien yang lain udem dapat terjadi tanpa diikuti gejala gagal jantung kanan.
Hiperkapnia dapat terjadi. Berhubungan dengan adanya retensi Na pada tubuh pasien.
C.Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung kanan
telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati, ginjal dan lain-lain.
Gejala yang jarang terjadi berhubungan dengan hipertensi pulmonal : batuk, hemoptisis,
hoarseness ( penekanan nervus laringeal dengan dilatasi arteri pulmonal) Kegagalan jantung
kanan yang berat dapat menyebabkan terjadinya kongesti hepatik yang akhirnya dapatt
terjadinya anoreksi dan rasa tidak nyaman pada kuadran kanan atas perut.
D. Pemeriksaan Penunjang
1.Rontgen dada
Karakteristik pada rontgen pada hipertensi arteri pulmonal terlihat adanya
pemebsesaran pada sentral arteri pulmonal. Pada 95% pasien dengan PPOK dan hipertensi
pulmonal, diameter dari cabang kebawah arteri pulmonal kanan adalah lebih besar 20mm. Gagal
jantung kanan akan terlihat ventrikular kanan dan dilatasi atrial kanan pada rontgen dada.
Pembesaran ventrikular menyebabkan penurunan ukuran retrosetenal. Bagaimanapun, beberapa
kelainan yang bisa ditemukan ini dapat juga ditemukan pada kifosis, hiperinflasi paru,
pembesaran ventrikular kiri, atau penyakit paru intersisial.
2. Elektrokardiogram
Akan terlihat tanda hipertropi ventrikel kanan. Yaitu deviasi aksis kanan dan rasio R/S lebih
dari 1 pada lead V1, peningkatan amplitudo gelombang P pada lead II (P pulmoale) merupakan
tanda pembesaran atrium kanan, inkomplit atau komplit Right Bundle Branch Block, pada akut
kor pulmonale, dengan emboli pulmonale akut, akan terlihat gambaran klasik pada gelombang S
di lead I denan Q dan T inverted pada lead III.
3. Dopler ekokardiografi
Merupakan pemeriksaan noninvasif pada penilaian tekanan arteri pulmonal. Ini merupakan
tekhnis dengan menghitung fungsional trikuspid insufisiensi yang selalu ada pasien dengan
hipertropi atrium. Maksimum regurgitasi trikuspid jet velocity akan terekam dan tekanan arteri
pulmonal akan dikalkulasikandengan rumus Bernoulli.
4. Tes fungsi paru
Pada pasien dengan riwayat penyakit paru dengan fungsi jantung normal. Pada penyakit
paru intersisial yang berat (dengan volume paru dibawah 50%normal) hipertensi pulmonale
sekunder, sewaktu restriksi sedang akan menyebabkan terjadinya hipertensi arteri pulmonal itu
sendiri.
5. Biopsi Paru
Pemeriksaan patologik sering dilakukan pada intra-operative untuk melihat ireversibel arteri
pulmonal. Kateterisasi jantung pada pembuluh darah pulmonal yang resisten dan respon
vasodilator yang adekuat dapat membantu terapi yang akan dilakukan.
2.7 Tatalaksana
Terapi pengobatan untuk kor pulmonal kronik adalah lebih terfokus kepada pengobatan pada
penyakit paru yang mendasari terjadinya kor pulmonal dan memperbaiki oksigenasi dan fungsi
venrikel kanan (RV) dengan meningkatkan kontraktilitas RV dan menurunkan vasokonstriksi
paru paru.4
Terapi suportif kardiopulmonal pada pasien yang mengalami kor pulmonal akut dengan
akibat kegagalan ventrikel kanan ialah pemberian cairan dan vasokonstriktor (contohnya :
epinefrin) supaya tekanan darah dapat dipertahankan. Terapi oksigen, diuretik, vasodilator ,
digitalis, teofilin dan terapi antikoagulasi diberikan untuk manajemen jangka panjang kor
pulmonal. 4
Terapi untuk kor pulmonal kronik : 4,6
(1) Terapi oksigen adalah penting untuk pasien yang mempunyai penyakit paru obstruktif
yang mendasari CPC contohnya PPOK Biasanya pada CPC PaO2 adalah dibawah 55
mmHg.Terapi oksigen akan meredakan vasokonstriksi paru kemudian akan meningkatkan
kardiak output dan memperbaiki hipoksemia jaringan dan memperbaiki fungsi renal
(2) Terapi diuretik digunakan untuk menurunkan pengisian volume ventrikel kanan (RV)
pada pasien CPC dan juga pada penyakit berhubungan dengan edem perifer .Agen ini akan
meningkatkan fungsi pada kedua belah ventrikel tetapi diuretic mungkin menyebabkan efek
terbalik hemodinamik ketika tidak digunakan dengan hati–hati. Pengeluaran cairan yang banyak
dapat menurunkan kardiak output . Selain itu bisa juga menyebabkan hipokalemia ketika cairan
banyak dikeluarkan .
(3) Terapi vasodilator
Terapi nifedipine dan diltiazem akan menurunkan tekanan pulmonar.Selain itu ada juga
digunakan kelas vasodilator yang lain yaitu agonis beta ,nitrat dan angiotensin –coverting
enzyme (ACE) tetapi pada umumnya vasodilator gagal menunjukkan perbaikan pada pasien
yang dating dengan PPOK jadi tidak rutin digunakan
(4) Agen glikosida kardiak
Penggunaan agen glikosida kardiak seperti digitalis pada pasien kor pulmonal .Agen ini
digunakan dengan hati- hati dan tidak digunakan pada kejadian fase akut insuffisiensi
respiratorik dengan level fluktuasi hipoksia dan asidosis .Pasien yang mengalami hipoksemia
atau asidosis adalah meningkat resiko untuk terjadi nya aritmia .
(5) Teofilin
Pada efek bronkodilator teofilin di dapatkan dapat menurun kan resistensi vaskular pulmonal
dan tekanan arteri pulmonar pada pasien CPC yang didasari oleh PPOK.Theofilin merupakan
efek inotropik lemah dan dengan ini meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri.Dosis rendah
teofilin juga di cadangkan untuk efek anti inflamasi yang membantu untuk control penyakit
mendasari paru seperti PPOK
(6) Warfarin
Antikoagulasi dengan terapi warfarin di rekomendasikan pada pasien yang memiliki resiko
tinggi terjadinya tromboembolisme.,Pada kebaikan antikoagulasi ini meningkat perbaikan
symptom pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonary (PAH).
(7) Flebotomi
Diindikasikan pada pasien dengan CPC dan hipoksia kronik yang disebabkan oleh
polisitemia ,yang dpapat didefinisikan ketika hematokrit 65% astau lebih .Flebotomi digunakan
untuk menurunkan tekanan arteri pulmonar yang jelas dan menurunkan resistensi vaskular
pulmonar .Tetapi tiada bukti peningkatan survival hidup
2.8 Komplikasi
Komplikasi pada kor pulmonal ialah sinkop, hipoksia, kongesti hepatik pasif dan kematian. 4
2.9 Prognosis
Prognosis CPC bervariasi dengan penyakit patologi yang mendasarinya .Perkembangan pada
CPC adalah akibat dari penyakit pulmonar primer biasanya memiliki prognosis yang lebih
buruk .Sebagai contoh ,pasien dengan PPOK yang memicu terjadi nya CPC memiliki 30% 5
tahun survival hidup. 4
Prognosis pada kejadian akut yang disebabkan oleh embolisme pulmonar masif atau
penyakit acute respiratory distress syndrome (ARDS) tidak menunjukkan pergantungan ada atau
tidak disertai dengan CPCD.Terdapat beberapa faktor yang mungkin menyebabkan mortaliti
dalam rumah sakit termasuk yaitu : 4
-Usia melebihi 65 tahun
-tirah baring lebih dari 3 hari
-Sinus Takikardia
-Takipnu
BAB III
PENUTUP
Istilah kor pulmonal masih sangat populer dalam literatur medis, namun definisinya
masih bervariasi. Kira-kira empat puluh tahun yang lalu WHO mendefinisikan kor pulmonal
sebagai “hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh penyakit yang mempengaruhi fungsi
dan/ atau struktur paru-paru”. Definisi ini nyatanya memiliki nilai terbatas dalam klinis praktis.
Sehingga diajukan untuk mengganti istilah “hipertrofi” dengan “perubahan pada struktur dan
fungsi ventrikel kanan”. Terdapatnya edema dan gagal napas juga diajukan untuk menetapkan
adanya kor pulmonal secara klinis.
Tidak ada gejala klinis yang khas yang terjadi berhubungan dengan hipertropi
ventrikel kanan. Gejala klinis yang terlihat adalah berupa hipertensi pulmonal, termasuk adanya
dispnu saat beraktivitas, fatig, letargi, nyeri dada dan sinkope. Anamnesis mungkin ditemukan
adanya sesak nafas, riwayat batuk yang sudah lama, batuk berdarah dan nyeri dada.
Pada Kor Pulmonale Kronik dapat dideteksi dari hipertensi pulmonal dan hipertropi
ventrikel kanan, terkadang dapat berhubungan dengan kegagalan fungsi ventrikel kanan.
Peningkatan intensitas dari komponen pulmonal pada suara jantung, akan dapat dipalpasi. Pada
auskultasi jantung dapat terdengar adanya murmur sistolik ejeksi, pada derajat penyakit yang
lebih parah dapat terdengar adanya murmur regurgitasi diastolik pumonal. Hipertropi ventrikel
kanan terlihat pada prominent gelombang A pada pulsasi vena jugular.
Pemeriksaan Penunjang meliputi rontgen dada ,elektrokardiogram, Dopler
ekokardiografi ,tes fungsi paru dan biopsi paru .
Terapi pengobatan untuk kor pulmonal kronik adalah lebih terfokus kepada pengobatan pada
penyakit paru yang mendasari terjadinya kor pulmonal dan memperbaiki oksigenasi dan fungsi
venrikel kanan (RV) dengan meningkatkan kontraktilitas RV dan menurunkan vasokonstriksi
paru paru.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of anatomy and physiology fifth edition. 2007. F.A
Davis company. Philadelphia. Hal. 274-278, 296
2. Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Heart. 2003; 89: 225-30.
3. Bhattacharya A. Cor Pulmonale. JIACM. 2004;5(2): 128-36.
4. Sovari AA, Cor pulmonale overview of cor pulmonale management. diakses dari http://
emedicine.medscape.com/article/165139-overviev pada 20 Juli 2013.
5. American Heart Association. Chronic cor pulmonale : Report of an expert comittee.
1963. hal 594-615
6. Harun S., Ika PW. Kor pulmonal kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III
edisi IV. 2008. Hal. 1695-96.
7. Shujaat A. et al. Pulmonary hypertension and chronic cor pulmonale in COPD.
International journal of COPD. 2007:2(3) 273-282.
ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) COR PULMONAL ATAU PULMONARY HEART DISEASE
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulmonary Heart Disease atau Cor pulmonal didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam struktur dan fungsi ventrikel kanan yang disebabkan oleh gangguan utama dari sistem pernapasan. Hipertensi paru adalah hubungan umum antara disfungsi paru-paru dan jantung di cor pulmonal. Penyakit ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung bawaan tidak dianggap pulmonale cor, tapi pulmonale cor dapat mengembangkan sekunder untuk berbagai proses penyakit cardiopulmonary. Meskipun pulmonale cor umumnya memiliki progresif dan perlahan-lahan saja kronis, onset akut atau pulmonale cor diperburuk dengan komplikasi yang mengancam kehidupan dapat terjadi.
Data kematian yang dikumpulkan sejak tahun 1991 dari bagian Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI Unit paru RSU Persahabatan penyebab kematian akibat cor pulmonal sebanyak 7 kasus dari 175 jumlah total kematian pasien penderita penyakit paru atau sebesar 4,10%. Cor pulmonal menduduki ranking kelima setalah TB paru, tumor paru, pneumonia, dan bronkhiektasis.
Jika cor pulmonal terlambat didiagnosa atau terapi awal yang tidak memadai pada cor pulmonal dapat menimbulkan gangguan fungsi paru, maka diperlukan asuhan keperawatan secara menyeluruh yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
Untuk itu, berdasarkan uraian diatas, kami merasa perlu membahas dan menelaah lebih dalam mengenai penyakit cor pulmonal untuk dapat mengetahui asuhan keperawatan pada pasien cor pulmonal dengan pendekatan proses keperawatan yang benar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi pulmonary heart disease?2. Apa etiologi/ faktor pencetus pulmonary heart disease?3. Apa saja manifestasi klinis pulmonary heart disease?4. Bagaimana patofisiologi pulmonary heart disease?5. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada pulmonary heart disease?6. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan pulmonary heart disease?7. Apa komplikasi dari pulmonary heart disease?8. Bagaimana prognosis dari pulmonary heart disease?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan pulmonary heart disease?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya pulmonary heart disease.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi pulmonary heart disease.2. Mengetahui etiologi/ faktor pencetus pulmonary heart disease.3. Menyebutkan manifestasi klinis pulmonary heart disease.4. Menyebutkan patofisiologi pulmonary heart disease.5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada pulmonary heart disease.6. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan pulmonary heart disease.7. Mengetahui komplikasi dari pulmonary heart disease.8. Mangatahui prognosis dari pulmonary heart disease.9. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan pulmonary heart disease.
1.4 Manfaat
1. Mendapatkan pengetahuan tentang pulmonary heart disease.2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pulmonary heart disease.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik sering
disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Tidak semua pasien PPOK akan mengalami pulmonary heart disease, karena banyak usaha pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah arteri mendekati normal sehingga dapat mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin berat gangguan keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi ganguan analisis gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan begitu mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang menyebabkan terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Tuberculosis yang mengenai kedua lobus paru secara luas akan menyebabkan terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru sehingga menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease Kronik.
2.2.Patogenesis
Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu :
1. a. Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru.
1. b. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.
1. c. Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam pathogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.
1. d. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale primer yang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofitunikamedia, fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui Waupun sering di kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.
2.3.Etiologi
Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :
1) Penyakit paru menahun dengan hipoksia :
- Penyakit paru obstrutif kronik,
- Fibrosis paru,
- Penyakit fibrokistik,
- Cryptogenic fibrosing alveolitis,
- Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
2) Kelainan dinding dada :
- Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis pleura,
- Penyakit neuromuscular,
3) Gangguan mekanisme control pernafasan :
- Obesitas, hipoventilasi idopatik,
- Penyakit serebro vascular.
4) Obstruksi saluran nafas atas pada anak :
- Hipertrofi tonsil dan adenoid.
5) Kelainan primer pembuluh darah :
- Hipertensi pulmonale primer emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.
2.4.Manifestasi Klinis
Informasi yang didapat bisa berbeda-beda antarasatu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
3. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah.
Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen.
Gejala- gejala tambahan ialah:
1. 1. Sianosis2. 2. Kurang tanggap/ bingung3. 3. Mata menonjol
2.5.Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada pulmonary heart disease berbanding lurus dengan fungsi pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat dan relative tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan curah jantung sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume paru membesar, seperti pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi kapiler alveolar.
Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada suatu waktu akan mempengaruhi jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi ini seringkali menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan penurunanan oksigenasi paru dapat mengakibatkan hipoksemia ( penurunan PaO2 ) dan hipercapnea ( peningkatan PaCO2) , yang nantinya akan mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea akan menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan vaskularisasi paru seperti pada emfisema dan emboli paru. Akibatnya akan terjadi peningkatan ketahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya hipertensi pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri baru ( arterial mean preassure) adalah 45mmHg, jika tekanan ini meningkat dapat menimbulkan pulmonary heart disease. Ventrikel kanan akan hipertropi dan mungkin akan diikuti gagal jantung kanan.
2.6.Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran radiologis
Pada tingkat hipertensi pulmonal jantung belum terlihat membesar, tetapi hilus dan arteri pulmonalis utama amat menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak nyata.
Pada tingkat pulmonary heart disease jantung terlihat membesar karena adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini kadang-kadang sulit dinyatakan pada foto dada karena adanya hiperinflasi paru (misalnya pada emfisema). Selain itu didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak membuat jantung menjadi lebih besar dari ukuran normal.
Gambaran elektrokardiogram
Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG hanya menunjukkan gambaran sinus takikardia saja. Pada tingkat hipertensi pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran sebagai berikut, yaitu:
1. Gelombang P mukai tinggi pada lead II2. Depresi segmen S-T di II, III, Avf3. Gelombang T terbalik atau mendatar di V1-3
4. Kadang-kadang teadapat RBBB incomplete atau complete
Pada tingkat pulmonary heart disease dengan hipertrofi ventrikel kanan, EKG menunjukkan:
1. Aksis bergeser ke kanan(RAD) lebih dari +902. Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di II, III,Avf3. Rotasi kea rah jarum jam (clockwise rotation)4. Rasio R/S di V1 lebih dari 15. Rasio R/S di V6 lebih dari 16. Gelombang S ang dalam di V5 dan V6 (S persissten di prekordial kiri)7. RBBB incomplete atau incomplete
Pada cor-pulmonal akut (emboli paru masif),EKG menunjukkan adanya Right Ventrikular Strain yaitu adanya depresai segmen S-T dan gelombang T yang terbalik pada sandapan perikordial kanan. Kadang-kadang kriteria hipertrofi ventrikel kanan yang klasik sulit didapat. Padmavati dalam penelitiannya menyatakan criteria yang lain untuk kor-pulmonal dalam kombinasi EKG sebagai berikut:
1) rS di V5 dan V6
2) Aksis bergeser ke kanan
3) qR di AVR
4) P pulmonal
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya polisitemia (Ht > 50%), tekanan oksigen (PaO2) darah arteri < 60 mmHg,tekanan karbondioksida (PaO2) >50 mmHg.
2.7.Penatalaksanaan
Terapi medis untuk pulmonary heart disease kronis di fokuskan pada penatalaksanaan untuk penyakit paru dan peningkatan oksigenasi serta peningkatan fungsi ventrikel kanan dengan
menaikkan kontraktilitas dari ventrikel kanan dan menurunkan vasokonstriksi pada pembuluh darah di paru. Pada pulmonary heart disease akut akan dilakukan pendekatan yang berbeda yaitu di fokuskan pada kestabilan klien.
Untuk mendukung system kardiopulmonal pada klien dengan pulmonary heart disease harus diperhatikan mengenai kegagalan jantung kanan yang meliputi masalah pengisian cairan di ventrikel dan pemberian vasokonstriktor (epinephrine) untuk memelihara tekanan darah yang adekuat. Tetapi pada dasarnya penatalaksanaan akan lebih baik jika di fokuskan pada masalah utama, misalnya pada emboli paru harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan, agen trombilisis atau tindakan pembedaham embolektomi. Khususnya jika sirkulasi terhambat akan dipertimbangkan pula pemberian broncodilator dan penatalaksanaan infeksi untuk klien dengan PPOK; pemberian steroid dan imunosupresif pada penyakit fibrosis paru.
Terapi oksigen, pemberian diuretic, vasodilator, digitalis, theophyline, dan terapi antikoagulan di gunakan untuk terapi jangka panjang pada cor pulmonal kronis.
a) Terapi Oksigen.
Terapi oksigen sangat penting diberikan pada klien. Klien dengan pulmonary heart disease memiliki tekanan oksigen (PO2) di bawah 55 mm Hg dan menurun dengan cepat ketika beraktivitas atau tidur. Terapi oksigen dapat menurunkan vasokonstriksi hipoksemia pulmonar, kemudian dapat menaikkan cardiac output, mengurangi vasokonstriksi, meringankan hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal. Secara umum, terapi oksigen di berikan jika PaO2 kurang dari 55 mm Hg atau saturasi O2 kurang dari 88%.
Manfaat dari terapi oksigen adalah untuk menurunkan tingkat gejala dan meningkatkan status fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen penting di berikan untuk managemen jangka panjang khususnya untuk klien dengan hipoksia atau penyakit paru obstruktif (PPOK).
b) Diuretik.
Diuretik di gunakan pada klien dengan pulmonary heart disease kronis, terutama ketika pengisian ventrikel kiri terlihat meninggi dan pada edema perifer. Diuretic berperan dalam peningkatan fungsi dari ventrikel kanan maupun kiri. Diuretik memproduksi efek hemodinamik yang berlawanan jika tidak di perhatikan penggunaannya. Volume pengosongan yang berlebihan dapat menimbulkan penuruna cardiac output. Komplikasi lain dari diuretic adalah produksi hypokalemic metabolic alkalosis, yang akan mengurangi efektivitas stimulasi karbondioksida pada pusat pernafasan dan menurunkan ventilasi. Produksi elektrolit dan asam yang merugikan sebagai akibat dari penggunaaan diuretic juga dapat menimbulkan aritmia, yang berakibat menurunnya cardiac output. Oleh karena itu diuretik di rekomendasikan pada managemen pulmonary heart disease kronis, dengan memperhatikan pemakaian.
2.8.Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:
a) Sinkope
b) Gagal jantung kanan
c) Edema perifer
d) Kematian
2.9.Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kor-pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan.
Kor-pulmonal dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab Cor Pulmonale akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan Cor Pulmonale kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada Cor Pulmonale kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada Cor Pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
DOWNLOAD : WOC COR PULMONAL
DAFTAR PUSTAKA
A Sovari, Ali.2009.Cor Pulmonal.(online),emedicine.medscape.com,7 Oktober 2009
Boughman, Diane C & Hackley, Joann C.2000.Buku Saku Keperawatan Medical Bedah.Jakarta:EGC
Wilkinson, Judith. M.2002.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria NOC.EGC:Jakarta
----------.1997.Mastering Medical-Surgical Nursing.USA:Springhouse Corporation.
----------.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FK UI
http://cintalestari.wordpress.com/2009/08/29/chronic-obstructive-pulmonal-disease-copd/
http://en.wikipedia.org/wiki/Cor_pulmonale
http://bayuaslilow.multiply.com/journal/item/2
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=CLINICAL+UPDATE+2009%3A+Cystic+Fibrosis&dn=20081209064030
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.pdf/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.html
http://books.google.co.id/books?id=wzIGJflmD4gC&pg=PA184&lpg=PA184&dq=%22prevalensi+kor+pulmonal%22&source=bl&ots=c0hU0FIQt2&sig=eTKShvi2moK1eAo6SL65E2rXq0&hl=id&ei=RxzbStefK9CAkQX7gZnJDg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=8&ved=0CBgQ6AEwBw#v=onepage&q=&f=false
COR PULMONALE
Synonims:
Pulmonary heart disease, cardiopulmonary disease.
Definisi :
1. Menurut WHO ( 1963 ), Definisi Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis dengan di
temukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri
dan penyakit jantung konginetal ( bawaan ).
2. Menurut Braunwahl ( 1980 ), Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis akibat
hipertrofi/ dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.
Penyebabnya antara lain: penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan
fungsi paru karena kelainan thoraks.Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang
disebabkan kelaianan vebtrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan, penyakit
jantung iskemik dan infark miokard akut.
Penyebab
Sebagian besar insidens Cor Pulmonale karena Penyakit Paru Obstruksi Menahun (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease) sebagai akibat proses kronik dari Asma bronkial, Empisema
paru.
Penyakit Paru Menahun yang menyebabkan Cor Pulmonale :
1. Tuberkulosis
2. Harasawa 10,7 %
3. Moerdowo 47,3 %
4. Bronkiektasis
5. Adam 25,7 %
6. Padmawati 20,6 %
7. Bronkitis kronis
8. Fisher 40,0 %
9. Padmawati 64,7 %
10. Emfisema paru
11. Harasawa 82,1 %
12. Moerdowo 90,2 %
Patogenesis terjadinya PPOM:
1. Rangsangan Kimia
2. Predisposisi Bawaan
3. Faktor Infeksi
4. Faktor Lingkungan dan Iklim
5. Faktor Sosial-Ekonomi
6. Kelainan Thoraks
7. Kelainan Kontrol Pernafasan
Patofisiologi
Terjadinya penyakit ini diawali dengan kelainan struktural di paru, yakni kelainan di parenkim
paru yang bersifat menahun kemudian berlanjut pada kelainan jantung. Perjalanan dari kelainan
fungsi paru menuju kelainan fungsi jantung, secara garis besar dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
3. Terjadinya shunt dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miocard
Gejala klinis
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Cor Pulmonale dibagi menjadi 5 fase, yakni:
Fase: 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal penyakit
paru obstruktif menahun (ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahunbiasanya didapatkan adanya kebiasaan banyak merokok.
Fase: 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain:
batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas / mengi, sesak napas
ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak.
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi
memanjang, ronchi basah dan kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan denyut jantungm
lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya bronchovascular pattern, letak
diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.
Fase: 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu
makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan
tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Fase: 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada keadaan yang
berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
Fase: 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat.
Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi
gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan kadang ascites.
Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan Radiologi
2. Pemeriksaan EKG
Penatalaksanaan
1. Konseling ( penyuluhan ).
2. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap obstruksi kronis.
3. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung kongestif.
Konseling
Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti merokok.
Memperbaiki ventilasi ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan dengan bimbingan
ahli fisioterapi.
Memperbaiki Fungsi Paru
Selain upaya latihan pernafasan di atas, diperlakukan pemberian medikamentosa.
a. Bronkodilator
Aminofilin: Menghilangkan spasme saluran pernafasan Beta 2 adrenergik selektif (Terbutalin
atau Salbutamol ). Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat menambah aliran
darah paru. Dosis obat diatas dapat dilihat di buku Farmakoterapi.
Mukolitik dan ekspektoran
Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai kimianya, sedangkan
ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.
c. Antibiotika
Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru disebabkan oleh
mikro-organisme, diantaranya: Hemophylus influenzae dan Pneumococcus.
Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri Gram negatif seperti: Klebsiella.
Idealnya, pemberian antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur dahak. Sambil
menunggu hasil kultur, bisa diberikan antibiotika spectrum luas dalam 2 hari pertama.
Hemophylus influenzae, peka terhadap ampisilin, sefalospurin, kotrimoksazol.
Pneumococcus, peka terhadap golongan penisilin. Staphylococcus, peka terhadap metisilin,
kloksasilin, flukoksasilin, dan eritromisin. Klebsiella, peka terhadap gentamisin, streptomisin dan
polimiksin.
Oksigenasi
Peningkatan PaCO2 ( tekanan karbondiosida arterial ) dan asidosis pada penderita PPOM
disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan hipoksemia.
Hal ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui masker venturi. Dapat pula
diberikan oksigen secara intermitten dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter permenit.
Pengobatan
Pada gagal jantung kanan
Diuretika
Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan dapat mengurangi
kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan menurunkan volume darah. Sehingga
pertukaran udara dalam paru dapat diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat
dikurangi.
Digitalis
Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu diberikan kepada penderita dengan
Gagal Jantung kanan berat.
Pengelolaan Hipoksemia menurut Sykes ( 1976 ):
1. Pemberian Antibiotika, diuretik, mukolitik dan obat bronkodilator sebagai tindakan dasar
penyakit paru obstruktif menahun.
2. Pada hipoksemia berat, perlu diberikan oksigenasi terkontrol dan menjaga agar tidak
terjadi CO2 narkosis.
3. Stimulan pernafasan ( seperti doksapram ) perlu diberikan pada penderita yang
mengalami CO2 narkosis.
4. Bila semua usaha di atas gagal, maka dilakukan pernafasan buatan dengan intubasi
endotrakeal atau bila perlu trakeotomi dan pemasangan ventilator mekanik.
Prognosis
Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek dikarenakan kerusakan parenkim paru yang berlangsung
lama dan irreversible.Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi penyakit
sudah dalam fase lanjut.
Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidupberkisar antara 18 bulan ( Flint) sampai
30, 8 bulan dengan angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 % (Stuart Harris
dan Ude)
Kesimpulan:
Angka kematian Cor Pulmonale masih tinggi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan
menanggulangi PPOM yang menjadi dasar etio-patogenesis Cor Pulmonale.
Upaya Pencegahan.
Penderita dianjurkan berhenti merokok dan menghindarkan diri dari polusi udara, terutama di
daerah tambang dan industri.Tak kalah penting adalah memperbaiki lingkungan tempat tinggal,
dan bagi penderita tidak mampu sedapat mungkin
menghindari dan mengobati penyakit infeksi saluran nafas secara dini.
Referensi:
1. National Heart, Lung, and Bethesda, COPD, U.S.Department of Health, 2003.
COR PULMONAL
Definisi Definisi terkini dari cor pulmonal meliputi cor pulmonal kronik dan cor pulmonal akut,
dan cor pulmonale kronik didefinisikan sebagai hipertrofi ventrikel kanan, dilatasi atau keduanya terkait dengan hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kelainan parenkim dan pembuluh darah paru, sehingga terjadi kelainan fungsi dan gangguan ventilasi paru. Patofisiologi
Hipertensi pulmoner ditandai dengan peningkatan tekanan arteri > 20 mmHg saat istirahat atau 30 mmHg saat aktivitas. Hipoksia kronik menyebabkan efek muskularisasi pada arteri pulmoner yaitu terjadi proliferasi otot polos pada tungkai intima arteri pulmonalis kecil sehingga meningkatkan resistensi vaskuler dan terjadi hipertensi pulmoner. Vasokonstriksi akibat hipoksia menimbulkan gangguan produksi dan regulasi nitric oxide (NO) sebagai agen vasodilator dari endotel vaskuler. Gangguan produksi NO menyebab proliferasi otot polos vaskuler, hipertrofi medial dan fibrosis tunika intima eksentrik yang merupakan kondisi yang ireversibel.
Mediator endothelin 1 adalah agen vasokonstriksi endogen yang kuat, yang dilepaskan oleh sel endotel pada kondisi hipoksia. Endothelial growth factors vaskuler dan platelet derived growth factors A dan B teraktivasi sehingga menyebabkan proliferasi sel endotel dan remodeling vaskuler paru.
Faktor yang menyebabkan kegagalan ventrikel kanan yaitu penurunan preload ventrikel kanan akibat hiperinflasi yang akan menurunkan venous return. Perfusi ventrikel kanan pada saat sistol ke arteri koronaria kanan menurun karena adanya peningkatan tekanan pada ventrikel
kanan. Ditambah lagi dengan adanya penurunan cardiac output akan menurunkan aliran perfusi koroner.Etiologi Cor pulmonal akut :
1. Emboli paru ( paling sering )2. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Cor pulmonal kronik :1. Penyakit paru obstruksi kronik2. Hipertensi pulmonal primer3. Poliomyelitis4. Kyphoscoliosis5. Sleep apnua syndrome
Gejala dan tanda klinis Gejala yang sering dijumpai adalah fatigue, takipnea, dispnea dengan aktivitas, batuk dan
nyeri dada akibat iskemik ventrikel kanan dan peregangan arteri pulmonalis. Hal lain yang dapat terjadi adalah hemoptosis, hoarseness, retraksi dinding dada, tanda gagal jantung kanan, edema perifer, splitting bunyi jantung dua. Pemeriksaan penunjang
1. Foto thoraxLebar arteri pulmonalis descending kanan > 16 mm menunjukkan hipertensi pulmonal, sedangkan descending kiri > 18 mm menunjukkan peningkatan tekanan arteri pulmoner.
2. ElektrokardiografiAksis bergeser ke kanan, R/S di V1 > 1, R/S di V6 < 1, P pulmonal di lead II,III dan AVF, S1 Q3 T3 pattern dan RBBB pada emboli paru, low voltage QRS karena hiperinflasi akibat PPOK, gel Q pada prekordial pada pasien gagal jantung kanan.
3. EchocardiografiPeningkatan tekanan arteri pulmonalis derajat berat dan pembesaran ventrikel kanan
4. Computed Tomografi5. Kateterisasi jantung6. Ventilation / Perfusion
Komplikasi Syncope, hipoksia, pedel edema, kongesti hepar dan kematianPenatalaksanaan
Pada kondisi gagal jantung kana akut akibat emboli paru : cairan cukup dan vasokonstriktorPada emboli paru massif : antikoagulan, agen trombolitik dan embolektomiOksigen jangka panjang bila PaO2 < 55 mmHg dan Saturasi O2 < 88%Diuretic untuk menurunkan tekanan ventrikel kanan maupun kiriCCB seperti diltiazem dan nifedipin menurunkan tekanan arteri pulmonerProstasiklin Warfarin
Daftar pustaka 1. Hisyam B. Kompendium - Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru, Jilid 1, PERPARI,
Bandung: 331 – 335, 20122. www.ccforum.com
3. www.google.com/imgresimgurl&imgrefurl
PENYAKIT JANTUNG PARU (KOR PULMONAL)
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Menurut Irman Sumantri (2009), Kor pulmonal adalah terjadinya pembesaran dari jantung kanan (dengan atau tanpa gagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang mempengaruhi struktur atau fungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya.
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau
penyakit jantung bawaan.
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Tidak semua pasien PPOK akan mengalami pulmonary heart disease, karena banyak usaha pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah arteri mendekati normal sehingga dapat mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin berat gangguan keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi ganguan analisis gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan begitu mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang menyebabkan terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Tuberculosis yang mengenai kedua lobus paru secara luas akan menyebabkan terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru sehingga menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease Kronik.
1. Anatomi Dan Fisiologi
Saluran pernafasan bagian atas terdiri atas :
1. Lubang hidung (cavum nasalis )
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung dibentuk oleh sebagian tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbrie) yang berfungsi sebagai penyaring
(filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lender sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Kita dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada cibriform plate, didalamnya terdapat ujung dari saraf krania I (nervous olfactorium)
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lender, dan enzim lozosim. Vibrissa adalah rambut vestibulum nasi yang bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada lapisan lender dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapat bakteri (partikel sangat kecil), maka enzim lizosim yang menghancurkannya.
1. Sinus para nasal
Sinus para nasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Dinamakan sesuai dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maxilaris. Sinus berfungsi untuk :
1) Membantu menghangatkan dan humidifikasi
2) Meringankan berat tulang tengkorak
3) Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi
1. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (+ 13 cm) yang letaknya bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion (menelan) seperti pada saat bernafas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (nasi-faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang (laringo-faring).
1. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitrlium lined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakea (di bawah). Lring terletak di anterior tulang belakang (vertebra) ke-4
dan ke-6. Bagian atas dari esophagus berada di posterior laring.
Fungsi utama laring adalah untuk pembetukan suara, sebagai protek jalan nafas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk. Laring terdiri atas :
1) Eoiglotis : katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
2) Glotis : lubang antara pita suara dan laring.
3) Kartilago tiroid : kartilago yang terbesar pada trachea, terdapat bagian yang membentuk jakun (adams apple).
4) Kartilago krikoid : cicin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago tiroid).
5) Kartilago aritenoid : digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid.
6) Pita suara : sebuah ligament yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.
Saluran pernafasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas :
1. Trachea
Trachea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang vertebrae torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkus. Ujung cabang trachea disebut carina. Trachea bersifat sangat fleksibel, berotot dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. pada cincin tersebut terdapat epitel bersilia tegak yang mengandung banyak sel goblet yang mensekresikan lender (mucus).
1. Bronchus dan bronkhiolus
Cabang bronchus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertical daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang bronchus sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronchus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting masuk ke setiap paru-paru. Bronchus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkiolus yang berakhir di alveoli tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus/lubang kecil yang terletak antar alveoli (kohn pores) yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernafasan mulai dari trakea sampai bronkiolus terminal tidak mengalami pertukaran dan merupakan area yang dinamakan anatomical dead space. Banyaknya udara yang berada dalam area tersebut adalah sebesar 150 ml. awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkeolus respiratorius.
1. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveolus merupakan kantong udara yang
berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli terdiri dari bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs. Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmoner dan alveoli.
1. Paru-paru
Paru-pau terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekita sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.
Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang sebut mediastinum. Jantung, aorta, vena cava, pembuluh paru-paru, esophagus bagian dari trachea dan bronchus, serta kelenjar timus terdapat pada mediastinum.
Sirkulasi pulmoner
Suplai darah ke dalam paru-paru merupakan suatu yang unik. Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi siatemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolism jaringan paru-paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronchus. Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju vena pulmonalis.
Kendali pernafasan
Fungsi mekanik pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-pau dinamakan ventilasi. Mekanisme tersebut dilaksanakan oleh sejumlah komponen factor yang saling berinteraksi. Factor tersebut mengendalikan proses masuknya udara ke dalam paru-paru agar pertukaran gas dapat berlangsung. Factor yang dapat mengendalikan pernafasan adalah :
1. Factor local
Kondisi paru itu sendiri dan dinding dada yang mengelilingi paru-paru, dimana keduanya berperan dalam pompa resiprokatif (timbale balik) yang disebut hembusan nafas.
1. Control medulla oblongata
Sebagai pusat control pernafasan, terdapat daerah ritmik medulla oblongata yang terdiri dari neuron inspirasi dan ekspirasi.
1. Control pons
Mengatur transisi dari fase inspirasi ke ekspirasi
1. Reflek hering –breur
Reseptor yang mengatur tingkat peregangan paru-paru sebagai pelindung agar tidak terjadi pengembangan yang berlebihan.
1. Kendali korteks
Kendali korteks terbatas yaitu hanya dapat mengubah ritmik sebagai proteksi terhadap paru-paru.
1. Efek latihan jasmani
Olahraga berat menyebabkan penggunaan O2 lebih besar dan poduk CO2 lebih besar pula.
1. efek altitude/ ketinggian
tempat ketinggian akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen atmosfer, akibatnya seseorang yang berada pada tempat tinggi akan mengalami peningkatan ritme nafas, denyut jangtung, dan kedalaman pernafasan yang lazim terlihat pada seseorang yang sedang melakukan aktivitas.
Fisiologi pernafasan
Proses respirasi dapat dibagi menjadi tiga proses utama :
1. ventilasi pulmonal adalah proses keluar masuknya udara dan atmosfer dal alveoli paru-paru
2. difusi adalah proses pertukaran O2 dan Co2 antara alveoli dan darah3. transfortasi adalah proses beredarnya gas dalam darah dan cairan tubuh ked an dari sel-
sel
Proses fisiologi respirasi dibagi menjadi tiga stadium yaitu :
1. difusi gas-gas antara alveolus dengan kapiler paru-paru dan darah sistemik dengan sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah adalah sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik O2 dan CO2 dengan darah
Proses repirasi eksternal
1. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru dikarenakan adanya selisih tekanan udara di atmosfer dan alveolus dan didukung oleh kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume rongga dada bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot serratus, otot skaleneus, dan otot interkostalis eksternus berperan mengangkat iga, sedangkan otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas.
1. Difusi
Stadium kedua proses respirasi mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane antara alveolus-kapiler yang tipis. Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan tekanan laut yakni + 149 mmHg.
Pada waktu O2 diinspirasi dan sampai pada alveolus, tekanan parsial ini mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg sebagai akibat dari udara yang tercampur dengan ruang rugi anatomis pada saluran udara dan dengan uap air.
1. Transportasi
Transportasi gas antar paru-paru dan jaringan meliputi proses-proses berikut ini :
1) Transport oksigen dalam darah
Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri atas paru-paru dan sistem kardiovaskuler.
2) Transport karbonsioksida dalam darah
3) Kurva disosiasi oksihemoglobin
Oksihemoglobin adala struktur terikatnya oksigen pada hemoglobin.
1. Etiologi
Banyak penyakit yang mempengaruhi paru dan hubungan dengan hipoksemia dapat menyebabkan kor pulmonal disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
1. Penyakit paru-paru merata
Terutama emfisema, bronchitis kronis (COPD), dan fibrosis akibat TB
1. Penyakit pembuluh darah paru
Terutama thrombosis dan embolus paru dan fibrosis akibat penyinaran yang menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah paru.
1. Hipoventilasi alveolar menahun
Yaitu semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, seperti :
1) Penebalan pleura bilateral
2) Kelainan neuromuskuler, misalnya poliomyelitis dan distrofi otot
3) Kifoskoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasistas rongga torak sehingga pergerakan torak berkurang
1. Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :
1) Penyakit paru menahun dengan hipoksia :
a) Penyakit paru obstrutif kronik,
b) Fibrosis paru,
c) Penyakit fibrokistik,
d) Cryptogenic fibrosing alveolitis,
e) Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
2) Kelainan dinding dada : Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis pleura
Penyakit neuromuscular
3) Gangguan mekanisme control pernafasan :
Obesitas, hipoventilasi idopatik,
Penyakit serebro vascular.
4) Obstruksi saluran nafas atas pada anak :
a) Hipertrofi tonsil dan adenoid.
5) Kelainan primer pembuluh darah :
Hipertensi pulmonale primer emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.
(nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id)
1. Klasifikasi
Secara umum kor pulmonal di bagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut
1. Kor pulmonal akut
Yaitu dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.
Etiologi : embolus multiple pada paru-paru atau massif yang secara mendadak akan menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.
Gejala : biasanya segera di susul oleh kematian, Terjadi dilatasi dari jantung kanan.
1. Kor pulmonal kronik
Merupakan jenis kor pulmonal yang paling sering terjadi. Dinyatakan sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat penyakit paru atau pembuluh darah atau adanya kelainan pada torak, yang akan menyebabkan hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.
Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu :
1. Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru.
1. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.
1. Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam pathogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.
1. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale primer yang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofitunikamedia, fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui Waupun sering di kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.
1. Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada kor pulmonal berbaring lurus dengan fungsi pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat dan relative tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan curah jantung sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume paru membesar, seperti pada penyakit COPD, pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi kapiler alveolar.
Pathway
Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada suatu waktu akan mempengaruhi jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi ini sering kali menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan penurunan oksigenasi paru dapat mengakibatkan hipoksemia (penurunan PaO2) dan hiperkapnea (peningkatan PaO2), yang nantinya akan mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea akan menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan vaskularisasi paru seperti pada emfisemi dan emboli paru. Akibatnya akan terjadi peningkatan tahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya hipertensi pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri paru (arterial mean pressure) adalah 45 mmHg, jika tekanan ini meningkat dapat menimbulkan kor pulmonal. Ventrikel kanan akan hipertropi dan mungkin diikuti oleh gagal jantung kanan.
1. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang muncul pada klien dengan penyakit kor pulmonal adalah sebagai berikut.
1. Sesuai dengan penyakit yang melatarbelakangi, misalnya COPD akan menimbulkan gejala nafas pendek, dan batuk.
2. Gagal ventrikel kanan akan muncul, distensi vena leher, liver palpable , efusi pleura, asites, dan murmur jantung.
3. Sakit kepala, confusion, dan somnolen terjadi akibat peningkatan PCO2.
Informasi yang di dapat bisa berbeda-beda antara satu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
3. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah.
Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala – gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen.
Gejala- gejala tambahan ialah: Sianosis, Kurang tanggap/ bingung, Mata menonjol
1. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologi
Perluasan hilus dapat dinilai dari perbandingan jarak antara permulaan percabangan pertama arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dibagi dengan diameter transversal torak. Perbandingan > 0,36 menunjukkan hipertensi pulmonal.
Batang pulmonal dan hilus membesar
1. Ekokardiografi
Memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan, meskipun perubahan volume tidak dapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan pembesaran kavitas ventrikel kanan dalam yang menggambarkan adanya pembesaran ventrikel kiri. Septum interventrikel dapat bergeser ke kiri.
1. Magnetic resonance imaging (MRI)
Berguna untuk mengukur massa ventrikel kanan, ketebalan dinding, volume kavitas, dan fraksi ejeksi.
1. Biopsi paru
Dapat berguna untuk menunjukkan vaskulitis pada beberapa tipe penyakit vaskuler paru seperti penyakit vaskuler kolagen, arthritis rheumatoid, dan Wegener granulomatosis.
1. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari penatalaksanaan adalah peningkatan ventilasi klien dan mengobati penyakit yang melatarbelakangi beserta manifestasi dari gagal jantungnya.
Secara umum penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Pada klien dengan penyakit asal COPD dapat diberikan O2 pemberian O2 sangat dianjurkan untuk memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal.
2. Bronchial hygiene, diberikan obat golongan bronkodilator.3. Jika terdapat gejala gagal jantung, maka harus memperbaiki kondisi hipoksemia dan
hiperkapnea.4. Bedrest, diet rendah sodium, dan pemberian diuretic5. Digitalis, bertujuan untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan denyut jantung,
selain itu juga mempunyai efek digitalis ringan.6. Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:
1. Sinkope2. Gagal jantung kanan3. Edema perifer4. Kematian5. Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
1. Pencegahan Menghindari perilaku yang mengarah pada penyakit paru-paru kronis (terutama
merokok) dapat mencegah perkembangan akhir cor pulmonale. Evaluasi seksama murmur jantung anak dapat mencegah cor pulmonale yang disebabkan oleh cacat jantung tertentu.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth)
Gambar 1. Anatomi jantung a. Sisi anterior, b. Potongan Frontal 1
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa tiap ventrikel per menit.
Pada keadaan normal (fisiologis) jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel
kanandan ventrikel kiri sama besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi penimbunan darah
ditempat tertentu. Jumlah darah yang dipompakan pada setiap kali sistolik disebut volume
se kuncup . De ngan demi k ian cu rah j an t ung = vo lume
se kuncup x f r ekuens i denyu t jantung per menit. Umumnya pada tiap sistolik ventrikel
tidak terjadi pengosongan total ven t r i ke l , h anya se bag ia n da r i i s i ven t r i ke l
yang d ike l ua rkan . Jum lah da rah yang tertinggal ini dinamakan volume residu.
Besar curah jantung seseorang tidak selalusama, bergantung pada keaktifan tubuhnya.
Curah jantung orang dewasa pada keadaan i s t i r a ha t l eb i h ku rang
5 l i t e r dan dapa t men i ngka t a t a u menurun da l a m be rbaga i keadaan.1
Pada saat jantung normal dalam keadaan istirahat, maka pengaruh sistem parasimpatis
dominan dalam mempertahankan kecepatan denyut jantung sekitr 60 hingga 80 denyut per
menit. Kecepatan denyut jantung dalam keadaan sehat dipengaruhi oleh pekerjaan, tekanan
darah, emosi, cara hidup, dan umur. Pada keadaan normal jumlah darah yang
dipompakanoleh ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama sehingga tidak terjadi penimbunan.1
2.2 Definisi
Istilah kor pulmonal masih sangat populer dalam literatur medis, namun definisinya masih
bervariasi. Kira-kira empat puluh tahun yang lalu WHO mendefinisikan kor pulmonal sebagai
“hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh penyakit yang mempengaruhi fungsi dan/ atau
struktur paru-paru”. Definisi ini nyatanya memiliki nilai terbatas dalam klinis praktis. Sehingga
diajukan untuk mengganti istilah “hipertrofi” dengan “perubahan pada struktur dan fungsi
ventrikel kanan”. Terdapatnya edema dan gagal napas juga diajukan untuk menetapkan adanya
kor pulmonal secara klinis.2
Kor pulmonal disebabkan oleh hipertensi pulmonal yang diakibatkan oleh penyakit yang
menyerang paru atau vaskularisasinya. Hipertensi pulmonal menghasilkan pembesara
pembesaran ventrikel kanan (hipetrofi atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu
menjadi gagal jantung kanan. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab
utama insufisiensi respirasi kronik, kira-kira 80-90% kasus. Penyakit jantung kanan yang
disebabkan oleh penyakit primer pada jantung kiri atau penyakit jantung kongenital tidak
diperhitungkan. 3
Sebagian besar kondisi yang menyebabkan kor pulmonal bersifal kronik dan progresif
lambat, namun pasien bisa datang dengan gejala akut dan membahayakan jiwa. Dekompensasi
mendadak tersebut muncul ketika ventrikel kanan tidak mampu mengkompensasi pada
pemaksaan kebutuhan tambahan yang tiba-tiba, yang diakibatkan oleh progresifitas dari penyakit
dasar atau proses akut yang makin berat.3
2.3 Epidemiologi
Walaupun prevalensi PPOK di Amerika Serikat adalah kira-kira 15 juta, prevalensi pasti
dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan, karena ia tidak muncul pada semua kasus PPOK, serta
karena kurang sensitifnya pemeriksaan fisik dan uji rutin untuk deteksi hipertensi pulmonal. Kor
pulmonal diperkirakan terdapat sebanyak 6-7 % dari semua jenis penyakit jantung dewasa di AS,
dengan PPOK akibat bronkhitis kronik atau emfisema sebagai faktor kausatif pada lebih dari
50% kasus. Secara global, insiden kor pulmonal bervariasi antar negara, tergantung pada
prevalensi merokok, polusi udara, dan faktor risiko lain terkait penyakit paru-paru.4
2.4 Etiologi
Kor pulmonal kronik adalah keadaan disfungsi yang diakibatkan oleh berbagai etiologi dan
mekanisme patofisiologi (tabel 1) :
a. Vasokonstriksi paru ( sekunder dari hipoxia alveolar atau asidosis)
b. Reduksi anatomi dari dasar pembuluh darah paru (emfisema, emboli paru, dll)
c. Peningkatan viskositas darah (polisitemia, sickle-cell disease, dll)
d. Peningkatan aliran darah paru
Penyebab paling banyak pada kor pulmonale kronik adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) meliputi bronkitis kronik atau emfisema. Pada pasien PPOK tejadi peningkatan insidensi
dari kelainan ventrikel kanan yang berhubungan dengan peningkatan keparahan dari disfungsi
paru. Contohnya hipertropi ventrikel kanan yang terjadi sebanyak 40% pada pasien dengan FEV
< 1.0 L dan pada 70% dengan FEV1<0.6 L.
Etiologi dari kor pulmonal kronik
a. Hipertensi arteri pulmonal
a. Hipertensi pulmonal primer
a. Sporadik
b. Familial
b. Berhubungan dengan :
a. Penyakit kolagen vaskular
b. Kelainan kongenital pada pulmonary shunts
c. Hipertensi portal
d. Infeksi HIV
e. Obat-obatan / racun
f. Hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir
g. Dan lain-lain
b. Hipertensi vena pulmonal
a. Penyakit jantung ventrikular atau atrium kiri
b. Penykait katup jantung bagian kiri
c. Kompresi ekstrinsik dari vena sentral pulmonal (fibrosis mediastinitis, tumor atau adenopati)
d. Penyakit sumbatan vena pulmonal
e. Dan lain-lain
c. Hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan kelainan sistem respirasi dan atau hipoksemia
a. PPOK
b. Penyakit paru intersisial
c. Gangguan bernafas saat tidur
d. Kelainan hipoventilasi alveolar
e. Penyakit paru pada neonatus
f. Displasis pembuluh darah kapiler alveolar
g. Dan lain-lain
d. Hipertensi pulmonal karena trombosis kronik dan atau penyakit emboli
a. Obstruksi tromboemboli pada arteri pulmonal proksimal
b. Obstruksi pada arteri pulmonal distal
i. Emboli paru (trombus, tumor dan benda asing)
ii. Trombosis in situ
iii. Sickle cell disease
e. Hipertensi pulmonal
a. Inflamasi
b. Skistosomiasis
c. Sarkoidosis
d. Dan lain-lain
2.5 Patofisiologi
Kelainan fisiologis pada kelompok penyakit ini berhubungan dengan fungsi respirasi dan
dapat juga berhubungan dengan hemodinamik pada sirkulasi pulmonal yang dapat
diklasifikasikan sebagi berikut :
Gangguan fungsi respirasi
Penurunan fungsi respirasi yang berhubungan dengan 4 bagian :
a. Kelainan ventilasi obstruksi
Kelainan seperti obstruksi aliran udara pada trakeobronkhial.
b. Kelainan ventilasi penyempitan
Kelainan reduksi dari kapasitas ventilator tanpa obstruksi dari aliran udara
c. Kelainan pada difusi udara pulmonal
Kelainan pertukaran udara antara alveoli dan kapiler darah pulmonal yang berhubungan dengan
kelainan anatomi atau fungsional.
d. Reduksi pada rasio ventilasi dan perfusi
Hasil akhir dari kelainan fungsional jantung dan paru terlihat dari tekanan oksigen dan
karbondioksida darah arteri. Interaksi beberapa gangguan pada fungsi terlihat pada beberapa
penyakit, contohnya pada bronkitis kronik dengan emfisema pada gangguan obstruksi ventilasi
udara tapi ini berhubungan dengan tingkat kerusakan pada difusi udara pada pulmonal dan
reduksi pada rasio ventilasi dan perfusi. Pada fibrosis pulmonal yang berat kelainan yang terjadi
berupa restriksi pada ventilasi udara tapi bisa juga berhubungan dengan reduksi pada difusi udara
dan rasio perfusi ventilasi.
Kelainan hemodinamik pda sirkulasi pulmonal
Resistensi pembuluh darah pulmonal pada tekanan darah dan aliran darah dapat berhubungan
dengan kerja pada ventikel kanan. Hipertopi ventrikel kanan pada kor pulmonale kronik berasal
dari peningkatan kerja yang behubungan dengan berubahnya hemodinamik pada sirkulasi paru.
Seperti mekanisme yang trjadi pada orang normal saat berolahraga. Dimana terjadi perubahan
aliran dan tekanan untuk mengkompensasi kebutuhan tubuh. Peningkatan resistensi pembuluh
darah paru dapat berhubungan dengan :
a. Obstruksi pada pembuluh darah pulmonal
Seperti pada trombosis, emboli mengakibatkan perubahan yang terjadi pada dinding pembuluh
darah yang akhirnya terjadi tekanan dari luar ke dinding pembuluh darah.
b. Reduksi ukuran dari dasar pembuluh kapiler pulmonal yang terjadi pada reseksi paru atau
emfisema.
c. Perubahan fungsional dimana terjadi perubahan pada kemampuan pembuluh darah pulmonal
dan efeknya yang berhubungan antara kapasitas pada dasar pembuluh darah dan aliran darah atau
volume.
Faktor penyebab yang bervariasi akan menghasilkan peningkatan resistensi pembuluh darah
pulmonal yang berhubungan dengan bervariasinya derajat penyakit yang terjadi berdasarkan
penyakit primer yang mendasari tersebut. Perubahan “Fungsional” tampak pada seringnya terjadi
hipoksemi yang berhubungan dengan kelainan pada fungsi respirasi. Faktor-faktor penting
lainnya bisa terjadi pda tekanan karbondioksida adanya shunts dan faktor darah itu sendiri yang
membuat terjadinya perubahan pada jantung dan paru.
Pada banyak kasus, mekanisme terjadinya kor pulmonal kronik berhubungan juga dengan
hipertensi pulmonal. Pada emfisema, contohnya, banyak kombinasi dari penyebab penyakit ini
yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit kor pulmonale kronik. Yaitu seperti terjadinya
kompresi pembuluh darah kapiler dengan peningkatan tekanan intraalveolar, vasokonstriksi
sekunder hingga terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia, hipervolemia dan polisitemia dan
peningkatan output jantung.
Pada bronkitis akan menyebabkan terjadinya hipoventilasi alveolar, peningkatan efek dari
hipoksemia dan hiperkapnia. Kelainan ini dapat terlihat pada fungsi respirasi dan resistensi
pembuluh darah pulmonal yang sering terjadi pada penyakit yang sama. Penyakit yang
mendasari ini yang dapat saling berkorelasi sehingga menjadi penyakit kor pulmonal kronik.
Curah jantung dari ventrikel kanan dann kiri disesuaikan dengan preload, kontraktilitas dan
afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat
terjadi aliran balik vena yang meningkat mendadak ( seperti saat menarik napas).6
Peningkatan afterload akan menyebabkan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan. Hal
ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan pembuluh darah itu
sendiri maupun akibat kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat
terjadi karena hiperinflasi paru akibat PPOK dimana terjadi kompresi kapiler alveolar dan
perubahan ukuran pembuluh darah paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika volume paru
turun mendadak akibat reseksi paru. Pada retriksi paru ketika pembuluh darah mengalami
kompresi dan berubah bentuk maka dapat juga terjadi peningkatan afterload ventrikel kanan.
Dapat juga terjadi peningkatan afterload ventrikel kanan pada vasokonstriksi paru dengan
hipoksia atau asidosis.6
Perubahan hemodinamik kor pulmonal paru pada PPOK dari normal menjadi hipertensi
pulmonal, kor pulmonal dan akhirnya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal jantung. 6
Teori yang lain dapat diterima yaitu terjadinya kor pulmonale kronik adalah karena
terjadinya hipoksia alveolar yang mendasari terjadinya remodeling pada dasar pembuluh darah
paru ( hipertropi pada otot pada pembuluh darah kapiler paru, pembentukan otot pada pembuluh
darah arteriol pada paru dan fibrosis pada tunika intima) bergabung dengan kelainan lainnya.
Remodelling ini akan membuat peningkatan resistensi pembuluh darah paru dan akhirnya
menjadi hipertensi pulmonal. Seringnya remodelling pada pembuluh darah paru dapat dilihat
pada pasien PPOK non hipoksemia dengan derajat penyakit sedang hingga berat. Faktor
fungsional lainnya akan saling berhubungan. Seperti terjadinya asidosis hiperkapnia dan
hiperviskositas yang disebabkan oleh polisitemia.7
Pada idiopatik fibrosis pulmonal peningkatan resistensi pembuluh darah paru dikarenakan
faktor anatomis seperti terjadinya kerusakan dasar pembuluh darah paru atau kompresi arteriol
dan kapiler oleh karena proses fibrosis. Hipertensi pulmonal meningkatkan kerja ventrikel kanan
dimana akan menyebabkan terjadinya pembesaran ventrikel kanan (hipertropi dan dilatasi) yang
akhirnya akan terjadi disfungsi ventrikular (sistolik dan diastolik). Yang akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan. Dapat terlihat pada terjadinya udem perifer.
Interval onset antara hipertensi pulmonal dan terjadinya gagal jantung kanan dapat bervariasi
pada tiap pasien.7
2.6 Diagnosis7
A. Anamnesis
Tidak ada gejala klinis yang khas yang terjadi berhubungan dengan hipertropi ventrikel kanan.
Gejala klinis yang terlihat adalah berupa hipertensi pulmonal, termasuk adanya dispnu saat
beraktivitas, fatig, letargi, nyeri dada dan sinkope.
Fatig, letargi dan sinkope saat beraktivitas merupakan pengaruh dari peningkatan output
jantung selama tekanan saat beraktivitas tersebut karena obstruksi pembuluh darah pada arteriol
paru. Angina tipikal akan dapat terlihat. Mekanisme terjadinya angina belum terlalu jelas, sesuai
dengan tekanan pada arteri dan iskemik ventrikel kanan yang dapat terlihat. Iskemik ventrikel
kanan dapat diakibatkan oleh hipoksemia selama beraktivitas sehingga dapat terjadinya angina
Diagnosis kor pulmonal ditegakkan dengan menemukan tanda PPOK; asidosis dan
hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah, hipertensi pulmonal (diketahui
dengan adanya gambaran EKG P pulmonale dengan deviasi aksis ke kanan. Pada foto Thoraks
terdapat pelebaran cabang paru di hilus), hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung
kanan (ditegakkan dengan adanya peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites
maupun edema tungkai). 2
Anamnesis mungkin ditemukan adanya sesak nafas, riwayat batuk yang sudah lama,
batuk berdarah dan nyeri dada.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada Kor Pulmonale Kronik dapat dideteksi dari hipertensi pulmonal dan hipertropi ventrikel
kanan, terkadang dapat berhubungan dengan kegagalan fungsi ventrikel kanan. Peningkatan
intensitas dari komponen pulmonal pada suara jantung, akan dapat dipalpasi. Pada auskultasi
jantung dapat terdengar adanya murmur sistolik ejeksi, pada derajat penyakit yang lebih parah
dapat terdengar adanya murmur regurgitasi diastolik pumonal. Hipertropi ventrikel kanan terlihat
pada prominent gelombang A pada pulsasi vena jugular. Kegagalan ventrikel kanan akan
menyebabkan terjadinya hipertensi vena sistemik. Sehingga dapat terjadi peningkatan tekanan
vena jugular dengan prominen gelombang V, suara ketiga ventrikel kanan dan high-pitched
tricuspid regurgitant murmur. Murmur pada ventrikel kanan dan galop terdengar pada saat
inspirasi. Pada emfisema yang berat, peningkatan diameter AP (anteroposterior) dada sehingga
membuat auskultasi akan susah didengar dan perubahan posisi impulse ventrikel kanan.
A. Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan.
Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut
300. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya 5-2 cm) dengan
memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini,
tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara
abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif).
Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
B. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Jika ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama
systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi
peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada CPC, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti
hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
C. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada gagal jantung kanan, namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer
biasanya sistemik dan dependen pada CPC dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan
pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema
dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan
dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
Udem pada pasien Kor Pumonale Kronik pada PPOK yang berat berhubungan dengan gagal
jantung kanan, pada pasien yang lain udem dapat terjadi tanpa diikuti gejala gagal jantung kanan.
Hiperkapnia dapat terjadi. Berhubungan dengan adanya retensi Na pada tubuh pasien.
C.Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung kanan
telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati, ginjal dan lain-lain.
Gejala yang jarang terjadi berhubungan dengan hipertensi pulmonal : batuk, hemoptisis,
hoarseness ( penekanan nervus laringeal dengan dilatasi arteri pulmonal) Kegagalan jantung
kanan yang berat dapat menyebabkan terjadinya kongesti hepatik yang akhirnya dapatt
terjadinya anoreksi dan rasa tidak nyaman pada kuadran kanan atas perut.
D. Pemeriksaan Penunjang
1.Rontgen dada
Karakteristik pada rontgen pada hipertensi arteri pulmonal terlihat adanya pemebsesaran
pada sentral arteri pulmonal. Pada 95% pasien dengan PPOK dan hipertensi pulmonal, diameter
dari cabang kebawah arteri pulmonal kanan adalah lebih besar 20mm. Gagal jantung kanan akan
terlihat ventrikular kanan dan dilatasi atrial kanan pada rontgen dada. Pembesaran ventrikular
menyebabkan penurunan ukuran retrosetenal. Bagaimanapun, beberapa kelainan yang bisa
ditemukan ini dapat juga ditemukan pada kifosis, hiperinflasi paru, pembesaran ventrikular kiri,
atau penyakit paru intersisial.
2. Elektrokardiogram
Akan terlihat tanda hipertropi ventrikel kanan. Yaitu deviasi aksis kanan dan rasio R/S lebih
dari 1 pada lead V1, peningkatan amplitudo gelombang P pada lead II (P pulmoale) merupakan
tanda pembesaran atrium kanan, inkomplit atau komplit Right Bundle Branch Block, pada akut
kor pulmonale, dengan emboli pulmonale akut, akan terlihat gambaran klasik pada gelombang S
di lead I denan Q dan T inverted pada lead III.
3. Dopler ekokardiografi
Merupakan pemeriksaan noninvasif pada penilaian tekanan arteri pulmonal. Ini merupakan
tekhnis dengan menghitung fungsional trikuspid insufisiensi yang selalu ada pasien dengan
hipertropi atrium. Maksimum regurgitasi trikuspid jet velocity akan terekam dan tekanan arteri
pulmonal akan dikalkulasikandengan rumus Bernoulli.
4. Tes fungsi paru
Pada pasien dengan riwayat penyakit paru dengan fungsi jantung normal. Pada penyakit paru
intersisial yang berat (dengan volume paru dibawah 50%normal) hipertensi pulmonale sekunder,
sewaktu restriksi sedang akan menyebabkan terjadinya hipertensi arteri pulmonal itu sendiri.
5. Biopsi Paru
Pemeriksaan patologik sering dilakukan pada intra-operative untuk melihat ireversibel arteri
pulmonal. Kateterisasi jantung pada pembuluh darah pulmonal yang resisten dan respon
vasodilator yang adekuat dapat membantu terapi yang akan dilakukan.
2.7 Tatalaksana
Terapi pengobatan untuk kor pulmonal kronik adalah lebih terfokus kepada pengobatan pada
penyakit paru yang mendasari terjadinya kor pulmonal dan memperbaiki oksigenasi dan fungsi
venrikel kanan (RV) dengan meningkatkan kontraktilitas RV dan menurunkan vasokonstriksi
paru paru.4
Terapi suportif kardiopulmonal pada pasien yang mengalami kor pulmonal akut dengan
akibat kegagalan ventrikel kanan ialah pemberian cairan dan vasokonstriktor (contohnya :
epinefrin) supaya tekanan darah dapat dipertahankan. Terapi oksigen, diuretik, vasodilator ,
digitalis, teofilin dan terapi antikoagulasi diberikan untuk manajemen jangka panjang kor
pulmonal. 4
Terapi untuk kor pulmonal kronik : 4,6
(1) Terapi oksigen adalah penting untuk pasien yang mempunyai penyakit paru obstruktif yang
mendasari CPC contohnya PPOK Biasanya pada CPC PaO2 adalah dibawah 55 mmHg.Terapi
oksigen akan meredakan vasokonstriksi paru kemudian akan meningkatkan kardiak output dan
memperbaiki hipoksemia jaringan dan memperbaiki fungsi renal
(2) Terapi diuretik digunakan untuk menurunkan pengisian volume ventrikel kanan (RV) pada
pasien CPC dan juga pada penyakit berhubungan dengan edem perifer .Agen ini akan
meningkatkan fungsi pada kedua belah ventrikel tetapi diuretic mungkin menyebabkan efek
terbalik hemodinamik ketika tidak digunakan dengan hati–hati. Pengeluaran cairan yang banyak
dapat menurunkan kardiak output . Selain itu bisa juga menyebabkan hipokalemia ketika cairan
banyak dikeluarkan .
(3) Terapi vasodilator
Terapi nifedipine dan diltiazem akan menurunkan tekanan pulmonar.Selain itu ada juga
digunakan kelas vasodilator yang lain yaitu agonis beta ,nitrat dan angiotensin –coverting
enzyme (ACE) tetapi pada umumnya vasodilator gagal menunjukkan perbaikan pada pasien
yang dating dengan PPOK jadi tidak rutin digunakan
(4) Agen glikosida kardiak
Penggunaan agen glikosida kardiak seperti digitalis pada pasien kor pulmonal .Agen ini
digunakan dengan hati- hati dan tidak digunakan pada kejadian fase akut insuffisiensi
respiratorik dengan level fluktuasi hipoksia dan asidosis .Pasien yang mengalami
hipoksemia atau asidosis adalah meningkat resiko untuk terjadi nya aritmia .
(5) Teofilin
Pada efek bronkodilator teofilin di dapatkan dapat menurun kan resistensi vaskular pulmonal
dan tekanan arteri pulmonar pada pasien CPC yang didasari oleh PPOK.Theofilin merupakan
efek inotropik lemah dan dengan ini meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri.Dosis
rendah teofilin juga di cadangkan untuk efek anti inflamasi yang membantu untuk control
penyakit mendasari paru seperti PPOK
(6) Warfarin
Antikoagulasi dengan terapi warfarin di rekomendasikan pada pasien yang memiliki resiko
tinggi terjadinya tromboembolisme.,Pada kebaikan antikoagulasi ini meningkat perbaikan
symptom pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonary (PAH).
(7) Flebotomi
Diindikasikan pada pasien dengan CPC dan hipoksia kronik yang disebabkan oleh polisitemia
,yang dpapat didefinisikan ketika hematokrit 65% astau lebih .Flebotomi digunakan untuk
menurunkan tekanan arteri pulmonar yang jelas dan menurunkan resistensi vaskular
pulmonar .Tetapi tiada bukti peningkatan survival hidup
2.8 Komplikasi
Komplikasi pada kor pulmonal ialah sinkop, hipoksia, kongesti hepatik pasif dan kematian. 4
2.9 Prognosis
Prognosis CPC bervariasi dengan penyakit patologi yang mendasarinya .Perkembangan pada
CPC adalah akibat dari penyakit pulmonar primer biasanya memiliki prognosis yang lebih
buruk .Sebagai contoh ,pasien dengan PPOK yang memicu terjadi nya CPC memiliki 30% 5
tahun survival hidup. 4
Prognosis pada kejadian akut yang disebabkan oleh embolisme pulmonar masif atau
penyakit acute respiratory distress syndrome (ARDS) tidak menunjukkan pergantungan ada atau
tidak disertai dengan CPCD.Terdapat beberapa faktor yang mungkin menyebabkan mortaliti
dalam rumah sakit termasuk yaitu : 4
-Usia melebihi 65 tahun
-tirah baring lebih dari 3 hari
-Sinus Takikardia
-Takipnu
BAB III
PENUTUP
Istilah kor pulmonal masih sangat populer dalam literatur medis, namun definisinya
masih bervariasi. Kira-kira empat puluh tahun yang lalu WHO mendefinisikan kor pulmonal
sebagai “hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh penyakit yang mempengaruhi fungsi
dan/ atau struktur paru-paru”. Definisi ini nyatanya memiliki nilai terbatas dalam klinis praktis.
Sehingga diajukan untuk mengganti istilah “hipertrofi” dengan “perubahan pada struktur dan
fungsi ventrikel kanan”. Terdapatnya edema dan gagal napas juga diajukan untuk menetapkan
adanya kor pulmonal secara klinis.
Tidak ada gejala klinis yang khas yang terjadi berhubungan dengan hipertropi ventrikel
kanan. Gejala klinis yang terlihat adalah berupa hipertensi pulmonal, termasuk adanya dispnu
saat beraktivitas, fatig, letargi, nyeri dada dan sinkope. Anamnesis mungkin ditemukan adanya
sesak nafas, riwayat batuk yang sudah lama, batuk berdarah dan nyeri dada.
Pada Kor Pulmonale Kronik dapat dideteksi dari hipertensi pulmonal dan hipertropi
ventrikel kanan, terkadang dapat berhubungan dengan kegagalan fungsi ventrikel kanan.
Peningkatan intensitas dari komponen pulmonal pada suara jantung, akan dapat dipalpasi. Pada
auskultasi jantung dapat terdengar adanya murmur sistolik ejeksi, pada derajat penyakit yang
lebih parah dapat terdengar adanya murmur regurgitasi diastolik pumonal. Hipertropi ventrikel
kanan terlihat pada prominent gelombang A pada pulsasi vena jugular.
Pemeriksaan Penunjang meliputi rontgen dada ,elektrokardiogram, Dopler ekokardiografi
,tes fungsi paru dan biopsi paru .
Terapi pengobatan untuk kor pulmonal kronik adalah lebih terfokus kepada pengobatan pada
penyakit paru yang mendasari terjadinya kor pulmonal dan memperbaiki oksigenasi dan fungsi
venrikel kanan (RV) dengan meningkatkan kontraktilitas RV dan menurunkan vasokonstriksi
paru paru.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of anatomy and physiology fifth edition. 2007. F.A
Davis company. Philadelphia. Hal. 274-278, 296
2. Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Heart. 2003; 89: 225-30.
3. Bhattacharya A. Cor Pulmonale. JIACM. 2004;5(2): 128-36.
4. Sovari AA, Cor pulmonale overview of cor pulmonale management. diakses dari http://
emedicine.medscape.com/article/165139-overviev pada 20 Juli 2013.
5. American Heart Association. Chronic cor pulmonale : Report of an expert comittee.
1963. hal 594-615
6. Harun S., Ika PW. Kor pulmonal kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III
edisi IV. 2008. Hal. 1695-96.
7. Shujaat A. et al. Pulmonary hypertension and chronic cor pulmonale in COPD.
International journal of COPD. 2007:2(3) 273-282.
top related