case report demam rematik dr bukit mmartha
Post on 15-Jan-2016
49 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat
akut, subakut, kronik, atau fulminan, terjadi setelah infeksi Streptococcus beta
hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini akan
menimbulkan gejala sisa (sekuele) yaitu penyakit jantung rematik. Demam
rematik dan penyakit jantung rematik hingga saat ini masih menjadi masalah
kesehatan yang penting di negara-negara yang sedang berkembang.
Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan
penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika,
Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai
12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000.
Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an
berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India
Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka
yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dan angka tersebut, mengingat
penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.
Infeksi saluran kemih (ISK)/ urinary tract infection (UTI), pada anak sering
ditemukan dan merupakan penyebab kedua morbiditas penyakit infeksi pada anak,
sesudah infeksi saluran napas. Prevalensi pada anak wanita berkisar 3-5% dan pada anak
pria ± 1%. Infeksi oleh bacteria Gram negative enterokokus merupakan penyebab
terbanyak, tetapi virus dan fungus dapat juga ditemukan pada beberapa penderita. Infeksi
berulang sering terjadi pada penderita yang rentan, atau terjadi karena adanya kelainan
anatomik atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan adanya stasis urin atau
refluks, sehingga perlu pengenalan dini dan pengobatan yang adekuat untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
1
1.2. Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas tentang demam rematik dan ISK berupa
defenisi, epidemialogi, etiologi, patogenesis, diagnosis, terapi dan prognosa.
1.2. Tujuan Penulisan
Dapat menegakkan diagnosa dan mampu menatalaksana pasien Demam
Rematik dan ISK dengan baik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM REMATIK
a. Defenisi
Demam rematik adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi
kuman Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara
akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans akut, karditis, korea sydenham, nodul subkutan dan eritema marginatum.
b. Epidemiologi
Demam rematik masih sering didapati pada anak di Negara sedang
berkembang dan inseden tertinggi kejadian demam rematik mengenai anak usia
antara 5 – 15 tahun. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di
Indonesia untuk tahun 1981 – 1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah
dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya 5,13. Statistik rumah
sakit di negara sedang berkembang menunjukkan sekitar 10 – 35 persen dari
penderita penyakit jantung yang masuk kerumah sakit adalah penderita DR dan
PJR. Data yang berasal dari negara berkembang memperlihatkan mortalitas
karena DR dan PJR masih merupakan problem dan kematian karena DR akut
terdapat pada anak dan dewasa muda.
c. Patogenesis Demam Rematik
Demam rematik adalah suatu penyakit peradangan multisitem akut,di
perantarai secara imunologis, yang terjadi setelah suatu episode faringitis
streptokokus grup A setelah interval beberapa minggu yang biasanya selama 1 – 3
minggu. Faringitis itu terkadang hampir asimtomatik. Beberapa strain
reumatogenik streptokokus grup A tampaknya berkaitan erat dengan peningkatan
resiko demam rematik, mungkin karena adanya kapsul sempurna yang sangat
antigenik.
Seperti diketahui, sel kuman streptokokus berbentuk suatu fimbriae yang
terdiri dari mukopeptid, karbohidrat grup C dan M-protein. Bagian luar fimbriae
sendiri diselaputi oleh kapsul asam hialuronik. Semua bahan – bahan itu ternyata
3
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan virulensi kuman dan
sifat antigeniknya.
Apabila terjadi infeksi kuman streptokokus pada jaringan tubuh, maka sel-
sel kuman streptokokus akan mengeluarkan komponen-komponen yang bersifat
antigenik seperti hialuronidase, streptodornase, streptokinase, M protein dan
sebagainya. Karena komponen tersebut bersifat antigenic maka tubuh pun akan
membentuk banyak antibody untuk menetralisirnya. Diperkiarakan antibody yang
ditujukan untuk menetralisir M-protein dari kuman streptokokus bereaksi silan
dengan protein normal yang terdapat di jantung, sendi dan jaringan lain.
Kenyataannya bahwa gejala biasanya belum muncul sampai 2-3 minggu setelah
infeksi dan bahwa streptokokus tidak ditemukan pada lesi mendukung konsep
bahwa demam reumatik terjadi akibat respon imun terhadap bakteri penyebab.
4
Infeksi demam rematik sering terjadi secara berulang dan dikenal sebagai
reaktivasi rema. Walaupun penyakit ini merupakan suatu inflamasi sistemik, tetapi
penyakit jantung rematik meruapakan satu-satunya komplikasi demam rematik
yang paling permanen sifatnya. Tampaknya komplikasi ini ditentukan oleh
beratnya infeksi demam rematik yang pertama kali dan seringnya terjadi
reaktivasi rema. Itu sebabnya, tidak semua demam rematik akan berkembang
menjadi penyakit jantung rematik. Sebaliknya, tidak semua penyakit jantung
rematik mempunyai riwayat demam rematik yang jelas sebelumnya. Hal ini
mungkin karena gejala-gejala demam rematik pada fase dini memang tidak mudah
dikenali, atau demam rematik memang tak jarang hanya bersifat silent attack,
tanpa disertai gejala klinis yang nyata.
5
Demam rematik biasanya menyerang jaringan otot miokard, endokard dan
perikard, terutama pada katup mitral dan katup aorta. Kelainan pada katup
trikuspid sangat jarang disebabkan oleh infeksi rema. Secara histopatologis,
infeksi demam rematik ditandai dengan adanya proses Aschoff bodies yang khas,
walaupun secara klinis tidak ada tanda-tanda reaktivasi rema yang jelas. Daun
katup dan korda tendinae akan mengalami edema, proses fibrosis, penebalan,
vegetasi-vegetasi dan mungkin kalsifikasi.
d. Diagnosis
Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk
pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian
dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor
dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik
demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki
oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya (Tabel 1). Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1
kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam
rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis
demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik
dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat
ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten
yang lama dan infeksi strepthkokus.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya
sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini
bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik
berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Tabel.1. Kriteria Jones (update 1992)
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Karditis
Poliartritis migrans
Korea sydenham
Klinis :
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung
rematik sebelumnya
6
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Artralgia
Demam
Laboratorium :
Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C
reaktif, laju endap darah, leukositosis)
Interval P-R yang memanjang
Ditambah
Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus
tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO
yang meningkat.
Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan untuk melanjutkan
penggunaan criteria Jones yang diperbaharui (1992) untuk demam rematik
serangan pertama dan serangan rekuren DR pada pasien yang diketahui tidak
mengalami PJR. Untuk serangan rekuren DR pada pasien yang sudah mengalami
penyakit jantung rematik, WHO merekomendasikan untuk menggunakan 2
kriteria minor dengan diertai bukti infeksi SGA sebelumnya. Kriteria diagnostic
PJR ditujukan untuk pasien yang datang pertama kali denga mitral stenosis murni
atau kombinasi stenosis mitral dan insufisiensi mitral dan atau penyakit katup
aorta.
Kriteria DR menurut WHO tahun 2002 – 2003 dapat dilihat pada tabel 2
berikut :
7
d.1. Kriteria Mayor
d.1.1. Karditis
Merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena
merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian
penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi
penyakit jantung rematik. Penderita tanpa keterlibatan jantung pada pemeriksaan
awal harus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga
minggu berikutnya. Jika karditis tidak muncul dalam 2-3 minggu biasanya jarang
akan muncul selanjutnya.
Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan
adanya salah satu tanda berikut:
8
1. Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukan
adanya AI atau MI saja tanpa adanya bising jantung organic tidak
dapat disebut sebagai karditis.
2. Perikarditis ( friction rub, efusi pericardium, nyeri dada, perubahan
EKG)
3. Kardiomegali pada foto thorak
4. Gagal jantung kongestif.
d.1.2. Poliartritis Migrans
Ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan
keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik
paling sering mengenai sendi-sendi besar. Kelainan ini hanya berlangsung
beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah,
sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi
pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi,
sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai
satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor.
Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus
disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju
endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi
antistreptokokus lainnya yang tinggi. Arthritis ini mempunyai respon yang cepat
dengan pemberian salisilat, bahkan pada dosis rendah.
d.1.3. Korea Sydenham
Secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak
bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat
juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim
disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan emosi. Manifestasi ini lebih nyata
bila penderita bangun dan dalam keadaan tertekan. Tanpa pengobatan gejala korea
ini menghilang dalam 1-2 minggu. Pada kasus yang berat meskipun denga terapi
gejala ini dapat menetap selama 3-4 minggu dan bahakan sampai 2 tahun,
walupun jarang.
9
d.1.4. Eritema marginatum
Merupakan ruam yang khas pada demam rematik, berupa ruam yang tidak
gatal, macular dan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain
mengelilingi kulit yang tampak normal, terjadi pada 5 % kasus. Lesi ini
berdiameter 2,5 cm dan paling sering ditemukan pada tubuh, tungkai proksimal
dan tidak melibatkan muka. Pada penderita kulit hitam sukar ditemukan.
d.1.5. Nodulus subkutan
Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di
daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul
ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di
atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini
pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.
d.2. Kriteria Minor
d.2.1. Riwayar demam rematik sebelumnya
Dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan
baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama.
Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang
pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit
dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.
d.2.2. Artralgia
Merupakan rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan
atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri
pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari
yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan
sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.
d.2.3. Demam
Pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai
39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai
suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu(1,9,11). Demam merupakan
pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu
banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak meiliki arti diagnosis banding yang
bermakna.
10
d.2.4. Peningkatan kadar reaktan fase akut
Perupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta
leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga
tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali
jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu
diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal
jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan
tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan
kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus.
d.3. Bukti yang Mendukung
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik
standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya
infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit
Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun,
dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik
akutInfeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan
tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut.
Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan
adasnya infeksi streptokokus akut
d.3.1 Bukti adanya keterlibatan jantung
1. Gambaran radiologis
Berguna untuk menilai besar jantung. Tetapi gambaran radiologis mormal
tidak mengesampingkan adnya karditis. Pemeriksaan radiologis secara
berseri berguna untuk menentukan prognosis dan kemungkinan adanya
perikarditis.
2. Gambaran elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG awal secara seri berguna dalam mendiagnosis dan
tatalaksana DRA walaupun pemeriksaan ini kadang – kadang mungkin
normal kecuali adanya sinus takikardi. Pemanjangan interval PR terjadi
pada 28-40 % penderita, jauh leboh sering daripada penyakit demam yang
lain.
d.4 Dasar Diagnosis
11
Highly probable (sangat mungkin)
2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
Disertai bukti infeksi streptococcus β hemolyticus group A
ASTO
Kultur (+)
Doubtful diagnosis (meragukan)
2 mayor
1 mayor + 2 minor
Tidak terdapat bukti infeksi streptococcus β hemolyticus group A
ASTO
Kultur (+)
Exception (pengecualian)
Diagnosa DRA dapat ditegakkan bila hanya ditemukan Korea saja atau
Karditis indolen saja
d.5. Penatalaksanaan
Tatalaksana pengobatan yang dipakai sesuai Taranta dan Markowitz yang
telah di modifikasi.
1. Tindakan umum dan tirah baring
Hanya artritis Karditis
minimal
Karditis
sedang
Karditis berat
Tirah baring 1- 2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan
Ambulasi
dalam Rumah
1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
Ambulasi luar
(Sekolah)
2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
Aktifitas
penuh
Setelah 6-10
minggu
Setelah 6-10
minggu
Setelah 3-6
bulan
bervariasi
2. Pemusnahan streptokok
Benzatin PNC G 1,2 juta unit i.m
untuk BB > 30 kg
satu kali
12
dan 600.000 unit
untuk BB
< 30 kg
jika alergi
benzatin
penisilin G
Eritromisin 40 mg/kg BB/hari 2- 4 dosis selama
10 hari
Alternatif lain Oral Penisilin V 2 x 250 mg
Oral sulfadiazine 1 gram sekali
sehari
Oral eritromisin 2 x 250 mg
3. Pengobatan anti nyeri dan anti radang
Anti inflamasi asetosal saja diberikan pada karditis ringan sampai sedang,
sedangkan prednisone hanya diberikan pada karditis berat.
Kriteria beratnya karditis :
1. Karditis minimal : tidak jelas ditemukan kardiomegali
2. Karditis sedang : kardiomegali ringan
3. Karditis berat : jelas terdapat kardiomegali disertai tanda
gagal jantung
artritis Karditis ringan Karditis sedang Karditis berat
Prednisone 0 0 0 2-6 minggu
aspirin 1-2 minggu 3-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan
Dosis : prednisone : 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
Aspirin : 100 mg/kgBB/hari dibagi 4-6 dosis
Dosis prednisone di tapering off pada minggu terakhir pemberian dan
mulai diberikan aspirin. Setelah 2 minggu aspirin diturunkan, 60
mh/kgBB/hari.
4. Pencegahan
Pencegahan sekunder: pencegahan berulangnya demam rematik
Intramuskuler Benzatin PNC G 1,2 juta unit untuk setiap 28 minggu
13
BB > 30 kg
600000 unit BB <
30 kg
Oral Penisilin V 125 - 250 mg 2 kali sehari
Sulfadiazin 1 gram sekali
Eritromisin 250 mg 2 kali sehari
Diberikan pada demam rematik akut, termasuk korea tanpa penyakit
jantung rematik.
Lama pencegahan diberikan sampai usia 21-25 tahun pada pasien tanpa
bukti kelainan katup, bukan pasien dengan resiko tinggi. Jika terdapat kelainan
katup diberikan seumur hidup.
d.6. Prognosis
Prognosis demam rematik tergantung pada stadium saat diagnosis
ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang
diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk
pada penderita dengan karditis pada masa kanak-kanak. Serangan ulang dalam
waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20% penderita dan kekambuhan
semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun.
B. INFEKSI SALURAN KEMIH
a. Definisi
ISK adalah keadaan adanya infeksi (ada pertumbuhan dan perkembangbiakan
bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di
kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna.
Infeksi saluran air kemih adalah infeksi yang terjadi pada saluran air kemih,
mulai dari uretra, buli-buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal. Infeksi ini dapat
berupa pielonefritis akut, pielonefritis kronik, infeksi saluran air kemih berulang,
bakteriuria bermakna, bakteriuria asimtomatis.
b. Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK)/ urinary tract infection (UTI), pada anak sering
ditemukan dan merupakan penyebab kedua morbiditas penyakit infeksi pada anak,
14
sesudah infeksi saluran napas. Prevalensi pada anak wanita berkisar 3-5% dan pada anak
pria ± 1%.
Prevalensi infeksi saluran kemih berubah-ubah sesuai dengan jenis kelamin dan
umur. Infeksi saluran kemih simtomatis terjadi pada kira-kira 1,4/1000 bayi lahir. Infeksi
saluran kemih lebih umum terjadi pada bayi laki-laki yang tidak dikhitan
(uncircumcised). Sesudahnya, infeksi lebih banyak terjadi pada wanita. Infeksi saluran
kemih simtomatis dan asimtomatis terjadi pada 1,2-1,9% anak perempuan usia sekolah
dan paling banyak terjadi pada golongan umur 7 sampai 10 tahun. Infeksi sangat jarang
terjadi pada laki-laki dengan umur yang sama.
c. Etiologi
Infeksi oleh bakteria Gram negatif enterokokus merupakan penyebab terbanyak,
tetapi virus dan fungus dapat juga ditemukan pada beberapa penderita. Infeksi berulang
sering terjadi pada penderita yang rentan, atau terjadi karena adanya kelainan anatomik
atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan adanya stasis urin atau refluks,
sehingga perlu pengenalan dini dan pengobatan yang adekuat untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
Infeksi saluran kemih terutama disebabkan oleh bakteri kolon. Pada wanita, 75-
90% dari semua infeksi disebabkan oleh Escherichia coli, diikuti oleh Klebsiella dan
Proteus. Beberapa laporan menyatakan bahwa pada anak laki-laki yang berumur lebih
dari 1 tahun, infeksi akibat Proteus sama banyaknya seperti E. coli, laporan lain
menyatakan suatu organisme gram-positif dalam jumlah lebih besar pada laki-laki.
Staphylococcus saprophyticus terbukti merupakan pathogen pada kedua jenis kelamin.
Infeksi virus dapat pula terjadi.
ISK nosokomial sering disebabkan E. coli, Pseudomonas sp, Coagulase negative
Staphylococcus, Klebsiella sp, dan Aerobacter species.
d. Patogenesis
Infeksi dapat terjadi melalui penyebaran hematogen (neonatus) atau secara
asending (anak-anak). Faktor predisposisi infeksi adalah fimosis, alir-balik vesikoureter
(refluks vesikoureter), uropati obstruktif, kelainan kongenital buli-buli atau ginjal, dan
diaper rash.
Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari
banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organismenya. Bakteri dalam urin
dapat berasal dari ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria atau dari uretra. Beberapa faktor
predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur, urolitiasis, benda asing, refluks
atau konstipasi yang lama. Pada bayi dan anak anak biasanya bakteri berasal dari tinjanya
15
sendiri yang menjalar secara asending. Bakteri uropatogenik yang melekat pada pada sel
uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot polos dinding ureter, dan
menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya bakteri ke sel uroepitelial, dapat
meningkatkan virulensi bakteri tersebut.
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan ini dapat menyebabkan bakteri dapat melekat,
membentuk koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya
terjadi peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter maupun
refluks intrarenal. Bila hanya buli buli yang terinfeksi, dapat mengakibatkan iritasi dan
spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin miksi terus menerus (urgency)
atau miksi berulang kali (frequency), sakit waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria
menjadi edema, meradang dan perdarahan (hematuria).
Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system. Pelvis dan medula ginjal
dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan urin akibat refluks berupa atrofi
ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal,
ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit polimorfonuklear dalam jaringan interstitial,
akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya
produk bakteri atau zat mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak,
mengakibatkan parut ginjal (renal scarring).
16
Gambar. Patogenesis dari ISK asending
e. Manifestasi Klinis
Gejala ISK bergantung dari umur penderita dan lokalisasi infeksi di dalam saluran
kemih. Manifestasi klinis seringkali gagal menunjukkan secara jelas apakah infeksi
terbatas pada kandung kemih atau telah melibatkan ginjal.
Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut:
0-1 bln : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare, kejang,
koma,panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, ikterus (sepsis).
1 bln-2 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan pertumbuhan,
anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit
keras), air kemih berbau/berubah warna, kadang-kadang disertai
nyeri perut/pinggang.
2-6 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan
kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan
berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta
anoreksia.
6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, tak dapat
menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau
dan berubah warna.
f. Diagnosis
Diagnosis infeksi saluran kemih tergantung pada biakan bakteri yang berasal dari
urin. Penemuan setiap bakteri di dalam urin yang berasal dari kandung kemih atau pelvis
ginjal menunjukkan adanya infeksi. Diagnosis yang tepat mungkin sulit ditetapkan,
karena seringkali kontaminasi spesimen yang dikeluarkan atau pengobatan penderita
sebelumnya dengan antibiotika.
Diagnosis ISK ditegakkan dengan biakan urin yang sampelnya diambil dengan
urin porsi tengah dan ditemukan pertumbuhan bakteria >100.000 koloni/ ml urin dari satu
jenis bakteri, atau bila ditemukan >10.000 koloni tetapi disertai dengan gejala klinis yang
jelas dianggap ada ISK.
Pada anak-anak yang terlatih menggunakan toilet, biakan urine yang diperoleh
dari aliran urin pancar tengah (mid stream urine) diperoleh sesudah membersihkan
meatus uretra dengan larutan povidon-iodium dan membersihkannya dengan air steril atau
larutan garam faali, biasanya memuaskan. Pada wanita, labia harus dibuka secara manual
17
untuk menghindarkan kontaminasi atau kontak urin dengan kulit. Pada laki-laki yang
tidak dikhitan, preputium harus ditarik ke belakang.
Untuk spesimen dari pancaran tengah, hitungan koloni seringkali digunakan
untuk membedakan spesimen yang terinfeksi dan yang terkontaminasi. Biakan yang
menunjukkan lebih dari 105 koloni/ mL organisme tunggal spesifikasinya lebih dari 90%
untuk infeksi saluran kemih. Namun demikian, harus diketahui, bahwa hitungan koloni
yang lebih rendah pada penderita terinfeksi mungkin disebabkan karena kekeringan yang
berlebihan, pengosongan kandung kemih yang terlalu dini, atau karena pengobatan
dengan antibiotika; hitungan demikian tidak mengesampingkan infeksi. Penggunaan
pungsi suprapubik kandung kemih yang penuh dengan jarum suntik berukuran 25 atau 22
menyajikan hasil yang terpercaya. Dengan anak telah terhidrasi secara tepat (bila
kandung kemih dapat diperkusi atau dipalpasi), kulit didisinfeksi dan pungsi dilakukan
selebar jari di garis tengah di atas pubis.
Dikatakan infeksi positif apabila:
- Air kemih tampung porsi tengah : biakan kuman positif dengan jumlah
kuman ≥105/ml, kali berturut-turut.
- Air kemih tampung dengan pungsi buli-buli suprapubik : setiap kuman
patogen yang tumbuh pasti infeksi. Pembiakan urin melalui pungsi
suprapubik digunakan sebagai gold standar.
Mencari faktor resiko infeksi saluran kemih:
- Pemeriksaan ultrasonografi ginjal untuk mengetahui kelainan struktur ginjal dan
kandung kemih.
- Pemeriksaan Miksio Sisto Uretrografi/MSU untuk mengetahui adanya refluks.
- Pemeriksaan pielografi intra vena (PIV) untuk mencari latar belakang infeksi saluran
kemih dan mengetahui struktur ginjal serta saluran kemih.
18
Tabel. Interpretasi Hasil Biakan Urin
g. Diagnosis Banding
Radang genitalia eksterna, vulvitis, dan vaginitis yang disebabkan oleh ragi
(yeast), cacing kremi (pinworm), dan agen lain dapat disertai gejala-gejala mirip sistitis.
Secara radiografi, ginjal hipoplastik dan displastik, atau ginjal kecil akibat gangguan
vaskuler, dapat tampak sama dengan pielonefritis kronis.
h. Penatalaksanaan
Hock-Boon (1988) mengemukakan beberapa prinsip penanggulangan ISK pada
anak sbb:
1. Konfirmasi diagnosis ISK
2. Eradikasi infeksi pada waktu serangan/ relaps
3. Evaluasi saluran kemih
4. Perlu tindakan bedah pada uropati obstruktif, batu, buli-buli neurogenik,
dll
5. Cegah infeksi berulang
6. Perlu dilakukan tindak lanjut.
Bila pengobatan dimulai sebelum tersedia hasil biakan dan tes sensitivitas,
pengobatan dengan trimetoprim-sulfametoksazol selama 7-10 hari (lihat kemudian) akan
efektif terhadap kebanyakan strain E. coli. Nitrofurantoin (5-7 mg/kg/24 jam dalam dosis
19
yang terbagi 3-4) juga sangat efektif dan mempunyai keuntungan karena juga aktif
terhadap Klebsiella-Enterobacter. Amoksisilin (50 mg/kg/24 jam) juga efektif pada
pengobatan permulaan tetapi tidak jelas kelebihannya dari sulfanamida atau
nitrofurantoin.
Bila anak sakit mendadak, gunakan pengobatan parenteral dengan sefotaksim
(100 mg/kg/24 jam) atau ampisilin (100 mg/kg/24 jam) dengan aminoglikosida seperti
gentamisin (3 mg/kg/24 jam dalam dosis yang terbagi 3).
Dalam 2 x 24 jam setelah pengobatan fase akut dimulai, gejala ISK umumnya
menghilang. Bila gejala belum menghilang, dipikirkan untuk mengganti antibiotik yang
lain sesuai dengan uji kepekaan antibiotik. Dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
resistensi urin ulang 3 hari setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila
memungkinkan setelah 1 bulan dan setiap 3 bulan. Jika ada ISK berikan antibiotik sesuai
hasil uji kepekaan.
Bila ditemukan ada kelainan anatomik maupun fungsional yang menyebabkan
obstruksi, maka setelah pengobatan fase akut selesai dilanjutkan dengan antibiotik
profilaksis. Antibiotik profilaksis juga diberikan pada ISK berulang, ISK pada neonatus,
dan pielonefritis akut.
Biakan urin sebaiknya diambil satu minggu setelah selesai pengobatan setiap
infeksi saluran kemih untuk meyakinkan bahwa urin tetap steril. Karena ada
kecenderungan kambuhnya infeksi saluran kemih walaupun tanpa adanya faktor
predisposisi anatomik, maka biakan urin lanjutan harus diambil pada selang waktu 3
bulan selama 1-2 tahun, meskipun anak tidak menunjukkan gejala. Bila kekambuhan
sering terjadi, profilaksis terhadap reinfeksi, baik menggunakan kombinasi
sulfametoksazol-trimetoprim atau nitrofurantoin dengan dosis sepertiga dosis terapeutik
sekali sehari, seringkali efektif.
Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan cairan cukup,
perawatan higiene daerah perineum dan periuretra, pencegahan konstipasi. Koreksi bedah
sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan untuk menghilangkan faktor
predisposisi.
20
Gambar. Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan Anak dengan ISK
21
Jenis dan dosis antibiotik untuk terapi ISKTabel : Dosis antibiotika pareneteral (A), Oral (B), Profilaksis (C) 3
Obat Dosis mg/kgBB/
hr
Frekuensi/ (umur bayi)
(A) Parenteral
Ampisilin 100tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
tiap 6-8 jam (bayi > 1 minggu)Sefotaksim 150 dibagi setiap 6jam.
Gentamisin 5 tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)tiap 8 jam (bayi > 1 minggu)
Seftriakson 75 sekali sehariSeftazidim 150 dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 dibagi setiap 8 jam
Tobramisin 5 dibagi setiap 8 jam
Ticarsilin 100 dibagi setiap 6 jam
(B) OralRawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)
Amoksisilin 20-40 mg/Kg/hari q8h
Ampisilin 50-100 mg/Kg/hari q6h
Amoksisilin-asam klafulanat
50mg/Kg/hari q8h
Sefaleksin 50 mg/Kg/hari q6-8h
Sefiksim 4 mg/kg q12h
Nitrofurantoin* 6-7 mg/kg q6h
Sulfisoksazole* 120-150 q6-8h
Trimetoprim* 6-12 mg/kg q6h
Sulfametoksazole 30-60 mg/kg q6-8h* Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan
insufisiensi ginjal(C) Terapi profilaksis
22
Nitrofurantoin* 1 -2 mg/kg
(1x malam hari)Sulfisoksazole* 50 mg/Kg
Trimetoprim* 2mg/Kg
Sulfametoksazole 30-60 mg/kg
Bab IIITINJAUAN KASUS
Identitas
Nama pasien : An. E.C
Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Suku : Batak
Alamat : Duren Sawit
23
ORANG TUA
Ibu
Nama : Ny. J
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : S1
Agama : Kristen
Suku : Batak
Alamat : Duren Sawit
Ayah
Nama : Tn. C
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Agama : Kristen
Suku : Batak
Alamat : Duren Sawit
RIWAYAT PENYAKIT (14/6/14)
Keluhan utama : Sesak dan Nyeri dada
Keluhan tambahan : Muntah dan mual
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT :
- Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 12 jam SMRS, sesak dirasakan
saat menarik nafas. Sesak tidak disertai mengi. Sesak timbul awalnya saat
pasien bermain. Sesak tidak berkurang walaupun pasien istirahat. Sesak
dirasakan terus menerus. Pasien juga merasakan nyeri dada sebelah kiri
sejak pasien sesak. Nyeri dada tidak menjalar dan dirasakan seperti
ditusuk-tusuk. Nyeri tidak menghilang walaupun pasien istirahat. Pasien
juga mengeluh nyeri saat berkemih. Nyeri dirasakan diawal berkemih.
24
Pasien muntah 2x sejak 1 hari SMRS, isi cairan, ¼ aqua gelas. BAB tidak
ada keluhan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
TBC, radang tenggorokan, demam rematik (dirawat ½ bulan yang lalu)
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
RIWAYAT KELAHIRAN
Tanggal lahir : 15 – 7- 2004
Anak ke : 1
Tempat bersalin : Rumah Sakit
Penolong Persalinan : Dokter
Cara persalinan : Pervaginam
Usia kehamilan : cukup bulan (39 minggu)
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 45 cm
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Perkembangan fisik/motorikUmur
Gigi pertama 7 bulan
Duduk 7 bulan
Jalan sendiri 18 bulan
Bicara 1 tahun
Membaca 5 tahun
IMUNISASI DASAR
Jenis I II III Ulangan
BCG √
DPT √ √ √
Polio √ √ √
Campak √
Hapatitis B √ √ √
25
KESAN : Imunisasi Dasar Lengkap
PEMERIKSAAN FISIK (14/6/14)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Frekwensi Nadi : 86 x/menit (isi cukup, kuat angkat, reguler)
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
Frekuensi Pernafasan : 20 x/menit (adekuat, reguler)
Suhu tubuh : 36,9 O C (axilla)
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 136 cm
Kepala : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Mata : Konjunctiva tidak , Sklera tidak ikterik
Telinga : dalam batas normal
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis sirkum oral tidak ada.
Gigi geligi : dalam batas normal.
Lidah : Tidak kotor, tremor (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis(-)
Faring : hiperemis(-)
Leher : Kelenjar Getah bening tidak teraba
Toraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris
Retraksi interkosta (-)
Palpasi : vocal fremitus kiri dan kanan simetris
Perkusi : Perkusi perbandingan kiri dan kanan sama sonor
Auskultasi : Bising nafas dasar vesikuler Ronki -/-, Wheezing (-)
Bunyi Jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
26
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal : 4 x/menit
Palpasi : Perut lemas, Hepar dan Lien tidak teraba
Nyeri tekan suprapubik(+), Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani, Nyeri ketok epigastrium(+), nyeri ketok suprapubik(+)
Genitalia : tidak ada kelainan
Ekstremitas:
Khorea (-) nyeri persendian (+) di sendi-sendi besar
Ekstremitas superior : hangat, sianosis –, nodul subkutan -
Ekstremitas inferior : hangat, sianosis - , nodul subkutan -
Kulit : efloresensi (-), eritema marginatum(-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah : (Tanggal: 15 - 06 - 2014)
LED : 15 mm/jam
Hb : 12,1 g/dL
Eritrosit : 4,14 juta/uL
Leukosit : 12.000 /uL (↑)
Trombosit : 385.000 /uL
Hematokrit : 34 %(↑)
Hitung jenis :
o Basofil : 1 %
o Eosinofil : 3 %
o N.Batang : 0 % (↓)
o N.Segmen : 63 %
o Limfosit : 24 %
o Monosit : 9% (↑)
DIAGNOSA KERJA :
- Demam rematik + ISK
27
DIAGNOSA BANDING :
- demam jantung rematik
PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan:
Rawat inap
Diet: biasa
Oksigen 2 lpm
Periksa Lab : DPL, Ul, Na, K, Ca, CKMB, CPK, Troponin I
Obat:
o Fenocyn 3 x125mg (PO)
o Vomitas syr 3x1sdo (PO)
o Omeperazol 1x1 caps (PO)
2. Konsul : dr. Todung Sp.PD KKV
FOLLOW UP
15/06/2014
S= Sesak(+), mual (-), nyeri berkemih(+), nyeri dada(-)
O= Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Frekwensi Nadi : 80 x/menit (isi cukup, kuat angkat, reguler)
Tekanan darah : 110 / 80 mmHg
Frekwensi Pernafasan : 18 x/menit (adekuat, reguler)
28
Suhu tubuh : 37,2 O C (axilla)
Kepala : mesocephali
Rambut : hitam, distribusi merata
Mata : Kelopak mata tidak cekung, konjunctiva tidak
pucat
Telinga : lapang, sekret -/-
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis sirkum oral tidak ada.
Lidah : Tidak kotor, tremor (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis(-)
Faring : hiperemis(-)
Leher : Kelenjar Getah bening tidak teraba
Toraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris
Retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan simetris
Perkusi : Perkusi perbandingan kiri dan kanan sama sonor
Auskultasi : Bising napas dasar vesikuler Ronki -/-, Wheezing (-)
Bunyi Jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal : 6 x/menit
Palpasi : Perut lemas, Hepar dan Lien tidak teraba
Nyeri tekan suprapubik(+), Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani, Nyeri ketok epigastrium(+), nyeri ketok suprapubik(+)
Genitalia : tidak ada kelainan
Ekstremitas:
Khorea (-), nyeri sendi (-)
Ekstremitas superior : hangat, sianosis –, Nodul subkutan -
Ekstremitas inferior : hangat, sianosis -, Nodul subkutan -
Kulit : efloresensi (-) eritema marginatum (-)
Hasil lab :
1. Kimia klinik
29
a. CK (CPK) : 5,3u/l (N)
b. CK-MB : 9u/l (N)
c. Troponin I : 0,2 ng/ml (N)
2. Natrium kalium
a. Natrium darah; 143 mEq (N)
b. Kalium Darah: 4,3 mEq (N)
c. Kalsium : 9,1 mg/dl (N)
3. Darah perifer lengkap
a. Leukosit: 12 ribu/l (↑)
b. HT : 34% (↓)
c. Retikulosit : 24 permil (↑)
d. Monosit : 9 % (↑)
4. Urinalisis lengkap
a. Berat jenis ; 1,005 g/ml (↓)
b. Esterase leukosit : trace/ 15 sel/ul (+)
c. Sedimen leukosit : 4/LPB
-Konsul dr Todung Sp.PD KKV : tidak ada carditis. Jantung dalam batas normal. Pasien
masih demam rematik
-Pemeriksaan kultur urin
A: Demam Rematik + ISK
P: Diet : biasa
O2 2lpm binasal
Mm/
o Fenocyn 3 x125mg (PO)
o Vomitas syr 3x1sdo (PO)
o Omeperazol 1x1 caps (PO)
o Diazepam 3x2mg
o Urogetix 2x1tab
Konsul dr. Esther Sp.KJ dengan DK vegetative imbalance
16/6/ 2014
Perawatan hari II, Berat badan: 65 kg, Tinggi badan: 174 cm
S= Sesak(-) nyeri berkemih(+), nyeri dada(-) mual(+)
O=Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
30
Frekwensi Nadi : 88 x/menit (isi cukup, kuat angkat, reguler)
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
Frekwensi Pernafasan: 18 x/menit (adekuat, reguler)
Suhu tubuh : 36,5 O C (axilla)
Kepala : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Mata : Kelopak mata tidak cekung, konjunctiva tidak
pucat
Telinga : dalam batas normal
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis sirkum oral tidak ada.
Gigi geligi : dalam batas normal.
Lidah : Tidak kotor, tremor (-)
Tonsil : T1 – T1, tenang
Faring : hiperemis(-)
Leher : Kelenjar Getah bening tidak teraba
Toraks : dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal : 6 x/menit
Palpasi : Perut lemas, Hepar dan Lien tidak teraba
Nyeri tekan suprapubik(+), Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi :Timpani, Nyeri ketok epigastrium(+), nyeri ketok suprapubik(+)
Genitalia : tidak ada kelainan
Ekstremitas:
Ekstremitas superior dan inferior: hangat, sianosis (-), Nyeri sendi(-), khorea(-), nodul
subkutan(-)
Hasil lab : pemeriksaan kultur urin : kultur kuman aerob tidak tumbuh
Hasil Konsul dr.Ester, kesan terhadap pasien : overindulgence kode V (pola asuh terlalu
di manja)
A: Demam Rematik + ISK
P: Diet: biasa
Mm/
31
o Vomitas syr 3x1sdo (PO)
o Fenocyn 3 x125mg (PO)
o Omeperazol 1x1 caps (PO)
o Diazepam 3x2mg (PO)
o Urogetix 2x1tab (PO)
o Sanprima 2x1 tab ( PO)
Konsul DR.dr. Mulyadi Sp.A(K), pemeriksaan echocardiography
17 Juni 2014
Perawatan hari III
S= sesak(-), nyeri berkemih(+), mual(-)
O=Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis
Frekwensi Nadi : 90 x/menit (isi cukup, kuat angkat, reguler)
Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Frekwensi Pernafasan : 20 x/menit (adekuat, reguler)
Suhu tubuh : 36,5 O C (axilla)
Kepala : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Bibir : dalam batas normal
Gigi geligi : dalam batas normal.
Lidah : dalam batas normal.
Tonsil : T1 – T1, hiperemis(-)
Faring : hiperemis(-)
Leher : Kelenjar Getah bening tidak teraba
Toraks : dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal : 5 x/menit
Palpasi : Perut lemas, Hepar dan Lien tidak teraba
Nyeri tekan suprapubik(+), Nyeri tekan epigastrium (+)
32
Perkusi :Timpani, Nyeri ketok epigastrium(+), nyeri ketok suprapubik(+)
Genitalia : tidak ada kelainan
Ekstremitas:
Ekstremitas superior dan inferior: hangat, sianosis (-), nyeri sendi(-), khorea(-), nodul
subkutan(-)
Hasil Konsul dr.Mulyadi Sp.A(K): tidak ada karditis dan tidak ada PJB
A: Demam rematik + ISK dalam perbaikan
P: Diet lunak
Mm/ :
o Fenocyn 3 x125mg (PO)
o Omeperazol 1x1 caps (PO)
o Urogetix 2x1tab (PO)
o Sanprima 2x1 tab ( PO)
18/06/ 2014
S= sesak (-) mual (-), nyeri berkemih (-)
O=Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis
Frekwensi Nadi : 88 x/menit (isi cukup, kuat angkat, reguler)
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
Frekwensi Pernafasan : 18 x/menit (adekuat, reguler)
Suhu tubuh : 36,6 O C (axilla)
Kepala : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Bibir : dalam batas normal
Gigi geligi : dalam batas normal.
Lidah : dalam batas normal
Tonsil : T1 – T1, hiperemis(-)
Faring : hiperemis(-)
Leher : Kelenjar Getah bening tidak teraba
33
Toraks : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Genitalia : tidak ada kelainan
Ekstremitas:
Ekstremitas superior dan inferior: hangat, sianosis (-) nodul subkutan(-), eritema
marginatum(-), khorea (-), nyeri persendian(-)
A: Demam Rematik + ISK dalam perbaikan
P: Diet Biasa
Mm/ :
o Fenocyn 3 x125mg (PO)
o Omeperazol 1x1 caps (PO)
o Urogetix 2x1tab (PO)
o Sanprima 2x1 tab ( PO)
Pasien boleh pulang
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan umur 9 tahun di bangsal anak RS
PGI CIKINI dengan diagnosis suspek demam rematik akut, ditegakkan
berdasarkan adanya beberapa kriteria Jones dan WHO yang dipenuhi pada pasien
ini yaitu :
Riwayat Demam Rematik 1 bulan yang lalu
Didapatkan Atralgia pada sendi-sendi besar pada pasien
Tes ASTO positif >250
34
Berdasarkan kriteria yang ada pada pasien, maka menurut kriteria jones dan
kriteria WHO yang terdapat didalam tinjauan pustaka, pasien ini belum dapat di
diagnosis Demam Rematik, karena hanya memenuhi syarat kriteria minor. Pada
pasien tidak ditemukan tanda-tanda mayor. Menurut kriteria Jones, untuk
menegakkan diagnosis demam rematik atau demam jantung rematik perlu
ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah
dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Sedangkan menurut
kriteria WHO, pasien dapat didiagnosa serangan demam rematik yang berulang
apabila ditemukan 2 kriteria minor pada pasien dengan penyakit demam jantung
rematik, sedangkan pada pasien kita temukan 3 kriteria minor tanpa demam
jantung rematik.
Akan tetapi hasil konsultasi dengan dr. Mulyadi Sp.A(K) dan dr.Todung
Sp.PD KKV, mengatakan bahwa pasien hanya demam rematik dan belum sampai
demam jantung rematik dikarenakan ASTO>250, serta hasil EKG,
Echocardiography dan enzim jantung yang masih dalam batas normal. Ditambah
lagi pasien memiliki riwayat demam rematik sebelumnya.
Oleh karena hasil pemeriksaan jantung yang tidak ada kelainan dan pasien
mengeluhkan dadanya sakit, serta kondisi pasien yang tidak sesuai dengan
keluhan yang dikeluhkan, maka perlu dipertimbangkan untuk konsul ke psikiater.
Hasilnya pasien tidak terdapat kelainan kejiwaan akan tetapi pasien memiliki pola
asuh yang dimanja sehingga kemungkinan pasien tidak benar-benar sesak atau
nyeri dada supaya pasien tidak ke sekolah itu ada, karena pasien ternyata juga
kurang nyaman dengan suasana di sekolahnya.
Terapi yang diberikan untuk demam rematik sudah sesuai dengan tinjauan
pustaka yaitu penicilin yaitu fenocyn. Benzytin tidak digunakan karena sering
menimbulkan reaksi hipersensitifitas.
Pasien juga mengeluh sakit saat berkemih dan pada pemeriksaan urin
lengkap ditemukan leukosit esterase pada urin, hal ini menandangan terjadi
peradangan pada saluran kemih. Akan tetapi hasil kultur urin untuk bakteri aerob
yaitu tidak tumbuh, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab peradangannya
bukanlah bakteri aerob. Berdasarkan epidemiologi dapat disebabkan bakteri
anaerob, virus, dan parasit. Menurut tinjauan pustaka, jika penyebabnya bakteri
35
maka diagnosis ISK ditegakkan dengan biakan urin yang sampelnya diambil dengan urin
porsi tengah dan ditemukan pertumbuhan bakteria >100.000 koloni/ ml urin dari satu
jenis bakteri, atau bila ditemukan >10.000 koloni tetapi disertai dengan gejala klinis yang
jelas dianggap ada ISK. Perlu dilakukan pemeriksaan lainnya jika ingin mengetahui
etiologinya.
Berdasarkan tinjauan pustaka, pemberian sanprima yang isinya trimetrophim dan
sulfametoxazole sebagai antibiotik ISK yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan.
Pemberian Urogetix tidak diwajibkan dalam penatalaksanaan ISK, pemberiannya
bertujuan untuk menghilangkan rasa tidak enak, atau perih saat kencing. Pemberian
omeprazole diberikan karena pasien sempat muntah dan mual.
Pada hari ke 5, keadaan pasien sudah membaik. Nyeri dada, sesak, dan nyeri
berkemih sudah tidak ada lagi dan pasien diperbolehkan rawat jalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Madiyono. Bambang, Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak.
Jakarta: UKK Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2005.
2. Sastroasmoro. Sudigdo, dkk Penyunting. Buku Ajar Kardiologi Anak.
Jakarta:BPIDAI; 1994; 279 – 316.
3. Baraas, Faisal. Penyakit Jantung Pada Anak. Jakarta; FKUI; 1995; 215 –
223.
4. Robbins, dkk. Buku Ajar Patologi volume 2 edisi 7 . Jakarta: EGC; 2007
36
5. Rusdidjas, Rafita Ramayati. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Buku Ajar Nefrologi
Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2002.
6. Behrman, Kliegman. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Vol. 3. Edisi 15. EGC. Jakarta: 2000.
7. Noer M.S., Ninik Soemyarso. Infeksi Saluran Kemih. Diakses dari http://pediatrik.com
37
top related