case fistula enterokutan
Post on 06-Feb-2016
326 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pendahuluan
Fistula Enterokutaneus atau Enterocutaneus Fistula (ECF) adalah adanya
hubungan abnormal yang terjadi antara dua permukaan berepitel yaitu antara saluran
cerna dengan kulit, baik usus besar dengan kulit maupun usus halus dengan kulit.
Fistula Enterokutaneus dapat terjadi sebagai komplikasi dari semua jenis operasi
pada saluran pencernaan. Lebih dari 75% dari semua ECF timbul sebagai komplikasi
pasca operasi, sementara sekitar 15-25% dari pasien ECF adalah pasien dengan post
trauma abdomen. Fistula Enterokutaneus (ECF) juga dapat terjadi spontan dalam
kaitannya dengan keganasan, radiasi, penyakit usus inflamasi, atau kondisi iskemik serta
infeksi. Namun Fistula Enterokutaneus (ECF) yang terjadi spontan memiliki presentase
yang kecil.
Angka mortalitas Fistula Enterokutaneus berkisar antara 5-20% berkaitan dengan
terjadinya sepsis, nutrisi yang terganggu serta ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi.
Untuk itu, meskipun fistula enterokutaneus merupakan komplikasi pasca operasi yang
sering terjadi namun apabila terjadi maka merupakan tanggung jawab penting untuk
segera menangani fistula enterokutaneus. Selama beberapa dekade terakhir, perbaikan
dalam pengelolaan ECF telah menurunkan secara bertahap dalam angka kematian.
Morbiditas pasien dengan ECF terkait dengan prosedur pembedahan atau penyakit
primernya menjadi meningkat sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien,
memperpanjang waktu lamanya pasien tinggal di rumah sakit sehingga meningkatkan
biaya keseluruhan untuk pengobatan.
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan, karena atas berkat dan
anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah di
RSUD Budhi Asih.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Harinto,
Sp.B yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan laporan kasus ini, serta kepada
seluruh dokter yang telah membimbing penulis selama di kepaniteraan klinik Ilmu Bedah
RSUD Budhi Asih. Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada teman-
teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan laporan kasus ini, namun masih terdapat kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan
memberikan manfaat bagi kita semua.
Jakarta, November 2014
Alice Melissa Simaela
2
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
I. Identitas
Nama : Nn. F
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Pangadegan Selatan VIII/ 9 Pancoran, Jakarta
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Belum menikah
Pendidikan : SMP
Tanggal masuk RS : 19 Oktober 2014
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Oktober 2014 di bangsal
Rawat Inap RSUD Budhi Asih lantai 6.
Keluhan Utama
Keluar cairan dari luka bekas operasi sejak 3 hari yang lalu.
3
Keluhan Tambahan
Nyeri pada luka bekas operasi, belum BAB, lemas.
Riwayat Penyakit Sekarang
Os mengeluh keluarnya cairan dari luka bekas operasi sejak 3 hari yang lalu.
Rembesan cairan tersebut pertama kali keluar dengan warna cokelat keruh dengan
volume cairan yang keluar + ¼ gelas aqua kecil serta berbau seperti feses. Cairan keluar
selama satu minggu secara terus menerus tetapi dengan volume yang semakin hari
semakin sedikit. Sebelumnya, os dirawat oleh karena nyeri perut kanan bawah serta telah
menjalani operasi apendektomi 9 hari yang lalu. Operasi berjalan lancar tanpa adanya
penyulit. Setelah operasi, os mengeluh nyeri pada luka bekas operasi yang tidak
berkurang hingga sekarang serta lemas. Nyeri tersebut muncul hebat apabila os
melakukan banyak gerakan pada ekstremitas bawah. Selain itu, os juga mengeluh belum
BAB sejak 8 hari yang lalu. Os mengaku sudah diberi obat supp sebanyak 2 kali namun
os belum juga bisa BAB tetapi os masih bisa flatus. Demam, mual, serta muntah tidak
dirasakan oleh os.
Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Adanya riwayat
infeksi pada saluran cerna, DM, penyakit jantung, dan asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama dengan os. Riwayat
darah tinggi, DM, serta penyakit jantung dalam keluarga juga disangkal.
4
Riwayat Kebiasaan
Os tidak merokok, tidak mengkonsumsi alcohol, serta memiliki kebiasaan makan
makanan pedas.
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2014. Hasilnya adalah sebagai
berikut :
Status Generalis
I. Keadaan Umum
a. Kesan sakit : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis
c. BB :
II. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 110/90 mmHg
b. Frek. Nadi : 80 x/ m
c. Frek. Nafas : 16 x/ m
d. Suhu : 36,5 °C
III. Kepala :
Normocephali, rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
IV. Mata :
Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-).
V. Telinga :
Bentuk normal, NT auricular (-/-), secret (-/-).
VI. Hidung :
Bentuk normal, septum deviasi (-), secret (-), pernafasan cuping hidung (-).
5
VII. Mulut :
Bibir tampak pucat, sianosis (-)
VIII. Leher :
KGB dan tiroid tidak teraba membesar.
IX. Thorax
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial LMCS
Perkusi : Batas kanan : ICS III- V LSD
Batas kiri : ICS V 1LAAS
Batas atas : ICS III LPSS
Auskultasi : BJ I & II regular, murmur dan gallop (-).
Pulmo :
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris saat bernafas, retraksi sela
iga (-/-).
Palpasi : Vocal fremitus teraba sama pada kedua hemithorax.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronki basah kasar (-/-),
Wheezing (-/-).
X. Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak tampak efloresensi yang bermakna.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), lien dan hepar tidak teraba
membesar.
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) dengan frekuensi 2x/menit.
XI. Ekstremitas
Atas : Akral hangat, Ikterik (-/-), Edema (-/-), Sianosis (-/-).
Bawah : Akral hangat, Ikterik (-/-), Edema (-/-), Sianosis (-/-).
6
Status Lokalis Abdomen : luka bekas operasi (+) pada regio
inguinalis dextra, luka bekas operasi terbuka Ø ± 6x3 cm, jahitan operasi terbuka terlihat
rembesan cairan berwarna kecokelatan pada luka bekas operasi dengan volume cairan +¼
gelas aqua kecil, berbau feses. Terlihat luka belum mengering serta nyeri.
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah :
27 Oktober 2014
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Hemoglobin 9,7 g/dL 11,8 – 15
Eritrosit 3,3 jt/uL 3,8 jt – 5, 2 jt
Leukosit 11.900/uL 4500 – 13000 normal
Trombosit 483.000/uL 150.000 – 450.000
Hematokrit 29 % 35 – 47
MCV 87 mg/dL 80-100 normal
MCH 29,2 mg/dL 26-34 normal
MCHC 33,6 mg/dL 32-36 normal
Albumin 2,9 g/dL 3,2-4,5
V. Resume
7
Os perempuan berusia 14 tahun mengeluh adanya rembesan cairan yang keluar dari
luka bekas operasi apendektomi yang dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2014. Operasi
berjalan lancar tanpa adanya penyulit. Setelah operasi, os mengeluh nyeri pada luka
bekas operasi yang tidak berkurang hingga sekarang serta lemas. Nyeri tersebut muncul
hebat apabila os melakukan banyak gerakan pada ekstremitas bawah. Sedangkan, cairan
yang keluar sejak 23 Oktober 2014, pertama kali keluar dengan warna cokelat keruh
dengan volume cairan yang keluar + ¼ gelas aqua kecil serta berbau seperti feses. Cairan
keluar selama satu minggu secara terus menerus tetapi dengan volume yang semakin hari
semakin sedikit. Selain itu, os juga mengeluh belum BAB sejak 8 hari yang lalu. Os
mengaku sudah diberi obat supp sebanyak 2 kali namun os belum juga bisa BAB tetapi
os masih bisa flatus. Demam, mual, serta muntah tidak dirasakan oleh os.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan kedua konjungtiva anemis, serta bibir dan
wajah yang tampak pucat. Thorax dan abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status lokalis, terlihat rembesan cairan berwarna kecokelatan pada luka bekas operasi
dengan volume cairan +¼ gelas aqua kecil, berbau feses. Terlihat luka bekas jahitan
operasi yang belum mengering serta nyeri.
Hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan
anemia, eritrosit meningkat, trombositosis, penurunan hematokrit serta albumin.
Diagnosis Kerja
Pada kasus ini diagnosis kerjanya adalah Enterokutaneus Fistula Post-Op
Appendektomi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus ini adalah :
- Abses Subkutis
Tatalaksana
- Cek Output fistel (tampung dengan colostomi bag)
- Nutrisi Parenteral (Peptamin 5 x 200 cc)
- Perawatan Luka
8
- Metronidazol 2 x 500
- Kaltrofen supp 2 x 1
- Ranitidin 2 x 1
- Fosmicyn 2 x 1 gr
VIII. Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
IX. Follow Up
30 Oktober 2014
S : Luka bekas operasi masih keluar nanah dan feses sedikit, berwarna cokelat. Nyeri
(+). BAB (-), Flatus (+), Mual (+), Muntah (-).
O :
TD 110/80 mmHg S 36,7˚C
N 72 x/menit RR 16 x/menit
Status generalis : CA +/+, bibir dan wajah tampak pucat.
Status lokalis : Belum terpasang colostomy bag. Tampak cairan bewarna kecokelatan, berbau feses dan pus (+), nyeri (+).
A : Fistula Enterokutan Post-op Appendektomi hari ke-10
9
P :
- Cek Output fistel (tampung dengan colostomi bag)
- Nutrisi Parenteral (Peptamin 5 x 200 cc)
- Perawatan Luka
- Metronidazol 2 x 500
- Kaltrofen supp 2 x 1
- Ranitidin 2 x 1
- Fosmicyn 2 x 1 gr
31 Oktober 2014
S : Os muntah sebanyak 1 kali, berisi cairan dengan volume ½ gelas aqua kecil,
berwarna bening. Os juga mengeluh lemas serta mual (+). BAB (-), Flatus (+). Luka
bekas operasi masih keluar nanah dan feses sedikit tetapi tidak sebanyak kemarin,
berwarna cokelat. Nyeri (+).
O :
TD 120/80 mmHg S 36,5˚C
N 80 x/menit RR 18 x/menit
Status Generalis : CA +/+, bibir dan wajah tampak pucat.
Status Lokalis : Belum terpasang colostomy bag. Tampak cairan bewarna kecokelatan, berbau feses dan pus (+) lebih sedikit, nyeri (+).
Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Hemoglobin 10,9 g/dL 11,8 – 15
Eritrosit 3,7 jt/uL 3,8 jt – 5, 2 jt
10
Leukosit 7800/uL 4500 – 13000 normal
Trombosit 473.000/uL 150.000 – 450.000
Hematokrit 33 % 35 – 47
MCV 89 mg/dL 80-100 normal
MCH 29,6 mg/dL 26-34 normal
MCHC 33,4 mg/dL 32-36 normal
RDW 11,6% < 14 normal
A : Fistula Enterokutan Post-op Appendektomi hari ke-11
P :
- Cek Output fistel (tampung dengan colostomi bag)
- PRC 1 kolf
- Nutrisi Parenteral (Peptamin 5 x 200 cc)
- Perawatan Luka
- Metronidazol 2 x 500
- Kaltrofen supp 2 x 1
- Ranitidin 2 x 1
- Fosmicyn 2 x 1 gr
01 November 2014
S : Luka bekas operasi sudah tidak keluar nanah. Nyeri (+). BAB (-), Flatus (+), Mual
(-), Muntah (-).
O :
11
TD 110/70mmHg S 37˚C
N 96 x/menit RR 20 x/menit
Status generalis : dbn.
Status lokalis : Belum terpasang colostomy bag. Tidak tampak cairan maupun pus. Luka masih basah.
A : Fistula Enterokutan Post-op Appendektomi hari ke-12
P :
- Cek Output fistel (tampung dengan colostomi bag)
- Cek Darah Lengkap
- Dulcolax Supp
- Nutrisi Parenteral (Peptamin 5 x 200 cc)
- Perawatan Luka
- Metronidazol 2 x 500
- Kaltrofen supp 2 x 1
- Ranitidin 2 x 1
- Fosmicyn 2 x 1 gr
12
BAB II
ANALISA KASUS
Seorang perempuan, 14 tahun dirawat di Bangsal RSUD Budhi Asih dengan
diagnosis Enterokutaneus Fistula Post-Op Appendektomi. Berdasarkan keluhan os
adanya rembesan cairan yang keluar dari luka bekas operasi apendektomi yang dilakukan
pada tanggal 20 Oktober 2014. Operasi berjalan lancar tanpa adanya penyulit. Setelah
operasi, os mengeluh nyeri pada luka bekas operasi yang tidak berkurang hingga
sekarang serta lemas. Nyeri tersebut muncul hebat apabila os melakukan banyak gerakan
pada ekstremitas bawah. Sedangkan, cairan yang keluar sejak 23 Oktober 2014, pertama
kali keluar dengan warna cokelat keruh dengan volume cairan yang keluar + ¼ gelas
aqua kecil serta berbau seperti feses. Cairan keluar selama satu minggu secara terus
menerus tetapi dengan volume yang semakin hari semakin sedikit. Selain itu, os juga
mengeluh belum BAB sejak 8 hari yang lalu. Os mengaku sudah diberi obat supp
sebanyak 2 kali namun os belum juga bisa BAB tetapi os masih bisa flatus. Demam,
mual, serta muntah tidak dirasakan oleh os. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan
kedua konjungtiva anemis, serta bibir dan wajah yang tampak pucat. Thorax dan
abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis, terlihat rembesan cairan
berwarna kecokelatan pada luka bekas operasi dengan volume cairan +¼ gelas aqua
kecil, berbau feses. Terlihat luka bekas jahitan operasi yang belum mengering serta nyeri.
Hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan
anemia, eritrosit menurun, trombositosis, penurunan hematokrit serta albumin. Os
didiagnosa dengan Enterokutaneus Fistula dikarenakan keluhan os adanya cairan keluar
dari luka bekas operasi berwarna kecokelatan, berbau feses, sudah cukup menunjukkan
adanya suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara kulit dengan saluran
gastrointestinal. Hal ini dikarenakan material yang keluar dari luka tersebut adalah
material usus.
13
Berikut merupakan daftar masalah yang dimiliki oleh os :
1. Nyeri luka bekas operasi
Nyeri yang dirasakan os pada luka bekas operasi merupakan nyeri akut yang dicetuskan
oleh reaksi infalamasi dari kerusakan jaringan pada daerah sekitar operasi. Kerusakan
jaringan tersebut megstimulasi pelepasan zat-zat kimia berupa prostaglandin, histamin,
bradikinin, subs P, serta leukotrien. Seluruh zat kimia yang dihasilkan tersebut akan
merangsang nosiseptor sebagai ujung saraf bebas yang berada pada kulit maupun organ
visceral untuk mengubah rangsangan menjadi impuls listrik yang akan dihantarkan ke
SSP.
2. BAB (-)
Os yang di puasakan yang bertujuan untuk mengurangi output dari fistula yang dialami
pasien mempengaruhi pembentukan feses yang dibentuk oleh usus sehingga os akan
mengeluh belum BAB.
3. Anemia
Os yang diharuskan untuk puasa menyebabkan keadaan kurang intake yang dialami oleh
os sedangkan proses penyembuhan jaringan pada luka bekas operasi membutuhkan
oksigen untuk proses perbaikan. Selain itu, rasa nyeri yang dihantarkan ke SSP
mengstimulasi refleks suprasegmental dan saraf simpatis sehingga terjadi peningkatan
konsumsi oksigen. Terjadilah ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemasukan
sehingga os jatuh dalam keadaan anemia. Keadaan ini terlihat dari hasil pemeriksaan fisik
berupa kedua konjungtiva anemis disertai dengan wajah dan bibir yang tampak pucat
serta hasil pemeriksaan penunjang berupa Hb dan jumlah eritrosit menuun. Sedangkan,
nurunan hematokrit berbanding lurus dengan penurunan Hb.
4. Trombositosis
Peningkatan jumlah trombosit tidak selalu menunjukkan adanya peningkatan produksi
sumsung tulang tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari proses inflamasi yang terjadi
di dalam tubuh seperti pada pasien.
14
5. Hipoalbuminemia
Penurunan kadar albumin dapat disebabkan oleh keadaan kurangnya absorbsi nutrisi.
Os sedang dalam terapi diet dimana usus disengaja tidak diberikan beban yang besar
dalam proses absorbsi sehinga dapat mengurangi jumlah cairan yang keluar dari
fistula tersebut hingga terperbaiki. Namun, perlu diingat bahwa mempertahankan
kadar albumin tetap stabil baik untuk proses penyembuhan pada os.
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara organ gastrointestinal dan kulit.1,2,3
Gambar 1. Fistula Enterokutan
II. Epidemiologi
Enterocutaneous fistula (ECFs) dapat terjadi sebagai komplikasi dari semua jenis operasi pada saluran pencernaan. Lebih dari 75-80% dari semua ECF timbul sebagai komplikasi pasca operasi, sementara sekitar 20-25% dari mereka hasil dari trauma abdomen atau terjadi secara spontan dalam kaitannya dengan kanker, iradiasi, penyakit usus inflamasi, atau kondisi iskemik atau infeksi. 4
16
III. Etiologi dan Klasifikasi
Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi, fisiologi
dan etiologi, yaitu sebagai berikut: 5,6
1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula
internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang menghubungkan antara dua
viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula yang menghubungkan antara
viscera dengan kulit.
2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu high-
output, moderate-output dan low-output.
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan pengeluaran cairan intestinal ke dunia
luar, dimana cairan tersebut banyak mengandung elektrolit, mineral dan protein sehingga
dapat menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu terjadi ketidak-seimbangan elektrolit dan
dapat menyebabkan malnutrisi pada pasien. Fistula dengan high-output apabila
pengeluaran cairan intestinal sebanyak > 500ml per hari, moderate-output sebanyak 200-
500 ml per hari dan low-output sebanyak < 200 ml per hari.
3. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula
yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi post-operasi.
Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh fistula
enterokutaneous. Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama pada kanker
dan penyakit radang pada usus. Selain itu dapat juga disebabkan oleh radiasi,
penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus perforasi atau iskemi pada usus.
Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi post-
operasi (sebesar 95%) dan ileum merupakan organ paling sering terbentuknya fisula
enterokutan. Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat post-operasi
dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor teknik. Faktor pasien yaitu malnutrisi,
infeksi atau sepsis, anemia, dan hypothermia. Sedangkan faktor teknik yaitu pada
tindakan-tindakan preoperasi maupun intraoperatif. Sebelum dilakukan operasi, harus
dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena kehilangan 10-15% berat
17
badan, kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total
limfosit dapat meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneous. Selain itu,
fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi pada daerah
operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat
anastomosis dari usus yang tidak sehat. Untuk mengurangi resiko timbulnya fistula,
keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar aliran oksigen menjadi lebih
optimal. Selain itu pada saat operasi harus diberikan antibiotik profilaksis untuk
mencegah timbulnya infeksi dan abses yang dapat menimbulkan fistula.
IV. Manifestasi Klinis
Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah demam, leukositosis, prolonged
ileus, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan infeksi pada luka. Diagnosis menjadi jelas
bila didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen. 8
Gambar 2. Manifestasi klinis Fistula Enterokutan
V. Pemeriksaan Penunjang 5,8
18
Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:
a. Test methylen blue
Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula enterokutaneous
dan kebocoran segmen usus. Tehnik ini kurang mampu untuk mengetahui fungsi
anatomi dan jarang digunakan pada praktek.
b. USG
USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan penimbunan
cairan pada saluran fistula.
c. Fistulogram
Tehnik ini menggunakan water soluble kontras. Kontras disuntikkan melalui
pembukaan eksternal, kemudian melakukan foto x-ray. Dengan menggunakan tehnik
pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal yaitu : Sumber fistula, jalur fistula, ada-
tidaknya kontinuitas usus, ada-tidaknya obstruksi di bagian distal, keadaan usus yang
berdekatan dengan fistula (striktur, inflamasi) dan ada-tidaknya abses yang
berhubungan dengan fistula.
d. Barium enema
Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi lambung, usus
halus, dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui penyebab timbulnya fistula seperti
penyakit divertikula, penyakit Crohn's, dan neoplasma.
e. CT scan
VI. Penatalaksanaan
19
Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu
stabilization, investigation, decision making, definitive therapy, dan healing.
1. Stabilization
Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of sepsis,
nutritional support, control of fistula drainage
a. Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan fistula
enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan tanda-tanda
demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka. Luka akan terbuka
dan terdapat drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat
mengalami malnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau tidak diberikan nutrisi
dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang
rendah. 4
b. Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi. Pada tahap ini,
pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi. Transfusi sel
darah merah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan pemberian
infuse albumin dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.
c. Control of sepsis
Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis dengan
pemberian obat antibiotik. 4
d. Nutritional support
Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous merupakan
komponen kunci penatalaksanaan pada fase stabilization. Fistula enterokutaneous
dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena intake nutrisi kurang,
hiperkatabolisme akibat sepsis dan banyaknya komponen usus kaya protein yang
20
keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula enterokutaneous membutuhkan kalori
total sebanyak 25-32kcal/kg perhari dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1,
protein minimal 1,5g/kg perhari. Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui
parenteral. Selain itu, perlu diberikan elektrolit dan vitamin seperti vitamin C, vitamin
B12, zinc, asam folat. 4
e. Control of fistula drainage
Terdapat berbagai tehnik yang digunakan untuk managemen drainase fistula
yaitu simple gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction catheter. Selain itu,
untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan fistula, dapat diberikan
karaya powder, stomahesive atau glyserin. Beberapa penulis melaporkan
keberhasilan menggunakan Vacuum Assisted Closure (VAC) system untuk
penatalaksanaan fistula enterokutaneous. Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan
H2 Antagonis) dapat juga diberikan untuk menghambat sekresi asam lambung,
sekresi kelenjar pankreas, usus, dan traktus biliaris. 2,4
2. Investigation
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu: 2,4
a. Test methylen blue
b. USG
c. Fistulogram
d. Barium enema
e. CT scan
3. Decision
Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6 minggu
pada pasien dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari sepsis. Penutupan
spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus. Fistula yang terdapat pada lambung,
ileum, dan ligamentum of Treiz memiliki kemampuan yang rendah untuk menutup
secara spontan. Hal ini berlaku juga pada fistula dengan keadaan terdapat abses besar,
21
traktus fistula yang pendek, striktur usus, diskontinuitas usus, dan obstruksi distal.
Pada kasus-kasus tersebut, apabila fistula tidak menutup (output tidak berkurang)
setelah 4 minggu, maka dapat direncanakan untuk melakukan operasi reseksi. Pada
rencana melakukan tidakan operasi, ahli bedah harus mempertimbangkan untuk
menjaga keseimbangan nutrisi dengan memberikan nutrisi secara adekuat,
kemungkinan terjadinya penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi yang akan
digunakan. 4
4. Definitive therapy
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula
enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan yang tepat.
Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas dari
sepsis.
Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru. Insisi secara
transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan. Tujuan tindakan
operasi selanjutnya adalah membebaskan usus sampai rektum dari ligamentum Treiz.
Kemudian melakukan eksplorasi pada usus untuk menemukan seluruh abses dan
sumber obstruksi untuk mencegah kegagalan dalam melakukan anastomosis.
Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada segmen
tersebut merupakan tindakan yang tepat. Pada kasus-kasus yang berat, dapat
digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal patches.
Namun tindakan- tindakan tersebut tidak menjamin hasil yang optimal. Berbagai
kreasi seperti two-layer, interrupted, end-to-end anastomosis menggunakan segmen
usus yang sehat dapat meningkatkan kemungikan anastomosis yang aman. 2,4
5. Healing
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi harus
terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan
dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini
membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan protein yang adekuat
untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan luka. 4
22
VII. Komplikasi
Edmund et al mengidentifikasi trias klasik untuk komplikasi yang dapat
ditimbulkan oleh fistula enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta berkurangnya
elektrolit dan cairan tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local, infeksi jaringan,
peritonitis hingga sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat meningkatkan
pengeluaran isi usus yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta elektrolit sehingga
dapat menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya kadar elektrolit dan cairan tubuh.
Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan, karena TPN dapat meningkatkan
penutupan fistula secara spontan. Pada pasien yang membutuhkan penutupan fistula
dengan operasi, TPN dapat meningkatkan status nutrisi sehingga dapat mempertahankan
kontinuitas usus dengan cara meningkatkan proses penyembuhan luka dan meningkatkan
system imun. 4
VIII. Prognosis
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-15%, lebih
banyak disebabkan karena sepsis. Namun, sebanyak 50% kasus fistula dapat menutup
secara spontan. Faktor-faktor yang dapat menghambat penutupan spontan fistula yaitu
FRIEND (Foreign body didalam traktus fistula, Radiasi enteritis, Infeksi/inflamasi pada
sumber fistula, Epithelisasi pada traktus fistula, Neoplasma pada sumber fistula, Distal
obstruction pada usus). Tindakan pembedahan dapat menyebabkan lebih dari 50%
morbiditas pada pasien dan 10% dapat kambuh kembali. 6
23
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC. h. 840.
2. Kozell K and Martin L., 1999. Managing the Challenges of Enterocutaneous
Fistula. Available from www.cawc.net/open/wcc/1-1/Kozell.pdf p. 10-14
3. Amato J., 2005. Enterocutaneous Fistula. Available from
http://74.125.153.132/search? q=cache
:7TAvijyGRV0J:www.mssurg.net/Team5Conferences/2005-6/Enterocutaneou
s % 2520 Fistula%2520-%25203.pdf+ enterocutaneous+fistula+john+
amato&cd=1&hl= id&ct= clnk&gl =id&client=firefox-a. p. 95-98
4. Evenson A. R et al., 2006. Current Management of Enterocutaneous Fistula.
Available from http://www.ptolemy.ca /members/archives/
2006/Fistula/evenson2006.pdf. (Download : 8 Juni 2009) p. 455-463
5. Thompsom M.J and Epanomeritakis E., 2008. An Accountable Fistula
Management Treatment Plan. Available from : http://www.eakin.co.uk/
Uploads/ Docs/An_ Accountable
_Fistula_Management_Treatment_Plan_BJN.pdf. (Download : 16 Juni 2009)
p. 434-439
6. Edward E.W et al. Small Intestine. In : Charles F., Bronicardi et al. Swartz-
Principle of Surgery. McGraw-Hill. p. 1037-1038
7. Stein D. E. 2008. Intestinal Fistulas. Available from
http://emedicine.medscape. com/article/179444-diagnosis
24
top related