buku bioproses limbah pertanian
Post on 16-Oct-2021
23 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BIOPROSES
LIMBAH PERTANIAN
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, M.P. Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, M.P., Ph.D.
Prof. Dr. Ir. Bambang Admadi Harsojuwono
BIOPROSES
LIMBAH PERTANIAN
93
TENTANG PENULIS
Penulis lahir 16 Oktober 1963 di Sleman Yogyakarta
dari pasangan Alm. Yoseph Mujiran dan M.B. Parinen.
Studi yang dilalui penulis dari TK sampai S2 dilakukan
di Daerah Istimewa Yogyakarta, S1 dan S2 di Prodi
Mekanisasi Pertanian UGM sedangkan S3 di Prodi
Keteknikan Pertanian IPB. Penulis merupakan salaah
satu staf pengajar di Prodi Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Penulis menekuni penelitian tentang budidaya kentang
mulai tahun 2010 dengan penerapaan LEISA sistem,
pendanaan penelitian dari DIKTI dan Universitas
Udayana serta dukungan dari Pemda Kabupaten
Tabanan.
92
Suwanto, A., 2002. Mikroorganisme Untuk Biokontrol:
Strategi Penelitian dan Penerapannya Dalam
Bioteknologi Pertanian. Agrotek, Vol. 2(1). IPB,
Bogor, hal 40-46.
Tengkano, W., Harnoto, M. Taufik, dan M. Iman. 1992.
Dampak negatif insektisida terhadap musuh alami
pengisap polong. Seminar Hasil Penelitian
Pendukung Pengendalian Hama Terpadu.
Kerjasama Program Nasional PHT, BAPPENAS
dengan Faperta-IPB.
Winarno, F.G. 1986. Air Untuk Industri. PT Gramedia.
Jakarta
Vidali, M. 2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem.,
Vol. 73, No. 7, pp. 1163–1172
BIOPROSES
LIMBAH PERTANIAN
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, M.P.
Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, M.P., Ph.D.
Prof. Dr. Ir. Bambang Admadi Harsojuwono
Intimedia
2019
BIOPROSES LIMBAH PERTANIAN
Penulis :
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, M.P.
Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, M.P., Ph.D. Prof. Dr. Ir. Bambang Admadi Harsojuwono
Cover : Rahardian Tegar Lay Out : Nur Saadah Cetakan Pertama, Januari 2019
ISBN : 978-602-1507-89-6
Dterbitkan Oleh : Intermedia Kelompok Intranspublishing
Wisnu Kalimetro
Jl. JoyosukoMetro 42 Malang Jatim
Telp. 0341-573650, Fax 0341-573650
Website : www.intranspublishing.com
Cetakan pertama
Malang Intermedia, 2019, xiv + 98 hal 15,5 cm x 23 cm
91
Suaryanti. 2012. Aktivitas Jamur dan Bakteri Antagon
is Terhadap Penyakit Layu Fusarium Pada
Tanaman Kentang di Bedugul Bali. Thesis S-2
PS. Biologi Universitas Udayana. Denpasar
Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, hal 15-33.
Sudjatha, W dan Wisaniyasa, W. 2001. Fisiologi dan
Teknologi Pasca Panen Buah – buahan dan
Sayur – sayuran. Universitas Udayana.
Denpasar.
Sudyastuti, T dan Setyawan, N. 2007.Sifat thermal
tanah pasiran pantai dengan pemberian bahan
pengkondisi tanah dan biomikropada budidaya
tanaman cabai (capsicum annuum).Prosiding
seminar nasional teknik pertanian – yogyakarta
2007
Supartha U., Y. Setiyo, I Ketut Budi Sususra, IB
Gunadnya, Ida Ayu Astarini. 2012. Pengem-
bangan Usaha Pertanian HortikulturaDataran
Tinggi Untuk Mendukung Daya Saing Produk di
Era pasar Global Melalui Kemitraan Perguruan
Tinggi, Pengusaha dan Pemerintah Daerah.
Laporan Hi-Link 2010-2012, Universitas Udaya-
na. Denpasar
Sutedjo, M. M., dan Kartasapoetra, A. G., 2002.
Pengantar Ilmu Tanah. Rinek Cipta, Jakarta.
Sutanto, R. 2005. Penerapan Pertanian Organik.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
90
Kentang Bibit Varietas Granola G3 Dengan
Manipulasi Dosis Pemupukan. KARYA UNUD
UNTUK ANAK BANGSA 2013 ISBN: 578-602-
7774-76-0.Universitas Udayana
Setiyo,Y., IBW. Gunam, Sumiyati, dan Manuntun
Manurung. 2014. KajianPopulasi Mikroba Pada
Proses Bioremediasi Secara In-Situ Di
LahanBudidaya Kentang. Prosiding Seminar
Nasional SENASTEK 2014. Bali
Setiyo, Y., K. Budi Susrusa, Dewa Gde Mayun P, I
G.A. Lani Triani. 2015. Pengembangan Sistim
LEISA Pada Budidaya Kentang Untuk
Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas.
Prosiding Seminar Nasional SENASTEK 2015.
Bali
Setiyo, Y., K. Budi Susrusa, Dewa Gde Mayun P, I
G.A. Lani Triani. 2016. Pengembangan Sistim
LEISA Pada Budidaya Kentang Untuk
Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas.
Prosiding Seminar Nasional SENASTEK 2016.
Bali
Setiyo, Y.,IBP Gunadnya, IBW Gunam, I Dewa Gede
Mayun Permana, I Ketut Budi Susrusa and IGA
Lani Triani. 2016. Improving Physical and
Chemical Soil Characteristics on Potatoes
(Solanumtuberosum L.) Cultivation by
Implementation of LEISA System. Agriculture
And Agricultural Science Procidia Elsiver Jurnal.
Vol 9: 501 – 5011.
KATA PENGANTAR
Kompos merupakan pupuk organik padat yang
sudah dikenal dikalangan masyarakat luas. Pupuk ini
mdemiliki kemampuan meningkatkan kualitas sifat
fisik, kimia dan biologi tanah, sehingga produktivitas
dan daya tahan tanaman meningkat. Kompos dapat
diproduksi oleh semua petani dengan memanfaatkan
limbah peternakan dan pertanian sebagai bahan baku.
Buku bioproses pengomposan sebagai panduan
untuk membuat kompos secara benar dan menghasilkan
kompos berkualitas. Oleh karena itu, harapan penulis
adalah semoga buku ini bermanfaat untuk masyarakat
luas.
Denpasar. 15 Agustus 2017
Team Penyusun
Universitas Udayana
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
TEAM PENYUSUN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
BAB I PERANAN PUPUK ORGANIK PADA
PERTANIAN
1
A Pupuk Anorganik 1
B Pupuk Organik 6
C Perbaikan Sifat Fisik Tanah 8
1. Tekstur dan struktur tanah 9
2 Porositas tanah 10
D
E
3
1
2
Kemampuan tanah menahan air
Sifat Kimia Tanah
Derajat keasaman tanah
Kesuburan tanah
Sifat Biologi Tanah
12
18
BAB II LIMBAH PETERNAKAN 20
A
Limbah Peternakan Sapi
1 Kotoran Padat Ternak Sapi
2 Sisa Pakan Ternak
3 Air kencing
20
21
22
23
B
C
D
Limbah Peternakan Babi
Limbah Peternakan Kambing
Limbah Peternakan Unggas 23
1
Limbah peternakan unggas
ayam
24
89
Setiyo, Y., Hadi K.P,Subroto, M.A,dan Yuwono,
A.S,2007. Pengembangan Model Simulasi Proses
Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal
Forum Pascasarjana Vol 30 (1) Januari 2007.
Bogor.
Setiyo, Y. 2009. Aplikasi Kompos Dari Sampah Kota
Sebagai Pupuk Organik Untuk Meningkatkan
Produktivitas Tanaman Jahe Merah. Disajikan di
Seminar Nasional Basic Science VI Tanggal 21
Februari 2009 di Universitas Barawijaya, Malang.
Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP.
2010.Bioremediasi In-Situ Pada Lahan Tercemar
Pestisida Kelompok Mankozeb Dengan Mikroba
Dari Beberapa Jenis Kompos (Seminar Nasional
Perhorti, Universitas Udayana)
Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP.
2011. Optimasi Proses Bioremediasi Secara in-
Situ Pada Lahan Lahan Tercemar Pestisida
Kelompok Mankozeb. Jurnal Teknologi Industri
Universitas Muhamadiyah Malang, ISSN 1978-
1431. Vol 12 No: 1 pg: 53-58, Februari 2011.
Setiyo, Y., Supartha Utama, Budi Susrusa, IBP
Gunadnya. 2012. Otimasi Produktivitas Kentang
Granola G3 Dengan Implementasi Teknologi
Mulsa Plastik Dan Proses Bioremediasi Secara In-
Situ. Prosiding Seminar Nasional PERTETA
Denpasar
Setiyo, Y., I BW Gunam, Sumiyati, dan Manuntun
Manurung. 2013. Optimalisasi Produktivitas
88
Asia'. New Industry Program Agriculture Western
Australia, Perth.
Budi Samadi, Ir. 1997. Usaha Tani Kentang. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Galvan Yudistira.2010. Induksi Umbi Mikro Kentang
Dengan Kultur Jaringan. Depaartemen Agronomi
Dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IBP. Bogor.
Indrayani, N. 2006. Bioiremediasi lahan tercemar
profenofos secara ex-situ dengan cara
pengomposan. [Thesis}. Bogor: Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Karjadi, 2003. Potensi Penerapan Teknik Kultur
Jaringan dan Perbanyakan Cepat dalam
Pengadaan Bibit kentang Berkualitas. Balai
penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Makalah
Seminar Sehari Pengembangan KSP Sayuran
Sembalun NTB, Mataram, Oktober 2002.
Katsivela, E, E.R.B. Moore, D. Maroukli, C. Stro¨ mpl,
D. Pieper & N. Kalogerakis. 2005. Bacterial
community dynamics during in-situ
bioremediation of petroleum waste sludge in
landfarming sites.JournalBiodegradation Vol 16:
pp 169–180.
Musnamar E.I., 2002. Pembuatan dan Aplikasi Pupuk
Organik Padat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah
Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Vol. 2(1). IPB,
Bogor, hal 71-72.
2 Limbah peternakan unggas non
ayam
BAB III LIMBAH PERTANIAN 59
A Limbah Budidaya Padi, Jagung
1 Jerami
2 Sekam
59
B Limbah Gergajian Kayu 66
C Limbah Perkebunan 80
1 Kopi 80
D
2
3
Kakao
Kelapa sawit
Rumput
82
BAB IV PROSES PENGOMPOSAN 86
A Proses Pengomposan Secara Aerob 105
1 Rasio karbon nitrogen biomassa 106
2 Ketersediaan oksigen 117
3
4
5
6
7
Suhu proses pengomposan
Derajat keasaman biomassa
Kadar air
Populasi mikroba
Penggunaan inokulan
117
B
C
D
Proses pengomposan Secara
Anaerob
Metode Pengomposan Secara Aerob
Kualitas Kompos
119
BAB V REAKSI KIMIA PADA PROSES
PENGOMPOSAN
122
A Reaksi Kimia Proses Pengomposan 122
B
Dinamika Reaksi Kimia Proses
Pengomposan
125
C
D
E
Dinamika Populasi Mikroba
Pindah Massa Pada Proses
Pengomposan
Pindah Panas Pada Proses
Pengomposan
BAB VI PERTUMBUHAN TANAMAN 127
A Perkembangan Tunas Apikal 127
1 Perkembangan tunas apical
selama penyimpanan 127
2 Perkembangan tunas apikal
setelah umbi ditanam 131
B Pertumbuhan/Perkembangan
Tanaman Kentang 131
1 Fase vegetatif tanaman kentang 132
2 Fase generatif 137
BAB
VII
PEMELIHARAAN TANAMAN
KENTANG 138
A Penjarangan Tanaman 138
B Penyiangan dan Pembubunan Tanah 138
C Pemasangan Anjir 139
D Pemupukan Susulan 139
BAB
VIII
HAMA DAN PENYAKIT 141
A Hama Tanaman Kentang 141
B Penyakit-penyakit Tanaman
Kentang 156
BAB IX PEMANENAN DAN PENANGANAN
PASCAPANEN KENTANG 168
A Pemangkasan Tanaman 168
87
DAFTAR PUSTAKA
Anyana, I W. S. 2009. Konservasi Sumber Daya Alam
Guna Menunjang Revitalisasi Pertanian Bali.
Seminar Nasional “Revitalisasi Sektor Pertanian
di Bali”, Universitas Udayana 18 September 2009.
Denpasar.
Armes, N.J., D.R. Jadhav, dan P.A. Lonergan. 1995.
Insecticide resistance in Helicoverpa (Hubner):
status and prospects for its management in India.
p. 522- 533. In Constable, G.A. dan N.W.
Forrester (Eds.) Challenging the future:
Proceedings of the World Cotton Conference I,
Brisbane, Australia, February 14- 17 1994.
CSIRO, Melbourne.
Arsa, W, Y. Setiyo, dan Made Nada. 2013. Kajian
relevansi Sifat Psikokimia Tanah Pada Kualitas
dan Produktifitas Kentang. Skripsi FTP
Universitas Udayana. Badung-Bali.
Ayie, Y. Setiyo, I.B.P. Gunadnya, G. Mainaka. 2012.
Uji Viabilitas Secara Cepat Pada Kentang G5
Dengan Perlakuan Perendaman Menggunakan
Larutan Klorine dan Gibreline Acid. Proseding
Seminar Nasional PERHORTI. Denpasar.
Batt, P.J. 1997. 'A review of the export market for
Western Australia seed potatoes in South East
86
Kompos selain memiliki kandungan unsur hara
yang baik juga harus memiliki sifat fisik yang baik pula.
Berdasarkan sifat fisik tersebut jika kompos
diaplikasikan sebagai pupuk organik dalam dosis 10 –
20 ton/ha kan mampu memperbaiki sifat fisik tanah
(Setiyo et al., 2016; Setiyo et al., 2017). Sifat fisik dari
kompos yang utama adalah ukuran partikel, kerapatan
massa, dan kemampuan mengikat air. Hasil penelitian
Zoes et al., (2001) sifat fisik kompos disajikan pada
Tabel 4 berikut :
Tabel 4 Hubungan diameter dengan sifat fisik kompos
(Zoes et al., 2001) .
Diameter
kompos,
mm
Kadar
abu,
%
Kera-
patan
massa
g/cm3
Poros
i-tas ,
%
Kemampu
an mena-
han air, %
> 4 44.7 0.45 67.4 66.8
2 – 4 41.3 0.35 50.3 75.1
1 – 2 43.2 0.4 67.4 70.1
< 1 45.1 0.44 70.2 65.7
B Pemanenan Umbi Kentang 170
C Penanganan Pascapanen Kentang 173
BAB X ANALISA USAHA 189
A Biaya Produksi 189
B
C
Analisa Keuntungan
Analisis Kelayakan Usaha
194
195
DAFTAR PUSTAKA 200
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Porositas tanah di zone
perakaran lahan yang dipupuk
kompos
9
Gambar 2 Sistim kandang ternak 9
Gambar 3 Umbi kentang 10
Gambar 4 Budidaya kentang sistem
guludan
22
Gambar 5 Jumlah energi radiasi matahari
yang menjadi karbohidrat
28
Gambar 6 Intensitas cahaya matahari di
dataran tinggidengan
ketinggian 1000 – 1300 m dpl.
31
Gambar 7 Bagan spektrum elektromag-
netik yang memperlihatkan
panjang gelombang cahaya
33
Gambar 8 Dampak lama penyinaran pada
produktivitas dan jumlah umbi
kentang yang busuk (Sumber:
Setiyo et al., 2013. Laporan
Penelitian Strasnas)
35
Gambar 9 Lama penyinaran di Bedugul-
Bali
36
Gambar 10 Distribusi rerata suhu harian
di Bedugul-Bali
39
Gambar 11 Anjir untuk menjaga tegaknya
tanaman
41
Gambar 12 Mekanisme aliran air di tanah
berporositas tinggi
43
85
A. Standar Mutu Kompos
Beberapa ahli sudah membuat standar mutu
kompos termasuk didalamnya lembaga standarisasi
nasional. Standar mutu kompos menurut SNI (Stantar
Nasional Indonesia), Departemen Pertanian (Deptan),
Asosiasi Bark Compost Jepang, Indriati dan Wilmot
disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Spesifikasi kompos menurut beberapa mutu
kompos
Parameter B C D E
Kandungan
bahan
organik, %
Total N, % 0.4 > - > 1.2 2.5-3.5
C/N 10 - 25 - < 35 20-25
K2O, % 0.2 > - > 0.3 >0.021
P2O5, % 0.1 > - > 0.5 >0.021
pH 6.8-7.5 7 - 8 5.5-7.5 7-8
Kadar air, % < 50 < 35 - 35-45
KTK, ,
meq/100g
> 25 > 25 > 25 > 25
Keterangan :
B = SNI
C = Standar Deptan
D = (Harada et al., 1993)
E = Indrasti dan Wilmot (2001)
84
BAB VI
KUALITAS KOMPOS
Kompos yang baik dapat digunakan sebagai
pupuk organik dan menggantikan atau sebagai
pensubtitusi pupuk kimia. Unsur-unsur yang
terkandung di dalam kompos harus mendekati unsur
kimia pada pupuk kimia dan bahkan lebih baik.
Kompos yang baik mengandung unsur hara yang
sifatnya tersedia bagi tanaman atau memiliki nilai
kapasitas tukar kation tinggi (KTK), sehingga lebih
cepat diserap oleh perakaran tanaman untuk
pertumbuhan.
Menurut Martin (1998), kompos yang matang
C/N 14 – 20, tidak mengandung zat penghambat
pertumbuhan tanaman, dan tidak mengandung
patogen bagi manusia. Menurut Gaur (1981), kompos
matang bila memiliki sifat-sifat berwarna coklat tua
hingga hitam, tidak larut dalam air, larut dalam
larutan alkali dan membentuk larutan berwarna gelap,
mempunyai C/N antara 10 – 20, mempunyai KTK
yang tinggi (lebih dari 25 meg/100 g kompos) dan
daya serap air yang tinggi (lebih dari 30 % w.b).
Syarat penting lainnya menurut Martin (1998) adalah
kompos tidak mengandung mikrorganisme patogen
bagi tanaman dan manusia, kompos tidak
mengandung zat yang menghambat pertumbuhan
tanaman, serta kompos mudah diserap tanaman.
Gambar 13 Populasi mikroba pada lahan
budidaya kentang
54
Gambar 14 Flowchart mendapatkan
kentang bibit G0 sampai G3
66
Gambar 15 Flow chartkulturjaringan 67
Gambar 16 Kentangbibit 81
Gambar 17 Pengolahan tanah dengan
pencangkulan
88
Gambar 18. Bagian bajak singkal 91
Gambar 19. Disk Plow 94
Gambar 20 Hasil pembajakan dengan
menggunakan bajak piring
(Disk Plow)
95
Gambar 21 Bajak rotary 99
Gambar 22 Bajak rotarytipe kebun 100
Gambar 23 Sketsa guludan dan saluran
drainase
103
Gambar 24 Guludan tegak lurus terhadap
kotur lahan
104
Gambar 25 Perubahan porositas tanah
akibat pemupukan lahan
mempergunakankompos
110
Gambar 26Hubungan Kadar air dengan
Dosis Pemupukan (Sumber:
Wayan Arsa et al., 2013:
Skripsi S1 FTP-Unud)
113
Gambar 27 Pemasangan Mulsa Plastik 120
Gambar 28Sketsa sistem penanaman
kentang satu alur
122
Gambar 29Penanaman kentang sistem dua 124
alur
Gambar 30 Bibit kentang G3 varietas
Granola
126
Gambar 31 Persentase umbi kentang yang
tumbuh tunas selama
penyimpanan di suhu ruang
128
Gambar 32 Hubungan tinggi tunas apical
dengan konsentrasi larutan
klorin
130
Gambar 33 Hubungan diameter tunas
apical dengan konsentrasi
larutan klorin
130
Gambar 34 Hubungan umur dan tinggi
tanaman kentang varietas
Granola
134
Gambar 35 Perkembangan umbi kentang
varietas Granola G3
Gambar 36 Ulat Grayak
Gambar 37 Penyakit busuk daun
Gambar 38 Penyakit layu bakteri
Gambar 39 Penyakit layu fusarium
136
153
157
159
161
Gambar 40 Pemanenan Kentang 173
Gambar 41 Persentase kentang bibit yang
busuk akibat perendaman
dengan klorin
181
83
82
)H.C.(Cpρ
)Th(T
r
T.v
Tv
vaa
Saa
r
a
X
x
Suhu material padat pada sistem dua dimensi
didekati dengan persamaan neraca energi mengikuti
persamaan Fourier’s. Pembentukan energi akibat
reaksi kimia pada sistem pengomposan sebesar Qs,
dan energi yang dihasilkan menyebabkan perubahan
suhu. Apabila harga k, dan S diasumsikan tetap, dan
harga 0)1(
x
, maka persamaan neraca
panas sebagai berikut :
SS.Cpρ
kα
wr2
S
2
2
S
2
S QQr
Tα
x
Tα
t
T
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kadar zat hara beberapa jenis
pupuk buatan (Sutedjo, 2002)
4
Tabel 2 Kandungan N, P dan K dari
beberapa jenis kompos (Sutanto,
2002).
11
Tabel 3 Kemampuan tanah menahan air
pada lahan yang dipupuk kompos
kotoran ayam
24
Tabel 4 Kemampuan tanah menahan air
pada lahan yang dipupuk kompos
kotoran sapi
34
Tabel 5 Kandungan hara dan jumlah
esksresi harian urin dari berbagai
jenis ternak.
50
Tabel 6 Kandungan hara biourin. 60
Tabel 7 Kandungan kimia beberapa
bahan organik padat (Haug,
1980)
61
Tabel 8 Komposisi unsur bahan organik
padat (Blidstone dan Gray, 1985)
63
Tabel 9 Kerusakan bibit kentang selama
penyimpanan
83
Tabel 10Sifat fisik tanah lahan budidaya
kentang
111
Tabel 11 Kualitas dan kuantitas produksi
kentang akibat implementasi
teknologi mulsa plastik
121
Tabel 12 Biaya investasi peralatan 190
Tabel 13 Hasil analisis biaya tetap 191
Tabel 14. Analisa biaya tidak tetap 193
Tabel 15. Analisa keuntungan budidaya
kentang bibit varietas granola
kelompok G3
Tabel 16 Analisa arus kas masuk dan kas
keluar
Tabel 17 Kelayakan usaha
195
198
199
81
E. Pindah Panas Pada Proses Pengomposan
Panas yang dihasilkan dalam pengomposan
sesuai dengan hasil penelitian Nakasaki et al. (1987)
yaitu :
Qr = Qw + Qa + Ql
Panas reaksi didekati dengan modifikasi
persamaan yang dikembangkan Nakasaki et al.
(1987).
s
O2
rCp
.QoRQ
Nilai Qo adalah 106 k.kal/mol-O2.
Panas yang dibuang lewat aliran udara keluar
sistem, dihitung dengan persamaan :
Ql = h.A.(TS – Ta)
Panas untuk menaikan suhu atau Qa adalah :
Qa = ms.Cps.∆Ts
Sedangkan panas untuk menguapkan air atau
Qw didekati dengan persamaan :
s
fgH2O
wCp
.hRQ
Neraca energi pada media poros sistem dua
dimensi dituliskan dalam persamaan :
80
D. Pindah Massa Pada Reaksi Pengomposan
Laju produksi karbondioksida dan konsumsi
oksigen pada reaksi kimia pengomposan didekati
dengan persaman :
CO2
CO2
r
CO2
XCO2BM
1)
r
C.D
x
C.(DR
dan harga RO2 dirumuskan :
O2
O2
x
O2
rO2BM
1)
x
CD
r
C.(DR
H2O
H2O
x
H2O
rH2OBM
1)
x
CD
r
C.(DR
Sampah organik merupakan media porous
yang terdiri dari padatan, dan udara yang mengandung
uap air. Padatan terdiri dari bahan organik padat dan
mikroorganisme, sedangkan udara terdiri dari gas O2,
N2, CO2, dan uap air (H2O). Uap air menempati pori-
pori massa sampah organik. Massa sampah organik
mengalami penyusutan akibat reaksi kimia
pengomposan. Berdasarkan neraca massa pada reaksi
kimia, maka perubahan massa sampah organik
dirumuskan dengan persamaan (3.32).
SO2H2OXCO2s )mRRR(R
t
m
1
BAB I
PERANAN PUPUK ORGANIK PADA
PERTANIAN
Tanah yang memenuhi persyaratan agar
mampu menjadi media untuk menjaga pertumbuhan
tanaman tetap optimal adalah tanah yang memiliki
kandungan unsur hara dengan jumlah bahan organik
lebih dari 5 % dan memiliki sifat fisik yang baik
(gembur) (Musnawar, 2002; Setiyo et al., 2017).
Kandungan bahan organic mengalami pengurangan
apabila dilahan pertanian yang dibudidayakan
tanaman pangan atau non pangan hanya dipupuk
dengan pupuk kimia tanpa adanya penambahan pupuk
organik. Perilaku petani melakukan budidaya tanaman
pangan dan non pangan hanya mengandalkan pupuk
kimia saja hampir terjadi pada sebagian besar petani
di Indonesia.
Dampak pengurangan bahan organik pada
lahan pertanian terutama di zone lapisan olah atau
zone perakaran yang paling sering terjadi adalah : (1)
produktivitas tanaman menurun, (2) tanaman lebih
rentan terhadap serangan hama dan penyakit, (3)
lahan pertanian menjadi semakin kritis atau tidak
sustainable untuk budidaya tanamam pangan dan non
pangan. Hal-hal yang setring terjadi di Indonesia
adalah : (1) produktivitas padi oleh petani rata-rata
kurang adri 5 ton/ha, (2) terjadi kebijakan pemerintah
2
mengimpor bahan pangan yang juga dibudidayakan
oleh petani di Indonesia karena gagal panen atau
produktivitasnya rendah. Produktivitas tanaman
menurun sebagai akibat dari tanaman kekurangan
unsur hara mikro dan makro.
Selain itu, ketidak tersedian unsur hara di
lahan pertanian juga menyebabkan terjadinya kelainan
pertumbuhan tanaman, kelainan ini dapat disebabkan
oleh karena kekurangan beberapa unsur hara mikro
ataupun unsur hara makro. Pemupukan adalah suatu
aktivitas penambahan unsur hara tertentu ke dalam
tanah terutama pada zone lapisan olah sesuai dengan
kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman
sesuai sehingga tercapai target produksinya (Sutedjo
(2002).
Pemupukan lahan pertanian merupakan hal
yang sangat penting kaitannya dengan upaya
peningkatan produktivitas tanaman dengan cara
meningkatkan kesuburan lahan, oleh karena itu petani
pada umumnya selalu melakukan pemupukan
tanaman yang dibudidayakan mempergunakan pupuk
organik dan atau pupuk anorganik. Pupuk anorganik
dengan karakteristik hanya mampu mensuplai unsur
hara yang terkandung pada pupuk tersebut, sedangkan
pupuk organik mampu mensuplai unsur hara mikro
dan makro untuk tanaman yang dibudidayakan.
A. Pupuk Anorganik
79
dan mikroorganisme yang sudah terseleksi yang
berasal dari kompos berusia tiga minggu. Alasan
kedua adalah bahan organik dari sisa tanaman pada
dasarnya sudah mengandung enzim-enzim yang
bekerja sebelum mikroorganisme bekerja
menguraikan bahan organik. Pada proses
pengomposan terjadi perubahan mikroorganisme
secara kualitatif dan kuantitatif (Sutanto, 2002). Hasil
indentifikasi terhadap jenis mikroorganisme yang
aktif pada proses pengomposan ditemukan adanya
mikroorganisme yang patogen terhadap manusia dan
patogen terhadap tanaman. Mikroorganisme patogen
primer pada manusia adalah Salmonella enteritidis
dan E. coli, sedangkan patogen sekunder adalah
Aspergillus fumigatus. Beberapa mikroorganisme
patogen terhadap manusia tersebut juga ditemukan
dalam proses pengomposan sewage sludge (EPA,
1985). Aspergillus fumigatus ditemukan terutama
pada lapisan atas yang kering. Salmonella enteritidis
dan E. coli juga ditemukan pada kompos yang
diproduksi Perusahaan Daerah. Leuwigajah dan PT
Nandi Utama (Jannah, 2003).
Hasil identifikasi mikroorganisme patogen
terhadap manusia ditemukan di fase mesofilik. Namun
di fase thermofilik mikroorganisme patogen tersebut
sudah mati. Salmonella enteritidis dan E. coli akan
mati jika pengomposan melewati 10 hari, karena
setelah 10 hari suhu pengomposan di atas 55 oC, hal
serupa juga ditemukan dari penelitian (EPA, 1985).
78
digantikan oleh kelompok mesofilik yang dorman
pada fase thermofilik. Mikrorganisme thermofilik
berkembang optimum pada suhu pengomposan di
atas 45 oC sampai 66
oC (Carpenter, 1992).
Mikroorganisme thermofilik yang aktif berperan
dalam proses pengomposan sampah organik menurut
Budiyanto (2004) serta Bliddstone dan Gray (1985)
adalah kelompok kapang dan aktinomisetes.
Aktinomisetes tetap aktif mengurai bahan organik
pada suhu 70oC (Panagan, 2003).
Mikroorganisme thermofilik ini bertahan
hampir 2 minggu dalam mengurai bahan organik. Hal
ini disebabkan oleh karena C/N sampah organik yang
dikomposkan masih tinggi (lebih dari 35), dan pH
optimum untuk aktivitas penguraian bahan organik,
enzim jenis selulotik masih cukup tersedia.
Laju perkembangbiakan mikroorganisme hari
ke-1 sampai hari ke-7 berupa fase logaritmik, hari ke-
8 – ke-28 pertumbuhan naik dengan laju semakin
menurun, hari ke-29 – ke-42 perkembangan pada fase
stasioner, dan selanjutnya mikroorganimse
pengomposan pada fase kematian. Gambar 14
merupakan kurva laju pertumbuhan mikroorganisme.
Pada lapisan atas laju paling kecil dibandingkan
lapisan tengah dan lapisan bawah.
Fase penyesuaian terjadi secara singkat karena
mikroorganisme yang digunakan selama
pengomposan adalah mikroorganisme fakultatip yang
sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan tumbuh
3
Pupuk anorganik atau pupuk buatan yang
merupakan hasil industry pemerintah atau swasta.
Pabrik pembuatan pupuk misalnya pabrik Sriwijaya,
pabrik Kujang, dan pabrik Petrokimia. Pupuk-pupuk
buatan pada umumnya mengandung unsure hara
tertentu, unsur-unsur hara tersebut tercantum pada
label, namun unsur hara mikro pada umumnya tidak
ada. Pada Tabel 1 disajikan kadar zat hara dari
beberapa jenis pupuk buatan.
Tabel 1. Kadar zat hara beberapa jenis pupuk buatan
(Sutedjo, 2002) Jenis Pupuk Kadar, %
N P2O5 K2O CaO
Pupuk Zat Lemas
Amonia Klorida :
NH4Cl Amonium Nitrat :
NH4NO3
Kapur Amoniak : NH4NO3
+ CaCO3
Urea : CO(NH2)2
24
33–34
15
42
1
8,5
Pupuk Fosfat :
Superfosfat : Ca(H2
PO4) + CaSO4 Fosfat alam
Basic slag (limbah
pabrik baja)
14,5–20 20–28
16-20
25 – 30
4 Pupuk Kalium
Kalium Klorida : KCl Kalium Sulfat : K2SO4
60
40
Pupuk Campuran :
Ammophoska NPK
Amonium Fosfat
Ammophos A
Ammophos B
10
10
12 16
11
16
20
30
24 20
38
20
15
10
12
1,5
0,5
Pada budidaya tanaman pangan yang
berumur panen 3 – 4 bulan pada umumnya
pemupukan kimia pertama diberikan pada saat tanam
dengan dosis 300 kg/ZA, 250 kg SP36, 250 kg
KCl/ha. Pada umur 35 hst, tanaman dipupuk dengan
urea 250 kg/ha (Setiyo et al,. 2011). Pemupukan
pertama yang berupa pupuk dasar difokuskan untuk
pertumbuhan vegetative tanaman terutama
pembentukan akar, batang, dan daun. Sedangkan
pemupukan ke dua difokuskan untuk pertumbuhan
generative tanaman atau untuk peningkatan
produktivitas tanaman.
Pupuk kimia memiliki kelebihan yaitu lebih
mudah diserap oleh tanamanan, sehingga dua sampai
lima hari setelah pemupukan tanaman akan memberi
respon yang positip. Sehingga pupuk kimia secara
cepat akan meningkatkan kesuburan tanah dan
ketersediaan hara bagi tanaman. Namun, pupuk kimia
77
Perombakan bahan organik dilakukan oleh
bermacam-macam mikroorganisme heterotropik
seperti bakteri, kapang, aktinomisetes dan protozoa
(Biddlestone dan Gray, 1985). Mikroorganisme yang
berperan aktif selama pengomposan dari minggu ke-0
sampai minggu keenam dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu kapang, bakteri dan aktinomisetes (McKinley et
al., 1985). Mikroorganisme pengurai kelompok ke
dua dan ke tiga seperti protozoa, rotifera, mold, mite,
dan beete mite berperan aktif mulai minggu keenam.
Mulai minggu keenam suhu sudah turun, sehingga
mikroorganisme pengurai kelompok ketiga dapat
bertaham hidup.
Mikroorganisme yang berkembang selama
perngomposan didominasi oleh kelompok mesofilik.
Ada dua kelompok mikroorganisme yang optimum
berkembang pada suhu 20 o
C s/d 35 o
C, dan
kelompok kedua yang berkembang optimum pada
suhu 35 o
C s/d 45 o
C (Carpenter, 1992).
Mikroorganisme kelompok kedua ini paling dominan
yang berperan selama pengomposan dan merupakan
kelompok mesofilik yang sudah terseleksi secara
alami karena kompetisi dalam memperebutkan bahan
organik untuk sintesa sel. Spesies yang bertahan akan
mengenyahkan spesies lainnya yang sudah lemah
karena perubahan suhu dan pH (Budiyanto, 2004).
Sedangkan, mikroorganisme thermofilik
hanya berkembang dalam waktu cukup lama yaitu di
minggu kedua dan ketiga, setelah itu perannya
76
Populasi awal mikroorganisme pengomposan
sampah organik hasil penelitian sesuai dengan data
hasil penelitian Sudiarjana (2003); Nakasaki et al.
(1987a); Indrayani (2006); dan Choiriah (2006).
Sudiarjana (2006) pada identifikasi mikroorganisme
di awal pengomposan sampah ditemukan populasi
bakteri 7.9 x 107 sel g
-1 bahan kering dan populasi
kapang 9.2 x 106sel g
-1 bahan kering. Nakasaki et al.
(1987a) pada pengomposan cake sludge, populasi
mikroorganisme awal pengomposan 8 x 107 sel g
-1
bahan kering. Indrayani (2006) pada penelitian
bioremediasi lahan tercemar profenofos dengan
pengomposan menemukan mikroorganime awal
populasinya 108 sel g
-1 bahan kering, sedangkan
Choiriah (2006) pada pengomposan sampah pasar
mendapatkan populasi mikroorganisme awal 108 sel g
-
1 bahan kering.
Puncak populasi mikroorganisme pada
pengomposan sampah kota hasil penelitian
pendahuluan 1015
sel per g kering bahan organik,
angka ini lebih besar dibandingkan dengan data
penelitian Choiriah (2006); Indrayani (2006) dan
Nakasaki et al. (1987a). Puncak populasi
mikroorganisme hasil penelitian Choiriah (2006) dan
Nakasaki et al. (1987a) masing-masing adalah 1013
,
dan 3 x 1010
sel g-1
bahan kering. Perbedaan ini
disebabkan karena C/N awal pengomposan berbeda,
serta bahan baku berbeda.
5
tidak mampu memperbaiki sifat fisik dan sifat biologi
tanah.
Pupuk kimia akan bereaksi dengan senyawa-
senyawa lain pembentuk tanah dan terikat secara
kimiawi oleh unsur-unsur tersebut, sehingga tidak
mampu merubah komposisi fraksi pasir, debu dan liat
penyusun tanah atau merubah tekstur tanah. Unsur
pupuk kimia juga tidak mampu merubah jumlah pori-
pori mikro dan berat jenis tanah, sehingga jumlah air
yang ada di pori-pori mikro dan yang terikat secara
higroskopis tidak berubah.
Selain itu, karena pupuk kimia tidak mampu
merubah tekstur tanah, maka jumlah pori-pori makro
di dalam tanah juga tidak berubah, sehingga laju
infiltrasi dalam tanah tidak berubah dan jumlah
oksigen dalam tanah bersifat tetap. Oleh karena itu
lahan pertanian yang dipupuk dengan pupuk kimia
secara terus menerus akan mudah memadat setelah
pengolahan tanah, karena kerapatan massa tanah akan
terus meningkat.
Pupuk kimia tidak mampu memperbaiki sifat
biologi tanah, karena sifat dari unsur yang terkandung
pada pupuk lebih mudah disertap perakaran tanaman.
Hal ini menyebabkan biota tanah tidak mampu
mengkonsumsinya untuk sintesa selnya.
B. Pupuk Organik
6
Pupuk organik memiliki peranan yang sangat
penting untuk mempertahankan konsep keberlanjutan
sistim pertanian. Penggunaan pupuk organik padat
sebagai pupuk pada budidaya tanaman pangan dan non
pangan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun
biologis dari tanah (Setiyo, et al., 2011; (Pare et al.,
1998; dan Kondo dan Yasuda, 2003). Pada sistim
pertanian berkelanjutan mempertahankan sifat fisik,
kimia dan biologi tanah terutama di zone perakaran atau
lapisan olah adalah hal utama.
Perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah
sangat penting dalam menjaga peran tanah : (1) sebagai
media pertukaraan unsur hara, air dan oksigen antara
tanah dengan tanaman, dan (2) media tumbuh dan
tegaknya tanaman. Oleh karena itu, petani padi dan
hortikultura mulai mepergunakan kompos dari kotoran
ternak untuk mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi dari tanah. Sasaran lain dari penggunaan
kompos pada budidaya tanaman pangan adalah sebagai
untuk menghasilkan produk bahan pangan organik.
Namun, pupuk organic yang berupa pupuk
padat atau kompos dan pupuk cair sebagian besar
diproduksi oleh petani dan sebagian kecil terutama
pupuk cair diproduksi oleh perusahaan swasta. Bahan
utama pupuk organik adalah limbah pertanian dalam
arti luas. Oleh karena itu, pemberdayaan petani melalui
program SIMANTRI (Sistem Pertanian Terintegrasi).
Program SIMANTRI mengintegrasikan antara
perternakan, perikanan dan pertanian. Limbah
75
dingin dan kering atau lapisan atas berkembang jenis
kapang mesofilik.
Populasi konsorsium milroorganisme di awal
pengomposan adalah 107 sampai 10
9 per g sampah
organik kering. Populasi mikroorganisme awal
pengomposan di atas 107, karena inokulan awal adalah
sampah organik yang sudah dikomposkan berumur 3
minggu dengan volume 1/3 dari total volume sampah
organik baru. Populasi konsorsium mikroorganisme
mencapai puncak sekitar 1015
per g sampah organik
kering dicapai akhir minggu ke tiga pengomposan.
Populasi mengalami penurunan mulai awal minggu ke
tujuh proses pengomposan.
Gambar ... populasi mikroba saat proses
pengomposan
74
Gambar... Nilai μ bakteri selama pengomposan
biomassa padat
Gambar 14 adalah perubahan populasi
konsorsium mikroorganisme pada proses pengomposan
sampah untuk lapisan bawah, lapisan tengah dan
lapisan atas hasil percobaan skala laboratorium.
Lapisan tengah merupakan mintakat panas dan lembab,
kondisi ini ideal untuk perkembangbiakan
mikroorganisme baik kapang maupun bakteri jenis
mesofilik dan jenis thermofilik dibandingkan ke dua
mintakat lainnya (Sutanto, 2002). Lapisan bawah atau
mintakat basah dan dingin, mikroorganisme jenis
mesofilik yang berkembang pada mintakat ini. Mintakat
0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0- 1 . 5
- 1
- 0 . 5
0
0 . 5
1
1 . 5
2
2 . 5
3
W a k t u p e n g o m p o s a n , h a r i
La
ju P
ert
ub
uh
an
ba
kte
ri,
pe
r h
ari
L a p i s a n t e n g a h
L a p i s a n a t a s
L a p i s a n b a w a h
7
peternakan dan pertanian dari kegiatan kelompok tani
yang tergabung pada SIMANTRI diolah menjadi
pupuk kompos dan pupuk cair dan pupuk tersebut
dipergunakan untuk mendukung budidaya tanaman
pangan dan non pangan.
Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal
dari dekomposisi secara aerob maupun anaerob kotoran
ternak (sapi, ayam, babi, kambing, kuda, kelinci dll).
Kotoran ternak padat (feces) yang bercampur sisa
makanan, dan kotoran ternak cair dalam bentuk air
kencing (urine) dapat diolah menjadi pupuk organik.
Namun ke dua bahan baku tersebut harus diproses
secara aerob atau anaerob untuk menjadi pupuk yang
memenuhi standar mutu, kompos adalah pupuk organik
padat sedangkan biourine adalah pupuk organik cair.
Pada budidaya tanaman pangan petani lebih sering
memergunakan pupuk kompos dari pada biourine dan
pupuk organik cair lainnya.
Bahan kompos dengan kadar air 60% memiliki
karakteristik akan terasa basah jika diremas tetapi air
tidak sampai menetes (Indriani, 2001). Penggunaan
pupuk organik sangat efektif bagi mikroorganisme
dalam menyerap N2 untuk peningkatan kesuburan
tanah. Kompos juga dapat meningkatkan daya tahan
tanaman terhadap penyakit (Pinamonti et al., 1997)
serta menurunkan ketersediaan logam-logam berat
(Pare et al., 1999).
8
Tabel 2. Kandungan N, P dan K dari beberapa jenis
kompos (Sutanto, 2002).
Jenis pupuk
organik
Nitrogen,
% Fosfor, %
Kalium,
%
Kotoran Kerbau 0,6 – 0,7 2,0 – 2,5 0,4
Kotoran Sapi 0,5 – 1,6 2,4-0 2,9 0,5
Kotoran Kuda 1,5 – 1,7 3,6 – 3,9 4,0
Kotoran Ayam 1,0 – 2,1 8,9 -10,0 0,4
Jerami Padi 0,8 0,2
C. Perbaikan Sifat Fisik Tanah
Aplikasi kompos sebagai pupuk organic dapat
memperbaiki sifat fisik tanah terutama (1) porositas, (2)
(3) kemampuan menyerap air, (4) struktur dan tekstur
dari tanah.
1. Tekstur dan struktur tanah
Kompos kotoran ternak yang diberikan sebagai
pupuk organik dengan dosis 15-20 ton/ha berdampak
pada terjadinya kenaikan jumlah bahan organik di zona
perakaran tanaman yang dibudidayakan. Bahan organik
73
μb = 0.203 x e0.5675 t
μk = 0.1095 x e0. 7585 t
Laju perkembangbiakan bakteri dan kapang
pada fase laju menurun dirumuskan :
µb = 6.3219 x e-0.25 t
µk = 14.903 x e-0.42 t
Pada fase stasioner harga μb dan μk adalah nol,
sedangkan untuk fase kematian dirumuskan :
µb = 10 / (-14. – 126.3 x 0.733t – 1
)
µk = 10 / (-14. – 126.3 x 0.733t – 1
)
72
m = b – 2g
Subtitusi persamaan (3.9), persamaan (3.11),
dan persamaan (3.13) pada persamaan (3.4)
didapatkan persamaan (3.18) :
n = 2e + c - 2f – g
dan
a
fXc
Ratio karbon nitrogen atau C/N dirumuskan :
14o
12k'
N
C
C. Dinamika Populasi Mikroba
Jumlah mikroorganisme didalam proses
fermentasi termasuk pengomposan menurut Birol et al.
(2002) mengalami peningkatan. Peningkatan populasi
mikroorganisme dituliskan :
Xt = Xt – 1 eμ(t)
Harga μ(t) untuk fase logaritmik, fase laju menurun,
fase stasioner dan fase kematian kapang dan bakteri
dari hasil percobaan pendahuluan dirumuskan pada
persamaan (3.22) s/d (3.28). Laju perkembangbiakan
bakteri dan kapang pada fase logaritmik dirumuskan :
9
merupakan unsur-unsur kima atau mineral-mineral hasil
dekomposisi dari kompos. Proses dekomposisi kompos
menghasilkan mineral-mineral penyusun fraksi debu
pada tanah, sehingga pada lapisan olah jumlah fraksi
debu tanah akan meningkat dengan adanya pemupukan
mempergunakan kompos. Mineral-mineral yang
dihasilkan oleh dekomposisi kompos adalah : Fe+2
,
Cu+2
, Mg+, Al
+ , Ca
+2 , dan Mn
+ (Setiyo et al., 2007;.
Arsa et al. 2013).
Kenaikan jumlah fraksi debu pada lahan pertanian
yang dipupuk mempergunakan kompos sangat
tergantung dari jumlah dosis pupuk kompos yanag
dipergunakan. Pemupukan sampai dosis kompos 20
ton/ha dari hasil penelitian hanya mampu meningkatkan
jumlah fraksi debu sebesar 2,1 ± 0,02 %, sehingga
kenaikaan ini secara umum tidak mampu mengubah
tekstur tanah ringan ataupun tanah berat.
Selain itu, bahan organik yang ada pada kompos
tidak dapat mempersatukan partikel-partikel tanah
menjadi sebuah agregat tanah untuk kelompok tanah
ringan atau tanah yang didominasi oleh fraksi pasir dan
debu. Kelompok tanah ringan seperti jenis andosol di
zona perakaran tetap dikelompokan sebagai tanah yang
tidak terstruktur atau pada kondisi remah.
Sedangkan peran peningkatan bahan organik pada
tanah berat atau yang didominasi oleh fraksi liat dan
debu adalah menambah jumlah pori mikro pada agregat
tanah. Pemupukan dengan kompos pada tanah berat dari
beberapaa ahsil penelitian di tanahan padi juga belum
10
mampu mengubah struktur tanah, tanah di zone
perakaran masih mudah terbentuk agregat tanah. Hal ini
nampak pada saat pengolahan tanah dengan cangkul
atau bajak (bajak rotary dan atau bajak singkal) pada
lahan yang akan dibudidaayakan tanaman padi, tanah
masih menyatu dan memerlukan pengolahan tanah
kedua untuk menghasilkan lumpur.
2. Porositas tanah
Karakteristik fisik dari kompos sangat
berpengaruh nyata pada perubahan porositas tanah yang
dipupuk mempergunakan kompos. Karakteristik fisik
dari kompos yang berpengaruh pada perubahan
porositas tanah adalah porositas dari kompos itu sendiri,
porositas dari kompos sangat ditentukan oleh unsur-
unsur utama penyusun kompos. Kompos dari kotoran
sapi memiliki unsur utama feses kotoran sapi dan sisa
pakan yang sebagian besar rumput, sedangkan kompos
kotoran ayam dari peternak memiliki unsur utama
kotoran ayam dan sekam padi.
Oleh karena itu, lahan pertanian yang dipupuk
mempergunakan kompos dari kotoran ayam memiliki
ciri jumlah porositas tanah lebih besar dibandingkan
tanah yang dipupuk mempergunakan kompos kotoran
sapi. Jumlah porositas tanah lahan pertanian yang
dipupuk dengan kompos kotoran ayam dan kotoran sapi
dengan dosis 20 ton/ha masing-masing adalah 55,6 ±
0,3 % dan 45,0 ± 0,32 % (Setiyo, et al 2017).
71
berkorelasi dengan jumlah mol CO2. Hubungan
tersebut dirumuskan :
RH2O = γ. RCO2
Nilai γ adalah 15, sehingga jumlah mol air
hasil reaksi pengomposan (g) adalah :
H2O
H2O
BM
Rg
Didalam proses pengomposan bahan organik
padat sebagian besar berupa daun dan sedikit bahan
makanan. Unsur nitrogen dalam limbah tersebut
sangat kecil, oleh sebab itu besarnya NH3 hasil reaksi
dapat diabaikan. Dengan asumsi NH3 sangat kecil,
maka persamaan (3.6) menjadi :
2
mbg
dan persamaan (3.7) menjadi :
d = o
Subtitusi persamaan (3.9) pada persamaan
(3.5) didapatkan persamaan (3.16) berikut :
k’ = a – f
Subtitusi persamaan (3.13) pada persamaan
(3.14) didapatkan persamaan (3.17) .
70
mikroorganisme, sedangkan nilai m’.X adalah jumlah
mol karbondioksida untuk pemeliharaan sel
mikroorganisme pada fase stasioner dan kematian.
Nilai Yrs sebesar 10-10
sampai 10-11
mol sel-1
jam-1
,
m’ pada fase stasioner 10-14
mol sel-1
jam-1
sampai 10-
17 mol sel
-1 jam
-1 dan fase kematian m’ harganya 10
-16
sampai 10-18
mol sel-1
jam-1
. Nilai f disubtitusikan
pada persamaan (3.8), menjadi :
f = RCO2
Laju konsumsi oksigen untuk reaksi
pengomposan dituliskan Nakasaki et al. (1987c)
dengan persamaan :
RQ
RR CO2
O2
RQ adalah respirasi rata-rata dan sebagai
fungsi suhu. Harga RQ masing-masing 0.5, 0.55, 0.65,
0.71, dan 0.79 untuk suhu 37 oC, 46
oC, 56
oC, 62
oC
dan 70 oC. Pada awal reaksi RCO2 diberikan harga 1 x
10-7
mol CO2 jam-1
g -1
kompos kering.
Dari persamaan (3.10), maka jumlah mol
oksigen yang dibutuhkan dalam reaksi pengomposan
(e) adalah :
e = RO2
Hasil penelitian Nakasaki et al., 1987c berat air
hasil reaksi pengomposan bahan organik padat
11
Gambar 1 Porositas tanah di zone perakaran lahan
yang dipupuk kompos
Pori mikro dan pori makro pada tanah yang
dipupuk mempergunakan kompos kotoran ayam atau
kotoran sapi disajikan pada Gambar 1. Jumlah pori
mikro tanah pada lahan yang dipupuk mempergunakan
kompos kotoran ayam atau kotoran sapi ± 60 % dari
total pori di tanah, hal ini sangat baik untuk sifat fisik
tanah. Kondisi ini berdampak pada kemampuan tanah
menahan air dan menyediakan oksigen untuk
pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan.
Lahan pertanian di Bedugul-Bali yang digunakan
untuk budidaya kentang, karena sudah dipupuk
mempergunakan kompos kotoran ayam mulai tahun
2011 memiliki porositas tanah untuk tanah mencapai
lebih dari 50%. Dampak dari pemupukan tanamanan
hortikultura pada setiap budidaya menyebabkan
30
40
50
60
70
2010 2012 2014 2016Po
oro
sita
s ta
na
h,
%
Tahun
Kompos Kotoran sapi Kompos Kotoran Ayam
12
peningkatan porositas tanah dengan laju 4 % per
budidaya.
Sekam padi yang tercampur kotoran ayam pada
kompos sulit terurai, sehingga sekam selalu
meningkatkan jumlah pori makro dan pori-pori mikro
tanah (Setiyo, et al., 2013). Tapi, jumlah porositas tanah
untuk tanah yang dipupuk menggunakan kotoran sapi
kompos di 2015 mencapai 46 % (Setiyo et al., 2014).
Tanah di zone perakaran memiliki porositas tanah
adalah 50% sangat ideal untuk budidaya kentang,
asalkan persyaratan lain terpenuhi. Selain itu, jumlah
ketidak seimbangan pori-pori makro dan mikropori-pori
di zona akar penyebab air dan oksigen tersedia untuk
pertumbuhan hortikultura.
3. Kemampuan tanah menahan air
Air yang ada di tanah dikelompokan menjadi
: (1) air gravitasi, (2) air kapiler, (3) air higroskopis
dan (4) air yang terikat secara kimiawi. Air gravitasi
menempati pori makro tanah dan akan mengalir ke
bawah akibat gaya gravitasi, sehingga air ini tidak
dapat dipergunakan oleh tanaman. Air kapiler mengisi
pori mikro, sedangkan air higroskopis akan
menyelimuti partikel tanah, kedua jenis air ini yang
dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk
pertumbuhannya. Sedangkan air yang terikat secara
kimiawi sulit dimanfaatkan oleh tanaman karena
sangat kuat diikat oleh ikatan kimia.
69
mikroorganisme yang aktif jenis thermofilik. Dan
tahap keempat pada fase suhu turun sampai dicapai
kompos yang stabil. Hasil antara fase pertama sampai
fase ketiga merupakan hasil antara, dan bahan
organik masih terus mengalami dekomposisi.
Kenaikan suhu diakibatkan karena pelepasan energi
reaksi pengomposan.
Sampah organik dengan rumus kimia
CaHbOcNd, mikroorganisme pengurai, dan kompos
dengan rumus kimia Ck’HmOnNo. Dari reaksi kimia
tersebut menurut Bach et al. (1987) jumlah karbon
dalam kompos yang dihasilkan adalah (1 – Xc),
dengan konversi karbon oleh reaksi. Persamaan
koefisien-koefisien reaksi kimia pengomposan ditulis
:
2
c)ng(2fe
f = a – k’
2
3hmbg
'
h’ = d – o
Menurut Vinierega dan González, (1998);
Nakasaki et al., 1987c produksi karbondioksida dari
fermentasi limbah padat dirumuskan
RCO2 = Yrs x Rx + m’.X.
Nilai Yrs x Rx adalah jumlah karbondioksida
yang digunakan untuk perkembangbiakan
68
2NH3 + 3O2 2HNO2 + 2H2O + Qr
bakteri nitrosomonas
HNO2 + ½ O2 HNO3 + Qr (Energi)
Bakteri pengoksidasi nitrit
Bach et al. (1987) menuliskan persamaan
stoikiometri reaksi kimia penguraian bahan organik
secara global. Karbohidrat, selulosa, hemiselolosa,
lignin, protein dan lemak dengan unsur utama C, H, O
dan N pada pengomposan secara aerob dirumuskan
berikut :
CaHbOcNd + eO2 fCO2 + gH2O +
h’NH3 + Ck’HmOn No + Qr
Substrat mikroorganisme selulotik, lignolitik
kompos
Reaksi pengomposan berdasarkan suhu reaksi
terjadi pada 4 tahap. Tahap pertama, suhu 25 – 30 oC
mikroorganisme yang aktif jenis phychrofilik. Tahap
kedua, suhu 30 – 45 oC mikroorganisme yang aktif
jenis mesofilik. Tahap ketiga, suhu 45 – 75 oC
13
Jumlah air yang terikat secara kimiawi
tergantung pada unsur-unsur kimia penyusun partikel
tanah. Jumlah air higroskopis tergantung pada ukuran
partikel tanah. Sedangkan jumlah air kapiler dan air
gravitasi tergantung pada jumlah pori mikro dan pori
makro pada tanah.
Pupuk kompos secara fisik mampu
meningkatkan jumlah pori-pori mikro pada tanah,
sehingga hal ini berdapak pada kenaikan jumlah air
yang ada di pori tersebut atau jumlah air kapiler.
Selain itu, peningkatan jumlah fraksi debu pada tanah
juga meningkatkan jumlah air higroskopis pada tanah.
Air kapiler dan air higroskopis dikelompokan pada
jenis air kapasitas lapang. Dengan demikian jumlah
kadar air kapasitas lapang pada tanah yang dipupuk
dengan kompos meningkat dengan meningkatnya
dosis pemupukan, hal ini dapat dibaca di Tabel 3 dan
Tabel 4.
Peningkatan jumlah pori makro
mengakibatkan air gravitasi yang mengisi pori
tersebut semakin besar jumlahnya. Hal ini
mengakibatkan tanah di zone perakaran lebih mampu
meneruskan air atau meningkatkan laju infiltrasi air
ketika lahan diberi air irigasi atau menerima air hujan,
sehingga drainase lahan menjadi semakin baik.
Perbaikan sifat fisik tanah terutama jumlah
pori makro dan pori mikro akibat pemupukan
mempergunaklan kompos tidak berpengaruh secara
nyata terhadap perubahan kadar air titik layu
14
permanen. Dengan demikian hal ini berdampak secara
umum terjadinya peningkatan kemampuan tanah
menahan air. Kemampuan tanah menahan air
merupakan selisih antara kadar air kapasitas lapang
dengan kadar air pada titik layu permanen. Kadar air
titik layu permanen tergantung pada jenis tanaman,
varietas dan umur tanaman, sedangkan kadar air
kapasitas lapang tergantung pada jenis tanah.
Kemampuan tanah menahan air disajikan pada Tabel
3 dan Tabel 4. Air yang tertahan di tanah akan
dipergunakan oleh tanaman untuk pertumbuhan
tanaman.
Tabel 3 Kemampuan tanah menahan air pada lahan
yang dipupuk kompos kotoran ayam
Parameter sifat fisik
tanah
Dosis pemupukan kompos
kotoran ayam, ton/ha
10 15 20 25
Kadar air kapasitas
lapang, % w.b 28.76 30 31 31.7
Kadar air titik layu
permanen, % w.b 7.98 6.96 8.01 7.75
Kapasitas penahanan air,
% w.b 20.78 23.01 23 23.9
Berat jenis, g/ml 1.29 1.27 1.26 1.25
Sumber : Setiyo et al., 2017
67
Glukosa dalam reaksi berikutnya
Glukosa + O2 2 Piruvat + 2 ATP + 2NADH2
Piruvat + NADH2 Etanol + CO2
Piruvat 3CO2 + ATP + (14/3) NADH2
0.68 Glukosa + 0.17 Piruvat + NH3 + 14.7 ATP
C5.6H10.6 O3.3N
Reaksi penguraian kelompok karbohidrat,
selulosa, hemioselulosa dan lignin secara aerob
dituliskan :
(CHO) + O2 + NH3 CO2 + H2O + sel mikroba + E
mikroorganisme aerob dan enzim
Reaksi penguraian protein atau N- organik
oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrosobacter menjadi
NH4+ , nitrit, nitrat dan energi dalam proses nitrifikasi
dituliskan :
Protein (N- organik ) NH4+
NH4+ + O2 NO2
- + H2 O + Energi
NO2- + O2 NO3
- + Energi
Roig et al., 1993 merumuskan reaksi untuk
amonia sebagai berikut :
66
energi, mineral yang berupa unsur hara makro dan
unsur hara mikro, sel mikroorganisme, uap air (H2O)
dan gas buang. Gas buang berupa CO2, H2S, NH4 atau
ags lain. Skema penguraian bahan organik hingga
menjadi kompos digambarkan di Gambar 2.
Gambar 2 Bagan Penguraian Bahan Organik Menjadi
Kompos (Dalzell et al., 1987)
Reaksi kimia penguraian bahan organik
kelompok karbohidrat terutama glukosa, selulosa,
hemiselolosa dan lignin dituliskan sebagai berikut :
Selulosa + O2 Selobiosa ( 2 unit gula)
Mikroorganisme dan enzim selulase
Selobiosa + O2 glukosa
Mikroorganisme dan enzim
Bahan organik
Kompos
CO2, H2O, H2S, NH4
O2 mikroba
Energi
Mineral
15
Tabel 4 Kemampuan tanah menahan air pada lahan
yang dipupuk kompos kotoran sapi
Parameter sifat fisik
tanah
Dosis pemupukan kompos
kotoran ayam, ton/ha
10 15 20 25
Kadar air kapasitas
lapang, % w.b 31.64 32.4 34.3 34.4
Kadar air titik layu
permanen, % w.b 8.15 8.45 8.15 9.7
Kapasitas penahanan
air, % w.b 23.49 23.98 26.17 24.7
Berat jenis, g/ml 1.39 1.37 1.34 1.31
Sumber : Setiyo et al., 2017
D. Sifat Kimia Tanah
1. Derajat keasaman tanah
Pemupukan lahan pertanian mempergunakan
kompos cenderung akan menurunkan pH tanah.
Kompos mengandung asam-asam organic, asam-asam
organic ini yang menurunkan pH tanah. Asam organik
di kompos pada pH netral di tanah mampu
mempercepat proses demineralisasi kompos. Proses
demineralisasi kompos dihasilkan: (1) mineral seperti:
Mg2 +
, K +
, Al +
, Fe + 2
, Ca +2
dan lainnya, (2) energi, (3)
H2O, dan (4) CO2, selain itu dekomposisi kompos
menghasilkan logam-logam (Qian et al., 2003).
16
Sifat biomassa kompos di tanah cenderung asam,
sehingga kelebihan ion H+ dapat menyebabkan
penguraian dan pelepasan ion Ca2+
dan Mg2+
dari
mikroorganisme, ion-ion metal dari mineral dan bahan
organik. Pada pH netral unsur hara mikro dan unsur
hara makro yang sangat mudah diserap oleh akar
tanaman kentang, sehingga rata-rata CEC dari tanah
lebih dari 25,2 ±1,2 meg/100g jika dosis pupuk kompos
15,0 ton/ha atau lebih. Oleh karena itu jika tanah
dipupuk mempergunakan kompos dengan dosis lebih
dari 15 ton/ha, maka tanah akan kaya bahan organic
dan dikategorikan sebagai tanah yang subur. Hasil
penelitian ini medekati hasil penelitian Yolanda
Marmolejo Santillán et al., 2014 pada pemupukan
mempergunakan kompos kotoran ternak unggas.
2. Kesuburan tanah
Kandungan unsure hara pada tanah untuk lahan milik
tiga petani yang digunakan untuk budidaya kentang
diekspresikan padaTabel 2. Kandungan karbon,
nitrogen, K2O, dan P2O5 dalam tanah sebelum ditanami
kentang dan setelah pane nada peningkatan, sehingga
unsure hara hasil dekomposisi kompos sebagian tidak
dipergunakan tanaman kentang. Namun, kandungan
unsure N-organik dan P2O5 kondisinya sebaliknya atau
mengalami penurunan, sehingga input unsur-unsur ini
dari kompos dan pupuk NPK majemuk tidak cukup
untuk pertumbuhan tanaman.
65
Gambar 22 Emisi gas NH3- selama pengompoan
sampah
Hasil identifikasi pelepasan gas NH3 saat tidak
diaduk rata-rata 0.018 ppm s/d 0.135 ppm atau di
bawah baku tingkat kebauan, sehingga secara indrawi
pengomposan tidak menimbulkan bau. Hubungan
antara konsentrasi emisi gas NH3- dengan waktu
pengomposan secara matematik NH3 = -0.0001 t2 +
0.0079 t - 0.0148, dengan nilai r2 = 0.87.
Emisi gas NH3 yang ke luar sistem
pengomposan limbah organic padat menunjukkan
bahwa O2 menjadi substrat pembatas, sehingga NH3
tidak semuanya digunakan bersamaan dengan glukosa
dan piruvat untuk menyusun sel mikroorganisme.
Selisih emisi gas NH3 saat proses pengomposan yang
dilakukan pengadukan dan proses pengomposan dengan
tidak dilakukan pengadukan antara 1.39-2.17 ppm. Hal
ini menunjukkan bahwa, emisi gas NH3 saat
pengomposan tidak diaduk digunakan oleh
mikroorganisme untuk menyusun selnya.
B. Dinamika Reaksi Kimia Pengomposan
Bahan organik padat berupa bahan organik
dengan unsur utama karbohidrat, selulose,
hemiselulosa, lignin, protein, dan lemak. Pada proses
pengomposan bahan organik akan diurai menjadi
64
Gambar 21 Emisi gas H2S selama pegomposan sampah
Vuorinen et al. (1987) meneliti bakteri yang
aktif mengoksidasi mineral iron pyrite. Bakteri yang
berperan adalah Thiobacillus ferrooxidans. Reaksi
oksidasi dituliskan :
2FeS2 + 7O2 + H2O 2Fe2+
+ 4H+ + 4SO4
2-
2FeS2 + 7.5O2 + H2O 2Fe3+
+ 2H+ + 4SO4
2-
Gas NH3 yang dilepas terutama saat
pengadukan pada proses pengomposan bervariasi dari
1.4 ppm s/d 2.3 ppm, dinamika pelepasan gas NH3
saat tanpa pengadukan seperti Gambar 22.
17
Ketersediaan air sebesar 34,53 – 40,69 % w.b ,
kecukupan oksigen, suhu tanah 26 – 29 oC dan pH
tanah 6,8 – 6,9 adalah faktor pendukung optimalnya
proses dekomposisi kompos di lahan. Asam organic
dikompos pada pH netral mempercepat proses
dekomposisi (Sutanto, 2002).
Dengan jumlah unsure-unsur hara tersebut dan
kapasitas tukar kation 24,53 – 28,05 me/100 g, maka
tanah di lahan percobaan diklasifikasikan dalam
kategori tanah yang subur. Tanah yang subur memiliki
kandungan bahan organic lebih dari 5 % dengan
kapasitas tukar kation lebih dari 25 me/100 g.
E. Sifat Biologi Tanah
Jenis biota pada lahan pertanian yang dipupuk
mempergunakan kompos dikelompokan menjadi
kelompok mikroba, nematode, …… Pemupukan lahan
pertanian mempergunakan kompos mampu
meningkatkan populasi dari berbagai jenis biota
tersebut, hal ini dikarenakan biota tersebut mengurai
bahan organic dari kompos untuk menyusun selnya.
Populasi mikroba di lahan yang baru menerapkan sitem
low external input on sustainable agriculture atau
dikenal dengan istilah LEISA jauh lebih rendah
dibandingkan populasi mikroba di lahan yang sudah
lama menerapkan system LEISA. Populasi mikroba di
awal budidaya kentang di lahan yang sudah lama
18
dibudidayakan kentang antara 2,2 x 104 – 4,7 x 10
4 cfu,
sedangkan popilasi mikroba di lahan yang baru
dibudidayakan kentang adalah 8,8 x 103 – 2,8 x 10
4 cfu.
Walaupun dosis dan jenis kompos yang dipergunakan
sebagai pupuk organic dalam budidaya kentang, namun
populasi mikroba di awal budidaya memberikan jumlah
berbeda, hal ini diduga di lahan yang sudah lama
dibudidayakan kentang sudah ada mikroba.
Populasi mikroba di lahan budidaya kentang
bersifat fluktuatif, di awal budidaya minggu ke 0 – 2
relatif stabil dan diminggu ke 4 mencapai puncak
populasi (1,6 x 105 – 8,0 x 10
5 cfu). Namun mulai
minggu ke 6 populasinya menurun mendekati populasi
di awal budidaya. Fluktuasi mikroba disebabkan oleh
tersedianya makanan yang diurai untuk
perkembanyannya. Makanan yang diurai bersumber
dari kompos, residu pestisida serta sisa tanaman.
Hasil screening mikroba di media Mineral Salt
Peptone Yeast (MSPY) yang mengandung profenofos
100 ppm memiliki karakteristik sebagai koloni bakteri
yang slimy dan shiny. Jumlah koloni adalah 8 koloni.
Hal ini menunjukan bahwa koloni mampu beradaptasi
pada media MSPY yang mengandung residu pestisida
jenis profenofos. Koloni mikroba mampu bertahan
hidup dengan menguraikan residu pestisida profonofos
(Suherman, 2000).
63
Reaksi yang tidak sempurna pada proses
pengomposan secara aerob karena kekurangan oksigen
menyebabkan munculnya bau akibat gas S- dalam
bentuk gas H2S, CH3S, dan (CH3)2S (Rosenfeld dan
Henry 2000).
Gas H2S yang terlepas saat proses
pengomposaan tanpa dilakukan pengadukan antara
0.028-0.8 ppm. Selisih gas H2S yang terlepas saat
biomassa yang dikomposkan tidak dilakukan
pengadukan dan saat dilakukan pengadukan antara
0.28-0.3 ppm. Hal ini menunjukan bahwa saat tanpa
pengadukan emisi gas H2S diuraikan oleh bakteri
Beggiatoa menjadi sulfur dan air (Setiyo et al., 2007).
62
Mikroorganisme yang mengurai senyawa-
senyawa besi dengan oksidasi adalah bakteri
kelompok ferrooxidan. Bakteri Thiobacillus
ferrooxidans mengurai senyawa yang mengandung
besi menjadi ion besi (Fe2+
), ion hidrogen (H+), serta
ion sulfat (SO42-
) (Vourinen and Tuovinen 1987).
Bakteri Thiobacillus ferrooxidans juga dapat
mengoksidasi H2S dan trimethilamine (TMA)
menghasilkan bau (Hirano et al. 1996). Mineral
sulfur oleh bakteri Beggiatoa diuraikan dari hidrogen
sulfida menjadi sulfur dan air. Sulfur dikonsumsi oleh
bakteri, dan di dalam bakteri dioksidasi menjadi asam
sulfat. Reaksi dituliskan :
2H2S + O2 2S + 2H2O + 65 kkal
2S + 2H2O + 3O2 2H2SO4 + 283,6 kkal
2H2SO4 + CaCO3 CaSO4 + CO2 + H2O
Energi hasil reaksi digunakan untuk asimilasi
CO2 yang terlarut pada CaCO3. Keterlambatan
penanganan biomassa limbah organic padat untuk
dikomposkan secara baik dan benar menimbulkan
pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran
tanah. Pencemaran udara diakibatkan oleh bau terutama
gas NH3, H2S, CH3S, (CH3)2 S2, asam-asam alifatik
serta CO (Rosenfeld dan Henry, 2000 dan
Martin,1998). Pencemaran air dan pencemaran tanah
diakibatkan oleh air lindi (Vesilind et al. 1994).
19
BAB II
LIMBAH PETERNAKAN
A. Limbah Peternakan Sapi
PEMDA Bali memberi hibah pada kelompok
tani setiap kelompok SIMANTRI berupa ternak sapi
sebanyak 20 ekor, sehingga sapi tersebut mampu
menghasilkan feses, dan urin yang berpotensi
dijadikan pupuk organik padat dan pupuk organik cair
melalui proses fermentasi. Pupuk organic yang
dihasilkan oleh kelompok SIMANTRI mampu
mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia.
Selain itu, penggunaan pupuk organic juga mendukung
sistem pertanian berkelanjutan dan sistim pertanian
berwawasan lingkungan.
1. Kotoran Padat Ternak Sapi (Feses)
Sapi dengan berat ± 400-500 kg mengasilkan
30 – 40 kg feses perhari (Setiyo et al., 2014). Jumlah
feses kotoran sapi yang dihasilkan oleh setiap 20 ekor
sapi adalah 600 – 800 kg per hari.
Selama ini banyak keluhan masyarakat yang
seringkali menimbulkan protes masyarakat karena
aroma dan limbah peternakan sapi yang dapat
menimbulkan penyakit, karena sebagian besar peternak
mengabaikan penanganan limbah dari usahanya.
20
Limbah peternakan yang berupa feses sebagian besar
mengalir ke sungai saat hujan sehingga terjadi
pencemaran lingkungan.
Masalah ini kemudian menjadi serius, karena
sistem yang dikembangkan hanya dari sisi input dan
produksi saja, dan kurang memperhatikan usaha
menjaga keseimbangan antara produksi limbah yang
dihasilkan dengan daya tampung lingkungan. Maka
dalam hal ini harus ada penanganan secara signifikan
dengan mendaur ulang limbah menjadi produk yang
bernilai ekonomis.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya
mengatasi limbah ternak yang selama ini dianggap
mengganggu karena menjadi sumber pencemaran
lingkungan perlu ditangani dengan cara yang tepat
sehingga dapat memberi manfaat lain berupa
keuntungan ekonomis dari penanganan tersebut.
Penanganan limbah ini diperlukan bukan saja karena
tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga
karena pengembangan peternakan mutlak
memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga
keberadaannya tidak menjadi masalah bagi masyarakat
di sekitarnya. Maka dalam hal ini harus ada penanganan
secara signifikan dengan mendaur ulang limbah
menjadi produk yang bernilai ekonomis dengan
memperlakukan pengolahan limbah dengan manfaatkan
menjadi pupuk organic.
Kotoran sapi berpotensi dijadikan kompos
karena memiliki kandungan kimia sebagai berikut :
61
Karbohidrat sebagai sumber utama karbon dan
energi bagi mikroorganisme. Bakteri heterotrop
menggunakan karbohidrat, lipid, hidrokarbon sebagai
sumber karbon. Unsur karbon pada sel
mikroorganisme seperti bakteri menempati hampir
50% berat kering (Mandelstam dan McQuillen,
1973; dan Shimizu et al. (1996)).
Dalam reaksi pengomposan secara aerob
kelompok bakteri yang berperanan adalah
Cellulomonas, Cytophaga, Sporocytophaga,
Angiococcus, Polyangium. Pseudomonass dan
Bacillus. Bakteri kelompok aktinomisetes yang aktif
dalam proses pengomposan Streptomyces,
Micromospora, dan Thermoactinomyces. Mikroba
kelompok fungi yang baik dan aktif pada proses
pengomposan adalah Trichoderma, Chaetomium,
Fusarium, Aspergilus, Penicilium, Rhizoctonia dan
Verticillium aktif menguraikan bahan organik
selulosa (Knapp, 1985).
Peranan fungi P. Chrysosporium, dan Coriolus
versicolor adalah reaksi oksidasi dan reaksi hydrolitik
mendegradasi lignin menjadi rantai alifatik. Enzim
yang diperlukan dalam penguraian lignin adalah mono
dan di-oxygenase. Sedangkan hemiselulosa akan
diuraikan oleh mikroorganisme aerobik menjadi
gugus gula.
Sumber nitrogen untuk penyusunan sel
mikroorganisme adalah dari lemak, protein atau asam-
asam amino.
60
perubahan komposisi bahan padat dan perubahan
konsentrasi gas. Oleh karena itu proses pengomposan
diperlukan aspek kerekayasaan untuk optimalisasi
proses.
Mikroorganisme aerobik atau anaerobik
memproduksi enzim dalam mengurai bahan organik
untuk mendapatkan nutrien utama dan nutrien
tambahan untuk kelangsungan hidupnya. Nutrient
utama adalah karbon, nitrogen, oksigen, hidrogen,
sulfur, fosfor, Mg2+
, dan K+ untuk sintesa bagian-
bagian sel. Nutrisi tambahan adalah Mo2+
, Zn2+
, Cu2+
,
Mn2+
, Ca2+
, Na+, vitamin, hormon pertumbuhan dan
metabolic precursors. Energi, karbon, nitrogen dan
mineral disintesa oleh mikroorganisme untuk
penyusunan selnya (Murtadho dan Gumbira-Said,
1994).
Reaksi sintesa bahan organik menjadi sel
bakteri dan fungi dirumuskan oleh Metcalf dan Eddy
(1979) :
(CHONS) + O2 C5H7O5N
Bakteri anaerob dan energi
(CHONS) + O2 C10H17O6N
Fungi anaerob dan energi
21
nitrogen 0.4 - 1 %, phospor 0,2 - 0,5 %, kalium 0,1 –
1,5 %, kadar air 85 – 92 %, dan beberapa unsure-unsur
lain (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn). Namun untuk
menghasilkan kompos yang baik memerlukan bahan
tambahan, karena pH kotoran sapi 4,0 - 4,5 atau terlalu
asam sehingga mikroba yang mampu hidup terbatas.
Gambar 2. Sistim kandang ternak
Penanganan dan pengolahan limbah
peternakan dapat dilakukan secara optimal apabila
dalam peternakan mempergunakan sistim kandang yang
baik. Sistim kandang ternak yang baik mampu
memisahkan antara komponen input yang berupa pakan
ternak dan komponen output yang berupa kotoran
ternak. Kotoran ternak berupa feses dan urine, apabila
kandang ternak mampu menjalankan fungsi tersebut
maka sapi yang dipelihara akan tumbuh dengan sehat
dan limbah peternakan lebih mudah untuk segera
diproses menjadi pupuk organik.
22
2. Sisa Pakan Ternak
Selain feses sistim peternakan sapi dengan
kandang sistim koloni juga menghasilkan limbah lain
yang berupa sisa pakan ternak yang sebagian besar
berupa rumput. Limbah sisa pakan ternak yang
dihasilkan oleh setiap 20 ekor sapi dewasa adalah 200 –
300 kg per hari.
Limbah sisa pakan ternak berpotensi dijadikan
bahan tambahan pada pembuatan kompos berbahan
baku kotoran sapi. Bahan tambahan ini memiliki fungsi
sebagai penyediaan rongga udara, sehingga proses
pengomposan dapat berlangsung secara optimal.
Bahan tambahan tersebut berpotensi digunakan
pada proses pengomposan kotoran sapi dapat mengubah
pH, rasio karbon nitrogen awal proses pengomposan,
dan kadar air. Sifat-sifat campuran biomassa di awal
proses pengomposan menjadi lebih baik dan optimal
untuk proses pengomposan, karena dengan sifat fisik
dan kimia tersebut mikroorganisme pada biomassa
dapat bekerja secara optimal.
Selain itu juga berdasarkan penelitian Setiyo
(2007), dengan kerapatan massa bahan 200-300 kg/m3
menyebabkan oksigen akan tersedia pada proses
pengomposan. Pupuk organik padat (kompos) dibuat
melalui proses pengomposan yang baik, dapat
menghasilkan kualitas kompos yang baik pula. Pada
saat proses pengomposan terjadi, material organik
terurai baik secara aerob maupun anaerob oleh
59
BAB V
REAKSI KIMIA PADA PROSES
PENGOMPOSAN
A. Reaksi Kima Proses Pengomposan
Pengomposan merupakan bioproses dalam
penguraian limbah organik padat hasil aktivitas
pertanian ataupun non pertanian. Proses pengomposan
dapat berlangsung secara aerob atau anaerob,
sehingga bahan organik padat atau biomassa diubah
menjadi suatu produk humus atau kompos dengan
struktur kimia yang lebih sederhana dan kompos yang
lebih memiliki nilai ekonomis sebagai pupuk organik.
Hasil-hasil dari proses pengomposan adalah
penurunan berat dari biomassa, penurunan volume
bahan, penurunan kadar air, terbentuknya
mikroorganisme baru, dan terbentuknya bahan yang
lebih stabil yang dikenal dengan humus. Kompos
mengandung unsur hara makro dan unsur hara mikro
yang sangat diperlukan oleh tanaman (Finstein et al.,
1998; dan Martin, 1998)
Pengomposan melibatkan agen biologis berupa
mikroorganisme, sel tanaman, sel hewan, dan enzim.
Pengomposan juga merupakan reaksi biokimia yang
komplek. Dari proses pengomposan dihasilkan
fenomena-fenomena reaksi kimia, perubahan populasi
mikroorganisme, perubahan suhu, perubahan pH,
58
dilewatkan pada bahan yang dikomposkan dengan
cara 1) udara diisap secara kontinu, 2) udara
dihembuskan secara kontinu, 3) gabungan udara
diisap dan dihembuskan, dan 4) udara dihembuskan
secara bertahap untuk mempertahankan suhu
pengomposan di bawah 60 oC Martin, 1998).
Sistem yang paling dikenal adalah sitem
pengomposan Beltsville. Pada sistem ini tidak ada
pengadukan, tumpukan lebih besar dibandingkan
sistem windrow, serta tumpukan saling berdekatan
dan berdiri tegak. Kapasitas pengomposan pada tipe
ini lebih besar dibandingkan dengan tipe open
windrow (Finstein et al,. 1983).
23
mikroorganisme sehingga menjadi material organik
yang lebih sederhana.
3. Air Kencing
Sistem pengeluaran ternak seperti urin sangat
dipengaruhi oleh spesies, komposisi makanan, berat
badan, aktivitas ternak, suhu eksternal, konsumsi air,
musim dan lain sebagainya. Potensi urin sapi menurut
Adijaya et al., (2008) yaitu urin ternak sapi jantan
dengan berat ± 300 kg rata-rata menghasilkan 8.000 –
12.000 ml urin/hari, sedangkan sapi betina dengan berat
± 250 kg menghasilkan 7.500 - 9.000 ml urin/hari dan
Parwati et al., (2008) menyatakan seekor sapi jantan
dengan berat diatas 300 kg di daerah Kintamani rata-
rata menghasilkan urin 19.700 ml/hari. Dari hasil
analisis kandungan hara yang dilakukan terhadap urin
sapi diketahui bahwa urin sapi memiliki kandungan
hara sebanyak N-total 0,133%, C-organik 0,63%, dan
pH 8,65 (Adijaya, 2011). Perbandingan jumlah unsur
hara kotoran padat dan cair pada beberapa jenis ternak
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 5. Kandungan hara dan jumlah esksresi harian urin dari
berbagai jenis ternak.
Jenis Ternak
Jenis Kotoan
Kandungan Unsur Hara Makro (%)
N P K Ca
24 Kuda
Kerbau
Domba
Sapi
Padat
Cair Padat
Cair
Padat Cair
Padat
Cair
0,56
1,24 0,26
0,62
0,65 1,43
0,33
0,52
0,13
0,004 0,08
-
0,22 0,01
0,11
0,05
0,23
1,26 0,14
1,34
0,14 0,55
0,13
0,56
0,12
0,32 0,33
-
0,33 0,11
0,26
0,17
Sumber: Parnata (2004).
Biourin atau pupuk cair organik adalah hasil
proses fermentasi urin ternak terutama ternak
ruminansia atau hewan pemamah biak. Biourin
diaplikasikan pada tanaman yang sudah tumbuh,
karena pada saat masa pertumbuhan dan
perkembangbiakkan tanaman banyak membutuhkan
nutrisi. Urin sapi yang diproses menjadi biourin
memiliki kandungan hara seperti yang terlihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan hara biourin.
No Jenis Analisis Nilai
1 pH 9,2
2 N 1,1473 %
3 P 0,0309 %
4 K 0,1711 %
5 C-organik 0,10 %
Sumber : Yasa, 2012.
57
udara. Metode ini pernah diuji coba oleh Reza (2003)
untuk pengomposan limbah industri kertas.
Penerapan sitim pengomposan model china
oleh petani di Br. Mayungan Anyar atau Kelompok
Tani yang tergabung di SIMANTRI No 356 untuk
pengomposan kotoran sapi dicampur dengan jerami
padi sangat efektif. Suhu biomassa di bagian tengah
mampu mencapai sekitar 58 oC dan bertahaan lebih
dari 5 hari, sehingga mikroba yang bersifat pathogen
mati. Pada pengomposan ini pembalikan biomassa
dilakukan setiap 7 hari, pada proses pembalikan
ditujukan untuk (1) membuang sebagian panas yang
timbul dalam proses pengomposan, (2) menambah
oksigen dalam biomassa dengan meningkatkan
jumlah pori, dan (3) mencampur biomassa yang
dikomposkan sehingga lebih homogen.
3. Static Pile
Pengomposan metode static pile yang cukup
dikenal adalah natural aeration static pile system
(NASP). Menurut Martin (1998) metode ini
diterapkan di Canada. Kelebihan sistem ini adalah
proses terkontrol, proses pengomposan lebih cepat
dibandingkan metode lainnya, serta tidak dihasilkan
air lindi.
Selain NASP dikenal pula metode
pengomposan forced aerated static pile. Aerasi
dilakukan secara paksa menggunakan udara yang
56
Menurut Martin (1998) kelebihan dari sistem
windrow adalah biaya rendah, kompos cepat matang
dibandingkan teknik static pile tanpa aerasi, dan
umumnya hasil kompos baik. Metode windrow yang
sudah dikenal adalah passive aeration windrow
system (PAWS), metode ini diterapkan di Canada
(Martin, 1998).
Gambar … Pengomposan kotoran sapi secara
openwindrow
2. Pengomposan model china
Salah satu bentuk hasil modifikasi open
windrow composting adalah model pemgomposan
model Cina (McGarry dan Stainford, 1978). Pada
model Cina di tumpukan dipasang bambu dalam
posisi tegak dari bagian bawah tumpukan hingga
permukaan atas. Namun, di hari ke-1 atau ke-2 bambu
yang dipasang dicabut, sehingga mengasilkan rongga
25
Manfaat biourin yaitu membentuk klorofil
daun sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis
tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman yang seragam,
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap
kekeringan, tahan terhadap serangan penyebab
penyakit, meningkatkan pertumbuhan bunga dan
bakal buah, dan mengurangi gugurnya daun, bunga
dan bakal buah. Kelebihan dari biourin yaitu : (1)
bahan baku pupuk tidak hanya dari feces tapi juga dari
kencing ternak, (2) menghemat penggunaan kompos
atau pupuk padat, (3) aplikasinya lebih mudah,
dilakukan dengan penyemprotan, dan tidak harus
membuat lubang pada tanah. Di samping itu, biourin
juga mengandung zat perangsang pertumbuhan
tumbuhan.
Cara kerja biourin yaitu biourin yang disiram
disekitar tanaman akan diserap oleh tanaman.
Sebelum disiram, biourin perlu diencerkan dengan air
agar tanaman yang disiram tidak layu dan mati.
Aplikasi biourin pada tanaman kopi dan kakao dengan
dosis 6.000 ml ditambah kompos padat 4
kg/pohon/tahun dapat menghasilkan produksi 30 -
35% lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan
kompos yang dosisnya 10 - 12 kg/pohon/tahun. Pada
tanaman bawang merah dapat menghemat
penggunaan pupuk anorganik seperti Urea, Sp-36 dan
KCl hingga 40% dengan produktivitas mengalami
peningkatan hingga 40%. Pada tanaman jagung juga
26
dapat menghemat pupuk anorganik hingga 50%
dengan peningkatan produktivitas hingga 25 - 30%
(Anon, 2011).
B. Limbah Peternakan Babi
C. Limbah Peternakan Kambing
D. Limbah Peternakan Unggas
1. Limbah peternakan unggas ayam
2. Limbah peternakan unggas selain ayam
55
C. Metode Pengomposan Secara Aerob
Menurut Nikizaki et al. (1997) pemilihan
metode pengomposan secara aerob akan dapat
menekan biaya pengomposan, menurunkan tenaga
kerja, mencegah polusi lingkungan, dan untuk
perbaikan sistem pertanian. Metode pengomposan
secara aerob dikelompokkan menjadi 4 kelompok,
yaitu windrow (open windrow), static pile, serta
metode china.
1. Open Windrow
Tumpukan bahan organik memanjang disertai
sistem pengadukan. Sistem windrow untuk
pengomposan pertama kali ditemukan oleh Goatas
tahun 1956. Pengomposan metode open windrow
menurut Goatas tinggi tumpukan 1.8 m – 2.7 m,
panjang tidak dibatasi, lebar 2.5 m. Lebar lubang
angin 0.9 m dengan tinggi 0.6 m. Dengan sistem ini
udara yang melewati terowongan akan terdifusi
melewati bahan organik sebagai suplai oksigen.
Nishizaki et al. (1997) mengembangkan
metode pengomposan open windrow dibantu elevator
dan traktor untuk pembalikan bahan organik.
Tumpukan dengan lebar 2.5 m, tinggi 1.5 m panjang
3.3 m dan sudut conveyor 45o. Bahan diputar dengan
kecepatan 4.5 – 5.1 m/min.
54
Gambar ..;. Pengomposan dalam biodigester
Sistem pengomposan modifikasi dari sitim static
pile adalah Intermediate Treatment Facility (ITF).
Dalam sistem ini bahan organik ditimbun dengan
ketinggian 2-3 m dan di lapisan teratas diurug tanah,
sehingga proses pengomposan berlangsung secara
anaerob. Pada sistem dipasang pipa-pipa untuk
mengalirkan gas metan sebagai sumber energi. Metode
ini dapat digunakan sebagai pembangkit tegaga listrik
untuk pengomposan limbah organik padat pada skala
besar.
27
BAB III
LIMBAH PERTANIAN
Limbah pertanian secara umum dapat dikelompokan
dalam bentuk karbohidrat, selulose, hemiselologe,
lignin, protein dan lemak. Kandungan kimia beberapa
jenis limbah pertanian menurut Haug, 1980 seperti
Tabel 7. Limbah pertanian sebagian besar berupa sisa
tanaman.
Tabel 7 Kandungan kimia beberapa bahan organik
padat (Haug, 1980)
Jenis limbah komposisi kimia C/N
Daun-daun C85H138O49N 60
Gulma C29H41O21N 20.4
Rumput C23H38O17N 16.2
Buah dan sayur C16H27O8N 11.3
Ranting pohon C295H420O186N 208
Refuse C99H148O59N
C64H104O37N
69
45
A. Jerami Padi
Indonesia merupkan negara agraris dan beras
merupakan kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia,
oleh karena itu budidaya padi banyak dilakukan petani
Indonesia. Menurut Mentan, produksi beras nasional
tahun 2016 mengalami kenaikan menjadi 79 juta ton,
28
dari tahun 2015 yang sebesar 70 juta ton dan tahun
2014 sebanyak 74 juta ton.
Hasil lain dari budidaya padi selain beras adalah
jerami dan sekam. Jerami dan sekam merupakan limbah
pertanian. Hasil limbah budidaya padi yang berupa
jerami memiliki potensi ± 1,4 kali dari total hasil panen
gabah. Untuk setiap hasil panen gabah kering
giling (GKG) 6 ton per ha diperkirakan menghasilkan
8,4 ton jerami. Apabila jerami padi dijadikan bahan
baku utama untuk proses pengomposan akan
menghasilkan kompos sebanyak 60% dari bahan baku
awal. Dengan kata lain kesetaraan pupuk yang
dihasilkan oleh satu ha sawah adalah : 208,15 kg urea,
29,23 kg SP36, 449,42 KCl atau total 686,80 NPK dari
kompos jerami padinya.
Menurut beberapa hasil penelitian, kompos jerami
padi mengandung: rasio C/N = 18,88, karbon ( C =
35,11%, nitrogen ( N ) = 1,86%, P2O5 = 0,21%, K2O =
5,35%, dan pada kadar air 55% dasar basaah (d.b). Hara
N sebesar 49 kg setara dengan 106,5 kg UREA atau
233,3 pupuk ZA. Hara P2O5 sebesar 16 kg setara
dengan 44,44 kg SP-36/TS-36 atau 88,88 SP-18. Hara
K2O sebesar 145 kg setara dengan 241,6 kg KCL(60).
Potensi jerami sangat besar ini sebagian besar
jumlahnya masih disia-siakan pemanfaatannya oleh
petani. Sebagian besar jerami hanya dibakar menjadi
abu, sebagian kecil dimanfaatkan untuk pakan ternak
dan media jamur merang. Pemanfaatan jerami dalam
53
B. Proses pengomposan Secara Anaerob
Bahan yang dikomposkan terlindung dan
ditempatkan pada bejana khusus. Pada model In-vessel
bahan yang dikomposkan diletakan di dalam sebuah
reaktor seperti vertical silo, horisontal silodalam bentuk
biodigester. Proses pengomposan berlangsung secara
kontinu atau secara terputus (batch).
Pada system ini biomassa yang dikomposkan
dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1, hasil
dari proses yang utama adalah biogas atau gas metan
yang difungsikan sebagai sumber energy. Hasil lain
adalah bio-slurry, setelaha bagian cairan dipisahkan
akan didapatkan kompos. Metode In-vessel dalam skala
besar dikembangkan di beberapa negara di Eropa
adalah metode Draco ( Dry Anaerobic Converted).
Pengomposan metode Draco menghasilkan gas metan
untuk sumber energi, dan kompos.
Metode pengomposan in-vessel menurut
McNelly (2003) memiliki beberapa kelebihan.
Pertama, sistem pengomposan berlangsung secara
tertutup dan pada kondisi lingkungan yang mendekati
homogen, sehingga kualitas kompos homogen dan
berlangsung lebih cepat dari metode lainnya. Kedua,
pencemaran udara dapat dikurangi, demikian pula
pencemaran akibat air lindi. Ketiga, proses
pengomposan terkontrol.
52
Kotoran
ayam 15 40 0.7778 34
Kotoran
sapi 20 40 1:04 34
Dari uji kepekaan model simulasi pada variabel
bebas C/N awal (x) berpengaruh pada variabel terikat
lama pengomposan (y), dengan persamaan y = -1.64
x. Lama pengomposan untuk mencapai C/N 20 dari
C/N sampah organik awal 30 adalah 21 hari, hal ini
diilustrasikan di Gambar 71.
Penggunaan inokulan akan meningkatkan
populasi mikroorganisme awal pengomposan.
Penggunaan inokulan berupa sampah organik yang
sudah dikomposkan dan berumur 2 - 3 minggu
dengan perbandingan inokulan dan sampah organik
baru 1:2 meningkatkan populasi mikroorganisme awal
pengomposan sebesar 35 %. Selain itu C/N sampah
organik di awal pengomposan juga akan turun dari
sekitar 50 menjadi 40.
C/N awal pengomposan 50 diubah menjadi
40, maka lama pengomposan turun dari 7 minggu
menjadi 5 minggu atau turun dua minggu. Namun
dengan adanya penambahan populasi mikroorganisme
awal pengomposan sebesar 35%, maka lama
pengomposan untuk sampah organik dengan C/N
awal 40 akan turun dari 5 minggu menjadi 2,4
minggu.
29
kaitannya untuk menyediakan hara dan bahan organik
tanah adalah merombaknya menjadi kompos.
B. Sekam
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi
kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut
lemma dan palea yang saling bertautan. Dari proses
penggilingan padi, akan diperoleh sekam sekitar 20-
30% dari bobot gabah. Komposisi kimia sekam padi
menurut Suharno (1979):
Kadar air : 9,02%
Protein kasar : 3,03%
Lemak : 1,18%
Serat Kasar : 35,68%
Abu : 17,17%
Karbohidrat dasar : 33,71
Komposisi kimia sekam padi menurut DTC-IPB:
Karbon : 1,33%
Hidrogen : 1,54%
Oksigen : 33,64%
Silika : 16,98%
(Suharno (1979))
Sekam padi mengandung karbon yang tinggi.
Sekam padi memiliki kadar air yang relatif kecil
(Murbandono, 1994). Menurut Suharno (1979), sekam
padi memiliki kandungan kadar air 9.02%, protein
3.03%, lemak 1.18%, serat 35.68%, abu 17.17%,
30
karbohidrat 33.71%. Dilihat dari kandungan kimia
yang terdapat pada sekam padi, sekam padi memiliki
potensi digunakan sebagai bahan tambahan pembuatan
kompos karena sekam padi memiliki unsur utama
protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat.
C. Rumput
Kandungan air rumput berada pada rentangan kering
sampai sedang.Rumput yang masih panjang sebaiknya
dicacah menjadi lebih pendek agar fermentasi berjalan
cepat.Rumput cacah mempunyai peluang dirombak
dengan cepat.Rumput menjadi sumber N yang baik.
Dalam proses pengomposan timbunan dapat menjadi
padat dan suasana menjadi anaerobik.Rumput gajah
(Pennisetum purpureum) merupakan tanaman pakan
ternak. Menurut Okaraonve dan Ikewuchi (2009)
kandungan yang terdapat pada rumput gajah adalah
kadar air 89.0%, abu 2.00%, protein kasar 2.97%,
lemak 1,63%, karbohidrat 3.40%, serat kasar 1.00%.
pada proses pengomposan, rumput gajah memiliki
peranan sebagai sumber kadungan N dan juga
membantu proses pengomposan lebih cepat karena
adanya rongga udara.
Rumput gajah (Pennisetum purpureum)
merupakan tanaman pakan ternak. Menurut Okaraonve
dan Ikewuchi (2009) kandungan yang terdapat pada
rumput gajah adalah kadar air 89.0%, abu 2.00%,
protein kasar 2.97%, lemak 1,63%, karbohidrat 3.40%,
51
Rhizopus sp., Phanerochaete chrysosporium sp., dan
Triccorderma sp.
7.Penggunaan Inokulan
Aktivator berupa rumen dan kotoran ternak
dapat dicampurkan kedalam sampah organik untuk
memperkecil C/N awal pengomposan, karena C/N
kotoran rumen dan kotoran ternak lebih kecil dari C/N
sampah organik. Selain itu kotoran ternak juga
mengandung mikroorganisme 1.2 x 1012
– 3.7 x 1012
sel/g (Choiriah, 2006). Penurunan C/N dan
pemambahan populasi mikroorganmisme awal
pengomposan memperpendek lama pengomposan.
Tabel 15. Prediksi perbandingan aktivator dengan
sampah organik serta prediksi lama
pengomposan apabila C/N awal 30 dan C/N
akhir 20
Aktivator
C/N
aktiv
ator
C/N
campur
an
Aktivat
or :
Sampah
organik
Lama
pengompos
an, hari
Sampah - 51 - 46
Kotoran
ayam 15 30 1:02 21
Kotoran
sapi 20 30 9:10 21
50
bakteri Microlunatus phosphovorus. Bakteri ini
mempunyai kemampuan mengurai bahan organik
sampai di hari ke 14 dan bekerja pada suhu optimum
15 oC sampai 35
oC, pH 7 (Nakamura et al. 1995).
Rawiniwati (1998) dalam penelitiannya
menyimpulkan fungi selulotik berperan pada laju
pengomposan dilihat dari perubahan suhu, perubahan
pH, kadar air, dan C/N. Suhu pengomposan di hari
ke-10 naik mencapai 51 oC. Derajat keasaman atau
pH pada minggu pertama mendekati netral, karena
ada proses dekomposisi. Kadar air bahan yang
dikomposkan terus mengalami penurunan dari 45
menjadi 20, sedangkan C/N turun dari 106 menjadi
75 di minggu ke-8.
Bakteri ataupun fungi dalam proses fermentasi
dan pengomposan menurut Setyawan (2002); dan
Setiawan (2003) membutuhkan inokulan. Inokulan
berupa konsorsium mikroorganisme dapat
mempercepat reaksi pengomposan dan kualitas hasil
pengomposan. Enzim merupakan biokatalis dalam
reaksi kimia pengomposan (Lee 1995).
Menurut Raimbault (1998) mikroorganisme
yang berperan pada pengomposan bahan organik
padat adalah bakteri dan fungi. Jenis bakteri yang
aktif adalah Bacillus sp., Pseudomonas sp., Serratia
sp., dan Streptoccus sp. Jenis fungi yang aktif pada
pengomposan adalah adalah Altemaria sp.,
Aspergillus sp., Fusarium sp., Monila sp., Mucor sp.,
31
serat kasar 1.00%. pada proses pengomposan, rumput
gajah memiliki peranan sebagai sumber kadungan N
dan juga membantu proses pengomposan lebih cepat
karena adanya rongga udara.
D. Serbuk Kayu
Serbuk kayu adalah kayu halus yang memiliki
ukuran kecil yang dihasilkan dari proses pemotongan
kayu. Secara umum serbuk kayu mengandung selulosa,
hemiselulosa, lignin, pentosan. Menurut Haygreen
(1996), sebuk kayu albesia memiliki kandungan
selulosa sebesar 48.33% dan lignin sebesar 27.28%.
sedangkan menurut Abdurahim, et al.,(1981), kayu jati
memiliki kandungan selulosa sebesar 47.5%, lignin
sebesar 29.9% dan pentose sebesar 14.4%.
Serbuk kayu adalah limbah yang dihasilkan
dari proses pengolahan kayu. Limbah serbuk kayu pada
saat ini masih belum lazim dimanfaatkan oleh petani
dalam pembuatan kompos.Serbuk kayu berbentuk
butiran-butiran halus yang terbuang saat kayu dipotong
dengan gergaji.Serbuk kayu memiliki kandungan
selulosa, karbohidrat, serat, dan lignin. Balai Penelitian
Hasil Hutan (BPHH) menyatakan 55% dari kayu
merupakan limbah kayu dan sebanyak 10% merupakan
limbah serbuk kayu (Winarni Ingit et al, 2002). Serbuk
kayu adalah kayu halus yang memiliki ukuran kecil
yang dihasilkan dari proses pemotongan kayu. Secara
umum serbuk kayu mengandung selulosa, hemiselulosa,
32
lignin, pentosan. Menurut Haygreen (1996), sebuk kayu
albesia memiliki kandungan selulosa sebesar 48.33%
dan lignin sebesar 27.28%. sedangkan menurut
Abdurahim, et al.,(1981), kayu jati memiliki kandungan
selulosa sebesar 47.5%, lignin sebesar 29.9% dan
pentose sebesar 14.4%.
49
mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme mesofilik
adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu rendah
(10 - 45 oC). Mikroorganisme termofilik adalah
mikroorganisme yang hidup pada suhu tinggi (45 - 65 oC). Suhu kompos pada saat kurang dari 45
oC, proses
pengomposan dibantu oleh mikroorganisme
mesofilik, sedangkan ketika suhu pengomposan
berada di atas suhu 45 oC, mikroorganisme yang
berperan adalah mikroorganisme termofilik. Dilihat
dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik berfungsi
untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik
sehingga luas permukaan bahan bertambah dan
mempercepat proses pengomposan. Sementara itu,
bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu terbatas
berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan
protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi
dengan cepat (Djuarnani dkk., 2005).
Bakteri mesofilik jumlahnya lebih banyak dari
fungi mesofilik pada suhu pengomposan sewage
sludge pada suhu 30 – 45 oC dan pH 7.3. Jumlah
bakteri thermofilik lebih banyak dibanding fungi
thermofilik pada suhu 50 – 60 oC dan pH 7.3
(Nakasaki et al. 1987a). Mikroorganisme thermofilik
tumbuh dalam waktu terbatas berfungsi untuk
mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga
bahan organik terdekomposisi menjadi kompos
secara cepat.
Dekomposisi senyawa kimia fospat yang
terkandung di dalam bahan organik dilakukan oleh
48
Selama proses pengomposan aerob tidak menimbulkan
bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung
akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas
akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam
timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang
menguntungkan mikroorganisme termofilik. Akan
tetapi apabila suhu melampaui 65-70oC, kegiatan
mikroorganisme akan menurun karena kematian
organisme akibat panas yang tinggi (Sutanto, 2002).
Bahan organik + O2 MO. aerob
H2O + CO2 + hara +
humus + energi
Pengomposan anaerob akan terjadi pada kondisi
kelangkaan oksigen. Bakteri fakultatif penghasil asam
menguraikan bahan organik menjadi asam lemak dan
adelhida, selanjutnya bakteri kelompok lain mengubah
asam lemak menjadi metana, amoniak, CO2, dan
hidrogen (Sutanto 2002).
Bahan organik MO. anaerob
CH4 + hara + humus
Proses pengomposan pada tahap awal, beberapa
spesies flora aktif dan berkembang dalam waktu yang
relatif singkat, dan kemudian hilang untuk
memberikan kesempatan pada jenis lain untuk
berkembang. mikroorganisme yang terlibat dalam
pengomposan berdasarkan kondisi habitatnya
terutama suhu terdiri dari dua golongan, yaitu
33
BAB IV
PROSES PENGOMPOSAN
A. Proses Pengomposan Secara Aerob
Kecepatan pengomposan tergantung pada sifat
fisik dan kimia bahan organik yang dikomposkan,
mikrorganisme yang berperan dalam dekomposisi dan
kondisi lingkungan untuk proses.
1. Rasio karbon nitrogen dari biomassa
Menurut Wahyono dan Sahwan (1998) limbah
pertanian dalam arti luas mengandung 41–60% serat
kasar (selulosa), 3–9% lemak (asam amino dan protein),
4–20% abu, dan 30–60% air. Selain itu, limbah organik
tersebut mengandung amonium 0.5–1.14 mg/g,
nitrogen 4.8–14 mg/g, serta protein 3.1–9.3 mg/g.
Secara umum limbah organik padat terdiri dari
karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, lignin, pati,
glukosa, dan hidrokarbon), protein, lemak serta mineral.
Menurut Raimbault (1998) semua bahan organik
padat termasuk sampah organik padat dapat
difermentasikan melalui sistem solid substrate
fermentation atau SSF. Bahan organik padat tersebut
umumnya berstruktur makromolekul. Limbah
pertanian, limbah agroindustri, dan sampah terdiri dari
material kompleks. Struktur makromolekul dasar yang
34
mencirikan bahan organik tersebut adalah selulosa,
pati, lignin, pektin, dan lignoselulosa.
Menurut Blidstone dan Gray (1985) hemiselulosa
terdiri dari 50-150 C5 atau C6 unit gula, unit gula
dengan sifat mudah dipecah dibandingkan dengan
selulosa dan hemiselulosa. Selulosa merupakan polimer
1 000 – 10 000 glukosa. Selulosa lebih sulit dipecah
dibandingkan hemiselulosa, karena ikatan H dalam
order tinggi dan mempunyai stuktur kristal. Lignin
merupakan sejumlah unit aromatik yang terikat dengan
rantai alifatik yang sangat kuat, sehingga dalam proses
pengomposan didegradasi pada tahap paling akhir.
Bahan organik padat dari sisa tanaman dan kotoran
ternak serta kotoran manusia menurut Blidstone dan
Gray (1985) mengandung senyawa-senyawa yang larut
dalam air panas atau air dingin, senyawa yang larut
dalam ester atau alkohol, protein, hemiselulosa,
selulosa, lignin dan mineral. Komposisi masing-masing
senyawa seperti pada Tabel 8.
47
sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam
pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam
organik. Proses selanjutnya mikroorganisme dari jenis
yang lain akan mengonversi asam organik yang telah
terbentuk sehingga bahan memiliki derajat kesamaan
yang tinggi mendekati netral (Djuarnani dkk.,2005).
5. Kadar air biomassa
………….
6. Populasi mikroba
Mirkoorganisme merupakan faktor yang memiliki peran
penting pada proses pengomposan, karena
mikroorganisme yang mampu mengubah bahan organik
menjadi kompos yang memiliki nilai ekonomis dan
berkualitas. Ratusan spesies mikroorganisme berperan
penting pada proses pengomposan seperti bakteri jamur
dan actinomycetes(Djuamani et al., 2005). Pada saat
proses pengomposan berlangsung, bahan organik
diubah menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O),
serta pembebasan energi. Menurut Muriani (2011),
semakin lama poses fermentasi pengomposan terjadi,
maka kandungan C-organik akan semakin berkurang.
Hal tersebut dikarenakan oleh mikroorganisme yang
telah merombak bahan organik menjadi senyawa yang
lebih sederhana.
Proses pengomposan aerob, kurang lebih 2/3 unsur
karbon C menguap menjadi (CO2) dan sisanya 1/3
bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup.
46
4. Derajat keasaman biomassa
Proses pengomposan berlangsung dengan baik pada
kisaran derajat atau nilai pH optimum bahan organik
yang dapat dikomposan berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri
sangat menyukai pH netral, sedangkan jamur aktif pada
keadaan pH agak asam. Derajat kesamaan (pH) yang
semakin tinggi terjadi kehilangan nitrogen akibat
votalisasi, oleh karena itu dibutuhkan kehati- hatian
pada saat menambahkan kotoran sapi pada saat
pengomposan. Perubahan pH pada tahap awal hingga
tahap akhir pengomposan menunjukkan proses
pengomposan berjalan dengan baik. Hal ini berarti
aktivitas mikroorganisme, baik bakteri dan jamur
adalah optimum. Derajat kesamaan pada awal proses
pengomposan akan mengalami penurunankarena
20
30
40
50
0 20 40 60
Su
hu
bio
ma
ssa
, C
Waktu proses pengomposan, hari
Kontrol
sapi
35
Tabel 8 Komposisi unsur bahan organik padat
(Blidstone dan Gray, 1985)
Fraksi
% berat kering
Tanaman Kotoran ternak
dan manusia
Larut dalam air (gula, pati,
asam amino, garam amonium,
dan asam alifatik).
5 – 30 2 – 20
Larut dalam ester/alkohol
(lemak, minyak, lilin, dan
resin)
5 – 15 1 – 3
Protein 5 – 40 5 – 30
Hemiselulosa 10 – 30 15 – 25
Selulosa 15 – 60 15 – 30
Lignin 5 – 30 10 – 25
Mineral (abu) 1 – 13 5 – 25
Kondisi awal C/N bahan baku pada proses
pengomposan sangat menentukan lama proses untuk
menghasilkan kompos yang memenuhi standar SNI.
Manipulasi jumlah dan jenis aktivator yang perlu
ditambahkan pada bahan baku agar bahan biomassa di
awal pengomposan memiliki nilai C/N antara 30-35,
36
sehingga waktu pengomposan berlangsung antara 3-4
minggu untuk mendapatkan kompos berkualitas.
Penambahan bahan lain pada proses pengomposan
limbah peternakan cenderung untuk memperbaiki sifat
fiisik bimassa bukan memperbaiki nilai C/N di awal
proses.
Gambar 23 Perubahan kandungan C organik
selama pengomposan
Kandungan C organik di dalam biomassa yang
dikomposkan cenderung menurun dengan pola
seperti Gambar 24. Persamaan matematik hubungan
antara waktu pengomposan (x) dengan kandungan C
organik sampah (y) adalah C-organik = 0.0015t2 –
0.1424t + 25.097, dengan nilai r2 = 0.80. Pola
penurunan C organik secara kuadratik. Menurunnya
kandungan C organik sampah organik akibat
dimanfaatkannya C untuk penyusunan sel
45
pengomposan beberapa limbah pertanian kecepatan
udara sebesar 0.5 – 1.6 m3 udara kg
-1 bahan organik
kering.
3. Suhu proses pengomposan
Pada saat proses pengomposan terjadi akan
dihasilkan energi yang menyebabkan suhu selama
pengomposan mengalami peningkatan. Temperatur
suhu optimal yang dibutuhkan pada proses
pengomposan adalah 35-550C. Pengomposan pada
bahan yang memiliki rasio C/N tinggi seperti bahan
subtitusi serbuk gergaji peningkatan temperatur
suhunya tidak dapat melebihi 520C.
Suhu dan ketinggian penimbunan bahan kompos
sangat perlu diperhatikan pada saat proses
pengomposan. Pada mengomposan yang dilakukan
secara aerob akan terjadi kenaikan suhu yang cepat
selama 3-5 hari pertama. Timbunan bahan yang
mengalami proses dekomposisi akan mengalami
peningkatan suhu hingga 67-700C. Timbunan bahan
organik yang dangkal dapat kehilangan panas dengan
cepat, hal tersebut dikarenakan bahan tidak cukup untuk
menahan panas dan juga akan menyebabkan
mikroorganisme menjadi terbunuh sehingga hasil
pengomposan berkualitas (Setyorini et al., 2003)
44
dengan total konsumsi oksigen 11 mol kg-1
(Briski et
al., 2003). Hal ini disebabkan karena perbedaan C/N
awal pengomposan. Sampah organik mempunyai C/N
awal sekitar 70 – 80, sedangkan daun tembakau C/N
awal sekitar 12 – 15, oleh karena itu total O2 untuk
pengomposan sampah organik secara aerob nilainya
hampir 10 kali total konsumsi O2 untuk pengomposan
tembakau.
Gambar 30 Pola produksi CO2
Debit udara melewati massa sampah organik
yang dikomposkan 0.9 m3 udara kg
-1 sampah organik
kering per hari. Hasil penelitian Martin, (1998) debit
udara pada pengomposan limbah industri antara 0.8 –
1.8 m3 udara kg
-1 bahan organik kering per hari.
Menurut Vining, (2002), dan Keener et al., 2001 pada
37
mikroorganisme dan sebagian C hilang dalam bentuk
gas CO2.
Gambar 24 Perubahan kandungan N organik selama
pengomposan
Gambar 24 adalah gambar kenaikan prosentase
N organik. Pola kenaikan prosentase N organik
dirumuskan N-organik = 2 x 10-5
t2 + 0.0086t +
0.2968, dengan r2 = 0.97. Pada minggu ke-8
prosentase N organik belum mencapai puncak, karena
C/N awal sekitar 75.
Ratio C organik dengan N organik atau C/N
digambarkan pada Gambar 25. C/N berpola
eksponensial dengan persamaan C/N = 73.286e-0.0186t
,
dengan r2 = 0.92. Pada awal pengomposan
mikroorganisme jumlahnya masih sedikit, sehingga
38
laju dekomposisi bahan organik yang ditunjukan oleh
perubahan C/N kecil, namun pada fase pertumbuhan
mikroorganisme secara logalitmik dekomposisi bahan
organik sangat cepat sehingga C/N turun secara cepat.
Pada fase stasioner mikroorganisme jumlahnya tetap
sehingga C/N menurun secara linier, dan fase
pematangan mikroorganisme jumlahnya berkurang
sehingga dekomposisi bahan organik melambat
diikuti melambatnya perubahan C/N.
Pola perubahan C/N menggambarkan
kecepatan reaksi kimia pengomposan. Di awal
pengomposan reaksi kimia pengomposan berlangsung
secara cepat, karena substrat berupa bahan organik
dan O2, enzim sangat tersedia untuk berlangsungnya
proses pengomposan. Namun, mulai minggu ke-7
mikrorganisme pengomposan mulai kekurangan
nitrogen untuk sintesa selnya (Martin, 1998), sehingga
proses pengomposan melambat, walaupun dilihat dari
nilai C/N masih memungkinkan terjadinya proses
dekomposisi.
43
kg-1
sampah kering per hari dengan total konsumsi O2
106 mol kg-1
. Pada hari pertama pengomposan
konsumsi oksigen adalah 3 mol kg-1
sampah kering
per hari, konsumsi oksigen mencapai puncaknya pada
5.03 mol kg-1
sampah kering per hari. Konsumsi O2
menurun dari hari ke-7 sampai kira-kira hari ke-40.
Konsumsi O2 di fase pematangan sebesar 0.931 mol
kg-1
sampah kering per hari.
Gambar 29 Pola konsumsi O2
Pola konsumsi O2 dan total konsumsi O2 hasil
penelitian atau Gambar 29 untuk pengomposan
sampah organik berbeda dengan pola penelitian
Briski et al. (2003). Pada pengomposan limbah pabrik
rokok konsumsi O2 sebesar 0.5 – 1.1 mol kg-1
per hari
42
yang optimal untuk proses pengomposan adalah 60
5%.
Menurut Barrington et al. (2002) apabila kadar
air bahan yang dikomposkan pada kisaran 60%, maka
sumber karbon tidak berpengaruh pada kehilangan C
dan N akibat penguapan. Hubungan antara kehilangan
C dan N pada pengomposan oleh Barrington et al.
(2002) dirumuskan : Nlosses = 85.7 – 0.978(Closses)
dengan r = 0.85, Nlosses = 85.0 – 0.954(Closses) dengan r
= 0.84. Rumus pertama untuk C/N kompos 20 1,
dan pada keadaan ini 85% kehilangan N diakibatkan
penguapan. Pada rumus kedua 60% C diuapkan
sebagai karbon dioksida untuk C/N 13.3, namun
untuk C/N 8.6 kehilangan C sebagai karbon dioksida
70%.
Berdasarkan kriteria-kriteria dari biomassa
tersebut, maka proses pengomposan akan berlangsung
secara baik, karena mikroba dapat berkembang pada
kondisi tersebut. Selain itu dengan kerapatan massa
bahan 200 – 300 kg/m3 menyebabkan oksigen akan
tersedia pada proses pengomposan, hal ini sesuai
dengan penelitian Setiyo et al., 2007. Pada kerapatan
massa bahan 200 – 300 kg/m3 maka bahan akan
memiliki porositas 60 – 80 %, sehingga rongga udara
mampu menyediakan oksigen untuk proses
pengomposan selama ± 7 hari.
Konsumsi oksigen pada proses pengomposan
dari penelitian bervariasi 0.93 mol sampai 5.03 mol
39
Gambar 25 Perubahan C/N selama pengomposan
2. Ketersediaan oksigen
Menurut Finstein et al. (1983) pembatas
keberhasilan proses pengomposan adalah aktivitas
mikroorganisme. Pengaturan ventilasi bertujuan untuk
pengaturan ketersediaan oksigen, pengaturan suhu
pengomposan, dan pengaturan kelembaban udara di
pori-pori sampah agar mikroorganisme dapat
beraktivitas menguraikan bahan organik .
Aerasi untuk pengomposan jerami adalah 5.15
x 10-3
- 1.72 x 10-2
m3/kg(awal)-jam pada suhu
pengomposan 50-65 oC. Aerasi dihentikan pada suhu
pengomposan 40 oC, sebab pada suhu ini tidak
optimal untuk perkembangbiakan mikroorganisme
thermofilik. Pada kecepatan aerasi 3.44 x 10-2
40
m3/kg(awal)-jam, proses pengomposan terhambat
karena proses pendinginan (Nakasaki et al. 1987a).
Bahan Organik untuk dikomposkan
Tanpa Sistim
Ventilasi
Ventilasi
Kurang
Ventilasi
Sistem
Kekurangan
Oksigen
Kemajuan
stabilisasi
Sistim
kelebihan suhu,
walaupun
oksigen
Lemah dan
cenderung kering
Stabilisasi
kompos kurang
Suhu dan oksigen bukan
pembatas
Kompos kuat dan cenderung
kering
Tambah air
Stabilitas
kompos tinggi
Tanpa
tambah air
Stabilitas
kompos
menengah
41
Gambar ... Managemen ventilasi pada pengomposan
Tsai dan Huang (1994) mengkaji hubungan
antara laju aliran udara dengan kehilangan nitrogen,
karbon, dan berat bahan pada perlakuan tanpa aerasi.
Pada laju aerasi 25.9 1 liter/menit kehilangan N, C
dan berat masing-masing 31.1%, 58.7% dan 48%.
Unsur P dan K tidak mengalami kehilangan.
Menurut Finstein et al. (1983) dari hasil
penelitiannya udara yang masuk pada suhu 20 oC dan
kelembaban 50 %, namun udara yang keluar adalah
suhu 60 oC dan kelembaban 100%. Suhu udara
mengalami peningkatan karena menerima panas hasil
reaksi pengomposan. Kelembaban udara naik, karena
uap air yang dihasilkan dari reaksi pengomposan.
Menurut Finstein et al. (1983) oksigen
merupakan unsur esensial dalam reaksi pengomposan
secara aerob. Jumlah minimal oksigen di udara
apabila suhu optimum untuk pengomposan 5%.
Konsentrasi oksigen di bawah 5% menyebabkan
oksigen sulit diserap mikroorganisme (Brodie et al.,
2000). Difusi oksigen oleh bahan organik sangat
dipengaruhi oleh kadar air bahan. Menurut Nakasaki
et al. (1987b) dan Inbar et al. (1988) pada kadar air 60
– 70% konsumsi oksigennya lebih tinggi dari pada
pada kadar air di bawah 50%. Pada kadar air tinggi
difusi oksigen lebih sulit karena pori-pori pada
material terisi air. Menurut Yagihashi (2003) kadar air
top related