bronko pneumonia

Post on 22-Dec-2015

215 Views

Category:

Documents

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

b

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru.

Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :

1.      Pneumonia lobaris

2.      Pneumonia interstisial (bronkiolitis)

3.      Bronkopneumonia

Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang

terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering

menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak

dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari

2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian

anak (Bennete, 2013).

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru

yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya,

yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi

seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh

mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.

Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang

melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai

pada anak-anak dan orang dewasa.

DEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan

bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy

distribution) (Bennete, 2013). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang

disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi

yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas

setempat (Bradley et.al., 2011)

EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun

dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13%

dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011)

ETIOLOGI

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :

1.      Faktor Infeksi

a.    Pada neonatus: Streptokokus group B,Respiratory Sincytial Virus (RSV).

b.    Pada bayi :

1)   Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,Cytomegalovirus.

2)   Organisme atipikal: Chlamidia trachomatisPneumocytis.

3)   Bakteri: Streptokokus pneumoni, Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis.

c.    Pada anak-anak :

1)   Virus : Parainfluensa, Influensa VirusAdenovirus, RSV

2)   Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia

3)   Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis

d.   Pada anak besar – dewasa muda :

1)   Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis

2)   Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis

2.      Faktor Non Infeksi.

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi

a.     Bronkopneumonia hidrokarbon :

Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon

seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b.    Bronkopneumonia lipoid :

Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli

petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian

makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada

anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.

Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya

seperti susu dan minyak ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia.

Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon

imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya

penyakit ini.

KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya

pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian

pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih

relevan (Bradley et.al., 2011).

1.    Berdasarkan lokasi lesi di paru

a.     Pneumonia lobaris

b.    Pneumonia interstitialis

c.     Bronkopneumonia

2.    Berdasarkan asal infeksi

a.    Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)

b.    Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3.    Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a.    Pneumonia bakteri

b.    Pneumonia virus

c.    Pneumonia mikoplasma

d.   Pneumonia jamur

4.    Berdasarkan karakteristik penyakit

a.    Pneumonia tipikal

b.    Pneumonia atipikal

5.    Berdasarkan lama penyakit

a.    Pneumonia akut

b.    Pneumonia persisten

PATOGENESIS

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru

dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor

imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk

dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon

inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan

imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme

bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi

flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat

meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan

mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak

dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa

lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya

hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan

infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan

menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg

melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion

missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia.  Selanjutnya desaturasi

oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-

sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10

hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan

melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura

menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan,

namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete,

2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di

tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel

mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.    Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin

yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena

menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru

menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau

sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,

yaitu selama 48 jam.

3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru

yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan

terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih

tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah

tidak lagi mengalami kongesti.

4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa

sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya

semula.

MANIFESTASI KLINIK

Pneumonia khususnya bronkopneumoniabiasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai

kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal

disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak

dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada

awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan hal-hal

sebagai berikut (Bennete, 2013):

1.    Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,

dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding

dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan

pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi

melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah

terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula

dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan

intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana

jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular

selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas.

Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas

ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila

tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf

pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan

dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).

Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan

napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah

tekanan negatif faring selama inspirasi.    

2.    Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan

napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka

transmisi energi vibrasi akan berkurang.

3.    Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4.    Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan

spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi

rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi)

jarang atau banyak (tergantung jumlahcrackles individual) halus atau kasar (tergantung dari

mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas

kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan

bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan

bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat

membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.Infeksi virus leukosit normal atau

meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit

meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit

terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia

dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari

paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):

1.    Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

2.    Panas badan

3.    Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

4.    Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

5.    Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan

bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti

efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis,

artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi

hematologi (Bradley et.al., 2011).

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu

penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)

1.    Penatalaksaan Umum

a.    Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit àsampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis

gas darah ≥ 60 torr.

b.    Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c.    Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2.    Penatalaksanaan Khusus

a.    Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam

pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.

b.    Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau

penderita kelainan jantung

c.    Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi

klinis. Pneumonia ringan à amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi 

penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1.    Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis

2.    Berat ringan penyakit

3.    Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

4.    Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan

pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72

jam pertama) menurut kelompok usia.

1.    Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

a.    ampicillin + aminoglikosid

b.    amoksisillin - asam klavulanat

c.    amoksisillin + aminoglikosid

d.   sefalosporin generasi ke-3

2.    Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

a.    beta laktam amoksisillin

b.    amoksisillin - asam klavulanat

c.    golongan sefalosporin

d.   kotrimoksazol

e.    makrolid (eritromisin)

3.    Anak usia sekolah (> 5 thn)

a.    amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

b.    tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

              Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus

dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila

penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam à ganti

dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya

perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan

seolah-olah antibiotik tidak efektif).

DAFTAR PUSTAKA

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822-

overview. (9 Marert 2013)

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace

S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The

Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of

Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious

Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :

Penerbit            IDAI

top related