biografi imam ghozali
Post on 02-Dec-2015
41 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BIOGRAFI IMAM GHOZALI
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang Masalah
Mereka lebih suka mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Nama-nama
filosof beken seperti Socrates, Hippocrates, Aristoteles dan lainnya, membuat mereka
terkagum-kagum. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filosof tersebut,”
demikian tulis al-Ghazali (450/1058-505/1111), Sang Bukti Islam (Hujjatul Islam) di
halaman awal Tahafutul Falasifah.
Bermaksud menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah
(Ketidak-koherensian Para Filosof). Karya yang ditulis sekitar bulan Januari 1095 itu adalah
jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat.
Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total. Bagi al-Ghazali, pemikiran
para filosof ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah (la yasdumu mazhabuhum fihi
aslan min usuliddin). Pemikiran para filosof tentang gerhana bulan (al-kusuful qamariy),
yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di antara bulan dan
matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat gerhana, bulan berada dalam bayang-bayang
bumi, maka sinar matahari tidak dapat diserap oleh bulan.
Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusufus syams),
tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari. Al-Ghazali menegaskan, jika
pendapat mereka mengenai hal-hal seperti ini ditolak dengan alasan agama, justru akan
melemahkan ajaran Islam.
Jadi, bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya. Selama
tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang
merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah,
seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian
dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah
meletakkan filsafat pada tempatnya. Dari pemaparan di atas muncul beberapa permasalahan
yaitu: Bagaimana sejarah hidup imam ghazali dan ibnu rusdy? Dan Bagaimana pemikiran
Imam ghazali dan ibnu rusydi?
Selain itu seperti tertera dalam kitab Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsof),
telah membuat filsafat dan pemikiran rasional serta ilmu pengetahuan kemudian tidak
berkembang di dunia Islam? Dan Bagaimana sebenarnya sikap al-Ghazali terhadap filsafat?
Untuk mencari jawaban dua masalah tersebut terlebih dahulu dikaji apa sesungguhnya
yang mendorong al-Ghazali mempelajari filsafat dan kemudian menulis bukunya: Maqashid
al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Juga dari kitab-kitabnya, terutama Tahafut al-
Falasifah, dapat diketahui inti kritik al-Ghazali terhadap para filosof. Dari situ selanjutnya
dapat diketahui secara induktif apakah betul bahwa filsafat tidak berkembang lagi di dunia
Islam setelah ada kritik keras al-Ghazali terhadap para filosof itu?
BAB II
PEMIKIRAN AL GHAZALI
A. Sekilas Tentang Biografi Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh
terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah
menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa
asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi
kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil
hikmah dari sejarah hidup beliau.
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi,
Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki,
Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam
Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah
di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir.
Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali.1[1]
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini
dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab
Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun
memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.
Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi,
Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).2[2]
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan
Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik
mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk
pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di
1[1] Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 77.2[2] Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 67.
Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan
menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.3[3]
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang
berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat.
Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya
saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits
Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa
dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al
Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam
kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di
dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan
hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54). Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan
dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya
tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya
menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke
dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya,
walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran
Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat,
yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal
menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah
memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan
meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang
mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis,
niscaya dia telah binasa. ”(Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat.
Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i).
3[3] Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 178.
Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya,
(yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat,
kemudian ingin keluar dan tidak mampu. ”(Majmu’ Fatawa 4/164).
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang
menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada
ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan
mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian
menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara
barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin
Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal
di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun
Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam
sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al
Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al
Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam
Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau
tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal
menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz
Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan
diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di
madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya
dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa
waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para
penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan
berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau
tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih
Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak
memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats
Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku
Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau
mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya
patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan
menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).
(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi,
pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath
Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
B. Pemikiran Imam Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada kebenaran semua
(oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.4[4] Dia pernah
mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:“Cahaya itu adalah kunci dari
kebanyakan pengetahuan, dan siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir)
bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang
demikian luas. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati
sanubari seseorang.”Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-
satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al Ghazali
adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.5[5]
Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat serta
meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M
dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid Umawi di Damaskus. Tashawuf Al Ghazali
berbeda dengan tashawuf yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran
tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang
benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat
tersebut, tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
4[4] Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 224.5[5] Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 31.
Imam al ghazali ini juga memiliki andil besar dalam mempengarui berfikirnya
ulama’-ulama’ di Indonesia, bisa dilihat ternyata dalam hal menghadapi berbagai masalah
ulama’-ulama’ kita dulu banyak merujuk kepada tulisan tulisan beliau dalam bidang
pencarian tuhan khusunya. Salah satu contohnya kitab ihya’ ulumuddin telah di jadikan kitab
rujukan di berbagai pondok pesantren di indonesia di tanah jawa khususnya, bukan itu saja
masih banyka kitab-kitab karangan beliau yang menyebar luas dan sangat populer hingga saat
ini.
Dalam hal bagaimana pemikiran beliau yaitu bisa kita lihat karangan-karangan beliau
sangat dekat dengan ketasawufan walaupun banyak karangan yang menerngkan tentang
kepolitikan, kependidikan, filsafat dan masih banyak bidang ilmu lain yang di tulis beliu.
Tapi dalam hal ini yang paling menonjol dalam diri beliau yaitu tulisan tentang tasawuf atau
jalan menuju tujan.
Sebagaimana disebutkan bahwa Al Ghazali merupakan kontributor terbesar pada
masanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya :
a. Bidang Teologi
1) Al-Munqidh min adh-Dhalal
2) Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3) Al-Risalah al-Qudsiyyah
4) Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5) Mizan al-Amal
6) Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
b. Tasawuf
1) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal.
2) Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
3) Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
c. Filsafat
1) Maqasid al-Falasifah
2) Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang
kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of
the Incoherence).
d. Fiqih
1) Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
e. Logika
1) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
2) al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
3) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)
Tapi dalam hal ini dari berbagai karangan beliau yang menonjol adalah pemikiran
beliau tentang ketasawufan atau ajaran tentang cara mendekatkan diri kepada allah atau
mencari jalan menuju sang pencipta. Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf
sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa
Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral
yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin,
Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai
negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud),
untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh
ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan
kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak
keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya
kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.
Dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal, Al-Ghazali secara eksplisit menyebut
sumber-sumber pengetahuannya tentang tasawuf, yaitu buku-buku Abu Thalib al-Maliki, al-
Muhasibi, dan pengalaman-pengalaman para sufi lainnya seperti al-Junaidial-Baghdadi, al-
Syibli, dan Abu Yazid al-Bushtami. Beliau hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada
pada tingkatperkembangan yang tinggi. Dimana banyak bermunculan aliran-aliran terutama
dibidang teolog. Setiap aliran menurut Al-Ghazali, mengklaim kebenaran pada dirinya,yang
dengan sendirinya menempatkan aliran lain pada kedudukan yang tidak benar. Ada anggapan
bahwa tasawuf adalah sebagaia bagian dari pemahaman yangmuncul akibat perkenalan
ummat Islam dengan kebudayaan asing yang cenderung memiliki unsur mistik.
Pandangan lain menganggap tasawuf sebagai sistem yang murni Islami. Namun
dalam kenyataannya, kecenderungan kearah mistik timbul dikalangan sebagian masyarakat
Islam ketika penguaasa dianggap tidak lagi mencerminkan kesederhanaan hidup dan akhlak
yang ada pada masa Nabi. Usaha para Sufi adalah mempertajam daya al-Dzawq dengan
membersihkan diri dari dorongan-dorongan duniawi untuk dapat bersatu dengan hakikat yang
mutlak Tuhan. Persatuan dengan Tuhan akan menyingkap segala rahasia dan hakikat-hakikat.
Dalam pemikiran umat Islam pada masa Al-Ghazali terdapat empat pemahaman yang secara
umum mewarnai suasana pemikiran mereka, yaitu dari sistem pemahaman Ilmu Kalam,
Bathiniyyat, Filsafat dan Tasawuf.
Keragamansistem pemahaman ini disertai dengan kecenderungan monolitik melihat
kebenaran.Hal ini jelas turut mempertajam batas antara sistem yang satu dengan sistem yang
lain. Dari sudut yang lain, keadaan ini memperbesar kemungkinan munculnyakebingungan di
kalangan sebagian masyarakat awam. Sumber Pemikiran Al-Ghazali Sebagai seorang
muslim, Al-Ghazali senantiasa mendasari pandangan-pandangannya pada al-Qur‘an al-Karim
dan Hadits, baik secara langsung maupuntidak. Seperti pemikir-pemikir muslim lainnya,
pendasaran pemikirannya kepada al-Qur‘an dan Hadits, terlihat lebih banyak tidak bersifat
langsung, khusus yangberkaitan dengan konsep manusia.
Tulisan-tulisan beliau juga merupakan kitab-kitab rujukan utama di pesantren-
pesantren Nusantara terutama di Jawa dan Madura antara lain adalah kitab Ta’limul
Muta’alim (etika santri), Nashoihul Ibad (Nasihat Penghuni Dunia karya Imam Nawawi Al-
Banteniy) serta tiga karya Al Ghazali yaitu Bidayah al Hidayah, Ihya Ulumuddin dan
Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati).
Ajaran tasawuf Al Ghazali itu pulalah yang kemudian membentuk budi pekerti orang
Jawa yang lebih mengutamakan kesalehan pribadi dibanding kesalehan sosial, serta pola
hidup sederhana dan nrimo atau qanaah.
Kesalehan sosial yang lebih merupakan tanggungjawab para guru dan pemimpin
negara (ulama dan umaroh) akan mudah terwujud apabila kesalehan pribadi, pola hidup
sederhana dan qanaah menjadi inti dari pakaian keimanan orang perorang. Sayangnya,
kesalehan pribadi itupun kini memudar tatkala pola hidup sederhana dan nrimo atau qanaah
telah diluluhlantakkan oleh budaya modern yang mengutamakan materialisme. Prestasi
kehidupan tidak lagi diukur dari pencapaian idiil, tetapi dari harta benda atau materi.
C. Filsafat Menurut Al Ghazali Dan Kritikan-Kritikan Beliau Terhadap Filsafat.
Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih
dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia
mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran
materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme).
Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam
senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari
sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-
Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).
Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi
ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin
yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu
aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut
al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk
Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.
Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara
para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles
(murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq)
dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang
wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam
pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan
Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya,
bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang
membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.
Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para
filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof
berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alam kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak
mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan
tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di
alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet
mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang
berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa
manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.
Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-
hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15.
Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18.
Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam
yang qadim mempunyai pencipta.
Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa
kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-
Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai
pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.
D. Al-Ghazali Dan Kebenaran
Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk
mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begitu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat
yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok aliran dalam Islam yang menjadikan
sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu,
pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intelektual dan pemikir.
Kedua, kelompok Bathiniyyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam Syi’ah Isma’iliyyah
yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajaran dari padanya
secara ghaib. Ketiga, kelompok filosof, yang dikatakan sebagai ahli logika dan
mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang dikatakan sebagai kalangan
elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).
Melihat bahwa semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran
hakiki dan belum menemukannya, al-Ghazali pernah selama dua bulan mengalami penyakit
syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pencariannya setelah sembuh dari penyakitnya.
Sementara ahli menyatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazali adalah syak dalam
pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang
menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif. Pertama; selalu
menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari “idola’ (ide yang berprasangka)
sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya
dengan menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran
tersebut sampai secara induktif dapat menyimpulkan kebenaran hakiki.
Menurut al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya
tanpa sedikit pun keraguan. Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih banyak dari tiga
dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti seajaib tongkat yang dapat dirubah
menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku
ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa
kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu
tehadap pengetahuanku” (al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5). Dengan kata
lain, di samping mengandung pengertian tentang keyakinan, al-Ghazali di pihak lain,
membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada
intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan (skeptik-metodik).
E. Pokok Perdebatan Al-Ghazali
Dasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat
menerima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari
kebenaran hakiki. Meski pun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai
kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim. Banyak cacatan menarik dari doktor
Suliaman Dunya dalam mengedit kitab Tahafut al-Falasifah atau pun dalam mengedit kitab
Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd. (Baca pengantar-pengantar dua kitab tersebut dalam
beberapa edisinya, terutama edisi keempat untuk “Tahafut al-Falasifah”).
Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang
bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula,
tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain
Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan
paham: Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak
diampuni Tuhan; atau Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan
qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex
nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam
(tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah
menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam
disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh
(pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya
Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali,
Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya).
Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah
Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-
mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara
instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali
dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas
kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani
yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa
pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan
pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat)
diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711).
Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat
panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan
bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab,
sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu
Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun
kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk
menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak
percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata
Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang
menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd,
Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku
pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam
buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan
bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-
17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut
al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang
tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap
mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus
menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
F. Catatan Penting
Tentu tidak bisa begitu saja membenarkan tuduhan demikian. Dengan menyimak
secara seksama Tahafut al-Falasifah akan dapat terlihat bahwa tidak ada pertentangan yang
mendasar atau prinsipil antara al-Ghazali dan para filosof, melainkan hanyalah beda
interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan karena diterima atau ditolaknya ajaran-
ajaran dasar itu sendiri. Jadi hanyalah perbedaan ijtihad yang tidak membawa kekafiran.
Karena itu Ibnu Rusyd sendiri menyatakan, pengkafiran al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan
al-Farabi bukan pengkafiran absolut karena dalam al-Tafriqah, al-Ghazali menegaskan bahwa
pengkafiran atas dasar ijma’ tidak bersifat mutlak.
Begitu pula sejarah membuktikan bahwa memang di kalangan Islam Sunni bagian
Timur yang berpusat di Baghdad, filsafat sesudah al-Ghazali tidak berkembang. Tetapi di
dunia Islam bagian Barat yang berpusat di Cordova, filsafat justru berkembang baik dan
melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.
Jadi, jelaslah sudah tidak berkembangnya filsafat di abad ke-XIII bukan tanggung
jawab kitab Tahafut al-Falasifah. Apalagi menurut komentar Sulaiman Dunya dalam
mengedit Tahafut al-Falasifah, kitab itu lebih filosofis dan rasional dari pada pemikiran para
filosof yang diserangnya. Artinya, kitab itu justru menghidupkan filsafat di dunia Islam.
Kalau begitu, andaikata benar bahwa filsafat tidak berkembang di dunia Islam
khususnya di dunia Islam Sunni, maka sebabnya harus dicari di luar kitab Tahafut al-
Falasifah. Lebih-lebih kitab ini hampir tak terbaca oleh mayoritas umat Islam Sunni,
termasuk Indonesia, misalnya. Mungkin sebab itu terletak pada tasawwuf yang menurut
pemikiran al-Ghazali adalah jalan yang sebetulnya untuk mencari kebenaran hakiki dengan
mengutamakan daya rasa (intuisi) dan meremehkan akal. Kitab tasawwuf al-Ghazali Ihya`
Ulumuddin yang sangat populer justru sangat besar pengaruhnya terutama di dunia Islam
Sunni.
Hal yang juga “membebaskan” kitab Tahafut al-Falasifah adalah karena kitab ini,
seperti dikatakan DR. Sulaiman Dunya—dengan mengutip pendapat Aristoteles bahwa orang
yang mengingkari metafisika adalah berfilsafat metafisis—adalah kitab filsafat juga,
setidaknya falsafi al-maudhu’i (bertema filsafat) kalau bukan falsafi al-ghayah (bertujuan
filsafat). Di samping itu al-Ghazali dalam kitab itu bersikap sangat hati-hati untuk
menggambarkan pemikiran para filossof yang hendak dikritiknya (Al-Ghazali, Tahafut al-
Falasifah, hal. 24-25). Bila kitab itu dibaca dan dipelajari, justru dapat membangkitkan gairah
untuk mempelajari filsafat dan berfilsafat (berfikir logis, filosofis dan kritis) dalam
memahami agama. Maka, sudah saatnya kitab itu dibaca dan dipelajari dengan baik di
lembaga pendidikan-pendidikan Islam, seperti pesantren sehingga menghasilkan intelektual
yang produktif dan tidak konsumtif, di samping untuk mengimbangi pemahaman tasawwuf
al-Ghazali, sehingga melahirkan pemahaman yang utuh terhadap pemikiran dan karya-karya
al-Ghazali.
BAB IIIPEMIKIRAN IBNU RUSYD
A. Biografi Ibnu RusydNama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd. Beliau dilahirkan di Cordova, Andalus
pada tahun 510H/1126M.6[6]Ayah dan kakeknya merupakan pencinta ilmu
dan ulama yang cukup disegani di Spanyol. Ayahnya yang bernama
Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) merupakan seorang faqih (ahli
hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara
kakeknya, Muhammad bin Ahmad (wafat 520 H-1126 M) merupakan ahli
fiqh madzhab Maliki dan imam masjid Cordova serta pernah menjabat
sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya, Ibnu
Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pendidikan yang dienyam oleh Ibnu Rusyd diawali dari belajar Al-
Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Kemudian beliau belajar
dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam,
Bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu Fiqh ia belajar dan menguasai kitab
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu
Muhammad bin Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh
ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual di bidang hadits. Dalam bidang ilmu
kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli
(berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang
kedokteran adalah Ibn Zhuhr.7[7]
Di usia 18 tahun, Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana doa
belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam ilmu Tauhid beliau berpegang pada
paham Asy’ariyah dan ini membukakan jalan baginya untuk mempelajari
ilmu filsafat. Ringkasnya, Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh filsafat,
agama, syariat dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu.8[8]
Salah satu hal yang sangat mengagumkan di dalam diri Ibnu Rusyd,
6[6] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto Harrossowitz, 1963), hal. 540.7[7] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 21-22.8[8] Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), hal. 126-127.
adalah hampir seluruh hidupnya dipergunakan untuk belajar dan
membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya terlalu berlebihan,
sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan
membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam
pernikahannya.9[9]
Awalnya Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan yang baik dari Khalifah
Abu Yusuf Al-Mansur (masa kekuasaannya 1148 – 1194 M), sehingga pada
waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat
kecuali pendapatnya. Akan tetapi keadaan tersebut segera berubah
karena ia diasingkan oleh Al-Mansur dan dikurung di suatu kampung
Yahudi sebagai akibat tuduhan bahwa Ibnu Rusyd telah keluar dari Islam
yang dilancarkan kelompok penentang filsafat, yaitu para fuqaha di
masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur
tentang kebersihan Ibnu Rusyd dari tuduhan tersebut, Ibnu Rusyd dapat
menghirup udara bebas. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama,
karena muncul kembali tuduhan yang dilemparkan lagi pada dirinya, dan
sebagai akibatnya ia diasingkan ke Maroko, buku-buku karangannya di
bakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak saat itu murid-
muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.10[10]
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung
lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya
dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama
menikmati keadaan tersebut, karena beliau meninggal pada tanggal 10
Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun
menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun
Hijrah. Marakesh, merupakan kota ketiga terbesar di Maroko, setelah
metropolitan modern Casablanca, dan ibu kota Rabat.11[11]
9[9] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat, 1962), hal. 100.10[10] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 199.11[11] T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd Al-Hady Abu Zaidah,( Kairo : Mathba`at al-Taklif, 1962), hal. 257.
B. KARYA TULIS IBNU RUSYD
Karangan Ibnu Rusyd yang lainnya meliputi berbagai ilmu, seperti :
fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Tidak
kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya ada
kalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan atau ringkasan. Karena
sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak
mengherankan kalau ia memberikan perhatian yang besar terhadap untuk
mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles.
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa
Arab dan sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit, diantaranya
adalah buku-buku tentang filsafat seperti :
a) Tahafut al-Tahafut.
b) Risalah fi Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juziyat.
c) Tafsiru ma ba’da ath-Thabiat.
d) Fashl al-Maqal fi ma baina al-Himaah wa asy-Syari’ati min al-Ittishal.
e) Al-Kasyfu ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah.
f) Naqdu Nazhariyat Ibnu Sina ‘an al-Mu’min lidzatihi wa al-Mu’min lighairih.
g) Risalah fi al-Wujud al-Azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat.
h) Risalah fi al-‘Aqli wa al-Ma’qul.
Buku-buku lainnya yang lebih penting dan sampai kepada kita ada
empat, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Bidayah al-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi
perbandingan madzhab dalam fiqh dengan menyebutkan alasan
masing-masing.
b. Fasl al-Maqal fi ma bain al-Hikmati wa asy-Syari’ati min al-Ittishal
(Ilmu Kalam). Buku ini berupaya menunjukkan adanya persesuaian
antara filsafat dan syari’ah, dan juga pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal
Jerman.
c. Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah (Ilmu Kalam).
d. Tahafut at-Tahafut, Buku ini terkenal dalam lapangan filsafat dan
Ilmu Kalam. Buku ini ditujukan untuk membela filsafat dari serangan
Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falalasifah. Buku Tahafut at-
Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan
terjemahannya ke dalam Bahasa Inggris oleh Van De Berg terbit
pada tahun 1952 M.12[12]
12[12] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal. 94-95.
C. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD
Ajaran Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan
Averroism berpangkal pada pikiran merdeka. Pemikiran ini ditolak keras
oleh dunia Kristen Eropa, dan telah mempengaruhi seluruh universitas
Eropa untuk berabad-abad lamanya, sehingga menimbulkan zaman
Renaissance di benua Eropa.13[13]
Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles” (komentator),
suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya Divina
Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya,
karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk
mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya yang
semula, setelah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang cukup
memburukkan dan yang dimasukkan oleh pengulas-pengulas (filsuf)
Iskandariah.
Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat
Aristoteles jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan
dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan
perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada
diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya. Orang-orang
yang datang sesudahnya mengalami kesulitan-kesulitan, dan dengan
kerasnya mereka memeras otak untuk menemukannya. Sedangkan bagi
Aristoteles pikiran-pikiran semacam itu dapat dicapai dengan mudahnya.
Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd
menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan
ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran
Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain.
Namun demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan
yang pernah dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat
dipahami, karena bisa saja terjemahan-terjemahan tersebut tidak
sanggup menyatakan dengan teliti terhadap pikiran-pikiran Aristoteles
13[13] Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, hal. 127.
yang terdapat dalam bahasa Yunani.14[14]
D. PERMASALAHAN FILSAFAT IBNU RUSYD
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan yang
sangat mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat;
terjadinya alam maujudat dan perbuatannya; keazalian dan keabadian
alam; gerak dan keazaliannya; serta akal yang universal dan satu.
1) Peranan Akal dalam Filsafatnya
Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang mementingkan akal daripada
perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal.
Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal.
Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar semua penilaian
terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara
logika. Mengenai tujuan agama sendiri, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat
Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar.
Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan
mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini pada hakikatnya yang
sebenarnya apa maksud syari’at itu, dan mengerti apa pula sebenarnya yang dikehendaki
dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga) dan kecelakaan di akhirat (neraka).
Maksud amal yang benar ialah mengerjakan dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan
yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah
yang dinamakan ilmu yang praktis.15[15]
2) Pengetahuan Tuhan
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti
pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya
sendiri. Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan
tetap terjaga keesaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui
keberagaman segala sesuatu, berarti Tuhan juga mempunyai
keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan
untuk semata-mata berada dalam zat-Nya sendiri dan tidak ada yang
lain.16[16]
Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah
14[14] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 96-9715[15] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 201.16[16] Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, hal. 38.
mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh
Aristoteles. Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang
menggerakkan itu, yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan
merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan
dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang
tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang
diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain
zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya
dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya
pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil,
artinya bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang
kurang sempurna, dan ini tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya
Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun
dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang
mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan
kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang
biasa.17[17]
3) Amal Perbuatan
Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu:
Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya? Bagi golongan
agama jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua
itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peritiwa,baik besar ataupun
kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan memeliharanya. Sebaliknya
bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan akal
pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali,
tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi itu menjadi benda-benda
lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam
maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.
Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi.
Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan
17[17] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 99.
jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan
dari keadaan yang potensial (bil-quwwah).
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi) pertama
dari materi itu menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat
bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat
penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada diri materi itu
sendiri.
Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan
menjelaskan pula argumennya sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu
menjadikan segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya
ide tentang sebab tidak akan ada artinya lagi. Padahal seperti yang kita
lihat sehari-hari, apapun yang terjadi dalam ini senantiasa diliputi oleh
hukum sebab dan akibat (musabab). Misalnya api yang menyebabkan
terbakar, dan air yang menyebabkan basah.18[18]
4) Keazalian Alam
Dalam masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada
permulaan terjadinya atau tidak?
Dalam ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa
ada permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada
dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd
keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan
lebih utama dari keazalian alam. Untuk membela pendapatnya, Ibnu
Rusyd mengeluarkan argumen sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak
azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang
menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang
menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya.
Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya,
tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu
hadits (baru).
Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan
meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan
Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali
18[18] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 204
pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang
utama dari keazalian Tuhan.
5) Gerakan yang Azali
Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu memiliki
sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan
kita temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak
mungkin berhenti. Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa
sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu
yang tidak bergerak. Gerakan itu dianggap tidak berawal dan tidak
berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab pertama (prima causa) atau
penggerak utama itulah yang disebut dengan Tuhan.
Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan adalah
sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan
pada akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya
(kejadian-kejadian di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya.
Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd,tidak dapat dikatakan adanya
pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.
6) Akal yang Universal
Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh Al-Farabi
dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja ”akal
yang aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga ’’akal
kemungkinan’’, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan
satu bagi semua orang.
Hai ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme.
Menurut Ibnu Rusyd ’’akal kemungkinan’’ barulah merupakan individu
tertentu ketika dia berkaitan dengan dengan suatu bentuk materi atau
tubuh orang per seorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang
perseorangan tidak memiliki keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu
adalah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal
kemungkinan manusia individual.
Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang
bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa)
manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani
yang membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan
monopsikisme. Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan
abadi.19[19]
7) Tinjauan Metafisika Ibnu Rusyd20[20]
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al-
awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah “akal” dan “maqqul” wujud
Allah adalah EsaNya. Wujud an ke-Esa-an tidak berbeda dengan zat Nya. Dalam fashl al-
Muqal Ibnu Rusyd mengatakan. Bahwa mengenal pencipta itu hannya mungkin dengan
mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk dijadikan petunjuk bagi adannya
pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalam kitab-kitabNya, yang diringkas sebagai dalil
inayah dan dalil cipta atau ikhtira’, serta dalil harkah.21[21]
a. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Dikemukakan bahwa ala mini seluruhnya
sangat sesuai dengan kehidupan manusia. Kesesuaian ini tidak mungkin terjadi secara
kebetulan , tetapi menunjukkan adannya pencipta yang sangat bijkasana. Semua kejadian
sangat sesuai dengan fitrah manusia, seperti siang, malam, matahari, bulan, tumbuh-
tumbuhan, hewan dan anggota tubuh manusia. Tidak mungkin terjadi dan terpelihara
semuanya itu tanpa pencipta yang bijaksana. Adapun ayat yang medukung, di antaranya (QS.
An-Naba’ ayat 6-7):
óOs9r& È@yèøgwU uÚö‘F{$# #Y‰»ygÏB ÇÏÈ tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?,
b. Dalil ikhtira’ (dalil ciptaan). Termasuk dalam dalil ini adalah wujud segala macem hewan,
tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi segala yang maujud adalah diciptakan. Segala yang
diciptakan harus ada yang menciptakan. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut antara lain
QS. Al-Hajj Ayat 73:
$yg•ƒr'¯»tƒ â¨$¨ 9Z $# z>ÎŽàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó™$$sù ÿ¼ã&s! 4 žcÎ) šúïÏ%©!$# šcqããô‰s? `ÏB Èbrߊ «!$# `s9 (#qà)è=øƒs† $\/$t/èŒ Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o„ Ü>$t/—%!$# $\«ø‹x© žw çnrä‹É)ZtFó¡o„ çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$#
Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ
19[19] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 20520[20] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 102-104.21[21] A. Mostofa, filsafat Islam Bandung: CV. Pustaka Setia, cet ke-4, 2009, hal. 292
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.”
c. Dalil Harkah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, gerakan
tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan bendam,
yaitu Tuhan.
Dalil pertama dan dalil kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syari’at,
karena adannya ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut. Tetapi dalil
ketiga yang pertama kali dicetuskan Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Ibnu
Rusyd22[22]
Ibnu Rusyd sudah membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan hubungan
Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd.
Di samping itu, Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan.
Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mutazilah, Batiniah, dan Hasywiah. Masing-masing
golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Tuhan.
Di samping itu, Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Al-Ghazali.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya Tahafut al-
Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai
kepada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya
terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-
pikiran filsuf-filsuf dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab
tidak lepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami
pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar
dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak
memahami benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan
sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang
bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak
terdapat pada Al-Ghazali. Akan tetapi ada pepatah mengatakan “kuda
balap kadang-kadang tersandung”, dan bagi Al-Ghazali tersandungnya itu
ialah akibat ia menulis buku Tahafut al-Falasifah tersebut. Boleh jadi
22[22] Hasyimsyah Nasution, op.cit, hal 118
penulisannya itu dilaksanakan karena melayani selera masa dan
lingkungannya.
Golongan Asy’ariah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud
Tuhan tidak lain adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd,
E. PEMBELAAN IBNU RUSYD PADA FILSAFAT
Di dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd mempunyai peran penting
dalam melaksanakan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan umat
Islam sendiri ketika munculnya fatwa haram Al-Ghazali di bidang
tersebut.
Dua kitab yang mencoba melakukan penetrasi gencarnya serangan-
serangan badai yang telah dikemukakan Al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut
dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal.
Kedua kitab inilah yang selanjutnya menjadi pilar utama pemikiran Ibnu
Rusyd guna menyelamatkan filsafat. Walaupun upaya ini baru nampak
membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era modern ini.
Jadi lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan
menampakkan kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad pasca wafatnya,
pemikiran al-Ghazali terus berkibar, yang cenderung menjauhi dunia
pemikiran seperti filsafat dan memunculkan kajian fiqh dan ushul,
khususnya di Sunni. Kejumudan melanda, peta pemikiran filsafat masih
ada namun nampak redup, di belahan bumi Persia filsafat itu terus
berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya, semuanya
mengalami ketidakberubahan.
Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu dilakoninya terhadap filsafat
yang sering kita dengar adalah upayanya untuk meredam kesesatan para
Filsuf, Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia melindungi tiga
pendapat utama yang difatwakan al-Ghazali pada para filsuf yang
dianggapnya sesat. Perdebatan antara keduanya menjadi debat dua
orang dari dua generasi berbeda yang seakan-akan mewakili perdebatan
sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan
kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan ortodoksinya.
Namun dalam kaitannya dengan Al-Ghazali, Dr. Mulyadi Kertanegara
mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah
dunia filsafat tidak secara keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo
Platonis saja yang seharusnya mendapatkan serangan itu. Adapun alasan
al-Ghazali melakukan ini karena kebebasan berfikir yang dipraktikkan
orang-orang muslim Neo Platonis seperti Al-Farabi (w.950) dan Ibn Sina
(w.1038), terlalu diumbar sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap
ritual-ritual agama menjadi tidak penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali
mengembangkan gagasannya untuk menyerang para filsuf Neo Platonis
ini, sayangnya oleh mayoritas umat Islam itu dipahami sebagai fatwa
haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat bahwa al-Ghazali pun
seorang filsuf juga.23[23]
Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran
peripatetik yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki
materi dan bentuk. Satu gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu
Rusyd. Hylomorfis inilah yang dijadikan pijakan oleh aliran filsafat
peripatetik. Yang kemudian memunculkan grant naration of causality
principal. Di mana prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari
potensialitas materi yang baru bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-
potensial yang mengaktualkannya. Rasionalitas mencoba membuktikan
keberadaan Tuhan sebagai wahdat al-wujud.
Selanjutnya, sanggahan-sanggahan Ibnu Rusyd terhadap tiga hal
yang menyebabkan al-Ghazali mengaharamkan filsafat, adalah sebagai
berikut :24[24]
1. Keabadian Alam
Ketika ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan
mana yang pencipta dan mana yang diciptakan. Tapi, kita lupa bahwa apa
yang dibicarakan ini saat alam belum ada alam. Al-Ghazali terjebak
dengan konsep ruang dan waktu yang meliputi alam. Ketika membahas
tentang proses terciptanya alam maka lepaskan dulu konsep ruang dan
waktu.
Menurut Ibnu Rusyd, meskipun Tuhan dan alam sama-sama abadi
23[23] Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,( Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 4824[24] Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, hal. 50-51.
tetapi karena Tuhan sebagai penyebab, sedangkan alam adalah akibat,
maka Tuhan tetap yang dahulu ada (sebagai pencipta). Hal ini dapat
dicontohkan sebagai matahari dengan sinarnya. Mana yang lebih dahulu
antara matahari dan sinarnya ?
Ibnu Rusyd juga melancarkan kritik balik terhadap pemikiran al-
Ghazali yang menyatakan bahwa Tuhan berkehendak ketika menciptakan
alam. Menurut Ibnu Rusyd ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah
kenapa jika kehendak Tuhan itu ada sejak zaman azali tetapi alam
datangnya kemudian. Seharusnya sejak azali pun alam sudah ada.
Rentang waktu penciptaan ini mengandaikan bahwa ada sesuatu yang
lain, membuat Tuhan harus merealisasikan alam. Tentu ini menyalahi
aturan. Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini bukan alam aktual.
Tetapi potensi alam, jadi potensi alamlah yang ada sejak zaman dahulu.
2. Pengetahuan Tuhan
Menurut para filsuf, Tuhan hanya mengetahui yang partikular secara
universal. Jika pengetahuan Tuhan bersifat partikular, maka apa-apa
yang ada di dunia ini akan selalu menjadi kehendak Tuhan. Ini berakibat,
keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya kasus manusia yang mati
bunuh diri, dengan konsep pengetahuan Tuhan yang partikular,
implikasinyapun hal ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu konsep
pengetahuan Tuhan secara partikular mengalami permasalahan. Tuhan
akan tahu bahwa setiap manusia akan mati, sampai di sinilah
pengetahuan Tuhan, tetapi bagaimana cara manusia itu mati, hal itu
diserahkan pada manusia sendiri.
Hal ini nampak sebagai keterbatasan, karena mengandaikan bahwa
penglihatan Tuhan menggunakan indera. Pengenalan Tuhan adalah
pengenalan universal, karena tiadanya indera dalam diri Tuhan.
Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan sendiri.
Misalnya, mungkinkah Tuhan membunuh dirinya? Jika mengikuti nalar
tentu bisa saja Tuhan membunuh dirinya sendiri, karena kemahakuasaan
diri-Nya. Tentu tak mungkin Tuhan membunuh dirinya.
3. Kebangkitan Jasmani Setelah Mati
Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan bangkit
setelah mati. Hal ini merujuk pada sifat jasmani itu sendiri (tubuh tak
mungkin bisa abadi, setiap yang fisik akan selalu hancur), padahal
menurut Al-Qur’an, nanti manusia akan abadi di akhirat. Maka dari itu, tak
mungkin jasmani manusia ini akan bangkit menuju akhirat, karena
kefanaannya.
Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini, karena
tubuh menikmatinya, begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan saat
ini seringkali terasa menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi, setelah meninggal,
kata Al-Farabi, kepahitan dosa kita akan benar-benar dirasakan karena
sudah tak ada yang menghalangi, yaitu tubuh. Begitu pula dengan
pahala, pahala akan kita rasakan kenikmatannya. Dosa kitalah yang akan
menyiksa kita, bukan Tuhan. Itulah gambaran Al-Farabi tentang
kehidupan akhirat nanti.
Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat, menurut
Ibnu Rusyd tidak konsisten karena kadangkala menyatakan bahwa surga
dan neraka itu bersifat fisik di satu buku, di buku lainnya ia menyatakan
bahwa kehidupan akhirat bersifat ruhani.
Dari tiga sanggahannya ini, Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali
merajut benang-benang filsafat yang sempat dipotong-potong al-Ghazali.
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa di dalam filsafat Islam ini kami juga
menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat Ibnu Rusyd justeru
berkembang di Barat tempat ia mengasah pengetahuannya. Di dunia
Islam sendiri pintu untuk mempelajari filsafat telah dikunci mati oleh
fatwa haram al-Ghazali. Dan inipun harus diakui.
Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap filsafat
adalah dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah
bertentangan dalam kitabnya Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-
Syariah min al-Ittishal. Fatwa haram al-Ghazali benar-benar meresap di
benak dan sanubari umat Islam dan tentu Ibnu Rusyd tidak ingin itu
berlarut-larut terjadi. Ketika upaya perlawanan dengan kitab Tahafut at-
Tahafut dirasa masih kurang berhasil dalam mengambil hati umat Islam,
upaya persuasive pun dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada
dasarnya kitab ini berbicara tentang hubungan antara akal dan wahyu.
Bertentangan atau tidak keduanya? Oleh Ibnu Rusyd dikatakan bahwa
keduanya tidaklah bertentangan.Ada kebenaran tunggal di dalamnya.
Dalam upayanya itu nampak betul bahwa Ibnu Rusyd benar-benar
berkeinginan untuk mendamaikan dua pendapat ini. Untuk memperkuat
argumen ini Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan.
Pertama, kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang
dalam kategori ini jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam
menjalani rutinitas keberagamaannya hanya dengan bertaqlid atau
mengikut.
Kedua, adalah para teolog. Golongan ini dikatakan Ibnu Rusyd
adalah golongan tepelajar namun tidak mau memahami premis-premis
logika.
Ketiga, adalah golongan orang-orang yang memahami agama
secara rasional.
Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa
perbedaan pendapat dan pemahaman dalam Islam, sebenarnya
berpangkal pada ini. Allah SWT mencipta Al-Qur’an sebegitu fleksibelnya
hingga dapat menyesuaikan yang membaca dan yang memahaminya.
Dari sinilah kemudian Ibnu Rusyd dinyatakan sebagai seorang yang
menyebarkan ajaran ganda. Meski kalau kita pahami lanjut sebenarnya
tidak ada itu yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin
pemahamannya saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu Rusyd
pada filsafat. Namun, mengalir dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa
Ibnu Rusyd cenderung pada rasionalitas, dan agak mengesampingkan
peran wahyu.
Selanjutnya, lima hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin
mendalami filsafat menurut Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut :25[25]
Pertama, bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin
mendalami harus memiliki bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang
memiliki kemampuan dan minat yang sama dalam mendalami filsafat.
Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak yang cerdas.
25[25] Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat,( Jakarta: P3M, 2007), hal. 167 – 168.
Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus
mempelajari filsafat secara sistematis dan berurutan, agar tidak ada
kerancuan-kerancuan.
Ketiga, objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak
pada sebuah pemikiran adalah hal penting lain yang harus dimiliki
seorang calon filsuf. Ketika mendapatkan satu kebenaran dalam suatu
pemikiran katakanlah itu kebenaran, tanpa mengurangi atau melebihkan.
Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan
kepastian dalam pemikirannya, maka sikap yang patut adalah
mempertahankan pemikirannya itu dengan sungguh. Dalam kamus
seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan pemikiran. Ketika ia
menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus mempertahankannya
mati-matian.
Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat
harus benar-benar meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada
pengetahuan dan kebaikan.
Demikianlah lima hal yang diajarkan Ibnu Rusyd untuk
mengaktualkan diri dalam dunia pemikiran.
F. AVEROISMEIbnu Rusyd merupakan satu-satunya filosof muslim yang paling
berpengaruh di Barat. Di tangan Ibnu rusyd, filsafat menjadi demikian
menantang dan menarik minat banyak orang untuk mendalaminya.
Paham rasional yang dikembangkan menjadi titik terang bagi bangsa
Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka.
Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk
tertinggi dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban muslim
unggul dan maju adalah tantangan secara deametreal bagi paham
keagamaan Kristen secara deametreal bagi paham keagamaan Kristen
yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan dogmatis26[26]
Para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena secara resmi
melarang, tetapi mempelajarinya secara diam-diam dalam Gereja mereka.
Karena itu larangan Gereja tidak mempan menghadapi kaum intelektual
26[26] ______ Averroisme,www. Gooogle.com diakses pada tanggal 15 Januari 2012
untuk terus mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd
di Eropa. Dari sinilah muncul kelompok intelektual yang semangat
menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mu’alim al-awal).
Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) yang
kemudian mendirikan aliran Averoisme. Walaupun penamaan Averoisme
sebagai pengikut ibnu Rusyd, menurut sirojuddin Zar adalah kurang tepat,
lebih tepatnya dinesbahkan pada kakek Ibnu Rusyd.
Munculnya gerakan dan aliran Averriosme ini sejatiny adalah
lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebab
sebelumnya Eropa kosong dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan
tidak menghargai akal. Bagi mereka (kristani) satu-satunya sumber
kebenaran hannyalah Gereja Kresten. Seperti diketahui bahwa Gereja
Katolik Roma sudah menancapkan dominasinya selama 11 abad di eropa
(abad ke-5 sampai abad ke-16 M) dan sukses dalam menyatukan Eropa di
dalam kerajaan Gereja Katolik ditandai dengan supremasi gereja secara
absolute diatas Negara. Dalam situasi ini kehidupan masyarakat Barat
sepenuhnya dalam control dan dogma Gereja Katolik Roma, sehingga
tidak ada kemerdekaan dan keselamatan di luar Gereja.27[27]
Menurut Sirajuddin Zar, kedatipun Averroisme ini namanya
dibangsakan kepada Ibnu Rusyd namun ajaran keduannya terdapat
perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan oleh latar belakang agama
yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional dalam
bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hannya mengambil dasar-
dasar rasional saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka
Ibnu Rusyd dilator belakangi oleh ajaran Islam yang rasional dan
dinamis. Di dalam islam terdapat ajaran yang bersifat dogmatis (qath’I al-
dalalah) tetapi amat sedikit jumlahnya. Adapun yang terbanyak ialah
ajaran islam yang bersifat zhani al-dalalah. Ia dating hanya dalam bentuk
prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoprasikannya diserahkan
27[27] ______ Averroisme,www. Gooogle.com diakses pada tanggal 15 Januari 2012
pada otak manusia setempat dimana ia hidup. Sehingga islam selalu
cocok dengan tempat dan zaman
Berbeda dengan islam, agama Kristen semua ajarannya bersifat
dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan antara ajarannya dengan
filsafat. Atas dasar inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran
rasional Ibnu rusyd di eropa, yang antara agama dan filsafat dapat
direkonsillasikan, mendapat kesulitan.pemikiran filsafat yang
dikembangkannya dalam islam adalah suatu kebenaran. Dan kebenaran
agama tidak bertentangan maka hendaklah diambil arti metavora
(takwil).28[28]
Menurut Ibnu Rusyd bahwa ada kebenaran ganda (double truth)
yaitu kebenaran yang dibawa agama dan kebenaran yang dibawa filsafat.
tetapi lain halnya yang dikembangkan Averriosme, menurut paham ini
mengatakan bahwa kebenaran filsafat mungkin bertentangan dengan
agama, tetapi keduanya harus diterima, demikian menurut Siger de
Brabandt (1235-1285) jadi konsep kebenaran ganda yang dikembangkan
Averriosme merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.
Penyimpangan yang ekstrim yang dilakukan Averroisme, menurut harun
Nasution sebagaimana dikutip Surajuddin Zar adalah pendapat yang
mengatakan filsafat mengandung kebenaran, sedangkan agama
membawa hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu, tuduhan pemuka
gereja terhadap Ibnu Rusyd seorang atheis adalah tidak tepat dan salah
alamat yang semestinya dilontarkan kepada Averriosme.29[29]
Reaksi terhadap pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa terbagi menjadi dua
kelompok : kelompok pertama, kelompok yang menentang yang
dipelopori oleh gereja dan kelompok kedua, kelompok yang mendukung
yang dipelopori oleh ilmuan. Peretentangan keduanny sangat tajam
sehingga kelompok pertama menuduh kelompok kedua sebagai atheis,
sehingga gereja mengeluarkan maklumat yang berisi pengharaman
membaca buku-buku karya Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Sebaliknya
kelompok kedua berusaha keras mengembangkan logika Aristoteles
28[28] Sirajudin Zar, Op, cit, Hal. 256-25729[29] Ibid, hal.257
sebagaimana ditafsirkan Ibnu rusyd dan pola berfikir rasionalis murni,
sedangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd yang bersifat keagamaan
tidak mendapat perhatian. Dengan kata lain mereka mengunakan filsafat
untuk menentang gereja. Suasana pertentangan ini menjurus semakin
maraknya perbincangan filsafat Ibnu Rusyd pada abad XIII, sehingga lahir
kelompok yang menamakan dirinya dengan al-Rasyidin al-Latiniyin salah
satu tokohnya adalah Sigar Van Brabant30[30].
Dalam perkembangannya, walaupun Averriosme dilarang oleh
gereja, tetapi pengikutnya tetap setia dan tidak ada habis habisnya.
30[30] Hasyimsyah Nasution, Op.cit, hal.127-128
BAB IV
KESIMPULAN
Antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sebenarnya berasal dari konflik premis-premis
metafisika yang tidak bisa didamaikan. Kritik al-Ghazali terhadap konsep keazalian alam
berpijak pada asal-usul konsep ini yang berangkat dari konsep Tuhan Aristoteles.
Konsep Tuhan seperti ini bertentangan dengan konsep Tuhan yang ada dalam al-
Qur’an. Konsep Tuhan Aristoteles berangkat dari konsep Tuhan yang harus mencipta alam.
Tuhan --tidak bisa tidak -- harus mencipta alam. Jadi, Tuhan berbuat dengan keharusan.
Bukan itu saja, Perbuatan-Nya pun selanjutnya ditentukan dengan benda-benda diluar diri-
Nya. Dia tidak bertindak secara langsung ke dalam alam ciptaan-Nya. Namun tindakan-Nya
melalui serial sebab-sebab esensial yang berlaku sebagai perantara. Premis-premis seperti ini
yang mendorong Aristoteles untuk merumuskan alam ini tidak berpemulaan. Pemikiran
metafisis ini yang mempngaruhi pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Sementara bagi al-Ghazali dan tentunya mayoritas kaum Muslimin, konsep Tuhan
dalam al-Qur’an adalah Maha Kuasa. Dia juga Maha Berkehendak. Dia tidak berbuat dengan
keharusan. Tidak ada diluar Diri-Nya yang menentukan perbuatan-Nya. Alam sepenuhnya
tergantung kepada-Nya. Eksistensi alam secara total setiap saat bergantung kepada
perbuatan-Nya secara langsung. Segala sesuatu di alam ini setiap saat secara langsung berada
dalam genggaman-Nya. Dialah yang menyebabkan segala perubahan dan pergerakan. Tidak
ada keharusan keterkaitan sebab-akibat di alam ini.
Hanya Salah Paham, Kritikan Imam al-Ghazali terhadap filsafat terkadang
ditafsirkan keliru. Al-Ghazali, misalnya, dituduh sebagai biang kerok kemunduran sains umat
Islam. Prof. al-Ahwany, misalnya, menilai: “Sayangnya, kaum Muslimin mengikuti al-
Ghazali dan sedikit demi sedikit mengabaikan pelajaran sains. Zaman kebesaran peradaban
Islam menjadi buram. Kembali kepada Ibnu Rusyd adalah salah satu insentif untuk
kebangkitan kembali saat ini di Timur. Menurut al-Ahwany, Muhammad Abduh, Amir Ali
dan ramai tokoh-tokoh Muslim modern setuju dengan trend pemikiran Ibnu Rusyd dibanding
al-Ghazali (Ahmad Fouad al-Ahwany, “Ibn Rushd” dalam M. M. Sharif, A History of Muslim
Philosophy).
Sebenarnya, tuduhan kepada Imam al-Ghazali terlalu berlebihan. Menurut al-Ghazali,
mempelajari sains adalah fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali telah mengingatkan
dalam Tahafutul Falasifah, supaya mengkaji sains, sebagaimana disebutkan di awal tulisan
ini.
Waktu telah membuktikan pengaruh al-Ghazali kepada umat lebih besar dibanding
pengaruh Ibnu Rusyd. Mayoritas umat Islam baik dalam khilafah Utsmaniyah yang berkuasa
sekitar 700 tahun, dinasti Mughal di India-Pakistan selama 300 tahun, termasuk di alam
Melayu, lebih banyak yang mengikuti pemikiran imam al-Ghazali dibanding Ibnu Rusyd.
DAFTAR PUSTAKA
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008).
Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto
Harrossowitz, 1963).
Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-
Saqafiyyat, 1962).
Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
1991).
Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004).
Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984).
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004).
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986).
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta:
Kanisius.
T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd Al-Hady
Abu Zaidah,( Kairo : Mathba`at al-Taklif, 1962).
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
top related