batuan beku non fragmental
Post on 16-Jan-2016
89 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum petrologi acara batuan beku non fragmental yang telah
dilaksanakan pada tanggal 23 Maret 2015 dan pada tanggal 30 Maret 2015 praktikan
telah melakukan pengamatan terhadap 6 batuan beku non fragmental. Pengamatan
yang dilakukan secara megaskopis ini bertujuan untuk deskripsi batuan dan
penamaan batuan yang berdasarkan klasifikasi Russel B. Travis, 1988. Sehingga
didapatkan hasil analisis sebagai berikut
4.1 Batuan Peraga Nomor BI-09-A
Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu
keputihan. Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras.
Tekstur batuan ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena
batuan ini terdiri dari kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah
inequigranular (faneroporfiritik) karena batuan ini memiliki mineral yang
memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang melingkupinya.
Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan
dikelilingi oleh kristal-kristal halus berupa mineral afanit. Hubungan antar
kristalnya adalah subhedral dimana bidang kristalnya sebagian dibatasi oleh
bidang kristal mineral lain dan sebagian dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri.
Dan dengan ukuran kasar >5mm (WTG, 1954).
Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,
belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan
kelimpahan 15%. Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan,
kilap kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa dengan kelimpahan 15%. Kenampakan
yang ketiga berwarna hitam, kekerasan 5-6 skala Mohs, transparansi transparan,
cerat hitam yaitu Hornblend dengan kelimpahan 5%. Warna putih susu,
kekerasan 6 skala Mohs, dengan transparansi opaq yaitu Plagioklas dengan
16
kelimpahan 45%. Mineral terakhir adalah dengan warna merah daging,
kekerasan 6 skala Mohs, cerat putih, kilap non logam, transparansi opaq yaitu
Orthoklas dengan kelimpahan 20%. Dari komposisi yang ada tersebut batuan ini
adalah Porfiri Granit (Russel B. Travis, 1988).
Gambar 4.1 Penamaan Peraga BI-09-A pada tabel klasifikasi
Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu
1000˚C hingga 600˚C yang membutuhkan waktu lama dan pembentukan
mineralnya secara lambat sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran
yang besar dan menjadi fenokris. Kemudian terjadi perubahan suhu dan tekanan
sehingga mineral-mineral yang lain tidak terbentuk dengan ukuran yang sama.
Mineral-mineral tersebut dinamakan massa dasar dengan kristal yang masih
dapat dilihat dengan mata telanjang. Dari penjelasan diatas, mineral ini
memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan granularitas inequigranular
faneroporfiritik. Pada awal pembentukan batuan, yang pertama kali terbentuk
17
adalah hornblen dan plagioklas, kemudian suhu menurun dan terbentuk biotit,
suhu akan turun lagi sehinga terbentuk orthoklas dan yang terakhir pada kisaran
suhu 600˚C adalah kuarsa. Dapat diinterpretasi bahwa mineral pada batuan
terbentuk di zona vulkanik. Dari kenampakannya terlihat banyak terbentuk
mineral orthoklas dan kuarsa sehingga diinterpretasikan bahwa batuan tersebut
mengandung kandungan silica yang lumayan tinggi. Kemudian pada mineral
kuarsa dan orthoklas terbentuk dengan ukuran yang lebih halus, sehingga
diinterpretasi bahwa pembentukan mineral tersebut berlangsung cepat.
Sehingga batuan ini terbentuk pada waktu pembentukan mineral yang sama
kecepatannya. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun batuannya, porfiri
granit memiliki sifat magma asam. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah
zona subduksi yang magmanya berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari
yang awalnya mempunyai sifat magma basa namun karena ketebalan lempeng
benua dan pengaruh dari sudut penunjaman lempeng samudra magma dapat
berubah menjadi asam. Magma yang memiliki sifat magma asam tersebut
membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas
permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.
Gambar 4.2 Zona Subduksi
4.2 Batuan Peraga Nomor B1-18-A
18
Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna coklat
keabuan. Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras.
Tekstur batuan ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena
batuan ini terdiri dari kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah
equigranular (fanerik) karena batuan ini memiliki ukuran mineral pembentuk
yang sama dan seragam. Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana
bidang kristalnya sebagian dibatasi oleh bidang kristal mineral lain dan sebagian
dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri. Dan dengan ukuran sedang 1-5mm
(WTG, 1954).
Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,
belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan
kelimpahan 5%. Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap
kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa dengan kelimpahan 20%. Kenampakan yang
ketiga berwarna hitam, kekerasan 5-6 skala Mohs, transparansi transparan, cerat
hitam yaitu Hornblend dengan kelimpahan 10%. Mineral selanjutnya adalah
warna putih susu, kekerasan 6 skala Mohs, dengan transparansi opaq yaitu
Plagioklas dengan kelimpahan 30%. Mineral terakhir adalah dengan warna
merah daging, kekerasan 6 skala Mohs, cerat putih, kilap non logam,
transparansi opaq yaitu Orthoklas dengan kelimpahan 35%. Dari komposisi
yang ada tersebut batuan ini adalah Granit (Russel B. Travis, 1988).
Gambar 4.3 Penamaan Peraga BI-18-A pada tabel klasifikasi
19
Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu
1000˚C hingga 600˚C yang membutuhkan waktu lama dan pembentukan
mineralnya secara lambat karena pada suhu awal pembentukan, magma telah
memiliki cukup unsur untuk membentuk mineral dan pembentukan mineralnya
memiliki rentang waktu yang sama sehingga terbentuk mineral-mineral dengan
ukuran yang besar dan seragam. Dari penjelasan diatas, mineral ini memiliki
derajat kristalisasi holokristalin dengan granularitas equigranular (fanerik).
Pada pembentukan batuannya, mineral yang pertama kali terbentuk adalah
mineral horblen dan plagioklas, kemudian terjadi pendinginan suhu lalu
terbentuk biotit. Pendinginan terjadi kembali dan mendinginkan magma
sehingga terbentuk orthoklas dan kuarsa dengan keterdapatan silica yang tinggi.
Dapat diinterpretasi bahwa mineral pada batuan terbentuk di zona vulkanik.
Kemudian pada mineral kuarsa dan orthoklas terbentuk dengan ukuran yang
sama dengan mineral sebelumnya, sehingga diinterpretasi bahwa pembentukan
mineral tersebut cepat dan mineral tersebut terbentuk pada kecepatan dan waktu
yang sama. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun batuannya, porfiri
granit memiliki sifat magma asam. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah
zona subduksi yang magmanya berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari
yang awalnya mempunyai sifat magma basa namun karena ketebalan lempeng
benua dan pengaruh dari sudut penunjaman lempeng samudra magma dapat
berubah menjadi asam. Magma yang memiliki sifat magma asam tersebut
membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas
permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.
20
Gambar 4.4 Zona Subduksi
4.3 Batuan Peraga Nomor B1-43-A
Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna hitam.
Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan
ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan ini terdiri dari
kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah equigranular fanerik
karena batuan ini memiliki ukuran mineral pembentuk yang sama dan seragam.
Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana bidang kristalnya sebagian
dibatasi oleh bidang kristal mineral lain dan sebagian dibatasi oleh bidang
kristalnya sendiri. Dan dengan ukuran kasar >5mm (WTG, 1954).
Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna
transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa
dengan kelimpahan 5%. Mineral selanjutnya adalah warna putih susu,
kekerasan 6 skala Mohs, dengan transparansi opaq yaitu Plagioklas dengan
kelimpahan 60%. Lalu ada mineral dengan warna hijau, cerat putih, kilap kaca,
kekerasan 6,5-7 skala Mohs yaitu Olivin dengan kelimpahan 10%. Mineral yang
terakhir adalah dengan warna hijau kehitaman, kilap kaca, kekerasan 6 skala
Mohs, cerat putih, transparansi opaq yaitu Piroksen dengan kelimpahan 25%.
Dari komposisi yang ada tersebut batuan ini adalah Gabro (Russel B. Travis,
1988).
21
Gambar 4.5 Penamaan Peraga BI-43-A pada tabel klasifikasi
Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu
1200˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama dan pembentukan mineralnya
secara lambat karena pada suhu awal pembentukan, magma telah memiliki
cukup unsur untuk membentuk mineral dan pembentukan mineralnya memiliki
rentang waktu yang sama sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran
yang besar dan seragam. Dari penjelasan diatas, mineral ini memiliki derajat
kristalisasi holokristalin dengan granularitas equigranular (fanerik). Pada awal
proses pembentukan batuan, mineral yang terbentuk pertama kali adalah olivine
dan plagioklas pada suhu 1200˚C, kemudian pada saat suhu telah turun,
terbentuklah piroksen dengan suhu 1100˚C, suhu turun lagi dan terbentuk
kuarsa pada suhu 600˚C dengan sedikit kelimpahan karena silica yang
dibutuhkan untuk membentuk kuarsa telah banyak digunakan pada
pembentukan mineral yang lain. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun
22
batuannya, gabro memiliki sifat magma basa. Gabro merupakan batuan yang
terbentuk di zona plutonik. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah MOR atau
Mid-Oceanir Ridge, Island Arc, Inter-Continental Rift Zone dan Back Arc
Basin. Magma yang memiliki sifat magma basa tersebut membeku di bawah
permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas permukaan bumi karena
adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.
Gambar 4.6 Continental Rift Zone
Gambar 4.7 Back Arc Basin
Gambar 4.8 Mid Oceanic Ridge
23
Gambar 4.9 Island Arc
4.4 Batuan Peraga Nomor BIP-27-B
Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu.
Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan
ini terdiri dari derajat kristalisasi yang hipokristalin karena batuan ini terdiri dari
kristal dan massa dasar gelasan. Granularitas pada batuan ini adalah
inequigranular (porfiroafanitik) karena karena batuan ini memiliki mineral yang
memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang melingkupinya.
Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan
dikelilingi oleh gelasans berupa mineral afanit. Hubungan antar kristalnya
adalah euhedral dimana bidang kristalnya dibatasi bidang kristalnya sendiri.
Dan dengan ukuran halus <1mm (WTG, 1954).
Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna
transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa
dengan kelimpahan 5%. Mineral selanjutnya adalah dengan warna hitam,
belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan
kelimpahan 20%. Mineral yang terakhir adalah dengan warna hijau kehitaman,
kilap kaca, kekerasan 6 skala Mohs, cerat putih, transparansi opaq yaitu
Piroksen dengan kelimpahan 50%. Sisanya adalah massa dasar afanit. Dari
24
komposisi yang ada tersebut batuan ini adalah Porfiri Basalt (Russel B. Travis,
1988).
Gambar 4.10 Penamaan Peraga BIP-27-B pada tabel klasifikasi
Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu
1200˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama karena batuan ini memiliki
mineral yang memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang
melingkupinya. Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah
fenokris dan dikelilingi oleh gelasan. Dari penjelasan diatas, mineral ini
memiliki derajat kristalisasi hipokristalin dengan granularitas inequigranular
porfiroafanitik. Proses pembentukan mineral yang pertama adalah piroksen
pada suhu 1100˚C, terbentuk secara terus menerus sehingga memiliki ukuran
yang lebih besar dari yang liannya. Suhu turun di kisaran 900˚C dan terbentuk
mineral biotit dengan waktu pembentukan yang cukup lama sehingga mampu
terbentuk dengan ukuran yang besar. Lalu terbentuk kuarsa pada suhu 600˚C.
25
Kemudian terdapat perubahan suhu yang sangat cepat sehingga terdapat massa
dasar yang berupa gelasan. Dapat diinterpretasi bahwa mineral pada batuan
terbentuk di zona plutonik dilihat dari komposisi batuannya. Berdasarkan
komposisi dari mineral penyusun batuannya, porfiri basalt memiliki sifat
magma basa. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah MOR atau Mid-Oceanic
Ridge dan Island Arc. Magma yang memiliki sifat magma basa tersebut
membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas
permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.
Gambar 4.11 Mid Oceanic Ridge
Gambar 4.12 Island Arc
4.5 Batuan Peraga Nomor B1-02-A
Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu.
Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan
ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan terdiri dari
26
kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah inequigranular
(porfiroafanitik) karena batuan ini memiliki mineral yang memiliki ukuran yang
lebih besar daripada mineral yang melingkupinya. Mineral yang memiliki
ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan dikelilingi oleh gelasan berupa
mineral afanit. Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana bidang
kristalnya dibatasi bidang kristalnya sendiri dan bidang kristal mineral lainnya.
Dan dengan ukuran kasar >5mm (WTG, 1954).
Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,
belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih. Berdasarkan
kenampakan tersebut mineral ini dinamakan biotit dengan kelimpahan 5%.
Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap kaca, cerat
colorless. Berdasarkan kenampakan tersebut adalah Kuarsa dengan
kelimpahan 20%. Mineral selanjutnya adalah warna putih susu, kekerasan 6
skala Mohs, dengan transparansi opaq. Berdasarkan kenampakan tersebut
maka mineral ini adalah Plagioklas dengan kelimpahan 55%. Dan yang
teakhir adalah massa dasar mineral afanit 20%. Dari komposisi yang ada
tersebut batuan ini adalah Porfiro Dasit (Russel B. Travis, 1988).
Gambar 4.13 Penamaan Peraga BI-02-A pada tabel klasifikasi
Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu
1000˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama dan pembentukan mineralnya
secara lambat sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran yang besar
27
dan menjadi fenokris. Pembentukan mineral yang pertama adalah biotit dan
plagioklas dengan ukuran yang lebih besar terbentuk di kisaran suhu 800˚C.
Kemudian terjadi penurunan suhu dan terbentuk kuarsa pada suhu 600˚C.
Kemudian terjadi perubahan suhu dan tekanan secara drastis sehingga mineral-
mineral yang lain tidak terbentuk dengan ukuran yang sama karena perbedaan
kecepatan pembentukan mineral. Mineral-mineral tersebut dinamakan masa
dasar dengan kristal yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Dari
penjelasan diatas, mineral ini memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan
granularitas inequigranular (porfiroafanitik). Dapat diinterpretasi bahwa
mineral pada batuan terbentuk di zona plutonik. Berdasarkan komposisi dari
mineral penyusun batuannya, porfiri dasit memiliki sifat magma intermediet.
Batuan ini biasanya terbentuk di daerah zona subduksi yang magmanya
berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari yang awalnya mempunyai sifat
magma basa namun karena ketebalan lempeng benua dan pengaruh dari sudut
penunjaman lempeng samudra magma dapat berubah menjadi intermediet. Pada
daerah subduksi ini memang banyak terbentuk batuan yang memiliki sifat
magma intermediet. Magma yang memiliki sifat magma intermediet tersebut
membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas
permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.
Biasanya di daerah ini terdapat banyak aktivitas vulkanis gunung api.
Gambar 4.14 Zona Subduksi
28
4.6 Batuan Peraga Nomor RP1
Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu.
Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan
ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan ini terdiri dari
kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah equigranular (fanerik)
karena batuan ini memiliki mineral yang seragam ukuran satu dengan mineral
lainnya. Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana bidang kristalnya
dibatasi bidang kristalnya sendiri dan bidang kristal mineral lainnya. Dan
dengan ukuran sedang 1-5mm (WTG, 1954).
Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,
belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan
kelimpahan 22%. Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan,
kilap kaca, cerat colorless adalah Kuarsa dengan kelimpahan 8%. Mineral
selanjutnya adalah warna putih susu, kekerasan 6 skala Mohs, dengan
transparansi opaq yaitu Plagioklas dengan kelimpahan 55%. Kenampakan yang
terakhir berwarna hitam, kekerasan 5-6 skala Mohs, transparansi transparan,
cerat hitam yaitu Hornblend dengan kelimpahan 15%. Dari komposisi yang ada
tersebut batuan ini adalah diorit (Russel B. Travis, 1988).
Gambar 4.15 Penamaan Peraga RP1 pada tabel klasifikasi
29
Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu
1000˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama dan pembentukan mineralnya
secara lambat sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran yang besar.
Magma telah memiliki cukup unsur untuk membentuk mineral dan
pembentukan mineralnya memiliki rentang waktu yang sama sehingga
terbentuk mineral-mineral dengan ukuran yang besar dan seragam. Dari
penjelasan di atas, mineral ini memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan
granularitas equigranular (fanerik). Mineral yang pertama kali terbentuk adalah
mineral biotit dan plagioklas pada suhu sekitar 1000˚C. Terjadi penurunan suhu
dan terbentuk mineral hornblen pada kisaran suhu 800˚C. Lalu terjadi
pendinginan yang sangat cepat sehingga kuarsa hanya terbentuk sedikit dan
mungkin karena suplai silica yang kurang. Batuan ini terbentuk di zona
hipabisal. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun batuannya, diorit
memiliki sifat magma intermediet. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah zona
subduksi yang magmanya berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari yang
awalnya mempunyai sifat magma basa namun karena ketebalan lempeng benua
dan pengaruh dari sudut penunjaman lempeng samudra magma dapat berubah
menjadi intermediet. Pada daerah subduksi ini memang banyak terbentuk
batuan yang memiliki sifat magma intermediet. Magma yang memiliki sifat
magma intermediet tersebut membeku di bawah permukaan bumi yang
kemudian terangkat ke atas permukaan bumi karena adanya tenaga endogen
yang terjadi di daerah tersebut. Biasanya di daerah ini terdapat banyak aktivitas
vulkanis gunung api.
30
Gambar 4.16 Zona Subduksi
31
top related