bagian ini berisi kajian yang menjadi landasan pelaksanaan...
Post on 20-Apr-2018
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
Bab II Tinjauan Pustaka
Bagian ini berisi kajian yang menjadi landasan pelaksanaan tesis atau state of the art.
Kajian yang terkait antara lain konsep dasar kolaborasi, konsep ensiklopedia dalam
rekayasa informasi, dan konsep pemodelan sistem yaitu ontologi dan deduction rules.
I.1. Konsep Dasar Kolaborasi
Konsep dasar kolaborasi meliputi definisi umum dan prasyarat (requirement)
kolaborasi. Konsep dasar kolaborasi disusun berdasarkan Collaborative Network
Reference Modelling dalam (Matos, 2008).
I.1.1. Definisi
Terdapat sejumlah gagasan dalam istilah kolaborasi. Istilah ini juga seringkali
disama-artikan dengan kooperasi. Walaupun pembedaan kedua istilah tersebut telah
didefinisikan, terdapat berbagai penggunaan istilah kolaborasi dalam literatur yang
ada. Ambiguitas mencapai tingkat yang lebih tinggi ketika dihadirkan istilah lain
yang berkaitan seperti networking, komunikasi, dan koordinasi. Walaupun masing-
masing konsep tersebut merupakan komponen yang penting dalam kolaborasi, konsep
tersebut tidak memiliki nilai yang sama dan tidak sepadan dengan konsep kolaborasi.
Untuk mengklarifikasi penggunaan konsep tersebut dikemukakan working definition
sebagai berikut :
Definisi 1. Networking : meliputi komunikasi dan pertukaran informasi yang saling
menguntungkan. Istilah ini digunakan dalam berbagai konteks dan seringkali
memiliki arti yang berlainan. Misalnya ketika orang berbicara berkenaan dengan
“enterprise network” atau “enterprise networking” maka arti yang diharapkan adalah
“collaborative network of enterprises”. Contoh sederhana dari networking adalah
ketika sekelompok entitas berbagi informasi mengenai pengalamannya menggunakan
suatu perangkat. Mereka dapat memperoleh manfaat dari informasi yang tersedia,
13
tanpa perlu memiliki tujuan bersama atau struktur yang mempengaruhi bentuk dan
waktu kontribusi individu.
Definisi 2. Coordinated Networking : meliputi komunikasi dan pertukaran informasi,
dan juga adanya keselarasan aktivitas sehingga dicapai hasil yang lebih efektif.
Koordinasi yang merupakan tindakan bekerja bersama-sama secara harmonis, adalah
hal utama dari Coordinated Networking. Contoh sederhana dari aktivitas Coordinated
Networking terjadi ketika sejumlah entitas heterogen berbagi informasi dan
menetapkan kerangka waktu, misalnya aktifitas lobi pada subyek baru untuk
memaksimalkan pengaruh. Namun demikian masing-masih entitas dapat memiliki
tujuan yang berbeda, serta menggunakan sumberdaya dan metode sendiri dalam
menciptakan pengaruh.
Definisi 3. Kooperasi : tidak hanya melibatkan pertukaran informasi dan pengaturan
aktivitas, melainkan juga berbagi sumberdaya untuk mencapai tujuan yang sesuai.
Kooperasi dicapai dengan melakukan pembagian pekerjaan antara partisipan. Contoh
proses kooperasi, sebuai rantai pasok (supply chain) tradisional berdasarkan
hubungan client-supplier dan peran-peran yang telah didefinisikan dalam value
chain. Setiap partisipan melakukan bagian pekerjaannya, seolah-olah melakukan hal
yang independen. Tetapi bagaimanapun terdapat perencanaan bersama, yang dalam
banyak kejadian tidak didefinisikan bersama melainkan oleh masing-masing entitas,
dan membutuhkan suatu kerjasama low-level setidaknya pada titik dimana hasil dari
suatu entitas disampaikan pada entitas berikutnya. Dengan demikian tujuan mereka
sesuai, dalam hal ini bahwa hasil yang diperoleh dapat ditambahkan atau tersusun
dalam suatu value chain menuju produk akhir atau layanan.
Definisi 4. Kolaborasi : merupakan sebuah proses dimana sejumlah entitas berbagi
informasi, sumberdaya, dan tanggung jawab untuk bersama-sama merencanakan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi program, untuk mencapai tujuan bersama.
Konsep ini diturunkan dari bahasa Latin ‘collaborare’ yang berarti ‘bekerja bersama’,
dan dapat dilihat sebagai sebuah proses penciptaan bersama; dengan demikian sebuah
14
proses dapat dilalui apabila sekelompok entitas meningkatkan kapabilitas satu sama
lain. Hal tersebut termasuk berbagi resiko, sumberdaya, tanggung jawab, dan
penghargaan. Kolaborasi melibatkan perjanjian antar partisipan yang saling
menguntungkan untuk menyelesaikan suatu persoalan bersama-sama, termasuk saling
mempercayai kemudian meluangkan waktu, upaya, dan dedikasi.
Contoh dari proses kolaborasi terjadi dalam concurrent engineering, yaitu ketika
sekelompok tim ahli bersama-sama mengembangkan suatu produk baru. Dalam hal
ini meskipun sejumlah koordinasi dibutuhkan, terjadi proses pencarian yang divergen
dan spontan, dan bukan suatu harmoni yang terstruktur.
Keempat definisi tersebut membangun sebuah building block untuk definisi
selanjutnya, yaitu koordinasi merupakan perluasan dari networking, kooperasi
merupakan perluasan dari koordinasi, dan kolaborasi merupakan perluasan dari
kooperasi. Berbagai tingkat interaksi tersebut dapat dipandang sebagai Collaborative
Maturity Level. Dengan kata lain building block ini dapat dijadikan basis dalam
menilai sejauh mana kematangan proses kolaborasi dalam suatu organisasi. Ilustrasi
building block dapat dilihat pada Gambar II.1.
Gambar II.1 Collaborative Maturity Level (Matos, 2008)
15
II.1.1 Prasyarat Kolaborasi (Requirements for Collaboration)
Kolaborasi merupakan proses yang sulit, sehingga peluang kesuksesannya
bergantung pada pemenuhan prasyarat sebagai berikut:
a. Kolaborasi harus memiliki maksud. Biasanya diwujudkan dalam suatu tujuan
bersama atau persoalan yang harus diselesaikan bersama. Tidaklah cukup
apabila pihak terkait memiliki tujuannya masing-masing.
b. Prasyarat dasar atau prekondisi dari kolaborasi meliputi :
a. Masing-masing pihak yang terlibat sepakat untuk berkolaborasi.
b. Masing-masing pihak mengetahui kapabilitas satu sama lain.
c. Masing-masing pihak berbagi suatu tujuan dan menjaga visi bersama
selama proses kolaborasi menuju tercapainya tujuan bersama.
d. Masing-masing pihak memelihara pemahaman bersama atas suatu
persoalan yang dihadapi. Hal ini berarti harus terjadi diskusi mengenai
posisi kemajuan masing-masing (harus ada kepedulian (awareness)
satu sama lain).
Proses sharing (berbagi) meliputi tanggung jawab bersama dalam
partisipasi dan pengambilan keputusan, sumberdaya bersama, dan
akuntabilitas bersama atas hasil baik berupa penghargaan atau
kekurangan, percaya satu sama lain. Sharing tidak berarti persamaan.
Pihak yang berbeda mungkin memiliki porsi keterlibatan yang berbeda,
sesuai dengan peran dan komitmennya.
c. Sebagai sebuah proses, kolaborasi membutuhkan pengaturan atas sejumlah
langkah dasar yaitu:
a. Identifikasi pihak-pihak yang terkait dan libatkan mereka bersama.
b. Definisi dari ruang lingkup kolaborasi dam hasil yang diharapkan
c. Definisi struktur kolaborasi, meliputi kepemimpinan, peran, tanggung
jawab, kepemilikan dari aset yang dihasilkan.
d. Identifikasi resiko dan pengukuran atas rencana kontigensi .
e. Membangun komitmen untuk berkolaborasi.
16
d. Kolaborasi membutuhkan “ruang kolaborasi” yaitu sebuah lingkungan yang
mendukung dan memfasilitasi proses kolaborasi. Karakteristik dan sifat dasar
dari ruang ini bergantung dari bentuk kolaborasi. Kolaborasi dapat
berlangsung dalam waktu yang bersamaan (synchronous collaboration) atau
dalam waktu yang berbeda (asynchronous collaboration). Kolaborasi juga
dapat terjadi dalam waktu yang sama (collocated collaboration), atau dalam
tempat berbeda (remote atau virtual collaboration). Remote Collaboration
merupakan kejadian yang paling relevan dalam collaborative network, yang
dapat terjadi dalam interaksi synchronous maupun asynchronous.
e. Poin utama kesulitan dalam kolaborasi meliputi :
a. Sumberdaya. Kepemilikan dan sharing sumberdaya merupakan
kesulitan yang umum. Baik sumberdaya yang dibawa oleh anggota,
maupun sumberdaya yang diperoleh dari koalisi ketika menjalankan
suatu task.
b. Penghargaan. Menemukan cara yang adil dalam menentukan
kontribusi individual dalam penciptaan suatu kekayaan intelektual
merupakan persoalan yang lebih harus diperhitungkan. Penciptaan
kekayaan intelektual tidak secara linear berkaitan dengan proporsi
investasi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Hal yang
mendasar dalam persoalan ini adalah kebutuhan dalam mencapai
persepsi bersama atas nilai yang ditukarkan, yang membutuhkan
definisi dari model manfaat dan sistem insentif, berdasarkan sistem
nilai yang disepakati.
c. Komitmen. Ketika ada hambatan yang menghadang kolaborasi setiap
pihak harus menanggapi dengan sungguh-sungguh, menghadapi
konsekuensinya bersama.
d. Tanggung jawab. Fenomena umum dalam usaha yang dilakukan
secara kolektif adalah ketidakjelasan tanggungjawab. Keberhasilan
kolaborasi bergantung pada pembagian tanggung jawab, baik selama
17
proses pencapaian tujuan, maupun pertanggung jawaban setelah
kolaborasi berakhir.
Keseluruhan persoalan tersebut harus diposisikan melalui sekumpulan
pekerjaan bersama dan kesamaan prinsip. Terlepas dari berbagai kesulitan
yang telah didefinisikan sebelumnya, faktor yang memotifasi adalah
harapan untuk dapat mencapai hasil yang tidak dapat dicapai jika
dilakukan sendiri.
II.2 Lingkungan Kolaborasi
Lingkungan kolaborasi adalah sistem yang mendukung user dalam melaksanakan
tasks secara kolaboratif (DARPA, 1999). Karakteristik dan sifat lingkungan ini
bergantung dari bentuk kolaborasi yang dijalankan. Kolaborasi dapat berlangsung
dalam waktu yang sama (synchronous collaboration), atau dalam waktu yang berbeda
(asynchronous collaboration). Kolaborasi juga dapat berlangsung pada tempat yang
sama (collocated collaboration) atau pada tempat yang berbeda (remote atau virtual
collaboration) (Winkler, 2002 dalam (Matos, 2008)). Remote Collaboration adalah
keadaan yang paling relevan dalam collaborative network, yang melibatkan baik
interaksi synchronous maupun interaksi asynchronous. (Matos, 2008)
Dalam tesis ini lingkungan kolaborasi dibangun berdasarkan framework kolaborasi
dari The Defense Advanced Research Project Agency (DARPA) Intelligent
Collaboration and Visualization (IC&V) Program. DARPA IC&V memiliki tujuan
untuk membangun generation-after-next collaboration middleware dan perangkat
yang memungkinkan komponen militer dan kelompok yang bekerja sama untuk
meningkatkan efektivitas kolaborasi dengan cara:
a. Mengumpulkan kolaborator bersama-sama, lintas ruang dan waktu, dengan
respon yang cepat dalam situasi waktu yang kritis.
b. Memberikan sumberdaya informasi yang tepat, lintas ruang dan waktu, sesuai
dengan konteks pekerjaanya (task).
18
Sebuah framework kemudian dibangun dalam rangka menstrukturkan way of thinking
dalam collaborative system dan evaluasi dari sistem tersebut. Framework ini dapat
membantu para peneliti dalam membuat suatu penilaian pendahuluan atas suatu
sistem atau kegunaannya dalam mendukung pekerjaan suatu grup. Framework ini
dibangun oleh Pinsonneault dan Kraemer (1989) untuk menganalisa pengaruh
teknologi dalam suatu proses grup ketika mengendalikan pengaruh variabel
kontekstual lain (DARPA, 1999). Framework dari collaborative system dapat dilihat
pada Gambar II.2.
Gambar II.2 Collaborative Framework (DARPA, 1999)
Level Requirement
Level requirement dari collaborative framework terdiri atas requirements yang
dihasilkan dari task yang dilaksanakan oleh grup dan dukungan yang diperlukan dari
karakteristik grup. Requirements yang mendukung sejumlah tipe grup meliputi
19
dukungan terhadap interaksi sosial atas grup. Level requirements meliputi work tasks
dan transition tasks.
Level Capability
Level capability dari framework mendeskripsikan fungsionalitas yang dibutuhkan
untuk mendukung requirements yang berbeda. Fungsionalitas yang dideskripsikan
dalam capability dapat dipenuhi oleh layanan yang berbeda. Misalnya kebutuhan
untuk melakukan komunikasi secara sinkron antar partisipan dapat dipenuhi oleh
layanan text chat atau telepon.
Level Service (layanan)
Level layanan mendeskripsikan layanan seperti email, audio, video, sharing aplikasi,
dan layanan jaringan, yang dapat digunakan untuk memenuhi suatu capability yang
diperlukan dalam sistem CSCW (Computer Supported Collaborative Work). Layanan
yang berbeda dapat mendukung suatu capability yang sama, yang mendukung suatu
requirements.
Level Technology
Level technology mendeskripsikan implementasi dari layanan. Level ini dapat
dipandang sebagai kumpulan komponen yang mungkin dibutuhkan untuk
membangun suatu sistem CSCW, juga integrasi dan antarmukanya. Implementasi
yang spesifik dapat dibandingkan performansi, biaya, fungsionalitas, dan usability.
Keempat komponen tersebut dapat digabungkan dalam sebuah contoh berikut: Untuk
memenuhi kebutuhan (requirement) berbagi informasi dengan rekan kerja, sebuah
kelompok dapat menggunakan kapabilitas (capability) kolaborasi yaitu komunikasi
synchronous. Salah satu service yang mungkin digunakan untuk mencapai maksud
tersebut adalah audio conferencing. Salah satu teknologi yang mendukung audio
conferencing adalah Lawrence Berkeley Laboratory’s Visual Audio Tool (DARPA,
1999).
20
Menilai requirement dan capability yang didukung oleh lingkungan kolaborasi, dan
service dan teknologi khusus yang digunakan, merupakan salah satu cara untuk
membentuk kategorisasi fungsional dari lingkungan kolaborasi. Kategorisasi ini dapat
digunakan untuk membentuk dan menentukan jenis sistem kolaborasi yang sesuai
bagi aktivitas yang akan dilakukan (DARPA, 1999).
II.3 Information Engineering
Information Engineering (IE) menurut James Martin didefinisikan sebagai metode
formal untuk perencanaan, analisis, perancangan, dan konstruksi sistem informasi
pada sebuah enterprise-wide meliputi sektor-sektor utama pada enterprise tersebut
(Martin, 1989). IE juga seringkali didefinisikan sebagai “an organization-wide set of
automated disciplines for getting the right information for to the right people at the
right time”.
Beberapa karakteristik dari IE adalah sebagai berikut:
1. IE mengaplikasikan teknik terstruktur berbasis pada enterprise-wide atau
sektor yang lebih besar dalam sebuah enterprise, tidak hanya berbasis pada
suatu projek tertentu saja (project-wide basis).
2. IE dibentuk secara top-down dengan tahapan sebagai berikut:
a. Perencanaan enterprise strategic system
b. Perencanaan enterprise information
c. Business area analysis
d. System design
e. Construction
f. Cutover
3. Selama proses pelaksanaan tahapan tersebut, IE membangun sebuah
repository pengetahuan yang terus berkembang mengenai enterprise, model
data, model proses, dan system design yang dimilikinya..
4. IE menciptakan framework untuk membangun enterprise terkomputerisasi.
5. Pembangunan sistem harus sesuai dengan framework yang telah dirancang.
21
6. Dengan menggunakan framework, sistem dapat dibangun dan dimodifikasi
dengan cepat menggunakan perangkat terotomasi (automated tools).
7. Pendekatan enterprise-wide memungkinkan koordinasi dari sejumlah sistem
berbeda, dan memfasilitasi penggunaan ulang desain (reusable design) dan
kode (reusable code).
8. IE melibatkan end user dalam setiap tahapan.
9. IE memfasilitasi evaluasi sistem jangka panjang.
10. IE mengidentifikasi bagaimana proses komputerisasi dapat membantu
pencapaian tujuan strategis perusahaan secara optimal.
Framework IE diilustrasikan dalam Gambar II.3. Framework terluar berhubungan
dengan perencanaan strategis, berfokus pada bagaimana teknologi dapat digunakan
untuk meningkatkan competitive advantage dan mencapai tujuannya dengan lebih
baik. Framework yang berada di dalam, berlabel data administration, data models,
dan process models. Data models dan process models dari suatu area bisnis
diciptakan secara independen dari aplikasi spesifik. Sejumlah aplikasi komputer akan
dirancang dan dibangun dan hal ini akan dilakukan dengan perangkat
terkomputerisasi yang akan selalu sesuai dengan framework. Kelompok berbeda di
tempat berbeda pada waktu yang berbeda akan membangun sistem yang berhubungan
dengan framework yang terkomputerisasi.
Strategic Planning; Enterprise Models
Data Administration, Data Models, Process Models
System Planning
Analysis
Design
Code Generation
Database
Generation
Maintenance
Gambar II.3 Framework IE (Martin, 1989)
22
Untuk merepresentasikan aktivitas sistem informasi perusahaan dapat digambarkan
sebuah piramida seperti yang dapat dilihat pada Gambar II.4. Dari dalam gambar
dapat dilihat bahwa terdapat empat tahap dalam IE, yaitu sebagai berikut:
Tahap 1 : Information Strategy Planning
Fokus pada tujuan top management dan critical success factors (CSF).
Dalam tahap ini dirumuskan bagaimana teknologi digunakan untuk
menciptakan peluang baru atau competitive advantages. Disusun pula
high-level overview mengenai enterprise, fungsi-fungsinya, data, dan
kebutuhan informasi.
Tahap 2 : Business Area Analysis
Fokus pada proses yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu business
area, keterkaitan antar proses, dan data yang dibutuhkan.
Tahap 3 : System Design
Fokus pada implementasi proses pada suatu business area ke dalam suatu
prosedur dan cara kerja dari prosedur tersebut. Dalam merancang
prosedur dibutuhkan keterlibatan user secara langsung.
Tahap 4 : Construction
Implementasi prosedur yang digunakan menggunakan code generator,
fourth-generation languages, dan end-user tools. Design dihubungkan
dengan construction untuk melakukan proses prototyping.
Tahap 1 dan 2 merupakan proses yang tidak bergantung pada faktor teknologi
(independent of technology), sedangkan tahap 3 dan 4 bergantung pada lingkungan
implementasi (Dependent on the Target Environment).
23
Gambar II.4 Empat Tahapan IE
II.4 Ensiklopedia
Secara umum ensiklopedia merupakan ikhtisar tertulis yang komprehensif, yang
memuat informasi dari seluruh cabang ilmu pengetahuan atau cabang tertentu dari
pengetahuan. Maksud pembuatan sebuah ensiklopedia adalah untuk mengumpulkan
pengetahuan yang tersebar, kemudian menyusunnya dalam suatu sistem dan
menyampaikannya pada generasi selanjutnya. Dengan demikian kerja manusia dari
abad ke abad tidak akan percuma, sehingga diharapkan generasi selanjutnya akan
menjadi lebih baik, dan manusia tidak boleh mati tanpa kontribusi bagi masa yang
akan datang (Diderot, 2007).
Istilah ensiklopedia kemudian digunakan James Martin dalam konteks Rekayasa
Informasi. Ensiklopedia adalah inti dari rekayasa informasi, merupakan tempat
penyimpanan terkomputerisasi yang mengakumulasi informasi yang berkaitan dengan
proses perencanaan, analisis, desain, konstruksi, dan pemeliharaan sistem.
Ensiklopedia memuat informasi kamus (yang berisi nama dan deskripsi item data,
24
proses, variabel, dan sebagainya) dan representasi lengkap dari rencana, model, dan
desain, yang memiliki kemampuan untuk melakukan cross-checking, analisis
keterhubungan, dan validasi. Ensiklopedia memuat banyak rules yang berkaitan
dengan pengetahuan yang disimpannya, kemudian melakukan pemrosesan terhadap
rules, teknik artificial-intelligence (kecerdasan buatan), untuk mendukung
pencapaian keakuratan, integritas, dan kelengkapan dari rencana, model, dan
perancangan. Ensiklopedia merupakan knowledge base yang tidak hanya menyimpan
informasi mengenai pengembangan sistem, melainkan juga membantu mengontrol
keakuratan dan validitasnya (Martin, 1989). Ilustrasi pengetahuan yang dikelola oleh
ensiklopedia dapat dilihat pada Gambar II.5.
Gambar II.5 Ensiklopedia
Dalam pengembangannya, ensiklopedi tersusun atas empat layer sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel II.1.
25
Tabel II.1 Layer dalam Ensiklopedi (Martin, 1989)
Layer Komponen
Business Strategy Planning Strategic opportunities
Critical Success Factors
Enterprise Model
Hierarchy of goals
Function decomposition
Information planning
Business Area Analysis Detailed data model
Detailed process model
Design of system Data flow diagrams
Program structures
Screen design
Dialog design
Report design
Database design
Construction Input to a Code generator
II.5 Pemodelan Sistem
Model merupakan representasi abstrak dari suatu lingkungan (environment), sistem,
atau entitas dalam dunia nyata, sosial, atau logis. Umumnya model digunakan untuk
sejumlah aspek pada fenomena yang dimodelkan. Dua model dari fenomena yang
sama dapat sangat berbeda. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan requirement,
perbedaan pendekatan konseptual, preferensi estetika, dan juga pengalaman yang
berbeda. Untuk itu pengguna model harus memahami tujuan dari suatu model beserta
asumsi atau batas validitasnya. Pemodelan dapat dilakukan pada berbagai tingkat
abstraksi, dari pengembangan teoritis yang sangat abstrak, hingga representasi detail
yang mendekatai entitas atau implementasi yang dimodelkan (Matos, 2008).
II.5.1 Reference Model
Reference model merupakan framework umum yang digunakan dalam memahami
konsep, entitas, dan relasi dari suatu domain, dan merupakan pondasi dari area yang
ditelaah. Reference model merepresentasikan konsep dari suatu area manifestasi, dan
26
diharapkan dapat memberikan inspirasi terhadap suatu area, melalui analogi terhadap
domain dari collaborative network (Matos, 2008).
Reference model dibentuk atas dua faktor utama, yaitu reusability dan authority.
Reusability dari elemen dalam suatu reference model terdiri atas beberapa faktor yaitu
generality suatu model, ruang lingkup dan cakupan sudut pandang, tingkat abstraksi
dan kesederhanaan (simplicity), bentuk ketersediaan/kemudahan untuk mengakses
informasi, adanya panduan penggunaan dan contoh aplikasi pada suatu kondisi.
Faktor authorship (kepengarangan) meliputi reputasi dari kontributor yang terlibat,
basis yang diadopsi dan sumber referensi, daftar pengguna, kualitas proses pengujian,
saluran penyebaran, lembaga profesional, dan proyek yang terlibat dalam
penyebarannya.
Kedua faktor tersebut secara umum diilustrasikan dalam Gambar II.6.
Gambar II.6 Dasar Pembentukan Reference Model (Matos, 2008)
Terdapat sejumlah besar elemen yang dapat dipertimbangkan sebagai reference
model. Elemen tersebut secara umum terbagi atas dua kelompok, yaitu logistik dari
reference model dan dimensi dari reference model. Ilustrasi dapat dilihat pada
Gambar II.7.
27
Logistik dari reference model mencakup tujuan (istilah dan entitas, perilaku, siklus
hidup, dan keterhubungan), dan perangkat/bahasa pemodelan.
Kelompok kedua terdiri atas empat dimensi pemodelan yaitu:
1. Dimensi struktural : mengakomodasi elemen struktur dari collaborative
network seperti aktor/partisipan dan peran, dan keterhubungannya.
2. Dimensi komponen : mencakup sumberdaya (resource), ontologi, dan data
dan pengetahuan yang representatif.
3. Dimensi fungsional : meliputi fungsi, proses, prosedur dan metodologi.
4. Dimensi perilaku (behavioral) : meliputi sejumlah elemen dari perilaku serta
batasan terhadap perilaku tersebut. (misalnya kebijakan, kontrak, perjanjian)
Gambar II.7 Peta Pengembangan Model (Matos, 2008)
II.5.2 Ontologi
Pengertian ontologi sangat beragam dan berubah sesuai dengan perjalanan waktu.
Beberapa paragraf berikut menguraikan berbagai definisi dengan mengacu kepada
Benjamins dalam (Wicaksono, 2004).
28
Salah satu definisi awal dari Neches dan rekan mengatakan “Sebuah Ontologi
merupakan definisi dari pengertian dasar dan relasi vocabulary dari sebuah area
sebagaimana aturan dari kombinasi istilah dan relasi untuk mendefinisikan
vocabulary”.
Beberapa tahun kemudian Gruber memberikan definisi yang banyak diacu oleh
beberapa paper. Definisi tersebut adalah “Ontologi merupakan sebuah spesifikasi
eksplisit dari konseptualisme”. Berdasarkan definisi Gruber banyak definisi yang
coba diusulkan. Guarino dan Giaretta pada 1995 mengumpulkan hingga tujuh definisi
yang berkoresponden dengan syntactic dan semantic interpretasi. Pada 1997, Borst
melakukan modifikasi dari definisi Gruber dengan mengatakan “Sebuah ontologi
adalah spesifikasi formal dari sebuah konseptual yang diterima (share)”.
Dua definisi dari Gruber dan Borst kemudian dijelaskan oleh Studer dengan
pengertian sebagai berikut : “Konseptualisasi mengacu kepada sebuah model abstrak
dari beberapa fenomena di dunia dengan memiliki identifikasi konsep yang relevan
dari fenomena tersebut. Eksplisit dimaksud adalah tipe dari konsep yang digunakan,
dan batasan dari eksplisit yang digunakan. Shared adalah merefleksikan sebuah
ontologi mencoba menangkap pengetahuan secara konsesus yang tidak merupakan
hal yang hanya terkait pada individu tetapi diterima oleh sebuha group / domain.”
Ada juga definisi yang diberikan berdasarkan proses pengembangan dari ontologi, hal
ini seperti yang dilakukan oleh Bernaras pada KACTUS proyek. Definisi yang
diberikan adalah “Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge
base”. SENSUS proyek juga memberikan definisi : “Sebuah ontologi adalah sebuah
struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”.
Dalam konsep formal semantic, sebuah ontologi mungkin dapat dalam berbagai
bentuk, tetapi yang penting ini akan meliputi kumpulan istilah dan beberapa
spesifikasi dari arti yang bersangkutan. Ini akan meliputi definisi dan sebuah indikasi
29
dari bagaimana konsep hubungan dari kumpulan sebuah struktur pada sebuah
domaind an batasan yang mungkin dalam interpretasi istilah.
Dari berbagai definisi ontologi, perbedaan ini adalah sebagai pelengkap dari berbagai
sudut pandang untuk hal yang sama. Sehingga perbedaan tersebut akan semakin
memperkaya pengertian untuk ontologi bukan merupakan pengotakan dari ontologi
tersebut.
Deskripsi ontologi secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran A.
II.5.3 Deduction Rules
Rules merefleksikan dugaan konsekuensi dan mendefinisikan langkah pemikiran.
Rules direpresentasikan dengan ekspresi ”if-then”. Representasi ini beroperasi pada
fakta dan sesuai untuk pemikiran mengenai instance data yang konkrit. Rules dapat
digunakan dalam problem solving dan dynamic behaviours dari knowledge-based
system dengan melakukan deductive reasoning dari pengetahuan baru atau fakta baru.
Rules banyak digunakan dalam aplikasi bisnis seperti computer-aided training,
diagnostic fact finding, compliance monitoring, dan process control. Selain itu, rules
dapat digunakan untuk sejumlah tujuan tidak hanya untuk reasoning instances, tetapi
juga querying, sebagaimana menghubungkan rules untuk reasoning across domains.
top related