bab2-jd

Post on 13-Jan-2016

233 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

K3

TRANSCRIPT

BAB I

BAB II. HUKUM PERBURUHAN & KETENAGAKERJAANTUJUAN

Tujuan dari bab iniadalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami tentang hukum perburuhan yang ber!aku di Indonesia.

Setelah membaca bab mi pembaca diharapkan mampu untuk :

Mcnjelaskan kedudukan hukum perburuhan dalam KUH Perdata.

Menjelaskan hakekat, arti, dan sifat hukum perburuhan.

Menguraikan angkatan kerja dan kesempatan kerja yang ada di Indonesia pada masa sekarang dan sebelumnya.

Menguraikan pertumbuhan kesempatan kerja dan penggangguran.

Memaparkan beberapa masalah yantg sangat mendasar dari peningkatan kesempatan kerja? 2.1. ARTI KATA, HAKEKAT, DAN SIFAT HUKUM PERBURUHAN2.1.1. Arti Kata Hukum PerburuhanAda beberapa pendapat tentang arti kata dari Hukum Perburuhan, pendapat tersebut antara lain adalah :

Molenaar, mengatakan bahwa arbeidsrecht adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.

Mr.M.G. Levenbach merumuskan arbeidsrecht adalah sesuatu yang meliputi hokum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan tersebut dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja . Mr. N.E.H. van Esveld tidak membatasi lapangan arbeidsrecht pada hubungan kerja, dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, arbeidsrecht adalah juga meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Mok berpendapat bahwa arbeidsrecht adalah hukum yang berkenan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.Untuk memudahkan pemahaman, maka dari berbagai pendapat tersebut kita dapat merumuskan bahwa hukum perburuhan (arbeidsrecht) adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak yang berkenan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah .

2.1.2. Hakekat Hukum PerburuhanDibandingkan dengan hubungan antara pembeli dan penjual barang, antara mereka yang tukar menukar barang, maka hubungan antara buruh dengan majikan adalah berbeda dalam dua hal, yaitu :

Pembeli, penjual dan mereka yang tukar menukar barang. Baik yuridis maupun sosiologis adalah merdeka, bebas untuk melakukan atau tidak melakukan jual beli atau tukar menukar.

Hubungan antara pembeli-penjual dan hubungan antara penukar timbul dan lenyap segera setelah masing-masing melakukan pembayaran, penyerahan dan penukaran.

Yuridis buruh memang bebas, prinsip negara kita, tidak seorang pun boleh di perbudak, diperulur atau diperhamba, perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan serupa apapun bertujuan kepada atau ke arah itu dilarang.

Secara sosiologis buruh tidak bebas, sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain selain tenaga yang mereka miliki, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja yang ada.

Tenaga buruh terutama menjadi kepentingan majikan, merupakan sesuatu yang demikian melekatnya pada pribadi buruh, sehingga buruh itu selalu harus mengikuti tenaganya ketempat dan pada saat majikan memerlukan serta mengeluarkannya menurut kehendak majikan itu. Dengan demikian pada buruh, jasmaniah maupun rohaniah juga tidak bebas.

Segala sesuatu mengenai hubungan antara buruh dan majikan itu diserahkan kepada kebijaksanaan kedua belah pihak yang langsung berkepentingan itu, maka masih sukar tercapainya suatu keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak yang sedikit banyak memenuhi rasa keadilan sosial yang merupakan tujuan pokok juga diperburuhan. Karena itu penguasa baik dengan maupun tidak dengan bantuan organisasi buruh, mengadakan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang bertujuan melindungi pihak yang lemah (menempatkan pada kedudukan yang layak sebagai kemanusiaan)

2.1.3. Sifat Hukum Perburuhan

Walaupun kepada buruh dan majikan diberi kebebasan untuk mengadakan peraturan-peraturan yang tertentu (hukum perburuhan otonom), namun peratu-ran-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan dari pemerintah yang bermaksud mengadakan perlindungan.

Peraturan-peraturan ini pada umumnya merupakan perintah atau larangan dengan menggunakan kata-kata harus, wajib, dan tidak boleh atau dilarang. Sanksi terhadap pelanggaran atas peraturan ini biasanya ialah tidak sahnya atau batalnya tindakan yang melanggar itu, bahkan sering kali juga tindakan melanggar itu diancam pula dengan pidana kurungan atau denda.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / (KUH) Perdata pasal 1605s menetap- kan bahwa dalam hal upah buruh seluruhnya atau sebagian ditetapkan berupa pemondokan, makan atau keperluan hidup lainnya, majikan wajib memenuhinya menurut kebiasaan setempat.

Suatu perjanjian yang bermaksud menghapus atau mengurangi kewajiban itu maka perjanjian yang dibuat sendiri itu adalah batal. Aanvullende Plantersrege ling (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan) menentukan bahwa perjanjian kerja dengan buruh harus diselenggarakan dengan tertulis. Sanksi terhadap pelanggaran atas ketentuan itu bukanlah batalnya tindakan itu melain kan pidana kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyak nya lima ratus rupiah. Syarat batal disini tidak dimintakan, hal ini tepat sekali sanksi semacam ini dapat merugikan buruh.

Arbeidsregeling-Nijverheidsbedrijven (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian) menetapkan bahwa jumlah semua potongan upah tidak boleh melebihi seperempat upah berupa uang yang terakhir. Sanksi terhadap pelang-garan ketentuan ini ialah pidana kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah. Walaupun disini tidak ditetapkan dengan tegas bahwa pemotongan yang melebihi seperempat upah itu adalah batal, namun harus diartikan demikian juga. Buruh tetap berhak menerima tidak kurang dari tiga perempat gajinya.

Mengenai ketentuan yang sifatnya tidak tegas-tegas memaksa, tetapi mengatur (regelend), biasanya dimintakan bahwa penyimpangan hanya dibolehkan jika dilakukan dalam perjanjian yang tertulis atau dalam suatu peraturan majikan (reglement) atau dengan ijin yang berwajib.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa jika upah yang berupa uang baru dapat ditetapkan sesudah mendapat keterangan dari pembu-kuan perusahaan pembayarannya dapat dilakukan menunggu penetapan itu. Pembayaran ini sedikit-dikitnya harus dilakukan setahun sekali. Jika ketera-ngan yang diperlukan tadi mengenai keuntungan perusahaan dan untuk penetapan keuntungan menurut sifat perusahaan atau kebiasaan diperlukan waktu yang lebih dari satu tahun maka dalam perjanjian tertulis atau peraturan majikan dapat ditetapkan bahwa pembayaran upah itu akan dilakukan sesudah jumlah keuntungan itu dapat ditetapkan, jika tidak maka setahun sekali.

Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian melarang majikan menetap-kan upah lain dari pada uang. Penyimpangan hanya dapat dilakukan dengan ijin dari Menteri Tenaga Kerja. Berhubungan dengan segala sesuatu itu maka setengah orang mengatakan bahwa hukum perburuhan sifatnya bukanlah lagi privaatrechtelijk (soal perdata), melainkan publiekrechtelijk.

Campur tangan negara dengan hubungan perorangan, yaitu antara buruh dengan majikan, didunia ekonomi liberal dengan laisser faire yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, memang merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan itu, setidak-tidaknya suatu keistimewaan.

Sudah tidak asing lagi, bahwa dijaman sekarang ini, laisser faire sudah lama ditinggalkan. Hak-hak mutlak perorangan yang tidak dapat diatur dan dibatasi, sudah tidak diakui. Kebebasan dalam masyarakat tidak dapat ditafsirkan seba-gai kebebasan sesuka hati, tetapi suatu kebebasan yang diatur dan karena itu dengan sendirinya harus dibatasi.

Pembatasan-pembatasan terutama bagi pihak yang ekonominya kuat sebagai akibat dari perlindungan pihak yang ekonomi nya lemah terhadap mereka yang ekonominya kuat, adalah soal biasa dan bukan aneh, lebih-lebih dalam suasana cita-cita keadilan sosial.

Ada orang mengatakan bahwa perlindungan bagi buruh merupakan pelangga-ran atas pengekangan hak setiap orang untuk mendapat perlakuan dan perlindu ngan yang sama oleh undang-undang. Tetapi sebaliknya tiada perlindungan yang sama bagi pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat, berarti pula tiada perlindungan yang sama oleh undang-undang. Dalam hal ini Commons dan Andrews mengatakan : where the parties are unequal (and a public purpose is shown) then the state which refuses to address the unequality is actually denying to the weaker party the equal protection of the law.

2.2. KEDUDUKAN HUKUM PERBURUHAN DALAM KUH PERDATA

Hukum perburuhan dalam KUH Perdata berada dalam bab VII A, yaitu tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari buku ketiga tentang perikatan. Dalam bab VII A ini diuraikan ten-tang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan yang terdiri dari :

Bagian kesatu, yang berisikan tentang ketentuan-ketentuan umum, yang diuraikan dalam bentuk pasal dimulai dari pasal 1601 yang terdiri dari pasal 1601a sampai dengan pasal 1601c. Pada pokoknya bagian ini berisikan tentang ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam persetu-juan untuk melakukan pekerjaan seperti penjelasan tentang persetujuan perburuhan, penjelasan tentang pemborong pekerjaan dan penjelasan tentang persetujuan yang mengandung tanda-tanda suatu persetujuan per-buruhan.

Bagian kedua, yang berisikan tentang persetujuan perburuhan umumnya, yang diuraikan dalam pasal 1601d sampai pasal 1601y (pasal yang terakhir ini sudah dicabut). Bagian kedua ini menguraikan secara rinci bagaimana persetujuan perburuhan dilakukan, yang berhak melakukan perjanjian, per-setujuan perburuhan yang dilakukan dengan pihak-pihak tertentu, menge-nai batalnya perjanjian perburuhan, masalah upah buruh dan kedudukan upah tersebut, hak-hak majikan dalam perjanjian perburuhan dan juga menguraikan resiko masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Bagian ketiga, menjelaskan tentang kewajiban majikan, yang diuraikan dalam pasal 1602 terdiri dari 1602a sampai dengan pasal 1602z. Pasal-pasal ini menjelaskan secara rinci tentang kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang majikan dalam mempekerjakan tenaga kerja, mulai dari masalah upah sampai kepada masalah jika hubungan kerja berakhir apa yang harus dipenuhi oleh seorang majikan.

Bagian ke empat, menjelaskan tentang kewajiban buruh yang diuraikan dalam pasal 1603 meliputi pasal 1603a sampai dengan pasal 1603d. Bagian ini memberikan penjelasan bagaimana kewajiban seorang buruh yang meliputi kewajiban melaksanakan pekerjaan, kewajiban mentaati aturan-aturan yang ada dalam pekerjaan tersebut, jika buruh tinggal di rumah majikan, dan hal-hal lain yang seharusnya dilakukan oleh seorang buruh.

Gambar 2.1. Kedudukan Hukum Perburuhan dalam KUH Perdata

Bagian ke lima, menjelaskan tentang bermacam-macam cara berakhirnya perjanjian (hubungan) kerja yang diterbitkan dari persetujuan. Hal ini dijelaskan mulai dari pasal 1603e sampai dengan pasal 1603w. Pasal-pasal ini pada prinsipnya menjelaskan bagaimana sebuah perjanjian kerja berakhir atau tidak berakhir, dan bagaimana hak dan kewajiban majikan dan buruh jika perjanjian kerja berakhir, hak masing-masing pihak dalam memutuskan hubungan kerja, dan faktor-faktor yang dapat dijadikan alasan sebuah perjanjian kerja berakhir. Bagian ke lima ini ditutup yang juga sekaligus menutup pasal-pasal tentang hukum perburuhan dengan pasal 1603x sampai dengan 1603z yang menjelaskan tentang bagaimana jika salah satu pihak tidak tunduk pada pihak lain yang sudah menyepakati perjanjian kerja tersebut, dan pada akhirnya disampaikan bahwa diperlukan undang-undang yang merinci dan mengatur masalah perbu-ruhan ini.2.3. ANGKATAN KERJA DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA

Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh program pembangunan nasional (Propenas 2000-2004 dan sejalan dengan GBHN 1999-2004) adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran itu Propenas menggunakan sejumlah indikator yang mencakup antara lain pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen, dan menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Semua sasaran kuantitatif itu tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2002 masih sekitar 3,7 persen, sementara angka pengangguran menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2002 masih sekitar 9,1 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah hampir mencapai 100 juta jiwa.Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sangat besar dan komplek : besar, karena menyangkut jutaan jiwa, dan kompleks, karena masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah untuk difahami. Faktor demografis mempengaruhi jumlah dan komposisi angkatan kerja. Indonesia cukup berhasil dalam menurunkan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal ini justru berdampak pada pertumbuhan penduduk usia kerja yang jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan tekanan kuat dalam sisi penyediaan tenaga kerja. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional masih terlalu rendah, yaitu hanya 3,7 persen pada tahun 2002, suatu angka yang terlalu rendah untuk dapat menyediakan lapangan kerja baru secara memadai. Akibatnya, angka pengangguran terus meningkat mencapai 9,13 juta jiwa pada tahun yang sama.Tekanan demografis terhadap sisi penawaran (supply side) tenaga kerja dapat digambarkan sebagai berikut : Pertumbuhan penduduk usia kerja selama kurun 2000-2005 diperkirakan akan mencapai 1,7 persen per tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan yang dalam kurun waktu 2000-2005 dan 2005-2009 diperkirakan masing-masing hanya 1,3 persen dan 1,1 persen per tahun. Kecenderungan tersebut adalah sebagai akibat penurunan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal tersebut mempunyai konsekuensi kebijakan yang jelas. Strategi pengurangan penawaran tenaga kerja melalui penurunan laju pertumbuhan penduduk tidak akan efektif lagi.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yang penting adalah masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor negara-negara berkermbang, iklim investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah di tengah dunia usaha yang masih lesu. Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan otonomi daerah yang dalam banyak hal seringkali tidak mendukung penciptaan lapangan kerja atau "tidak ramah" terhadap tenaga kerja. Masalah ketenagakerjaan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah-masalah lainnya termasuk kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan stabilitas politik. Semua ini secara intuitif tampaknya telah dipahami oleh kebanyakan pengambil kebijakan. Yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multi-dimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya.Secara teoritis, ada tiga cara pokok untuk menciptakan kesempatan kerja atau berusaha dalam jangka panjang. Cara pertama adalah dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi penawaran tenaga kerja. Tetapi seperti dikemukakan di atas, cara ini tidak memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah dan dampaknya terhadap pertumbuhan tenaga kerja kurang signifikan dalam jangka pendek. Cara kedua adalah dengan meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan output (labour intensity of output). Tetapi dalam jangka panjang, cara ini tidak selalu berhasil karena tidak selalu kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Cara ketiga adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan otomatis atau niscaya, tetapi justru tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang tidak otomatis itu, maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crucial untuk merancang strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga "ramah" terhadap ketenagakerjaan (employment - friendly - growth).

Bagi Indonesia, strategi pemulihan dan rekonstruksi ekonomi yang bertumpu pada penciptaan lapangan kerja bukan pilihan, tetapi sesuai dengan amanat GBHN merupakan keharusan untuk dapat segera keluar sepenuhnya dari krisis ekonomi yang berkepanjangan yang telah terjadi semenjak pertengahan 1997. Walaupun dari sisi ekonomi sudah tampak ada gejala pemulihan namun dari sisi ketenagakerjaan gejala pemulihan belum menyakinkan. Angka penganggur terbuka, misalnya sangat relevan untuk diperhatikan secara serius dua elemen strategi yang pernah diajukan oleh Misi ILO (1999:5) : (i) strategi dan kebijakan yang membuat proses pertumbuhan ekonomi menjadi lebih memperhatikan aspek ketenagakerjaan, dan (ii) tindakan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja tambahan melalui program-program penciptaan lapangan kerja secara langsung.

Di luar gambaran "buram" profil ketenagakerjaan itu, sebenarnya masih ada aspek positif yang dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk perumusan kebijakan ketenagakerjaan di masa mendatang. Aspek itu adalah perhatian positif terhadap hak-hak dasar pekerja yang dalam rumusan Misi ILO (1995:5) dinyatakan sebagai berikut: Krisis ekonomi ternyata tidak menutup munculnya hal-hal positif dari Indonesia, justru pada masa krisis ekonomi di Indonesia terjadi pemulihan hak-hak mendasar pekerja secara besar-besaran. Sesungguhnya Indonesia telah menoreh suatu rekor sejarah dengan menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang telah meratifikasikan seluruh konsep dasar ILO yang berkenaan dengan perlindungan hak-hak asasi mendasar manusia. Dan hal ini justru terjadi ketika perekonomian Indonesia sedang jatuh ke titik terendah, yaitu ketika perekonomian Indonesia mengalami penyusutan (kontraksi) besar-besaran pada tahun 1998, yaitu minus 13,1 persen.

2.3.1. Pengangguran Tenaga Kerja di Indonesia.

Selain masalah upah, persoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menyangkut tingkat pengangguran. Ini disebabkan pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat diciptakan setiap tahun. Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin membengkak tajam. Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen. Angka ini sebenarnya masih di sekitar tingkat pengangguran natural (Natural Rate of Unemployment), suatu tingkat yang secara alamiah mustahil dihindarkan. Ini mencakup pengangguran yang muncul karena peralihan antar kerja oleh tenaga kerja. Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta, pengangguran 5,7 persen berarti terdapat 4,5 juta orang penganggur.Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat pengangguran di beberapa negara industri maju di Eropa di tahun 90-an yang bahkan mencapai dua digit. Namuntingkat pengangguran 5,7 persen tersebut sebenarnya adalah angka pengangguran terbuka (open unemployment), yakni penduduk angkatan kerja yang benar-benar menganggur. Di luar pengertian tersebut, terdapat sejumlah besar penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam kualifikasi pengangguran terselubung (disguised unemployment), yakni tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan tenaga kerja. Konsep lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja yang jumlah jam kerjanya tidak optimal karena ketiadaan kesempatan untuk bekerja.Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997, sekitar 45 persen tenaga kerja bekerja di bawah 35 jam per minggu atau setara dengan 25 persen pengangguran penuh. Jika ditambah angka pengangguran terbuka 2.67 persen dan pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan, total pengangguran nyata bisa mencapai 35-40 persen. Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan dalam pembangunan nasional. Di samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan adalah pengangguran tenaga terdidik, yaitu angkatan kerja berpendidikan menengah ke atas dan tidak bekerja. Fenomena ini patut diantisipasi sebab cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan strategi serta kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.a) Pola Pengangguran Tabel di bawah ini mengungkapkan beberapa hal menarik.Tabel 2.1. : Struktur Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan (%) Pendidikan 1982 1995 1998

SD ke bawah 61.74 40.68 23.09

SLTP 11.79 16.33 19.44

SLTA Umum 12.30 24.90 32.13

SLTA Kejuruan 12.69 11.61 16.86

Diploma 0.91 2.61 3.47

- Diploma I 0.74 0.94

- Diploma II 1.87 2.53

Universitas 0.57 3.86 5.02

Sumber : Statistik Tahunan Indonesia 1985, 1995, 1998

1. Tahun 1998, hampir separuh (49 persen) penganggur ternyata berpendidikan menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan).2. Tahun periode 1982-1998, terjadi peningkatan pengangguran berpen-didikan menengah ke atas (SMTA, Akademi dan Sarjana) secara signifi-kan dari 26 persen menjadi 57 persen, atau meningkat hampir 120 persen.3. Laju peningkatan pengangguran di sekolah menengah kejuruan lebih rendah daripada sekolah menengah umum, baik pada menengah pertama maupun pada menengah atas.4. Persentase peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan sarjana adalah paling tinggi, yang melonjak dari 0,57 persen pada 1982 menjadi 5,02 persen pada 1998. b) Beberapa Sebab Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal.1. Pembangunan ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih mampu membiayai pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu kualitas tenaga kerja.2. Berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatan pada kualitas pendidikan formal angkatan kerja. Akan tetapi, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja masih didominasi sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan. Ini menimbulkan gejala supply induce di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal. Secara makro ini juga disebabkan transformasi struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tersier (industri dan jasa) tidak diikuti transformasi penyerapan tenaga kerja. Periode 1980-98, penyerapan tenaga kerja sektor primer turun 9 persen menjadi 47 persen, sementara sektor sekunder dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen. Di lain pihak kontribusi sektor primer terhadap PDB turun sebesar 9 persen menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14 persen menjadi 27 persen.Tampaknya gejala tersebut diakibatkan pola perkembangan industri saat ini yang kurang berbasis pada permasalahan nasional yang sifatnya seolah labor surplus padahal karena permintaan yang kecil. Dengan demikian, di samping membangun industri skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi, perhatian juga sudah seharusnya diberikan pada pengembangan industri yang lebih berorientasi pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tetapi juga tumbuh dengan sangat cepat. Perlu juga penanganan serius terhadap tingginya persentase lulusan SMTA Umum yang menganggur (lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan). Hal ini karena pada dasarnya SMTA Umum dipersiapkan untuk memasuki perguruan tinggi, pada hal untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat terbatas, mahalnya biaya juga menjadi kendala utama. Berbagai perubahan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas tampaknya tidak akan mampu menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja golongan pendidikan ini. Seharusnya, kurikulum SMTA Umum sekarang mendapat proporsi keterampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, paling tidak sudah memiliki bekal keterampilan yang dibutuhkan untuk masuk dunia kerja. Apa yang terjadi sekarang adalah, mayoritas angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum bekerja di sektor perdagangan dan sektor informal yang produktivitasnya relatif rendah. Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata lowongan kerja yang belum terisi cenderung meningkat serta porsinya terhadap lowongan kerja relatif besar. Menurut data Sub Direktorat Informasi Pasar Kerja, Depnaker April 1998, dari 254.032 lowongan kerja terdaftar, terdapat 15 persen lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan diploma satu (D1) sekitar 10 persen. Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang belum terisi menunjukkan adanya kesenjangan antara kualitas penawaran tenaga kerja (dunia perguruan tinggi) dengan kualitas permintaan tenaga kerja (dunia usaha). Kesenjangan ini memang sudah sering diangkat ke permukaan sampai lahirnya konsep link and match. Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang lebih operasional. Secara fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) sudah menerapkan hal ini di mana banyak praktisi bisnis menjadi dosen-dosen PTS, yang secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum. Akan tetapi, bila tidak diimbangi dengan penjembatanan secara struktural, misalnya dengan berbagai proyek kerjasama penelitian antara dunia usaha dengan perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa, dosen, peneliti dan praktisi niscaya sulit untuk mempersempit gap tersebut.

Permagangan mungkin salah satu alternatif solusi praktis dan tepat. Hal ini didasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa yang datang untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga menguatkan adanya kesenjangan tersebut. Tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.

2.3.2. Peningkatan Kesempatan Kerja

Berbagai masalah dihadapi dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja, terutama berkaitan erat dengan permasalahan struktural dan konjungtural perekonomian Indonesia. Masalah struktural mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja dari sisi penawaran, karena berkaitan dengan kuantitas dan kualitas tenaga kerja. Adanya fluktuasi di sekitar pertumbuhan ekonomi karena situasi perekonomian secara makro mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan. Tiap tahapan Pelita pada masa Orde Baru, masalah struktural kependudukan dan perekonomian tetap menjadi kendala utama dalam usaha peningkatan kesempatan kerja. Karena itu penanganan masalah ini kiranya tetap menjadi perhatian sentral. Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja. Pertama, menyangkut kebijaksanaan kependudukan. Di satu sisi program Keluarga Berencana dan berbagai program yang ditujukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk terbukti telah berhasil. Pada periode 1971-90, pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 2,3 persen per tahun. Pada periode 1990-95, angka tersebut menurun menjadi 1,7 persen per tahun.Keberhasilan menekan laju pertumbuhan tersebut membawa peningkatan dalam jumlah penduduk usia produktif. Jika tahun 1985 jumlah penduduk yang berusia antara 15-60 tahun berjumlah 90 juta, tahun 1998 menjadi 102 juta orang (naik 13,33 persen), dan pada akhir PELITA VI, 1998, berjumlah lebih dari 124 juta orang (naik 21,56 persen).Meningkatnya tenaga kerja golongan usia muda dan tenaga kerja wanita dalam pasar kerja turut pula menekan usaha peningkatan kesempatan kerja. Kelompok tenaga kerja ini muncul sebagai akibat rendahnya tingkat pendapatan. Kedua, berkaitan dengan penyebaran penduduk antara Pulau Jawa dan di luar Jawa. Meskipun terdapat tanda-tanda berkurangnya proporsi jumlah penduduk yang berdiam di Pulau Jawa dibanding dengan luar Jawa, laju pengurangan relatif sangat kecil sehingga ketimpangan penyebaran penduduk ini masih tetap merupakan masalah utama. Pada tahun 1961 jumlah penduduk Jawa-Madura mencapai 65 persen dari jumlah penduduk Indonesia, turun 63 persen pada tahun 1971, tahun 1990 sebesar 60 persen dan tahun 1998 menjadi 59 persen. Timpangnya penyebaran jumlah penduduk ini mengakibatkan terjadinya penyebaran tenaga kerja yang tidak merata. Sementara Pulau Jawa-Madura kelebihan tenagakerja, wilayah lain masih memerlukan tenagakerja, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ketiga, menyangkut kualitas tenaga kerja. Jika kualitas dilihat dari tingkat pendidikan yang dicapai, faktor ini sungguh memprihatinkan. Pada tahun 1985, berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, hampir 83 persen angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah, sekitar 15,8 berpendidikan menengah dan 1,2 persen berpendidikan diploma/universitas. Angka ini menjadi 78.4 persen SD pada tahun 1990, berpendidikan menengah 19.7 persen dan 1.9 persen diploma/universitas. Pada tahun 1998, angkatan kerja Indonesia mencapai 93 juta orang. Sekitar 63 persen berpendidikan SD ke bawah, sekitar 33 persen menengah dan 4 persen perguruan tinggi. Sebagai perbandingan, angkatan kerja Malaysia pada tahun 1990 sekitar 48 persen berpendidikan SD ke bawah, 48 persen menengah serta 5 persen diploma/universitas. Dibanding Amerika Serikat, kita masih tertinggal cukup jauh. Sebanyak 13 persen angkatan kerja pada tahun 1990 berpendidikan SLTA ke bawah, 39 persen SLTA, 21 persen diploma/akademi dan 27 persen sarjana/universitas (Tabel 2.2.). Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Indonesia memang terus meningkat, tetapi secara persentase masih sekitar 10 persen, lebih kecil dibanding dengan negara industri baru seperti Malaysia dan Korea Selatan yang alokasi anggaran pendidikannya rata-rata mencapai 20 persen. Demikian pula dari sudut GNP, periode 1968-1993, pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan ternyata secara rata-rata di bawah 2.5 persen, dibandingkan Malaysia dan Singapura masing-masing 10 persen dan 5 persen. Keempat, berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan arah pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya pendidikan semakin kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran SLTA umum sekitar 18 persen, pada tahun 1985, disusul SLTA kejuruan 10 persen dan sarjana 9 persen. Pada tahun 1990, tingkat pengangguran sarjana paling tinggi 10 persen setelah SLTA umum 14 persen. Menjelang milenium baru tahun 1998, tingkat pengangguran angkatan kerja berpendidikan diploma dan universitas mencapai 12 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di satu pihak kebutuhan tenaga kerja terampil golongan menengah dan keahlian sarjana masih belum teratasi sementara penawaran kelas tenaga kerja tersebut justru berlebih. Besar kemungkinan ini disebabkan adanya gap yang serius antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Karena itu sangat mendesak perencaana tenaga kerja yang mengaitkan dunia pendidikan dan pasar kerja. Kelima, kurang berkembangnya informasi pasar tenaga kerja sehingga menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja. Berdasarkan data Sub Direktorat Informasi Pasar Kerja Departemen Tenaga Kerja, tahun 1985 sebanyak 23.35 persen lowongan kerja tidak terisi. Tahun 1990, angka ini membengkak sampai 27.14 persen dan tahun 1997 mencapai 17 persen. Masih adanya lowongan kerja yang tidak terisi ini besar kemungkinan disebabkan dua hal. Pertama, kualitas penawaran tenagakerja tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Kedua, kurang rapinya lalu lintas informasi permintaan dan penawaran tenagakerja. Keenam, menyangkut perkembangan di sektor formal dan informal. Bagaimanapun juga eksistensi sektor informal tidak dapat diabaikan, bahkan dalam kelesuan ekonomi sektor informal berfungsi sebagai "katup pengaman" menampung ledakan penduduk yang masuk pasar kerja. Sektor informal telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. Pada tahun 1985, sektor informal memberi kontribusi terhadap kesempatan kerja 74 persen, pada 1990 berkurang menjadi 71 persen dan pada 1998 sekitar 62 persen. Pengurangan ini relatif sangat kecil. Artinya sektor informal tetap menjadi penampung angkatan kerja dominan. Ada beberapa permasalahan utama dalam sektor informal ini. Pertama menyangkut kualitas sumberdaya manusia. Pada tahun 1990, 87 persen pekerja di sektor informal berpendidikan SD ke bawah menengah 12,8 persen dan diploma/ universitas 0.2 persen. Lebih baik sedikit pada 1997, berpendidikan SD ke bawah 76,6 persen, menengah sebesar 22,7 persen dan diploma/ universitas dan 0,7 persen. Hal lain adalah tingkat produktivitas di sektor informal lebih rendah daripada sektor formal, sehingga pertambahan kesempatan kerja baru di sektor informal tidak dapat meningkatkan produktivitas. Sebaliknya justru dapat menurunkan tingkat produktivitas. Di samping itu, kurangnya dukungan baik dari segi penataan aturan-aturan yang seringkali merugikan sektor ini, maupun dukungan finansial dalam membuka peluang perluasan di sektor informal menyebabkan sektor ini kurang berkembang. Melihat masalah di atas kiranya perlu diupayakan keserasian pengembangan kerjasama sektor formal dengan informal. Strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan kualitas SDM akan banyak membantu pekerja di sektor informal dalam memperluas pilihan usahanya. a) Perencanaan Tenaga Kerja Mengatasi masalah peningkatan kesempatan kerja ini tidak cukup hanya dengan instrumen-instrumen kebijakan makro, tetapi juga membutuhkan adanya perencanaan ketenagakerjaan yang komprehensif dan integral antara struktur pasar kerja, peningkatan pendidikan dan pelatihan serta instrumen kebijakan di sektor ekonomi dan keuangan. Pada dasarnya perencanaan tenaga kerja mengandung dua penekanan. Di satu pihak, memuat perkiraan kebutuhan tenaga kerja untuk berbagai sektor, waktu dan keahlian tertentu. Di pihak lain, memuat strategi, cara dan langkah-langkah pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, baik melalui sistim pendidikan maupun melalui program-program latihan. Tabel 2.2. :Persentase Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan Pendidikan Indonesia Malaysia AS

1985 1990 1998 1990 1990

SD ke bawah 82,9 78,4 63,2 70,0

SLTP 8,0 9,6 14,2 11,2

SLTA 7,8 10,2 18,4 48,3 39,4

Akademi 0,8 1,1 2,0

Universitas 0,5 0,7 2,2 5,2 26,5

Sumber: Biro Pusat Statistik, berbagai terbitan. Manakala kita amati secara cermat kondisi ketenagakerjaan Indonesia, maka memasuki abad ke-21, masalah-masalah struktural yang menjadi kendala utama dalam upaya peningkatan kesempatan kerja berkisar pada kuantitas dan kualitas angkatan kerja. Khususnya dimensi kualitas, tampaknya perlu mendapat pembenahan serius. Penguasaan dan penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan adalah tidak terelakkan bila Indonesia berkeinginan sejajar dengan negara-negara maju. Ini hanya mungkin terwujud jika tenaga memiliki basis kognitif dan skill di bidang teknologi yang memadai. Karenanya, perencanaan tenaga kerja yang didukung dengan strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi pilihan tepat yang harus dikembangkan.RANGKUMAN Hukum perburuhan merupakan bagian dari KUH Perdata yang mengatur hak-hak dan kewajiban dari perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Oleh sebab itu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perburuhan seharus nya merujuk pada pasal-pasal yang ada dalam KUH Perdata terutama pasal pada pasal 1601a sampai dengan pasal 1603.

Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh program pembangunan nasional (Propenas 2000-2004 dan sejalan dengan GBHN 1999-2004) adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Indikator berhasilnya program pembangunan nasional tersebut antara lain : pertumbuhan ekonomi mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen, dan menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor negara-negara berkermbang, iklim investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah di tengah dunia usaha yang masih lesu .

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multi-dimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya.

LATIHAN

1. Jelaskan kedudukan hukum perburuhan dalam KUH Perdata ?

2. Jelaskan hakekat, arti dan sifat hukum perburuhan ?

3. Bagaimana kesempatan kerja yang ada di Indonesia periode 1970-an, dan 1980-an, serta kondisi yang terjadi pada tahun 2000-an ini ?

4. Bagaimana pertumbuhan kesempatan kerja dan pengangguran ?

5. Bagaimana cara mengatasi pengangguran yang ada di Indonesia saat ini ?

6. Sebutkan dan jelaskan beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja ?

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Melaksanakan pekerjaan secara mandiri

Hubungan antara buruh dan majikan

PERJANJIAN PEMBORONGAN

PERJANJIAN PERBURUHAN

BAB VIIA

1632

PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL

K3&HUKUM PERBURUHAN

top related