antikolinergik beres jd

Upload: apelia-candra-rini

Post on 08-Jul-2015

233 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

2

1. Parasimpatomimetik atau kolinergik. Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis. 2. Simpatomimetik atau adrenergik yang efeknya menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis. 3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis. 4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis. 5. Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Kolinergik Obat kolinergik disebut juga parasimpatomimetik, berarti obat yang bekerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat digunakan. Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya. Reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia otonom, adrenal medulla dan SSP disebut reseptor nikotinik neuronal (NN), sedangkan reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan saraf-otot disebut reseptor nikotinik otot (NM). Reseptor muskarinik ada 5 subtipe, yakni M1 di ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di jantung dan M3 di otot polos dan kelenjar. Reseptor M1 dan M3 menstimulasi fosfolipase C melalui protein G yang belum dikenal, dan menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel sehingga terjadi kontraksi otot polos dan sekresi kelenjar serta late EPSP pada ganglia. Reseptor M4 mirip M2, sedangkan M5 mirip M1 (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Obat yang bekerja pada transmisi kolinergik, yang banyak digunakan di klinik umumnya bekerja: (1) mempengaruhi sintesis dan penglepasan asetilkolin, (2) menduduki reseptor muskarinik atau nikotinik, atau (3) mempengaruhi enzim

3

penghancur asetilkolin. Obat yang menduduki reseptor muskarinik dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter disebut agonis muskarinik. Agonis muskarinik dibedakan atas 3 golongan, yaitu: 1. Asetilkolin (ACh) Ester kolin dengan asam asetat ini merupakan neurotransmitter di berbagai sinaps dan akhiran saraf sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan somatik. Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian dan tidak berguna secara klinis karena efeknya sangat luas di berbagai organ. Selain itu, kerjanya terlalu singkat karena segera dihancurkan oleh asetilkolinesterase atau butirilkolinesterase. ACh pun tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis oleh asam lambung. 2. Ester kolin lainnya Penambahan gugus metal pada ACh menghasilkan metakolin yang afinitasnya terhadap asetilkolinesterase jauh lebih rendah sehingga masa kerjanya lebih panjang. Metakolin juga memperlihatkan selektivitas pada sistem kardiovaskular. Sementara itu, karbakol dan betanekol yang merupakan ester kolin dengan karbamat sama sekali bukan substrat asetilkolinesterase sehingga waktu paruhnya cukup panjang untuk mencapai jaringan yang perfusinya buruk seperti saluran cerna dan saluran kemih. 3. Alkaloid kolinergik Dalam golongan ini dikenal 3 alkaloid yaitu muskarin yang berasal dari jamur Amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilocarpus microphyllus, dan arekolin yang berasal dari Areca catechu (pinang) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Antikolinergik Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang bekerja menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis. Antimuskarinik merupakan antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik. Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral

4

terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik. Penghambat reseptor muskarinik atau antimuskarinik dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu: (1) alkaloid antimuskarinik, atropin dan skopolamin; (2) derivat semisintesisnya; dan (3) derivat sintesis (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Efek samping antikolinergik bisa dipisahkan ke dalam 2 tipe, yaitu efek samping pada sistem saraf pusat dan periferal. Dokter perlu menyesuaikan kemungkinan efek samping ini agar secara efektif dapat mengobati pasien. Potensi komplikasi medis dari efek samping antikolinergik adalah cukup besar dan rentan pada pasien yang usianya lebih tua atau pasien yang punya gejala seperti asma. Pada efek samping periferal lebih terlihat secara fisik, oleh karena itu lebih mudah untuk didiagnosa. Gejala khas termasuk kering mulut, sembelit, retensi urin, penghalang usus besar, membesarnya pupil, pandangan menjadi kabur, meningkatnya detak jantung, dan berkurangnya jumlah keringat. Ketika efek samping tidak terlihat serius, dokter perlu waspada karena efek samping ini bisa menyebabkan komplikasi medis. Pada efek samping sistem saraf pusat, cacat dalam fungsi kognitif dapat menyebabkan kelainan schizophrenia. Efek samping lainnya pada otak dan termasuk kelainan konsentrasi cairan pada otak, konfusi, kelainan dalam proses mengingat (Lieberman, 2004). Obat dengan aktifitas antikolinergik dapat memproduksi respon antagonis yang signifikan ketika dibuat kombinasi. Obat seperti atropin dan skopolamin menghambat reseptor asetilkolin muskarin dan dapat memproduksi pada efek periferal dan pusat. Pemberian secara bersamaan dari obat dengan aktivitas antikolinergik dapat memperluas gejala, terutama rentan pada pasien usia tua dimana usia mempengaruhi penurunan asetilkolin endogen (Horn & Hansten, 2005). Atropin Atropin (campuran d- dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa belladona dan Datura stramonium.

5

Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin (Ganiswara, 2001). Farmakodinamik Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antarorgan. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya, atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi , dan penghambatan N-vagus sehingga terlihat takikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik usus dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata. - Susunan saraf Pusat Atropin pada dosis kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan. Atropine merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak.

6

- Sistem Kardiovaskular Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus. - Mata Alkaloid belladonna menghambat M. contrictor papillae dan M. ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis menyebabkan - Saluran napas Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh system parasimpatis melalui reseptor M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya. Alkaloid belladonna mengurangi secret hidung, mulut, faring, dan bronkus. - Saluran cerna Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropine juga disebut sebagai antispasmodik. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen ( atau esterkolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya terjadi parsial. Atropine menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung. - Otot Polos Lain Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira 5 mg). Pada pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter, dan kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. - Kelenjar Eksokrin Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropine ialah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Farmakokinetik Alkaloid belladona mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Dari sirkulasi darah, atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian di ekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam. fotofobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya kemampuan melihat jarak dekat.

7

Indikasi dan Kontraindikasi - Saluran cerna Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus. Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simptomatik pada berbagai keadaan misalnya disentri, colitis, diverticulitis, dan kolik karena obat atau sebab lain. Dalam pengobatan ulkus peptikum, atropin atau antikolinergik lain dalam dosis yang biasa digunakan tidak cukup untuk menghambat sekresi asam lambung. - Saluran Napas Antikolinergik berguna untuk mengurangi sekresi lendir hidung dan saluran napas misalnya pada rhinitis akut, koriza dan hay fever, tetapi terapi ini tidak memeperpendek masa sakit. - Oftalmologi Semua pasien yang diberi antimuskarinik sebagai obat tetes mata harus diperiksa dahulu untuk menyingkirkan adanya glaucoma, karena penyakit ini merupakan kontraindikasi utama antikolinergik. Peninggian intraokuler terusmenerus dapat menyebabkan kebutaan. - Indikasi Lain Medika praanestesia. Atropine berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada anesthesia, terutama anesthesia inhalasi dengan gas yang merangsang. Efek Samping Efek samping antimuskarinik hampir semua efek farmakodinamiknya. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan pada pasien glaucoma, menyebabkan obat ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang pada pemberian antimuskarinik yang tergolong ammonium kuarterner. Walaupun Kelenjar yang sekresinya dihambat secara baik oleh antikolinergik ialah kelenjar dan kelenjar ludah.

8

demikian, selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat terjadi. Muka merah setelah pemberian atropine bukan reaksi alergi melainkan akibat kompensasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropine jarang ditemukan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Fenobarbital Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Morfologi Fenobarbital Fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C12H12N2O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian Kelarutan : Hablur atau serbuk hablur; putih tidak berbau; ras agak pahit. : sangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P, dalam

eter P, dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat. Khasiat penggunaan : Hipnotikum, sedativum. Dosis maksimum : sekali 300 mg, sehari 600 mg (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979). Fenobarbital merupakan obat anti konvulsi yang paling luas digunakan karena mempunyai keamanan yang tinggi. Efek sampingnya berupa sedasi sering menghambat aktivitas kerja setelah konvulsi hilang. Berdasar hal tersebut, digunakan Adrenalin yang mempunyai sifat analeptik untuk mengurangi efek hipnotik Fenobarbital tanpa mengurangi efek anti konvulsinya (Ellyas dkk, 2009).

9

Cara Pemberian Obat Absorpsi dari zat obat merupakan factor yang sangat penting dalam memilih cara pemberian obat yang tepat. Cara oral Obat paling sering digunakan dengan pemberian oral. Walaupun beberapa obat yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar dari obat yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dari semua ini sebagian besar dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat, yang dihasilkan setelah terjadi absorpsi pada berbagai permukaan sepanjang saluran cerna. Beberapa obat ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang terbatas dalam saluran cerna, yang dimungkinkan karena tidak larut dan atau daya absorpsi yang tidak baik melalui cara ini. Dibandingkan dengan cara lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Hal-hal yang tidak menguntungkan pada pemberian secara oral termasuk respons obat yang lambat (bila dibandingkan dengan obat-obat yang diberikan secara perenteral); kemungkinan absorbsi obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna; dan perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran cerna. Obat-obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan farmasi yang beragam, masing-masing dengan keuntungan terapeutik yang mengakibatkan penggunaannya yang selektif oleh dokter. Bentuk yang paling populer adalah tablet, kapsul, suspensi dan berbagai larutan sediaan farmasi (Ansel, 1989). Cara Parenteral Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah sesuatu yang disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke dalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman. Tiga cara utama dari pemberian parenteral adalah subkutan, intramuskular (IM) dan intravena (IV) walaupun ada yang lain seperti intrakardiak dan intraspinal.

10

Obat-obat yang rusak atau diinaktifkan dalam sistem saluran cerna atau tidak diabsorbsi dengan baik untuk memberikan respons memuaskan, dapat diberikan secara parenteral. Cara perenteral juga disukai bila dibutuhkan absorbs yang segera, seperti pada keadaan darurat. Satu hal yang merugikan dari pemberian parenteral adalah bahwa sekali obat yang sudah disuntikkan, tidak bisa ditarik lagi. Secara farmasi, preparat-preparat yang dapat disuntikkan biasanya berupa suspensi atau larutan steril dari suatu zat obat dalam air atau dalam minyak nabati yang sesuai. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau dosis ganda (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979). - Injeksi subkutan Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat meliputi injeksi melalui lapisan kulit ke dalam jaringan longgar di bawah kulit. Biasanya, injeksi subkutan dibuat dalam bentuk larutan dalam air atau sebagai suspensi dan relatif diberikan dalam volume yang kecil yaitu 2 mL atau kurang. - Injeksi intramuskular Injeksi intramuskular diberikan jauh ke dalam otot rangka, umumnya pada otot pinggul atau pinggang. Tempat penyuntikan dipilih yang bahaya pengrusakan terhadap saraf atau pembuluh darahnya kecil. Obat-obat yang memedihkan jaringan di bawah kulit seringkali diberikan secara intramuskular. Juga jumlah volume yang lebih besar (2 sampai 5 mL) seringkali diberikan intramuskular daripada subkutan. - Injeksi intravena Dalam pemberian obat secara intravena, larutan air disuntikkan ke dalam vena dengan kecepatan yang sepadan dengan efisiensi, keselamatan, menyenangkan bagi pasien dan lamanya reaksi obat yang diinginkan.

11

- Injeksi intradermal Obat suntik ini diberikan ke dalam korium dari kulit, yang biasanya dalam jumlah sekitar sepersepuluh milliliter. Tempat yang lazim untuk penyuntikkan adalah lengan dan punggung. Penyuntikan seringkali dilakukan sebagai pengukuran diagnostik seperti pada tuberkulin dan tes alergi (Ansel, 1989).

IV.1. 2. 3.

ALAT DAN BAHANHewan percobaan :

Mencit jantan Bahan obat : Fenobarbital Atropin Pilokarpin Alat : Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakan di atas papan lain dengan ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10o dengan papan kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm. Setelah itu kertas saring ditaburi bubur biru metilen sebagai lapisan tipis.

V.

PROSEDUR

Alat alat untuk percobaan dipersiapkan. Kemudian, hewan percobaan dipilih secara acak, ditimbang dan diberi tanda pengenal. Pada waktu T=0 mencit pertama diberi atropin p.o. segera setelah pemberian fenobarbital i.p. Sedangkan mencit kedua dan ketiga hanya diberi fenobarbital. Pada T=15 menit, mencit kedua diberi atropin s.c. Dan pada T=45 menit, semua mencit diberi pilokarpin s.c. Lalu, masing masing mencit diletakkan di atas kertas saring (1 mencit 1 kotak). Penempatan mencit dilakukan sedemikian sehingga mulutnya berada tepet di atas kertas sarimg. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya dan diulangi hal yang sama selama 25 menit. Besarnya noda yang terbentuk di kertas saring diamati dan ditandai. Diameter noda diukur dan dihitung persentase

12

inhibisi yang diberikan oleh atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.

VI.

HASIL PENGAMATAN

I

III

II

DATA PENGAMATAN VOLUME PEMBERIAN Atropin p.o. Atropin s.c. 0,62 0,6125 -

MENCIT BOBOT 1 2 3 24,8 24,5 26,7

Fenobarbital i.p. 0,62 0,6125 0,6675

Pilokarpin s.c. 0,62 0,6125 0,6675

BB (konversi) = 20 mg Volume maksimal = 0,5 mL Volume obat yang diberi : Mencit I Mencit IIV = V = berat 24 ,8 xvol = x 0,5mL = 0,62 mL BB ( kon ) 20 berat 24 ,5 xvol = x 0,5mL = 0,6125 mL BB ( kon ) 20

13

Mencit III

V =

berat 26 ,7 xvol = x 0,5mL = 0,6675 mL BB (kon ) 20

Perlakuan

Mencit 5 3 4,5 7,5 1,875 7,5 10 3,1 3,8 4 10,9 2,725 10,9

1 2 3 Atropin p.o. 4 Jumlah Rata2 1 2 3 Atropin s.c. 4 Jumlah Rata2 1 Kontrol 2 3 4 Jumlah Rata2 TOTAL

Diameter Saliva (cm) 15 20 25 3,1 2,25 1,6 3,7 3 2,3 1 1,3 1,8 4,1 4 4,2 11,9 10,55 9,9 2,975 2,6375 2,475 11,9 10,55 9,9

Jumlah

-

-

50,75 9,7125 50,75

Analisis Hipotesis Ho : t1 = 0, artinya seluruh perlakuan memberikan efek yang sama terhadap mencit. H1 : tidak demikian

Tabel Anava Sumber Variasi Rata-rata Waktu (blok) Pemberian obat (perlakuan)

Dk 1 4 2

Jk 42,93 0,9 85,85

KT 42,93 0,225 42,925

Fhit 188,68

14

Kekeliruan eksperimen (E) Kekeliruan subsampling TOTAL Perhitungan : Dk Rata-rata Waktu Pemberian obat Kekeliruan eksperimen Total Kekeliruan subsampling Jk

8 45 60

1,82 39,46 170,96

0,2275 0,88

=1 = (b-1) = 5-1 = 4 = (p-1) = 3-1 = 2 = (b-1)(p-1) = 4.2 = 8 = 60 = 60-(1+4+2+8)=45

J 2 50 ,75 2 = = 42 ,93 n 60 7,5 2 + 10 ,9 2 + 11,9 2 + 10 ,55 2 + 9,9 2 By = 42 ,93 = 0,90 3x4 0 + 0 + 50 ,75 2 Py = 42 ,93 = 85 ,85 4 x5 Ry = Sb = 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 7,5 2 + 10 ,9 2 + 11,9 2 + 10 ,55 2 + 9,9 2 42 ,93 4

= 88,57 Ey Sy = Sb (By+Py) = 88,57 - (0,90+85,85) = 1,82 = y2 Ry Sb = 170,89 42,93 88,5 = 39,46 = 5% = F(2.8) = = 0.05 = 4.46

Dengan Ftabel Fhitung

Karena Fhit > Ftabel, maka Ho ditolak. Artinya semua pemberian obat tidak memberikan efek yang sama terhadap mencit.

15

16

VII.

PEMBAHASAN

Sistem saraf otonom merupakan sistem yang bekerja mengendalikan dan mengatur keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh kesadaran. Salah satu jaringan saraf yang bekerja dibawah sistem saraf otonom adalah jaringan saraf yang mensyarafi kelenjar-kelenjar, termasuk diantaranya kelenjar saliva. Percobaan ini dilakukan untuk menguji aktivitas obat antikolinergik pada jaringan saraf kelenjar saliva dengan cara pemberian obat yang berbeda. Prinsip pada percobaan ini adalah pemberian zat kolinergik (pilokarpin) pada hewan percobaan (mencit) menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik (atropin). Hewan percobaan dibagi ke dalam tiga kelompok yang masing-masing diberi empat perlakuan yang bervariasi. Perlakuan pada menit pertama (T=0) untuk ketiga kelompok mencit adalah pemberian fenobarbital secara intra peritoneal . Pada kelompok mencit pertama langsung dilanjutkan dengan pemberian atropin secara per oral dan pada kelompok mencit ketiga diberikan PGA secara per oral. Pada kelompok mencit kedua, perlakuan selanjutnya adalah pemberian atropin secara sub-cutan setelah menit ke-15 (T=15). Setelah menit ke-45 (T=45), pada ketiga kelompok diberikan pilokarpin secara sub kutan.

17

Fenobarbital termasuk golongan obat hipnotik sedatif, yaitu obat yang menghilangkan kegelisahan, sebagai penenang dan menyebabkan depresi ringan pada Sistem Saraf Pusat. Pemberian fenobarbital pada hewan percobaan berfungsi untuk membatasi aktivitas dan bangkitan agar hewan percobaan mudah ditangani dan respon yang timbul dari perlakuan dapat diamati dengan baik. Pilokarpin merupakan obat golongan kolinergik yang memiliki efek muskarinik diantaranya merangsang kelenjar saliva, dan pada percobaan ini pemberian pilokarpin berfungsi untuk merangsang kelenjar saliva mencit sehingga terjadi salivasi dan hipersalivasi sebagai target dari efek obat antikolinergik yang diuji yaitu atropin. Atropin termasuk golongan obat antikolinergik yang bekerja memblok asetilkolin endogen maupun eksogen. Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar liur dalam mulut. Dalam percobaan ini, diamati kerja atropin yang menginhibisi terjadinya pengeluaran air liur (saliva) berlebih yang ditimbulkan dari pemberian pilokarpin. Sebelum dilakukan pemberian zat-zat, hewan percobaan terlebih dahulu ditimbang berat badannya untuk menentukan jumlah obat (volume obat) yang disuntikkan pada masing-masing hewan percobaan. . Setelah menghitung volume obat yang akan diberikan, selanjutnya pemberian obat dilakukan pada masingmasing mencit pada tiap kelompok uji. Tepat setelah pemberian pilokarpin, masing-masing mencit diletakkan pada papan yang telah dilapisi kertas saring dan dibagi menjadi tiga lajur dimana setiap lajur dibagi menjadi lima kotak. Masing-masing lajur digunakan untuk pengujian saliva mencit untuk tiap kelompok. Mencit ditempatkan di atas kertas saring pada alat (1 mencit per kotak) yang telah dipersiapkan sedemikian rupa dimana di bawahnya diberi metilen blue yang akan memberikan warna biru apabila kertas tersebut terbasahi (oleh air liur). Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas, kemudian dilakukan hal yang sama selama 25 menit sampai kotak yang paling atas. Penempatan mencit pada

18

kotak harus ditahan agar tidak banyak pergerakan yang dapat mempengaruhi pengukuran diameter saliva yang terbentuk. Pengamatan mencit kelompok uji petama Mencit pertama diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0, atropin secara peroral pada menit ke-0, dan pilokarpin secara subkutan pada menit ke-45. Dari hasil pengukuran diameter saliva, mencit ini tidak mengeluarkan saliva selama waktu percobaan. Artinya, atropin yang diberikan secara peroral efektif menghambat pengeluaran saliva mencit. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Atropin juga menghambat aktivitas kelenjar eksokrin, yaitu kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Atropin yang diberikan secara peroral mengalami absorpsi melalui saluran cerna yang umumnya terjadi secara difusi pasif, dan mengalami metabolisme di saluran cerna, sehingga akan mengurangi jumlah obat yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya konsentrasi obat akan berkurang dan membutuhkan waktu cukup lama untuk memberikan efek yang diharapkan. Sebaliknya pilokarpin tidak menunjukkan kerja yang efektif dalam merangsang pengeluaran saliva mencit. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya saliva yang dikeluarkan mencit. Pilokarpin mengakibatkan efek nikotinik, terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata, dan kelenjar ludah. Seharusnya, pada menit-menit awal, mencit mengeluarkan saliva akibat dari efek pemberian pilokarpin secara subkutan, karena setelah penyuntikan, obat masuk ke tempat yang terdekat sekitar pembuluh darah dan memasukinya dengan cara difusi atau fitrasi sehingga langsung masuk ke sistem peredaran. Konsentrasi obat juga tidak banyak berkurang karena tidak harus melalui metabolisme tubuh dan efek yang diharapkan dapat langsung terjadi. Oleh karena itu seharusnya mencit mengeluarkan saliva pada menit-menit awal karena pengaruh pilokarpin dan kemudian mengeluarkan saliva karena pengaruh atropin.

19

Pengamatan mencit kelompok uji kedua Mencit kedua diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0, atropin secara subkutan pada menit ke-15, dan pilokarpin secara subkutan pada menit ke-45. Dari hasil pengukuran diameter saliva mencit, tidak ditemukan adanya pengeluaran saliva. Hal ini berarti atropin yang diberikan secara subkutan efektif menghambat pengeluaran saliva mencit. Namun, pilokarpin tidak memberikan efek untuk merangsang pengeluaran saliva pada mencit, walaupun juga diberikan secara subkutan. Hal ini mungkin terjadi akibat kesalahan praktikan ketika menyuntikkan obat ke mencit, yang mengakibatkan tidak seluruh obat masuk, contohnya pada pemberian subkutan, obat yang disuntikkan keluar lagi melalui tengkuk, sehingga distribusi zat aktif tidak sempurna dan efek yang diharapkan tidak terjadi. Selain itu pemberian atropin yang lebih dahulu daripada pilokarpin juga mempengaruhi respon mecit. Atropin akan menghambat efek asetikolin di kelenjar yaitu efek muskarinik dan efeknya di SSP dan merintangi penerusan impuls dalam sel-sel gangllion. Sehingga pemberian pilokarpin tidak mempengaruhi sekresi saliva mencit. Pengamatan mencit kelompok uji ketiga Mencit ketiga diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0 dan pilokarpin secara subkutan pada menit ke-45. Mencit ini diamati sebagai kontrol positif. Dari hasil pengukuran saliva, seluruh mencit memberikan respon mengeluarkan saliva. Hal ini terjadi karena mencit tidak diberikan zat penginhibisi air liur (atropin). Kumpulan data yang diperoleh dari kelompok praktikum lain memperlihatkan data yang tidak seragam. Kondisi ini terjadi akibat perbedaan kemampuan praktikan dalam memberikan obat ke hewan percobaan, perbedaan keakuratan dosis obat yang disuntikkan ke hewan percobaan, dan perbedaan berat badan mencit pada tiap kelompok. Ketidakseragaman data ini menyebabkan data percobaan yang diperoleh kurang akurat.

20

Berdasarkan analisis anava yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa semua pemberian obat tidak memberikan efek yang sama terhadap mencit. Namun berdasarkan hasil percobaan, pemberian atropin secara peroral dan subkutan memiliki efek yang sama. Data hasil percobaan dapat digambarkan dalam suatu kurva dan grafik diameter saliva mencit terhadap waktu. Pada kurva terlihat bahwa kurva kontrol menunjukkan grafik yang tidak stabil. Seharusnya, grafik ini makin meningkat seiring meningkatnya waktu, karena kelenjar saliva mencit tidak diinhibisi oleh atropin. Pada kurva pemberian obat secara peroral dan subkutan, diperoleh hasil yang sama yaitu tidak ada diameter saliva yang terukur. Dari data percobaan diketahui bahwa efektivitas atropin yang diberikan secara peroral dan subkutan adalah sama yaitu menghambat sekresi saliva mencit. Hal ini juga ditunjukkan oleh besarnya persen inhibisi atropin yang diberikan secara peroral dan subkutan adalah sama yaitu 100%. Hasil yang didapat dari percobaan ini tidak sesuai dengan teori, dimana pemberian atropin secara subkutan seharusnya memberikan efek yang lebih cepat karena langsung memasuki pembuluh darah sehingga dapat langsung bekerja. Sedangkan pada pemberian secara peroral obat terlebih dahulu masuk dalam organ pencernaan dan mengalami metabolisme, setelah melalui saluran pencernaan barulah obat berdifusi ke pembuluh darah sehingga efek yang diinginkan lebih lambat.

VIII. KESIMPULANKesimpulan dari percobaan ini adalah : 1. 2. Persen inhibisi untuk atropin yang diberikan secara per oral adalah 100 %. Persen inhibisi untuk atropin yang diberikan secara subkutan adalah 100%.

21

DAFTAR PUSTAKAAnsel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Gaya Baru. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta. Ellyas, I.S., Samigun, dan Bambang S.T. 2009. Efek Analeptik Adrenalin. http://www.farmako.uns.ac.id/index.php?hal=riset&no_riset=17 (27 Maret 2009) Ganiswara. 2001. Preanestesi dan Anestesi Sebelum Operasi. http://heriblog.web .id / uncategorized/preanastesi-dan-anastesi-sebelum-operasi (27 Maret 2009) Lieberman, J.A. 2004. Managing Anticholinergic Side Effects. http://www. psychiatrist .com/pcc/pccpdf/v06s02/v06s0204.pdf. (4 April 2009) Horn, J.R., dan Philip Hansten, PharmD. 2005. CholinergicAnticholinergic Drug Interactions. http://www.hanstenandhorn.com/hh-article08-05.pdf (4 April 2009)