bab v penutup a. kesimpulan · pdf filememakai metode analisis wacana kritis model van dijk...
Post on 07-Feb-2018
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar
Kompas dan Republika dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, produksi
wacana mengenai PKI dalam berita Kompas dan Republika dipengaruhi oleh
ideologi kedua media. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, Kompas
berusaha menampilkan diri sebagai media profesional yang menerapkan kaidah-
kaidah jurnalistik seperti prinsip cover both side, jujur dan tidak memihak.
Kompas menampung pandangan yang setuju maupun yang menolak usulan
pencabutan Tap. Dalam berita mengenai caleg eks PKI, Kompas mencoba
menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan dengan menggambarkan orang-orang PKI
sebagai korban diskriminasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Sedangkan
Republika menampilkan diri sebagai surat kabar yang memegang nilai-nilai
religius yang disandarkan pada konstitusi. Republika menolak kehadiran PKI dan
komunisme dengan alasan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa sedangkan PKI beserta komunisme-nya adalah
kelompok yang tidak mengakui adanya tuhan dan anti demokrasi
Kedua, wacana tentang PKI yang muncul dalam Kompas dan Republika
juga dipengaruhi oleh sejarah PKI dan latar belakang belakang kedua media. Pada
masa lalu PKI sering berkonflik dengan kelompok Islam sehingga meninggalkan
luka sejarah yang tidak bisa dilupakan oleh kelompok Islam sampai saat sekarang.
Pada sisi lain, latar belakang Kompas yang berasal dari kelompok katolik
267
menyebabkan koran ini tidak bisa bebas dalam membuat berita yang menyangkut
kelompok Islam. Dan Republika adalah surat kabar yang didirikan oleh kelompok
Islam, basis pasar dan pemegang saham surat kabar ini mayoritas dari kelompok
Islam. Dengan konstelasi ekonomi politik yang demikian, sangat riskan bagi
Kompas dan Republika untuk bisa memunculkan masalah-masalah yang sensitif
seperti pembunuhan terhadap orang-orang PKI pasca G30S karena pembahasan
mengenai hal itu akan melibatkan kelompok Islam.
Ketiga, selain karena peta konflik yang terjadi pada masa lalu, produksi
wacana mengenai PKI juga dipengaruhi oleh konteks sosial politik yang ada saat
wacana mengenai PKI muncul. Maraknya aksi massa yang melurug kantor media
massa yang muncul setelah era reformasi membuat pihak media harus ekstra hati-
hati dalam mengangkat suatu permasalahan, terutama masalah yang menyangkut
kelompok tertentu. Masalah PKI bisa memicu aksi massa yang lebih besar jika
media tidak berhati-hati dalam pemberitaannya.
Keempat, karakteristik peristiwa atau wacana yang berbeda membuat
Kompas mengangkat wacana mengenai PKI secara berbeda pula. Dalam berita
mengenai usulan pencabutan Tap, Kompas memilih sikap netral karena wacana
tersebut hanya berupa usulan yang tidak mempunyai kekuatan hukum, dan di
samping itu usulan Gus Dur tersebut juga memicu pro-kontra dalam elite politik
dan dalam masyarakat. Dalam masalah caleg eks PKI, Kompas berani tampil
sebagai pihak yang “memperjuangkan” hak orang-orang PKI karena wacana
tersebut muncul dari keputusan MK yang bersifat final.
268
Kelima, wacana mengenai PKI yang muncul dalam berita Kompas
terpolarisasi, pada satu sisi menggambarkan PKI sebagai pemberontak, namun
pada sisi lain PKI juga digambarkan sebagai korban diskriminasi oleh Orde Baru.
Sedangkan Republika menggambarkan PKI sebagai pemberontak, suka meneror,
dan anti tuhan. Wacana mengenai PKI yang muncul dalam kedua media adalah
wacana-wacana yang masih bisa diterima oleh kelompok Islam, sedangkan
wacana yang berpretensi menyudutkan kelompok Islam tidak muncul dalam berita
kedua media. Meskipun kedua media mempunyai visi dan misi yang berbeda, pola
pemberitaan semacam itu dilakukan agar kelangsungan hidup media yang
bergantung pada pasar dan pengiklan tetap terjamin sehingga aset serta kapital
media masih tetap terjaga.
B. Rekomendasi
Untuk meneliti proses produksi dan reproduksi wacana media secara
komprehensif sehurusnya menggunakan tiga level analisis yaitu teks, konteks dan
kognisi sosial pembuat teks. Namun penelitian ini hanya meneliti teks dan konteks
sehingga masih terdapat “missing link” antara aspek mikro pada level teks dengan
tataran makro. Untuk itu peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya yang
memakai metode analisis wacana kritis model van Dijk agar mengeksplorasi
semua level analisis sehingga dapat diketahui bagaimana proses produksi wacana
tertentu dalam masyarakat, bagaimana wacana yang muncul dalam teks, dan
melakukan wawancara kepada wartawan pembuat teks untuk mengetahui
269
bagaimana kognisi sosial wartawan mempengaruhi produksi wacana dalam dalam
teks.
Penelitian mengenai PKI ini hanya melibatkan dua media sebagai subyek
penelitian. Agar diperoleh pemahaman lebih komprehensif mengenai masalah PKI
dalam media massa, peneliti merekomendasikan kepada pihak lain yang tertarik
untuk mengkaji masalah PKI dalam media massa agar melakukan penelitian lain
dengan melibatkan lebih banyak lagi surat kabar atau majalah dan tidak hanya
terbatas meneliti teks berita tapi juga opini yang ada di dalamnya serta dalam
rentang waktu yang lebih lama.
Slogan jurnalistik “memberi suara kepada yang tidak bersuara” agaknya
masih belum berlaku dalam pers Indonesia sebab kelompok minoritas masih
jarang mendapat tempat dalam media massa. Dari berita-berita mengenai Partai
Komunis Indonesia yang diteliti, yang diliput oleh media massa hanya
pernyataan-pernyataan dari elite politik dan tokoh masyarakat, orang-orang yang
dituduh sebagai PKI justru jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dimintai
pendapat. Karena itu, peneliti merekomendasikan kepada media massa, ketika
mengangkat suatu permasalahan, hendaknya media massa tidak hanya terfokus
pada pendapat para elite tapi juga mengakomodasi suara kaum minoritas yang
terkait masalah tersebut sehingga kita semua tahu apa sesungguhnya yang terjadi
pada mereka dan apa yang mereka inginkan.
Dari hasil analisis diketahui bahwa kepentingan politik maupun ekonomi
pers bisa menyebabkan hilangnya tema-tema penting dari liputan sehingga berita
yang dihasilkan tidak benar-benar obyektif. Karena itu konsumen media
270
hendaknya lebih kritis dalam mengkonsumsi produk-produk media, termasuk
yang berwujud berita karena berita pun tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi
atau politik tertentu.
271
top related